pembangunan infrastruktur publik melalui skema kerjasama
TRANSCRIPT
1
Pembangunan Infrastruktur Publik Melalui Skema Kerjasama Pemerintah-
Swasta (KPS): Kasus Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Batang, Jawa Tengah
Qurrat Aynun Abu Ayub
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok
Campus, Depok, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kekurangan kemampuan dana dan teknis memaksa Pemerintah Indonesia untuk melibatkan pihak swasta dalam membangun infrastruktur melalui skema Kerja Sama Pemerintah-Swasta (KPS). Poyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang merupakan proyek pertama yang mengimplementasikan skema tersebut dengan konsorsium perusahaan multinasional J-Power, Itochu dan Adaro (PT Bhimasena Power Indonesia) dan berhasil mencapai kesepakatan hingga pembangunan. Skripsi ini menunjukkan interaksi yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan PT Bhimasena Power Indonesia dalam pengimplementasian skema tersebut dengan analisis Political Bargaining Model (PBM) dan mengungkap bagaimana hal tersebut berpengaruh pada keberlangsungan proyek kerja sama. Skripsi ini memperlihatkan bahwa daya tawar politik aktor pemerintah dan perusahaan multinasional mempengaruhi perhitungan mereka dan berjalannya kerja sama yang dibentuk antara keduanya. Lebih jauh lagi, komponen dalam daya tawar tersebut dipengaruhi oleh pengaruh aktor internasional seperti Bank Dunia dan dinamika politik domestik.
Kata kunci: Daya Tawar, Interaksi, Kerja Sama Pemerintah-Swasta (KPS), Political Bargaining Model (PBM).
Abstract
Infrastructure Development with Public-Private Partnership (PPP) Scheme: Case of Central Java Coal-Fired Power Plant Project in Batang
The lack of financial and technical capacity forced Government of Indonesia to include private entities to build public infrastructure by implementing Public-Private Partnership (PPP) scheme. Central Java Coal-Fired Power Plant Project in Batang is the first project with multinational companies; consortium of J-Power, Itochu and Adaro (PT Bhimasena Power Indonesia) to reach financial closure and construction. This study showcases the interaction between Government of Indonesia and PT Bhimasena Power Indonesia using Political Bargaining Model and analyze how it plays part in the continuity of the project to its current success. This research finds that the political bargaining position of government and multinational companies has influenced their cost and benefit analysis in the continuation of the partnership. Furthermore, the components of political bargaining position are heavily influenced by the involvement of international institution World Bank and domestic politics. Keywords: Bargaining Power, Interaction, Political Bargaining Model (PBM), Public-Private Partnerships (PPP). Pendahuluan
Pembangunan ekonomi berbasis infrastruktur merupakan sebuah strategi yang sudah
lazim dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia. Pembangunan infrastruktur ini
merupakan proses pembuatan struktur teknis dan organisasi yang mendukung berjalannya
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
2
kehidupan masyarakat seperti jalan raya, persediaan air bersih, ketenagalistrikan,
telekomunikasi, pemerintahan, jasa dan lain-lain. Struktur tersebut secara bersama
membentuk sebuah sistem yang terhubung satu sama lain dan menyediakan komoditas dan
jasa penting untuk mempertahankan atau meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat.1
Investasi infrastruktur memiliki pengaruh yang besar terhadap pembangunan perekonomian
suatu negara. Ketersediaan infrastruktur merupakan modal sosial (social overhead capital)
yang memiliki keterkaitan sangat kuat dengan tingkat pertumbuhan suatu wilayah atau negara
dalam bentuk laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.23
Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan
kemampuan ekonomi negara. Hal ini dikatakan oleh Vincent Cable bahwa pada konteks
perekonomian terbuka negara-negara akan mencoba untuk memperkuat kekuatan ekonominya
dan mencoba untuk menarik masuk investasi asing dengan tenaga kerja dan kondisi
infrastruktur yang memadai.4 Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu kepentingan
negara yang sangat vital untuk dapat bersaing di bidang ekonomi di tingkat global. Ilmu
Hubungan Internasional merupakan sebuah disiplin yang mengevaluasi bagaimana negara
sebagai salah satu aktor internasional berinteraksi dengan berbagai aktor lainnya dan
memenuhi kepentingannya di tingkat global.
Ketersediaan infrastruktur yang cukup dan memadai telah dijelaskan di dalam studi
Bank Dunia dengan pemenuhan besaran kebutuhan pembangunan infrastruktur minimal
sebesar 5% dari PDB. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data yang dirilis Bappenas,
Indonesia mencatat kebutuhan investasi di bidang pembangunan infrastruktur mencapai
4,51%, masih jauh dari India yang mencatat investasi 7% dari PDB dan Tiongkok yang
berinvestasi 11% dari PDB. Dari data kebutuhan investasi tersebut, masih terdapat selisih
kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia yang berjumlah Rp324 triliun
atau 17% dari total kebutuhan sebesar Rp1.924 triliun yang tidak bisa disediakan oleh
APBN/APBD, maupun belanja modal (capital expenditure) oleh BUMN.5
1 Jeffrey Fulmer, "What in the World is Infrastructure." PEI Infrastructure Investor 1, no. 4 (2009): 30. 2 Social overhead capital adalah jenis kebutuhan publik sekaligus menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat. Jenis kebutuhan ini merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat secara umum sehingga sering kali pada praktiknya disediakan oleh pemerintah, seperti: listrik, air, sekolah, rumah sakit, jalan raya, dll. Paul H. Cootner, "Social Overhead Capital and Economic Growth," The Economics of Take-Off into Sustained Growth, 261-284. Palgrave Macmillan UK, 1963. 3 Ibid. 4 Vincent Cable, “The Diminished Nation-State: A Study in the Loss of Economic Power,” dalam What Future for the State? Daedalus 124, no. 2 (Spring 1995): 48–50. 5 Eko Nur Surachman, “Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund): Harapan Baru Pembangunan Infrastruktur di Indonesia,” Kementerian Keuangan Republik Indonesia, diakses pada 26 Desember 2016, pukul
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
3
Melihat kondisi infrastruktur yang belum memadai, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menuangkan gagasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) dalam skema pembangunan Masterplan Percepatan Pembangunan dan
Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI merumuskan bahwa untuk mempercepat
pembangunan ekonomi diperlukan cara berpikir baru, cara kerja baru, dan cara baru.
Pelaksanaan cara berpikir baru mengenai pembangunan ekonomi melihat peluang upaya
kolaboratif antara pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, perusahaan swasta dan masyarakat
luas. Pemerintah memiliki dana yang sangat terbatas untuk membiayai pembangunan melalui
APBN. Dengan demikian, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia, hal itu akan
sangat tergantung pada partisipasi sektor swasta yang meliputi BUMN, investor domestik dan
asing swasta dengan skema Kerja sama Publik-Swasta (KPS).
Pembangunan infrastruktur dengan skema KPS merupakan usaha penyediaan sarana
infrastruktur yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan
kemampuan sarana infrastruktur yang dilakukan berdasarkan prinsip project financing.6
Melalui skema ini aktor swasta memiliki kewajiban untuk membangun dan/atau
mengoperasikan serta melakukan perawatan sarana infrastruktur dengan dana pembangunan
infrastruktur sebagian kecil berasal dari modal sponsor proyek dan sebagian besarnya berasal
dari bank dan/atau lembaga pembiayaan lainnya sebagai pemberi pinjaman proyek.
Sedangkan, pemerintah selaku pemilik dari proyek infrastruktur memberikan kompensasi
berupa hak konsesi pengelolaan komersial sarana infrastruktur kepada sektor privat/swasta
tersebut selama jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian kerja sama. Setelah masa
konsesi ini selesai, infrastruktur diserahkan kembali kepada pemerintah.7
Terdapat satu mega proyek yang dijalankan pemerintah bersama swasta yang sudah
dalam proses pengerjaan dengan menggunakan skema KPS, yaitu Proyek Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah. Proyek PLTU di Batang yang disebut sebagai
Central Java Power Plant ini merupakan proyek pembangkit listrik ambisius dengan
kapasitas 2x1.000 MW.8 Proyek PLTU Batang merupakan sebuah mega-proyek yang
dibangun untuk memenuhi kebutuhan Indonesia akan energi listrik. Untuk mencapai
16.04 WIB, http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Dana%20Dukungan%20Tunai%20Infrastruktur%20VGF%20Harapan%20baru%20pembangunan%20infrastruktur%20di%20Indonesia.pdf. 6 Ibid. 7 Ibid. 8 “Batang Power Plant,” Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPIP), diakses pada 27 Desember 2016, pukul 20.30 WIB, http://kppip.go.id/en/priority-projects/electricity/batang-power-plant-central-java-power-plant/.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
4
kebutuhan daya listrik Indonesia, diperlukan investasi modal yang sangat besar dari tahun
2011-2020 dengan jumlah sebesar sekitar US$68 miliar.9
Proyek ini mulai digarap pada bulan Oktober 2011 dengan menjalin Kerja sama antara
pihak pemerintah dengan pihak swasta. Pihak swasta yang memenangkan tender adalah
Electric Power Development Co., Ltd. (J-Power), Itochu Corporation (Itochu) dan PT. Adaro
Power (Adaro) membentuk sebuah konsorsium PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI).
Perjanjian jual beli listrik (PJBL) antara PT. BPI dengan PT. PLN telah ditandatangani pada 6
Oktober 2011. Perjanjian Penjaminan juga telah ditanda-tangani antara lain oleh Pemerintah
Republik Indonesia (yang diwakili oleh Kementerian Keuangan), PT. Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (PII), dan PT. BPI.10
Tender untuk proyek ini dianggap sebagai tender bersejarah karena ini merupakan
proyek KPS pertama di Indonesia yang berhasil dilelangkan dan sekaligus sebagai pilot
project KPS pertama pada sektor ketenagalistrikan.11 Proyek PLTU ini merupakan proyek
skala besar pertama dengan nilai investasi lebih dari Rp30 Triliun, sekaligus proyek pertama
yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden No. 67 tahun 2005 tentang Kerja Sama
Pemerintah dengan Swasta dalam penyediaan infrastruktur.12 Dalam konteks internasional,
proyek ini juga bersejarah karena ini akan menjadi unit PLTU terbesar di Asia Tenggara.
Proyek KPS ini masuk dalam 40 Besar Proyek KPS oleh Bank Dunia (Top 40 PPPs Projects
in Emerging Markets) dan tercatat sebagai proyek dengan pendanaan tertinggi dalam daftar
tersebut dengan nilai total investasi awal yang mencapai US$4,2 miliar.13 Dalam konteks
domestik, proyek ini menjadi satu-satunya proyek di bawah penjaminan PT. PII yang sudah
melewati financial close dan masuk dalam tahap pembangunan.14 Tercatat lebih dari 24
proyek pembangunan pemerintah sejak tahun 2009 namun belum ada yang mencapai
financial close. Terlebih lagi dengan skema KPS yang menggunakan kerangka Build, Own,
Operate, Transfer (BOOT) dengan kontrak 25 tahun, proyek ini menjadi lebih berisiko bagi 9 “Power in Indonesia,” PricewaterhouseCoopers Indonesia, diakses pada 27 Desember 2016, pukul 20.32 WIB, http://www.pwc.com/id/en/publications/assets/electricity-guide-2013.pdf. 10 Ibid. 11 “Sukseskan Terapkan Kerja Sama Pemerintah Swasta untuk PLTU Batang PLN Raih Penghargaan Dari Menteri Keuangan,” BUMN, diakses pada 27 Desember 2016, pukul 20.32 WIB, http://www.bumn.go.id/pln/berita/461/Sukses.Terapkan.Kerja.Sama.Pemerintah.Swasta.untuk.PLTU.Batang,.PLN.Raih.Penghargaan.Dari.Menteri.Keuangan 12 PLN Persero, Statistik PLN 2013, 2014. Tabel 20 Hal 21 http://www.pln.co.id/dataweb/STAT/STAT2013IND.pdf. 13 James Kenny dan Rene Lavanchy, Emerging Partnerships : Top 40 Public-Private Partnerships (PPPs) in Emerging Market, World Bank, 24, diakses pada 19 Februari 2017, 12.30 WIB, http://documents.worldbank.org/curated/en/735231468162282764/Emerging-partnerships-top-40-public-private-partnerships-PPPs-in-emerging-markets. 14 PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero), Proyek, diakses pada 19 Februari 2017, 12.30 WIB, http://www.iigf.co.id/id/project/recent-projects .
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
5
perusahaan karena rentang waktu untuk mendapatkan pengembalian modal investasi (return
on investment) menjadi lebih sedikit dan tanggung jawab terhadap investor menjadi lebih
besar.15
Proyek ini mencapai financial close dengan jumlah dana US$3,4 miliar dan sudah
mulai proses pembangunan merupakan fenomena unik di luar pola umum baik dalam konteks
domestik maupun konteks negara ekonomi transisi dan negara berkembang. Hal ini memicu
sebuah pertanyaan mengapa PLTU Batang yang memiliki risiko investasi tinggi – biaya
pendanaan awal besar dan penggunaan skema KPS- dan ditambah dengan karakteristik
Indonesia sebagai negara berkembang dapat menarik minat investor asing hingga tahap
financial closure. Oleh karena itu, kasus ini dapat dilihat sebagai fenomena bersifat puzzling.
Dengan demikian, pertanyaan penelitian ini adalah “Mengapa proyek infrastruktur publik
PLTU Batang melalui skema Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS) dapat mencapai
kesepakatan?” Penelitian ini mencoba untuk mengungkap proses interaksi yang terjadi dari
praktik implementasi KPS di Indonesia yang berujung pada keberhasilan dimulainya
pembangunan PLTU Batang.
Tinjauan Teoritis
Political Bargaining Model (PBM)
Tulisan ini menggunakan sebuah konsep daya tawar yang dikemukakan oleh Eden,
Lenway, dan Schuler, yaitu Political Bargaining Model (PBM). Konsep daya tawar ini
merupakan sebuah rekonseptualisasi dari konsep sebelumnya Obsolescing Bargaining Model
(OBM) yang diciptakan oleh Vernon. Pemilihan PBM daripada OBM didasarkan pada fokus
OBM hanya pada analisis pengaruh perusahaan multinasional yang berkurang seiring
berjalannya waktu saat sudah melakukan investasi di negara tuan rumah (host country).
Analisis variabel di dalam PBM menjelaskan hubungan antara host country dengan
perusahaan multinasional dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu; tujuan relatif (goals and
relative), sumber daya (resources), dan hambatan (constraints).16
Perusahaan multinasional dan pemerintah melakukan penawaran politik terhadap
kebijakan pemerintah yang akan berdampak langsung pada perusahaan atau sektor
industrinya. Dalam negosiasi termasuk juga proses lobi (lobbying), perusahaan multinasional 15 Irem Dikmen Ozdoganm dan M. Talat Birgonul, "A decision support framework for project sponsors in the planning stage of build-operate-transfer (BOT) projects," Construction Management & Economics 18, no. 3 (2000): 343. 16 Lorraine Eden, Stefanie Lenway, dan Douglas A. Schuler, “From the Obsolescing Bargain to the Political Bargaining Model,” dalam Robert Grosse, International Business and Government Relations in the 21st Century, (Cambridge University Press, 2005), 251-272.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
6
mencari legitimasi dan keuntungan ekonomi yang lebih, dan kebijakan yang lebih mendukung
keberadaan mereka. Pemerintah menawarkan lokasi yang menjadi keunggulannya. Valuasi
satu aktor terhadap sumber daya aktor lainnya menjadi penentu daya tawar potensial aktor
tersebut. Hasil akhir dari negosiasi kerja sama akan mengikuti aktor yang memiliki posisi
daya tawar lebih besar. Pemenangnya dapat dilihat dari perbandingan hasil akhir dengan
tujuan dari tiap-tiap aktor. Tujuan aktor yang banyak atau hampir terpenuhi adalah
pemenangnya. Keduanya menang jika hasil akhir dilihat sebagai menguntungkan bagi
keduanya.
Political bargaining model oleh Eden, Lenway, dan Scholer ini merupakan konsep
yang tepat untuk menganalisis masih berjalannya proyek PLTU Batang yang menggunakan
skema KPS dengan perusahaan multinasional karena dapat menggambarkan interaksi
pemerintah dan swasta dengan komprehensif. Pertama, karena suatu kerja sama antara kedua
aktor tersebut digambarkan sebagai hasil akhir dari tujuan yang sama-sama tercapai (aligning
goals) sehingga kedua belah pihak merasa menjadi “pemenang” dari proses negosiasi yang
terjadi. Konsep ini dapat digunakan dalam melihat bagaimana tujuan dari pemerintah
Indonesia dan konsorsium perusahaan multinasional terealisasikan.17 Kedua, konsep ini
menjelaskan juga bahwa hasil akhir tergantung dari bagaimana satu aktor melihat kapasitas
atau valuasi kemampuan yang dimiliki aktor lainnya. Setiap aktor akan mencoba untuk
mencapai keuntungan yang besar dan hal itu dapat dilihat dengan melakukan kalkulasi
seberapa besar tawaran yang diberikan oleh aktor lainnya. Semakin besar daya tawar yang
dimiliki, semakin besar valuasi yang dimiliki aktor tersebut, semakin ingin aktor lainnya
untuk mempertahankan kerja sama.18 Ketiga, konsep ini mencakup hambatan relatif yang ada
dalam suatu negosiasi atau kerja sama.19 Hal ini secara tepat menggambarkan dan
menjelaskan proses skema KPS PLTU Batang yang mendapat tantangan dari masyarakat
maupun gerakan organisasi non-pemerintah seperti Greenpeace Indonesia. Metode Penelitian
Metodologi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif
dengan menggunakan metode kualitatif. Lebih spesifiknya, menggunakan metode studi kasus
dan process tracing. Peneliti melihat bahwa metode tersebut yang paling tepat untuk
17 Ibid., 17. 18 Ibid., 15-17. 19 Ibid.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
7
menganalisis kasus PLTU Batang berkaitan dengan interaksi Pemerintah Indonesia dengan
perusahaan multinasional menggunakan skema KPS.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat proses interaksi
Pemerintah Indonesia dengan perusahaan multinasional dalam dalam penggunaan skema
KPS. Dalam pembahasannya, penelitian ini menggunakan metode analisis process tracing.20
Peneliti melihat process tracing sebagai pisau analisis yang tepat dalam mengkaji kasus
skema KPS pada PLTU Batang. Kesesuaian penggunaan ini karena ciri utamanya sebagai
cara untuk mempelajari dan mengevaluasi secara empiris preferensi dan persepsi aktor,
tujuan, nilai dan spesifikasi yang mereka miliki pada suatu situasi yang dihadapi.21 Terdapat
tiga tujuan utama process tracing menurut Flyvbjerg. Pertama, process tracing terfokus dan
sifatnya yang selektif terhadap aspek-aspek tertentu dari fenomena yang diteliti. Peneliti
menyadari bahwa terdapat beberapa informasi yang hilang bersama dengan beberapa
karakteristik unik dari fenomena tersebut. Kedua, bersifat terstruktur dalam arti bahwa
peneliti sedang mengembangkan penjelasan analitis berdasarkan kerangka teori diidentifikasi
dalam desain penelitian. Ketiga, tujuannya adalah memberikan penjelasan naratif dari garis
kausal yang berujung pada suatu luaran spesifik.22
Pada kasus PLTU Batang dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada aspek tujuan,
sumber daya, dan resistensi yang terjadi terhadap keterlibatan masing-masing aktro yang ada.
Penelitian ini juga memiliki kerangka teori acuan untuk mengembangkan penjelasan analitis
terstruktur. Terakhir, proses yang terjadi pada interaksi aktor pemerintah dan perusahaan
multinasional dan hasil akhir berupa financial closure dan dimulainya konstruksi menjadi hal
yang ingin diungkap oleh penulis. Oleh karena itu, untuk memperdalam kerangka analisis
yang telah dibentuk, process tracing menjadi pilihan yang paling dapat menjelaskannya.
Hasil Penelitian
20 Metode analisis ini dijelaskan Jeffrey Checkel di dalam dalam buku Audie Klotz dan Deepa Prakash yang berjudul Qualitative Methods in International Relations: A Pluralist Guide. Process tracing merupakan upaya yang dilakukan peneliti guna mencari tali-temali di antara mekanisme kausal dalam suatu kasus tertentu. Hal ini dilakukan dengan pencarian data dalam jangkauan waktu tertentu. Data yang ditemukan berbentuk data kualitatif, seperti riwayat hidup, penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, hasil wawancara, berita dari surat kabar, dan berbagai dokumen yang dirilis oleh pemerintah. Jefferey T. Checkel, “Process Tracing,” dalam Audie Klotz dan Deepa Prakash, Qualitative Methods in International Relations: A Pluralist Guide ed., (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 116. 21 Herbert A. Simon, "Human Nature in Politics: The Dialogue of Psychology with Political Science," American Political Science Review 79, no. 02 (1985): 295 dalam Pascal Vennesson, "12 Case studies and Process Tracing: Theories and practices," Approaches and Methodologies in the Social Sciences (2008): 233. 22 Bent Flyvbjerg, "Five Misunderstandings about Case-Study Research," Qualitative Inquiry 12, no. 2 (2006): 237-241 dalam Pascal Vennesson, "12 Case Studies and Process Tracing: Theories and Practices," Approaches and Methodologies in the Social Sciences (2008): 235.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
8
Interaksi yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan PT. BPI merupakan sebuah
manifestasi dari upaya untuk mencapai tujuan dari masing-masing aktor. Hal tersebut
dikarenakan masing-masing pihak tidak dapat memenuhi tujuannya sendiri tanpa adanya
kerja sama dengan entitas eksternal. Pada PLTU Batang, tujuan yang diinginkan oleh
Pemerintah Indonesia adalah kemampuan untuk memenuhi permintaan listrik sebagai
tanggung jawab pemerintah agar tercipta citra positif terhadap pemerintah. Untuk mencapai
tujuan tersebut, Pemerintah Indonesia membutuhkan sumber pendanaan dan juga teknologi
ketenagalistrikan. Di sisi lain, masing-masing anggota konsorsium PT. BPI (Itochu, J-Power,
dan Adaro) memiliki tujuan untuk menghasilkan profit atau keuntungan. Lebih spesifik lagi
dari sisi J-Power dan Itochu sebagai perpanjangan tangan dari Jepang (home country),
mereka memiliki keinginan untuk meningkatkan legitimasinya sebagai aktor yang mampu
dan kredibel di bidang kelistrikan. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan sebuah pasar
yang lukratif yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Proses interaksi antara keduanya dimungkinkan terjadi karena sumber daya yang
dimiliki untuk mencapai tujuan masing-masing. Pada kondisi ini, Pemerintah Indonesia
menawarkan sumber daya pasar yang lukratif dengan fasilitasi hukum dan komitmen
pemerintah. Tawaran tersebut diimplementasikan dengan sungguh-sungguh sehingga valuasi
sumber daya Pemerintah Indonesia dari mata PT. BPI terlihat tinggi. Hal ini dapat
disimpulkan dari pihak PT. BPI yang merasa sangat diakomodasi dengan baik oleh
Pemerintah Indonesia. Kondisi ini menandakan upaya Pemerintah Indonesia untuk menarik
investor dengan daya tawarnya berhasil.
PT. BPI menawarkan sumber pendanaan dan teknologi yang dibutuhkan oleh
Pemerintah Indonesia. Valuasi Pemerintah Indonesia terhadap sumber daya tersebut tinggi
karena merupakan sumber daya spesifik yang dimiliki oleh PT. BPI. Pemerintah Indonesia
memilih konsorsium Itochu, J-Power, dan Adaro dalam tender juga dikarenakan harga yang
ditawarkan oleh konsorsium tersebut yang terbilang rendah. Setelah masuk proses kerja
sama, Pemerintah Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain terus melanjutkan proyek ini.
Penghentian kerja sama berarti pengulangan segala proses yang sudah dilewati dan merusak
citra Pemerintah Indonesia yang ingin menunjukkan kemampuannya untuk mendorong
pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, PT. BPI memiliki daya tawar yang tinggi juga
pada bagian sumber daya.
Faktor lainnya yang mempengaruhi keberlangsungan kerja sama Pemerintah Indonesia
dan PT. BPI adalah resistensi dari masyarakat. Pemerintah Indonesia awalnya tidak memiliki
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
9
interaksi dengan kelompok resisten tersebut. PT. BPI memiliki tanggung jawab penuh untuk
menyelesaikan permasatanah tanah tersebut. Namun, pada akhirnya Pemerintah Indonesia
merespon resistensi tersebut dengan penggunaan UU No. 2 Tahun 2012 yang secara
keseluruhan meengatasi resistensi. Hal ini merupakan manifestasi komitmen Pemerintah
Indonesia yang menjadi daya tawarnya sekaligus bentuk mitigasi terhadap ancaman yang
dapat menghambat proses pencapaian tujuan pemerintah. Dengan demikian, resistensi dari
masyarakat tidak menjadi masalah bagi proyek ini.
Kedua pihak saling bergantung satu sama lain dengan karakteristik sumber daya yang
dimiliki. Pada kondisi tersebut, melanjutkan kerja sama yang sudah terjalin melalui proyek
PLTU Batang merupakan pilihan yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu, kerja sama
antara Pemerintah Indonesia dan PT. BPI akhirnya mencapai kesepakatan (Lihat Tabel 1).
Tabel 1 Interaksi Pemerintah Indonesia dan PT. BPI
Pemerintah Indonesia PT. BPI
Tujuan
Pendanaan Teknologi
Legitimasi politik
Pencarian pasar untuk profit Legitimasi home country
Interaksi dilakukan untuk memenuhi tujuan kedua belah pihak menggunakan sumber daya yang dimiliki.
Sumber Daya
[Sumber daya Pemerintah Indonesia] Kerangka Hukum Komitmen
[Tujuan PT. BPI]
Kepastian keuntungan Legitimasi home country
[Tujuan Pemerintah Indonesia] Pendanaan proyek Kebutuhan teknologi Legitimasi politik
[Sumber daya PT. BPI]
Sumber pendanaan Teknologi
Resistensi Masyarakat
Penggunaan UU No. 2 Tahun 2012 Akuisisi tanah dan program CSR Adanya aksi dari Pemerintah Indonesia dan PT. BPI berhasil menekan tingkat
resistensi
Interaksi berbasis kepentingan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan PT. BPI
yang terdiri dari J-Power, Itochu, dan Adaro tidak hanya bersifat domestik namun merupakan
fenomena hubungan internasional. Bentuk interaksi tersebut dimungkinkan terjadi karena
proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang terjadi di tingkat internasional. Lebih
daripada itu, fenomena globalisasi dan liberalisasi tersebut mendorong aktor-aktor
internasional seperti negara dan perusahaan swasta untuk beradaptasi dengan cara
berinteraksi.
memberikan
memberikan
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
10
Globalisasi ekonomi memiliki empat visi utama untuk mendorong interdependensi di
tingkat gobal, yaitu: (a) liberalisasi perdagangan dan investasi, (b) inovasi teknologi dan
penurunan biaya komunikasi, (c) bisnis, dan (d) jaringan soial yang bersifat global.23
Implementasinya pada tingkat negara merupakan hasil dari kebijakan masing-masing
pemerintah yang membiarkan kekuatan pasar global untuk masuk ke dalam negara. Namun,
secara praktis penulis melihat bahwa globalisasi ekonomi tersebut berdifusi ke dalam
kebijakan domestik karena tidak ada pilihan lain bagi negara seperti Indonesia. Hal tersebut
yang direfleksikan oleh proyek PLTU Batang yang menggunakan skema KPS.
Globalisasi ekonomi mendorong persaingan di tingkat global dan memberikan
kesempatan bagi aktor-aktor internasional yang berpartisipasi. Indonesia sebagai negara
berkembang memiliki tujuan untuk memiliki kekuatan ekonomi yang lebih maju. Hal tersebut
hanya dapat didorong dengan pembangunan infrastruktur untuk menopang kegiatan
perekonomian masyarakat. Salah satu infrastruktur vital yang dibutuhkan adalah listrik.
Indonesia memiliki pendanaan yang terbatas untuk dapat membangun infrastruktur publik
tersebut. Ini sesuai dengan pandangan Gourevitch yang mengatakan bahwa terdapat sebuah
biaya masuk (entry cost) yang lebih sulit untuk dipenuhi dibandingkan dengan negara-negara
maju yang mengikuti tren globalisasi lebih dahulu.24 Dengan biaya masuk yang lebih tinggi
dan superioritas tren globalisasi, Indonesia harus bersedia mengikuti sistem yang telah ada
untuk dapat beradaptasi. Membangun PLTU Batang yang diperuntukkan untuk menyokong
industrialisasi di Pulau Jawa dengan skema KPS merupakan cara yang ditempuh untuk dapat
menjadi kompetitif di tingkat global.
Merujuk pada Tabel 1, interaksi yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan PT. BPI
menghasilkan sebuah pemenuhan kepentingan secara komplementer. Pasar memberikan apa
yang Indonesia butuhkan sebagai sebuah negara untuk berkembang dan bertahan di tengah
globalisasi pasar. Hal ini menempatkan PLTU Batang sebagai kasus hubungan internasional
yang menggambarkan proses turunan globalisasi. Dengan menggunakan skema KPS,
Pemerintah Indonesia dapat mengembangkan kawasan-kawasan industri di wilayah Pulau
Jawa dan diharapkan akan menciptakan nilai ekonomi yang lebih besar bagi negara.
Seperti halnya fenomena globalisasi ekonomi lainnya, peningkatan peran swasta yang
dilakukan dengan skema KPS memiliki konsekuensi yang besar bagi negara pada sisi kontrol
dan regulasi pemerintah terhadap ekonomi. Pada kasus PLTU Batang, Pemerintah Indonesia
membutuhkan sebuah komitmen dan serangkaian regulasi yang dapat memberikan kenyaman 23 Bertucci dan Alberti, "Globalization and the Role of the State,” 18. 24 Ibid.,19.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
11
dan keuntungan bagi pihak swsasta asing maupun domestik yang menjadi mitra, PT. BPI. Hal
ini sesuai dengan pandangan terkait peran negara yang menurun pada sisi kontrol ekonomi.25
Pemerintah Indonesia tidak berupaya sendiri untuk dapat menciptakan iklim yang
positif bagi perusahaan asing. Bank Dunia dengan instrumen yang dimiliki menjadi institusi
internasional yang ada untuk memperlancar proses interaksi yang terjadi antara Pemerintah
Indonesia dan PT. BPI. Walaupun tidak secara langsung terlibat selama proses interaksi yang
terjadi hingga saat ini, namun peran Bank Dunia merupakan alasan mengapa skema KPS pada
PLTU Batang ini dapat berjalan. Bantuan-bantuan yang diberikan Bank Dunia melalui IDPL
membentuk sebuah atmosfer investasi yang dianggap aman dan menguntungkan bagi swasta,
salah satunya adalah keberadaan PT. PII yang memberikan penjaminan. Hal ini menunjukkan
kuatnya pengaruh sistem internasional terhadap pembangunan PLTU Batang. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa proses interaksi yang terjadi antara Pemerintah Indonesia
dan PT. BPI merupakan fenomena domestik yang dipengaruhi oleh tren globalisasi dan aktor
internasional.
Kesimpulan
Skema Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS) merupakan strategi yang baru diadopsi
oleh Pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur
publik yang tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh pemerintah. Penggunaan skema ini dalam
pembangunan nasional memerlukan berbagai persiapan sehingga mampu menarik minat
perusahaan swasta untuk ikut serta dalam proyek infrastruktur public. Sebagai strategi yang
baru, tidak banyak keberhasilan yang dicapai dari skema tersebut. PLTU Batang yang
akhirnya mampu mencapai proyek konstruksi dengan modal awal yang sangat besar
merupakan sebuah keberhasilan besar Pemerintah Indonesia.
Skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat kompleksitas hubungan antara Pemerintah
Indonesia dan perusahaan multinasional (Itochu, J-Power, dan Adaro) yang tergabung dalam
PT. BPI dibalik keberhasilan tersebut. Sesuai dengan teori Political Bargaining Model (PBM)
yang dikemukakan oleh Lorraine Eden dkk, interaksi antara kedua aktor tersebut dikaji
berdasarkan variabel yang ada dalam teori PBM. Skripsi ini menunjukkan bahwa daya tawar
politik aktor pemerintah dan perusahaan multinasional mempengaruhi perhitungan mereka
dan berjalannya kerja sama yang dibentuk antara keduanya. Elemen-elemen yang ada pada
hubungan tersebut adalah tujuan dari tiap-tiap aktor, sumber daya dari tiap-tiap aktor, dan
25 Ibid., 20.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
12
kekuatan resistensi yang berpotensi menghentikan kerja sama tersebut. Agar kerja sama dapat
berjalan dengan baik, tujuan dari kedua aktor pemerintah dan perusahaan nasional harus
bersifat sejalan dan komplementer. Masing-masing aktor memandang sumber daya yang
dimiliki mitra kerja samanya sebagai sesuatu yang memiliki valuasi tinggi dan
menguntungkan. Serta, kemampuan untuk mengatasi resistensi yang ada. Penulis melihat
bahwa pada kasus pembangunan PLTU Batang aspek-aspek tersebut terpenuhi sehingga
proyek berjalan dan mencapai tahap kosntruksi, berbeda dengan proyek KPS lainnya.
Pada bagian tujuan dari tiap-tiap aktor, tujuan dari Pemerintah Indonesia dan PT. BPI
sejalan. Hal ini sesuai dengan teori interaksi pemerintah dan perusahaan yang diutarakan oleh
Eden dalam PBM. Pemerintah Indonesia sebagai sebuah otoritas yang memiliki tujuan untuk
memenuhi kewajiban pemenuhan elektrifikasi dan pembangunan ekonomi tidak memiliki
kemampuan yang cukup dalam membangun infrastruktur. Padahal potensi industri dan
permintaan masyarakat akan listrik terus bertambah. Di sisi lain terdapat perusahaan
multinasional J-Power, Itochu, dan Adaro yang berorientasi profit dan mencari pasar bagi jasa
dan teknologi yang mereka miliki. Dengan demikian, ketidakmampuan pemerintah Indonesia
menjadi peluang bagi konsorsium perusahaan multinasional ini untuk masuk dan mengisi
kekosongan yang ada pada sektor ketenagalistrikan. Pemerintah Indonesia mendapatkan
bantuan yang diharapkan untuk dapat memenuhi permintaan yang ada dan perusahaan
multinasional ini mendapatkan kesempatan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian,
tujuan masing-masing aktor dapat terpenuhi dalam proyek PLTU Batang.
Pada bagian sumber daya, perbandingan sumber daya keduanya memiliki tingkat yang
sama-sama kuat. Pemerintah Indonesia merupakan aktor yang memiliki daya tawar tinggi
dalam kasus PLTU Batang ini dengan kerangka hukum, komitmen yang ditunjukkan, dan
dukungan langsung dari institusi finansial besar seperti Bank Dunia. Komitmen Pemerintah
Indonesia termanifestasi nyata dalam bentuk PT. PII yang menjadi penjamin dan didukung
oleh Kementerian Keuangan. Keberadaan keduanya memperkecil risiko yang akan dihadapi
oleh aktor swasta. Ini memperbesar tingkat kepercayaan yang ada dari pihak swasta. Aspek-
aspek tersebut merupakan hal dilihat oleh perusahaan multinasional untuk menentukan
kepastian akan masa depan dari bisnis mereka. Pada sisi lain, kombinasi dari pendanaan,
akses sumber daya energi, dan teknologi merupakan firm specific advantages yang dimiliki
PT. BPI. PT. BPI memiliki daya tawar yang tinggi dengan karakteristik tiap-tiap perusahaan
multinasional yang menjadi anggota perusahaan konsorsium tersebut yaitu J-Power, Itochu,
dan Adaro. Kondisi daya tawar yang sama-sama tinggi ini menyebabkan saling ketertarikan
dan ketergantungan di antara keduanya. PLTU Batang terlihat sebagai proyek yang lukratif
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
13
untuk menjalankan bisnis dan PT. BPI terlihat sebagai aktor swasta yang tepat untuk
menjalankan PLTU Batang. Perbandingan sumber daya keduanya menunjukkan level yang
sama yang akhirnya membentuk sebuah interaksi yang saling bergantung. Lebih jauh lagi,
dibentuknya Joint Monitoring Committee (JMC) menjadi sebuah jembatan yang
menghubungkan tiap-tiap perbedaan yang ada dalam pelaksanaan proyek.
Terakhir, kemampuan menangani resistensi yang menjadi hambatan kerja sama.
Resistensi yang ada pada kasus PLTU Batang datang dari masyarakat Batang dan Greenpeace
Indonesia. Kekuatan utama resistensi ini adalah dengan tidak membiarkan proses pembebasan
tanah sehingga mengancam kerja sama dan berjalannya proyek secara keseluruhan. Namun,
Pemerintah Indonesia mengimplementasikan UU No. 2 Tahun 2012 yang secara tegas
menekan bentuk resistensi tersebut. Dengan demikian, kekuatan resistensi tersebut terbilang
lemah dan proyek kerja sama tetap berjalan.
Bentuk interaksi tersebut merupakan bagian dari fenomena yang lebih besar yaitu
globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang dibawa oleh institusi internasional seperti Bank
Dunia dan IMF serta ADB dan Pemerintah Jepang. Dengan demikian, implementasi skema
PLTU Batang tidak hanya memperlihatkan interaksi antara Pemerintah Indonesia dan PT.
BPI, namun sebuah konstelasi kepentingan aktor-aktor domestik maupun internasional dalam
konteks ekonomi politik internasional.
Aktor pertama adalah Pemerintah Indonesia yang memiliki kepentingan agregat
berupa kemajuan ekonomi negara. Hal tersebut merupakan dorongan yang diciptakan oleh
tren globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang memaksa negara untuk bersaing di tingkat
internasioal. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia mencoba menerapkan skema alternatif
seperti skema KPS pada PLTU Batang untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu,
kepentingan Pemerintah Indonesia juga dapat dilihat dari tingkat individu yang menjalankan
pemerintahan yaitu Presiden. Pemerintahan Presiden Yudhoyono dan Presiden Widodo
mendorong proyek ini agar memiliki reputasi baik di masyarakat.
Aktor kedua adalah perusahaan swasta asing dan domestik yang tergabung dalam
konsorsium PT. BPI. Kepentingan yang menjadi tujuan PT. BPI adalah keuntungan. Skema
KPS yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia memberikan kepastian keuntungan yang
dijamin oleh pemerintah. Oleh karena itu, PT. BPI berinteraksi dan mempertahankan kerja
sama tersebut. Dinamika kepentingan yang terjadi menjadi bersifat politik dengan kedekatan
Adaro dengan Pemerintah Indonesia baik pada masa Pemerintahan Presiden Yudhoyono dan
Presiden Widodo. Kedekatan ini menjadikan kerja sama antara PT. BPI dengan Pemerintah
Indonesia bersifat penting dan menjadi prioritas. Koneksi terhadap pemerintahan pada
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
14
akhirnya dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang membuat PT. BPI memiliki keunikan
dan keunggulan dalam aspek daya tawar politik.
Aktor ketiga adalah Pemerintah Jepang yang secara aktif terlibat di dalam proyek
PLTU Batang dan perkembangan skema KPS secara keseluruhan di Indonesia. Pemerintah
Jepang melalui JBIC secara langsung menjadi pemberi dana modal untuk membangun PLTU
Batang. Perdana Menteri Abe beberapa kali membahas PLTU Batang dengan pada masa
Presiden Yudhoyono dan Presiden Widodo menunjukkan sebuah dimensi politik dari proyek
PLTU Batang. Pemerintah Jepang mengharapkan sebuah keuntungan dari PLTU Batang baik
pada segi finansial berupa pengembalian modal, dukungan terhadap industry Jepang di luar
negeri, dan legitimasi kemampuan Jepang sebagai aktor yang kredibel di sektor
ketenagalisrikan global. Sebelumnya Pemerintah Jepang secara aktif mempromosikan skema
KPS melalui ADB dan JICA di Indonesia. Hal ini menunjukkan pengaruh yang besar dari
Jepang terhadap implementasi skema KPS pada proyek PLTU Batang.
Aktor lainnya adalah Bank Dunia melalui IFC. Bank Dunia sudah terlibat dalam
perekonomian Indonesia sejak lama dan penulis melihat bahwa skema KPS merupakan salah
satu pengaruh tersebut. Bank Dunia mempromosikan keterbukaan ekonomi sejalan dengan
globalisasi dan liberalisasi. Pemerintah Indonesia mampu menarik investor untuk
pembangunan PLTU Batang yang memiliki modal awal sangat besar karena peran Bank
Dunia. Keterlibatan Bank Dunia di sini merupakan agen dari tren globalisasi. Keberhasilan
implementasi skema KPS PLTU Batang akan menjadi sebuah argumentasi tambahan yang
dapat digunakan oleh Bank Dunia dalam mempromosikan skema tersebut bagi proyek
lainnya. Dengan demikian, Bank Dunia membantu agar proses interaksi yang terjadi antara
Pemerintah Indonesia dan PT. BPI berjalan dengan baik dan mencapai keberhasilan.
Aktor terakhir yang diungkap pada penelitian ini adalah masyarakat. Kebijakan
pemerintah akan secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Aktor ini merupakan aktor yang
sering kali terlupakan dalam pembahasan globalisasi ekonomi yang cenderung melihat
fenomena secara agregat dan pada perhitungan keuntungan ekonomi. Pembangunan PLTU
Batang memang diperuntukkan untuk mencipatakan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi
bagi Indonesia dengan asumsi hal tersebut akan menguntungkan masyarakat luas. Akan
tetapi, tidak semua masyarakat setuju dan merasa mendapatkan keuntungan dari
pembangunan PLTU Batang. Beberapa bagian dari masyarakat menjadi resisten dan kontra
terhadap kebijakan skema KPS tersebut. Kepentingan masyarakat di sini tidak dapat
digeneralisasi.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
15
Skema KPS secara kesuluruhan tidak dapat dilihat sebagai sebuah hubungan biasa
antara pemerintah dengan perusahaan swasta. Visi New Public Management (NPM) untuk
menjalankan sebuah sistem infrastruktur publik seperti sebuah entitas swasta tidak dapat
terlaksana karena sifat politik sektor ini sangat kuat. Adanya keuntungan yang sangat besar
dari sektor publik dan keberadaan koneksi politik antara perusahaan swasta dan pemerintah
sendiri mampu membentuk sebuah hubungan patronase yang memungkinkan keberpihakan
pemerintah terhadap beberapa aktor swasta. Kondisi seperti ini akan berpotensi untuk
menciptakan rantai-rantai rente yang berpotensi untuk memperlemah efektivitas ekonomi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat manfaat yang diberikan oleh teori political
bargaining model (PBM) milik Lorraine Eden dkk. Teori ini dapat memetakan pola interaksi
antara pemerintah dan perusahaan multinasional yang didasari oleh kepentingan. Pemetaan
yang ditawarkan oleh PBM bersifat komprehensif karena mencakup berbagai aktor yang
terlibat beserta kepentingan yang dimiliki masing-masing aktor. Teori ini membagi suatu
proses interaksi berdasarkan tujuan relatif, sumber daya, dan hambatan relatif. Masing-masing
dari kategorisasi tersebut membentuk sebuah analisis yang mampu mengungkap faktor-faktor
penting dibalik interaksi pemerintah dan perusahaan multinasional yang akhirnya
memberikan cara pandang baru terhadap sebuah fenomena yang ada.
Walaupun begitu, teori PBM memiliki kekurangan karena hanya menjelaskan
bagaimana suatu kerja sama antara pemerintah dan perusahaan multinasional dapat berjalan
dengan baik. Teori ini luput untuk menelik secara jauh dampak dari proyek dan nasib dari
variabel masyarakat dalam kerja sama tersebut. Pada kasus PLTU Batang, resistensi datang
dari kalangan masyarakat petani dan nelayan kecil yang merasa dirugikan dengan adanya
proyek tersebut. Petani dan nelayan Batang terancam masa depannya karena tanah yang
selama ini mereka menjadi sumber penghasilan mereka dan laut yang menjadi mata
pencaharian mereka tidak lagi dapat diandalkan. Bentuk-bentuk kerugian seperti itu tidak
secara komprehensif menjadi fokus teori PBM. Hal yang disoroti adalah apakah resistensi
tersebut dapat diatasi atau tidak.
Saran
Terkait temuan penelitian ini, paling tidak terdapat dua saran yang dapat diberikan
penulis, yakni yang bersifat akademik dan yang bersifat praktis. Secara metodologis,
penelitian ini perlu ditingkatkan dengan memperluas cakupan responden yang menjadi
sumber data primer dari tiap-tiap aktor yang ikut andil dalam proyek tersebut dapat terwakili.
Penelitian skripsi ini mengalami kendala dalam hal waktu, akses, dan dana untuk dapat
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
16
mencakup sumber-sumber tersebut. Namun, kekurangan tersebut ditutupi dengan sumber data
sekunder yang didapatkan dari siaran pers, kliping berita, dan keterangan dalam laporan yang
dikeluarkan perusahaan terkait. Sumber-sumber tersebut dipastikan keabsahannya dengan
melakukan pengecekan ulang terhadap tiap fakta dengan fakta-fakta lainnya yang terkait.
Secara teoritik, penelitian ini menunjukkan analisis ekonomi politik, terkait interaksi
dan kepentingan tiap-tiap aktor dalam pembangunan infrastruktur publik. Penelitian ini
memperlihatkan konstelasi aktor-aktor yang ada dalam kerja sama atau hubungan antara
negara dan perusahaan multinasional mencakup individu pada tingkat terkecil sebagai aktor
hingga institusi finansial internasional. Spektrum aktor yang sangat luas tersebut
memperlihatkan bagaimana ekonomi politik dalam suatu kebijakan negara merupakan hal
yang penuh dinamika kepentingan berbagai aktor.
Walaupun begitu, PBM tidak memberikan sebuah parameter untuk mengukur interaksi
sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan di dalam teori. Indikator yang diberikan bersifat
kualitatif seperti tujuan, sumber daya, dan hambatan relatif. Oleh karena itu, teori ini akan
menjadi lebih baik jika memiliki parameter kuantitatif yang dapat digunakan sebagai neraca
ukur kekuatan interaksi. Walaupun demikian, teori ini tetap mampu menggambarkan interaksi
yang ada dengan jelas dan cukup bermanfaat dalam menjelaskan mengapa suatu kerja sama
dapat berjalan.
Selain itu, penelitian ini akan sangat bermanfaat jika dapat lebih jauh lagi menggali
dan mencakup kepentingan di balik keikutsertaan institusi internasional dalam kasus tersebut
dan menganalisis lebih dalam kondisi masyarakat domestik dan aspirasi mereka yang dilabel
sebagai resistensi terhadap kerja sama tetapi di lain sisi merupakan aktor yang menjadi korban
dari dinamika ekonomi politik yang ada. Untuk menggali sisi tersebut penelitian ini dapat
juga dilakukan dengan perspektif sociological institutionalism yang dapat dilakukan dengan
mempertanyakan persepsi, nilai, norma dan asal muasal gagasan terkait persepsi masyarakat
dan pemerintah terhadap kondisi aktor di akar rumput dan relasi dengan sistem internasional.
Pada segi praktis, melihat dari hasil penelitian ini, setidaknya terdapat dua saran
praktis yang dapat dipelajari. Pertama, Pemerintah Indonesia jika ingin memacu pertumbuhan
dan pembangunan dengan keikutsertaan swasta, memerlukan komitmen yang sangat besar
sebagaimana yang ditunjukkan pada kasus proyek PLTU Batang. Hal ini membutuhkan fokus
yang sangat besar karena perusahaan multinasional membutuhkan kepastian yang tinggi pada
sisi profit atau keuntungan yang ingin mereka capai. Namun, yang lebih penting lagi adalah
saran kedua, mencakup dampak kerja sama terhadap masyarakat secara umum maupun
spesifik tempat proyek kerja sama dilaksanakan. Pembangunan ekonomi memang merupakan
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
17
hal yang penting, tetapi diperlukan juga pertimbangan secara menyeluruh agar hasil akhir
tidak merugikan masyarakat. Pembangunan ekonomi sudah seharusnya menyejahterakan
masyarakat, tidak hanya membangun reputasi pemerintahan atau pun menambah keuntungan
swasta saja.
Daftar Referensi Borcherding, T. S. Ferris, dan A. Garzini. The Growth of Real Government. Dalam J.
Backhaus dan R. Wagner. Handbook of Public Choice. Amsterdam: Kluwer Academic.
BUMN. (2016). Sukseskan Terapkan Kerja Sama Pemerintah Swasta untuk PLTU Batang PLN Raih Penghargaan Dari Menteri Keuangan. Diakses pada 27 Desember 2016, pukul 20.32 WIB, http://www.bumn.go.id/pln/berita/461/Sukses.Terapkan.Kerja.Sama.Pemerintah.Swasta.untuk.PLTU.Batang,.PLN.Raih.Penghargaan.Dari.Menteri.Keuangan
Cable, V. (1995). The diminished nation-state: A study in the loss of economic power. Daedalus, 23-53.
Checkel, Jefferey T. Process Tracing. Dalam Audie Klotz dan Deepa Prakash. Qualitative Methods in International Relations: A Pluralist Guide ed. New York: Palgrave Macmillan.
Cootner, P. H. (1963). Social overhead capital and economic growth. In The economi
Dagdeviren, H. (2011). Political economy of contractual disputes in private water and sanitation: lessons from Argentina. Annals of Public and Cooperative Economics, 82(1), 25-44.
Downs, A. (1957). An economic theory of political action in a democracy. Journal of Political Economy, 65(2), 135-150.
Eden, Lorraine Stefanie Lenway, dan Douglas A. Schuler. (2005). From the Obsolescing Bargain to the Political Bargaining Model. Dalam Robert Grosse, International Business and Government Relations in the 21st Century. Cambridge: Cambridge University Press.
Flyvbjerg, B. (2006). Five misunderstandings about case-study research. Qualitative inquiry, 12(2), 219-245. Dalam Vennesson, P. (2008). 12 Case studies and process tracing: theories and practices. Approaches and methodologies in the social sciences, 223.
Fulmer, J. (2009). What in the world is infrastructure. PEI Infrastructure investor, 1(4), 30-32.
George, A. L., & Bennett, A. (2005). Case studies and theory development in the social
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017
18
Gerring, J. (2006). Case study research: Principles and practices. Cambridge University Press.
Kenny, James dan Rene Lavanchy. (2016). Emerging Partnerships : Top 40 Public-Private Partnerships (PPPs) in Emerging Market. World Bank. 24. Diakses pada 19 Februari 2017, 12.30 WIB, http://documents.worldbank.org/curated/en/735231468162282764/Emerging-partnerships-top-40-public-private-partnerships-PPPs-in-emerging-markets.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPIP). (2017). Batang Power Plant. Diakses pada 27 Desember 2016, pukul 20.30 WIB, http://kppip.go.id/en/priority-projects/electricity/batang-power-plant-central-java-power-plant/.
Ozdoganm, I. D., & Talat Birgonul, M. (2000). A decision support framework for project sponsors in the planning stage of build-operate-transfer (BOT) projects. Construction Management & Economics, 18(3), 343-353.
PLN Persero. (2013). Statistik PLN 2013. Diakses pada 27 Desember 2016, pukul 20.32 WIB http://www.pln.co.id/dataweb/STAT/STAT2013IND.pdf.
PricewaterhouseCoopers Indonesia. (2013). Power in Indonesia. Diakses pada 27 Desember 2016, pukul 20.32 WIB, http://www.pwc.com/id/en/publications/assets/electricity-guide-2013.pdf.
PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero). (2017). Proyek. Diakses pada 19 Februari 2017, 12.30 WIB, http://www.iigf.co.id/id/project/recent-projects .
Sauer, R. D. (2001). The political economy of gambling regulation. Managerial and Decision Economics, 22(1�3), 5-15.
Simon, H. A. (1985). Human nature in politics: The dialogue of psychology with political science. American Political Science Review, 79(02), 293-304.
Surachman, E. N., Fiskal, P. B. K., & Keuangan, K. (2014). Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund): Harapan Baru Pembangunan Infrastruktur di Indonesia, diakses pada 26 Desember 2016, pukul 16.04 WIB, http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Dana%20Dukungan%20Tunai%20Infrastruktur%20VGF%20Harapan%20baru%20pembangunan%20infrastruktur%20di%20Indonesia.pdf.
Vernon, R. (1971). Sovereignty at bay: The multinational spread of US enterprises. Thunderbird International Business Review, 13(4), 1-3.
Vining, A. R., & Boardman, A. E. (2014). Self-interest Springs Eternal: Political Economy Reasons why Public-Private Partnerships Do Not Work as Well as Expected. DICE Report, 12(3), 17.
Pembangunan Infrastruktur ..., Qurrat Aynun Abu Ayub FISIP UI, 2017