pembahasan uts sastra bandingan

Download Pembahasan UTS Sastra Bandingan

If you can't read please download the document

Upload: vhiiettdaciuhma

Post on 02-Feb-2016

274 views

Category:

Documents


26 download

DESCRIPTION

uts

TRANSCRIPT

ESAIHaiku dan KematianPosted onAgustus 16, 2014 by Patriae HabitatorPaya tua beradu cendera/Tersingkir, sunyi./Katak terjun, plung. Demikian salah satu terjemahan Amir Hamzah atas haiku yang diciptakan Matsuo Basho (1644-1694) pada tahun 1686 dalam kumpulan karya terjemahannya Setanggi Timur (1939). Tujuh tahun setelah mengumumkan Setanggi Timur, Amir Hamzah tewas dibunuh dalam sebuah tragedi di kesultanan Langkat. Dalam sebuah esai berjudul Haiku (Kompas, 16 Oktober 2005), Hasif Amini mengutip sebuah terjemahan atas haiku tersebut (kemungkinan besar dari versi Inggris ini: old pond/a frog jumps in/waters sound) menjadi seperti ini: Kolam tua/Seekor katak terjun/Plung.Haiku, yang dirintis oleh Basho, dalam perkembangannya mempengaruhi sejumlah penyair dan gerakan sastra dari berbagai belahan dunia. Gerakan imajisme yang dipelopori Ezra Pound serta Beat Generations adalah contohnya, yang di dalamnya terdapat nama-nama seperti Yone Noguchi (1875-1947), Allen Ginsberg (1926-1997) dan Jack Krouac (1922-1969). Jika ditarik ke masa yang lebih dekat, ada sastrawan sekelas Tomas Transtrmer (1931-sekarang) peraih Nobel Sastra 2011 yang juga tergoda untuk menulis haiku. Pengertian sederhana haiku dapat ditarik dari contoh yang dikemukakan. Haiku adalah tiga larik pendek yang semata melukiskan sebuah momen serta lanskap, tanpa menguraikannya. Dalam versi yang lebih panjang, haiku diuraikan sebagai puisi yang terikat dengan tradisi kesusasteraan semasanya, dengan jumlah on (karakter, huruf hiragana) tertentu, yakni 5, 7, 5; memiliki kigo atau kidai yakni kata-kata yang melambangkan musim; serta kireji yang berfungsi antara lain memotong haiku menjadi dua bagian. Dalam bahasa Inggris, on diterjemahkan sebagai silabel, David Landis Barnhill bahkan menyebutnya sebagai struktur ritme (rhythm) (seperti diuraikannya dalam buku terjemahan atas haiku-haiku Basho yang dikerjakannya, Bashos Haiku: Selected Poems of Matsuo Basho, New York: State University of New York Press, 2004). Dalam perbandingannya dengan pantun, haiku serupa tiga larik pendek sampiran tanpa larik-larik isi. Ia mengembalikan kekuatan penyerapan rupa (image) kepada spontanitas pencitraan (imagery) dalam larik yang ringkas dan padat.Simaklah bagaimana citraan memadat menjelaskan musim sekaligus menghadirkan paradoks pada haiku kolam tua tersebut. Kata sifat tua yang menjadi bagian frasa kolam tua (old pond) boleh jadi ingin menyampaikan anasir uzur, lampau, nyaris terbenam yang menampilkan nuansa musim gugur atau kelam menjelang malam atau kematian. Tapi di dua larik selanjutnya, paradoks hadir dalam puisi tersebut: seekor katak terjun (a frog jumps in) dan plung (waters sound). Dua larik ini menampilkan citraan yang sangat lekat dengan aroma musim semi, musim segala kehidupan bertunas, musim pertiwi menyembulkan mata air.Beberapa abad setelah Basho, salah satu penulis Jepang berpengaruh dari aliran imajisme Yonejiro Noguchi, menulis salah satu haikunya (dalam kumpulan puisinya Japanese Hokkus, 1920): Sudden pain of earth/I hear in the fallen leaf./Lifes autumn, I cry. Marilah kita simak terjemahannya: Derita bumi yang sekejap/Kudengar dalam gugur daun./Hidup adalah musim gugur, pekikku. Haiku Noguchi tentu saja lebih revolusioner, sebab haiku dari kumpulan Japanese Hokkus itu pun ditemukan lagi dalam kumpulan puisi lengkapnya Selected Poems of Yone Noguchi (Boston: The Four Seas Company, 1921: 123) yang ia seleksi sendiri dan ditulis dalam bahasa Inggris (yang membuat haikunya tentu tidak lagi perlu terikat pada on). Di tangan Noguchi, haiku menjadi jauh lebih bebas. Meskipun jumlah 5, 7, 5 pada struktur on diganti dengan struktur silabel berjumlah sama, makna leksikal haiku dari masa Basho mendapat perluasannya di tangan penyair seperti Noguchi. Dan dengan demikian haiku tidak hanya merupakan bagian dari tradisi Jepang, melainkan turut mengambil bagian dalam khazanah sastra dunia.Diksi-diksi pada tiap larik haiku Noguchi itu tidak berusaha menghadirkan paradoks seperti yang ditampilkan dalam haiku kolam tua Basho, meskipun citraan yang digunakan Noguchi jauh lebih abstrak. Jika Basho menggunakan citraan-citraan benda yang mampu diserap secara inderawi, Noguchi menyampaikan citraan yang yang sebaliknya. Bagaimana derita bumi diinderai dalam suara gugur daun? Pekik apakah yang disampaikan daun yang gugur? Mengapa hidup adalah musim gugur? Diksi yang digunakan Noguchi sepertinya ingin mendirikan struktur haiku yang saling mengokohkan sebagai sebuah bangunan yang memancarkan penderitaan dan kematian. Derita (pain) pada larik pertama, gugur (fallen) pada larik kedua, dan musim gugur (autumn) pada larik ketiga adalah diksi yang merujuk pada suasana kelam, dukacita dan kematian. Tapi di situ, di antara diksi-diksi itu, ayah dari pematung Jepang terkenal Isamu Noguchi itu menyisipkan hidup (life). Hidup adalah musim gugur dapat dibaca sebagai contradictio in terminis, atau paradoks itu sendiri, yang memadatkan sekaligus membaurkan yang bertumbuh (vivus) dan yang gugur (mortuus), yang muncul dan yang lenyap.Dua tahun setelah Japanese Hokkus (kumpulan puisi yang memuat haiku-haiku Noguchi) terbit, Jack Krouac lahir. Dengan kesadarannya terhadap haiku sebagai bagian khazanah sastra dunia (yang tak lagi perlu terikat ketat pada on sebab tidak lagi ditulis hanya dalam bahasa Jepang), penyair Beat Generation itu menulis salah satu haikunya di antara masa-masa produktifnya: Birds singing/in the dark/Rainy dawn. Haiku Krouac ini juga tak terikat pada tertib silabel seperti haiku Noguchi. Haiku dapat juga dihubungkan dengan tradisi Zen, dan Krouac adalah salah satu penyair yang menyuarakan Buddhisme dalam karya-karyanya. Krouac adalah penyair Amerika Serikat yang menulis dalam bahasa Inggris dan pepatah life begins at fourty pun ditulis dalam bahasa yang sama. Maka Krouac hanya menikmati tujuh tahun setelah kehidupannya benar-benar dimulai. Burung-burung bernyanyi/di dalam gulita/fajar yang murung. Demikianlah terjemahan bebas atas haiku Krouac tersebut. Sekali lagi, ada pertentangan di situ, yang memperhadapkan gulita dan fajar, yang mengadu burung-burung yang bernyanyi dengan kemurungan. Gulita mengalihkan nyanyian (dalam pengertian luas) menjadi rekuiem atau lamentasi (nyanyian dukacita/ ratapan), meskipun di situ diletakkan fajar. Dengan demikian, gulita pun mengubah burung-burung menjadi segerombolan gagak yang menggaokkan sirine kematian.Sirine kematian pun dibunyikan dalam salah satu haiku penyair Swedia Tomas Transtrmer. Dalam serangkaian haiku yang dikumpulkan dalam satu sajak berjudul Haiku Poems (dalam kumpulan puisinya yang berjudul The Sorrow Gondola), Transtrmer menulis haiku terakhirnya: Oak trees and the moon./Light and mute constellations./And the frigid sea. Versi Indonesia haiku ini menjadi: Pohon-pohon ek dan bulan./Gugusan bintang terang dan bisu./Dan laut yang dingin. Tiga larik itu, yang terjalin atas kata-kata benda pohon-pohon ek, bulan, gugusan bintang dan laut dan kata-kata sifat terang, bisu dan dingin mampu membangun metafora (dalam pengertian luas) tentang kematian yang disimbolkan dengan suasana alam malam. The Sorrow Gondola adalah kumpulan puisi Transtrmer yang tema mayornya memang berbicara tentang kematian, kepedihan, dukacita dan kehilangan. Peter Englund, Sekretaris Tetap Akademi Swedia, lembaga yang menganugerahkan Nobel Sastra 2011 kepada Transtrmer pernah berujar, Ia menulis tentang pertanyaan-pertanyaan besar. Ia menulis tentang kematian, ia menulis tentang sejarah dan memori, dan alam.Ketika dunia menempatkan Transtrmer di jajaran penulis papan atas karena Anugerah Nobel Sastra yang diterimanya, Matsuo Basho mungkin telah dilupakan. Tapi Basho pun menulis tentang kematian seperti Transtrmer. Sebuah haiku yang ditulisnya tahun 1694 berbicara tentang kematian: ill on a journey/my dreams roam round/over withered fields. Kita boleh menerjemahkannya seperti inisengaja saya terjemahkan dengan struktur silabel 5, 7, 5: sakit di jalan/mimpiku mengembara/di padang gersang. Kita pun boleh menganggap kematian yang dipancarkan oleh larik-larik itu sebagai metafora. Tapi pada tahun 1694 itu, Basho mengembuskan napas terakhirnya. Di hadapan keagungan dan daya pukau haiku-haikunya, kita pun masih boleh menganggap kematian Basho itu sebagai metafora. Sebuah metafora yang mengabadikan tempat haiku dalam khazanah sastra dunia.https://mariolawi.wordpress.com/2014/08/16/haiku-dan-kematian/MENGENALI STRUKTUR PENULISAN AMIR HAMZAH, CHAIRIL ANWAR, DAN DIMAS ARIKA MIHARDJAOleh : Hadi NapsterMasih tentang pembicaraan licentia poetica dalam kaitannya dengan konvensional bahasa, pada kesempatan ini kita awali dengan kutipan pendapat dari Atmazaki (1993: 70-72) yang menulis; Ada tiga faktor yang menjadi penyebab licentia poetica digunakan oleh penyair, yaitu sebagai berikut: 1) Pada dasarnya penyair menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman puitik tersebut lebih banyak berhubungan dengan emosi dan intuisi daripada rasio, ilmu dan ilmiah; 2) Karena pengucapan puisi lebih pendek daripada pengucapan non puisi maka berbagai unsur yang menurut penyair mengganggu pengucapan puitiknya akan dihilangkan atau dibuang; 3) Sastrawan (penyair) adalah orang yang mampu menggunakan bahasa untuk tujuan tertentu.Selanjutnya beragam pendapat tentu dapat leluasa bertumbuh-kembang. Dengan acuan kutipan di atas, masing-masing kalangan bisa membuat opini sendiri-sendiri. Tanggapan pun tentu akan berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang apa yang digunakan untuk melihat licentia poetica. Misalnya ketika kita berdiri dalam lingkup "ragam resmi", sudah pasti tidak akan sama dengan ketika kita mengedepankan "ragam puitis". Atau misalnya jika kita mengikuti arus licentia poetica dengan pemahaman bahasa sebagai alat komunikasi umum, akan berbeda jauh dengan ketika kita menyikapinya atas dasar pemahaman bahasa sastra.Adapun dalam tulisan ini, sudut pandang yang akan kita gunakan ialah aspek konvensional dalam lingkup bahasa umum (tulisan, non lisan). Mengapa demikian? Karena bagaimanapun juga, konvensi bahasa yang dibakukan dalam bentuk kaidah bahasa bernama EYD, adalah "sesuatu" yang memang telah dan sedang terjadi -- serta terus berproses. Sedangkan paradigma konvensi itu sendiri berjalan dalam tataran masyarakat bahasa secara umum, bahkan selalu dianjurkan untuk diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Sementara karya-karya sastra yang konon banyak mengandalkan licentia poetica --ragam puitis non konvensi-- pada kenyataannya bukan hanya dibaca oleh masyarakat bahasa sastra, tetapi juga menjadi konsumsi masyarakat bahasa secara umum.Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimanakah kira-kira resepsi kita sebagai masyarakat bahasa (dalam lingkup komunikasi umum) yang selalu dan senantiasa dianjurkan agar berbahasa secara konvensional --terutama melalui bangku pendidikan-- akan menyikapi masalah licentia poetica ini? Sudahkah kita mengetahui perihal tata, letak, bentuk, dan lain sebagainya menyangkut licentia poetica dalam karya-karya sastra yang kita baca sehari-hari? Lantas sudahkah kita memahami struktur-struktur seperti apa dalam karya sastra (khususnya puisi) yang tergolong penyimpangan kaidah bahasa dan sebagainya yang digolongkan licentia poetica?Memang, sejauh ini licentia poetica adalah mutlak milik individu penggunanya, terutama kalangan penyair. Tidak ada satu penyair pun dapat disama-setarakan dengan penyair lainnya dalam hal penggunaan licentia poetica. Para penyair sendirilah yang harus mengenal, menentukan, lalu menguasai dan menumbuh-kembangkan licentia poetica masing-masing. Tentunya tidak boleh dilupakan juga -- dan teramat sangat penting: konsistensi serta tanggung jawab yang "wajib" diemban bagi segala bentuk licentia poetica yang hendak atau telah diterapkan.Harus ditilik dan dicermati pula, bahwasanya licentia poetica bukanlah berarti "lampu hijau" bagi para penyair untuk melanggar kaidah bahasa begitu saja. Karena ketika melakukan penyimpangan kaidah bahasa dalam karya sastra, haruslah ada alasan kuat serta tujuan akurat. Akan lebih baik jika maksud dan tujuannya ialah demi kepentingan komunikasi, agar karya sastra lebih mudah dipahami pembaca. Karena sekali lagi, pembaca karya sastra bukan hanya satu-dua orang saja, bukan hanya masyarakat yang menggeluti sastra saja, melainkan masyarakat bahasa secara luas -- yang selalu dianjurkan untuk berbahasa konvensional.Artinya, akan ada pengharapan (kelak) bahwa kecenderungan paham "seni untuk seni" yang masih kental dalam aktivitas kesusastraan selama ini, dapat sedikit bergeser ke arah "seni untuk masyarakat". Sehingga dalam perkembangannya, licentia poetica tidak akan tumpang tindih lagi dengan kaidah bahasa. Melainkan sedapat mungkin berjalan beriringan, hampir-menghampiri, jalin-menjalin, lalu saling melengkapi antara satu dengan yang lain, demi tujuan pencapaian "komunikasi" maksimal dalam lingkup masyarakat bahasa secara luas. Karena diakui atau tidak, kaidah bahasa dimaksud adalah produk konsensus yang ditujukan sebagai pengatur serta pengontrol, dengan tujuan agar bahasa menjadi teratur, tertata, berwibawa, dan berkembang sebagai salah satu citra baik bagi bangsa.Kalaupun kemudian lantas terjadi pelanggaran terhadap kaidah bahasa, maka hendaknya tetap diperhitungkan: siapa yang melanggar, karya jenis apa yang ditulis, serta kaidah mana yang dilanggar? Sebab merupakan sesuatu yang sangat mustahil jika harus membuat perlakuan sama terhadap tulisan-tulisan jenis karya sastra (khusunya puisi) dengan tulisan-tulisan formal seperti skripsi, tesis, disertasi, jurnal, esai, atau karya ilmiah lainnya. Kaidah bahasa sendiri juga banyak rupa dan ragamnya, bukan satu jenis saja. Dengan kata lain: akan teramat rancu jika harus memandang licentia poetica dari balik kaca mata kaidah bahasa konvensional. Tetapi tidak ada salahnya jika kita mencoba untuk paling tidak mencari tahu, mengenal, lalu berusaha memahami keberadaan licentia poetica di dalam karya sastra yang kita tulis dan baca sehari-hari.Menyinggung sedikit kaitannya dengan karya sastra --penyair dan karyanya-- licentia poetica sebenarnya lebih cenderung menjadi ciri atau karakter khusus seorang penyair yang bisa kita temukan di dalam karya-karyanya. Maksudnya, licentia poetica memang merupakan wewenang penuh dan mutlak bagi seorang penyair untuk menentukan metode, pola, gaya, maupun cara pengungkapannya, dalam rangka membangun sebuah karya sastra demi pencapaian tujuan tertentu termasuk komunikasi dengan pembaca. Tetapi harus digarisbawahi juga, bahwa licentia poetica bukanlah "pembelaan" yang patut dikedepankan oleh penyair ketika pembaca atau penghayat mendapati lalu mempertanyakan sesuatu dalam karyanya yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa.Lebih bijak jika dikatakan; idealnya, kalangan penyairlah yang mestinya lebih dahulu memahami kaidah bahasa sebelum menulis. Agar nantinya ketika ada pertanyaan sehubungan kaidah bahasa yang muncul terkait karyanya, harga mati berupa tanggung jawab untuk menerang-jelaskan karya itu pun dapat diserukan selantang-lantangnya. Jangan sampai kejadiannya justru seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini, di mana banyak penyair --terutama angkatan puber dan euforia sastra-- justru pusing sendiri ketika hendak menjawab pertanyaan perihal karyanya. Tak jarang malah banyak yang diam-diam melarikan diri, lalu "gantung pena" dan memutuskan untuk menjadi penyair yang pensiun dini.Apa pasal? Apa lagi kalau bukan karena pembaca (yang membaca) ternyata lebih paham kaidah bahasa daripada penyair (yang menulis). Masih mending jika penyair bisa terbuka dan berjiwa besar menyikapi wacana kritis dari luar, tapi kalau tidak? Misalnya -- kasus ini sangat sering terjadi; ketika ada pembaca yang menanyakan hal-hal mendasar seperti "kata depan" dalam sebuah tulisan (puisi) yang berubah bentuk menjadi "awalan". Jawabannya bisa ditebak: segera buka google, masuk ke situs wikipedia, lalu cari artikel EYD. Selanjutnya copy-paste dan balas komentar. Atau jika sedang malas mencari informasi di internet, tinggal jawab saja: penulisan seperti itu adalah termasuk kebebasan licentia poetica. Menerima jawaban demikian, pembaca yang bertanya pun tersenyum miris, sinis, dan meringis. Membayangkan derap langkah "sastra" yang bukannya maju ke depan, tetapi mundur jauh ke belakang, lantaran adanya "pembelaan mutlak" bernama licentia poetica.Tanpa bermaksud membandingkan, sebagai ilustrasi sederhana keterkaitan licentia poetica dengan kaidah bahasa (EYD), bisa kita kedepankan tiga orang penyair berikut karya-karyanya, dari tiga periodisasi sastra yang berbeda. Untuk selanjutnya secara bersama-sama kita telusuri sejauh mana cakupan licentia poetica dimaksud jika dipandang dari segi struktur penulisan. Dalam hal ini kita mengusung referensi syair-syair "istana sentris" Amir Hamzah (Angkatan Pujangga Baru), sajak-sajak "ekspresif" Chairil Anwar (Sastrawan Angkatan '45), hingga puisi-puisi "sexy" Dimas Arika Mihardja (Sastrawan Angkatan 2000-an).Amir Hamzah dalam syair-syairnya, ketika menuliskan kata ulang (reduplikasi), tetap patuh pada kaidah bahasa dengan menggunakan tanda hubung (-), seperti pada kata: bertukar-tukar; memohon-mohon; melayang-layang; tulang-belulang; turun-temurun, dan kata lainnya. Kepatuhan terhadap kaidah bahasa juga masih terlihat kala Amir Hamzah menuliskan ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan, tetap menggunakan huruf awal kapital, seperti pada kata: Allah. Syair-syairnya pun selalu tertib mengawali larik atau bait dengan huruf kapital. Kesemuanya itu masih berjalan dalam koridor kaidah bahasa.Kemungkinan licentia poetica baru akan muncul manakala kita dapati bahwa Amir Hamzah "sering" menggunakan tanda penghubung pada kata-kata yang mengandung unsur bunyi aliterasi dan asonansi (meski bukan merupakan kata ulang), seperti: mutu-mutiara; membidai-belai; jauh-terjatuh; marak-sumarak; atau nipis-tipis.Namun apakah layak kita golongkan licentia poetica masalah penulisan partikel "di" dan "ke" yang sebenarnya berfungsi sebagai kata depan (preposisi) --yang menurut kaidah bahasa harus ditulis terpisah dengan kata keterangan tempat yang mengikutinya-- justru ditulis terangkai dalam kebanyakan syair Amir Hamzah? Misalnya pada kata: diatas; diantara; dihadapanmu; diujung; dibawah; didalam; atau kedalam. Entah kasus ini merupakan dampak perubahan kaidah bahasa --karena kaidah bahasa lama memang masih menuliskan kata depan "di" dan "ke" secara terangkai dengan kata yang mengikutinya-- atau karena ada sebab lain. Yang pasti, dalam syair-syair lainnya sebagian kata depan sudah dituliskan terpisah sesuai dengan kaidah bahasa yang baru.Lalu bagaimana dengan larik-larik dalam beberapa syair Amir Hamzah yang pada akhir lariknya menggunakan 11 hingga 13 tanda titik? Contoh:Mata hari - bukan kawanku...........(Padamu Jua)Tetapi aku tiada merasa...........(Tetapi Aku)Menurut hati menaruh rindu.............(Batu Belah)Apakah penggunaan tanda titik seperti di atas termasuk licentia poetica juga? Karena menurut kaidah bahasa, tanda elipsis (...) yang difungsikan sebagai penanda dalam kalimat terputus, atau naskah jika ada bagian yang dihilangkan, ketika posisinya berada di antara kalimat maka yang digunakan adalah tiga tanda titik (...), sedangkan jika posisinya berada pada akhir kalimat maka yang digunakan adalah empat tanda titik (....) -- tambahan satu titik untuk menandai akhir kalimat.Kita tinggalkan sejenak Raja Syair Angkatan Pujangga Baru, sekarang mari menelusuri sajak-sajak "binatang jalang" milik pelopor Angkatan '45, Chairil Anwar. Kepatuhan pada kaidah bahasa juga ditunjukkan Chairil Anwar ketika menuliskan kata ulang (reduplikasi) dengan tetap menggunakan tanda hubung (-), seperti pada kata: sia-sia; dikoyak-koyak; abu-abu; burung-burung; tulang-tulang; buah-buahan; kelok-kelok; katil-katil; ahli-ahli; bermuka-muka; bernyala-nyala; hampir-menghampiri; dan kata-kata lainnya. Kebiasaan menggunakan tanda hubung (-) pada kata yang mengandung unsur bunyi aliterasi dan asonansi nampaknya dipakai juga oleh Chairil Anwar (dalam beberapa sajak), seperti: bergenderang-berpalu; dinanti-dimengerti; atau datar-lebar.Begitu pula ketika menuliskan unsur-unsur nama atau kata ganti untuk Tuhan, nama orang, nama bangsa, suku bangsa, dan nama unsur geografi (baca: kota), Chairil Anwar selalu konsisten dengan menggunakan huruf awal kapital. Contoh: Tuhanku; Kau; Dia; cayaMu; pintuMu; Ahasveros; Eros; Hitler; Masyumi-Muhammadiyah; Chairil; Mirat; Nina; Yati; Yahudi; Jerman; Eropa; Amerika; Capitol; Krawang-Bekasi; dan kata lainnya. Sajak-sajaknya pun selalu identik dengan huruf kapital pada awal larik atau bait, sama seperti Amir Hamzah.Aturan kaidah bahasa tentang penggunakan tanda penyingkat apostrof (') untuk menunjukkan penghilangan bagian kata sepertinya tetap diikuti juga oleh Chairil Anwar. Hal ini terlihat ketika menyingkat kata akan menjadi 'kan dalam beberapa larik sajak-sajaknya, seperti:Kumau tak seorang 'kan merayu(Semangat)Karena kau tidak 'kan apa-apa(Tak Sepadan)Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi(Kepada Kawan)Kemungkinan licentia poetica seorang Chairil Anwar akan terlihat jelas pada gaya penulisan yang "gemar" merubah susunan atau pola gramatikal kalimat. Karena merupakan hal lazim jika dalam sajak-sajak Chairil Anwar kita temui susunan kata pada tingkat frasa yang lebih banyak menggunakan bentuk "majemuk regresif" dengan pola M-D (Menerangkan-Diterangkan) daripada bentuk "majemuk progresif" dengan pola D-M (Diterangkan-Menerangkan). Contoh:setumpuk kecil, menjadi: kecil setumpuk(Penghidupan)Udara kabut tebal, menjadi: Udara tebal kabut(Ajakan)Pada tingkat klausa juga terjadi hal yang sama, yakni dengan membentuk berbagai variasi struktur fungsional dan sama sekali tidak terikat pada pola S-P-O/ket/pel (Subjek-Predikat-Objek/keterangan/pelengkap). Contoh:Ini barisan tak bergenderang-berpalu(Diponegoro)Semestinya: Barisan ini tak bergenderang dan berpaluMampus kau dikoyak-koyak rindu(Sia-Sia)Semestinya: Kau mampus karena dikoyak-koyak rinduKemudian, meski tidak seberapa jumlahnya, Chairil Anwar juga terkadang memotong atau menghilangan prefiks (awalan) "me-" ketika menuliskan kata kerja (verba). Hal ini terlihat dalam sajak "Penghidupan" ketika membaca larik:mukul dentur selamanguji pematang kitaSampai pada tahapan ini, tentu sudah terbayang poin-poin mana yang layak dikategorikan licentia poetica dan mana yang tidak. Setelah menelusuri kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam struktur penulisan Amir Hamzah dan Chairil Anwar, sekarang mari kita melangkah maju ke generasi yang lebih muda. Tepatnya ke periodisasi Sastrawan Angkatan 2000-an untuk sedikit mencari peluang licentia poetica dalam struktur penulisan puisi-puisi "sexy" Dimas Arika Mihardja (DAM).Sama halnya dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar, penggunaan huruf awal kapital pada unsur-unsur nama dan kata ganti untuk Tuhan masih dipakai juga oleh DAM (dalam beberapa puisi). Bahkan di sini menjadi karakter tersendiri karena selalu dipertegas dengan menyisipkan tanda hubung (-), seperti terlihat pada kata: ya Allah; Nur Ilahi Robbi; Pujangga Sejati-Allah; sajadah-Nya; untuk-Mu; sajak-Nya; istana-Nya; ampunan-Nya; dan kata lainnya. Tetapi, penghayatan akan langsung dihadapkan pada atmosfer multi-tafsir ketika dalam puisi lainnya kita justru mendapati penulisan "serupa" namun tidak mengandung huruf kapital. Contoh: degup-nya; kilau-nya; hadapan-nya; kelebat-nya; terompah-mu; pangkuan-mu; wajah-mu; dan kata-kata lainnya. Nah, apakah licentia poetica kira-kira termasuk juga meliputi gaya penulisan ini?Khusus untuk penulisan unsur-unsur nama orang, nama bangsa atau suku bangsa, dan unsur geografi, meski dalam beberapa puisi masih kita jumpai penulisan dengan huruf awal kapital, akan tetapi DAM lebih "dominan" menggunakan huruf kecil. Contoh: indonesia; jogja; kulonprogo; jambi; nyi roro kidul; malin kundang; maridjan; ahmad; yessika; nelly; dimas; pras; erny; dan yang lainnya. Pertanyaan kembali muncul, apakah gaya penulisan ini juga tergolong licentia poetica?Melangkah lagi pada penulisan kata ulang (reduplikasi). Di sinilah kita mulai disuguhi salah satu ciri khas kebanyakan puisi DAM, yakni penghilangan tanda hubung (-) dalam kata ulang. Contoh: ayatayat; diamdiam; mimpimimpi; musimmusim; orangorang; semaksemak; bidukbiduk; tersayatsayat; melengkinglengking; dan masih banyak lagi kata lainnya. Tetapi gaya penulisan ini tidak berlaku secara keseluruhan, karena dalam puisi lainnya kita masih mendapati penulisan kata ulang yang tetap menggunakan tanda hubung (-), seperti: makam-makam; rama-rama; sayap-sayap; bale-bale; nada-nada; mimpi-mimpi; pintu-pintu; resah-resahku; mengiris-iris; mengendap-endap; dan kata-kata lainnya.Kemudian, ketika menuliskan kata-kata yang (kemungkinan) dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan tertentu, DAM selalu menggunakan tanda hubung (-) atau tanda pisah (--). Contoh: senyum-canda; rumah-amanah; sandang-papan-pangan; suarasuara-maknamakna-lukaluka; riak-ombak-gelombang; mengejar matahari--membakar sesaji; menebar jala--merenda makna; komandan upacara--ibu pertiwi; sajakku--anggurnya; tragedi--demi--tragedi; dan masih banyak lagi kata atau ungkapan lainnya.Dalam menuliskan kata "kau" (kata ganti orang kedua tunggal) yang diikuti oleh kata kerja (verba) "tak berimbuhan -- awalan", maka kedua kata tersebut akan selalu dirangkai menjadi satu kesatuan oleh DAM. Tetapi harap dicatat; ada beberapa puisi "tertentu" yang menjadi pengecualian, dan penulisan ini juga tidak berlaku jika kata yang mengikuti kata "kau" adalah kata yang berimbuhan "awalan". Contoh: kautenggak; kauziarahi; kaugubah; kaualiri; kausembunyikan; kausapa; kaukirim; dan kata-kata lainnya. Jangan lupakan pula kemungkinan licentia poetica yang lain dalam puisi-puisi DAM, yaitu mayoritas puisinya (tidak semua), sangat identik dengan "huruf kecil" dari awal hingga akhir. Tidak sama dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang selalu memulai larik atau bait syair dan sajak mereka dengan huruf kapital.Selanjutnya, penghilangan prefiks (awalan) "me-" ketika menuliskan kata kerja (verba) sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar dalam puisi "Penghidupan" nampaknya justru menjadi ciri khas DAM selanjutnya. Ihwal ini akan kita dapati langsung dalam larik-larik beberapa judul puisi, di antaranya:lalu angin nyeret rahasia-mu(Menguak Mimpi, 1)ya, darah melayu netes ke dalam sajak(Silsilah Tanah Merah)pesan yang kau kirim padanya mungkin nyangkut(Kabut di Wajahmu, Kekasih)ngalir dan mencairkan hujan di mata. ricik-nya(Ekstase, Malam Hujan)ngusap airmata(Jemari Yessika)aku berlari seperti acep syahril yang nggigil(Elegi Batanghari)Penulisan seperti di atas tentu saja sudah di luar dari kaidah bahasa dan menimbulkan tanda tanya besar. Tetapi jawabannya dapat kita temui dalam pernyataan Sudjiman (1993: 19-20); Terhadap cara-cara pengucapan penyair mengelompokkannya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu: 1) Penyair mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional; 2) Penyair memanfaatkan bahasa secara inovatif tetapi masih di dalam batas-batas konvensi; 3) Penyair menyimpang dari konvensi yang berlaku, yang mana poin ketiga dijabarkan lagi oleh Atamazaki (1993: 72) dengan menulis; Penyimpangan dari konvensi yang berlaku tersebut antara lain dapat berupa penghilangan imbuhan dan penyimpangan struktur sintaksis.Dari ilustrasi-ilustrasi struktur penulisan ketiga penyair di atas, segala persamaan, perbedaan, kepatuhan hingga penyimpangan kaidah bahasa yang ada, tentu sudah dapat disimpulkan perlahan-lahan. Mana sebenarnya yang termasuk licentia poetica, dan mana yang memang merupakan kekeliruan dalam penulisan. Adapun terkait penerapannya dalam karya sastra, entah itu dalam koridor patuh atau menyimpang, semua terpulang pada pertanggungjawaban masing-masing penyair. Karena sudah barang pasti, bahwa seorang penyair menggunakan licentia poetica bukanlah tanpa alasan, maksud dan tujuan.Jadi? Pilihannya sederhana saja; mari lepas-bebas, mencari, menemukan, mengenali, menentukan, dan memelihara licentia poetica masing-masing, berikut segala bentuk pertanggungjawabannya. Dengan catatan, terlepas dari segala kemungkinan yang bisa terjadi karena dampak penggunaan licentia poetica, barangkali layak direnungkan kembali pernyataan Alisjahbana (1984: 46-47); Penyimpangan dari norma-norma tata bahasa tersebut hendaknya dalam rangka pencapaian nilai-nilai kepuitisan, nilai kepadatan ucapan.Kalaupun suatu ketika licentia poetica lantas ada yang menudingnya sebagai sesuatu yang melukai bahasa, hal itu pun sangat penting untuk ditelaah lebih jauh. Karena betapa pun pentingnya "ragam puitis" dalam karya sastra, kita semua tentu tidak akan rela jika bahasa yang tadinya merupakan alat pemersatu bangsa, pada akhirnya justru terpecah-belah hanya karena "ketidakmengertian" akan licentia poetica. Ya, perpecahan yang bisa saja mengantar kita untuk kelak teriak serentak; Malu aku jadi orang Indonesia. Bagaimana menurut anda?Yogyakarta, Oktober 2011Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!----------------------------------------------------------------Referensi :* Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Dian Rakyat, 2004 - Cetakan 14)* Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (GPU, 2010 - Cetakan 22)* Chairil Anwar, Deru Campur Debu (Dian Rakyat, 2008 - Cetakan 7)* Dimas Arika Mihardja, Sajak Emas (Kosa Kata Kita, 2010)http://esaidimasar.blogspot.co.id/2011_10_01_archive.htmlJendela Haiku Heru Emka : Dalam Rimbun Pesona Basho 2Oleh : Heru Emka :Di tahun 1983, setelah gubuknya terbakar dan ibunya meninggal dunia, Basho memutuskan untuk hidup di jalan sebagai penyair kelana. Sejak usia 40n tahun (1684) dia mengembara dari satu desa ke desa lainnya, hidup dari jasa mengajarkan penulisan haiku di tempat di mana saja dia singgah. Reputasi Basho sebagai penyair haiku kian kemilau setelah dia menjadi murid pujangga kerajaan Kitamura Kigin dan menerima beberapa kiat rahasia menulis haiku, sehingga dia menjadi salah satu tokoh dalam kelompok sastrawan Nihonbashi, Pada 1678, dia bahkan diundang untuk menuliskan haiku bagi Shogun. Dan Basho pun menuliskan haiku seperti ini:kabitan mo / tsukubawasekeri / kimi ga haru ( orang Belanda / berlutut kepadanya / musim semi di bawah kuasanya )- Andr von Kugland. Matsuo Basho. The Complete Haiku Sejak 1680 dia hidup sepenuhnya sebagai guru haiku bagi ke 20 putera bangsawan yang menjadi muridnya. Mereka pula yang menerbitkan antologi bersama Tsei-montei Dokugin-Nijukasen (The Best Poems of Tsei's Twenty Disciples ), Basho melakukan langkah sensasionalnya yang pertama, saat di tengah gigil musim dingin, dia diam-diam menyeberangi sungai menuju Fukagawa. Para muridnya lantas membangunkan sebuah gubuk sederhana untk Basho, dan menanam sebuah pohon pisang di halamannya, yang pada waktu itu merupakan tanaman taman yang eksotik dan tak terdapat di seluruh Jepang. Basho begitu menyukai pisang, hingga dia menggunakan nama baru; Basho, yang berarti pohon pisang.Sebenarnya, di sisi lain dari keberhasilannya menjadi penyair haiku, Basho merasa tak puas dan kesepian. Dia kian larut dalam meditasi Zen, tak dianggap tak meredakan kegalauan batinnya. Di musim dingin 1682, gubuk yang dibangun para muridnya terbakar. Tak lama kemudian, di awal tahun 1683, ibunya meninggal dunia. Dia lantas melakukan perjalanan menuju Yamura untuk mengunjungi seorang sahabatnya. Di musim dingin berikutmnya, para muridnya kembali membangtunkan gubuk byang kedua untuk Basho di Edo, namun niat penyair ini untuk hidup mengembara sudah bulat.Setahun kemudian, seorang muridnya; Takarai Kikaku, menerbitkan kumpulan puisi Basho beserta beberapa penyair lain, yang diberi judul Minashiguri. Akhir tahun itu pula, Basho mulai melangkahkan kaki meninggalkan Edo, dan bermulalah salah satu dari empat kembara utamanya sebagai penyair kelana.Melakukan pengembaraan seorang diri di Jepang pada Era Pertengahan adalah sebuah perjalanan penuh bahaya, karena pada masa itu amat banyak gerombolan perampok atau penjahat jalanan yang merajalela di sepanjang jalur perjalanan ke luar kota . karena itu banyak pihak di kalangan murid dan simpatisan Basho yang mencemaskan bila penyair ini segera tewas terbunuh oleh perampok atau mengalami kesengsaraan di tengah jalan. Namun Basho berpikir sederhana, Apa yang bisa dirampok dari seorang penyair seperti aku, yang hanya punya baju pendeta dan kata-kata. Dan nyatanya perjalanan kembara itu terus berlanjut, dari satu tempat ke tempat lainnya. Basho malah banyak mendapat sahabat dan pengalaman baru, dan amat menikmati semua hal yang ditemukan dalam perjalanan walau kadang menimbulkan tantangan dan kesulitan.Dan hal yang terpenting bagi Bashyo adalah dia bisa menceburkan dari secara langsung pada obyek haikunya, di tengah alam terbuka, seperti yang dituliskan dalam haikunya ini : uma wo sae / nagamuru yuki no / ashita kana ( seekor kuda / tertangkap pandanganku / di pagi bersalju ) Andr von Kugland. Matsuo Basho. The Complete Haiku Dengan tekun, Basho meneruskan kembara dari Edo ke Gunung Fuji, dilanjutkan menuju Ueno hingga Kyoto. Selama itu, dia bersua dengan beberapa penyair, yang ternyata mengaku sebagai muridnya dan memohon petujuk tentang penulisan haiku kepaada Basho. Dan Basho berkata pada mereka untuk mengabaikan penulisan haiku gaya Edo dan menemukanb gayanya sendiri. Dengan rendah hati Basho berkata bahwa banyak baris dalam buku haikunya Shriveled Chestnuts, tak layak didiskusikan.Di musim panas 1685, Basho kembali ke Edo, dan menggunakan sebagian besar hari-harinya untuk menulis haiku tentang perjalanan dan komentarnya akan kehidupannya sendiri, seperti yang tercermin dalam haiku ini : toshi kurenu / kasa kite waraji / hakinagara ( tahun tlah lewat / bayang kembara di kepalaku / sandal jerami di kakiku ( Andr von Kugland. Matsuo Basho. The Complete Haiku ) Sepulangnya Basho ke Edo, bisa dibilang dia dengan riang menikmati kembali hidupnya dengan mengajarkan penulisan haiku di gubuk yang dibangun para murid untuknya. Walau diam-diam dia mulai merancang perjalanan kembaranya yang berikutnya. Haiku yang ditulis oleh Basho selama perjalanan kembara ini diterbitkan dengan judul Nozarashi kik ( Account of Exposure to the Fields ). Pada masa-masa inilah, ( awal 1686 ) Basho menuliskan haiku kataknya yang legendaris itu : furu ike ya / kawazu tobikomu / mizu no oto ( paya tua / katak terjun / plung )Jangankan di jaman sekarang, di masa itu haiku Basho ini8 amatlah nyeleneh dan menggemaskan, sehingga langsung meledak dan menimbulkan kegemparan sastra. Penulis biografi Basho, Makoto Euda, menggambarkan para pernyair ternama Edo langsung berkumpul di gubuk Basho untuk menggelar kontes haikai no renga dengan subyek katak, untuk menghormati haiku katak Basho yang fenomenal ini. ( sebagaimana dikisahkan Euda dalamThe Master Haiku Poet, Matsuo Bash. Tokyo: Kodansha International,1992, halaman 138 ) Yang membuat saya sejak dulu menyenangi figur Bash tak saja kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya, namun juga sikapnya yang rendah hati, pantang berputus asa, gampang berbagi dan cuek dengan segala macam materi dan status sosial. Dengan kemashurannya, dia dengan mudah menjadi penyair istana, yang tak saja memiliki status tinggi, namun juga lebih menjamin kehidupannya sehari-hari. Namun Basho menolak hidup dalam sangkar dan memilih mengembara sambil mengamen membacakan haiku, untuk memenuhi hidupnya .Itulah sebabnya di tahun 1687, dia meninggalkan Edo, mengembara untuk menandang bulan sepuas hati hingga setahun kemudian, saat dia kembali mengunjngi Ueno untuk ikut merasakan perayaan Tahun Baru Bulan. Bagi penyair kembara ini, sama berharga bila kita berbagi tawa atau berbagi air mata. Dia meniikmati hidup dengan riang, seperti kanak-kanak abadi, seperti tertulis dalam haikunya yang satu ini :iza saraba / yukimi ni korobu / tokoromade ( marilah kini / menikmati saljuhingga / terpeleset jatuh ) Andr von Kugland. Matsuo Basho. The Complete Haiku Sahabatku, perkenankan aku menunda dulu kisah hidup Basho, yang akan kulanjutkan lagi pada kesempatan berikutnya. Aku sebagai orang yang menggantungkan hidup dari kemampuan menulis harus menulis naskah yang lain. Oke ? Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang - Dalam sebuah obrolan hangat di sebuah warung pinggir jalan di depan kampus Fakultas Sastra Universitas diponegoro9 yang lama ( Jalan Imam Barjo) beberapa kawan mengeluhkan tren pemnulisan puisi di media massa terkemuka, , yang dikuasai oleh tradisi penulisan yang rumit, bercanggih-canggih dalam kata dan sebagainya. Kupikir aku harus mengajak kawan-kawan untuk memulai gaya penulisan puisi yang sederhana dan bermakna, yang bisa bermula pada pola haiku. Maka aku pun mulai menggerakkan haiku di dunia maya, sebagai sarana pembelajaran praktis penulisan puisi bagi pemula, di samping sebagai upaya untuk menemukan variasi bagi penulisan puisi kita. Niatku disambut hangat, dan gerakan penulisan haiku tak saja merebak di Facebook Dan Twitter, hnamun juga berbuah menjadi komunitas haiku Danau Angsa, dengabn menerbitkan antologi haiku yang pertama di Indonesia ( Danau Angsa, Gramedia Pustaka Utama, 2011) yang memuat 500 haiku para penyair anggota komunitas haiku Danau Angsa. Bukunya tersedia di semua toko buku Gramedia,di seluruh Indonesia.Sumber kutipan: Komunitas Danau AngsaDiposkan oleh DIMAS ARIKA MIHARDJA di 17.13 1 komentar:Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke PinterestRekomendasikan ini di GoogleSenin, 03 Oktober 2011JENDELA HAIKU HERU EMKA: DALAM RIMBUN PESONA BASHO (1)Oleh : Heru EmkaSiapapun, yang mengenal haiku Jepang, pasti juga akan mengenal Basho, sebuah nama yang dianaggap identik dengan haiku itu sendiri. Penyair / pendeta yang terlahir ( di tahun 1644, di kawasan Ueno, propinsi Iga ) dengan nama Matsuo Kinsaku ini memang menjadi ikon sastra Jepang, tak ubahnya nama Walt Whitman bagi sastra Amerika, atau Chairil Anwar bagi sastra Indonesia.Ayahnya, seorang samurai rendahan, sebenarnya berharap agar Basho memiliki karir militer yang cemerlang, dan sejak awal mendaftarkan Basho sebagai prajurit. Namun Basho tak pernah meraih peluang emas untuk naik pangkat, karena dia lebih senang bekerja sebagai juru masak di dapur. Makoto Ueda, yang menuulis kisah hidup Basho panjang lebar, ( dalam The Master Haiku Poet, Matsuo Bash. Kodansha International, 1982 ) menyebutkan bahwa menjadi koki memang merupakan pilihan Basho secara diam-diam, karena sifatnya yang cinta damai, di samping juga dia terpengaruh oleh ajaran dalam kitab Zen, yang dikenalnya sejak muda, karena dia menaruh minat pada kesusasteraan.Untungnya, sejak bocah, Basho mengabdi pada Td Yoshitada, bangsawan yang lebih menyukai kesusasteraan daripada berperang. Yoshitada ini pula yang membuat Bash menyukai apa yang disebut sebagai haikai no renga, yakni semacam gabungan puisi dari beberapa penyair. Kalimat pembukanya dimulainya dengan sebuah syair dalam 5,7,5 mora (suku kata ) yang kemudian dikenal sebagai hokku (kemudian disebut haiku, saat ditulis sebagai karya tersendiri ). Nah, hokku ala Td Yoshitada ini kemudian disambung oleh penyair lainnya. Saat menulis puisi bersama Yoshitada, Basho memakai nama samaran Sobo.Di tahun 1682 Basho untuk pertama kali mempublikasikan puisinya sebagai seorang penyair, dua tahun kemudianhokku karyanya diterbitkan dalam sebuah antologi bersama, dan tahun berikutnya, Basho dan Yoshitada Basho dan Yoshitada menerbitkan kumpulan seratus renku yang mereka tulis bersama para sahabat. Kematian Yoshitada yang mendadak di tahun 1666 membuatb Basho bisa membebas diri dari pekerjaannya sebagai pelayan, walau dia harus melepaskan status sosialnya sebagai seorang samurai rendahan. Namun Basho sudah bertekat untuk menjalani babak baru dalam hidupnya sebagai penyair pengembara.Nyaris jadi homoTentang kehidupan Basho pada periode ini, beberapa penulis biografinya memberikan gambaran yang berbeda, karena memang tak ada kisah hidupnya yang tercatat pada masa deru campur debu ini. Namun sempat pecah isu bahwa dia menjalin hubungan cinta terlarang dengan pendeta Shinto ( khusus perempuan ) yang bernama Jutei, walau kemdian terbukti bila semua ini hanyalah gosip semata, karena pada dasarnya Basho kurang begitu berminat terhadap perempuan. Konfirmasi Basho sendiri tentang hal ini tak begitu jelas. Pernah suatu waktu aku mendambakan punya posisi khusus di pemerintahan dengan jabatan seumur hidup, dan di lain ketika dia berkata. Ada juga suatu masa di mana akub tertarik dengan hubungan cinta sesama lelaki. ( Pada masa itu hubungan cinta homoseksual wajar merebak di kalangan pendeta Zen, yang sepanjang hidup tinggal di vihara bersama sesama pendeta pria lainnya). Namun kemudian tak ada peristiwa cinta homoseksual yang terjadi, dan Basho tetap hidup sendiri sebagai seorang penyair/ pendeta kelana. Salah satu penyebab pilihan hidup yang diambil ini adalah perjalanan kelana itu memberikan selingan bagi jiuwanya yang resah, seperti yang dikatakan basho dalam buku biografi yang ditulis Makoto Ueda; The Master Haiku Poet, Matsuo Bash. halaman 23; "the alternatives battled in my mind and made my life restless".Bagaimana pun, Basho semakin tekun dan intens menulis haiku, dan buku kumpulan haikunya pun mulai diterbitkan di tahun 1667, 1669, dan 1671. Reputasinya sebagai penyair haiku semakin diakui, hingga di tahun 1672, antologi haiku yang ditulisnya bersama para siswa perguruan sastra Teitoku, yang berjudul Kai i ( Seashell Game ). Antologi inilah y6anag embuat Basho mendapat bea siswa untuk berguru menulis haiku secara khusus kepada seorang sensei haiku terkemuka, yang bernama Kitamura Kigin.Haiku Basho cepat melejit dan disukai karena bentuk pengu8ngkapannya yang lugas, pengamatannya yang mendalam terhadap alam sekitar, serta pemilihan kata-kata yang jitu. Dia memang dikenal punya pendekatan yang riang terhadapm suasana alam, sadar diri dan penuh apresiasi. Semua haiku Basho ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalamannya secara langsung. Pergilah ke pohon pinus bila kau ingin belajar tentang pohon pinus, atau ke pohon bambu bila kau ingin belajar tentang bambu. Dalam melakukannya ( mempelajari ) kau harus meninggalkan keasyikanmu sendiri, Sebaliknya kau menceburkan dirimu dalam obyek itu. Makna dalam puisimu akanh terbentuk bila kamu telah melebur dengan obyek itu sebagai sebuah kesatuan bila kamu sudah mencebur begitu dalam pada obyek untuk mencari sesuatu yang tersembunyi di sana . ( "Go to the pine if you want to learn about the pine, or to the bamboo if you want to learn about the bamboo. In doing so, you must leave your preoccupation with yourself. Otherwise you impose yourself on the object and do not learn. Your poetry issues of its own accord when you and the object have become one when you have plunged deep enough into the object to see something like a hidden glimmering there.")Apa yang diajarkan oleh sesnsei Basho kepada muridnya, ratusan tahun silam, bahkan tetap terasa actual hingga kini. Kita boleh memakainya sebagai pentunjuk penting dalam menulis haiku, bagaimana kita bisa menciptakan puisi yang memikat dari kata yang singkat. Sebuah perasaan dari pengamatan, perenungan dan peresapan perasaan , yang walau pun nampak sepele, namun bernilai.Tapi.kini sudah menjelang fajar, kawan, aku telah menulis semalaman. Punggungku ingin kubaringkan sejenak di kasur, sambil memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan bila pagi baru tiba. Biarkan aku mengasoh sejenaknanti akan kulanjutkan lagi kisah Bayang Pesona Basho, pada abagian berikutnya, kenapa dia mendapat julukan Basho, yang dalam bahasa Jepang berarti pohon pisang ?....Nantikanlah Jendela Haiku yang berikutnya..- Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang Diunggah atas izin pemiliknya dari akun facebook 'Jendela Haiku Heru Emka'Diposkan oleh DIMAS ARIKA MIHARDJA di 19.41 Tidak ada komentar:Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke PinterestRekomendasikan ini di GoogleMinggu, 02 Oktober 2011SEKITAR KONSEP PENGERTIAN PUISIOleh Dimas Arika MihardjaHingga kini studi puisi belum berhasil memberikan batasan teks puisi yang secara luas dapat diterima. Mengherankan, tetapi hal ini dapat dimengerti. Mengherankan karena sulit untuk mengharap suatu bidang ilmu dapat menjelaskan bidang ilmunya dengan istilah sedemikian rupa sehingga memperoleh konsensus dalam bidangnya itu. Dapat dimengerti karena tidak pernah ada garis pemisah yang jelas antara teks puisi dan nonpuisi. Garis pemisah ini telah dihapus di masa lalu dan akan terus dihapuskan di masa mendatang. Alasan penghapusan ini disebabkan oleh rumitnya struktur objek penelitian dan evaluasi yang selalu berubah terhadapnya. Juga faktor metode yang digunakan untuk mendefinisikan konsep teks puisi merupakan faktor yang menyebabkan kacaunya konsep.Jika seseorang mencermati kekacauan ini, agaknya Morris Weitz-(1960)-lah yang benar. Menurutnya, seseorang mencari terlampau lama dan sia-sia untuk batasan objek estetik dan subkategorinya. Menurut Weitz, konsep seni merupakan suatu konsep terbuka yang tidak memungkinkan adanya definisi operasional. Pada sisi lain, mungkin mendefinisikan apa yang oleh Weitz disebut sebagai konsep tertutup, misalnya tragedi Yunani. Ciri-ciri umum semua tragedi Yunani yang terkenal mungkin dikumpulkan, untuk selanjutnya sebuah definisi terhadap tragedi Yunani dapat dibuat. Selanjutnya Fokkema menyarankan bahwa menghindari definisi konsep puisi berarti akhir dari pendekatan yang sistematik terhadap studi puisi (Fokkema, 1974a:254). Zdenko Skreb melihat suatu definisi baru tentang suatu objek, yakni teks puisi, sebagai tugas yang paling urgen bagi penelitian teori puisi (Skreb, 1973:29).Definisi-definisi dan hipotesis kerja tentang istilah seperti literature, literary, dan literary text yang dirumuskan beberapa tahun terakhir bercirikan dua aspek yang ada dalam kebanyakan definisi. Di satu pihak kualitas tekstual disebutkan sebagai elemen konstitutif konsep puisi; sementara di pihak lain tekanan diberikan pada nilai-nilai yang oleh pembaca diberikan pada suatu teks. Kualitas-kualitas tekstual yang sering dipertimbangkan secara khusus bersifat kessatraan adalah penyimpangan penggunaan bahasa dan fiksionalitas teks. Jadi, Austin Warren dan Rene Wellek yakin bahwa ciri pembeda puisi dapat dijumpai dalam pemakaian khusus yang dibuat terhadap bahasa mereka menekankan ciri konotatif bahasa puisi dan hakikat fiksional puisi (Wellek dan Warren, 1949:2223).Objek studi puisi yang berorientasi pada semiotik tidak harus berupa teks puisi seperti yang dianggap sebagai bagian dari proses komunikasi atau dalam istilah Wienold pemrosesan teks. Pendeknya, bidang penelaah-an ilmu puisi diterima sebagai proses total tentang komunikasi kepuisian, komunikasi puisi dianggap subsistem dari sistem komprehensif komunikasi verbal dalam masyarakat (Schmidt, 1976:242). Schmidt secara meyakinkan membagi proses global komunikasi puisi menjadi empat komponen, yaitu produksi teks, teks, transmisi teks, dan resepsi teks. Perbedaan-perbedaanya dapat dijelaskan sebagai berikut.Aktivitas produser, pengarang: sebagai contoh tentang jenis ini adalah penelitian terhadap varian tekstual yang mungkin disebutkan. Ini memungkin-kan suatu insight ke dalam aktivitas pengarang yang akan mengarah pada produksi teks. Kegiatan interpretatif langsung dipusatkan pada suatu teks. Transmisi teks: di antara hal-hal lain, sosiologi puisi mempelajari cara ketika teks didistribusikan melalui perantaraan editor, penerbit, toko buku, dan sebagainya, dan akhirnya mencapai para pembacanya. Kegiatan penerima, pembaca: Rezeptionaesthetik (estetika resepsi) merupakan suatu sasaran muta-khir yang berkenaan dengan studi reaksi-reaksi pembaca terhadap teks puisi.Lotman memberikan konsep teks puisi sebagai sebuah arti netral (tidak khusus linguistik). Hal itu dicirikan oleh tiga hal. Sebuah teks berciri eksplisit: sebuah teks diungkapkan dengan sarana tanda-tanda dan itu membedakannya dengan struktur ekstra tekstual yang tidak diungkapkan. Teks juga terbatas: sebuah teks mempunyai awal dan akhir karena berbeda dengan semua struktur lain yang tidak memiliki ciri terbatas. Terakhir, sebuah teks adalah terstruktur: sebuah teks tidak mempunyai susunan arbitrer antara dua batasnya. Sebuah teks mempunyai organisasi internal yang membuatnya menjadi sebuah keseluruhan yang terstruktur pada level sintagmatik. Yang diistilahkan Lotman sebagai teks seperti istilahnya tentang bahasa, merupakan istilah teknis, tidak bersangkutan dengan arti umum, misalnya sejumlah kata-kata tertulis dalam bahasa Inggris. Sebagai misal, lukisan, film, atau sebuah soneta juga disebut teks.Satu masalah penting adalah dalam hal apakah teks estetis berbeda dengan teks nonestetis. Dengan referensi Formalisme Rusia dan Strukturalisme Praha, akan diusulkan hipotesis kerja: sebuah teks estetis adalah seperangkat tanda yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Dalam definisi ini fungsi estetik yang ditujukan pada sebuah teks oleh pembaca bersifat decisive terutama berkaitan dengan perbedaan antara teks estetis dan teks nonestetis. Dari sudut pandang semiotik, dengan demikian, harus terdapat indikasi di dalam teks atau dalam situasi komunikasi untuk memperkuat judgement penerima (pembaca).Analog dengan penjelasan tentang teks estetis di atas, definisi kerja tentang teks puisi adalah: sebuah teks puisi adalah seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Dalam definisi ini, pembaca disebutkan; jelas bahwa hal itu merupakan suatu generalisasi yang selanjutnya harus dibuat spesifik. Apa yang menyebabkan pembaca menyebut-nyebut fungsi estetis suatu teks? Sebuah teks puisi akan berisi sejumlah stimulus yang mempunyai efek estetis bagi penerima dan dengan demikian menyebabkan teks memiliki fungsi estetik bagi pembaca. Misalnya, mungkin rima dan penyimpangan pemakaian bahasa memiliki efek estetis terhadap pembaca sehingga dia akan menetapkan fungsi estetis ada pada teks itu. Fungsi estetis menunjukkan bahwa dalam situasi komunikasi minat si pembaca pertama-tama terarahkan pada teks sebagai sebuah keseluruhan tandaa-tanda verbal yang tersusun. Dalam kasus ini, cara ketika teks distrukturkan bersaing kuat dengan isi yang disampaikan.Akhirnya, marilah kita ingat definisi kerja tentang konsep teks puisi sebagai seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur; dan fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Definisi bergantung pada keputusan pembaca dan dengan demikian, hal itu memerlukan suatu penilaian terhadap responsnya.