pembahasan dan hasil penelitian pada bab ini akan...
TRANSCRIPT
32
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang konsep diri penderita
TB Paru di Puskesmas Tomata Kecamatan Mori Atas, kabupaten
Morowali. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 15 Agustus
2014 sampai 8 September 2014.
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Gambaran Geografis
Kecamatan Mori Atas berada di ibukota kabupaten Morowali
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara
berbatasan dengan wilayah Kecamatan Mori Utara, sebelah selatan
berbatasan dengan wilayah propinsi Sulawesi Selatan dan
Kecamatan Lembo, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah
Kecamatan Petasia dan Kecamatan Lembo, dan sebelah Barat
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Poso.
Kecamatan Mori Atas terletak pada ketinggian 350-450
meter dari atas permukaan laut. Flora yang dibudidayakan di
daerah ini sebagian besar adalah pohon coklat, pohon cengkeh,
pohon aren, dan kelapa sawit. Sedangkan fauna yang
dikembangbiakan adalah jenis ternak besar adalah sapi dan
kerbau, ternak kecil seperti babi serta unggas seperti ayam dan itik.
33
Daerah kecamatan Mori Atas bukan daerah pantai, tetapi banyak
terdapat aliran sungai.
Kecamatan Mori Atas memiliki 12 desa dengan total luas
wilayah 1.508,81 Km2. Desa terluas adalah Desa Kolaka dengan
luas wilayah 271,12 Km2, disusul dengan Desa Taende dengan
luas wilayah 194,28 Km2, disusul oleh Desa Ensa dengan luas
wilayah 189,78 Km2. Keduabelas desa dan luas wilayahnya dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Nama Desa dan Luas Wilayah di Kecamatan Mori Atas
No Desa/Kelurahan Luas Wilayah (Km2) Presentase
1. Gontara 98,91 3,872. Kasingoli 83,75 3,273. Lee 100,85 3,944. Saemba 141,44 5,535. TomuiKarya 12 0,476. Tomata 107,71 4,217. Londi 90,81 3,558. Taende 194,28 7,609. Ensa 189,78 7,42
10. Peonea 97,17 3,8011. Kolaka 271,12 10,6012. Lanumor 120,99 4,73Sumber :Kecamatan Mori Atas dalam Angka, 2012
Pusat kota berada di ibu kota kecamatan dan ibu kota
kabupaten. Ada pun jarak tempuh masing-masing desa ke ibu kota
kecamatan dan kendaraan yang digunakan diuraikan pada tabel
4.2.
Tabel 4.2 Jarak Tempuh Antar Desa di Kecamatan Mori Atas
No Desa/Kelurahan Jarak (Km)
Dapat Ditempuh Menggunakan Kendaraan
34
1. Gontara 12,00 Roda 42. Kasingoli 15,00 Roda 43. Lee 19,00 Roda 44. Saemba 22,00 Roda 45. TomuiKarya 24,00 Roda 46. Tomata 0,00 Roda 47. Londi 4,00 Roda 48. Taende 9,00 Roda 49. Ensa 12,00 Roda 4
10. Peonea 17,00 Roda 411. Kolaka 20,00 Roda 412. Lanumor 18,00 Roda 4
Sumber :Kecamatan Mori Atas dalam Angka, 2012Secara umum warga kecamatan Mori Atas menggunakan
kendaraan pribadi untuk menjangkau ibu kota kecamatan.
Sehingga, warga kecamatan Mori Atas tidak memiliki hambatan
untuk mencapai fasilitas publik dan saran-prasarana yang ada.
4.1.2 Gambaran Demografis
a. Keadaan Penduduk
Penduduk Kecamatan Mori Atas terdiri dari beberapa suku,
diantaranya suku Mori yang merupakan suku asli, serta beberapa
suku pendatang, diantaranya suku Pamona, Toraja, Bugis, Jawa,
dan Bali. Sebagian besar dari para pendatang berprofesi sebagai
pedagang dan petani. Penduduk kecamatan Mori Atas selain
berprofesi sebagai pedagang dan petani sebagian berprofesi
sebagai pegawai negeri sipil atau PNS (Kecamatan Mori Atas
dalam Angka, 2012).
Keberanekaragaman penduduk di Kecamatan Mori Atas ini
menyebabkan bahasa ibu setiap orang dalam komunitas dapat
35
berbeda, tergantung dari suku asalnya. Namun dalam pergaulan
atau sosialisasi sehari-hari, warga menggunakan bahasa lokal
masyarakat Mori, meski dialek yang berbeda. Bahasa lokal yang
dimaksud seperti sa yang berarti saya, ko yang berarti kau, dorang
yang berarti mereka dan lain sebagainya.
Pada laporan akhir tahun Kecamatan Mori Atas, dicatat
bahwa jumlah penduduk hingga Desember tahun 2013 mencapai
11.392 jiwa. Kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah
desaPeonea dengan jumlah total 1.386 jiwa, kemudian pada posisi
kedua dan selanjutnya secara berturut-turut adalah desa Ensa,
Londi, Kolaka, Tomata, Taenda, Lanumor, Saemba, Lee, Gontara,
Saemba Walati, Kasingoli, dan Tomui Karya.Penduduk kecamatan
Mori Atas mayoritas beragama kristen protestan (Kecamatan Mori
Atas dalam Angka, 2012).
b. Sarana dan Prasarana
Menurut data sarana dan prasarana kesehatan, di
Kecamatan ini terdapat dua buah Puskesmas di Desa Tomata dan
Desa Lee, serta Puskesmas pembantu di Desa Saemba, Gontara,
Ensa, Peonea, dan Kolaka, 15 posyandu yang tersebar disetiap
desa, 5 polindes (pondok bersalin bersama) yang ada di Desa
Saemba, Tomui Karya, Londi, Ensa, dan Kolaka, dan 12 pos KB
yang tersebar disetiap desa.
36
Dibidang pendidikan, tersedia 13 Sekolah Dasar (SD) , 5
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 3 Sekolah Menengah Atas
(SMA), yang terdiri dari 2 sekolah umum dan 1 sekolah kejuruan.
c. Tingkat Pendidikan
Secara umum, hampir semua penduduk dewasa atau yang
berusia 20 tahun ke atas di wilayah Kecamatan Mori Atas,
bersekolah hingga SMP dan SMA. Sementara itu, orang tua yang
menginginkan agar anaknya melanjutkan ke perguruan tinggi,
biasanya menyekolahkan anak mereka di luar kota, bahkan luar
pulau, karena disekitar wilayah kecamatan atau kabupaten tidak
memiliki perguruan tinggi.
d. Keadaan Sosial Ekonomi
Mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Mori Atas
antara lain pegawai negeri sipil (PNS), TNI/POLRI, wirausaha,
pedagang, tukang batu, serta tukang kayu.
e. Kesehatan
Puskesmas Tomata dalam Kecamatan Mori Atas dalam
angka mencatat sekurang-kurangnya 10 penyakit terbesar tahun
2013, yang terbesar adalah ISPA dengan jumlah 1.710 kasus,
diikuti urutan kedua yang terbesar adalah Gastritis/ Dyspepsia 634
kasus, selanjutnya Caries Dentis 355 kasus, Hipertensi 319 kasus,
37
kecelakaan 204 kasus, penyakit kulit Alergi 180 kasus, Diare 168
kasus, penyakit kulit infeksi 148 kasus, Rematik 139 kasus, dan
Gingivitis 117 kasus.
Kebanyakan masyarakat di Kecamatan Mori Atas berobat
ke Puskesmas terlebih dahulu. Dari Puskesmas, jika pengobatan
yang diberikan tidak mampu menyembuhkan penderita, maka ia
akan berobat ke RSU dengan menggunakan fasilitas/ layanan
Asuransi Kesehatan jika ia seorang PNS dan kartu Jaminan
Kesehatan Masyarakat jika ia tergolong keluarga yang kurang
mampu. Selain puskesmas dan RSUD, masyarakat juga
memeriksakan kondisi kesehatan ke mantri.
4.1.3 Gambaran Khusus Lokasi Penelitian
a. Gambaran Geografis
Desa Tomata merupakan ibu kota kecamatan dengan luas
terbesar kelima di Kecamatan Mori Atas. Desa Tomata sebelah
utara berbatasan langsung dengan desa Taliwan, Kecamatan Mori
utara , sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Londi , sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Era, dan sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Gontara.
Daerah desa Tomata termasuk daerah subur, artinya
sebagian besar luas wilayah digunakan sebagai lahan untuk
pertanian, seperti sawah, untuk berkebun dengan ditanami coklat,
jagung, singkong, pisang dan berbagai macam tumbuhan yang
38
dapat dikomsusi. Masyarakat juga menggunakan pekarangan untuk
menanam rempah-rempah seperti kemangi, rica, tomat, daun
bawang, serai, dan rempah-rempah lainnya. Tetapi beberapa tahun
terakhir, lahan pertanian dan hutan yang ada di desa Tomata dialih
fungsikan dengan penanaman kelapa sawit besar-besaran.
b. Gambaran Demografis
Wilayah desa Tomata terdiri dari 12 Rukun Tetangga (RT),
yang dikepalai oleh ketua RT dan didampingi oleh sekertaris.
Jumlah penduduk desa Tomata pada tahun 2013 adalah 1.858
orang dengan 961 lelaki dan 896 perempuan.
Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat
adalah petani dan PNS. Selain itu, ada pula masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai pedagang, POLRI, TNI. Wilayah
desa Tomata penduduknya mayoritas beragama Kristen protestan.
Sarana dan prasana yang tersedia di desa Tomata antara
lain jalan raya dengan kondisi baik. Di wilayah ini juga memiliki satu
puskesmas dan satu pertamina yang menjadi pusat pasokan bahan
bakar di kecamatan Mori Atas. Karena merupakan ibu kota
kecamatan, banyak terdapat kantor pemerintahan untuk
kecamatan.
Sebagian besar penduduk desa Tomata memiliki tingkat
ekonomi yang baik, itu dibuktikan dengan memiliki bangunan rumah
yang terbuat dari tembok, berlantaikan keramik dan beratapkan
39
seng dan hamper setiap keluarga memiliki kendaraan pribadi
seperti motor. Sementara itu sebagian besar penduduknya sudah
memiliki WC yang sehat.
4.1.4 Tatanan Penelitian
Penelitian ini dilakukan kepada penderita TB Paru.
Pengambilan data dilakukan mulai dari tanggal 15 Agustus sampai
8 September 2014. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tomata,
desa Tomata, kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, Propinsi
Sulawesi Tengah. Data diperoleh melalui wawancara dengan ketiga
riset partisipan yang mengalami penyakit TB Paru.
4.2 Hasil Penelitian
Penelitian ini mendeskripsikan konsep diri penderita TB
Paru dengan menggunakan lima indikator dari konsep diri, yaitu
gambaran diri (body image), ideal diri (self diri), harga diri (self
esteem), peran diri (self role) dan identitas diri (self identity), dan
melibatkan tiga partisipan penderita paru di Puskesmas Tomata.
Ketiga partisipan adalah laki-laki. Partisipan I berumur 68
tahun, partisipan II berumur 57 tahun dan partisipan III berumur 68
tahun. Lama sakit yang diderita yaitu penderita I selama 1,5 tahun,
40
penderita II selama 1 tahun, dan partisipan III selama 1 tahun.
Keseluruhan partisipan berdomisili di Tomata dan mengikuti
program pengobatan di Puskesmas Tomata. Selengkapnya tentang
karakteristik partisipan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.3 Karakteristik Partisipan Secara UmumDeskripsi Partisipan I Partisipan II Partisipan IIIUsia 68 tahun 57 tahun 68 tahun
Agama Kristen Protestan
Kristen Protestan
Kristen Protestan
Pendidikan SMP SD SMALama sakit TBC 1,5 tahun 1 tahun 1 tahun
Riwat penyakit - - ProstatPekerjaan Pensiunan Petani Ketua adatJumlah anak 5 orang 2 orang 4 orang
4.2.1 Hasil Analisa Data
4.2.1.1 Riset Partisipan I
Nama Tn. A. Saat ini riset partisipan berusia 68 tahun. Tn. A
merupakan pensiunan pegawai negeri. Sekarang tinggal bersama
dengan istri. Anak-anak sudah berkeluarga semua. Saat ini, Tn. A
dan istri memiliki 1 orang cucu yang dibiayai atau dihidupi mereka.
Tn. A mengalami penyakit TB Paru mulai tahun 1975 dan sempat
sembuh beberapa saat. Ketika Tn. A mengalami kesembuhan, Tn.
A melakukan kembali kebiasaan lamanya yaitu merokok dan
mengkonsumsi alkohol, walaupun saat itu dalam jangka waktu
beberapa tahun Tn. A tidak sakit. Dan awal tahun 2014, Tn. A
didiagnosa dengan penyakit TB Paru dan harus menjalani
perawatan selama 6 bulan dengan meminum obat secara rutin.
41
Sebelumnya Tn. A pada tahun 90’an bekerja sebagai sopir
bupati Poso, dan setelah itu Tn. A pindah ke Tomata menjadi sopir
camat. Selama menjadi sopir, Tn. A, sering mengkonsumsi alkohol
walaupun di siang hari dan merokok. Selanjutnya partisipan
didiagnosa TB Paru oleh dokter.
Ciri-ciri fisik Tn.A adalah tinggi badannya sekitar ±170 cm,
berkulit sawo matang, berambut lurus dan sudah beruban, tampak
kurus. Selama wawancara berlangsung riset partisipan menjawab
semua pertanyaan dengan santai. Dan riset partisipan menjawab
semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Dan apabila ada
pertanyaan yang tidak dipahami, riset partisipan akan bertanya dan
peneliti akan mengulanginya. Riset partisipan juga terkadang
memberikan jawaban dengan bercanda. Selama wawancara riset
partisipan didampingi oleh istri, dan selalu menyetujui apabila istri
juga menambahkan jawaban dari pertanyaan peneliti. Wawancara
dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2014 pukul 15.30 WITA
bertempat di rumah riset partisipan.
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa
berdasarkan beberapa indikator yang dipakai untuk pedoman
wawancara.
42
a. Gambaran Diri (body image)
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan
terkait dengan sikap riset partisipan terhadap tubuhnya, baik
secara sadar maupun tidak sadar. Menerima dan menyukai
bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari
rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Riset partisipan memiliki gambaran diri yang positif. Dengan
penerimaan diri yang baik, dengan tidak merasa cemas akan
penyakit yang dialami. Riset partisipan mengungkapkan
penyakit TB paru tidak mempengaruhi hubungan di lingkungan
sosial . Bahkan banyak dukungan yang datang dari saudara
dan teman-teman. Membangun hubungan yang baik dari awal
dengan orang lain, banyak membantu riset partisipan untuk
lepas dari gambaran diri yang negatif, khususnya rasa cemas
dengan pandangan orang lain akan penyakit yang dialami oleh
riset partisipan.
“penyakitku tidak mempengaruhi, Cuma berharap memang
cepat sembuh (Tn.A,15,16). Hubungan saya dengan yang
lain baik, karena saya cukup dikenal di Tomata ini (Tn.A,
24,24). Kalau mereka datang jenguk saya, mereka pasti
peluk saya, tidak ada yang menjauhi saya karena penyakit
ini.” (Tn.A.32,33).
Keluarga membantu untuk memenuhi kebutuhan spiritual
partisipan dengan cara mendoakan partisipan untuk
kesembuhannya dan kebiasaan jelek yang dilakukan partisipan
43
yaitu minum minuman beralkohol. Dengan adanya perubahan
yang dialami oleh partisipan, yang sekarang tidak
mengkonsumsi alkohol dan rokok membuat partisipan ada rasa
bangga dari perubahan tersebut.
“dulu saya didoakan sama sa punya anak-anak dan mama
tua.” (Tn.A 131-133)
“saya berhenti minum dan merokok sekarang. Biar sa sudah
liat minuman dan rokok sekarang, saya sudah tidak
berminat. Itu peristiwa yang luar biasa, saya berhenti minum
dan rokok itu, saya yakin betul itu semua karena Tuhan.”
(Tn.A 137-143)
Riset partisipan juga mengungkapkan, walaupun saat ini lagi
sakit, itu tidak mengubah sifat yang dimiliki, salah satunya sifat
periang.
“memang sekarang sakit betul, tapi untuk sifat periang dan
yang lainnya tidak ada yang berubah. Ya, sekarang juga
lebih bersemangat, karena sudah merasa lebih baik.” (Tn.A
112-115).
b. Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang
perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait
dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin
dicapai.
Riset partisipan I memiliki ideal diri yang realistis. Ini didukung
juga oleh dukungan dari keluarga dan orang sekitar yang
positif, membuat riset partisipan menerima keadaannya
44
sekarang dengan tidak mempermasalahkan penyakit yang
dialami. Kemauan untuk sembuh ada, tetapi dengan
menjalankan pengobatan yang teratur, itu sangat membantu
riset partisipan untuk cepat sembuh dan memberi harapan
pasti ada kesembuhan. Riset partisipan juga sudah
menyerahkan semuanya kepada Tuhan akan keadaannya
sekarang sesuai iman partisipan, yang membuat partisipan
tetap bersemangat untuk menjalani keadaannya sekarang.
“Merasa terbeban dengan penyakit ini, tetapi ya memang
harus dilewati, banyak berdoa semoga Tuhan membantu
dan memberkati istri saya juga yang sudah kerja keras.
Ketika saya didiagnosa penyakit TB paru, perasaan saya
biasa saja.” (Tn.A 104-107, 118)
c. Harga Diri (self esteem)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan memiliki harga
diri yang rendah. Dengan mengalami penyakit TB paru, ia
merasa itu menghambat aktifitasnya terutama sebagai kepala
rumah tangga. Riset partisipan memiliki harapan dengan
umurnya sekarang, ia masih bisa melakukan aktifitas yang
merupakan tanggungjawabnya. Walaupun dengan
keterbatasan aktifitas karena penyakit yang dialami, dukungan
istri sangat membantu.
45
“penyakit ini menghambat pekerjaan saya, sebenarnya saya
masih bisa kerja dengan umur sekarang. Saya berharap
saya cepat sembuh.” (Tn.A 8-10)
d. Peran Diri (self role)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan tidak memiliki
kepuasan dalam menjalankan perannya khususnya sebagai
kepala rumah tangga (RT). Segala pekerjaan yang sebenarnya
yang harus dikerjakan, itu dikerjakan oleh istri. Selama riset
partisipan mengalami penyakit TB paru, yang berperan besar
dalam mengurus riset partisipan waktu sakit adalah istri.
Dengan peran istri yang mengurus segalanya, dari mengurus
rumah tangga sampai mengurus suami, itu menjadi beban
tersendiri buat riset partisipan. Sehingga riset partisipan
memiliki harapan bahwa ia akan cepat sembuh.
“Sebenarnya pekerjaan rumah untuk kepala rumah tangga
agak terhambat, karena penyakit ini. Saya sebenarnya tidak
enak, karena semua istri yang kerjakan.” (Tn.A 55-58)
Riset partisipan juga merasa tidak puas dengan perannya
karena dalam keadaan sakit, mereka harus membiayai
perkuliahan cucu mereka. Itu yang membuat istri harus kerja
keras untuk mengurus partisipan yang sakit dan juga harus
menambah biaya hidup.
“cucu saya kuliah di Palu, jurusan Akbid. Sebenarnya gaji
pensiun kami cukup untuk masa tua. Tetapi karena
46
membiayai kuliah cucu kami, sehingga itu juga yang menjadi
beban, dengan keadaan saya sakit, istri saya harus rawat
saya dan urus cucu kami juga. Saya selalu merasa kasian
kepada dia. Semoga dia tetap sehat-sehat saja.” (Tn.A 99-
100)
e. Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset
partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan
dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Riset partisipan I memiliki identitas diri yang jelas. Analisa ini
didukung oleh hubungan sosial yang baik, dengan tidak
menarik diri dari lingkungan sosial. Selanjutnya didukung oleh
ada semangat dalam diri sendiri untuk sembuh dan tidak
mempermasalahkan diri karena penyakit yang diderita, dan
riset partisipan menerima keadaan tersebut. Walaupun ada
permasalah peran dalam rumah tangga, tetapi riset partisipan
memiliki harapan yang besar untuk cepat sembuh. Dukungan
doa dari istri dan anak-anak membuat riset partisipan juga
menerima semua keadaannya sekarang.
“saya berhenti minum dan merokok sekarang, itu
merupakan peristiwa yang luar biasa, saya bisa demikian itu
saya yakin karena campur tangan Tuhan. Betul-betul dan
rajin berdoa, itu betul-betul membuat saya berhenti dari
kebiasaan saya.” (Tn.A 137-143)
47
4.2.1.2 Riset Partisipan II
Nama Tn. B. Saat ini riset partisipan berumur 57 tahun dan
karena penyakit yang dialami riset partisipan berhenti dari
pekerjaannya sebagai buruh. Riset partisipan tinggal bersama istri
dan 1 orang anak yang gangguan mental. Sebelum sakit, riset
partisipan bekerja sebagai petani atau buruh bangunan di desa
Tomata.
Keadaan Tn. B sekarang ini, menuntut ia untuk tetap
beristrahat total di rumah dan menjalani pengobatan secara rutin.
Awalnya Tn. B tidak mengakui kalau ia sakit TB Paru, karena info
yang Tn. B dapat, ia didiagnosa hanya mengalami penyakit sesak
napas. Tetapi saat ini Tn. B mengikuti program pengobatan TB
Paru.
Ciri fisik riset partisipan adalah tinggi badannya sekitar ±150
cm, berkulit sawo matang, tampak kurus dan badan riset partisipan
agak membungkuk, serta gerak yang dilakukan seperti berjalan
tidak selincah orang yang normal. Selama wawancara, riset
partisipan mau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti,
walaupun jawaban yang selalu diberikan tidak sesuai dengan fokus
pertanyaan yang diajukan. Selama wawancara, riset partisipan juga
jarang memberikan jawaban yang terbuka. Dan sesekali riset
partisipan menanyakan kembali pertanyaan yang tidak dipahami.
48
Selama wawancara risep partisipan didampingi oleh istri. .
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2014 pukul 15.30
WITA.
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa
berdasarkan beberapa indikator yang dipakai untuk pedoman
wawancara.
a. Gambaran Diri (body image)
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan
terkait dengan sikap riset partisipan terhadap tubuhnya, baik
secara sadar maupun tidak sadar. Menerima dan menyukai
bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari
rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Riset partisipan memiliki gambaran diri yang rendah. Selama
wawancara riset partisipan tidak mau mengakui kalau dirinya
sakit TBC. Menurut data dari puskesmas Tomata, riset
partisipan merupakan salah satu penderita TB Paru.
“saya tidak ada penyakit TBC” (Tn.B, 50)
b. Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang
perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait
dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin
dicapai. Indikator ini tidak ditemukan pada riset partisipan.
c. Harga Diri (Self esteem)
49
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan
akan harga diri yang dicapai. Aspek utama harga diri adalah
dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain dan harga
diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan
penghargaan orang lain.
Riset partisipan memiliki harga diri yang baik, karena dukungan
keluarga dan orang disekitar membuat riset partisipan tidak
merasa malu atau menarik diri karena penyakit yang dialami.
Penerimaan Tn. B akan penyakitnya membuat ia tidak segan
untuk keluar rumah. Kunjungan orang-orang dari gereja
membuat Tn. B juga merasa diterima di lingkungan sosial.
“mau menyesal bagaimana kalau sudah kena penyakit.”
(Tn.B115-116)
“saya tidak pernah mengeluh dengan penyakit saya.” Tn.B,
122-123)
d. Peran Diri (self role)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan tidak memiliki
kepuasan dalam menjalankan perannya khususnya sebagai
kepala rumah tangga (RT). Segala pekerjaan yang sebenarnya
yang harus dikerjakan, itu dikerjakan oleh istri.
“iya,penyakit ini sangat menganggu” (Tn.B 131)
50
Keinginan riset partisipan II untuk bekerja sangat besar. Tetapi
dengan keadaannya sekarang membuat ia tidak bisa bekerja,
dan itu yang membuat riset partisipan II merasa terbeban.
“terbeban hati, bagaimana saya mau kerja tapi tidak
bisa.(Tn.95-96)
e. Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset
partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan
dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Riset partisipan II memiliki identitas diri yang jelas. Analisa ini
didukung oleh penerimaan riset partisipan akan penyakitnya.
Riset partisipan II juga tidak pernah mengeluh dengan
keadaannya sekarang. Dukungan keluarga dan sosial
membuat riset partisipan tidak pernah menarik diri. Tetapi
dengan keadaannya sekarang, membuat riset partisipan II
kurang puas dengan perannya. Dengan penerimaan dirinya
membuat riset partisipan tetap bersemangat untuk sembuh.
“Oh makanya saya tidak pernah mengeluh, semangat
terus.” (Tn.B 125-126)
4.2.1.3 Riset Partisipan III
51
Nama Tn. K Saat ini riset partisipan berumur 68 tahun. Riset
partisipan merupakan ketua adat di desa Tomata, pernah juga
menjabat sebagai kepala desa Tomata. Riset partisipan tinggal
bersama istri dan 1 orang anak. Riset partisipan merupakan orang
yang pekerja keras, walaupun sakit, riset partisipan masih pergi ke
sawah untuk bertani, dan masih melakukan pekerjaan kalau berada
di rumah, salah satunya yang sering dilakukan adalah menjemur
padi hasil panen.
Riset partisipan juga memiliki penyakit lainnya yaitu prostat,
yang sudah melewati masa pengobatan. Awalnya riset partisipan
sebenarnya akan melakukan operasi prostat, tetapi dalam
pemeriksaan tubuh khususnya rontgen, riset partisipan didiagnosa
TB paru.
Ciri-ciri fisik riset partisipan adalah tinggi badan ±170 cm,
badan tampak kurus, kulit putih dan rambut sudah beruban.
Selama wawancara berlangsung, riset partisipan mau menjawab
semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Riset partisipan juga
selalu memberikan jawaban yang terbuka, dan lebih bersemangat
untuk menceritakan segala apa yang riset partisipan alami.
Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2014 pukul 13.00
WITA.
52
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa
berdasarkan beberapa indikator yang dipakai untuk pedoman
wawancara.
a. Gambaran Diri (body image)
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan
terkait dengan sikap riset partisipan terhadap tubuhnya, baik
secara sadar maupun tidak sadar. Menerima dan menyukai
bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari
rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Riset partisipan yang ke III memiliki gambaran diri yang negatif.
Karena subjek merasa cemas dengan penyakitnya. Walaupun
subjek beranggapan dia sudah pasrah dengan keadaannya,
tetapi subjek sangat berharap untuk sembuh. Dan ada
penyesalan dalam diri riset partisipan sebab ketika partisipan
sudah merasakan sakit, partisipan tidak memeriksakan diri
secepatnya, sesuai saran dari keluarga maupun orang-orang
terdekat.
“sebenarnya saya katakan lambat ya. Sebab selama saya
sudah 67 tahun, tidak pernah periksa secara utuh. Itulah
kelemahan saya, saya rasa itu sebetulnya kalau memang
kita sudah rasa sakit, kita pergi untuk periksa.” (Tn. K 176-
189)
53
Perubahan juga dialami oleh riset partisipan dengan
aktifitasnya, yang selama ini riset partisipan disibukan dengan
pekerjaannya di sawah, kebun, maupun di lahan sawit.
Purubahan aktifitas membuat riset partisipan merasa cemas
dengan apa yang selama ini dilakukan.
“iyo, belum lagi ini gumuli itu sawah, kebun, sawit, apa
semua, siapa yang mau olah. Jadi memang kita gumuli
semua.(Tn.K68-70)
b. Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang
perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait
dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin
dicapai. Indikator ini tidak ditemukan pada riset partisipan.
c. Harga Diri (Self esteem)
Dari indikator ini, riset partisipan memiliki harga diri yang
rendah. Riset partisipan mengalami gangguan hubungan sosial
dengan menarik diri dari lingkungan, dengan mengambil
keputusan untuk tidak mengikuti kegiatan yang sering
dilakukan, seperti ibadah pagi dan melaksanakan tanggung
jawab sebagai ketua adat. Riset partisipan berpikir bahwa
dengan penyakit yang dialami sekarang, takut mengganggu
orang lain.
54
”sejak saya pernah di opname di RS Poso, sekarang saya
tidak ibadah subuh lagi, kalau dulu saya paling sering
ibadah subuh, karena saya sering batuk kalau subuh.
Sekarang juga saya malu ke kantor desa, karena nanti
orang-orang beranggapan dengan keadaan sakit begini,
masih suka urus permasalahan orang lain.(Tn. K 100-113)
d. Peran Diri (self role)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan merasa puas
dengan perannya sekarang. Walaupun dalam keadaan sakit,
peran masih dilakukan dengan baik. Walaupun ada rasa harga
diri rendah karena pemikiran sendiri, tapi karena kepercayaan
dari orang lain, sehingga riset partisipan merasa puas dengan
perannya, khususnya peran di masyarakat. Sampai saat ini,
riset partisipan masih memegang jabatan sebagai ketua adat di
desa Tomata.
”dengan pengabdian di desa dan di Negara ini, jadi kepala
desa, dia adat, penatua (Majelis di gereja) lalu, jadi saya
senang sekali, sudah bersyukur kalau saya sudah mati tiba-
tiba.” (Tn.K 133-137)
e. Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset
partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan
55
dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Riset partisipan yang ke III memiliki identitas yang jelas. Riset
partisipan menerima keadaan yang dihadapi sekarang.
Penerimaan akan penyakit yang dialami, walaupun ada
penyesalan diawal membuat riset partisipan mengenali akan
dirinya. Dukungan keluarga dan adanya kepercayaan dari
masyarakat untuk mengemban tugas, itulah yang membuat
riset partisipan tetap semangat untuk menjalani pengobatan,
dan ada semangat dalam diri riset partisipan sendiri untuk
sembuh.
“pertama kita minta sembuh, maka berdoalah. (Tn.K, 41)
“Dengan pengabdian di desa dan di negara ini. jadi kepala
desa, di adat, sampe sekarang ini masih ketua adat,
penatua lalu, jadi saya sudah senang sekali, sudah
bersyukur kalau saya sudah mati tiba-tiba” (Tn.K 133-137)
4.3 Pembahasan
Pembahasan dilakukan pada kelima indikator dari konsep
diri. Berdasarkan hasil analisa penelitian yang telah diperoleh,
pembahasan dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang
konsep diri penderita TB Paru di Puskesmas Tomata.
56
4.3.1 Gambaran diri (Body Image)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan riset
partisipan, partisipan I memiliki gambaran diri yang positif. Dilihat
dari indikator yang mendukung, itu terjadi karena adanya dukungan
keluarga maupun dukungan dari lingkungan sosial. Dukungan
keluarga menurut Friedman (1998) adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Penerimaan
dari keluarga inilah yang meningkatkan harga diri dan mengurangi
rasa cemas akan penyakit yang dialami oleh riset partisipan.
Penerimaan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
sosial yang dirasakan oleh riset partisipan adalah dengan terjalin
hubungan yang baik dengan orang lain dan itu dilihat dari cara
mereka ketika menjenguk partisipan dengan memberikan pelukan.
Itulah yang membuat riset partisipan merasa diterima. Hal ini
didukung oleh pendapat Melisa (2012), yang menyatakan bahwa
penderita tuberkulosis perlu mendapatkan dukungan sosial lebih,
karena dukungan dari orang–orang secara langsung dapat
menurunkan beban psikologis sehubungan dengan penyakit yang
dideritanya. Selain itu, dukungan sosial dapat mempengaruhi
tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, mudah putus
asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan.
57
Dukungan yang lebih utama berasal dari keluarga partisipan
juga tidak berhenti untuk memberi perhatian yang penuh kepada
partisipan dengan membantu untuk memenuhi kebutuhan
partisipan untuk makanan, jadwal minum obat serta dukungan
spiritual. Sehingga, partisipan merasakan perubahan yang sangat
luar biasa dalam hidupnya.
Riset partisipan yang ke II dan III memiliki gambaran diri
yang negatif karena adanya penolakan dalam diri sendiri.
Dukungan keluarga yang diterima sangat baik, tetapi penerimaan
diri dari partisipan terhadap keadaannya yang masih sulit. Hal ini
terjadi karena sebelum sakit, partisipan adalah pribadi yang sangat
aktif dalam berbagai hal baik pekerjaan, pelayanan maupun dalam
keluarga. Itu didukung juga karena adanya jabatan sebelumnya
yang mendukung rasa penerimaan diri partisipan. Berdasarkan
salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yakni
sumber internal, kekuatan dan perkembangan individu berasal dari
dalam dirinya. Itu berarti partisipan harus bisa mengolah emosi dan
pikirannya, sehingga partisipan dapat menerima keadaan dirinya
saat mengalami sakit.
4.3.2 Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan
tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang
58
terkait dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin
dicapai.
Dari hasil penelitian, hanya riset partisipan I yang memiliki
ideal diri yang realistis. Faktor yang mendukung adalah faktor
internal, yaitu kemauan dari dalam diri sendiri untuk sembuh. Faktor
internal ini bisa muncul karena adanya sumber eksternal yang
mendukung, yaitu dukungan keluarga, khususnya dari istri yang
selalu memperhatikan partisipan dengan mendorong untuk
pengobatan teratur, dan bagaimana keluarga selalu mendukung
dalam doa untuk kesembuhan partisipan. Selain itu, ketika
partisipan menerima keadaannya sekarang dan menyerahkan
semuanya kepada Tuhan, koping individunya lebih efektif sehingga
partisipan mempunyai tujuan hidup yang dia akan capai yaitu
kesembuhan.
4.3.3 Harga Diri (Self esteem)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan
partisipan, partisipan I dan III memiliki harga diri rendah, karena
alasan penyakit yang dialami. Alasan yang melatarbelakangi hal
tersebut yaitu menghambat aktifitas partisipan. Hal ini didukung
oleh pendapat Potter & Perry (2010) yang menyatakan bahwa
seseorang yang menderita penyakit kronis seperti TB Paru akan
mempengaruhi harga diri penderita baik secara langsung maupun
59
tidak langsung. Semakin banyak penyakit kronis yang mengganggu
kemampuan beraktivitas yang mempengaruhi keberhasilan
seseorang, maka akan semakin mempengaruhi harga diri.
Selanjutnya alasan yang membuat partisipan memiliki harga
diri rendah adalah banyaknya harapan-harapan yang ingin dicapai
partisipan dalam kehidupannya. Tetapi penurunan aktifitas dan
perasaan malu karena mengetahui penyakitnya dapat tertular
kepada orang lain membuat koping partisipan tidak adekuat yang
membuat partisipan menarik diri.
Harga diri dari partisipan II tinggi, ini dipengaruhi oleh
penerimaan diri partisipan dengan keadaannya, partisipan tidak
malu dengan penyakit yang dialaminya, dan juga partisipan tidak
menarik diri dari lingkungan sosial. Stuart, 2007 dalam teorinya
mengungkapkan harga diri yang tinggi adalah perasaan yang
berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walupun
melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa
sebagai seorang yang penting dan berharga.
4.3.4 Peran Diri (Self Role)
Menurut Stuart, (2007) peran diri adalah serangkaian pola
perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan
dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial.
Dari hasil analisa peran diri dari setiap riset partisipan, riset
partisipan I dan II tidak memiliki kepuasan dalam peran diri yang
60
dijalankan. Menurut Sayekti (1994) untuk mencapai keluarga yang
bahagia, masing-masing anggota keluarga perlu memahami dan
menjalankan fungsi keluarga. Respon dari kedua partisipan dengan
peran diri mereka adalah keduannya merasa terbeban karena
terhambatnya aktifitas dan peran mereka dalam keluarga. Banyak
hal yang ingin dilakukan oleh kedua partisipan, tetapi keadaan
menuntut pertisipan untuk tetap menjalani masa penyembuhan dan
semua pekerjaan rumah tangga diambil alih oleh istri bahkan
pemenuhan kebutuhan hidup dikerjakan oleh istri.
4.3.5 Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset
partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan dan
penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan menjadi
satu kesatuan yang utuh.
Dari hasil analisa setiap riset partisipan, memiliki identitas
yang jelas. Ini didukung oleh dukungan keluarga bagi mereka. ini
sangat membantu para riset partisipan untuk memiliki identitas yang
jelas. Dukungan keluarga sangat penting untuk para riset
partisipan. Selain adanya dukungan keluarga, dukungan spiritual
juga mendukung secara langsung. Adanya dukungan spiritual itu
61
membantu riset partisipan untuk menyerahkan semua keadaan
mereka kepada Tuhan, dan itu meningkatkan kepercayaan mereka
untuk berpengharapan. Kematangan umur itu juga membantu
partisipan untuk berpikir secara realistis dengan apa yang mereka
alami sekarang.