pemasaran kunyit.docx
DESCRIPTION
pemasaran hasil pertanianTRANSCRIPT
![Page 1: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan (perenial) yang
tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar disekitar
hutan/bekas kebun. Diperkirakan berasal dari Binar pada ketinggian 1300-1600 m dpl, ada
juga yang mengatakan bahwa kunyit berasal dari India. Kata Curcuma berasal dari bahasa
Arab Kurkum dan Yunani Karkom. Pada tahun 77-78 SM, Dioscorides menyebut tanaman
ini sebagai Cyperus menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak
beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina
Selatan, Taiwan, Indonesia (Jawa), dan Filipina
Tanaman kunyit tumbuh bercabang dengan tinggi 40-100 cm. Batang merupakan
batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang dengan warna hijau kekuningan dan
tersusun dari pelepah daun (agak lunak). Daun tunggal, bentuk bulat telur (lanset)
memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip dengan warna
hijau pucat. Berbunga majemuk yang berambut dan bersisik dari pucuk batang semu,
panjang 10-15 cm dengan mahkota sekitar 3 cm dan lebar 1,5 cm, berwarna
putih/kekuningan. Ujung dan pangkal daun runcing, tepi daun yang rata. Kulit luar
rimpang berwarna jingga kecoklatan, daging buah merah jingga kekuning-kuningan.
Pengembangan agribisnis temulawak saat ini terkonsentrasi pada 15 (lima
belas) propinsi, potensi ini masih terus dikembangkan mengingat hampir seluruh wilayah
Indonesia memiliki agroklimat yang cukup baik bagi pengembangan tanaman tersebut.
Berdasarkan potensi kesesuaian lahan (Puslitan) luas areal lahan dengan agroklimat yang
cocok untuk mengembangan temulawak mencapai 10.548.033 ha. Di Jawa tersebar pada 6
(enam) propinsi antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah D.I. Yogyakarta dan Jawa
Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan. Pelaku usahatani temulawak terdiri dari 2 (dua)
kategori yaitu usaha tani rakyat dan entrepreneur. Sebagaimana usaha tani tradisional
temu-temuan lainnya, usahatani temulawak rakyat pada umumnya diusahakan di lahan-
lahan yang sempit bahkan di pekarangan dengan lokasi yang tersebar
Page 1
![Page 2: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/2.jpg)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana prospek,potensi serta arah pengembangan tanaman kunyit ?
1.2.2 Bagaimana gambaran peluang agribisnis tanaman kunyit ?
1.2.3 Bagaimana cara pemasaran tanaman kunyit ?
1.2.4 Bgaimana kendala pemasaran tanaman kunyit ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui prospek,potensi serta arah pengembangan tanaman
kunyit
1.3.2 Untuk mengetahui gambaran peluang agribisnis tanaman kunyit
1.3.3 Untuk mengetahui cara pemasaran tanaman kunyit
1.3.4 Untuk mengetahui kendala pemasaran tanaman kunyit
1.3.5 Untuk menyelesaikan tugas praktikum PEP
Page 2
![Page 3: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/3.jpg)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prospek,Potensi serta Arah Pengembangan Tanaman Kunyit
2.1.1 Prospek
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keragaman hayati,
diantaranya adalah biofarmaka yang sangat bermanfaat dalam aspek medis (kesehatan)
baik langsung maupun tidak langsung. Saat ini masyarakat semakin menyadari tentang
makna kesehatan melalui perbaikan pola konsumsi, akibat trend “back to nature”
semakin meningkat, termasuk di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, perhatian dan
upaya memanfaatkan obat alami semakin meningkat dan temulawak merupakan salah
satu komoditas yang sangat diandalkan.
Pada tingkat dunia, nilai perdagangan obat herbal pada tahun 1995 di kalangan
masyarakat Uni Eropa mencapai sekitar 6 miliar dolar Amerika dan di Amerika
Serikat mencapai sekitar 1,5 miliar dolar. Di Jepang nilai perdagangan obat herbal
mencapai sekitar 2,1 miliar dolar Amerika, sedangkan di luar Jepang (RRC, Korea dan
sebagainya) mencapai 2,3 miliar dolar. Pada awal abad 21 ini, terjadi peningkatan
yang cukup signifikan dalam pertumbuhan obat-obat herbal, terutama di Eropa Barat,
RRC, Korea, India, Thailand, dan Malaysia. Menurut data Sekretariat Convention on
Biological Diversity (CBD), nilai penjualan global herbal obat pada tahun 2000 di
perkirakan mencapai 60 miliar dolar Amerika. Di balik perkembangan potensi yang
cukup menggembirakan tersebut, terdapat berbagai permasalahan yang memerlukan
solusi secara komprehensif, terpadu dan sistematis, agar perkembangan industri obat
herbal dapat berjalan dengan baik.
Page 3
![Page 4: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/4.jpg)
Mengingat obat herbal sangat menguntungkan sebagai penghasil devisa seperti
diuraikan diatas, maka sudah saatnya pula, Indonesia merintis penanaman temulawak
dalam kebun yang cukup luas dilengkapi dengan unit pengolahan sehingga dapat
menghasilkan bahan baku yang siap bersaing dengan luar negeri.
2.1.2 Potensi
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) merupakan tanaman asli Indonesia
dan termasuk salah satu jenis temu-temuan yang paling banyak digunakan sebagai
baku obat tradisional. Selain itu temulawak juga banyak ditemukan di hutan-hutan
daerah tropis, umumnya berkembang biak dengan baik di tanah tegalan sekitar
pemukiman terutama pada tanah gembur sehingga buah rimpangnya mudah
berkembang menjadi besar. Penyebaran tanaman temulawak di Indonesia di daerah P.
Jawa, yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sedikit tersebar di
Kalimantan Selatan.
Budidaya temulawak ditingkat petani dilakukan pada lahan yang tidak terlalu
luas antara 0,05 – 0,1 ha dengan kultivar yang beragam mengakibatkan timbulnya
masalah inefisiensi pada usaha tani dan mempengaruhi tingkat produktivitas dan mutu
hasil panen.
Perkembangan produksi temulawak selama 3 tahun terakhir, tertinggii pada
tahun 2004 sebesar 16.666.504 ton. Penyebaran areal dan hasil produksi temulawak di
Indonesia 3 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Page 4
![Page 5: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/5.jpg)
Perkembangan Areal & Produksi Temulawak dari Tahun 2002 – 2004.
N
oProvinsi
Areal (m2) Produksi (Kg)
2002 2003 2004 2002 2003 2004
1 Sumut 20.823 33.843 33.843 46.627 53.654 53.654
2 Riau 146.37
6
194.46
7
143.280 69.742 93.282 252.766
3 Jambi 29.194 26.018 10.936 60.818 30.503 34.461
4 DKI
Jakarta
1.005 2.535 3.472 1.049 3.860 4.579
5 Jabar 317.27
6
276.00
0
485.905 958.76
7
502.526 1.528.78
9
6 Jateng 2.316.4
48
3.496.8
44
3.600.10
3
2.501.6
02
4.992.05
3
6.765.54
6
7 Jatim 1.077.3
07
1.275.6
44
4.556.39
6
2.335.1
85
3.133.64
4
5.140.24
5
8 DI
Yogyaka
rta
1.022.0
48
1.275.2
40
1.405.25
1
991.45
1
2.521.62
5
2.375.62
1
9 Banten 51.805 103.42
0
132.788 78.484 189.519 205.071
1
0
Bali 10.503 19.302 13.597 18.472 34.225 29.916
1
1
Kalbar 7.509 49.596 23.989 5.932 45.893 31.229
1
2
Kaltim 1.475 6.635 20.104 1.811 41.989 42.839
1
3
Sulut 17.406 25.627 34.371 38.282 55.305 83.915
Page 5
![Page 6: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/6.jpg)
1
4
Sulsel 52.817 55.471 72.380 57.753 55.772 100.248
1
5
Gorontal
o
3.694 4.309 11.618 6.992 8.134 17.625
JUMLAH 2.759.2
40
5.421.5
11
10.239.4
95
7.172.9
69
11.761.9
84
16.666.5
04
Sumber : Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, 2005
2.1.3 Arah Pengembangan
Arah pengembangan agroindustri temulawak menuju pada suatu sistem
pertanian perdesaan yang terpadu di 15 provinsi sentra produksi temulawak,
sehingga dapat meningkatkan volume ekspor dan daya saing dengan produk luar
negeri. Pengembangan agroindustri ini dilakukan secara bertahap pada setiap
tahunnya (tahun 2006 – 2009), dengan tolok ukur pengembangan pada unit pasca
panen dan pengolahan hasil di perdesaan serta pengembangan distribusi dan
pemasaran.
2.2 Gambaran Peluang Agribisnis Tanaman Kunyit
Dewasa ini rata-rata kebutuhan bahan baku kunyit untuk industri kosmetik/
jamu tradisional yang ada di Indonesia antara 1,5-6 ton/bulan. Tingkat kebutuhan
pasar dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan persentase peningkatan 10-25%
per tahunnya. Kebutuhan lebih tinggi pada saat menjelang hari-hari besar/hari raya.
Permintaan kebutuhan industri di atas sebagian besar berasal dari pasokan para
Page 6
![Page 7: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/7.jpg)
petani. Melihat dari kebutuhan ratarata industri jamu dan kosmetik yang ada di dalam
negeri, suplai dan permintaan terhadap kunyit tidak seimbang, apalagi memenuhi
permintaan pasar luar negeri. Sementara kebutuhan kunyit dunia hingga saat ini
mencapai ratusan ribu ton/tahun. Sebagian kecil dari jumlah tersebut dipenuhi oleh
negara India, Haiti, Srilanka, Cina, dan negara-negara lainnya. Indonesia kini sudah
selayaknya membudidayakan tanaman ini, terutama dengan sistem
monokultur/tumpang sari sehingga produksi yang dicapai lebih cepat dan tinggi, agar
kebutuhan minimal dalam negeri terpenuhi secara optimal. Walaupun di daerah Jawa
Tengah kini sudah diupayakan system penanaman tersebut, juga diperhitungkan dari
sudut produktivitas dan jalur tata niaganya, namun luas lahan tanam yang ada belum
maksimal untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri yang mencapai ratusan ribu
ton/hanya.
Indonesia sebenarnya mulai mengekspor kunyit. Negara yang dituju antara
lain Asia (Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Jepang), Amerika, dan
Eropa (Jerman Barat dan Belanda). Pada tahun 1987, nilai ekspor tanaman kunyit
Indonesia menyumbangkan devisa yang besar bagi negara. Namun pada tahun
berikutnya jumlah ekspor tersebut mulai mengalami penurunan dan sempat terhenti
pada tahun 1989. Negara India, Cina, Haiti, Srilanka, dan Jamaika kini mulai
membudidayakan tanaman kunyit secara besar-besaran dan mereka sudah dapat
mengestimasikan produksinya hingga +20 ton/ha. Dari segi jalur tata niaga, kunyit
tergolong efisien, karena dari petani langsung disalurkan ke pedagang pengumpul,
lalu ke pabrik/pedagang besar. Maka harga yang diterima petani mencapai 70% dari
harga tingkat pabrik, dimana 30% merupakan marjin tata niaga yang terdiri atas 12%
marjin biaya dan 18% merupakan marjin keuntungan. Berdasarkan kondisi ini, tata
niaga kunyit bisa ditingkatkan lagi, karena marjin terbesar berada pada keuntungan
pedagang. Peluang agribisnis kunyit di Indonesia dapat dikembangkan. Kenyataan
ini dilandaskan pada tingkat produktivitas, jalur tata niaga, dan kebutuhan kunyit dari
berbagai industri yang membutuhkannya.
Page 7
![Page 8: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/8.jpg)
2.3 Pemasaran Tanaman Kunyit
2.3.1 Pengembangan temulawak terkonsentrasi pada 15 propinsi
Pengembangan agribisnis temulawak saat ini terkonsentrasi pada 15 (lima
belas) propinsi, potensi ini masih terus dikembangkan mengingat hampir seluruh
wilayah Indonesia memiliki agroklimat yang cukup baik bagi pengembangan
tanaman tersebut. Berdasarkan potensi kesesuaian lahan (Puslitan) luas areal lahan
dengan agroklimat yang cocok untuk mengembangan temulawak mencapai
10.548.033 ha. Di Jawa tersebar pada 6 (enam) propinsi antara lain Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur dan Provinsi Kalimantan
Selatan. Pelaku usahatani temulawak terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu usaha tani
rakyat dan entrepreneur. Sebagaimana usaha tani tradisional temu-temuan lainnya,
usahatani temulawak rakyat pada umumnya diusahakan di lahan-lahan yang sempit
bahkan di pekarangan dengan lokasi yang tersebar
2.3.2 Produk dijual dalam bentuk glondongan
Kebutuhan akan temulawak untuk industri dalam negeri mengalami
peningkatan, pada tahun 2000 kebutuhan mencapai 6.813 ton/th, meningkat di tahun
2001 sebesar 7.170 ton/th, selanjutnya pada tahun 2002 mengalamii peningkatan
hingga mencapai 8.104 ton/th. Peningkatan kebutuhan bahan baku ini berjalan
seiring dengan semakin banyaknya jumlah industri jamu, farmasi dan kosmetika.
Pada tahun 2000 kebutuhan tanaman temulawak (yang merupakan tanaman terbesar
ke 3 setelah tanaman lempuyang dan jahe) untuk lima industri jamu terbesar
mencapai 38.600 kg/bln atau 463.200 kg/tahun.
Untuk pemasaran dalam negeri, rimpang temulawak dijual secara gelondong
dengan memisahkan rimpang cabang dari rimpang induknya atau tanpa pemisahan
rimpang sama sekali. Sedangkan pemasaran ke luar negeri rimpang temulawak
diolah terlebih dahulu dengan cara pengeringan dalam bentuk simplisia.
Page 8
![Page 9: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/9.jpg)
Pemasaran temulawak di sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur sudah bermitra dengan pengusaha jamu. Walaupun demikian ada pula
yang secara langsung memasarkan ke pasar tradisional di tingkat Desa, Kecamatan
dan Kabupaten, bahkan melalui pedagang pengumpul dapat menembus pasar induk
di tingkat Propinsi.
Kemitraan terbentuk antara perusahaan Jamu skala Nasional dengan para
petani produsen, mengingat tidak semua pasokan dapat dipenuhi oleh perusahaan
Jamu tampa memperolehnya dari petani produsen, bahkan pada beberapa perusahaan
Jamu Nasional untuk beberapa bahan baku tertentu kadangkala perlu mengimpor dari
luar negeri, seperti RRC, India dan Vietnam.
2.4 Kendala Pemasaran Tanaman Kunyit
2.4.1 Belum adanya dukungan yang optimal dari pemerintah
Belum adanya kebijakan yang terpadu antara sektor pertanian dengan sektor industri, sektor iptek, dan kesehatan dalam rangka membangun agroindustri biofarmaka dan menumbuhkembangkan pelaku usaha tanaman obat, khususnya temulawak. Lebih lanjut, Pemerintah (Pusat dan Daerah) dan dunia usaha belum mempunyai dan komitmen yang kuat untuk membangun agroindustri biofarmaka yang berdaya saing tinggi.
Page 9
![Page 10: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/10.jpg)
2.4.2 Keterbatasan produksi untuk memenuhi permintaan perusahaan jamu
Produksi temulawak masih sangat terbatas akibat keterbatasan pemanfaatan pelaku usaha tanaman obat atau IRT / Pengusaha Jamu. Penerapan teknologi budidaya temulawak masih belum mengikuti GAP (Good Agriculture Practices) / GFP (Good Farming Practices), sehingga dapat terjadi sejenis bahan baku mempunyai keragaman kualitas satu dengan lainnya, sehingga produk yang dihasilkan jauh dari memuaskan baik dari aspek mutu (produk dan packaging) maupun kuantitas.
2.4.3 Penerapan Pasca panen dan pengolahan yang baik belum optimal
Pelaku usaha tanaman obat atau IRT/Pengusaha Jamu belum menerapkan teknologi pasca panen dan pengolahan secara profesional karena belum mendapat bimbingan secara intensif oleh Dinas terkait, tertutama belum adanya pedoman GHP (Good Handling Practices) dan GMP (Good Manufacturing Practices) yang dapat dipakai untuk usaha pengolahan berbagai komoditas. Sebagai konsekuensinya maka pemasaran masih mengalami kendala masalahj dan permasalahan terutama ekspor, akibat lemahnya daya saing produk.
2.4.4 Industri Pengolahan Tradisional
Mayoritas Industri Pengolahan di Indonesia masih dalam bentuk tradisional, sehingga mempengaruhi kompetisi daya saing produk, khususnya di luar negeri. Keterbatasan pengetahuan beberapa pelaku usaha IRT, mengakibatkan adanya pemakaian bahan-bahan terlarang untuk industri, sehingga memperparah keberadaan kondisi IRT tersebut. Sementara itu, industri pengolahan Jamu yang relatif besar atau skala Nasional, masih belum mempunyai komitmen untuk menularkan pengetahuan kepada pelaku usaha skala IRT.
2.4.5 Keterbatasan Data Base
Kendala Industri pengolahan skala Nnasional dan IRT dalam mengembangkan usaha mereka, antara lain disebabkan tidak tersedianya “Data Base” tanaman biofarmaka yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga sulit mengetahui kapasitas produksi tanaman obat di Indonesia, termasuk temulawak.
2.4.6 Kemitraan Sulit Berkembang.
Kemitraan merupakan suatu kebijakan yang diharapkan dapat berkembang, sehingga pelaku usaha IRT suatu saat dapat menjadikan bisnis mereka setaraf Nasioinal. Namun, berdasarkan kerjasama yang difasilitasi oleh Ditjen BPPHP pada tahun 2003, ternyata dari 15 kerjasama kemitraan hanya berjalan sekitar 4 buah. Secara umum, dapat dikatakan, kemitraan tersebut tidak dapat berkembang dengan baik, akibat satu dan lain hal.
Page 10
![Page 11: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/11.jpg)
2.4.7 Sistim Distribusi, Infrastruktur dan Sarana Transportasi belum Kondusif.
Penyebaran sentra produksi dengan skala kecil kurang menguntungkan agribisnis temulawak karena mengakibatkan biaya transportasi tinggi. Kondisi inii dipengaruhi oleh kurang memadainya infrastruktur pada hampir sebagian besar sentra produksi, seperti : Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, selain hal tersebut, alat transportasi yang tidak memadai memperburuk usaha pengolahan produk biofarmaka. Sehingga temulawak, belum mampu bersaing dengan temulawak impor yang relatif lebih rendah harganya.
2.4.8 Lemahnya Akses Sarpras dan Teknologi Lepas Panen dan Pengolahan
Keterbatasan penguasaan sarana dan prasarana teknologi pada sebagian besar pelaku usaha berdampak pada keterbatasan akses terhadap teknologi pasca panen dan pengolahan. Hal ini menciptakan sistim pasar yang tidak adil (”fair”) akibat penguasasan segelintir penguasa kuat dalam pasokan, teknologi pasca panen dan pengolahan serta pemasaran sehingga tercipta ”oligopsoni” . Kondisi tersebut diperparah dengan keberadaan sebagian besar petani belum memahami dan menerapkan GHP dan GMP dalam usaha pengolahan mereka untuk memperbaiki mutu produk.
2.4.9 Lemahnya akses terhadap Modal
Petani produsen dan pelaku usaha pengolahan umumnya mengalami keterbatasan terhadap modal, sehingga upaya perbaikan kualitas menjadi kendala. Lebih lanjut akses terhadap teknologi menjadi sangat terbatas serta beberapa teknologi yang tersedia dari Lembaga Penelitian mengalami distorsi sehingga tidak sampai kepada petani secara utuh.
Ketersediaan “Skim Kredit” dengan bunga rendah dari lembaga-lembaga keuangan di tingkat petani hingga saat ini belum terwujud, sehingga upaya pebaikan teknologi yang mengarah keperbaikan mutu belum berjalan akibat keterbatasan modal kerja.
Page 11
![Page 12: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/12.jpg)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengembangan agribisnis temulawak saat ini terkonsentrasi pada 15 (lima
belas) propinsi, potensi ini masih terus dikembangkan mengingat hampir seluruh
wilayah Indonesia memiliki agroklimat yang cukup baik bagi pengembangan
tanaman tersebut.
Untuk pemasaran dalam negeri, rimpang temulawak dijual secara gelondong
dengan memisahkan rimpang cabang dari rimpang induknya atau tanpa pemisahan
rimpang sama sekali. Sedangkan pemasaran ke luar negeri rimpang temulawak
diolah terlebih dahulu dengan cara pengeringan dalam bentuk simplisia.
3.2 Saran
Page 12
![Page 13: pemasaran kunyit.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082400/55cf9b6b550346d033a5fd84/html5/thumbnails/13.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/kunyit.pdf
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:LeqtHPE3WW4J:agribisnis.deptan.go.id/xplore/view.php%3Ffile
%3DPENGOLAHAN-HASIL/PENGOLAHAN%2520HASIL/ROADMAP
%2520horti/RM%2520TOR%2520TEMULAWAK
%2520rev.doc+pemasaran+temulawak&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox
-a
Page 13