pemanfaatan jamur entomopatogen synnematium sp. dan beuveria bassiana untuk mengendalikan wereng...
TRANSCRIPT
SEMINAR 1 SKS
Judul : Pemanfaatan Jamur Entomopatogen Synnematium
sp. dan Beuveria bassiana untuk Mengendalikan
Wereng Pucuk (Sanurus indecora Jacobi) dan Kepik
Penghisap (Helopeltis antonii) Pada Tanaman
Jambu Mete (Anacardium occidentale).
Nama : Agus Zumrotul Arifin
N P M : E1D050001
Dosen Pembimbing :
Tanda Tangan :
Hari/Tanggal :
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi dan sebagai sumber devisa. Salah satu
kendala peningkatan produksi jambu mete adalah serangan hama dan penyakit.
Salah satu hama penting pada tanaman jambu mete adalah wereng pucuk (Sanurus
indecora) dan kepik penghisap (Helopeltis antonii). Serangan S. indecora dapat
menyebabkan kehilangan hasil 57,83 % (Tri Lestari Mardiningsih, 2007).
Sedangkan serangan yang disebabkan oleh H. antonii sekitar 43,27-67,4% (Tri
Eko Wahyono, 2006). Pengendalian S. indecora dan H. antonii dapat dilakukan
secara fisik/ mekanis serta pengendalian biologi dengan memanfaatkan jamur
entomopatogen Synnematium sp. Sebagai pengendali S. indecora dan jamur
entomopatogen B. bassiana sebagai pengendali H. antonii. Pengendalian dengan
menggunakan musuh alami sangat prospektif dikembangkan karena ramah
lingkungan. Pengendalian dengan insektisida sintetis juga efektif, tetapi
penggunaannya harus bijaksana agar tidak menimbulkan dampak negatif seperti
pencemaran lingkungan, resistensi dan resurjensi hama sasaran, terbunuhnya
musuh alami, dan keracunan bagi petani.
Dengan demikian, pengendalian hama jambu mete dianjurkan secara
terpadu dengan memanfaatkan berbagai komponen pengendalian yang ramah
lingkungan. Salah satunya adalah dengan menggunakan cendawan Synnematium
sp. dan B. bassiana yang tersedia di alam.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memanfaatkan
penggunaan musuh alami yang diantaranya adalah jamur entomopatogen
Synnematium sp. dan B. bassiana dalam mengendalikan hama penting pada
tanaman jambu mete. Penggunaan jamur entomopatogen adalah bagian dari
konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang menjadi program pemerintah,
penggunaan jamur entomopatogen ini dipilih sebagai upaya untuk menanggulangi
adanya sifat resistensi yang diakibatkan oleh penggunanan pestisida sintetik, sifat
resinten berarti meningkatkan daya tahan yang di sebabkan oleh serangga hama
yang tahan (tidak mati) pada saat penyemprotan insektisida.
Pengendalian dengan menggunakan jamur entomopatogen ini juga
betujuan untuk menghasilkan buah jambu mete yang bebas residu pestisida
sintetik karena pengendalian hamanya menggunakan musuh alami.
Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya konsep Pengendaliah Hama
Terpadu dengan menggunakan jamur entomopathogen ini dapat menjadi
pengendalian hama yang paling efektif dan efisien dalam mengendalikan hama
penting tanaman jambu mete.
II. PEMBAHASAN
2.1 Hama Penting Tanaman Jambu Mete
2.1.1 Kepik Pengisap (Helopeltis antonii)
Kepik pengisap atau Helopeltis sp. termasuk hama penting pada tanaman
jambu mete, dia menyerang pucuk muda, tunas, bunga, biji, buah dan daun. Kepik
ini mengisap cairan tumbuhan dengan menusuk, tanaman menjadi coklat di
tempat tusukan. Disamping jambu mete, hama ini juga memakan banyak tanaman
lain, diantaranya: teh, kakao, lamtoro, alpokat, mangga, dadap, ubi jalar, dll.
Serangan yang berat pada tunas dapat menyebabkan pucuk layu dan mati.
Bunga yang terserang berubah menjadi hitam dan mati. Biasanya jumlah kepik
pengisap paling tinggi di kebun jambu mete pada akhir musim hujan (Deptan,
2001).
Menurut Borror dkk, (1992) klasifikasi Helopetis antonii adalah :
Kingdom : Animalia
Phillum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
Famili : Miridae
Genus : Helopeltis
Spesies : Helopeltis antonii
Di pembibitan, nimfa instar pertama dan kedua pertama-tama menyerang
daun muda kemudian pucuk. Gejala serangan ditandai dengan adanya bercak-
bercak transparan berbentuk elips di sepanjang tepi tulang daun dan bentuk segi
empat pada helai daun. Bercak tersebut pada hari berikutnya berubah menjadi
cokelat. Serangan yang berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Larva instar
ketiga menyerang tunas kemudian ke bagian batang. Gejala serangan ditandai
dengan adanya bercak cokelat tua berbentuk elips. Serangan nimfa pada bibit
yang berumur 2-3 bulan menyebabkan pertumbuhan bibit terhambat (Wiratno et
al. 1996).
Nimfa instar keempat dan kelima mengisap cairan pucuk lebih banyak
dibanding serangga dewasa. Nimfa instar kelima dan serangga betina lebih
berpotensi menimbulkan kerusakan dibanding nimfa instar pertama, kedua,
ketiga, keempat dan serangga jantan (Atmadja 1999), nimfa H. antonii terutama
menyerang bagian tengah dan bawah tajuk tanaman.
Serangga dewasa mula-mula menyerang daun muda, kemudian berlanjut
ke bagian batang yang muda. Gejala serangan ditandai dengan timbulnya bercak
cokelat tua berukuran 8-10 mm. Serangan berat pada pucuk menyebabkan pucuk
mati sehingga mempengaruhi pembungaan. Bila seranngan terjadi pada saat
pertumbuhan tanaman memasuki fase generatif, pucuk tidak dapat menghsilkan
tangkai bunga.
Selain menyerang pucuk, daun muda dan bunga, H. antonii juga
menyerang buah semu. Serangan pada buah semu yang berumur lebih dari 5
minggu menyebabkan pertumbuhan buah tidak normal. Bila seranga terjadi pada
buah yang berumur kurang dari empat minggu, buah akan mengering, berwarna
hitam kemudian gugur (Wiratno et al. 1996).
Menurut Nair et al. (1979) dan Ohler (1979), H. antonii menyerang daun,
cabang bunga, gelondong, dan buah semu jambu mete. Daun yang terserang
terhambat pertumbuhannya dan menjadi kering. Serangan pada bunga
menyebabkan kegagalan pembuahan. Buah semu yang terserang berwarna
cokelat tua akhirnya mengering dan gugur.
Berdsarkan hasil penelitian Karmawati et al. (1999), imago H. antonii
memberikan kontribusi terhadap kerusakan pada bagian atas tajuk tanaman.
Gambar 1. Nimfa Gambar 2. pucuk yang rusak Gambar 3. Imago
oleh helopeltis
( Deptan, 2001)
Daur hidup
Telur berwarna putih krem berbentuk lonjong. Diletakkan pada pucuk
daun dan jaringan muda yang masih lunak. Nimfa ganti kulit lima kali. Dewasa
mampu bertelur hingga 200 butir. Waktu makannya biasanya pagi dan sore.
Kehidupannya juga terpengaruh cahaya, sehingga bila terlalu terang dan panas,
nimfa muda akan pergi ke pupus dan dewasanya ke sela-sela daun yang berada di
sebelah dalam, lebih menyukai tempat yang gelap (Deptan, 2001).
2.1.2 Wereng Pucuk (Sanurus indecora)
Menurut Borror dkk, (1992) klasifikasi Sanurus indecora adalah :
Kingdom : Animalia
Phillum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Homoptera
Famili : Flatidae
Genus : Sanurus
Spesies : Sanurus indecora
Siklus hidup adalah waktu yang diperlukan serangga untuk berkembang
mulai dari telur diletakkan hingga menjadi dewasa dan bertelur. Siklus hidup S.
Indecora belum diketahui karena dalam penelitian, serangga dewasa (imago)
umumnya telah mati sebelum meletakkan telur. Imago S. indecora menyerupai
kupu-kupu. Tubuh dan tungkai berwarna kuning pucat, sedangkan warna kepala
dan sayap bervariasi, yaitu putih, hijau pucat atau putih kemerahan. Pada kepala
terdapat sepasang mata majemuk berwarna coklat gelap. Panjang dari ujung
kepala sampai ujung sayap sekitar 8−10 mm dan lebar sayap 3−4 mm.
Gambar 4. Imago S. Indecora
(T. L. Mardiningsih, 2007)
Saat hinggap, sayap menutup tubuh dengan posisi tegak ke bawah
(Gambar 4). Pada tegmen (sayap depan) kadang-kadang terlihat garis merah di
sepanjang tepinya. Tegmen, postclaval membentuk sudut tegak lurus.Venasi
tegmen banyak cross veins, vena anal membentuk huruf Y pada bagian ujung.
Tibia tungkai belakang hanya mempunyai satu spina lateral. Carina pada frons 1
berbentuk U dan 1 membujur di tengah (Siswanto et al. 2003). Periode imago
berlangsung 5−6 hari (Mardiningsih et al. 2004).
Telur S. indecora diletakkan secara berkelompok 30−80 butir pada
permukaan bawah daun, tangkai daun, dan atau tangkai pucuk, ditutupi lapisan
lilin berwarna putih atau kuning. Periode telur berlangsung 6−7 hari (Siswanto et
al. 2003; Mardiningsih et al. 2004). Telur berwarna putih, lalu berubah menjadi
coklat menjelang menetas. Telur berbentuk oval, panjang 0,95−1,09 mm dan lebar
0, 37−0,47 mm.
Menurut Siswanto et al. (2003), berbeda dengan S. indecora, telur L.
candida diletakkan berderet memanjang 2−6 baris dan tidak tertutup lapisan lilin.
Nimfa berwarna krem dan tertutup tepung lilin berwarna putih, jika dipegang
terasa lengket.
Nimfa dan imago tidak aktif bergerak, hanya meloncat atau terbang dekat
bila terganggu. Kepadatan populasi pada satu karangan bunga mencapai 80 ekor
atau lebih (Siswanto et al. 2003). Periode nimfa berlangsung 42−49 hari
(Mardiningsih et al. 2004). Di Kayangan, Lombok Barat, S. indecora indecora
mulai menyerang tanaman jambu mete pada awal musim kemarau (bulan Mei)
dan makin meningkat pada saat tanaman memasuki fase generatif. Pada musim
berbunga, serangga biasanya menutupi tangkai bunga. Puncak populasi hama
terjadi pada bulan Juli dan Agustus, saat tanaman mulai berbunga dan berbuah.
Populasi menurun pada bulan Oktober bersamaan dengan berakhirnya fase
generatif.
Walaupun populasi hama ini rendah, bekas keberadaannya mudah
dikenali dengan adanya embun jelaga pada permukaan daun bagian atas serta
lapisan lilin dan kulit nimfa (eksuvia) yang ditinggalkan pada waktu nimfa
berganti kulit (Wiratno dan Siswanto 2002).
Selain faktor lingkungan (musim kemarau), ketersediaan makanan dan
musuh alami terutama parasitoid telur (Aphanomerus sp.) sangat mempengaruhi
perkembangan populasi hama tersebut (Siswanto et al. 2002).
Menurut Rahardjo (2006), populasi S. indecora di daerah pantai, dataran,
dan perbukitan menunjukkan bahwa populasi terbanyak ditemukan pada tumpang
sari antara jambu mete dengan kacang, kemudian diikuti tumpang sari jambu mete
dengan padi, serta monokultur (jambu mete saja). Di pantai, dataran, maupun
perbukitan pada pengamatan awal bulan Februari 2004, S. indecora muncul
dengan populasi berkisar 2−10%. Selanjutnya pada bulan Maret, April, dan Mei,
populasi meningkat dan setelah itu bervariasi, bergantung pada topografi dan pola
usaha tani.
Daur hidup
Telur diletakkan secara berkelompok pada daun jambu mete oleh wereng
betina. Setelah menetas, nimfa mengisap cairan dari daun jambu mete. Nimfa
ganti kulit beberapa kali, terakhir kali dia menjadi dewasa bersayap (Deptan,
2001).
2.2 Pemanfaatan jamur entomopatogen
2.2.1 Pemanfaatan Synnematium sp. untuk mengendalikan Sannurus
indecora
Jamur Synnematium sp. cukup efektif membunuh dewasa wereng putih
jambu mete (sanurus), Jamur ini juga membunuh telur wereng tersebut. Jamur
Synnematium ditandai dengan tumbuhnya benang-benang miselium jamur yang
berwarna cokelat pada bagian tubuh wereng yang sekaligus menempel pada
tempat dia berada. Walaupun ada angin yang bertiup cukup kencang namun
wereng putih yang mati tersebut tetap masih menempel pada tanaman. Selain
menyerang dewasa wereng putih, jamur ini juga dapat menyerang kelompok telur
wereng, sehingga telur tersebut tidak dapat menetas dan sekaligus menjadi sumber
untuk patogen ini menyerang lebih banyak wereng lagi. Jika menemukan wereng
putih jambu mete yang terserang jamur Synnematium, biarkan saja di pohon,
sehingga jamur tersebut akan menyebar dan membunuh lebih banyak wereng.
Cara pengendalian S. indecora yang prospektif untuk
dikembangkan ialah dengan menggunakan cendawan Synnematium sp. Cendawan
ini pertama kali ditemukan menginfeksi S. indecora, sehingga spesifik untuk S.
indecora. Selain itu, cendawan ini mudah dibiakkan di laboratorium pada media
Potato Dextrose Agar (PDA) lalu dilanjutkan pada media beras/jagung. Karena
berasal dari alam maka pengendalian dengan cendawan ini ramah lingkungan.
Selain itu, S.indecora tersedia di lapang. Cendawan Synnematium sp. Pertama
kali ditemukan menyerang telur dan imago S. indecora. Serangga yang mati
terinfeksi akan tertutup massa cendawan berwarna cokelat, dan umumnya tetap
menempel pada daun atau tunas tanaman. Di NTB, serangan cendawan ini
ditemukan di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Narmada, Lombok Timur
(Purnayasa 2001).
Berdasarkan identifikasi Cooke (1978) dalam Wikardi et al. (2001),
cendawan Synnematium sp. (belum diketahui spesiesnya) termasuk ke dalam grup
simbiosis antagonis fakultatif.
Cendawan ini hidup dengan bersimbiosis (nektrotropik) dan dapat
berkembang dengan baik pada saat bebas (saprofit). Menurut Aquino (1987),
Synnematium sp. umumnya bersifat saprofit dan kontaminan laboratorium.
Menurut Barnett dan Hunter (1972), Synnematium sp. memiliki ciri synnemata
sederhana atau bercabang, coklat ketika matang, phialid sebagian besar pada
ujung cabang, ramping, menyempit ke ujung yang runcing, konidia hialin sampai
coklat pucat, ditutupi mukus, beberapa spora bersatu dalam kelompok, sklerotia
bulat, menjadi coklat dengan sel yang berdinding tebal, dan bersifat parasit pada
serangga. Cendawan Hirsutella citriformis juga berhasil diidentifikasi dari imago
S. indecora yang menunjukkan gejala serupa dengan Synnematium sp. (Wahyuno
et al. 2003). Cendawan H. citriformis juga ditemukan pada Diaphorina citri
(Homoptera: Psyllidae) pada tanaman jeruk di Klaten, Jawa Tengah (Subandiyah
et al. 2000 dalam Siswanto et al. 2003).
Purnayasa (2004) juga menemukan Diaphorina sp. (vektor penyakit
CVPD) pada tanaman jeruk yang terserang cendawan Synnematium sp. Cendawan
dapat tumbuh baik pada media PDA. Uji patogenisitas di laboratorium
menunjukkan dalam waktu 5 hari 10 ekor Diaphorina sp. yang diuji semuanya
mati dan pada hari ketujuh ditumbuhi cendawan Synnematium sp. Pengolesan
suspensi cendawan Synnematium sp. pada tubuh serangga dewasa menyebabkan
kematian hingga 100% pada hari ke-11, sedangkan pengolesan suspensi cendawan
pada inang (makanan) menyebabkan kematian sampai 100% pada hari ke-9.
Pengolesan suspensi cendawan pada tubuh serangga dewasa dan inang (makanan)
menyebabkan kematian sampai 100% pada hari ke-8. Pada penelitian semilapang,
pengendalian S. indecora dengan Synnematium sp. konsentrasi 20, 30, dan 40 g/l
yang diaplikasikan pada telur, nimfa, imago, serta bibit, menyebabkan kematian
nimfa hingga 9,83 ekor (dari rata-rata 10 ekor). Pada konsentrasi 20 g/l, rata-rata
telur, nimfa, dan imago yang terserang Synnematium sp. berturut-turut 8,83; 9,83;
dan 8,83 ekor (dari rata-rata 10 ekor) (Mardiningsih et al. 2006).
Dalam penelitian di lapang, Synnematium sp. konsentrasi 20 g/l atau setara
dengan konsentrasi spora 1,64 x 108 efektif menekan populasi S. indecora hingga
23,86%. Untuk penyemprotan di lapang, cendawan dalam media jagung atau
beras dihancurkan, lalu ditempatkan dalam wadah yang berisi air, kemudian
disaring dan dimasukkan ke dalam alat semprot. Penyemprotan dilakukan pada
sore hari atau menjelang malam agar cendawan memiliki kesempatan yang lebih
lama untuk berkembang sebelum terkena cahaya matahari keesokan harinya.
Synnematium sp. yang digunakan adalah yang sudah diperbarui. Cendawan
sejenis yaitu Synnematium jonesii diketahui menginfeksi Udonga montana
(Hemiptera: Pentatomidae), kepik penyengat pada tanaman kopi di India. Di
Amerika, Synnematium juga dilaporkan memparasit Mezira emarginata dan M.
lobata di Louisiana, Harpalus sp. Di California, Pardomis sp. di Columbia,
Philonthus sp. di Maine, dan wereng daun di Costa Rica. Selain itu, Synnematium
juga menyerang Pororeus simulans di Filipina, Basilides bipinnis di SierraLeone,
Promecotheca bicolor di Fiji.
Gambar 8. S. indecora yang terserang Synnematium sp.
(T. L. Mardiningsih, 2007)
2.2.2 Pemanfaatan Beauveria bassiana untuk mengendalikan Helopeltis sp.
Menurut Hughes, 1971 klasifikasi B. bassiana adalah :
Kingdom : Fungi
Phillum : Ascomycota
Kelas : Hypomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Clavicipitaceae
Genus : Sanurus
Spesies : Sanurus indecora
Jamur B. bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya
kumbang, ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada
serangga yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga pada
tanaman atau pohon. Jamur Beauveria bassiana berwarna putih (lihat gambar),
dan biasanya cukup kelihatan pada badan inangnya. Jika dilihat dengan kaca
pembesar, spora jamur ini ternyata tumbuh berkelompok, sehingga berupa bola-
bola spora.
Gambar 9. Imago H. antonii yang terinfeksi B. bassiana, laboratorium
Balittro, Bogor, 2003/2004
Daur hidup
Jamur Beauveria bassiana tumbuh pada serangga, kemudian membuat
spora (semacam biji). Spora lepas dari jamur dan dibawa angin atau air ke tempat
lain. Jika spora kena serangga, bisa tumbuh menjadi jamur lagi.
Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine
karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya
oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya. Cendawan ini memiliki
kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera,
dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-
serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988). Serangga inang
utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain: kutu pengisap
(aphid), kutu putih (whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang, ulat,
thrips, tungau, dan beberapa spesies uret. Sedangkan habitat tanamannya mulai
tanaman kedelai, sayur-sayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga
tanaman-tanaman hutan. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada
kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya.
Hunt et al. (1984) menyatakan bahwa perkecambahan konidia cendawan baik
pada integumen serangga maupun pada media buatan umumnya membutuhkan
nutrisi tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan nitrogen,
terutama untuk pertumbuhan hifa (Thomas et al., 1987).
B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kučera dan
Samšiňáková, 1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang
disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak, B.
bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi
pakan. Broome et al. (1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. Bassiana
yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di
dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya
mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam.
Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri
hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B.
Bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan
kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala
pertumbuhan spora. Contohnya, aphid yang terinfeksi B. bassiana hanya
mengalami pembengkakan tanpa terjadi perubahan warna.
Demikian pula tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering
ditemukan secara berkelompok pada ujung-ujung rerumputan (Plate, 1976).
Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara
menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut
Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran
pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian.
Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia
B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan
oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B.
Bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya.
Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh
kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase
resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada
kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. Bassiana
secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian.
Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga
menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama
pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah
terinfeksi oleh bakteri maupun virus.
Metode
Bahan yang digunakan adalah H. antonii yang telah dikembangbiakkan di
laboratorium dan B. bassiana yang diperbanyak dengan media jagung. Dua isolat
B. bassiana yang digunakan masing-masing berasal dari Jombang dan
Leptocorisa sp. yang terinfeksi jamur tersebut. Dua strain jamur B. bassiana yang
telah diperbanyak pada media jagung ditimbang 10 g kemudian ditambahkan air 1
liter dan dua jenis perekat perata masing-masing 0,2 ml. Perekat perata masing-
masing mengandung bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat serta alkil
gliserol ftalat (T. E. Wahyono, 2006). Larutan tersebut selanjutnya disemprotkan
pada tanaman jambu mete, ditunggu sampai tanaman tersebut kering, lalu di
masukkan imago H. antonii sebanyak 10 ekor pada masing- masing tanaman lalu
dikurung dengan menggunakan kurungan yang terbuat dari kain kasa. Bibit
tanaman jambu mete sebagai tanaman uji berumur 6 bulan dan pertumbuhannya
seragam. Bibit merupakan hasil pembibitan di rumah kaca. Perlakuan yang diuji
adalah lima kombinasi strain B. bassiana dan perekat perata (Tabel 1). Alat-alat
yang digunakan pada percobaan ini adalah alat semprot, tabung erlenmeyer,
tabung reaksi, timbangan elektrik, pengaduk, kurungan kasa, stoples, autoclave
yaitu alat sterilisasi media buatan untuk perbanyakan B. bassiana, jarum ose, serta
laminar flow untuk menginokulasikan jamur B. Bassiana pada media jagung.
Tabel 1. Perlakuan kombinasi strain B. bassiana dan perekat perata
yang diuji di laboratorium Balittro, Bogor, 2003/2004
Kode Perlakuan
A
B
C
D
E
B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat
B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat
B. bassiana strain Leptocorisa + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat
B. bassiana strain Leptocorisa + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat
Kontrol (tanpa B. bassiana dan tanpa perekat perata)
Parameter yang diamati dan diukur adalah tingkat kematian H. antonii
setelah aplikasi dengan jamur B. Bassiana dan tingkat serangan H. Antonii pada
bibit jambu mete Tingkat kematian H. antonii dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
P = a/b x 100 %
Ket.
P = persentase kematian
a = jumlah serangga yang mati
b = jumlah serangga yang diamati
Tingkat serangan H. Antonii pada bibit jambu mete diketahui berdasarkan
pertumbuhan vegetatif yang meliputi: (a) tinggi tanaman, diukur dari leher akar
sampai dengan titik tumbuh, (b) diameter batang, diukur 5 cm di atas pangkal
batang dengan menggunakan jangka sorong/sigmat, dan (c) jumlah daun yang
tumbuh.
2.3 Kesimpulan
Pengendalian S. indecora dan H. antonii pada tanaman jambu mete sebaiknya
dilakuakan secar terpadu dengan memanfaatkan berbagai komponen
pengendalian, yaitu secara fisik/mekanis, biologi dengan jamur patogen serangga
Synnematium sp. dan B. bassiana. Alah satu pengan hama terpadu yang prospektif
dikembangkan ialah dengan Synnematium sp. dan B. bassiana karena ramah
lingkunan dan tersedia di lapangan.
Daftar Pustaka
Atmadja, W. R. 2003. Status Helopeltis antonii Sebagai Hama Pada Beberapa
Tanaman Perkebunan dan Pengandaliannya. Jurnal Litbang
Pertanian,22(2):57-62.
Borror, D.J., Charles A.T., & Norman, F.J.1992. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jendral Bina Produksi
Perkebunan, Departemen pertanian. 2001. Musuh Alami, Hama dan
Penyakit Tanaman Jambu Mete. Proyek Pengendalian Hama Terpadu
Perkebunan Rakyat, Jakarta. 60 hlm.
Mardiningsih,T. L. 2007. Potensi Cendawan Synnematium sp. Untuk
Mengendalikan Wereng Pucuk Jambu Mete (Sannurus indecora Jacobi).
Jurnal Litbang Pertanian, 26(4):146-151.
Karmawati, E & T.L. Mardiningsih. 2005. Hama Helopeltis Pada Jambu Mete
dan Pengendaliannya. Perkebunan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat.
Wahyono, T. E. 2006. Pemanfaatan Jamur Patogen Serangga Dalam
Penanggulangan Helopeltis antonii dan Akibat Serangannya Pada
Tanaman Jambu Mete. Buletin Teknik Pertanian vol. 11 No. 1: 17- 21.
Wiratno, E. A. Wikardi, I.M. Trisawa & Siswanto. 1996. Biologi Helopeltis
antonii (Hemiptera;Miridae) Pada Tanaman Jambu Mete. Jurnal Penelitian
Tanmanan Industri II(1):36-42.