pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya warisan... · filosofi sangkan paraning dumadi dan...
TRANSCRIPT
PELESTARIAN WARISAN BUDAYA JAWA DAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK MENDUKUNG
INDUSTRI PARIWISATA DI DIY
Oleh : Ir. H. YUWONO SRI SUWITO, MM
________________________________________________
SIMPOSIUM LINGKUNGAN HIDUP DAN PARIWISATA DALAM RANGKA MEMPERINGATI 20 TAHUN KERJASAMA PROPINSI DIY DENGAN
KYOTO - PERFECTURE, JEPANG YOGYAKARTA : 18 - 19 JULI 2005
PELESTARIAN WARISAN BUDAYA JAWA DAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI PARIWISATA DI DIY *
Oleh : YUWONO SRI SUWITO
A. PENDAHULUAN Permasalahan yang seolah-olah kontroversial yaitu untuk melestarikan
warisan budaya dan lingkungan hidup lewat jalur pariwisata yang justru
pernah terkenal sebagai “perusak kebudayaan “ hendaknya dilihat sebagai
suatu pandangan yang masih umum sifatnya serta untuk kita teropong
dalam ruang lingkup pembangunan nasional secara menyeluruh. Disatu
pihak kita membangun, kita merobah keadaan, kadang-kadang terpaksa
merubah dan merusak yang ada, kita terus maju, namun dilain pihak
dianggap wajar kalau kita was-was dan prihatin terhadap warisan budaya
dan lingkungan yang dalam keadaan serba ringkih, dan seharusnya wajib
kita pertahankan terhadap segala gangguan dan bahaya yang
mengancamnya. Amanat warisan budaya dan lingkungan hidup
hendaknya terus kita emban dengan usaha pelestarian dan pemanfaatan
yang aktif positip, karena demikian saratnya dengan nilai-nilai filosofi,etika,
dan pesan moral untuk senantiasa kita dalami, kita pelihara, kita bina, kita
bangun dan dimana perlu kita kembangkan demi kepentingan hidup
manusia secara utuh dan menyeluruh.
B. WARISAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN HIDUP DI YOGYAKARTA.
Membicarakan masalah pelestarian warisan budaya dan lingkungan
hidup di Yogyakarta tidak dapat lepas dari keberadaan Karaton
Yogyakarta sebagai cikal bakal pusat pemerintahan dan pusat
Kebudayaan Yogyakarta. Jika ditelusuri lebih jauh dan mendalam
pemilihan lokasi Karaton Yogyakarta pun tidak lepas dari unsur budaya,
religi, filosofi, lingkungan dan teknis yang begitu kuat berpengaruh
terhadap penentu kebijakan pada saat itu. _______________________ * Makalah ini disampaikan pada kegiatan Simposium "Lingkungan Hidup dan Pariwisata"
Memperingati 20 Tahun Kerjasama Propinsi DIY - Kyoto Prefecture, Japan. Yogyakarta,18 - 19 Juli 2005.
1
Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) sebagai
seorang arsitek, negarawan dan budayawan sejati pada saat menentukan
letak Karaton Yogyakarta sangat memegang teguh nilai historis maupun
filosofis-religius yang sangat dipercaya akan berpengaruh terhadap sikap
perilaku dirinya sebagai raja sampai pada para kawulanya. Dari sisi topografi, pemilihan letak Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat sebagai inti kota Yogyakarta sangat menguntungkan. Letak
kota di tanah datar dengan kemiringan 0 - 2 % ke arah selatan, di antara
enam sungai yang mengapit secara simetris yaitu sungai Code dan
Winanga di ring pertama, sungai Gajahwong dan kali Bedog di ring kedua
serta sungai Opak dan sungai Progo di ring ketiga sangat menguntungkan
bagi usaha pertanian, mempercepat peresapan air hujan dan sangat
menguntungkan bagi pembuatan drainase kota. Tanah yang subur karena
dekat dengan ginung Merapi dan rakyat tetap tenang apabila terjadi
letusan gunung Merapi dikarenakan banyaknya rintangan di sebelah
selatan gunung Merapi yang menghalangi banjir lahar yang menuju ke
arah kota Yogyakarta.
Penentuan lokasi Karaton Yogyakarta yang diapit oleh sungai besar,
di sebelah utara ada gunung Merapi dan sebelah selatan ada laut Selatan
ini dapat dianalogikan dengan pemilihan lokasi bangunan suci oleh orang
– orang Hindu. Menurut kitab-kitab suci agama Hindu untuk lokasi
bangunan suci yang berupa candi dipilih tempat yang berbeda dengan
alam sekitarnya karena menampakkan kekuasaan dewa atau keajaiban
lainnya. Puncak gunung dan lereng bukit, daerah kegiatan vulkanik,
dataran tinggi yang menjulang di atas tepi lembah, tepian sungai atau
danau, tempat bertemunya dua sungai, adalah diantaranya daerah yang
baik untuk lokasi bangunan suci (Soekmono,1991). Apabila kita telusuri
aliran sungai Progo dan Elo merupakan padanannya sungai Gangga dan
Jamuna di India dan tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan suci kota
Bodh Gaya dan stupa Bharhut kalau di indonesia candi Borobudur, begitu
pula Ngayogyakarta yang diapit oleh dua sungai besar, sungai Opak dan
sungai Progo di ring paling luar serta sungai Code dan Winongo di ring
yang paling dalam. Puncak gunung (gunung Meru) menurut mitologi Hindu
2
merupakan tempat bersemayamnya para dewa yang di Yogyakarta
diwakili Gunung Merapi, dan Laut Selatan mewakili samudera yang
mengelilingi gunung Meru. Gunung sebagai ketenangan tempat suci,
dataran pemukiman sebagai tempat aktifitas kehidupan manusia dan laut
sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang hanyut
dan dihanyutkan ke laut.
Menurut konsep Kosmogoni yang berpangkal pada kepercayaan
tentang adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos,
antara alam semesta atau jagat raya dengan dunia manusia termasuk raja
dan kerajaannya, dalam skala yang lebih kecil jagang yang mengelilingi
beteng kraton menggambarkan lautan yang mengelilingi gunung Meru,
sedang komplek kraton Yogyakarta yang terletak di pusatnya
menggambarkan gunung Meru, gunung pusat alam semesta yang
merupakan istananya Dewa Indra. Oleh sebab itu gedhong Indrakila dan
Ngendrasana di dalam kraton Yogyakarta menggambarkan istana dewa
Indra di puncak gunung Meru. Di lingkungan kraton Yogyakarta ada dua
tempat yang disakralkan yakni Gunung Merapi, terletak di sebelah utara
kraton dan Laut Selatan (samudra Indonesia) yang dipercayai sebagai
istana Kanjeng Ratu Kidul penguasa laut selatan. Secara kosmologis
kraton Yogyakarta menghadap kearah gunung Merapi (arah utara), akan
tetapi agar tidak membelakangi laut selatan yang disakralkan, maka pada
halaman belakang (pungkuran) kraton dibuat menyerupai halaman depan
dengan membuat Alun-Alun Selatan dan Siti Hinggil selatan meskipun
dengan skala yang lebih kecil.
Dengan setting lokasi seperti inilah Pangeran Mangkubumi
menciptakan poros (sumbu) imajiner Gunung Merapi - Tugu Pal Putih
(Tugu Golong-Gilig) - Kraton - Panggung Krapyak - Laut Selatan.
Penciptaan poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri Hita Karana
danTri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu – Tengah –
Hilir serta nilai Utama – Madya – Nistha ). Secara simbolis filosofis poros
imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan
manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah) , manusia dengan manusia
(Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir
3
pembentuknya yakni api (dahana) dari gunung Merapi, tanah (bantala)
dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari laut Selatan, angin (maruta)
dan akasa (either). Poros imajiner ini juga merupakan symbol dari konsep
filosofi Sangkan Paraning Dumadi dan Manunggaling Kawula Gusti.
Tugu Golong Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan
simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu golong gilig
bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan bagian bawahnya
berbentuk silindris (gilig) dan berwarna putih sehingga disebut juga Pal
Putih. Tugu Golong Gilig ini melambangkan keberadaan Sultan dalam
melaksanakan proses kehidupannya yang dilandasi menyembah secara
tulus kepada Tuhan Yang maha Esa dengan disertai satu tekad menuju
kesejahteraan rakyat (golong – gilig) dan didasari hati yang suci (warna
putih). Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang
utama Sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur
Tangkil di Sitihinggil Utara. Konsep filosofi hubungan manusia dengan
Tuhan penciptanya (Hablun min Allah) serta hubungan manusia dengan
manusia (Hablun min Annas) serta konsep manunggaling kawula – Gusti
ini dilambangkan dengan keberadaan Masjid Gedhe dan ringin kurung
Kyai Dewadaru di sebelah barat sumbu imajiner dan ringin kurung Kyai
Janadaru di sebelah timur sumbu imajiner.
Adapun filosofi dari Panggung Krapyak ke utara merupakan
perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa,
menikah sampai melahirkan anak (Brontodiningrat 1978). Visualisasi dari
filosofi ini diujudkan dengan keberadaan kampung Mijen di sebelah utara
Panggung Krapyak yang melambangkan benih manusia, pohon asem
dengan daun yang masih muda bernama sinom melambangkan gadis
yang masih anom (muda) selalu nengsemaken (menarik hati) maka selalu
disanjung yang divisualisasikan dengan pohon tanjung. Di alun – alun
selatan menggambarkan manusia telah dewasa dan sudah wani (berani)
meminang gadis karena sudah akhil baligh yang dilambangkan dengan
pohon kweni dan pohon pakel. Masa muda yang mempunyai jangkauan
jauh ke depan divisualisasikan dengan dengan pagar ringin kurung alun-
alun selatan yang seperti busur panah. Masa depan dan jangkauan para
4
kaum muda dilambangkan panah yang dilepas dari busurnya. Sampai di
Sitihinggil selatan pohon yang ditanam pelem cempora yang berbunga
putih dan pohon Soka yang berbunga merah yang menggambarkan
bercampurnya benih laki-laki (dilambangkan warna putih) dan benih
perempuan (dilambangkan warna merah). Di halaman Kamandhungan
menggambarkan benih dalam kandungan dengan vegetasi pohon pelem
yang bermakna gelem (kemauan bersama), pohon Jambu Dersono ang
bermakna kaderesan sihing sasama dan pohon Kepel yang bermakna
kempel, bersatunya benih karena kemauan bersama didasari saling
mengasihi. Melalui Regol Gadhung Mlathi sampailah di Kemagangan yang
bermakna bayi telah lahir dan magang menjadi manusia dewasa.
Sebaliknya dari Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan
perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq, meninggalkan Alam Fana
menuju Alam Baqa (Poespodiningrat,1987). Golong-gilig melambangkan
bersatunya cipta, rasa dan karsa dilandasi kesucian hati (warna putih)
melalui Margotomo (jalan menuju keutamaan) ke selatan melalui
Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus
ke selatan melaui Margomulyo (jalan menuju kemuliaan). Sepanjang jalan
Margotomo, Malioboro dan Margomulyo ditanam pohon Asem yang
bermakna sengsem/menarik dan pohon gayam yang bermakna
ayom/teduh. Setelah melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang negatip)
sampai di alun-alun utara yang menggambarkan kehidupan manusia yang
ingin menghadap penciptanya laksana orang naik perahu yang diterjang
ombak (alun). Sampai di pelataran Sri Manganti ibarat manusia di alam
Barzah. Bangsal Trajumas ( Traju = timbangan, Mas = logam mulia), di
sini manusia ditimbang amal baik dan amal buruknya sebelum menuju ke
tujuan akhir yakni Alam Baqa (alam abadi) yang dilambangkan dengan
lampu Kyai Wiji (lampu yang tidak pernah padam sejak Sri Sultan
Hamengku Buwono I hingga sekarang) di Gedhong Prabayaksa
(bangunan yang disakralkan di kraton Yogyakarta).
Bagian dari Karaton Yogyakarta yang lain yang tidak kalah
pentingnya dan masih di dalam beteng (baluwarti) kraton adalah
Pesanggrahan Taman Sari, atau yang lebih terkenal dengan sebutan
5
Istana Air ( Water Kasteel ) Taman Sari. Pesanggrahan Taman Sari ini
tidak hanya sekedar sebagai tempat bercengkerama dengan adanya
kolam pemandian , pulau dan danau buatan, tempat peristirahatan dan
tempat kontemplasi, tetapi lebih jauh dari itu Taman Sari pada hakekatnya
mempunyai arti lain yang berdasarkan pada pertahanan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya bangunan lorong bawah tanah yang cukup
banyak, adanya bangunan pulau Cemethi (bangunan bertingkat tinggi
yang memungkinkan orang dapat melihat ke seluruh bagian kota),
jembatan gantung dan sebaginya. Ada kemungkinan pembuatan
Pesanggrahan Taman Sari oleh Sultan Hamengku Buwono I ini diilhami
oleh runtuhnya pertahanan Karaton Kartasura pada saat Geger Pacina
(1740 - 1743) karena tidak mempunyai pertahanan alternatif dan juga
diilhami keberhasilan Raja Majapahit Brawijaya V yang berhasil
meloloskan diri dari kepungan musuh. Dengan demikian jelas bahwa
Sultan Hamengku Buwono I pada saat membangun Taman Sari tidak
meninggalkan ungkapan bahasa Jawa : Sajroning among suka, tan tinggal
duga lan prayoga (Sewaktu bersuka ria tidak meninggalkan kewaspadaan
dan tidak boleh lengah). Fungsi Taman Sari yang lain yang tidak kalah
pentingnya adalah sebagai tempat konservasi alam, baik flora, fauna
maupun air tanah. Hampir semua jenis tanaman, baik tanaman hias,
tanaman buah, rempah-rempah dan tanaman obat ada di Taman Sari,
begitu pula fauna yang dipelihara sepanjang kanal antara Pulau Kenanga
sampai Pulau Gedhong. Adapun air untuk kolam pemandian di Taman
Umbul Binangun memanfaatkan air dari sumber Pacethokan, sedang
untuk segaran di Pulau Kenanga sampai ke pulau Gedhong
menggunakan air dari Sungai Winanga yang dialirkan ke Kraton melalui
Kali Larangan. Bahkan air pengisi Jagang (parit di sekeliling Beteng
Karaton) konon airnya juga diambil dari Sungai Winamga.
Tata ruang Keraton Yogyakarta seperti tersebut di atas merupakan
manifestasi dari adi luhungnya budaya Jawa yang kasat mata (tangible)
disamping juga yang tidak kasat mata (intangible) antara lain seperti
ajaran Sultan hamengku Buwono I tentang Sewiji (Nyawiji) , Greget,
6
Sengguh, Ora mingkuh yang dijadikan dasar falsafah hidup, pandangan
hidup dan falsafah joged Mataram.
a. Sebagai Falsafah Hidup :
1). Sewiji
Orang harus selalu ingat kepada Tuhan Y.M.E
2). Greget
Seluruh aktivitas dan gairah hidup harus disalurkan melalui jalan
Allah SWT.
3). Sengguh
Harus merasa bangga ditakdirkan sebagai makhluk tersempurna
4). Ora mingkuh
Meskipun mengalami banyak kesukaran-kesukaran dalam hidup,
namun selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil
b. Sebagai Pandangan Hidup
1). Sewiji
Apabila seseorang mempunyai cita-cita maka konsentrasi harus
diarahkan ke tujuan itu.
2). Greget
Dinamik dan semangat harus diarahkan ke tujuan melalui saluran-
saluran yang wajar.
3). Sengguh
Percaya penuh pada kemampuan pribadinya untuk mencapai
tujuan.
4). Ora mingkuh
Meskipun dalam perjalanan menuju ke tujuan (cita-cita) akan
menghadapi halangan-halangan tetap tidak akan mundur
setapakpun.
c. Sebagai Falsafah Joged Mataram
1). Sewiji
Konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa
7
2). Greget
Dinamis atau semangat yang membara di dalam jiwa setiap penari
tidak boleh dilepaskan begitu saja, akan tetapi harus dapat
dikekang untuk disalurkan ke arah yang wajar dan menghindari
tindakan yang kasar.
3). Sengguh
Percaya diri sendiri tanpa mengarah ke kesombongan atau
arogansi.
4). Ora mingkuh.
Tidak lemah jiwa atau kecil hati, tidak takut menghadapi kesukaran-
kesukaran dan mengandung arti penuh tanggung jawab.
Unsur-unsur Budaya Jawa yang intangible yang masih terpelihara di
Yogyakarta adalah nilai-nilai luhur (value) dan keyakinan-keyakinan
(beliefs) yang digunakan sebagai rencana atau pedoman perilaku atau
adat serta untuk memecahkan masalah-masalah yang berlaku dari
generasi ke generasi. Salah satu nilai budaya Jawa yang masih melekat
pada kehidupan masyarakat Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning
Bawono . Secara harfiah arti hamemayu hayuning bawono adalah
membuat dunia menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat dan lestari).
Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah sikap dan perilaku
manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian
dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam
lingkungannya. Muara dari sikap Hamemayu Hayuning Bawono ini akan
terwujud negara yang panjang, punjung gemah ripah loh jinawi,tata,
tentrem, kerta tur raharja.
Niali-nilai budaya Jawa lain yang bersifat simbolis sering
dimanifestasikan ke dalam bentuk upacara adat seperti upacara
pernikahan, tarapan, tedhak siti, wiwit (awal menunai padi), garebeg,
upacara bersih desa, merti sungai sampai bentuk arsitektur bangunan.
Upacara adat sendiri yang sampai saat ini masih sering dilaksanakan oleh
8
sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta
pada khususnya mempunyai 3 (tiga) fungsi :
1. Fungsi Spiritual.
Upacara adat memberikan petunjuk atau gambaran hubungan manusia
dengan Tuhan (Hablun min Allah). Pada fungsi spiritual ini
kepentingan rohani manusia akan terpenuhi.
2. Fungsi Sosial
Upacara adat melibatkan individu-individu warga masyarakat (Hablun
min Annas) yang mempunyai kepentingan sama, yang dilandasi oleh
kepercayaan dan keyakinan yang sama pula, sehingga dapat
menciptakan kerukunan sosial dan membawa dampak terwujudnya
ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan hidup.
3. Fungsi Pelestarian Lingkungan Fisik / Alam.
Dibalik konsepsi keyakinan yang tertuang dalam mitos-mitos dan
upacara adat yang dianggap sakral dan keramat tersebut terkandung
kearifan lokal yang dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol
terhadap pengelolaan lingkungan yang cukup efektif., sehingga
masyarakat sendiri yang akan memperoleh manfaat ekologis yang
cukup besar.
C. WARISAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN HIDUP DI YOGYAKARTA SEBAGAI ASET WISATA
1. ANTARA KENYATAAN DAN TANTANGAN. a. Di Yogyakarta sarat dengan warisan budaya baik yang tangible
maupun yang intangible, sehingga warisan budaya dimaksud
merupakan aset utama wisata budaya Yogyakarta. Pada
hakekatnya pariwisata Yogyakarta bertumpu pada kekayaan
budayanya disamping aset wisata alam sebagai urutan di
bawahnya.
b. Kenyataan yang ada banyak warisan budaya (yang tangible) di
Yogyakarta yang berubah baik berubah bentuk, wajah maupun
fungsinya bahkan banyak pula yang dihancurkan/dirobohkan
dengan alasan kurang bermanfaat dari sisi ekonomis, padahal
9
bangunan tersebut jelas-jelas merupakan cagar budaya yang
dilindungi oleh Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang cagar
budaya. Sebagai contoh dibongkarnya dua rumah Cina di
Margomulyo (Jl. A. Yani) dijadikan toko sandang. Gedung ex. N.V
Prawiromulyo di jalan Malioboro telah dibongkar dan berubah
menjadi toko sandang. Dibongkarnya rumah tinggal di Kota Baru
diganti dengan rumah modern. Namun disamping yang dirusak
masih ada yang mau dan peduli melestarikan bangunan miliknya
tanpa merubah bentuk dan fungsinya, sebagai contoh beberapa
rumah tinggal di jeron beteng antara lain rumah tradisional di ujung
Jl. Siliran Lor, rumah ex. warung sate PUAS (jaman clash II) di
Jalan Gamelan Kidul , rumah di ujung jalan Kemitbumen. Contoh
lain di jalan Malioboro adalah toko obat di depan Hotel Garuda
(sekarang menjadi Apotek Kimia Farma). Banyak orang tidak
menyadari bahwa heritage tersebut sangat besar artinya untuk
kepentingan penelusuran sejarah, filsafat dan arsitektur, bahkan
dapat menjadi aset pariwisata yang potensial.
c. Penanaman pohon dalam rangka mengurangi polusi udara
mungkin sudah benar dari segi fungsi, namun untuk di Yogyakarta
yang demikian itu belum tentu benar ditinjau dari sisi filosofi.
Sebagai contoh penanaman pohon Sawo kecik (Manlikara kauki) di
tepi jalan dilihat dari sisi fungsi pohon sebagai peneduh dan
pengurang polusi sudah benar, tetapi dari sisi filosofi kurang tepat,
karena sawo kecik merupakan tanaman di halaman rumah yang
bermakna sarwa becik (serba baik).Tanaman lain di sekitar Karaton
Yogyakarta yang mempunyai makna filosofi tetapi sekaligus
berfungsi sebagai tanaman ramah lingkungan antara lain :
1). Beringin (Ficus benyamina)
Dapat menyerap karbondioksida (CO2) dan sebagai produsen
oksigen (O2), dan tajuk beringin yang berbentuk bush akan
menyaring udara lebih cepat dan lebih banyak, sehingga
merupakan pembersih udara yang lebih efektif dari pohon yang
bertajuk conus.
10
2). Asem (Tamarindus indica).
Merupakan penyerap timbal (Pb).
3). Gayam (Inocarpus edulis).
Pohon yang dapat menyimpan air dan memelihara mata air.
4). Tanjung (Mimusops elengi).
Pohon yang dapat menyerap debu.
d. Telah banyak bantaran sungai (wedhi kengser) yang berubah
fungsi menjadi pemukiman penduduk , sehingga tiada lagi ruang
peluapan apabila terjadi banjir.
e. Kurangnya tanaman di tepi sungai sebagai penahan longsor dan
dan penyimpan air karena diganti dengan talud pasangan batu
atau beton.
f. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat yang
menyebabkan kurangnya kepedulian terhadap pelestarian
lingkungan baik di kawasan cagar budaya maupun kawasan sungai
g. Pariwisata menawarkan kesempatan yang tak tertandingi dari sisi
ekonomi untuk perolehan devisa, tetapi pada saat yang sama
pertumbuhan eksponensial pariwisata telah menempatkan warisan
budaya yang berharga dan lingkungan hidup dalam keadaan
bahaya.
h. Pertumbuhan pariwisata tidak bisa berlangsung terus tanpa batas.
Ada batas-batas bagi pertumbuhan yang disebabkan oleh absolut
carryng capacity dan space capacity suatu ODTW (Obyek dan
Daya Tarik Wisata).
i. Kesempatan-kesempatan ekonomi yang ditawarkan oleh pariwisata
yang semakin meningkat tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja
tanpa diikuti dengan usaha preservasi dan konservasi, karena
pertumbuhan pariwisata di suatu wilayah harus dilihat baik sebagai
ancaman maupun sebagai penyelamat.
2. ANTARA PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN a. Undang-Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
mengamanatkan bahwa disamping fungsi pelestarian, benda cagar
11
budaya dapat dimanfaatkan salah satunya untuk kepentingan
pariwisata. Hanya saja yang perlu dan harus dipatuhi bahwa fungsi
pemanfaatan harus seimbang dengan fungsi pelestarian.
b. Pelestarian merupakan upaya pemberian masa depan kepada
masa lalu (a future for the past), sedang pemanfaatan warisan
budaya yang tangible dimaksud hendaknya menggunakan konsep :
1). Pelestarian dan pemanfaatan sesuai dengan heritage aslinya.
Contoh : rumah-rumah tradisional di kawasan Jeron Beteng.
2). Konsep adaptive reuse atau compatible uses and reuser .
Konservasi penuh tetapi fungsi ruang berubah sesuai dengan
rencana pemanfaatan ruang yang dibutuhkan saat ini.
Contoh : a). Ndalem Jayadipuran untuk Kantor Balai Kajian Ja-
rahnitra.
b). Beteng Vredeburg menjadi museum, ruang pamer
serta tempat kegiatan seminar dan pertemuan
ilmiah.
3).Sebagian Heritage tetap dikonservasi dengan menambah
bangunan baru didekatnya.
Contoh : Hotel Garuda, Hotel Phoenix, Hotel Brongto
c. Pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya yang intangible dan
lingkungan hidup sebagai upaya untuk memberikan vitalitas baru
atas warisan budaya dan lingkungan hidup dimaksud tanpa
menghilangkan nilai nilai historis, filosofis maupun keasliannya,
namun juga jangan sampai over simbolisasi.
D. CATATAN AKHIR 1. Berbicara warisan budaya Jawa dan lingkungan hidup di Yogyakarta
tidak dapat lepas dari keberadaan Karaton Yogyakarta yang sarat
dengan nilai filosofi, religi dan makna simbolik
2. Pemanfaatan warisan budaya Jawa dan lingkungan hidup di
Yogyakarta untuk kepentingan pariwisata harus memperhatikan nilai -
nilai historis, filosofis maupun keasliannya tanpa harus over simbolisasi
12
3. Sangat diperlukan pendidikan dan pelatihan kepada para pelestari
warisan budaya dan lingkungan hidup di Yogyakarta sehingga
mempunyai bekal yang cukup baik pengetahuan historis, filosofis,
teknis maupun administrasi bahkan pengetahuan tentang
kepariwisataan , sehingga mereka akan menjadi tuan rumah yang baik
yang dapat memuaskan konsumen dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan.
4. Rencana Tata Ruang Kawasan Pelestarian dan Pemanfaatan Warisan
Budaya dan Lingkungan Hidup untuk Kepariwisataan merupakan
upaya integrasi terpadu pada semua tingkatan terutama unsur
Bappeda, Impraswil, Dinas Tatakota, Dinas Pariwisata dan pihak lain
yang terkait.
5. Diperlukan ketentuan pelaksanaan pelestarian dan pemanfaatan
warisan budaya dan lingkungan hidup di Yogyakarta disamping
ketentuan lain yang telah baku berdasar Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah maupun ketentuan yang bersifat international.
6. Berkaitan dengan wisata budaya dan wisata alam, untuk memperoleh
manfaat kunjungan yang lebih berarti (quality of experience) perlu
peningkatan pemanfaatan aset wisata budaya dan wisata alam
menjadi aset wisata minat khusus (special interest).
13
KEPUSTAKAAN Abdullah, Irwan
2002 Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa. Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta.
Bachtiar, H.W
1973 The Religion of Java : A Commentary. Dalam : Majalah Ilmu-
Ilmu Sastra Indonesia V
Brongtodiningrat, K.P.H
1978 Arti Kratton Yogyakarta, Museum Kraton Yogyakarta
Budhisantoso, S.
1981 Upacara Tradisional, dalam Warta Budaya No. 2 Th. IV, Proyek
Media Kebudayaan
Hertog Djojonegoro, K.R.T
1987 Ngayogyakarta Hadiningrat, Lembaga Javanologi Yogyakarta
Koentjaraningrat
1994 Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka, Jakarta
Poespodiningrat, K.R.T
1987 Filsafat Bangunan Kraton Yogyakarta "Ngayogyakarta Sinandi"
Lembaga Javanologi Yogyakarta.
Soedarisman Poerwokoesoemo, MR.
1986 Sejarah lahirnya Kota Yogyakarta, Lembaga Javanologi
Yogyakarta.
Soekmono, Drs.
1991 Candi sebagai obyek arkeologi, Makalah seminar, Jakarta
Soepanto, dkk.
1992 Upacara Tradional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Pro-
yek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Yogyakar-
ta
14