peb,iufd, preskes dr wur.doc

47
Presentasi Kasus PRE EKLAMPSIA BERAT, INTRA UTERINE FETAL DEATH PADA MULTIGRAVIDA HAMIL IMATUR BELUM DALAM PERSALINAN DENGAN HIPOALBUMIN Oleh : Taufiqo Nugraha S G991112133 Ira Ristinawati G991112082 Saverina Nungky DH G991112127 Mohd Nazaluddin G0006515 Pembimbing : dr. Wuryatno, Sp.OG

Upload: boe-mukhriz

Post on 25-Oct-2015

153 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

peb

TRANSCRIPT

Presentasi Kasus

PRE EKLAMPSIA BERAT, INTRA UTERINE FETAL DEATH PADA

MULTIGRAVIDA HAMIL IMATUR BELUM DALAM PERSALINAN

DENGAN HIPOALBUMIN

Oleh :

Taufiqo Nugraha S G991112133

Ira Ristinawati G991112082

Saverina Nungky DH G991112127

Mohd Nazaluddin G0006515

Pembimbing :

dr. Wuryatno, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2013

PRE EKLAMPSIA BERAT, INTRA UTERINE FETAL DEATH PADA

MULTIGRAVIDA HAMIL IMATUR BELUM DALAM PERSALINAN

DENGAN HIPOALBUMIN

Abstrak

Pre eklampsia ialah penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Mortalitas maternal pada pre eklampsia disebabkan oleh karena akibat komplikasi seperti: HELLP syndrome yang merupakan suatu kumpulan gejala terdiri dari Hemolysis, Elevated liver enzym, Low Platellete. Penanganan PEB dengan sindroma HELLP terutama diprioritaskan untuk stabilisasi kondisi ibu terutama tekanan darah, balance cairan dan abnormalitas pembekuan darah. Mortalitas perinatal disebabkan asfiksia intra uterin, atau kematian janin intrauterine.

Sebuah kasus seorang G4 P2 A1, 28 tahun, UK: 26+3 minggu (hamil imatur) riwayat fertilitas baik, riwayat obstetri jelek. Teraba janin tunggal, intrauterin, memanjang, punggung di kanan, prekep, bagian bawah belum masuk panggul. TBJ 600 gram. His (-), DJJ (-), pembukaan (-), air ketuban (-), sarung tangan lendir darah (-), belum dalam persalinan. Penatalaksanaan ibu diberikan induksi misoprostol dan bayi dilahirkan secara per vaginam.

Kata Kunci : PEB, IUFD, hamil imatur, misoprostol

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pre eklampsia penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi, dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan, sedangkan eklampsia mempunyai

gambaran klinik seperti pre eklampsia, biasanya disertai kejang dan penurunan

kesadaran (koma). Sampai sekarang etiologi pre eklampsia masih belum

diketahui. Setelah perdarahan dan infeksi, pre eklampsia dan eklampsia

merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal yang paling tinggi dalam

ilmu kebidanan. (POGI, 2005; Rustam Mochtar, 1998).

Hipertensi dalam kehamilan (HDK) adalah salah satu penyebab morbiditas

dan mortalitas ibu di samping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapatkan

angka mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia pre

eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian perinatal,

sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggeser perdarahan

sebagai penyebab kematian maternal utama.(Haryono, 2004).

Mortalitas maternal pada pre eklampsia disebabkan oleh karena akibat

komplikasi dari pre eklampsia dan eklampsianya seperti: Hellp syndrome, solusio

plasenta, hipofibrigonemia, hemolisis, perdarahan otak, gagal ginjal,

dekompensasi kordis dengan oedema pulmo dan nekrosis hati. Mortalitas

perinatal pada pre eklampsia dan eklampsia disebabkan asfiksia intra uterin,

prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Asfiksia terjadi karena

adanya gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme arteriole spiralis.

(Sarwono, 2002)

Sindroma HELLP merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi

pada penderita pre eklampsia berat (PEB) dan eklampsia yang terutama ditandai

dengan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar dan penurunan

jumlah trombosit. Terjadinya sindroma HELLP merupakan manifestasi akhir

kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi platelet intravaskuler.

Karakteristik penderita pada sindroma HELLP lebih banyak ditemukan pada

2

nullipara dan pada usia kehamilan yang belum aterm. Karena adanya

mikroangiopati yang menyebabkan aktivasi dan konsumsi yang meningkat dari

platelet, terjadi penumpukan fibrin di sinusoid hepar, maka gejala yang

menonjol adalah rasa nyeri pada daerah epigastrium kanan, mual muntah,

ikterus, nyeri kepala dan gangguan penglihatan serta tanda-tanda hemolisis.

(POGI, 2005; Haryono, 2004; Rijanto Agung, 1995).

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PRE EKLAMPSIA

1. Definisi

Pre eklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang

didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Dulu, pre

eklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,

edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini

terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi

sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2002)

Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada

kasus hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi

eklampsia. Bentuk serangan kejangnya ada kejang ‘grand mal’ dan

dapat timbul pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan.

Kejang yang timbul lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar

kemungkinannya disebabkan lesi lain yang bukan terdapat pada susunan

saraf pusat (Cunningham, et al., 1995).

Eklampsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan

pada susunan saraf. Penyebab eklampsia adalah kurangnya cairan

darah ke otak, hipoksik otak atau edema otak (Rustam Mochtar, 1998).

PEB dapat menjadi impending eklampsia. Impending eklampsia

ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif dari pasien yaitu

jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya nyeri

epigastrik (Turn bull, 1995).

2. Etiologi

Penyebab pre eklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti.

Teori yang dewasa ini dapat dikemukakan sebagai penyebab pre

eklampsia ialah iskemia plasenta (Budiono, 1999).

4

Vasospasme merupakan dasar patofisiologi pre eklampsia dan

eklampsia. Konsep ini yang pertama kali diajukan oleh Volhard (1918)

(Cunningham, et al., 1995). Namun tetap banyak teori yang mencoba

menerangkan sebab penyakit ini, akan tetapi tidak ada yang dapat

memberi jawaban yang memuaskan.

Sekarang ini tiga hipotesis menempati penyelidikan utama,

hipotesis pertama menghubungkan pre eklampsia dengan faktor

imunologi (ketidakcocokan berlebihan antara ibu dengan anak),

hipotesis kedua menghubungkan sindrom prostalglandin yang

menimbulkan ketidakseimbangan diantara vasodilator PG2 dan

prostasiklin serta rangkaian vasokonstriktor PGF dan tromboksan,

hipotesis ketiga menghubungkan pre eklampsia dengan iskhemii

uteroplasenta (Neville, dkk., 2001).

Rupanya tidak hanya satu faktor melainkan banyak faktor yang

menyebabkan pre eklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang

ditemukan seringkali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang

akibat (Sarwono, 2002).

3. Patofisiologi

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis pre-eklampsia.

Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan

menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan

hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel,

kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel.

Selain itu Hubel mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis

akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang

selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia

jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan

proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi

oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di

dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak

5

jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak

merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase

terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan

timbul keadaan yang disebut stess oksidatif.

Pada pre-eklampsia serum anti oksidan kadarnya menurun dan

plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada

wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan

sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat.

Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein.

Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati

termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel

endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan

antara lain: (a) adhesi dan agregasi trombosit, (b) gangguan permeabilitas

lapisan endotel terhadap plasma, (c) terlepasnya enzim lisosom,

tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari rusaknya trombosit, (d)

produksi prostasiklin terhenti, (e) terganggunya keseimbangan

prostasiklin dan tromboksan, (f) terjadi hipoksia plasenta akibat

konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak.

6

Gambar 1. Patofisiologi pre-eklampsia

7

PATOLOGI

Pre-eklampsia ringan jarang sekali menyebabkan kematian ibu.

Oleh karena itu, sebagian besar pemeriksaan anatomik-patologik berasal

dari penderita eklampsia yang meninggal. Tidak ada perubahan

histopatologik yang khas pada pre-eklampsia dan eklampsia. Perdarahan,

infark, nekrosis dan trombosis pembuluh darah kecil pada penyakit ini

dapat ditemukan dalam berbagai alat tubuh. Perubahan tersebut mungkin

disebabkan oleh vasospasme arteriola. Penimbunan vibrin dalam

pembuluh darah merupakan faktor penting juga dalam patogenesis

kelainan-kelainan tersebut.

Perubahan anatomi-patologik

Plasenta: pada pre-eklampsia terdapat spasme arteriola spiralis desidua

mengakibatkan menurunnya alirn darah ke plasenta. Proses penuaan

plasenta seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh

darah dalam fili karena fibrosis dan konversi mesoderm menjadi jaringan

fibrotik, menjadi lebih cepat pada pre-eklampsia.

Ginjal: organ ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada pre-

eklampsia terdapat kelainan glomerolus, hiperplasi sel-sel

jukstaglomerular, kelainan pada tubulus henle, dan spasme pembuluh

darah ke glomerolus. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan

proteinuria dan berhubungan dengan retensi garam dan air. Sesudah

persalinan berakhir, sebagian besar perubahan yang digambarkan

menghilang.

Hati: organ ini besarnya normal dengan tempat perdarahan yang tidak

teratur. Tidak ada hubungan antara beratnya penyakit pre-eklampsia dan

luasnya perubahan pada hati.

Otak: pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan

anemia pada korteks serebri, pada keadaan lanjut dapat ditemukan

perdarahan.

Retina: kelainan yang ditemukan pada retina ialah spasme pada arteriola

dekat diskus optikus. Terlihat edema pada diskus optikus dan retina.

8

Paru-paru: terdapat tanda edema perubahan karena bronkopneumonia

sebagai akibat aspirasi.

Jantung: pada eklampsia mengalami perubahan degeneratif pada

miokardium. Sering ditemukan degenerasi lemak dan cloudy swelling

serta nekrosis dan perdarahan.

4. Frekuensi

Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang

mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi,

perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan frekuensi di

lapangan berkisar antara 3-10%.

Pada primigravida frekuensi pre eklampsia lebih tinggi bila

dibandingkan dengan multigravida terutama primigravida muda, DM

Tipe I, Diabetes gestasional, Mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops

fetalis, umur lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat pernah eklampsia,

hipertensi kronik, dan penyakit ginjal, merupakan faktor predisposisi

untuk terjadinya pre eklampsia (Sarwono, 2002).

5. Klasifikasi

Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Pre eklampsia ringan

Kriteria diagnostik :

Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi

terlentang; atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan

tekanan diastolik 15 mmHg.

Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan

dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.

Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada

urin kateter atau mid stream

Oedema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria

diagnostik kecuali anasarka.

b. Pre eklampsia berat

9

Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:

1. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110

mmHg atau lebih

2. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam

3. Oliguria, air kencing kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam

24 jam.

4. Kenaikan kreatinin serum

5. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan

abdomen

6. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis

7. Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan

8. Terjadi gangguan fungsi hepar

9. Hemolisis mikroangiopatik

10. Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)

11. Sindroma Hellp. (POGI, 2005; Sarwono, 2002; Rustam Mochtar,

1998)

6. Diagnosis

Diagnosis pre eklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan

proteinuria.(POGI, 2005)

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.

Dengan adanya tanda dan gejala pre eklampsia yang disusul oleh

serangan kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.

(Budiono, 1999)

Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah

gejala-gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan

obyektif. Gejala subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan visual dan

nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain : hiperreflexia,

eksitasi motorik dan sianosis. (M. Dikman Angsar, 1995)

7. Pencegahan

10

Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah

terjadinya pre eklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko

terjadinya pre eklampsia.(POGI,2005)

Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam

pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur,

namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih

banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak,

karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan

perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat

penderita tanpa memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang

merupakan kemajuan dari pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono,

2002).

8. Diagnosis Banding

- Hipertensi menahun

- Penyakit ginjal

- Epilepsi

9. Penanganan

Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah

timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan

intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi

dengan selamat (Sarwono, 2002).

Pada pre eklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu

pengeluaran trofoblast. Pada pre eklampsia berat, penundaan merupakan

tindakan yang salah. Karena pre eklampsia sendiri bisa membunuh janin

(Cunningham, et al., 1995).

PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan

Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis perawatan / tindakannya.

Perawatannya dapat meliputi :

11

a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah

mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Indikasi :

Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini

1). Ibu :

a). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :

- Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,

terjadi kenaikan darah yang persisten

- Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,

terjadi kenaikan desakan darah yang persisten

b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia

c). Gangguan fungsi hepar

d). Gangguan fungsi ginjal

e). Dicurigai terjadi solutio plasenta

f). Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan

2). Janin :

a). Umur kehamilan lebih dari 37 minggu

b). Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST

nonreaktif dan profil biofisik abnormal)

c). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat

(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG

d). Timbulnya oligohidramnion

3). Laboratorium :

Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP syndrome

(POGI, 2005).

Pengobatan Medisinal :

1). Segera masuk rumah sakit

2). Tirah baring ke kiri secara intermiten

3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500

cc (60-125 cc/jam)

12

4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan

terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis

lanjutan.

5). Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥ 180/110

6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah

jantung kongestif, edema anasarka

7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam

(POGI, 2005).

b. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap

dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,

meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi

keselamatan ibu.

Indikasi :

Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda

impending eklamsi dengan keadaan janin baik.

Pengobatan Medisinal :

Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.

Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja

(MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).

Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-

kejang dapat diberikan:

i. Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada

bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat

diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas

magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella

positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit

ii. klorpromazin 50 mg IM

iii. diazepam 20 mg IM.

Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat

diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan

13

kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat

oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara intravena.

Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.

Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan

sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita

dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar,

sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya persalinan

diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin, dalam kala I,

dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi

dengan cunam atau ekstraktor vakum (Budiono, 1999).

10. Prognosis

Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu

antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2

– 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya

pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya

sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena

perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan

aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan

hipoksia intra uterin.

B. INTRAUTERINE FETAL DEATH (IUFD)

Intrauterine Fetal Death (IUFD) adalah kematian janin (keadaan

tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan dengan umur

kehamilan lebih dari 20 minggu atau berat badan lebih dari 500 gram (janin

sudah viable).

Etiologi

Penyebab bisa dari faktor ibu, janin, atau plasenta

Kemungkinan penyebab dari faktor ibu :

Kehamilan postterm

14

Diabetes mellitus

Sistemic lupus eritematosus

Infeksi

Hipertensi

Preeklapmsia

Eklampsia

Hemoglobinopati

Umur ibu hamil yang tua

Penyakit Rh

Ruptur uteri

Sindrom antifosfolipid

Hipotensi maternal akut

Kematian maternal

Kemungkinan penyebab dari faktor janin:

IUGR

Kelainan kongenital

Kelainan Genetik

Infeksi (Parvovirus B-19, CMV, Listeria)

Kemungkinan penyebab dari faktor plasenta:

Kerusakan tali pusat

Ketuban pecah dini

Vasa previa

Faktor resiko terjadinya IUFD:

Multigravida

Ras amerika atau afrika

Umur ibu yang lanjut

Riwayat IUFD

Infertilitas ibu

Hemokonsentrasi pada ibu

15

Kelompok ibu dengan penyakit tertentu (seperti GBS, Ureaplasma

urealitikum)

Riwayat persalinan preterm

Obesitas ( Mansjoer, 2000 )

Diagnosis

8. Anamnesis : ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari. Ibu

merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil. Atau

ibu belakangan ini merasa perutnya sering menjadi keras dan merasakan

sakit seperti mau melahirkan.

9. Inspeksi : tidak terlihat gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat pada

ibu hamil yang kurus.

10. Palpasi :

o Tinggi fundus uteri lebih rendah dari usia kehamilan.

o Tidak teraba gerakan janin.

o Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada

tulang kepala janin.

11. Auskultasi : tidak terdengar denyut jantung janin.

12. Reaksi kehamilan : tes kehamilan negatif setelah beberapa minggu janin

mati dalam kandungan.

13. USG : tidak terlihat denyut jantung janin dan gerakan-gerakan janin.

Penanganan

1. Bila telah diduga terjadi kematian janin dalam rahim, tidak perlu terburu-

buru bertindak, sebaiknya diobservasi dulu dalam 2-3 minggu untuk

mencari kepastian diagnosis. 75% pasien akan melahirkan janinnya yang

mati secara spontan dalam masa itu. Apabila setelah 2 minngu belum lahir,

dapat dilakukan induksi dengan amniotomi, dan pemberian oksitosin atau

prostaglandin.

2. Bila partus belum dimulai, maka ibu harus dirawat agar dapat dilakukan

induksi partus.

16

(Rustam Mochtar, 1998; Sastrawinata, 2003)

Komplikasi

Kematian janin dalam kandungan (IUFD) 3-4 minggu, biasanya tidak

membahayakan ibu. Setelah lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadinya

kelainan darah (hipofibrinogemia) akan lebih besar.4 Bila terjadi

hipofibrinogemia, bahayanya adalah perdarahan postpartum. Hal ini sering

menyebabkan terjadinya DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). DIC

merupakan keadaan patologis dari sistem koagulasi dan fibrinolitik yang

berhubungan dengan kematian janin, sepsis, PEB, plasenta previa dan HELLP

syndrome. Secara klinis tanda-tanda DIC diantaranya adanya petekie atau

purpura, sedangkan dari pemeriksaan laboratorium didapatkan

trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan PT, APTT, peningkatan D-

dimer, dan fibrin split products (UNDIP, 1999).

Pada IUFD dapat terjadi hipofibrinogemia pada ibu oleh karena terjadi

degenerasi produk konsepsi sehingga terjadi peningkatan dari agregasi

trombosit, peningkatan konsumsi dari faktor koagulasi, pengaktifan sistem

fibrinolitik dan deposisi fibrin pada multiple organ yang berakibat kegagalan

organ. Dengan adanya trombositopenia dan ketiadaan dari produk fibrin

timbul gangguan hemostasis(UNDIP, 1999).

Evaluasi

Pada janin yang mati intrauterine terjadi perubahan-perubahan sebagai

berikut :

1. Rigor mortis (kaku mayat, 2,5 jam setelah kematian.

2. Stadium maserasi I, timbul lepu-lepuh kulit, yang mula-mula terisi

cairan jernih, kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam

setelah kematian janin.

3. Stadium maserasi II, lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban

menjadi merah coklat, terjadi >48jam pasca kematian.

17

4. Stadium maserasi III, terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati.

Badan janin sangat lemas, hubungan antar tulang sangat longgar dan

terjadi edem di bawah kulit (Sastrawinata, 2003).

18

BAB III

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESA

Tanggal 9 April 2008

A. Identitas Penderita

Nama : Ny. D

Umur : 28 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMP

Alamat : Pondok Rt 6/3 Krikilan, Kalijambe, Sragen

Status Perkawinan : Kawin

Agama : Islam

Nama Suami : Tn. B

Pekerjaan : Swasta

HPMT : 27 Januari 2012

HPL : 29 Mei 2013

UK : 26+3 minggu

Tanggal Masuk : 23 Februari 2013 jam 16.50

CM : 01180320

Berat Badan : 60 kg

Tinggi badan : 159 cm

B. Keluhan Utama

Tidak merasakan gerakan janin

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Datang seorang G4 P2 A1, 28 tahun, kiriman dari puskesmas

Kalijambe dengan keterangan PEB, IUFD, hamil imatur. Penderita merasa

19

hamil 6,5 bulan, gerakan janin tidak dirasakan sejak ± 1 hari yang lalu,

kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air kawah tidak dirasakan keluar,

keluar lendir darah (-), kejang (-), nyeri di sekitar ulu hati (-), nyeri kepala

(-), pandangan kabur (-).

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Sakit Jantung : disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal

E. Riwayat Fertilitas

Baik

F. Riwayat Obstetri

Jelek

I. Abortus, umur kehamilan 3 bulan, dikuret

II. Wanita, 5,5 tahun, 2200 gram, lahir spontan

III. Wanita, 700 gr (UK 6,5 bulan), lahir spontan, 3 hari kemudian

meninggal

IV. sekarang

G. Riwayat Ante Natal Care (ANC)

Teratur, di bidan dan dokter spesialis kandungan & kebidanan.

H. Riwayat Haid

Menarche : 12 tahun

Lama menstruasi : 7 hari

Siklus menstruasi : 28 hari

I. Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali, 8 tahun dengan suami sekarang

20

J. Riwayat KB

Memakai KB kondom.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Interna

Tanggal 23 Februari 2013 jam 17.00

Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi cukup

Tanda vital :

T : 190/110 mmHg Rr : 21 x/ menit

N : 90 x/ menit S : 37,0 0C

Kepala : Mesocephal

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

THT : Tonsil tidak membesar, pharing hiperemis (-)

Leher : Gld. thyroid tidak membesar, limfonodi tidak membesar

Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae

hiperpigmentasi (+)

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor / sonor

Auskultasi : SD vesikuler (+/+), ST (-/-)

Abdomen : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada,

stria gravidarum (+)

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar,

lien tidak membesar.

21

Perkusi : Timpani pada daerah bawah processus

xyphoideus, redup pada daerah uterus

Genital : Lendir darah (-), air ketuban (-)

Ekstremitas : Oedem Akral dingin

- - - -

- - - -

B. Status Obstetri

Inspeksi

Kepala : cloasma gravidarum (+)

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thoraks : glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae

hiperpigmentasi (+)

Abdomen : dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)

Genetalia Eksterna : vulva/uretra tenang, lendir darah (-), peradangan

(-), tumor (-)

Palpasi

Abdomen : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uteri,

memanjang, bagian-bagian janin belum teraba, bagian

terbawah belum masuk panggul, TFU 18 cm TBJ = 775

gram, his (-), DJJ (-)

Pemeriksaan Leopold :

I : Teraba tinggi fundus uteri setinggi 2 jari di atas pusat, teraba

bagian besar dan lunak di fundus, kesan bokong

II : Teraba bagian janin

III : Teraba bagian janin

IV : Bagian terendah janin belum masuk panggul (floating)

Ekstremitas : Oedem (-) akral dingin (-)

22

Auskultasi

DJJ (-)

Pemeriksaan Dalam (VT) :

V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mendatar,

pembukaan (-), eff 10%, bagian terbawah belum masuk panggul, kulit

ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-).

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 23 Februari 2013

Urinalisa

Protein : +3

Lab Darah

Hb : 13,3 g/dl Na : 134 mmol/L

Hct : 40 % K : 4,5 mmol/L

AE : 4,09. 106 /μL Cl : 108 mmol/L

AL : 11,3. 103 /μL Albumin : 2,5 mg/d

AT : 232. 103 /μL LDH : 573 ug/dl

Gol darah : O SGOT : 45 ug/dl

GDS : 85 mg/dl SGPT : 27 ug/dl

Ureum : 29 mg/dl PT : 10,8 detik

Kreatinin : 0,7 mg/dl APTT : 37,7 detik

HbsAg : (-)

USG

Tampak janin tunggal, intra uteri, memanjang, presentasi kepala, punggung

kanan, DJJ (-), dengan biometri :

BPD : 67,6 mm AC : 183,7 mm

FL : 44 mm EFBW : 683 gram

Spalding sign (+), kelainan kongenital mayor (-). Air ketuban kesan cukup.

23

Plasenta berinsersi di fundus.

Kesan : menyokong gambaran IUFD

IV. KESIMPULAN

Seorang G4 P2 A1, 28 tahun, hamil imatur. Riwayat fertilitas baik,

riwayat obstetrik jelek. T : 190/110 mmHg. Janin tunggal, intra uteri,

memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, kepala belum masuk

panggul, TBJ 683 gram, DJJ (-), kondisi janin mati. His (-), pembukaan (-), air

ketuban (-), lendir darah (-). Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan LDH :

573 ug/dl, proteinuri : +3, SGOT : 45 ug/dl, albumin 2,5 g/dl.

V. DIAGNOSIS

PEB, IUFD pada multigravida hamil imatur, belum dalam persalinan dengan

hipoalbumin

VI. PROGNOSIS

Jelek

VII. TERAPI

- Rencana persalinan per vaginam

- Usul induksi misoprostol ¼ tablet / 5 jam

- O2 5 liter/menit

- Infus RL 20 tpm

- MgSO4 40% injeksi 8 gr IM (4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri)

dilanjutkan 4 gr / 6 jam jika syarat terpenuhi

- Nifedipin tab 3x10 mg sub lingual, jika tensi ≥ 180/110

- Pasang DC balance cairan

- Observasi 9

- Awasi tanda-tanda impending eklampsia

- Transfusi albumin

24

VIII.OBSERVASI

Tanggal 23 Februari 2013, pukul 19.00

Keluhan : -

VS : T : 170/100 Rr : 23x/menit

N : 90x/menit S : 36,9o C

Abdomen : His (-)

DJJ (-)

VT : V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio

lunak mendatar, pembukaan (-), eff 10%, kulit ketuban

belum dapat dinilai, bagian terbawah belum masuk

panggul, penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD

(-).

Diagnosis : PEB, IUFD pada multigravida hamil imatur, belum

dalam persalinan dengan hipoalbumin

Prognosis : jelek

Terapi : Observasi 9

Evaluasi 5 jam lagi (jam 05.00)

Misoprostol ¼ tablet I seri I

Inj MgS04 8 mg boka boki dilanjutkan injeksi MgS04

4 mg boka/boki tiap 6 jam selama 24 jam bila syarat

terpenuhi

Nifedipin sublingual 1x10 mg

Awasi tanda-tanda impending eklampsia

Tanggal 23 Februari 2013, pukul 00.00

Keluhan : -

VS : T : 150/100 Rr : 20x/menit

N : 88x/menit S : 36,6o C

Abdomen : His 2-3x/10 menit lama 20-30”

DJJ (-)

25

VT : V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio

lunak mendatar, pembukaan 3 cm, eff 25%, kulit

ketuban belum dapat dinilai, preskep, kepala masuk

panggul <1/3 bagian, penunjuk belum dapat dinilai, AK

(-), STLD (+)

Diagnosis : PEB, IUFD pada multigravida hamil imatur, dalam

persalinan kala I fase laten dengan hipoalbumin

Prognosis : jelek

Terapi : Observasi 9

Evaluasi 4 jam lagi

Awasi tanda-tanda impending eklampsia

Tanggal 24 Februari 2013, pukul 04.00

Keluhan : -

VS : T : 150/90 Rr : 20x/menit

N : 88x/menit S : 36,8o C

Abdomen : His 2-3x/10 menit lama 20-30”

DJJ (-)

VT : V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio

lunak mendatar, pembukaan 6 cm, eff 75%, bagian

terbawah masuk panggul di Hodge II-III, penunjuk

belum dapat dinilai, AK (+), STLD (+)

Diagnosis : PEB, IUFD pada multigravida hamil imatur, dalam

persalinan kala I fase aktif dengan hipoalbumin

Prognosis : jelek

Terapi : Observasi 9

Evaluasi 2 jam lagi

Tanggal 24 Februari 2013, pukul 05.00

Keluhan : -

VS : T : 140/90 Rr : 20x/menit

26

N : 84x/menit S : 36,8o C

Abdomen : His 4-5x/10 menit lama 40-50”

DJJ (-)

VT : V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio

lunak mendatar, pembukaan 10 cm, bagian kepala

masuk Hodge III+, penunjuk UUK, AK (+), STLD (+)

Diagnosis : PEB, IUFD pada multigravida hamil imatur, dalam

persalinan kala I fase aktif dengan hipoalbumin

Prognosis : jelek

Terapi : Pimpin persalinan per vaginam

Pukul 05.05

Bayi lahir secara per vaginam dengan outcome : †, JK: laki-laki, BB:

900 gr, maserasi (+) grd II, PB: 45 cm.

Pukul 05.10

Plasenta lahir spontan kesan tidak lengkap bentuk cakram ukuran

12x10x5 cm, panjang tali pusat 35 cm, insersi di parasentral kemudian

dilakukan eksplorasi kesan bersih

Lama persalinan

Kala I : 8 jam Kala II : 10 cc

KalaII : 5 menit Kala III : 30 cc

Kala III : 5 menit Kala IV : 15 cc

Total : 8 jam 10 menit Total : 55 cc

Pukul 07.10

Evaluasi 2 jam post partum

Kel: -

KU: baik, CM, gizi kesan cukup

VS : T: 130/80 mmHg Rr: 20x/ menit

27

N: 80 x/ menit t: 36,50C

Mata : CA(-/-), SI (-/-)

Thorax : C/P dbn

Abdomen : supel, kontraksi baik, TFU 2 jari bawah pusat

Genital : darah (+), discharge (-)

Dx. : Post partum spontan PEB, IUFD pada multipara hamil

imatur dengan hipoalbumin

Tx. :

− Protap PEB : O2 3 lpm, infus RL 12 tpm, injeksi

MgSO4 4 gr im/6 jam, balance cairan/6jam

Amoxicilin 3x500 mg

− SF 1x1

− Vit C 2x1

Tanggal 24 Februari 2013, jam 07.30

Kel: -

KU: baik, CM, gizi kesan cukup

VS : T: 130/80 mmHg Rr: 20x/ menit

N: 82 x/ menit t: 36,50C

Mata : CA(-/-), SI (-/-)

Thorax : C/P dbn

Abdomen : supel, kontraksi baik, TFU 2 jari bawah pusat

Genital : darah (+), lochia (+)

Dx. : Post partum spontan PEB, IUFD pada multipara hamil

imatur dengan hipoalbumin DPH 0

Tx. :

− Protap PEB : O2 3 lpm, infus RL 12 tpm, injeksi

MgSO4 4 gr im/6 jam, balance cairan/6jam

Amoxicilin 3x500 mg

− SF 1x1

− Vit C 2x1

28

Tanggal 25 Februari 2013, jam 06.00

Kel: -

KU: baik, CM, gizi kesan cukup

VS : T: 120/80 mmHg Rr: 20x/ menit

N: 84 x/ menit t: 36,50C

Mata : CA(-/-), SI (-/-)

Thorax : C/P dbn

Abdomen : supel, kontraksi baik, TFU 2 jari bawah pusat

Genital : darah (+), lochia (+)

Dx. : Post partum spontan dan IUFD, multipara hamil imatur

DPH I

Tx. :

− Protap PEB : O2 3 lpm, infus RL 12 tpm, injeksi

MgSO4 4 gr im/6 jam, balance cairan/6jam

Amoxicilin 3x500 mg

− SF 1x1

− Vit C 2x1

Hasil laboratorium rutin (24 Februari 2013) :

Hb : 13,9 g/dl Na : 138 mmol/L

Hct : 44 % K : 5,0 mmol/L

AE : 4,52. 106 /μL Ca2+ : 0,97 mmol/L

AL : 14,1. 103 /μL LDH : 1217 ug/dl

AT : 108. 103 /μL SGOT : 54 ug/dl

GDS : 133 mg/dl HbsAg : (-)

Ureum : 34 mg/dl SGPT : 44 ug/dl

Kreatinin : 0,6 mg/dl Proteinuria : +3

29

BAB IV

ANALISA KASUS

ANALISA KASUS

Dalam kasus ini didapatkan adanya pre eklampsia berat. Diagnosis

ini berdasarkan pada adanya hipertensi dan proteinuria yang dibuktikan

dengan :

o Tekanan darah pasien mencapai 190/110 mmHg

o Dari urinalisa didapatkan adanya proteinuria +3

Oedema tidak lagi dianggap menjadi suatu tanda yang valid untuk

pre eklampsia. Sedangkan proteinuria ≥ +3 sudah termasuk kategori PEB

(Abdul Bari, dkk., 2000).

Faktor predisposisi terjadinya PEB antara lain adalah :

a. Primigravida

b. Kehamilan ganda

c. Hidramnion

d. Hidrops fetalis

e. Diabetes mellitus

f. Obesitas

g. Umur yang lebih dari 35 tahun

h. Mola hidatidosa

(Rustam Mochtar, 1998)

Sedangkan faktor predisposisi yang mungkin didapatkan pada kasus ini

adalah adanya faktor kelainan kromosom atau juga karena adanya riwayat

preeklampsia pada kehamilan sebelumnya.

Pada kasus ini terjadi keadaan janin mati karena adanya gangguan

uteroplasenter akibat dari adanya PEB sehingga menyebabkan janin

mengalami hipoksia, terjadi asfiksia neonatorum dan akhirnya terjadi intra

uterine fetal death (IUFD).

Penatalaksanan pada kasus ini diberikan induksi karena menurut

30

Rustam Mochtar 1998 jika terdapat kematian janin dalam rahim dan belum

in partu, maka ibu harus dirawat agar dapat dilakukan induksi partus

kemudian persalinan dilanjutkan persalinan per vaginam dengan persiapan

vakum. Hal tersebut dikarenakan, pada pasien ini mengalami PEB maka

persalinan kala II harus dipersingkat.

Pada kasus ini, apabila ibu masih menginginkan untuk hamil

kembali sebaiknya melakukan ANC lebih ketat mengingat riwayat obstetri

ibu yang jelek (abortus dan PEB dengan IUFD).

31

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari S., 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB POGI, FKUI. Jakarta.

Abdul Bari S., George andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W, 2000, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Anonim. 1995. Protokol Penanganan Kasus Obstetri dan Ginekologi. RS dr. Moewardi. Surakarta.

Budiono Wibowo. (1999). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark, 1997, William’s Obstetrics 20th Prentice-Hall International,Inc.

Hariadi, R., 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia

Haryono Roeshadi. (2004). Sindroma HELLP dalam Ilmu Kedokteran Maternal. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Surabaya.

Hidayat W., 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, RSUP dr.Hasan Sadikin. Edisi ke-2. Penerbit: SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran, RSUP dr.Hasan Sadikin, Bandung.

Kelompok Kerja Penyusunan “Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia”.,2005. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

Loekmono Hadi, 2003. Pre eklampsia. Catatan kulih Obgyn. UNS.

M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-Gestosis). Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.

Neville, F. Hacker, J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Hipokrates, Jakarta.

Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta.

Rijanto Agung. (1995). Tinjauan Kepustakaan : Sindroma HELLP. Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya

32

Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro. 1999. Ilmu kandungan. FK UI, Jakarta

Sastrawinata, S., 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

33