pdf andalas elvira
DESCRIPTION
modikasi cara penangan anemia defisiensi besi pada anakTRANSCRIPT
-
SRATEGI FORTIFIKASI ZAT BESI dengan TEKNOLOGI
MIKROENKAPSULASI dalam UPAYA PENCEGAHAN
ANEMIA DEFISIENSI BESI pada ANAK
Karya Tulis Ilmiah
Oleh :
ELVIRA ROSANA
06120164
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2009
-
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan penulis kemudahan, rahmat, dan pertolonganNya sehingga penulis
bisa menyelesaikan karya tulis ini. Shalawat teriring salam penulis kirimkan untuk
sang idola yang senantiasa dirindukan, Rasulullah SAW. Karya tulis ini penulis
beri judul SRATEGI FORTIFIKASI ZAT BESI dengan TEKNOLOGI MIKROENKAPSULASI dalam UPAYA PENCEGAHAN ANEMIA
DEFISIENSI BESI pada ANAK. Tema ini penulis pilih untuk mencoba membahas mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS yang penulis khususkan
pada penularan melalui hubungan seksual.
Dalam proses penyelesaian karya tulis ini, penulis banyak mendapat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu secara khusus, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Andalas yang
telah mengajari saya beberapa ilmu medis.
2. Keluarga besar, papa, mama, kakak-kakak atas nasihat, dukungan,
motivasi, dan kasih sayangnya kepada saya.
3. Semua warga wisma sabrina yang telah banyak membantu penyelesaian
karya tulis ini.
4. Semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan dan masukan dalam penulisan karya tulis ini.
Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki,
sehingga karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang
akan datang. Akhirnya penulis mengucapkan selamat membaca
Padang, April 2009
Penulis
-
2
Abstrak
Indonesia sampai sekarang masih menghadapi masalah gizi, baik itu gizi makro
ataupun gizi mikro. Masalah gizi mikro utama di Indonesia adalah Gangguan
akibat Kekurangan Iodium (GAKI), kekurangan vitamin A, serta Anemia
Defisiensi Besi (ADB). Besi adalah salah satu zat gizi mikro yang sangat penting
bagi tubuh dan sampai sekarang belum berhasil penanggulangannya. Penelitian
oleh IDAI pada 1.000 anak sekolah di 11 provinsi di Indonesia menunjukkan
prevalensi anemia sebanyak 2025% dan jumlah anak yang mengalami defisiensi besi tanpa anemia jauh lebih banyak lagi. Penelitian Dee Pee dkk. (2002),
prevalensi anemia pada bayi 35 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah 37% pada bayi dengan kadar Hb di bawah 10 g/dl dan 71% pada
bayi dengan kadar Hb di bawah 11 g/dl dan bayi berat badan lahir normal dari ibu
anemia mempunyai kecenderungan hampir dua kali lipat menjadi anemia
dibanding dari ibu yang tidak anemia. Defisiensi besi pada ada mempunyai
dampak yang sangat berbahaya, diantaranya terjadi gangguan tumbuh kembang
anak, dan penuruna fungsi sitem imun serta bisa lebih fatal lagi yaitu kematian.
Anak sebagai generasi penerus bangsa sangat perlu perhatian khusus dalam
masalah kekurangan zat besi ini. Anak menentukan nasib bangsa Indonesia
kedepan. Pencegahan ADB bisda dilakukan dengan cara pendekatan berbasis
medis dan pendekatan berbasi pangan. Pendekatan berbasis medis yaitu
pemberian suplemen besi atau tablet besi. Pemerintah ssudah mempunyai program
pemberian tablet besi gratis pada ibu hamil dan menyusui. Pendekatan dengan
suplemen besi ini hanya menyentuh masyarakat yang beriko tinggi saja.
Sedangkan pendekatan berbasis pangan bisa dengan cara perbaikan pangan dan
fortifikasi pangan. Pendekatan dengan perbaikan pangan membutuhkan biaya
yang cukup tinggi serta sulit mengubah kebiasaan makan seseorang. Fortifikasi
pangan sudah berhasil menurunkan angka kejadian kekurangan zat gizi mikro di
beberapa negara maju seperti Amerika. Anemia Defisiensi Besi di Swedia dan
amerika sudah dapat diturunkan angka kejadiannya dengan cara fortifikasi zat besi
pada terigu. Zimmermann dkk. Di Maroko pada tahun 2003 dan 2004 melakukan
penelitian terkait fortifikasi zat besi yang dinamakan dengan Garam Fortifikasi
Ganda (GFG) dengan teknologi mikroenkapsulasi. Dalam penelitian tersebut
didapatkan bahwa GFG dapat menurunkan prevalensi ADB. Disamping itu juga
disimpulkan bahwa GFG bisa menjadi sarana fortifikasi yang efektif di negara
tersebut. Untuk di Indonesia Soeida dkk. Melakukan penelitian pembuatan dan uji
stabilitas GFG dengan Kalium Iodat dan besi elemental mikroenkapsulasi
didapatkan bahwa besi pada GFG ini stabil, garam yang dihasilkan juga
mendekati standar keputihan garam serta tidak terjadi interaksi antar fortifikan.
Penelitian- penelitian tersebut menawarkan sebuah strategi baru bagi Indonesia
dalam upaya menurunkan angka kejadian anemia defisiensi besi terutama pada
anak.
Kata kunci : anemia defisiensi besi, tumbuh kembang, fortifikasi,
mikroenkapsulasi
-
3
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Masalah gizi di Indonesia saat ini sebenarnya bukan hanya masalah
kekurangan zat gizi makro saja atau sering kita sebut kurang energi protein,
tapi ada lagi masalah gizi lain yang tersembunyi yaitu kekurangan zat gizi
mikro. Saat ini masalah kekurangan zat gizi mikro yang utama terdapat di
Indonesia adalah kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang Iodium
(GAKI), dan kurang zat besi yang disebut Anemia Defisisensi Besi
(ADB).1,2,3
Kekurangan zat gizi mikro dapat mengakibatkan gangguan pada
kesehatan, pertumbuhan, mental, fungsi kognitif, system imunitas, reproduksi
dan gangguan lainnya. Salah satu zat gizi mikro yang penting bagi tubuh dan
sampai sekarang belum ada keberhasilan penanggulangannya adalah zat besi.
2,3
Diperkirakan 25-35% penduduk Indonesia menderita anemia gizi besi, dengan
prevalensi terbesar pada ibu hamil dan balita. Hasil SKRT tahun 1992
mendapatkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di
Indonesia adalah 55,5% dan sampai sekarang terus meningkat. 3,4
Penelitian oleh IDAI pada 1.000 anak sekolah di 11 provinsi di
Indonesia menunjukkan prevalensi anemia sebanyak 2025% dan jumlah anak
yang mengalami defisiensi besi tanpa anemia jauh lebih banyak lagi.
Penelitian Dee Pee dkk. (2002), prevalensi anemia pada bayi 35 bulan di
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah 37% pada bayi dengan
kadar Hb di bawah 10 g/dl dan 71% pada bayi dengan kadar Hb di bawah 11
g/dl dan bayi berat badan lahir normal dari ibu anemia mempunyai
kecenderungan hampir dua kali lipat menjadi anemia dibanding dari ibu yang
tidak anemia. 5
Defisiensi besi pada bayi dan anak mempunyai dampak yang sangat
berbahaya. Dampak yang bisa di dapat diantaranya pertumbuhan dan
-
4
perkembangan kecerdasan bisa terhambat, penurunan system imun tubuh
sehingga mudah terserang penyakit, bahkan dalam waktu lama dapat terjadi
penurunan kualitas otak manusia. Komplikasi yang paling berbahaya adalah
mempercepat terjadinya kematian. 1,2,3,6,7
Dampak yang bisa terjadi bukan itu saja tapi ada dampak yang secara
tidak langsung dapat terjadi yang berakibat besar bagi bangsa yaitu dampak
pada sumberdaya manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia nantinya
banyak yang rendah kualitasnya serta dampak lainnya yaitu pada
perekonomian nasional yang diperkirakan setiap tahunnya menghabiskan dana
8,9 triliun rupiah akibat kasus anemia ini.3
Maka dari itu semua sangat penting untuk mengatasi masalah
kekurangan zat besi ini terutama pada anak. Diperlukan strategi yang efektif,
efisien serta menyentuh semua lapisan masyarakat dalam mengatasi masalah
ini. Sejauh ini belum ada fokus penanggulangan anemia defisiensi ini pada
bayi, balita, anak sekolah. Padahal dampak negative yang di tumbulkan pada
kelompok tersebut sangat serius seperti yang sudah di jelasakan di atas karena
meraka berada dalam tahap tumbuh kembang. Penanganan sedini mungkin
sangatlah berarti bagi kelangsungan pembangunan karena mereka penentu
kualitas manusia Indonesia ke depannya.
Pendekatan yang bisa dilakukan dalam mengatasi dan mencegah
kekurangan zat besi ini yaitu dengan pendekatan berbasis medis yakni dengan
suplementasi dan pendekatan berbasis pangan yakni dengan perbaikan
makanan pangan dan fortifikasi pangan. Untuk suplementasi walupun
merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan kadar zat besi dalam jangka
pendek biasanya hanya diberi pada orang yang berisiko tinggi dan mempunyai
rasa yang kurang mengenakkan.(etik,) Perbaikan pangan adalah metode yang
paling ideal tapi dalam prakteknya banyak keterbatasan diantaranya sulit
untuk merubah kebiasaan kesukaan seseorang akan jenis makanan serta
mahalnya bahan pangan yang kaya akan zat besi dengan bioavailabilitas tinggi
seperti daging. Untuk pendekatan dengan fortifikasi yaitu menambahkan zat
gizi pada bahan makanan, di Indonesia telah di berlakukan pada beberapa
-
5
produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun belum
berhasil mengatasi masalah defisiensi zat besi karena prevalensi anemia
defisiensi besi masih meningkat. Penyebabnya karena bahan pangan sebagai
fortifikannya belum dikonsumsi secara luas oleh semua lapisan masyarakat
terutama masyarakat ekonomi lemah. 3
I.2. Rerumusan Masalah
1. Apa saja upaya untuk penanggulangan anemia defisiensi besi?
2. Bagaimana peran fortifikasi zat besi dengan teknologi mikroenkapsulasi
dalam pencegahan anemia defisiensi besi di Indonesia?
I.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk
penanggulangan anemia zat besi.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran fortifikasi zat besi dengan teknologi
mikroenkapsulasi dalam pencegahan anemia zat besi di Indonesia.
I.4. Manfaat Penulisan
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
menambah wawasan dan menyumbangkan solusi mengenai penanggulangan
masalah defisiensi zat besi di Indonesia. Disamping itu bisa juga digunakan
sebagai rujukan untuk pengembangan dan bahan pertimbangan bagi kebijakan
pemerintah dalam pemecahan masalah anemia defisiensi besi di Indonesia.
-
6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Fortifikasi Pangan
Fortifikasi pangan adalah penambahan zat gizi tertentu ke dalam
bahan makanan tertentu. Fortifikasi ini bertujuan untuk meningkatan mutu
gizi makanan. Fortifikasi pangan umumnya digunakan untuk mengatasi
masalah gizi mikro pada jangka menengah dan panjang. Amerika serikat
merupakan negara pertama yang melakukan fortifikasi, yaitu pada tahun
1920 dengan dikeluarkannya peraturan tentang fortifikasi garam dengan zat
iodium.3
Fortifikasi pangan terbukti sebagi strategi yang paling efektif untuk
mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro di Eropa, Amerika Utara dan
Amerika Latin serta beberapa negara maju lainnya. Sebagai contoh, program
fortifikasi margarin dengan vitamin A berhasil menghilangkan riketsia di
Inggris, Kanada, dan eropa Utara. Untuk di Indonesia sendiri pada tahun
2001, Komisi fortifikasi Indonesia (KFI), UNICEF, Pusat Studi Kebijakan
Pangan dan Gizi IPB dan Forum Komunikasi Pangan di indonesia
bekerjasama melakukan studi fortifikasi di beberapa wilayah Indonesia.
Hasil yang didapat dalam studi tersebut yakni fortifikasi pada beberapa jenis
bahan pangan dapat berperan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi
mikro di Indonesia. Adapun beberapa yang menjadi kelebihan fortifikasi
pangan ini, populasi sasarannya luas, tidak diperlukan sarana program
khusus dalam pemberian, serta tingkat penerimaan dan tingkat
kesinambungannya tinggi. 3
Untuk fortifikasi zat besi sendiri telah berhasil menurunkan
prevalensi anemia defisiensi besi secra drastis di Swedia dan Eropa dengan
menggunakan tepung sebagai bahan pangannya.3
-
7
II.2. Teknologi mikroenkapsulasi
Mikroenkapsulasi merupakan suatu proses pembuatan
mikroenkapsul dengan menggunakan penyalut yang relatif tipis pada
partikel-partikel kecil zat padat atau tetesan cairan atau disperse. Dalam
teknik ini suatu zat diperangkap dalam suatu pelapis polimer membentuk
mikrokapsul bulat antara puluhan mikron sampai beberapa milimeter. Proses
mikroenkapsulasi terdiri dari 2 tahap yaitu pencampuran bahan inti dengan
larutan membentuk materi pembentuk dinding dan pengeringan emulsi yang
terbentuk. Teknik spray drying digunakan untuk mengeringkan dan
menghasilkan mikroenkapsulat. Teknik ini juga memiliki kelebihan, yaitu
kemampuan dalam melindungi bahan inti dan penggunan bahan penyalut
yang bervariasi. Teknik pengeringan lain yang dapat digunakan adalah thin
layer drying yang didahulu dengan pembuatan lapisan tipis emulsi karoten
pada permukaan dan dikeringkan secara cepat secara konduksi dan konveksi
melalui permukaan plat. Berbagai bahan enkapsulat dapat digunakan untuk
membentuk lapisan film pelindung dari matriks karoten. Polisakarida
merupakan bahan yang paling potensial karena memiliki kemampuan dalam
pembentukan dinding mikrokapsul, mudah untuk dilarutkan dan
didispersikan dalam medium aqueous serta sifat pengeringan yang baik.
Protein seperti protein whey, isolat protein kedelai dan prolamin dari sereal
juga telah digunakan untuk membentuk inti lipid. Dari segi flavor, rasa dan
antigenicity, polisakarida memiliki keunggulan dibandingkan protein. Akan
tetapi protein mampu membentuk emulsi yang lebih stabil yang merupakan
prerequisite dalam keberhasilan mikroenkapsulasi. 8,9
-
0
II.3. Zat Besi
II.3.1. Kompartemen Besi dalam Tubuh
Zat besi merupakan salah satu elemen atau zat gizi mikro yang
penting bagi tubuh. Besi terdapat dalam beberapa jaringan dalam tubuh.
Dibagi dalam tiga kelompok sesuai fungsinya yaitu : (1) senyawa besi
fungsional, yakni besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam
tubuh; (2) besi transport, senyawa besi yang berikatan dengan protein
tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen
ke kompartemen lainnya; (3) besi cadangan, senyawa besi yang
dipersiapkan bila masukan besi berkurang. 2,10
Besi cadangan tidak mempunyai fungsi fisiologis selain daripada
sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk
kompartemen fungsional. Nilai normal dari besi cadangan ini adalah
seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh. Besi cadangan ini
disimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Jika tubuh
membutuhkan zat besi dalam jumlah yang lebih banyak seperti pada
bayi, anak dan remaja untuk pertumbuhan sedangkan intakenya tetap,
akan menyebabkan besi cadangan ini berkurang dan bahkan habis. Pada
keadaan ini dibutuhkan penambahan zat besi yang digunakan lewat
basal. 2,10
Kebutuhan zat besi pada anak balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Kebutuhan zat besi Anak Balita
Umur Kebutuhan
0-6 bulan
7-12 bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
3 mg
5 mg
8 mg
9 mg
Sumber : Muhlian, et 1993 dalam arlinda sari Wahyundi 2004
-
1
II.3.2 Metabolisme Zat Besi
Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk heme dan non
heme. Besi non heme merupakan sumber utama zat besi dalam makanan.
Besi non heme ini terdapat dalam sayuran hijau, kacang kacangan,
kentang dan sebagian dalam makanan hewani. Sedangkan besi heme
hampir semua terdapat dalam makanan hewani antara lain daging, ikan,
ayam, hati dan organ organ lain. Zat besi dalam tubuh perlu dijaga
keseimbangannya agar tidak terjadi anemia. 2,10
Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak
semuanya harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar yaitu
sebanyak 34 mg didapat dari penghancuran sel sel darah merah tua,
yang kemudian disaring oleh tubuh untuk dapat dipergunakan lagi oleh
sumsum tulang untuk pembentukan sel sel darah merah baru. Hanya 1
mg zat besi dari penghancuran sel sel darah merah tua yang
dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air
kencing. Jumlah zat besi yang hilang lewat jalur ini disebut sebagai
kehilangan basal (iron basal losses). 2
Penyerapan besi dalam bentuk heme (90% dari makanan) besinya
harus diubah dulu dalam bentuk yang mudah diserap, sedangkan bentuk
non heme (10% dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa
memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat
makanan yang dikonsumsi.4
Dalam penyerapan besi ada faktor-faktor yang
memepengaruhinya. Faktor tersebut ada yang besifat menghambat dan
ada yang mempermudah penyerapan. Faktor yang mempermudah
penyerapan besi adalah meat factors , vitamin C, dan asam klorida di
lambung. Sedangkan faktor penghambat adalah fosfat yang berlebih,
fitat, terganggunya fungsi usus, dan infeksi. 2,10
Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas
melalui proses yang kompleks. Tahapan penyerapan besi tersebut yaitu
besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+
atau
-
2
Fe2+
mula mula mengalami proses pencernaan. Di dalam lambung Fe3+
larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh gastroferin dan
direduksi menjadi Fe2+
. Di dalam usus Fe2+
dioksidasi menjadi FE3+
.
Selanjutnya Fe3+
berikatan dengan apoferitin yang kemudian
ditransformasi menjadi feritin, membebaskan Fe2+
ke dalam plasma
darah. Di dalam plasma, Fe2+
dioksidasi menjadi Fe3+
dan berikatan
dengan transferitin. Transferitin mengangkut Fe2+
ke dalam sumsum
tulang untuk bergabung membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma
berada dalam keseimbangan. Transferrin mengangkut Fe2+
ke dalam
tempat penyimpanan besi di dalam tubuh (hati, sumsum tulang, limpa,
sistem retikuloendotelial), kemudian dioksidasi menjadi Fe3+
. Fe3+
ini
bergabung dengan apoferritin membentuk ferritin yang kemudian
disimpan, besi yang terdapat pada plasma seimbang dengan bentuk yang
disimpan. 2,4,11
Pada bayi absorbsi zat besi dari ASI meningkat dengan
bertambah tuanya umur bayi. Perubahan ini terjadi lebih cepat pada bayi
yang lahir prematur dari pada bayi yang lahir cukup bulan. Jumlah zat
besi akan terus berkurang apabila susu diencerkan dengan air untuk
diberikan kepada bayi. 2
Walaupun jumlah zat besi dalam ASI rendah, tetapi absorbsinya
paling tinggi. Sebanyak 49% zat besi dalam ASI dapat diabsorbsi oleh
bayi. Sedangkan susu sapi hanya dapat diabsorbsi sebanyak 10 12%
zat besi. Kebanyakan susu formula untuk bayi yang terbuat dari susu
sapi difortifikasikan dengan zat besi. Rata rata besi yang dapat
diabsorbsi dari susu formula adalah 4%. 2
Pada waktu lahir, zat besi dalam tubuh kurang lebih 75 mg/kg
berat badan, dan cadangan zat besi kira kir 25% dari jumlah ini. Pada
umur 6 8 mg, terjadi penurunan kadar Hb dari yang tertinggi pada
waktu lahir menjadi rendah. Hal ini disebabkan karena ada perubahan
besar pada sistem erotropoiesis sebagai respon terhadap deliveri oksigen
-
3
yang bertambah banyak kepada jaringan. Kadar Hb menurun sebagai
akibat dari penggantian sel sel darah merah yang diproduksi sebelum
lahir dengan sel sel darah merah baru yang diproduksi sendiri oleh
bayi. Persentase zat besi yang dapat diabsorbsi pada umur ini rendah
karena masih banyaknya cadangan zat besi dalam tubuh yang dibawah
sejak lahir. Sesudah umur tersebut sistem eritropoesis berjalan normal
dan menjadi lebih efektif. Kadar Hb naik dari terendah 11 mg/100 ml
menjadi 12,5 g/100 ml, pada bulan bulan terakhir masa kehidupan
bayi. 2,4
Bayi yng lahir BBLR mempunyai cadangan zat besi yang lebih
rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup,
tetapi rasio zat besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih
cepat tumbuhnya dari pada bayi normal, sehingga cadangan zat besi
lebih cepat habis. Oleh sebab itu kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih
besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang
cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan kadar Hb akan
dapat menyamai bayi yang normal. 2,4
Prevalensi anemia yang tinggi pada anak umumnya disebabkan
karena makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi sehingga
tidak dapat memenuhi kebutuhannya, terutama pada negara sedang
berkembang dimana serelia dipergunakan sebagai makanan pokok.
Faktor budaya juga berperanan penting, bapak mendapat prioritas
pertama mengkonsumsi bahan makanan hewani, sedangkan anak dan ibu
mendapat kesempatan yang belakangan. Selain itu zat ;ain yang biasanya
terdapat dalam makanannya turut pula menghambat absorbsi zat besi.
2,4
-
4
II.4 Anemia Defisiensi Besi pada Anak
II.4.1 Batasan Anemia
Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin
(Hb) di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok
orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis
kelamin, seperti yang terlihat di dalam tabel di bawah ini. 2
Tabel 2. Batas normal Kadar Hemoglobin
Kelompok Umur Hemoglobin (g/dl)
Anak
Dewasa
6 bulan s/d 6 tahun
6 tahun s/d 14 tahun
Laki-laki
Wanita
Wanita hamil
11
12
13
12
11
Sumber WHO
II.4.2 Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Terjadinya anemia defisiensi besi ditentukan oleh kemampuan
absorpsi besi, diit yang mengandung besi, kebutuhan besi yang
meningkat dan jumlah yang hilang. 4
Penyebab kekurangan besi :
1. Kebutuhan yang meningkat
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun
pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat,
sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur
1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin
dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat di banding saat lahir.
b. Menstruasi
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat adalah
salah satu penyebab yang paling sering ditemukan. Seorang bayi
pada tahun 1 pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang
-
5
banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih
kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang
terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat
ASI ekslusif jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan
pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung di dalam ASI
lebih mudah diserap dibandingkan besi yang terkandung dalam
susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi
bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsorbsi.
b. Malabsorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang
mukosa ususnya mengalami perubahan secara histologis dan
fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial
atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat
makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya
jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas
usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab
penting terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi
keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan
kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,52 mg besi) dapat mengakibatkan
keseimbangan negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan
saluran cerna, milk induced enterophaty, ulkus peptikum, karena obat-
obatan (asam asetil salisilat, indometasin, obat anti inflamasi non
steroid) dan infestasi cacing ( Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan
menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan
meneybabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa
neonatus.
-
6
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup
jantung buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita ADB.
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit yang ditandai perdarahan
paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang
hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun
drastis hingga 1,5-3 g/dl dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam,
sekitar 40% remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin
serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak
sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan
terjadi pada 50% pelari. 2,4
II.4.3 Patofisiologi Anemia Defisisnsi Besi
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah)
dan juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat
besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut
elektro (sitokrom) untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan
oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas
(asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi. 2
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan
negatif yang berlangsung lama. Bila menetap akan menyebabkan
cadangan besi terus berkurang. 4
Tahap defisiensi besi adalah sebagai berikut :
-
7
1. Tahap pertama
Tahap ini disebuta iron depletion atau storage iron
deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak
adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya
masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi
non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain
untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap Kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficiency
erythropoietin atau iron limited erythropoeisis didapatkan suplai
besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil
pemerikasaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan
saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity
(TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap Ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia.
Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang
tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari
gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang
progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama
pada ADB yang lebih lanjut. 4
Table 3 Tahapan kekurangan besi
Hemoglobin Tahap 1
normal
Tahap 2
sedikit menurun
Tahap 3
menurun jelas
(mikrositik/hipokromik)
Cadangan besi (mg)
Fe serum (ug/dl)
TIBC (ug/dl)
Saturasi transferin (%)
-
8
Feritin serum (ug/dl)
Sideroblas (%)
FEP (Ug/dl sel darah
merah)
MCV
30
normal
-
9
a. Imunitas humoral
Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap
merupakan pertahanan utama terhadap infeksi, dan hal ini dapat
didemonstrasikan pada manusia. Pada manusia kemampuan pertahanan
tubuh ini berkurang pada orang-orang yang menderita defisiensi besi.
Nalder dkk mempelajari pengaruh defisiensi besi terhadap sintesa
antibodi pada tikus-tikus dengan menurunkan setiap 10% jumlah zat
besi dalam diit. Ditemukan bahwa jumlah produksi antibodi menurun
sesudah imunisasi dengan tetanus toksoid, dan penurunan ini secara
proporsional sesuai dengan penurunan jumlah zat besi dalam diit.
Penurunan titer antibodi tampak lebih erat hubungannya dengan
indikator konsumsi zat besi, daripada dengan pemeriksaan kadar
hemoglobin, kadar besi dalam serum atau feritin, atau berat badan. 2
b. Imunitas sel mediated
Invitro responsif dari limfosit dalam darah tepi dari pasien
defisiensi besi terhadap berbagai mitogen dan antigen merupakan topik
hangat yang saling kontraversial. Bhaskaram dan Reddy menemukan
bahwa terdapat reduksi yang nyata jumlah sel T pada 9 anak yang
menderita defisiensi besi. Sesudah pemberian Suplemen besi selama
empat minggu, jumlah sel T naik bermakna. Srikanti dkk membagi 88
anak menjadi empat kelompok menurut kadar hemoglobin yaitu
defisiensi besi berat (Hb 12 g/dl). Pada anak yang defisiensi berat
dan sedang terjadi depresi respons terhadap PHA oleh limfosit,
sedangkan pada kelompok defisiensi ringan dan normal tidak
menunjukkan hal serupa. Keadaan ini diperbaiki dengan terapi besi.2
c. Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah
aktivitas fungsional sel fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi dapat
mengganggu sintesa asam nukleat mekanisme seluler yang
-
10
membutuhkan metaloenzim yang mengandung Fe. Schrimshaw
melaporkan bahwa sel-sel sumsum tulang dari penderita kurang besi
mengandung asam nukleat yang sedikit dan laju inkorporasi (3H)
thymidin menjadi DNA menurun. Kerusakan ini dapat dinormalkan
dengan terapi besi. Sebagai tambahan, kurang tersedianya zat besi
untuk enzim nyeloperoksidase menyebabkan kemampuan sel ini
membunuh bakteri menurun. Anak-anak yang menderita defisiensi
besi menyebabkan persentase limfosit T menurun, dan keadaan ini
dapat diperbaiki dengan suplementasi besi. Menurunnya produksi
makrofag juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. Secara umum sel T,
di mana limfosit berasal, berkurang pada hewan dan orang yang
menderita defisiensi besi. Terjadi penurunan produksi limfosit dalam
respons terhadap mitogen, dan ribonucleotide reductase juga menurun.
Semuanya ini dapat kembali normal setelah diberikan suplemen besi. 2
II.4.4. 2. Pengaruh Besi pada Tumbuh Kembang Otak
Pertumbuhan dan perkembangan sel otak sangat cepat dan
sangat sensitif terhadap perubahan status besi. Otak menyerap besi dari
plasma melalui reseptor transferin (Tf receptor) yang terdapat pada sel
endotel pembuluh darah otak. Sawar darah otak merupakan titik
regulasi efektif terhadap pergerakan besi dari plasma ke cairan
serebrospinal di samping pleksus khoroidalis yang merupakan sumber
pergerakan besi ke dalam dan keluar otak. Perbedaan pengaturan dan
pengambilan serta distribusi zat besi tergantung pada jumlah reseptor
transferin, divalent metal transporter (DMT1), eksporter besi seluler
(feroportin, MTP1). Di dalam otak, besi ditemukan dalam bentuk
ferritin dan distribusi tidak merata sesuai pada fungsi masing-masing
area otak. Konsentrasi besi yang tinggi didapat di oligodendrosit,
globus pallidus, nucleus caudatus, putamen, substantia nigra. 2,5
-
11
Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif
pada ADB yaitu:
1. Gangguan pembentukan myelin
Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat
berlangsung baik bila oligodendrosit mengalami kekurangan besi.
Oligodendrosit merupakan sel yang memproduksi myelin dari
kolesterol dan lipid. Mielinisasi mulai pada prenatal, maksimum antara
trimester 3 dan 2 tahun paska natal dan selesai pada usia 10 tahun.
Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang.
2. Gangguan metabolisme neurotransmitter
Hal ini terjadi karena gangguan sintesa tryptophan hydroxylase
(serotonin), tyrosine hydroxylase (nor-epinephrine), Dopamine (DA).
Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan,
motivasi, dan kontrol motorik.
3. Gangguan metabolisme energi protein
Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada
ribonukleotide reductase yang penting untuk fungsi dan metabolisme
lemak dan energi otak. Defisiensi besi yang terjadi pada masa kritis
dalam perkembangan otak akan mengakibatkan kerusakan yang
menetap dan mengakibatkan gejala sisa seperti perkembangan yang
terlambat.
Gangguan pada pertumbuhan otak salah satu akibatnya dapat
mengganggu funsi kognitif. Kognitif dalam konteks ilmu psikologi
didefinisikan secara luas mengenai kemampuan berpikir dan
mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang memperoleh
pengertian. Kemampuan berkonsentrasi terhadap suatu rangsang dari
luar, memecahkan masalah, mengingat atau memanggil kembali dari
memorinya suatu kejadian yang telah lalu, memahami lingkungan fisik
dan sosial termasuk dirinya sendiri. 5
-
12
Fungsi kognitif antara lain:
1. Taraf inteligensia: yaitu kemampuan untuk mencapai prestasi di
sekolah dan berbagai bidang kehidupan antara lain pergaulan
sosial, teknis, perdagangan, pengaturan rumah tangga.
2. Bakat khusus yaitu kemampuan yang menonjol di suatu bidang,
misal matematika, bahasa asing.
3. Organisasi kognitif menunjukkan materi yang sudah dipelajari,
disimpan dalam ingatan secara sistematis atau tidak.
4. Kemampuan berbahasa.
5. Daya fantasi, mempunyai kegunaan kreatif, antisipatif, rekreatif,
dan sosial.
6. Gaya belajar.
7. Teknik atau cara belajar secara efisien dan efektif.
Proses belajar mengajar di sekolah pada dasarnya
berlangsung demi meningkatkan makna kehidupan manusia. Bukti
penelitian menyokong bahwa besi memegang peranan penting
dalam perkembangan sistem saraf pusat. Bila terjadi deplesi besi
selama proses perkembangan susunan saraf terutama pada masa
bayi akan mengakibatkan gangguan kognitif yaitu kontrol motorik,
memori, dan perhatian, rendahnya prestasi sekolah, meningkatnya
problem tingkah laku dan disiplin. 5
Tamura dkk. menemukan bayi yang lahir dengan kadar
ferritin tali pusat rendah diperoleh test neurodevelopment, fungsi
mental, dan psikomotor pada usia 5 tahun hasilnya buruk. 5
Lozoff (1991) pada penelitian kohort, menyatakan bahwa
defisiensi besi yang berat dan lama pada masa bayi menyebabkan
perkembangan kognitif dan motorik yang lambat pada usia 5 tahun.
Selanjutnya Lozoff dkk. (2000) mendapatkan bahwa
defisiensi besi yang berat dan kronis pada masa bayi yang
merupakan masa kritis, masa pertumbuhan, dan diferensiasi otak
biasanya akan menetap. Dalam pemantauan selanjutnya pada masa
-
13
anak ditemukan fungsi kognitif yang buruk dan rendahnya prestasi
sekolah, anak cenderung merasa cemas, memiliki ganguan
perhatian. Walaupun anemia dapat dikoreksi dengan pemberian
besi tetapi nilai tes perkembangan motorik dan mental tidak dapat
dikoreksi. 5
Penelitian Halterman (2001) di Amerika Serikat,
mendapatkan nilai rata-rata matematika pada anak yang menderita
anemia defisiensi besi lebih rendah dibanding anak tanpa anemia
defisiensi besi. Penelitian Bidasari dkk., di daerah perkebunan Aek
Nabara bekerjasama dengan Fakultas Psikologi USU (2006) pada
anak usia 714 tahun yang menderita anemia defisiensi besi
diperoleh Full IQ tidak melebihi rata-rata dengan gangguan
pemusatan perhatian dan fungsi kognitif terutama dalam bidang
aritmatika. 5
Anak yang mengalami defisiensi besi pada masa bayi
mempunyai risiko gangguan perkembangan jangka panjang yang
kemungkinan lebih serius seperti gangguan kognitif. Jadi
pencegahan defisiensi besi pada masa bayi merupakan yang
terbaik. 5
-
14
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan karya tulis ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka
dengan menelusuri rujukan terkini yang terkait dengan topik utama permasalahan
dan bersumber dari jurnal ilmiah, buku teks, literatur, koran, dan internet
kemudian di analisis untuk mendapatkan solusi dari permasalahan . Data yang
tersaji adalah data sekunder yang merupakan kutipan langsung sesuai dengan
sumber rujukan.
-
15
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Upaya Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi
Upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi anemia defisiensi
besi terdiri atas upaya pengobatan penderita ADB dan pencegahan
terjadinya ADB itu sendiri.
IV.1.1 Untuk Pengobatan ADB
1. Pemberian preparat besi
Garam ferous diabsorbsi 3 kali lebih baik dari garam feri.
Preperat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat.
Preparat yang sering dipakai ferous sulfat karena harganya yang lebih
murah. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop). 4
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai
adalah 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung
berdasarkan kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferous.
Garam ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis
obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran
pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih
cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah saat lambung kosong, diantara
dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada
saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan
mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam2-3
dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima
tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini
harus tetap diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita
teratasi. 4
Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering
terjadi pada orang dewasa dibandingkan bayi dan anak.
-
16
Pewarnaan gigi yang bersifat sementar dapat dihindari dengan
meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara
tetesan. 4
Tabel 4. Respon terhadap pemberian besi pada ADB
Waktu
setelah pemberian besi
Respons
12-24 jam
36-48 jam
48-72 jam
4-30 hari
1-3 bulan
Penggantian enzim besi intraseluler, keluhan;
keluhan subjektif berkurang, nafsu makan
bertambah
Respon awal dari sumsum tulang: hiperplasia
eritroid
Retikulositosis, puncaknya pada hari ke 5-7
Kadar Hb meningkat
Penambahan cadangan besi
Dikutip dari buku ajar hematology-onkologi anak IDAI 2006
Pemberian preparat besi dapat juga dilakukan dengan cara
pemberian parenteral. Namun, pemberian dengan cara intramuskular
menimbulkan rasa sakit dan hanyganya mahal. Dapat juga menyebabkan
limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuannya untuk
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. 4
Adapun preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan
ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5.
1. Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Hanya akan diberikan pada
keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat
memepengaruhi terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu
secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan
hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara
perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai
tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk
-
17
penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan
dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberin disertai pemberian diuretik
seperti furosemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang
segar.4
IV.1.2 Pencegahn Anemia Defisiensi Besi
Ada banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya anemia defisiensi besi. Beberapa caranya adalah
meningkatkan penggunaan ASI ekslusif, menunda pemakain susu
sapi sampai usia 1 tahun sehubungan dengan risiko terjadinya
perdarahan saluran cerna yang tersamar pada beberapa bayi,
memberikan makan bayi yang mengandung besi serta makanan
yang kaya dengan asam askorbat pada saat memperkenalkan
makanan padat (usia 4-6 bulan), memberikan suplementasi besi
kepada bayi yang kurang bulan dan BBLR, pemakaian PASI yang
mengandung besi, konseling pada ibu maupun keluarga terdekat,
untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang
cukup secara rutin sejak masa bayi hingga usia remaja, memberi
makanan pendamping ASI mulai 6 bulan yang kaya zat besi atau
makanan pendamping sudah difortifikasi, serta skrining anemia.4,5
Dalam jangka panjang, penanggulangan anemia gizi hanya
dapat berlangsung secara tuntas bila penyebab mendasar terjadinya
anemia juga ditanggulang, misalnya melalui:
a. Usaha untuk meningkatkan tingkat pendidikan, terutama
pendidikan wanita.
b. Usaha untuk memperbaiki upah, terutama karyawan rendah.
c. Usaha untuk meningkatkan status wanita di masyarakat
d. Usaha untuk memperbaiki lingkungan fisik dan biologis,
sehingga mendukung status kesehatan gizi masyarakat.
-
18
Strategi Operasional Penanggulangan Anemia Gizi disini
diarahkan ke kegiatan yang bisa dilaksanakan dalam 4 kegiatan
yaitu :
a. Strategi Operasionl Kie
1. Pelaksnaan KIE
Pelaksnaan KIE perlu dilakukan secara lebih
menyeluruh, dan bersifat multi media.
Pendekatan pelaksanaan KIE adalah sebagai berikut :
- menggunakan multimedia
- menggunakan tenaga lintas program dan lintas sektor
- menggunakan berbagai pendekatan seperti individual,
kelompok atau massal
- menumbuhkan partisipasi dan kemandirian
- ditujukan untuk berbagai sasaran yang sesuai seperti
sasaran primer yaitu orang tua yang memiliki balita,
sasaran sekunder yaitu petugas kesehatan, lurah, tokoh
masyarakat, lembaga LSM sedangkan tertier yaitu
pemerintah setempat.
2. Integrasi KIE anemia ke dalam KIE maknan
3. Pengembangan jaringan KIE
4. Strategi khusus : Penyelenggaraan Bulanan Anemia
5. Isi pesan KIE anemia diantaranya
- menjelaskan konsep Anemia
- menjelaskan Anemia dalam konteks pangan dan gizi
secara keseluruhan
- menjelaskan pelayanan kesehatan yang ada dalam kaitan
penanggulangan ADB.
- meningkatkan kebutuhkan terhadap tablet tambah darah
- meningkatkan kesadaran keluarga untuk lebih
memperhatikan anggota keluarga.
-
19
- menjelaskan kaitan anemia dalam pembangunan secara
umum.
b. Strategi Operasional Suplementasi
Masyarakat sendiri dapat melakukan suplementasi
untuk balitanya. Preparat diberikan lebih baik dalam bentuk
multivitamin, yaitu selain mengandung besi dan asam folat,
juga mengandung vitamin A, vitamin C, seng (sesuai
dengan kemampuan tehnologi). Pemberian dapat dilakukan
beberapa kali dalam setahun.
Dosis pemberian adalah sebagai berikut :
- 30 mg unsur besi dan 0,125 mg asam folat, disertai 2500
IU vitamin A pemberian diberikan selama 2 bulan
- swadana : 30 mg unsur besi dan 0,125 mg asam folat
disertai 2500 IU vitamin A pemberian diberikan sekali
seminggu. Preparat multivitamin yang tersedia di pasaran
juga dapat dipergunakan. 2
c. Strategi Fortifikasi
d. Strategi Operasional Lain
Penanggulangan anemia juga memerlukan kegiatan lain
seperti :
1. Pembasmian infeksi cacing secara berkala
Penanggulangan anemia perlu disertai
dengan pemberian obat cacing di daerah yang
diduga prevalensi cacingnya tinggi. Prioritas
pemerintah sekarang ini adalah pembasmian cacing
untuk anak sekolah, daerah vital produksi, daerah
terpencil dan daerah kumuh. Direktorat Bina Gizi
Masyarakat perlu berpartisipasi dalam rangka
memperluas gerakan pembasmian cacing ini.
-
20
Direktorat Bina Gizi Masyarakat juga perlu
membantu gerakan pembasmian cacing yang
dilakukan secara swadana oleh masyarakat ataupun
swasta.
Dalam rangka pembasmian cacing ini perlu
diperhatikan bahwa pembasmian hanya akan
langgeng bila disertai dengan kegiatan untuk
mengubah perilaku penduduk kearah hidup yang
lebih bersih (seperti cuci tangan, menggunakan
sandal dan kegiatan untuk mengubah lingkungan
(seperti jambanisasi) agar siklus hidup cacing bisa
diputus secara permanen.
2. Pemberian obat anti malaria untuk daerah endemis.
Pemberian obat anti malaria di daerah
endemis malaria perlu diberikan sekaligus pada
waktu pemberian tablet tambah darah. Direktorat
Jenderal P2MPLP sekarang sudah memberikan anti
malaria sekaligus tablet tambah darah, namun baru
daerah prioritas, seperti transmigrasi, daerah potensi
wabah daerah pembangunan dan daerah perbatasan.
3. Mencari Prevalensi Regional Anemia.
Perlu ada penelitian tentang prevalensi
anemia dan penyebabnya pada tingkat Provinsi dan
kabupaten. Penelitian ini dapat dilkukan dengan
metode survei cepat. Sekarang ini lelah
dilaksanakan survei untuk 145 kabupaten.2
IV.2 Fortifikasi Zat Besi dengan Teknologi Mikroenkapsulasi
-
21
Dalam pencegahan kekurangan zat besi sebenarnya ada dua pendekatan
yang bisa dilakukan yang sedikit sudah disinggung di atas. Pendekatan yang bisa
dilakukan adalah pendekatan berbasis medis dan pendekatan berbasis pangan.
Pendekatan berbasis medis biasanya di tujukan pada golongan yang berisiko
mengalami defisiensi besi seperti ibu hamil dan ibu menyusui. Di Indonesia,
pemerintah sudah melakukan program suplementasi gratis pada ibu hamil melalui
Puskesmas dan Posyandu dengan menggunakan tablet besi folat ( mengandung 60
mg elemental besi dan 0,25 mg asam folat). Kendala utama dari efektifitas metoda
ini adalah biaya yang dibutuhkan cukup tinggi dan perlu motivasi yang
berkelanjutan dalam mengkonsumsi suplemen. 3
Pendekatan berbasis pangan dapat dilakukan dengan cara perbaikan
makanan pangan dan fortifikasi. Untuk perbaikan makan pangan, sebenarnya cara
ini paling ideal. Namun, dalam prakteknya banyak sekali keterbatasan,
diantaranya sulit merubah kebiasaan makan seseorang dan bahan pangan yang
mrngandung zat besi tinggi dan bioavailabilitas yang baik biasanya harganya
mahal. 3
Fortifikasi atau penambahan satu atau lebih zat gizi mikro pada pangan
yang lazim dikonsumsi merupakan strategi penting yang dapat digunakan untuk
meningkatkan status zat gizi mikro dalam pangan. Fortifikasi zat besi di negara
negara maju sudah dapat mengatasi masalah kekurangan zat besi. Sebagai contoh
fortifikasi zat besi pada tepung terigu berhasil menurunkan prevalensi penderita
anemia defisiensi besi secara dramatis di Swedia dan Amerika. 3,13
Untuk di Indonesia sendiri, fortifikasi zat besi telah wajib diberlakukan
pada beberapa produk pangan seperti mie instan, susu bubuk dan terigu. Namun
sampai sekarang belum terlihat bisa menurunkan angka kejadian anemia defisiensi
besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang digunakan
sebagai fortifikannya belum di konsumsi luas dan kontinyu oleh semua lapisan
masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. 3
Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan untuk melihat efikasi
fortifikasi zat besi pada formulasi Garam Fortifikasi Ganda (GFG). Salah satunya
-
22
penelitian yang dilakukan oleh Zimmerman dkk pada tahun 2003 di Maroko.
Dalam penelitian itu GFG yang digunakan terdiri atas 25 ppm kalium iodidat dan
1000 ppm ferro sulfat enkapsulasi yang sasarannya anak-anak usia sekolah. GFG
disimpan di tempat yang faktor kelembabannya dibawah 1%. Dilaporakan bahwa
kadar iodium dan stabilitas warna GFG yang dicampurkan ke dalam makanan
lokal tidak menunjukkan perbedaan signifikan bila dibandingkan dengan garam
beriodium. Uji efikasi terhadap kadar Hb rata-rata menunjukkan peningkatan
sebesar 1,4 g/dl setelah sepuluh bulan mengkonsumsi GFG dan prevalensi ADB
berkurang dari 35% menjadi 8% selama lima sampai sepuluh bulan. Disimpulkan
juga bahwa GFG bisa menjadi sarana strategi fortifikasi yang efektif di daerah
tersebut. 12
Pada tahun 2004 Zimmermann dkk melanjutkan kembali penelitian
terhadap GFG di pedalaman Maroko Utara. Besi yang digunakan adalah 2000
ppm ferri pirofosfat dan 25 ppm kalium iodidat. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah disimpan enam bulan, tidak ada perbedaan signifikan dalam kandungan
iodium maupun derajat brightness antara GFG dengan garam beriodium. Pada uji
efikasi, GFG mampu memperbaiki kandungan zat besi 18 mg/hari dan besi yang
terabsorpsi diperkirakan mencapai 2%. Setelah perlakuan selama sepuluh bulan
pada kelompok sasaran yang diberi GFG, rata- rata kadar Hb meningkat 1,6g/l,
status besi dan cadangan zat besi dalam tubuh meningkat signifikan dan
prevalensi ADB menurun dari 30% menjadi 5%. 13
Pada tahun 2004 juga, Oshinowo meneliti stabilitas GFG yang dibuat
dengan menambahkan ferro fumarat mikroenkapsulasi dan kalium iodida di
Kenya. Dilaporkan bahwa GFG ini cukup stabil, sebab kondisi kelembaban yang
rendah di daerah tersebut melindungi stabilitas garam selama penyimpangan dan
distribusi. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji efikasi. 13
Untuk di Indonesia sendiri, pada tahun 2002, soeida dkk. Meneliti GFG
yang formulanya terdiri dari 52 ppm Iodium dan 1500 ppm zat besi (fortifikannya
tidak disebutkan). Uji efikasi dilakukan pada anak-anak usia sekolah dasar di
sukabumi. Hasil stabilitas tidak dinyatrakan dengan jelas. 13
Soeid dkk melakukan penelitian tentang pembuatan dan uji stabilitas GFG
-
23
dengan menggunakan kalium iodidat dan besi elemental mikroenkapsulasi. Dalam
penelitian tersebut ada dua macam GFG yang di buat masing-masing mengandung
100 ppm dan 500 ppm besi. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan tidak
terdapat penurunan derajat brightnes yang bermakna dan tingkat keputihannya
masih mendekati 100 (standar warna puith pada garam). Kadar iodium selama
penyimpanan juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan garam
beriodium biasa. Sementara kadar besinya tetap stabil. Hasil analisis difraksi sinar
X menunjukkan tidak terjadi interaksi diantara fortifikan dan tidak bebentuk
senyawa baru. Disimpulkan di sana bahwa karbonil mikroenkapsulasi mampu
melindungi iodium sehingga tidak menimbulkan perubahan warna dan kadar
iodium tetap terjaga. 13
Dari beberapa hasil penelitian di atas dapat ditarik menjadi satu solusi
untuk pencegahan ADB di Indonesia, khususnya pada anak-anak sebagai generari
penerus nantinya. Mengingat tingkat ekonomi dan kultur masyarakat Indonesia,
garam merupakan bahan pangan yang paling potensial sebagai fortifikan dalam
fortifikasi besi ini. Seperti yang kita ketahui juga garam merupakan bahan pangan
yang murah, mudah didapat dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan
masyarakat di segala tingkat ekonomi. Ditambah lagi kadar dan cara konsumsi
garam bisa dikatan hampir seragam. Penggunaan garam sebagai fortifikan pada
fortifikasi iodium telah dilakukan secara nasional dan terbukti menanggulangi
defisiensi iodium. Garam fortifikasi ganda ini jika dapat dilakukan di Indonesia
menjadi sebuah harapan besar dapat menanggulangi dua masalah gizi utama di
Indonesia sekaligus yaitu GAKI dan ADB.
Untuk mengetahui berapa banyak sebaiknya garam fortifikasi ganda ini di
konsumsi agar tidak terjadi kekurangan zat besi, tergantung dari kebutuhan
berdasarkan golongan umur ( tabel 1 kebutuhan zat besi anak balita).
Diperkirakan dalam 500 ppm besi mikroenkapsulasi terdapat 5 mg besi. Untuk
tahu lebih spesifik baik dari segi rasa, dosis garam yang di konsumsi, perlu
dilakukan penelitian selanjutnya. 13
-
24
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1 Kesimpulan
Fortifikasi besi dalam Garam Fortifikasi Ganda dengan teknologi
mikroenkapsulasi mempunyai ke stabilitasan yang baik. Di samping itu juga
kadar iodium selama penyimpanan tidak berbeda dengan garam beriodium
biasa. Penurunan derajat brigthnees nya tidak bermakna dan derajat
keputihannya mendekati standar warna putih pada garam. Tidak terjadi
interaksi antar fortifikan dan tidak terbentuk senyawa baru. Penelitian di
Maroko mendapatkan bahwa penggunaan GFG dengan teknologi
mikroenkapsulasi dapat menurunkan angka kejadian kekurangan zat besi.
Fortifikasi zat besi pada GFG ini memberikan harapan bagi kita
untuk mengurangi angka kejadian anemia gizi besi di Indonesia. Garam
merupakan bahan pangan yang paling potensial sebagai fortifikan zat besi
dilihat dari tingkat ekonomi dan kultur masyarakat Indonesia. Ditambah lagi
garam merupakan bahan pangan yang murah, mudah didapat dan
dikonsumsi setiap hari oleh semua lapisan masyarakat Indonesia.
GFG ini selain efektif juga efisien karena dapat digunakan untuk
mencegah kekurangan dua zat gizi mikro sekaligus yang menjadi masalah
utama Indonesia yaitu GAKI dan ADB khususnya bagi anak karena
merupakan generasi penerus bangsa.
IV.2 Saran
1. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan pemerintah ataupun Standar
Nasional Industri (SNI) untuk garam fortifikasi ganda ini karena masalah
kekurangan iodium dan besi ini adalah masalah kekurangan zat gizi
mikro utama bangsa Indonesia.
2. Setelah di buat SNI nya, Pemerintah tetap mengawasi setiap industri
produksi garam agar tidak melanggar peraturan yang sudah dibuat.
3. Pemerintah terus mengoptimalkan program peningkatan gizi yang sudah
-
25
ada seperti KIE.
4. Dilakukan penelitian lebih lanjut terkait GFG ini terutama dari segi rasa
garamnya dan penyerapannya oleh tubuh.
-
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasution, E. 2004. Efek suplementasi Zinc dan Besi pada anak. www.library.usu.ac.id [18 mei 2009]
2. Sari, A. W. 2004. Anemia Defisiensi Besi pada Balita. www.library.usu.ac.id [18 mei 2009]
3. Mardliyati, E. 2007. Fortifikasi garam dengan Zat Besi, Strategi Praktis dan Efektif menanggulangi Anemia.
www.fortifikasiindonesia.net [18 mei 2009]
4. Permono, H. B, dkk, editor. 2007. Buku ajar Hemato-onkologi Anak Cetakan Kedua. Badan penerbit IDAI. Jakarta
5. Lubis, Bidasari. 2008. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi sejak Bayi Sebagai Salah Satu Upaya Optimalisasi Fungsi Kognitif Anak pada Usia
sekolah. www.usu.ac [20 Mei 2009]
6. Http/www.depkes.go.id [19 Mei 2009].
7. Guyton and Hall. 1997. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Philadelphia.
8. Asfiratna. 2007. Formulasi dan Evaluasi Mikroenkapsul Natrium Piklofenol Lepas Lambat dengan Penyekat Methocel E6 Premium Lv
Epreg. www.rac.uii.ac.id [20 Mei 2009]
9. Koswaru, sutrisno. Teknologi Enkapsulasi Flavour Rempah-rempah. www.ebookpangan.com [18 Mei 2009]
10. sudoyo, A.W, dkk, Editor. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan FK UI. Jakarta
11. Hoffbrand, A.V. 2005. Kapita selekta Hematologi Edisi 4. penerbit Buku Kedokteran EGC. Oxford
12. Zimmermann MB dkk. Dual Fortification of salt with Iodine and microencapsulated iron : a randomized, double-blind, controlled trial in
Morrocan School Children. Am. J. Clin. Nutr. 2003; 77: 425-32
-
27
13. Soeid, NLS, dkk. Pembuatan dan Uji Stabilitas Garam Fortifikasi Ganda dengan Kalium Iodat dan Besi elemental Mikroenkapsulasi. Akta
Kimindo. Vol.1 No. 2 April 2006 : 123-130