pbl ikm-program kesehatan ibu anak puskesmas
DESCRIPTION
PBL IKMTRANSCRIPT
Program Kesehatan Ibu dan Anak sebagai Upaya
Menurunkan Angka Kematian Ibu
Kelompok A4
Nadia Dita 102009109
Fenshiro Lesnussa 102010168
Michael 102010280
Gabby Agustine 102010322
Inne Ikke Citami Putri 102011034
Hans Christian 102011079
Cynthia Christy Liasnawi 102011130
Franzeska Marchitia Dinar Pusparani 102011271
Vincentius Adrian Madargerong 102011311
Maria Osvaldis Galus 102011371
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
1
Pendahuluan
Angka kematian ibu (AKI) sebagai salah satu indicator kesehatan ibu, dewasa ini masih
tinggi di Indonesia bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data dari survai
demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 1998 – 2003, AKI di Indonesia adalah 307 per 100.000
kelahiran hidup dan menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Dari lima juta
kelahiran tiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau
persalinan.
Puskesmas sebagai organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat dan
memberikan peayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat, melalui program dan
kegiatannya, puskesmas berperan serta mewujudkan keberhasilan pembangunan kesehatan
Indonesia,khususnya di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Program KIA termasuk
satu dari enam program pokok (basic six) Puskesmas yang bertujuan untuk memantapkan dan
meningkatkan mutu pelayanan sebagai berikut: pelayanan ibu hamil,ibu bersalin,ibu nifas,ibu
dengan komplikasi kebidanan,keluarga berencana,neonatus,bayi baru lahir dengan
komplikasi,bayi,dan balita. Keberhasilan program KIA menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan di
Indonesia.
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar mahasiswa dapat mengenal dan memahami
mengenai program KIA puskesmas.Dengan pemahaman yang baik dan menyuluruh,diharapkan
mahasiswa saat menjadi dokter nanti,mampu memberikan pelayanan yang terbaik dan
mengutamakan kepentingan pasien dari apapun sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat.
Pembahasan
Angka Kematian Ibu
Kematian Ibu, menurut ICD 10 didefinisikan sebagai ”Kematian seorang wanita
yangterjadi saat hamil atau dalam 42 hari setelah akhir kehamilannya, tanpa melihat usia
2
danletak kehamilannya, yang diakibatkan oleh sebab apapun yang terkait dengan ataudiperburuk
oleh kehamilannya atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan olehinsiden dan
kecelakaan”.Definisi tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa kematian ibu menunjukkan
lingkupyang luas, tidak hanya terkait dengan kematian yang terjadi saat proses persalinan,
tetapimencakup kematian ibu yang sedang dalam masa hamil dan nifas. Definisi tersebut juga
membedakan dua kategori kematian ibu. Pertama adalah kematianyang disebabkan oleh
penyebab langsung obstetri (direk) yaitu kematian yang diakibatkanlangsung oleh kehamilan dan
persalinannya. Kedua adalah kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak langsung (indirek)
yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yangdisebabkan oleh penyakit dan bukan oleh
kehamilan atau persalinannya.
Secara global, lima penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan, hipertensi
dalamkehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesiatetap
didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalamkehamilan
(HDK) dan infeksi. Proporsi ketiga penyebab kematian ini telah berubah,dimana perdarahan dan
infeksi semakin menurun sedangkan HDK dalam kehamilanproporsinya semakin meningkat,
hampir 30 % kematian ibu di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh HDK (Gambar 2).4
Gambar 1. Penyebab Kematian Ibu pada Sensus Penduduk 2010.4
3
Definisi kematian ibu mengindikasikan bahwa kematian ibu tidak hanya
mencakupkematian yang disebabkan oleh persalinan tetapi mencakup kematian yang
disebabkanoleh penyebab non-obstetri. Sebagai contoh adalah ibu hamil yang meninggal
akibatpenyakit Tuberkulosis, Anemia, Malaria, Penyakit Jantung, dll. Penyakit-penyakit
tersebutdianggap dapat memperberat kehamilan meningkatkan resiko terjadinya kesakitan
dankematian.Proporsi kematian ibu indirek di Indonesia cukup signifikan yaitu sekitar 22%
sehinggapencegahan dan penanganannya perlu mendapatkan perhatian. Diperlukan
koordinasidengan disiplin medis lainnya di RS atau antar RS, antara lain dengan Spesialis
PenyakitDalam dan Bedah, dalam menangani kematian indirek.
Indikator peningkatan kesehatan ibu dalam Tujuan Pembangunan Milenium
(MDGs)adalah penurunan kematian ibu yang dihubungkan dengan peningkatan persalinan
yangditolong oleh tenaga kesehatan (MDG 5). Namun upaya ini saja tidaklah cukup,
karenapenurunan kematian ibu tidak dapat dilakukan hanya dengan mengatasi faktor
penyebablangsung kematian ibu tetapi juga harus mengatasi faktor penyebab tidak
langsungnya.Oleh sebab itu, upaya penurunan kematian ibu juga harus didukung oleh upaya
kesehatanreproduksi lainnya termasuk peningkatan pelayanan antenatal, penurunan
kehamilanremaja serta peningkatan cakupan peserta aktif KB dan penurunan unmet need
KB.Keempat indikator tersebut tertuang di dalam tujuan MDG 5, yaitu akses universal terhadap
kesehatan reproduksi, sementara dua indikator tambahan terakhir merupakan upayadalam
program KB. Faktor “4 Terlalu” (terlalu muda, terlalu sering, terlalu banyak danterlalu tua)
adalah salah satu faktor penyebab tidak langsung kematian ibu yang dapatdiatasi dengan
pelayanan KB.
Diperkirakan 15 % kehamilan dan persalinan akan mengalami komplikasi.
Sebagiankomplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat dicegah
dan ditangani bila ibu segera mencari pertolongan ketenaga kesehatan dan tenaga
kesehatanmelakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan partograf
untukmemantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala III (MAK
III)untuk mencegah perdarahan pasca-salin, juga tenaga kesehatan mampu melakukan
identifikasi dini komplikasi, dan apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan
4
pertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan,
dengan proses rujukan yang efektif dan pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Dengan demikian, untuk komplikasi yang membutuhkan pelayanan di RS,
diperlukanpenanganan yang berkesinambungan (continuum of care), yaitu dari pelayanan di
tingkatdasar sampai di Rumah Sakit. Langkah-langkah diatas tidak akan bermanfaat bila langkah
terakhir tidak adekuat. Sebaliknya, adanya pelayanan di RS yang adekuat tidak akanbermanfaat
bila pasien yang mengalami komplikasi tidak dirujuk.
Salah satu program Millennium Development Goals atau yang biasa disingkat MDGs,
yaitu pada urutan ke 5 adalah meningkatkan kesehatan ibu dengan menurunkan Angka Kematian
Ibu (AKI/MMR) sebesar tiga perempatnya antara 1990 sampai 2015, serta mewujudkan akses
kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015. Melalui definisi Angka Kematian Ibu yang
nanti akan kita bahas lebih lanjut, maka kesehatan alat reproduksi ibu harus dipersiapkan bahkan
sebelum kehamilan dan setelah kelahiran. Untuk Indonesia sendiri target yang ingin dicapai pada
tahun 2015 adalah 102/100.000 kelahiran hidup dimana sekarang pada tahun 2015. Sedangkan,
menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 Angka Kematian Ibu melonjak
menjadi 359/100.000 kelahiran hidup dari 228/100.000 kelahiran hidup pada 2007.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kematian Ibu
Depkes RI membagi faktor – faktor yang mempengaruhi kematian maternal
sebagai berikut :1
1. Faktor medik
a. Faktor empat terlalu, yaitu :
- Usia ibu pada waktu hamil terlalu muda (kurang dari 20 tahun)
- Usia ibu pada waktu hamil terlalu tua (lebih dari 35 tahun)
- Jumlah anak terlalu banyak (lebih dari 4 orang)
5
- Jarak antar kehamilan terlalu dekat (kurang dari 2 tahun)
b. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang merupakan penyebab langsung
kematian maternal, yaitu :
- Perdarahan pervaginam, khususnya pada kehamilan trimester ketiga, persalinan
dan pasca persalinan.
- Infeksi.
- Keracunan kehamilan.
- Komplikasi akibat partus lama.
- Trauma persalinan
c. Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu selama
hamil, antara lain :
- Kekurangan gizi dan anemia.
- Bekerja (fisik) berat selama kehamilan.
2. Faktor non medik
Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu, dan menghambat upaya penurunan
kesakitan dan kematian maternal adalah:
a. Kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal.
b. Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan risiko tinggi.
c. Ketidak – berdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan
keputusan untuk dirujuk.
d. Ketidakmampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan
perawatan di rumah sakit.
6
3. Faktor pelayanan kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang belum mendukung upaya penurunan kesakitan dan
kematian maternal antara lain berkaitan dengan cakupan pelayanan KIA, yaitu:
a. Belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok berisiko.
b. Masih rendahnya (kurang lebih 30%) cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan.
c. Masih seringnya (70 – 80%) pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah,
oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda – tanda bahaya.
Berbagai aspek manajemen yang belum menunjang antara lain adalah :1
1. Belum semua kabupaten memberikan prioritas yang memadai untuk program KIA
2. Kurangnya komunikasi dan koordinasi antara Dinkes Kabupaten, Rumah Sakit
Kabupaten dan Puskesmas dalam upaya kesehatan ibu.
3. Belum mantapnya mekanisme rujukan dari Puskesmas ke Rumah Sakit Kabupaten
atau sebaliknya.
Berbagai keadaan yang berkaitan dengan ketrampilan pemberi pelayanan KIA juga masih
merupakan faktor penghambat, antara lain :1
1. Belum diterapkannya prosedur tetap penanganan kasus gawat darurat kebidanan
secara konsisten.
2. Kurangnya pengalaman bidan di desa yang baru ditempatkan di Puskesmas dan bidan
praktik swasta untuk ikut aktif dalam jaringan sistem rujukan saat ini.
3. Terbatasnya keterampilan dokter puskesmas dalam menangani kegawatdaruratan
kebidanan.
7
4. Kurangnya upaya alih teknologi tepat (yang sesuai dengan permasalahan setempat)
dari dokter spesialis RS Kabupaten kepada dokter / bidan Puskesmas.
Semakin banyak ditemukan faktor risiko pada seorang ibu hamil, maka semakin tinggi
risiko kehamilannya. Tingginya angka kematian maternal di Indonesia sebagian besar
disebabkan oleh timbulnya penyulit persalinan yang tidak dapat segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan yang lebih mampu. Faktor waktu dan transportasi merupakan hal yang sangat
menentukan dalam merujuk kasus risiko tinggi.1
McCarthy dan Maine (1992) mengemukakan adanya 3 faktor yang berpengaruh terhadap
proses terjadinya kematian maternal. Proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian
maternal (determinan dekat) yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam kehamilan,
persalinan dan masa nifas (komplikasi obstetri). Determinan dekat secara langsung dipengaruhi
oleh determinan antara yaitu status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan
kesehatan, perilaku perawatan kesehatan / penggunaan pelayanan kesehatan dan faktor – faktor
lain yang tidak diketahui atau tidak terduga. Di lain pihak, terdapat juga determinan jauh yang
akan mempengaruhi kejadian kematian maternal melalui pengaruhnya terhadap determinan
antara, yang meliputi faktor sosio – kultural dan faktor ekonomi, seperti status wanita dalam
keluarga dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.1
Faktor – Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal
Faktor – faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, yang dikelompokkan
berdasarkan kerangka dari McCarthy dan Maine (1992) adalah sebagai berikut:1
Determinan Dekat
Proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian maternal adalah kehamilan itu
sendiri dan komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas. Wanita yang hamil memiliki
risiko untuk mengalami komplikasi, baik komplikasi kehamilan maupun persalinan, sedangkan
wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut.
8
Komplikasi kehamilan
a. Pendarahan. Sebab – sebab perdarahan yang berperan penting dalam menyebabkan
kematian maternal selama kehamilan adalah perdarahan, baik yang terjadi pada usia
kehamilan muda / trimester pertama, yaitu perdarahan karena abortus (termasuk di
dalamnya adalah abortus provokatus karena kehamilan yang tidak diinginkan) dan
perdarahan karena kehamilan ektopik terganggu (KET), maupun perdarahan yang terjadi
pada kehamilan lanjut akibat perdarahan antepartum. Penyebab perdarahan antepartum
pada umumnya adalah plasenta previa dan solusio plasenta.
b. Eklamsia/Preeklamsia. Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pada wanita
yang sebelum kehamilannya memiliki tekanan darah normal (normotensi) atau dapat
memperberat keadaan hipertensi yang sebelumnya telah ada. Hipertensi pada kehamilan
merupakan keadaan pada masa kehamilan yang ditandai dengan terjadinya kenaikan
tekanan darah lebih dari 140 / 90 mmHg atau kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari
30 mmHg dan atau diastolik lebih dari 15 mmHg. Hipertensi pada kehamilan yang sering
dijumpai adalah preeklamsia dan eklamsia. Preeklamsia berat dan khususnya eklamsia
merupakan keadaan gawat karena dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
Preeklamsia ringan dapat mudah berubah menjadi preeklamsia berat, dan preeklamsia
berat mudah menjadi eklamsia dengan timbulnya kejang. Tanda khas preeklamsia adalah
tekanan darah yang tinggi, ditemukannya protein dalam urin dan pembengkakan jaringan
(edema) selama trimester kedua kehamilan. Pada beberapa kasus, keadaan tetap ringan
sepanjang kehamilan, akan tetapi pada kasus yang lain, dengan meningkatnya tekanan
darah dan jumlah protein urin, keadaan dapat menjadi berat. Terjadi nyeri kepala,
muntah, gangguan penglihatan, dan kemudian anuria. Pada stadium akhir dan paling
berat terjadi eklamsia, pasien akan mengalami kejang. Jika preeklamsia / eklamsia tidak
ditangani secara cepat, akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian maternal karena
kegagalan jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak. Faktor
predisposisi preeklamsia dan eklamsia adalah nullipara, usia ibu kurang dari 20 tahun
atau lebih dari 35 tahun, status ekonomi kurang, kehamilan kembar, diabetes melitus,
hipertensi kronis dan penyakit ginjal sebelumnya. Kematian maternal akibat hipertensi
pada kehamilan sering terjadi (merupakan 12% dari seluruh penyebab kematian maternal)
9
dan membentuk satu dari tiga trias penyebab utama kematian maternal, yaitu perdarahan
dan infeksi. Menurut perkiraan, di seluruh dunia kurang lebih 50.000 wanita meninggal
setiap tahun akibat preeklamsia. Menurut Depkes RI tahun 2004, kematian maternal
akibat hipertensi pada kehamilan sebesar 14,5% - 24%.
c. Infeksi pada kehamilan. Infeksi pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir pada masa
kehamilan, baik pada kehamilan muda maupun tua. Infeksi dapat terjadi oleh sebab
langsung yang berkaitan dengan kehamilan, atau akibat infeksi lain di sekitar jalan lahir.
Infeksi pada kehamilan muda adalah infeksi jalan lahir yang terjadi pada kehamilan
kurang dari 20 – 22 minggu. Penyebab yang paling sering terjadi adalah abortus yang
terinfeksi. Infeksi jalan lahir pada kehamilan tua adalah infeksi yang terjadi pada
kehamilan trimester II dan III. Infeksi jalan lahir ini dapat terjadi akibat ketuban pecah
sebelum waktunya, infeksi saluran kencing, misalnyasistitis, nefritis atau akibat penyakit
sistemik, seperti malaria, demam tifoid, hepatitis, dan lain – lain. Infeksi jalan lahir dapat
juga terjadi selama persalinan (intrapartum) atau sesudah persalinan (postpartum).
Keadaan ini berbahaya karena dapat mengakibatkan sepsis, yang mungkin menyebabkan
kematian ibu. Sepsismenyebabkan kematian maternal sebesar 15%.
Komplikasi persalinan dan nifas. Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas
merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang
persalinan, saat dan setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama
dan infeksi akibat trauma pada persalinan.
a. Pendarahan. Perdarahan, terutama perdarahan postpartum memberikan kontribusi 25%
pada kematian maternal, khususnya bila ibu menderita anemia akibat keadaan kurang gizi
atau adanya infeksi malaria. Insidensi perdarahan postpartum berkisar antara 5 – 8%.
Perdarahan ini berlangsung tiba – tiba dan kehilangan darah dapat dengan cepat menjadi
kematian pada keadaan dimana tidak terdapat perawatan awal untuk mengendalikan
perdarahan, baik berupa obat, tindakan pemijatan uterus untuk merangsang kontraksi, dan
transfusi darah bila diperlukan. Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi
setelah anak lahir dan jumlahnya melebihi 500 ml. Perdarahan dapat terjadi sebelum, saat
10
atau setelah plasenta keluar. Hal – hal yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah
atonia uteri, perlukaan jalan lahir, terlepasnya sebagian plasenta dari uterus, tertinggalnya
sebagian dari plasenta, dan kadang – kadang perdarahan juga disebabkan oleh kelainan
proses pembekuan darah akibat hipofibrinogenemia yang terjadi akibat solusio plasenta,
retensi janin mati dalam uterus dan emboli air ketuban.
b. Partus lama. Partus lama dapat membahayakan jiwa janin dan ibu. Partus lama adalah
persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam sejak in partu. Partus lama ataupun partus
macet menyebabkan 8% kematian maternal. Keadaan ini sering disebabkan oleh
disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat melewati rongga pelvis) atau pada
letak tak normal (bila terjadi kesalahan letak janin untuk melewati jalan lahir).
Disproporsi lebih sering terjadi bila terdapat keadaan endemis kurang gizi, terutama pada
populasi yang masih menganut pantangan dan tradisi yang mengatur soal makanan pada
para gadis dan wanita dewasa. Keadaan ini diperburuk lagi bila gadis – gadis menikah
muda dan diharapkan untuk segera memiliki anak, sedangkan pertumbuhan mereka
belum optimal. Pada keadaan disproporsi sefalopelvik, persalinan yang dipaksakan dapat
mengakibatkan ruptura uteri. Ruptura uteri merupakan keadaan dimana terjadi robekan
pada uterus karena sebab tertentu. Ruptura uteri menyebabkan kematian maternal sebesar
10 – 40%. Robekan uterus akan menyebabkan rasa nyeri yang hebat disertai nyeri tekan,
diikuti dengan perdarahan hebat dari pembuluh darah uterus yang robek dan kematian
dapat timbul dalam 24 jam sebagai akibat perdarahan dan syok, atau akibat infeksi yang
timbul kemudian.
c. Infeksi nifas. Infeksi nifas merupakan keadaan yang mencakup semua peradangan yang
disebabkan oleh masuknya kuman - kuman ke dalam alat genital pada waktu persalinan
dan nifas. Kuman penyebab infeksi dapat masuk ke dalam saluran genital dengan
berbagai cara, misal melalui tangan penolong persalinan yang tidak bersih atau
penggunaan instrumen yang kotor. Mula – mula infeksi terbatas pada uterus, dimana
terdapat rasa nyeri dan nyeri tekan pada perut bagian bawah, dengan cairan vagina yang
berbau busuk. Demam, nyeri perut yang bertambah, muntah, nyeri kepala dan kehilangan
nafsu makan menandakan terjadinya penyebaran infeksi ke tempat lain. Selanjutnya
dapat terjadi abses di tuba fallopii, panggul dan diafragma bagian bawah. Pada kasus
11
yang berat, infeksi dapat menyebar ke dalam aliran darah (septikemia), menimbulkan
abses dalam otak, otot dan ginjal. Jika infeksi tidak dikendalikan, selanjutnya dapat
terjadi gangguan mental dan koma. Infeksi nifas menyebabkan morbiditas dan mortalitas
bagi ibu pasca persalinan. Kematian terjadi karena berbagai komplikasi, termasuk syok,
gagal ginjal, gagal hati, dan anemia. Di negara – negara sedang berkembang, dengan
pelayanan kebidanan yang masih jauh dari sempurna, peranan infeksi nifas masih besar.
Insidensi infeksi nifas berkisar antara 2 – 8% dari seluruh wanita hamil dan memberikan
kontribusi sebesar 8% terhadapkejadian kematian maternal setiap tahunnya. Beberapa
faktor predisposisi infeksi nifas adalah keadaan kurang gizi, anemia, higiene persalinan
yang buruk, kelelahan ibu, sosial ekonomi rendah, proses persalinan yang bermasalah,
seperti partus lama / macet, korioamnionitis, persalinan traumatik, manipulasi yang
berlebihan dan kurang baiknya proses pencegahan infeksi.
Determinan Antara
Status kesehatan ibu
Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal meliputi
status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada kehamilan dan
persalinan sebelumnya. Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari hasil pengukuran terhadap lingkar
lengan atas (LILA). Pengukuran LILA bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu hamil termasuk
kategori kurang energy kronis (KEK) atau tidak. Ibu dengan status gizi buruk memiliki risiko
untuk terjadinya perdarahan dan infeksi pada masa nifas. Keadaan kurang gizi sebelum dan
selama kehamilan memberikan kontribusi terhadap rendahnya kesehatan maternal, masalah
dalam persalinan dan masalah pada bayi yang dilahirkan.
Stunting yang dialami selama masa kanak – kanak, yang merupakan hasil dari keadaan
kurang gizi berat akan memaparkan seorang wanita terhadap risiko partus macet yang berkaitan
dengan adanya disproporsi sefalopelvik. Berdasarkan data Susenas tahun 2000 dan sensus
penduduk tahun 2000, prevalensi ibu yang menderita KEK (LILA ibu < 23,5 cm) adalah25%.
Risiko KEK pada ibu hamil lebih banyak ditemukan di pedesaan(40%) daripada di perkotaan
(26%) dan lebih banyak dijumpai pada kelompok usia ibu di bawah 20 tahun (68%).
12
Anemia merupakan masalah penting yang harus diperhatikan selama kehamilan. Menurut
WHO, seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari
11g/dl. Anemia dapat disebabkan oleh berbagai sebab, yang dapat saling berkaitan, yaitu
intakeyang kurang adekuat, infestasi parasit, malaria, defisiensi zat besi, asam folat dan vitamin
A. Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam
kehamilan. Anemia defisiensi besi merupakan 95% penyebab anemia selama kehamilan. Kurang
lebih 50% dari seluruh ibu hamil di seluruh dunia menderita anemia.Wanita yang menderita
anemia berat akan lebih rentan terhadap infeksi selama kehamilan dan persalinan, akan
meningkatkan risiko kematian akibat perdarahan dan akan memiliki risiko terjadinya komplikasi
operatif bila dibutuhkan persalinan dengan seksio sesaria.
Anemia ibu hamil di Indonesia masih merupakan masalah nasional karena anemia
mencerminkan nilai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan pengaruhnya sangat besar
terhadap kualitas sumber daya manusia. Dari Studi Follow Up Ibu Hamil, SKRT 2001
ditemukan prevalensi ibu hamil dengan kadar Hb rendah (< 11,0 gram/ dl, WHO 2000) sebesar
40,1% dan diantaranya 0,3% memiliki kadar Hb < 7,0 gram/ dl. Anemia lebih banyak ditemukan
pada ibu hamil di pedesaan (42%) daripada di perkotaan (38%). Menurut Soejoenoes (1989)
anemia memberikan risiko relatif 15,3 kali untuk terjadinya kematian maternal bila dibandingkan
dengan ibu hamil yang tidak menderita anemia. Pola penyakit yang mengakibatkan kematian
secara umum di Indonesia telah mengalami perubahan, akibat adanya transisi epidemiologik.
Penyakit degeneratif lebih sering terjadi, sementara penyakit infeksi dan parasit juga
masih memegang peranan. Penyakit tuberkulosis masih mendominasi, dan penyakit ini
memberikan kontribusi kematian sebesar 8,6% (SKRT 1986) dan 9,8% (SKRT 1992).
Kehamilan dengan penyakit tuberkulosis masih tinggi, akan tetapi memiliki prognosis baik bila
diobati secara dini. Penyakit jantung merupakan penyebab nonobstetrik penting yang
menyebabkan kematian maternal, dan terjadi pada 0,4 – 4% kehamilan. Angka kematian
maternal bervariasi dari 0,4% pada pasien – pasien dengan klasifikasi New York Heart
Association (NYHA) I dan II dan 6,8% atau lebih pada pasien dengan NYHA III dan IV.
Keadaan ini disebabkan oleh adanya peningkatan beban hemodinamik selama kehamilan dan
persalinan, yang akan memperberat gejala dan mempercepat terjadinya komplikasi pada wanita
yang sebelumnya telah menderita penyakit jantung. Prognosis bagi wanita hamil dengan
13
penyakit jantung tergantung dari beratnya penyakit, usia penderita dan penyulit – penyulit lain
yang tidak berasal dari jantung. Penyebab kematian maternal tidak langsung lain yang penting
meliputi malaria, hepatitis, HIV / AIDS, diabetes melitus, bronkopneumonia.
Riwayat obstetri yang buruk seperti persalinan dengan tindakan, perdarahan, partus lama,
bekas seksio sesaria akan mempengaruhi kematian maternal. 15% persalinan yang terjadi di
negara berkembang merupakan persalinan dengan tindakan, dalam hal ini seksio sesaria paling
sering dilakukan.Semua persalinan dengan tindakan memiliki risiko, baik terhadap ibu maupun
bayinya. Sebagian risiko timbul akibat sifat dari tindakan yang dilakukan, sebagian karena
prosedur lain yang menyertai, seperti anestesi dan transfusi darah, dan sebagian lagi akibat
komplikasi kehamilan, yang memaksa dilakukannya tindakan. Disamping itu, dapat pula timbul
komplikasi, termasuk perdarahan dan infeksi yang berat.
Status reproduksi
Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian maternal adalah usia
ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu. Usia di bawah 20 tahun
dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko untuk hamil dan melahirkan. The Fifth Annual
State of the World’s Mothers Report yang dipublikasikan oleh The International Charity Save
The Children, melaporkan bahwa setiap tahun, 13 juta bayi dilahirkan oleh wanita yang berusia <
20 tahun, dan 90% kelahiran ini terjadi negara berkembang. Para wanita ini memiliki risiko
kematian maternal akibat kehamilan dan kelahiran dua sampai lima kali lebih tinggi bila
dibandingkan wanita yang lebih tua. Risiko paling besar terdapat pada ibu berusia ≤14 tahun.
Penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa risiko kematian maternal lima kali lebih tinggi
pada ibu berusia 10 – 14 tahun daripada ibu berusia 20 – 24 tahun, sedangkan penelitian yang
dilakukan di Nigeria menyebutkan bahwa wanita usia 15 tahun memiliki risiko kematian
maternal 7 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang berusia 20 – 24 tahun.
Komplikasi yang sering timbul pada kehamilan di usia muda adalah anemia, partus
prematur, partus macet. Kekurangan akses ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan
perawatan kehamilan dan persalinan merupakan penyebab yang penting bagi terjadinya kematian
maternal di usia muda. Keadaan ini diperburuk oleh kemiskinan dan kebuta – hurufan,
14
ketidaksetaraan kedudukan antara pria dan wanita, pernikahan usia muda dan kehamilan yang
tidak diinginkan.
Kehamilan di atas usia 35 tahun menyebabkan wanita terpapar pada komplikasi medik
dan obstetrik, seperti risiko terjadinya hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit kardiovaskuler,
penyakit ginjal dan gangguan fungsi paru. Kejadian perdarahan pada usia kehamilan lanjut
meningkat pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun, dengan peningkatan insidensi perdarahan
akibat solusio plasenta dan plasenta previa. Persalinan dengan seksio sesaria pada kehamilan di
usia lebih dari 35 tahun juga meningkat, hal ini terjadi akibat banyak faktor, seperti hipertensi
kehamilan, diabetes, persalinan prematur dan penyebab kelainan pada plasenta. Penelitian yang
dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa kematian maternal akan meningkat 4 kali lipat
pada ibu yang hamil pada usia 35 – 39 tahun bila dibanding wanita yang hamil pada usia 20 – 24
tahun. Usia kehamilan yang paling aman untuk melahirkan adalah usia 20 – 30 tahun.
Paritas 2 – 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal.
Paritas ≤1 (belum pernah melahirkan / baru melahirkan pertama kali) dan paritas > 4 memiliki
angka kematian maternal lebih tinggi. Paritas ≤1 dan usia muda berisiko karena ibu belum siap
secara medis maupun secara mental, sedangkan paritas di atas 4 dan usia tua, secara fisik ibu
mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan. Akan tetapi, pada kehamilan kedua atau
ketigapun jika kehamilannya terjadi pada keadaan yang tidak diharapkan (gagal KB, ekonomi
tidak baik, interval terlalu pendek), dapat meningkatkan risiko kematian maternal. Menurut hasil
SKRT 2001, proporsi kematian maternal tertinggi terdapat pada ibu yang berusia > 34 tahun dan
paritas > 4 (18,4%).
Jarak antar kehamilan yang terlalu dekat (kurang dari 2 tahun) dapat meningkatkan risiko
untuk terjadinya kematian maternal. Persalinan dengan interval kurang dari 24 bulan (terlalu
sering) secara nasional sebesar 15%, dan merupakan kelompok risiko tinggi untuk perdarahan
postpartum, kesakitan dan kematian ibu. Jarak antar kehamilan yang disarankan pada umumnya
adalah paling sedikit dua tahun, untuk memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan
ekstra pada masa kehamilan dan laktasi. Penelitian yang dilakukan di tiga rumah sakit di
Bangkok pada tahun 1973 sampai 1977 memperlihatkan bahwa wanita dengan interval
kehamilan kurang dari dua tahun memiliki risiko dua setengah kali lebih besar untuk meninggal
dibandingkan dengan wanita yang memiliki jarak kehamilan lebih lama.
15
Status perkawinan yang mendukung terjadinya kematian maternal adalah status tidak
menikah. Status ini merupakan indikator dari suatu kehamilan yang tidak diharapkan atau
direncanakan. Wanita dengan status perkawinan tidak menikah pada umumnya cenderung
kurang memperhatikan kesehatan diri dan janinnya selama kehamilan dengan tidak melakukan
pemeriksaan antenatal, yang mengakibatkan tidak terdeteksinya kelainan yang dapat
mengakibatkan terjadinya komplikasi. Penelitian yang dilakukan di Jerman menemukan bahwa
status wanita tidak menikah memiliki risiko 2,6 kali untuk terjadinya kematian maternal bila
dibandingkan dengan wanita yang menikah.
Akses terhadap pelayanan kesehatan
Hal ini meliputi antara lain keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan, dimana
tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis / sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan
berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, jenis dan kualitas pelayanan yang
tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi. Akses terhadap tempat pelayanan kesehatan
dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti lokasi dimana ibu dapat memperoleh pelayanan
kontrasepsi, pemeriksaan antenatal, pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan
rujukan yang tersedia di masyarakat.
Pada umumnya kematian maternal di negara – negara berkembang, berkaitan dengan
setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models). Keterlambatan yang pertama
adalah keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk mencari perawatan kesehatan apabila
terjadi komplikasi obstetrik. Keadaan ini terjadi karena berbagai alasan, termasuk di dalamnya
adalah keterlambatan dalam mengenali adanya masalah, ketakutan pada rumah sakit atau
ketakutan terhadap biaya yang akan dibebankan di sana, atau karena tidak adanya pengambil
keputusan, misalnya keputusan untuk mencari pertolongan pada tenaga kesehatan harus
menunggu suami atau orang tua yang sedang tidak ada di tempat. Keterlambatan kedua terjadi
setelah keputusan untuk mencari perawatan kesehatan diambil. Keterlambatan ini terjadi akibat
keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan dan pada umumnya terjadi akibat kesulitan
transportasi. Beberapa desa memiliki pilihan transportasi yang sangat terbatas dan fasilitas jalan
yang buruk. Kendala geografis di lapangan mengakibatkan banyak rumah sakit rujukan tidak
16
dapat dicapai dalam waktu dua jam, yaitu merupakan waktu maksimal yang diperlukan untuk
menyelamatkan ibu dengan perdarahan dari jalan lahir. Keterlambatan ketiga yaitu
keterlambatan dalam memperoleh perawatan di fasilitas kesehatan. Seringkali para ibu harus
menunggu selama beberapa jam di pusat kesehatan rujukan karena manajemen staf yang buruk,
kebijakan pembayaran kesehatan di muka, atau kesulitan dalam memperoleh darah untuk
keperluan transfusi, kurangnya peralatan dan juga kekurangan obat – obatan yang penting, atau
ruangan untuk operasi. Pelaksanaan sistem pelayanan kebidanan yang baik didasarkan pada
regionalisasi pelayanan perinatal, dimana ibu hamil harus mempunyai kesempatan pelayanan
operatif dalam waktu tidak lebih dari satu jam dan bayi harus dapat segera dilahirkan.
Ketersediaan informasi, baik penyuluhan maupun konseling penting diberikan agar ibu –
ibu mengetahui bahaya yang dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, serta
upaya menghindari masalah itu. Keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk dirujuk pada
saat terjadinya komplikasi obstetrik sering disebabkan oleh karena keterlambatan dalam
mengenali risiko atau bahaya, sehingga berakibat keterlambatan dalam mencapai fasilitas
kesehatan rujukan dan keterlambatan dalam memperoleh pertolongan medis di rumah sakit.
Namun diidentifikasi masih kurangnya informasi dan konseling dari tenaga kesehatan kepada
ibu. Kebanyakan petugas menitikberatkan pada pemberian informasi / penyuluhan, akan tetapi
kurang melakukan konseling untuk membantu ibu memecahkan masalah. Hal ini disebabkan
petugas pada umumnya merasa kurang memiliki waktu untuk melakukan konseling karena
banyaknya ibu hamil yang dilayani. Selain itu pemberdayaan sarana komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) tentang kesehatan ibu masih sangat kurang, desa – desa terpencil belum mengenal
radio dan televisi.
Perilaku penggunaan fasilitas pelayananan kesehatan
Perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan antara lain meliputi perilaku
penggunaan alat kontrasepsi, dimana ibu yang mengikuti program keluarga berencana (KB) akan
lebih jarang melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak ber KB. Perilaku pemeriksaan
antenatal, dimana ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur akan terdeteksi
masalah kesehatan dan komplikasinya. Penolong persalinan, dimana ibu yang ditolong oleh
17
dukun berisiko lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan dengan ibu yang
melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan, serta tempat persalinan dimana persalinan yang
dilakukan di rumah akan menghambat akses untuk mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat
apabila sewaktu – waktu dibutuhkan.
Program KB berpotensi menyelamatkan kehidupan ibu, yaitu dengan cara
memungkinkan wanita untuk merencanakan kehamilan sedemikian rupa sehingga dapat
menghindari kehamilan pada usia tertentu atau jumlah persalinan yang membawa bahaya
tambahan, dan dengan cara menurunkan tingkat kesuburan secara umum, yaitu dengan
mengurangi jumlah kehamilan. Di samping itu, program KB dapat mengurangi jumlah
kehamilan yang tidak diinginkan sehingga mengurangi praktik pengguguran yang ilegal, berikut
kematian yang ditimbulkannya.
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa
keadaan ibu dan janinnya secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap
penyimpangan yang ditemukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan, yaitu bidan, dokter dan perawat yang sudah
terlatih. Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan,
persalinan dan nifas dengan baik dan selamat. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali
selama kehamilan, dengan ketentuan satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan sebelum
14 minggu), satu kali selama trimester kedua (antara 14 sampai dengan 28 minggu), dan dua kali
selama trimester ketiga (antara minggu 28 s/d 36 minggu dan setelah 36 minggu). Pemeriksaan
antenatal dilakukan dengan standar ‘5 T’ yang meliputi: 1) timbang berat badan, 2) ukur tekanan
darah, 3) ukur tinggi fundus uteri, 4) pemberian imunisasi tetanus toksoid, dan 5) pemberian
tablet tambah darah 90 tablet selama hamil.
Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa proporsi ibu hamil yang pernah melakukan
pemeriksaan antenatal adalah sekitar 81%. Dilihat dari frekuensinya, mereka yang melakukan
pemeriksaan antenatal > 3 kali lebih banyak di perkotaan (71%) dibandingkan di pedesaan
(39%). Masih banyak ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal sesuai pola
minimal 1 – 1 – 2, yaitu di Jawa sebesar 51%, di luar Jawa sebesar 67%.
18
Sebagian besar komplikasi obstetri terjadi pada saat persalinan berlangsung. Untuk itu
diperlukan tenaga profesional yang dapat secara cepat mengenali adanya komplikasi yang dapat
mengancam jiwa ibu dan sekaligus melakukan penanganan tepat waktu untuk menyelamatkan
jiwa ibu. Angka kematian maternal akan dapat diturunkan secara adekuat apabila 15% kelahiran
ditangani oleh dokter dan 85% ditangani oleh bidan. Rasio ini paling efektif bila bidan dapat
menangani persalinan normal, dan dapat secara efektif merujuk 15% persalinan yang mengalami
komplikasi kepada dokter. Tenaga penolong persalinan yang terlatih merupakan salah satu teknik
yang paling penting dalam menurunkan angka kematian maternal di negara – negara yang telah
sukses menurunkan angka kematian maternal di negaranya. Meskipun bukti telah menunjukkan
bahwa penanganan persalinan oleh dokter, bidan dan perawat merupakan faktor penting dalam
menurunkan angka kematian maternal, hanya 58% dari seluruh persalinan yang ditolong oleh
tenaga yang terlatih.
Di negara – negara sedang berkembang, hanya 53% wanita melahirkan dengan
pertolongan tenaga kesehatan (bidan atau dokter) dan hanya 40% yang melahirkan di rumah
sakit atau pusat kesehatan, dan diperkirakan 15% wanita hamil tersebut akan mengalami
komplikasi yang mengancam kehidupan, yang membutuhkan pelayanan segera. Terdapat banyak
faktor yang mendasari keadaan tersebut, antara lain adalah kurangnya tenaga yang terlatih dan
kurang terdistribusinya tenaga – tenaga tersebut di daerah – daerah.
Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa pilihan penolong persalinan ke tenaga kesehatan
sebesar 72,9%, ibu yang meninggal di rumah sakit sebesar 44,4%, puskesmas 2,8% dan
meninggal di rumah sebesar 41,7%. Hasil Susenas 2001 memberikan gambaran angka
persalinanoleh dukun di Indonesia adalah 38%. Sebanyak 42% ibu – ibu di Papua menyatakan
lebih memilih bersalin tidak dengan tenaga kesehatan dengan alasan ibu merasa bahwa
persalinan tidak perlu ke tenaga kesehatan, kecuali bila merasa ada gangguan / kelainan dengan
kesehatannya.
Terdapat hubungan yang signifikan antaratempat persalinan dengan kematian maternal,
dimana semakin tinggi proporsi ibu melahirkan di fasilitas non fasilitas kesehatan semakin tinggi
risiko kematian maternal dan bayi. Persalinan di rumah masih diminati oleh kelompok usia
kurang dari 20 tahun (85%) dibandingkan kelompok usia lain. Ibu di pedesaan masih banyak
19
(80%) yang melahirkan di rumah dibandingkan di perkotaan (48%). Proporsi ibu yang
melakukan persalinan di rumah, bukan di fasilitas kesehatan sebesar 70%.
Determinan Jauh
Meskipun determinan ini tidak secara langsung mempengaruhi kematian maternal, akan
tetapi faktor sosio kultural, ekonomi, keagamaan dan faktor – faktor lain juga perlu
dipertimbangkan dan disatukan dalam pelaksanaan intervensi penanganan kematian maternal.
Termasuk dalam determinan jauh adalah status wanita dalam keluarga dan masyarakat, yang
meliputi tingkat pendidikan, dimana wanita yang berpendidikan tinggi cenderung lebih
memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan wanita dengan tingkat pendidikan
yang rendah, menyebabkan kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu
hamil maupun bayinya terutama dalam hal kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan. Ibu –
ibu terutama di daerah pedesaan atau daerah terpencil dengan pendidikan rendah, tingkat
independensinya untuk mengambil keputusanpun rendah. Pengambilan keputusan masih
berdasarkan pada budaya ‘berunding’ yang berakibat pada keterlambatan merujuk. Rendahnya
pengetahuan ibu dan keluarga tentang tanda – tanda bahaya pada kehamilan mendasari
pemanfaatan sistem rujukan yang masih kurang.
Pekerjaan ibu, dimana keadaan hamil tidak berarti mengubah pola aktivitas bekerja ibu
hamil sehari – hari. Hal tersebut terkait dengan keadaan ekonomi keluarga, pengetahuan ibu
sendiri yang kurang atau faktor kebiasaan setempat. Di Sumatera Selatan pada umumnya ibu
hamil masih membantu suaminya bekerja di sawah, ladang, kebun karet atau berdagang. Istri
bahkan menjadi tumpuan penghasilan keluarga jika suami terbatas secara fisik. Laporan statistik
sering menempatkan pekerjaan hanya sebatas pekerjaan formal. Misalnya dilaporkan sebanyak
63% ibu – ibu di Papua tidak bekerja, padahal pada kenyataannya mereka secara fisik bekerja
lebih keras daripadasuami. Konsep bekerja khususnya yang berkaitan dengan kesehatan perlu
diartikan lebih luas bukan hanya terbatas pada konsep mendapat gaji saja.
Kemiskinan dapat menjadi sebab rendahnya peran serta masyarakat pada upaya
kesehatan. Kematian maternal sering terjadi pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, tinggal
di tempat terpencil, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkan
20
kehidupannya sendiri. Wanita – wanita dari keluarga dengan pendapatan rendah (kurang dari
US$ 1 perhari) memiliki risiko kurang lebih 300 kali untuk menderita kesakitan dan kematian
maternal bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendapatan yang lebih baik.
Upaya Pemerintah untuk Mengurangi Angka Kematian Ibu
Kebijakan Departemen Kesehatan RI dalam upaya mempercepat penurunan angka
kematian maternal pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis ‘empat pilar safe
motherhood’, yaitu :1
a. Keluarga berencana, yang memastikan bahwa setiap orang / pasangan memiliki akses ke
informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan waktu yang tepat untuk
kehamilan, jarak kehamilan dan jumlah anak. Dengan demikian diharapkan tidak ada
kehamilan yang tidak diinginkan, yaitu kehamilan yang masuk dalam kategori “4 terlalu”
(terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan, terlalu sering hamil dan terlalu banyak
anak).
b. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila mungkin, dan
memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara memadai.
c. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan memiliki
pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih,
serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan bayi.
d. Pelayanan obstetri esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetric untuk risiko tinggi
dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkannya.
Mengingat kira – kira 90% kematian maternal terjadi di sekitar persalinan dan kira – kira 95%
penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri yang sering tidak dapat diperkirakan
sebelumnya, maka kebijaksanaan Depkes untuk mempercepat penurunan angka kematian
maternal adalah mengupayakan agar : 1) setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi
oleh bidan, dan 2) pelayanan obstetri sedekat mungkin kepada semua ibu hamil. Dalam
pelaksanaan operasional, sejak tahun 1994 diterapkan strategi sebagai berikut :1
21
a. Penggerakan tim di tingkat Kabupaten (dinas kesehatan dan seluruh jajarannya sampai ke
tingkat kecamatan dan desa, RS Kabupaten dan pihak terkait) dalam upaya mempercepat
penurunan angka kematian maternal sesuai dengan peran masing – masing.
b. Pembinaan daerah yang intensif di setiap kabupaten, sehingga pada akhir pelita VII
diharapkan :
- Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 80% atau lebih.
- Cakupan penanganan kasus obstetri (risiko tinggi dan komplikasi obstetri) minimal
meliputi 10% seluruh persalinan.
- Bidan mampu memberikan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan obstetri
neonatal dan puskesmas sanggup memberikan pelayanan obstetri – neonatal esensial
dasar (PONED), yang didukung RS Kabupaten sebagai fasilitas rujukan utama yang
mampu menyediakan pelayanan obstetri – neonatal esensial komprehensif (PONEK)
24 jam; sehingga tercipta jaringan pelayanan obstetri yang mantap dengan bidan desa
sebagai ujung tombaknya.
c. Penerapan kendali mutu layanan kesehatan ibu, antara lain melalui penetapan standar
pelayanan, prosedur tetap, penilaian kinerja, pelatiahan klinis dan kegiatan audit maternal
perinatal.
d. Meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk mendukung upaya
percepatan penurunan angka kematian maternal.
e. Pemantapan keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan pendukung untuk
mempercepat penurunan angka kematian maternal.
Kerjasama Pemerintah dengan Sektor Terkait dan Masyarat dalam Upaya Menurunkan
Angka Kematian Ibu
Beberapa bentuk intervensi yang berkaitan dengan program Safe Motherhood
dilaksanakan secara bersama – sama antara sektor kesehatan dengan sektor terkait, antara lain
22
melalui program Gerakan Sayang Ibu (GSI) dan Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera
(GRKS).1
GSI merupakan suatu gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat, bekerjasama dengan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, terutama mempercepat penurunan
angka kematian maternal karena hamil, melahirkan dan nifas serta penurunan angka kematian
bayi. Dalam pelaksanaan operasionalnya, GSI melakukan promosi kegiatan yang berkaitan
dengan Kecamatan Sayang Ibu dan Rumah Sakit Sayang Ibu, untuk mencegah tiga jenis
keterlambatan, yaitu :1
1. Keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan mengambil
keputusan untuk segera mencari pertolongan.
2. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pertolongan yang
dibutuhkan.
Kegiatan yang berkaitan dengan kecamatan sayang ibu berusaha untuk mencegah keterlambatan
pertama dan kedua, sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan rumah sakit sayang ibu berusaha
mencegah keterlambatan ketiga.1
GRKS merupakan kegiatan yang dirintis oleh BKKBN, yang pada dasarnya merupakan
upaya promotif untuk mendukung terciptanya keluarga yang sadar akan pentingnya kesehatan
reproduksi. Di antara masalah reproduksi yang dikemukakan adalah masalah kematian ibu,
karena itu promosi yang dilakukan juga merupakan promosi untuk kesejahteraan ibu.1
Puskesmas
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten / kota yang
bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatandi suatu wilayah kerja. Puskesmas
bertanggungjawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan
masyarakat yang jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan
23
tingkat pertama. Upaya tersebut terbagi menjadi dua yaitu Upaya Kesehatan Wajib dan Upaya
Kesehatan Pengembangan.
Visi dan Misi
Oleh karena puskesmas mempunyai wilayah kerja sama dengan wilayah kecamatan maka
tujuan puskesmas yang disebutkan diatas dijabarkan dalam suatu VISI ” Mewujudkan
Kecamatan Sehat “ untuk mewujudkan VISI ini ada MISI yang diembang yaitu dengan
berpedoman pada tiga fungsi utama puskesmas yaitu
1. Pusat pembangunan berwawasan kesehatan.
2. Mengupayakan program-program pembangunan yang berwawasan kesehatan,yaitu:
Berupaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya
agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
Aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan
setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.
Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.
3. Pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat.
4. Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga, dan masyarakat:
Memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan
masyarakat untuk hidup sehat.
Berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk
pembiayaan.
Ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program
kesehatan.
24
1. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama yaitu menyelenggarakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan
yang meliputi:
Pelayanan kesehatan masyarakat (public goods)
Pelayanan kesehatan perorangan(private goods)
Visi dan Misi Puskesmas juga dapat dikembang oleh Puskesmnas sendiri yang bersumber
dari gabungan visi dan misi masing – masing petugas puskesmas menjadi visi dan misi bersama
guna mencapai tujuan akhir dari pembangunan kesehatan di wilayah puskesmas dan atau
Kecamatannya.
Fungsi – fungsi utama puskesmas tersebut dan dengan memperhatikan tujuan akhirnya maka
setiap pelaksanaan program kegiatan pelayanan kesehatan selalu dilaksanakan dengan
memperhatikan landasan strategisnya yaitu:
1. Perikemanusian
2. Pemberdayaan dan Kemandirian
3. Adil dan merata
4. Mengutamakan Manfaat.
Landasan strategis ini akan menjadi nilai – nilai dalam pengembangan setiap program atau
upaya – upaya pelayanan kesehatan yang akan dilaksanakan ditingkat Puskesmas. Program –
program kegiatan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Puskesmas dibagi dalam dua
kelompok besar yaitu program pokok dan program pengembangan. Program pokok Puskesmas
merupakan program pelayanan kesehatan yang wajib di laksanakan karena mempunyai daya
ungkit yang besar terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya.
Ada 6 Program Pokok pelayanan kesehatan di Puskesmas yaitu:
1. Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif) yaitu bentuk pelayanan kesehatan untuk
mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan pada seseorang pasien dilakukan oleh
seorang dokter secara ilmiah berdasarkan temuan – temuan yang diperoleh selama
anamnesis dan pemeriksaan.
25
2. Promosi Kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang diarahkan untuk
membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal melalui kegiatan penyuluhan
(indovidu, kelompok maupun masyarakat).
3. Pelayanan KIA dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB di Puskesmas
yang ditujuhkan untuk memberikan pelayanan kepada PUS (Pasangan Usia Subur) untuk
ber KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan bayi dan balita.
4. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular dan tidak menular yaitu program
pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan penular penyakit
menular/ infeksi (misalnya TB, DBD, Kusta dll).
5. Kesehatan Lingkungan yaitu program pelayanan kesehatan lingkungan di puskesmas
untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui upaya sanitasi dasar,
pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum termasuk pengendalian pencemaran
lingkungan dengan peningkatan peran serta masyarakat,
6. Perbaikan Gizi Masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan, perbaikan gizi
masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan
Kurang Energi Protein, Anemia Gizi Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY), Kurang Vitamin A, Keadaan zat gizi lebih, Peningkatan Survailans Gizi, dan
Perberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/ Masyarakat.11
Upaya Kesehatan Pengembangan adalah upaya yang dilaksanakan berdasarkan masalah
kesehatan yang terjadi di masyarakat, antara lain :
1. Upaya Kesehatan Sekolah
2. Upaya Kesehatan Olahraga
3. Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
4. Upaya Kesehatan Kerja
5. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
6. Upaya Kesehatan Jiwa
7. Upaya Kesehatan Mata
8. Upaya Kesehatan Usia Lanjut
9. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional
26
Serta upaya penunjang seperti Upaya Laboratorium dan Upaya Pencatatan Pelaporan.
Upaya pencatatan dan pelaporan dilakukan oleh semua Puskesmas ( pembina, pembantu dan
keliling ). Laporan dilakukan secara periodik ( bulan, triwulan enam bulan dan tahunan ).
Pencatatan dan pelaporan mencakup:
Data umum dan demografi wilayah kerja Puskesmas
Data ketenagaan di Puskesmas
Data sarana yang dimiliki Puskesmas
Data kegiatan pokok Puskesmas yang dilakukan baik di dalam
maupun di luar gedung Puskesmas
Upaya laboratorium medis dan laboratorium kesehatan masyarakat serta upaya
pencatatan pelaporan tidak termasuk pilihan karena ketiga upaya ini merupakan pelayanan
penunjang dari setiap upaya wajib dan upaya pengembangan Puskesmas.
Wilayah Kerja Puskesmas
Puskesmas harus bertanggung jawab untuk setiap masalah yang terjadi di
wilayahkerjanya, meskipun masalah tersebut lokasinya berkilo-kilo meter dari puskesmas.
Dengan asas inilah puskesmas dituntut untuk lebih mengutamakan tindakan pencegahan
penyakit, dan bukan tindakan untuk pengobatan penyakit. Dengan demikian puskesmas harus
secara aktif terjun ke masyarakat dan bukan menantikan masyarakat datang ke puskesmas.
Wilayah kerja puskesmas, bisa kecamatan, faktor kepadatan penduduk, luas daerah,
keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam
menentukan wilayah kerja puskesmas. Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah
Tingkat II, sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh bupati KDH,
mendengar saran teknis di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi.
Untuk kota besar wilayah kerja puskesmas bisa satu kelurahan, sedangkan puskesmas di
ibukota kecamatan merupakan puskesmas rujukan, yang berfungsi sebagai pusat rujukan dari
puskesmas kelurahan yang juga mempunyai fungsi koordinasi. Sasaran penduduk yang
dilaksanakan oleh sebuah puskesmas rata-rata 30.000 penduduk. Luas wilayah yang masih
27
efektif untuk sebuah puskesmas di daerah pedesaan adalah suatu area dengan jari-jari 5 km,
sedangkan luas wilayah kerja yang dipandangoptimal adalah area dengan jari-jari 3 km.
Puskesmas memiliki wilayah kerja tertentu, artinya semua kejadian yang menyangkut
kesehatan merupakan tanggungjawab sepenuhnya dari puskesmas. Setiap warga negara RI dapat
menggunakan semua sarana kesehatan pemerintah yang ada, tidak tergantung dari domisilinya.
Sebaliknya, puskesmas tidak dapat mengadakan intervensi di luar wilayah kerjanya. Dengan
demikian, sifat pelayanan puskesmas harus aktif.
Untuk memenuhi tanggung jawab ini, Puskesmas dibantu oleh Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling, Bidan di Desa dengan Polindesnya serta hasil pendekatan PKMD seperti
Posyandu dan sebagainya.
Pelayanan Kesehatan Menyeluruh Dan Terpadu
Menyadari bahwa pelayanan kesehatan yang berkotak-kotak bukanlah pelayanan kesehatan
yang baik, maka berbagai pihak berupaya mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya. Salah satu
dari jalan keluar tersebut ialah memperkenalkan kembali bentuk pelayanan kesehatan yang
menyeluruh dan terpadu(comprehensive and integrated health services).
Pengertian pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu ada dua
macam. Pertama, pelayanan kesehatan yang berhasil memadukan barbagai upaya kesehatan yang
ada di masyarakat yakni, pelayanan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan
penyembuhan penyakitbserta pemulihan kesehatan. Suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai
pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu apabila kelima jenis pelayanan ini
diselenggarakan bersamaan. Kedua,pelayanan kesehatan yang menerapkan pendekatan yang
menyeluruh (holistic approach). Jadi tidak hanya memperhatikan keluhan penderita saja, tetapi
juga berbagai latar belakang social ekonomi, social budaya, social psikologi, dan lain
sebagainya. Suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan kesehatan yang menyeluruh
dan terpadu apabila pendekatan yang dipergunakan memperhatikan berbagai aspek
kehidupan dari para pemakai jasa pelayanan kesehatan.
Tergantung dari filosofi serta perkembangan pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh
suatu Negara, maka upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang
28
menyeluruh dan terpadu ini agak berbeda. Secara umum upaya pendekatan yang dimaksud dapat
dibedakan atas dua macam yakni:2
1. Pendekatan institusi
Jika pelayanan kesehatan masih bersifat sederhana maka kehendak untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang menyeluruh dan terpadu dilakukan melalui pendekatan institusi (institutional
approach). Dalam arti penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilakukan dalam satu atap. Disini
setiap bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dikelolah dalam satu instuisi
kesehatan saja.
2. Pendekatan sistem
Tentu mudah untuk dipahami untuk Negara yang pelayanan kesehatannya telah berkembang
dengan pesat, pendekatan institusi telah tidak mungkin di terapkan lagi. Akibat makin
kompleknya pelayanan kesehatan adalah mustahil untuk menyediakan semua bentuk dan jenis
pelayanan dalam suatu institusi. Bukan saja akan menjadi terlalu mahal, tetapi yang terpenting
lagi akan tidak efektif dan efisien. Disamping memang dalam kehidupan masyarakat moderen
kini, telah terdapat apa yang disebut dengan spesialisasi, yang apabila dapat diatur dan
dimanfaatkan dengan baik, akan dapat memberikan hasil yang lebih memuaskan. Dalam keadaan
yang seperti ini, kehendak untuk mewujudkan pelayanan keserhatan yang menyeluruh dan
terpadu di lakukan melalui pendekatan sistem (system approach) pengertian pelayanan kesehatan
yang menyeluruh dan terpadu yang dsiterapkan saat ini, adalah dalam arti sistem. Disini
pelayanan kesehatan di bagi atas beberapa strata,untuk kemudian antara satu strata dengan strata
lainnya, di ikat dalam satu mekanisme hubungan kerja, sehingga secara keseluruhan membentuk
suatu kesatuan yang terpadu.
Untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya serta diperolehnya hasil yang optimal,
penyelenggaraan setiap upaya Puskesmas harus diselenggarakan secara terpadu, jika mungkin
sejak dari tahap perencanaan. Ada dua macam keterpaduan yang perlu diperhatikan yakni
Keterpaduan Lintas Program dan Keterpaduan Lintas Sektor.
Keterpaduan lintas program adalah upaya memadukan penyeleng-garaan berbagai
upaya kesehatan yang menjadi tanggung jawab Puskesmas. Contoh keterpaduan lintas
program antara lain
1) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS): keterpaduan KIA dengan P2M, Gizi,
29
Promosi Kesehatan, Pengobatan,
2) Upaya Kesehatan Sekolah (UKS): keterpaduan kesehatan lingkungan dengan
Promosi Kesehatan, pengobatan, kesehatan gigi, kesehatan reproduksi remaja dan
kesehatan jiwa
3) Puskesmas Keliling: keterpaduan pengobatan dengan KIA/KB, gizi, promosi
kesehatan, kesehatan gigi
4) Posyandu: keterpaduan KIA dengan KB, Gizi, P2M, kesehatan jiwa, promosi
kesehatan
Keterpaduan lintas sektor adalah upaya memadukan penyelenggaraan upaya Puskesmas
(wajib, pengembangan dan inovasi) dengan berbagai program dari sektor terkait tingkat
kecamatan, termasuk organisasi kemasyarakatan dan dunia usaha. Contoh keterpaduan lintas
sektor antara lain:
1) Upaya Kesehatan Sekolah: keterpaduan sektor kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, pendidikan, agama
2) Upaya Promosi kesehatan: keterpaduan sektor kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, pendidikan, agama, pertanian
3) Upaya Kesehatan ibu dan anak: keterpaduan sektor kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, PKK, PLKB
4) Upaya Perbaikan gizi: keterpaduan sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala
desa, pertanian, pendidikan, agama, koperasi, dunia usaha, PKK, PLKB
5) Upaya Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan: keterpaduan sektor kesehatan dengan
camat, lurah/kepala desa, tenaga kerja, koperasi, dunia usaha, organisasi
kemasyarakatan
6) Upaya Kesehatan kerja: keterpaduan sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala
desa, tenaga kerja, dunia usaha.
Satuan Penunjang
Sesuai dengan keadaan geografi, luas wilayah, sarana perhubungan serta kepadatan
penduduk dalam wilayah kerja puskesmas, tidak semua penduduk dapat dengan mudah
30
mendapatkan pelayanan puskesmas. Agar jangkauan pelayanan puskesmas lebih merata dan
meluas, perlu ditunjang dengan puskesmas pembantu, penempatan bidan di desa-desa yang
belum terjangkau oleh pelayanan yang ada di puskesmas keliling. Disamping itu penggerakan
peran serta masyarakat untuk mengelola posyandu dan membina desa wisma akan dapat
menunjang jangkauan pelayanan kesehatan. Demi pemerataan dan perluasan jangkauan
pelayanan kesehatan maka puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang
lebih sederhana yang disebut puskesmas pembantu dan puskesmas keliling.
Puskesmas Pembantu
Puskesmas pembantu adalah unit pelayanan kesehatan yang sederhana dan berfungsi
menunjang dan membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan puskesmas dalam
ruang lingkup wilayah yang lebih kecil. Dalam Repelita V wilayahkerja puskesmas pembantu
diperkirakan meliputi 2 sampai 3 desa, dengan sasaran penduduk antara 2500 orang (di luar Jawa
dan Bali) sampai 10.000 orang (di perkotaanJawa dan Bali).
Puskesmas Keliling
Puskesmas keliling merupakan unit pelayanan kesehatan keliling yang dilengkapi dengan
kendaraan bermotor roda 4 atau perahu bermotor dan peralatan kesehatan, peralatan komunikasi
serta sejumlah tenaga yang berasal dari puskesmas. Puskesmas keliling berfungsi menunjang dan
membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan puskesmas dalam wilayah kerjanya yang belum
terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Kegiatan-kegiatan puskesmas keliling adalah:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah terpencil yangtidak
terjangkau oleh pelayanan puskesmas atau puskesmas pembantu, 4 haridalam 1 minggu
2. Melakukan penyelidikan tentang kejadian luar biasa
3. Dapat dipergunakan sebagai alat transportasi penderita dalam rangka rujukan bagi kasus
gawat darurat
4. Melakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan alat audio visual
Bidan yang Bertugas di Desa
31
Pada setiap desa yang belum ada fasilitas pelayanan kesehatan, akan ditempatkan seorang
bidan yang bertempat tiggal di desa tersebut dan bertanggung jawab langsung kepada kepala
puskesmas. Wilayah kerja bidan tersebut adalah satu desa dengan jumlah penduduk rata-rata
3000 orang, dengan tugas utamanya adalah membina peran serta masyarakat melalui pembinaan
posyandu yang membina pimpinan kelompok persepuluhan, selain memberikan pelayanan langsung di
posyandu dan pertolongan persalinan di rumah-rumah. Disamping itu juga menerima rujukan
anggota keluarga persepuluhan untuk diberi pelayanan seperlunya atau ditunjuk lebih lanjut ke
puskesmas atau fasilitas kesehatan yang lebih mampu dan terjangkau secara tradisional.
Susunan Organisasi Puskesmas
1. Unsur pimpinan : Kepala puskesmas
2. Unsur pembantu pimpian : Urusan tata usaha
3. Unsur pelaksana : Unit I unit II, Unit III, Unit IV, Unit V, Unit VI, Unit VII
Tugas Pokok
1. Kepala puskesmas. Mempunyai tugas memimpin, mengawasi dan mengkoordinasikan
kegiatan puskesmas yang dapat dilakukan dalam jabatan structural dan jabatan fungsional
2. Kepala urusan tata usaha. Mempunyai tugas dibidang kepegawaian, keuangan,
perlengkapan dan surat menyurat serta pencatatan dan pelaporan
3. Unit I. Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan kesejahteraan ibu dan anak, keluarga
berencana dan perbaikan gizi
4. Unit II. Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pencegahan dan pemberantasan
penyakit, khususnya immunisasi, kesehatan lingkungan dan labolatorium sederhana
5. Unit III. Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan kesehatan gigi dan mulut,
kesehatantenaga kerja dan manula
32
6. Unit IV. Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan perawatan kesehatan
masyarakat,kesehatan sekolah dan olah raga, kesehatan jiwa, kesehatan mata dan
kesehatan khusus lainnya
7. Unit V. Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengembangan upaya
kesehatan masyarakat dan penyuluhan kesehatan masyarakat, kesehatan remaja dan dana
sehat
8. Unit VI. Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pengobatan rawat jalan dan rawat inap
9. Unit VII. Melaksanakan tugas kefarmasian
Tata Kerja
Dalam melaksanakan tugasnya puskesmas wajib menetapkan prinsip koordinasi,integrasi dan
sinkronisasi baik dalam lingkungan puskesmasnya maupun dalam satuanorganisasi di luar
puskesmas sesuai dengan tugasnya masing-masing. Dalam melaksanakan tugas, kepada
puskesmas wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk atasan serta mengikuti bimbingan teknis
pelaksanaan yang ditetapkan oleh kepala kantor departemen kesehatan/kotamadya, sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepala puskesmas bertanggung jawab memimpin,
mengkoordinasi semua unsur dalam lingkungan puskesmas, memberikan bimbingan dan
petunjuk bagi pelaksanaan tugas masing-masing. Hal-hal yang menyangkut tata hubungan dan
koordinasi dengan instansi vertical Departemen Kesehatan RI akan diatur dengan surat
keputusan bersama menteri dalamnegeri dan menteri kesehatan RI.
Managemen Puskesmas
Untuk dapat melaksanakan usaha pokok Puskesmas secara efisien, efektif, produktif, dan
berkualitas, pimpinan Puskesmas harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen.
Manajemen bermanfaat untuk membantu pimpinan dan pelaksana program agar kegiatan
program Puskesmas dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penerapan manajemen kesehatan di
Puskesmas terdiri dari Micro Planning (MP) yaitu peraencanaan tingkat Puskesmas.
33
Pengembangan program puskesmas selama lima tahundisusun dalam Micro Palanning.
Lokakarya Mini Puskesmas (LKMP) yaitu bentuk penajabaran Micro Planning ke dalam paket-
paket kegiatan program yang dilaksanakan oleh staf, baik secara individu maupun berkelompok.
LKMP dilaksanakan setiap tahun. Local Area Monitoring (LAM) atau PIAS-PWS (Pemantauan
Ibu dan Anak- Pemantauan Wilayah Setempat) adalah sistem pencatatan dan pelaporan untuk
pemantauan penyakit pada ibu dan anak atau untuk penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Bagan di bawah menjelaskan fungsi manajemen yang dijabarkan di puskesmas.
LAM merupakan penjabaran fungsi pengawasan dan pengendalian program. LAM yang
dijabarkan khusus untuk memantau kegiatan program KIA disebut dengan pemantauan Ibu dan
Anak Setempat atau PIAS atau PWS KIA. Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas
(SP2TP) adalah kompilasi pencatatan program yang dilkukan secara terpadu setiap bulan.
Stratifikasi Puskesmas merupakan kegiatan evaluasi program yang dilakukan setiap tahun untuk
mengetahui pelaksanaan manajemen progaram Puskesmas secara menyeluruh. Penilaian
dilakukan oleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dan SP2TP
dimanfaatkan oleh Puskesmas untuk penilaian stratifikasi. Supervisi rutin oleh pimpinan
Puskesmas dan rapat-rapat rutin untuk koordinasi dan memantau kegiatan program. Supervisi
oleh pimpinan, monitoring dan evaluasi merupakan penjabaran fungsi manajemen (pengawasan
dan pengendalian) di Puskesmas.
Kegiatan Pelayanan Kesehatan Kegiatan ManajemenPelayanan kesehatan umum :
1. Kunjungan rumah2. Penyuluhan kesehatan3. Usaha kesehatan sekolah4. Uji kualitas air minum penduduk
1. Perencanaan2. Manajemen personalia3. Pelatihan staf, dukun, kader, guru4. Supervisi, monitoring dan evaluasi5. Manajemen keunagan6. Manajemen logistic7. Monitoring program8. Kerja sama/koordinasi9. Kerjasama dengan kelompok kelompok
masyarakat10. Pencatatan pelaporan11. Kepemimpinan
Perawatan kesehatan ibu :
34
1. ANC2. Pertolongan persalinan3. Perawatan ibu masa nifas4. KB
Perawatan anak :
1. Menyusui2. Penimbangan anak Balita3. Imunisasi4. Pemberian Oralit
Pengobatan untuk :Berbagai penyakit yang dikonsultasikan ke puskesmasKegiatan program lain :
1. Pemeriksaan mutu air minum2. Surveilan
Contoh pada Bagan di atas untuk menunjukan perbedaan antara kegiatan pelayanan kesehatan
(health services) dengan komponen kegiatan penunjang manajemen pelayanan (management
support service). Di bagian kiri adalah contoh komponen pelayanan kesehatan dasar untuk
pelayanan kesehatan umum, perawatan ibu, dan anak, upaya pengobatan dan sebagainya. Contoh
tersebut dapat dikenbangkan sesuai dengan kegiatan prorgam Puskesmas. Di bagian kanan
adalah contoh komponen penunjang manajemen. Semua program pelayanan kesehatan dasar di
sebelah kiri mempunyai komponen penunjang manajemen yang sama. Dengan mengembangkan
komponen penunjang manajemen, komponen pelayanan kesehatan dasar akan dapat
dilaksanakan secara efektif, efisien, rasional dan berkualitas.
Standar Keberhasilan Program Puskesmas
Dinkes Kabupaten / Kota dan propinsi secara rutin menetapkan target atau standart
keberhasilan masing-masing kegiatan progam. Standart pelaksanaan progam merupakan standart
35
untuk kerja (Standart Performance). Staf standart untuk kerja merupakan ukuran kualitatif
keberhasilan progam. Tingkat keberhasilan progam secara kuantitatif diukur dengan
membandingkan target yang sudah ditetapkan dengan output (cakupan pelayanan) kegiatan
progam.
Secara kualitatif keberhasilan progam diukur dengan membandingkan standart prosedur
kerja untuk masing-masing kegiatan progam dengan penampilan (kemampuan) staf dalam
melaksanakan kegiatan masing-masing progam. Cakupan progam dapat dianalisis secara
langsung oleh staf puskesmas dengan menganalisis data harian setiap kegiatan progam.
Perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat (effect progam) dan dampak progam
(impact) seperti tingkat kematian, kesakitan (termasuk gangguan gizi), tingkat kelahiran dan
kecacatan tidak diukuar secara langsung oleh puskesmas. Dampak progam diukur setiap lima
tahun melalui survei kesehatan rumah tangga (SKRT) atau surkesmas (Survei Kesehatan
Nasional) Depkes. Khusus untuk perkembangan masalah gizi dipantau setiap lima tahun, tetapi
hanya sampai tingkat kabupaten. Standart pelayanan minimal progam kesehatan pokok mulai
diterapkan oleh Depkes tahun 2003 untuk menjamin bahwa dilaksanakan tugas utama
pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat yang essensial di daerah.
Indikator derajat kesehatan masyarakat yang paling peka untuk menilai dampak progam
kesehatan adalah IMR (Infant Mortality rate), MMR (Maternal Mortality Rate), dan BR (Birth
Rate). Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, empat progam pokok perlu lebih
diprioritaskan oleh puskesmas yaitu KIA, KB, P2M dan gizi. Keempat progam pokok tersebut
juga dilaksanakan secara terpadu diluar gedung puskesmas melalui pos kesehatan ditingkat
dusun atau pos pelayanan terpadu. Sejak tahun 1992/1993, pemerintah juga telah menempatkan
bidan didesa. Bidan yang bertugas di desa, mengelola pondok bersalin desa.
Program KIA di Puskesmas
Puskesmas Rawat Inap adalah Puskesmas yang letaknya strategis dan mudah diakses dari
Puskesmas di sekitarnya, dapat dijangkau melalui saranatransportasi, yang didirikan sesuai
dengan analisa kebutuhankabupaten/kota, dilengkapi fasilitas rawat inap, peralatan medisdan
kesehatan serta sarana prasarana yang sesuai standar.Puskesmas mampu PONED adalah
36
Puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakanpelayanan obstetri dan neonatal
emergensi/komplikasi tingkatdasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.Rumah Sakit
Mampu PONEK adalah Rumah Sakit 24 jam yang memiliki tenaga dengan kemampuanserta
sarana dan prasarana penunjang yang memadai untukmemberikan pelayanan pertolongan
kegawatdaruratanobstetrik dan neonatal dasar maupun komprehensif untuksecara langsung
terhadap ibu hamil/ibu bersalin dan ibu nifasbaik yang datang sendiri atau atas rujukan
kader/masyarakat,Bidan di desa, Puskesmas dan Puskesmas mampu PONED.2
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakanpenyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang mengaturpelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatansecara timbal balik
baik vertikal maupun horizontal.Regionalisasi sistem rujukan PONED adalah pembagian
wilayahsistem rujukan dari satu wilayah kabupaten dan daerah sekitaryang berbatasan
dengannya, dimana Puskesmas mampu PONED yang berada dalam salah satu regional sistem
rujukanwilayah kabupaten, difungsikan sebagai rujukan antara yangakan mendukung
berfungsinya Rumah Sakit PONEK sebagairujukan obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi
di wilayah kabupaten bersangkutan. Penggerakan Peran Serta dalam Pemberdayaan Masyarakat
adalah upaya melibatkan secara aktif Lintas Sektor, OrganisasiProfesi, LSM, dan Masyarakat
Peduli serta Media Massa, untukmendukung upaya peningkatan dan penggerakan demandtarget
sasaran maternal dan keluarganya, agar mencari danmemanfaatkan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensiyang disediakan secara mandiri sesuai kebutuhannya.2
Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) yang didirikan dengan bantuan pemerintah ataumasyarakat atas dasar
musyawarah untuk memberikan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak/Keluarga Berencana
(KIA/KB) serta pelayanan kesehatan lainnya yang sesuai dengan kemampuan bidan.
Kesehatan ibu dan anak adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan
dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta anak
prasekolah. Pemberdayaan Masyarakat di bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi
masyarakat untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi
gawat darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan persalinan.
37
Sistem kesiagaan merupakan sistem tolong-menolong, yang dibentuk dari, oleh dan untuk
masyarakat, dalam hal penggunaan alat transportasi/ komunikasi (telepon genggam, telpon
rumah), pendanaan, pendonor darah, pencatatan-pemantauan dan informasi KB. Dalam
pengertian ini tercakup pula pendidikan kesehatan kepada masyarakat, pemuka masyarakat serta
menambah keterampilan para dukun bayi serta pembinaan kesehatan di taman kanak-kanak.3
Tujuan program kesehatan ibu dan anak
1. Tujuan Umum
Tujuan program kesehatan ibu dan anak adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui
peningkatan derajat kesehatan yang optimal bagi ibu dan keluarganya, serta meningkatnya
derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan
landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya.3
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap dan perilaku) dalam mengatasi
kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan teknologi tepat guna dalam upaya
pembinaan kesehatan keluarga, Dasa Wisma, penyelenggaraan Posyandu dan sebagainya.3
b. Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara mandiri di
dalam lingkungan keluarga, Dasa Wisma, Posyandu dan Karang Balita, serta di sekolah TK.3
c. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu bersalin,
ibu nifas dan ibu menyusui.3
d. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu
menyusui, bayi dan anak balita.3
e. Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh anggotanya
untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah, terutama melalui peningkatan
peran ibu dalam keluarganya.3
38
Manajemen kesehatan ibu dan anak4
Pemantauan kegiatan KIA dilaksanakan melalui Pemantauan Wilayah Setempat –KIA.
Pemantauan Wilayah Setempat KIA adalah alat untuk pengelolaan kegiatan KIA serta alat untuk
motivasi dan komunikasi kepada sektor lain yang terkait dan dipergunakan untuk pemantauan
program KIA secara teknis maupun non teknis. Melalui PWS-KIA dikembangkan indikator-
indikator pemantauan teknis dan non teknis, yaitu:
1. Indikator Pemantauan Teknis
Indikator ini digunakan oleh para pengelola program dalam lingkungan kesehatan yang
terdiri dari :
a. Indikator Akses
b. Indikator Cakupan Ibu Hamil
c. Indikator Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
d. Indikator Penjaringan Dini Faktor Resiko oleh Masyarakat
e. Indikator Penjaringan Faktor resiko oleh Tenaga Kesehatan
f. Indikator Neonatal.
2. Indikator Pemantauan Non teknis
Indikator ini dimaksudkan untuk motivasi dan komunikasi kemajuan maupun masalah
operasional kegiatan KIA kepada para penguasa di wilayah, sehingga dimengerti dan
mendapatkan bantuan sesuai keperluan. Indikator-indikator ini dipergunakan dalam
berbagai tingkat administrasi, yaitu :
1. Indikator pemerataan pelayanan KIA
Indikator ini dipilih indikator Akses (jangkauan) dalam pemantauan secara
teknis memodifikasinya menjadi indikator pemerataan pelayanan yang lebih
dimengerti oleh para penguasa wilayah.
39
2. Indikator efektivitas pelayanan KIA
Indikator ini dipilih cakupan (coverage) dalam pemantauan secara teknis
dengan memodifikasinya menjadi indikator efektivitas program yang lebih
dimengerti oleh para penguasa wilayah. Kedua indikator tersebut harus secara
rutin dijabarkan per bulan, per desa serta dipergunakan dalam pertemuan-
pertemuan lintas sektoral untuk menunjukkan desa-desa mana yang masih
ketinggalan.
Pemantauan secara lintas sektoral ini harus diikuti dengan suatu tindak lanjut yang jelas dari para
penguasa wilayah perihal : peningkatan penggerakan masyarakat serta penggalian sumber daya
setempat yang diperlukan.
Macam-macam pelayanan KIA
1. Pelayanan antenatal3,4
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilannya. Dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang di tetapkan dalam
standar pelayanan kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus serta
intervensi umum dan khusus (sesuai resiko yang ditemukan dalam pemeriksaan) dalam
penerapannya terdiri atas:
a. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
b. Ukur tekanan darah
c. Nilai status gisi (ukur lingkar lengan atas)
d. Ukur tinggi fundus uteri
e. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin
f. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toxoid bila diperlukan
40
g. Pemberian tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan
h. Tes laboratorium (rutin dan khusus)
i. Temu wicara termasuk perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi serta KB pasca
persalinan.
Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan darah, hemoglobin, protein
urin dan gula darah puasa. Pemeriksaan khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi atau
kelompok beresiko. Pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV, Sifilis, malaria,
tuberkulosis dan cacingan.
Dengan demikian maka secara operasional pelayanan antenatal disebut lengkap apabila
dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa
frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu
pemberian pelayanan yang di anjurkan sebagai berikut:
1) Minimal 1 kali pada triwulan pertama
2) Minimal 1 kali pada triwulan kedua
3) Minimal 2 kali pada triwulan ketiga
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan pada ibu
hamil, berupa deteksi dini factor resiko pencegahan dan penangan komplikasi. Tenaga keehatan
yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal kepada ibu hamil adalah dokter spesialis
kebidanan, dokter, bidan dan perawat.3
2. Deteksi dini faktor resiko
Faktor resiko pada ibu hamil diantaranya adalah:
1. Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
2. Anak lebih dari 4
41
3. Jarak persalinan yang terakhir dan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun
4. Tinggi badan kurang dari 145 cm
5. Berat badan kurang dari 38 kg atau LLA kurang dari 23,5 cm
6. Riwayat keluarga menderita diabetes, hipertensi dan riwayat cacat kongenital
7. Kelainan bentuk tubuh misalnya kelainan tulang belakang atau panggul
Resiko tinggi atau komplikasi kebidanan pada kehamilan merupakan keadaan penyimpangan
dari normal yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
Resiko tinggi /komplikasi pada kehamilan meliputi:
a. Hb kurang dari 8 gr %
b. Tekanan darah tinggi ( sistole> 140mmHg, diastole > 90 mmHg)
c. Oedema yang nyata
d. Eklamsia
e. Perdarahan pervaginam
f. Ketuban pecah dini
g. Letak lintang pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu
h. Letak sungsang
i. Infeksi berat atau sepsis
j. Persalinan prematur
k. Kehamilan ganda
l. Janin yang besar
m. Penyakit kronis pada ibu : jantung, paru dll
42
n. Riwayat obstetri yang buruk ,riwayat bedah sesar dan komplikasi kehamilan
3. Pertolongan persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan dilapangan, masih terdapat
penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan. Oleh karena itu secara bertahap seluruh
persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan di arahkan ke fasilitas
pelayanan kesehatan.
Pada prinsipnya penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pencegahan infeksi
b. Metode pertolongan persalinan sesuai standar
c. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi
d. Melaksanakan inisiasi menyusu dini (IMD)
e. Memberikan injeksi Vitamin K1dan salep mata pada bayi baru lahir
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan pertolongan persalinan adalah:
dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan.
P4K (PROGRAM PERENCANAAN PERSALINAN DAN PENCEGAHAN KOMPLIKASI).
P4K adalah merupakan suatu kegiatan yang di fasilitasi oleh Bidan di desa dalam rangka
peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman dan
persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan penggunaan KB pasca
persalinan dengan menggunakan stiker sebagai media notifikasi sasaran dalam rangka
meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru lahir.5,6
43
Adapun Tujuan khusus adanya program P4K adalah :
1. Terdatanya status ibu hamil dan terpasangnya stiker P4K disetiap rumah ibu hamil yang
memuat informasi tentang lokasi tempat tinggal ibu hamil, identitas ibu hamil, taksiran
persalinan, penolong persalinan, pendamping persalinan, fasilitas tempat persalinan, calon donor
darah, transportasi yg akan digunakan serta pembiayaan.
2. Adanya perencanaan persalinan
3. Terlaksananya pengambilan keputusan yang cepat dan tepat bila terjadi komplikasi
selama, hamil, bersalin maupun nifas.
4. Meningkatnya keterlibatan tokoh masyarakat baik formal maupun non formal, dukun,
kelompok masyarakat, dalam perencanaan dan pencegahan komplikasi dengan stiker, KB pasca
salin dengan perannya masing-masing
Manfaat P4K :
1. Mempercepat berfungsinya desa siaga
2. Meningkatkan cakupan pelayanan ANC sesuai standart
3. Meningkatnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil
4. Meningkatnya kemitraan bidan dan dukun
5. Tertanganinya kejadian komplikasi secara dini
6. Meningkatnya peserta KB pasca salin
7. Terpantaunya kesakitan dan kematian ibu dan bayi.
8. Menurunnya kejadian kesakitan dan kematian ibu serta bayi
Komponen P4K dengan stiker
44
Fasilitas aktif oleh Bidan :
1. Pencatatan ibu hamil
2. Dasolin/ tabulin
3. Donor darah
4. Transport/ ambulan desa
5. Suami/ keluarga menemani ibu pada saat bersalin
6. IMD
7. Kunjungan nifas
8. Kunjungan rumah
Operasional P4K dengan stiker di tingkat Desa
1. Memanfaatkan pertemuan bulanan tingkat desa/ kelurahan
2. Mengaktifkan forum peduli KIA
3. Kontak dengan ibu hamil dan keluarga dalam pengisian stiker
4. Pemasangan stiker dirumah ibu hamil
5. Pendataan jumlah ibu hamil di wilayah desa
6. Pengelolaan donor darah dan sarana transportasi/ ambulan desa
7. Penggunaan, pengelolaan, dan pengawasan tabulin/ dasolin
8. Pembuatan dan penandatanganan amanat persalinan.
45
Rekapitulasi pelaporan yaitu:
1. Data yg didapat Bidan dari isian stiker dan data pendukung lainnya, dicatat di buku KIA
utk disimpan dan dipelajari oleh ibu hamil sebagai alat pantau kesehatan ibu selama hamil,
bersalin dan nifas.
2. Puskesmas melakukan rekapitulasi dan analisis laporan dari seluruh bidan desa, laporan
dari RB swasta serta pemantauan wilayah setempat tentang KIA (PWS-KIA) dan dilaporkan ke
dinas kesehatan kab/ kota perbulan.
3. Dinkes kab/ kota melakukan rekapitulasi dan analisis laporan puskesmas dan yankes ibu
dari RS pemerintah/ swasta di wilayahnya kemudian dilaporkan ke propinsi setiap bulan.
4. Dinkes propinsi melakukan rekapitulasi dan analisis laporan dari kab/ kota kemudian di
laporkan ke tingkat pusat setiap 3 bulan.
5. Tingkat nasional melakukan rekapitulasi dan analisis laporan dari dinkes propinsi dan
melakukan pemantauan berkala, fasilitasi, evaluasi P4K dengan stiker dalam rangka PP-AKI.4,5
Pedoman P4K dengan stiker merupakan panduan teknis bagi tenaga kesehatan yang
bertugas di desa/ puskesmas dalam mengantisipasi berbagai permasalahan yang terkait dengan
angka kematian ibu dan bayi.
Bila dilihat secara mendasar kematian ibu dan bayi dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya sosio ekonomi, demografi dan geografi serta jangkauan pelayanan kepada
masyarakat. Melalui kerjasama antara tenaga kesehatan dengan keluarga, tokoh masyarakat,
termasuk dengan forum peduli KIA/ POKJA posyandu dan dengan mendekatkan fasilitas
pelayanan kesehatan diharapkan permasalahan pelayanan kebidanan secara bertahap dapat di
tanggulangi.
Dengan demikian permasalahan kesehatan ibu hamil dan bayi bukan hanya di
titikberatkan kepada tenaga kesehatan saja, melainkan juga untuk partisipasi aktif keluarga dan
masyarakat melalui kemitraan dan fasilitasi bidan dan forum peduli KIA/ Pokja posyandu yang
berbasis masyarakat.
46
4. Pelayanan kesehatan pada ibu nifas3,4
Pelayanan kesehatan pada ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu
mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dapat
memberikan pelayanan kesehatan ibu nifas adalah dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan
perawat. Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan
terhadap ibu nifas dengan melakukan kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan ketentuan
waktu:
1) Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam sampai dengan 3 hari setelah persalinan
2) Kunjungan nifas kedua dalam waktu 2 minggu setelah persalinan (8-14 hari).
3) Kunjungan nifas ketiga dalam waktu 6 minggu setelah persalinan (36-42 hari).
Pelayanan yang diberikan adalah:
1) Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.
2) Pemeriksaan tinggi fundus uteri (Involusio uterus)
3) Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran pervaginam lainnya
4) Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan
5) Pemberian kapsul vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali, pertama segera setelah
melahirkan dan kedua di berikan setelah 24 jam pemberian vitamin A pertama.
6) Pelayanan KB pasca salin
7) Pelayanan kesehatan neonates
Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan
oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya sedikitnya 3 kali, selama
periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik difasilitas kesehatan melalui kunjungan
rumah.
47
5. Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonates4
1. Kunjungan neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6-48 jam setelah
lahir
2. Kunjungan noanatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai
dengan hari ke 7 setelah lahir
3. Kunjungan neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai
dengan hari ke 28 setelah hari.
Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan
kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/ masalah kesehatan pada
neonatus. Resiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu
pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat
di anjurkan untuk tetap tinggal di fasilitas pelayanan kesehatan selama 24 jam pertama.6
Pelayanan kesehatan neonatus dasar dilakukan secara komprehensif dengan melakukan
pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir dan pemeriksaan menggunakan pendekatan
manajemen terpadu bayi muda (MTBM) untuk memastikan bayi dalam keadaan sehat meliputi:
1) Pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir
a) Perawatan tali pusat
b) Melaksanakan ASI eksklusif
c) Memastikan bayi telah diberi injeksi vitamin K1
d) Memastikan bayi telah diberi salep mata antibiotic
e) Pemberian imunisasi hepatitis B-0
48
2) Pemeriksaan menggunakan MTBM (Managemen Terpadu Bayi Muda)
a) Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri, ikterus, diare, berat badan
rendah dan masalah pemberian ASI
b) Pemberian imunisasi hepatitis B bila belum diberikan pada waktu perawatan bayi baru lahir.
c) Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI eksklusif, pencegahan hipotermi
dan melaksanakan perawatan bayi baru lahir dirumah dengan menggunakan buku KIA
d) Penanganan dan rujukan khusus bila diperlukan
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan neonatus adalah dokter spesialis
anak, dokter, bidan dan perawat.
6. Deteksi dini faktor resiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga
kesehatan maupun masyarakat
Deteksi dini kehamilan dengan faktor resiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk
menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor resiko dan komplikasi kebidanan. Kehamilan
adalah proses reproduksi yang normal, tetapi tetap mempunyai resiko untuk terjadinya
komplikasi. Deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya factor resiko dan
komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin merupakan kunci keberhasilan
dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya.
Faktor resiko ibu hamil adalah:
a) Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
b) Anak lebih dari 4
c) Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun
49
d) Kurang energy kronis (KEK) dengan lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm atau
penambahan berat badan kurang dari 9 Kg selama masa kehamilan.
e) Anemia dengan hemoglobin <11 gr %
f) Tinggi badan kurang dari 145cm atau dengan kelainan bentuk panggul atau tulang
belakang
g) Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau sebelum kehamilan ini
h) Sedang atau pernah menderita penyakit kronis, antara lain tuberkulosis, kelainan jantung,
ginjal, hati, psikosis kelainan endokrin tumor dan keganasan.
i) Riwayat kehamilan buruk yaitu: keguguran berulang, kehamilan ektopik terganggu, mola
hidatidosa, ketuban pecah dini dan bayi dengan cacat congenital
j) Riwayat persalinan dengan komplikasi, persalinan dengan seksio sesarea, ekstraksi
vakum/ forceps
k) Riwayat nifas dengan komplikasi seperti perdarahan pasca persalinan, infeksi masa nifas,
psikosis post partum, post partum blues
l) Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi, dan riwayat cacat
congenital
m) Kelainan jumlah janin: kehamilan ganda, anin dampit, monster
n) Kelainan besar janin: pertumbuhan janin terhambat, janin besar
o) Kelainan letak dan posisi janin: lintang/oblique, sungsang pada usia kehamilan lebih dari
32 minggu.
Catatan : penambahan berat badan ibu hamil yang normal adalah 9-12 kg selama masa
kehamilan.
50
Komplikasi pada ibu hamil, bersalin dan nifas antara lain:
1. Ketuban pecah dini
2. Perdarahan pervaginam
3. Hipertensi dalam kehamilan >140/90mmhg dengan atau tanpa edema pre-tibia
4. Ancaman persalinan premature
5. Infeksi berat dalam kehamilan: demam berdarah, tifus abdominalis, sepsis
6. Distosia: persalinan macet, persalinan tak maju
7. Infeksi masa nifas
Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah apabila mendapat penanganan yang adekuat
di fasilitas pelayanan kesehatan. Factor waktu dan transportasi merupakanhal yang sangat
menentukan dalam merujuk kasus resiko tinggi. Oleh karenanyadeteksi dini factor resiko pada
ibu baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat merupakan salah satu upaya penting dalam
mencegah kematian dan kesakitan ibu.2,3
Faktor resiko pada neonatus adalah sama dengan factor resiko pada ibu hamil. Ibu hamil
yang memiliki factor resiko akan meningkatkan factor resiko terjadinya komplikasi pada
neonatus. Deteksi dini untuk komplikasi pada neonatus dengan melihat tanda-tanda dan gejala
sebagai berikut:
1. Tidak mau minum/menyusu atau memuntahkan semua
2. Riwayat kejang
3. Bergerak hanya jika dirangsang/letargis
4. Frekuensi nafas <=30x/menit dan >=60x/menit
5. Tarikan dinding dada kedalam yang sangat kuat
51
6. Suhu tubuh <35,50C dan >37,50C
7. Merintih
8. Ada pustul kulit
9. Nanah banyak dimata
10. Pusar kemerahan meluas kedinding perut
11. Mata cekung dan cubitan kulit perut kembali sangat lambat
12. Timbul kuning atau tinja berwarna pucat
13. Berat badan menurut umur rendah atau ada masalah pemberian ASI
14. BBLR: bayi berat lahir rendah <2500 gram
15. Kelainan congenital seperti ada celah di bibir dan langit-langit
Komplikasi pada neonatus antara lain:
1. Prematuritas dan BBLR
2. Asfiksia
3. Infeksi bakteri
4. Kejang
5. Ikterus
6. Diare
7. Hipotermia
8. Tetanus neonaturum
9. Masalah pemberian ASI
52
10. Trauma lahir, sindroma gangguan, pernapasan, kelainan kongenital.
7. Penanganan Komplikasi Kebidanan
Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi
kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan kompeten
pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Diperkirakan sekitar 15-20% ibu hamil akan
mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu
dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan
agar komplikasi kebidanan dapat segera dideteksi dan ditangani.
Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan komplikasi kebidanan maka
diperlukan adanya fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pelayanan obstetri.
Pelayanan medis yang dapat dilakukan di puskesmas meliputi:
1. Pelayanan obstetri
a. Penanganan perdarahan pada kehamilan, persalinan, dan nifas.
b. Pencegahan dan penanganan hipertensi dalam kehamilan (Pre-eklamsi)
c. Pencegahan dan penanganan infeksi
d. Penanganan partus lama/macet
e. Penanganan abortus
f. Stabilisasi komplikasi obstetric untuk dirujuk dan transportasi rujukan.
2. Pelayanan neonatus
a. Pencegahan dan penanganan infeksi asfiksia
b. Pencegahan dan penanganan hipotermia
53
c. Penanganan bayi berat lahir rendah (BBLR)
d. Pencegahan dan penanganan infeksi neonatus, kejang neonatus, ikterus
e. Pencegahan dan penanganan gangguan umum
f. Stabilisasi komplikasi neonatus untuk dirujuk dan transportasi rujukan
8. Pelayanan Neonatus dengan Komplikasi
Pelayanan neonatus dengan komplikasi adalah penanganan neonatus dengan penyakit dan
kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan, dan kematian oleh dokter, bidan,
perawat terlatih di polindes, puskesmas, rumah bersalin, dan rumah sakit pemerintah/swasta.
Diperkirakan sekitar 15% dari bayi lahir hidup akan mengalami komplikasi neonatal.
Hari pertama kelahiran bayi sangat penting, oleh karena banyak perubahan yang terjadi pada
bayi dalam menuesuaikan diri dari kehidupan di dalam rahim kepada kehidupan diluar rahim.
Bayi baru lahir yang mengalami gejala sakit dapat cepat memburuk, sehingga bila tidak
ditangani dengan adekuat dapat terjadi kematian. Kematian bayi sebagian besar terjadi pada hari
pertama, minggu pertama, kemudian bulan pertama kehidupannya.
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam peningkatan akses dan kualitas penanganan
komplikasi neonatus tersebut antara lain penyedian puskesmas mampu PONED dengan target
setiap kabupaten/kota harus mempunyai minimal 4 (empat) puskesmas mampu PONED.
Puskesmas PONEK adalah puskesmas rawat inap yang memiliki kemampuan serta
fasilitas PONEK 24 jam untuk memberikan pelayanan terhadap ibu hamil, ibu bersalin, dan nifas
serta kegawatdaruratan bayi baru lahir dengan komplikasi baik yang datang sendiri atau atas
rujukan kader/masyarakat, bidan desa, puskesmas, dan melakukan rujukan ke RS/RS PONEK
pada kasus yang tidak mampu ditangani.
Mendukung Puskesmas mampu PONED ini, diharapkan RSU kabupaten/kota mampu
melaksanakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) yang siap
54
selama 24 jam. Dalam PONEK, RSU harus mampu melakukan pelayanan emergensi dasar dan
pelayanan operasi seksio sesaria, perawatan neonatal level II serta transfuse darah.
Dengan adanya puskesmas mampu PONED dan RS mampu PONEK maka kasus-kasus
komplikasi kebidanan dan neonatal dapat ditangani secara optimal sehingga dapat mengurangi
kematian ibu dan neonatus.
9. Pelayanan Kesehatan Bayi
Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh
tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode 29 hari sampai dengan 11 bulan
setelah lahir.4,5
Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi:
1. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari - 2bulan
2. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 – 5 bulan
3. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 – 8 bulan
4. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 – 11 bulan
Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan kesehatan
dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat mendapat
pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan
pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulasi tumbuh
kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi.
Pelayanan kesehatan tersebut terpenuhi meliputi:
1. Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, polio 1,2,3,4, DPT/HB 1,2,3, campak) sebelum
berusia 1 tahun
2. Stimulasi deteksi intervensi dan tumbuh kembang bayi (SDIDTK)
55
3. Pemberian vitamin A 100.000 IU (6-11 bulan)
4. Konseling ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda-tanda sakit dan
perawatan kesehatan bayi dirumah menggunakan buku KIA
5. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan bayi adalah : dokter spesialis
anak, dokter bidan dan perawat.
10. Pelayanan Kesehatan Anak Balita
Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental intelektual berkembang pesat. Masa
ini merupakan masa keemasan atau golden period dimana terbentuk dasar-dasar kemampuan
keindraan, berfikir, berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal
pertumbuhan moral. Pada masa ini stimulasi sangat penting ntuk mengoptimalkan fungsi-fungsi
organ tubuh dan rangsangan perkembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan
perkembangan pada anak usia dini menjadi sangat penting agar dapat dikoreksi sedini mungkin
dan atau mencegah gangguan kearah yang lebih berat.
Bentuk pelaksanaan tumbuh kembang anak di lapangan dilakukan dengan mengacu pada
pedoman stimulasi, deteksi dan intervensi tumbuh kembang anak (SDIDTK) yang dilaksanakan
oleh tenaga kesehatan di puskesmas dan jajarannya seperti dokter, bidan, perawat, ahli gizi,
penyuluh kesehatan masyarakat, dan tenaga kesehatan lainnya yang peduli dengan anak.
Kematian bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesejahteraan suatu
Negara. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita dapat dicegah dengan teknologi
sederhana di tingkat pelayanan kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan menerapkan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Bank duania
1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi
56
masalah kematian balita yang disebabkan oleh infeksi pernafasan akut (ISPA), diare, campak,
malaria, kurang gizi dan yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut.
Sebagai upaya untuk menurunkan angka kematian balita, departemen kesehatan RI
bekerja sama dengan WHO telah mengembangkan paket pelatihan. Manajemen terpadu balita
sakit (MTBS) yang mulai dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996 dan implementasinya
dimulai 1997 dan saat ini telah mencakup 33 provinsi.
Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak balita sakit dan balita
sehat. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai standar yang meliputi:
1. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun yang tercatat dalam buku
KIA/KMS. Bila berat badan anak balita setiap bulan yang tercatat pada buku
KIA/KMS. Bila berat badan naik dalam 2 bulan berturut-turut atau berat badan anak
balita dibawah garis merah harus dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan.
2. Stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang (SDIDTK) minimal 2 kali dalam
setahun. Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar,
motorik halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali pertahun (setiap 6
bulan). Pelayanan SDIDTK diberikan dalam gedung (Sarana pelayanan kesehatan)
maupun diluar gedung.
3. Pemberian vitamin A dosis tinggi (200.000 IU), 2 kali dalam setahun
4. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap balita
5. Pelayanan anak balita sakit sesuai standar sengan pendekatan MTBS
Penggalangan program KB pada pasangan usia subur
Keluarga Berencana adalah perencanaan kehamilan, sehingga kehamilan hanya terjadi
pada waktu yang diinginkan. Jarak antar kelahiran diperpanjang, dan kelahiran selanjutnya dapat
dicegah apabila jumlah anak telah tercapai yang dikehendaki, untuk membina kesehatan seluruh
57
anggota keluarga dengan sebaik-baiknya menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera
(NKKBS).3
Tujuan Umum :
Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera
(NKKBS) yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian
pertumbuhan penduduk Indonesia.
Tujuan Khusus :
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat/ keluarga dalam penggunaan alat kontrasepsi.
2. Menurunnya jumlah angka kematian bayi.
3. Meningkatkan kesehatan masyarakat/ keluarga dengan cara penjarangan kelahiran bayi.
Kegiatan Pelayanan KB
1. Komunikasi informasi dan edukasi (KIE).
Komunikasi informasi dan edukasi diberikan pada setiap kesempatan yang dapat
digunakan untuk penyuluhan KB, yaitu
kesempatan dalam klinik keluarga berencana yang dapat memotivasi cara memilih alat
kontrasepsi dan sasarannya yang sudah siap menerima jenis alat kontrasepsi yang terpilih.
2. Pelayanan Kontrasepsi
Pelayanan kontrasepsi dapat melalui klinik KB , di posyandu, puskesmas pembantu, dan
bidan desa.
Sasaran
Sasaran kuantitatif, meliputi peserta KB, jumlah keluarga yang melahirkan, jumlah ibu yang
melakukan kegiatan BKB terhadap anak balita.
Sasaran kualitatif, antara lain:
58
Terselenggaranya penataan dalam kelembagaan dan pelayanan KB.
Terselenggaranya pemantapan dan peningkatan koordinasi keterpaduan dan mutu
pelayanan KB.
Terselenggaranya kemampuan profesional pelaksana dan pengelola KB dalam rangka
memperbesar cakupan sasaran.
Meningkatnya rasa kepuasaan masyarakat dalam memperoleh pelayanan KB atas dasar
mudah, aman, cepat dan terjangkau.
Meningkatnya ketahanan dan kesejahteraan keluarga dengan dukungan dari berbagai
kegiatan lintas sektor secara terpadu (TKBK)3,4
Sasaran khalayak, yaitu pasangan usia subur (PUS), remaja, dewasa, balita, pelaksana/pengelola
KB, lembaga masyarakat, organisasi profesi, lembaga sosial masyarakat, lembaga swasta.
Sasaran wilayah meliputi pedesaan, perkotaan, wilayah terpencil, daerah pantai/kepulauan,
daerah kumuh, pemukiman baru, daerah transmigrasi, daerah industri, pusat-pusat
keagamaan/adat.
Strategi program KB
Strategi Dasar
• Meneguhkan kembali program di daerah
• Menjamin kesinambungan program
Strategi operasional
• Peningkatan kapasitas sistem pelayanan Program KB Nasional
• Peningkatan kualitas dan prioritas program
59
• Penggalangan dan pemantapan komitmen
• Dukungan regulasi dan kebijakan
• Pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas pelayanan
Meliputi “Panca Karya” :
1. Mengarahkan pola pelayanan kontrasepsi rasional yang memperhatikan golongan usia
dibawah 20 tahun dan 20-30 tahun.
2. Diarahkan bagi pasangan usia subur diatas usia 30 tahun, dan atau mempunyai anak
lebih dari 2.
3. Proses untuk menyiapkan generasi muda sebagai subjek pembangunan gerakan KB
dimasa yang akan datang.
4. Upaya menanamkan kemampuan dan ketrampilan serta percaya diri sehingga akhirnya
menjadi manusia pembangunan yang mandiri dan pelaksana KB dilingkungannya.
5. Upaya untuk mendorong terciptanya ketenangan jiwa, kebahagiaan dan keserasian hidup,
terutama dalam menterjemahkan harkat dan nilai anak serta petuah reproduksi manusia.
Problem Solving Cycle
Yang dimaksud dengan masalah adalah terdapatnya kesenjangan (gap) antara harapan
dengan kenyataan. Dalam usaha mencapai visi puskesmas terdapat beberapa masalah yang
dihadapi sehingga menyebabkan program yang diselenggrakan tidak mencapai target yang
ditetapkan. Langkah awal yang harus dilakukan adalah menetapkan prioritas masalah. Kita bisa
menggunakan teknik non–scoring / scoring. Teknik non scoring meliputi brain storming, Delphi
technique, dan Delbeq technique. Sedangkan teknik scoring kita lakukan dengan kajian data
yang diperoleh dari laporan bulanan puskesmas. Dalam pemilihan prioritas (scoring) kita dapat
melakukannya dengan menggunakan teknik kriteria matrik.
60
Analisis Masalah
Prioritas Masalah
Alternatif pemecahan Masalah
Rencana Operasional
Pelaksanaan & Penggerakan
Pemantauan
Evaluasi
Pengawasan & Pengendalian
Identifikasi Istilah
Tujuan
PROBLEM SOLVING CYCLE
Misalnya pada kasus ditemukan cakupan ANC, imuniasi dan DHF yang belum memadai.
Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antaranya akibat manajemen yang tidak efektif
atau pelaksanaan program yang tidak efisien.
Semua jenis hambatan atau penyebab timbulnya masalah dalam sesuatu program dapat
dirumuskan pada saat melakukan analisis situasi (sistem) yang lebih difokuskan pada sumber
daya dan proses (input dan proses).
Gambar 2. Problem Solving Cycle.
I. Analisis Penyebab Masalah.
Semua jenis hambatan atau penyebab timbulnya masalah dalam sesuatu program dapat
dirumuskan pada saat melakukan analisis situasi (sistem) yang lebih difokuskan pada sumber
daya dan proses (input dan proses).
a. Input:
- Man: jumlah staff kurang, ketrampilan, pengetahuan, dan motivasi kerja yang rendah.
Tingkat partisipasi masyarakat juga rendah.
- Money: sumber dana dari Dinas Kesehatan masih kurang dan sering terlambat padahal
pemasukan dari retribusi karcis tidak banyak.
61
- Material: jumlah peralatan medis yang kurang memadai dan jenis obat yang tersedia
tidak sesuai dengan masalah kesehatan yang potensial berkembang di wilayah kerja
Puskesmas.
- Method: perlaksanaan program yang kurang efektif dan efisien. Waktu yang dimiliki
oleh staf tidak cukup untuk menyusun rencana atau untuk mengadakan supervisi.
Informasi juga dapat menjadi hambatan program karena datanya yang tersedia kurang
dapat dipercaya, kurang akurat, pemanfaatan data jarang dilakukan untuk perencanaan
kegiatan program sehingga staf terperangkap pada rutinisme, dan laporannya belum
dibuat.
b. Proses: masalah ini dapat dikaitkan dengan fungsi manajemen (POAC)
- Planning: kurang jelasnya tujuan atau rumusan masalah program sehingga rencana
kerja operasional tidak relevans dengan upaya pemecahan masalah
- Organizing: pembagian tugas untuk staf tidak jelas bahkan sering tidak ada. Staf yang
ada jumlahnya belom memadai.
- Actuating: koordinasi dan motivasi staf kurang atau kepimpinan kepala Puskesmas tidak
disenangi staf. Pengumpulan data yang kurang baik, masih lemahanya sistem pencatatan
dan koordinasi antar program.
- Controlling: pengawasan (supervisi) lemah dan jarang dilakukan serta pencatatan data
untuk monitoring program kurang akurat dan jarang dimanfaatkan.
c. Lingkungan
- Misalnya hambatan geografis (jalan rusak).
- Sarana transportasi yang kurang memadai.
- Iklim atau musim yang kurang menguntungkan.
- Masalah tingkat pendidikan yang rendah.
- Sikap dan budaya masyarakat yang tidak kondusif (tabu terhadap KB, salah persepsi,
mitos).
d. Output : cakupan imunisasi dasar , ANC, dan DHF.
e. Sasaran : bayi , balita , ibu , ibu hamil, dan masyarakat beresiko tinggi DHF.
f. Dampak : Cakupan berbagai program belum mencapai hasil
62
II. Menetapkan prioritas masalah
Hal yang penting dalam perencanaan adalah yang menyangkut proses perencanaan (process
of planning) yakni langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menyusun suatu rencana.
Untuk bidang kesehatan, langkah-langkah yang sering dipergunakan adalah mengikuti
prinsip lingkaran pemecahan masalah (problem solving cycle). Sebagai langkah pertama
dilakukan upaya menetapkan prioritas masalah. Masalah itu sendiri merupakan kesenjangan
antara apa yang ditemukan dengan apa yang semestinya.
Cara menetapkan prioritas masalah yang dianjurkan adalah memakai teknik kajian data, ada
beberapa kegiatan yang harus dilakukan. Kegiatan yang dimaksud adalah:
A. Melakukan pengumpulan data
Data adalah hasil dari suatu pengukuran dan ataupun pengamatan. Agar data yang
dikumpulkan tersebut dapat menghasilkan kesimpulan tentang prioritas masalah, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan :
Jenis data.
Jenis data yang harus dikumpulkan banyak macamnya. Sekedar pegangan dapat
digunakan pendapat Blum (1976) yang membedakan data kesehatan atas empat
macam yakni data tentang perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan keturunan.
Tetapi apabila waktu, tenaga, sarana, dan dana cukup tersedia, dapat dikumpulkan
data yang lebih lengkap. Data lengkap yang dimaksud adalah :
- Keadaan geografis. Mengenai luas dan batas-batas wilayah, keadaan tanah,
iklim dan cuaca, flora, dan fauna, peranannya dalam memberikan arahan
tentang ada atau tidaknya suatu masalah kesehatan. Data geografis juga perlu
untuk menetapkan prioritaas jalan keluar. Jika keadaan geografis tidak
menguntungkan misalnya tidak adaa sarana transportasi, perlu pelaayanan
kesehatan yang bersifat mobile.
- Pemerintahan. Data yang perlu dikumpulkan antara lain tentang bentuk
pemerintahan, peraturan perundang-undangan yang berlaku, anggaran
pendapatan dan belanja kesehatan, serta mekanisme dan proses pengambilan
keputusan.
63
- Kependudukan. Yang diperlukan antara lain tentang jumlah penyebaran
(susnan umur, jenis kelamin, dan geografis), angka pertambahan serta angka
kelahiran penduduk.
- Pendidikan. Meliputi tingkat pendidikan serta fasilits pendidikan yang tersedia.
- Pekerjaan dan mata pencaharian. Data yang dikumpulkam adalah tentang
pekerjaan dan mata pencaharian penduduk.
- Keadaan sosial budaya. Meliputi pandangan, kebiasaan, larangan dan anjuran
yang ada kaitan dengan bidang kesehatan.
- Kesehatan. Tentang kesehatan penduduk. Secara umum data kesehatan dapat
dibedakan atas tiga macam, yakni :
1. Data yang menunjuk status kesehatan penduduk, seperti angka kematian
(umum, bayi, ibu, dan penyakit tertentu), angka harapan hidup rata-rata,
angka penyakit, dan sebaigainya yang sejenis.
2. Data yang menunjuk keadaan kesehatan lingkungan pemukiman, seperti
persentase penduduk yang mempunyai air bersih, jamban, tempat
sampah, serta rumah yang sehat.
3. Data yang menunjuk keadaan fasilitas dan pelayanan kesehatan, seperti
rasio penduduk atau saran kesehatan, jumlah dokter, paramedis,
kunjungan, luas cakupan, serta jumlah dan pemakaian tempat tidur.
Sumber data
Tiga sumber data yang dikenal yakni sumber primer (wawancara langsung dengan
masyarakat), sekunder (laporan bulanan puskesmas dan kantor kecamatan), dan
tertier (hasil publikasi badan-badan resmi seperti Kantor Dinas Statistik).
Jumlah responden
Jika kemampuan tersedia dengan cukup, kumpulkan data dengan lengkap dalam arti
mencakup seluruh penduduk.
Cara mengambil sampel
Ada empat cara yang digunakan untuk mengambil sampel yaitu simple random
sampling, sistematis random sampling dan cluster random sampling sesuai dengan
kebutuhan penelitian.
Cara mengumpulkan data
64
Ada empat macam yakni wawancara, pemeriksaan, pengamatan (observasi), serta
peran serta (partisipasi).
B. Melakukan pengolahan data
Merupakan penyusunan data yang tersedia sedemikian rupa sehingga jelas sifat-sifat yang
dimilikinya. Cara pengolahan data secara umum dapat dibedakan atas tiga macam yakni
secara manual, mekanikal serta elektrikal.
C. Melakukan penyajian data
Menyajikan data yang telah diolah. Ada tiga cara penyajian data yang lazim digunakan
yakni secara tekstular, tubular, dan grafikal.
D. Memilih prioritas masalah
Hasil penyajian data akan menempilkan berbagai masalah oleh karena itu diperlukan
pemilihan proritas masalah. Ada banyak cara yang gunakan untuk menentukan prioritas
masalah dan yang dianjurkan adalah memakai criteria matrik. Criteria secara umum dapat
dibedakan atas tiga macam:
- Pentingnya masalah
Makin penting masalah makin diprioritaskan penyelesaiannya. Beberapa diantaranya
yang terpenting adalah besarnya masalah (prevalence), akibat yang ditimbulkan oleh
masalah (rate of increase), derajat keinginan masyarakat, keuntungan sosial karena
selesainya masalah, rasa prihatin masyarakat terhadap masalah, dan suasana politik.
- Kelayakan teknologi
Makin layak teknologi (penguasaan ilmu dan teknologi yang sesuai) yang tersedia
dan yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin diprioritaskan, masalah
tersebut.
- Sumber daya yang tersedia
Makin tersedianya sumber daya (tenaga, dana, dan sarana) yang dapat dipakai untuk
mengatasi masalah makin diprioritaskan masalah tersebut.
65
Yang dimaksud dengan masalah adalah terdapatnya kesenjangan (gap) antara harapan
dengan kenyataan. Dalam usaha mencapai visi puskesmas terdapat beberapa masalah yang
dihadapi sehingga menyebabkan program yang diselenggrakan tidak mencapai target yang
ditetapkan. Langkah awal yang harus dilakukan adalah menetapkan prioritas masalah. Kita
bisa menggunakan teknik non–scoring/ scoring. Teknik nonscoring meliputi brainstorming,
Delphi technique, dan Delbeqtechnique. Sedangkan teknik scoring kita lakukan dengan
kajian data yang diperoleh dari laporan bulanan puskesmas. Dalam pemilihan prioritas
(scoring) kita dapat melakukannya dengan menggunakan teknik kriteria matrik.
Misalnya pada kasus ditemukan cakupan ANC, imuniasi dan DHF yang belum memadai. Hal
ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antaranya akibat manajemen yang tidak efektif atau
pelaksanaan program yang tidak efisien.
Teknik Non-Scoring
1. Delphi Technique
Masalah-masalah didiskusikan oleh sekelompok orang yang mempunyai keahlian yang
sama. Melalui diskusi tersebut akan menghasilkan prioritas masalah yang disepakati
bersama. Pemilihan prioritas masalah dilakukan melalui pertemuan khusus. Setiap
peserta yang sama keahliannya dimintakan untuk mengemukakan beberapa masalah
pokok, masalah yang paling banyak dikemukakan adalah prioritas masalah yang dicari.
Caranya, antara lain:
1. Identifikasi masalah yang hendak/ perlu diselesaikan
2. Membuat kuesioner dan menetapkan peserta/para ahli yang dianggap mengetahui dan
menguasai permasalahan
3. Kuesioner dikirim kepada para ahli, kemudian menerima kembali jawaban kuesioner
yang berisikan ide dan alternatif solusi penyelesaian masalah
4. Pembentukan tim khusus untuk merangkum seluruh respon yang muncul dan
mengirim kembali hasil rangkuman kepada partisipan
5. Partisipan menelaah ulang hasil rangkuman, menetapkan skala prioritas/ memeringkat
alternatif solusi yang dianggap terbaik dan mengembalikan kepada pemimpin
kelompok/pembuatan keputusan
66
2. Delbeq Technique
Menetapkan prioritas masalah menggunakan teknik ini adalah melalui diskusi kelompok
namun peserta diskusi terdiri dari para peserta yang tidak sama keahliannya, maka
sebelumnya dijelaskan dahulu sehingga mereka mempunyai persepsi yang sama terhadap
masalah-masalah yang akan dibahas. Hasil diskusi ini adalah prioritas masalah yang
disepakati bersama. Caranya:
1. Peringkat masalah ditentukan oleh sekelompok ahli yang berjumlah antara 6 sampai 8
orang
2. Mula-mula dituliskan pada white board masalah apa yang akan ditentukan peringkat
prioritasnya
3. Kemudian masing-masing orang tersebut menuliskan peringkat urutan prioritas
untuk setiap masalah yang akan ditentukan prioritasnya
4. Penulisan tersebut dilakukan secara tertutup
5. Kemudian kertas dari masing-masing orang dikumpulkan dan hasilnya dituliskan di
belakang setiap masalah
6. Nilai peringat untuk setiap masalah dijumlahkan, jumlah paling kecil berarti
mendapat peringkat tinggi (prioritas tinggi).
Delbeque menyarankan dilakukan satu kali lagi pemberian peringkat tersebut, dengan
harapan masing-masing orang akan mempertimbangkan kembali peringkat yang
diberikan setelah mengetahui nilai rata-rata. Tidak ada diskusi dalam teknik ini, yaitu
untuk menghindari orang yang dominan mempengaruhi orang lain
3. Brainstorming
Menurut Morgan (Suprijanto, 2009:122), brainstorming adalah salah satu bentuk berpikir
kreatif sehingga pertimbangan memberikan jalan untuk berinisiatif kreatif. Peserta
didorong untuk mencurahkan semua ide yang timbul dari pikirannya dalam jangka waktu
tertentu berkenaan dengan beberapa masalah, dan tidak diminta untuk menilainya selama
curah pendapat berlangsung. Penilaian akan dilakukan pada periode berikutnya dimana
semua ide dipilih, dievaluasi dan mungkin diterapkan.
67
Teknik Scoring
1. Metode Bryant
Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi
1. Prevalence : Besarnya masalah yang dihadapi
2. Seriousness : Pengaruh buruk yang diakibatkan oleh suatu masalah dalam
masyarakat dan dilihat dari besarnya angka kesakitan dan angka
kematian akibat masalah kesehatan tersebut
3. Manageability : Kemampuan untuk mengelola dan berkaitan dengan sumber daya
4. Community concern : Sikap dan perasaan masyarakat terhadap masalah kesehatan
Parameter diletakkan pada baris dan masalah-masalah yang ingin dicari prioritasnya
diletakkan pada kolom. Kisaran skor yang diberikan adalah satu sampai lima yang
ditulis dari arah kiri ke kanan untuk tiap masalah. Kemudian dengan penjumlahan dari
arah atas ke bawah untuk masing-masing masalah dihitung nilai skor akhirnya.
Masalah dengan nilai tertinggi dapat dijadikan sebagai prioritas masalah. Tetapi
metode ini juga memiliki kelemahan, yaitu hasil yang didapat dari setiap masalah
terlalu berdekatan sehingga sulit untuk menentukan prioritas masalah yang akan
diambil.
2. Metode Matematik PAHO (Pan American Health Organization)
Disebut juga cara ekonometrik. Dalam metode ini parameter diletakkan pada kolom dan
dipergunakan kriteria untuk penilaian masalah yang akan dijadikan sebagai prioritas
masalah. Kriteria yang dipakai ialah:
1. Magnitude : Berapa banyak penduduk yang terkena masalah
2. Severity : Besarnya kerugian yang timbul yang ditunjukan dengan case fatality
rate masing-masing
3. Vulnerability : Menunjukan sejauh mana masalah tersebut
4. Community and political concern : Menunjukkan sejauh mana masalah tersebut
menjadi concern atau kegusaran masyarakat dan para politisi
5. Affordability : Menunjukan ada tidaknya dana yang tersedia
68
Parameter diletakkan pada baris atas dan masalah-masalah yang ingin dicari prioritasnya
diletakkan pada kolom. Pengisian dilakukan dari satu parameter ke parameter lain.
Hasilnya didapat dari perkalian parameter tersebut.
3. MCUA (Multiple Criteria Utility Assesment Method)
Pada metode ini parameter diletakkan pada baris dan harus ada kesepakatan mengenai
kriteria dan bobot yang akan digunakan. Metode ini memakai lima kriteria untuk
penilaian masalah tetapi masing-masing kriteria diberikan bobot penilaian dan dikalikan
dengan penilaian masalah yang ada. Cara untuk menentukan bobot dari masing-masing
kriteria dengan diskusi, argumentasi, dan justifikasi. Kriteria-kriteria metode ini meliputi:
Emergency: Kegawatan menimbulkan kesakitan atau kematian
Greetes member : Menimpa orang banyak, insiden/prevalensi
Expanding scope : Mempunyai ruang lingkup besar di luar kesehatan
Feasibility : Kemungkinan dapat/tidaknya dilakukan
Policy : Kebijakan pemerintah daerah /nasional
4. Metode Hanlon
1. Kelompok kriteria A = besarnya masalah
• Besarnya persentase penduduk yang menderita langsung karena penyakit tersebut
• Besarnya pengeluaran biaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut
• Besarnya kerugian lain yang diderita
2. Kelompok kriteria B = tingkat kegawatan masalah yaitu tingginya angka morbiditas
dan mortalitas, kecendrungannya dari waktu ke waktu
3. Kelompok kriteria C = kemudahan penanggulangan masalah dilihat dari
perbandingan antara perkiraan hasil atau manfaat penyelesaian masalah yang akan
diperoleh dengan sumber daya (biaya, sarana dan cara) untuk menyelesaikan masalah.
Skor 0-10 (sulit – mudah).
4. Kelompok kriteria D = Pearl faktor, dimana :
P = Propriatness (kesesuaian masalah dengan prioritas berbagai
kebijaksanaan / program / kegiatan instansi / organisasi terkait
E = Economic feasibility (kelayakan dari segi pembiayaan)
69
A = Acceptability (suatu penerimaan masyarakat dan instansi terkait / instansi
lainnya
R = Resource availability (ketersediaan sumber daya untuk memecahkan
masalah : tenaga, sarana / peralatan, waktu)
L = Legality (dukungan aspek hukum / perundang-undangan /
peraturan terkait seperti peraturan pemerintah/juklak/juknis/protap)
5. Metode Carl
Metode CARL merupakan metode yang cukup baru di kesehatan. Metode CARL juga
didasarkan pada serangkaian kriteria yang harus diberi skor 0 – 10.
C = Capability (ketersediaan sumber daya (dana, saran, dan peralatan)
A = Accessibility (kemudahan, masalah yang ada mudah diatasi atau tidak.
Kemudahan dapat didasarkan pada ketersediaan metode / cara / teknologi serta
penunjang pelaksana seperti peraturan)
R = Readiness (kesiapan dari tenaga pelaksana maupun kesiapan sasaran,
seperti keahlian atau kemampuan motivasi)
L = Leverage (seberapa besar pengaruh kriteria yang satu dengan yang lain
dalam pemecahan masalah yang dibahas)
6. Metode Reinke
Metode Reinke juga merupakan metode dengan mempergunakan skor. Nilai skor berkisar
1-5 atas serangkaian kriteria:
M = Magnitude of the problem (besarnya masalah yang dapat dilihat
dari % atau jumlah/kelompok yang terkena masalah, keterlibatan masyarakat serta
kepentingan instansi terkait
I = Importancy / kegawatan masalah (tingginya angka morbiditas dan
mortalitas serta kecendrungan dari waktu ke waktu)
V = Vulnerability (sensitif atau tidaknya pemecahan masalah dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sensitifitsnya dapat diketahui dari
perkiraan hasil (output) yang diperoleh dibandingkan dengan pengorbanan (input)
yang dipergunakan
70
C = Cost (biaya atau dana yang dipergunakan untuk melaksanakan
pemecahan masalah. Semakin besar biaya semakin kecil skornya
III. Menetapkan prioritas jalan keluar
A. Menyusun alternatif jalan keluar
Merupakan langkah yang pebting karena berkaitan dengan upaya memperluas
wawasan, yang apabila berhasil diwujudkan akan besar peranannya dalam membantu
kelancaran pelaksanaan jalan keluar. Langkah-langkahnya sebagai berikut: 2
a. Menentukan berbagai penyebab masalah
Dilakukan dengan mencurahkan pendapat (brain storming) dengan membahas data
yang telah dikumpulkan. Dengan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman
yang ada, serta dibantu oleh data yang tersedia, dapat disusun berbagai penyebab
masalah secara teoritis.
b. Memeriksa kebenaran penyebab masalah
Karena daftar penyebab masalah yang telah disusun baru bersifat teoritis, perlu
dilakukan pemeriksaan tentang kebenaran penyebab masalah (confirmation)
dengan melakukan pengumpulan data tambahan.
c. Mengubah penyebab masalah ke dalam bentuk kegiatan
Diusahakan untuk satu penyebab masalah tersusun satu kegiatan penyelesaian
masalah. Hasil yang diperoleh dari pekerjaan ini ialah tersusunnya alternative cara
penyelesaian masalah.
B. Memilih prioritas jalan keluar
Untuk dapat memilih prioritas jalan keluar, kita harus mempelajari dengan saksama
berbagai alternative yang tersedia. Cara yang dianjurkan adalah memakai teknik
criteria matrik. Ada dua criteria yang lazim dipergunakan yakni:
a. Efektivitas jalan keluar
Tetapkanlah nilai efektivitas untuk setiap alternative jalan keluar, yakni dengan
memberi angka 1 (paling tidak efektif) sampai dengan angka 5 (paling efektif).
Prioritas jalan keluar adalah yang nilainya paling tinggi. Untuk menentukan
efektivitas jalan keluar ada beberapa criteria tambahan yaitu:
71
- Besarnya masalah yang dapat diselesaikan
Makin besar masalah dapat diatasi, makin tinggi prioritas jalan keluar
tersebut.
- Pentingnya jalan keluar
Dikaitkan dengan kelanggengan selesainya masalah. Makin langgeng
selesainya masalah, makin penting jalan keluar tersebut.
- Sensitivitas jalan keluar
Makin cepat masalah teratasi, makin sensitive jalan keluar tersebut.
b. Efisiensi jalan keluar
Tetapkanlah nilai efisiensi untuk setiap alternative jalan keluar, yakni dengan
member angka 1 (paling tidak efisien) sampai dengan angka 5 (paling efisien).
Nilai efisiensi ini biasa dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk
melaksanakan jalan leluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien
jalan keluar tersebut.
C. Melakukan uji lapangan
Tujuan utama yang ingin dicapai bukan lagi mempermasalahkan jalan keluar yang
telah terpilih, melainkan hanya untuk menilai berbagai faktor penopang dan faktor
penghambat yang kiranya akan ditemukan, apabila jalan keluar tersebut dilaksanakan.
D. Memperbaiki prioritas jalan keluar
Memanfaatkan berbagai faltor penopang dan bersamaan dengan itu meniadakan faktor
penghambat yang ditemukan pada uji lapangan.
E. Menyusun uraian rencana prioritas jalan keluar
Menguraikan semua unsure rencana yang telah dikemukakan, sehingga dapat
dihasilkan suatu rencana yang lengkap.
IV. Setelah dipilih satu jalan keluar yang dipandang paling baik, maka selanjutnya dilakukan
penyusunan rencana kerja selengkapnya dari jalan keluar yang terpilih tersebut. Hasil dari
pekerjaan ini adalah sebuah rencana (plan), oleh karena itu berbagai ciri rencana yang telah
72
diuraikan harus terpenuhi. Rencana ini nantinya akan dipakai sebagai pedoman dalam
melaksanakan program yang ingin dilakukan
V. Selanjutnya laksanakan program tersebut sesuai dengan rencana yang telah disusun.
VI. Lakukanlah pengumpulan data yang diperlukan pada penilaian. Di sini data yang
dikumpulkan bersifat terbatas, yaitu sesuai dengan ruang lingkup program yang
dilaksanakan.
VII. Lakukanlah penilaian, yaitu melihat apakah tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak.
Ada 3 kemungkinan secara teoritis:
- Tujuan tercapai dengan memuaskan. Dalam keadaan yang seperti ini, pelaksanaan
program dapat diteruskan.
- Tujuan tercapai sebagian. Di sini perlu dicari kenapa hanya sebagian tujuan saja
yang tercapai. Jika telah ditemukan penyebabnya, lakukan penyesuaian-
penyesuaian (modifikasi) untuk kemudian dapat dilaksanakan kembali.
- Tujuan sama sekali tidak tercapai. Dalam keadaan seperti ini, mungkin masalah
yang ditetapkan tidak sesuai, oleh karena itu harus kembali kepada tahap
menetapkan masalah kesehatan atau mungkin data yang dikumpulkan tidak baik.
Jika disebabkan karena hal ini maka harus kembali ke tahap pengumpulan data
awal.
VIII. Evaluasi program.
Menurut Perhimpunan Kesehatan Masyarakat Amerika, evaluasi ialah suatu proses untuk
menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dan usaha pencapaian suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Proses tersebut mencakup kegiatan-kegiatan memformulasikan tujuan,
identifikasi kriteria yang tepat untuk digunakan mengukur keberhasilan, menentukan dan
menjelaskan derajat keberhasilan dan rekomendasi untuk kelanjutan aktivitas program.
Dari batasan-batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses atau kegiatan dan dalam
kegiataan evaluasi itu mencakup langkah-langkah :
73
1. Menetapkan atau memformulasikan tujuan evaluasi, yakni tentang apa yang akan
dievaluasi terhadap program yang dievaluasi.
2. Menetapkan kriteria yang akan digunakan dalam menentukan keberhasilan program
yang akan dievaluasi.
3. Menetapkan cara atau metode evaluasi yang akan digunakan.
4. Melaksanakan evaluasi, mengolah dan menganalisis data atau hasil pelaksanaan
evaluasi tersebut.
5. Menentukan keberhasilan program yang dievaluasi berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan tersebut serta memberikan penjelasan-penjelasan.
6. Menyusun rekomendasi atau saran-saran tindakan lebih lanjut terhadap program
berikutnya berdasarkan hasil evaluasi tersebut.
Dilihat dari implikasi hasil evaluasi bagi suatu program, dibedakan adanya jenis evaluasi,
yakni evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan untuk
mendiagnosis suatu program yang hasilnya digunakan untuk pengembangan atau perbaikan
program. Biasanya evaluasi formatif dilakukan pada proses program (program masih
berjalan).
Sedangkan evaluasi sumatif adalah suatu evaluasi yang dilakukan untuk menilai hasil akhir
dari suatu program. Biasanya evaluasi sumatif ini dilakukan pada waktu program telah
selesai (akhir program). Meskipun demikian pada praktek evaluasi program sekaligus
mencakup kedua tujuan tersebut.
Evaluasi suatu program kesehatan masyarakat dilakukan terhadap tiga hal, yakni evaluasi
terhadap proses pelaksanaan program, evaluasi terhadap hasil program dan evaluasi
terhadap dampak program.
1. Evaluasi proses ditujukan terhadap pelaksanaan program yang menyangkut
penggunaan sumber daya, seperti tenaga, dana, dan fasilitas lain.
2. Evaluasi hasil program ditujukan untuk menilai sejauh mana program tersebut
berhasil, yakni sejauh mana tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tercapai. Misalnya
meningkatnya cakupan imunisasi, meningkatnya ibu-ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya, dan sebagainya.
3. Evaluasi dampak program ditujukan untuk menilai sejauh mana program itu
mempunyai dampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Dampak program-
74
program kesehatan ini tercermin dari membaiknya atau meningkatnya indikator-
indikator kesehatan masyarakat. Misalnya menurunnya angka kematian bayi (IMR),
meningkatnya status gizi anak balita, menurunnya angka kematian ibu, dan
sebagainya.
Dalam program kesehatan masyarakat, disamping evaluasi juga dilakukan monitoring atau
pemantauan program. Monitoring dilakukan sejalan dengan evaluasi, dengan tujuan agar
kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan program tersebut berjalan
sesuai dengan yang direncanakan, baik waktunya maupun jenis kegiatannya.
Dalam monitoring tidak dilakukan penilaian seperti pada evaluasi tetapi hanya mengamati
dan mencatat. Apabila terjadi ketidaksesuaian antara kegiatan dengan yang direncanakan,
dilakukan koreksi. Demikian pula apabila terjadi ketidakcocokan antara penggunaan
sumber daya (biaya, tenaga, dan sarana) dengan yang direncanakan, dilakukan pembetulan.
Oleh sebab itu, dalam prakteknya monitoring atau pemantauan ini kadang-kadang
diidentikkan dengan evaluasi proses dari suatu program.
Pemberdayaan Mayarakat
Posyandu
Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas. Pelaksanaan pelayanan program
terpadu dilakukan di balai dusun, balai kelurahan, RW, dan sebagainya yang disebut dengan Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Posyandu antara lain:
KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), KB (Keluarga Berencana), P2M (Imunisasi dan Penanggulangan
Diare), dan Gizi (penimbangan balita). Sedangkan sasaran penduduk posyandu ialah ibu hamil,
ibu menyusui, pasangan usia subur (PUS), dan balita.
Tujuan
Program yandu merupakan strategi pemerintah dalam menurunkan angka kematian bayi
(Infant mortality- IMR), angka kelahiran (Birth Rate-BR), dan angka kematian ibu (Maternal
Mortality Rate-MMR). Turunnya IMR, BR, dan MMR di suatu wilayah merupakan standar
keberhasilan pelaksanaan program terpadu di wilayah tersebut.Untuk mempercepat penurunan
75
IMR, BR, dan MMR tsb,secara nasional diperlukan tumbuhnya peran serta masyarakat dalam
mengelola dan memanfaatkan posyandu karena posyandu adalah milik masyarakat.Untuk
mengembangkan peran serta masyarakat di posyandu dapat dilakukan dengan penerapan asas-
asas manajemen kesehatan.
Batasan
Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat, di mana masyarakat sekaligus dapat
memperoleh pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan. Kecuali itu, posyandu dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk tukar pendapat dan pengalaman serta bermusyawarah untuk
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.8
Sistem pelayanan terpadu porsyandu
Sistem merupakan suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu sama lain dan
mempunyai suatu tujuan yang jelas. Komponen suatu sistem terdiri dari input, proses, output,
effect, outcome, dan mekanisme umpan baliknya.
Input, yaitu sumber daya atau masukan yang dikonsumsikan oleh suatu system yang
disingkat dengan 6M yaitu: Man, Money ,Material, Mehod, Minute, dan Market. Man adalah
kelompok penduduk sasaran yang akan diberikan pelayanan, Staf Puskesmas, kecamatan,
kelurahan, kader, pemuka masyarakat, dan sebagainya. Money adalah dana yang dapat digali
dari swadaya masyarakat dan yang disubsidi oleh pemerintah. Material adalah vaksin,
jarumsuntik, KMS, alat timbang, obat-obatan, dan sebagainya. Metode adalah cara penyimpanan
vaksin,cara menimbang, cara memberikan vaksin, cara mencampur oralit, dan sebagainya.
Minute adalah waktu yang disediakan oleh staf Puskesmas untuk melaksanakan kegiatan yandu
dan waktu yang disediakan oleh ibu untuk suatu kegiatan dan sebagainya. Market adalah
masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti lokasi kegiatan yandu, transport,
system kepercayaan masyarakat di bidang kesehatan ,dan sebagainya.
76
Proses meliputi semua kegiatan pelayanan terpadu mulai dari persiapan bahan,tempat,dan
kelompok penduduk sasaran sampai dengan evaluasinya.
Output merupakan produk program yandu misalnya jumlah anak yang ditimbang, jumlah
bayi, dan ibu hamil yang diimunisasi, jumlah PUS yang diberikan pelayanan KB.
Effect. Terjadinya perubahan pengetahuan dan sikap perilaku kelompok masyarakat yang
dijadikan sasaran program.
Outcome merupakan dampak atau hasil tidak langsung dari proses suatu sistem seperti
penurunan angka kematian bayi, penurunan fertilitas PUS, dan jumlah balita kurang gizi.
Posyandu adalah untuk masyarakat dan perlu dikelola oleh masyarakat oleh kader-kader
di tingkat dusun. Pembinaan kader memang sukar dikerjakan oleh pihak puskesmas karena
merka bekerja secara sukarela sementara mereka dihadapkan pada pilihan bekerja untuk
menanggung kebutuhan ekonomi keluarga dan dirinya sendiri. Tetapi tanpa kader yang diambil
dari masyarakat setempat, konsep posyandu (dari dan untuk masyarakat) akan kabur. Ironisnya
sampai saat ini posyandu masih tetap dianggap perpanjangan tangan puskesmas. Tanpa staf
puskesmas, posyandu jarang sekali berjalan secara rutin. Ini adalah salah satu bentuk tantangan
pelaksanaan dan pengembangan posyandu terutama di kota-kota. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan untuk melaksanakan program yandu adalah:
Kembangkan mekanisme kerjasama yang positif antara dinas-dinas sektoral di tingkat
kecamatan, antara staf puskesmas sendiri dan organisasi formal dan informasi di tingkat
desa/ dusun.
Gali potensi masyarakat dan kembangkan kerjasama yang ada (terutama dengan PKK)
untuk dapat menunjang kegiatan program yandu.
Kembangkan motivasi kader dan staf kesehatan sebagai anggota kelompok kerja program
yandu, sehingga peran serta mereka yang optimal dapat ditingkatkan untuk menunjang
pelaksanaan program yandu. Dalam hal ini hubungan antar manusia (HAM) perlu terus
dibina dan dikembangkan untuk menjamin tumbuhnya suasana kerja yang harmonis dan
merangsang inisiatif anggota kelompok kerja posyandu.
77
Sistem lima meja
Dalam kegiatan posyandu (kegiatan pada hari buka posyandu), terdapat 5 meja yang
disiapkan, yaitu meja pertama sebagai tempat pendaftaran, meja kedua sebagai tempat
penimbangan balita, meja ketiga sebagai tempat pengisian KMS, meja keempat sebagai tempat
penyuluhan, dan meja kelima sebagai tempat pelayanan kesehatan.8
Penyuluhan kelompok biasanya dilakukan sebelum kegiatan di meja pertama atau
sesudah kegiatan di meja kelima. Kalau ada pemberian makanan tambahan, biasanya dilakukan
sesudah meja kelima.
Kegiatan posyandu
Posyandu diselenggarakan/dibuka sebulan sekali dengan memakai sistem lima meja.
Kegiatan posyandu terbagi atas: kegiatan pada hari buka posyandu dan kegiatan di luar hari buka
posyandu.8
Kegiatan pada hari buka posyandu
a. Pendaftaran dilakukan oleh kader di meja 1
b. Penimbangan bayi dan anak balita dilakukan oleh kader di meja 2
c. Pengisian KMS dilakukan oleh kader di meja 3
d. Penyuluhan kepada ibu hamil dan ibu-ibu yang memiliki bayi dan anak balita, serta ibu
usia subur dilakukan oleh kader di meja 4. Isi penyuluhan disesuaikan dengan
permasalahan ibu-ibu yang disuluh.
e. Pelayanan imunisasi, keluarga berencana (KB), pemeriksaan ibu hamil, dan gizi
dilakukan oleh petugas kesehatan atau petugas Keluarga Berencana (KB) di meja 5.
Ada sebagian posyandu yang juga memberikan makanan tambahan kepada bayi dan anak balita
secara swadaya. Pemberian makanan tambahan ini biasanya diberikan setelah kegiatan di meja 5.
78
Disamping itu pula ada posyandu yang melakukan penyuluhan kelompok sebelum di meja 1 atau
setelah meja 5.
Kegiatan utama dan kegiatan tambahan posyandu
1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
a. Ibu Hamil
Pelayanan yang diselenggarakan untuk ibu hamil mencakup:9
Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, pengukuran tekanan darah,
pemantauan nilai status gizi (pengukuran lingkar lengan atas), pemberian tablet besi,
pemberian imunisasi Tetanus Toksoid, pemeriksaan tinggi fundus uteri, temu wicara
(konseling) termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB
pasca pesalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dibantu oleh kader. Apabila
ditemukan kelainan, segera dirujuk ke Puskesmas.9
Untuk lebih meningkatkan kesehatan ibu hamil, perlu diselenggarakan Kelas Ibu Hamil
pada setiap hari buka Posyandu atau pada hari lain sesuai dengan kesepakatan. Kegiatan
Kelas Ibu Hamil antara lain sebagai berikut:9
1. Penyuluhan: tanda bahaya pada ibu hamil, persiapan persalinan, persiapan
menyusui, KB dan gizi
2. Perawatan payudara dan pemberian ASI
3. Peragaan pola makan ibu hamil
4. Peragaan perawatan bayi baru lahir
5. Senam ibu hamil
b. Ibu Nifas dan Menyusui
Pelayanan yang diselenggarakan untuk ibu nifas dan menyusui mencakup:9
79
1. Penyuluhan/konseling kesehatan, KB pasca persalinan, Inisiasi Menyusui Dini
(IMD) dan ASI eksklusif dan gizi.
2. Pemberian 2 kapsul vitamin A warna merah 200.000 SI (1 kapsul segera
setelah melahirkan dan 1 kapsul lagi 24 jam setelah pemberian kapsul
pertama).
3. Perawatan payudara.
4. Dilakukan pemeriksaan kesehatan umum, pemeriksaan payudara, pemeriksaan
tinggi fundus uteri (rahim) dan pemeriksaan lochia oleh petugas kesehatan.
Apabila ditemukan kelainan, segera dirujuk ke Puskesmas.
c. Bayi dan Anak balita
Pelayanan Posyandu untuk bayi dan anak balita harus dilaksanakan secara menyenangkan dan
memacu kreativitas tumbuh kembangnya.Jika ruang pelayanan memadai, pada waktu menunggu
giliran pelayanan, anak balita sebaiknya tidak digendong melainkan dilepas bermain sesama
balita dengan pengawasan orangtua di bawah bimbingan kader.Untuk itu perlu disediakan sarana
permainan yang sesuai dengan umur balita. Adapun jenis pelayanan yang diselenggarakan
Posyandu untuk balita mencakup:9
1. Penimbangan berat badan
2. Penentuan status pertumbuhan
3. Penyuluhan dan konseling
4. Jika ada tenaga kesehatan Puskesmas dilakukan pemeriksaan kesehatan,
imunisasi dan deteksi dini tumbuh kembang. Apabila ditemukan kelainan,
segera dirujuk ke Puskesmas.
2. Keluarga Berencana (KB)
Pelayanan KB di Posyandu yang dapat diberikan oleh kader adalah pemberian kondom dan
pemberian pil ulangan.Jika ada tenaga kesehatan Puskesmas dapat dilakukan pelayanan suntikan
80
KB dan konseling KB.Apabila tersedia ruangan dan peralatan yang menunjang serta tenaga yang
terlatih dapat dilakukan pemasangan IUD dan implant.9
3. Imunisasi
Pelayanan imunisasi di Posyandu hanya dilaksanakan oleh petugas Puskesmas.Jenis imunisasi
yang diberikan disesuaikan dengan program terhadap bayi dan ibu hamil.9
4. Gizi
Pelayanan gizi di Posyandu dilakukan oleh kader. Jenis pelayanan yang diberikan meliputi
penimbangan berat badan, deteksi dini gangguan pertumbuhan, penyuluhan dan konseling gizi,
pemberian makanan tambahan (PMT) lokal, suplementasi vitamin A dan tablet Fe. Apabila
ditemukan ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK), balita yang berat badannya tidak naik 2 kali
berturut-turut atau berada di bawah garis merah (BGM), kader wajib segera melakukan rujukan
ke Puskesmas atau Poskesdes.9
5. Pencegahan dan Penanggulangan Diare
Pencegahan diare di Posyandu dilakukan dengan penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).Penanggulangan diare di Posyandu dilakukan melalui pemberian oralit. Apabila
diperlukan penanganan lebih lanjut akan diberikan obat Zinc oleh petugas kesehatan.9
Dalam keadaan tertentu masyarakat dapat menambah kegiatan Posyandu dengan kegiatan
baru, di samping 5 (lima) kegiatan utama yang telah ditetapkan. Kegiatan baru tersebut misalnya:
perbaikan kesehatan lingkungan, pengendalian penyakit menular, dan berbagai program
pembangunan masyarakat desa lainnya. Posyandu yang seperti ini disebut dengan nama
Posyandu Terintegrasi. Penambahan kegiatan baru sebaiknya dilakukan apabila 5 kegiatan utama
telah dilaksanakan dengan baik dalam arti cakupannya di atas 50%, serta tersedia sumber daya
yang mendukung.Penetapan kegiatan baru harus mendapat dukungan dari seluruh masyarakat
81
yang tercermin dari hasil Survey Mawas Diri (SMD) dan disepakati bersama melalui forum
Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). Pada saat ini telah dikenal beberapa kegiatan tambahan
Posyandu yang telah diselenggarakan antara lain:9
1. Bina Keluarga Balita (BKB).
2. Kelas Ibu Hamil dan Balita.
3. Penemuan dini dan pengamatan penyakit potensial Kejadian Luar Biasa
(KLB), misalnya: Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), Demam Berdarah
Dengue (DBD), gizi buruk, Polio, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus
Neonatorum.
4. Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
5. Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat Desa (UKGMD).
6. Penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman (PAB – PLP).
7. Program diversifikasi pertanian tanaman pangan dan pemanfaatan
pekarangan, melalui Taman Obat Keluarga (TOGA).
8. Kegiatan ekonomi produktif, seperti: Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
(UP2K), usaha simpan pinjam.
9. Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), Tabungan Masyarakat (Tabumas).
10. Kesehatan lanjut usia melalui Bina Keluarga Lansia (BKL).
11. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
12. Pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil dan penyandang
masalah kesejahteraan sosial.
Kegiatan di luar hari buka posyandu
Kegiatan utama yang dilakukan pada hari-hari di luar hari buka posyandu adalah kegiatan
penyuluhan. Penyuluhan ini dapat dilakukan oleh kader, ibu-ibu PKK, atau anggota Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) kepada masyarakat, terutama ibu-ibu pengguna posyandu
(ibu hamil, ibu yang memiliki bayi atau anak balita, serta ibu usia subur). Kegiatan penyuluhan
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan cara kunjungan rumah, penyuluhan
bersama dengan waktu arisan, pengajian, pertemuan kelompok-kelompok PKK , dan lain-lain.8
82
Peranan kader dalam penyelenggaraan posyandu
Dalam penyelenggaraan posyandu, kader memiliki peranan yang besar, antara lain:8
1. Memberitahukan hari dan jam buka posyandu kepada para ibu pengguna posyandu
sebelum hari buka posyandu
2. Menyiapkan peralatan untuk penyelenggaraan posyandu sebelum posyandu dimulai,
seperti timbangan, buku-buku catatan, KMS, alat peraga untuk penyuluhan, dan lain-lain
3. Melakukan pendaftaran bayi, balita, ibu hamil, dan ibu usia subur yang hadir di posyandu
4. Melakukan penimbangan bayi dan balita
5. Mencatat hasil penimbangan ke dalam KMS
6. Melakukan penyuluhan perorangan kepada ibu-ibu di meja 4 dengan isi penyuluhan
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh ibu yang bersangkutan
7. Melakukan penyuluhan kelompok kepada ibu-ibu sebelum meja 1 atau setelah meja 5
(kalau diperlukan)
8. Menyiapkan dan membagikan makanan tambahan untuk bayi dan anak balita (bila ada)
9. Melakukan kunjungan rumah khususnya pada ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan
balita serta pasangan usia subur, untuk menyuluh dan mengingatkan agar datang ke
posyandu
Peranan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dalam pembentukan, pelaksanaan, dan
pembinaan posyandu
LKMD adalah wadah pembangunan di desa, sehingga pembentukan Posyandu dan
Pembinaan serta Pengembangan Posyandu juga merupakan lingkup tanggungjawabnya. Semua
kegiatan tersebut dilaksanakan dengan dasar musyawarah dan mufakat untuk selanjutnya
menggali swadaya dan menggerakkan peran serta masyarakat.8
83
Peranan LKMD dalam pembentukan posyandu
1. Mengusulkan, mendorong, dan membantu kepala desa/keluruhan untuk membentuk
posyandu di wilayahnya.
2. Memberitahu masyarakat tentang pentingnya posyandu serta cara pembentukannya.
3. Membentuk secara aktif pelaksanaan pengumpulan data dan musyawarah masyarakat
dalam rangka pembentukan posyandu, pemilihan kader, penentuan lokasi posyandu,
penentuan jadwal, dan lain-lain.
Peranan LKMD dalam pelaksanaan Posyandu
1. Meningkatkan, mendorong, dan memberi semangat agar kader selalu melaksanakan
tugasnya di posyandu dengan baik
2. Mengingatkan ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan anak balita, serta ibu usia subur
agar datang ke posyandu sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Peranan LKMD dalam pembinaan posyandu
1. Mengamati apakah penyelenggaraan posyandu telah dilakukan secara teratur setiap
bulan, sesuai dengan jadwal yang disepakati
2. Mengamati apakah posyandu telah melaksanakan pelayanan secara lengkap (KIA, KB,
gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare)
3. Memberikan saran-saran kepada kepala desa/kelurahan dan kader agar posyandu dapat
berfungsi secara optimal (agar buka secara teratur sesuai jadwal, melakukan pelayanan
secara lengkap dan dikunjungi oleh ibu hamil, ibu bayi, ibu anak balita, dan ibu usia
subur)
4. Bila dipandang perlu membantu mencarikan jalan agar posyandu dapat melakukan
pemberian makanan tambahan (PMT) kepada bayi dan anak balita secara swadaya
5. Mengingatkan kader untuk melakukan penyuluhan di rumah-rumah ibu (kunjungan
rumah)
84
6. Mencarikan jalan dan memberi saran agar kader dapat bertahan melaksanakan tugas dan
peranannya. Misalnya dengan memberikan penghargaan dll.
7. Membahas bersama kepala desa/kelurahan dan Tim Pembinaan LKMD Kecamatan
tentang cara-cara memecahkan masalah yang dihadapi posyandu dan pembinaan kader.
Pengawasan dan pengendalian (WASDAL) posyandu
Setelah fungsi pergerakan dan pelaksanaan program yandu, maka fungsi selanjutnya yang
dilakukan adalah fungsi pengawasan dan pengendalian. Dalam hal ini, pimpinan Puskesmas dan
koordinator program Yandu dapat mengevaluasi keberhasilan program dengan menggunakan
Rencana Kerja Operasional sebagai tolak ukur/ standar dan membandingkan hasil kegiatan
program di masing-masing posyandu. Aspek-aspek yang diawasi selama program yandu di
lapangan adalah:
Keterampilan kader melakukan penimbangan program yandu
Membuat pencatatan program yandu
Membuat pelaporan program yandu
Untuk tanggung jawab pengawasan program yandu tetap di tangan pimpinan puskesmas tetapi
wewenang pengawasan di lapangan dilimpahkan pada koordinator program.
Beberapa langkah penting dalam fungsi Wasdal program yandu ini adalah:
1. Menilai apakah ada kesenjangan antara target dan standard dengan cakupan dan kemampuan
staf dan kader untuk melaksanakan tugas-tugasnya (aspek pengawasan).
2. Analisis faktor-faktor penybab timbulnya kesenjangan tersebut.
3. Merencanakan dan melaksanakan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan yang
muncul berdasarkan faktor2 penyebab yang sudah diidentifikasi (aspek pengendalian).
Pengawasan dan pengendalian program yandu dilaksanakan secara rutin dengan
menggunakan tolok ukur keberhasilan program atau RKO sebagai pedoman kerja dan hasilnya
85
akan dapat digunakan sebagai umpan balik atau informasi untuk memperbaiki proses
perencanaan program yandu. Pimpinan puskesmas hendaknya selalu mengadakan pemantauan
secara menyeluruh terhadap pelaksanaan program dengan menggunakan laporan staf, analisis
cakupan program, laporan masyarakat dan hasil observasi atau supervisi di lapangan sebagai
bahan penilaian.
Penilaian keberhasilan program posyandu
Pada penjelasan fungsi sebelumnya bahwa untuk mengetahui keberhasilan program
posyandu, kajian output (cakupan) masing-masing program yang dibandingkan dengan targetnya
adalah salah satu cara yang dapat dipakai sebagai bahan penilaian.
Cakupan program adalah hasil langsung (output) kegiatan program yandu yang dapat
dapat dihitung segera setelah pelaksanaan kegiatan program. Perhitungan cakupan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan statistik sederhana yaitu jumlah orang yang mendapatkan
pelayanan dibagi dengan jumlah penduduk sasaran setiap program. Jumlah penduduk sasaran
dapat dihitung secara langsung oleh staf puskesmas melalui pencatatan data jumlah penduduk
sasaran yang ada di Desa atau dusun. Penduduk sasaran program yandu lebih sering dihitung
berdasarkan perkiraan (estimasi). Estimasinya dtetapkan oleh dinas kesehatan tingkat I atau
Kanwil Depkes. Jumlah penduduk sasaran nyata sering jauh lebih rendah dari jumlah penduduk
yang dihitung dengan menggunakan estimasi sehingga hasil analisis cakupan program di
puskesmas selalu jauh lebih rendah. Atas dasar perbedaan antara jumlah penduduk sasaran yang
dicari langsung (riil) dengan yang diperkirakan (estimasi), perhitungan cakupan dengan
menggunakan kedua jenis penduduk sasaran tersebut sebagai pembaginya,akan memberikan
hasil yang berbeda.
Dalam usaha meningkatkan effiensi dan efektivitas penatalaksanaan program posyandu,
staff puskesmas perlu dilatih keterampilan dan ditingkatkan kepekaannya mengkaji masalah
program dan masalah kesehatan masyarakat yang berkembang di wilayah binaannya.
Keterampilan seperti ini dapat dilatih secara langsung pada saat supervisi. Mereka juga
diarahkan untuk mencari upaya pemecahan masalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan
86
dengan melibatkan tokoh dan kelompok masyarakat setempat. Semua kegiatan tersebut diatas
adalah bagian dari proses manajemen program yandu.
Pengamatan terhadap persiapan pelaksanaan program yandu, kegiatan di lapangan dan
evaluasinya terhadap laporan program merupakan cara terbaik untuk mengetahui penerapan
manajemen Program Yandu di Puskesmas.
Desa Siaga
Desa siaga adalah desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk
mencegah dan mengatasi masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) secara
mandiri.Konsep di sini serupa dengan desa,kelurahan,nagari,dan lain-lain yang sepadan.
Tujuan dibentuknya desa siaga:
1. Tujuan umum. Terwujudnya desa dengan masyarakat yang sehat,peduli,dan tanggap terhadap
masalah-masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan di desanya).
2. Tujuan khusus
a. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya kesehatan
dan menerapkan perilaku hidup sehat.
b. Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk menolong dirinya sendiri
di bidang kesehatan.
c. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa terhadap risiko dan
bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana,wabah penyakit,dan
lainnya).
d. Meningkatnya kesehatan lingkungan di desa.
Sasaran dalam pengembangan Desa Siaga
1. Pihak-pihak yang dapat memengaruhi individu dan keluarga,yaitu tokoh masyarakat,lembaga
swadaya masyarakat (LSM),kader,dan media massa.
2. Pihak-pihak yang dapat memberi dukungan atau bantuan,yaitu pejabat atau dunia usaha.
3. Semua individu dan keluarga di desa
87
Semua sasaran di atas diharapkan dapat lebih mandiri dalam mengatasi masalah-maslaah
kesehatan.Untuk menuju Desa Siaga,ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi,yaitu desa
tersebut minimal mempunyai pos kesehatan desa (poskesdes).
Indikator keberhasilan pengembangan desa siaga
1. Indikator masukan (input),seperti ada/tidaknya forum masyarakat desa,poskesdes atau
sarananya,tenaga kesehatan,dan UKBM lain.
2. Indikator proses (process),seperti frekuensi pertemuan masyarakat desa,ada atau tidaknya
kunjungan rumah kadarzi dan PHBS,serta berfungsi atau tidaknya Poskesdes,UKBM yang
ada,sistem kesiapsiagaan dan penanggulangan kegawatdaruratan bencana,dan sistem
surveilans (pengamatan dan pelaporan).
3. Indikator pengeluaran (output),seperti cakupan pelayanan kesehatan Poskesdes, pelayanan
UKBM yang ada,rumah tangga yang mendapat kunjungan rumah untuk kadarzi dan
PHBS,serta jumlah kasus kegawatdaruratan dan KLB yang dilaporkan atau diatasi.
4. Indikator dampak (outcome),seperti jumlah jiwa yang menderita sakit (angka kesakitan kasar)
dan gangguan jiwa,jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia,juga jumlah bayi dan balita
yang meninggal dunia serta menderita gizi buruk.
Pelayanan Promotif
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri, serta mampu berperan serta secara aktif , sesuai sosial budaya setempat dan di dukung
oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Upaya promosi kesehatan dalam pelayanan keperawatan meliputi :
1. Upaya Promotif.
Adalah upaya promosi kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan status/ derajad
kesehatan yang optimal.Sasarannya adalah kelompok orang sehat.Tujuan upaya promotif
adalah agar masyarakat mampu meningkatkan kesehatannya, kelompok orang sehat
88
meningkat dan kelompok orang sakit menurun. Bentuk kegiatannya adalah pendidikan
kesehatan tentang cara memelihara kesehatan. Contoh :
Memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat tentang :
Kehamilan, persalinan dan nifas
pentingnya ASI eksklusif, imunisasi dan lain – lainMelakukan penggerakan dan
pemberdayaan masyarakat sekaligus memberikan pemahaman bahwa kesehatan adalah
juga tanggung jawab masyarakat. Misalnya pengadaan transportasi, donor darah
2. Upaya Preventif
Adalah upaya promosi kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit.Sasarannya adalah
kelompok orang resiko tinggi.Tujuannya untuk mencegah kelompok resiko tinggi agar tidak
jatuh/ menjadi sakit (primary prevention). Bentuk kegiatannya adalah imunisasi, pemeriksaan
antenatal care, postnatal care, perinatal dan neonatal. Contoh :
Memberikan imunisasi tetanus toksoid (TT) 2x sebelum kehamilan 8 bulan
Memberikan imunisasi pada bayi sebelum berumur 1 tahun agar terlindung dari bahaya
penyakit TBC, Hepatitis B, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Campak
3. Upaya Kuratif
Adalah upaya promosi kesehatan untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah melalui
pengobatan.Sasarannya adalah kelompok orang sakit (pasien) terutama penyakit
kronis.Tujuannya kelompok ini mampu mencegah penyakit tersebut tidak lebih parah
(secondary prevention).Bentuk kegiatannya adalah pengobatan. Contoh :
Memberikan pengobatan pada ibu, bayi dan balita serta masyarakat dengan kasus -
kasus ringan / sederhana sesuai dengan kewenangan
Memberikan pengobatan pada masyarakat atas instruksi dokter
89
4. Upaya Rehabilitatif
Adalah upaya promosi kesehatan untuk memelihara dan memulihkan kondisi/ mencegah
kecacatan.Sasarannya adalah kelompok orang yang baru sembuh dari penyakit.Tujuannya
adalah pemulihan dan pencegahan kecacatan (tertiary prevention).
Berikut adalah contoh upaya rehabilitatif untuk ibu yang sedang hamil,
Membimbing klien / ibu nifas dalam proses involusi uteri sekaligus melakukan penilaian
apakah uterus sudah kembali pada keadaan normal
Membimbing klien / ibu nifas dalam melakukan senam nifas.
Pencapaian Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indicator
Cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperolehpelayanan
antenatal pertama kali, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satuwilayah kerja pada kurun
waktu satu tahun. Sedangkan Cakupan K4 adalah jumlah ibuhamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit4 kali sesuai jadwal yang dianjurkan,
dibandingkan sasaran ibu hamil di satu wilayahkerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator
tersebut memperlihatkan akses pelayanankesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu
hamil dalam memeriksakankehamilannya ke tenaga kesehatan.10
Gambar 3. Cakupan Pelayanan Ibu Hamil K1 dan K4 Di Indonesia.
Pada Gambar 3 di atas nampak adanya kecenderungan peningkatan cakupan K1
dancakupan K4 mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2012. Hal ini menunjukkansemakin
90
membaiknya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil yangdiberikan oleh
tenaga kesehatan.10
Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan
untuksemakin mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada
masyarakathingga ke pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal.
Dari segi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan, hingga Desember 2012, tercatat 9.510
Puskesmas di seluruh Indonesia. Dengan demikian rasio Puskesmas terhadap30.000 penduduk
sudah mencapai rasio ideal 1:30.000 penduduk. Demikian pula denganUpaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti Poskesdes dan Posyandu.Sampai dengan tahun
2012, tercatat terdapat 54.142 Poskesdes yang beroperasi dan276.392 Posyandu di
Indonesia.Upaya meningkatkan cakupan K4 juga makin diperkuat dengan telah
dikembangkannyaKelas Ibu Hamil. Sampai saat ini telah terdapat 7.074 Puskesmas yang
melaksanakandan mengembangkan Kelas Ibu Hamil di wilayah kerjanya. Kelas Ibu Hamil
akanmeningkatkan keinginan di kalangan ibu hamil dan keluarganya, denganmeningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil dan keluarganya dalammemperoleh pelayanan
kesehatan ibu secara paripurna.10
Adanya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan
diluncurkannyaJaminan Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 juga semakin bersinergi dalam
berkontribusi meningkatkan cakupan K4. BOK dapat dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung,
seperti pendataan, pelayanan di Posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, serta
kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu Jampersal mendukung paket pelayanan antenatal,
termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atausweeping. Semakin kuatnya kerja sama
dan sinergi berbagai program yang dilakukan olehPemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat termasuk sektor swasta diharapkanmampu mendorong tercapainya target cakupan
K4.10
91
Pencapaian Program Pemerintah
Salah satu upaya masif pemerintah untuk menurunkan AKI adalah Program penempatan
bidan di desa, yang telah mulai dilaksanakan sejak tahun 1990-an. Program ini bertujuan untuk
mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir terutama
pada saat kehamilan dan persalinan. Namun demikian, oleh karena pendidikan Bidan dilakukan
dalam waktu yang pendek, lebih kurang 54.000 dalam 6 tahun, kualitas sebagian Bidan masih
perlu ditingkatkan agar memenuhi standar kompetensi. Berdasarkan laporan rutin kesehatan ibu
dari dinkes provinsi tahun 2011, sampai saat ini tercatat ada 66.442 bidan yang bertugas di desa,
namun hanya sekitar 54.369 orang, atau82%, yang tinggal di desa. Selain itu kemampuan bidan
di desa dalam memberikan pertolongan persalinan sesuai standar terkendala dengan sarana
tempat tinggal yang bergabung menjadi Poskesdes. Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2011menunjukkan bahwa jumlah Poskesdes pada tahun 2011 baru mencapai 53.152 Poskesdes.
Selain itu jumlah bidan desa yang telah mendapatkan pelatihan Asuhan Persalinan Normal
(APN) baru mencapai 35.367 orang (52,6%). APN merupakan pelatihan persalinan yang salah
satu komponennya adalah manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah
sebagianperdarahan pasca-salin dan penggunaan Partograf untuk mendeteksi masalah dalam
proses persalinan.11
Oleh karena tidak semua desa mempunyai Bidan dan hanya separo Bidan telah dilatih
agar mempunyai keterampilan yang memadai, hal ini memberikan alasan bahwa
pertolonganpersalinan yang memenuhi standar dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
(PuskesmasPerawatan atau Puskesmas PONED). Persalinan di fasilitas kesehatan memberikan
beberapa kelebihan yaitu: tenaga kesehatan tidak sendirian menghadapi persalinan, terutama bila
terjadi komplikasi, karena ada tenaga lebih dari satu orang maka monitoring pasien dapat
dilakukan dengan lebih intensif secara bergantian; mengatasi kekurangan Bidan karena dapat
dilakukan rotasi penugasan di fasilitas kesehatan; karena bukan di rumah pasien maka tekanan
keluarga dan kondisi rumah pasien yang kurang kondusif bagi Bidan dapat dihindarkan,
kelengkapan alat dan obat di fasilitas kesehatan lebih terjamin, dan biasanya fasilitas kesehatan
berada di lokasi yang lebih mudah untuk mencapaiRS.11
92
Terjadinya kematian ibu dan bayi baru lahir sangat tergantung dari kecepatan dan
ketepatan tindakan pada saat kegawat daruratan terjadi. Keberadaan Puskesmas mampu PONED
adalah salah satu jawaban untuk mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kebidanan
dan bayi baru lahir untuk mencegah komplikasi dan/atau mendapatkan pelayanan pertama saat
terjadi kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru lahir, dengan persyaratan pelayanan yang
diberikan memenuhi standar pelayanan yang adekuat. Namun demikian, cakupan dankualitas
pelayanan dasar tampaknya masih perlu ditingkatkan. Dari data Risfaskes 2011didapatkan fakta
bahwa 241 kabupaten di Indonesia (60 %) belum mempunyai 4 buah Puskesmas PONED per
kabupaten seperti yang dipersyaratkan. Hanya di 69,7% Puskesmas tersedia alat pemeriksaan
Haemoglobin dan hanya di 42,6% puskesmas PONED tersedia MgSO4, sementara perdarahan
dan Eklampsia merupakan dua penyebab kematian terbanyak. Dari seluruh Puskesmas
perawatan, termasuk PONED, hanya 76,5% Puskesmas perawatan yang mempunyai alat
transportasi (ambulans atau perahu motor). Sebagian besar kegawatdaruratan kebidanan dan bayi
baru lahir bisa ditangani di fasilitas kesehatan dasar dengan teknologi yang sederhana, sehingga
dengan memperbaiki kualitas penanganan gawatdarurat kebidanan dan bayi baru lahir di
puskesmas seharusnya memberikan kontribusi yangcukup besar untuk pencegahan kematian ibu
dan bayi baru lahir.11
Rumah sakit sebagai tempat rujukan akhir kasus kebidanan dan bayi baru lahir
memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, karena sekitar 5-
15%kasus komplikasi membutuhkan tindakan yang hanya bisa dilakukan di rumah sakit
sepertiseksio sesaria dan transfusi darah. Risfaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 7,6%
RSpemerintah yang bisa memenuhi 17 kriteria RS mampu PONEK 24 jam 7 hari seminggu
(24/7). Kekurangan sarana dan retensi Dokter sepsialis Obstetri dan Ginekologi menjadi
penyebab utama ketidak mampuan sebuah RS menyediakan PONEK 24/7.11
Salah satu keberhasilan pencegahan kematian ibu terletak pada ketepatan pengambilan
keputusan pada saat terjadinya komplikasi. Hal ini bisa terjadi apabila keluarga mempunyai
pengetahuan dasar yang baik tentang kehamilan dan persalinan sehingga mereka bisa menyusun
perencanaan persalinan dan kesiapan menghadapi komplikasi sedini mungkin. Hasil Riskesdas
2010 menunjukkan bahwa sekitar 45 % keluarga yang mengaku mendapat penjelasan tanda
bahaya kehamilan saat ANC. Hal ini diperkuat dengan hasil Asesmen Kualitas Pelayanan
93
Maternal tahun 2012 yang menunjukkan bahwa hanya 24 % RS dan 45 % Puskesmas yang
melakukan konseling dan edukasi sesuai standar pada saat ANC. Kedua hal ini menunjukkan
bahwa peran tenaga kesehatan untuk memberikan informasi danadvokasi kepada ibu dan
keluarga pada saat ANC masih lemah sehingga pengetahuan keluarga dan masyarakat untuk
membuat perencanaan persalinan juga rendah.11
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang mulai
diperkenalkan tahun 2007 telah diimplementasikan di 63.000 desa di seluruh Indonesia pada
tahun 2011. Pelaksanaan P4K di desa – desa tersebut perlu dipastikan agar mampu membantu
keluarga membuat perencanaan persalinan dan membantu mewujudkan rencana itu dengan
baiktepat pada waktunya.Kegiatan lain sebelum Program P4K yang melibatkan masyarakat
adalah Gerakan Sayang Ibu(GSI) yang populer pada tahun 2000-an. Sayangnya akhir-akhir ini
kegiatan tersebuttelahmeredup, padahal GSI dirasakan cukup mampu mengangkat isu kesehatan
ibu di masyarakatkarena meningkatkan kepedulian para pengambil keputusan di semua tingkat
pemerintahan.Integrasi penguatan kembali P4K dengan Desa Siaga dan GSI merupakan salah
satu solusipemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam kesehatan ibu.11
Rencana Aksi Nasional 2013-2015
Tujuan dari RAN adalah penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir di
Indonesia. RAN dilaksanakan dalam konteks desentralisasi dalam bentuk Rencana Aksi Daerah
(RAD) yang menjamin integrasi yang mantap dalam perencanaan pembangunan kesehatan serta
proses alokasi anggaran, dengan fokus pada pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahirsesuai
standar, cost-effective dan berdasarkan bukti pada semua tingkat pelayanan dan rujukan
kesehatan baik di sektor pemerintah maupun swasta.11
Tiga tantangan utama percepatan penurunan AKI adalah masih kurang optimalnya akses
terhadap pelayanan di fasilitas kesehatan yang berkualitas, terbatasnya sumber daya strategis
untuk kesehatan ibu dan neonatal, serta rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang kesehatan ibu. Tiga tantangan utama ini yang kemudian mendasari penentuan tigastrategi
dan pemilihan program utama.11
94
Strategi yang digunakan dalam mencapai target AKI tahun 2015 adalah peningkatan
cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu. Bukti – bukti sangat kuat menunjukkan bahwa
keselamatan nyawa ibu hamil, bersalindan nifas sangat dipengaruhi oleh aksesnya setiap saat
terhadap pelayanan kebidanan yang berkualitas, terutama karena setiap kehamilan dan persalinan
mempunyai resiko mengalami komplikasi yang mengancam jiwa. Konsep pelayanan kebidanan
berkesinambungan mendasari sangat pentingnya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan,
sedemikian rupa sehingga setiap ibu hamil dan bersalin yang mengalami komplikasi mempunyai
akses ke pelayanan kesehatan berkualitas secara tepat waktu dan tepat guna. Pelayanan
berkesinambungan ini terutama sangat penting pada periode proses persalinan dan dalam 24 jam
pertama pasca-salin oleh karena di dalam waktu yang sangat pendek tersebut sebagian besar
kematian ibu terjadi. Akses terhadap pelayanan untuk kasus-kasus tertentu yang dapat
memperburuk kondisiibu hamil, bersalin dan nifas, dan kasus-kasus yang mempunyai implikasi
kesehatan dan sosial yang luas di masa mendatang, yaitu Anemia, Malaria di daerah
endemis,HIV/AIDS, Asuhan Paska Keguguran dan kehamilan pada remaja, sangat
perlumendapatkan perhatian.11
Kedua, Peningkatan peran Pemerintah Daerah terhadap peraturan yang dapat mendukung
secara efektif pelaksanaan program. Sistem pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sistem
pelayanan publik lainnyayang pengaturannya dalam beberapa aspek sangat ditentukan oleh
kebijakan dan peraturan daerah (PERDA), seperti penyediaan dan penempatan tenaga kesehatan
dan tenaga penunjang kesehatan, serta penyediaan sarana dan prasarana kesehatan.Tenaga
kesehatan merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program pelayanankesehatan. Oleh karena
itu kebijakan penempatan tenaga kesehatan mempunyai posisiyang sangat strategis sehingga
perlu diatur secara jelas dan tegas. Kebijakan perlu dilengkapi dengan penerapan reward dan
punishment yang jelas baik terhadap tenaga spesialis, dokter, bidan, dan tenaga terkait kesehatan
lainnya. Oleh karena hasil pelayanan kesehatan yang optimal sangat dipengaruhi oleh kualitas
pelayanan, maka penjaminan kompetensi tenaga kesehatan perlu mendapatkan perhatian, melalui
berbagai upaya yang meliputi pendidikan yang adekuat, pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi tenaga kesehatan yang telah bekerja, penerapan kewenangan tenaga kesehatan yang
sesuai, sertifikasi tenaga dan fasilitas kesehatan, pemberian ijin praktek tenagakesehatan dan
upaya audit pelayanan terhadap tenaga kesehatan maupun fasilitaskesehatan. Peran PEMDA dan
95
Pemerintah Pusat dalam pengaturan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan sangat
diharapkan untuk dapat berfungsi dengan efektif.11
Ketersediaan tenaga yang kompeten saja tidak cukup tanpa didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai, termasuk ketersediaan darah 24/7. Perlu dilakukan koordinasi yang
baik antara UTD RSUD dengan PMI, UTD RS yang lebih tinggi (provinsi) dan UTD RS swasta
dalam penyediaan darah untuk pasien.11
Penguatan sistem rujukan perlu mendapatkan dukungan yang kuat dari PEMDA
danpemangku kepentingan lainnya, sedemikian rupa, sehingga pasien yang dirujuk segera
mendapatkan pertolongan. Dukungan sangat diperlukan mengingat proses rujukan memerlukan
keterlibatan berbagai pihak yaitu masyarakat, tenaga danfasilitas kesehatan di tingkat pelayanan
kesehatan dasar, Rumah Sakit (pemerintahmaupun swasta) termasuk UTD RS, dan PMI. Perlu
dipertimbangkan upaya-upaya regionalisasi daerah yang disesuaikan dengan kondisi daerah
masing-masing, agarada kejelasan dalam tujuan tempat rujukan. Upaya regionalisasi tersebut
antara lain klaster pulau, klaster daerah pantai, klaster wilayah kota dengan kabupatenterdekat,
dsb.Untuk hal ini, dukungan melalui Peraturan Gubernur mungkin dapat membantu
mempermudah upaya regionalisasi rujukan.11
Ketiga, Pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Pengaturan kehamilan dan persalinan
seharusnya merupakan keputusan yang dibuatbersama-sama antara seorang calon ibu dengan
suami dan keluarganya, bukanmerupakan keputusan yang tidak diinginkan oleh ibu, baik oleh
karena alasan kesehatan ataupun alasan-alasan kesiapan lainnya. Keluarga perlu mempunyai
pengertian bahwasetiap kehamilan harus merupakan kehamilan yang diinginkan oleh ibunya,
termasuk kapan kehamilan dikehendaki dan berapa jumlah anak yang diinginkan.Selain itu perlu
dilakukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan sikap keluarga dan masyarakat pada
umumnya mengenai pentingnya memahami bahwa setiap kehamilan beresiko mengalami
komplikasi yang mengancam jiwa, oleh karenanya perlu melakukan perencanaan persalinan
dengan baik dan perencanaan untuk melakukan pencegahan dan pencarian pertolongan segera
bila komplikasi terjadi seperti, kesiapan transportasi, dana, dan calon donor darah.11
Program Utama terpilih merupakan program yang dianggap akan mempunyai daya ungkit
yang besar dalam upaya percepatan penurunan AKI oleh karena menjamin tersedianyapelayanan
96
berkualitas yang dapat diakses setiap saat, yang meliputi penyediaan pelayanan KIA di tingkat
desa sesuai standar, penyediaan fasyankes di tingkat dasar yang mampu memberikan pertolongan
persalinan sesuai standar selama 24 jam 7 hr / mgg, penjaminan seluruh Puskesmas Perawatan,
PONED dan RS PONEK 24 jam 7 hari / mggberfungsi sesuai standar, pelaksanaan rujukan
efektif pada kasus komplikasi, penguatan pemdaKabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi
program kesehatan, pelaksanaan kemitraan lintas sektor dan swasta, dan peningkatan perubahan
perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui pemahanandan pelaksanaan P4K serta
Posyandu.11
Dalam rangka penjaminan kompetensi Bidan di desa maka perlu dilakukan beberapa hal,
meliputi penyediaan sarana pelayanan di desa (Poskesdes) di lokasi dimana akses terhadap
pelayanan yang lebih lengkap belum dapat dipenuhi. Perlu kejelasan mengenai fungsi Poskesdes,
sesuai dengan kondisi daerah masing-masing dengan cara penyediaan sarana pelayanan di
Poskesdes, dan penyediaan Bidan Kit, termasuk alat pemeriksaan Hb. Kedua, meningkatkan
keterampilan bidan dalam pertolongan persalinan dan pemeriksaan antenatal care terpadu,
melalui pelatihan APN bagi Bidan di desa yang di dalam kurikulum pendidikannya belum
menyertakan komponen seperti didalam APN dan bagi Bidan yang kompetensinya belum
memenuhi standar, pelatihan ANC terpadu, pelatihan untuk bidan dalam memberikan konseling
dan edukasi kepada masyarakat tentang kesehatan dan gizi ibu dan bayi, sehingga bidan dapat
lebih efektif dalam mengubah sikap masyarakat agar lebih waspada dalam menyikapi kehamilan
dan dapat lebih siaga ketika terjadi komplikasi. Program pelatihan harus dilengkapi dengan
komponen Evaluasi Pasca Pelatihan serta monitoring secara periodik, contohnya melalui self
assessment. Ketiga, menjaga/meningkatkan mutu pelayanan KIA melalui peningkatan kegiatan
supervisi fasilitatif terhadap bidan di desa.11
Dalam rangka penjaminan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan mampu pertolongan
persalinan 24/7 sesuai standar diperlukan langkah berikut, meningkatkan deteksi dan pertolongan
pertama kasus komplikasi dan rujukanefektif, dengan meningkatkan jumlah Puskesmas yang
mampu memberikan pertolonganpersalinan sesuai standar yang berfungsi 24/7, melakukan ANC
terpadu, termasuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), dan melakukan skrining
pemeriksaan Hemoglobin bagi setiap ibu yang memeriksakan kandungannya ke fasilitas
kesehatan. Kedua, meningkatkan ketersediaan fasilitas yang berfungsi memberikan pelayanan
97
penanganan komplikasi, dengan meningkatkan jumlah Puskesmas yang berfungsi PONED 24/7,
dan membentuk Puskesmas mampu PONED yang berfungsi 24/7 bagi daerah terpencildan
kepulauan, dengan perhatian dan bimbingan khusus dari RS PONEK, agarfungsi Puskesmas
PONED dan rujukan yang efektif dapat terselenggara denganbaik.11
Ketiga, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan RS rujukan baik yang berada
diwilayahnya maupun di wilayah lainnya (RS provinsi, RS di wilayah perbatasan, RSmiliter, RS
swasta) untuk memperluas akses rujukan kasus komplikasi di RS. Keempat, mengoptimalkan
pemanfaatan asuransi kesehatan bagi masyarakat yang berhak(Jampersal, SJSN). Kelima,
meningkatan kualitas pelayanan, melalui peningkatan keterampilan tenaga kesehatan, RS
PONEK melakukan pembinaan ke Puskesmas PONED, melaksanakan Audit Maternal Perinatal
(AMP) pada kasus kematian ibu dan bayibaru lahir yang disertai dengan tindak lanjutnya,
melaksanakan rujukan balikagar perujuk mendapatkanpembelajaran dari hasil tindakannya dan
dapat meneruskan pemantauan pasien pasca rawat, dan melakukan supervisi fasilitatif terhadap
pelayanan PONED yang dilaksanakan olehBidan koordinator kabupaten atau tenaga kesehatan
lainnya yang ditunjuk.11
Dalam rangka penjaminan seluruh Puskesmas PONED dan RS PONEK Kabupaten/Kota
berfungsi 24/7 sesuai standar diperlukan langkah-langkah berikut, meningkatkan kualitas petugas
pelayanan kesehatan di RS rujukan agar dapatmenangani kasus komplikasi dengan tepat waktu
dan tepat guna, termasuk adanyapedoman standar pelayanan kasus-kasus komplikasi. Kedua,
melakukan koordinasi dan kerjasama dengan RS Rujukan lainnya baik di wilayah yangsama atau
wilayah lain terdekat, yaitu dengan RS tipe lebih tinggi, RS/RSB swasta, danRS Militer untuk
memperluas akses kasus komplikasi di RS sebagai bagian dari jejaringrujukan. Ketiga, menjamin
akses terhadap darah yang aman, melalui kerjasama dengan PMI. Keempat, meningkatkan
pelayanan Keluarga Berencana Pasca salin bekerja-sama dengan sektorterkait terutama Rumah
Sakit dan BKKBN. Kelima, menjamin ketersediaan pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir
setiap saat dengan melengkapi/menambah tenaga untuk menjamin pemberian pelayanan 24/7,
melengkapi/menambah ketersediaan sarana dan prasarana, dan melakukan pendekatan inovatif
bagi RS yang kekurangan SDM strategis terutama di DTPK. Keenam, meningkatkan Kualitas
Pelayanan KIA dengan cara, meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan melalui pelatihan,
magang, inhousetraining, pembinaan, yaitu Bidan, Dokter, dan Spesialis, melakukan audit pada
98
setiap kematian ibu dan bayi baru lahir yang terjadi di RS, mengoptimalkan pelaksanaan
supervisi dan jaga mutu di RS, menggunakan maklumat pelayanan untuk meningkatkan peran
masyarakat dalampeningkatan kualitas pelayanan. Ketujuh, memperkuat Sistem Pelayanan di
RS, dengan mengembangkan/memodifikasi kebijakan di fasilitas pelayanan dan melaksanakan
rujukan balik/back-referral dari RS ke perujuk.11
Dalam rangka penjaminan terlaksananya rujukan efektif pada kasus komplikasi adalah
dengan menjamin tersedianya Pedoman Rujukan, menjamin tersedianya Sistem Rujukan yang
Mantap, dengan mengembangkan/memantapkan sistem jejaring yang disepakati bersama,
yangmeliputi “Jejaring Rujukan Vertikal” yaitu antara pelayanan dasar dan pelayanan dijenjang
yang lebih tinggi (pelayanan di RS), dan “Jejaring Rujukan Horisontal” yaituantar RS
(pemerintah dan swasta); antara bidan di desa atau bidan puskesmasdengan BPS, antara
Puskesmas PONED dengan RB, dst. Kemudian, mengembangkan/memantapkan sistem jejaring
regional yang disepakati bersama, pada daerah-daerah terpencil dan perbatasan, mengembangkan
Sistem Komunikasi Rujukan untuk pembimbingan pelayanan oleh SpOG kepada dokter umum
atau bidan dan untuk mendapatkan konfirmasi ketersediaan pelayanan RS rujukan, dan
memantapkan sistem penerimaan dan pananganan kasus gawat darurat di dalam rumah sakit.11
Dalam rangka penjaminan dukungan Pemerintah Daerah terhadappelaksanaanProgram
Percepatan Penurunan Kematian Ibu melalui pendekatan District Team Problem Solving/DPTS,
yang meliputi regulasi dalam pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, regulasi dalam
pengadaan dan penjaminan ketersediaan alat dan obat yangdiperlukan di setiap fasilitas
kesehatan, regulasi dalam tata kelola administrasi dan keuangan daerah, regulasi dalam
peningkatan kualitas/keterampilan tenaga kesehatan, regulasi dalam sistem informasi kesehatan
ibu dan neonatal, dan penjaminan dukungan dalam regulasi lainnya yang diperlukan.11
Dalam rangka peningkatan kemitraan dengan lintas sektor dan swasta yaitu dengan
bekerjasama selain dengan PEMDA, antara lain institusi pendidikan kedokteran untuk dapat
bekerja di RS daerah, sektor swasta yang secara langsung memberikan pelayanan kebidanan,
seperti RB, Klinik, dan RS, BKKBN untuk meningkatkan akses informasi mengenai kesehatan
reproduksi dan akses terhadap metoda KB, sektor Agama untuk remaja puteri di pesantren,
madrasah melalui UKS, maupun kepada calon pengantin KUA terhadap informasi mengenai
99
kesehatan reproduksi, termasuk kesiapan tubuh untuk usia kehamilan pertama, sektor Pendidikan
Dasar dan Menengah, untuk meningkatkan akses semua remaja putri, sektor swasta yang
memberikan peran secara tidak langsung, seperti institusi pendidikantenaga kesehatan,
pemanfaatan CSR/Corporate Social Responsibility perusahaan, organisasi Profesi, agar dapat
lebih berperan dalam meningkatkan kualitas pelayanananggotanya, organisasi Keagamaan dalam
penyampaian informasi kesehatan dan Jejaring Pelayanan Kesehatan Daerah, serta
Mengembangkan/meningkatkan kemitraan lainnya, sesuai dengan situasi dan kondisidi daerah.11
Dalam rangka peningkatan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di masyarakat dengan cara reorientasi dan
mengaktifkan kembali konsep kesiapan masyarakat dalammenghadapi persalinan dan orientasi
mengenai pentingnya upaya-upaya dalam periode kehamilan dan persalinan.11
Monitor dan Evaluasi Keberhasilan RAN
Pencapaian program Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dapat dilihat dari
Indikator Outcome/Keluaran yang meliputi:11
AKI(Angka Kematian Ibu)
Jumlah seluruh kematian ibu (sesuai dengan definisi ICD 10) di suatu wilayahdibagi
dengan jumlah seluruh kelahiran hidup di wilayah yang sama dalam satuwaktu tertentu.
Dinyatakan dalam satuan per 100.000 kelahiran hidup.
Pn (Persalinan oleh Tenaga Kesehatan)
Jumlah seluruh persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di suatu wilayahdibagi dengan
jumlah seluruh persalinan di wilayah yang sama dalam satu waktutertentu. Dinyatakan
dalam persen.
Angka Kelahiran Remaja
Jumlah kelahiran pada remaja puteri dalam suatuwilayah dibagi dengan jumlah seluruh
remaja puteri di wilayah yang sama dalamsatu waktu tertentu. Dinyatakan dalam persen.
100
K4 (Kunjungan ANC 4 kali selama kehamilan)
Jumlah kunjungan ANC sebayak 4 kali di suatu wilayah, yaitu sedikitnya 1 kalidalam
Trimester 1, 1 kali dalam Trimester 2 dan 2 kali dalam Trimester 3, dibagidengan jumlah
seluruh kehamilan di wilayah yang sama dalam satu waktutertentu. Dinyatakan dalam
persen.
Persalinan di fasilitas kesehatan
Jumlah seluruh persalinan yang ditolong di fasilitas kesehatan (Puskesmas danRumah
Sakit) di satu wilayah dibagi dengan seluruh persalinan di wilayah yangsama dalam
waktu tertentu. Dinyatakan dalam persen. Perlu dibedakan antarapersalinan di fasilitas
kesehatan non-RS dan persalinan di RS.Polindes dan Poskesdes tidak dimasukkan
kedalam kategori fasilitas kesehatanoleh karena jenis pelayanan yang dapat dilakukan di
kedua fasilitas ini tidaksama dengan pelayanan di Puskesmas.
Proporsi Komplikasi kebidanan yang mendapatkan pelayanan di Rumah Sakityang
memberikan pelayanan Gawat Darurat Kebidanan dan Neonatal
Jumlah seluruh komplikasi kebidanan yang mendapatkan pelayanan di RS GawatDarurat
di suatu wilayah, dibagi dengan total perkiraan komplikasi (=jumlah kehamilan * 15%) di
wilayah yang sama dalam satu waktu tertentu. Dinyatakandalam persen.
Sedangkan dilihat dari Proses nya adalah sesuai dengan yang tercantum didalam matriks,
termasukkebijakan dan peraturan daerah. Alokasi dana APBD dengan tren danbesarnya jumlah
peruntukan yang sesuai dengankebutuhan program kesehatan, serta kerjasama lintas sektor dan
dengan swasta dengan dokumen kerjasama (MoU) dengan lintassektor dan swasta.11
Pemantauan RAN PP AKI dapat dilakukan melalui laporan kegiatan bulanan program
kesehatan ibu melalui pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan terintegrasi yang
merupakankonsensus bersama terhadap data/informasi yang perlu dikumpulkan secara rutin
atauperiodik. Termasuk Format yang sederhana namun memuat informasi yang pentingtentang
kesehatan ibu (indikator MDG 5 dan indikator output/outcome lain yangdianggap penting), dan
jalur pelaporan (vertikal dari Bidan ke Dinkes, dan horisontalantara RS dan Dinkes). Analisa
laporan rutin dari dinas kesehatanprovinsi tentang indikator-indikator kunci antara lain cakupan
101
persalinan Nakes, persalinan faskes, lokasi persalinan, jumlah kematian ibuserta laporan kegiatan
yang sesuai dengan indikator yang ditetapkan.Melakukan diseminasi informasi secara periodik
mengenai perkembangan indikator-indikatorkunci Kesehatan Ibu dan Neonatal ke berbagai
stakeholders. Supervisi yang dilakukan secara berjenjang ke provinsi dan kabupaten/kota
untukmelihat secara langsung permasalahan seputar PP AKI dan mencoba
melakukanpemecahannya.Rapat tim monitoring dan evaluasi PP AKI dan bayi baru lahiryang
melibatkan semua stakeholder terkait yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Kesehatan,Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
KementerianPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BKKBN, Tim Penggerak
PKK,Organisasi profesi (POGI, IDAI, IDI, IBI, PPNI, IAKMI,KARS), PERSI, LSM dan
Organisasipemerhati kesehatan ibu.Melaksanakan perencanaan tahunan yang berbasis data dan
terintegrasi dengan semua sumber dana yang ada.11
Penutup
Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi , untuk itu perlu upaya
lebih lanjut untuk menanggulanginya. Salah satu nya dengan meningkatkan mutu pelayanan
Puskesmas, Posyandu, dan juga edukasi untuk ibu hamil agar rutin memeriksakan
kandungannya, serta pelatihan para dukun bersalin (persaji) agar dapat menolong persalinan
dengan cara yang benar.
Pada kasus yang didapatkan yaitu masalah AKI puskesmas tersebut melebihi batas rata-
rata AKI Indonesia, dan juga masih terdapatnya kasus Anemia serta faktor transportasi yang
sulit. Dan juga kemiskinan yang sangat berpengaruh terhadap pengetahun dan pendidikan
masyarakat. Ditambah lagi kurangnya posyandu. Maka memang mendukung untuk terjadi
tingginya AKI di wilayah kerjanya. Solusi yang bisa diberikan antara lain, pelatihan Kader yang
lebih banyak lagi, Penambahan posyandu dengan minimal 1 posyandu per desa, adanya
Puskesmas pembantu atau Poskesdes atau Polindes yang bisa segera melaksanakan rujukan bila
terjadi komplikasi, perlu juga edukasi masyarakat tentang keselamatan persalinan dibantu oleh
tenaga kesehatan bukan dengan dukun beranak, yang semuanya sudah dijelaskan pada program
pemerintah diatas.
102
103
Daftar Pustaka
1. Fibriana AI. Faktor – faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal (studi kasus di
Kabupaten Cilacap). Diunduh dari
http://eprints.undip.ac.id/16634/1/ARULITA_IKA_FIBRIANA.pdf
2. Hadi S. Konsep ilmu kesehatan. 17 November 2012. Dikutip dari
http://kebunhadi.blogspot.com/2012/11/konsep-pelayanan-kesehatan_17.html. 28 Juni
2014
3. Buku Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja Puskesmas Tim. Puskesmas. Pedoman Kerja
Puskesmas. Magelang:Balai Pelatihan Kesehatan Salaman, 2000.h.150-60
4. Kumalla P, Pendit BU. Manajemen pelayanan kesehatan primer. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit buku Kedokteran EGC; 1999
5. Muninjaya GA. Manajemen kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999.
6. Departemen kesehatan RI. 2006 Buku Kader Posyandu Dalam Usaha Perbaikan Gizi
Keluarga. Jakarta. Departemen Kesehatan RI
7. Pohan IS. Jaminan mutu layanan kesehatan :dasar-dasar pengertian dan penerapan.
Jakarta: EGC; 2006: 255-6
8. Balai Pelatihan Kesehatan. Pedoman praktis pelaksanaan kerja di puskesmas. Magelang:
Podorejo Offset; 2000.
9. BKKBN. Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah badan kependudukan dan
keluarga berencana nasional tahun 2013. Jakarta. 2014. h. 27-35.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan indonesia 2012. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.h.118-129, 148-155, 194-261.
11. KementerianKesehatan Republik Indonesia. Rencana aksi percepatan penurunan angka
kematian ibu di indonesia. Jakarta: KementerianKesehatan Republik Indonesia; 2013.h.3-
23.
104