patofisiologi pasien peritonitis

25
patofisiologi pasien peritonitis 2.5 Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.

Upload: alfrida-ade-bunapa

Post on 27-Dec-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Patofisiologi Pasien Peritonitis

patofisiologi pasien peritonitis

2.5 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara

perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan

sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang

bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,

yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat

dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai

mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya

dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk

mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,

produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan

curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Page 2: Patofisiologi Pasien Peritonitis

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh

darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan

didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh

organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah

dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut

meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum

atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan

perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai

timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.

Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan

dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat

terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat

Page 3: Patofisiologi Pasien Peritonitis

mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi

usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan

ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi

peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.

Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak

disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,

pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah

sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau

ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran

bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

2.6 Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan

tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium

menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa

menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus

menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.

Page 4: Patofisiologi Pasien Peritonitis

Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik

dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.

Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang

menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif

berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk,

atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti

palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri

abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu

jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas

lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama

dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa

menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri

abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat

tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena

mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari

palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.

Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk

Page 5: Patofisiologi Pasien Peritonitis

membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-

pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam

keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,

pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran

(misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau

penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita

geriatric.

2.7  Pemeriksaan Diagnostik

1.      Test laboratorium

1.      Leukositosis

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak

protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel

diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara

laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan

merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

1.      Hematokrit meningkat

2.      Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien

peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )

Page 6: Patofisiologi Pasien Peritonitis

3.      X. Ray

Dari tes X Ray didapat:

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:

1.      Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.

2.      Usus halus dan usus besar dilatasi.

3.      Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3.  Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk

pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada

peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

1.      Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi

anteroposterior.

2.      Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan,

dengan sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.

3.      Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar

horizontal proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat

mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran

Page 7: Patofisiologi Pasien Peritonitis

kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika

penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada

foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:

1)   Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada

tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di

proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti

duri ikan (Herring bone appearance).

2)   Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi

usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air

fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-

panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh

adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.

3)   Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh

adanya air fluid level dan step ladder appearance.

2.8  Penatalaksanaan

Page 8: Patofisiologi Pasien Peritonitis

Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir

semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan

(laparotomi eksplorasi).

Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:

1.      Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas,

nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda

perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,

leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat

ditangani).

2.      Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi

usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri

mesenterika.

3.      Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan

perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.

4.      Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

1.      Mengeliminasi sumber infeksi.

2.      Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal

Page 9: Patofisiologi Pasien Peritonitis

3.      Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus

mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :

1.      Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.

2.      Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.

3.      Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.

4.      Pemberian terapi cairan melalui I.V.

5.      Pemberian antibiotic.

Terapi bedah pada peritonitis a.l :

1.      Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe

dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan

keparahan infeksinya.

2.      Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,

suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan

untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.

3.      Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.

4.      Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi a.l:

Page 10: Patofisiologi Pasien Peritonitis

1.      Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.

2.      Pemberian antibiotic

3.      Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal,

peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.

1)   Terapi

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang

hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang

sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan

intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab

radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-

tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.

Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan

pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine

tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai

keadekuatan resusitasi.

Page 11: Patofisiologi Pasien Peritonitis

a.  Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis

bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik,

dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan

antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi

penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan

drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan,

karena bakteremia akan berkembang selama operasi.

b.  Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan

dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal

digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan

mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan

diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk

mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis

dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum

yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau

mereseksi viskus yang perforasi.

c.  Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu

dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi

Page 12: Patofisiologi Pasien Peritonitis

penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat

diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal

povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,

sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan

dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena

pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum

peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.

Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-

menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi

yang tidak dapat direseksi.

2)   Pengobatan

Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi

darurat, terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang

mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas

(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita,

pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang

tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.

Page 13: Patofisiologi Pasien Peritonitis

Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan

pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :

1.      Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika

keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien

digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu

tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan

kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan

menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.

Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga

melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang operasi.

2.      Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika

pasien masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase

ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV),

memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis

menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan

pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada

menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak

Page 14: Patofisiologi Pasien Peritonitis

dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam

mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan

prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.

3.      Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang

pemulihan dan   berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan

kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas

yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus

terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital

serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus

pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak

lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan

rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail

lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses

keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi

diuraikan.

2.9 Komplikasi

Page 15: Patofisiologi Pasien Peritonitis

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder,

dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan

lanjut, yaitu:

1.      Komplikasi dini.

1.      Septikemia dan syok septic.

2.      Syok hipovolemik.

3.      Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan

kegagalan multisystem.

4.      Abses residual intraperitoneal.

5.      Portal Pyemia (misal abses hepar).

2.      Komplikasi lanjut.

1.      Adhesi.

2.      Obstruksi intestinal rekuren