patofisiologi kejang neonatus - 2

12
Regulasi dari reseptor neurotransmitter sangatlah tergantung dari perkembangan otak bayi. 45,48 54 (Gambar 2). Studi tentang morfologi sel, mielinasi, metabolism dan studi terbaru yang mempelajari ekspresi dari reseptor neurotransmitter menunjukkan bahwa keadaan otak tikus pada minggu pertama dan kedua secara kasar bersifat analog dengan otak neonatus. Meningkatnya eksitabilitas sel otak neonatus Reseptor glutamate merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kerja otak dan terkadang dalam sesaat diekspresikan terlalu banyak di sistem saraf pusat pada masa perkembangan dibandingkan dengan jumlahnya pada saat seseorang menginjak masa dewasa, hal ini telah dibuktikan pada percobaan terhadap model binatang dan jaringan manusia.(ref) sebuah ekpresi berlebihan yang relatif dari sebuah reseptor glutamat subtipe tertentu pada korteks otak sangatlah berhubungan erat dengan usia di mana kerentanan terhadap kejang meningkat. (Gambar 2) 48,55,56 . Reseptor termasuk dua buah kanal ion yang bersifat ligand- gated, bersifat permisif terhadap Na, K dan pada beberapa kasus, Ca dan subtipe metabotropic 57 . Kanal tersebut terlokaslisasi di area sinaps dan non-sinaptik dari neuron, dan juga diekspresikan di glia. Subtipe reseptor inotropik diklasifikasikan berdasarkan aktivasi selektif

Upload: jeanna-salima

Post on 10-Apr-2016

18 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

patofisiologi kejang neonatus part 2

TRANSCRIPT

Page 1: patofisiologi kejang neonatus - 2

Regulasi dari reseptor neurotransmitter sangatlah tergantung dari perkembangan otak

bayi. 45,48 54 (Gambar 2). Studi tentang morfologi sel, mielinasi, metabolism dan studi

terbaru yang mempelajari ekspresi dari reseptor neurotransmitter menunjukkan

bahwa keadaan otak tikus pada minggu pertama dan kedua secara kasar bersifat

analog dengan otak neonatus.

Meningkatnya eksitabilitas sel otak neonatus

Reseptor glutamate merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kerja otak dan

terkadang dalam sesaat diekspresikan terlalu banyak di sistem saraf pusat pada masa

perkembangan dibandingkan dengan jumlahnya pada saat seseorang menginjak masa

dewasa, hal ini telah dibuktikan pada percobaan terhadap model binatang dan

jaringan manusia.(ref) sebuah ekpresi berlebihan yang relatif dari sebuah reseptor

glutamat subtipe tertentu pada korteks otak sangatlah berhubungan erat dengan usia

di mana kerentanan terhadap kejang meningkat. (Gambar 2) 48,55,56. Reseptor termasuk

dua buah kanal ion yang bersifat ligand-gated, bersifat permisif terhadap Na, K dan

pada beberapa kasus, Ca dan subtipe metabotropic 57. Kanal tersebut terlokaslisasi di

area sinaps dan non-sinaptik dari neuron, dan juga diekspresikan di glia. Subtipe

reseptor inotropik diklasifikasikan berdasarkan aktivasi selektif dari ligand spesifik,

N-methyl-Daspartate (NMDA), α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic

acid (AMPA), dan kainate.

Reseptor NMDA bersifat heteromeric, termasuk subunit yang pasti ada, subunit NR1,

dan kemampuan kerjanya tergantung pada perkembangan otak. Pada otak yang belum

berkembang secara sempurna, subunit NR2 yang dominan ialah subunit NR2B,

dengan kolerasi fungsional berupa waktu hidup yang lebih singkat dibanding dengan

subunit NR2A, yang merupakan bentuk yang diekspresikan pada neurons yang telah

berkembang dengan sempurna. 58 Subunit lain yang kinerja fungsionalnya juga

berergantung terhadap seberapa besar perkembangan sel saraf ialah NR2C, NR2D,

dan subunit NR3A. Sebuah studi dengan subjek peneitian berupa tikus menunjukkan

bahwa semua jumlah dari semua subunit tersebut meningkat pada 2 minggu pertama

Page 2: patofisiologi kejang neonatus - 2

setelah kelahiran neonatus, dan pada periode ini pula ditunjukkan adanya sensitivitas

yang lebih rendah terhadap magnesium, sebuah blocker kanal reseptor yang bersifat

endogen; hal inilah yang mengakibatkan peningkatan eksitabilitas dari sel saraf

reseptor (Gambar 2 dan Gambar 3) [57] [59]. Antagonis reseptor yang

diadministrassikan pada anak mencit yang belum berkembang dengan sempurna telah

dibuktikan sangatlah efektif terhadap berbagai kerusakan akbat hipoksia/iskemia dan

kejang pada otak yang imatur 60–62. Namun, potensial klinis dari antagonis NMDA

terbatasi oleh efek sedatifnya yang tinggi potensi lainnya yang menakutkan, termasuk

kemampuannya untuk menginduksi terjadinya apoptosis pada otak yang imatur 63,64.

Yang lebih penting, memantine, sebuah agen yang baru-baru ini diuji penggunaan

klinisnya sebagai neuroprotectant pada pasien dengan Alzheimer’s disease, mungkin

dapat dijadikan pengecualian karena efek sampingnya yang lebih kecil, dikarenakan

mekanisme kerjanya yang bergantung pada penggunaan 61,62,65. Sementara reseptor

NMDA telah dilaporkan diaktifkan secara selektif dalam proses yang berkaitan

dengan pembentukan dan pembelajaran, subtipe AMPA dari reseptor glutamatlah

yang dikatakan sebagai subtype reseptor dengan eksitasi yang paling cepat dalam

transmisi sinaptik. Lagipula, tidak seperti NMDA , kebanyakan dari reseptor AMPA

(AMPAR) tidak bersifat permeable terhadap kalsium. Reseptor AMPA memiliki sifat

heteromerik dan terdiri dari 4 subunit, yang merupakan kombinasi dari subunit

GluR1, GluR2, GluR3 atau GluR4 57. Namun, pada otak imatur tikus dan manusia,

reseptor AMPA bersifat permeable terhadap kalsium dikarenakan tidak adanya

subunit GluR2 (Gambar 2 dan gambar 3)56 66. Regulasi reseptor subunit AMPA

bergantung dengan tingkat perkembangan otak, dengan diekspresikannya hanya

sejumlah kecil GluR2 hingga minggu ke 3 pasca dilahirkannya neonatus pada otak

tikus dan hingga satu tahun pertama kehidupan pada korteks otak manusia 55 67. Oleh

karena itu, reseptor AMPA pada otak imatur, dikarenakan permeabilitasnya yang

tinggi terhadap kalsium, memiliki peran penting dalam kontribusinya tidak hanya

terhadap meningkatnya eksitabilitas otak tapi juga karena kemampuannya memberi

sinyal aktivasi terhadap reseptor yang bersifat activity-dependent. Baik reseptor

NMDA maupun AMPA diekspresikan pada level dan komposisi subunit yang dapat

Page 3: patofisiologi kejang neonatus - 2

meningkatkan eksitabilitas jaringan saraf pada usia aterm pada bayi manusia dan pada

minggu kedua setelah dilahirkan pada hewan uji tikus. (Gambar 2).

Studi yang dilakukan pada hewan uji tikus menunjukkan bahwa antagonis reseptor

AMPA tampak memiliki potensi efektivitas yang lebih tinggi dalam menghadapi

kejang pada neonatus, dan lebih superior daripada antagonis reseptor NMDA atau

terapi konvensional agonis AED dan GABA. Topiramate, yang penggunaannya

dalam mengatasi dan mengontrol kejang pada anak dan orang dewasa telah disetujui

FDA, telah ditunjukkan memiliki aktivitas antagonis terhadap AMPAR,ditambah

dengan beberapa mekanisme yang memiliki potensi antikejang lain. 68 Topiramate

telah menunjukkan efektivitas baik dalam menekan kejadian kejang dan mengatasi

deficit neurobehavior dalam jangka panjang pada model tikus kejang, sekalipun

administrasinya dilakukan setelah kejang sudah selesai. 69,70 Ditambah lahi,

topiramate dalam kombinasi hipotermia ditemukan bersifat protektif pada model

neonatus tikus dengan stroke. 71 Terakhir, antagonis spesifik AMPAR, Talampanel,

yang satu ini sedang dalam uji klinis pase II pada anak dan dewasa dengan epilepsy

dan Amyothropic Lateral Sclerosis (ALS), menunjukkan efek protektif terhadap

kejang neonatus pada model tikus 72.

Penurunan Efikasi dari Neurotransmittor inhibitor pada Otak Imatur.

Ekpresi dan fungsi Inhibitor reseptor GABAA juga ditemtukan oleh perkembangan

otak. Studi yang dilakukan pada model tikus menunjukkan bahwa ikatan pada

reseptor GABA, enzim sintetik dan ekspresi reseptornya secara keseluruhan lebih

rendah pada masa awal kehidupan dibandingkan dengan pada usia dewasa 48 73.

Fungsi Reseptor GABA diregulasi oleh komposisi subunitnya, dan juga subunit α4

dan α2 umumnya diekspresikan secara berlebihan pada otak yang imatur

dibandingkan dengan subunit α1 (gambar 3) 74. Didapatkan pula, bahwa ketika

subunit α4 diekspresikan, maka reseptor akan kurang sensitif terhadap

benzodiazepines disbanding dengan reseptor yang memiliki subunit α1 75, dan dengan

Page 4: patofisiologi kejang neonatus - 2

kejadian yang sama secara klinis, kejang pada mencit yang imatur menunjukkan

respon terapi yang tidak memuaskan terhadap benzodiazepines 76 77.

Ekspresi reseptor dan komposisi subunit sudah dapat menjelaskan sebagian dari

alasan mengapa kejang yang terjadi pada otak yang imatur menunjukkan sifat

resistensi terhadap terapi konvensional AEDs yang bekerja sebagai agonis GABA.

Namun, pada otak yang telah berkembang secara sempurna, terdapat sifat inhibisi

terhadap sifat eksitabilitas sel saraf via agonis GABA yang bergantung dengan

kemampuan reseptor GABAA dalam menghasilkan influks klorida (Cl−) dari sel

saraf, yang akan menyebabkan hiperpolarisasi 78. Pada otak bagian depan (forebrain)

yang imatur, aktivasi reseptor GABA dapat menyebabkan depolarisasi daripada

hiperpolarisasi 79 80 81 karena gradient Cl− berbanding secara terbalik pada otak yang

imatur, level Cl- intraseluler tinggi pada otak yang imatur dikarenakan kurang

diekpresikannya Cl- eksporter KCC2 apabila dibandingkan dengan ekspresinya pada

otak matur. (Gambar 2 dan Gambar 3) 82. Studi baru terhadap otak manusia

menunjukkan bahwa KCC2 secara virtual hilang pada bagian korteks sistem saraf

hingga akhir dari tahun pertama masa kehidupan, dan secara bertahap jumlahnya

akna meningkat seiring dengan bertambahnya usia, sementara Cl- importer NKCC1

diekspresikan secara berlebih pada otak neonatus dan mencit pada masa awal

kehidupannya, apabila ditemukan kejadian kejang yang resiten terhadap terapi agonis

GABA 82. Inhibitor NKCC1, bumetanide, menunjukkan efikasi yang baik terhadap

kejang yang diinduksi kainase paada otak yang imatur. 83; agen ini, yang telah

disetujui FDA sebagai diuretik, saat ini tengah menjalani evaluasi uji klinis tahap I/II

sebagai agen tambahan pada terapi kejang pada neonatus.

(http://www.clinicaltrials.gov trial ID: NCT00830531).

Susunan Kanal Ion lebih Cenderung menghasilkan depolarisasi pada masa awal

kehidupan

Kanal ion yang juga meregulasi eksitabilitas sel saraf, seperti halnya reseptor

neurotransmitter, fungsinya bergantung pada perkembangan otak. Seperti yang telah

Page 5: patofisiologi kejang neonatus - 2

dinyatakan di atas, mutasi dari kanal K+, KCNQ2 dan KCNQ3 berhubungan dengan

kejadian benign familial neonatal convulsions 84. Mutasi ini mengganggu proses

hiperpolarisasi normal arus K+ yang mencegah terjadinya pengulangan tercetusnya

potensial aksi. 85 Oleh sebab itu, pada saat terjadinya ekspresi yang berlebihan dari

GluRs dan inhibisi jaringan saraf yang inkomplit, sebuah mekanisme kompensasi

tidak akan tejadi apabila pasien juga mengalami mutasi pada kanal ion ini, Sebuah

anggota kanal ion K+ yang lain, Kanal HCN (atau h), yang juga menunjukkan fungsi

yang bergantung dengan perkembangan otak. Arus dari kanal h currents penting

untuk menjaga resting membrane potential dan eksitabilitas dendrite 86, dan fungsinya

diregulasi oleh ekspresi isoform. Otak yang imatur memiliki ekspresi HCN1 isoform

yang relative rendah, yang berfungsi menurunkan eksitabilitas dendrit pada otak

orang dewasa 87. Oleh karena itu, maturasi kanal ion juga berkontribusi dari kejadian

hipereksitabilitas pada otak imatur, dan juga memiliki efek kumulatif apabila terjadi

bersamaan dengan kelainan pada kanal ligand-gated yang telah disebutkan

sebelumnya. Baru-baru ini, sebuah bloker HCN selektif telah menunjukkan potensi

dalam mengganggu aktivitas synchronous epileptiform pada hipokampus neonatus

mencit 88, menunjukkan bahwa kanal yang fungsinya tergantung dengan

perkembangan otak ini juga dapat dijadikan target dalam terapi kejang pada neonatus.

Baik kanal kalsium sensitif terhadap arus tipe N atau P/Q ini dapat meregulasi

pelepasan neurotransmitter 89. Seiring dengan berjalannya proses maturasi, fungsi ini

secara eksklusif diambil alih oleh kanal tipe P/Q, dibentuk oleh subunit Cav2.1 sub,

yang merupakan anggota super family dari kanal Ca2+ 90. Mutasi pada Cav2.1 dapat

turut andil dalam epilepsy absan, yang menandakan kegagalan dalam proses maturasi

normal. 91

Peran neuropeptida dalam kejadian hipereksitabilitas otak imatur

Sistem neuropeptida juga secara dinamis menunjukkan fungsi yang berfluktuasi pada

periode kehidupan perinatal. Sebuah contoh penting ialah corticotropin releasing

hormone (CRH), dengan potensi besar memacu eksitabilitas sel saraf 92,93.

Dibandingkan dengan ekspresinya pada masa dewasa, CRH dan reseptornya

Page 6: patofisiologi kejang neonatus - 2

diekspresikan lebih banyak pada masa-masa perinatal, atau lebih spesifiknya pada 2

minggu pertama setelah bayi dilahirkan pada bayi mencit 94. Level CRH meningkat

pada saat stress, dan maka dari itu, aktivitas kejang pada otak yang imatur dapat

berpotensi memacu kejadian kejang selanjutnya. Didapatkan pula,

adrenocorticotropic hormone, yang menunjukkan efikasi baik dalam mengatasi

kejang pada bayi, juga memiliki aktivitas rmenurunkan ekpresi gen CRH 95. Oleh

karena itu, modulasi neuropeptida dapat dijadikan area untuk dilakukannya penelitian

guna pengembangan terapi kejang pada neonatus.

Peningkatan potensial dari respon inflamasi terhadap kejang pada otak imatur

Kejang pada neonatus dapat terjadi dalam keadaan adanya inflamasi yang disebabkan

infeksi yang tejadi secara bersamaan atau sekunder terhadap kerusakan akibat

terjadinya hipoksia/ iskemia. Terdapat sebuah bukti eksperimental dan klinis

mengenai aktivasi awal microglia dan produksi sitokin imflamasi pada otak yang

mengalami hipoksia/iskemia dan inflamasi dalam masa perkembangan 96,97,98,99. Yang

penting adalah ditemukan pula bahwa microglia diekspresikan dalam jumlah besar

pada white matter imatur pada tikus dan pada manusia disekitar masa perkembangan

korteks otak 100. Anti inflamasi yang terdiri dari agen yang menghambat aktivasi

microglia, seperti minocycline, telah dilaporkan dapat menghentikan kerusakan

sistem saraf pada model uji studi excitotoxicity dan hypoxia/ischemia 101. Pada

periode aterm, kepadatan microglia pada deep grey matter lebih tinggi apabila dengan

kepadatannya di usia yang lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan karena migrasi

populasi sel kearah yang distal. Model eksperimen mendemostrasikan aktivasi

microglia, seperti yang dilihat pada perubahan morfologi dan produksi cepat dari

sitokin pro-inflamasi, yang terjadi setelah kejadian kejang akut pada beberapa model

binatang yang berbeda 102,103. Selama masa perkembangan otak, microglia

menunjukkan kepadatan maksimal bersamaan dengan periode puncak pembentukan

sinaps. 104 Selama masa perkembangan normal dan juga sebagai respon terhadap luka,

microglia berpartisipasi dalam “synaptic stripping” dengan memisahkan ujung

presinaps dari neuron105,106. Hal yang penting ialah, inaktovator microglia minocycline

Page 7: patofisiologi kejang neonatus - 2

dan doxycycline yang telah menunjukkan aktivitas protektif terhadap kematian sel

saraf yang diinduksi kejang 107 dan juga menunjukkan aktivitas protektif pada model

stroke neonatus. 108, 109.

Kerusakan sel saraf selektif pada otak yang berkembang

Di tengah banyaknya studi yang menyatakan bahwa kejang, atau status epilepsy,

menginduksi kejadian matinya sel saraf yang lebih sedikit pada otak imatur dibanding

apabila terjadi pada otak orang dewasa, terdapat bukti yang menyatakan bahwa

beberapa sel saraf tertentu akan sangat terancam. Sama halnya dengan sensitivitas sel

saraf subplate, sel saraf hipokampus pada hewan uji coba tikus menunjukkan

terjadinya kematian sel selektif dan juga stress oksidatif setelah kejadian kematian sel

yang diinduksi obat-obatan kejang 110. Sebuah uji yang meneliti stroke pada neonatus

dengan hewan uji coba tikus juga menyatakan bahwa terjadi kerentanan populasi sel

tertentu secara selektif yang terjadi pada masa awal kehidupan 111. Neuron Subplate

hadir dalam jumlah yang besar pada region korteks otak bagian dalam selama masa

preterm dan periode neonatal 112. Sel-sel saraf ini berperan penting dalam proses

maturasi normal dari jaringan korteks 113,114. Yang lebih penting pada model manusia

dan tikus ditemukan bahwa sel ini mengekspresikan AMPARs dan NMDARs dalam

jumlah yang tinggi 50,55. Sebagai tambahan, ditemukan pada sel ini kurangnya

perlindungan terhadap stress oksidatif yang ada pada sel saraf matur. Sebuah model

binatang menunjukkan bahwa sel saraf ini meminilki kerentanan yang bersifat

selektif apabila dibandingkan dengan lapisan korteks setelah kerusakan akibat

hipoksia/iskemia 115. Secara pasti, kejadian kejang pada mencit yang diinduksi kainite

pada masa awal kehidupan, menyebabkan kurangnya neuron subplate, dengan

kejadian berkembangnya jaringan inhibitor abnormal. [113].