parlemen taria | media indonesia | halaman 5 filealasan terjadinya kelangkaan pangan. “masalah...
TRANSCRIPT
KAMIS, 24 FEBRUARI 2011 | | MEDIA INDONESIA | HALAMAN 5Parlementaria
BERMULA dari kekecewaan masyarakat akan ketidaktersediaan pangan, maraknya impor
pangan, dan kian menciutnya pengadaan pangan domestik, dewan pun akhirnya membentuk Panit ia Kerja (Panja) Pangan.
Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Golkar Firman Subagyo pun membeberkan latar belakang pembentukan panitia kerja tersebut, Selasa (22/2), di Jakarta. “Komisi IV DPR RI kini tengah menyiapkan revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kami telah melakukan sejumlah pertemuan dan rapat dengar pendapat u m u m d e n g a n l e m b a g a masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar di bidang pangan dan sosial,” tuturnya mengawali percakapan dengan Media Indonesia.
Firman menilai, persoalan pangan seharusnya tidak perlu terjadi di Indonesia. Pasalnya, kata dia, Indonesia merupakan negara agraris.
“Oleh karena itulah, pemerintah seharusnya mempunyai rencana strategis dan dapat menetapkan sistem yang baik, sehingga tidak akan ada masalah kelangkaan pangan,” tandasnya.
Lantaran itulah dalam menghadapi masalah pangan yang tengah terjadi, Firman menekankan, pemerintah jangan pernah mencari dalih dan kambing hitam. Misalnya, sambung dia, menuding adanya anomali perubahan iklim sebagai alasan terjadinya kelangkaan pangan.
“Masalah iklim itu hanya
Tuhan yang tahu. Banyak negara dengan iklim ekstrem, se perti Eropa dan Jepang. Tapi, di sana toh tidak terjadi kelangkaan pangan seperti di Indonesia,” tukasnya.
Firman justru mengingatkan agar permasalahan pangan yang sering melanda Indonesia pemerintah segera diatasi dengan membangun konsep dari hulu hingga hilir. Konsep itu harus mampu, kata dia, mengatur tentang sistem program ketahanan pangan, meningkatkan produktivitas petani, serta menginventarisasi pokok persoalan di area tanaman pangan, infrastuktur sektor pertanian, kondisi lahan, pola tanam, kultur, dan kesiapan petani.
“Selama ini, pemerintah ha nya melakukan program yang bersifat sporadis. Pemerintah juga kerap menganggap persoalan pangan sebagai masalah sederhana. Bila terjadi kelangkaan bahan pangan seperti beras, gula dan kacang, jalan keluarnya adalah impor. Hampir tidak ditemukan upaya upaya yang menunjukkan keberpihak an penuh kepada petani,” katanya.
Untuk itulah melalui Panja Pangan, Firman berharap, UU Pangan yang sekarang hanya mengatur masalah komoditas dapat berubah. Termasuk, sambung dia, lebih mengatur secara menyeluruh masalah pangan di Indonesia.
DPR juga menginginkan, menurut Firman, UU Pangan mendatang dapat mencakup konsep penyediaan budi daya pangan, pascapanen, konsep dan pola dari hulu ke hulir,
serta kriteria pangan. “Revisi UU pangan dibutuhkan karena selama ini pemerintah hanya menganggap kriteria pangan identik dengan beras. Padahal, seharusnya pangan dapat ber aneka ragam seperti singkong dan sagu. Intinya, jangan sampai pemerintah meng ubah ke biasaan dan budaya masyarakat yang tidak memilih beras sebagai makanan pokok. Jangan identikkan pangan dengan beras,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Firman juga mengingatkan bahwa UU Pangan yang ada sekarang juga tidak mengatur masalah garam. Padahal, kata dia, garam merupakan kebutuhan komoditi pokok kehidupan masyarakat.
“UU Pangan juga tidak
m e n g atur masalah produk kelautan, seperti ikan, dan tidak mengakomodasi sektor peter nakan d a n s e k t o r p e r i k a n a n , ” paparnya.
Meluruskan orientasiTerkait masalah pangan, Fir
man juga menyoal fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog). Dia menilai, harusnya Bulog menjadi penyangga pangan Indonesia.
“Bulog selama ini tidak sejalan dengan fungsinya karena lebih berorientasi pada bisnis dan bukannya sebagai penyangga dan stabilisator. Bulog juga tampak terkendala de ngan b a n y a k n y a k o m a n d a n , ” tuturnya.
Masih menurut Firman, Bu
log tampaknya juga tidak ingin menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Padahal seharusnya, sambung dia, Bulog justru mendorong menaikkan HPP dan berpihak kepada petani. Itu supaya, tambah Firman, petani terbantu dan dapat menikmati hasil jerih payahnya.
“Biasanya, pada masa tanam, petani sulit dapat modal. Tapi pada masa panen, justru peme
rintah ingin membeli hasilnya dengan harga rendah. Itu sungguh mencermin
kan ketiadaan rasa keadilan d a n p e t a n i
tampak sekadar menjadi kor
ban politik,” tukasnya.H a l l a i n y a n g
memprihatin kan, Firman mengatakan, Bulog terkesan
lebih memilih melakukan impor dan sepakat memandangnya sebagai solusi terbaik. “Padahal, jalan keluar berupa impor bahan pangan tidaklah mendidik. Indonesia ini merupakan negara agraris. Pilihan tersebut kental mengesankan adanya permainan dan main mata antara Bulog sebagai pelaksana dan pemerintah sebagai pengambil keputusan,” katanya.
Oleh karena itulah, Firman meminta agar Bulog dapat menjadi lembaga yang independen dan tidak dapat diintervensi serta bertanggung jawab kepada DPR. Dia juga mengingatkan bahwa pada dasarnya kebutuh an pangan adalah hak asasi serta kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok bagi masyarakat yang dilindungi konstitusi. (S25)
DPR Godok Konsep Pangan dari Hulu hingga HilirMasalah pangan merupakan masalah krusial. Sebab, terkait pemenuhan akan kebutuhan pokok masyarakat yang paling mendasar.
MENJELANG akhir 2010, kabar soal penambahan jumlah impor beras kian kencang berhembus. Awalnya, pemerintah hanya memasukkan beras luar negeri ke dalam negeri sebanyak 600 ribu ton (dari Vietnam 550 ribu ton dan Thailand 50 ribu ton). Namun, rencana itu mendadak harus direvisi.
Pada akhir November 2010, pemerintah sepakat mendatangkan lagi 230 ribu ton beras Thailand. Jumlah ini kemudian kembali membengkak pada pertengahan Desember 2010 menjadi 1,08 juta ton (200 ribu ton Vietnam, 50 ribu Thailand). Jumlah itu belum berhenti karena Bulog masih bernegosiasi harga untuk mendatangkan beras premium Thailand sebanyak 150 ribu ton.
Alasan berlimpahnya impor beras tersebut tergolong klasik, yakni produktivitas beras lokal mengalami kendala karena cuaca ekstrem. Beberapa daerah yang biasanya menjadi pemasok beras seperti Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian Lampung bahkan beralih menjadi daerah yang justru membutuhkan beras.
Pernyataan terkait kebutuhan akan beras tersebut menjadi janggal karena Menteri Pertanian Suswono lewat data Biro Pusat Statistik mengklaim bahwa Indonesia saat ini surplus beras sekitar 5,6 juta ton. Belum lagi, angka ramalan kuartal III (ARAM III) yang dirilis BPS menun
jukkan peningkatan produksi beras lokal sebanyak 2,46%.
Secara logika, jika benar surplus, Indonesia seharusnya tidak perlu mengimpor beras. Mentan sendiri berkilah, penyebab utama pem e r i n t a h h a r u s mengimpor hingga 1,23 juta ton ialah ketidakmampuan Bulog menyerap beras petani ketika panen raya Maret 2010 silam akibat kualitas rendah.
Ketika itu, Bulog hanya membeli 1,892 juta ton beras dari target 3,2 juta ton. Jumlah itu jauh lebih kecil dibading serapan pada 2009 yang mencapai 3,6 juta ton. Sedangkan, pada 2008, beras yang berhasil diserap Bulog sebanyak 2,936 juta ton.
Tahun ini, bayangbayang tambahan impor memang masih menghantui bersamaan dengan ancaman cuaca ekstrem yang makin ganas. Amerika Serikat memprediksi Indonesia akan mengimpor beras hingga 1,75 juta ton atau menjadi negara pengimpor beras kedua terbesar setelah Nigeria.
Kondisi tersebut tentu menjadi pertimbangan tersendiri agar Indonesia memiliki regulasi yang kuat. Padahal, saat ini UU Pangan terakhir kali diterbitkan pada 1996 (UU Nomor 7/1996 tentang Pangan). Kondisi pangan saat itu sudah sangat berbeda dengan kondisi saat ini.
Terkait dengan rencana impor oleh Bulog hingga 1,5 juta ton itu, dinilai terlalu berlebihan. Adalah Ketua Dewan Tani Indonesia Ferry Juliantono yang menyatakan hal itu kepada Media Indonesia, Selasa (2/2). Memang, menurut Ferry, secara umum produksi beras dalam ne geri sedang menurun karena faktor cuaca yang tidak menentu. “Tapi, rencana impor 1,5 juta ton itu terlalu berlebihan. Kalau begitu, bagaimana petani di Indonesia bisa makmur. Jika hanya alasan stabilitas, cukup 500 ribu ton sampai 1 juta ton,” katanya.
Ferry mengingatkan, kini 40 persen masyarakat di Indonesia bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Hal tersebut, sambung dia, harusnya menjadi alasan kuat untuk tidak melakukan impor beras.
“Bahkan kondisi itu harusnya justru menjadi pemicu untuk terus meningkatkan produksi beras lokal, yang tentunya berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. Jadi harusnya yang dipilih adalah hilangkan kebijakan impor, tingkatkan produksi lokal!” tandasnya.
(S25)
Surplus 5,6 TonImpor Beras 2011 Janggal
DOK.DPR
CIPTAKAN STABILITAS PANGAN: RDPU Komisi IV dengan Kementerian Pertanian, dalam rangka penyusunan naskah akademik dan draf RUU tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
SEJAK dibentuk pada awal Januari 2011, Panja Pangan DPR RI langsung tancap gas. Sejum
lah langkah pun tengah dilakukan demi bisa menyempurnakan aturan tentang pangan yang telah ada sebelumnya.
Ketua Panitia Kerja (Panja)
Revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Herman Khaeron mengungkapkan, pihaknya telah melakukan penjaringan aspirasi dan public hearing dengan berbagai stake holder dan mitra kerja Komisi IV DPR RI. Di antaranya, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Pertanian, BUMN Pangan, para pakar pangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta asosiasi nasional dan internasional yang terkait pangan.
“Yang paling menarik adalah ketika melakukan public hearing dan menjaring aspirasi ke Universitas Hasanuddin, Universitas Lampung, dan Universitas Udayana. Pihak perguruanperguruan tinggi itu menganggap UndangUndang Pangan yang ada sekarang sudah tidak relevan. Sebab, undangundang tersebut dibuat pada zaman Orde Baru yang menganut sistem sentralisasi. Sedangkan
saat ini kan sudah desen traliasi,” ujarnya.
Perguruan tinggi, menurut Herman, juga memiliki landasan idealisme yang kuat dan memberikan bobot terhadap idealisme pangan. Ditekankan Herman, idealisme pangan harus dijaga bukan hanya untuk satu hari, tapi harus diperhatikan keberlanjutannya.
“Para pakar perguruan tinggi dari UGM dan IPB juga sepakat agar dilakukan revisi total terhadap UU Pangan secara revolusioner,” katanya.
Lantaran itulah, Herman mengatakan, ke depan akan dilibatkan pula masingmasing perguruan tinggi dalam sistem penelitian dan pengkajian potensi di daerah masingmasing. Sementara itu, kata dia, bagi universitas yang memiliki fakultas pertanian akan dilakukan sejumlah pendampingan dari m a h a s i s w a k e p a d a p a r a
petani. “Intinya, mayoritas universi
tas itu mendukung revisi UU Pangan tersebut. Mereka menilai, sekarang UU Pangan itu sudah tidak relevan lagi,” kata Herman yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Demokrat.
Terkait dengan substansi revisi terhadap undangundang tersebut, Herman memaparkan, panja akan menitikberatkan pada soal ketahanan pangan. Itu berbeda dengan UU Pangan, kata dia, yang lebih berorientasi pada keamanan pangan dan labeling.
“Panja menginginkan adanya keseimbangan antara ketahanan dan keamanan dan dikemas dalam subtansi UU Kedaulatan Pangan,” ujarnya.
Melalui undangundang itu kelak, Herman optimistis bahwa Indonesia mampu mempertahankan ketahanan dan keamanan pangan secara nasional dan
juga internasional. Terlebih, dia menuturkan, saat ini ketersediaan pangan, luas lahan, dan hasil produktivitas pertanian dapat menjadi keunggulan.
“Melalui revisi UU Pangan ini pemerintah juga diharapkan bisa menstabilkan harga pada titik tertentu. Dimana, tingkat kesejahteraan 21 juta KK petani di Indonesia tetap baik dan 230 juta masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Jadi petani sejahtera, tapi masyarakat dapat membeli kebutuhan pangan,” paparnya.
Sesuai jadwal, Herman menuturkan, pada masa sidang ketiga tahun 20102011 RUU itu akan diangkat menjadi hak inisiatif DPR di tingkat 1. Lalu pada April atau Mei mendatang, direncanakan sudah selesai pengambilan keputusan tingkat 2 dan RUU itu bisa di sahkan. (S25)
Bentuk Panja demi Sempurnakan Aturan Pangan
Herman KhaeronKetua Panja Revisi UU Pangan
Rencana impor 1,5 juta ton itu terlalu berlebihan. Kalau
begitu, bagaimana petani di Indonesia bisa makmur. Jika hanya alasan stabilitas, cukup 500 ribu ton sampai 1 juta ton.”
Ferry JuliantonoKetua Dewan Tani Indonesia
DOK.PRIBADI
Sumber: Deptan RI (2008)