parlemen taria | media indonesia | halaman 5 filealasan terjadinya kelangkaan pangan. “masalah...

1
KAMIS, 24 FEBRUARI 2011 | | MEDIA INDONESIA | HALAMAN 5 P ARLEMEN TARIA B ERMULA dari kekece- waan masyarakat akan ketidaktersediaan pa- ngan, maraknya impor pangan, dan kian menciutnya pengadaan pangan domestik, dewan pun akhirnya memben- tuk Panitia Kerja (Panja) Pangan. Wakil Ketua Komisi IV De- wan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Golkar Firman Subagyo pun membeberkan latar belakang pembentukan panitia kerja tersebut, Selasa (22/2), di Jakarta. “Komisi IV DPR RI kini tengah menyiapkan revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kami telah melakukan sejumlah pertemuan dan rapat dengar pendapat umum dengan lembaga masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar di bidang pa- ngan dan sosial,” tuturnya mengawali percakapan dengan Media Indonesia. Firman menilai, persoalan pangan seharusnya tidak perlu terjadi di Indonesia. Pasalnya, kata dia, Indonesia merupakan negara agraris. “Oleh karena itulah, peme- rintah seharusnya mempunyai rencana strategis dan dapat menetapkan sistem yang baik, sehingga tidak akan ada ma- salah kelangkaan pangan,” tandasnya. Lantaran itulah dalam meng- hadapi masalah pangan yang tengah terjadi, Firman mene- kankan, pemerintah jangan pernah mencari dalih dan kam- bing hitam. Misalnya, sambung dia, menuding adanya anoma- li perubahan iklim sebagai alasan terjadinya kelangkaan pangan. “Masalah iklim itu hanya Tuhan yang tahu. Banyak negara dengan iklim ekstrem, seperti Eropa dan Jepang. Tapi, di sana toh tidak terjadi kelangkaan pangan seperti di Indonesia,” tukasnya. Firman justru mengingatkan agar permasalahan pangan yang sering melanda Indonesia pemerintah segera diatasi de- ngan membangun konsep dari hulu hingga hilir. Konsep itu harus mampu, kata dia, meng- atur tentang sistem program ketahanan pangan, mening- katkan produktivitas petani, serta menginventarisasi pokok persoalan di area tanaman pangan, infra- stuktur sektor pertanian, kondisi lahan, pola tanam, kultur, dan kesiapan petani. “Selama ini, pemerintah hanya melakukan program yang bersifat sporadis. Peme- rintah juga kerap menganggap persoalan pangan sebagai masalah sederhana. Bila terjadi kelangkaan bahan pangan se- perti beras, gula dan kacang, jalan keluarnya adalah impor. Hampir tidak ditemukan upaya- upaya yang menunjukkan keberpihakan penuh kepada petani,” katanya. Untuk itulah melalui Panja Pangan, Firman berharap, UU Pangan yang sekarang hanya mengatur masalah komoditas dapat berubah. Termasuk, sam- bung dia, lebih mengatur secara menyeluruh masalah pangan di Indonesia. DPR juga menginginkan, menurut Firman, UU Pangan mendatang dapat mencakup konsep penyediaan budi daya pangan, pascapanen, konsep dan pola dari hulu ke hulir, serta krite- ria pangan. “Re- visi UU pangan dibutuhkan karena selama ini pemerintah hanya menganggap kriteria pangan identik dengan beras. Padahal, seharusnya pangan dapat beraneka ragam seperti singkong dan sagu. Intinya, jangan sampai pemerintah mengubah kebiasaan dan bu- daya masyarakat yang tidak memilih beras sebagai makanan pokok. Jangan identikkan pa- ngan dengan beras,” ujarnya. Pada kesempatan itu, Firman juga mengingatkan bahwa UU Pangan yang ada sekarang juga tidak mengatur masalah garam. Padahal, kata dia, garam meru- pakan kebutuhan komoditi pokok kehidupan masyarakat. “UU Pangan juga tidak meng- atur masalah produk kelautan, seperti ikan, dan tidak menga- komodasi sektor peternakan dan sektor perikanan,” paparnya. Meluruskan orientasi Terkait masalah pangan, Fir- man juga menyoal fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog). Dia menilai, harusnya Bulog menjadi penyangga pangan Indonesia. “Bulog selama ini tidak se- jalan dengan fungsinya karena lebih berorientasi pada bisnis dan bukannya sebagai penyang- ga dan stabilisator. Bulog juga tampak terkendala dengan banyaknya komandan,” tuturnya. Masih menurut Firman, Bu- log tampaknya juga tidak ingin menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Padahal se- harusnya, sambung dia, Bulog justru mendorong menaikkan HPP dan berpihak kepada petani. Itu supaya, tambah Fir- man, petani terbantu dan dapat menikmati hasil jerih payah- nya. “Biasanya, pada masa tanam, petani sulit dapat modal. Tapi pada masa panen, justru peme- rintah ingin membeli hasil- nya dengan harga rendah. Itu sung- guh mencermin- kan ketiadaan rasa keadilan dan petani tampak seka- dar menjadi kor- ban politik,” tukasnya. Hal lain yang memprihatinkan, Firman mengatakan, Bulog terkesan lebih memilih melakukan impor dan sepakat memandangnya sebagai solusi terbaik. “Padahal, jalan keluar berupa impor bahan pangan tidaklah mendidik. In- donesia ini merupakan negara agraris. Pilihan tersebut kental mengesankan adanya permain- an dan main mata antara Bulog sebagai pelaksana dan pemerin- tah sebagai pengambil kepu- tusan,” katanya. Oleh karena itulah, Firman meminta agar Bulog dapat menjadi lembaga yang inde- penden dan tidak dapat diinter- vensi serta bertanggung jawab kepada DPR. Dia juga mengi- ngatkan bahwa pada dasarnya kebutuhan pangan adalah hak asasi serta kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok bagi ma- syarakat yang dilindungi konstitusi. (S-25) DPR Godok Konsep Pangan dari Hulu hingga Hilir Masalah pangan merupakan masalah krusial. Sebab, terkait pemenuhan akan kebutuhan pokok masyarakat yang paling mendasar. MENJELANG akhir 2010, kabar soal penambahan jumlah impor beras kian kencang berhembus. Awalnya, peme- rintah hanya memasukkan beras luar negeri ke dalam negeri sebanyak 600 ribu ton (dari Vietnam 550 ribu ton dan Thailand 50 ribu ton). Namun, rencana itu mendadak harus direvisi. Pada akhir November 2010, pemerintah sepakat men- datangkan lagi 230 ribu ton beras Thailand. Jumlah ini kemudian kembali membengkak pada pertengahan Desember 2010 menjadi 1,08 juta ton (200 ribu ton Viet- nam, 50 ribu Thailand). Jumlah itu belum berhenti karena Bulog masih bernegosiasi harga untuk mendatangkan beras premium Thailand sebanyak 150 ribu ton. Alasan berlimpahnya impor beras tersebut tergolong klasik, yakni produktivitas beras lokal mengalami ken- dala karena cuaca ekstrem. Beberapa daerah yang bia- sanya menjadi pemasok beras seperti Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian Lampung bahkan beralih menjadi daerah yang justru membutuhkan beras. Pernyataan terkait kebutuhan akan beras tersebut menjadi janggal karena Menteri Pertanian Suswono lewat data Biro Pusat Statistik mengklaim bahwa Indonesia saat ini surplus beras sekitar 5,6 juta ton. Belum lagi, angka ramalan kuartal III (ARAM III) yang dirilis BPS menun- jukkan peningkatan produksi beras lokal sebanyak 2,46%. Secara logika, jika benar surplus, Indo- nesia seharusnya tidak perlu mengim- por beras. Mentan sendiri berkilah, pe- nyebab utama pe- merintah harus mengimpor hingga 1,23 juta ton ialah ketidakmampuan Bulog menyerap be- ras petani ketika panen raya Maret 2010 silam akibat kualitas rendah. Ketika itu, Bulog hanya membeli 1,892 juta ton beras dari target 3,2 juta ton. Jumlah itu jauh lebih kecil dibading serapan pada 2009 yang mencapai 3,6 juta ton. Sedangkan, pada 2008, beras yang berhasil diserap Bulog sebanyak 2,936 juta ton. Tahun ini, bayang-bayang tambahan impor memang masih menghantui bersamaan dengan ancaman cuaca ekstrem yang makin ganas. Amerika Serikat mempredik- si Indonesia akan mengimpor beras hingga 1,75 juta ton atau menjadi negara pengimpor beras kedua terbesar setelah Nigeria. Kondisi tersebut tentu menjadi pertimbangan tersen- diri agar Indonesia memiliki regulasi yang kuat. Padahal, saat ini UU Pangan terakhir kali diterbitkan pada 1996 (UU Nomor 7/1996 tentang Pangan). Kondisi pangan saat itu sudah sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Terkait dengan rencana impor oleh Bulog hingga 1,5 juta ton itu, dinilai terlalu berlebihan. Adalah Ketua De- wan Tani Indonesia Ferry Juliantono yang menyatakan hal itu kepada Media Indonesia, Selasa (2/2). Memang, menurut Ferry, secara umum produksi beras dalam negeri sedang menurun karena faktor cuaca yang tidak me- nentu. “Tapi, rencana impor 1,5 juta ton itu terlalu ber- lebihan. Kalau begitu, bagaimana petani di Indonesia bisa makmur. Jika hanya alasan stabilitas, cukup 500 ribu ton sampai 1 juta ton,” katanya. Ferry mengingatkan, kini 40 persen masyarakat di Indonesia bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Hal tersebut, sambung dia, harusnya men- jadi alasan kuat untuk tidak melakukan impor beras. “Bahkan kondisi itu harusnya justru menjadi pemicu untuk terus meningkatkan produksi beras lokal, yang tentunya berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. Jadi harusnya yang dipilih adalah hilangkan ke- bijakan impor, tingkatkan produksi lokal!” tandasnya. (S-25) Surplus 5,6 Ton Impor Beras 2011 Janggal DOK.DPR CIPTAKAN STABILITAS PANGAN: RDPU Komisi IV dengan Kementerian Pertanian, dalam rangka penyusunan naskah akademik dan draf RUU tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan. S EJAK dibentuk pada awal Januari 2011, Panja Pangan DPR RI lang- sung tancap gas. Sejum- lah langkah pun tengah dilaku- kan demi bisa menyempurna- kan aturan tentang pangan yang telah ada sebelumnya. Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Herman Khaeron mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pen- jaringan aspirasi dan public hearing dengan berbagai stake holder dan mitra kerja Komisi IV DPR RI. Di antaranya, Kemen- terian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Pertanian, BUMN Pangan, para pakar pangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta asosiasi nasional dan inter- nasional yang terkait pangan. “Yang paling menarik adalah ketika melakukan public hearing dan menjaring aspirasi ke Uni- versitas Hasanuddin, Universi- tas Lampung, dan Universitas Udayana. Pihak perguruan- perguruan tinggi itu mengang- gap Undang-Undang Pangan yang ada sekarang sudah tidak relevan. Sebab, undang-undang tersebut dibuat pada zaman Orde Baru yang menganut sistem sentralisasi. Sedangkan saat ini kan sudah desentraliasi,” ujarnya. Perguruan tinggi, menurut Herman, juga memiliki lan- dasan idealisme yang kuat dan memberikan bobot terhadap idealisme pangan. Ditekankan Herman, idealisme pangan harus dijaga bukan hanya untuk satu hari, tapi harus diperhati- kan keberlanjutannya. “Para pakar perguruan ting- gi dari UGM dan IPB juga sepa- kat agar dilakukan revisi total terhadap UU Pangan secara revolusioner,” katanya. Lantaran itulah, Herman mengatakan, ke depan akan dilibatkan pula masing-masing perguruan tinggi dalam sistem penelitian dan pengkajian po- tensi di daerah masing-masing. Sementara itu, kata dia, bagi universitas yang memiliki fakul- tas pertanian akan dilakukan sejumlah pendampingan dari mahasiswa kepada para petani. “Intinya, mayoritas universi- tas itu mendukung revisi UU Pangan tersebut. Mereka me- nilai, sekarang UU Pangan itu sudah tidak relevan lagi,” kata Herman yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Demokrat. Terkait dengan substansi re- visi terhadap undang-undang tersebut, Herman memaparkan, panja akan menitikberatkan pada soal ketahanan pangan. Itu ber- beda dengan UU Pangan, kata dia, yang lebih berorientasi pada keamanan pangan dan labeling. “Panja menginginkan ada- nya keseimbangan antara ke- tahanan dan keamanan dan dikemas dalam subtansi UU Kedaulatan Pangan,” ujarnya. Melalui undang-undang itu kelak, Herman optimistis bahwa Indonesia mampu memperta- hankan ketahanan dan keaman- an pangan secara nasional dan juga internasional. Terlebih, dia menuturkan, saat ini ketersedia- an pangan, luas lahan, dan hasil produktivitas pertanian dapat menjadi keunggulan. “Melalui revisi UU Pangan ini pemerintah juga diharapkan bisa menstabilkan harga pada titik tertentu. Dimana, tingkat kesejahteraan 21 juta KK petani di Indonesia tetap baik dan 230 juta masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Jadi petani sejahtera, tapi masyarakat da- pat membeli kebutuhan pa- ngan,” paparnya. Sesuai jadwal, Herman menuturkan, pada masa sidang ketiga tahun 2010-2011 RUU itu akan diangkat menjadi hak ini- siatif DPR di tingkat 1. Lalu pada April atau Mei menda- tang, direncanakan sudah sele- sai pengambilan keputusan tingkat 2 dan RUU itu bisa disahkan. (S-25) Bentuk Panja demi Sempurnakan Aturan Pangan Herman Khaeron Ketua Panja Revisi UU Pangan Rencana impor 1,5 juta ton itu terlalu berlebihan. Kalau begitu, bagaimana petani di Indonesia bisa makmur. Jika hanya alasan stabilitas, cukup 500 ribu ton sampai 1 juta ton.” Ferry Juliantono Ketua Dewan Tani Indonesia DOK.PRIBADI Sumber: Deptan RI (2008)

Upload: hoangdang

Post on 28-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KAMIS, 24 FEBRUARI 2011 | | MEDIA INDONESIA | HALAMAN 5Parlementaria

BERMULA dari kekece­waan masyarakat akan ketidaktersediaan pa­ngan, maraknya impor

pangan, dan kian menciutnya pengadaan pangan domestik, dewan pun akhirnya memben­tuk Panit ia Kerja (Panja) Pangan.

Wakil Ketua Komisi IV De­wan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Golkar Firman Subagyo pun membeberkan latar belakang pembentukan panitia kerja tersebut, Selasa (22/2), di Jakarta. “Komisi IV DPR RI kini tengah menyiapkan revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kami telah melakukan sejumlah pertemuan dan rapat dengar pendapat u m u m d e n g a n l e m b a g a masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar di bidang pa­ngan dan sosial,” tuturnya mengawali percakapan dengan Media Indonesia.

Firman menilai, persoalan pangan seharusnya tidak perlu terjadi di Indonesia. Pasalnya, kata dia, Indonesia merupakan negara agraris.

“Oleh karena itulah, peme­rintah seharusnya mempunyai rencana strategis dan dapat menetapkan sistem yang baik, sehingga tidak akan ada ma­salah kelangkaan pangan,” tandasnya.

Lantaran itulah dalam meng­hadapi masalah pangan yang tengah terjadi, Firman mene­kankan, pemerintah jangan pernah mencari dalih dan kam­bing hitam. Misalnya, sambung dia, menuding adanya anoma­li perubahan iklim sebagai alasan terjadinya kelangkaan pangan.

“Masalah iklim itu hanya

Tuhan yang tahu. Banyak negara dengan iklim ekstrem, se perti Eropa dan Jepang. Tapi, di sana toh tidak terjadi kelangkaan pangan seperti di Indonesia,” tukasnya.

Firman justru mengingatkan agar permasalahan pangan yang sering melanda Indonesia pemerintah segera diatasi de­ngan membangun konsep dari hulu hingga hilir. Konsep itu harus mampu, kata dia, meng­atur tentang sistem program ketahanan pangan, mening­katkan produktivitas petani, serta menginventarisasi pokok persoalan di area tanaman pangan, infra­stuktur sektor pertanian, kondisi lahan, pola tanam, kultur, dan kesiapan petani.

“Selama ini, pemerintah ha nya melakukan program yang bersifat sporadis. Peme­rintah juga kerap menganggap persoalan pangan sebagai masalah sederhana. Bila terjadi kelangkaan bahan pangan se­perti beras, gula dan kacang, jalan keluarnya adalah impor. Hampir tidak ditemukan upaya­ upaya yang menunjukkan keberpihak an penuh kepada petani,” katanya.

Untuk itulah melalui Panja Pangan, Firman berharap, UU Pangan yang sekarang hanya mengatur masalah komoditas dapat berubah. Termasuk, sam­bung dia, lebih mengatur secara menyeluruh masalah pangan di Indonesia.

DPR juga menginginkan, menurut Firman, UU Pangan mendatang dapat mencakup konsep penyediaan budi daya pangan, pascapanen, konsep dan pola dari hulu ke hulir,

serta krite­ria pangan. “Re­visi UU pangan dibutuhkan karena selama ini pemerintah hanya menganggap kriteria pangan identik dengan beras. Padahal, seharusnya pangan dapat ber aneka ragam seperti singkong dan sagu. Intinya, jangan sampai pemerintah meng ubah ke biasaan dan bu­daya masyarakat yang tidak memilih beras sebagai makanan pokok. Jangan identikkan pa­ngan dengan beras,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Firman juga mengingatkan bahwa UU Pangan yang ada sekarang juga tidak mengatur masalah garam. Padahal, kata dia, garam meru­pakan kebutuhan komoditi pokok kehidupan masyarakat.

“UU Pangan juga tidak

m e n g ­atur masalah produk kelautan, seperti ikan, dan tidak menga­komodasi sektor peter nakan d a n s e k t o r p e r i k a n a n , ” paparnya.

Meluruskan orientasiTerkait masalah pangan, Fir­

man juga menyoal fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog). Dia menilai, harusnya Bulog menjadi penyangga pangan Indonesia.

“Bulog selama ini tidak se­jalan dengan fungsinya karena lebih berorientasi pada bisnis dan bukannya sebagai penyang­ga dan stabilisator. Bulog juga tampak terkendala de ngan b a n y a k n y a k o m a n d a n , ” tuturnya.

Masih menurut Firman, Bu­

log tampaknya juga tidak ingin menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Padahal se­harusnya, sambung dia, Bulog justru mendorong menaikkan HPP dan berpihak kepada petani. Itu supaya, tambah Fir­man, petani terbantu dan dapat menikmati hasil jerih payah­nya.

“Biasanya, pada masa tanam, petani sulit dapat modal. Tapi pada masa panen, justru peme­

rintah ingin membeli hasil­nya dengan harga rendah. Itu sung­guh mencermin­

kan ketiadaan rasa keadilan d a n p e t a n i

tampak seka­dar menjadi kor­

ban politik,” tukasnya.H a l l a i n y a n g

memprihatin kan, Firman mengatakan, Bulog terkesan

lebih memilih melakukan impor dan sepakat memandangnya sebagai solusi terbaik. “Padahal, jalan keluar berupa impor bahan pangan tidaklah mendidik. In­donesia ini merupakan negara agraris. Pilihan tersebut kental mengesankan adanya permain­an dan main mata antara Bulog sebagai pelaksana dan pemerin­tah sebagai pengambil kepu­tusan,” katanya.

Oleh karena itulah, Firman meminta agar Bulog dapat menjadi lembaga yang inde­penden dan tidak dapat diinter­vensi serta bertanggung jawab kepada DPR. Dia juga mengi­ngatkan bahwa pada dasarnya kebutuh an pangan adalah hak asasi serta kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok bagi ma­syarakat yang dilindungi konstitusi. (S­25)

DPR Godok Konsep Pangan dari Hulu hingga HilirMasalah pangan merupakan masalah krusial. Sebab, terkait pemenuhan akan kebutuhan pokok masyarakat yang paling mendasar.

MENJELANG akhir 2010, kabar soal penambahan jumlah impor beras kian kencang berhembus. Awalnya, peme­rintah hanya memasukkan beras luar negeri ke dalam negeri sebanyak 600 ribu ton (dari Vietnam 550 ribu ton dan Thailand 50 ribu ton). Namun, rencana itu mendadak harus direvisi.

Pada akhir November 2010, pemerintah sepakat men­datangkan lagi 230 ribu ton beras Thailand. Jumlah ini kemudian kembali membengkak pada pertengahan Desember 2010 menjadi 1,08 juta ton (200 ribu ton Viet­nam, 50 ribu Thailand). Jumlah itu belum berhenti karena Bulog masih bernegosiasi harga untuk mendatangkan beras premium Thailand sebanyak 150 ribu ton.

Alasan berlimpahnya impor beras tersebut tergolong klasik, yakni produktivitas beras lokal mengalami ken­dala karena cuaca ekstrem. Beberapa daerah yang bia­sanya menjadi pemasok beras seperti Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian Lampung bahkan beralih menjadi daerah yang justru membutuhkan beras.

Pernyataan terkait kebutuhan akan beras tersebut menjadi janggal karena Menteri Pertanian Suswono lewat data Biro Pusat Statistik mengklaim bahwa Indonesia saat ini surplus beras sekitar 5,6 juta ton. Belum lagi, angka ramalan kuartal III (ARAM III) yang dirilis BPS menun­

jukkan peningkatan produksi beras lokal sebanyak 2,46%.

Secara logika, jika benar surplus, Indo­nesia seharusnya tidak perlu mengim­por beras. Mentan sendiri berkilah, pe­nyebab utama pe­m e r i n t a h h a r u s mengimpor hingga 1,23 juta ton ialah ketidakmampuan Bulog menyerap be­ras petani ketika panen raya Maret 2010 silam akibat kualitas rendah.

Ketika itu, Bulog hanya membeli 1,892 juta ton beras dari target 3,2 juta ton. Jumlah itu jauh lebih kecil dibading serapan pada 2009 yang mencapai 3,6 juta ton. Sedangkan, pada 2008, beras yang berhasil diserap Bulog sebanyak 2,936 juta ton.

Tahun ini, bayang­bayang tambahan impor memang masih menghantui bersamaan dengan ancaman cuaca ekstrem yang makin ganas. Amerika Serikat mempredik­si Indonesia akan mengimpor beras hingga 1,75 juta ton atau menjadi negara pengimpor beras kedua terbesar setelah Nigeria.

Kondisi tersebut tentu menjadi pertimbangan tersen­diri agar Indonesia memiliki regulasi yang kuat. Padahal, saat ini UU Pangan terakhir kali diterbitkan pada 1996 (UU Nomor 7/1996 tentang Pangan). Kondisi pangan saat itu sudah sangat berbeda dengan kondisi saat ini.

Terkait dengan rencana impor oleh Bulog hingga 1,5 juta ton itu, dinilai terlalu berlebihan. Adalah Ketua De­wan Tani Indonesia Ferry Juliantono yang menyatakan hal itu kepada Media Indonesia, Selasa (2/2). Memang, menurut Ferry, secara umum produksi beras dalam ne geri sedang menurun karena faktor cuaca yang tidak me­nentu. “Tapi, rencana impor 1,5 juta ton itu terlalu ber­lebihan. Kalau begitu, bagaimana petani di Indonesia bisa makmur. Jika hanya alasan stabilitas, cukup 500 ribu ton sampai 1 juta ton,” katanya.

Ferry mengingatkan, kini 40 persen masyarakat di Indonesia bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Hal tersebut, sambung dia, harusnya men­jadi alasan kuat untuk tidak melakukan impor beras.

“Bahkan kondisi itu harusnya justru menjadi pemicu untuk terus meningkatkan produksi beras lokal, yang tentunya berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. Jadi harusnya yang dipilih adalah hilangkan ke­bijakan impor, tingkatkan produksi lokal!” tandasnya.

(S­25)

Surplus 5,6 TonImpor Beras 2011 Janggal

DOK.DPR

CIPTAKAN STABILITAS PANGAN: RDPU Komisi IV dengan Kementerian Pertanian, dalam rangka penyusunan naskah akademik dan draf RUU tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

SEJAK dibentuk pada awal Januari 2011, Panja Pangan DPR RI lang­sung tancap gas. Sejum­

lah langkah pun tengah dilaku­kan demi bisa menyempurna­kan aturan tentang pangan yang telah ada sebelumnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja)

Revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Herman Khaeron mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pen­jaringan aspirasi dan public hearing dengan berbagai stake holder dan mitra kerja Komisi IV DPR RI. Di antaranya, Kemen­terian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Pertanian, BUMN Pangan, para pakar pangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta asosiasi nasional dan inter­nasional yang terkait pangan.

“Yang paling menarik adalah ketika melakukan public hearing dan menjaring aspirasi ke Uni­versitas Hasanuddin, Universi­tas Lampung, dan Universitas Udayana. Pihak perguruan­perguruan tinggi itu mengang­gap Undang­Undang Pangan yang ada sekarang sudah tidak relevan. Sebab, undang­undang tersebut dibuat pada zaman Orde Baru yang menganut sistem sentralisasi. Sedangkan

saat ini kan sudah desen traliasi,” ujarnya.

Perguruan tinggi, menurut Herman, juga memiliki lan­dasan idealisme yang kuat dan memberikan bobot terhadap idealisme pangan. Ditekankan Herman, idealisme pangan harus dijaga bukan hanya untuk satu hari, tapi harus diperhati­kan keberlanjutannya.

“Para pakar perguruan ting­gi dari UGM dan IPB juga sepa­kat agar dilakukan revisi total terhadap UU Pangan secara revolusioner,” katanya.

Lantaran itulah, Herman mengatakan, ke depan akan dilibatkan pula masing­masing perguruan tinggi dalam sistem penelitian dan pengkajian po­tensi di daerah masing­masing. Sementara itu, kata dia, bagi universitas yang memiliki fakul­tas pertanian akan dilakukan sejumlah pendampingan dari m a h a s i s w a k e p a d a p a r a

petani. “Intinya, mayoritas universi­

tas itu mendukung revisi UU Pangan tersebut. Mereka me­nilai, sekarang UU Pangan itu sudah tidak relevan lagi,” kata Herman yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Demokrat.

Terkait dengan substansi re­visi terhadap undang­undang tersebut, Herman memaparkan, panja akan menitikberatkan pada soal ketahanan pangan. Itu ber­beda dengan UU Pangan, kata dia, yang lebih berorientasi pada keamanan pangan dan labeling.

“Panja menginginkan ada­nya keseimbangan antara ke­tahanan dan keamanan dan dikemas dalam subtansi UU Kedaulatan Pangan,” ujarnya.

Melalui undang­undang itu kelak, Herman optimistis bahwa Indonesia mampu memperta­hankan ketahanan dan keaman­an pangan secara nasional dan

juga internasional. Terlebih, dia menuturkan, saat ini ketersedia­an pangan, luas lahan, dan hasil produktivitas pertanian dapat menjadi keunggulan.

“Melalui revisi UU Pangan ini pemerintah juga diharapkan bisa menstabilkan harga pada titik tertentu. Dimana, tingkat kesejahteraan 21 juta KK petani di Indonesia tetap baik dan 230 juta masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Jadi petani sejahtera, tapi masyarakat da­pat membeli kebutuhan pa­ngan,” paparnya.

Sesuai jadwal, Herman menuturkan, pada masa sidang ketiga tahun 2010­2011 RUU itu akan diangkat menjadi hak ini­siatif DPR di tingkat 1. Lalu pada April atau Mei menda­tang, direncanakan sudah sele­sai pengambilan keputusan tingkat 2 dan RUU itu bisa di sahkan. (S­25)

Bentuk Panja demi Sempurnakan Aturan Pangan

Herman KhaeronKetua Panja Revisi UU Pangan

Rencana impor 1,5 juta ton itu terlalu berlebihan. Kalau

begitu, bagaimana petani di Indonesia bisa makmur. Jika hanya alasan stabilitas, cukup 500 ribu ton sampai 1 juta ton.”

Ferry JuliantonoKetua Dewan Tani Indonesia

DOK.PRIBADI

Sumber: Deptan RI (2008)