paradikma baru pemb matematika_supinah

8
1 PARADIKMA BARU PEMBELAJARAN MATEMATIKA Oleh: Dr. Supinah (Widyaiswara PPPPTK Matematika) A. PENDAHULUAN Orientasi pendidikan di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri-ciri cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject- oriented, dan manajemen bersifat sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni dalam Sutarto Hadi, 2000: 1). Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau konvensional. Pada pembelajaran konvensional atau tradisional dilihat dari kegiatan siswa selama berlangsungnya pembelajaran bekerja untuk dirinya sendiri, mata ke papan tulis dan penuh perhatian, mendengarkan guru dengan seksama, dan belajar hanya dari guru atau bahan ajar, bekerja sendiri, diam adalah emas, serta hanya guru yang membuat keputusan dan siswa pasif (Stahl, 1994: 19). Tampak bahwa dalam pembelajaran guru lebih berperan sebagai subyek pembelajaran atau pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai obyek, serta pembelajaran tidak mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Akibatnya banyak siswa mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.

Upload: dedyseptyanto

Post on 02-Sep-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sip

TRANSCRIPT

  • 1

    PARADIKMA BARU PEMBELAJARAN MATEMATIKA Oleh: Dr. Supinah

    (Widyaiswara PPPPTK Matematika)

    A. PENDAHULUAN

    Orientasi pendidikan di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri-ciri cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject-oriented, dan manajemen bersifat sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni dalam Sutarto Hadi, 2000: 1). Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau konvensional. Pada pembelajaran konvensional atau tradisional dilihat dari kegiatan siswa selama berlangsungnya pembelajaran bekerja untuk dirinya sendiri, mata ke papan tulis dan penuh perhatian, mendengarkan guru dengan seksama, dan belajar hanya dari guru atau bahan ajar, bekerja sendiri, diam adalah emas, serta hanya guru yang membuat keputusan dan siswa pasif (Stahl, 1994: 19). Tampak bahwa dalam pembelajaran guru lebih berperan sebagai subyek pembelajaran atau pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai obyek, serta pembelajaran tidak mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Akibatnya banyak siswa mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.

  • 2

    Sebagian besar dari mereka tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan.

    Untuk itu, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional dan menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar nasional, salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah adalah Depdiknas melakukan pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran, yaitu dari teacher active teaching menjadi student active learning . Maksudnya adalah orientasi pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

    B. PARADIKMA BARU PEMBELAJARAN MATEMATIKA

    Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan yang memiliki ciri-ciri berikut: (1) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), (2) pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel, (3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni dalam Sutarto Hadi, 2003: 2). Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator yang akan memfasilitasi siswa dalam belajar, dan siswa sendirilah yang harus aktif belajar dari berbagai sumber belajar.

    Pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran ini tampak dengan diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pada kegiatan pembelajaran pada KTSP ini adalah kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreatifitas, kontekstual, menantang dan menyenangkan, menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan belajar melalui berbuat. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma baru pendidikan yang

  • 3

    diantaranya dengan mulai diberlakukannya KTSP ini, menuntut partisipasi yang tinggi dari siswa dalam kegiatan pembelajaran.

    Untuk itu perlu bagi guru bagaimana menemukan cara terbaik untuk menyampai-kan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran yang diampunya, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih lama konsep tersebut dan bagaimana setiap individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh. Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelajari, serta bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkaitkannya dengan kehidupan nyata.

    Pada SI mata pelajaran matematika untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) diantaranya dimuat uraian dan ketentuan tentang tujuan mata pelajaran matematika pada satuan dikdasmen. Mencermati tujuan mata pelajaran matematika yang diuraikan pada SI tersebut maka pada intinya setiap pembelajaran matematika pada satuan dikdasmen diharapkan dapat membantu peserta didik (siswa) agar mampu: (1) memahami konsep-konsep dalam matematika, (2) menggunakan penalaran, (3) memecahkan masalah, (4) berkomunikasi secara matematik dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Mengacu pada tujuan mata pelajaran Matematika tersebut, maka perlu bagi guru sebagai pengelola pembelajaran matematika dapat mewujudkan kualitas dan produktivitas pembelajarannya agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran Matematika yang telah ditetapkan. Bagaimana agar guru dalam mengelola pembelajaran matematika tidak hanya mengantarkan siswa untuk mampu memahami konsep saja, tetapi sampai pada mengantarkan siswa untuk dapat menggali atau menggunakan penalaran, mampu memecahkan masalah, dan dapat melihat kegunaan matematika dalam kehidupan.

  • 4

    Lampiran Permendiknas RI No. 22 (2006, 416) menyebutkan bahwa, dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya. Sementara itu, dalam Permendiknas RI No. 41 (2007: 6) disebutkan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi mengajar dan sekaligus melibatkan peran aktif siswa dalam proses pembelajarannya.

    Apa yang dikemukakan dalam Permendiknas tersebut di atas, merupakan salah satu upaya atau terobosan yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran, yaitu dari teacher active teaching menjadi student active learning dengan harapan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional dan menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar nasional. Maksud pergeseran paradigma tersebut adalah orientasi pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

    Apabila dicermati apa yang dikemukakan paradikma baru pendidikan, terobosan yang telah dilakukan pemerintah menunjukkan bahwa peran aktif siswa dalam pembelajaran merupakan suatu keharusan. Strategi atau pendekatan pembelajaran yang dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan dengan produktif dan bermakna bagi siswa dan dapat dikatakan sebagai strategi pembelajaran matematika yang baru antara lain adalah: (1) Pendidikan

  • 5

    Matematika Realistik (Realistik Mathematics Education(RME)), (2) Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah (Problem Based Learning), (3) Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) dan Pembelajaran Matematika Kontekstual (Contextual Teaching & Learning).

    C. KONTEKSTUAL ATAU REALISTIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

    Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu keyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya (Sutarto Hadi,2005: 17). Lebih lanjut dikemukakan, orang akan melihat makna dari apa yang dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan dengan pengetahuan dan pengalamannya yang terdahulu. Johnson (2002: 24), mengemukakan pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari, seperti: (1) membuat hubungan yang bermakna; (2) melakukan pekerjaan yang berarti; (3) pengaturan belajar sendiri; (4) bekerja sama; (5) berpikir kritis dan kreatif; (6) mendewasakan individu; (7) mencapai standar yang tinggi; dan (8) menggunakan penilaian autentik. University of Georgia Projects (2001: 5), mendifinisikan pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) membantu siswa membuat hubungan antar pembelajaran mereka dan penerapan dunia nyata; (2) meliputi strategi pengajaran yang berfokus pada siswa sebagai pelajar yang aktif; (3) memberi kesempatan pada siswa untuk mengatasi masalah kompleks dunia nyata dalam latar yang berbeda; (4) menghubungkan pengetahuan para siswa dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga masyarakat dan pekerja.

    Definisi lain menyebutkan pembelajaran kontekstual hubungannya dengan pengajaran adalah pengajar yang memberi kesempatan para siswa untuk memperkuat, memperluas dan menggunakan pengetahuan akademik dan keterampilan-keterampilan dalam bermacam-macam latar di dalam sekolah dan

  • 6

    di luar sekolah untuk menyelesaikan masalah dunia nyata. Hubungannya dengan belajar terjadi ketika para siswa menggunakan dan mengalami kesulitan menghubungkan masalah-masalah nyata kaitan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa dan pekerja. Sementara itu, Howey mengemukakan bahwa pembelajaran kontekstual mewakili konsep yang berkaitan dengan menghubungkan isi yang dipelajari siswa dengan konteks dimana isi tersebut dapat digunakan. Menghubungkan isi dengan konteks adalah bagian penting yang membawa arti pada proses pembelajaran.

    Dari apa yang dikemukakan di atas kaitannya dengan pembelajaran matematika, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kontekstual atau realistik dalam pembelajaran matematika adalah bahwa dalam pembelajaran matematika hendaknya ditandai antara lain: (1) didasarkan pada masalah; (2) pembelajaran terjadi dalam konteks yang beragam, seperti: rumah, sekolah, masyarakat, dan tempat kerja; (3) membantu perkembangan pembelajaran mandiri; (4) menggambarkan keanekaragaman siswa; (5) menggunakan kelompok-kelompok belajar yang saling memerlukan; (6) menggunakan penilaian yang autentik; (7) memerlukan pemikiran yang lebih tinggi (kritis dan kreatif). Di samping itu, dapat dikemukakan kelebihan dari pembelajaran kontekstual, yaitu: (1) siswa sebagai subjek belajar; (2) siswa lebih memperoleh kesempatan meningkatkan hubungan kerja sama antar teman; (3) siswa memperoleh kesempatan lebih untuk mengembangkan aktivitas, kreativitas sikap kritis, kemandirian, dan mampu mengkomunikasi dengan orang lain; (4) siswa lebih memiliki peluang-peluang untuk menggunakan keterampilan-keterapilan dan pengetahuan baru yang diperlukan dalam kehidupan yang sebenarnya; (5) tugas guru sebagai fasilitator, yaitu memfasilitasi siswa selama pembelajaran berlangsung sebagai contoh menyiapkan alat peraga.

    D. KESIMPULAN

    Paradikma Baru pendidikan atau pembelajaran adanya pergeseran dalam proses pembelajaran dari pengajaran ke pembelajaran, yaitu dari teacher active

  • 7

    teaching menjadi student active learning dengan harapan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional dan menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar nasional. Maksud pergeseran paradigma tersebut adalah orientasi pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Dengan demikian dalam melaksanakan pembelajaran di kelas guru diharapkan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching).

    Guru dapat mewujudkan paradikma baru pembelajaran matematika diantaranya dengan menggunakan pembelajaran matematika baru seperti (1) Pendidikan matematika realistik (Realistik Mathematics Education(RME)), (2) Pembelajaran berbasis pemecahan masalah (Problem Based Learning), (3) Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Pembelajaran matematika kontekstual (Contextual Teaching & Learning).

    DAFTAR PUSTAKA

    Atwi Suparman. 1997. Desain Instructional. Jakarta: PAU-PPAI Universitas Terbuka.

    Berns dan Erikson. 2001. Theoretical Roots of Contextual Teaching and Learning in Mathematics. Georgia: The Departemet of Mathematis Education.

    Bruce Joyce dan Marcha Weil. 1996. Models of Teaching, 5th- edition. Needham Heights. Mas, 02194 asimon & Schuster Company.

    Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2003. Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Dikdasmen.

    Elaine B Johnson. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

  • 8

    Elly Estiningsih. 1994. Analisis GBPP SD 1994. Bahan Ajar untuk Program Penataran Baca, Tulis, Hitung yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar Depdikbud.

    Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika (makalah yang disampaikan pada seminar Pendekatan realistik dan sani dalam Pendidikan Matematika di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

    Marpaung, Y. 2006. Pembelajaran Matematika dengan Model PMRI (Makalah yang disampaikan pada seminar dan lokakarya pembelajaran matematika). Yogyakarta: PPPG Matematika.

    Robert G. Patricia M. Contextual Teaching and Learning: Preparing Students for the New Economy. The Highlightzone: research @ work no. 5

    Robert N Gagne dan Leslie J Briggs. 1992. Principles of Instructional Design, 4th edition. New York: Holt Rineharart and Winston.

    Suryanto & Sugiman. 2001. Pendidikan Matematika Realistik (Disampaikan pada seminar Pendekatan realistik dan sani dalam Pendidikan Matematika di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

    Suryanto. 2001. Pendidikan Matematika Realistik ( Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya Penyusunan Perangkat Penataran Matematika bagi Widyaiswara BPG) Yogyakarta: PPPG Matematika.

    Sutarto Hadi. 2003. Pendidikan Realistik: Menjadikan Pelajaran matematika Lebih Bermakna bagi Siswa (Makalah yang Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Perubahan Paradigma dari Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

    Sutarto Hadi. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Penerbit Tulip.

    Zulkardi. Realistic Mathematics Education (RME). http://www.geocities.com/ ratuilma/tutorframesetindo.html diakses tanggal 4 September 2008.