paper ke-viii human rights and obligations · untuk memastikan pemenuhan urusan ekonomi, ......
TRANSCRIPT
i
Paper ke-VIII
HUMAN RIGHTS AND OBLIGATIONS
(HAK DAN KEWAJIBAN MANUSIA)
Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:
Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia
Dosen:
Dr. EPI SUPIADI, M.Si
Dra. SUSILADIHARTI, M.SW
Oleh:
HERU SUNOTO
NRP: 13.01.03
PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL
SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2013
ii
KATA PENGANTAR
الحمد هلل رّب العالمين، والصالة والسالم على رسوله األمين، وعلى آله وصحبه أجمعين، وبعد ...
Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VII, paper tentang
Human Rights and Obligations (Hak dan Kewajiban Manusia) dengan referensi utama buku
Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab VI untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan
Sosial, dan HAM bisa selesai, pertemuan ke-VII.
Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1,
dan lebih khusus lagi dosen kami.
Bandung, 01 Oktober 2013
Heru Sunoto
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2
Terkikisnya Peran Negara
Perlindungan HAM
Pelaksanaan HAM
Kewajiban Kewarganegaraan
Menghargai Hak Orang Lain
Mempraktikkan Salah Satu Hak
BAB III. PEMBAHASAN 12
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 15
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Human Rights and Obligations (Hak dan Kewajiban Manusia). Hak asasi manusia (HAM)
adalah sesuatu yang melekat pada diri setiap manusia, tidak dapat dicabut dari manusia,
tidak bisa dipisah-pisahkan, satu kesatuan yang utuh dan saling terkait. Adapun Kewajiban
didefinisikan sebagai a course of action that someone is required to take, whether legal or
moral (tindakan seseorang yang diperlukan untuk diambil, baik legal maupun moral).1
Pencapaian HAM berujung pada tercapainya status manusia yang benar-benar menjadi
manusia seutuhnya. Dan pelaksanaan kewajiban juga berujung pada pernghargaan
manusia kepada pihak lain sehingga selaras dan harmoni.
Jim Ife2 mengatakan: “HUMAN RIGHTS ARE COMMONLY considered to be:
universal; belonging to everybody regardless of race, nation, culture, sex; age, ability,
beliefs or behavior;
indivisible; unable to be separated from each other, but belonging together as a
package;
inalienable; unable to be taken away from an individual or group;
inabrogable; unable to be given away, voluntarily or as a trade-off for some other
privilege.”
HAM sering dikaitkan dengan universalitas (dimiliki oleh seluruh manusia tanpa melihat ras,
bangsa, budaya, jenis kelamin, usia, kemampuan, kepercayaan, atau perilaku), indivisible
(tidak dapat dipisahkan satu sama lain), inalienable (tidak bisa dicabut/dilepaskan dari
individu atau kelompok), dan inabrugabel (tidak bisa dihadiahkan, diberikan kepada pihak
manapun sebagai hadiah atau apapun).
Tuntutan akan hak berimplikasi kepada kewajiban Negara, masyarakat, keluarga, institusi,
atau individu lainnya untuk menyediakan hak tersebut. Demikian juga hak orang lain
berimplikasi pada kewajiban pihak untuk menyediakan tuntutan tersebut.
Oleh karena itu, hak dan kewajiban merupakan “pisau bermata dua”, bagi kita adalah hak
namun bagi pihak lain merupakan kewajiban. Bagaimana kedua hal itu diperoleh?
Dijalankan? diselaraskan dengan hak orang lain? Bagaimana peran peksos dalam hal ini?
Hal inilah yang akan kita bahas pada paper kita kali ini.
***
1 http://en.wikipedia.org/wiki/Obligation; downloaded at October 1
st 2013.
2 Jim Ife, Human Right form Below, Cambridge University Press, UK, 2009, hal 84.
2
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN MANUSIA
Bab ini meneliti hubungan antara hak dan tanggung jawab, tugas atau kewajiban. Jika orang
dianggap memiliki hak, ini ada implikasinya dengan kewajiban, baik negara maupun
individu, untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dilindungi dan diwujudkan. Ini perlu
dikaji secara rinci, karena hak dan kewajiban memiliki implikasi yang signifikan untuk praktek
pekerjaan sosial yang mengasumsikan perspektif HAM.
Pertama, kita akan mengkaji gagasan tentang tanggung jawab negara, atau gagasan
tentang beberapa hak sipil, yang berasal dari pengakuan dan penegasan HAM.
TERKIKISNYA PERAN NEGARA
Sama-sama kita fahami bahwa HAM memaksa beberapa kewajiban kepada negara untuk
memastikan bahwa hak-hak tersebut dihormati, dilindungi dan diwujudkan. Tapi sebelum
kita kaji bagaimana hal ini dapat dicapai, dan implikasinya terhadap pekerjaan sosial, kita
perlu mengkaji problematika peran negara dalam masyarakat kontemporer.
“Krisis dalam Negara” adalah tema yang berulang dalam literatur kebijakan social. Ada
literatur yang substansial di dalam “krisis di negara kesejahteraan” yang lebih spesifik, yang
sangat penting karena merupakan negara kesejahteraan memiliki tanggung jawab utama
untuk memastikan pemenuhan urusan ekonomi, sosial dan budaya banyak HAM3.
Krisis di dalam negara, dan tidak adanya potensi Negara untuk menjamin HAM secara lebih
luas, memungkinkan banyak pekerja sosial untuk harapkan, dapat dilihat memiliki dua
aspek:
Pertama, adanya kontradiksi yang melekat dari negara kesejahteraan dalam masyarakat
modern, yang telah menjadi subyek analisis yang cukup serius. Karena tabiat kontradiksi
kedua hal ini adalah Negara tidak mampu memenuhi semua permintaan kebutuhan social
warganya, karena pada saat yang sama Negara juga dituntut untuk memacu pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan. Welfare state (Negara kesejahteraan) memainkan peran
ganda, yaitu:
Memelihara kesehatan ekonomi nasional (dengan ekonomi yang sehat sehat , tenaga
kerja terdidik, dan merangsang permintaan)
3 Bryson 1992; Burrows & Loader 1994, Saunders 1994; Goodin et al 1999;. Mishra 1999; Rodger 2000.
3
Merusak kesehatan ekonomi (dengan mencabut insentif/subsidi dan melalui permintaan
yang semakin meningkat permintaan belanja public yang tidak dapat dipenuhi).4 Dengan
demikian negara kesejahteraan penuh kontradiksi dan bekerja melawan dirinya sendiri.
Pemerintah tidak mampu melaksanakan seluruh agenda welfare-state, tetapi pemerintah
juga tidak akan jadi apa-apa tanpa melakukan agenda welfare-state5. Hasilnya adalah
kebuntuan kemampuan negara untuk merespon kebutuhan salah satunya secara
optimal, warganya saja ataukah perekonomian.
Ke dua, Penyebab lain dari krisis di negara adalah globalisasi. Ini pernah kita dibahas pada
Bab 1 yang lalu. Meningkatnya kekuatan pasar global berarti bahwa pemerintah semakin
terbatas otonominya dalam membuat pilihan kebijakan ekonomi. Bahkan, jika pemerintah
ingin menghabiskan sejumlah besar dananya pada pelayanan publik untuk menjamin
pemenuhan HAM (terutama mahalnya hak ekonomi, hak social, dan hak budaya) akan
mampu melakukannya, namun ada ketakutan goncangnya ekonomi nasional karena pasar
akan kehilangan kepercayaan dalam perekonomian dan mencari investasi dan keuntungan
di tempat lain.
Satu Negara tidak dapat memiliki sebuah rezim hak asasi manusia, namun tanpa beberapa
lembaga --secara tradisional ini telah menjadi Negara-- dengan sumber daya dan mandat
untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.
Jadi, pada saat peran negara terkikis, muncul pertanyaan apakah mungkin untuk berbicara
tentang beberapa jenis lain badan publik yang mungkin dapat mengisi, setidaknya sebagian,
sebagai fungsi penjamin pemenuhan HAM, sebagaimana peran Negara? Dalam konteks
perubahan global, ada beberapa perhatian terhadap beberapa peran badan NGO’s sebagai
pelanggar HAM.6 Tetapi, perhatian telah diberikan kepada NGO’s sebagai pelindung HAM.
Ada empat kemungkinan alternatif yang salah satunya mungkin bisa dipertimbangkan, yaitu:
Pertama adalah kemungkinan beberapa bentuk penjamin global HAM. PBB, melalui Komisi
HAM dan beberapa lembaga lainnya, memainkan peran ini sampai batas tertentu, meskipun
pengaruhnya tidak selalu diakui atau seefektif yang diharapkan, dan banyak negara memilih
untuk mengabaikan atau melemahkan pengaruh PBB dalam hal ini . Dalam era menurunnya
kekuasaan Negara, maka peran lembaga-lembaga HAM PBB menjadi semakin penting, dan
ini merupakan agenda penting bagi mereka yang tertarik dalam penguatan dan HAM.
Badan-badan lainnya yang juga berpengaruh secara global sebagai NGO’s HAM, adalah
terutama Amnesty International dan Human Rights Watch. Ini tentu saja tidak memiliki
4 George & Wilding 1984; Mishra 1984.
5 Offe, Contradiction of the Welfare-state, London-Hutchinson, 1984.
6 Brohmer, State Immunity and the Violation of Human Right, the Hague, Kluwer Law International, 1997; Rees
& Wright, Human Right and Corporate Responsibility, Sydney, Pluto Press, 2000.
4
mandat resmi untuk memastikan standar HAM, tetapi secara internasional, mereka memiliki
otoritas moral yang kuat, dan dengan menerbitkan laporan penelitian dan laporan media
pada pelanggaran HAM, mereka memainkan peranan penting global.
Namun, mereka tak punya mandat hukum secara legal maupun sumber daya untuk
mengasumsikan kewajiban 'negara' untuk melindungi dan mewujudkan HAM.
PBB sampai batas tertentu tidak memiliki mandat hukum melalui berbagai konvensi-
konvensi kepada Negara-negara yang menandatanganinya (lihat Lampiran II), dan juga
dapat memberikan beberapa perlindungan bagi agenda HAM generasi kedua (misalnya,
UNESCO, UNICEF).
Namun kedua hal itu, dasar hukum dan lembaga internasional perlu diperkuat secara besar-
besaran jika akan mengambil alih fungsi negara dalam memenuhi kewajiban publik yang
diperlukan untuk komitmen terhadap HAM.
Ada juga, pada level internasional, ada kekuatan struktur regional yang menjalankan tugas
Negara, yaitu Uni Eropa. Ia memiliki sejumlah konvensi yang menjamin HAM tertentu dalam
perusahaan negara anggota7.
Ini memiliki dampak yang signifikan pada satu situasi dan telah diberikan warga negara Uni
Eropa (UE) secara efektif dengan tambahan perlindungan HAM, dimana hal ini tidak
tersedia untuk orang di negara lain di luar anggota UE. Ini masih harus dilihat apakah
struktur regional tersebut akan meningkatkan kepentingan ekonomi dan politik dengan
globalisasi –ini hanyalah satu skenario globalisasi yang memungkinkan-- tetapi jika mereka
melakukannya, maka mereka juga memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam
memenuhi kewajiban publik untuk memastikan bahwa HAM warganya telah terpenuhi dan
terlindungi. Relatif kurangnya jaminan HAM pada kelompok regional lainnya, khususnya di
Asia di mana perjanjian HAM regional yang hampir tidak, adalah satu satu dari agenda
penting bagi para aktivis HAM dari daerah non-Eropa.
Perlu struktur organisasi berbasis local yang bisa memerankan fungsi Negara dalam
memenuhi HAM masyarakat. Pada HAM generasi ke dua, dapat dikatakan bahwa masa
depan pelayanan masyarakat terhadap HAM sebagian besar terletak pada struktur dan
proses yang berbasis masyarakat8.
Jika memang welfare-state telah menurun kemampuannya, maka sangat mungkin
“komunitas” tersebut mengambil peran Negara untuk melaksanakan pelayanan masyarakat.
Jika sudah demikian, maka ada kewajiban pada struktur yang berbasis masyarakat untuk
7 Duparc, the Eroupean Community and Human Right, Luxemburg, 1993.
8 Jim Ife, Community Development: Community-Based Alternatives in a Age of Globalization, Melbourne,
Pearson, 2002.
5
memastikan pemenuhan HAM generasi ke dua ini, dan dapat diteruskan untuk pelayanan
HAM generasi pertama dan ke tiga9. Hal ini sangat menunjukkan bahwa pembangunan
masyarakat merupakan peranan penting bagi pekerja sosial dan lain-lain berkaitan dengan
HAM. Masalahnya adalah bahwa, dalam masyarakat Barat, sebagiannya, komunitas
manusia telah diserangan oleh kekuatan industri (dan terbarunya adalah pasca-industri)
kapitalisme, sehingga struktur masyarakat malah melemah.
Tidak ada gunanya berbicara tentang community-based humen services (pelayanan
manusia berbasis masyarakat kecuali ada komunitas yang kuat sebagai dasarnya. Dan
bangunan atau membangun kembali kekuatan masyarakat merupakan prioritas. Dari
perspektif pekerjaan sosial, hal ini sangat penting, karena menunjukkan bahwa
pengembangan masyarakat harus menjadi prioritas tinggi bagi para pekerja sosial.
Yang penting adalah bahwa HAM membutuhkan peran dari struktur publik, apakah itu
Negara, bangsa atau badan lain dengan mandat yang jelas untuk bertindak demi
kepentingan publik, menyediakan sumber daya dan mekanisme untuk perlindungan dan
realisasi berbagai macam HAM. Perubahan peran negara dalam masyarakat kontemporer
menunjukkan bahwa negara mungkin tidak lagi dapat memenuhi fungsi ini saja, meski
dahulu pernah bisa. Tapi jika tidak bisa dilakukan oleh negara, itu harus dilakukan dengan
sesuatu yang lain, jika HAM masih memiliki makna .
PERLINDUNGAN TERHADAP HAM
Praktek pekerjaan sosial, jika akan concern dengan perlindungan hak-hak sipil dan politik,
maka perlu untuk menyasar sejumlah isu-isu HAM, yaitu:
Pertama, memastikan semua orang memiliki akses secara optimal kepada pelayanan
hukum, dan bahwa pelayanan optimal yang mereka terima itu dari bantuan hukum dan
pusat hukum masyarakat.
Kedua, pekerja sosial dapat memainkan peran advokasi pada tingkat tertentu atas nama
klient. Ia mungkin tidak dapat mewakili klien di pengadilan, tetapi dapat memastikan bahwa
kekhawatiran individu atau kolektif klien menjadi dikenal luas dan bahwa suara-suara yang
terpinggirkan tidak lagi dibungkam10.
9 Rodger, Form a Welfare State to a Welfare Society: the Changing Context of Social Policy in a Postmodern Era,
London, MacMillan, 2000, 10
Lihat Bab 8.
6
Ketiga, pekerja sosial dapat bekerja dengan mendukung mereka yang berusaha untuk
mereformasi sistem hukum, termasuk dari dalam profesi hukum yang berkomitmen untuk
perubahan tersebut.
Keempat, pekerja sosial dapat mengadvokasi secara terbuka sumber daya yang memadai
dari pelayanan hukum yang tepat, terutama bagi yang paling rentan dan terpinggirkan dalam
masyarakat.
Kelima, dalam menghadapi ketidakmampuan sistem hukum dalam bentuk yang sekarang
dalam menangani isu-isu HAM, pekerja sosial dapat mendukung organisasi, seperti
Amnesty International dan Human Rights Watch, yang memainkan peran penting dalam
membantu menjaga hak-hak sipil dan politik.
Penekanan dari semua ini adalah bahwa inti dasarnya bahwa hak bukanlah suatu kepura-
puraan. Ada tanggung jawab publik untuk menyediakan struktur dan sumber daya yang
memadai untuk perlindungan semua warga negara secara efektif (terutama yang paling
miskin dan terpinggirkan). Ini sampai saat ini belum sepenuhnya tercapai di Negara mana
pun di seluruh dunia.
Tidak ada masyarakat yang dapat menyebut dirinya benar-benar beradab, atau benar-benar
berkomitmen terhadap HAM, sampai saat ini perlindungan minimal hak-hak sipil dan politik
secara efektif tercapai. Sebuah pekerjaan sosial yang didedikasikan untuk HAM maka ia
juga harus didedikasikan untuk bekerja menuju tujuan tersebut.
REALISASI HAK ASASI MANUSIA
Hak-hak positif masyarakat, di sisi lain, disamping perlu dilindungi, juga bahwa tindakan
harus diambil oleh pemerintah (atau badan publik lainnya). Tidaklah cukup hanya untuk
memiliki penjaminan hukum, sebagai contoh, hak atas pendidikan. Tidak seperti,
katakanlah, hak untuk kebebasan berbicara, hak atas pendidikan artinya bahwa pendidikan
harus disediakan. Dan untuk alasan tersebut, ia memerlukan peran proaktif negara, atau
apa pun dapat menggantikannya di dunia yang mengglobal.
Perlindungan terhadap HAM negatif11 mungkin memerlukan sumber daya publik, seperti
yang sudah kami jelaskan di atas, tetapi untuk memenuhi hak positif, Negara membutuhkan
investasi yang jauh lebih besar. Sekolah, rumah sakit, klinik, perumahan rakyat, lembaga
pelayanan kesejahteraan sosial, jaminan sosial, seluruhnya merupakan layanan dan
11
Hak positif versus hak negatif. Hak positif adalah hak untuk melakukan sesuatu atau melakukan tindakan tertentu, sedangkan hak negative adalah hak untuk tidak melakukan sesuatu atau untuk tidak dikenai tindakan tertentu dari pihak lain. (Jan Narveson, the Libertarian Idea, broadview press, 2001, hal. 61)
7
program welfare-state, merupakan bagian dari agenda mengamankan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya untuk semua. Dan HAM yang lainnya, seperti hak-hak lingkungan,
memerlukan investasi yang mendasar di dalam program lingkungan hidup dan lainnya.
Hak sipil dan politik mungkin tidak bisa diberikan kepada semua orang, asal masih dalam
batas yang tidak signifikan disamping kegagalan dalam ekonomi global dan system politik
untuk bisa menyediakan kebutuhan yang realistis bagi HAM, semisal ekonomi, social, dan
budaya, buat mayoritas warganya, masih lebih baik daripada secuil minoritas dari populasi
dunia (UNDP 2000).
Kelaparan, penyakit dapat dicegah, kelaparan, buta huruf, tunawisma, kemiskinan, dan
kerusakan lingkungan, semua dalam skala besar, adalah dakwaan dari ortodoksi ekonomi
dan politik global, dan alasan yang kuat bagi tindakan pekerja sosial dan semua orang yang
concern dengan HAM.
Bahkan di sebagian besar masyarakat Barat yang “maju”, populasi penduduk yang
signifikan tidak bisa memiliki hak-hak sehari-hari, sementara yang kaya dan berkuasa
mengambil keuntungan dari “kesehatan” ekonomi ( AS mungkin contoh ekstrimnya, tetapi
tidak sendirian). Jika kita concern dengan HAM, dan jika kita memasukkan hak positif ke
dalam definisi kita, maka ini adalah masalah dalam skala besar. Pola kemiskinan, eksklusi,
pendidikan yang tidak memadai, kelaparan, penyakit yang dapat dicegah, tunawisma, dan
penurunan kualitas lingkungan sebagai pelanggaran HAM dapat membantu dalam
memberikan tambahan perintah moral bahwa masalah ini perlu ditangani secara efektif.
Wacana tentang hak, sebagai lawan wacana tentang kebutuhan, menunjukkan bahwa
memang ada kewajiban publik, pentingnya moral, untuk bertindak. Ini menempatkan pekerja
sosial, atau siapa pun untuk mengadvokasi, sehingga produk layanan publik tersedia. Hal ini
secara implisit menyatakan bahwa ketiadaan pelayanan public adalah pelanggaran HAM.
Advokasi untuk layanan publik yang lebih baik, kayaknya merupakan barang baru bagi para
pekerja social, dan ini menjadi bagian penting dari praktek pekerjaan sosial12bahkan
pendekatan HAM menguatkan akan hal ini. Para pekerja sosial, dari sudut pandang ini,
benar-benar dibutuhkan untuk mengambil tindakan tersebut jika mereka menerima peran
mereka sebagai pekerja HAM. Ini berarti bahwa pekerjaan sosial yang melihat dirinya hanya
sebagai “pemberi layanan”, tidak lebih, akan gagal dalam merespon tanggung jawab
terhadap HAM.
Ini juga berarti bahwa para pekerja sosial membuktikan untuk pelayanan yang lebih baik
bukan hanya karena mereka memiliki ide bagus, atau ingin membuat orang lain lebih sehat,
lebih terdidik, lebih baik rumahnya, dan sebagainya. Tetapi, mereka juga harus
12
Woodroofe 1962; Younghusband 1964.
8
membuktikan bahwa hak masyarakat adalah menerima pelayanan yang memadai dalam
rangka mewujudkan kemanusiaan secara optimal.
Ada berbagai cara bagi pekerja sosial dalam bekerja memenuhi hak positif klien. Beberapa
peksos memilih untuk melakukannya melalui instansi atau birokrasi. Hal ini dapat dilakukan
dengan pengembangan kebijakan, memberikan alternatif solusi dalam lembaga, atau
meneliti kekurangan sistem dalam memenuhi HAM klien dan menggunakan penelitian ini
sebagai dasar untuk mendukung perubahan.
Cara berikutnya, pekerja sosial bekerja di luar lembaga/birokrasi, yaitu melalui kelompok
aksi, melakukan tekanan pada proses politik, atau masuk dalam partai politik. Dalam banyak
cara pekerjaan sosial, aksi sosial adalah cara yang sah.13 dan pekerja sosial tidak perlu ragu
untuk mengadopsi perspektif aksi sosial dalam upaya memajukan HAM. Menggunakan
retorika berbasis hak seringkali dapat menambahkan tingkat motivasi moral sehingga
pekerja sosial semakin maju.
Pengembangan kebijakan dan strategi aksi sosial telah didokumentasikan dengan baik
dalam literatur pekerjaan sosial14, dan tidak perlu untuk membahas secara lebih rinci di sini
metode yang dapat digunakan. Namun demikian, ada dua hal penting yang perlu dilakukan
sehubungan dengan pekerjaan sosial tersebut, yaitu:
Pertama adalah pentingnya untuk tidak jatuh ke dalam “jebakan advokasi”, --ini sudah kita
bahas pada Bab 2-- dimana peksos dengan percaya diri berbicara atas nama klien, tanpa
memberi kesempatan kepada mereka sendiri untuk mengungkapkannya. Advokasi
kebijakan sosial dan aksi sosial model begini sangat melemahkan dan hanya menambah
ketidakberdayaan klien, jika kita hanya berbicara atas nama mereka. Jika peksos konsisten
dengan prinsip-prinsip yang berbasis pemberdayaan, maka advokasi kebijakan dan aksi
sosial harus melibatkan secara maksimum dan kontrol dari mereka. Merekalah orang-orang
yang harus berjuang, bukan pekerja sosial, dan mereka harus sedapat mungkin bisa
mengontrol, mengarahkan dan berpartisipasi di dalamnya. Pekerja sosial bertindak sebagai
pendukung dan memberikan solidaritas, dan bukan mengambil alih kontrol15. Masalah ini
merupakan focus bagi pekerjaan social yang bekerja dalam ranah HAM. Ini akan kita bahas
kelak pada Bab 8.
Ke dua, adalah tabiat global dari kerugian sosial dan HAM. Jika pekerja sosial hanya
berkonsentrasi pada mereka sendiri, untuk pengembangan kebijakan dan aktivisme, maka
mereka akan kehilangan aspek “pelanggaran HAM” di sisi lain. Sebagaimana telah
13
Fisher & Karger 1997, Social work and community in a private world, Longmann, New York, 1997. Mullaly, Structural social work: Ideology, theory, and practice, 2
nd Ed. Toronto, Oxford Univ. Press, 1997.
14 Yeatman 1998.
15 Freire 1985.
9
dijelaskan (Bab 4), pekerja sosial perlu memahami masalah mereka pada tingkat lokal dan
global untuk terlibat dalam advokasi kebijakan dan aksi sosial dari perspektif ini.
KEWAJIBAN KEWARGANEGARAAN
Pemahaman tentang HAM memberi kewajiban kepada negara untuk melindungi dan
mewujudkan hak-hak tersebut, namun --dengan cara yang berbeda-- juga memberi
kewajiban kepada Negara warga yang mengklaim dan manfaat dari hak-hak tersebut.
Bahasa “kewajiban kewarganegaraan” telah digunakan oleh politisi hak untuk membenarkan
sikap hukuman terhadap mereka yang menerima bantuan dari negara:
Bekerja untuk mendapatkan keuntungan,
Ganti-rugi atas keuntungan,
Penerima bantuan negara harus merasa bersyukur,
Harus membuktikan diri “layak” dengan tidak membuat masalah, atau tidak terlibat
dalam perilaku menyimpang.
Karena, hal tersebut lebih penting untuk menguji kewajiban kewarganegaraan yang selaras
dengan HAM, dan membangun mereka tidak dalam ketradisionalan, menghakimi kerangka
kontrol sosial (sebagai efek untuk melawan prinsip-prinsip HAM), tapi lebih sebagai cara
untuk memahami peran warga dalam kaitannya dengan HAM mereka, dan kewajiban
kewarganegaraan yang diperlukan untuk sistem yang didasarkan pada HAM untuk bekerja
dalam praktek (Twine, 1994).
MENGHORMATI HAK ORANG LAIN
Jika HAM bersifat universal, maka seorang individu tidak hanya berhak mendapatkan hak-
haknya, tetapi juga menghormati hak orang lain dan memungkinkan orang lain untuk
mendapatkan hak tersebut. Menerima kerangka hak, tidak dapat diartikan hanya sikap egois
pada bagian dari individu, menuntut hanya sendiri sambil tidak menghargai hak orang lain.
Ada keterkaitan kewajiban setiap anggota masyarakat untuk menghormati dan mendukung
hak-hak orang lain. Dalam hal ini, HAM tidak bersifat individualistic, tetapi juga membentuk
dasar untuk kolektivisme:
Masyarakat diselenggarakan bersama oleh saling menghormati HAM semua warganya
dan didasarkan pada gagasan saling membutuhkan,
Saling mendukung dan kesejahteraan kolektif.
10
Seringkali, “bahasa hak” adalah terkesan individualistis, sangat egois. Ungkapan “Saya
menuntut hak saya”, “Kami menuntut hak kami”, seolah tanpa mempertimbangkan dengan
hak orang lain.
Sebuah kasus klasik adalah lobi senjata, orang menuntut 'hak ' untuk ikut berperang, tanpa
pertimbangan bagaimana permintaan ini dapat mempengaruhi hak-hak orang lain untuk
suatu masyarakat yang bebas dari ancaman dan kekerasan. Setiap tuntutan hak,
seharusnya konsisten dengan kerangka hak-hak universal, harus mempertimbangkan
bagaimana tuntutan berpengaruh kepada orang lain .
Yang dimaksud “orang lain”, bisa anggota lain dalam satu keluarga atau masyarakat
setempat. Bisa juga jauh lebih dihapus . Misalnya, seharusnya “hak” dari orang-orang di
Barat yang kaya untuk mengejar gaya hidup konsumsi material yang tinggi dan tak berguna,
dan untuk mengumpulkan kekayaan tanpa batas jika mereka pintar atau cukup beruntung,
terbukti mempengaruhi HAM dari jutaan di Negara-negara berkembang, menolak gaya
hidup standar dasar dan menyebabkan kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan,
tunawisma dan kurangnya layanan pendidikan ( Chomsky 1998) dan kesehatan dasar.
Hal ini juga mempengaruhi hak-hak generasi mendatang karena dampak lingkungan jangka
panjang gaya hidup seperti itu . Argumen ini secara signifikan mengurangi kasus moral
klaim seperti itu. Memang ketika mereka diperhitungkan jelas bahwa ' hak' untuk
mengumpulkan kekayaan tak terbatas tidak dapat dibenarkan dari perspektif hak asasi
manusia , meskipun hal ini jarang diakui ketika hak-hak orang kaya - dan orang-orang yang
begitu sangat ingin menjadi kaya - diadvokasi.
Tuntutan atau definisi hak tidak harus diambil untuk menyiratkan kekuasaan untuk
menggunakan hak itu tanpa batas. Ketika hak tersebut dilakukan untuk sebuah gelar yang
mereka terapkan pada hak orang lain --misalnya melalui hak kebebasan berbicara yang
digunakan untuk membenarkan fitnah terhadap ras, atau hak kepemilikan properti yang
digunakan untuk membenarkan membeli begitu banyak lahan sehingga merugikan orang
lain, menjadi mekanisme eksploitasi bukan kebebasan.
Namun, seperti dibahas dalam Bab 1, hak liberalisme individualistic telah menyebabkan hak
juga terbatasi oleh hak orang lain. Oleh karena itu, perlu difahami bahwa hak mencakup
cara dimana pelaksanaannya harus dibatasi oleh kepentingan orang lain.
Jika salah satu menggabungkan pendekatan yang lebih luas terhadap HAM yang diuraikan
dalam Bab 2, dan juga jika seseorang serius klaim bahwa HAM memberikan kewajiban pada
warga negara untuk memastikan hak-hak orang lain juga terpenuhi, maka ini berarti bahwa
warga negara juga memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu tentang mencegah
pelanggaran HAM kepada orang lain. Dan dalam dunia global, di mana kita semua tunduk
11
pada kekuatan-kekuatan global yang sama dan di mana gaya hidup materialis di satu
tempat mempengaruhi HAM dari orang-orang di belahan dunia lain, ini berarti kewajiban
untuk pemahaman global dan aksi global.
MEMPRAKTIKKAN SALAH SATU HAK
Hak asasi manusia, dalam banyak kasus, sulit menang, dan tidak serta-merta terwujud
begitu saja. Butuh waktu lama, perjuangan keras dan sulit untuk membangun legitimasi
berbagai HAM, dan untuk bisa direalisasikan.
Dan perjuangan ini terus berlanjut, HAM ditolak sangat banyak. Dalam keadaan seperti itu,
seseorang dapat membuat kasus moral untuk efek bahwa ada kewajiban warga negara
untuk mengambil keuntungan penuh dari hak-hak tersebut.
Hal ini dapat diilustrasikan dengan kasus hak untuk memilih. Meskipun perjuangan heroik
mereka yang berjuang untuk hak pilih universal, dan yang tercapai di banyak negara yang
sekarang dengan bangga menyebut diri demokrasi, banyak orang di negara-negara hanya
tidak repot-repot untuk memilih (kecuali tentu saja dalam beberapa negara di mana suara
adalah wajib ). Untuk merasakan rasa tanggung jawab pribadi untuk melaksanakan hak
untuk memilih, satu-satunya perlu merenungkan apa yang orang-orang perjuangkan untuk
hak pilih universal akan berpikir jika mereka tahu bahwa sering mayoritas penduduk tidak
menghiraukan voting.
Tentu saja salah satu dapat membuat kasus bahwa hak pilih juga harus menyiratkan pilihan
untuk tidak memberikan suara, dan dibenarkan pilihan untuk tidak memilih sebagai tindakan
politik hati-hati (misalnya sebagai protes terhadap pemilihan umum di mana kedua belah
pihak menawarkan kebijakan yang sama dan tidak berurusan dengan isu-isu penting).
Tapi ini sangat berbeda dengan orang yang golput, karena berarti ia tidak terhitung. Jumlah
itu, orang mungkin mengklaim, dengan pengkhianatan terhadap perjuangan sering
revolusioner pada jaman dulu untuk menetapkan hak.16 Meskipun salah seorangnya juga
dapat berargumentasi bahwa orang yang golput juga berarti ia membuat pernyataan politik
tentang apa relevansi politik partai dengan kebutuhan dan gaya hidupnya.
Oleh karena itu, HAM tidak hanya “apa yang diperlukan untuk membuat seseorang menjadi
manusia sepenuhnya”, tapi mereka juga “perlu untuk menjadikan manusia sebagai satu
masyarakat yang sepenuhnya manusia”. Kami tidak hanya memiliki HAM untuk kepentingan
kita sendiri, tetapi untuk kepentingan masyarakat di mana kita hidup dan untuk kemanusiaan
secara keseluruhan.
***
16
Bobbio 1996
12
BAB III
PEMBAHASAN
HAK DAN KEWAJIBAN MANUSIA
Hak asasi manusia (HAM) adalah sesuatu yang melekat pada diri setiap manusia, tidak
dapat dicabut dari manusia, tidak bisa dipisah-pisahkan, satu kesatuan yang utuh dan saling
terkait. Adapun Kewajiban (obligations) didefinisikan sebagai a course of action that
someone is required to take, whether legal or moral (tindakan seseorang yang diperlukan
untuk diambil, baik legal maupun moral).17 Tindakan tersebut dilaksanakan baik pada
lingkup pribadi, keluarga, maupun zona public secara luas. Pencapaian HAM berujung pada
tercapainya status manusia yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Benarkah Peran Negara Terkikis?
Di Indonesia, sangat terasa akan hal ini. Peran Negara sangat terkikis. Fungsi Negara yang
seharusnya bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya, perlindungan HAM, meskipun tidak
seluruhnya, namun terbukti dalam banyak hal terkalahkan oleh kepentingan perusahaan
trans-nasional dan bahkan kepentingan parpol tertentu.
Di bawah ini pemberitaan Kompas18 pada 24 Juli 2013, bahwa peran Negara terkikis oleh
hegemoni global:
“Sesungguhnya, Indonesia sebagai Negara berkembang yang masih tergantung pada kebijakan Internasional, belum sepenuhnya dapat secara mandiri menentukan arah kebijakan di Dalam Negeri ataupun Luar Negeri. Sistem Kapitalisme dan Neo liberalisme yang dianut mengharuskan Indonesia tunduk pada tekanan dan kebijakan ASing.
Sangat jelas ada pengaruh ASing yang mengontrol politik pemerintahan dan kebijakan ekonomi negara. Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibentuk dalam rangka untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik korporasi ASing.
Sehingga Indonesia tidak lagi merdeka secara politik. Bahkan penentuan pejabat pemerintahan dan pejabat politik khususnya di bidang ekonomi pun distir oleh ASing. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak sepenuhnya untuk rakyat, tapi untuk kepentingan ASing.
Kita tahu, bahwa sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak lepas dari pengaruh dan kekuatan ASing. Peranan CIA dan kelompok Mafia Barkeley sudah terendus sejak masa Orla, Orba, hingga era Reformasi kini.
17
http://en.wikipedia.org/wiki/Obligation; downloaded at October 1st
2013. 18
http://politik.kompasiana.com/2013/07/24/jadi-calon-ri-1-harus-acc-dulu-asing-579315.html; downloaded at October 1
st 2013; http://www.jurnalparlemen.com/view/4696/sektor-sektor-strategis-indonesia-yang-
dikuasai-asing.html
13
Adanya kelonggaran dalam “Investasi ASing” atau “Penanaman modal ASing”, merupakan jalan yang memuluskan korporasi ASing untuk menguasai dan mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Sebagai contoh, UU Kelistrikan, UU Migas dan UU Penamanan Modal dan kebijakan mencabut subsidi BBM adalah karya nyata dari para pejabat yang loyal pada ASing. UU No.22/2001 tentang Migas adalah “kran” Pemerintah untuk membuka izin perusahaan-perusahaan ASing untuk lebih leluasa menguasai migas di Tanah Air.
Di sektor hulu, beberapa perusahaan ASing sudah menguasai ladang minyak dan gas di Indonesia. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam kategori super major, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina EIf, BP Amoco Arco, dan Chevron Texaco, yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Selebihnya masuk kategori Major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Perusahaan independen hanya menguasi cadangan minyak 12% dan gas 5%. Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia bisa mencapai 1.655 miliar dolar AS atau 17 ribu triliun/tahun. Belum kekayaan tambang lain seperti PT. Freeport di papua dan yang lain-lainnya.
Jadi siapa pun kelak yang akan sukses jadi RI 1, adalah dia yang memiliki komitmen untuk melayani dan mengamankan kepentingan politik dan ekonomi ASing di Tanah Air.
Walaupun dia disukai masyarakat Indonesia, namun jika dia menghalangi rencana dan kebijakan ASing, pasti akan sulit untuk naik menjadi orang nomor 1 di negeri seperti Indonesia kini.”
Merujuk kepada penjelasan Jim Ife, korelasinya dengan situasi Indonesia, adalah bahwa
peran peksos terkait di sini adalah penguatan kelembagaan, berupa mendorong kebijakan
yang pro nasional, tidak disetir oleh asing, dan masuk ke dalam partai yang pro kepentingan
nasional, dan social action. Peran ini memang tidak mudah, bahkan sangat berat, terlalu
banyak korban berjatuhan akibat hal ini. Namun, terasa panjang atau pendek tidaklah
penting, yang substansial adalah bagaimana ada upaya konkret untuk menjamin
kepentingan nasional demi pemenuhan hak warga Negara.
Peran Peksos pada Lapangan non-Publik
Globalisasi ekonomi adalah ibarat pedang bermata dua; mata yang satu menorehkan
kemakmuran ekonomi, sementara mata yang lainnya menggoreskan luka-luka
kemanusiaan. Transformasi global ini kemudian mengguratkan tantangan sekaligus
kesempatan pada para pekerja sosial, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan pula
pada aras internasional. Realitas baru yang terbentang memberi pesan jelas bahwa
globalisasi menuntut redefinisi dan reposisi peran pekerjaan sosial serta pembangunan
kesejahteraan sosial di Tanah Air yang berdimensi internasional.19
19
Edi Suharto, Ph.D, Peran Peksos dalam Penanganan Masalah Sosial Global. Sumber: http://www.policy.hu/ suharto/modul_a/makindo_33.htm; downloaded at October 1
st 2013.
14
Luka-luka kemanusiaan tersebut, dalam konteks non-publik adalah advokasi kepada
kelompok yang termarjinalkan dan kurang beruntung untuk mendapatkan “hak-haknya”.
Pada ranah komunitas, maka peksos sebagai “penyembuh” luka memerankan metode
community development. Ada sejumlah prinsip Comdev, yaitu:20
- Bottom-up Development (menghargai ide dari bawah)
- Valuing wisdom, knowledge and skill from below (menghargai kebijaksanaan,
pengetahuan, dan ketrampilan dari bawah)
- Self-Reliance, Independence and interdependence (percaya diri, mandiri, dan saling
membutuhkan)
- Ecology and sustainability (ekologi dan keberlanjutan)
- Diversity and inclusiveness (keberagaman dan keterbukaan)
- Importance of process (pentingnya proses)
- Organic changes (perubahan organis)
- Participations (partisipasi)
- Consencus and conflict/competition (kesepakatan dan kompetisi/konflik)
- Definition of needs (mengartikan kebutuhan)
- The Global and the local (global dan local)
Prinsip dan dimensi untuk Comdec juga bisa digunakan pada ranah groupworks. Dalam
ranah casework maka peksos --sebagaimana penjelasan Jim Ife-- adalah menjadi enabler,
fasilitator, and relationship sehingga klien bisa mendefinisikan sendiri masalahnya,
menyiapkan jalur untuk bisa menyuarakan tuntutan haknya, memahamkan akan “kewajiban
diri” atas hak orang lain, dan mengkaitkan dengan segala system sumber yang bisa
membantu klien dan orang-orang terdekat dengannya untuk bisa pulih dan mendapatkan
kembali haknya.
***
20
Jim Ife, Human Right form Below, Cambridge University Press, UK, 2009, hal 29 – 45.
15
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami
simpulkan hal-hal sebagai berikut:
Hak asasi manusia (HAM) yang begitu fundamental bagi manusia merupakan ranah penting
bagi pekerjaan social. Ia wujud perjuangan manusia meraih kembali hak-haknya yang
tercabut sebagai manusia.
Manusia dalam perjuangan meraih kembali haknya, terkristal dalam kebutuhan nyata. Untuk
mendapatkan kebutuhan sebagai implikasi hak, maka diperlukan sarana. Sarana dan tujuan
terbedakan dari untuk alasan apakah aktivitas tersebut dikerjakan.
Ada pengikisan peran Negara sebagai welfare-state karena globalisasi dan liberalisasi
ekonomi, sehingga tidak lagi optimal dalam menjamin pemenuhan hak warganya. Kendala
berikutnya, adalah konstruksi hak dan kewajiban terkadang tidak satu framework, sehingga
hak terkesan sangat individualis dan egois, dan kewajiban terkesan imperative minded, dan
bukan kesadaran warga atas kepentingan kolektif.
Dalam praktik, pekerja social bisa terjun dalam ranah makro, mezzo, dan mikro-fields.
Banyak peran yang bisa dilaksanakan, namun semua berujung pada empowering; tidak
mengkebiri kemampuan klien, menumbuhkan kemampuan mendefinisikan masalah,
semangat struggle. Adapun peran peksos yang mengambil alih fungsi ini akan kontra-
produktif terhadap tujuan utama “pemberdayaan” sebagai symbol fungsi peksos.
SARAN
1. Pekerja Sosial harus memahami HAM beserta rinciannya pada satu sisi dan kewajiban
manusia pada sisi lainnya, sehingga bisa secara proper dalam praktik.
2. HAM sangat universal, namun implementasinya masing-masing berbeda sesuai
konteksnya, maka sangat peksos disarankan untuk bisa melakukan korelasi mutualistic
antara agenda HAM yang universal dengan budaya daerah yang spesifik.
3. Para stakeholder di Indonesia, termasuk di dalamnya IPSPI, perlu untuk secara regular
duduk bersama, melakukan kristalisasi HAM universal ke dalam budaya yang “meng-
Indonesia” secara tertulis sehinga bisa menjadi acuan professional para peksos.
***
16
17
DAFTAR PUSTAKA
Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge
Univercity Press, 2008;
_______, Human Right form Below, Cambridge University Press, UK, 2009
Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to
Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008.
Jan Narveson, the Libertarian Idea, broadview press, 2001
http://plato.stanford.edu/entries/rights/, downloaded at September 30th 2013.
http://en.wikipedia.org/wiki/Obligation; downloaded at October 1st 2013
http://www.jurnalparlemen.com/view/4696/sektor-sektor-strategis-indonesia-yang-dikuasai-
asing.html; downloaded at October 1st 2013
http://politik.kompasiana.com/2013/07/24/jadi-calon-ri-1-harus-acc-dulu-asing-579315.html;
downloaded at October 1st 2013
Edi Suharto, Ph.D, Peran Peksos dalam Penanganan Masalah Sosial Global. Sumber:
http://www.policy.hu/ suharto/modul_a/makindo_33.htm; downloaded at October 1st 2013