paper evaluasi pembelajaran

16
Coba Evaluasi Dulu Manfaat UN untuk Pendidikan Indonesia http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/24/17365979/ Coba.Evaluasi.Dulu.Manfaat.UN.untuk.Pendidikan.Indonesia Penulis : Riana Afifah Rabu, 24 April 2013 | 17:36 WIB Editor : Caroline Damanik JAKARTA, KOMPAS.com - Kisruh Ujian Nasional (UN) pada tahun ini ternyata membuat sejumlah profesor dan guru besar ikut angkat bicara. Menurut para guru besar ini, UN sebaiknya tak perlu diteruskan apabila tidak menunjukkan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara signifikan. Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Sunaryo, mempertanyakan apakah UN selama ini telah memberikan manfaat terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Apabila UN memang berkontribusi besar dalam peningkatan kualitas pendidikan maka tidak masalah untuk dilanjutkan. "Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Salah satunya adakah persamaan persepsi antara penyelenggara, pemerintah dan sasaran UN tentang UN ini," kata Sunaryo saat bertemu dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (24/4/2013). Menurutnya, tanpa ada kesamaan persepsi ini maka UN tak akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diusung oleh pemerintah. Pasalnya, selama ini UN dianggap pemerintah sebagai alat tolok ukur untuk meningkatkan kualitas pendidikan namun pada anak- anak yang menjalankan UN, ujian ini hanya dijadikan instrumen kelulusan yang ditakuti. Hal lainnya adalah tidak adanya feedback dari penyelenggara dan pemerintah terhadap masukan yang selama ini muncul dari masyarakat. Tidak hanya itu, penyelenggara dan pemerintah juga tidak pernah mengumumkan ke publik hasil perbandingan UN jika

Upload: galih-nur-fahmadi

Post on 20-Nov-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

paper evaluasi pembelajaran

TRANSCRIPT

Coba Evaluasi Dulu Manfaat UN untuk Pendidikan Indonesiahttp://edukasi.kompas.com/read/2013/04/24/17365979/Coba.Evaluasi.Dulu.Manfaat.UN.untuk.Pendidikan.Indonesia Penulis : Riana Afifah Rabu, 24 April 2013 | 17:36 WIB Editor : Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com - Kisruh Ujian Nasional (UN) pada tahun ini ternyata membuat sejumlah profesor dan guru besar ikut angkat bicara. Menurut para guru besar ini, UN sebaiknya tak perlu diteruskan apabila tidak menunjukkan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara signifikan.

Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Sunaryo, mempertanyakan apakah UN selama ini telah memberikan manfaat terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Apabila UN memang berkontribusi besar dalam peningkatan kualitas pendidikan maka tidak masalah untuk dilanjutkan.

"Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Salah satunya adakah persamaan persepsi antara penyelenggara, pemerintah dan sasaran UN tentang UN ini," kata Sunaryo saat bertemu dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (24/4/2013).

Menurutnya, tanpa ada kesamaan persepsi ini maka UN tak akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diusung oleh pemerintah. Pasalnya, selama ini UN dianggap pemerintah sebagai alat tolok ukur untuk meningkatkan kualitas pendidikan namun pada anak-anak yang menjalankan UN, ujian ini hanya dijadikan instrumen kelulusan yang ditakuti.

Hal lainnya adalah tidak adanya feedback dari penyelenggara dan pemerintah terhadap masukan yang selama ini muncul dari masyarakat. Tidak hanya itu, penyelenggara dan pemerintah juga tidak pernah mengumumkan ke publik hasil perbandingan UN jika memang disebut sebagai pemetaan.

"Feedback apa yang sudah diberikan. Barangkali belum ada feedback yang disumbangkan UN untuk peningkatan mutu pendidikan hingga saat ini," tandasnya.

Masukan yang baik

Menanggapi kedatangan para akademisi ini, Ketua MK Republik Indonesia (RI), Akil Muchtar, menyatakan saat ini, MK tidak dalam posisi untuk memberikan pandangan atau sikap terkait masalah ini. Namun demikian, Akil mengakui bahwa pertemuan ini memberi masukan kepada MK jika suatu saat harus mengeluarkan putusan atas pengaduan yang masuk tentang UU terkait UN.

"Sebenarnya kami tidak pada posisi memberi pandangan atau sikap. Karena semua materi yang masuk di MK ini berkaitan dengan Undang-undang dan harus diujimaterikan dulu. Jadi jika kami keluarkan sikap atau pernyataan sekarang tanpa uji materi maka akan jadi preseden," kata Akil.

"Kami menampung masukan saja dari stakeholder pendidikan. Kami terima semua masukan seluas-luasnya. Posisi MK sama dengan dosen dan masyarakat sipil. Jadi kembali lagi, suatu kebijakan tidak sesuai dengan undang-undang, maka bisa kita batalkan," imbuh Akil.

Namun, Akil membuka kesempatan jika para profesor dan para guru besar tersebut ingin memasukkan laporan karena melihat pelanggaran UU dalam penyelenggaraan UN tahun ini.

Evaluasi Ujian Nasionalhttp://edukasi.kompas.com/read/2013/04/19/11473218/Evaluasi.Ujian.NasionalJumat, 19 April 2013 | 11:47 WIBOleh Anita LieEditor : Caroline Damanik

Penundaan ujian nasional di 11 provinsi menjadi berita utama di media massa dan menarik perhatian Presiden SBY untuk menginstruksikan dilakukannya investigasi terhadap persoalan yang ada.

Sementara proses investigasi masih berlangsung dan para pengkritik di milis, media massa, ataupun media sosial menyoroti kekacauan dalam pengelolaan administrasi ujian nasional, akan lebih bermanfaat jika kita bisa menimba pelajaran dari realitas penyelenggaraan ujian nasional berdasarkan prinsip-prinsip penilaian pendidikan dan menawarkan solusi perbaikan untuk masa mendatang.

Walaupun kritikan terhadap ujian nasional terus dilayangkan dan Mahkamah Agung telah memenangi gugatan masyarakat lewat gugatan citizen lawsuit soal penyelenggaraan ujian nasional pada 2009, pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional dengan alasan kebutuhan standardisasi.

Secara legal, keputusan MA masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional dengan catatan pemerintah telah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan ujian nasional.

Kebersikukuhan kedua pihakKemdikbud versus pengkritik ujian nasionalpada posisi masing-masing bisa menjadi penghambat proses pengembangan dan penyempurnaan suatu sistem standardisasi dan penilaian pendidikan.

Dalam konteks negara Indonesia dengan tingkat kemajuan pendidikan yang sangat beragam antardaerah, sistem penilaian hasil belajar peserta didik dipercaya bisa memberikan gambaran standardisasi yang dibutuhkan sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat juga melaksanakan standar pendidikan secara ketat untuk mengatasi ketertinggalan dari berbagai tes perbandingan antarnegara. Tentu saja sistem penilaian pendidikan di mana pun selalu menyisakan ruang untuk perbaikan.

Peningkatan mutu pendidikan nasional membutuhkan keterbukaan dari pihak pemerintah untuk mengkaji kelemahan-kelemahan serta kearifan para pemerhati yang peduli terhadap pendidikan untuk memberikan kesempatan dan ruang perbaikan sistem. Bahkan, ujian sekaliber TOEFL, SAT, IELTS, dan GRE pun telah mengalami proses bertahun-tahun pelaksanaan dan banyak forum pakar untuk bisa memperbaiki sistem administrasi ataupun meningkatkan mutu soal.

Perbaikan sistem

Perbaikan sistem penilaian pendidikan mencakup empat isu sentra. Pertama, prinsip penilaian belajar. Ada berbagai macam tujuan, bentuk, dan format penilaian belajar. Salah satu pepatah yang juga berlaku dalam penilaian belajar: Not everything that counts can be counted and not everything that can be counted counts (tidak semua yang bermakna bisa dihitung dan tidak semua yang bisa dihitung bermakna) mensyaratkan adanya penilaian alternatif dan otentik dalam proses belajar mengajar.

Ujian berbentuk pilihan ganda seperti ujian nasional tentu saja tidak memadai untuk menilai prestasi, kemajuan, dan kekurangan peserta didik. Sebenarnya Kemdikbud sudah menerima kenyataan ini dan memutuskan ujian nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan. Namun, upaya sosialisasi dan pelatihan di tingkat sekolah masih perlu terus dilakukan agar sekolah-sekolah mempunyai kepercayaan diri dan kompetensi untuk mengembangkan bentuk-bentuk penilaian yang lain guna melengkapi ujian nasional dan suatu saat nanti bahkan tidak lagi membutuhkan ujian nasional sebagai penilaian standar.

Kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian besar guru di Indonesia pada saat ini masih belum cukup kompeten dan terampil menyusun instrumen penilaian belajar yang baik dan tepat. Tentu saja situasi ini tidak seharusnya dijadikan alasan pembenaran untuk pelanggengan ujian nasional tanpa batas.

Kedua, pelanggaran dalam penyelenggaraan tidak semestinya ditoleransi dengan label ekses dan oknum. Ini bukan persoalan persentase dalam statistik. Dalam pendidikan, rasio pelanggaran (yang dianggap) sangat kecil sudah menjadi persoalan sangat serius karena memberikan dampak modeling negatif yang akan sangat merusak proses pendidikan karakter anak dan bangsa. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Skandal kecurangan guru dalam ujian ternyata juga terjadi di Amerika Serikat. Juri memutuskan kepala dinas pendidikan beserta 35 pimpinan sekolah dan guru bersalah atas manipulasi nilai ujian di Atlanta, akhir Maret 2013. Kepala Dinas Dr Beverly Hall, yang pernah dinobatkan sebagai kepala dinas teladan pada 2009, diancam hukuman penjara 45 tahun.

Sistem pendidikan Atlanta telah menghabiskan 2,5 juta dollar AS untuk investigasi pelanggaran ini. Temuan paling penting dalam skandal ini adalah bahwa sistem imbalan bagi guru dan pejabat yang berhasil menaikkan nilai ujian dan hukuman bagi yang tidak justru telah memicu pelanggaran kode etik pendidik. Karena itu, sistem ini harus diinvestigasi dan ditinjau ulang.

Ketiga, kasus keterlambatan pencetakan dan distribusi soal-soal ujian nasional tahun ini seharusnya mendorong pemerintah mulai memikirkan administrasi secara online. Bagi banyak daerah di Nusantara, pelaksanaan ujian online sungguh merupakan kemungkinan yang tak terbayangkan karena sejumlah permasalahan infrastruktur. Dalam hal ini, Kemdikbud perlu merintis kemungkinan-kemungkinan itu bersama PLN dan Kementerian Kominfo. Pelaksanaan ujian kompetensi guru secara online yang kurang mulus baru-baru ini seharusnya tidak dijadikan bahan cemooh untuk menghambat langkah maju dan perbaikan sistem secara berkelanjutan.

Akhirnya, perbaikan sistem membutuhkan evaluasi secara terus-menerus. Soal-soal dan sistem administrasi tes seperti TOEFL dan yang semacamnya sering menjadi bahan kajian terbuka dalam forum-forum para pakar dan peneliti. Bahkan, soal-soal dalam tes terdahulu bisa diakses publik secara terbuka. Selama beberapa dekade pelaksanaannya, ada banyak sekali perubahan dan kemajuan mendasar. Mekanisme evaluasi internal ataupun hasil kajian publik telah memungkinkan tes-tes tersebut meningkatkan kesahihan dan keterandalannya secara berkelanjutan.

Peran Guru Tak Bisa Digantikan dengan Ujian Nasionalhttp://edukasi.kompas.com/read/2013/09/27/1954179/Peran.Guru.Tak.Bisa.Digantikan.dengan.Ujian.Nasional Penulis : Ihsanuddin Editor : Hindra Liauw Jumat, 27 September 2013 | 19:54 WIBJAKARTA, KOMPAS.com - Ujian Nasional (UN) dianggap merampas hak guru sebagai pengajar dan penilai anak didiknya. Peran seorang guru dalam mengajar dan memberikan penilaian tidak bisa digantikan dengan dengan sebuah ujian, sebaik apapun bentuk ujian tersebut.

Demikian disampaikan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (27/9/2013). "Ujian Nasional ini sudah merampas hak guru," tegas Retno saat dimintai tanggapannya mengenai hasil Konvensi UN. Konvensi UN meghasilkan keputusan bahwa UN akan tetap diselenggarakan.

Menurutnya, yang paling mengetahui kualitas seorang siswa didik adalah guru yang secara langsung mengajar mereka. Karenanya, yang berhak memberikan ujian dan penilaian adalah masing-masing guru itu sendiri. "Jadi tidak bisa guru digantikan dengan ujian," lanjut retno.

Retno juga menilai, sebuah ujian hanya dapat menguji siswa didik dari segi kognitif atau pengetahuannya. Ujian tidak bisa mengukur kemampuan murid dari segi afektif atau perilaku. "Jadi UN ini tidak memberikan kualitas apapun bagi pendidikan kita. Lihat saja pendidikan kita nggak pernah maju," kata Retno.

Retno bersama federasinya sempat mengikuti Konvensi UN pada hari pertama penyelenggaraannya kemarin. Namun Retno dan kawan-kawan kemudian melakukan aksi Walk Out karena menilai Konvensi tersebut lebih membahas hal-hal yang bersifat teknis. Menurutnya, konvensi itu juga lebih banyak menghadirkan pihak yang pro terhadap penyelenggaraan UN.

Hasil Konvensi UN Sudah Terbaca Jauh-jauh Harihttp://edukasi.kompas.com/read/2013/09/28/0746586/.Hasil.Konvensi.UN.Sudah.Terbaca.Jauh-jauh.Hari.Penulis : Ihsanuddin Editor : Palupi Annisa AulianiSabtu, 28 September 2013 | 07:46 WIBJAKARTA, KOMPAS.com Hasil Konvensi Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mendiskusikan konsep UN dengan para pegiat pendidikan dinilai sejak awal sudah terbaca. Tak ada perubahan yang dihasilkan dari hajatan tersebut.

"Sudah bisa diperkirakan jauh-jauh hari, hanya berupa hal-hal teknis seperti bagaimana penilaian UN dilakukan," ujar Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (27/9/2013). Konvensi tersebut, menurut dia, belum menyinggung masalah substansial.

"Masalah substansial itu misalnya, tidak dibahas di sana kalau penyelenggaraan UN melanggar hukum," lanjut Retno. Pada 2009, kata dia, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan perintah jelas dan tegas dalam amar putusan tentang penyelenggaraan UN.

Amar itu, sebut Retno, memerintahkan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut. Karena mengacu pada putusan MA itulah, Retno memutuskan walk out pada hari pertama konvensi.

Konvensi UN digelar Kemendikbud pada 26 dan 27 September 2013, dengan menghadirkan para pegiat pendidikan. Tujuan konvensi adalah menentukan format UN yang terbaik untuk pelaksanaan UN pada tahun ajaran ini.

Sebelumnya, Kemendikbud telah menggelar pra-konvensi di tiga kota, yakni Denpasar, Medan, dan Makassar. Ketiga kota itu dipilih untuk mewakili Indonesia bagian tengah, Indonesia bagian barat, serta Indonesia bagian timur.

Pra-konvensi dari masing-masing kota itu membawa usulan manajemen UN, terutama tentang persentase nilai kelulusan. Diusulkan juga masalah pencetakan serta distribusi soal UN, apakah akan dipusatkan atau dilaksanakan di masing-masing provinsi.

Penyelenggaraan Konvensi UN selama dua hari itu membuahkan keputusan bahwa UN tetap akan diselenggarakan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai teknis pelaksanaan UN menjadi hasil konvensi pula.

Wamendikbud: Ke Depan, Kelulusan Pakai Nilai UN 100 Persenhttp://edukasi.kompas.com/read/2013/09/27/1206257/Wamendikbud.Ke.Depan.Kelulusan.Pakai.Nilai.UN.100.Persen Penulis : Indra Akuntono Editor : Inggried Dwi Wedhaswary Jumat, 27 September 2013 | 12:06 WIBJAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim mengatakan, Ujian Nasional (UN) harus dilaksanakan. Menurutnya, UN adalah sebuah sistem untuk mengukur standar dalam memajukan pendidikan nasional.

Saat menutup Konvensi Ujian Nasional, di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jumat (27/9/2013), Musliar mengatakan bahwa dalam konvensi mencuat berbagai usulan untuk meningkatkan ambang batas kelulusan. Dari waktu ke waktu, menurutnya, standar kelulusan harus ditingkatkan sejalan dengan niat meningkatkan kualitas pendidikan melalui lulusannya.

"Saya mengikuti diskusi konvensi, ada yang mengusulkan kelulusan 70:30, ada yang 60:40. Suatu hari kelulusan akan menggunakan nilai ujian sekolah 100 persen, dan ujian nasional 100 persen," kata Musliar, Jumat (27/9/2013).

Menurut Musliar, hal itu bisa di lakukan secara bertahap. Secara berkala, standar kelulusan harus ditingkatkan untuk menjamin kualitas lulusannya.

"Kalau mau meningkatkan kualitas, kita harus punya ukuran, kalau tidak begitu, tak ada gunanya," ujarnya.

Konvensi UN yang berlangsung pada 26-27 September 2013 dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara ini menghadirkan para pegiat pendidikan untuk bersama-sama menentukan format UN terbaik pada pelaksanaan UN tahun ajaran ini.

Kemdikbud sudah menggelar Pra-Konvensi UN di tiga kota di Indonesia, yakni Denpasar, Medan, dan Makassar. Ketiga kota itu dipilih dimaksudkan untuk mewakili Indonesia bagian tengah, Indonesia bagian barat, serta Indonesia bagian timur. Pra-Konvensi dari masing-masing daerah membawa usulan manajemen UN, terutama tentang persentase nilai kelulusan. Diusulkan juga masalah pencetakan serta distribusi soal UN, apakah akan dipusatkan atau dilaksanakan di masing-masing provinsi.

BPK: Serahkan Penyelenggaraan UN ke Daerahhttp://edukasi.kompas.com/read/2013/09/19/1632260/BPK.Serahkan.Penyelenggaraan.UN.ke.Daerah. Penulis : Sandro Gatra Kamis, 19 September 2013 | 16:32 WIB Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyerahkan teknis penyelenggaraan ujian nasional (UN) kepada pemerintah provinsi. Pemerintah pusat, menurut BPK, sebaiknya hanya melakukan perencanaan, koordinasi, pemonitoran, supervisi, dan evaluasi UN. "Dalam penyelenggaraan UN, pemerintah provinsi bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat," kata anggota BPK Rizal Djalil saat menyampaikan hasil audit penyelenggaraan UN tahun 2012 dan 2013 di Kantor BPK di Jakarta, Kamis (19/9/2013). BPK berinisiatif melakukan audit setelah penyelenggaraan UN tahun 2013 kacau. Saat itu, terjadi kekisruhan setelah pelaksaan UN di 11 provinsi terlambat akibat belum siapnya bahan. Rizal mengatakan, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kelemahan dalam perencanaan UN. Contohnya, tidak diantisipasinya perubahan jumlah varian soal dari lima varian di tahun 2012 menjadi 20 varian di 2013. Selain itu, tambah dia, tidak diperhitungkannya rentang waktu yang diperlukan untuk melakukan pencetakan dan distribusi naskah soal UN ke lokasi pelaksanaan UN yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengawasan juga tidak optimal dalam pemberian peringatan dini terhadap keterlambatan pencetakan dan distribusi naskah. Kondisi mengakibatkan kekisruhan di 11 Provinsi.

"Akibatnya, ada tambahan biaya fotokopi UN dan lembar jawaban UN, biaya pengawasan, serta terlambatnya proses pemindaian dan scoring hasil UN," ujar Rizal. Selain dalam perencanaan, BPK juga melihat belum optimalnya koordinasi antara Badan Nasional Standardisasi Pendidikan, Kemendikbud, dan Pemda. Akibatnya, ditemukan adanya duplikasi anggaran APBN dan APBD dalam kegiatan yang sama mencapai Rp 62,2 miliar. Hasil audit BPK lainnya, ditemukan kerugian keuangan negara sekitar Rp 8,15 miliar dalam proses lelang pencetakan UN tahun 2012. Adapun lelang 2013, potensi kerugian negaranya mencapai Rp 6,3 miliar. Terkait penyelengaraan UN 2012 dan 2013, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 2,66 miliar. Modus penyimpangannya, yakni pemotongan belanja, kegiatan fiktif, dan penggelembungan harga.

Rumuskan Model Evaluasi Siswahttp://edukasi.kompas.com/read/2013/05/01/12033837/Rumuskan.Model.Evaluasi.Siswa Penulis : Luki Aulia Rabu, 1 Mei 2013 | 12:03 WIB Editor : Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelenggaraan ujian nasional sudah sebaiknya dievaluasi dengan melibatkan ahli-ahli evaluasi. Selanjutnya dirumuskan model evaluasi yang cocok bagi siswa dan sistem pendidikan Indonesia.

Kalaupun kemudian ujian nasional merupakan model yang terbaik, maka harus ada pertanggungjawaban dari sisi akademik dan yuridis, kata Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo seusai pertemuan pengurus PGRI dari sejumlah daerah dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Selasa (30/4), di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, kata Sulistiyo, dibahas pula soal laporan dari sejumlah daerah menyangkut dugaan kecurangan dalam UN. Karena itu disepakati, tenaga kependidikan yang mengetahui atau menyaksikan penyimpangan atau kecurangan dalam UN diminta melapor. Pelapor pasti dilindungi asalkan informasinya jujur dan bisa dipertanggungjawabkan, ujarnya.

Sulistiyo menyatakan, dalam pertemuan itu, PGRI juga meminta pemerintah terutama presiden untuk segera mengumumkan hasil audit pelaksanaan UN agar masyarakat tidak berprasangka buruk. Selain itu, pemerintah segera menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekacauan pelaksanaan UN 2013.

Hasil pemindaian

Pemindaian lembar jawaban UN SMA dan sederajat khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta sudah selesai. Dalam dua pekan, dari sekitar 128.000 lembar jawaban yang ada, hanya tersisa lembar jawaban Paket C yang belum dipindai sebanyak 7.000 lembar.

Kepala Pusat Komputer Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Irsal menjelaskan, butuh waktu lebih lama untuk memindai lembar jawaban Paket C karena ukuran kertasnya berbeda. Biasanya satu hari bisa selesai delapan kotak lembar jawaban, tapi kalau Paket C hanya bisa selesai dua kotak sehari, ujarnya.

Irsal menambahkan, petugas pemindaian di UNJ berjumlah 30 orang yang dibagi dalam dua shift.

Pembantu Rektor IV Universitas Negeri Jakarta Soeprijanto menjelaskan, inti dari pemindaian adalah perubahan data dari manual ke digital. Tugas perguruan tinggi hanya memastikan keakuratan perubahan data dari manual ke digital. Setelah pemindaian, data digital dikirim ke Puspendik. Mereka yang akan melakukan penilaian berdasarkan kunci jawaban, ujarnya.

Soeprijanto menjelaskan, ada dua jenis pemindai yang digunakan, optic scanner dan image scanner. Optic scanner digunakan untuk memindai lembar jawaban asli dan utuh serta tidak rusak atau cacat. Adapun image scanner untuk memindai lembar jawaban hasil fotokopi dan yang rusak atau cacat sehingga tidak bisa dipindai dengan optic scanner.

Untuk lembar jawaban yang tidak dapat dipindai sama sekali, petugas akan menyalinnya secara manual dari lembar jawaban peserta ke lembar jawaban kosong yang sudah disiapkan Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kemdikbud.

Hasil fotokopi tetap bisa dipindai dengan sempurna oleh image scanner. Tidak perlu khawatir, kata Soeprijanto. (LUK)