pada upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam ... filecara dalam seminar bertajuk membangun...

1
KEADILAN masih menjadi barang langka di Indonesia. Akses keadilan sebagai syarat untuk mencapai pengadilan yang fair masih relatif tertutup. “Hakim sering kali tidak seimbang dalam mengadili. Misalnya, pembelaan dari terdakwa dipersingkat demi menghemat waktu. Padahal hal itu penting memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk mengelaborasi semua aspek pembelaan mereka,” kata advokat senior Frans Hendra Winarta saat menjadi pembi- cara dalam seminar bertajuk Membangun Indonesia Melalui Pembangunan Hukum Na- sional, di Jakarta, kemarin. Dia mengakui, hambatan terhadap akses keadilan bu- kan hanya datang dari hakim, tapi juga pengacara, jaksa, dan pihak lain yang berniat mengintervensi proses hukum. “Sering kali pembelaan dihenti- kan di tengah jalan karena fak- tor di luar pengadilan, seperti suap dan korupsi yang melibat- kan perangkat peradilan,” kata Frans lagi. Ditambahkan Frans, tidak mudah untuk mencapai akses keadilan yang ideal bagi se- mua golongan. “Banyak yang harus dibenahi, di antaranya gaji hakim yang masih kurang, keterbukaan peradilan, kom- petensi perangkat peradilan dan lain-lain,” katanya. Menurutnya, ujian advokat yang menjadi wadah tunggal untuk menyaring pengacara juga harus diamendemen atau direvisi. “Banyak kami temu- kan pengacara yang lulus ujian advokat ini tapi ternyata tidak profesional dan kompeten. Perlu ada pelatihan lebih lanjut bagi mereka sehingga tidak jadi sumber konik,” ujarnya. Selain itu, sambung Frans, hak untuk didampingi peng- acara bagi pelaku pidana perlu dimasukkan anggaran negara. “Selama ini, hak itu tidak bisa digunakan karena tidak ada bi- aya untuk membayar penasihat hukum. Lain halnya di negara maju, di sana si miskin punya akses ke keadilan sama dengan si kaya,” tandasnya. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahen- dra menambahkan, amende- men konstitusi telah meng- ubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara fundamental. Namun, proses amendemen itu tidak selalu membawa ke- baikan. “Tidak jelas lembaga mana yang memainkan peranan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Menurut UUD 45 hasil amendemen, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksana- kan sesuai UUD. Perumusan seperti ini tidak lazim dalam norma konstitusi di negara mana pun. Apalagi, pasal-pasal yang mengatur pelaksanaan- nya pun tidak jelas,” tuturnya. (*/P-1) Keadilan masih Barang Langka JUMAT, 9 DESEMBER 2011 3 P OL KAM NURULIA JUWITA SARI K ETIDAKBERESAN dalam kebijakan moratorium pem- berian remisi bagi terpidana korupsi berujung pada penggunaan hak inter- pelasi DPR. Sedikitnya, 30 anggota DPR yang berasal dari enam fraksi di DPR secara resmi, kemarin, telah meneken surat peng- gunaan hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerin- tah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Anggota yang meneken pengajuan hak itu berasal dari Fraksi Partai Golkar, F-PDIP, F-PKS, F-PAN, F-PPP, dan F-Hanura. Jumlah itu telah melampaui syarat dalam Un- dang-Undang Nomor 27 Ta- hun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU itu hanya mengatur pengajuan interpe- lasi harus diusulkan paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Pengajuan hak itu menindak- lanjuti rapat yang berlangsung hampir 11 jam antara Komisi III DPR dan Kementerian Hukum dan HAM pada Rabu (7/12). Itu diperkuat ketidakhadiran Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dalam rapat kerja lanjutan yang dijadwal- kan kemarin. Pasalnya, Amir sedang memimpin persiapan Peringatan Hari Antikorupsi di Semarang. “Menteri tidak menguasai persoalan teknis. Untuk itu, kami tanyakan kepada Presi- den apa memahami dan me- merintahkan menteri mengam- bil kebijakan ini atau menteri jalan sendiri,” kata anggota F-PG Bambang Soesatyo di Jakarta, kemarin. Dalam rapat kerja pada Rabu malam, perdebatan mengenai moratorium pemberian remisi terhadap terpidana kasus ko- rupsi tidak kunjung menda- patkan titik temu. Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman sempat mence- tuskan usul agar Kemenkum dan HAM mengkaji kem- bali moratorium remisi dan menyempurnakan kembali peraturan dan perundangan yang berlaku. Namun, usul itu ditolak anggota F-PG Aziz Syamsuddin. Para anggota dewan mem- pertanyakan kebijakan morato- rium yang dibuat tanpa dasar hukum dan terkesan diskrimi- natif. Kesan itu menguat setelah mendengar penjelasan Dirjen Pemasyarakatan Sihabuddin mengenai pembatalan pem- berian remisi bagi sejumlah terpidana kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) pada 2004. “Hari itu (30 Oktober) ada dua rencana pembebasan. Un- tuk yang di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, beberapa orang sudah keluar, sedang- kan di Rutan Cipinang, (kami) menerima telepon (dari Wakil Menkum dan HAM) sehingga (pembebasan) ditangguhkan, sementara kalau mengacu ke surat, kami harus melaksana- kan,” papar Sihabuddin. Dalam kasus itu, terpidana yang ada di Rutan Salemba ialah Asep Sujana, TM Nurlif, Baharuddin Aritonang, dan Reza Kamarullah. Yang ditahan di Cipinang ialah Ahmad Haz Zawawi dan Paskah Suzetta. “Di Salemba bisa keluar, tapi di Cipinang karena ber- dasarkan telepon, (tahanan) tidak keluar. Hebat benar wakil menteri ini,” cetus Aziz. Alihkan gugatan Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahen- dra membatalkan gugatan terhadap Menkum dan HAM Amir Syamsuddin dan Wakil Menkum dan HAM Denny Indrayana ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Kami tidak mengajukan gugatan ke PTUN, tapi ke pengadilan negeri,” ungkap Yusril. Yusril memastikan gugat- an segera dilayangkan ke pengadilan. “Isi gugatannya (mempersoalkan) perbuatan melawan hukum,” jelasnya. (*/P-1) [email protected] BALI DEMOCRACY FORUM: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut Sultan Brunei Hassanal Bolkiah saat menghadiri Bali Democracy Forum IV, di Nusa Dua, Bali, kemarin. Forum yang dihadiri sembilan kepala/wakil kepala negara itu memfokuskan pembicaraan pada upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam merespons suara-suara demokrasi. ANTARA/NYOMAN BUDHIANA DPR mempertanyakan pembatalan remisi atas dasar perintah melalui telepon wakil menteri. Moratorium Remisi Berujung Interpelasi PEMERINTAH di Asia didesak untuk menjamin kebebasan masyarakat sipil dan transpa- ransi jika ingin menjadi sebuah negara demokrasi. “Sebuah masyarakat sipil yang dinamis ialah kunci menu- ju demokrasi. Jadi, kami ingin menyatukan suara masyarakat dan yang menjadi konsentrasi di negara kami masing-masing agar didengar pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif Forum Asia Yap Swee Seng dalam jumpa pers yang dilakukan 35 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Forum Asia dan Imparsial di Bali, kemarin. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Saly Martini menambahkan, Forum Asia merekomendasikan empat poin yang perlu dilaksanakan pemerintah di Asia. Keempat poin itu ialah kebebasan media sebagai sensor yang mewakili suara masyarakat, indepen- densi dunia peradilan, hak atas informasi dan demokrati- sasi, dan perlindungan sosial transformatif dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, salah satunya agar me- libatkan masyarakat terutama yang terpinggirkan. Saat membuka Bali Demo- cracy Forum (BDF) IV, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan proses demokrasi harus menciptakan kebebasan, perdamaian, dan pandangan moderat. “Dengan memberikan ruang yang luas bagi warga negara untuk dapat hidup dengan merdeka baik dalam beragama, berserikat, dan menyampaikan pendapat.” Namun, Presiden menga- takan, kemerdekaan tidaklah absolut. “Tidak bisa digunakan melanggar hak orang lain, mempromosikan kebencian, konik, dan peperangan.” Ia menambahkan, kemerde- kaan harus diiringi kepatuhan terhadap hukum dan toleransi. Tanpa itu, kemerdekaan hanya akan menghasilkan anarki. BDF IV diikuti sejumlah kepala negara atau setingkat kepala pemerintahan, seperti Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, Sultan Hassa- nal Bolkiah dari Brunei Darus- salam, dan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao. (Ant/OL/P-1) Pemerintah di Asia Didesak Jamin Kebebasan Sering kali pembelaan dihentikan di tengah jalan karena faktor di luar pengadilan, seperti suap dan korupsi.” Frans Hendra Winarta Advokat MI/ADAM DWI

Upload: hoangdat

Post on 04-May-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEADILAN masih menjadi barang langka di Indonesia. Akses keadilan sebagai syarat untuk mencapai pengadilan yang fair masih relatif tertutup.

“Hakim sering kali tidak seimbang dalam mengadili. Misalnya, pembelaan dari terdakwa dipersingkat demi menghemat waktu. Padahal hal itu penting memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk mengelaborasi semua aspek pembelaan mereka,” kata advokat senior Frans Hendra Winarta saat menjadi pembi-cara dalam seminar bertajuk Membangun Indonesia Melalui Pembangunan Hukum Na-sional, di Jakarta, kemarin.

Dia mengakui, hambatan terhadap akses keadilan bu-kan hanya datang dari hakim, tapi juga pengacara, jaksa, dan pihak lain yang berniat mengintervensi proses hukum. “Sering kali pembelaan dihenti-kan di tengah jalan karena fak-tor di luar pengadilan, seperti suap dan korupsi yang melibat-kan perangkat peradilan,” kata Frans lagi.

Ditambahkan Frans, tidak mudah untuk mencapai akses keadilan yang ideal bagi se-mua golongan. “Banyak yang

harus dibenahi, di antaranya gaji hakim yang masih kurang, keterbukaan peradilan, kom-petensi perangkat peradilan dan lain-lain,” katanya.

Menurutnya, ujian advokat yang menjadi wadah tunggal untuk menyaring pengacara juga harus diamendemen atau direvisi. “Banyak kami temu-kan pengacara yang lulus ujian advokat ini tapi ternyata tidak profesional dan kompeten.

Perlu ada pelatihan lebih lanjut bagi mereka sehingga tidak jadi sumber konfl ik,” ujarnya.

Selain itu, sambung Frans, hak untuk didampingi peng-acara bagi pelaku pidana perlu dimasukkan anggaran negara. “Selama ini, hak itu tidak bisa digunakan karena tidak ada bi-aya untuk membayar penasihat hukum. Lain halnya di negara maju, di sana si miskin punya akses ke ke adilan sama dengan si kaya,” tandasnya.

Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahen-dra menambahkan, amende-men konstitusi telah meng-ubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara fundamental. Namun, proses amendemen itu tidak selalu membawa ke-baikan.

“Tidak jelas lembaga mana yang memainkan peranan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Menurut UUD 45 hasil amendemen, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksana-kan sesuai UUD. Perumusan seperti ini tidak lazim dalam norma konstitusi di negara mana pun. Apalagi, pasal-pasal yang meng atur pelaksanaan-nya pun tidak jelas,” tuturnya. (*/P-1)

Keadilan masihBarang Langka

JUMAT, 9 DESEMBER 2011 3POLKAM

NURULIA JUWITA SARI

KETIDAKBERESAN dalam kebi jakan moratorium pem-berian remisi bagi

terpidana korupsi berujung pada penggunaan hak inter-pelasi DPR.

Sedikitnya, 30 anggota DPR yang berasal dari enam fraksi di DPR secara resmi, kemarin, telah meneken surat peng-gunaan hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah

mengenai kebijakan pemerin-tah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Anggota yang meneken peng ajuan hak itu berasal dari Fraksi Partai Golkar, F-PDIP, F-PKS, F-PAN, F-PPP, dan F-Hanura. Jumlah itu telah melampaui syarat dalam Un-dang-Undang Nomor 27 Ta-hun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU itu hanya meng atur pengajuan interpe-

lasi harus diusulkan paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

Pengajuan hak itu menindak-lanjuti rapat yang berlangsung hampir 11 jam antara Komisi III DPR dan Kementerian Hukum dan HAM pada Rabu (7/12). Itu diperkuat ketidakhadiran Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dalam rapat kerja lanjutan yang dijadwal-kan kemarin. Pasalnya, Amir sedang memimpin persiapan Peringatan Hari Antikorupsi di Semarang.

“Menteri tidak menguasai persoalan teknis. Untuk itu, kami tanyakan kepada Presi-den apa memahami dan me-

merintahkan menteri mengam-bil kebijakan ini atau menteri jalan sendiri,” kata anggota F-PG Bambang Soesatyo di Jakarta, kemarin.

Dalam rapat kerja pada Rabu malam, perdebatan mengenai moratorium pemberian remisi terhadap terpidana kasus ko-rupsi tidak kunjung menda-patkan titik temu.

Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman sempat mence-tuskan usul agar Kemenkum dan HAM mengkaji kem-bali moratorium remisi dan menyempurnakan kembali peraturan dan perundangan yang berlaku. Namun, usul

itu ditolak anggota F-PG Aziz Syamsuddin.

Para anggota dewan mem-pertanyakan kebijakan morato-rium yang dibuat tanpa dasar hukum dan terkesan diskrimi-natif.

Kesan itu menguat setelah mendengar penjelasan Dirjen Pemasyarakatan Sihabuddin mengenai pembatalan pem-berian remisi bagi sejumlah terpidana kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) pada 2004.

“Hari itu (30 Oktober) ada dua rencana pembebasan. Un-tuk yang di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, beberapa

orang sudah keluar, sedang-kan di Rutan Cipinang, (kami) menerima telepon (dari Wakil Menkum dan HAM) sehingga (pembebasan) ditangguhkan, sementara kalau mengacu ke surat, kami harus melaksana-kan,” papar Sihabuddin.

Dalam kasus itu, terpidana yang ada di Rutan Salemba ialah Asep Sujana, TM Nurlif, Baharuddin Aritonang, dan Reza Kamarullah. Yang ditahan di Cipinang ialah Ahmad Hafi z Zawawi dan Paskah Suzetta.

“Di Salemba bisa keluar, tapi di Cipinang karena ber-dasarkan telepon, (tahanan) tidak keluar. Hebat benar wakil menteri ini,” cetus Aziz.

Alihkan gugatanMantan Menteri Sekretaris

Negara Yusril Ihza Mahen-dra membatalkan gugatan terhadap Menkum dan HAM Amir Syamsuddin dan Wakil Menkum dan HAM Denny Indrayana ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Kami tidak mengajukan gugatan ke PTUN, tapi ke pengadilan negeri,” ungkap Yusril.

Yusril memastikan gugat-an segera dilayangkan ke pengadilan. “Isi gugatannya (mempersoalkan) perbuatan melawan hukum,” jelasnya. (*/P-1)

[email protected]

BALI DEMOCRACY FORUM: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut Sultan Brunei Hassanal Bolkiah saat menghadiri Bali Democracy Forum IV, di Nusa Dua, Bali, kemarin. Forum yang dihadiri sembilan kepala/wakil kepala negara itu memfokuskan pembicaraan pada upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam merespons suara-suara demokrasi.

ANTARA/NYOMAN BUDHIANA

DPR mempertanyakan pembatalan remisi atas dasar perintah melalui telepon wakil menteri.

Moratorium Remisi Berujung Interpelasi

PEMERINTAH di Asia didesak untuk menjamin kebebasan masyarakat sipil dan transpa-ransi jika ingin menjadi sebuah negara demokrasi.

“Sebuah masyarakat sipil yang dinamis ialah kunci menu-ju demokrasi. Jadi, kami ingin menyatukan suara masyarakat dan yang menjadi konsentrasi di negara kami masing-masing agar didengar pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif Forum Asia Yap Swee Seng dalam jumpa pers yang dilakukan 35 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Forum Asia dan Imparsial di Bali, kemarin.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Saly Martini menambahkan, Forum Asia merekomendasikan empat

poin yang perlu dilaksanakan pemerintah di Asia. Keempat poin itu ialah kebebasan media sebagai sensor yang mewakili suara masyarakat, indepen-densi dunia peradilan, hak atas informasi dan demokrati-sasi, dan perlindungan sosial transformatif dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, salah satunya agar me-libatkan masyarakat terutama yang terpinggirkan.

Saat membuka Bali Demo-cracy Forum (BDF) IV, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan proses demokrasi harus menciptakan kebebasan, perdamaian, dan pandangan moderat.

“Dengan memberikan ruang yang luas bagi warga negara untuk dapat hidup dengan

merdeka baik dalam beragama, berserikat, dan menyampaikan pendapat.”

Namun, Presiden menga-takan, kemerdekaan tidaklah absolut. “Tidak bisa digunakan melanggar hak orang lain, mempromosikan kebencian, konfl ik, dan peperangan.”

Ia menambahkan, kemerde-kaan harus diiringi kepatuhan terhadap hukum dan toleransi. Tanpa itu, kemerdekaan hanya akan menghasilkan anarki.

BDF IV diikuti sejumlah kepala negara atau setingkat kepala pemerintahan, seperti Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, Sultan Hassa-nal Bolkiah dari Brunei Darus-salam, dan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao. (Ant/OL/P-1)

Pemerintah di AsiaDidesak Jamin Kebebasan

Sering kali pembelaan

dihentikan di tengah jalan karena faktor di luar pengadilan, seperti suap dan korupsi.”

Frans Hendra WinartaAdvokat

MI/ADAM DWI