pada sebuah panti

15
Pada Sebuah Panti Oleh: Rusdi Mathari Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected] Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org

Upload: pindai-media

Post on 31-Jul-2015

79 views

Category:

News & Politics


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pada Sebuah Panti

Pada Sebuah Panti

Oleh:

Rusdi Mathari

Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]

Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org

Page 2: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 2 | 15

Pada Sebuah Panti

Oleh : Rusdi Mathari

Masa tua seperti apa yang Anda harapkan kelak: hidup bersama anak cucu dan tinggal bersama

kehangatan keluarga atau menjalaninya di sebuah panti jompo?

SIANG itu, dua hari sebelum Natal 2014, beberapa menit sebelum azan zuhur, Umar duduk di atas

kursi roda dan menghadap ke arah menara air. Dadanya hampir menyentuh sisi meja. Di atasnya

ada talam plastik persegi merah, berisi nasi, dendeng, sayuran sawi, dan sepotong semangka.

Tangan kirinya meringkuk di depan dada, dengan punggung telapak agak bengkok seakan

menahan sesuatu. Tangan kanannya susah payah menyendok nasi dan sayuran, lalu menyorongkan

sendok itu ke mulutnya yang terlihat miring.

Agak repot dia mengunyah. Dua-tiga butir nasi terlihat menempel di dagu dan di atas bibirnya.

Setelah beberapa kali suapan, Umar menanyakan air minum. Seorang perempuan muda

berkacamata yang duduk di didekatnya berdiri lalu berjalan ke belakang kursi roda.

Dia memungut sesuatu dari celah antara Umar dan sandaran plastik kursi roda. Itulah rupanya air

minum yang dicari Umar: air kemasan gelas plastik yang rupanya tertindih Umar. Isinya tinggal

sepertiga gelas. Umar terkekeh sewaktu perempuan itu meletakkannya di atas meja. Gumpalan

nasi terlihat menempel di barisan gigi depannya. “Saya terserang stroke,” kata Umar.

Umar adalah penghuni Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, Cibubur, Jakarta, yang oleh banyak

orang disebut panti jompo, tempat penitipan orang-orang lanjut usia. Nama lengkapnya Umar

Khatab. Sudah enam tahun dia tinggal di sana. Kali pertama masuk, usianya 68 tahun dan Umar

masih sehat. Stroke menyerangnya sekitar setahun lalu dan membuatnya tak berdaya: harus duduk

di kursi roda dan harus mengenakan popok sekali buang karena Umar bisa ngompol tanpa kontrol.

Perempuan muda itu Lilis Clara, mahasiswi kedokteran tingkat akhir dari Universitas

Tarumanegara, Jakarta. Usianya 22 tahun. Dia sedang praktik di poliklinik panti. Lilis menemani

dan menunggui Umar selesai makan. Siang itu adalah jadwal Umar untuk diperiksa tekanan

darahnya.

“Pak Umar saya tinggal dulu, ya?”

Page 3: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 3 | 15

Baru beberapa langkah, Umar menggodanya, “Dokter Lilis cantik.” Lilis tersenyum. Umar

terkekeh.

Setengah jam sebelumnya, saya melihat Umar asik ikut bertepuktangan mengikuti lagu “Prahu

Layar” ciptaan Ki Narto Sabdho yang dipopulerkan Didi Kempot. Lagu itu dinyanyikan Suharti

dengan alunan organ tunggal di ruang tengah panti. Siang itu, Tresna Werdha mendapat kunjungan

beberapa karyawan dari sebuah perusahaan, dan di ruang tengah, para penghuninya unjuk

kebolehan termasuk bernyanyi.

Suharti, perempuan lanjut usia, warga di sekitar panti, datang ke sana meramaikan acara. Lagu

“Prahu Layar” yang dinyanyikannya adalah lagu terakhir pada acara itu dan Umar ikut sumringah.

Kepalanya goyang-goyang. Kopiahnya miring. Popoknya terlihat menonjol di balik celana kolor

panjang berwarna telur asin. Kata Ipung, petugas panti, Umar menyukai keramaian.

Sebelum tua dan tak berdaya, dia memang hidup di dunia gemerlap. Dunia film. Umar bekerja

sebagai penata lampu. Dia menyebut antara lain dua judul film yang dirinya pernah terlibat:

Perawan di Sektor Selatan dan Mereka Kembali; dua film yang berkisah perang kemerdekaan,

masing-masing diproduksi pada 1971 dan 1972. Dia juga mendaku mengenal baik beberapa aktor

lama seperti Dicky Zulkarnaen dan Mieke Wijaya.

Pekerjaan itu ditinggalkannya ketika dia beranjak tua. Hidupnya terlunta-lunta. Bukan saja karena

Umar tak punya penghasilan, melainkan tak ada yang merawatnya. Salah satu adik perempuan

Umar lantas berinisiatif menitipkan Umar ke panti karena Umar tak punya istri dan anak. Dia

membujang dan satu-satunya lelaki di antara enam bersaudara.

“Saya pernah jatuh cinta pada gadis Bandung tapi dia meninggalkan saya. Menikah dengan lelaki

lain pilihan orang tuanya,” ujar Umar.

Sebelum tinggal di panti, Umar tinggal di sebuah rumah di Tebet, Jakarta Selatan. Sebelumnya dia

menempati rumah warisan orangtua di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Rumah itu dijual dan dia

pindah ke Tebet. Kata Umar, orangtuanya cukup kaya. Keduanya asli Minang. Ibunya dari

Batusangkar dan bapaknya asli Sijunjung. Tapi Umar lahir di Banyumas, Jawa Tengah, dan dia

mengaku tak pernah sampai ke tanah Minang.

“Saya betah (tinggal) di sini. Banyak teman,” katanya.

Page 4: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 4 | 15

Di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, ada 69 orang lanjut usia seperti dirinya. Sebagian besar

perempuan. Usia mereka melampaui 60 tahun dengan penghuni tertua berusia 82 tahun. Mereka

menjalani kegiatan rutin yang sudah dijadwal oleh pengurus panti.

Pagi hari berolahraga, sesudahnya mengerjakan keterampilan seperti melukis, membuat keset,

berkebun dan sebagainya. Siangnya, mereka menghabiskan waktu bermain scrable atau halma.

Atau kalau kebetulan ada kunjungan sosial seperti siang itu, para penghuni diajak serta untuk

meramaikan. Pada hari-hari tertentu, para penghuni mendapat kunjungan pembina keagamaan

sesuai keyakinan masing-masing. Dua atau tiga bulan sekali, mereka diajak piknik. Jatah makan

tiga kali sehari, diselingi kudapan setiap menjelang siang dan sore. Mereka sudah harus tidur atau

masuk kamar pada jam 9 malam.

Tentu tak semua orang lanjut usia seperti Umar bisa menjadi penghuni panti ini. Ada persyaratan

yang diminta panti. Antara lain harus berusia minimal 60 tahun, sehat jasmani dan rohani, ada

keluarga yang menanggung, dan yang terutama atas kemauan atau keinginan sendiri. Syarat lain,

harus bersedia membayar uang perawatan; besarnya tergantung kamar yang dikehendaki atau

dipilih. Untuk menghuni kamar VIP harus membayar Rp 6 juta sebulan. Untuk menempati kamar

biasa, tarifnya Rp 3 juta sebulan. Ongkosnya harus dibayar dimuka.

Bila semua itu dipenuhi, barulah orang lanjut usia bisa tinggal di kamar-kamar panti. Mereka lalu

akan dipanggil “oma” dan “opa,” meski cucu-cucu mereka mungkin memanggilnya mbah, eyang,

engkong, atau nenek dan kakek.

Ketika masuk ke Wisma Aster, wisma VIP satu-satunya di panti ini, saya melihat hanya ada

seorang opa yang menghuni satu kamar di deretan kamar sebelah utara. Okta, petugas panti yang

menemani saya berkeliling, menerangkan si opa baru masuk sekitar sebulan lalu.

Namanya VIP, kamarnya jelas berbeda dari kamar biasa yang dihuni oleh Umar. Satu kamar VIP

berukuran kurang-lebih 4x5 meter dan dilengkapi pendingin ruangan. Tempat tidurnya, ada yang

dua, ada yang satu. Kamar mandinya menggunakan pancuran.

Di Wisma Cempaka, terdiri kamar-kamar biasa, saya melihat dua oma bermain scrable di ruang

makan di sebelah ruangan televisi. Ada Oma Tatin yang tengah santai membaca koran yang

kertasnya terlihat kumal. Kedua kakinya dijulurkan ke kursi kecil. Dia hanya mengenakan daster

batik.

Page 5: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 5 | 15

“Opa Donir, ini ada calon penghuni baru?” kata Okta.

“Laki apa perempuan?” sahut Donir yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Laki,” jawab Okta.

“Hahaha, Pak Donir akan punya teman baru,” sahut seorang oma.

Donir adalah mantan dokter di salah satu kesatuan militer. Dia memilih tinggal di panti karena tak

mau merepotkan anak-anaknya. Semua biaya hidup di panti ditanggungnya sendiri dari uang

pensiunan. Saya mencoba mengajaknya bicara. Tapi dia menolak. “Tidak. Tidak. Tak perlu,” kata

Donir sambil mengangkat tangan kanan dan berlalu ke kamar.

Para oma dan opa yang menetap di panti memang berasal dari pelbagai latarbelakang. Kisah

mereka tiba di panti juga beragam. Kisah Umar yang dibawa adik perempuannya, berbeda dengan

kisah Donir dan kisah Tatong Sutedjo.

Dulu Tatong adalah pejabat di Kimia Farma. Dia memilih tinggal di panti karena ingin

diperhatikan dan bersosialiasi dengan banyak orang. Di rumahnya, bersama istri, seorang

pembantu dan suster yang merawatnya, dia berkata selalu didikte. Kebebasannya dibatasi.

Semula dia tinggal di Duren Sawit, Jakarta Timur, di sebuah perumahan yang dihuni para

pensiunan Kimia Farma, selama dua tahun. Menurut Tonka Sesarino, anak Tatong, bapaknya

memilih tinggal di Duren Sawit karena ingin berkumpul dengan teman-temannya. Tapi keinginan

ini tak kesampaian. Selain teman-temannya sudah tua, kesehatan Tatong juga buruk. Sama dengan

Umar, dia terserang stroke. Daya ingatnya berkurang.

Suatu hari, seorang temannya mengunjungi Tatong dan membawa brosur tentang SasanaTresna

Werdha Karya Bakti. Setelah membaca, Tatong tertarik dan meminta Tonka mengirimkan dirinya

ke sana. Tapi bayangan hidup di panti ternyata tak seindah yang dibacanya dari brosur. Waktu itu

awal 2010, usia Tatong 64 tahun.

Di bulan pertama, dia bahkan sempat keluar dari panti karena menilai kamar panti yang

ditempatinya tak sebagus kamar di rumah pribadinya. Hanya berkat ketelatenan petugas panti,

Tatong akhirnya bersedia menetap. Kisah Tatong ini ditulis sebagai bahan penelitian oleh

Faatimah Ummu Abdilah, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Page 6: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 6 | 15

Okta menjelaskan, mengurus oma dan opa memang memerlukan pendekatan dan keterampilan

khusus. Usia lanjut membuat mereka semakin sensitif. Kadang mereka bisa ribut untuk masalah

sepele. Misalnya karena ada dua oma sedang merumpi, lalu oma lain yang tak diajak, merasa kedua

oma itu membicarakan dirinya. Hasilnya cekcok. Mereka bisa tak berteguran selama beberapa

hari. Setelah itu mereka kembali menyapa, seolah tak pernah terjadi perselisihan.

“Mirip anak kecil,” kata Okta.

SASANA Tresna Werdha Karya Bhakti dikelola Yayasan Karya Bhakti Ria Pembangunan,

yayasan para istri menteri Orde Baru yang diketuai Tien Soeharto. Dibangun dan diresmikan

Presiden Soeharto, 14 Maret 1984, lokasinya berdekatan Bumi Perkemahan Cibubur. Sebagian

orang mengenalnya sebagai Griya Aster. Luasnya mencapai satu hektar.

Panti memiliki 77 kamar termasuk 18 kamar VIP. Kamar-kamar itu dikelompokkan ke dalam 4

wisma. Masing-masing wisma berpenghuni 18-20 orang. Di setiap wisma, kamar-kamar penghuni

saling berhadapan, dengan bagian tengah menjadi pemisah antara kamar-kamar itu dibiarkan

terbuka. Setiap kamar dihuni satu oma atau opa. Setiap pintunya dipajang nama penghuninya,

lengkap dengan embel-embel “oma” atau “opa” itu. Kecuali kamar VIP, di setiap kamar disediakan

satu tempat tidur berukuran 2x1 meter, lemari, sebuah meja dan kursi, dan kamar mandi.

Meski makan dan minum disediakan oleh panti, para penghuni dibolehkan untuk memasak

makanan yang mereka sukai di dapur bersama di setiap wisma. Ada ruang menonton televisi

bersama; model televisinya sudah ketinggalan zaman dan semua kursinya disusun menghadap ke

depan.

Panti ini salah satu dari ratusan panti di Indonesia, meski belum ada data terbaru tentang jumlah

persis panti di seluruh Indonesia. Satu-satunya data, dikeluarkan Kementerian Sosial 12 tahun lalu,

menyebutkan ada 175 panti jompo, tersebar dari Aceh hingga Papua. Jumlah itu mestinya

bertambah mengingat jumlah orang lanjut usia di Indonesia juga terus bertambah.

Hasil sensus penduduk 2010 menyebutkan, penduduk lanjut usia berjumlah 18,1 juta jiwa, dan

Indonesia dicatat sebagai negara kelima dengan jumlah penduduk lanjut usia terbesar. Jumlah ini

Page 7: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 7 | 15

diperkirakan dua kali lipat dalam 10 tahun mendatang. Menurut catatan Kementerian Kesehatan,

tingkat umur harapan hidup penduduk Indonesia sampai tahun lalu meningkat menjadi 72 tahun.

Di DKI Jakarta, saya mencatat setidaknya ada 12 panti. Tapi Dinas Sosial setempat hanya mencatat

dan mendata 5 panti jompo di bawah pengelolan dan pengawasannya. Salah satunya Graha

Wredha AUSSI di Cinere, perbatasan Jakarta-Depok.

Panti ini berdiri sejak 16 November 1996, dikelola Alumnarum Ursulae Sanctae Societas

Internasionalis (AUSSI), sebuah yayasan Katolik. Gedungnya bertingkat, menempati lahan seluas

6 ribu m² dan menyediakan 60 kamar. Mirip gedung hotel berbintang, dilengkapi taman, ruang

serba guna, dan salon.

Hampir sama dengan Sasana Tresna Werdha, setiap oma dan opa yang dititipkan di panti ini harus

membayar ongkos, berkisar Rp 3-8 juta setiap bulan, tergantung kamar yang dipilih: kamar standar

atau VIP. Setiap kamar dilengkapi pendingin ruangan. Di pintu masuk panti, terpampang nama-

nama penyumbang pembangunan gedung antara lain Lippo Group. Ketika saya berkunjung,

suasana panti sedang menyiapkan perayaan Natal.

“Anda harus mengirimkan permohonan untuk bisa meliput di sini,” kata Ika, pengurus panti.

Panti jompo terbaru yang saya catat adalah panti yang dibangun perusahan properti PT Jababeka

Tbk. dan Long Life Holding Co.Ltd., perusahaan penyedia layanan bagi orang lanjut usia di

Jepang. Panti ini berlokasi di Cikarang, Bekasi, dan mungkin satu-satunya panji jompo termahal

di Indonesia. Tarifnya mencapai Rp 2 miliar. Biaya itu dibayar dimuka, sekali bayar untuk seumur

hidup, dan para penghuninya mendapat perawatan dan fasilitas premium. Akhir November tahun

lalu, 7 orang lanjut usia dikabarkan sudah memutuskan tinggal di sana.

Di luar Jakarta dan sekitarnya, panti-panti jompo tersebar di tempat-tempat terpencil. Antara lain

Wisma Usia Lanjut Husnul Khatimah, di Ungaran, Semarang. Saya mendatangi panti itu pada

suatu sore yang dingin, dua hari setelah Natal tahun lalu.

Panti ini berdiri sejak 2010, didirikan dan dikelola oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah di

atas lahan seluas hampir 4 ribu m², separuhnya masih tanah kosong dan ditanami banyak pohon.

Alamatnya di Gunungpati, Mangunsari; tak jauh dari Universitas Negeri Semarang.

Menuju ke sana dengan kendaraan roda empat, saya melewati jalan yang menurun dan menanjak,

diapit pohon-pohon pinus. Lokasinya cukup sepi. Hujan deras yang mengguyur daerah itu akhir

Page 8: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 8 | 15

Desember lalu membuat lokasi panti tak mudah dikenali dari Jalan Raya Gunungpati. Papan

namanya bersanding dan kalah besar dengan papan “PKU Muhammadiyah.” Dari jalan, bangunan

panti tampak seperti Puskesmas.

Hampir limabelas menit saya mengetuk pintu panti, sebelum akhirnya Laila, pengurus panti,

muncul menyambut saya di pintu bagian tengah. Selain Laila, hanya ada Sulis, perawat honorer

yang giliran tugas jaga sore itu, sedang menyiapkan makanan untuk para penghuni panti.

Kata Laila, sebagian tanah panti adalah wakaf dari Keluarga Haji Sutarman, dan sebagian lain

tanah wakaf dari pimpinan daerah Muhammadiyah Semarang. Pembangunannya akhir 2008 dan

diresmikan Juni 2010 oleh ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin.

“Panti ini memang khusus untuk nenek-nenek,” kata Laila.

Panti membagi kamar-kamar penghuni menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian terpisah, mirip

penginapan, dan setiap bagian terdiri 2 atau 3 kamar. Letaknya agak ke belakang, terpisah dari

kantor panti di bagian depan. Totalnya ada 8 kamar. Satu kamarnya ditempati perawat yang

bertugas jaga seperti Sulis.

Ketika kali pertama dibuka, seluruh 16 kamar terisi penuh. Belakangan jumlahnya terus menyusut,

dan kini hanya tinggal 7 penghuni. Salah satu penghuni terlama dan tertua adalah Sarinah, usia 89

tahun. Dia menetap sejak panti itu berdiri atas tanggungan takmir musala di Semarang, yang jatuh

kasihan melihat nenek itu sebatang kara dan selalu tidur di sebuah pos ronda. Biaya perawatannya

ditanggung bersama oleh pengurus musala, pengurus RT, dan ibu-ibu dari perkumpulan Aisyah

Semarang. Besarnya Rp 700 ribu sebulan.

Saya tidak menemui Sarinah. Menurut Laila, kondisinya sudah payah. Pendengaran dan

penglihatannya tak berfungsi. Dia bergerak di kamarnya dengan mengesot. Setiap hari, Sulis atau

teman-temannya mengurus Sarinah termasuk memandikan, membersihkan kotoran dan mencuci

pakaian. Sebagai gantinya, saya diantar Laila ke kamar Wawiek, penghuni yang dianggap Laila

paling bisa diajak bicara.

Sewaktu Laila membuka pintu kamar, nenek itu sedang melipat mukena, usai menjalani salat

ashar. Dia terlihat antusias ketika saya menjelaskan maksud kedatangan saya ke panti dan

mengajaknya berbicara. Matanya berbinar-binar.

“Eyang Wawiek memang suka bercerita,” kata Laila.

Page 9: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 9 | 15

Nama lengkapnya Siti Rochyati, kelahiran Magelang, 20 Desember 1930. Dia masih punya daya

ingat yang kuat. Dari ceritanya, saya menjadi tahu, Wawiek keturunan priyayi Jawa. Di Semarang,

bapaknya pegawai jawatan keretaapi dan ibunya guru di Kartini School. Kakeknya dari pihak

bapak adalah seorang asisten wedana. Wiwiek memiliki hidung yang bangir, pipi tirus, alis tebal,

dan bibirnya berisi.

Sulis masuk mengantarkan makan malam untuk Wawiek ketika kami berbincang sekitar 10 menit.

Makanan itu ditempatkan di kotak tahan karat mirip tempat makan pasien rumahsakit. Wawiek

berdiri dan membuka tutup, “Makanannya ndak enak. Ndak kerasa garamnya. Lihat cuma

begini...”

Wawiek mencibirkan bibir. Dia lalu memberi isyarat kepada saya untuk melihat makan malam itu.

Saya berdiri dan ikut melihat: semangkuk nasi, satu tahu goreng, dan sayuran hijau dengan kuah

santan yang encer.

Wawiek bercerita, dulu, dia dimanja oleh suami dan bisa makan apa saja. Ketika menceritakan

semua itu, matanya berair, “Saya terpaksa tinggal di sini. Tidak betah.”

Semua bermula ketika R. Soemarto, suami Wawiek, meninggal. Suaminya bekas tentara yang

kemudian bekerja di Bank BTPN sampai pensiun. Ketika menikah dengan Soemarto, usia Wawiek

sudah melewati 40 tahun. Pasangan ini tak punya anak kecuali dua anak dari mendiang suaminya,

hasil pernikahan dengan istri sebelumnya. Saat meninggal, suami Wawiek mewariskan satu rumah

di Semarang. Rumah itu kemudian dijual seharga Rp 400 juta lantas dipakai untuk membeli rumah

di Magelang, kota tempat keluarga besar Wawiek tinggal.

Rumah di Magelang itu belakangan dijual atas desakan dua anak suaminya. Sejak itu dia tak punya

rumah. Hidupnya terlunta-lunta. Berpindah-pindah di rumah ponakan.

Dia sempat ikut kemenakannya, seorang dokter dan direktur di salah satu rumahsakit ternama di

Semarang. Dua tahun lalu, seorang ponakannya menitipkan Wawiek ke Husnul Khatimah.

“Saya dibilang akan tinggal di hotel. Tapi tak tahunya tinggal di panti seperti ini.”

Dari semua penghuni panti, Wawiek sebetulnya adalah penghuni favorit karena membayar paling

mahal ongkos perawatan di panti. Besarnya Rp 2 juta sebulan. Sementara penghuni lain tinggal

sekamar berdua, Wawiek tinggal sendiri di kamar berukuran 3x3 m², dilengkapi televisi 14 inci,

dua kursi plastik, dua lemari, dan satu kamar mandi.

Page 10: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 10 | 15

Ketika masuk ke kamar Wawiek, aroma pesing menyergap penciuman saya. Bau kencing itu

mungkin berasal dari kamar mandi Wawiek, mungkin juga dari kamar mandi di kamar sebelah

kamar Wawiek yang terbuka. Tapi Wawiek seolah tak peduli. Dia malah membuka satu lemari

yang menempel ke dinding kamar mandi, dengan kunci kecil yang diikat saputangan, lalu

mengambil satu tas cokelat dan mengeluarkan beberapa kartu di dalamnya. Salah satu kartu yang

ditunjukkan kepada saya adalah Kartu Identitas Pensiun atas nama suaminya. Dengan kartu itulah,

Wawiek mendapatkan uang setiap bulan, yang menurut pengakuannya dia bayarkan kepada panti.

Selama dia tinggal di panti, tak satu pun anggota keluarganya datang menjenguk. Dua anak tirinya

yang menurutnya juga menjadi kakek-nenek, mungkin sudah melupakannya. Ponakan-

ponakannya, termasuk yang menjadi dokter dan direktur rumahsakit, bahkan tak sekalipun

menelepon ke panti untuk menanyakan kabar Wawiek.

“Saya kesepian,” kata Wawiek.

Suaranya bergetar. Matanya kembali berair. Wajahnya menunduk. Dia seolah tak mau saya

melihat kesedihannya. Menurutnya, manusia takkan bisa menolak ketentuan nasib. Tapi dia tidak

menyangka akan tinggal dan menetap di panti, tempat orang-orang tua tak berdaya; jauh dari

kehangatan keluarga.

Di bagian lain panti, saya melihat Umbuk, nenek berusia 75 tahun, duduk di tepi dipan sedang

menyantap makan malam. Ada bekas luka panjang di bagian depan tulang betis kedua kakinya.

Warnanya putih, seperti bekas luka bakar. Sore itu, dia mengenakan daster kusut. Rambutnya

putihnya acak-acakan. Dia tampaknya baru bangun tidur sore.

Kata Laila, Umbuk adalah salah satu korban gempa bumi Bantul 2006. Dia dikirimkan ke panti

oleh anaknya yang tentara dengan alasan perilakunya tak mudah ditebak. Sering Umbuk meminta

anaknya hanya mengurus dirinya. Atau, tiba-tiba dia minta diantar ke suatu tempat sementara

anaknya masih bertugas. “Putranya rajin menjenguk dan membayar semua uang perawatan setiap

bulan untuk Eyang Umbuk,” kata Laila.

Dari Husnul Khatimah, saya mengunjungi Langen Wredhasih. Lokasinya 1 km dari alun-alun

Ungaran ke arah selatan atau 30 km dari Kota Semarang. Sama dengan Husnul Khatimah, panti

Wredhasih didirikan di tempat yang sepi, di Desa Larep, lereng pegunungan Ungaran. Sebagian

rumah penduduknya tak berlistrik. Tiada angkutan umum. Jalan satu-satunya banyak berlubang,

Page 11: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 11 | 15

hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat. Bila malam, panti ini dijaga Maryono, lelaki

setengah baya yang bekerja sejak panti berdiri 1 Juni 2005.

Itulah panti tempat NH. Dini pernah tinggal selama sekitar 7 tahun. Sastrawan bernama lahir

Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, peraih sejumlah penghargaan sastra di luar dan dalam negeri

dan sedikitnya menulis 30 buku selama 50 tahun itu, selama 10 tahun terakhir memang hidup dari

panti ke panti dan duduk di kursi roda. Usianya kini 79 tahun. Salah satu novelnya yang terkenal

berjudul Pada Sebuah Kapal.

Sebelum tinggal di Wredhasih, Dini menetap di panti Graha Wredha Mulya, Sendowo,

Yogyakarta. Dia tinggal di Wredhasih, kira-kira setahun setelah panti itu diresmikan oleh H.

Mardiyanto, mantan gubernur Jawa Tengah dan menteri dalam negeri; tak berapa lama setelah

terserang hepatitis B. Dini tinggal di sana atas permintaan Effi, istri Mardiyanto. Namun, sejak

setahun lalu, Dini sudah tidak tinggal di Wredhasih.

Menurut Maryono, penjaga panti, Dini pindah ke panti jompo yang juga berada di Ungaran, dihuni

para orang tua stres. Tapi Maryono tidak tahu tempat dan nama pantinya, “Kasihan Bu Dini, dia

pasti terganggu berkumpul dengan orang-orang itu.”

Maryono menunjukkan kepada saya kamar yang pernah dihuni Dini. Letaknya agak ke belakang.

Dia tinggal sendiri di kamar itu, dan hanya dibantu seorang petugas panti yang membersihkan

rumah dan mencuci pakaian. Maryono tak tahu mengapa Dini kemudian memutuskan pindah dari

Wredhasih, tapi Wredhasih memang panti yang sepi. Sangat sepi.

Udaranya dingin menusuk kulit. Di malam hari, gemerlap lampu Kota Semarang bisa terlihat dari

panti ini, mirip kunang-kunang yang seolah menggoda penghuni panti untuk menjamahnya. Suara

jangkrik dan kodok bisa terdengar silih berganti.

Dilihat dari bangunannya, panti ini juga tergolong mewah dan bersih. Luasnya 1 hektar, terdiri 13

kamar dan 5 paviliun, lengkap dengan taman-taman bunga. Di dinding teras depan setiap paviliun

dipasang nama-nama gunung berikut nama-nama donatur. Ada Paviliun Merapi yang disumbang

pengusaha Sindhu Dharmali, ada Paviliun Sumbing dari BPD Jateng, ada Paviliun Slamet yang

disumbang PT Indo Perkasa Usahatama, dan sebagainya.

Page 12: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 12 | 15

Tarif perbulan terbilang murah: Rp 1,25 juta untuk kamar biasa, dan Rp 1,75 juta untuk paviliun.

Setiap kamar dan paviliun bisa diisi dua orang, dan semuanya dilengkapi kamar mandi dan tempat

tidur berstandar hotel melati.

Berbeda dengan panti pada umumnya, di Wredhasih, pengurus panti tak menjadwalkan kegiatan

apapun bagi para penghuninya. Mereka dibebaskan melakukan kegiatan yang disukai termasuk

memasak di dapur di setiap paviliun. Pengurus panti juga mengizinkan para nenek dan kakek yang

hanya ingin menetap selama beberapa hari. Sederhana dan praktis. Tapi sudah sejak setahun

terakhir, panti ini sepi penghuni.

Malam itu, ketika saya mendatangi Wredhasih, hanya ada dua penghuni yang menempati dua

paviliun. Keduanya perempuan. Mereka menolak diajak bicara dan segera berlalu ke paviliun dan

menutup gorden jendela.

Keadaan itu berbeda saat saya mendatangi Panti Wredha Wening Wardoyo, panti jompo milik

pemerintah provinsi Jawa Tengah, berdiri sejak 1978. Ketika saya hendak memasuki areal panti,

tiga kakek terlihat berjalan tertatih di pinggir Jalan Kutilang, yang melintang di depan panti. Satu

kakek mengenakan tongkat berkaki tiga, kakek lain menyeret kakinya hanya dengan satu sandal,

dan seorang lagi cengar-cengir. Semula saya menduga mereka adalah pengemis tapi seorang

petugas panti kemudian segera mengejar mereka dan membawa kembali masuk ke panti. Suasana

panti sempat riuh gara-gara mereka.

“Mereka dalam perawatan khusus,” kata Sugeng Widodo, staf panti.

Ada 96 orang lanjut usia di panti ini. Mereka tersebar di 15 wisma. Setiap wisma dihuni sekitar

10-15 orang. Keadaan dan pelayanan untuk mereka, tentu berbeda dari penghuni panti yang

berbayar. Di panti ini, penghuninya adalah orang miskin. Sebagian dari mereka dipungut oleh panti

dari jalan atau terminal. Sebagian diantar pengurus RT atau kelurahan, seperti Sumardi.

Dari penampilannya, laki-laki berusia 63 tahun itu sebetulnya masih gagah. Tapi dia bilang sudah

tak punya rumah dan pekerjaan, sementara empat anaknya juga miskin. Sudah lima bulan lelaki

asal Kinibalu Semarang itu menetap di panti di Wisma Noroyono bersama 6 penghuni lain. Setiap

hari, dia hanya mengikuti kegiatan yang diadakan panti: senam pagi, membuat kerajinan,

mengikuti pengajian, dan makan. Malamnya dia bersantai di ruang tamu wisma, menonton acara

televisi. Lalu setiap bulan, dia mendapat jatah uang Rp 5 ribu.

Page 13: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 13 | 15

“Saya pasrah dan betah tinggal di sini,” katanya.

HARI masih pukul 8 pagi. Tapi Sarmi tak henti berteriak dalam bahasa Jawa, “Adoh... adoh...

Perutku sakit.” Berkali-kali dia meminta agar perutnya dijunjung.

Diana dan Efie, petugas panti (disebut pramuruppi) bergegas menengok ke kamar Sarmi di deretan

paling kanan di Ruang Perawatan Khusus, Panti Sosial Tresna Wredha Unit Abiyoso, Pakem,

Yogyakarta. Nenek berusia 84 tahun itu telentang tak berdaya di ranjang berkasur berlapis karet,

mirip perlak.

Sarungnya tertarik ke bagian kaki. Karena tak berbaju, di kasur itu, Sarmi terlihat telanjang bulat.

Diana menarik sarung Sarmi untuk menutupi tubuh nenek itu, membetulkan posisi tidurnya. Sarmi

agak kaget dan kembali berteriak, “Adoh... sakit.”

Darwati, staf panti, datang menyusul ke kamar. “Mbah, teriaknya jangan, ‘Adoh’. Teriaknya,

‘Allah... Allah...’ gitu,” kata Darwati setengah berteriak di wajah Sarmi.

Sarmi menuruti seruan Darwati. “Inggih, Bu. Inggih, Bu. Astaghfirullah... Allah....Allah... Allahu

Akbar.”

Kata Darwati, Sarmi adalah salah satu korban letusan Gunung Merapi 2010. Dia dibawa ke panti

karena sudah tak ada lagi yang bisa merawatnya. Anak satu-satunya juga sudah berusia lanjut dan

tinggal bersama anak-anaknya. Sarmi sebatang kara tapi anaknya rajin menjenguknya ke panti.

Pagi itu, sebagaimana rutinitas biasanya, memang aktivitas yang sibuk bagi Diana dan Efie. Dua

perempuan muda ini bagian dari 14 pramuruppi.

Tujuh orang di antara mereka sudah diangkat PNS, sisanya termasuk Diana dan Efie, tetap tenaga

honorer bergaji Rp 1,2 juta sebulan. Keduanya pernah beberapa kali ikut tes penerimaan PNS tapi

tidak lulus. Kata Darwati, materi seleksi ujian bagi mereka tidak masuk akal. Misalnya ditanya

bisa komputer, pengetahuan umum dan sebagainya, “Padahal pekerjaan mereka adalah merawat

orang tua jompo yang tidak semua orang bersedia melakukannya.”

Page 14: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 14 | 15

Pekerjaan Diana dan Efie memang lumayan berat dan seperti kata Darwati, tidak semua orang

bersedia melakukannya. Jumlah orang tua yang dirawat ada 14 orang. Semua membutuhkan

perawatan khusus karena uzur dan setengah pikun.

Setiap hari, keduanya bukan saja menyiapkan makanan bagi para orang tua itu. Tapi juga

memandikan, membersihkan kotoran, dan mencuci pakaian. Efie bercerita, sering para orang tua

itu memoles dinding kamar dengan kotoran mereka sendiri, bahkan ada juga yang mengunyah

beraknya.

Sebelum menangani Sarmi, Diana dan Efie sudah disibukkan oleh Timah, nenek berusia 82 tahun.

Saya mengajak keduanya berbicara ketika Timah terlihat dari luar pintu kamar, bangun dari kasur.

Nenek itu menggeser kedua kaki hingga kedua lutut membentuk sudut yang ditopang betis dan

paha. Perlahan dia menggeser badannya mendekati lutut. Dasternya sudah terangkat hingga ke

bagian perut. Lalu... Timah kencing di tempat tidur. Dia menoleh ke arah kami sembari melempar

senyum.

Efie segera mengganti sarung yang menjadi alas tempat tidur Timah. Diana membersihkan nenek

itu. “Pemandangan seperti itu sudah biasa. Sudah pekerjaan kami membersihkannya,” kata Efie.

Namun, pekerjaan mereka seperti tak pernah selesai. Di teras ruang perawatan itu, Selamun terlihat

ngambek. Lelaki 77 tahun itu sudah tak bisa melihat, dan pagi itu dia enggan ke kamar. Hanya

mondar-mandir di lantai teras yang baru saja dipel oleh Diana.

“Pak Selamun mau ke mana? Kalau tak mau diam, ndak aku kasih rokok, loh...” Efie bertanya

dalam bahasa Jawa. Tapi yang ditanya tak menyahut

Saya mengulurkan sebatang kretek kepada Efie. Lalu Efie memberikannya ke Selamun, dan

membantunya menyalakan kretek itu. “Wis, sekarang duduk.”

Selamun menuruti kata-kata Efie. Dia duduk di bangku panjang sembari mengisap kretek.

Di kamar yang lain, saya melihat Tukiyo duduk di tepi ranjang. Matanya terpejam dan kepalanya

digerak-gerakkan ke kiri hampir setiap tiga detik, seperti hendak dibenturkan ke dinding. Mulutnya

menganga. Kata Diana, setiap hari, setiap duduk di tepi ranjang, kepala Tukiyo bergerak seperti

itu.

Page 15: Pada Sebuah Panti

PINDAI.ORG – Pada Sebuah Panti / 13 Januari 2015

H a l a m a n 15 | 15

Panti jompo yang berdiri sejak 29 April 1978 ini dikelola Dinas Sosial pemerintah provinsi DIY,

terletak tak jauh dari Puskemas Pakem atau sekitar 1 km dari Pasar Pakem, bilangan Kaliurang.

Penghuninya ada 126 orang lanjut usia, sebagian besar perempuan. Mereka disebar di 13 wisma

dan masing-masing wisma dihuni 8-10 orang. Penghuni yang tertua berusia 97 tahun. Namanya

Siti Harjana.

Nama Abiyoso untuk panti ini dipakai, dengan pertimbangan, para penghuni akan bisa meniru

nama tokoh pewayangan itu, yang digambarkan sepuh, tak memikirkan dunia, dan suka bertapa.

Namun melihat tingkah-polah kakek-nenek seperti Sarmi, Timah, Selamun dan Tukiyo, panti ini

tampaknya tak selaras namanya. Mereka seakan manusia terbuang, hanya menunggu kematian di

kamar-kamar yang berbau dan pengap.

Saya melihat diri saya saat tua nanti. Dan bertanya-tanya, masa tua seperti apa yang saya harapkan

kelak? Hidup bersama anak-cucu dan tinggal bersama kehangatan keluarga, atau harus tersingkir

dan disisihkan ke panti jompo yang sepi dan dingin? *

-----------

Rusdi Mathari, wartawan dan penulis. Selain pernah bekerja di sejumlah media, ia telaten

mengelola blognya sejak 2007 http://rusdimathari.wordpress.com/. Twitter: @rusdirusdi