otonomi desa
DESCRIPTION
otonomi desaTRANSCRIPT
![Page 1: Otonomi Desa](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082418/55cf91f0550346f57b91f682/html5/thumbnails/1.jpg)
LATAR BELAKANG MASALAH
Kegiatan manusia jaman dahulu untuk melangsungkan kehidupannya
mengalami sebuah peradaban yang besar dari jaman hidup secara berpindah-
pindah atau hidup mengembara dari suatu tempat ke tempat lainnya hingga
memutuskan untuk menetap disuatu wilayah. Demi keberlangsungan hidupnya
dengan mudah, manusia membentuk sebuah kelompok yang besar atau kecil
hingga akhirnya turun-temurun mendiami suatu wilayah tertentu. Tiga alasan
pokok kenapa manusia membentuk suatu kelompok masyarakat: pertama untuk
hidup, yaitu mencari makan, pakaian dan perumahan; kedua untuk
mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar dan ketiga adalah untuk
mencapai kemajuan dalam hidupnya.1
Selain itu keberadaan suatu wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya
manusia atau tempat terciptanya masyarakat dapat menjadi sebuah acuan tipe
masyarakat yang bagaimana. Misalnya masyarakat pertanian, bersama-sama
mereka membuka hutan belukar dan masing-masing atau bersama-sama mengolah
tanah yang telah kosong untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat
menghasilkan bahan-bahan makanan. Berkumpulnya manusia yang membentuk
suatu masyarakat juga menimbulkan akibat lain, untuk sebab itu hubungan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam masyarakat haruslah diatur.
Hidup bersama bertujuan untuk mengusahakan dan mempertahankan kepentingan
bersama dalam masyarakat yang agar berjalan dengan baik dibutuhkan suatu
peraturan yang disepakati bersama-sama.
Istilah penyebutan untuk kelompok tempat tingal bersama ini disebut
“Desa”. Bahasa Ssansekerta dipergunakan secara menyerluruh di pulau Jawa, oleh
karenanya kalangan pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu mengunakan
istilah “Desa” untuk sebutan tempat tinggal atau kelompokk-kelompok rumah
rakyat.2 Sedangkan definisi desa menurut Soetardjo, desa ialah suatu kesatuan
hukum dimana bertempat tingal suatu masyarakat saja ataupun terjadi dari satu
induk-desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat-hukum yang
1 (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 182 (Surianingrat, 1985) hlm 13
![Page 2: Otonomi Desa](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082418/55cf91f0550346f57b91f682/html5/thumbnails/2.jpg)
terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri.3 Menurut
Undang-Undang nomor 6 tahun 2014, desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Tonnies, sebagai contoh di mana terdapat Gemeinschaft adalah
Desa. Dia mengatakan bahwa masyarakat desa adalah masyarakat paguyuban,
persekutuan dan kerukunan. Hubungan antar manusia bersifat pribadi, kenal-
mengenal dengan akrab, sepahit-semanis, seduka-sesuka, dan disertai saling
percaya mempercayai. Hubungan demikian berakar pada kesatuan keturunan,
kesatuan keluarga. Masyarakat mempunyai kesatuan adat dan kepercayaan,
bahkan kerja dan pemilikan tanah bersifat guyub, segala sesuatu dilakukan
bersama secara gotong-royong. Bercocok tanam, mendirikan rumah, membuat
jalan, jembatan dan lain-lain dilakukan dengan gotong-royong. Kesemuannya
menjadi ciri dan sifat probadi dan kepribadian orang desa sebagai perorangan
maupun dalam keseluruhan masyarakat. (Kartohadikoesoemo, 1984)
Desa sebagai tempat dimana manusia berkumpul dan hidup secara
bermasyarakat, maka desa membutuhkan peraturan untuk menata dan mengatur
segala kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarkat desa tersebut. Istilahnya
adalah desa memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Dalam pengertian tentang kewenangan suatu daerah hukum dapat diistilahkan
otonomi. Dalam pengertian otonomi menurut tradisi hukum tatanegara asing,
maka desa di Indonesia sebagai daerah hukum yang paling tua menjalankan
otonomi yang sangat luas, lebih luas dari otonomi daerah hukum di atasnya yang
menyusul kemudian hari, baik yang dibentuk oleh desa-desa bersama-sama
dengan sukarela, maupun yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat.4
Hukum yang tercipta dalam kehidupan masyarakat desa adalah merupakan hukum
adat. Hukum adat merupakan hukum yang mengatur segenap peri kehidupan
rakyat di desa, tidak membeda-bedakan peraturan-peraturan yang mengatur
3 ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 164 Ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 282
![Page 3: Otonomi Desa](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082418/55cf91f0550346f57b91f682/html5/thumbnails/3.jpg)
hubungan antara orang-orang sebagai manusia perseorangan dari peraturan-
peraturan yang mengatur tata desa sebagai daerah hukum, juga tidak dari
peraturan-peraturan yang mengatur kepercayaan, cara berbakti kepada Tuhan dan
kepada roh suci cikal bakal dayang desa.5
Hak otonomi atau hak yang mengatur dan mengurus rumah tangga desa
sebagai daerah hukum telah diatur dalam hukum adat. Dalam mengatur otonomi
desa oleh hukum adat terjadilah unsur yang bermutu tinggi, walaupun hampir
semua dalam bentuk yang sangat sederhana. Raffles menyatakan dengan terus
terang, bahwa rakyat desa berkuasa menetapkan tata pemerintahannya sendiri dan
berkuasa mengangkat pemerintahannya sendiri.6 Akan tetapi setelah otonomi
desa diberi dasar hukum dalam “Regeringsreglement”, maka pemerintah Belanda
lebih banyak campur tangan dalam pemerintahan desa dan haluan itu masih
berjalan sampai saat ini. Adanya campur tangan pemerintah Belanda saat itu
menjadikan desa dalam melaksanakan otonomi atau urusan rumah tangga desa
mengalami kecacatan.
Dikatakan oleh Kleintjes, Desa dibiarkan mempunyai wewenang untuk
mengurus rumah tangga menurut kehendaknya, dibidang kepolisian maupun
pengaturan tetapi dalam penyelenggaraan Desa tidaklah bebas sepenuhnya. Desa
diberi otonomi dengan memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Gubernur
Jendral, Kepala Wilayah atau Pemerintahan dari kesatuan masyarakat yang berdiri
sendiri, yang ditunjuk dengan Ordinasi.7 Pernyataan Kleintjes tersebut merupakan
bukti bahwa terjadi kemunduran otonomi Desa setelah masuknya penjajah
Belanda.
Selanjutnya menurut Schrieke, kepala desa dijamin dua hak. Yang pertama
ialah pemilihan Kepala Desa dan Pamong Desa, dengan persetujuan pemerintahan
"Gewest" (wilayah), Gubernur Jendral diperhatikan untuk mempertahankan hak
tersebut terhadap segala macam pelanggarannya. Yang kedua ialah wewenang
untuk mengatur urusan rumah tangganya, dengan memperhatikan peraturan yang
di buat oleh Gubernur Jendral dan pemerintahan wilayah.8
5 Ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 8216 Ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 2857 Ibit (Surianingrat, 1985) hlm 798 Ibit (Surianingrat, 1985) hlm 79
![Page 4: Otonomi Desa](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082418/55cf91f0550346f57b91f682/html5/thumbnails/4.jpg)
Kepala desa sebagai penguasa tunggal dalam pemerintahan Desa dan
dibantu dengan pembantunya yang merupakan Pamong Desa. Dalam membuat
peraturan desa, Kepala Desa harus meminta pendapat Desa atau masyarakat dalam
Rapat Desa. Selain itu Kepala Desa juga bertanggung jawab atas kelancaran
penyelenggaraan rumah tanngga dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan
pemerintah Desa.
Dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014, sempat
diperdebatkan oleh kedua calon presiden tentang pembangunan Desa dengan
alokasi dana yang besar dari pemerintah pusat. Terlebih lagi awal 2014 telah
ditetapkan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang
ini menjadi angin segar bagi pembangunan di Desa, setelah sebelumnya Undang-
Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang telah terlebih
dahulu membahas tentang Otonomi Desa.
Dengan adanya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa,
Kepala Desa diberi kewenangan untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa,
melaksanakan Pembangunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Kewenangan Kepala Desa tersebut telah diatur
dalam Pasal 26 Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Beberapa poin
Kewenangan Kepala Desa yang bisa menjadi landasan pembangunan
perekonomian di Desa antara antara lain adalah memegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, menetapkan Peraturan Desa, menetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, membina dan meningkatkan
perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian
skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa,
engembangkan sumber pendapatan Desa, mengusulkan dan menerima pelimpahan
sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa,
memanfaatkan teknologi tepat guna, serta mengoordinasikan Pembangunan Desa
secara partisipatif.
Kewenangan Kepala Desa dalam pembangunan perekonomian di Desa,
didukung dengan adanya peraturan tentang Badan Usaha Milik Desa dalam pasal
87, pasal, 88, pasal 89, dan pasal 90 dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014.
(Belum dapat literatur tentang BumDes)
![Page 5: Otonomi Desa](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082418/55cf91f0550346f57b91f682/html5/thumbnails/5.jpg)
Untuk tercapainya semangat pembangunan Desa yang diusung dalam
Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, dibutuhkan implementasi dari
Desa untuk tercapainya Desa yang otonom. Selain itu kewenangan Kepala Desa
dalam implementasi Otonomi Desa juga diharapkan menjadi pelopor utama dalam
pembangunan Desa.
Desa Banjarsari Kecamatan Bandar Kedung Mulyo Kabupaten Jombang,
merupakan desa yang berada wilayah bagian barat Kabupaten Jombang dengan
sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Adanya peraturan
tentang pelaksanaan Otonomi Desa (UU, Permen, PerGub, Perda) memberikan
motivasi kepada Kepala Desa Banjarsari untuk dapat mengimplementasikan
Otonomi Desa semaksimal mungkin. Kepala Desa Banjarsari yaitu Bapak
Basarudhin merupakan sosok yang disegani di Kabupaten Jombang, bahkan
beliau merupakan sosok penting dibalik terpilihnya pasangan Bupati Jombang dan
Wakil Bupati Jombang periode 2013-2018. Selain itu, beliau juga mempunyai
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, tepatnya adalah perusahaan
yang bergerak dalam produksi pupuk organik. Maka tidak diherankan jika beliau
terpilih menjadi Kepala Desa, Desa Banjarsari saat pemilihan Kepala Desa
serentak yang diadakan di Kabupaten Jombang pada tahun 2013.
Strategi yang diambil secara cepat oleh Kepala Desa Banjarsari untuk
dapat mengimplementasikan Otonomi Desa sekaligus untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi di Desa Banjarsari adalah mendirikan Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes). Melihat juga pada saat itu Desa Banjarsari juga belum memiliki
BUMDes yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan ekonomi
masyarakat Desa Banjarsari. Yang menarik adalah BUMDes yang telah didirikan
di Desa Banjarsari ini bersifat seperti perusahaan dengan kepemilikan bersama
dan terdapat saham-saham yang dimiliki masyarkat Desa Banjarsari. Akan tetapi
ternyata tidak semua masyarakat Desa Banjarsari memiliki saham di BUMDes
tersebut.
Saham-saham yang dimiliki masyarakat Desa Banjarsari dalam BUMDes
bersumber dari dana alokasi yang diberikan pemerintah untuk Desa. Dengan
adanya kewenangan yang dimiliki Kepala Desa terkait pengelolaan Dana Desa,
maka kebijakan yang buat oleh Kepala Desa Banjarsari adalah menjadikan dana
![Page 6: Otonomi Desa](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082418/55cf91f0550346f57b91f682/html5/thumbnails/6.jpg)
alokasi tersebut sebagai modal berupa saham dari masyarakat desa untuk
terbentuknya BUMDes. Sejumlah kurang lebih 70% masyarakat Desa Banjarsari
menyetujui dengan kebijakan Kepala Desa tersebut, dan masyarakat yang tidak
menyetujui kebijakan tersebut tetap mendapatkan haknya dengan diberikan uang
tunai sesuai pembagian yang merata.
Dari hasil pra penelitian tersebut, sangat menarik untuk melihat apa yang
melatar belakangi strategi Kepala Desa untuk membentuk BUMDes tersebut serta
seberapa besar kewenangan yang digunakan Kepala Desa tersebut dalam
pembangunan perekonomian Desa lewat BUMDes dengan melihat background
Kepala Desa.
DAFTAR PUSTAKA
Kartohadikoesoemo, S. (1984). Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Surianingrat, D. B. (1985). Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan. Jakarta:
Aksara Baru.