otonomi desa

9
LATAR BELAKANG MASALAH Kegiatan manusia jaman dahulu untuk melangsungkan kehidupannya mengalami sebuah peradaban yang besar dari jaman hidup secara berpindah-pindah atau hidup mengembara dari suatu tempat ke tempat lainnya hingga memutuskan untuk menetap disuatu wilayah. Demi keberlangsungan hidupnya dengan mudah, manusia membentuk sebuah kelompok yang besar atau kecil hingga akhirnya turun-temurun mendiami suatu wilayah tertentu. Tiga alasan pokok kenapa manusia membentuk suatu kelompok masyarakat: pertama untuk hidup, yaitu mencari makan, pakaian dan perumahan; kedua untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar dan ketiga adalah untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya. 1 Selain itu keberadaan suatu wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya manusia atau tempat terciptanya masyarakat dapat menjadi sebuah acuan tipe masyarakat yang bagaimana. Misalnya masyarakat pertanian, bersama- sama mereka membuka hutan belukar dan masing-masing atau bersama-sama mengolah tanah yang telah kosong untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan bahan-bahan makanan. Berkumpulnya manusia yang membentuk suatu masyarakat juga menimbulkan akibat lain, untuk sebab itu hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam masyarakat haruslah 1 (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 18

Upload: bagus-andrianto

Post on 17-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

otonomi desa

TRANSCRIPT

Page 1: Otonomi Desa

LATAR BELAKANG MASALAH

Kegiatan manusia jaman dahulu untuk melangsungkan kehidupannya

mengalami sebuah peradaban yang besar dari jaman hidup secara berpindah-

pindah atau hidup mengembara dari suatu tempat ke tempat lainnya hingga

memutuskan untuk menetap disuatu wilayah. Demi keberlangsungan hidupnya

dengan mudah, manusia membentuk sebuah kelompok yang besar atau kecil

hingga akhirnya turun-temurun mendiami suatu wilayah tertentu. Tiga alasan

pokok kenapa manusia membentuk suatu kelompok masyarakat: pertama untuk

hidup, yaitu mencari makan, pakaian dan perumahan; kedua untuk

mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar dan ketiga adalah untuk

mencapai kemajuan dalam hidupnya.1

Selain itu keberadaan suatu wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya

manusia atau tempat terciptanya masyarakat dapat menjadi sebuah acuan tipe

masyarakat yang bagaimana. Misalnya masyarakat pertanian, bersama-sama

mereka membuka hutan belukar dan masing-masing atau bersama-sama mengolah

tanah yang telah kosong untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat

menghasilkan bahan-bahan makanan. Berkumpulnya manusia yang membentuk

suatu masyarakat juga menimbulkan akibat lain, untuk sebab itu hubungan antara

manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam masyarakat haruslah diatur.

Hidup bersama bertujuan untuk mengusahakan dan mempertahankan kepentingan

bersama dalam masyarakat yang agar berjalan dengan baik dibutuhkan suatu

peraturan yang disepakati bersama-sama.

Istilah penyebutan untuk kelompok tempat tingal bersama ini disebut

“Desa”. Bahasa Ssansekerta dipergunakan secara menyerluruh di pulau Jawa, oleh

karenanya kalangan pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu mengunakan

istilah “Desa” untuk sebutan tempat tinggal atau kelompokk-kelompok rumah

rakyat.2 Sedangkan definisi desa menurut Soetardjo, desa ialah suatu kesatuan

hukum dimana bertempat tingal suatu masyarakat saja ataupun terjadi dari satu

induk-desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat-hukum yang

1 (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 182 (Surianingrat, 1985) hlm 13

Page 2: Otonomi Desa

terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri.3 Menurut

Undang-Undang nomor 6 tahun 2014, desa adalah desa dan desa adat atau yang

disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat

hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Tonnies, sebagai contoh di mana terdapat Gemeinschaft adalah

Desa. Dia mengatakan bahwa masyarakat desa adalah masyarakat paguyuban,

persekutuan dan kerukunan. Hubungan antar manusia bersifat pribadi, kenal-

mengenal dengan akrab, sepahit-semanis, seduka-sesuka, dan disertai saling

percaya mempercayai. Hubungan demikian berakar pada kesatuan keturunan,

kesatuan keluarga. Masyarakat mempunyai kesatuan adat dan kepercayaan,

bahkan kerja dan pemilikan tanah bersifat guyub, segala sesuatu dilakukan

bersama secara gotong-royong. Bercocok tanam, mendirikan rumah, membuat

jalan, jembatan dan lain-lain dilakukan dengan gotong-royong. Kesemuannya

menjadi ciri dan sifat probadi dan kepribadian orang desa sebagai perorangan

maupun dalam keseluruhan masyarakat. (Kartohadikoesoemo, 1984)

Desa sebagai tempat dimana manusia berkumpul dan hidup secara

bermasyarakat, maka desa membutuhkan peraturan untuk menata dan mengatur

segala kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarkat desa tersebut. Istilahnya

adalah desa memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Dalam pengertian tentang kewenangan suatu daerah hukum dapat diistilahkan

otonomi. Dalam pengertian otonomi menurut tradisi hukum tatanegara asing,

maka desa di Indonesia sebagai daerah hukum yang paling tua menjalankan

otonomi yang sangat luas, lebih luas dari otonomi daerah hukum di atasnya yang

menyusul kemudian hari, baik yang dibentuk oleh desa-desa bersama-sama

dengan sukarela, maupun yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat.4

Hukum yang tercipta dalam kehidupan masyarakat desa adalah merupakan hukum

adat. Hukum adat merupakan hukum yang mengatur segenap peri kehidupan

rakyat di desa, tidak membeda-bedakan peraturan-peraturan yang mengatur

3 ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 164 Ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 282

Page 3: Otonomi Desa

hubungan antara orang-orang sebagai manusia perseorangan dari peraturan-

peraturan yang mengatur tata desa sebagai daerah hukum, juga tidak dari

peraturan-peraturan yang mengatur kepercayaan, cara berbakti kepada Tuhan dan

kepada roh suci cikal bakal dayang desa.5

Hak otonomi atau hak yang mengatur dan mengurus rumah tangga desa

sebagai daerah hukum telah diatur dalam hukum adat. Dalam mengatur otonomi

desa oleh hukum adat terjadilah unsur yang bermutu tinggi, walaupun hampir

semua dalam bentuk yang sangat sederhana. Raffles menyatakan dengan terus

terang, bahwa rakyat desa berkuasa menetapkan tata pemerintahannya sendiri dan

berkuasa mengangkat pemerintahannya sendiri.6 Akan tetapi setelah otonomi

desa diberi dasar hukum dalam “Regeringsreglement”, maka pemerintah Belanda

lebih banyak campur tangan dalam pemerintahan desa dan haluan itu masih

berjalan sampai saat ini. Adanya campur tangan pemerintah Belanda saat itu

menjadikan desa dalam melaksanakan otonomi atau urusan rumah tangga desa

mengalami kecacatan.

Dikatakan oleh Kleintjes, Desa dibiarkan mempunyai wewenang untuk

mengurus rumah tangga menurut kehendaknya, dibidang kepolisian maupun

pengaturan tetapi dalam penyelenggaraan Desa tidaklah bebas sepenuhnya. Desa

diberi otonomi dengan memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Gubernur

Jendral, Kepala Wilayah atau Pemerintahan dari kesatuan masyarakat yang berdiri

sendiri, yang ditunjuk dengan Ordinasi.7 Pernyataan Kleintjes tersebut merupakan

bukti bahwa terjadi kemunduran otonomi Desa setelah masuknya penjajah

Belanda.

Selanjutnya menurut Schrieke, kepala desa dijamin dua hak. Yang pertama

ialah pemilihan Kepala Desa dan Pamong Desa, dengan persetujuan pemerintahan

"Gewest" (wilayah), Gubernur Jendral diperhatikan untuk mempertahankan hak

tersebut terhadap segala macam pelanggarannya. Yang kedua ialah wewenang

untuk mengatur urusan rumah tangganya, dengan memperhatikan peraturan yang

di buat oleh Gubernur Jendral dan pemerintahan wilayah.8

5 Ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 8216 Ibit (Kartohadikoesoemo, 1984) hlm 2857 Ibit (Surianingrat, 1985) hlm 798 Ibit (Surianingrat, 1985) hlm 79

Page 4: Otonomi Desa

Kepala desa sebagai penguasa tunggal dalam pemerintahan Desa dan

dibantu dengan pembantunya yang merupakan Pamong Desa. Dalam membuat

peraturan desa, Kepala Desa harus meminta pendapat Desa atau masyarakat dalam

Rapat Desa. Selain itu Kepala Desa juga bertanggung jawab atas kelancaran

penyelenggaraan rumah tanngga dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan

pemerintah Desa.

Dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014, sempat

diperdebatkan oleh kedua calon presiden tentang pembangunan Desa dengan

alokasi dana yang besar dari pemerintah pusat. Terlebih lagi awal 2014 telah

ditetapkan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang

ini menjadi angin segar bagi pembangunan di Desa, setelah sebelumnya Undang-

Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang telah terlebih

dahulu membahas tentang Otonomi Desa.

Dengan adanya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa,

Kepala Desa diberi kewenangan untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa,

melaksanakan Pembangunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan Desa, dan

pemberdayaan masyarakat Desa. Kewenangan Kepala Desa tersebut telah diatur

dalam Pasal 26 Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Beberapa poin

Kewenangan Kepala Desa yang bisa menjadi landasan pembangunan

perekonomian di Desa antara antara lain adalah memegang kekuasaan

pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, menetapkan Peraturan Desa, menetapkan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, membina dan meningkatkan

perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian

skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa,

engembangkan sumber pendapatan Desa, mengusulkan dan menerima pelimpahan

sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa,

memanfaatkan teknologi tepat guna, serta mengoordinasikan Pembangunan Desa

secara partisipatif.

Kewenangan Kepala Desa dalam pembangunan perekonomian di Desa,

didukung dengan adanya peraturan tentang Badan Usaha Milik Desa dalam pasal

87, pasal, 88, pasal 89, dan pasal 90 dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014.

(Belum dapat literatur tentang BumDes)

Page 5: Otonomi Desa

Untuk tercapainya semangat pembangunan Desa yang diusung dalam

Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, dibutuhkan implementasi dari

Desa untuk tercapainya Desa yang otonom. Selain itu kewenangan Kepala Desa

dalam implementasi Otonomi Desa juga diharapkan menjadi pelopor utama dalam

pembangunan Desa.

Desa Banjarsari Kecamatan Bandar Kedung Mulyo Kabupaten Jombang,

merupakan desa yang berada wilayah bagian barat Kabupaten Jombang dengan

sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Adanya peraturan

tentang pelaksanaan Otonomi Desa (UU, Permen, PerGub, Perda) memberikan

motivasi kepada Kepala Desa Banjarsari untuk dapat mengimplementasikan

Otonomi Desa semaksimal mungkin. Kepala Desa Banjarsari yaitu Bapak

Basarudhin merupakan sosok yang disegani di Kabupaten Jombang, bahkan

beliau merupakan sosok penting dibalik terpilihnya pasangan Bupati Jombang dan

Wakil Bupati Jombang periode 2013-2018. Selain itu, beliau juga mempunyai

sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, tepatnya adalah perusahaan

yang bergerak dalam produksi pupuk organik. Maka tidak diherankan jika beliau

terpilih menjadi Kepala Desa, Desa Banjarsari saat pemilihan Kepala Desa

serentak yang diadakan di Kabupaten Jombang pada tahun 2013.

Strategi yang diambil secara cepat oleh Kepala Desa Banjarsari untuk

dapat mengimplementasikan Otonomi Desa sekaligus untuk meningkatkan

pembangunan ekonomi di Desa Banjarsari adalah mendirikan Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes). Melihat juga pada saat itu Desa Banjarsari juga belum memiliki

BUMDes yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan ekonomi

masyarakat Desa Banjarsari. Yang menarik adalah BUMDes yang telah didirikan

di Desa Banjarsari ini bersifat seperti perusahaan dengan kepemilikan bersama

dan terdapat saham-saham yang dimiliki masyarkat Desa Banjarsari. Akan tetapi

ternyata tidak semua masyarakat Desa Banjarsari memiliki saham di BUMDes

tersebut.

Saham-saham yang dimiliki masyarakat Desa Banjarsari dalam BUMDes

bersumber dari dana alokasi yang diberikan pemerintah untuk Desa. Dengan

adanya kewenangan yang dimiliki Kepala Desa terkait pengelolaan Dana Desa,

maka kebijakan yang buat oleh Kepala Desa Banjarsari adalah menjadikan dana

Page 6: Otonomi Desa

alokasi tersebut sebagai modal berupa saham dari masyarakat desa untuk

terbentuknya BUMDes. Sejumlah kurang lebih 70% masyarakat Desa Banjarsari

menyetujui dengan kebijakan Kepala Desa tersebut, dan masyarakat yang tidak

menyetujui kebijakan tersebut tetap mendapatkan haknya dengan diberikan uang

tunai sesuai pembagian yang merata.

Dari hasil pra penelitian tersebut, sangat menarik untuk melihat apa yang

melatar belakangi strategi Kepala Desa untuk membentuk BUMDes tersebut serta

seberapa besar kewenangan yang digunakan Kepala Desa tersebut dalam

pembangunan perekonomian Desa lewat BUMDes dengan melihat background

Kepala Desa.

DAFTAR PUSTAKA

Kartohadikoesoemo, S. (1984). Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Surianingrat, D. B. (1985). Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan. Jakarta:

Aksara Baru.