optimalisasi peran prasarana konservasi dan sedimen-last

20
Optimalisasi Peran Prasarana Konservasi Dan Sedimen Pada Pengendalian Banjir Oleh : Muhammad Rizal 1 Abstrak Kejadian banjir pada tanggal 17 Januari 2013 di Jakarta memberikan kejutan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, betapa kejadian banjir besar sebagaimana yang terjadi di Tahun 2007 dan 2003 berulang kembali setelah berbagai pekerjaan besar untuk pengendalian banjir selesai dikerjakan. Kejadian banjir besar yang terjadi di hampir setiap 5 Tahun sekali memberikan kesan bagi masyarakat bahwa banjir besar memang akan terjadi setiap 5 Tahun. Belum ada perhitungan resmi menghitung total nilai kerugian yang timbul akibat banjir di Jakarta, tetapi ada pihak yang menyatakan bahwa kerugian banjir tersebut mencapai Rp. 15 Triliun. Total kerugian ini sangat besar jika dibandingkan dengan dana pengendalian banjir yang dialokasikan pemerintah, misalnya Kementerian PU mengalokasikan sekitar Rp. 4 triliun di Tahun 2013 untuk penanganan pengendalian banjir di Indonesia. Prasarana konservasi meliputi waduk, embung, situ, polder, dan danau. Sedangkan prasarana sedimen meliputi sabo dam dan check dam. Penanganan struktual ini akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan penanganan non struktural yang lebih ramah lingkungan. Sejarah panjang banjir di perkotaan, misalnya di Jakarta yang terjadi sejak jaman penjajahan Belanda menunjukkan bahwa penanganan banjir membutuhkan penanganan yang terpadu. Prasarana konservasi tidak hanya memiliki fungsi menyimpan air agar keberadaan air tetap terjaga untuk memenuhi kebutuhan yang ada tetapi juga dapat menjadi penampung kelebihan air yang pada saat banjir datang. Pengaturan peran prasarana konservasi untuk menghadapi presipitasi yang terjadi sepanjang tahun secara optimal dapat membantu pemenuhan kebutuhan air dan 1 Dr. Ir. Muhammad Rizal, MSc. Kasubdit Prasarana Konservasi dan Sedimen – Dit. Sungai dan Pantai

Upload: oji-fumetsuno

Post on 19-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

prasarana konservasi

TRANSCRIPT

Optimalisasi Peran Prasarana Konservasi Dan Sedimen Pada Pengendalian BanjirOleh : Muhammad Rizal

Abstrak

Kejadian banjir pada tanggal 17 Januari 2013 di Jakarta memberikan kejutan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, betapa kejadian banjir besar sebagaimana yang terjadi di Tahun 2007 dan 2003 berulang kembali setelah berbagai pekerjaan besar untuk pengendalian banjir selesai dikerjakan. Kejadian banjir besar yang terjadi di hampir setiap 5 Tahun sekali memberikan kesan bagi masyarakat bahwa banjir besar memang akan terjadi setiap 5 Tahun. Belum ada perhitungan resmi menghitung total nilai kerugian yang timbul akibat banjir di Jakarta, tetapi ada pihak yang menyatakan bahwa kerugian banjir tersebut mencapai Rp. 15 Triliun. Total kerugian ini sangat besar jika dibandingkan dengan dana pengendalian banjir yang dialokasikan pemerintah, misalnya Kementerian PU mengalokasikan sekitar Rp. 4 triliun di Tahun 2013 untuk penanganan pengendalian banjir di Indonesia. Prasarana konservasi meliputi waduk, embung, situ, polder, dan danau. Sedangkan prasarana sedimen meliputi sabo dam dan check dam. Penanganan struktual ini akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan penanganan non struktural yang lebih ramah lingkungan. Sejarah panjang banjir di perkotaan, misalnya di Jakarta yang terjadi sejak jaman penjajahan Belanda menunjukkan bahwa penanganan banjir membutuhkan penanganan yang terpadu. Prasarana konservasi tidak hanya memiliki fungsi menyimpan air agar keberadaan air tetap terjaga untuk memenuhi kebutuhan yang ada tetapi juga dapat menjadi penampung kelebihan air yang pada saat banjir datang. Pengaturan peran prasarana konservasi untuk menghadapi presipitasi yang terjadi sepanjang tahun secara optimal dapat membantu pemenuhan kebutuhan air dan pengendalian banjir. Banjir tidak hanya membawa air tetapi juga sedimen bahkan sampah dalam jumlah besar, dalam kasus banjir perkotaan penanganan sampah dengan prasarana sedimen harus dipertimbangkan. Optimalisasi peran harus didasarkan pada rencana pengelolaan yang terpadu pada DAS dan pola operasi yang tepat agar taraf kerugian dapat ditekan hingga paling minimal.1. Pendahuluan Banjir menjadi momok rakyat Indonesia setiap kali memasuki musim hujan, baik di pedesaan maupun perkotaan. Seiring banjir juga terjadi masalah pergerakan tanah yang dipicu oleh air seperti longsor. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah banjir namun tetap saja banjir terjadi. Berbicara banjir, seharusnya dibedakan dari penyebab terjadinya banjir, yaitu banjir akibat luapan sungai dan banjir akibat tidak berfungsinya drainase. Penanganan terhadap kedua jenis banjir berbeda. Ada dua jenis aliran air yaitu aliran permukaan (run off) dan aliran bawah permukaan (sub flow). Terjadi banjir, berarti terjadi peningkatan jumlah aliran permukaan yang tidak terkendali dan ini berpotensi menurunkan jumlah aliran bawah permukaan yang menyebabkan terjadinya kekeringan karena menurunnya kandungan air tanah. Menurut PP no. 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, pengendalian daya rusak air sungai dilakukan melalui pengelolaan resiko banjir. Pengelolaan resiko banjir dilakukan secara terpadu bersama pemilik kepentingan. Pengelolaan resiko banjir ditujukan untuk mengurangi kerugian banjir. Pengelolaan resiko banjir dilakukan melalui pengurangan resiko besaran banjir dan pengurangan resiko kerentanan banjir. Kegiatan pengurangan resiko banjir dilakukan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air (masterplan). Pengurangan resiko besaran banjir dilakukan dengan membangun prasarana pengendali banjir dan prasarana pengendali aliran permukaan. Pembangunan prasarana pengendali banjir dilakukan dengan membuat peningkatan kapasitas sungai, tanggul, pelimpah banjir dan/atau pompa, bendungan dan perbaikan drainase perkotaan. Pembangunan prasarana pengendali aliran permukaan dilakukan dengan membuat resapan air dan penampung banjir.2. Banjir sebagai Masalah Multidimensi

Banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Berbicara pengendalian banjir tidak akan mudah karena banjir disebabkan faktor multidimensi dan pengendaliannya membutuhkan kedisiplinan dan konsistensi dalam kerjasama berbagai pemangku kepentingan di daerah aliran sungai.2.1. Tata Ruang Sungai sebagai Zona Air Tuntutan Alam

Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Dari definisi tersebut, bicara tentang sungai berarti tidak hanya alur atau palung sungai, tetapi juga sempadan sungai. Sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.

Palung dan sempadan sungai harus diakomodir keberadaannya karena ini merupakan tuntutan alam sebagai zona air yang harus disediakan agar kegiatan manusia tidak terganggu oleh sungai. Tidak hanya itu, ada danau paparan banjir dan dataran banjir yang harus dipertimbangkan jika ingin terganggu banjir. Danau paparan banjir adalah tampungan air alami yang merupakan bagian dari sungai yang muka airnya terpengaruh langsung oleh muka air sungai. Deskripsi danau paparan banjir dalam kehidupan sehari-hari adalah apa yang disebut oleh masyarakat sebagai rawa, yang banyak terdapat di seputaran Jakarta namun keberadaannya sudah banyak lenyap. Dataran banjir merupakan dataran di sepanjang kiri dan/atau kanan sungai yang tergenang air pada saat banjir.

2.2. Efek Multidimensi Banjir merupakan muara dari berbagai persoalan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS), mulai dari masalah sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan dan lingkungan. Penentuan penyebab banjir lebih dilakukan pada suatu kejadian banjir yang bersifat lokal, seperti banjir yang terjadi akibat jebolnya tanggul banjir. Pengendalian banjir secara menyeluruh yang mempertimbangkan berbagai dimensi dalam suatu Daerah Aliran Sungai harus dilakukan melalui suatu Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Masterplan).

Dalam PP Sungai, pengurangan resiko kerentanan banjir dilakukan melalui pengelolaan dataran banjir. Pengelolaan dataran banjir meliputi penetapan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir, persiapan menghadapi banjir, penanggulangan banjir dan pemulihan setelah banjir. Penetapan batas dataran banjir dilakukan dengan identifikasi genangan banjir yang terjadi sebelumnya dan/atau pemodelan genangan dengan debit rencana 50 (lima puluh tahunan). Dalam dataran banjir ditetapkan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir. Hal ini berarti bahwa resiko kemungkinan terjadinya banjir pada dataran banjir dengan besaran debit banjir rencana tersebut hanya 2 (dua) %. Untuk akurasi diperlukan data-data debit sungai, hidrologi dan klimatologi yang akurat dalam rentang waktu sepanjang mungkin. Seandainya debit banjir rencana tersebut dapat diimplementasikan dalam kapasitas angkut sungai-sungai di perkotaan maka banjir-banjir di perkotaan akibat meluapnya sungai, kecil kemungkinan terjadi. Namun demikian, mengakomodir debit banjir dengan kala ulang 50 (lima puluh tahun) tentu akan membutuhkan biaya yang besar.Menelusuri berbagai persoalan pemicu terjadinya banjir lebih mudah dimulai dari bagian hulu sungai kemudian menuju hilir. Bayangan ideal bentang alam hulu DAS adalah hutan lindung di daerah pegunungan yang terjaga baik, selanjutnya bentang alam menjadi daerah pemanfaatan seperti sawah dan perkebunan dan akhirnya di hilir menjadi daerah permukiman dan perkotaan. Dalam kenyataan, bentang alam yang ada dalam DAS di tanah air, banyak yang tidak seperti dalam bayangan ideal. Hutan lindung sudah tidak terlindungi lagi, mulai terganggu dengan penebangan liar, dirubah statusnya menjadi hutan produksi atau malah menjadi perkebunan, yang lebih drastis dibangun menjadi daerah wisata pegunungan secara masif. Kemudian daerah pemanfaatan yang menjadi daerah penghasil bahan pangan dan andalan untuk ketahanan pangan mulai mendapat gangguan dari ekspansi pembangunan perumahan dan daerah industri. Daerah hilir dengan permukaan daratan yang relatif rendah dan cenderung datar dan bahkan mungkin terdapat daerah yang ketinggiannya lebih rendah dari muka air laut, akan menjadi tempat terakhir volume air dari aliran permukaan dari hulu sungai sebelum masuk ke laut. Di hilir, masalah banjir sering terjadi karena luapan air sungai dan karena tidak optimalnya drainase perkotaan. Kapasitas angkut sungai di hilir, khususnya di perkotaan, yang seharusnya optimal sering terganggu karena masalah okupansi bantaran dan badan sungai oleh bangunan, sampah yang dibuang ke sungai serta sedimentasi. PP Sungai mensyaratkan kapasitas sungai, dalam hal sungai alluvial (sungai dengan bahan permukaan dasar yang dominan terdiri dari pasir dan kerikil) palung sungai ditentukan dengan debit rencana antara debit 2(dua) tahunan (Q2) sampai dengan 5(lima) tahunan (Q5). Air pasang di laut dapat menyebabkan banjir rob di hilir terutama pada daerah pemukiman yang dibangun dekat laut dan dekat muara sungai. Aliran permukaan yang tinggi dan berbarengan dengan terjadinya air pasang, akan menyebabkan banjir besar. Daerah rendah di bawah muka air laut yang terletak dekat sungai, secara alami menjadi tempat parkir air saat banjir berlangsung, yang menampung volume air banjir akibat luapan air sungai. Daerah rendah yang letaknya jauh dari sungai akan menjadi kolam-kolam alam yang menampung aliran permukaan akibat curah hujan yang tinggi. Daerah-daerah rendah tersebut kerap disebut sebagai rawa. Mengokupansi daerah rawa menjadi permukiman atau perkotaan akan menyebabkan banjir karena air tidak rela jika rumahnya diambil. 2.3.Pemicu Dominan

Degradasi kualitas lingkungan menjadi pemicu dominan terjadinya banjir. Degradasi kualitas lingkungan dimaksud antara lain menurunnya kapasitas palung sungai dalam mengalirkan air, menurunnya kapasitas permukaan tanah dalam penyerapan air permukaan sehingga menyebabkan tingginya aliran permukaan serta meningkatnya curah hujan karena perubahan iklim dunia.

Hal ini diperparah dengan masalah sosial,ekonomi dan budaya yang menyebabkan makin menurunnya kualitas lingkungan, mulai dari penebangan kawasan hutan, mengurangi tutupan ruang terbuka hijau/danau paparan banjir/dataran banjir bahkan palung sungai terokupansi dengan pembangunan yang tidak terkendali dan pengelolaan sampah yang tidak efektif. 2.4.Pengelola Tunggal Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pengelolaan DAS secara Terpadu (Integrated Water Resources Management) akan efektif dilakukan melalui prinsip one river, one plan, one management. Masalahnya, implementasinya tidak mudah. Di Indonesia, dalam satu DAS paling tidak ada 3 (tiga) institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum yang lebih dominan pada daerah palung sungai dan sempadan serta sumber air lainnya, Kementerian Kehutanan yang lebih dominan pada kawasan hutan dan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) yang lebih dominan pada daerah pemukiman, perkotaan, pertanian dan perkebunan.

Separasi dalam penguasaan wilayah DAS tersebut menyebabkan masalah dalam menciptakan keterpaduan perencanaan dan pengelolaan DAS untuk program konservasi, pengembangan dan pengendalian daya rusak sungai. Kementerian PU membuat Pola dan Rencana Pengelolaan Wilayah Sungai sebagai dasar penyusunan program dan kegiatan di dalam DAS, tetapi hal ini bisa menjadi tidak efektif dan efisien jika tidak dipadukan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota atau Rencana Pengelolaan DAS Kementerian Kehutanan. Ini bisa dihindari hanya jika koordinasi antar institusi dilakukan dengan benar.

Banjir yang terjadi di Jakarta memberikan contoh bagaimana buruknya keterpaduan dalam pengelolaan DAS menyebabkan pengendalian banjir menjadi momok yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, bahkan sejak jaman penjajahan Belanda. Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai utama yang kerap menyebabkan banjir di Jakarta memiliki hulu sungai di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Bagian hulu sungai Ciliwung berada dalam wilayah pengelolaan administratif Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, kawasan hutan berada dalam pengelolaan Kementerian Kehutanan dan badan sungai berada dalam pengelolaan Kementerian Pekerjaan Umum. Paling tidak terdapat institusi yang mengelola bagian hulu Sungai Ciliwung. Indikator kinerja koordinasi ke-empat institusi tersebut hanya bisa terukur dari kinerja pengendalian banjir di Sungai Ciliwung.

Kinerja pengendalian banjir memang harus diukur secara rinci, tetapi perbandingan sederhana antara banjir yang terjadi pada Januari-Februari 2007 dengan banjir Januari 2013 mungkin dapat memberikan deskripsi bagaimana kinerja tersebut berlangsung. Kepala Badan Meteorologi,Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mulyono Prabowo mengatakan bahwa dilihat dari curah hujannya, sebenarnya curah hujan pada kejadian banjir Januari 2013 lebih rendah dibanding curah hujan Januari-Februari 2007 (Kompas.com/18 Januari 2013). Curah hujan pada 17 Januari 2013, curah hujan tinggi terjadi di Kedoya 125 mm dan Cengkareng 103 mm. Curah hujan pada 15 Januari 2013, curah hujan rata-rata di Jabodetabek berkisar 40 100 mm. Tertinggi curah hujan terjadi di Puncak dan Bogor sebesar 100 mm, sementara di Cengkareng 80 mm. Sebagai perbandingan, curah hujan pada 2007 lalu mencapai 340 mm. Dari sisi cakupan wilayah hujan, banjir 2007 dan 2013 juga berbeda. Tahun 2013 curah hujan terjadi secara merata di Jabodetabek, jadi volume airnya besar. Tahun 2007 hujan besar terkonsentrasi pada satu wilayah. Banjir tidak hanya dipicu oleh faktor meteorologis tetapi juga penataan ruang, pendangkalan sungai dan sebagainya. Banjir tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan faktor cuaca. Jadi kinerja pengendalian banjir tidak saja cukup diukur dengan berapa prasarana pengendali banjir yang sudah dibangun, tetapi juga berapa peningkatan kualitas lingkungan hulu DAS serta berapa peningkatan kualitas dataran banjir dan danau paparan banjir di hilir DAS. Pembangunan prasarana pengendali banjir akan tidak efektif jika kualitas lingkungan di hulu dan di hilir DAS menurun.Apa yang terjadi di hulu DAS Cisadane sungguh mengkhawatirkan. Daya serap air terus menyusut seiring dengan pesatnya alih fungsi lahan di sana. Celakanya, sementara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta sibuk membenahi dari hilir,di Lokapurna, kawasan hulu DAS Cisadane dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, pembangunan villa justru sedang menggeliat kuat. Pemiliknya para pesohor dan petinggi dari Jakarta. Menteri Kehutanan dan Bupati Bogor saling melempar tanggung jawab siapa yang berkewajiban mengatasi masalah ini (Majalah Tempo, Edisi 4-10 Maret 2013). Institusi-Institusi Pemerintah seharusnya saling bersinergi bukan saling berdissinergi. DAS sebenarnya merupakan bentuk miniatur negara, pengelolaan DAS akan lebih sederhana jika wilayah kepemerintahan juga dibentuk berdasarkan DAS. Pengelola tunggal DAS memang dibutuhkan tetapi sulit diwujudkan, tidak ada jalan lain selain meningkatkan kualitas Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) yang sudah terbentuk sesuai amanah UU no. 7/2004 Tentang SDA. Institusi-institusi Pemerintah harus bersinergi dalam Program 5 (lima) tahunan Konservasi sungai, Pengembangan Sungai dan Pengendalian daya rusak air sungai, tidak hanya substansi program tetapi juga anggaran. Demikian halnya dengan kegiatan tahunan. Jika ini dicapai, pengendalian banjir secara efektif dan efisien bukan tidak mungkin diwujudkan.3. Masalah Konservasi dan Sedimen

Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Sedimen adalah material alam yang berasal dari pecahan materiall yang terbentuk akibat proses erosi dan pelapukan dan kemudian diangkut oleh aksi air, angin atau glasier atau oleh gaya gravitasi yang terjadi pada material tersebut.

Indikator terjadinya masalah konservasi dalam suatu DAS dapat dilihat paling tidak dari beberapa hal utama, yaitu perbandingan Qmaks dan Qmin, laju sedimentasi tahunan dan luas kawasan terbuka hijau (hutan). Beberapa literatur sumber daya air menyatakan bahwa jika salah satu Qmaks/Qmin 50 dan/atau laju sedimentasi 5 mm/tahun maka DAS tersebut kritis. UU no. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mengatur luasan minimal luas kawasan terbuka hijau sebesar 30% dari luas DAS, luasan kurang dari itu tidak berarti DAS tersebut kritis, perlu kajian tersendiri. Namun jumlah jauh lebih kecil dari 30%, maka kemungkinan DAS tersebut kritis semakin besar. Seharusnya nilai-nilai pada 3 (tiga) variabel parameter di atas menjadi tujuan dalam program konservasi dan program pembangunan ekonomi dikendalikan agar tidak memperburuk nilai-nilai parameter konservasi.

Hampir semua sungai-sungai besar di Pulau Jawa memiliki nilai Qmaks/Qmin lebih dari 50. Indikasi ini mudah terlihat yaitu dengan terjadinya banjir pada musim hujan namun kekeringan pada musim kemarau. Demikian halnya dengan sedimentasi, banyak sungai-sungai besar memiliki laju sedimentasi lebih dari 5 mm/tahun. Ini juga mudah terlihat, sedimentasi yang besar tercermin dari warna air sungai yang kecoklatan dimana mengandung sedimen suspended load dan wash load. Sulit untuk menemukan sungai yang berwarna jernih di Pulau Jawa. Persentase Kawasan terbuka hijau juga demikian, DAS di Pulau Jawa kebanyakan memiliki persentase kurang dari 30%. Misalnya pada DAS Cimanuk, pada tahun 2009 memiliki persentase kawasan terbuka hijau sekitar 14% (Rizal, M. 2012) dan DAS Ciliwung memiliki kurang dari 5% (Majalah Tempo, Edisi 4-10 Maret 2013).

Berbicara bagian hilir DAS dimana kawasan permukiman dan komersialisasi mulai mendominasi, penataan ruang menjadi salah satu masalah yang paling sulit diselesaikan. Masalah sosial cukup dominan di bagian DAS ini. Tata ruang sungai yang mengatur tentang palung sungai, sempadan sungai, bantaran sungai, dataran banjir dan danau paparan banjir menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang paling menantang untuk dapat mengamankan dari okupansi pemukiman dan daerah komersial. Konservasi palung sungai, menurut PP Sungai, dilakukan agar mampu mengalirkan air dengan debit kala ulang 2(dua) hingga 5(lima) tahunan. Jika dibuat tanggul banjir kapasitas pengaliran bisa ditingkatkan hingga debit kala ulang 50 (lima puluh) tahunan untuk melindungi daerah dengan potensi ekonomi tinggi. Pengamanan sempadan sungai dan/atau dataran banjir akan meningkatkan tingkat pengelolaan resiko banjir dengan pengurangan skala dan kerentanan resiko banjir. Revitalisasi danau paparan banjir sebagai tempat penampungan sementara banjir sangat penting dilakukan. Okupansi terhadap danau paparan banjir sangat merugikan. Masalah-masalah yang terkait konservasi dan sedimen yang terjadi di bagian hulu dan hilir DAS yang diungkapkan di atas menjadi tugas bersama semua pemangku kepentingan di dalam DAS. Semua institusi pemerintah harus terlibat dan bersinergi dalam perencanaan, program dan kegiatan. Masalah sedimen di perkotaan bahkan meliputi penanganan sampah.

4. Optimalisasi Peran Prasarana Konservasi dan Sedimen dalam

Pengelolaan Resiko BanjirPrasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak langsung.Prasarana konservasi adalah bangunan air yang menunjang upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan sumberdaya air agar tersedia dalam kuantitas dan yang kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Sedangkan prasarana sedimen adalah prasarana pengendali sedimen untuk memelihara fungsi sumber daya air bagi kebutuhan makhluk hidup di masa sekarang dan masa datang.Bentuk prasarana konservasi sumber daya air antara lain adalah danau, waduk, embung, situ dan polder. Sedangkan bentuk prasarana sedimen antara lain gully plug, check dam dan sabo dam dan kantong pasirnya. Prasarana konservasi di atas lebih banyak berada di bagian hulu sungai. Namun beberapa prasarana seperti danau paparan banjir dan polder dapat berada di bagian hilir sungai. Prasarana sedimen juga lebih banyak di bagian hulu sungai. Prasarana konservasi mempunyai peran dalam pengendalian banjir baik dalam pengurangan resiko besaran banjir dan pengurangan resiko kerentanan banjir. Uraian singkatnya adalah :

Waduk dibangun di bagian hulu dapat menampung kelebihan air yang mengalir di atas kemampuan palung sungai pada musim hujan untuk dapat dimanfaatkan pada musim kemarau sehingga kebutuhan air sepanjang tahun dapat dipenuhi. Dengan kemampuan tersebut, waduk dapat mengurangi skala banjir dan resiko kerentanan banjir secara efektif, yaitu dengan menghitung total volume air banjir yang terjadi sepanjang tahun dengan kala ulang banjir yang direncanakan (misalnya kala ulang 50 tahun), volume air banjir tersebut diakomodir dalam tampungan waduk. Resiko banjir terjadi jika air waduk melewati bangunan pelimpah dan kemampuan palung sungai berada dibawah debit yang melimpah seperti yang terjadi saat air melimpas bangunan pelimpah di Bendungan Jatiluhur. Untuk menghindari resiko banjir tersebut, simulasi operasi waduk yang akurat berdasarkan data debit yang panjang, harus dibuat. Embung dan Situ dibangun di bagian hulu sungai, prinsip kerjanya sama dengan waduk namun dengan ukuran tampungan yang lebih kecil.

Polder biasanya dibangun di bagian hilir sungai, dengan maksud menampung aliran banjir dan membuangnya secara perlahan, karena lokasi di bagian hilir sungai, untuk mengalirkan air yang dibuang dibutuhkan pompa.

Danau paparan banjir, sesuai namanya merupakan dataran banjir dan berada di dekat palung sungai serta dipengaruhi pergerakan muka air sungai namun karena faktor topografisnya berbentuk cekungan (basin) dapat menampung air dalam jumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Sebutan Rawa untuk berbagai rawa di DKI Jakarta adalah gambaran danau paparan sungai.Optimalisasi peran prasarana konservasi dalam pengendalian banjir harus diupayakan dengan pembuatan Rencana Pengelolaan (Master Plan) dalam jangka panjang secara akurat dan pelaksanaan rencana pengelolaan secara konsisten. Rencana pengelolaan tersebut harus diimbangi dengan konsistensi dan kecepatan dalam pengambilan kebijakan untuk mewujudkan rencana yang sudah dibuat. Misalnya pada kasus pengendalian banjir di Jakarta, pada awal tahun 1970-an terdapat rencana pembangunan Bendungan Depok untuk mengurangi resiko banjir di Jakarta. Kecepatan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan Bendungan Depok kalah cepat dengan keputusan untuk membangun daerah rencana pembangunan untuk pemukiman.

Banjir yang terjadi pada Januari 2013, ditaksir sekitar 10 juta m3, padahal hujan yang turun sekitar separuh dari hujan yang jadi penyebab banjir 2007. Volume air yang mengalir di Sungai Ciliwung sebesar 1,3 Milyar m3 per tahun. Jika Bendungan Depok sudah dibangun saat itu, banjir kemungkinan besar dapat dihindari. Ide pembangunan Bendungan Ciawi kurang menguntungkan, karena daerah genangan waduk dan lokasi bendungan sudah berkembang menjadi daerah permukiman dan komersial, selain itu posisi waduk berada terlalu di hulu di mana sebagian besar DAS Ciliwung berada di hilirnya, mengakibatkan efek peredaman banjirnya relatif kecil. Adapun Bendung Katulampa yang sering menjadi indikator kemungkinan terjadinya banjir, tidak memiliki efek peredaman banjir sama sekali karena fungsinya hanya untuk menaikkan muka air untuk kepentingan irigasi.

Prasarana sedimen mempunyai peran dalam pengendalian banjir baik dalam pengurangan resiko besaran banjir dan pengurangan resiko kerentanan banjir terutama pada daerah yang memiliki laju sedimentasi yang tinggi serta daerah yang mengandung potensi simpanan sedimen lahar dalam bentuk pasir ataupun batuan besar serta daerah yang rawan longsoran. Uraian singkatnya adalah :

Sabo dam dibangun di bagian hulu DAS terutama untuk menampung sedimen dan meloloskan air untuk mengalir ke hilir. Kantong pasir dibangun sebagai rangkaian sabo dam di pertemuan antara bagian hulu dan bagian hilir pada kemiringan tertentu dasar sungai sehingga sedimen khususnya pasir dapat terkumpul untuk dapat dimanfaatkan untuk tambang galian C. Check dam di bangun di bagian hulu DAS dengan fungsi hampir sama dengan sabo dam namun dibangun secara individual bukan rangkaian cascade seperti sabo dam.

Prasarana sedimen dapat mengurangi skala banjir secara signifikan terutama untuk mengurangi kerusakan banjir seperti yang terjadi pada banjir dengan debris flow di hilir Gunung Merapi Jokjakarta atau galodo di Sumatera Barat. Perlu kajian mendalam apakah fungsi ini dapat direkayasa untuk menanggulangi masalah banjir di perkotaan yang banyak membawa sampah dan menghambat aliran air ke hilir. Prasarana sedimen dalam ukuran kecil dapat dibangun diluar badan sungai, terutama daerah yang mengalami erosi permukaan yang tinggi. Bangunan seperti gully plug namun menghentikan proses erosi permukaan lebih lanjut dan dapat menciptakan kantong-kantong air yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan penduduk desa.

Optimalisasi peran prasarana konservasi dan sedimen dapat diwujudkan dengan menyusun Rencana Pengelolaan sumber daya air secara akurat dengan menggunakan data-data yang lengkap dan panjang. Prasarana konservasi dapat dioptimal perannya dalam pengendalian banjir dengan membagi habis neraca air sepanjang aliran sungai sehingga tidak ada air yang melebihi kapasitas pengaliran sungai. Kombinasi prasarana konservasi dan sedimen akan mengefektifkan pencapaian pengelolaan resiko banjir termasuk bencana yang diakibatkan air lainnya seperti longsor dan aliran debris. Pengambilan keputusan pembangunan prasarana konservasi dan sedimen secara konsisten dan bijak yaitu tepat waktu dan sasaran dapat memberikan manfaat prasarana tersebut dengan optimal. 4.1. Alternatif Pengelolaan Resiko BanjirTentu alternatif pengelolaan resiko banjir dapat dilakukan dengan cara-cara non struktural walaupun dengan tingkat pencapaian pengurangan skala dan kerentanan banjir yang relatif lebih rendah. Untuk banjir perkotaan, penggunaan rumah panggung dapat mengurangi resiko kerentanan banjir, terutama pada daerah permukiman yang terletak di sempadan sungai. Pengurangan skala banjir dengan cara ini tidak terlalu efektif.

Pengelolaan resiko banjir akan lebih baik jika dilakukan dengan menggabungkan cara-cara struktural dengan prasarana konservasi dan sedimen serta tanggul banjir dan cara-cara non struktural dengan meningkatkan tutupan lahan dengan kawasan hutan sehingga mencapai persyaratan 30% dari luas DAS serta cara adaptasi terhadap banjir dengan rumah panggung. Metoda dan cara pengelolaan resiko banjir sudah terbuka lebar, semua pemangku kepentingan harus bersinergi, demikian juga semua institusi pemerintah bersinergi melalui rencana pengelolaan DAS, program dan kegiatan. 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan1. Masalah degradasi kualitas lingkungan di bagian hulu DAS, sebagaimana diindikasikan oleh perbandingan Qmaks dan Qmin, laju sedimentasi serta persentase luasan kawasan terbuka hijau menjadi pemicu dominan terjadinya banjir.2. Penataan ruang sungai yang buruk di perkotaan seperti tidak optimalnya kapasitas pengaliran palung sungai, okupansi terhadap sempadan sungai/dataran banjir dan okupansi terhadap danau paparan banjir menyebabkan upaya pengendalian resiko banjir menjadi inefektif dan inefisien.

3. Optimalisasi prasarana konservasi dan sedimen dapat dilakukan dengan menyusun rencana pengelolaan/master plan yang akurat kemudian mengimplementasikan dengan konsisten dan tepat waktu sehingga pengelolaan resiko banjir baik skala maupun kerentanannya dapat dikurangi secara signifikan.4. Pengelolaan resiko banjir akan lebih baik jika dilakukan dengan menggabungkan cara-cara struktural dengan prasarana konservasi dan sedimen serta tanggul banjir dan cara-cara non struktural.

5. Prinsip Integrated Water Resources Management belum dapat dilakukan dengan benar karena terpecahnya kewenangan, rencana, program dan anggaran pada beberapa institusi kepemerintahan, untuk itu TKPSDA yang sudah dibentuk harus ditingkatkan kualitasnya untuk memadukan rencana, program dan anggaran.

5.2. Saran1. Perlunya rencana, program dan kegiatan terpadu untuk meningkatkan kualitas DAS yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

2. Perlunya ketegasan dan keluwesan dalam penataan ruang sungai di perkotaan agar program pengelolaan resiko banjir dapat dilakukan dengan benar.

3. Perlunya konsistensi dan kecepatan dalam implementasi program pengelolaan resiko banjir yang membutuhkan membangunan prasarana konservasi dan sedimen.4. Perlunya sosialiasi dan pemahaman terhadap program pengelolaan resiko banjir non struktural dan mengurangi kerentanan terhadap resiko banjir.

Dr. Ir. Muhammad Rizal, MSc. Kasubdit Prasarana Konservasi dan Sedimen Dit. Sungai dan Pantai

13