optimalisasi lembaga keuangan islam : dalam mewujudkan...
TRANSCRIPT
Optimalisasi Lembaga Keuangan Islam :
Dalam mewujudkan Kemandirian dan keadilan Bagi ekonomi Bangsa Indonesia
Oleh : Nur Septiyani Rahmah
A. PENDAHULUAN
Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai
perkembangan zaman dengan perubahan tekhnologi informasi yang berkembang pesat.
Dimana terdapat nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit menentukan mana yang benar
dan mana yang salah, sehingga tatkala membawa kebaikan, didalamnya juga terdapat
kehancuran. Hal ini ditandai dengan adanya globalisasi ekonomi yang telah mengubah
suasana kehidupan menjadi individualistis dan menimbulkan persaingan yang amat ketat.
Padahal pada dasarnya hampir semua agama yang ada didunia memberikan
petunjuk kepada para penganutnya untuk menjalankan kehidupan mereka dimuka bumi
ini dengan cara yang baik1. Dalam tataran perekonomian Indonesia, telah terjadi jurang
kesenjangan antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya yang semakin besar. Yang
mana menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 jurang kemiskinan menunjukkan
angka 0,39. Artinya penduduk miskin di tahun ini mencapai 27,7 juta orang dan jumlah
tersebut bertambah sekitar 6,90ribu dibanding tahun 20162. Hal ini berarti terdapat
adanya ketidak adilan dalam sebuah perekonomian bangsa ini.
Nampaknya kemiskinan diatas merupakan imbas dari sebuah kriris ekonomi dan
krisis ekonomi disebabkan oleh system finansial permodalan yang buruk. Dimana ada
sebagian orang yang dengan mudah mendapatkan modal untuk mengembangkan
usahanya, namun sebagiannya lagi hartanya habis dieksploitasi oleh si pemilik modal
besar. Disatu sisi ada satu orang yang duduk dengan begitu nyamannya di rumah mewah,
mengendarai kendaraan mahal, liburan dengan mudah, sementara manusia lainnya harus
bekerja keras demi menjadikan mereka makmur.
Jika ditelusuri dasar dari masalah ini adalah kebiasaan masyarakat Indonesia yang
masih menggunakan system bunga yang diciptakan oleh kaum kapitalis. Yang mana
system ekonomi kapitalis membuat bangsa Indonesia terseret dalam putaran keuangan
kapitalis yang dahsyat. Hal ini terjadi karena para penganut system kapitalisme ini
menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan
berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normative dan rambu-rambu Ilahi 3.
1 Nurul Huda dan Muhammad Haikal, Lembaga Keuangan Islam tinjauan teoritis dan praktis. (Jakarta:
Prenada Media,2010) 2 Badan Pusat Statistik, http//www.bi.go.id 3 Muhammad Safi’i Antonio, Mukaddimah Buku Bank Syariah suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Diterbitkan
kerjasama Bank Indonesia dengan Tazkia Institute, 1999) hlm.36
Namun demikian, ketidak seimbangan ekonomi global dan krisis ekonomi yang
melanda Asia khususnya Indonesia adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total
bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan system yang dianut selama ini. Maka
rasanya amatlah dosa besar apabila tetap berdiam diri dan berpangku tangan tidak
melakukan sesuatu untuk memperbaiki kondisi ekonomi seperti ini.
Hal inilah yang membuat Umat dan Dunia Islam menginginkan system
perekonomian yang berbasis nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) untuk
dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Keinginan
ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total seperti
yang ditegaskan oleh Allah SWT.
Sehingga penulis disini akan menunjukkan bahwa muamalah syariah dengan
filosofi utama kemitraan dan kebersamaan dalam profit dan risk merupakan solusi
terbaik. Karena dalam pembiayaan ini kedua belah pihak yang melakukan kerja sama
menanggung keuntungan dan resiko kerugian yang seimbang, selain itu dengan
pembiayaan ini dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan.
Sekaligus pula membuktikan bahwa dengan system perbankan syariah tersebut akan
dapat menghilangkan masalah-masalah yang negative speread (Keuntungan minus) dari
dunia perbankan saat ini.
B. PEMBAHASAN
1. Munculnya Lembaga Perbankan
Seperti yang telah disisnggung diatas, jika perekonomian suatu negara ingin
senantiasa meningkat kesejahteraannya, maka (sesuai dengan anjuran Adam Smith)
dalam perekonomian tersebut harus selalu didorong agar akumulasi Kapital-nya dapat
terus ditingkatkan. Atas dasar dorongan inilah kaum kapitalis terus berupaya untuk
membuat berbagai kreasi dan salah satu kreasi mereka adalah terbentuknya lembaga
perbankan. Mereka menganggap bahwa lembaga perbankan inilah yang dinggap
paling berperan dalam upaya mewujudkan akumulasi capital tersebut.
Dengan adanya lembaga baru ini, akumulasi capital benar-benar akan dapat
berlangsung, tidak hanya dalam volume yang besar, tetapi juga dalam kecepatan
tinggi apabila lembaga perbankan ini dapat menjalankan fungsinya dengan optimal.
Semua itu mereka lakukan dengan memberikan tawaran bunga yang akan diberikan
kepada siapa saja yang mau menyimpan uangnya di bank, hal inilah yang memicu
masyarakat untuk berani menyerahkan uangnya kepada bank. Karena bunga yang
dijanjikan bersifat pasti dengan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Yang
akhirnya ketika uang tersebut telah masuk ke bank uang tersebut diakumulasi hanya
untuk kepentingan para pemilik perusahaan besar (kaum kapitalis).
Seharusnya secara teoritis keberadaan bank memang difungsikan sebagai lembaga
intermediasi. Dimana bank berfungsi untuk menyerap kelebihan dana dari masyarakat
yang kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang kekurangan dana. Namun
ironisnya, dana yang disalurkan ke masyarakat itu (dana pinjaman) mengharuskan
pada peminjamnya untuk mengembalikan pokok pinjamannya dan ditambah dengan
bunga. Yang akhirnya ketika peminjam ini tidak bisa mengembalikan pinjaman
beserta bunganya tadi kekayaan yang dimiliki oleh peminjam akan dikuasai oleh
mereka.
Sehingga untuk mengurangi resiko tidak kembalinya dana pinjaman beserta
bunganya, maka pihak bank hanya mengkhususkan kepada perusahaan yang sudah
mempunyai cash flow yang sehat dan jaminan yang besarlah yang berhak mendapat
kucuran dana tersebut. Siapa mereka? Mereka adalah kaum kapitalis. yang mana
kaum kapitalis adalah kelompok pengusaha yang sudah memiliki perusahaan besar,
namun selalu ingin perusahaannya menjadi lebih besar lagi. Sehingga pada
kenyataannya perusahaan-perusahaan kecil akan habis diraup oleh mereka yang
memiliki modal besar.
2. Larangan Riba
Berkaca pada masalah diatas, pada dasarnya riba merupakan permasalahan
yang telah lama dibahas oleh cendekiawan-cendekiawan terdahulu, baik oleh umat
islam maupun umat-umat terdaduhulu. Hal ini menjadi menarik karena adanya
keuntungan yang cukup menggiurkan bagi para pengambil riba (bunga) meskipun
dengan meksploitasi kekayaan saudaranya. Yang mana, system bunga telah menjadi
sebuah system yang mengglobal dan berakar kuat. Hampir seluruh negara didunia
mengadopsi system bunga. Sebagian ekonom meyakini bahwa bunga adalah kunci
untuk menstabilkan perekonomian, namun sebagian lain justru meniai bahwa bunga
adalah sumber Instabilitas4 perekonomian5.
Secara harfiah riba berarti meningkatkan, penambahan, pengembangan,
atau pertumbuhan6. Adapun dalam syariah, secara teknis riba mengacu pada premi
yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan
pinjaman pokok sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk
penangguhan7.
4 Instabilitas berarti ketidakstabilan,atau ketidak seimbangan sebuah perekonomian (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) 5 Abdul Wahid Al-faizin dan Nashr Akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian tafsir Al-quran
tentang ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House, 2010), hlm. 77 6 Lihat kata riba dalam tulisan Ibn Manzur Lisan al Taba’ah wa al Nashr,1968, vol.14, hlm.304-
307), Al Zubavdi, Taj al Arus (Cairo: Al-Mathba’ah al Khairiyyah,1306, vol.10, hlm 142-143) dan Raghib al Isfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an (Cairo: Mustafa al Babi al Hababi, 1961, hlm 186-187). Pengertian yang setara juga diberikan di semua tafsir klasik Qur’an. Dalam buku prof Umer Chapra, Al-Quran menuju system Moneter yang adil, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 1997) hlm. 27
7 Ibnu Manzur menggambarkan bahwa “apa yang dilarang adalah jumlah tambahan keuntungan atau manfaat yang diterima atas sesuatu pinjaman” (op cit.,hlm.304).lihat juga komentar mengenai Q.S 2; 275 dalam tafsir al Kabir dari Fakhrudin al Razi (lampiran 1.3.2), Ahkam Al-Quran dari Abu bakar al Jassas Lihat juga nomor 4,5,6,7 dan 8 lampiran 1.3. Dalam buku prof Umer Chapra, Al-Quran menuju system Moneter yang adil, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 1997) hlm. 27
Yang mana sejatinya riba telah dilarang baik dalam Alquran, maupun kitab
kitab suci diluar Islam seperti Injil, Taurat dsb. Bentuk-bentuk larangan itu
diantaranya seperti berikut :
a. Larangan Bunga dalam Al-Quran
Di dalam Al-Quran riba sangat jelas diterangkan keharamannya sebagaimana
yang disebutkan dalam Q.s al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi : لك لر ب ل ي قومون إل كما ي قوم الذي ي تخبطه الشيطان من المس الذين يكلون ا ا الب يع بن هم ذ قالوا إن
ف له ما سلف وأمره إل الل فان ت هى رب ه من موعظة جاءه فمن وحرم الر ب الب يع الل وأحل مثل الر ب خالدون فيها هم أصحاب النار فأولئك عاد ومن
b. Larangan Bunga di Kalangan Yahudi8
Kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25menyatakan:
“jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang miskin
diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia,
janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan
makanan atau apapun yang dapat dibungakan”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 36 ayat 7 menyatakan :
Janganlah engkau mengambil bunga atau riba darinya, melainkan engkau harus
takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau
memberi uang mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah
kau berikan dengan memberi riba.”
Dalam kalangan Yahudi sungguh sangat jelas pelarangan riba sebagaimana ayat-
ayat di atas. Sehingga kalangan pembesar Yahudi menganggap bahwa riba merupakan
suatu perbuatan yang amat keji dan ditolak oleh semua kalangan. Namun orang-orang
Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanya terlarang kalau di kalangan sesama Yahudi
dan tidak terlarang bila dilakukan terhadap Non Yahudi. Sebagaimana pemahaman kaum
Yahudi dalam kitab ulangan pasal 23 ayat 19 di atas. Walaupun demikian pada dasarnya
riba merupakan suatu kejahatan yang diakui oleh agama Yahudi.
Para ahli filsafat Yunani juga tidak membenarkan praktik pengambilan riba. Plato,
salah satu ahli filsafat tersebut mengecam system riba berdasarkan dua alasan. Yang
pertama, bunga meyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mnegeksploitasi golongan msikin.
8 Prof. Dr. Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam (Kuala lumpur: Berita Publishing Sdn.Bhd.,
1996)
Selain Plato, Aristoteles juga mengatakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar
dan bukan sebagai alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga9
Bunga dikalangan Kristen
Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas.
Namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam
Lukas 6: 34-35 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga.
Ayat tersebut menyatakan “dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada
orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah
jasanmu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya
mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah
baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yang Maha Tinggi,
sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap
orang-orang jahat.”10
Dari bukti-bukti diatas dari ketiga agama terbesar di dunia di atas dapat dinyatakan
bahwa riba sejatinya sesuatu yang tidak diperkenankan untuk diberlakukan oleh
semua kalangan. Karena setiap larangan pasti memunculkan Mudharat bagi
pengikutnya dan hal itu sekarang telah tampak dengan munculnya beberapa kali krisis
keuangan dunia yang mengancam kemiskinan bagi masyarakat dunia modern.
3. Dampak Terhadap Pemberlakuan Riba
Setelah menjelaskan tentang haramnya riba, Allah menjelaskan akibat
perbuatan tersebut. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa firman Allah yang berbunyi “ يمحق
bermakna Allah akan menghilangkan harta tersebut dari tangan pemiliknya ”هللا الربا
atau tidak memberkahi harta tersebut, bahkan mengazabnya didunia dan akhirat.
Dampak Bunga bagi Perekonomian
Sesungguhnya tidaklah Allah Swt melarang sesuatu kecuali ada madharat di
dalamnya. Yakni segala apa yang Allah perintahkan dan larang pasti mengandung
hikmah. Begitu pula dengan riba, sesungguhnya praktik bunga telah memberikan
dampak yang luar biasa terhadap kehidupan manusia. Maududi menerangkan bahwa
riba dapat memberikan kerusakan dari segi moral, segi peradaban dan social , terlebih
dari segi ekonomi11. Namun dalam hal ini hanya akan membahas dampak yag
ditimbulkan oleh riba dari segi ekonomi. Berikut beberapa dampak negative yang
ditimbulkan oleh riba, diantaranya:
9 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik, (Depok: Gema Insani), hal.43 10 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan peretakan (UPP)
AMP YKPN,2002) hal. 39 11 Maududi, Riba, (Jakarta: HUdaya, Cet. 1, 1970 (Terjemahan)). Hlm 48-52
1. Eksploitasi Kekayaan Peminjam (Debitur)
Bunga (Riba) telah menjadi alat eksploitatif yang menguras kekayaan si
peminjam. Dimana Ketidakberdayaan dan kesulitan yang dialami oleh
peminjam dimanfaatkan sebagai lahan untuk mencari keuntungan dan
kepentingan orang-orang kaya diatasnya. Sebagai contoh kecil, diberbagai pasar
sering kita jumpai para rentenir yang sedang menagih piutangnya dengan bunga
yang cukup tinggi dan para pedagang tak bisa berbuat apa-apa karena tak ada
pilihan lain selain meminjam dari mereka untuk tetap dapat berdagang. Tak
heran, kalau para rentenir sering diistilahkan dengan lintah darat yang suka
menghisap kekayaan orang lain yang berada dibawahnya.
2. Siregar (2001) telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga
terhadap ketidak stabilan ekonomi. Menurutnya dengan adanya ketentuan suku
bunga, maka pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian
pengembalian. Oleh karenanya, Lending perbankan hanya akan diberikan kepada
peminjam yang memiliki jaminan kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan
kecukupan Cash Flow untuk memenuhi kewajibannya. Akibatnya, dana bank
hanya akan mengalir kepada golongan kaya saja, sedangkan golongan miskin
sangat susah untuk memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan12
3. Mis-alokasi dana
Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa golongan kaya yang memperoleh
kredit tersebut umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk
investasi yang produktif saja, tetapi untuk keperluan yang non produktif13. Hal
inilah yang akan menyebabkan terjadinya ekspansi money demand yang cepat,
hanya untuk keperluan konsumsi yang non-produktif dan tidak bermanfaat
(Siregar,2001).
4. Menghambat tingkat produktivitas masyarakat
Zuhaili menegaskan bahwa riba dapat membiasakan manusia untuk
mencari rezeki tanpa bekerja, seperti perdagangan, pertanian, atau mata
pencaharian lainnya. Karena Sesungguhnya para pelaku riba mengandalkan
pemasukan untuk kehidupannya yakni hanya menunggu bunga dari uang yang
disimpannya di perbankan14.
Di lain sisi, para pengusaha kecil yang membutuhkan modal usaha merasa
terbebani dengan beban bunga yang harus mereka bayar jika mengambil
pinjaman. Akibatnya, sebagian dari mereka menahan diri untuk mengembngkan
12 Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang
ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm.113 13 Konsumsi barang mewah, yang hanya berguna untuk symbol status social, pengeluaran yang tiak
bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Lihat ibid., hlm 113 14 Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-manhaj (Beirut: Dar al-Fikr,1998),Vol 3 . hlm
98. Dalam buku Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm.115
usahanya sedikit demi sedikit dan sebagian yang lain terpaksa harus
mengambilnya dengan resiko berkurangnya keuntungan atau semakin tercekik
ketika usaha yang digelutinya merugi, nah kedua hal ini tentunya dapat
menghambat tingkat produktivitas masyarakat. Monopoli sumber dana dan mis-
alokasi dana juga dapat menghambat tingkat produktivitas.
5. Kesenjangan yang makin melebar antara orang kaya dan miskin
Eksploitasi dan monopoli sumber dana telah mengakibatkan orang kaya
makin kaya dan orang miskin semakin miskin.
6. Mendorong Inflasi
Selama ini bunga diyakini sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan
inflasi. Tatkala Inflasi meningkat, pemerintah akan mempergunakan kebijakan
tight money policy, yakni dengan meningkatkan suku bunga guna menyerap uang
yang berlebih di masyarakat. Selain itu, pemerintah juga memperketat belanja
negara. Dengan demikian, inflasi dapat kembali dikendalikan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suku bunga justru menjadi factor
utama yang menyebabkan inflasi:
Setiawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor
Dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan beberapa penyelesaiannya menurut
Ekonomi Islam”,15 menguji hubungan antara variable ekonomi yang
diperkirakan berpengaruh terhadap inflasi, yakni jumlah uang beredar (Ms), nilai
tukar rupiah terhdap dolar, harga minyak dunia, sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan suku bunga Federal Reserve, yang mana hasil pengujian menunjukkan,
equilibrium antar variable tersebut dapat terjadi dalam jangka panjang. Namun
sejak pertengahan periode hingga akhir, pengaruh suku bunga SBI semakin
meningkat. Yang mana menurutnya pengurangan suku bunga, mekanisme profit
and loss sharing, pelaksanaan fungsi hibah dan penggunaan uang emas dan
perak merupakan bebrapa cara untuk menyelesaikan permasalahan inflasi di
Indonesia16.
Rusdiana (2008) meneliti faktor-faktor yang menjadi determinan inflasi di
Indonesia menggunakan metode Vector Error Correction Mod el (VECM).
Yang mana hasil pengujiannya menunjukkan bahwa suku bunga berpengaruh
positif dan menjadi contributor inflasi paling dominan dibanding dengan
variable lain. Oleh karena itu, ia menyarankan pegkajian kembali keberadaan
institusi bunga didalam perekonomian, apakah bermanfaat bagi kestabilan
moneter Indonesia ataukah sebaliknya. Apakah bermanfaat sebagai obat
15 Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang
ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm. 115 16 Setiawan, Analisis Dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan Beberapa Penyelesaiannya menurut
Ekonomi Islam (Skripsi program studi ekonomi Islam STEI Tazkia Bogor,2007). Hlm62-63
penyembuh ampuh, ataukah malah Menjadi virus potensial yang dapat
menyebabkan ‘sakit moneter’ yang lebih akut17
7. Decoupling antara sector riil dan moneter
System bunga telah mendorong para pemilik modal untuk lebih memilih
menyimpan dananya di perbankan ataupun pasar modal dan perdagangan surat
berharga baik milik negara maupun swasta (mis-alokasi dana). Sehingga
mengakibatkan uag yang beredr dimasyarakat semakin sedikit. Yang mana uang
yang seharusnya dapat digunakan untuk mengembangkan sector riil justru
terserap di sector moneter. Peter Ducker menyebut gejala ketidakseimbangan
anatara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai decoupling, yakni fenomena
keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.
Sebagaimana seperti yang ditulis oleh Didin S Damanhuri, Problem utang dalam
Hegemoni ekonomi) salah satu fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum
krisis moneter Asia, dalam satu hari dana yang beredar dalam transaksi maya di
pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar
AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal perdangan arus
barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 Triliun dolar
AS. Jadi arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang
4. Kritik Terhadap lembaga keuangan Indonesia
Dengan melihat dampak yang terjadi akibat adanya riba, apabila hal ini
dibiarkan terjadi secara terus menerus maka perekonomian Indonesia akan semakin
buruk. Sehingga perlu kiranya dicarikan solusi yang tidak hanya mengedepankan
keuntungan tetapi di dalamnya terdapat konsep tolong menolong dengan kerjasama
kemitraan. Dengan hal ini Islam hadir dengan solusi yakni dengan membuat lembaga
keuangan tandingan, lembaga Keuangan Syariah. Karena Lembaga keuangan
merupakan instrument penting di hampir seluruh system ekonomi dunia. Dimana
lembaga ini berfungsi mengganti system ribawi dengan system bagi hasil. Yang mana
apabila lembaga keuangan Islam yang sudah ada ini dioptimalkan, maka akan sangat
mungkin untuk memperbaiki perekonomian Indonesia, akan sangat mungkin
memberikan keadilan bagi masyarakatnya, yang akhirnya Indonesia dapat
menciptakan kemandirian dan keadilan bagi ekonomi bangsanya.
Namun sayangnya, LKS yang sudah ada belum dapat memaksimalkan peran dan
fungsingnya, sehingga adanya LKS khususnya di Indonesia seakan terasa berjalan
ditempat. Yang mana bisa dilihat akad-akad muamalah yang diterapkan di lembaga
keuangan syariah (LKS) tidak bisa diaplikasikan secara utuh, baik berkenaan dengan
17 Aam Slamet Rusdiana, Determinasi Inflasi Indonesia: sebuah perbandingan pendekatan Islam dan
Konvensional (Skripsi program studi Ekonomi Islam STEI Tazkia Bogor, 2007),hlm.65 dalam buku Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm.116
akad-akad pembiayaan maupun akad-akad tabungan. Sebagian mengatakan bahwa
LKS tetap menggunakan system ribawi dengan bersembunyi dibalik label syariah
melalui berbagai bentuk akad-akadnya dalam muamalah18 dengan tujuan semata-mata
mengejar keuntungan tanpa memperhatikan sah tidaknya akad tersebut ketika
diaplikasikan secara praktis19.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa apa yang terjadi sebenarnya adalah
ketidak berdayaan LKS dalam upaya mengakomodir berbagai system kontrak bisnis
komersial muamalah ke dalam produk LKS (dalam hal ini adalah lembaga
perbankan). Ketidak berdayaan ini terutama berkaitan dengan pemasalahan yang
berhubungan dengan regulasi Bank Indonesia berkenaan dengan system operasional
lembaga perbankan, sehingga LKS (perbankan Syariah) sebagai sebuah lembaga
keuangan yang berada dibawah otoritas bank Sentral tidak mempunyai pilihan lain
selain harus tunduk dan patuh terhadap berbagai regulasi dan kebijakan yang
dikeluarkan oleh lembaga otoritas tersebut.
Mengomentari kenyataan perbankan syariah diatas, Umar Chapra memberikan
beberapa kritiknya terhadap praktek perbankan Islam20:
1. Ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari perangkap bank konvensional. Salah
satunya adalah karakter dasar pembiayaan yang dijalankan hanya diperuntukkan
untuk perdagangan jangka pendek, sebuah mekanisme kredit yang diperuntukkan
bagi perusahaan-perusahaan mapan. Sebaliknya mereka tampaknya tidak memainkan
peranan yang signifikan untuk pemberdayaan UMKM. Karena itu keberadaan
pebankan syariah belum mampu memberikan nilai tambahan dari saudara tuanya
yakni perbankan kovensional.
2. Posisi dewan syariah yang kadang dilematis. Secara personality para pemegang
jabatan dewan syariah di masing-masing perbankan syariah merupakan pribadi-
pribadi yang mempunyai integritas tinggi, berkualitas serta merupakan sarjana syariah
yang dihormati. Namun , beliu-beliu juga tak lain merupakan bagian dari karyawan
perbankan syariah yang mendpatkan gaji dan fasilitas dari perbankan tersebut.
Sehingga dengan keberadaannya ini, obyektifitas penetapan keabsahan produk-
produk pembiayaan syariah tidak lepas dari kepentingan perusahaan.
3. Aktualisasi terhadap akad-akad syariah yang belum bisa diterapkan secara sempurna
18 Mufti Muhammad Taqi Usmani, An Introdudtion to ISLAMIC FINANCE, New Delhi-India; Idara Isha’at
Diniyat, 1999, hal.241 19 Namun bisa saja pandangan yang ramah dan penuh pengertian terhadap LKS ini berubah menjadi
sebuah sikap keragu-raguan, seiring dengan mandegnya proses transisi yang selama ini di klaim oleh para pelaku dan praktisi perbanka syariah, lihat Mufti Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to ISLAMIC FINANCE , New Delhi-India; Idara Isha’at… hal 241
20 M Umer Chapra, The Future of ECONOMIC An Islamic Perspective, Spain ; APIPE Artes Graficas, hal 271-273
4. Keberadaan Bank Sentral yang menjadi induk dari perbankan Syariah. Hal ini juga
berarti bahwa keberadaan perbankan syariah tidak bisa melepaskan diri dari berbagai
kepentingan Bank Sentral yang diatur dan disahkan oleh perUndang-Undangan
Selanjutnya ada empat akad dalam perbankan syariah yang menjadi produk
didalamnya, yakni Syirkah, Mudharabah, Qiradh , dan Ijarah. Keempat trasaksi ini
dipilih bukan karena kebetulan, namun bahwasanya syirkah dan mudharabah
merupakan transaksi ideal karena kedua akad inilah yang secara fundamental
berperan sebagai factor pembeda antara perbankan konvensional dengan system
ribanya dan LKS yang bersistemkan nilai. Namun karena perbankan syariah
mengalami “ketakberdayaan” dalam penerapannya, maka ia lebih menggantikannya
dengan akad murabahah atau ijarah 21. Pengabaian akad syirkah dan mudharabah ini
pada saatnya hanya menghasilkan akad dengan nama yang berbeda dari system kredit
perbankan konvensional namun secara praktis mempunyai kesamaan akad kredit
berbasis bunga di bank konvensional. Hal ini dikarenakan kedua akad murabahah dan
ijarah ini sebetulnya bukan asli sebuah model pembiayaan syariah. Keduanya
digunakan sebagai solusi terhadap keterbatasan pelaksanaan akad syirkah dan
mudharabah dalam perbankan Islam22.
5. Solusi Menuju Sistem yang adil
Menanggapi kritikan diatas, sehingga penulis menawarkan solusi untuk upaya
mewujudkan kemandirian dan keadilan bagi ekonomi bangsa Indonesia melalui
optimalisasi Lembaga Keuangan Syariah, dengan cara sebagai berikut :
1. Meluruskan peran LKS; Sebagai Manajer Investasi maupun Sebagai Lembaga
Intermediasi antara pemodal (Shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib)
Peranan utama bank adalah perantara keuangan antara penabung (rumah
tangga) dengan para pengusaha (perusahaan). Dimana setiap masyarakat
memerlukan suatu mekanisme yang dapat dijadikan perantara penyaluran
tabungan dari penabung ke pengusaha dengan berdasarkan kesepakatan mengenai
pembayaran dan pelunasan. Namun karena kurangnya pengetahuan dan
komunikasi serta aneka ragam pengalaman yang berkenaan dengan likuiditas,
resiko, waktu dsb membuat hubungan langsung antara penabung dan investor
tidak efisien dan terbatas ruang lingkupnya23.
Bila diilustrasikan dalam lembaga keuangan konvensional, dana-dana dari
pihak penabung (Unit Surplus) di transfer kepada peminjam(Unit Defisit) lewat
negoisasi antara pemilik dana dengan pemakai dana(Lembaga Keuangan).
Dimana lembaga keuangan menawarkan sekuritas kepada penabung, lalu
21 Mufti Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance,.. hal 241 22 Ibid. 23 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Bank Islam, penerjemah Asep Hikmat Suhendi, (Bandung: Pustaka,1984)
hal.59-60
penabung akan menerima pendapatan lewat bunga dari lembaga keuangan
tersebut. Kemudian dana yang dihimpun dari penabung disalurkan kepada
peminjam dengan syarat akan membayar bunga kepada bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang menyalurkan dana tersebut24 .
Sebenarnya fungsi lembaga keuangan syariah hampir sama dengan
keuangan konvensional. Yakni selain sebagai manajer investasi ia juga sebagai
lembaga intermediasi/ lembaga penghubung antara pemodal dan pengusaha.
Dalam LKS keuntungan yang didapat dalam bentuk bagi hasil, bukan bentuk
bunga. Dimana keuntungan yang diperoleh dari LKS tersebut berasal dari bagi
hasil pembiayaan yang disalurkan kepada peminjam, sedangkan bagi hasil yang
diperoleh pemilik dana berasal dari keuntungan LKS dengan produk
pembiayaannya.
Bila dilihat secara kasat mata peran intermediasi dari LKS telah terjalankan
namun dengan tidak memperdulikan akad, hanya sekedar terjadinya alur transaksi
dengan melibatkan ketiga pihak tersebut. Berbeda jika lebih peduli terhadap akad
yang dipakai oleh LKS dengan kedua nasabah/anggota, khususnya berkaitan dengan
pola pembagian keuntungan yang melibatkan ketiga pihak tersebut. Dalam hal ini
dapat dicermati sebagai berikut :
1. Akad yang digunakan oleh nasabah/anggota simpanan dengan LKS adalah
Akad mudharabah (baik berupa simpanan atau deposito), karena dalam akad
ini nasabah berperan sebagai pemilik dana (Shahibul maal), sedangkan LKS
berperan sebagai mudharib (pengelola dana/pelaku usaha). Nasabah tersebut
akan mendapatkan profit dalam bentuk bagi hasil dari hasil usaha LKS yaitu
produk pembiayaan.
2. Sedangkan akad yang digunakan antara LKS dengan nasabah pembiayaan
bisa bermacam-macam , yakni :
a. Jika dilakukan akad mudharabah maka posisi LKS dalam hal ini sebagai
pemilik dana dan nasabah pembiayaan sebagai penerima dana/pengelola
usaha
b. Jika akad yang dilakukan adalah pembiayaan syirkah/Musyarakah , maka
posisi LKS dan nasabah pembiayaan sebagai mitra (partner). Dimana
kedua belah pihak sama-sama menyetorkan dana sebagai modal untuk
mengelola sebuah usaha bersama.
c. Jika akad yang digunakan adalah murabahah, maka posisi LKS dalam
akad ini sebagai penjual dan nasabah pembiayaan sebagai pembeli.
d. Jika akad yang digunakan adalah ijarah, maka posisi LKS adalah sebagai
pihak yang menyewakan dan nasabaha pembiayaan sebagai si penyewa .
Dimana LKS menyediakan sebuah barang yang dapat diambil manfaatnya
24 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan A.Totok Budi Santoso, Bank dan lembaga keuangan lain, (Jakarta:
Salemba Empat, tanpa tahun) hal.7
oleh si penyewa dengan membayar imbalan dalam bentuk ujrah (jasa
sewa) kepada pihak LKS.
Namun sayangnya peran intermediasi yang dilakukan oleh LKS justru
semakin kabur. Kekaburan itu bisa dilihat dari dua sisi yaitu; pertama, peran
LKS dalam beberapa akad dengan nasabah pembiayaan sama sekali bukan
sebagai lembaga intermediasi melainkan sebagai pemilik dana. Kedua, antara
nasabah simpanan dan nasabah pembiayaan tidak mempunyai hubungan sama
sekali, baik dari sisi pembagian keuntungan maupun dari sisi relasi anatara
shahibul maal dengan mudharibnya. Karena itulah keuntungan yang diperoleh
nasabah simpanan bukan berasal dari nasabah pembiayaan secara langsung,
melainkan dari keuntungan LKS dalam menggulirkan berbagai produk
pembiayaan.
Untuk menjernihkan kekaburan ini, perlu diingat bahwa hubungan yang
terbangun antara shahibul maal dengan mudharib dalam perjanjian
mudharabah adalah prinsip amanah dan wakalah, dimana mudharib
merupakan al-wakiil (pihak yang diberi amanah) dari shahibul maal,
sedangkan modal yang telah diserahkan oleh shahibul maal kepada mudharib
tersebut merupkan amanah25.
2. Meminimalkan Paradigma Bank Minded dalam LKS
Untuk mendukung kelanjutan dari strategi sebelumnya, yakni ketika peran LKS
sebagai lembaga intermediasi telah di perbaharui sesuai aturan dan paket syariah
maka starategi yang selanjutnya adalah berkaitan dengan software, yakni mengubah
cara berfikir (paradigma) LKS secara institusional yang sangat Bank Minded dengan
orientasi pada dominasi bisnis di bidang moneter, untuk kemudian secara
berkesinambungan digantikan dengan paradigma bisnis sector riil. Strategi ini akan
diwujudkan dengan :
a. Mengembalikan fungsi Uang yakni uang hanya sebagai alat tukar bukan sebagai
komoditi.
Menurut Choudhury, tantangan terbesar para ekonom Islam kontemporer
adalah upaya untuk mengembalikan hakekat dan fungsi uang sebagaimana yang
diatur oleh syariah26. Yang mana dalam teori ekonomi konvensional adalah
memasukan alat penyimpanan nilai (Store of Value) sebagai salah satu fungsi
uang, yang didalamnya termasuk motif uang yaitu demand for speculation
(kebutuhan uang untuk kepentingan spekulasi)27.
25 Ibrahim Fadlil ad-dabuu, ‘Aqdul Mudlarabah; Dirasah fil iqtishad al-Islamiy, Aman; Daru ‘Amaar, 1997, hal.134 26 Masudul Alam Choudhury, Money In Islam; A study in Islamic Political Economy,(London; Routledge, 1997).hal 87 27 Ibid,. hal 87
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, maksudnya adalah bahwa uang itu
sendiri bukanlah sesuatu yang mempunyai nilai ketika tidak dipergunakan untuk
bertransaksi 28. Dalam hal ini Al-ghazali menghimbau pula bahwa dalam
penggunaan uang jangan sampai disalahgunakan. Menurutnya Uang tidak boleh
dijadikan komoditi untuk ditimbun, artinya uang harus beredar luas dimasyarakat,
uang merupakan barang public. Sehingga menurutnya menyimpan uang dalam
jumlah yang banyak adalah sebuah kejahatan, sebab perbuatan tersebut akan
menarik uang dari peredaran di tengah masyarakat, sehingga perputarannya
menjadi terganggu dan ketika perputaran uang telah terganggu maka akan
menyebabkan krisis di tengah masyarakat29. Begitu pula pada perekonomian saat
ini, tukar menukar anatar mata uang dapat mengarah kepada adanya unsur riba
disamping menimbulkan ketidak seimbangan moneter30.
Pandangan islam tentang hakekat mata uang ini menjadi penting dalam
rangka debankisasi dalam tubuh LKS, khususnya berkaitan dengan peran setral
lembaga perbankan yang bergerak di bidang usaha moneter. Artinya, selama
paradigma institusi LKS masih bank Oriented maka cara pandang terhadap peran
dan hakekat uang pun kurang lebih sama dengan cara pandang perbankan
terhadap uang, yakni uang sebagai komoditi31.
Karena itulah, Islam memberikan ketentuan bahwa satu-satunya jalan
untuk memproduktifkan uang adalah dengan menggunakannya untuk berbisnis
(baik dengan konsep jual beli, mudharabah atau musyarakah), tidak ada
alternative lain.
b. Menakar peluang BMT sebagai Lembaga Keuagan Syariah Alternatif.
“Mayoritas penulis mengenai Islamic Finance berpendapat bahwa bank dalam
konteks frame work Islam tidak lebih dari sebuah institusi yang berfungsi sebagai
intermedier (perantara), sebagian lagi merekomendasikan bank juga sebagai
pedagang ataupun sebagai institusi yang berkaitan dengan barang-barang yang tak
berwujud. Mereka mengadopsi system perbankan universal yang secara penuh
memiliki (menguasai) semacam divisi pendanaan yang dialokasikan untuk
kepentingan pembiayaan dengan berbagai bentuknya.
Bank Islam seharusnya tidak hanya bergerak di sector moneter saja dengan
mendapatkan uang dari uang, melainkan seharusnya juga melibatkan bisnis real
untuk tujuan pembiayaan. Semisal perdagangan dan produk berbasis leasing,
mereka menciptakan hutang dan harus mematuhi aturan shariah yang
berhubungan dengan dayn(=Hutang)”32.
28 Imam Ghazaliy, Ikhya Ulumuddin juz IV, hal.78-79 29 Ibid,. 78-79 30 ibid 31 Ahmad Mustofa, Reorientasi ekonomi Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2014) hal. 166-169 32 Muhammad Ayub; Understanding Islamic Finance, (Chichester-England;John Wiley&Sons Ltd2007) hal.158
Pernyataan diatas diutarakan oleh Muhamamd Ayub berkenaan dengan
kegelisahannya terhadap realitas hakekat lembaga perbankan syariah. Menurutnya
LKS secara institusional tidak lebih dari pengejawantahan perbankan
konvensional dengan brand syariah di belakangnya. Dalam pandangannya
tersebut, M Ayyub mencetuskan sebuah institusi perbankan Islam yang berbeda
dengan varian perbankan syariah sebagaimana yang ada, dimana dalam
operasionalnya masih berpedoman dengan regulasi perbankan yang diterbitkan
oleh Bank Sntral maupun pemerintah Indonesia sendiri, diantaranya adalah
larangan perbankan untuk memiliki bisnis usaha riil atau unit produksi sendiri.
Namun dalam konteks Indonesia, hal tersebut belum dapat direalisasikan
apalagi dalam jangka waktu dekat. Sebab ketika menyoal institusi perbankan
(baik syariah maupun konvensional) maka akan bersinggungan dengan regulasi
perbankan yang telah dikeluarkan oelh Bank Indonesia.
Oleh karena itu, sekali lagi ditegaskan bahwa mengalihkan tumpuan harapan ke
BMT sebagai sebuah institusi yang mampu membawa amanat tongkat estafet
perjuangan ekonomi Syariah yang lebih hakiki merupakan sebuah keniscayaan .
3. Optimalisasi pendanaan Mudharabah dan Musyarakah sebagai Bisnis Inti
Produk mudharabah dan musyarakah adalah dua produk pendanaan syariah yang
berpotensi besar dalam menciptakan keseimbangan antara sector moneter dan sector
riel, yang akhirnya dapat menjalankan system perekonomian dengan lancar33 . Secara
filosofis, baik mudharabah maupun musyarakah betul-betul melibatkan dua pihak
yakni bank syariah dan pihak mudharib,dimana keduanya sama-sama bergerak
mengelola sector usaha yang tidak dapat diragukan, guna memeberikan nilai tambah
pada gerakan ekonomi secara lansgung.
Secara konseptual, mudharabah adalah suatu bentuk kerjasama antara dua pihak
atau lebih, dimana satu pihak menyerahkan modal (Shohibul maal) dan pihak lain
mengelola modal dengan menggunakan keahlian yang dimilikinya (mudharib). Kedua
belah pihak ini akan berbagikeuntungan sesuai nisbah yag sudah ditentukan diawal
namun bilamana terjadi kerugian maka kerugian finansial ditanggung oleh shohibul
maal dan kerugian lain yang bersifat non finansial akan ditanggung oleh mudharib.
Kecuali jika kerugian yang terjadi akibat kelalaian mudharib maka kerugian tersebut
menjadi tanggung jawab pihak mudharib sepenuhnya34.
Sedang produk pembiayaan/pendanaan musyarakah adalah kerjasama dua pihak
atau lebih, dimana masig-masing pihak menyertakan modal, baik finansial maupun
keahlian. Sehingga keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak dengan besaran yang sudah disepakati35.
33 DisampingAl-Muzaraah dan Al-Musaqoh, kedua mode pendanaan sangat mungkin dicoba oleh bank syariah dalam praktek 34 Moh Syafii Antonio, Perbankan Syariah dari teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani,Press,2001) hal.41 35 Ibid
Berdasarkan prinsip mudharabah dan musyarakah, dalam pembiayaan bank
syariah menunjukkan adanya suatu kerjasama ideal yang melibatkan dua sector
ekonomi sekaligus dan mendorong sector riel berkembang. Namun dalam
kenyataannya terjadi sebaliknya, dimana mudharabah sangat berbeda antara teori dan
prakteknya.
Memang dalam praktek bank syariah di Indonesia, pembiayaan mudharabah baru
mencapai 7,29% dari total pembiayaan bank syariah36. Secara praktek prosedur
pendanaan mudharabah menempuh prosedur yang dapat diperdebatkan, dimana
hampir tidak ada pembiayaan mudharabah yang tidak melibatkan kontribusi modal
pihak mudharib. Hal tersebut menunjukkan adanya penympangan prinsip ideal
mudharabah, dimana modal finansial ditanggung oleh shahibul maal. Oleh karena itu
ada pendapat yang menyatakan bahwa pendanaan mudharabah yang dilakukan oleh
bank syariah sekarang lebih merupakan modified mudharabah.
Yangmana bergesernya praktik ini mempunyai beberapa resiko, diantaranya:
1. Mudah mengalami atau rentan terhadap penyimpangan, sebab seringkali pihak
mudharib baik individu maupun perusahaan tidak melengkapi diri dengan
akuntabilitas yang memadai dengan laporan keuangan yang auditable. Persoalan
tersebut sangat berkaitan dengan kebiasaan dan buruknya budaya akuntansi pihak
mudharib selama ini.
2. Pendanaan mudharabah menuntut kejujuran dan keterbukaan, apalagi pihak
shohibul maal seakan-akan tidak mempunyai hak intervensi sedikitpun dalam
proyek bisnis yang sedang dijalankan oleh pihak mudharib
3. Akibatnya pihak bank mematok nisbah bagi hasil yang barangkali relative besar
bagi bank dan sebaliknya sangat kecil bagi mudharib. Manakala nisbah bagi hasil
tersebt diekuivalenkan dengan tingkat suku bunga bank konvensional, sangat
terasa nisbah hasil yang ditetapkan bank jauh lebih besar dibandingkan dengan
bunga bank konvesional37
C. KESIMPULAN
1. Pada dasarnya riba merupakan suatu pemaksaan pemindahan hak milik dari orang
yang meminjamkan uangnya kepada orang yang dipinjami secara tidak langsung.
Dan perbuatan semacam ini mendapatkan kecaman yang sangat serius dari Allah
dan RasulNya. Orang yang melakukan transaksi semacam ini balasannya adalah
neraka berdasarkan Firman Allah “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
36 Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasi oleh OJK 37 Sesungguhnya pembandingan nisbah bagi hasil dengan bunga bnk konvensional tidak patut dilakukan, karena memang secara
hakiki keduanya tidak comparable. Tetapi fakta dilapangan atau realitas dalam masyarakat tersebut masih terjadi, lihat
Muhammad Ahyar adnan, “Dari Murabahah Menuju Musyarakah, Upaya Mendorong Optimalisasi Sektor Riel”, Makalah
disampaikan pada International Seminar On Islamic Economic As A Solution Medan 18-19 September 2005
mengharamkan riba”. Karena pada dasarnya riba adalah pencurian yang
mempunyai akad.
2. Solusi terbaik dalam pemberantasan riba adalah dengan membuat lembaga
keuangan tandingan, yakni lembaga keuangan syariah yang mana bertujuan untuk
menggantikan system bunga dengan system bagi hasil. Namun sayangnya, lembaga
keuangan yang ada seakan berjalan ditempat karena belum menerapkan system
syariah secara utuh dan solusi terbaiknya adalah dengan pengoptimalan lembaga
keuangan yang ada sebagai penggerak kemandirian ekonomi ummat.
3. Dan pada intinya sebenarnya Lembaga Keuangan Islam dan nasabah Indonesia
memiliki kesempatan untuk maju bersama, karena masih banyak yang belum
dioptimalkan. Dan ketika sesuatu yang ada itu telah dioptimalkan maka
kemandirian dan Keadilan yng dicita-citakan akan terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Masudul Choudhory. 1997, Money in Islam, A Study in Islamic Political Economy,
London; Routledge.
Al-Zubavdi 1306, Taj al-Arus, Cairo; Al-Matbha’ah al Khairiyah
Ayub, Muhammad 2007, Understanding Islamic Finance, England & Sons Ltd.
Badan Pusat Statistik
Chapra, Umer 1997, Al-Quran menuju system moneter yang adil, Yogyakarta; PT.Dana Bhakti
Prima Yasa
Chapra, Umer, The Future of Economics An Islamic Perspektif, Spain; Apipe Artes Graficas.
Fadhil, Ibrahim ad-Dabuu 1997, Aqdul Mudharabah; Dirasah fil Iqtishad al-Islamiy, Aman;
Daruu ‘Amaar
Ghazaliy, Imam juv IV, Ikhya Ulumuddin
Huda, Nurul dan Muhammad Haikal, Lembaga keuangan Islam tinjauan teoritis dan praktis,
Jakarta; Prenada Media
Haron, Sudin 1991, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Kuala Lumpur; berita Publishing
Sdn.Bhd
Maududi 1970, Riba, Jakarta; Hudaya (terjemahan)
Manzur, Ibn 1968, Vol 14, Lisan al-taba’ah wa al nashr
Muhammad 2002, Manajemen Bank Syariah, Edisi Revisi, Yogyakarta; Unit Penerbit dan
Percetakan (UPP) AMP YKPN
Muhammad, Mufti Taqi Usmani 1999, An Introduction to Islamic Finance, New Delhi- India;
Idara Isha’at diniyat
Mustofa, Ahmad 2014, Reorientasi Ekonomi Syariah, Yogyakarta; UII Press
Nejatullah, Muhammad Shiddiqi 1984, Bank Islam, (Asep Hikmat Suhendra). Bandung; Pustaka.
Statistik Perbankan Syariah
Sri, Y Susilo, dkk. Bank dan Lembaga keuangan Islam. Jakarta; Salemba Empat.
Syafi’I, Muhammad Antonio 1999. Mukaddimah Buku Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum.
Jakarta; Kerjasama BI dengan Tazkia Institute.
Syafi’I, Muhammad Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta; gema Insani Press
Wahid Abdul al-Faizin dan Nashr Akbar 2010. Tafsir ekonomi Kontemporer (kajian tafsir Al-
Quran tentang Ekonomi Islam) Jakarta; Madani Publishing House.
Zuhaili 1998. Tafsir Al-Munir al-Aqidah wa asy-syari’ah wa al-manhaj. Beirut; Dar al-Fikr.
Journal dan Skripsi
Ahyar, Muhammad Adnan. Dari Murabahah menju Musyarakah, Upaya mendorong
Optimalisasi sector riel
Setiawan 2007. Analisis dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan beberapa penyelesaiannya
menurut Ekonomi islam. (Skripsi program Studi Ekonomi Islam STEI Tazkia.
Slamet, Aam Rusdiana. Determinasi Inflasi Indonesia sebuah perbandingan pendekatan Islam
dan Konvensional.