optimalisasi lembaga keuangan islam : dalam mewujudkan...

18
Optimalisasi Lembaga Keuangan Islam : Dalam mewujudkan Kemandirian dan keadilan Bagi ekonomi Bangsa Indonesia Oleh : Nur Septiyani Rahmah A. PENDAHULUAN Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai perkembangan zaman dengan perubahan tekhnologi informasi yang berkembang pesat. Dimana terdapat nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit menentukan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga tatkala membawa kebaikan, didalamnya juga terdapat kehancuran. Hal ini ditandai dengan adanya globalisasi ekonomi yang telah mengubah suasana kehidupan menjadi individualistis dan menimbulkan persaingan yang amat ketat. Padahal pada dasarnya hampir semua agama yang ada didunia memberikan petunjuk kepada para penganutnya untuk menjalankan kehidupan mereka dimuka bumi ini dengan cara yang baik 1 . Dalam tataran perekonomian Indonesia, telah terjadi jurang kesenjangan antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya yang semakin besar. Yang mana menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 jurang kemiskinan menunjukkan angka 0,39. Artinya penduduk miskin di tahun ini mencapai 27,7 juta orang dan jumlah tersebut bertambah sekitar 6,90ribu dibanding tahun 2016 2 . Hal ini berarti terdapat adanya ketidak adilan dalam sebuah perekonomian bangsa ini. Nampaknya kemiskinan diatas merupakan imbas dari sebuah kriris ekonomi dan krisis ekonomi disebabkan oleh system finansial permodalan yang buruk. Dimana ada sebagian orang yang dengan mudah mendapatkan modal untuk mengembangkan usahanya, namun sebagiannya lagi hartanya habis dieksploitasi oleh si pemilik modal besar. Disatu sisi ada satu orang yang duduk dengan begitu nyamannya di rumah mewah, mengendarai kendaraan mahal, liburan dengan mudah, sementara manusia lainnya harus bekerja keras demi menjadikan mereka makmur. Jika ditelusuri dasar dari masalah ini adalah kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih menggunakan system bunga yang diciptakan oleh kaum kapitalis. Yang mana system ekonomi kapitalis membuat bangsa Indonesia terseret dalam putaran keuangan kapitalis yang dahsyat. Hal ini terjadi karena para penganut system kapitalisme ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normative dan rambu-rambu Ilahi 3 . 1 Nurul Huda dan Muhammad Haikal, Lembaga Keuangan Islam tinjauan teoritis dan praktis. (Jakarta: Prenada Media,2010) 2 Badan Pusat Statistik, http//www.bi.go.id 3 Muhammad Safi’i Antonio, Mukaddimah Buku Bank Syariah suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Diterbitkan kerjasama Bank Indonesia dengan Tazkia Institute, 1999) hlm.36

Upload: doannhi

Post on 06-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Optimalisasi Lembaga Keuangan Islam :

Dalam mewujudkan Kemandirian dan keadilan Bagi ekonomi Bangsa Indonesia

Oleh : Nur Septiyani Rahmah

A. PENDAHULUAN

Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai

perkembangan zaman dengan perubahan tekhnologi informasi yang berkembang pesat.

Dimana terdapat nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit menentukan mana yang benar

dan mana yang salah, sehingga tatkala membawa kebaikan, didalamnya juga terdapat

kehancuran. Hal ini ditandai dengan adanya globalisasi ekonomi yang telah mengubah

suasana kehidupan menjadi individualistis dan menimbulkan persaingan yang amat ketat.

Padahal pada dasarnya hampir semua agama yang ada didunia memberikan

petunjuk kepada para penganutnya untuk menjalankan kehidupan mereka dimuka bumi

ini dengan cara yang baik1. Dalam tataran perekonomian Indonesia, telah terjadi jurang

kesenjangan antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya yang semakin besar. Yang

mana menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 jurang kemiskinan menunjukkan

angka 0,39. Artinya penduduk miskin di tahun ini mencapai 27,7 juta orang dan jumlah

tersebut bertambah sekitar 6,90ribu dibanding tahun 20162. Hal ini berarti terdapat

adanya ketidak adilan dalam sebuah perekonomian bangsa ini.

Nampaknya kemiskinan diatas merupakan imbas dari sebuah kriris ekonomi dan

krisis ekonomi disebabkan oleh system finansial permodalan yang buruk. Dimana ada

sebagian orang yang dengan mudah mendapatkan modal untuk mengembangkan

usahanya, namun sebagiannya lagi hartanya habis dieksploitasi oleh si pemilik modal

besar. Disatu sisi ada satu orang yang duduk dengan begitu nyamannya di rumah mewah,

mengendarai kendaraan mahal, liburan dengan mudah, sementara manusia lainnya harus

bekerja keras demi menjadikan mereka makmur.

Jika ditelusuri dasar dari masalah ini adalah kebiasaan masyarakat Indonesia yang

masih menggunakan system bunga yang diciptakan oleh kaum kapitalis. Yang mana

system ekonomi kapitalis membuat bangsa Indonesia terseret dalam putaran keuangan

kapitalis yang dahsyat. Hal ini terjadi karena para penganut system kapitalisme ini

menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan

berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normative dan rambu-rambu Ilahi 3.

1 Nurul Huda dan Muhammad Haikal, Lembaga Keuangan Islam tinjauan teoritis dan praktis. (Jakarta:

Prenada Media,2010) 2 Badan Pusat Statistik, http//www.bi.go.id 3 Muhammad Safi’i Antonio, Mukaddimah Buku Bank Syariah suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Diterbitkan

kerjasama Bank Indonesia dengan Tazkia Institute, 1999) hlm.36

Namun demikian, ketidak seimbangan ekonomi global dan krisis ekonomi yang

melanda Asia khususnya Indonesia adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total

bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan system yang dianut selama ini. Maka

rasanya amatlah dosa besar apabila tetap berdiam diri dan berpangku tangan tidak

melakukan sesuatu untuk memperbaiki kondisi ekonomi seperti ini.

Hal inilah yang membuat Umat dan Dunia Islam menginginkan system

perekonomian yang berbasis nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) untuk

dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Keinginan

ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total seperti

yang ditegaskan oleh Allah SWT.

Sehingga penulis disini akan menunjukkan bahwa muamalah syariah dengan

filosofi utama kemitraan dan kebersamaan dalam profit dan risk merupakan solusi

terbaik. Karena dalam pembiayaan ini kedua belah pihak yang melakukan kerja sama

menanggung keuntungan dan resiko kerugian yang seimbang, selain itu dengan

pembiayaan ini dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan.

Sekaligus pula membuktikan bahwa dengan system perbankan syariah tersebut akan

dapat menghilangkan masalah-masalah yang negative speread (Keuntungan minus) dari

dunia perbankan saat ini.

B. PEMBAHASAN

1. Munculnya Lembaga Perbankan

Seperti yang telah disisnggung diatas, jika perekonomian suatu negara ingin

senantiasa meningkat kesejahteraannya, maka (sesuai dengan anjuran Adam Smith)

dalam perekonomian tersebut harus selalu didorong agar akumulasi Kapital-nya dapat

terus ditingkatkan. Atas dasar dorongan inilah kaum kapitalis terus berupaya untuk

membuat berbagai kreasi dan salah satu kreasi mereka adalah terbentuknya lembaga

perbankan. Mereka menganggap bahwa lembaga perbankan inilah yang dinggap

paling berperan dalam upaya mewujudkan akumulasi capital tersebut.

Dengan adanya lembaga baru ini, akumulasi capital benar-benar akan dapat

berlangsung, tidak hanya dalam volume yang besar, tetapi juga dalam kecepatan

tinggi apabila lembaga perbankan ini dapat menjalankan fungsinya dengan optimal.

Semua itu mereka lakukan dengan memberikan tawaran bunga yang akan diberikan

kepada siapa saja yang mau menyimpan uangnya di bank, hal inilah yang memicu

masyarakat untuk berani menyerahkan uangnya kepada bank. Karena bunga yang

dijanjikan bersifat pasti dengan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Yang

akhirnya ketika uang tersebut telah masuk ke bank uang tersebut diakumulasi hanya

untuk kepentingan para pemilik perusahaan besar (kaum kapitalis).

Seharusnya secara teoritis keberadaan bank memang difungsikan sebagai lembaga

intermediasi. Dimana bank berfungsi untuk menyerap kelebihan dana dari masyarakat

yang kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang kekurangan dana. Namun

ironisnya, dana yang disalurkan ke masyarakat itu (dana pinjaman) mengharuskan

pada peminjamnya untuk mengembalikan pokok pinjamannya dan ditambah dengan

bunga. Yang akhirnya ketika peminjam ini tidak bisa mengembalikan pinjaman

beserta bunganya tadi kekayaan yang dimiliki oleh peminjam akan dikuasai oleh

mereka.

Sehingga untuk mengurangi resiko tidak kembalinya dana pinjaman beserta

bunganya, maka pihak bank hanya mengkhususkan kepada perusahaan yang sudah

mempunyai cash flow yang sehat dan jaminan yang besarlah yang berhak mendapat

kucuran dana tersebut. Siapa mereka? Mereka adalah kaum kapitalis. yang mana

kaum kapitalis adalah kelompok pengusaha yang sudah memiliki perusahaan besar,

namun selalu ingin perusahaannya menjadi lebih besar lagi. Sehingga pada

kenyataannya perusahaan-perusahaan kecil akan habis diraup oleh mereka yang

memiliki modal besar.

2. Larangan Riba

Berkaca pada masalah diatas, pada dasarnya riba merupakan permasalahan

yang telah lama dibahas oleh cendekiawan-cendekiawan terdahulu, baik oleh umat

islam maupun umat-umat terdaduhulu. Hal ini menjadi menarik karena adanya

keuntungan yang cukup menggiurkan bagi para pengambil riba (bunga) meskipun

dengan meksploitasi kekayaan saudaranya. Yang mana, system bunga telah menjadi

sebuah system yang mengglobal dan berakar kuat. Hampir seluruh negara didunia

mengadopsi system bunga. Sebagian ekonom meyakini bahwa bunga adalah kunci

untuk menstabilkan perekonomian, namun sebagian lain justru meniai bahwa bunga

adalah sumber Instabilitas4 perekonomian5.

Secara harfiah riba berarti meningkatkan, penambahan, pengembangan,

atau pertumbuhan6. Adapun dalam syariah, secara teknis riba mengacu pada premi

yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan

pinjaman pokok sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk

penangguhan7.

4 Instabilitas berarti ketidakstabilan,atau ketidak seimbangan sebuah perekonomian (Kamus

Besar Bahasa Indonesia) 5 Abdul Wahid Al-faizin dan Nashr Akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian tafsir Al-quran

tentang ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House, 2010), hlm. 77 6 Lihat kata riba dalam tulisan Ibn Manzur Lisan al Taba’ah wa al Nashr,1968, vol.14, hlm.304-

307), Al Zubavdi, Taj al Arus (Cairo: Al-Mathba’ah al Khairiyyah,1306, vol.10, hlm 142-143) dan Raghib al Isfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an (Cairo: Mustafa al Babi al Hababi, 1961, hlm 186-187). Pengertian yang setara juga diberikan di semua tafsir klasik Qur’an. Dalam buku prof Umer Chapra, Al-Quran menuju system Moneter yang adil, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 1997) hlm. 27

7 Ibnu Manzur menggambarkan bahwa “apa yang dilarang adalah jumlah tambahan keuntungan atau manfaat yang diterima atas sesuatu pinjaman” (op cit.,hlm.304).lihat juga komentar mengenai Q.S 2; 275 dalam tafsir al Kabir dari Fakhrudin al Razi (lampiran 1.3.2), Ahkam Al-Quran dari Abu bakar al Jassas Lihat juga nomor 4,5,6,7 dan 8 lampiran 1.3. Dalam buku prof Umer Chapra, Al-Quran menuju system Moneter yang adil, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 1997) hlm. 27

Yang mana sejatinya riba telah dilarang baik dalam Alquran, maupun kitab

kitab suci diluar Islam seperti Injil, Taurat dsb. Bentuk-bentuk larangan itu

diantaranya seperti berikut :

a. Larangan Bunga dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran riba sangat jelas diterangkan keharamannya sebagaimana

yang disebutkan dalam Q.s al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi : لك لر ب ل ي قومون إل كما ي قوم الذي ي تخبطه الشيطان من المس الذين يكلون ا ا الب يع بن هم ذ قالوا إن

ف له ما سلف وأمره إل الل فان ت هى رب ه من موعظة جاءه فمن وحرم الر ب الب يع الل وأحل مثل الر ب خالدون فيها هم أصحاب النار فأولئك عاد ومن

b. Larangan Bunga di Kalangan Yahudi8

Kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25menyatakan:

“jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang miskin

diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia,

janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya”

Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:

“janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan

makanan atau apapun yang dapat dibungakan”

Kitab Levicitus (Imamat) pasal 36 ayat 7 menyatakan :

Janganlah engkau mengambil bunga atau riba darinya, melainkan engkau harus

takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau

memberi uang mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah

kau berikan dengan memberi riba.”

Dalam kalangan Yahudi sungguh sangat jelas pelarangan riba sebagaimana ayat-

ayat di atas. Sehingga kalangan pembesar Yahudi menganggap bahwa riba merupakan

suatu perbuatan yang amat keji dan ditolak oleh semua kalangan. Namun orang-orang

Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanya terlarang kalau di kalangan sesama Yahudi

dan tidak terlarang bila dilakukan terhadap Non Yahudi. Sebagaimana pemahaman kaum

Yahudi dalam kitab ulangan pasal 23 ayat 19 di atas. Walaupun demikian pada dasarnya

riba merupakan suatu kejahatan yang diakui oleh agama Yahudi.

Para ahli filsafat Yunani juga tidak membenarkan praktik pengambilan riba. Plato,

salah satu ahli filsafat tersebut mengecam system riba berdasarkan dua alasan. Yang

pertama, bunga meyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.

Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mnegeksploitasi golongan msikin.

8 Prof. Dr. Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam (Kuala lumpur: Berita Publishing Sdn.Bhd.,

1996)

Selain Plato, Aristoteles juga mengatakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar

dan bukan sebagai alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga9

Bunga dikalangan Kristen

Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas.

Namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam

Lukas 6: 34-35 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga.

Ayat tersebut menyatakan “dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada

orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah

jasanmu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya

mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah

baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka

upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yang Maha Tinggi,

sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap

orang-orang jahat.”10

Dari bukti-bukti diatas dari ketiga agama terbesar di dunia di atas dapat dinyatakan

bahwa riba sejatinya sesuatu yang tidak diperkenankan untuk diberlakukan oleh

semua kalangan. Karena setiap larangan pasti memunculkan Mudharat bagi

pengikutnya dan hal itu sekarang telah tampak dengan munculnya beberapa kali krisis

keuangan dunia yang mengancam kemiskinan bagi masyarakat dunia modern.

3. Dampak Terhadap Pemberlakuan Riba

Setelah menjelaskan tentang haramnya riba, Allah menjelaskan akibat

perbuatan tersebut. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa firman Allah yang berbunyi “ يمحق

bermakna Allah akan menghilangkan harta tersebut dari tangan pemiliknya ”هللا الربا

atau tidak memberkahi harta tersebut, bahkan mengazabnya didunia dan akhirat.

Dampak Bunga bagi Perekonomian

Sesungguhnya tidaklah Allah Swt melarang sesuatu kecuali ada madharat di

dalamnya. Yakni segala apa yang Allah perintahkan dan larang pasti mengandung

hikmah. Begitu pula dengan riba, sesungguhnya praktik bunga telah memberikan

dampak yang luar biasa terhadap kehidupan manusia. Maududi menerangkan bahwa

riba dapat memberikan kerusakan dari segi moral, segi peradaban dan social , terlebih

dari segi ekonomi11. Namun dalam hal ini hanya akan membahas dampak yag

ditimbulkan oleh riba dari segi ekonomi. Berikut beberapa dampak negative yang

ditimbulkan oleh riba, diantaranya:

9 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik, (Depok: Gema Insani), hal.43 10 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan peretakan (UPP)

AMP YKPN,2002) hal. 39 11 Maududi, Riba, (Jakarta: HUdaya, Cet. 1, 1970 (Terjemahan)). Hlm 48-52

1. Eksploitasi Kekayaan Peminjam (Debitur)

Bunga (Riba) telah menjadi alat eksploitatif yang menguras kekayaan si

peminjam. Dimana Ketidakberdayaan dan kesulitan yang dialami oleh

peminjam dimanfaatkan sebagai lahan untuk mencari keuntungan dan

kepentingan orang-orang kaya diatasnya. Sebagai contoh kecil, diberbagai pasar

sering kita jumpai para rentenir yang sedang menagih piutangnya dengan bunga

yang cukup tinggi dan para pedagang tak bisa berbuat apa-apa karena tak ada

pilihan lain selain meminjam dari mereka untuk tetap dapat berdagang. Tak

heran, kalau para rentenir sering diistilahkan dengan lintah darat yang suka

menghisap kekayaan orang lain yang berada dibawahnya.

2. Siregar (2001) telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga

terhadap ketidak stabilan ekonomi. Menurutnya dengan adanya ketentuan suku

bunga, maka pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian

pengembalian. Oleh karenanya, Lending perbankan hanya akan diberikan kepada

peminjam yang memiliki jaminan kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan

kecukupan Cash Flow untuk memenuhi kewajibannya. Akibatnya, dana bank

hanya akan mengalir kepada golongan kaya saja, sedangkan golongan miskin

sangat susah untuk memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan12

3. Mis-alokasi dana

Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa golongan kaya yang memperoleh

kredit tersebut umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk

investasi yang produktif saja, tetapi untuk keperluan yang non produktif13. Hal

inilah yang akan menyebabkan terjadinya ekspansi money demand yang cepat,

hanya untuk keperluan konsumsi yang non-produktif dan tidak bermanfaat

(Siregar,2001).

4. Menghambat tingkat produktivitas masyarakat

Zuhaili menegaskan bahwa riba dapat membiasakan manusia untuk

mencari rezeki tanpa bekerja, seperti perdagangan, pertanian, atau mata

pencaharian lainnya. Karena Sesungguhnya para pelaku riba mengandalkan

pemasukan untuk kehidupannya yakni hanya menunggu bunga dari uang yang

disimpannya di perbankan14.

Di lain sisi, para pengusaha kecil yang membutuhkan modal usaha merasa

terbebani dengan beban bunga yang harus mereka bayar jika mengambil

pinjaman. Akibatnya, sebagian dari mereka menahan diri untuk mengembngkan

12 Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang

ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm.113 13 Konsumsi barang mewah, yang hanya berguna untuk symbol status social, pengeluaran yang tiak

bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Lihat ibid., hlm 113 14 Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-manhaj (Beirut: Dar al-Fikr,1998),Vol 3 . hlm

98. Dalam buku Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm.115

usahanya sedikit demi sedikit dan sebagian yang lain terpaksa harus

mengambilnya dengan resiko berkurangnya keuntungan atau semakin tercekik

ketika usaha yang digelutinya merugi, nah kedua hal ini tentunya dapat

menghambat tingkat produktivitas masyarakat. Monopoli sumber dana dan mis-

alokasi dana juga dapat menghambat tingkat produktivitas.

5. Kesenjangan yang makin melebar antara orang kaya dan miskin

Eksploitasi dan monopoli sumber dana telah mengakibatkan orang kaya

makin kaya dan orang miskin semakin miskin.

6. Mendorong Inflasi

Selama ini bunga diyakini sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan

inflasi. Tatkala Inflasi meningkat, pemerintah akan mempergunakan kebijakan

tight money policy, yakni dengan meningkatkan suku bunga guna menyerap uang

yang berlebih di masyarakat. Selain itu, pemerintah juga memperketat belanja

negara. Dengan demikian, inflasi dapat kembali dikendalikan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suku bunga justru menjadi factor

utama yang menyebabkan inflasi:

Setiawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor

Dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan beberapa penyelesaiannya menurut

Ekonomi Islam”,15 menguji hubungan antara variable ekonomi yang

diperkirakan berpengaruh terhadap inflasi, yakni jumlah uang beredar (Ms), nilai

tukar rupiah terhdap dolar, harga minyak dunia, sertifikat Bank Indonesia (SBI)

dan suku bunga Federal Reserve, yang mana hasil pengujian menunjukkan,

equilibrium antar variable tersebut dapat terjadi dalam jangka panjang. Namun

sejak pertengahan periode hingga akhir, pengaruh suku bunga SBI semakin

meningkat. Yang mana menurutnya pengurangan suku bunga, mekanisme profit

and loss sharing, pelaksanaan fungsi hibah dan penggunaan uang emas dan

perak merupakan bebrapa cara untuk menyelesaikan permasalahan inflasi di

Indonesia16.

Rusdiana (2008) meneliti faktor-faktor yang menjadi determinan inflasi di

Indonesia menggunakan metode Vector Error Correction Mod el (VECM).

Yang mana hasil pengujiannya menunjukkan bahwa suku bunga berpengaruh

positif dan menjadi contributor inflasi paling dominan dibanding dengan

variable lain. Oleh karena itu, ia menyarankan pegkajian kembali keberadaan

institusi bunga didalam perekonomian, apakah bermanfaat bagi kestabilan

moneter Indonesia ataukah sebaliknya. Apakah bermanfaat sebagai obat

15 Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang

ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm. 115 16 Setiawan, Analisis Dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan Beberapa Penyelesaiannya menurut

Ekonomi Islam (Skripsi program studi ekonomi Islam STEI Tazkia Bogor,2007). Hlm62-63

penyembuh ampuh, ataukah malah Menjadi virus potensial yang dapat

menyebabkan ‘sakit moneter’ yang lebih akut17

7. Decoupling antara sector riil dan moneter

System bunga telah mendorong para pemilik modal untuk lebih memilih

menyimpan dananya di perbankan ataupun pasar modal dan perdagangan surat

berharga baik milik negara maupun swasta (mis-alokasi dana). Sehingga

mengakibatkan uag yang beredr dimasyarakat semakin sedikit. Yang mana uang

yang seharusnya dapat digunakan untuk mengembangkan sector riil justru

terserap di sector moneter. Peter Ducker menyebut gejala ketidakseimbangan

anatara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai decoupling, yakni fenomena

keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

Sebagaimana seperti yang ditulis oleh Didin S Damanhuri, Problem utang dalam

Hegemoni ekonomi) salah satu fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum

krisis moneter Asia, dalam satu hari dana yang beredar dalam transaksi maya di

pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar

AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal perdangan arus

barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 Triliun dolar

AS. Jadi arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang

4. Kritik Terhadap lembaga keuangan Indonesia

Dengan melihat dampak yang terjadi akibat adanya riba, apabila hal ini

dibiarkan terjadi secara terus menerus maka perekonomian Indonesia akan semakin

buruk. Sehingga perlu kiranya dicarikan solusi yang tidak hanya mengedepankan

keuntungan tetapi di dalamnya terdapat konsep tolong menolong dengan kerjasama

kemitraan. Dengan hal ini Islam hadir dengan solusi yakni dengan membuat lembaga

keuangan tandingan, lembaga Keuangan Syariah. Karena Lembaga keuangan

merupakan instrument penting di hampir seluruh system ekonomi dunia. Dimana

lembaga ini berfungsi mengganti system ribawi dengan system bagi hasil. Yang mana

apabila lembaga keuangan Islam yang sudah ada ini dioptimalkan, maka akan sangat

mungkin untuk memperbaiki perekonomian Indonesia, akan sangat mungkin

memberikan keadilan bagi masyarakatnya, yang akhirnya Indonesia dapat

menciptakan kemandirian dan keadilan bagi ekonomi bangsanya.

Namun sayangnya, LKS yang sudah ada belum dapat memaksimalkan peran dan

fungsingnya, sehingga adanya LKS khususnya di Indonesia seakan terasa berjalan

ditempat. Yang mana bisa dilihat akad-akad muamalah yang diterapkan di lembaga

keuangan syariah (LKS) tidak bisa diaplikasikan secara utuh, baik berkenaan dengan

17 Aam Slamet Rusdiana, Determinasi Inflasi Indonesia: sebuah perbandingan pendekatan Islam dan

Konvensional (Skripsi program studi Ekonomi Islam STEI Tazkia Bogor, 2007),hlm.65 dalam buku Abdul Wahid Faizin dan Nashr akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer (Kajian Tafsir Al-Quran tentang ekonomi Islam), (Jakarta: Madani Publishing House,2010) hlm.116

akad-akad pembiayaan maupun akad-akad tabungan. Sebagian mengatakan bahwa

LKS tetap menggunakan system ribawi dengan bersembunyi dibalik label syariah

melalui berbagai bentuk akad-akadnya dalam muamalah18 dengan tujuan semata-mata

mengejar keuntungan tanpa memperhatikan sah tidaknya akad tersebut ketika

diaplikasikan secara praktis19.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa apa yang terjadi sebenarnya adalah

ketidak berdayaan LKS dalam upaya mengakomodir berbagai system kontrak bisnis

komersial muamalah ke dalam produk LKS (dalam hal ini adalah lembaga

perbankan). Ketidak berdayaan ini terutama berkaitan dengan pemasalahan yang

berhubungan dengan regulasi Bank Indonesia berkenaan dengan system operasional

lembaga perbankan, sehingga LKS (perbankan Syariah) sebagai sebuah lembaga

keuangan yang berada dibawah otoritas bank Sentral tidak mempunyai pilihan lain

selain harus tunduk dan patuh terhadap berbagai regulasi dan kebijakan yang

dikeluarkan oleh lembaga otoritas tersebut.

Mengomentari kenyataan perbankan syariah diatas, Umar Chapra memberikan

beberapa kritiknya terhadap praktek perbankan Islam20:

1. Ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari perangkap bank konvensional. Salah

satunya adalah karakter dasar pembiayaan yang dijalankan hanya diperuntukkan

untuk perdagangan jangka pendek, sebuah mekanisme kredit yang diperuntukkan

bagi perusahaan-perusahaan mapan. Sebaliknya mereka tampaknya tidak memainkan

peranan yang signifikan untuk pemberdayaan UMKM. Karena itu keberadaan

pebankan syariah belum mampu memberikan nilai tambahan dari saudara tuanya

yakni perbankan kovensional.

2. Posisi dewan syariah yang kadang dilematis. Secara personality para pemegang

jabatan dewan syariah di masing-masing perbankan syariah merupakan pribadi-

pribadi yang mempunyai integritas tinggi, berkualitas serta merupakan sarjana syariah

yang dihormati. Namun , beliu-beliu juga tak lain merupakan bagian dari karyawan

perbankan syariah yang mendpatkan gaji dan fasilitas dari perbankan tersebut.

Sehingga dengan keberadaannya ini, obyektifitas penetapan keabsahan produk-

produk pembiayaan syariah tidak lepas dari kepentingan perusahaan.

3. Aktualisasi terhadap akad-akad syariah yang belum bisa diterapkan secara sempurna

18 Mufti Muhammad Taqi Usmani, An Introdudtion to ISLAMIC FINANCE, New Delhi-India; Idara Isha’at

Diniyat, 1999, hal.241 19 Namun bisa saja pandangan yang ramah dan penuh pengertian terhadap LKS ini berubah menjadi

sebuah sikap keragu-raguan, seiring dengan mandegnya proses transisi yang selama ini di klaim oleh para pelaku dan praktisi perbanka syariah, lihat Mufti Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to ISLAMIC FINANCE , New Delhi-India; Idara Isha’at… hal 241

20 M Umer Chapra, The Future of ECONOMIC An Islamic Perspective, Spain ; APIPE Artes Graficas, hal 271-273

4. Keberadaan Bank Sentral yang menjadi induk dari perbankan Syariah. Hal ini juga

berarti bahwa keberadaan perbankan syariah tidak bisa melepaskan diri dari berbagai

kepentingan Bank Sentral yang diatur dan disahkan oleh perUndang-Undangan

Selanjutnya ada empat akad dalam perbankan syariah yang menjadi produk

didalamnya, yakni Syirkah, Mudharabah, Qiradh , dan Ijarah. Keempat trasaksi ini

dipilih bukan karena kebetulan, namun bahwasanya syirkah dan mudharabah

merupakan transaksi ideal karena kedua akad inilah yang secara fundamental

berperan sebagai factor pembeda antara perbankan konvensional dengan system

ribanya dan LKS yang bersistemkan nilai. Namun karena perbankan syariah

mengalami “ketakberdayaan” dalam penerapannya, maka ia lebih menggantikannya

dengan akad murabahah atau ijarah 21. Pengabaian akad syirkah dan mudharabah ini

pada saatnya hanya menghasilkan akad dengan nama yang berbeda dari system kredit

perbankan konvensional namun secara praktis mempunyai kesamaan akad kredit

berbasis bunga di bank konvensional. Hal ini dikarenakan kedua akad murabahah dan

ijarah ini sebetulnya bukan asli sebuah model pembiayaan syariah. Keduanya

digunakan sebagai solusi terhadap keterbatasan pelaksanaan akad syirkah dan

mudharabah dalam perbankan Islam22.

5. Solusi Menuju Sistem yang adil

Menanggapi kritikan diatas, sehingga penulis menawarkan solusi untuk upaya

mewujudkan kemandirian dan keadilan bagi ekonomi bangsa Indonesia melalui

optimalisasi Lembaga Keuangan Syariah, dengan cara sebagai berikut :

1. Meluruskan peran LKS; Sebagai Manajer Investasi maupun Sebagai Lembaga

Intermediasi antara pemodal (Shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib)

Peranan utama bank adalah perantara keuangan antara penabung (rumah

tangga) dengan para pengusaha (perusahaan). Dimana setiap masyarakat

memerlukan suatu mekanisme yang dapat dijadikan perantara penyaluran

tabungan dari penabung ke pengusaha dengan berdasarkan kesepakatan mengenai

pembayaran dan pelunasan. Namun karena kurangnya pengetahuan dan

komunikasi serta aneka ragam pengalaman yang berkenaan dengan likuiditas,

resiko, waktu dsb membuat hubungan langsung antara penabung dan investor

tidak efisien dan terbatas ruang lingkupnya23.

Bila diilustrasikan dalam lembaga keuangan konvensional, dana-dana dari

pihak penabung (Unit Surplus) di transfer kepada peminjam(Unit Defisit) lewat

negoisasi antara pemilik dana dengan pemakai dana(Lembaga Keuangan).

Dimana lembaga keuangan menawarkan sekuritas kepada penabung, lalu

21 Mufti Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance,.. hal 241 22 Ibid. 23 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Bank Islam, penerjemah Asep Hikmat Suhendi, (Bandung: Pustaka,1984)

hal.59-60

penabung akan menerima pendapatan lewat bunga dari lembaga keuangan

tersebut. Kemudian dana yang dihimpun dari penabung disalurkan kepada

peminjam dengan syarat akan membayar bunga kepada bank dan lembaga

keuangan bukan bank yang menyalurkan dana tersebut24 .

Sebenarnya fungsi lembaga keuangan syariah hampir sama dengan

keuangan konvensional. Yakni selain sebagai manajer investasi ia juga sebagai

lembaga intermediasi/ lembaga penghubung antara pemodal dan pengusaha.

Dalam LKS keuntungan yang didapat dalam bentuk bagi hasil, bukan bentuk

bunga. Dimana keuntungan yang diperoleh dari LKS tersebut berasal dari bagi

hasil pembiayaan yang disalurkan kepada peminjam, sedangkan bagi hasil yang

diperoleh pemilik dana berasal dari keuntungan LKS dengan produk

pembiayaannya.

Bila dilihat secara kasat mata peran intermediasi dari LKS telah terjalankan

namun dengan tidak memperdulikan akad, hanya sekedar terjadinya alur transaksi

dengan melibatkan ketiga pihak tersebut. Berbeda jika lebih peduli terhadap akad

yang dipakai oleh LKS dengan kedua nasabah/anggota, khususnya berkaitan dengan

pola pembagian keuntungan yang melibatkan ketiga pihak tersebut. Dalam hal ini

dapat dicermati sebagai berikut :

1. Akad yang digunakan oleh nasabah/anggota simpanan dengan LKS adalah

Akad mudharabah (baik berupa simpanan atau deposito), karena dalam akad

ini nasabah berperan sebagai pemilik dana (Shahibul maal), sedangkan LKS

berperan sebagai mudharib (pengelola dana/pelaku usaha). Nasabah tersebut

akan mendapatkan profit dalam bentuk bagi hasil dari hasil usaha LKS yaitu

produk pembiayaan.

2. Sedangkan akad yang digunakan antara LKS dengan nasabah pembiayaan

bisa bermacam-macam , yakni :

a. Jika dilakukan akad mudharabah maka posisi LKS dalam hal ini sebagai

pemilik dana dan nasabah pembiayaan sebagai penerima dana/pengelola

usaha

b. Jika akad yang dilakukan adalah pembiayaan syirkah/Musyarakah , maka

posisi LKS dan nasabah pembiayaan sebagai mitra (partner). Dimana

kedua belah pihak sama-sama menyetorkan dana sebagai modal untuk

mengelola sebuah usaha bersama.

c. Jika akad yang digunakan adalah murabahah, maka posisi LKS dalam

akad ini sebagai penjual dan nasabah pembiayaan sebagai pembeli.

d. Jika akad yang digunakan adalah ijarah, maka posisi LKS adalah sebagai

pihak yang menyewakan dan nasabaha pembiayaan sebagai si penyewa .

Dimana LKS menyediakan sebuah barang yang dapat diambil manfaatnya

24 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan A.Totok Budi Santoso, Bank dan lembaga keuangan lain, (Jakarta:

Salemba Empat, tanpa tahun) hal.7

oleh si penyewa dengan membayar imbalan dalam bentuk ujrah (jasa

sewa) kepada pihak LKS.

Namun sayangnya peran intermediasi yang dilakukan oleh LKS justru

semakin kabur. Kekaburan itu bisa dilihat dari dua sisi yaitu; pertama, peran

LKS dalam beberapa akad dengan nasabah pembiayaan sama sekali bukan

sebagai lembaga intermediasi melainkan sebagai pemilik dana. Kedua, antara

nasabah simpanan dan nasabah pembiayaan tidak mempunyai hubungan sama

sekali, baik dari sisi pembagian keuntungan maupun dari sisi relasi anatara

shahibul maal dengan mudharibnya. Karena itulah keuntungan yang diperoleh

nasabah simpanan bukan berasal dari nasabah pembiayaan secara langsung,

melainkan dari keuntungan LKS dalam menggulirkan berbagai produk

pembiayaan.

Untuk menjernihkan kekaburan ini, perlu diingat bahwa hubungan yang

terbangun antara shahibul maal dengan mudharib dalam perjanjian

mudharabah adalah prinsip amanah dan wakalah, dimana mudharib

merupakan al-wakiil (pihak yang diberi amanah) dari shahibul maal,

sedangkan modal yang telah diserahkan oleh shahibul maal kepada mudharib

tersebut merupkan amanah25.

2. Meminimalkan Paradigma Bank Minded dalam LKS

Untuk mendukung kelanjutan dari strategi sebelumnya, yakni ketika peran LKS

sebagai lembaga intermediasi telah di perbaharui sesuai aturan dan paket syariah

maka starategi yang selanjutnya adalah berkaitan dengan software, yakni mengubah

cara berfikir (paradigma) LKS secara institusional yang sangat Bank Minded dengan

orientasi pada dominasi bisnis di bidang moneter, untuk kemudian secara

berkesinambungan digantikan dengan paradigma bisnis sector riil. Strategi ini akan

diwujudkan dengan :

a. Mengembalikan fungsi Uang yakni uang hanya sebagai alat tukar bukan sebagai

komoditi.

Menurut Choudhury, tantangan terbesar para ekonom Islam kontemporer

adalah upaya untuk mengembalikan hakekat dan fungsi uang sebagaimana yang

diatur oleh syariah26. Yang mana dalam teori ekonomi konvensional adalah

memasukan alat penyimpanan nilai (Store of Value) sebagai salah satu fungsi

uang, yang didalamnya termasuk motif uang yaitu demand for speculation

(kebutuhan uang untuk kepentingan spekulasi)27.

25 Ibrahim Fadlil ad-dabuu, ‘Aqdul Mudlarabah; Dirasah fil iqtishad al-Islamiy, Aman; Daru ‘Amaar, 1997, hal.134 26 Masudul Alam Choudhury, Money In Islam; A study in Islamic Political Economy,(London; Routledge, 1997).hal 87 27 Ibid,. hal 87

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, maksudnya adalah bahwa uang itu

sendiri bukanlah sesuatu yang mempunyai nilai ketika tidak dipergunakan untuk

bertransaksi 28. Dalam hal ini Al-ghazali menghimbau pula bahwa dalam

penggunaan uang jangan sampai disalahgunakan. Menurutnya Uang tidak boleh

dijadikan komoditi untuk ditimbun, artinya uang harus beredar luas dimasyarakat,

uang merupakan barang public. Sehingga menurutnya menyimpan uang dalam

jumlah yang banyak adalah sebuah kejahatan, sebab perbuatan tersebut akan

menarik uang dari peredaran di tengah masyarakat, sehingga perputarannya

menjadi terganggu dan ketika perputaran uang telah terganggu maka akan

menyebabkan krisis di tengah masyarakat29. Begitu pula pada perekonomian saat

ini, tukar menukar anatar mata uang dapat mengarah kepada adanya unsur riba

disamping menimbulkan ketidak seimbangan moneter30.

Pandangan islam tentang hakekat mata uang ini menjadi penting dalam

rangka debankisasi dalam tubuh LKS, khususnya berkaitan dengan peran setral

lembaga perbankan yang bergerak di bidang usaha moneter. Artinya, selama

paradigma institusi LKS masih bank Oriented maka cara pandang terhadap peran

dan hakekat uang pun kurang lebih sama dengan cara pandang perbankan

terhadap uang, yakni uang sebagai komoditi31.

Karena itulah, Islam memberikan ketentuan bahwa satu-satunya jalan

untuk memproduktifkan uang adalah dengan menggunakannya untuk berbisnis

(baik dengan konsep jual beli, mudharabah atau musyarakah), tidak ada

alternative lain.

b. Menakar peluang BMT sebagai Lembaga Keuagan Syariah Alternatif.

“Mayoritas penulis mengenai Islamic Finance berpendapat bahwa bank dalam

konteks frame work Islam tidak lebih dari sebuah institusi yang berfungsi sebagai

intermedier (perantara), sebagian lagi merekomendasikan bank juga sebagai

pedagang ataupun sebagai institusi yang berkaitan dengan barang-barang yang tak

berwujud. Mereka mengadopsi system perbankan universal yang secara penuh

memiliki (menguasai) semacam divisi pendanaan yang dialokasikan untuk

kepentingan pembiayaan dengan berbagai bentuknya.

Bank Islam seharusnya tidak hanya bergerak di sector moneter saja dengan

mendapatkan uang dari uang, melainkan seharusnya juga melibatkan bisnis real

untuk tujuan pembiayaan. Semisal perdagangan dan produk berbasis leasing,

mereka menciptakan hutang dan harus mematuhi aturan shariah yang

berhubungan dengan dayn(=Hutang)”32.

28 Imam Ghazaliy, Ikhya Ulumuddin juz IV, hal.78-79 29 Ibid,. 78-79 30 ibid 31 Ahmad Mustofa, Reorientasi ekonomi Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2014) hal. 166-169 32 Muhammad Ayub; Understanding Islamic Finance, (Chichester-England;John Wiley&Sons Ltd2007) hal.158

Pernyataan diatas diutarakan oleh Muhamamd Ayub berkenaan dengan

kegelisahannya terhadap realitas hakekat lembaga perbankan syariah. Menurutnya

LKS secara institusional tidak lebih dari pengejawantahan perbankan

konvensional dengan brand syariah di belakangnya. Dalam pandangannya

tersebut, M Ayyub mencetuskan sebuah institusi perbankan Islam yang berbeda

dengan varian perbankan syariah sebagaimana yang ada, dimana dalam

operasionalnya masih berpedoman dengan regulasi perbankan yang diterbitkan

oleh Bank Sntral maupun pemerintah Indonesia sendiri, diantaranya adalah

larangan perbankan untuk memiliki bisnis usaha riil atau unit produksi sendiri.

Namun dalam konteks Indonesia, hal tersebut belum dapat direalisasikan

apalagi dalam jangka waktu dekat. Sebab ketika menyoal institusi perbankan

(baik syariah maupun konvensional) maka akan bersinggungan dengan regulasi

perbankan yang telah dikeluarkan oelh Bank Indonesia.

Oleh karena itu, sekali lagi ditegaskan bahwa mengalihkan tumpuan harapan ke

BMT sebagai sebuah institusi yang mampu membawa amanat tongkat estafet

perjuangan ekonomi Syariah yang lebih hakiki merupakan sebuah keniscayaan .

3. Optimalisasi pendanaan Mudharabah dan Musyarakah sebagai Bisnis Inti

Produk mudharabah dan musyarakah adalah dua produk pendanaan syariah yang

berpotensi besar dalam menciptakan keseimbangan antara sector moneter dan sector

riel, yang akhirnya dapat menjalankan system perekonomian dengan lancar33 . Secara

filosofis, baik mudharabah maupun musyarakah betul-betul melibatkan dua pihak

yakni bank syariah dan pihak mudharib,dimana keduanya sama-sama bergerak

mengelola sector usaha yang tidak dapat diragukan, guna memeberikan nilai tambah

pada gerakan ekonomi secara lansgung.

Secara konseptual, mudharabah adalah suatu bentuk kerjasama antara dua pihak

atau lebih, dimana satu pihak menyerahkan modal (Shohibul maal) dan pihak lain

mengelola modal dengan menggunakan keahlian yang dimilikinya (mudharib). Kedua

belah pihak ini akan berbagikeuntungan sesuai nisbah yag sudah ditentukan diawal

namun bilamana terjadi kerugian maka kerugian finansial ditanggung oleh shohibul

maal dan kerugian lain yang bersifat non finansial akan ditanggung oleh mudharib.

Kecuali jika kerugian yang terjadi akibat kelalaian mudharib maka kerugian tersebut

menjadi tanggung jawab pihak mudharib sepenuhnya34.

Sedang produk pembiayaan/pendanaan musyarakah adalah kerjasama dua pihak

atau lebih, dimana masig-masing pihak menyertakan modal, baik finansial maupun

keahlian. Sehingga keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh kedua belah

pihak dengan besaran yang sudah disepakati35.

33 DisampingAl-Muzaraah dan Al-Musaqoh, kedua mode pendanaan sangat mungkin dicoba oleh bank syariah dalam praktek 34 Moh Syafii Antonio, Perbankan Syariah dari teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani,Press,2001) hal.41 35 Ibid

Berdasarkan prinsip mudharabah dan musyarakah, dalam pembiayaan bank

syariah menunjukkan adanya suatu kerjasama ideal yang melibatkan dua sector

ekonomi sekaligus dan mendorong sector riel berkembang. Namun dalam

kenyataannya terjadi sebaliknya, dimana mudharabah sangat berbeda antara teori dan

prakteknya.

Memang dalam praktek bank syariah di Indonesia, pembiayaan mudharabah baru

mencapai 7,29% dari total pembiayaan bank syariah36. Secara praktek prosedur

pendanaan mudharabah menempuh prosedur yang dapat diperdebatkan, dimana

hampir tidak ada pembiayaan mudharabah yang tidak melibatkan kontribusi modal

pihak mudharib. Hal tersebut menunjukkan adanya penympangan prinsip ideal

mudharabah, dimana modal finansial ditanggung oleh shahibul maal. Oleh karena itu

ada pendapat yang menyatakan bahwa pendanaan mudharabah yang dilakukan oleh

bank syariah sekarang lebih merupakan modified mudharabah.

Yangmana bergesernya praktik ini mempunyai beberapa resiko, diantaranya:

1. Mudah mengalami atau rentan terhadap penyimpangan, sebab seringkali pihak

mudharib baik individu maupun perusahaan tidak melengkapi diri dengan

akuntabilitas yang memadai dengan laporan keuangan yang auditable. Persoalan

tersebut sangat berkaitan dengan kebiasaan dan buruknya budaya akuntansi pihak

mudharib selama ini.

2. Pendanaan mudharabah menuntut kejujuran dan keterbukaan, apalagi pihak

shohibul maal seakan-akan tidak mempunyai hak intervensi sedikitpun dalam

proyek bisnis yang sedang dijalankan oleh pihak mudharib

3. Akibatnya pihak bank mematok nisbah bagi hasil yang barangkali relative besar

bagi bank dan sebaliknya sangat kecil bagi mudharib. Manakala nisbah bagi hasil

tersebt diekuivalenkan dengan tingkat suku bunga bank konvensional, sangat

terasa nisbah hasil yang ditetapkan bank jauh lebih besar dibandingkan dengan

bunga bank konvesional37

C. KESIMPULAN

1. Pada dasarnya riba merupakan suatu pemaksaan pemindahan hak milik dari orang

yang meminjamkan uangnya kepada orang yang dipinjami secara tidak langsung.

Dan perbuatan semacam ini mendapatkan kecaman yang sangat serius dari Allah

dan RasulNya. Orang yang melakukan transaksi semacam ini balasannya adalah

neraka berdasarkan Firman Allah “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan

36 Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasi oleh OJK 37 Sesungguhnya pembandingan nisbah bagi hasil dengan bunga bnk konvensional tidak patut dilakukan, karena memang secara

hakiki keduanya tidak comparable. Tetapi fakta dilapangan atau realitas dalam masyarakat tersebut masih terjadi, lihat

Muhammad Ahyar adnan, “Dari Murabahah Menuju Musyarakah, Upaya Mendorong Optimalisasi Sektor Riel”, Makalah

disampaikan pada International Seminar On Islamic Economic As A Solution Medan 18-19 September 2005

mengharamkan riba”. Karena pada dasarnya riba adalah pencurian yang

mempunyai akad.

2. Solusi terbaik dalam pemberantasan riba adalah dengan membuat lembaga

keuangan tandingan, yakni lembaga keuangan syariah yang mana bertujuan untuk

menggantikan system bunga dengan system bagi hasil. Namun sayangnya, lembaga

keuangan yang ada seakan berjalan ditempat karena belum menerapkan system

syariah secara utuh dan solusi terbaiknya adalah dengan pengoptimalan lembaga

keuangan yang ada sebagai penggerak kemandirian ekonomi ummat.

3. Dan pada intinya sebenarnya Lembaga Keuangan Islam dan nasabah Indonesia

memiliki kesempatan untuk maju bersama, karena masih banyak yang belum

dioptimalkan. Dan ketika sesuatu yang ada itu telah dioptimalkan maka

kemandirian dan Keadilan yng dicita-citakan akan terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Masudul Choudhory. 1997, Money in Islam, A Study in Islamic Political Economy,

London; Routledge.

Al-Zubavdi 1306, Taj al-Arus, Cairo; Al-Matbha’ah al Khairiyah

Ayub, Muhammad 2007, Understanding Islamic Finance, England & Sons Ltd.

Badan Pusat Statistik

Chapra, Umer 1997, Al-Quran menuju system moneter yang adil, Yogyakarta; PT.Dana Bhakti

Prima Yasa

Chapra, Umer, The Future of Economics An Islamic Perspektif, Spain; Apipe Artes Graficas.

Fadhil, Ibrahim ad-Dabuu 1997, Aqdul Mudharabah; Dirasah fil Iqtishad al-Islamiy, Aman;

Daruu ‘Amaar

Ghazaliy, Imam juv IV, Ikhya Ulumuddin

Huda, Nurul dan Muhammad Haikal, Lembaga keuangan Islam tinjauan teoritis dan praktis,

Jakarta; Prenada Media

Haron, Sudin 1991, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Kuala Lumpur; berita Publishing

Sdn.Bhd

Maududi 1970, Riba, Jakarta; Hudaya (terjemahan)

Manzur, Ibn 1968, Vol 14, Lisan al-taba’ah wa al nashr

Muhammad 2002, Manajemen Bank Syariah, Edisi Revisi, Yogyakarta; Unit Penerbit dan

Percetakan (UPP) AMP YKPN

Muhammad, Mufti Taqi Usmani 1999, An Introduction to Islamic Finance, New Delhi- India;

Idara Isha’at diniyat

Mustofa, Ahmad 2014, Reorientasi Ekonomi Syariah, Yogyakarta; UII Press

Nejatullah, Muhammad Shiddiqi 1984, Bank Islam, (Asep Hikmat Suhendra). Bandung; Pustaka.

Statistik Perbankan Syariah

Sri, Y Susilo, dkk. Bank dan Lembaga keuangan Islam. Jakarta; Salemba Empat.

Syafi’I, Muhammad Antonio 1999. Mukaddimah Buku Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum.

Jakarta; Kerjasama BI dengan Tazkia Institute.

Syafi’I, Muhammad Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta; gema Insani Press

Wahid Abdul al-Faizin dan Nashr Akbar 2010. Tafsir ekonomi Kontemporer (kajian tafsir Al-

Quran tentang Ekonomi Islam) Jakarta; Madani Publishing House.

Zuhaili 1998. Tafsir Al-Munir al-Aqidah wa asy-syari’ah wa al-manhaj. Beirut; Dar al-Fikr.

Journal dan Skripsi

Ahyar, Muhammad Adnan. Dari Murabahah menju Musyarakah, Upaya mendorong

Optimalisasi sector riel

Setiawan 2007. Analisis dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan beberapa penyelesaiannya

menurut Ekonomi islam. (Skripsi program Studi Ekonomi Islam STEI Tazkia.

Slamet, Aam Rusdiana. Determinasi Inflasi Indonesia sebuah perbandingan pendekatan Islam

dan Konvensional.