oleh: mega lugina rahimahyuni fatmi noor’an galih kartika...
TRANSCRIPT
Oleh:Mega Lugina
Rahimahyuni Fatmi Noor’anGalih Kartika Sari
Bayu SubektiI Wayan Susi Darmawan
Editor:Kirsfianti L. Ginoga
Tatang TiryanaIman Santosa
PENERBIT PT KANISIUS Forest Carbon Partnership Facility
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim
Bogor
Benang Merah Pengelolaan Plot Sampel Permanen Karbon Hutan dalam Kegiatan FCPF di Indonesia1016003064© 2016-PT Kanisius
Buku ini diterbitkan atas kerja sama
PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, SlemanDaerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIATelepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349E-mail : [email protected] : www.kanisiusmedia.com
dan
Pusat Litbang Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananJl. Gunung Batu No. 5 Bogor
Cetakan ke- 3 2 1Tahun 18 17 16
Desainer Sampul : Joko SutrisnoDesainer Isi : Yustinus Saras
ISBN 978-979-21-5046-9
Hak cipta dilindungi undang-undangDilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit
Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta
Kata Pengantar
Kerjasama Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) merupakan hibah lintas donor yang dikelola oleh Bank Dunia untuk mem-
biayai kegiatan-kegiatan yang diperlukan pada proses persiapan REDD+ (readiness phase). Indonesia sebagai salah satu negara yang memperoleh dana hibah FCPF mengalokasikan dana itu untuk kegiatan penguatan kapasitas merancang sebuah strategi nasional untuk REDD+; menyusun skenario referensi nasional dan sub nasional; serta membangun sistem yang mendukung pengukuran, pelaporan, dan verifikasi. Dalam kerangka mendukung penyediaan database faktor emisi/serapan, Indonesia dalam hal ini Puspijak bersama beberapa mitra di daerah telah membangun Plot Sampel Permanen (Permanent Sample Plots/PSP) di 12 provinsi selama tahun 2012-2014. Pembangunan PSP tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui dinamika cadangan karbon dari berbagai tipe hutan di Indonesia.
Untuk mendukung pembangunan PSP, tahun 2013 dilaksanakan kegiatan Lokakarya Strategi Pembangunan PSP di Provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. Pelaksanaan lokakarya bertujuan untuk menyamakan persepsi di antara para pihak mengenai tujuan pembangunan PSP sekaligus pembangunan kapasitas bagi para pihak di daerah. Pengalaman selama pembangunan PSP dan poin-poin penting yang diperoleh selama
Kata Pengantariv
menyelenggarakan lokakarya ini dituangkan dalam buku ini. Buku “Benang Merah Pengelolaan Plot Sampel Permanen Karbon Hutan dalam Kegiatan FCPF di Indonesia” yang ada di hadapan pembaca sekalian merupakan inti sari dari pemikiran para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan lokakarya Pembangunan PSP.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Benang Merah Pengelolaan Plot Sampel Permanen karbon Hutan Dalam Kegiatan PCPF di Indonesia. Buku ini juga dapat tersusun berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ucapkan terima kasih, khususnya kepada tim penulis dan editor yang telah bekerjasama sekaligus mencurahkan pikirian serta perhatiannya, sehingga buku ini dapat kami selesaikan penyusunannya. Kami berharap buku ini dapat memberikan kontribusi bagi semua pihak yang terlibat dalam upaya pengentasan deforestasi dan degradasi hutan sebagai bagian dari strategi mitigasi Perubahan Iklim di sektor kehutanan di Indonesia.
Bogor, Oktober 2016Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim
Dr. Bambang Supriyanto, M.Sc.
Ringkasan
Karbon sebagai bahan organik terbesar penyusun kayu menjadi alat ukur untuk mengetahui tingkat penambahan/pengurangan
keseimbangan karbon yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO2 dari atmosfer, kemudian digabungkan dan disimpan menjadi bahan organik. Besarnya cadangan karbon di suatu tempat dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya tipe penggunaan lahan. Ekosistem hutan berperan dalam proses mitigasi perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan dampak dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Pengetahuan mengenai perubahan emisi/serapan di lokasi dan waktu tertentu diperlukan untuk mengetahui penyebab/sumber emisi/serapan. Pemantauan karbon hutan pada mitigasi perubahan iklim memiliki prinsip MRV (Measurable, Reportable, and Verifiable). Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dilaporkan ke Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention for Climate Change/UNFCCC). Besarnya pengurangan emisi dapat diketahui dengan menentukan terlebih dahulu nilai acuan tingkat emisi atau dikenal dengan Reference Emission Level/REL.
Besarnya emisi yang diserap suatu vegetasi didekati dari biomassa yang dibentuk oleh tumbuhan tersebut. Pengukuran biomassa dilaku-kan pada 5 pool karbon, yaitu biomassa di atas permukaan tanah;
Ringkasanvi
biomassa di bawah permukaan tanah, kayu mati, serasah, dan tanah. Pengukuran biomassa dilakukan pada berbagai tipe penggunaan lahan. Perbedaan tipe penggunaan lahan mempengaruhi cadangan karbon yang dimilikinya.
Inventarisasi gas rumah kaca memerlukan data aktivitas berupa luas perubahan tutupan lahan, yang diakibatkan oleh pengelolaan tertentu dan data faktor emisi/faktor serapan (IPCC, 2006). Inventarisasi GRK tidak hanya menjadi tanggung jawab nasional, tetapi juga tanggung jawab sub-nasional. Berbagai pihak telah menyebutkan pentingnya data faktor serapan/emisi lokal untuk meningkatkan akurasi penghitungan emisi yang dihasilkan. Banyak cara yang di-gunakan untuk menyediakan data lokal, salah satunya dengan pembangunan Plot Sampel Permanen (PSP). Pembangunan PSP bertujuan untuk menduga biomassa melalui pengukuran langsung di lapangan. Data setiap PSP dapat menjadi dasar pembuatan model pertumbuhan dan penentuan kualitas lingkungan pengelolaan hutan selanjutnya. Pendekatan alometrik yang dikembangkan oleh Siregar dan Dharmawan (2009) digunakan untuk menduga biomassa pada PSP yang telah dibangun. Allometry merupakan evolusi morfologi makhluk hidup yang didasari atas hubungan antara ukuran dari makhluk hidup dengan ukuran salah satu bagian makhluk hidup tersebut. Model persamaan alometrik yang biasa digunakan adalah menerapkan diameter, tinggi, dan berat jenis sebagai nilai penduga.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan bekerja-sama dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) telah membangun PSP di 12 Provinsi dalam kurun waktu 3 tahun. Pembangunan PSP ditujukan untuk melakukan pengukuran biomassa dan karbon hutan yang mencakup 5 pool karbon. Pembangunan PSP mendukung ter-sedianya data yang lebih rinci terkait dengan emisi/serapan karbon hutan. Pembangunan PSP melibatkan berbagai pihak di daerah yang berkepentingan, mencakup orang (perorangan, kelompok, komunitas yang terkena dampak), lembaga/badan (legislatif/eksekutif), sektor swasta, perguruan tinggi, pemerhati (NGO/LSM, yayasan dakwah dsb).
Ringkasan vii
Data yang dihasilkan dari pengukuran PSP tersebut memerlukan penanganan lebih lanjut. Pada tahun 2013 telah dikembangkan suatu database cadangan karbon berbasis web untuk mendukung penyediaan faktor emisi. Pengembangan database dan pembangunan PSP membantu peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah terkait dengan perubahan iklim dan penghitungan karbon hutan di lapangan.
Pembangunan PSP-FCPF diharapkan dapat mendukung inven-tarisasi GRK sektor kehutanan dengan akurasi tinggi (tier 3) se-hingga PSP yang dibangun tersebut memiliki nilai yang strategis dan diharapkan berkesinambungan dalam pengelolaannya, agar pe-ngelolaan PSP FCPF dapat berlangsung secara berkesinambungan maka diperlukan strategi kelembagaan yang sesuai dan tepat. Disadari sejak awal pembangunan dan pengelolaan PSP melibatkan banyak pihak dari berbagai tingkatan nasional dan daerah, maka keterlibatan multipihak tersebut perlu didukung dengan mekanisme dan kerangka kerja kelembagaan yang memperjelas posisi dan peran setiap aktor, batasan kewenangan, dan tanggung jawabnya, kontribusi yang di-harapkan dari masing-masing aktor tersebut, jalur komunikasi seperti apa dan bagaimana yang harus dijalin antar mereka, serta regulasi dan kebijakan apa yang menjadi landasan bagi mereka dalam pengelolaan PSP. Keberadaan PSP pada 12 provinsi bersifat permanen oleh karena itu kelembagaan pengelolaannyapun harus bersifat permanen. Sudut pandang ini memberikan konsekuensi terutama dalam keterlibatan aktor, penyediaan sumberdaya (terutama alokasi anggaran dan sumber daya manusia), dan aspek legalitasnya.
Selain kerangka kerjasama Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), di Indonesia terdapat beberapa inisiatif lain yang bersifat kolaboratif dan memiliki kelembagaan dalam invetarisasi GRK dan MRV. Inisiatif tersebut di antaranya adalah INCAS-IAFCP, SIGN (Sistem Inventarsiasi Gas Rumah Kaca Nasional, dan NFMS (National Forest Monitoring System). Pembangunan dan penataan kelembagaan pengelolaan PSP dalam kerangka kerjasama FCPF di Indonesia, dilakukan untuk
Ringkasanviii
mengisi kekurangan dan gap dari inisiatif-inisiatif kerjasama yang sudah ada sehingga dapat diperoleh besaran faktor emisi.
Pengelolaan PSP menghadapi beberapa tantangan di masa yang akan datang. Tantangan tersebut di antaranya adalah pembangunan PSP yang dapat mewakili semua tutupan lahan, sumberdaya manusia yang menguasai teknik pengukuran di lapangan, kelembagaan penge-lolaan PSP, kejelasan pendanaan, keamanan PSP, pengumpulan dan pengelolaan data PSP. Keberlanjutan pengelolaan PSP ditentukan oleh strategi pengelolaan PSP. Strategi dalam pengelolaan PSP di antaranya adalah kewajiban bagi pemegang izin usaha pemanfaatan dan penggunaan hutan untuk membangun PSP, pelatihan dan pe-nyegaran pengukuran PSP, pembentukan kelembagaan pengelolaan PSP, pengalokasian dana multipihak (APBD, perguruan tinggi, KPH), sosialisasi keberadaan PSP kepada masyarakat luas, pengembangan database cadangan karbon hutan, kebijakan yang mendukung pem-bangunan PSP untuk pemantauan biomassa hutan.
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................................. iiiRingkasan .............................................................................................................................. v
Bab IPenghitungan Emisi Karbon Hutan ................................................................. 1
Bab IIKegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia ..... 15
Bab IIIPembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF .............................................................. 27
Bab IVDesain Kelembagaan Pengelolaan PSP ........................................................ 53
Bab VTantangan dan Strategi Pengelolaan PSP .................................................... 81
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 87Lampiran 1 .......................................................................................................................... 95
Bab I Penghitungan
Emisi Karbon Hutan
A. Pentingnya Penghitungan Emisi Karbon Hutan
Karbon merupakan salah satu bahan organik terbesar penyusun kayu, sebesar 49%. Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman (Brown, 1997). Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO2 dari atmosfer melalui stomata daun dan menggabungkannya ke dalam bahan organik, kemudian menjadi sumber karbon. Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), jumlah karbon yang tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanah, serta cara pengelolaannya. Penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah C yang tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT).
Emisi/serapan karbon hutan merupakan salah satu alat ukur untuk mengetahui tingkat penambahan/pengurangan keseimbangan
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 2
karbon dalam satuan luas dan waktu tertentu (IPCC, 2006). Pe-nambahan emisi hutan berarti keseimbangan emisi karbondioksida meningkat, sedangkan penambahan serapan berarti keseimbangan emisi karbondioksida berkurang dalam satu satuan luas dan waktu tertentu. Pengetahuan tentang perubahan emisi/serapan di lokasi dan waktu tertentu diperlukan untuk mengetahui penyebab/sumber emisi/serapan. Berdasarkan perubahan emisi/serapan karbon dapat diidentifikasi cara yang efektif dan efisien serta siapa yang berperan dalam upaya mitigasinya.
Perubahan iklim terjadi melalui proses panjang akibat meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO2) di atmosfer. Dalam konteks nasional, penurunan emisi karbon hutan sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim karena menentukan konsentrasi CO2 di udara. Selama masa pertumbuhannya, hutan mengabsorbsi CO2 melalui proses fotosintesis yang hasilnya disimpan sebagai materi organik dalam biomassa tanaman (Abdullah et al., 2010). Hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi karena keragaman jenis vegetasi yang tinggi, tumbuhan bawah, dan serasah di permukaan tanah yang banyak (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Untuk dapat menyusun kegiatan mitigasi dan upaya penyesuaian (adaptasi) diperlukan pemahaman yang baik mengenai proses terjadinya perubahan iklim secara ilmiah dan dampaknya bagi makhluk hidup (Pusdiklat Kehutanan, 2012). Peran hutan sangat penting dalam upaya pencapaian target penurunan emisi nasional. Besarnya kapasitas ekosistem hutan dalam menyerap emisi perlu diketahui secara tepat dan akurat. Hutan yang terus-menerus dipanen tentunya akan memiliki cadangan karbon yang lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan yang dibiarkan tumbuh. Cadangan karbon hutan dapat ditingkatkan dengan penerapan manajemen hutan yang tepat sesuai dengan kondisi hutan.
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 3
B. Pemantauan karbon hutan yang terukur, terlaporkan, dan terverifikasi (Measureable, Reportable, and Verifiable)
Prinsip MRV (Measurable, Reportable, and Verifiable) merupakan prinsip dalam pelaksanaan inventarisasi GRK. Sistem pelaksanaan inventarisasi GRK dilakukan melalui pengukuran dan pengumpulan data yang dilaporkan ke Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention for Climate Change/UNFCCC), se lanjut nya diverifikasi oleh panel pakar UNFCCC. Prinsip MRV di-terapkan untuk berbagai skala inventarisasi GRK baik nasional, sub nasional (provinsi, kabupaten/kota) maupun skala proyek. Hasil kegiatan inventarisasi GRK/penghitungan emisi yang sebelumnya diverifikasi atau divalidasi oleh pihak ketiga yang berwenang harus dilaporkan kepada internasional, yaitu UNFCCC, (Jaya dan Saleh, 2012).
Setiap tahun negara-negara yang berkomitmen menurunkan emisi mengadakan pertemuan tahunan yang disebut dengan Conferences of The Parties (COP). Salah satu keputusan yang dihasilkan dalam COP 16, para pihak bersepakat untuk meningkatkan pelaporan komunikasi nasional termasuk kegiatan inventarisasi dari negara-negara Non-Annex 11, kegiatan-kegiatan mitigasi dan kontribusinya dalam penurunan emisi serta bantuan-bantuan yang diperoleh dari pihak lain (UNFCCC, 2011). Laporan komunikasi nasional ini disampaikan ke UNFCCC setiap empat tahun (UNFCCC, 2011). Selain itu, negara-negara berkembang harus menyusun laporan perkembangan inventarisasi GRK dan kegiatan-kegiatan mitigasi setiap dua tahun (Biennial Update Report/BUR) sesuai dengan kemampuannya dan dukungan yang diterimanya (UNFCCC, 2011). Badan pendukung (Subsidiary Body) bersedia melayani konsultasi dan analisis terhadap BUR dengan tetap menjunjung tinggi kedaulatan suatu negara. Konsultasi dan analisis yang dilakukan oleh tim ahli ini bertujuan meningkatkan transparansi kegiatan-kegiatan mitigasi yang telah dilakukan dan efektivitasnya.
1 Negara-negara Non Annex 1 adalah negara-negara yang tidak berkewajiban untuk menurunkan emisi.
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 4
Laporan BUR berisi perbaruan komunikasi nasional yang paling terakhir dilaporkan. Berdasarkan pedoman yang dibuat pada COP 17, laporan BUR berisi informasi status nasional dan pengaturan kelembagaan yang terkait dengan persiapan komunikasi nasional secara terus menerus; pelaksanaan inventarisasi emisi nasional yang disebabkan oleh kegiatan manusia dan laporan inventarisasi nasional; informasi kegiatan mitigasi dan kontribusi penurunan emisi termasuk metodologi dan asumsi-asumsi yang digunakan; hambatan dan gap serta kebutuhan teknis dan peningkatan kapasitas; informasi bantuan yang diperoleh untuk menyiapkan dan mengumpulkan BUR; serta informasi laporan pengukuran domestik dan verifikasi (UNFCCC, 2012). COP 17 memutuskan bahwa negara-negara non-Annex 1 harus melaporkan BUR yang pertama pada Desember 2014. (UNFCCC, 2012). Dalam menyusun BUR berdasarkan pedoman yang disepakati pada COP 17 di Durban, disepakati bahwa negara-negara non-Annex 1 harus memperhatikan prioritas pembangunan, tujuan pembangunan, kapasitas, dan kondisi nasional (UNFCCC, 2012).
Untuk mengetahui besarnya kegiatan pengurangan emisi yang terjadi dengan aksi mitigasi ataupun besarnya peningkatan emisi yang terjadi maka diperlukan nilai acuan tingkat emisi atau yang dikenal dengan Reference Emission Level/REL dan Reference Level/RL (Jaya dan Saleh, 2012). Nilai REL/RL inilah yang menjadi patokan dalam membandingkan penghitungan emisi dari waktu ke waktu. Kementerian Kehutanan telah menghitung besarnya REL kehutanan yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 633/ Menhut-II 2014 tentang Penetapan Tingkat Acuan Emisi Karbon Hutan. Di dalam SK tersebut dicantumkan bahwa Forest Reference Emission Level sebesar 0,816 Gton CO2e per tahun. Nilai itu diperoleh dari rata-rata emisi karbon hutan tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 (Kementerian Kehutanan, 2014).
Secara umum, saat ini seluruh pemerintah daerah mulai me-ngumpul kan dan membangun data yang diperlukan dalam peng-hitungan emisi, untuk mengetahui status emisi provinsi yang
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 5
merupakan bagian dari dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi (RAD-GRK). RAD-GRK merupakan amanat Perpres 61/2011 yang harus disusun oleh pemerintah provinsi dan merupakan dokumen dinamis yang setiap tahunnya dapat berubah sesuai dengan target dan capaian penurunan emisi masing-masing provinsi (Pemerintah Republik Indonesia, 2011a). Selain itu, Perpres 71/2011 yang mengatur inventarisasi GRK menyatakan bahwa, Gubernur ber-tugas menyelenggarakan inventarisasi GRK di tingkat provinsi dan mengkoordinasikan penyelenggaraan inventarisasi GRK di kabupaten dan kota yang termasuk di dalam wilayahnya (Pemerintah Republik Indonesia, 2011).
Kementerian Kehutanan berkewajiban melakukan kegiatan inven-tarisasi GRK untuk kegiatan-kegiatan yang berada di bawah lingkupnya. Dalam rangka menjalankan kewajiban pelaksanaan Rencana Aksi Nasional dan inventarisasi GRK (Peraturan Presiden No. 61/2011 dan Peraturan Presiden No. 71/2011), Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. SK.335/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Unit Kerja Pelaksana Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Lingkup Kementerian Kehutanan. Pelibatan seluruh eselon 1 yang ada di lingkup Kementerian Kehutanan dalam kegiatan inventarisasi GRK diharapkan dapat mempercepat upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan secara optimal.
Dalam rangka memberikan pedoman pelaksanaan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi kegiatan mitigasi yang dilakukan oleh seluruh pihak terkait, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan Menteri lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 15 Tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim. Peraturan Menteri ini juga dibuat untuk melaksanakan ketentuan pasal 6 ayat 2 Perpres No. 71/2011 yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai verifikasi dalam penyelenggaraan inventarisasi GRK diatur oleh peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 6
pedoman ini diharapkan capaian yang diperoleh seluruh pihak yang memiliki tanggung jawab melakukan aksi mitigasi memiliki tingkat keakuratan yang tinggi, memenuhi prinsip transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2013).
C. Pendekatan Untuk Penghitungan Emisi/Serapan Karbon Hutan
Pengukuran volume kayu komersil telah menjadi tujuan peng-ukuran hutan untuk beberapa dekade dan informasi dasar serta terapan pengaplikasiannya telah tersedia untuk beberapa tipe eko-sistem hutan. Sebagaimana tujuan pengelolaan sumberdaya hutan telah bergeser, dari hanya berorientasi kayu menjadi berorientasi juga kepada non kayu dan jasa lingkungan, seperti air, ekowisata, dan penyimpanan karbon. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha pengkuantifikasian hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Sistem penyimpanan karbon hutan sebagai salah satu jasa lingkungan hutan, memerlukan metode untuk pengukuran karbon hutan dan pengkonversian data volume pohon menjadi cadangan karbon (Hoover, 2008).
Besarnya emisi yang diserap oleh suatu vegetasi didekati dari biomassa yang telah dibentuk oleh vegetasi tersebut. Menurut Suhendang (2002), biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hidup yang terdapat dalam tegakan dinyatakan dalam berat kering oven dalam ton per unit area. Jumlah biomassa dalam hutan merupakan selisih antara produksi melalui fotosintesis dan konsumsi melalui respirasi.
Menurut Brown (1997), biomassa menunjukkan jumlah potensial karbon yang dapat dilepas ke atmosfer sebagai karbondioksida ketika hutan ditebang dan/atau dibakar. Sebaliknya, melalui penaksiran dapat dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat diikat dari atmosfer dengan melakukan reboisasi atau penanaman. Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 7
dari udara dan mengubah zat tertentu menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis.
Biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas yang dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Biomassa hutan berperan penting dalam siklus karbon. Hutan mengabsorbsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa, dalam umur tertentu dapat dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Rused, 2009).
Menurut Sutaryo (2009) terdapat empat cara utama untuk meng-hitung biomassa, antara lain sebagai berikut.
1. Sampling dengan pemanenan (Destructive sampling)Metode ini dilakukan dengan memanen seluruh bagian
tumbuhan termasuk akarnya, mengeringkannya, dan menimbang berat biomassanya. Aplikasi metode ini untuk mengukur bio-massa hutan, dapat dilakukan dengan mengulang beberapa area cuplikan atau melakukan ekstrapolasi untuk area yang lebih luas dengan menggunakan persamaan alometrik.
2. Sampling tanpa pemanenan (Non-destructive sampling)Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan
pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon, dan menggunakan persamaan alometrik untuk mengeksplorasi biomassa.
3. Pendugaan melalui penginderaan jauhHasil penginderaan jauh dengan resolusi sedang sangat
bermanfaat untuk membagi area menjadi kelas-kelas vegetasi relatif homogen. Hasil pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survei dan pengambilan data lapangan. Untuk
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 8
mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil pengindaraan jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal itu akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar.
4. Pembuatan modelModel digunakan untuk menghitung estimasi biomassa
dengan frekuensi dan intensitas pengamatan in-situ atau peng-inderaan jauh yang terbatas. Umumnya, model empiris ini di-dasarkan pada jaringan dari sampel plot diukur berulang yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau melalui persamaan alometrik yang mengkonversi volume menjadi bio-massa.
Metode yang diakui internasional untuk menghitung emisi dari kegiatan penurunan emisi adalah metode yang dikembangkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). IPCC telah me-ngembangkan metode inventarisasi GRK sejak tahun 1996 dan direvisi melalui Good Practice Guidance 2003 (GPG 2003) dan diperbaharui dengan IPCC Guidelines for National Greenhose Gas Inventory (IPCC GL 2006). Berdasarkan IPCC GL 2006 penggunaan dan perubahan lahan untuk inventarisasi GRK pada sektor Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) dibedakan menjadi 6 kategori, yaitu: forest land, grassland, cropland, wetland, settlement, dan other land. Pada setiap kategori lahan, terdapat lima pool karbon yang harus dihitung dalam penghitungan emisi dan serapan. Berdasarkan IPCC (2006) kelima pool karbon tersebut meliputi berikut ini.1. Aboveground biomass (biomassa di atas permukaan tanah),2. Belowground biomass (biomassa di bawah permukaan tanah),3. Deadwood (kayu mati),4. Litter (serasah), dan5. Soils (tanah).
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 9
Menurut Dury et al. (2002) dalam Balinda (2008) menyebutkan bahwa, dalam tegakan hutan lokasi keberadaan karbon adalah sebagai berikut.1. Pepohonan dan akar: biomassa hidup, baik yang terdapat di atas
permukaan dan di bawah permukaan dari berbagai jenis pohon, termasuk batang, daun dan cabang, serta akar.
2. Vegetasi lain: vegetasi bukan pohon (semak, belukar, herba, dan rerumputan).
3. Sampah hutan: biomassa mati di atas lantai hutan termasuk sisa pemanenan.
4. Tanah: karbon tersimpan dalam bahan organik (humus) maupun dalam bentuk mineral karbonat. Karbon dalam tanah mungkin mengalami peningkatan atau penurunan tergantung pada kondisi tempat sebelumnya dan sekarang, serta kondisi pengolahan tanah.
Data aktivitas didefinisikan sebagai besar kuantitatif aktivitas manusia pada lahan yang umumnya dicirikan oleh penggunaan lahan yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK, sedangkan faktor emisi adalah besarnya emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer per satuan aktivitas. Contoh, data aktivitas adalah luasan deforestasi (perubahan penutupan hutan menjadi bukan hutan secara permanen) dengan satuan hektar, sedangkan contoh faktor emisi adalah banyaknya emisi GRK per hektar akibat deforestasi. Emisi GRK dihitung dengan mengalikan data aktivitas dengan faktor emisi sebagai berikut.1. Pengumpulan data aktivitas yang didapatkan dari berbagai citra
satelit; dan2. Perhitungan tingkat emisi atau serapan GRK yang terjadi pada 5
(lima) macam tampungan karbon (carbon pool) disesuaikan dengan tingkat kedetilannya (Tier) dengan melakukan inventarisasi di lapangan yang mencakup: biomassa atas tanah (aboveground biomass), nekromas (dead wood), akar (belowground biomass), serasah (litter), dan karbon tanah (soil carbon).
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 10
Perubahan cadangan karbon pada setiap kategori lahan diduga pada seluruh strata atau bagian dari lahan (contoh: zona iklim, tipe ekologi, manajemen regim) yang telah ditentukan sebagai kategori penggunaan lahan. Perubahan cadangan karbon pada stratum diduga dengan mempertimbangkan proses-proses siklus karbon pada kelima pool karbon. Perkiraan perubahan pool karbon dan fluks bergantung pada ketersediaan data model yang digunakan, sumberdaya, dan kemampuan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi.
Komponen penting dalam inventarisasi GRK adalah data aktivitas (activity data) dan faktor emisi/serapan (emission/removal faktor). Secara umum data aktivitas adalah informasi sejauh mana suatu kegiatan yang dilakukan manusia berlangsung (IPCC, 2006). Faktor emisi adalah koefisien yang mengkuantifikasi emisi atau serapan per satuan kegiatan (IPCC, 2006). Untuk sektor berbasis lahan termasuk kehutanan, data aktivitas merupakan perubahan luas areal setiap kategori emisi atau serapan, sedangkan faktor emisi/serapan adalah kemampuan mengemisi atau menyerap GRK dari suatu unit/kategori lahan yang dikonversi (misalnya dalam ton CO2/biomas per ha per tahun). Masing-masing data aktivitas dan faktor emisi memiliki tingkat kerincian yang disebut Tier (IPCC, 2006). Tier menggambarkan kompleksitas metodologi yang digunakan. Pilihan dan pendekatan ke-tiga Tier yang terdapat dalam IPCC (2006) ditampilkan pada Tabel 1.
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 11
Tabel 1. Pilihan Pendekatan Data Ak vitas dan Faktor Emisi/Serapan
untuk Masing-masing Tier
Tier Pendekatan untuk menentukan perubahan luas areal (Ac vity Data)
Tingkat kerincian faktor emisi (Emission Faktor) (Tier):
perubahan cadangan karbon
1 Pendekatan Non-spasial: dari data sta s k negara/global berupa gambaran umum perubahan luas hutan.
Memakai data faktor emisi yang diberikan oleh IPCC pada skala global.
2 Menggunakan data temporal dan data spasial resolusi nggi dan data ak vitas yang lebih terpilah.
Data spesifik dari suatu negara (nasional/lokal) untuk beberapa jenis hutan yang dominan atau yang utama.
3 Data ak vitas berasal dari data spasial resolusi nggi yang diambil dalam frekuensi yang lebih nggi yang disertai dengan pengecekan data lapangan dan dipilah hingga ke ngkat sub-nasional.
Data cadangan karbon dari inventarisasi nasional yang diukur secara berkala atau dengan modelling.
Sumber: IPCC, 2006
Jumlah cadangan karbon pada suatu tipe penggunaan lahan berbeda dengan cadangan karbon pada penggunaan lahan lainnya. Bahkan di dalam satu penggunaan lahan pun jumlah cadangan karbon-nya dapat berbeda, tergantung keanekaragaman jenis, kerapatan tumbuhan, laju dekomposisi, jenis tanah, dan pengelolaan lahan (Hairiah et al., 2011). Hal itu dikarenakan perbedaan tutupan lahan meskipun penggunaan lahannya sama. Perubahan tutupan lahan merupakan salah satu indikator yang paling signifikan dari perubahan cadangan karbon dan fluks (Hoover, 2008).
Pengukuran karbon pada tutupan lahan dan lokasi yang berbeda diperlukan untuk memperoleh data faktor emisi/serapan yang bersifat lokal. Semakin banyak pengukuran yang dilakukan maka data yang diperoleh akan lebih spesifik dapat meningkatkan keakuratan hasil perhitungan emisi/serapan. Iklim, komposisi spesies, tingkat ke-suburan tanah, dan sejarah penggunaan lahan berperan penting dalam menentukan kandungan karbon pada suatu vegetasi (Hoover, 2008). Komposisi vegetasi sangat berkaitan erat dengan keragaman cadangan
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 12
karbon di dalam suatu ekosistem, sehingga karakterisasi komposisi vegetasi diperlukan untuk menginformasikan lokasi mana dan kondisi bagaimana suatu persamaan alometrik dibuat (Hoover, 2008).
Beberapa inisiatif untuk memberikan pedoman bagaimana me-lakukan pengukuran biomassa pada suatu areal telah dikembangkan, seperti oleh ICRAF, Projek Kerjasama Merang, dan Wetland International (Hairiah et al., 2011; Manuri et al., 2011; Murdiyarso et al., 2004). Untuk menstandarkan kegiatan pengukuran karbon di lapangan, Badan Standarisasi Nasional telah menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) 7724-2011 yang merupakan pedoman dalam kegiatan pengukuran dan penghitungan cadangan karbon di hutan. Standar ini mengacu pada metode internasional dalam penghitungan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) IPCC 2003 Good Practice Guidance for Land Use, Land Use Changes and Forestry dan IPCC 2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (BSN, 2011). Selain itu juga BSN menyusun SNI 7725-2011 yang merupakan standar penyusunan per samaan alometrik untuk penaksiran cadangan karbon hutan ber-dasarkan pengukuran lapangan (BSN, 2011a). Persamaan alometrik dibangun apabila belum ada persamaan alometrik yang sesuai dengan kondisi biogeografis. Persamaan alometrik dibangun mengambil contoh dengan metode destructive sampling, yaitu menebang pohon yang menjadi contoh pengukuran (BSN, 2011). Pemilihan persamaan alometrik harus mempertimbangkan spesies dan karakteristik lokasi dibangunnya persamaan alometrik di mana kedua komponen tersebut berpengaruh terhadap alometrik yang dibangun (Hoover, 2008).
Berbeda dengan tanah mineral, lahan gambut memiliki kandungan karbon yang sangat besar dan memiliki peran penting dalam fungsi hidrologis, di mana dapat menyimpan air dalam kapasitas sangat besar (Manuri et al., 2011; dan Murdiyarso et al., 2004). Lahan gambut memiliki akumulasi bahan organik yang sangat tinggi dengan tingkat dekomposisi yang rendah. Karbon tanah pada lahan gambut penting untuk diukur dan dipantau karena lahan gambut berpotensi kehilangan gambut yang sangat besar pada saat terjadi kebakaran dan pelapukkan
Bab I Penghitungan Emisi Karbon Hutan 13
(Manuri et al., 2011). Karakteristik gambut yang spesifik memerlukan metode pengukuran karbon yang berbeda dari tanah mineral, inilah yang menjadi dasar pengembangan beberapa metode pengukuran karbon di lahan gambut.
Beberapa proyek kerjasama yang telah mengembangkan metode pengukuran biomassa di lahan gambut, yaitu Wetland International dan proyek Kerjasama GIZ di Hutan Merang Provinsi Sumatera Selatan. Pada dasarnya, pengukuran biomassa di gambut tidak jauh berbeda dengan pengukuran gambut di lahan mineral, hanya saja untuk pengukuran gambut dilakukan pengeboran di beberapa titik untuk mengetahui ketebalan gambut dan tingkat kematangan gambut yang kemudian digunakan untuk mengukur kandungan gambut (Manuri et al., 2011 dan Murdiyarso et al., 2004).
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi
Sektor Kehutanan di Indonesia
A. Status Data Nasional
Inventarisasi GRK memerlukan data aktivitas berupa luas per-ubahan tutupan lahan yang diakibatkan oleh suatu pengelolaan ter-tentu dan data faktor emisi/faktor serapan (IPCC, 2006). Faktor emisi/serapan adalah perubahan cadangan karbon yang diakibatkan oleh suatu aktivitas pengelolaan, diperoleh melalui pengukuran pada lima pool karbon (IPCC, 2006). Sebagaimana telah dijabarkan dalam Tabel 1, bahwa tiap tingkat keakuratan penghitungan emisi memerlukan kerincian data aktivitas dan faktor emisi yang berbeda-beda. Dilihat dari tingkat pendekatan perolehan data, untuk data aktivitas bidang kehutanan Indonesia telah memiliki data spasial yang berasal dari kegiatan penafsiran citra satelit
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 16
Pada awalnya Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Ke-menterian Kehutanan melakukan penafsiran perubahan tutupan lahan untuk memantau kondisi penutupan lahan terbaru pada kawasan hutan di daratan Indonesia (meliputi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi) dan areal penggunaan lahan lainnya akibat berbagai kegiatan terutama akibat pengelolaan hutan (Departemen Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, 2008). Data tutupan lahan ini digunakan sebagai bahan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan secara lestari mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi (Departemen Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, 2008 Sejalan dengan berkembangnya isu perhitungan emisi maka hasil kegiatan pengamatan perubahan tutupan lahan dapat menjadi sumber data kegiatan, yang merupakan salah satu komponen dalam penghitungan emisi (IPCC, 2006).
Selain data aktivitas yang diperoleh dari hasil penafsiran citra satelit, data pendukung lainnya yang dapat digunakan untuk men-justifikasi hasil penafsiran sehingga dapat ditentukan kebijakan apa yang harus diambil untuk menurunkan emisi dan meningkatkan serapan karbon hutan dalam kerangka skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Sebagai contoh, data penanaman yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS PS) merupakan data peningkatan serapan yang dapat mendukung bertambahnya tutupan hutan. Tantangan dalam penyediaan data aktifitas yang akurat dan terkini ialah bagaimana mengintegrasikan data hasil penafsiran citra satelit dengan data pendukungnya dan bagaimana menyiapkan data aktivitas tersebut dalam waktu yang cepat.
Pentingnya faktor emisi/faktor serapan (FE/FS) tingkat lokal sudah disebutkan oleh berbagai pihak (Murdiyarso, 2006; IPCC, 2006). Saat ini belum banyak data default value FE/FS tingkat lokal yang tersedia. Indonesia telah melakukan kegiatan Inventarisasi Hutan Nasional atau National Forest Inventory (NFI) sejak tahun 1989, hingga kini kegiatan tersebut masih berlangsung secara berkala. Data pengukuran
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 17
lapangan dari NFI dapat menjadi salah satu sumber bagi data faktor emisi/serapan (Ruslandi, 2012). Namun demikian, untuk dapat menjadi data faktor emisi/serapan diperlukan konverter agar data di bawah permukaan juga dapat tercakup (data NFI hanya mencakup volume di atas permukaan tanah saja). Untuk dapat mengkonversi data volume menjadi cadangan karbon maka diperlukan faktor biomassa dan faktor peubah karbon. Lebih jauh lagi, untuk dapat merepresentasikan lima pool karbon, diperlukan data cadangan karbon dari pool karbon lainnya (tumbuhan bawah, semai, kayu mati/nekromas, dan tanah).
Penggunaan faktor emisi lokal akan meningkatkan akurasi peng-hitungan emisi yang dihasilkan. Dengan status data yang masih ter-batas di tingkat nasional, terutama data faktor emisi/ serapan lokal untuk mengisi gap data maka perlu dilakukan pembangunan PSP yang memang ditujukan untuk pengukuran biomassa/karbon dan pe-mantauan pertumbuhan. Beberapa kegiatan penelitian telah dilakukan baik oleh lembaga pemerintah (Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian), lembaga penelitian inter-national (CIFOR, ICRAF), dan LSM internasional (WWF, Conservation International, The Nature Conservancy).
Beberapa elemen yang harus dimiliki untuk menjalankan REDD+ sesuai dengan ‘Kerangka Warsawa untuk REDD+’ di antaranya harus dapat menunjukkan pengurangan emisi yang terukur, terlaporkan, dan terverifikasi sehingga harus memiliki mekanisme MRV. Dalam hal ini, yang menjadi fokus MRV hanyalah unsur karbon.
Peran sistem MRV dalam REDD+ adalah untuk proses marketing, produksi, dan distribusi. Sistem MRV dalam proses marketing bertujuan agar hasil penghitungan karbon yang kita lakukan dapat dipercaya di dalam dan di luar negeri sehingga pendanaan untuk REDD+ dapat berkelanjutan. Hasil penghitungan tersebut harus kredibel, transparan, berdasarkan good science, dan sesuai dengan kerangka kebijakan yang berlaku. Dalam proses produksi, sistem MRV harus dapat menghasilkan angka-angka 1) data aktivitas (activity data) pada masing-masing
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 18
sumber emisi dan penyerapannya; 2) faktor emisi (emission faktor) dan faktor serapan lokal dengan biaya transaksi minimum. Pada proses distribusi manfaat REDD+, sistem MRV harus dapat mengkalkulasi data emisi di tingkat Nasional, Sub-Nasional, dan Proyek/Kegiatan/Program dengan kedetailan yang sesuai dengan konsep Tier.
Sistem MRV sesuai IPCC Guideline 2006 harus mencakup lima hal, yakni consistency, completeness, comparability, transparency, dan accuracy. Untuk mencapai lima hal tersebut, ada beberapa prasyarat sistem MRV yang harus dipenuhi, yaitu: 1) khas (salience), harus sesuai antara yang diperlukan dan yang dilakukan/dihasilkan dalam hal akurasi hasil pada tingkat yang berbeda-beda dan layak dalam hal proses-waktu-sumberdaya (process-timing-resource feasibility); 2) dapat dipercaya (credibel), harus mengacu pada metode yang baik dan benar, diterima secara ilmiah berdasarkan teknologi terbaik yang ada dengan biaya paling rendah untuk menjawab apa yang diperlukan, dengan jaminan kualitas/kontrol kualitas (quality assurance/quality control); 3) sah (legitimate), harus dilakukan oleh lembaga yang diberi legitimasi oleh pihak yang berwenang untuk melakukan kegiatan MRV serta mempertanggungjawabkan hasil dan proses verifikasi dari pihak-pihak berwenang.
Berkaitan dengan kehutanan, prinsip MRV diterapkan untuk mengumpulkan data setiap jenis hutan dan penutupan hutan serta besaran kandungan karbon yang terdapat di dalamnya, yang berbeda-beda untuk setiap tipe hutan. Metode yang disarankan IPCC untuk kegiatan seperti ini adalah 1) Monitoring melalui citra satelit untuk memantau perubahan tipe hutan yang ada; 2) Melaksanakan Inventarisasi Hutan Nasional untuk mengetahui kandungan karbon di setiap tipe hutan yang ada di seluruh Indonesia.
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 19
B. Pembangunan Plot Sampel Permanen
Plot Sampel Permanen atau Permanent Sample Plot (PSP) adalah areal dengan tanda batas yang jelas dalam suatu petak ukur berbentuk persegi panjang/bujur sangkar/lingkaran dengan ukuran tertentu yang digunakan untuk pengumpulan dan pemantauan data secara permanen dan kontinyu. Tujuan pembangunan PSP disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, antara lain untuk mengukur regenerasi hutan, mengetahui struktur tegakan, komposisi spesies hutan, dan data kuantitatif pertumbuhan hutan yang dapat dikaitkan dengan sejarah lahan (Priyadi et al. 2006). Di bidang pengelolaan hutan, PSP dibangun untuk menjamin kelestarian pemanfaatan hasil hutan, di mana hasil hutan yang dipanen didasarkan pada riap pertumbuhan dan pemantauan terhadap sediaan tegakan hutan (standing stock) yang dilakukan secara berkala dan menyeluruh (Purnomo et al. 2006). Pengukuran PSP secara berkala menjadi dasar penentuan jumlah kayu yang diproduksi pada suatu unit manajemen.
Sejalan dengan berkembangnya isu perubahan iklim, saat ini banyak permintaan data PSP untuk kegiatan serapan karbon. Data PSP digunakan sebagai data untuk faktor emisi/serapan yang nantinya digunakan dalam perhitungan emisi/serapan, baik pada skenario baseline maupun skenario mitigasi. Penghitungan yang didasarkan pada data hasil pengukuran PSP secara berkala dalam jangka waktu yang panjang akan meningkatkan kredibilitas hasil penghitungan (Murdiyarso, 2006).
Data PSP bersifat spesifik di mana pertumbuhan tegakan di suatu tempat akan berbeda dengan di tempat lain. Hasil penelitian Priyadi et al. (2006), menghasilkan bahwa pengukuran pada beberapa tegakan di Malinau, Provinsi Kalimantan Timur, memberikan hasil yang berbeda di mana riap diameternya bervariasi, untuk jenis dipterokarpa dari 0,35 – 0,62 cm per tahun dan 0,24 – 0,39 cm per tahun untuk jenis non
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 20
dipterokarpa. Tiap lokasi bersifat spesifik sehingga pembangunan PSP pada berbagai lokasi untuk memperoleh hasil perhitungan biomassa pada skala nasional sangat direkomendasikan (Wagner et. al., 2010).
Tujuan kegiatan pembuatan PSP adalah untuk menduga potensi karbon, biomassa di atas permukaan, biomassa di bawah permukaan, tumbuhan bawah, serasah, nekromass, dan tanah organik di berbagai tipe tutupan lahan di Indonesia. Dalam konteks MRV, data yang diperoleh dari PSP adalah untuk mendapatkan informasi mengenai simpanan karbon pada berbagai tipe tutupan lahan dan juga pengalaman di dalam penerapan metode pengukuran serta penghitungan cadangan karbon hutan di lapangan sesuai dengan SNI 7724:2011.
Manfaat non-karbon yang lazim dikenal dengan singkatan NCBs (non-carbon benefits) muncul akibat berbagai isu yang menjadi prioritas bagi komunitas di tingkat tapak, termasuk pengakuan hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam. NCBs sendiri dapat diartikan sebagai keluaran positif terkait aspek sosial, lingkungan, dan tata kelola yang timbul dari pelaksanaan REDD+. Terkait definisi, NCBs didefinisikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, perlindungan keaneka-ragaman hayati, dukungan terhadap adaptasi, dan mengatasi pen-dorong deforestasi. Dalam kebijakan REDD+ di Indonesia, yang ter-
masuk manfaat non-karbon, yaitu: keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, penghidupan masyarakat, dan hak-hak masyarakat adat. Belum dihasilkan aspek metodologi untuk manfaat non-karbon ini.
Nilai penyimpanan karbon dari sebuah hutan secara esensial tergantung pada pohon-pohon yang ada didalamnya melakukan fotosintesis dan menyimpan karbon. Spesies tumbuhan yang berbeda lebih efisien dalam menyerap dan menyimpan karbon dari atmosfer. Secara umum, pohon-pohon yang besar dan tumbuh lambat dengan kepadatan kayu yang tinggi cenderung menyimpan karbon terbanyak dalam jangka panjang. Ketika pohon seperti itu mati, banyak karbon yang tersimpan di dalamnya akan dilepaskan kembali ke atmosfer.
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 21
C. Plot Sampel Permanen untuk Pendugaan Biomassa
Pengukuran cadangan karbon dapat dilakukan melalui peng-ukur an langsung di lapangan dan/atau memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Untuk memperoleh data cadangan karbon dan perubahannya dengan pengukuran langsung di lapangan perlu di-bangun PSP yang dapat mereprentasikan dinamika pertumbuhan biomassa dari berbagai penggunaan lahan, khususnya hutan (Murdiyarso, 2006).
Plot Sampel Permanen dapat digunakan untuk mengukur regenerasi hutan, mengetahui struktur tegakan, komposisi spesies hutan, dan data kuantitatif pertumbuhan hutan yang dapat dikaitkan dengan sejarah lahan (Priyadi et al., 2006). Untuk pengelolaan hutan awalnya PSP banyak dibangun untuk mengetahui riap pertumbuhan yang nantinya digunakan untuk mengatur hasil hutan kayu/tegakan hutan yang tepat dan akurat (Purnomo et al., 2006). Pengukuran PSP secara berkala menjadi dasar penentuan besarnya kayu yang diproduksi pada suatu unit manajemen. Sejalan dengan berkembangnya isu perubahan iklim, saat ini telah terjadi permintaan data terhadap PSP untuk kegiatan serapan karbon. Data dari PSP digunakan sebagai data untuk faktor emisi/serapan yang nantinya digunakan dalam perhitungan emisi/serapan ,baik pada skenario baseline maupun skenario mitigasi.
Pengamatan jangka panjang pada PSP tidak hanya meliputi data pertumbuhan dan riap yang menjadi data dasar bagi model pertumbuhan jenis. Selama jangka waktu yang panjang tersebut, perubahan kualitas dan kuantitas pohon dikaji secara berulang dalam plot yang sama sehingga mendapatkan tabel riap. Selain itu, dalam PSP juga dapat diamati dan dikaji ekologi dan biodiversitas dalam suatu tegakan (Newton, 2007). Studi ekologi dan biodiversitas tersebut meliputi analisa vegetasi, dinamika hutan, siklus hara, fenologi, etnobotani, dan preferensi habitat satwa (2006; Meijaard et al., 2005). Penelitian dan kajian tersebut membutuhkan waktu pengamatan
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 22
yang cukup lama dan dilakukan secara kontinyu. Oleh karena itu, keberadaan PSP akan menjamin keberlangsungan penelitian sehingga mendapatkan data dan informasi yang menyeluruh.
Pengukuran cadangan karbon tersimpan ini menunjukkan hasil beragam pada berbagai tipe penutupan lahan. Perbedaan cadangan karbon tersimpan juga ditunjukkan pada tipe penutupan lahan yang sama di lokasi yang berbeda. Perbedaan itu dapat dipengaruhi oleh struktur vegetasi dan aktivitas manusia (silvikultur atau pemanenan) serta degradasi dan bencana alam (Sutaryo, 2009).
Dengan menggunakan pendekatan persamaan alometrik yang di kembangkan oleh Siregar dan Dharmawan (2009), Chave et al. (2005) dan Ketterings et al. (2001), maka diperoleh biomassa karbon di masing-masing lokasi penelitian plot monitoring karbon hutan FCPF untuk setiap pool karbon. Data setiap PSP tersebut dapat menjadi dasar untuk pembuatan model pertumbuhan dan penentuan kualitas lingkungan untuk menentukan pengelolaan hutan selanjutnya. Kemudian, diperlukan penambahan pembangunan plot selanjutnya untuk mendukung kebutuhan data yang dapat menjelaskan kondisi saat ini dan prediksi perubahan yang akan terjadi di masa akan datang. Pembangunan plot penelitian tambahan ini harus didasarkan pada strategi pengambilan plot, contoh yang optimal dengan menggunakan informasi dari plot sebelumnya yang sudah ada.
1. Perbandingan beberapa persamaan alometrik
Allometry merupakan evolusi morfologi makhluk hidup yang di-dasari hubungan antara ukuran dari makhluk hidup dengan ukuran salah satu bagian makhluk hidup tersebut. Persamaan alometrik yang digunakan untuk pendugaan kandungan biomassa atau karbon merupakan hubungan antara salah satu parameter pohon, misalnya diameter atau tinggi, dengan jumlah total biomassa atau karbon yang terkandung dalam pohon tersebut (Solichin et al., 2011). Parresol (1999) menyatakan bahwa metode alometrik merupakan metode pengukuran pertumbuhan tanaman yang dinyatakan dalam bentuk hubungan-
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 23
hubungan eksponensial atau logaritma antar organ tanaman yang terjadi secara harmonis dan berubah secara proporsional.
Kittredge (1944) menemukan metode alometrik dalam bentuk formulasi logaritmik. Persamaan alometrik tersebut dibentuk dengan cara menebang pohon per pohon terlebih dahulu, selanjutnya per-samaan yang diperoleh diterapkan pada tegakan pohon yang masih berdiri. Berdasarkan pengalaman para peneliti, diketahui bahwa hasil persamaan alometrik akan akurat apabila variabel bebasnya dinyatakan dalam formulasi volume pohon yang direpresentasikan dalam bentuk D2H (Jones, 1979).
Martin et al. (1998) menyatakan bahwa persamaan alometrik dapat digunakan untuk menghubungkan antara diameter batang pohon dengan variabel yang lain, seperti volume kayu, biomassa pohon, dan kandungan karbon pada tegakan hutan yang masih berdiri (standing stock).
Solichin et al. (2011) mengatakan, bahwa penyusunan persamaan alometrik lokal merupakan kegiatan yang memakan waktu dan biaya serta dilakukan dengan metode destruktif atau dengan cara ditebang. Namun penggunaan persamaan alometrik lokal berdasarkan tipe hutan yang sesuai dapat meningkatkan akurasi pendugaan biomassa. Cara menyusun model biomassa dengan metode destruktif telah dijelaskan dalam beberapa literatur (Pearson, 2005; dan Ravindranath, 2008). Selain itu, prosedur pengembangan alometrik biomassa pohon juga dijelaskan dalam SNI 7725:2011.
Upaya untuk mendapatkan persamaan alometrik lokal yang di-susun dengan metode penebangan dan penimbangan langsung di tipe hutan yang sama merupakan hal yang penting. Hal ini dapat meningkatkan akurasi dan mengurangi tingkat ketidakpastian (uncertainty). Persamaan alometrik yang paling akurat adalah ber-dasarkan spesies pohon. Untuk di hutan tanaman atau di wilayah temperate, hal ini masih memungkinkan, tetapi akan sangat sulit dan memerlukan waktu dan biaya yang besar bila diterapkan di wilayah tropis. Hal itu karena wilayah tropis memiliki ratusan bahkan ribuan
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 24
jenis pohon. Oleh karena itu, beberapa pemilahan persamaan alometrik dibangun berdasarkan atas pemilahan zona iklim (Brown, 1997; dan Chave, 2005), didasari atas kelompok jenis (Basuki et al., 2009; dan Samalca, 2007) atau juga berdasarkan kelompok hutan alam dan sekunder (Solichin dkk., 2011).
Beberapa persamaan alometrik yang telah dihasilkan untuk menduga biomassa pohon di atas tanah (Above Ground Biomassa, AGB), antara lain sebagai berikut.a. AGB = 0,118 D2,53 untuk hutan tropis lembab dengan curah hujan
antara 1500 – 4000 mm per tahun (Brown, 1997);b. AGB = ρ . exp (-1.239 + 1,980 ln(D) + 0,207 (ln(D))2 – 0,0281 (ln(D))3)
untuk hutan basah berdasarkan data hasil penelitian hutan tropis di seluruh dunia (Chave et al., 2005);
c. Ln (AGB) = c + α ln(DBH) berdasarkan penelitian di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, untuk beberapa kelompok jenis Dipterocarpaceae (Basuki et al., 2009);
d. AGB = 0,2902 D2,313 berdasarkan penelitian di Labanan untuk jenis campuran (Samalca, 2007);
e. AGB = 0,1021 D2,517 untuk hutan alam gambut Merang, Provinsi Sumatera Selatan, dengan nilai maksimum diameter 102,9 cm dan dengan jumlah pohon contoh sebanyak 54 pohon (Solichin et al., 2011);
f. AGB = 0,1236 D2,3677 untuk jenis pioneer di hutan gambut Merang, Provinsi Sumatera Selatan, dengan nilai maksimum diameter 35,2 cm dan dengan jumlah pohon contoh sebanyak 22 pohon (Solichin et al., 2011).
Solichin (2011) menyatakan bahwa model atau persamaan alo-metrik biomassa yang biasa digunakan adalah menerapkan diameter, tinggi dan berat jenis sebagai nilai penduga. Namun menggunakan dia-meter sebagai penduga tunggal, biasa digunakan karena relatif lebih mudah dikembangkan dan diterapkan. Di banyak kasus, sangat sulit melakukan pengukuran tinggi pohon pada hutan alam tropis secara
Bab II Kegiatan Pengukuran Emisi Sektor Kehutanan di Indonesia 25
akurat. Jika data input yang digunakan memiliki akurasi yang rendah, maka pendugaan biomassa atau karbon secara total akan mengalami akumulasi bias yang besar. Oleh karena itu, penentuan parameter atau penduga yang akan digunakan perlu disesuaikan dengan situasi yang ada.
Persamaan alometrik biomassa yang dikembangkan oleh Siregar dan Dharmawan (2009), Chave et. al. (2005) dan Ketterings (2001) adalah sebagai berikut.a. Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah untuk hutan lahan
kering berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Dharmawan (2009) dengan rumus, AGB = 0,1728 x DBH 2,2234.
b. Pendugaan biomassa dengan persamaan Chave et al. (2005) untuk tipe hutan lembab (moist forest) dengan rumus, AGB = 0,0509 x ρ x DBH2 x T.
c. Pendugaan biomassa dengan persamaan Ketterings et. al (2001) untuk tipe hutan sekunder campuran dengan rumus, AGB = 0,11 ρ DBH2,62.
Bab III Pembangunan
PSP-PUSPIJAK FCPF
A. Pembangunan PSP untuk Mendukung Data Faktor Emisi/Serapan
Pada tahun 2012, 2013, dan 2014 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) telah membangun sejumlah PSP di lokasi yang tersebar di 12 provinsi, meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembangunan PSP ditujukan untuk melakukan pengukuran biomassa dan karbon hutan yang mencakup 5 pool karbon di 12 provinsi tersebut. Pembangunan PSP untuk pemantauan karbon hutan didorong oleh kebutuhan data yang lebih rinci terkait dengan emisi/serapan karbon hutan dalam pelaksanaan REDD+ di masa yang akan datang. Saat ini data cadangan karbon untuk menghitung faktor emisi/serapan masih terbatas. Pe-
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 28
laksanaan REDD+ memerlukan data dan informasi yang lebih rinci terkait dengan estimasi emisi karbon hutan, sehingga diperlukan pengukuran biomassa yang dilakukan pada berbagai tutupan lahan untuk sektor kehutanan pada berbagai jenis tutupan hutan.
Data tentang cadangan karbon di Indonesia diperlukan dalam pelaporan untuk UNFCCC. Pelaporan harus ditampilkan dalam format carbon balance sehingga akan diperlukan data mengenai (UNREDD, 2009) berikut ini.1. Sediaan karbon (carbon stock) pada waktu tertentu.2. Jumlah emisi (emissions) dan penyerapan karbon (removals) selama
periode tertentu atau perubahan cadangan karbon (carbon stock change) selama periode tertentu.
Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim karena berperan penting dalam siklus biogeokimia, terutama siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% di antaranya tersimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, bila terjadi kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan, dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di atmosfer. Terdapat empat cara utama untuk menghitung biomassa, yaitu 1) sampling dengan pemanenan (Destructive Sampling) secara in-situ; 2) sampling tanpa pemanenan (Non Destructive sampling) dengan pendataan hutan secara in-situ; 3) Pendugaan melalui penginderaan jauh; dan 4) pembuatan model (Sutaryo, 2009).
Pengukuran biomassa dan karbon hutan dilakukan melalui pem bangunan Plot Sampel Permanen (PSP) monitoring karbon hutan. Pendekatan yang digunakan adalah non destructive sampling. Pembangunan PSP monitoring karbon hutan dapat mendukung tersedianya data cadangan karbon dan perubahannya (faktor emisi/serapan) di daerah. Data tersebut akan mendukung implementasi REDD+ suatu daerah di masa yang akan datang. Selain itu, tersedianya data dan informasi tersebut dapat mendukung studi terkait karbon hutan di setiap bioregion di Indonesia.
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 29
Jumlah cadangan karbon antar tutupan lahan berbeda-beda, tergantung pada keanekaragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanah serta cara pengelolaannya. Penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila kesuburan tanahnya baik karena biomassa pohon meningkat, atau dengan kata lain cadangan karbon di atas tanah (biomassa tumbuhan) ditentukan oleh besarnya cadangan karbon di dalam tanah (bahan organik tanah). Untuk itu pengukuran banyaknya karbon yang disimpan dalam setiap lahan perlu dilakukan (Hairiah et al, 2011).
Indonesia memiliki keberagaman ekosistem yang cukup tinggi. Hal itu memberikan pengaruh terhadap cadangan karbon yang di-miliki oleh masing masing tipe ekosistem. Untuk itu diperlukan data dan informasi terkait cadangan karbon pada masing masing ekosistem. Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan (2010) mengungkapkan bahwa kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon tidak sama untuk setiap tutupan hutan, baik di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa maupun di hutan rakyat. Kemampuan hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon ditentukan oleh jenis pohon, tipe tanah, dan topografi. Oleh karena itu, informasi mengenai cadangan karbon dari berbagai tipe hutan, jenis pohon dan jenis tanah, serta topografi di Indonesia sangat penting.
Dalam kerangka kerjasama REDD+ Readiness Preparation: Forest Carbon Partnership Facility, Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) bermitra dengan para pihak di tingkat sub nasional dan telah membangun 263 PSP. Pada tahun 2012 Puspijak telah membangun PSP di 5 (lima) provinsi, yaitu: Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. Selanjutnya, tahun 2013 pembangunan PSP dilaksanakan di 5 (lima) provinsi, yaitu di Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan/Kalimantan Tengah. Pembangunan PSP ini dilanjutkan dengan pembangunan PSP di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli, KHDTK Malili, KHDTK
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 30
Tumbang Nusa, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Gula Raya, dan tiga lokasi di Provinsi Papua Barat (Hutan Alam Tirasai, Hutan Anggresi Manokwari, Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja). Pada tahun 2014 kegiatan dilanjutkan dengan membangun PSP di KPH Sijunjung, tiga lokasi di Provinsi NTT (KPHP Mutis-Timau, Hutan pendidikan, dan Pelatihan Camplong, KHDTK Banamlaat), dan dua lokasi di Provinsi D.I. Yogyakarta (KHDTK Alas Ketu Wonogiri dan KHDTK Watu Sipat Gunungkidul).
Tabel 2. Jumlah dan Tipe Tutupan pada Masing-Masing Lokasi PSP
No. Lokasi PSP Jumlah PSP dan Tipe Tutupan lahanyang Diwakili oleh PSP
1. Hutan Nagari Simancuang, Provinsi Sumatera Barat
15 PSP Hutan sekunder, agroforestry, semak
belukar
2. Pagar Alam, Banyuasin, Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan
12 PSP Hutan alam primer dataran nggi, hutan
alam sekunder dataran rendah, hutan rakyat, hutan alam gambut sekunder
3. Cagar Alam Tangkoko, KPH Poigar, Hutan Lindung Gunung Tumpa, Provinsi Sulawesi Utara
22 PSP Hutan pantai, hutan dataran nggi, hutan
dataran rendah, hutan lumut
4. HKm Santong, KHDTK Rarung, Hutan Mangrove Jerowaru, Provinsi Nusa Tenggara Barat
33 PSP HKm, KHDTK, dan hutan mangrove
5. KPHP Wae Kawa, HKm Murnaten, Provinsi Maluku
12 PSP Hutan alam primer dan hutan sekunder
6. KHDTK Aek Nauli, Provinsi Sumatera Utara
15 PSP Hutan pinus, hutan sekunder 1200
mdpl, semak dan belukar, hutan primer ke nggian 1400 mdpl, hutan primer ke nggian 1600 mdpl.
7. KHDTK Tumbang Nusa, Provinsi Kalimantan Tengah
18 PSP Semak belukar kedalaman gambut 3 – 3,5
m, hutan sekunder kedalaman gambut 3 – 3,5 m, hutan sekunder kedalaman gambut 4 – 5 m.
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 31
No. Lokasi PSP Jumlah PSP dan Tipe Tutupan lahanyang Diwakili oleh PSP
8. KHDTK Malili, Sulawesi Selatan 9 PSP Ht sekunder ke nggian 0-100 mdpl, ht
sekunder ke nggian 100-200 mdpl, hutan sekunder ke nggian 200-300 mdpl.
9. KPH Gula Raya, Provinsi Sulawesi Tenggara
15 PSP Hutan Primer, hutan sekunder, hutan
mangrove
10. Hutan alam Tirasai, Hutan Anggresi Manokwari, Hutan Taman Wisata Alam Gunung meja, Provinsi Papua Barat
15 PSP Hutan lahan kering primer dataran
rendah, hutan tanaman, hutan lahan kering sekunder, semak belukar.
11. KPH Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat 33 PSP Hutan lahan kering primer, hutan lahan
kering sekunder, kebun, dan semak belukar.
12. KHDTK Alas Ketu Wonogiri, KHDTK Watu Sipa Gunungkidul, provinsi Jogyakarta
39 PSP Hutan tanaman F1, F2, uji provenance,
hybrid dan uji klon (Akasia, jabon, ja , pulai gading, E. Pellita).
13. KPH Mu s-Timau, Hutan Diklat Camplong, KHDTK Banamlaat, Provinsi Nusa Tenggara Timur
25 PSP Hutan lahan kering primer, Hutan lahan
kering sekunder, savana, hutan tanaman cendana, hutan tanaman campuran, hutan tanaman cemara gunung, hutan Eucalyptus sp.
Pada tahun 2013 dan 2014 pembangunan PSP diarahkan pada areal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Hal itu dimaksudkan untuk mendukung pembangunan kehutanan yang diarahkan melalui KPH. Alasan dipilih-nya KHDTK ialah agar keberlangsungan pengelolaan PSP setelah proyek kerjasama selesai akan lebih terjamin karena pengelolaan KHDTK dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 32
B. Pelibatan Para Pihak dalam Pembangunan PSP
Keberlanjutan pengelolaan PSP untuk monitoring karbon hutan yang telah dibangun membutuhkan koordinasi yang baik di antara stakeholder yang terlibat. Koordinasi yang baik di antara stakeholder akan menjadi kerangka mendasar untuk membantu pencapaian tujuan pembangunan PSP. Menurut Demmallino (2005), stakeholders merupakan pihak-pihak yang berkepentingan mencakup orang (per-orangan, kelompok, komunitas yang terkena dampak), lembaga/badan (legislatif/eksekutif), sektor swasta, perguruan tinggi, dan pemerhati (NGO/LSM, Yayasan Dakwah dsb).
Pembangunan PSP melibatkan para pihak yang berkepentingan terhadap hutan. Pelibatan para pihak dalam pembangunan PSP untuk pemantauan karbon hutan menjadi salah satu alternatif untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat, mengenai fungsi PSP dalam perhitungan emisi/serapan karbon di sektor kehutanan. Pelibatan stakeholder terkait lainnya termasuk di dalamnya masyarakat dimungkinkan untuk dilakukan, karena berdasarkan kajian Brodfelt et al. (2014) pemantauan biomassa yang dilakukan oleh masyarakat lokal tidak berbeda nyata dengan yang dilakukan oleh rimbawan profesional dengan syarat masyarakat lokal diberikan keterampilan untuk mengukur biomassa dengan metode sederhana yang diterapkan secara benar dan konsisten.
Selain itu juga, diharapkan dengan pelibatan para pihak akan lebih banyak pihak yang akan menjaga keberlangsungan PSP yang telah dibangun. Para pihak yang berada di provinsi maupun kabupaten akan menyadari bahwa mereka memerlukan data PSP yang berkelanjutan, sehingga diharapkan mereka dapat mendanai pembangunan/pemelihara PSP yang selama proyek berlangsung di-danai dari kerjasama FCPF-Puspijak.
Dalam pembangunan PSP para pihak yang terlibat meliputi per-guruan tinggi, unit pelaksana teknis Kementerian Kehutanan yang berada di daerah, LSM, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, nagari), unit
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 33
pengelola hutan (Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH), dan masyarakat sekitar hutan. Keterlibatan para pihak terkait dalam pembuatan dan pengelolaan PSP diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan dari pembangunan PSP. Demmallino (2014) menyatakan, bahwa keterlibatan para pihak memiliki beberapa manfaat, di antaranya dapat mengidentifikasi isu, kebutuhan dan keinginan para pihak; membagi pengetahuan teknik lokal; meningkatkan pengetahuan; memberikan dukungan terus-menerus pada berjalannya proyek; serta membantu evaluasi pelaksanaan program/kegiatan.
Pelibatan stakeholder dalam pembuatan dan pengelolaan PSP dilaksanakan sejak penentuan lokasi PSP. Penentuan lokasi tersebut sekaligus menentukan pihak yang akan bertanggung jawab yang kemudian dikoordinasikan oleh satu wali data pada tiap provinsi. Koordinasi yang dilaksanakan pada awal pembuatan PSP untuk monitoring karbon hutan bertujuan untuk mengidentifikasi isu, kebutuhan dan keinginan para pihak yang terlibat. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian memerlukan keberadaan PSP untuk mendukung kegiatan penelitian dan bahan ajar di bidang cadangan karbon hutan. Keterlibatan peneliti pada lembaga penelitian kehutanan pusat (Balai Penelitian Kehutanan) dan peneliti pada perguruan tinggi membantu dalam transfer teknologi.
Dengan kewajiban bahwa setiap pemerintah daerah untuk me-lakukan inventarisasi GRK maka faktor emisi/serapan menjadi sangat penting. Pemerintah daerah memerlukan data PSP untuk peng-hitungan emisi/serapan di wilayahnya. Tingkat akurasi perhitung an emisi/serapan yang menggunakan faktor emisi/serapan lokal akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perhitungan menggunakan faktor emisi/serapan default IPCC atau pun faktor emisi/serapan skala nasional.
Pelibatan masyarakat lokal dalam pembangunan PSP monitoring karbon hutan dapat dipergunakan sebagai sarana berbagi pengetahuan dan meningkatkan pemahaman masyarakat terkait peranan hutan dalam perubahan iklim. Keberadaan PSP juga dapat digunakan
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 34
sebagai sarana untuk mensosialisasikan metode pengukuran karbon yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal dapat ikut membantu dalam pemantauan dan penjagaan keamanan PSP yang berada di wilayahnya. Dengan dilibatkannya masyarakat dari awal pembangunan PSP maka diharapkan akan tumbuh rasa memiliki terhadap PSP yang dibangun sehingga mereka memiliki perhatian dan rasa tanggung jawab untuk turut serta menjaga keberadaan PSP-PSP tersebut.
Penanggung jawab pengelolaan PSP untuk monitoring karbon hutan di daerah memiliki beberapa pilihan, yaitu Pokja REDD+, Bappeda, BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan), Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi. Sementara itu, yang bertanggung jawab dalam hal Sistem Monitoring Karbon Hutan (SMKH) di daerah adalah Pokja REDD+, Bappeda dan Dinas Kehutanan Provinsi. Para pihak yang terlibat pada pembangunan PSP di masing-masing lokasi berbeda, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Para Pihak yang Terlibat Pada Masing-masing Lokasi PSP
No. Lokasi PSP Tahun Pembangunan PSP
Para Pihak yang Terlibat
KHDTK Aek Nauli, Provinsi Sumatera Utara
2013 Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli.
Hutan Nagari Simancuang, Provinsi Sumatera Barat
2012 Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli, Nagari, masyarakat Jorong Siman-cuang Nagari Alam Pauh Duo, Dinas Kehutanan Kabupaten Solok Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat.
KPH Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat
2014 KPH Sijunjung, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli.
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 35
No. Lokasi PSP Tahun Pembangunan PSP
Para Pihak yang Terlibat
Hutan Lindung Gunung Dempo, KHDTK Kemampo, Hutan Rakyat Bambang Lanang Kabupaten Empat Lawang, PT REKI Musi Banyuasin, Hutan Gambut Alam Sekunder Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan
2012 Balai Peneli an Kehutanan Palem-bang, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan.
KHDTK Tumbang Nusa, Provinsi Kalimantan Tengah
2013 Balai Peneli an Kehutanan Banjarbaru.
KHDTK Alas Ketu Wonogiri, KHDTK Watu Sipat Gunungkidul, Provinsi Jogyakarta
2014 Balai Besar Peneli an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
HKm Santong, KHDTK Rarung, Hutan Mangrove Jerowaru, Provinsi Nusa Tenggara Barat
2012 Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
KPH Mu s-Timau, Hutan pendidikan dan pela han Camplong, KHDTK Banamlaat, Provinsi Nusa Tenggara Timur
2014 Balai Peneli an Kehutanan Kupang, Balai Diklat Kehutanan Kupang, Kesatuan Pengelolaan Hutan Mu s-Timau
Cagar Alam Tangkoko, KPH Poigar, Hutan Lindung Gunung Tumpa, Provinsi Sulawesi Utara
2012 Balai Peneli an Kehutanan Manado, Kesatuan Pengelolaan Hutan Poigar, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
KHDTK Malili, Provinsi Sulawesi Selatan
2013 Balai Peneli an Kehutanan Makasar
KPHP Gula Raya, Provinsi Sulawesi Tenggara
2013 KPHP Gula Raya
KPHP Wae Kawa, HKm Murnaten, Provinsi Maluku
2012 Universitas Pa mura
Hutan Alam Tirasai, Hutan Anggresi Manokwari, Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja, Provinsi Papua Barat
2013 Balai Peneli an Kehutanan Manokwari
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 36
C. Pembangunan Database Cadangan Karbon
Pembangunan PSP ini memerlukan tindak lanjut penanganan data dan pemantauannya agar keberlangsungannya dapat terpelihara. Untuk mendukung pengelolaan data karbon hutan pada PSP yang telah dibangun di beberapa daerah, diperlukan upaya penyelarasan semua data hasil pengukuran biomassa dan karbon hutan di tingkat provinsi dalam suatu sistem yang terkomputerisasi. Sistem yang terkomputerisasi akan memudahkan pelaksanaan pemantauan dan pemutakhiran data secara berkala oleh masing-masing penanggung jawab data di tiap provinsi.
Pada tahun 2013 telah dikembangkan suatu database cadangan karbon berbasis web untuk mendukung penyediaan faktor emisi dengan tujuan untuk mengumpulkan semua data PSP dalam suatu wadah (Gambar 1). Database cadangan karbon dibuat berbasis web dengan tujuan memudahkan inventarisasi, pengawasan, dan tindak lanjut nya. Pengembangan data berbasis web akan memudahkan para pengelola PSP di daerah untuk memutakhirkan data secara langsung.
Pada awalnya, database cadangan karbon hanya dapat diakses oleh administrator yang berada di Puspijak dan para pengelola data di daerah. Dalam penyediaan faktor emisi/faktor serapan yang dapat diakses umum, pada tahun 2014 dibuatlah modul database untuk umum. Modul database publik ini memiliki aksesibilitas yang berbeda dengan modul yang dirancang untuk moderator dan pengelola data, di mana akses publik hanya dapat melihat data yang ada di dalam database tanpa dapat mengubah atau pun memasukkan data. Diharapkan dengan dapat diaksesnya database karbon maka data cadangan karbon yang terdapat di dalamnya dapat digunakan secara luas bagi pihak-pihak yang membutuhkan data cadangan karbon. Tampilan database awal dan database yang sudah menyediakan modul publik dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 37
a. Tampilan Awal Modul Pengelola
b. Tampilan Awal Modul Publik(h p://puspijak.org/karbon/login)
Gambar 1. Tampilan Awal Modul Pengelola dan Modul Publik
Pada modul publik terdapat delapan sub modul yang terdiri dari beranda, statistik, profile, bantuan, kontak kami, tanya-jawab, pen-carian, dan legenda peta. Pengguna database dapat melakukan pen-carian dengan memilih kategori-kategori di sub modul pencarian. Apabila pengguna database melakukan pencarian maka sebelum hasil pencarian ditampilkan pengguna terlebih dahulu harus mengisi data
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 38
pengunjung yang ditujukan agar administrator dalam hal ini Puspijak mengetahui siapa saja yang telah melakukan pencarian di database cadangan karbon hutan. Mode pencarian dari kategori informasi yang ingin ditampilkan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
a. Sub Modul Pencarian
b. Format Data Pengunjung yang Harus Diisi Pengguna Database agar Hasil Pencarian Dimunculkan
Gambar 2. Proses Pencarian Data Pada Modul Publik
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 39
Sedangkan hasil pencarian akan ditampilkan dalam bentuk lokasi PSP di dalam peta dan tabel yang berisi data plot dan cadangan karbon hutan, seperti ditampilkan pada Gambar 3 berikut ini.
a. Tampilan Hasil Pencarian Modul Publik dalam Bentuk Lokasi PSP
b. Tampilan Hasil Pencarian Modul Publik dalam Bentuk Data Plot dan Cadangan Karbon Hutan
Gambar 3. Tampilan Hasil Pencarian Modul Publik
Perkembangan kesiapan REDD+ di Indonesia berdasarkan proses negoisasi internasional membutuhkan dukungan materi terkait dengan pengenalan konsep National Forest Monitoring System (NFMS) yang termonitor, terukur, dan terverifikasi. Komitmen Indonesia untuk me nurunkan emisi memberikan dampak terhadap berbagai sektor
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 40
salah satunya, yaitu kehutanan. Menurut IPCC (2006), upaya pe-nurunan emisi (mitigasi) harus dilakukan secara termonitor, terukur, dan terverifikasi. NFMS merupakan sistem yang dikembangkan untuk memonitor kondisi sumberdaya hutan secara berkesinambungan yang handal dan transparan untuk mendukung MRV dalam mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan. Database cadangan karbon hutan yang telah dibangun dapat berkontribusi terhadap NFMS Indonesia yang saat ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
D. Pelatihan Pembangunan PSP dan Operasionalisasi Database Stok Karbon
Penghitungan karbon di Indonesia mengalami perkembangan penting dengan ditetapkannya standar pengukuran dan penghitungan cadangan karbon di lapangan, serta standar penyusunan persamaan alometrik. Kedua standar tersebut dikenal dengan SNI 7724 tahun 2011 tentang Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon-Peng ukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting) dan SNI 7725 tahun 2011 tentang Standar Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan Berdasar Pengukuran Lapangan. Kedua standar tersebut berlaku secara nasional.
Standar yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan SNI 7724:2011 ini adalah Keputusan COP-15 tentang arahan metodologi REDD+ (Dec.4/CP-15), IPCC 2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, dan IPCC 2003 Good Practice Guidance for Land Use, Land Use Changes and Forestry. Standar ini menerangkan tentang metode pengukuran dan penghitungan karbon hutan dan dapat diterapkan pada semua tipe hutan.
Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung pembangunan dan pengelolaan PSP untuk monitoring karbon hutan dilaksanakan melalui beberapa metode. Metode tersebut di antara-
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 41
nya adalah melalui pelatihan, alih teknologi, dan asistensi langsung oleh para peneliti karbon hutan dari Badan Litbang Kehutanan. Pe-ningkatan kapasitas melalui berbagai metode tersebut dirasa perlu untuk mempersiapkan daerah dalam pelaksanaan mekanisme REDD+ di masa yang akan datang.
Pembangunan PSP memerlukan teknik dan keterampilan khusus terkait inventarisasi dan pengukuran biomassa. Para pihak yang terdiri dari berbagai latar belakang memerlukan penguatan kapasitas dalam pembangunan PSP dan pengukuran biomassa serta proses penghitungannya. Untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam pengelolaan PSP maka dilakukan pelatihan sebelum kegiatan dimulai. Pelatihan Training of Trainers (ToT) Teknik Penghitungan dan Pengawasan Karbon Hutan Nasional dilaksanakan di Bogor, pada tanggal 29-31 Oktober 2012. Hari pertama dan hari kedua sesi pagi diisi dengan pemberian materi di dalam kelas, sedangkan hari kedua sesi siang diisi dengan praktik di lapangan yang dilakukan di Hutan Penelitian Dramaga Bogor.
Pelatihan menjadi sarana peningkatan kapasitas sumberdaya manusia terkait dengan perubahan iklim, pengukuran biomassa/karbon bagi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan PSP untuk monitoring karbon hutan di daerah. Tersedianya sumber daya manusia yang memiliki kapasitas dan pengetahuan tersebut akan menjadi modal penting bagi daerah dalam pengelolaan PSP untuk monitoring karbon hutan secara berkelanjutan.
ToT dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga penghitung karbon kredibel yang berasal dari para pihak di daerah, serta menguasai metode penghitungan karbon yang sudah distandarkan dan dipraktikan di lapangan. Penyelenggaraan ToT bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan para pihak di daerah terhadap perkembangan isu perubahan iklim dan implementasi program REDD+, khususnya terkait dengan penghitungan cadangan karbon dan monitoring perubahan stok; memberikan pengetahuan terkait teknik penyusunan baseline yang dapat mendukung kegiatan
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 42
MRV; meningkatkan pemahaman para pihak di tingkat daerah dalam perhitungan dan monitoring cadangan karbon hutan dan sekaligus memberikan landasan awal bagi para pihak dalam menentukan baseline dan melaksanakan MRV di tingkat daerah.
Peserta ToT berasal dari berbagai pihak di 5 (lima) provinsi yang telah ditetapkan yaitu Dinas Kehutanan Provinsi dan Bappeda Provinsi (Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan Nusa Tenggara Barat), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan, Wilayah II Palembang, Wilayah VI Manado, Wilayah VIII Denpasar, dan Wilayah IX Ambon, Fakultas Kehutanan IPB dan Widyasiswara Pusdiklat Bogor. Gambaran kegiatan peningkatan kapasitas terkait metode penghitungan karbon dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 43
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4. Pela han bagi pela h (Training of Trainers) pengukuran karbon hutan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para pihak pengelola PSP
di daerah, (a) dan (b) Pembekalan materi di dalam kelas, (c) dan (d) Prak k pengukuran karbon di lapangan (Hutan Peneli an Dramaga Bogor).
Materi ToT merupakan pengetahuan dasar yang perlu dimiliki oleh para tenaga penghitung karbon di daerah, yaitu metode pembangunan PSP untuk pengukuran karbon hutan dengan menggunakan SNI 7724:2011 (Standar pengukuran dan penghitungan cadangan karbon–pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan/ground based forest carbon accounting). Selain materi terkait teknis pembangunan PSP, diberikan juga materi terkait pemetaan tutupan hutan dan
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 44
monitoring perubahan tutupan hutan, penentuan faktor emisi/serapan, pendekatan dan metodologi penyusunan Reference Emission Level (REL), penerapan prinsip Measurement, Reporting and Verification (MRV) pada NFMS, dan perkembangan kesiapan REDD+ di Indonesia berdasarkan proses negoisasi internasional. Melalui pemberian materi tersebut, diharapkan peserta akan dapat memahami perkembangan REDD+ di Indonesia dan di dunia, internalisasinya dalam perumusan kebijakan di Indonesia, serta untuk penjabaran REDD+ dalam praktik pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Pada materi pelatihan dipaparkan kilas balik negoisasi REDD+ dalam perundingan UNFCCC dimulai sejak tahun 1990 (Rio Summit) hingga hasil dari negoisasi Doha yang mengangkat isu NFMS dan isu penerapan MRV. Kilas balik tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Tersedianya data dan informasi terkait dengan REL/RL yang valid mutlak diperlukan pendukung sistem MRV. Oleh karena itu, untuk mendukung tersedianya data yang valid diperlukan pemantauan karbon hutan yang berkelanjutan.
Gambar 5. Kilas Balik Negoisasi REDD+ dalam Perundingan UNFCCC (Sukadri, 2012)
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 45
Peningkatan kapasitas SDM di daerah tempat lokasi pembuatan PSP dilaksanakan melalui alih teknologi pada tanggal 1-3 Oktober 2013 di KPH Gula Raya, Kendari, Sulawesi Tenggara (suasana Alih Teknologi di KPH Gularaya dapat dilihat pada Gambar 6). Selain itu, dilaksanakan pelatihan dengan tema “Pengembangan Kapasitas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk Membangun Baseline Data Menyusun Kerangka Kerja REDD+” telah dilaksanakan di KPH Batu Lanteh, Nusa Tenggara Barat tanggal 18-20 September 2013 dan di KPH Sijunjung, Sumatera Barat tanggal 2-4 Oktober 2013 serta di KPH Sapalewa, Maluku pada tanggal 23-25 Oktober 2013. Penentuan lokasi pelatihan dan alih teknologi di KPH ikut mendukung terjadinya transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bagi pengelolaan hutan di tingkat tapak.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6. Alih teknologi pembangunan Permanent Sample Plot (PSP) dan penghitungan karbon hutan di Kendari, Oktober 2013, (a) Pembukaan oleh Kepala Bidang Program dan Evaluasi Peneli an mewakili Kepala Puspijak dan Kepala KPH Gularaya, (b) Suasana penyampaian materi
dan diskusi, (c, d) prak k pembangunan PSP dan penghitungan cadangan karbon di salah satu lokasi di KPH Gularaya
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 46
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan, alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya. Puspijak sebagai lembaga penelitian berkewajiban untuk menyebarluaskan hasil penelitian yang telah dilaksanakannya, antara lain hasil penelitian terkait dengan perubahan iklim termasuk di dalam pembangunan PSP monitoring karbon hutan untuk mendukung penghitungan karbon hutan. Peserta alih teknologi berasal dari ber-bagai stakeholder yang berkepentingan terhadap hutan, antara lain KPH, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan UPT Kementerian Ke-hutanan lainnya (BPKH, Balai Taman Nasional, BP-DAS dan BKSDA).
Kegiatan alih teknologi Pembangunan PSP dan Teknik Peng-hitungan Karbon di antaranya bertujuan sebagai diseminasi dari hasil kegiatan penelitian Puspijak di bidang mitigasi perubahan iklim se-kaligus sebagai pengembangan kapasitas pengelola KPH Gularaya, terutama dalam pembangunan PSP dan Penghitungan Karbon Hutan. Kegiatan diseminasi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan me-rupakan salah satu kewajiban dari institusi litbang .
Materi yang disampaikan pada alih teknologi merupakan pe-ngetahu an dasar terkait dengan perubahan iklim dan pengenalan metode penghitungan karbon melalui SNI 7724:2011. Alih teknologi ini memadukan pengetahuan teori dan praktik langsung di lapangan dengan tujuan meningkatkan pemahaman peserta terhadap materi yang telah dipresentasikan.
Dukungan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola hutan di KPH sebagai institusi pengelola hutan di tingkat tapak juga dilaksanakan di KPHL Sijunjung, KPH Wae Sapalewa dan KPH Batu Lanteh. Selain untuk meningkatkan pemahaman mengenai perubahan iklim, pelatihan yang dilaksanakan juga mendukung peningkatan
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 47
kapasitas SDM dalam pengumpulan data biofisik dan sosial ekonomi pada ketiga KPH tersebut. Data kondisi biofisik dan sosial ekonomi di KPH sangat penting untuk mendukung penyusunan strategi pengelolaan hutan. Lokasi pelaksanaan pelatihan dipilih berdasarkan kategori yang terbagi ke dalam 3 level kondisi KPH. Level pertama ialah KPH mandiri, artinya KPH yang dikategorikan memiliki ciri kemandirian, yang tercermin dari karakteristik otonomi dan eklusifitas organisasi KPH dalam hubungannya dengan Dinas Kehutanan. Selanjutnya, level kedua adalah KPH yang sedang berkembang, misalnya KPHL Sijunjung. Hal itu dapat dilihat dari upaya yang sedang dilakukan untuk mengembangkan jaringan kerjanya sehingga keterbatasan dana dan personil dapat diatasi. Kemudian level ketiga, yaitu KPH yang masih bergantung terhadap dinas kehutanan dalam hal anggaran maupun kepemimpinan.
Untuk dapat mengoperasikan database cadangan karbon hutan modul administrator yang telah dibangun, para pengelola PSP di daerah memerlukan keterampilan khusus terkait bagaimana memasukkan dan memperbaharui data hasil pengukuran PSP. Untuk memberikan keterampilan bagi operator di daerah, pada tanggal 28-31 November 2013 diselenggarakan pelatihan bagaimana mengoperasikan database karbon hutan. Pada pelatihan tersebut peserta memperoleh materi mengenai manfaat dan tujuan pembangunan database cadangan karbon hutan, kontribusi database karbon hutan di dalam NFMS, prosedur pengoperasian database, dan praktik operasional aplikasi database cadangan karbon hutan. Hari pertama pelatihan diisi dengan pemberian materi, sedangkan hari kedua dan ketiga diisi dengan praktik pengoperasian aplikasi database cadangan karbon hutan yang telah dibangun. Masing-masing pengelola PSP di daerah mengirimkan perwakilannya untuk mempelajari cara kerja database dan memasukkan data hasil pengukuran di lapangan.
Untuk mendukung perwakilan daerah dalam mengoperasikan aplikasi database, masing-masing pengelola data di daerah mem-peroleh seperangkat komputer, Global Positioning System (GPS), dan
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 48
Uninterruptible Power Supply (UPS). Diharapkan dengan bantuan sarana dan alat lainnya, pemasukan dan pembaharuan data melalui database berbasis web dapat berjalan dengan lancar. Dinamika kegiatan pelatihan bagi operator dan administrator database di daerah dapat dilihat pada foto-foto pada Gambar 7.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 7. Pela han pengoperasian database karbon hutan, (a) Peserta pela han, (b) Pemaparan materi oleh salah satu narasumber, (c) Peserta memasukkan data dari PSP yang
mereka bangun, (d) Penyerahan perangkat komputer kepada masing-masing Perwakilan Daerah
Pengembangan database karbon hutan pada tahun 2014 meng-hasilkan beberapa penyempurnaan pada modul administrator dan terbangunnya modul publik yang ditujukan bagi pengguna umum. Untuk menginformasikan dan meningkatkan keterampilan para operator di daerah mengenai pembaruan yang ada di dalam database serta memperkenalkan modul hutan maka pada tanggal 23-24 Juni 2014 diselenggarakan Pelatihan Pembaruan Data Pada Database Cadangan Karbon Hutan.
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 49
Materi yang diberikan pada pelatihan Verifikasi dan Updating Data Permanen Sampel Plot, meliputi pengembangan NFMS dan sinerginya dengan aplikasi database yang telah dibuat, pemanfaatan data PSP untuk pengukuran REL nasional, pengembangan database faktor emisi/faktor removal untuk mendukung penghitungan emisi di Kabupaten Berau, dan validasi data pengukuran karbon hutan. Dinamika kegiatan Pelatihan Pembaruan Data Pada Database Cadangan Karbon Hutan dan Verifikasi dan Updating Data Permanen Sampel Plot dapat dilihat pada foto-foto Gambar 8 berikut ini.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 8. Pela han Verifikasi dan Upda ng Data Permanen Sampel Plot, (a) Peserta pela han, (b) Pembukaan pela han oleh Kepala Puspijak, (c) Penyampaian materi
oleh Dr. I Wayan Susi Darmawan, (d) Peserta pela han mengiku dengan seksama dengan memprak kkan materi menggunakan laptop masing-masing
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 50
E. Lokakarya Pengelolaan PSP
Plot Sampel Permanen yang telah dibangun menjadi milik dan tanggung jawab stakeholder di daerah yang dikoordinasikan oleh satu instansi penanggung jawab. Untuk mensosialisasikan keberadaan PSP dan membangun komitmen di antara para pihak terkait di daerah maka pada lima provinsi lokasi PSP telah diselenggarakan lokakarya pengelolaan PSP. Strategi pengelolaan PSP di tingkat provinsi secara berkelanjutan yang melibatkan stakeholder di daerah merupakan pokok diskusi dalam lokakarya. Lokakarya dilaksanakan pada tahun 2012 di lima provinsi meliputi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku (Gambar 8).
Tujuan diselenggarakan lokakarya pengelolaan PSP, yaitu untuk 1) merumuskan strategi pengelolaan PSP secara berkelanjutan, 2) merancang blue print sistem monitoring karbon hutan, 3) merumuskan peran data PSP yang dibuat dalam kerangka FCPF-Puspijak dengan NFMS, 4) menyamakan persepsi tentang peran dan tanggung jawab para pihak di tingkat provinsi dalam pemantauan karbon hutan, dan 5) memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan terkait pengelolaan PSP dan pemantauan karbon hutan tingkat provinsi. Hasil dari lokakarya yang dilaksanakan di 5 (lima) provinsi tersebut menunjukkan bahwa diperlukan penyamaan persepsi terlebih dahulu terkait dengan PSP untuk monitoring karbon hutan. Penyamaan persepsi diperlukan untuk membangun kesadaran para pihak akan pentingnya data yang dihasilkan dari pembangunan PSP untuk monitoring karbon hutan.
Lokakarya diselenggarakan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perubahan iklim di tingkat sub nasional dan nasional. Para pihak tersebut berperan sebagai narasumber maupun sebagai peserta aktif dalam pelaksanaan lokakarya. Para pihak yang terlibat dalam lokakarya, di antaranya yaitu: Dinas Kehutanan Provinsi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, LSM yang memiliki kegiatan dengan masyarakat dan hutan, Perguruan
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 51
Tinggi, Lembaga Penelitian Kehutanan, inisiatif-inisiatif kerjasama REDD+ baik nasional maupun internasional (Pokja REDD, INCAS, dan ICRAF) dan masyarakat serta satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lainnya yang terkait.
Materi yang diberikan pada saat lokakarya mencakup materi terkait program, kegiatan, dan strategi sektor kehutanan untuk men-capai penurunan emisi; pembangunan PSP FCPF-Puspijak pada masing-masing lokasi; pelajaran (lessons learned) dari pembangunan PSP untuk pemantauan karbon hutan pada kegiatan FCPF-Puspijak; aplikasi dari inisiatif lain terkait perencanaan pembangunan rendah emisi dan penghitungan emisi/REL (LUWES, REDD Abacus, dan INCAS); peran dan tanggung jawab para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pemantauan karbon hutan; serta integrasi plot-plot yang telah dibangun dengan NFI/NFMS. Materi disampaikan oleh pemateri yang berasal dari perwakilan pemerintah daerah, peneliti lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, peneliti dari lembaga internasional, LSM, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, dan perguruan tinggi.
Pada seluruh lokakarya, selain diisi dengan pemberian materi juga terdapat sesi focused group discussion (FGD), di mana seluruh peserta dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok men-diskusikan salah satu tema dari strategi pengelolaan PSP di tingkat provinsi dan rancangan sistem monitoring karbon hutan tingkat provinsi. Pada akhir sesi Focus Group Discussion (FGD) perwakilan ke-lompok mempresentasikan hasil diskusi di masing-masing kelompok.
Strategi pengelolaan PSP yang muncul dari hasil lokakarya meliputi siapa yang bertanggung jawab, penggalangan komitmen dari semua pihak, dan pendanaan dalam pengelolaan PSP. Penggalangan komitmen semua pihak pada dasarnya sangat bergantung pada peran sentral Bappeda Provinsi selaku badan yang merencanakan dan mengatur semua aktivitas pembangunan di daerah. Pengelolaan PSP diharapkan menjadi bagian dari kegiatan pembangunan di daerah untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim dalam rangka
Bab III Pembangunan PSP-PUSPIJAK FCPF 52
penyediaan data yang kredibel dan bertanggung jawab. Pendanaan pengelolaan PSP sebagian besar akan disediakan dari alokasi dana APBD Provinsi dan atau Kabupaten. Suasana berbagai aktivitas dalam lokakarya pengelolaan PSP dapat dilihat pada Gambar 9.
(a) (b)
(c)
(d) (e)
Gambar 9. Lokakarya Pengelolaan PSP di 5 (lima) Provinsi, (a) Pemberi materi di lokakarya PSP Sumatera Barat berfoto bersama Kepala Puspijak, (b) Lokakarya strategi pengelolaan PSP di Nusa Tenggara Barat, (c) Kegiatan penanaman di Manado yang merupakan bagian dari
rangkaian lokakarya strategi pengelolaan PSP di Sulawesi Utara, (d) foto bersama peserta lokakarya strategi pengelolaan PSP di Provinsi Maluku, (e) Peserta antusias mengiku pemaparan dari salah
satu narasumber pada lokakarya strategi pengelolaan PSP di Provinsi Sumatera Selatan.
Bab IV Desain Kelembagaan
Pengelolaan PSP
Keberadaan PSP menempati posisi yang strategis, seiring dengan berkembangnya isu perubahan iklim terutama di sektor kehutanan
yang membutuhkan data yang berasal dari PSP untuk dipergunakan sebagai sumber data faktor emisi/serapan, baik pada skenario baseline maupun untuk skenario mitigasi. Penghitungan yang didasarkan data hasil pengukuran PSP secara berkala dalam jangka waktu yang panjang akan meningkatkan kredibilitas hasil penghitungan (Murdiyarso, 2006).
Pengelolaan PSP yang telah dibangun oleh Puspijak bersama para mitranya tersebut hanya dapat berjalan secara berkesinambungan bila ditunjang oleh suatu kelembagaan yang kuat. Banyaknya PSP yang dibangun dan sebarannya sangat luas serta melibatkan beberapa pihak dalam pembangunan dan pengelolaan, berimplikasi pada perlunya desain kelembagaan yang mampu mendukung strategi pengelolaan PSP.
Desain kelembagaan pengelolaan PSP membutuhkan sebuah landasan teoretis sehingga memiliki pijakan logis-empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Kelembagaan sendiri dilihat secara berbeda-beda, tergantung sudut pandang pihak yang berkepentingan dan
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 54
terlibat dalam pembangunan PSP. Oleh karena itu, perlu disepakati batasan dan pengertian dari kelembagaan yang menjadi landasan dalam pengelolaan PSP. Selain sebuah desain kelembagaan yang berpijak pada landasan teoretis, kelembagaan pengelolaan PSP juga dapat didesain dengan bercermin pada berbagai desain kelembagaan dari berbagai inisiatif dalam kerangka persiapan (readiness) REDD+ yang ada di Indonesia.
Pada Bab ini menguraikan sebuah analisis teoretis mengenai kelembagaan pengelolaan PSP yang kemudian diikuti dengan uraian ringkas kelembagaan dari beberapa inisiatif yang ada. Melalui pen-dekatan demikian, diharapkan dapat dihadirkan suatu gambaran yang utuh mengenai pembangunan dan operasionalisasi kelembagaan dalam fase persiapan REDD+.
A. Kelembagaan: Pendekatan dan Analisis Teoretis
Secara teoretis, kelembagaan dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif umum yang hanya menyampaikan batasan yang bersifat teoretis dan perspektif praksis di mana kelembagaan dilihat sebagai sebuah kerangka yang bersifat empiris, yaitu sebuah konstruksi yang digunakan dalam praktik sehari-hari.
Beberapa pandangan melihat kelembagaan sebagai “organisasi (organization) ”, namun di sisi lain beberapa pihak lebih melihatnya sebagai “aturan-aturan (rule)” (Vatn, 2006). Dari sudut pandang ini, Vatn (2006) menilai bahwa organisasi tidak memadai untuk dimaknai sebagai “kelembagaan”, karena menurutnya justru kelembagaanlah (di mana terdapat aturan di dalamnya) yang justru mempengaruhi suatu organisasi. Dari sudut pandang struktur melihat bahwa kelembagaan dapat mempengaruhi para pelaku (aktor) dalam memandang suatu permasalahan dan motivasi dari tiap aktor tersebut misalnya, firma, organisasi non-pemerintah, keputusan, dan badan administrasi di tingkat nasional dan tingkat daerah (Angelsen et.al, 2010). Pembatasan lain dari kelembagaan adalah sebuah instrumen pengatur dan pe-
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 55
ngendali, wadah dalam kegiatan administrasi, pengertian yang ber-titik tolak pada pemahaman tentang prinsip-prinsip organisasi dan penerapannya serta pengertian yang menekankan sebagai sebuah proses (Paraningtyas dan Ruswanti, 2008).
Dalam konteks yang lebih bersifat praksis, terdapat beberapa pandangan mengenai kelembagaan, yaitu pandangan yang melihat kelembagaan sebagai 1) siapa melakukan apa?, 2) siapa bertanggung jawab kepada siapa?, 3) Siapa berhubungan dengan siapa dan dalam hal apa?, 4) Saluran komunikasi apa yang tersedia dalam organisasi apa? Bagaimana cara memanfaatkannya dan untuk kepentingan apa? dan 5) jaringan informasi apa yang terdapat dalam organisasi?. (Siagian dalam Paraningtyas dan Ruswanti, 2008). Pandangan yang melihat kelembagaan sebagai pihak yang memiliki akses ke suatu sumber daya dan kekuatan untuk mengambil keputusan. Oleh sebab itu, menurut pandangan ini legitimasi merupakan konsep inti dalam analisis kelembagaan karena tidak hanya terkait dengan apakah lembaga yang ada memang sesuai secara legal, namun juga mencakup persoalan dukungan masyarakat yang lebih luas (Vatn, Angelson dalam Angelson et al., 2008).
Berdasarkan kedua pandangan yang bersifat praksis di atas, dapat dilihat adanya suatu kesamaan bahwa pembahasan mengenai kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari keberadaaan faktor-faktor berikut ini. 1. Aktor dengan pola hubungan/pola interaksi antar mereka, ke-
wenangan, dan tanggung jawab, 2. Sumber daya beserta akses dan distribusinya, dan 3. Legalitas-normatif yang menjadi kerangka dari tata nilai/norma
yang menjadi landasan berperilaku para aktor.
Dalam hal pembangunan dan pengelolaan PSP yang melibatkan banyak pihak dari berbagai tingkatan nasional dan daerah, kerangka teoretis kelembagaan di atas menjadi penting. Banyaknya aktor yang terlibat menyebabkan perlunya mekanisme dan kerangka kerja yang memperjelas posisi dan peran setiap aktor, batasan kewenangan dan
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 56
tanggung jawabnya, kontribusi apa yang diharapkan, jalur komunikasi seperti apa, dan bagaimana yang harus dijalin antar mereka serta regulasi dan kebijakan apa yang menjadi landasan bagi mereka dalam pengelolaan PSP tersebut. Selain itu, perlu dipastikan dukungan sumber daya baik dalam bentuk pendanaan, personil, dan sarana prasarana untuk pengelolaan PSP. Semua itu menjadi aspek yang perlu diperhatikan dalam desain kelembagaan pengelolaan PSP agar keberadaan PSP yang sudah dibangun dapat mencapai tujuannya.
B. Kerangka Pikir Kelembagaan Pengelolaan PSP
Berdasarkan analisis di atas maka dapat dikembangkan kerangka pikir untuk kelembagaan pengelolaan PSP seperti tertera pada Gambar 10.
Gambar 10. Kerangka Pikir Kelembagaan Pengelolaan PSP
Dari kerangka berpikir tersebut dapat dijelaskan bahwa ke-lembagaan dibangun dari tiga variabel utama dan variabel-variabel yang mempengaruhinya. Faktor utamanya, yaitu aktor, sumber daya, dan legalitas-normatif. Penjelasan dari variabel-variabel tersebut, antara lain sebagai berikut.
Aktor adalah para pihak yang menjadi pelaku dari pengelolaan PSP, baik di tingkat nasional maupun sub-nasional, baik dari institusi pemerintah maupun non-pemerintah. Fungsionalitas aktor di penga-ruhi oleh pola hubungan/interaksi antara aktor dan peran serta tanggung jawabnya serta legalitasnya.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 57
Sumber daya adalah faktor yang memungkinkan para aktor memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsionalitasnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Sumber daya dapat berupa pendanaan, personel, peralatan, dll. Sumber daya dipengaruhi oleh kemampuan aktor untuk mengakses sumber darimana sumber daya dapat diperoleh serta distribusi, yaitu kepada siapa sumber daya diberikan.
Legalitas-normatif adalah seperangkat norma dalam bentuk aturan formal (tertulis dan berdasarkan hukum positif) dan informal (tidak tertulis, kesepakatan/konvensi para pihak) yang mengikat sehingga komponen kelembagaan dapat bekerja berlandaskan tata nilai yang resmi dan diakui oleh negara dan masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan PSP harus dibangun berdasarkan kerangka analisis di atas di mana kelembagaan pengelolaan PSP harus terdiri dari variabel-variabel utama dan variabel yang mem-pengaruhinya. Kelemahan dari salah satu variabel utama dan variabel yang mempengaruhinya dikhawatirkan dapat membuat pengelolaan PSP berjalan tidak optimal dan tidak berkesinambungan.
C. Identifikasi Aspek-aspek Kelembagaan Pengelolaan PSP
Untuk mendukung pengelolaan dan keberlanjutan dari PSP yang telah dibangun, Puspijak menyelenggarakan lokakarya strategi pengelolaan PSP yang memiliki tujuan, yaitu mengidentifikasi ber-bagai faktor yang mendukung atau di sisi lain justru menjadi faktor penghalang dan penghambat bagi keberlangsungan pengelolaan PSP. Lokakarya tersebut dibagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pemaparan mengenai peran PSP dalam pengumpulan data dinamika karbon hutan dan sesi FGD membahas berbagai aspek terkait keberlanjutan dan keberlangsungan pengelolaan PSP di daerah.
Salah satu materi yang dibahas dalam FGD tersebut adalah strategi pengelolan PSP yang sudah dibangun, termasuk strategi
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 58
kelembagannya. FGD melibatkan pemangku kepentingan di daerah yang terdiri dari instansi pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota), akademisi, kelompok masyarakat, dan LSM lokal. Aspek yang dibahas dalam FGD pada lokakarya Strategi Pengelolaan PSP mencakup faktor pokok dalam kelembagaan, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Sebagaimana terlihat pada Lampiran 1, para peserta lokakarya strategi pembangunan PSP berhasil mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat pengelolaan PSP, termasuk faktor-faktor bagi pembentuk kelembagaan pengelolaan PSP yang dibangun dalam kerangka FCPF. Hasil identifikasi terkait aspek-aspek kelembagaan yang diperoleh dari Focused Group Discussion (FGD) pada lokakaya pembangunan PSP tersebut, terlihat perbedaan maupun persamaan antara daerah satu dengan lainnya.
Dalam kerangka teoretis kelembagaan sebagai mana pada gambar 9 dapat ditentukan faktor-faktor kelembagaan yang berhasil diidentifikasi oleh peserta lokakarya ke dalam variabel-variabel kelembagaan tersebut. Terkait dengan aspek peserta lokakarya mengidentifikasi faktor-faktor pendukung terkait, yaitu siapa pihak membutuhkan dan bertanggung jawab, leading institution, penanggung jawab pengelolaan, serta wali data dalam pengelolaan database monitoring karbon hutan sebagai tindak lanjut dari keberadaan PSP. Walaupun peserta dari semua daerah sepakat bahwa semua pihak yang memiliki kepentingan dengan pengelolaan dan pelestarian hutan membutuhkan PSP, namun berbeda dalam melihat aktor siapa saja yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PSP. Berkenaan dengan Sumber Daya, peserta lokakarya memberikan masukan berkenaan faktor terkait sumberdaya yang meliputi sumber pendanaan, SDM, data, dan informasi, serta diperlukannya suatu mekanisme atau protokol pengumpulan dan hasil pemutakhiran data. Terkait Aspek legal normatif, para peserta workshop memberikan input bahwa dalam kerangka pengelolaan PSP diperlukan dasar hukum yang mengikat yang dapat berupa perjanjian tertulis di antara para pihak.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 59
D. Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP
Mengingat keberadaan PSP yang bersifat permanen maka pe-ngelola annya pun harus bersifat permanen pula. Sudut pandang ini memberikan konsekuensi, terutama dalam hal keterlibatan aktor, penyediaan sumber daya (terutama alokasi anggaran dan sumber daya manusia), dan aspek legalitasnya. Hal ini sesuai dengan hasil identifikasi oleh para peserta Lokakarya Strategi Pengelolaan PSP di 5 (lima) provinsi tahun 2012 dan 2013 terhadap aspek-aspek kelembagaan sebagaimana digambarkan pada lampiran 1. Beranjak dari pola pikir di atas, dapat dapat dijelaskan desain kelembagaan pengelolaan PSP FCPF sebagai berikut.
1. Aktor
Berkaitan dengan banyaknya aktor yang terlibat maka aktor di-bagi ke dalam dua strata, yaitu a) Aktor Pusat adalah para pihak yang memiliki lingkup kerja nasional dan b) Aktor Daerah adalah aktor yang berkedudukan di tingkat sub-nasional baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Dalam konteks aktor ini, ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu lingkup kewenangan dan tanggung jawab serta pola interaksi antar aktor tersebut.
Dari aspek kewenangan dan tanggung jawab perlu ditentukan lingkup kewenangan dan tanggung jawab secara tegas, yakni mengenai siapa saja yang bertanggung jawab langsung atau berperan sebagai koordinator/vocal point pengelolaan PSP, serta siapa saja yang berperan sebagai pendukung. Kewenangan juga mencakup tugas dan tanggung jawab pengelolaa PSP serta tugas dan tanggung jawab pendukung.
Dari sisi interaksi antar aktor perlu didesain pola interaksi yang memungkinkan setiap aktor berinteraksi satu sama lain dan saling bekerja sama. Pola interaksi ini harus dirancang sedemikian rupa, sehingga aktor dalam jumlah yang begitu besar dengan latar belakang institusional yang berbeda-beda (instansi pemerintah, LSM, perguruan tinggi, kelompok masyarakat) dapat menjalankan tugas dan bekerja
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 60
sama tanpa hambatan psikologis akibat sekat hirarkis dan perbedaan latar belakang institusional tersebut. Di sisi lain pembagian tugas yang jelas antar aktor pusat dan daerah juga perlu diperhatikan. Pembagian tugas yang jelas akan memberikan arah dalam pelaksanan tugas masing-masing aktor sehingga dapat melaksanakan bidang tugasnya secara optimal. Aktor yang terlibat, dalam konteks kelembagaan sesuai dengan kerangka pikir di atas, perlu juga diikat dengan dasar hukum sebagai suatu basis legal yang menjadi pijakan dalam pelaksanaan fungsi dan operasional mereka.
Aktor yang terlibat dalam pembangunan PSP dibagi menjadi dua, yaitu Aktor pusat/nasional dan aktor daerah/sub nasional. Analisis terhadap aktor pusat dan daerah, antara lain sebagai berikut.
a. Aktor PusatAktor pusat/nasional adalah lembaga-lembaga yang berkeduduk-
an di ibu kota negara dan merupakan lembaga yang memiliki jangkau-an wilayah kerja yang bersifat nasional. Sesuai dengan kedudukan dan cakupan wilayah kerjanya maka Aktor Pusat memiliki kelebihan dalam hal kemampuan dan akses kepada sumber daya, baik finansial maupun teknis. Selain itu, mereka juga memiliki kelebihan dalam kemampuan teknis sumber personilnya yang lebih tinggi. Dengan segala kelebihannya tersebut, Aktor Pusat tidak berkedudukan di dekat lokasi PSP maka dapat dikatakan Aktor Pusat tidak secara langsung bersentuhan dengan pengelolaan PSP yang ada di daerah. Dikarenakan situasi tersebut, maka peran Aktor Pusat lebih sebagai pendukung Aktor Daerah yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan PSP. Dukungan yang dapat diberikan oleh Aktor Pusat kepada Aktor Daerah berupa berikut ini.1) bantuan dana2) asistensi teknis3) peningkatan kapasitas4) supervisi atas pengelolaan PSP oleh aktor daerah.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 61
Ada pun Aktor Pusat yang terlibat dalam pembangunan PSP atau lembaga yang memiliki potensi memberikan dukungan dalam pengelolaan PSP ke depan sebagai berikut.1) Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)-
Kemenhut;2) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan-
Kemenhut;3) Pusat Standarisasi dan Lingkungan-Kemenhut;4) Badan Pengelola REDD+ (BP-REDD+); dan5) Lembaga Mitra/Donor ( FCPF, Bank Dunia, GiZ dll).
Secara rinci tugas Aktor Pusat tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Tugas Aktor Pusat (Nasional) dalam Pengelolaan PSP
Tugas
Aktor
Asistensi Teknis
Peningkatan kapasitas
Bantuan pendanaan
Supervisi
1. Puspijak-FCPF ya ya ya ya
2. Dit. IPSDH ya ya ya ya
3. BP-REDD+ - ya ya -
4. Lembaga 5. Mitra/Donor
- ya ya -
b. Aktor DaerahAktor Daerah dapat diartikan sebagai aktor yang berkedudukan di
sub-nasional (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang terlibat secara langsung dalam pembangunan PSP, dan di masa depan berpotensi sebagai pengelola PSP. Aktor Daerah yang terlibat dalam pembangunan PSP terdiri dari banyak institusi, dan komposisinya berbeda-beda di setiap daerah (keragaman institusi yang terlibat baik jumlah, jenis, dan hirarkinya dapat dilihat pada tabel 3 pada Bab III).
Ditinjau dari banyak dan beragamnya pihak yang terlibat dalam pembangunan serta sifat tetap/permanent dari keberadaannya, maka pengelolaan PSP harus dilakukan secara bersama-sama oleh para
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 62
pihak tersebut, namun dikoordinir oleh satu leading actor. Instansi yang berperan sebagai leading actor adalah instansi yang secara tugas, pokok, dan fungsinya (Tupoksi) memiliki kewenangan untuk mengkoordinir pihak lain dan memiliki potensi mendanai pengelolaan PSP. Pendanaan PSP secara mandiri oleh Aktor Daerah menjadi penting karena akan menjadi bagian dari exit strategy menjaga keberlangsungan pengelolaan dan monitoring PSP, apabila kegiatan FCPF:REDD+ Readiness Preparation berakhir di tahun 2015. Beranjak dari pikiran di atas maka aktor daerah yang terlibat dalam pengelolaan PSP dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Aktor Daerah (Sub-Nasional) yang Diusulkan sebagai Pengelola PSP serta Perannya
No. Lokasi PSP Provinsi Koordinator Pengelola/Leading
Actor
Anggota/Pendukung
KHDTK Aek Nauli Provinsi Sumatera Utara
Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli
Hutan Nagari Simancuang
Provinsi Sumatera Barat
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat
1. Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli,
2. Nagari,3. Masyarakat
Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo,
4. Dinas Kehutanan Kabupaten Solok Selatan.
KPH Sijunjung Provinsi Sumatera Barat
KPHP Sijunjung 1. Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat,
2. Balai Peneli an Kehutanan Aek Nauli.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 63
No. Lokasi PSP Provinsi Koordinator Pengelola/Leading
Actor
Anggota/Pendukung
1. Hutan Lindung Gunung Dempo
2. KHDTK Kemampo
3. Hutan Rakyat Bambang Lanang-Kabupaten Empat Lawang
4. PT REKI Musi Banyuasin
5. Hutan Gambut Alam Sekunder-Kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatera Selatan
Balai Peneli an Kehutanan Palembang
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan.
KHDTK Tumbang Nusa
Provinsi Kalimantan Tengah
Balai Peneli an Kehutanan Banjar Baru
1. HKm Santong,2. KHDTK Rarung,3. Hutan Mangrove
Jerowar.
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Balai Peneli an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
1. Cagar Alam Tangkoko, KPH Poigar
2. Hutan Lindung Gunung Tumpa
Provinsi Sulawesi Utara
Balai Peneli an Kehutanan Manado
1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Poigar,
2. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara,
3. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara.
KHDTK Malili Provinsi Sulawesi Selatan
Balai Peneli an Kehutanan Makasar
KPHP Gula Raya Provinsi Sulawesi Tenggara
KPHP Gula Raya
1. KPHP Wae Kawa2. HKm Murnaten
Provinsi Maluku Universitas Pa mura
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 64
No. Lokasi PSP Provinsi Koordinator Pengelola/Leading
Actor
Anggota/Pendukung
1. Hutan Alam Tirasai
2. Hutan Anggresi - Manokwari
3. Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja
Provinsi Papua Barat
Balai Peneli an Kehutanan Manokwari
1. KHDTK Alas Ketu -Wonogiri
2. KHDTK Watu Sipat -Gunungkidul
Provinsi D.I. Yogyakarta
Balai Besar Peneli an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
1. KPH Mu s-Timau
2. Hutan pendidikan Pela han Camplong
3. KHDTK Banamlaat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kesatuan Pengelolaan Hutan Mu s-Timau
1. Balai Peneli an Kehutanan Kupang,
2. Balai Diklat Kehutanan Kupang.
Sumber : Lokakarya Pengelolaan PSP Tingkat Provinsi 2013-2014
Aktor Daerah terdiri dari UPT Pusat (Balitbanghut, BPKH, dll), Badan/Dinas Teknis/UPT daerah (Dishut, BPLHD, Bappeda, dll), Per-guruan Tinggi, KPH, LSM serta Kelompok Masyarakat yang memiliki fungsi sebagai implementator. Hal tersebut dikarenakan lokasi PSP berada dalam lingkup wilayah kerja mereka. Karena fungsinya se-bagai implementator maka lingkup tugas dan tanggung jawab aktor daerah meliputi kegiatan terkait operasionalisasi pengelolaan PSP, yaitu kegiatan pengukuran, Pelaporan, Penyediaan SDM, Pe nyediaan anggaran dari APBD, serta keamanan. Untuk aktor daerah yang berperan sebagai leading aktor maka instansi tersebut harus meng-alokasikan anggarannya untuk mendanai pengelolaan PSP. Dalam pendanaan, leading aktor akan menerima bantuan dari aktor pusat baik dalam bentuk hibah maupun dana dekonsentrasi. Secara rinci
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 65
pembagian tugas dan tanggung jawab Aktor Daerah dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini:
Tabel 6 Tugas Aktor Daerah dalam Pengelolaan PSP
Tugas
Aktor
Pengukuran ulang
Pelaporan Penyediaan SDM
Alokasi Anggaran
Keamanan
UPT Pusat ya ya ya ya ya
Dinas Teknis/ UPT daerah
ya ya ya ya ya
Perguruan Tinggi
ya ya ya - -
LSM ya ya ya - -
Kelompok Masyarakat
- - ya - ya
Untuk menjaga sinergitas dalam pengelolaan PSP maka dalam aspek Pola Interaksi perlu dibentuk wadah/forum di mana para pihak dapat berkomunikasi satu sama lain secara intens tanpa sekat hierarkis yang sering menghambat secara psikologis. Pilihan pola interaksi dengan pendekatan Forum yang bersifat kolegial, di mana para aktor memiliki kedudukan yang setara akan memperlancar arus informasi dari aktor pusat kepada aktor daerah atau antar aktor pusat maupun daerah. Hal ini penting dalam pengatasan masalah, baik yang bersifat sistemik maupun insidental yang timbul di lapangan yang membutuhkan penanganan bersama. Forum seperti ini juga ber-guna dalam monitoring-evaluasi serta perencanaan pengelolaan PSP selanjutnya.
2. Sumber Daya
Berkenaan dengan sumberdaya, perlu ditentukan komponen apa saja yang termasuk ke dalam sumber daya dalam pengelolaan PSP. Dalam konteks kelembagaan pengelolaan PSP terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan sumber daya, yaitu apa saja sumber daya yang perlu disediakan; siapa yang menyediakan;
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 66
bagaimana mengaksesnya/bagaimana cara memperolehnya, dan distribusi, yaitu kepada siapa sumber daya diberikan /aliran sumber daya dari sumber ke penerima.
Kelembagaan Pengelolaan PSP perlu ditunjang komponen sumber daya yang jelas. Dalam konteks ini, yang pertama harus dilihat dari sumberdaya adalah bentuknya. Pada pengelolaan PSP bentuk sumber daya dibagi menjadi dana, SDM, dan sarana/prasarana. Dana diperlukan dalam pengelolaan PSP untuk menunjang kelanjutan operasionalisasi dalam bentuk pembiayaan, baik dalam bentuk upah kerja maupun belanja barang atau modal. SDM untuk Pengelolaan PSP dibagi menjadi tenaga ahli untuk pengukuran, pelaporan dan pemutakhiran data serta tenaga non-ahli untuk menjaga keamanan PSP. Sarana/Prasarana adalah peralatan dan pendukungnya, baik perangkat keras dan lunak seperti GPS, database berbasis web untuk monitoring karbon hutan hasil pelaporan PSP, komputer, serta bahan-bahan pendukung lainnya.
Konteks lain yang perlu diperhatikan dari aspek Sumberdaya adalah (a) sumbernya, artinya dari mana sumberdaya berasal/siapa yang menyediakan, (b) aksesnya adalah bagaimana cara memperolehnya, serta (c) distribusi, artinya kepada siapa sumberdaya diberikan /aliran sumberdaya dari sumber ke penerima. Sebagaimana telah diterangkan di atas, dari sumber atau siapa yang menyediakan sumberdaya dapat berasal dari Aktor Pusat, dalam hal finansial dan aksesnya tentu memiliki kelebihan dibandingkan dengan Aktor Daerah. Aktor Pusat juga dapat membantu pencarian sumber dana melalui para donor/mitra yang lebih mudah dijangkau oleh mereka dibandingkan oleh para Aktor Daerah. Selain dana, Aktor Pusat juga dapat membantu Aktor Daerah sebagai implementator Pengelolaan PSP dalam bentuk penyediaan tenaga ahli untuk memberikan peningkatan kapasitas, misalnya mengenai pelatihan terkait teknologi atau pendekatan baru dalam pengukuran karbon. Selain tenaga ahli, Aktor Pusat juga dapat membantu dalam penyediaan sarana dan prasarana, seperti hibah peralatan dan sarana penunjang lainnya kepada Aktor Daerah.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 67
Hal paling penting dalam konteks sumber daya adalah alokasi anggaran dari sumber anggaran yang pasti dengan jumlah yang memadai oleh aktor daerah yang berperan sebagai instansi koordinator (Leading Actor) pengelolaa PSP dan adanya dukungan anggaran dari instansi/lembaga pendukungnya. Kepastian alokasi anggaran untuk pengelolaan PSP ini akan menjadi bagian dari exit strategy bila kegiatan FCPF berakhir secara resmi.
3. Legalitas/Normatif
Dalam bangunan kelembagaan, aspek legal-normatif menjadi pilar penting selain aktor dan sumber daya. Aspek legalitas-normatif akan menjadi landasan berperilaku dan berinteraksi yang mengikat bagi para pihak yang terlibat dalam fugsio tertentu, dalam suatu kerangka kelembagaan. Aspek legal akan mengikat para aktor dalam suatu kesatuan fungsi dan menjadi landasan pengakuan dari masyarakat akan tugas, kewenangan, dan tanggung jawabnya.
Landasan legal yang menjadi basis dari fungsi dan pola interaksi dari satu atau lebih aktor, dapat berupa aturan atau kesepakatan. Terkait tugas, fungsi, dan tanggung jawab suatu institusi atau lembaga harus melandaskan diri kepada aturan yang terdapat dalam perundang-undangan. Terkait dengan pengelolaan PSP yang merupakan bagian dari kegiatan inventarisasi sumber daya hutan, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai inven-tarisasi hutan tersebut, di antaranya adalah Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Invetarisasi Gas Rumah Kaca Nasional dan terkait dengan pembagian tugas institusi terkait dengan pembagian fungsi pemeritahan pusat dan daerah pengaturan dalam konteks inventarisasi hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemeritah Kabupaten/Kota yang merupakan penjabaran dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 68
a. Pengaturan Tugas dan Tanggung Jawab Aktor (Para Pihak) terkait Kegiatan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) menurut Perpres No.71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Invetarisasi Gas Rumah Kaca NasionalKelembagaan pengelolaan PSP tidak dapat dilepaskan dari
kelembagaan terkait inventarisasi GRK karena pada dasarnya dalam konteks inventarisasi GRK, pengumpulan data melalui PSP merupakan bagian dari upaya pengumpulan dan pemantauan data dari sumber emisi, khususnya dari sektor kehutanan. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya inventarisasi GRK sebagaimana diatur dalam Peraturan Preseiden No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Invetarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 adalah regulasi yang mengatur para pihak dan tanggung jawab serta peran yang diemban masing-masing pihak dalam penyelenggaraan inventarisasi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan Invetarisasi GRK berdasarkan Perpres No. 71 tahun 2011 terdiri dari dua tingkatan, yaitu kelembagaan di tingkat nasional dan di tingkat daerah. Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 mengatur aktor yang berperan melakukan tanggung jawabnya dari tingkat nasional maupun sub-nasional (provinsi, kabupaten, dan kota) mulai dari aksi, koordinasi, dan pelaporan.
Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 secara jelas dan hierarkis mengatur kewajiban dalam penyelenggaraan inventarisasi GRK oleh para pihak. Pengaturan ini memberikan pembagian peran dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan inventarisasi GRK di tingkat nasional maupun sub nasional. Penyelenggaraan inventarisasi GRK di tingkat nasional dilakukan oleh beberapa kementerian teknis/sektoral yang dikoordinasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Pembagian peran dan tanggung jawab dalam inventarisasi GRK di tingkat Nasional menurut Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 adalah seperti pada Tabel 7 di bawah ini.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 69
Tabel 7 Pembagian Peran dan Tanggung Jawab Para Pihak dalam Inventarisasi GRK di Tingkat Nasional Menurut PP No. 71 Tahun 2011
Lembaga Tugas
Kementerian Lingkungan Hidup Bertanggung jawab dalam menetapkan pedoman, mengkoordinasikan penyelenggaraan inventarisasi GRK, melaksanakan monitoring dan evaluasi, melakukan koordinasi penyusunan Na onal Communica on, menyampaikan Na onal communica on kepada focal point di UNFCCC, serta melaporkan hasil inevantarisasi GRK kepada Menkokesra, pembinaan kepada Gubernur terkait penyelenggaran inventarisasi GRK.
Kementerian Sektoral/Lembaga Pemerintah Non-Kementerian
Menyelenggarakan inventarisasi GRK, menyusun kecenderungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon, mengembangkan metodologi inventarisasi dan faktor emisi atau serapan GRK, menetapkan penanggungjawab pelaksana inventarisasi GRK dan melaporkan hasil inventarisasi GRK kepada Menteri LH, melakukan pembinaan kepada Gubernur/Walikota terkait penyelenggaraan invetarisasi GRK.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Menerima laporan dari Kementerian LH terkait penyelenggaraan inventarisasi GRK.
Di tingkat sub-nasional, Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 menyatakan bahwa penyelenggaraan inventarisasi Gas Rumah Kaca menjadi tanggung jawab Gubernur, Bupati/Walikota, dan Pelaku Usaha. Pembagian peran dan tanggung jawab dalam inventarisasi GRK di tingkat sub-nasional menurut PP No. 71 tahun 2011 adalah seperti Tabel 8. Berikut ini.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 70
Tabel 8 Pembagian Peran dan Tanggung Jawab dalam Inventarisasi GRK di Tingkat Sub-Nasional Menurut PP No. 71 tahun 2011
Lembaga Tugas
Gubernur Bertanggung jawab terhadap Penyelenggraan inventarisasi GRK di ngkat provinsi, pengkoordinasian penyelenggaraan inventarisasi GRK di kabupatem/kota di wilayahnya, menunjuk unit pelaksana teknis daerah yang menjadi penanggung jawab inventariasi GRK di wiayahnya, serta melaporkan hasil inventarisasi GRK kepada Menteri LH sekali setahun.
Bupa /Walikota Menyelenggrakan inventarisasi GRK di Kabupaten/Kota, menujuk unit pelaksana teknis daerah yang menjadi penanggung jawab inventariasi GRK di wiayahnya serta melaporkan hasil inventarisasi GRK kepada gubernur sekali setahun
Pelaku usaha Melaporkan data terkait inventarisasi GRK kepada Gubernur, Bupa , dan Walikota.
b. Pengaturan Tugas dan Tanggung Jawab Aktor (Para Pihak) terkait Kegiatan Inventarisasi Sumber Daya Hutan Menurut Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/KotaDalam PP No. 38 Tahun 2004 urusan pengelolaan hutan me-
rupakan urusan pilihan (Pasal 6 dan Pasal 7). Pembagian kegiatan inven tarisasi hutan dalam PP ini mengamanatkan kepada Pemerintah Pusat untuk menyusun dan menetapkan Norma, Kriteria, Prosedur, dan Standar (NPSK), selain penetapan NPSK Pemerintah Pusat juga melaksanakan inventarisasi di kawasan tertentu (suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan DAS skala nasional). PP ini mengatur pula kegiatan inventarisasi bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi menyelenggarakan kegiatan inventarisasi di kawasan hutan produksi, hutan lindung, taman hutan raya, serta DAS lintas Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan inventarisasi di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan skala DAS wilayah Kabupaten/Kota.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 71
Dalam konteks pengelolaan PSP-FCPF yang beberapa PSPnya dibangun di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) maka PP No. 38 tahun 2007 menjadi relevan untuk menjadi dasar legal pelaksanaan fungsi dari beberapa aktor, karena PP ini juga mengatur pengelolaan KHDTK oleh pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota.
Pengaturan pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan daerah yang menjadi landasan dari fungsi para aktor dalam pengelola-an PSP mengalami perubahan yang siginifikan, dengan terbitnya Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggeser kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan yang sebelumnya menjadi kegiatan pilihan bagi pemerintah Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam PP No.38 tahun 2007 menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi serta hanya menyisakan pengelolaan Taman Hutan Rakyat (Tahura) bagi Pemerintah Kabupaten/Kota.
Selama aturan teknis yang menjelaskan atau menjabarkan ketentu-an dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah belum dikeluarkan maka secara de jure PP No.28 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota masih berlaku dan dapat menjadi landasan legal pengaturan kelembagaan pengelolaan PSP-FCPF. Namun bila aturan yang menjabarkan UU No. 23 tahun 2014 dimaksud sudah terbit, berarti mengganti PP No. 38 tahun 2007 maka desain kelembagaan pengelolaan PSP-FCPF harus dilakukan penyesuaian, artinya lembaga yang menjadi leading actor haruslah lembaga pusat atau lembaga pusat yang ada di daerah seperti UPT Pusat (Balai Litbang di Daerah atau BPKH).
Aturan hukum menjadi basis dari fungsi suatu aktor, sedangkan kesepakatan menjadi basis dari pola interaksi antar aktor. Lazimnya, fungsi suatu aktor diatur dalam aturan hukum baik berupa undang-undang atau aturan hukum di bawahnya, sedangkan pola interaksi antar aktor dikerangkai dalam kesepakatan antar mereka yang mengikat dalam bentuk Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding).
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 72
Nota Kesepahaman yang dibuat harus merinci pokok-pokok pikiran yang berisi sebagai berikut.1) para pihak yang terlibat;2) peran para pihak; 3) hak dan kewajibannya;4) periode/waktu kerjasama;5) sumber daya yang harus disediakan oleh para pihak;6) pola interaksi antar pihak (apakah perlu dibuat forum, pertemuan
berkala dan sejenisnya);7) aturan main lainnya yang disepakati oleh para pihak yang
terlibat
Legalitas-normatif dalam kelembagaan PSP dapat diwujudkan melalui Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU). Melalui Nota Kesepahaman, aktor yang terlibat dalam pembangunan PSP (Aktor Pusat dan Daerah) bersepakat dan secara sukarela meng-ikatkan diri dalam kelembagaan Pengelolaan PSP yang diwujud kan dalam suatu Struktur Organisasi Pengelolaan PSP. MoU dapat dibuat terpisah antara Aktor Pusat dengan Aktor daerah tertentu, misalnya Aktor Pusat dengan Aktor Daerah Provinsi Sumatera Barat atau membangun suatu MoU antara Aktor Pusat dengan Aktor daerah dari seluruh provinsi di mana PSP dibangun. Pilihan pertama lebih praktis karena bila ada pembangunan PSP di provinsi lain tidak perlu melakukam amandemen terhadap MoU yang sudah ada, hanya tinggal membuat MoU baru. Secara skematik desain kelembagaan pengelolaan PSP dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 73
Gam
bar 1
1. D
esai
n Ke
lem
baga
an P
enge
lola
an P
SP
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 74
E. Kelembagaan dari Berbagai Inisiatif
Selain kerangka kerjasama Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), di Indonesia terdapat beberapa inisiatif lain yang bersifat kolaboratif dan memiliki kelembagaan dalam inventarisasi GRK dan MRV, seperti INCAS-IAFCP. Kelembagaan dari berbagai inisiatif tersebut memiliki kompleksitas tersendiri yang dapat digunakan sebagai cermin dalam pembangunan dan penataan kelembagaan, khususnya dalam pembangunan dan penataan kelembagaan pengelolaan PSP.
Beberapa inisiatif merupakan kerjasama antara Indonesia dengan mitra internasional, seperti INCAS yang merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia. Inisiatif lain berasal dari pemerintah sendiri, seperti Indonesian National Forest Monitoring System yang dikelola Ditjen Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
1. Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS)
Indonesian National Carbon Accounting Sysytem (INCAS) dibangun dalam kerangka kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia dalam bingkai Program Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership Facility (IAFCP). INCAS bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam mendesain dan mengimplementasikan sebuah sistem MRV nasional. Asistensi dalam kerangka INCAS, meliputi dukungan teknik dan sumber daya kepada lembaga partner yang terdiri dari Kementerian Kehutanan, Lembaga Penerbanga,n dan Antariksa Nasional (LAPAN), dll, untuk membangun sistem dan kapasitasnya. Pembagian peran dan tanggung jawab dalam kerangka INCAS dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 75
Tabel 9. Pembagian Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga yang Terlibat dalam INCAS
Lembaga Tanggung Jawab
UKP4 Oversight, koordinasi, dan manajemen
DNPI Dukungan kebijakan dan dialog, negosiasi perubahan iklim
Kementerian Lingkungan Hidup Dukungan kebijakan, na onal communica on , dan validasi
Bappenas Perencanaan spasial, koordinasi.
Kementerian Kehutanan NFI, review biomass and modeling koleksi biomass lebih jauh (further biomass collec ons forestry modeling), manajemen data hutan
Kementerian Pertanian Data tanah, data curah hujan, data pertanian, modeling pertanian, data iklim
Bakosurtanal Infrastruktur data spasial, validasi, potografi udara (aerial photography)
LAPAN Wall-to-wall land cover change analysis, data beresolusi nggi, seper Ikonos untuk valida on, data hotspot
kebakaran
BMKG Data curah hujan, radiasi matahari, data iklim – Indeks produk vitas hutan (Forest Produc vity Index)
BPPT Input Teknologi
Other organisa ons Universitas, NGOs, donor, dll
Sumber : Dimya , 2010
Secara lebih terperinci, pembagian tugas dan tanggung jawab dari lembaga yang terlibat dalam program INCAS, meliputi: a) analisis tutupan lahan dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), b) estimasi biomassa dan emisi dilaksanakan
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 76
oleh Badan Litbang Kementerian Kehutanan yang melaksanakan kegiatan tersebut dan berkolaborasi dengan proyek REDD+ Provinsi Kalimantan Tengah dan Tim Khusus REDD+ (REDD+ Special Team), Badan Pengelola REDD+ (The REDD+ Agency), LAPAN dan Ditjen Planologi Kehutanan, Kementerian Lingkunan Hidup, c) Bappenas dan lembaga lain bertanggung jawab dalam kegiatan terkait Estimasi Emisi Tingkat Nasional yang diharapkan dapat memenuhi standar pelaporan emisinya.
2. SIGN (Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional)
Kementerian Lingkungan Hidup sebagai lembaga yang ber-tanggung jawab untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan inven-tarisasi GRK saat ini sedang mengembangkan Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN). Pembangunan SIGN bertujuan untuk memperkuat kapasitas sektor-sektor dan daerah dalam rangka pelaksanaan inventarisasi GRK yang berkualitas dan pengembangan sistem manajemen inventarisasi yang berkelanjutan (Kementerian LH, 2012a). Sistem SIGN dibangun sebagai simpul dari berbagai laporan inventarisasi GRK yang dilaporkan oleh Kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah. SIGN memiliki empat prioritas kegiatan, antara lain sebagai berikut.a. Meningkatkan metodologi, data aktivitas, dan faktor-faktor
emisi;b. Memperkuat kelembagaan pengaturan, fungsi, dan operasi peng-
arsipan, memperbarui dan mengelola inventarisasi GRK; c. Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya inventarisasi
GRK nasional untuk pengembangan strategi mitigasi; dand. Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia untuk me ngem-
bang kan dan mengelola inventarisasi GRK.
Mekanisme dalam Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional dapat dilihat pada Gambar 11.
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 77
Sumber: Kementerian LH, 2012a
Gambar 12. Mekanisme Pusat Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN)
Kementerian terkait dan/atau lembaga pemerintah non ke-menterian yang terkait berkewajiban menyelenggarakan inventarisasi GRK, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh lembaga-lembaga yang ada di tingkat nasional (Kementerian LH, 2012a). Kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait juga melakukan pemantauan dan evaluasi aksi pencapaian penurunan emisi sesuai dengan kewenangannya. Berkaitan dengan kegiatan pemantauan dan evaluasi penurunan emisi GRK, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian memiliki kewenangan menetapkan penanggung jawab yang bertugas melakukan inventarisasi GRK di unit kerja instansi sesuai dengan kewenangannya. Penyelenggaraan inventarisasi GRK di tingkat nasional ini mengikuti pendekatan referensi atau top down (Kementerian LH, 2012a).
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 78
Untuk penyelenggaraan inventarisasi GRK di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis daerah yang telah ditunjuk oleh kepala daerah. Unit pelaksana teknis ini kemudian mengumpulkan data aktivitas sektoral yang diperlukan untuk inventarisasi GRK. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) tingkat provinsi mengkaji hasil inventarisasi yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota. Apabila hasil dari kajian antara hasil inventarisasi yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota di lingkup satu provinsi dengan yang dilakukan oleh provinsi menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan maka BPLHD provinsi dapat melakukan pengecekan ulang sebelum hasilnya dilaporkan ke tingkat nasional, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (Kementerian LH, 2012a). Pendekatan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh daerah kemudian dilaporkan ke pusat, SIGN ini merupakan pendekatan bottom up.
Pada pelaksanaan inventarisasi GRK Nasional, Kementerian Kehutanan memiliki kewajiban menyelenggarakan inventarisasi GRK untuk sektor kehutanan yang merupakan bagian dari AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use). Pelaksanaan inventarisasi GRK sektor kehutanan dilakukan dengan menggunakan data yang dikumpulkan oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan ke-wenangannya, didukung dengan data yang dikumpulkan oleh lembaga-lembaga lainnya yang ada di tingkat nasional.
3. Indonesian National Forest Monitoring System (Indonesia NFMS)
Saat ini Indonesia telah memiliki Indonesian National Forest Monitoring System (INFMS) yang telah dibangun di Kementerian Kehutanan. NFMS memberikan informasi mengenai lokasi hutan, tipe penutupan lahan, dan perubahan penutupan hutan untuk menduga volume, pertumbuhan, dan kondisi hutan. Informasi yang terdapat di dalam INFMS dikemas dalam database berbasis web yang dapat diakses pengguna umum (Kementerian kehutanan, 2012). INFMS dirancang
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 79
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna, di mana intensitas layar informasi dapat disesuaikan untuk menyediakan informasi yang akan dicari oleh pengguna.
Informasi yang terdapat di dalam INFMS, meliputi data deforestasi, tutupan hutan, perubahan tutupan hutan, Temporary Sample Plot-Permanent Sample Plot (TSP-PSP), dan lokasi-lokasi hotspot (http://nfms.dephut.go.id/ipsdh/). Data deforestasi, tutupan lahan, dan perubahan tutupan lahan diperoleh dari hasil penafsiran citra satelit, yang dalam pelaksanaannya melibatkan unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan di daerah, yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia. Pengukuran TSP-PSP untuk memperoleh riap pertumbuhan juga dilaksanakan oleh BPKH. Total PSP yang telah dibangun dari kegiatan NFI sejak tahun pengukuran 1990-2013 sebanyak 4.450 data pengukuran PSP, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemanfaatan TSP-PSP yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan untuk penghitungan emisi karbon hutan masih memerlukan penyesuaian agar dapat diketahui cadangan karbon per luasannya.
F. Posisi PSP FCPF
Dalam kerangka kerjasama REDD+ Readiness Preparation: Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) bermitra dengan para pihak di tingkat sub-nasional membangun 263 PSP. Pembangunan dan penataan kelembagaan pengelolaan PSP dalam kerangka kerjasama FCPF di Indonesia dilakukan untuk mengisi kekurangan dan gap dari inisiatif-inisiatif kerjasama yang sudah ada sehingga dapat diperoleh besaran faktor emisi.
Perbandingan kegiatan pembangunan PSP antara kegiatan FCPF-Puspijak dengan keberadaan plot NFI dalam NFMS yang dikelola oleh Ditjen Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini:
Bab IV Desain Kelembagaan Pengelolaan PSP 80
Tabel 10. Perbandingan aspek kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan PSP dalam kegiatan FCPF-Puspijak dengan NFI dalam NFMS
Inisia f
Aspek Kegiatan PSP FCPF-Puspijak PSP NFI dalam NFMS
Ukuran plot 20 m x 20 m 1 ha dibagi menjadi 16 sub plot berukuran 25 m x 25 m
Lokasi Seluruh Indonesia Seluruh Indonesia
Ke nggian tempat Tidak ada batasan < 1000 mdpl
Tipe tutupan lahan/hutan Seluruh pe tutupan lahan Hutan Lahan Kering (Primer dan Sekunder), Hutan Rawa (Primer dan Sekunder), Hutan Mangrove (Primer dan Sekunder)
Penghitungan biomassa 5 pool karbon Above Ground Biomass (AGB)
Penghitungan volume pohon -- **
Penomoran pohon ** **
Pengukuran diameter pohon < 2 cm (mulai dari ngkat semai)
5 cm up
Pengukuran nggi pohon Mulai dari ngkat semai Pohon berdiameter 20 cm up
Keterangan:(**) : dilakukan(-- ) : dak dilakukan
Hasil penghitungan biomassa dari kegiatan pembangunan PSP FCPF-Puspijak diharapkan dapat membantu penghitungan perubahan cadangan karbon tersimpan dari seluruh tipe tutupan lahan di Indonesia, dengan menggunakan data potensi sumberdaya hutan dari plot inventarisasi hutan nasional (NFI) dalam NFMS. Berdasarkan data perubahan cadangan karbon tersimpan dapat dihitung faktor emisi dari setiap tutupan lahan di seluruh Indonesia.
Bab V Tantangan dan Strategi
Pengelolaan PSP
Berbagai pelajaran dan pengalaman telah diperoleh selama pem-bangunan PSP, di mana setiap lokasi memiliki karakteristik
yang berbeda, baik dari segi fisik, sosial, maupun budaya. Masing-masing karakteristik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses pembangunan dan pengelolaan PSP di setiap lokasi. Bab ini menguraikan beberapa tantangan dan strategi pembangunan, serta pengelolaan PSP yang teridentifikasi selama pelaksanaan kegiatan FCPF dan hasil diskusi/FGD dengan para pihak.
A. Tantangan dalam Pengelolaan PSP
1. Pembangunan PSP yang dapat mewakili semua tutupan lahan
Plot Sampel Permanen (PSP) yang sudah terbangun sekarang ini belum dapat mewakili seluruh tutupan lahan yang ada di setiap lokasi, sehingga tetap diperlukan pembangunan PSP selanjutnya untuk
Bab V Tantangan dan Strategi Pengelolaan PSP 82
melengkapi data pengukuran karbon dan biomassa pada seluruh tipe tutupan lahan. Untuk mengetahui kategorisasi tutupan lahan yang ada pada suatu daerah maka diperlukan analisis tutupan lahan secara tepat berdasarkan analisis tampilan citra satelit dan ground check di lapangan. Hasil kajian itu menentukan tutupan hutan yang perlu dihitung per-tumbuhan/pengurangan biomassanya, untuk mengetahui faktor emisi/serapan tutupan hutan tersebut berdasarkan metode stock difference.
2. Sumberdaya manusia yang menguasai teknik pengukuran di lapangan
Pengukuran karbon di lapangan memerlukan sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan teknis pengukuran, yang dapat mempertanggungjawabkan proses dan hasil pengukuran karbon hutan yang dilakukan. Oleh karena itu, harus dilakukan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia melalui pembekalan dan pelatihan teknik-teknik pengukuran serta penghitungan karbon hutan di lapangan.
3. Kelembagaan pengelolaan PSP
Kelembagaan pengelolaan PSP yang bersifat tetap perlu dibentuk agar PSP yang telah dibangun dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan, sehingga setiap pihak dapat mengetahui peran serta tanggung jawab masing-masing dalam pengelolaan PSP.
4. Kejelasan pendanaan
Pengukuran PSP harus dilakukan secara berkala dalam jangka waktu panjang., karena keberlanjutan pengukuran PSP akan meng-hasilkan data yang sangat penting dan bermanfaat bagi penge lolaan hutan lestari. Pembangunan PSP, pengukuran secara periodik, dan pengelolaan data hasil pengukuran membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu mekanisme pendanaan yang dapat menjamin keberlangsungan pelaksanaan pengukuran ulang untuk dapat menyediakan data secara akurat.
Bab V Tantangan dan Strategi Pengelolaan PSP 83
5. Keamanan PSP
Keamananan PSP merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena menyangkut keberlangsungan perolehan data. Apabila terjadi gangguan atau kerusakan maka akan terjadi perubahan ekologis di dalam PSP yang telah dibuat sehingga berpengaruh terhadap nilai faktor emisi/serapan pada tutupan lahan.
6. Pengumpulan dan pengelolaan data PSP
Data hasil pengukuran dari seluruh PSP memerlukan penanganan yang baik sehingga dapat diketahui pertambahan/pengurangan bio-massa dalam suatu tutupan lahan. Data yang diperoleh dengan biaya yang tidak murah akan sangat disayangkan bila tidak dikelola dengan baik sehingga dapat menyebabkan hilangnya seluruh atau sebagian data yang dimiliki.
B. Strategi Pengelolaan PSP
1. Kewajiban bagi pemegang izin usaha pemanfaatan dan penggunaan hutan untuk membangun PSP
Pembangunan PSP yang diinisiasi FCPF-Puspijak merupakan titik awal bagi penyediaan data cadangan karbon hutan di daerah yang nantinya dapat digunakan dalam perhitungan emisi/serapan. Banyak Pemerintah daerah berkeinginan melanjutkan pembangunan PSP untuk mewakili tutupan lahan yang belum terwakili, tetapi seringkali terkendala oleh ketersediaan dana. Penetapan kewajiban bagi para pemegang izin usaha pemanfaatan dan penggunaan hutan untuk membangun PSP akan meringankan permasalahan dana.
2. Pelatihan dan penyegaran pengukuran PSP
Penyelenggaraan pelatihan pengukuran PSP bagi pelaksana awal sebelum PSP dibangun, mutlak diperlukan. Selain itu, berdasarkan pengalaman pada pembangunan PSP FCPF-Puspijak, personil yang
Bab V Tantangan dan Strategi Pengelolaan PSP 84
melakukan pengukuran ulang berbeda dengan personil pengukuran sebelumnya, maka penyegaran bagi pelaksana pengukuran perlu dilakukan secara berkala sesuai kebutuhan.
3. Pembentukan kelembagaan pengelolaan PSP
Kelembagaan pengelolaan PSP yang beranggotakan para pihak ter kait berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, diharapkan akan dapat menjamin pengelolaan PSP yang berkelanjutan. Pembentukan ke-lembagaan ini sebaiknya mulai dirintis dari awal proses pembangunan PSP.
4. Pengalokasian dana multipihak (APBD, Perguruan Tinggi, KPH)
Perencanaan pendanaan perlu dirancang dari awal dengan mem buat pola pendanaan yang melibatkan pihak terkait dengan ke-beradaan PSP. Strategi yang akan diterapkan dalam pengelolaan PSP setelah pendanaan dari FCPF selesai adalah berbagi beban pembiayaan. Berdasarkan hasil lokakarya pengelolaan PSP yang telah diselenggarakan maka diusulkan agar Pemerintah Provinsi, perguruan tinggi terkait, KPH, dan UPT Kemenhut terkait di daerah dapat mengalokasikan anggaran mereka dalam mendukung kegiatan pemeliharaan PSP dan pengukuran ulangnya.
5. Sosialisasi keberadaan PSP kepada masyarakat luas
Selain pemilihan lokasi PSP yang aman, baik dari segi hukum (bukan pada areal yang terdapat konflik) maupun dari segi gangguan keamanan, sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai manfaat dan pentingnya keberadaan PSP juga perlu dilakukan. Misalnya, pembangunan PSP FCPF-Puspijak di Hutan Nagari di Sumatera Barat telah dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat/lokal sehingga timbul rasa memiliki yang tinggi terhadap keberadaan PSP yang dibangun.
Bab V Tantangan dan Strategi Pengelolaan PSP 85
6. Pengembangan database cadangan karbon hutan
Untuk mengakomodir data hasil pengukuran di lapangan yang jumlahnya tidak sedikit dan dalam rangka aksesibilitas data secara efisien dan efektif, perlu dibangun manajemen pengelolaan data, seperti database sederhana yang menggunakan perhitungan atau formulasi menghasilkan perhitungan biomassa dan cadangan karbon. Sebuah aplikasi database cadangan karbon telah dibuat untuk mengakomodir data yang telah diperoleh dari pengukuran PSP FCPF-Puspijak. Di masa depan akan dikembangkan integrasi seluruh data yang dapat dimanfaatkan untuk penghitungan cadangan karbon hutan, antara lain data yang berasal dari Inventarisasi Hutan Nasional (Ditjen Planologi Kehutanan), Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (Ditjen Bina Usaha Kehutanan), serta Hasil Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Ditjen Bina Pengelolaa DAS dan Perhutanan Sosial)
7. Kebijakan yang mendukung pembangunan PSP untuk pemantauan biomassa hutan
Kebijakan yang mendukung pembangunan dan pengelolaan PSP untuk pemantauan biomassa hutan sangat penting dalam menjamin keberadaan PSP, sehingga PSP mempunyai peran yang sangat penting dalam penghitungan cadangan karbon tersimpan dan penghitungan faktor emisi/serapan karbon hutan.
Daftar Pustaka
Abdullah, F., dkk. (2010). Carbon Sequestration Potential in Forest Soils, IUP Journal of Soil and Water Sciences, 3 (3): 49-60.
Angelson, A. (ed.). 2008. Moving Ahead with REDD: Issues, Options, and Implications. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Badan Litbang Kementerian Kehutanan. 2011. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Jakarta : Badan Litbang Kementerian Kehutanan.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2011. Standar Nasional Indonesia 7725:2011 Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan Berdasar Pengukuran Lapangan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Jakarta, Indonesia : Badan Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2011a. Standar Nasional Indonesia 7724:2011 Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Jakarta, Indonesia: Badan Standarisasi Nasional.
Balinda, L. 2008. Pendugaan Simpanan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Tegakan Pinus di RPH Leuwiliang KPH Bogor Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Daftar Pustaka88
Basuki, T.M., dkk. 2009. Allometric Equations for Estimating The Above-Ground Biomass in Tropical Lowland Dipterocarp Forest. Elsevier - Jurnal Forest Ecology and Management 257 (2009): 1684-1694.
Brofeldt, S., dkk. 2014. Community Monitoring of Carbon Stocks for REDD+: Does Accuracy and Cost Change over Time? Forests, 5: 1834-1854.
Brown, Sandra. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. FAO Forestry Paper – 134. Rome :FAO.
. 2002. Measuring carbon in forests: current status and future challenges. Environ.Pollut. 116:363–372.
Brown, S., dkk. 1999. Spatial distribution of biomass in forests of the eastern USA. Forest Ecology and Management . 123:81–90.
Chave, J., Andalo, E.C., Brown, S., Cairns, M.A., Chambers, J.Q., Eamus, E.D., Folster, E.H., Fromard, E.F., Higuchi, N., Kira, E.T., Lescure, E.J.P., Nelson, E.B.P., Ogawa, H., Puig, E.H., Riera, E.B., Yamakura, E.T. (2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia (2005) 145: 87–99. DOI 10.1007/s00442-005-0100-x. Springer-Verlag.
Demmallino, E. B. 2005. Teknik Konsultasi Stakeholders. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Universitas Hasanudin
. 2014. Stakeholders Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH). PPLH-Unhas. www.directory.ung.ac.id. Diakses tanggal 21 November 2014
Dharmawan, I.W.S., Siregar, C.A. 2010. Sintesa hasil-hasil penelitian jasa hutan sebagai penyerap karbon (laporan hasil penelitian). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Dimyati. 2010. The Use of Remote Sensing Data to Support Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS), bahan presentasi APRSAF, Melbourne, 23-26 November 2010.
Departemen Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan. 2008. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008. Jakarta, Indonesia.
Daftar Pustaka 89
Hairiah, K., dkk. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon: Dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan, Petunjuk Praktis, Edisi kedua. Bogor : World Agroforestry Centre.
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Petunjuk praktis pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor: World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia.
Hoover, C.M. (editor). 2008. Field Measurements for Forest Carbon Monitoring: A Landscape-Scale Approach. New York: Springer Science.
Houghton, R.A. 2007. Balancing the global carbon budget. Annu.Rev.Earth Planet.Sci. 35:313–347.
Imanuddin, R., dan Wahyono, Dj. 2006. The Utilization of Growth and Yield Data to Support Sustainable Forest Management in Indonesia di dalam Priyadi. H., Gunarso, P., Kanninen, M. (editor). Permanent Sample Plots: More Than just Forest Data (Prosiding) Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia.
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. And Tanabe K. (eds). Japan :Published IGES.
Jaya, I.N.S., dan Saleh, M.B. 2012. Peta Jalan (Roas Map) MRV Kehutanan. Jakarta, Indonesia: UN-REDD Programme Indonesia.
Jeyanny, V., dkk. 2013. Spatial Variability of Selected Forest Soil Properties Related to Carbon Management in Tropical Lowland and Montane Forest, Journal of Tropical Forest Science 25(4): 577–591.
Jones, G. 1979. Topics in Applied Geography Vegetation Productivity. Longman London and New York.
Kementerian Kehutanan. 2014. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.633/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Tingkat Acuan Emisi Karbon Hutan (Forest Reference Emission Level). Jakarta, Indonesia.
Daftar Pustaka90
Kementerian Kehutanan. 2012. Indonesia National Forest Monitoring System, bahan presentasi pada COP 18 di Doha Qatar. Tidak Dipublikasikan.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku I Pedoman Umum. Jakarta, Indonesia: Kementerian Lingkungan Hidup.
. 2012a. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II, Volume 3 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi dan Penyerapan Gas Rumah Kaca: Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lainnya. Jakarta, Indonesia : Kementerian Lingkungan Hidup.
. 2013. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi perubahan Iklim. Jakarta, Indonesia.
Ketterings, Q.M., dkk. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management. 146: 199-209.
Kittredge, J. 1944. Estimation of The Amount of Foliage of Trees and Stands. J.For. 42: 905 – 912.
Martin, J.G., dkk. 1998. Aboveground Biomass and Nitrogen Allocation of Ten Deciduous Southern Appalachian Tree Species. J.For. Res. 28: 1648 – 1859.
Meijaard, E., dkk. 2005. Life after logging: reconciling wildlife conservation and production forestry in Indonesian Borneo. Bogor, Indonesia : CIFOR (with ITTO and UNESCO).
Murdiyarso, D. 2006. The Importance of Permanent Sample Plot Network for Climate Change Projects. di dalam Priyadi, H., Gunarso, P., Kanninen, M. (editor). Permanent Sample Plots: More Than just Forest Data (Prosiding) Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia: CIFOR.
Murdiyarso, D., dkk. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and
Daftar Pustaka 91
Peatlands in Indonesia. Bogor, Indonesia : Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.
Paraningtyas, dkk. 2008. Kelembagaan Implementasi Program Kredit Mikro Perumahan di Kota Semarang. Jurnal Teknik-Vol. 29 No. 1 Tahun 2008, ISSN 0852-1697.
Parresol, B.R. 1999. Assessing Tree and Stand Biomass: A Review with Examples and Critical Comparisons. For. Sci. 45(4): 573 – 593.
Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
. 2011a. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Priyadi, H., dkk. 2006. Tree Growth and Forest Regeneration under Different Logging Treatments in Permanent Sample Plots of A Hill Mixed Dipterocarps Forest, Malinau Research Forest, Malinau, East Kalimantan Indonesia di dalam Priyadi, H., Gunarso, P., Kanninen, M. (editor). Permanent Sample Plots: More Than just Forest Data (Prosiding) Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia: CIFOR.
Purnomo, H., dkk. 2006. Making Sustainability Work for Complex Forest: Towards Adaptive Forest Yield Regulation di dalam Priyadi, H., Gunarso, P., Kanninen, M. (editor). Permanent Sample Plots: More Than just Forest Data (Prosiding) Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia: CIFOR.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kementerian Kehutanan. 2012. Profil Pelatihan Perubahan Iklim dan REDD+. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Rused, ES. 2009. Nilai Ekonomi Kegiatan Rehabilitasi dalam Menghasilkan Air dan Menyerap Karbon di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Daftar Pustaka92
Ruslandi. 2012. Penyempurnaan National Forest Inventory untuk Inventarisasi Stok dan Estimasi Emisi Karbon Hutan Tingkat Provinsi untuk Mendukung Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Jakarta Indonesia: Kemenhut RI, UN-REDD, FAO, UNDP, UNEP.
Samalca, I.K. 2007. Estimation of Forest Biomass and Its Error, A Case in Kalimantan, Indonesia. Netherland : International Institute for Geo-information Science and Earth Observation.
Siregar, C.A., Dharmawan, I.W.S. 2009. Sintesa hasil-hasil penelitian jasa hutan sebagai penyerap karbon. Laporan Hasil Penelitian. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Solichin. 2009. Panduan Inventarisasi Karbon di Ekosistem Hutan Rawa Gambut: Studi Kasus di Hutan Rawa Gambut Merang. Sumatera Selatan.
Solichin, dkk. 2011. Teknik Pendugaan Cadangan Karbon Hutan. Palembang, Indonesia: Merang REDD Pilot Project, German International Cooperation–GIZ .
Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon Dan Perdagangan Karbon. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.
UNFCCC. 2012. Report of the Conference of the Parties on its Seventeenth Session: Decisions adopted by the Conference of the Parties, COP 17 diselenggarakan di Durban dari 28 November sampai 11 Desember 2011.
. 2011. Report of the Conference of the Parties on its Sixteenth Session: Decisions adopted by the Conference of the Parties, COP 16 diselenggarakan di Cancun dari 29 November sampai 10 Desember 2010.
UNREDD. 2009. The UN-REDD Programme and an Introductionto REDD. Material for Discussion UN-REDD Consultation with CSOs and Local Communities. Bogor.
Daftar Pustaka 93
Wagner, F., dkk. 2010. Effects of Plot Size and Census Interval on Descriptors of Forest Structure, Biotropica 42(6): 664-671.
Yustika, Erani. A. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori & Strategi. Malang: Bayu Media.
Lampiran 1
Hasil Identifikasi Kelembagaan dari Lokakarya
Strategi Pengelolaan PSP di 5 (Lima) Provinsi Tahun 2012 dan 2013
Lampiran 1 96
Aspe
kLo
kasi
Prov
.Sum
bar
Prov
.NTB
Prov
. Mal
uku
Prov
. Sul
utPr
ov. S
umse
l
Pers
epsi
par
a pi
hak
terh
adap
PS
P
PSP
mer
upak
an su
atu
alat
unt
uk m
endu
ga
kand
unga
n ka
rbon
pad
a su
atu
wila
yah.
PSP
sede
rhan
a su
dah
lam
a ad
a di
mas
yara
kat,
beru
pa h
utan
ada
t.PS
P ba
gian
dar
i pe
ngua
tan
data
.
PSP
adal
ah p
lot
yang
mem
puny
ai
ukur
an te
rten
tu
dan
bers
ifat
perm
anen
.
PSP
adal
ah u
paya
m
enyu
sun
data
base
da
lam
men
duga
pot
ensi
huta
n, c
adan
gan
karb
on, k
eber
hasil
an,
dan
indi
kato
r dal
am
men
ilai R
HL
PSP
mer
upak
an p
lot y
ang
diba
ngun
unt
uk m
engu
kur
dan
mem
onito
r kar
bon
huta
n.
PSP
adal
ah p
lot p
erm
anen
un
tuk
men
duga
cad
anga
n ka
rbon
yan
g m
ewak
ili h
utan
te
rten
tu.
Inst
ansi
yan
g m
embu
tuhk
an
PSP
Dish
ut P
rov/
Kab/
Kota
, Ba
pped
a, B
LHD,
KPH
, LK
AAM
, Lem
baga
Pe
ngel
ola
Huta
n N
agar
i (LP
HN),
Huta
n Ke
mas
yara
kata
n (H
Km),
UPT
Kem
enhu
t dan
LSM
1.
Dish
ut P
rov
&
Kab
2.
Litb
ang
3.
NGO
4.
BPKH
5.
Perg
urua
n Ti
nggi
6.
Mas
yara
kat
1.
Pusa
t inv
enta
risas
i da
n pe
man
taua
n SD
H (B
PKH,
BP2
HP)
2.
Dina
s keh
utan
an
(Pro
vins
i, Ka
bupa
ten)
3.
BAPP
EDA
(Pro
vins
i, Ka
bupa
ten)
4.
Bada
n lit
bang
5.
Bape
dald
a/KD
PL6.
Pe
rgur
uan
Ting
gi7.
LS
M/K
SM �
Cifo
r, Ic
raf
8.
Pela
ku u
saha
di
sekt
or k
ehut
anan
9.
M
asya
raka
t lok
al10
. DK
DM d
an p
okja
RE
DD
1.
BPKH
2.
BPK
3.
BLH
4.
BAPP
EDA
5.
Peng
elol
a hu
tan
piha
k sw
asta
6.
Pe
mer
inta
h pr
ovin
si,
kabu
pate
n &
kot
a 7.
Pe
rgur
uan
nggi
8.
Ag
roko
mpl
eks
9.
Klim
atol
ogi
1.
Kehu
tana
n 2.
Pe
rkeb
unan
3.
Bada
n Li
ngku
ngan
Hid
up
4.
Pela
ku u
saha
(Keh
utan
an,
Pert
amba
ngan
, dll)
yan
g m
asuk
wila
yah
kons
erva
si 5.
Pe
rgur
uan
Ting
gi
6.
Bapp
eda
7.
LSM
(NGO
)8.
Di
nas P
erhu
bung
an
9.
Mas
yara
kat L
okal
di
seki
tar h
utan
10
. Le
mba
ga P
enel
ian
te
rmas
uk B
alitb
angd
a 11
. PO
KJA
REDD
+12
. BM
KG13
. Pe
rtan
ian
14.
Perik
anan
15
. Ba
dan
Pena
nggu
lang
an
Benc
ana
Nas
iona
l/Dae
rah
Lampiran 1 97
Pena
nggu
ng
jaw
ab
peng
elol
aan
PSP
Pokj
a RE
DD+
Dish
ut P
rovi
nsi
dan
Kabu
pate
nBA
PPED
A at
au B
PKH
Bapp
eda
dan
BPKH
1.
Kehu
tana
n (k
aren
a su
dah
mem
puny
ai S
DM,
Prog
ram
)2.
Ba
dan
Ling
kung
an H
idup
3.
Ba
pped
a 4.
Ba
dan
Info
rmas
i Ge
ospa
sial (
kare
na p
ada
akhi
rnya
nan
sem
ua
data
tent
ang
spas
ial
dike
luar
kan
oleh
BIG
)
Hal y
ang
dibu
tuhk
an
daer
ah u
ntuk
m
enja
min
ke
bera
daan
dan
Pe
ngel
olaa
n PS
P
1.
Kepa
san
lem
baga
pe
ngel
ola
PSP
2.
Kepa
san
ang
gara
n pe
ngel
olaa
n3.
Pe
libat
an p
ara
piha
k4.
So
sialis
asi y
ang
perlu
di
ngka
tkan
Men
ugas
kan
petu
gas t
erde
kat
dan
mas
yara
kat
yang
men
gelo
la
1.
Kom
itmen
2.
Pera
tura
n Da
erah
3.
Pera
tura
n N
eger
i4.
M
oU (J
amin
an
Huku
m)
5.
Batu
an D
onor
6.
Pend
anaa
n Da
ri AP
BN d
an A
PBD
7.
Ikat
an K
erja
sam
a an
tara
Pem
ilik
Laha
n de
ngan
Pe
ngel
ola
PSP
1.
Kom
itmen
sem
ua p
ihak
2.
Ke
bija
kan
pem
erin
tah
(pus
at)
3.
Sosia
lisas
i dan
pel
aha
n 4.
Pe
leng
kap
serfik
asi p
ara
pem
egan
g izi
n 5.
Pe
nam
baha
n ju
mla
h PS
P
1.
Fina
ncia
l /Pe
ndan
an d
ari
sem
ua p
ihak
2.
SD
M y
ang
Kom
pete
n 3.
Pe
dom
an P
embu
atan
PSP
yg
ters
tand
arisa
si (S
NI)
4.
Kele
mba
gaan
/Tim
tekn
is (B
adan
Pen
gelo
laan
PSP
/Fo
rum
)5.
In
sfra
stru
ktur
(so
war
e da
n ha
rdw
are)
Lampiran 1 98
Peny
elar
asan
si
stem
pe
man
taua
n da
n pe
lapo
ran
PSP
dari
BPKH
, KPH
, FC
PF d
an N
on
FCPF
1.
Mem
bang
un si
stem
da
taba
se p
ada
satu
w
ali d
ata
2.
Peng
atur
an p
erio
de
peng
ukur
an
3.
Peny
erag
aman
m
etod
e, p
aram
eter
ya
ng a
kan
diuk
ur
(bai
k on
pap
er
mau
pun
on li
ne)
4.
Tem
plat
e be
rbas
is M
icro
so a
cces
s5.
In
tegr
asi d
enga
n LU
WES
Perlu
dite
tapk
an k
ebija
kan
dari
pusa
t unt
uk m
embu
at
siste
m m
onito
ring
&
pela
pora
n PS
P ya
ng a
kan
diko
ordi
nasik
an o
leh
piha
k pe
nang
gung
jaw
ab (B
appe
da
& B
PKH)
1.
Perlu
ada
nya
pedo
man
(fo
rmat
dan
mek
anism
e pe
lapo
ran)
yan
g di
sepa
ka b
ersa
ma
oleh
pa
ra p
ihak
2.
Ko
labo
rasi
mon
itorin
g pa
ra p
ihak
terk
ait
3.
Dise
lara
skan
den
gan
kele
mba
gaan
MRV
yan
g su
dah
ada
di d
aera
h
Pend
anaa
n PS
P di
mas
a ya
ng
akan
dat
ang
• AP
BD P
rovi
nsi/
Kabu
pate
n da
n Ko
ta•
BPKH
Wila
yah
I•
Hiba
h Lu
ar N
eger
i
APBD
Pro
vins
i dan
Ka
bupa
ten
1.
APBN
→ B
PKH
2.
APBD
→ K
ab/D
inas
3.
U
nit P
enge
lola
→
KPH,
HPH
/IU
PHHK
4.
Plot
yan
g be
rada
di
luar
grid
mak
a da
pat d
idan
ai o
leh
litba
ng.
5.
Unt
uk P
SP y
g be
rada
pad
a HL
dan
TN
, dib
iaya
i ole
h PE
MDA
/pen
gelo
la
sete
mpa
t6.
Ad
anya
sine
rgi d
ana
pusa
t dan
dae
rah
1.
Piha
k pe
mer
inta
h m
engi
ku k
eten
tuan
yg
dite
tapk
an (A
PBN
&
APBD
)2.
Pi
hak
swas
ta d
imas
ukka
n sb
g ke
waj
iban
inte
rnal
3.
Bant
uan
asin
g da
pat
diup
ayak
an m
elal
ui
akun
tabi
litas
dan
tr
ansp
aras
i yg
jela
s
1.
Dono
r Lua
r Neg
eri
2.
Indu
stri
dala
m n
eger
i 3.
Pe
rbai
kan
Man
ajem
en
deng
an c
ara
mem
aksim
alka
n an
ggar
an
FCPF
sebe
lum
ber
akhi
r ta
hun
2014
4.
Inte
gras
ikan
PSP
FCP
F de
ngan
Ditj
en P
lano
logi
ya
ng p
embi
ayaa
nnya
dar
i AP
BN5.
AP
BD P
rovi
nsi
6.
Par
sipas
i Mitr
a Ke
huta
nan
di L
okas
i PSP
Lampiran 1 99 Pe
ngga
lang
an
kom
itmen
an
tar i
nsta
nsi
terk
ait d
an p
ara
piha
k da
lam
pe
ngel
olaa
n PS
P
Pokj
a RE
DD+
akan
be
rkoo
rdin
asi
deng
an p
ara
piha
k di
Ka
bupa
ten/
Kota
Penu
njuk
kan
inst
ansi
terk
ait,
LSM
Kos
lata
, LS
M K
onse
psi,
Bapp
eda
Prov
, U
nram
, Bal
ai
Pene
lian
Ke
huta
nan
Mat
aram
, Pu
spija
k
1.
Prod
uk h
ukum
yan
g m
engi
kat
2.
Man
faat
PSP
ha
rus d
isosia
lisas
i ke
pada
mas
yara
kat
kare
na m
anfa
atny
a di
rasa
kan
dala
m
jang
ka p
anja
ng.
3.
Pera
n ba
pped
a da
lam
m
engk
oord
inir
inst
ansi
terk
ait
4.
Mem
bagi
tuga
s se
suai
fung
si m
asin
g-m
asin
g in
stan
si te
rkai
t
1.
Perja
njia
n te
rtul
is pa
ra
piha
k (m
eruj
uk p
oin
ke-2
)2.
Re
ncan
a ak
si be
rsam
a (b
isa b
erbe
ntuk
road
map
)
Kend
ala
yang
di
tem
ui p
ada
saat
pen
yusu
nan
RAD
GRK
dan
SRAP
RED
D+
1.
Kura
ngny
a so
sialis
asi,
koor
dina
si, d
an
pem
aham
an d
ari
selu
ruh
stak
ehol
der
2.
Lega
litas
laha
n3.
RT
RW y
ang
belu
m
disa
hkan
4.
Data
yan
g ku
rang
le
ngka
p5.
Da
ta p
enut
upan
la
han
per
Kabu
pate
n ag
ak
sulit
kar
ena
pers
epsi
bata
s w
ilaya
h ya
ng
berb
eda
1.
Kura
ng le
ngka
pnya
dat
a se
hing
ga b
elum
bisa
m
enja
wab
per
tany
aan
SRAP
RED
D+2.
Ko
ordi
nasi
anta
r sek
tor
yang
mas
ih le
mah
1.
Kura
ngny
a te
naga
ahl
i2.
Ko
ordi
nasi
dan
kom
unik
asi a
ntar
ins
tusi
3.
Pem
biay
aan
yang
da
k tr
ansp
aran
4.
SKPD
yan
g ha
dir b
erub
ah-
ubah
5.
Da
ta
dak
leng
kap
dan
sulit
dip
erol
eh/ i
nput
dat
a m
asih
dira
guka
n6.
Ku
rang
nya
sosia
lisas
i di
daer
ah te
rkai
t RAD
GRK
da
n SR
AP G
RK
7.
Kura
ngny
a ko
mitm
en d
an
duku
ngan
pol
ik
Lampiran 1 100
Data
dan
in
form
asi
yang
bel
um
ters
edia
di
ngka
t Pro
vins
i te
rkai
t str
ateg
i pe
nuru
nan
emis
i GR
K
1.
Data
Inve
ntar
isasi
huta
n ya
ng b
ersif
at
mak
ro, p
erlu
ad
anya
dat
a sp
esifi
k da
erah
2.
Belu
m
men
dapa
tkan
file
SH
P da
ri RT
RW
yang
bel
um
disa
hkan
, dat
a ca
dang
an k
arbo
n ya
ng m
asih
na
siona
l.3.
Pe
mba
ngun
an P
SP
seba
ikny
a di
laku
kan
di lu
ar k
awas
an
huta
n ju
ga
1.
Unt
uk d
ata
kehu
tana
n se
bena
rnya
suda
h le
ngka
p, n
amun
ko
ordi
nasi
yang
mas
ih
lem
ah2.
Da
ta d
an in
form
asi
pe
ekol
ogi b
elum
ada
3.
Citr
a sa
telit
reso
lusi
sang
at
nggi
bel
um a
da
1.
Data
fakt
or e
misi
bel
um
sesu
ai k
ondi
si fa
ktua
l da
ri la
pang
an h
anya
m
enga
ndal
kan
data
dar
i pu
sat (
DIRJ
ENPL
AN)
2.
Data
cad
anga
n ka
rbon
be
rdas
arka
n pe
nutu
pan
laha
n3.
Da
ta K
arbo
n da
ri 5
pool
ka
rbon
, dat
a tr
ade
off,
data
bio
geofi
sik
Pene
ntua
n w
ali
data
unt
uk
mon
itorin
g ka
rbon
hut
an
PPID
(Pej
abat
Pe
ngol
ah
Info
rmas
i Do
kum
enta
si) d
i ap
SKP
D an
ggot
a Po
kja
RAD
GRK
Data
Biofis
ik: B
PKH,
U
npa
, Dish
ut P
rov.
Mal
uku,
BKS
DA, T
N
Man
usel
a, B
PDAS
Way
Ap
u, B
PTH
Mal
uku-
Papu
a, B
alai
sung
ai d
an
iriga
si, B
appe
da, B
MKG
Data
Sos
ek: B
PS
Data
Biofis
ik: D
itjen
Pl
anol
ogi,B
appe
da, B
adan
Li
tban
g, P
T, BP
KH, D
ishut
, BP
DAS
Mus
i, BP
TH, B
MKG
Data
Sos
ek: B
PS, D
isnak
er, P
T, Di
nkes
, PU,
Dik
Lampiran 1 101
Out
put y
ang
diin
gink
an
dari
Sist
em
Mon
itorin
g Ka
rbon
Hut
an
(SM
KH)
1.
Dina
mik
a ka
rbon
hut
an2.
Pe
ta tu
tupa
n la
han
3.
Luas
an
tutu
pan
laha
n4.
Ci
tra
sate
lit5.
Pe
ta se
bara
n da
n po
tens
i ka
rbon
6.
M
odel
pr
oyek
si ka
rbon
be
rdas
arka
n pe
ek
osist
em7.
Si
stem
m
onito
ring
yang
din
amis
1.
Kete
rsed
iaan
dat
a un
tuk
mem
buat
pe
renc
anaa
n2.
Da
ta d
an in
form
asi
cada
ngan
kar
bon
dala
m m
onito
ring
base
line
data
3.
Unt
uk m
emon
itor
perk
emba
ngan
ke
seha
tan
ekos
istem
4.
Men
geta
hui
simpa
nan
karb
on
pada
kon
disi
regi
on
di p
rov.
Mal
uku
5.
Pem
bina
an d
an
peng
enda
lian
dala
m p
eren
cana
an
pem
bang
unan
1.
Inve
ntar
isasi
huta
n da
n ca
dang
an k
arbo
n2.
Pe
ruba
han
penu
tupa
n la
han
dan
stok
kar
bon
Lead
ing
ins
tusi
ya
ng a
kan
men
gelo
la S
MKH
Pokj
a RA
D GR
KPo
kja
RED
D+Ba
pped
aDi
shut
Lampiran 1 102
Sist
em/
mek
anis
me/
prot
okol
pe
ngum
pula
n da
n up
dang
da
ta u
ntuk
SM
KH
Peng
elol
aan
siste
m
mon
itorin
g ka
rbon
hut
an
berd
asar
kan
kese
paka
tan
para
pih
ak,
yang
mel
ipu
: m
ekan
isme
inpu
t, ak
ses,
sh
arin
g, d
an
pera
n se
rta
tang
gung
ja
wab
par
a pi
hak
Data
dar
i ins
tans
i ter
kait
peng
umpu
lan
data
bi
ofisik
mau
pun
sose
k m
engu
mpu
lkan
sem
ua
data
nya
kepa
da P
OKJ
A RE
DD+
dan
dila
pork
an
kepa
da G
uber
nur
seba
gai p
enan
ggun
g ja
wab
BAPP
EDA
SDM
dan
fasi
litas
ya
ng te
rsed
ia1.
Pe
rlu
supe
rvisi
da
ri pu
sat k
e da
erah
2.
Pelib
atan
m
asya
raka
t3.
Ca
paci
ty
Build
ing
SDM
: -
Pela
han
SDM
un
tuk
pena
ngan
an
siste
m m
onito
ring
- Ah
li bi
dang
sta
sk
dan
ITFa
silita
s:-
Sist
em d
atab
ase
- Ko
mpu
ter
- Ak
ses I
nter
net
BAPP
EDA,
DIS
HUT,
BPK
PALE
MBA
NG,
WAL
HI
Sum
ber :
Lap
oran
Wor
ksho
p St
rate
gi P
emba
ngun
an P
SP
ngka
t Pro
vins
i tah
un 2
012
dan
2013