nurus shalihin, yulia 1 - repository.uinib.ac.id

73

Upload: others

Post on 20-Apr-2022

49 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 1

Page 2: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id
Page 3: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 1

Nurus Shalihin

Yulia

Radikalisasi Anak Usia Dini; Studi Atas Praktik Radikalisasi Anak Usia Dini

Pada Lembaga Pendidikan Islam

Page 4: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

2 | Radikalisasi Anak Usia Dini

KATA PENGANTAR

Penelitian dengan tema Radikalisasi Anak Usia Dini;

Studi Atas Praktik Radikalisasi Anak Usia Dini Pada Lembaga

Pendidikan Islam. Penelitian pengembangan nasional ini

mendapat bantuan dari DIPA UIN Imam Bonjol Padang melalui

Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah LP2M UIN Imam Bonjol

Padang Tahun Anggran 2019. Adalah keniscayaan bagi kami

untuk mengaturkan terima kasih kepada pimpinan Pusat

Penelitian dan Publikasi Ilmiah LP2M UIN Imam Bonjol Padang

atas semua fasilitas yang disediakan untuk menunjang

terselanggaranya penelitian ini. Terima kasih tak terhingga

kepada seluruh responden dan informan yang telah memberikan

informasi dan data-data terkait dengan penelitian ini. Kiranya

Allah membalasinya dengan rahmat yang tidak terkira.

Disadari sepenuhnya bahwa penelitian ini belum cukup

memadai. Banyak hal yang perlu didiskusikan terutama terkait

dengan analisis data dengan teori. Akhirnya apabila pengetahuan

berkembang bila dia dikritisi dan diperdebatkan, maka demikian

juga halnya dengan penelitian ini, yang menuntut adanya gugatan

dan perdebatan.

Padang, November 2019

Peneliti

iii

Page 5: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .............................................. 1

1.Pendahuluan ..................................................... 1

2.Perumusan Masalah ........................................ 4

3.Tujuan ............................................................. 5

4.Kajian Literatur ................................................ 5

5.Kontribusi Penelitian ....................................... 7

6.Metode Penelitian............................................. 8

6.1. Setting dan Pendekatan Penelitian ........... 8

6.2. Lokasi Penelitian ...................................... 9

6.3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ... 10

6.4. Teknik Analisis Data ................................ 10

BAB II PENDIDIKAN ISLAM TERPADU DAN

RADIKALISASI ............................................ 13

A. Radikalisme Dalam Islam .............................. 13

B. Doktrinisasi Radikalisme ................................ 18

C. Pendidikan Islam Terpadu dan Radikalisme

Islam ............................................................... 22

BAB III PROSES RADIKALISASI ANAK USIA

DINI PADA PENDIDIKAN ISLAM

TERPADU ..................................................... 27

3.1. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini;

Bacaan Ideologi, Politik, dan Ekonomi ....... 27

3.2. Tipologi Pendidikan Anak Usia Dini ........... 31

3.3. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini ............. 33

3.3.1.Penanaman Nilai dan Sikap

Fanatisme ............................................ 34

3.3.2.Penanaman Nilai dan Sikap

Pemaksaan Kehendak ........................ 36

3.3.3.Penanaman Nilai dan Sikap Keras ...... 38

3.3.4.Penanaman Nilai dan Sikap Berburuk

Sangka ................................................. 40

3.4. Radikalisasi Anak Usia Dini; Tipologi

Sekolah Islam Terpadu ................................ 43

iv

Page 6: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

2 | Radikalisasi Anak Usia Dini

3.4.1. Perbandingan Penanaman Nilai

dan Sikap Fanatisme ......................... 45

3.4.2. Perbandingan Penanaman Nilai

dan Sikap Berburuk Sangka ............. 48

3.4.3. Perbandingan Penanaman Nilai

dan Sikap Keras ................................ 51

3.4.4. Perbandingan Penanaman Nilai

Dan Sikap Pemaksaan Kehendak .... 53

BAB IV PENUTUP ....................................................... 59

4.1. Kesimpulan .......................................................... 59

4.2. Saran .......................................................... 60

DAFTAR RUJUKAN ................................................... 61

v

Page 7: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 1

BAB I

1. Pendahuluan

Beberapa tahun terakhir, radikalisme dan terorisme

menjadi masalah yang tengah menjangkiti dan mengintai anak

muda melalui pendidikan (Fanani, 2013). Hasil survey Lembaga

Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) misalnya menunjukkan

bahwa 48,9% siswa yang menjadi sampel survey menyetujui aksi

radikalisme karena agama (Fanani, 2013; Munip, 2012). Di

tingkat perguruan tinggi, dukungan mahasiswa perguruan tinggi

umum terhadap tindakan radikalisme sangat tinggi. Hasil studi

Fadjri dkk (2007) menunjukkan bahwa 65% dari 2.466 sampel

mahasiswa mendukung pelaksanaan sweeping kemaksiatan, 18%

mendukung dan terlibat dalam kegiatan sweeping. Hanya 11%

yang menyatakan tidak mendukung kegiatan sweeping, dan 6%

tidak menjawab. Alasan utama mereka mendukung sweeping

adalah karena bagian dari perintah agama (88%), karena aparat

tidak mampu menegakkan hukum (4%) dan dekadensi moral (8%)

(Munip, 2012; Muqoyyidin, 2013).

Selain itu, dalam proses pendidikan ekstrakurikuler,

sekolah formal sebagai lembaga pendidikan sangat terbuka

terhadap infiltrasi dari luar dalam proses radikalisasi. Hasil studi

Maarif Institute di 4 sekolah umum, menemukan bahwa organisasi

sosial luar sekolah membangun jaringan ke dalam organisasi

siswa intra sekolah melalui proses mentoring agama Islam.

Berbagai organisasi tersebut menyisipkan materi-materi intoleran

dan radikalisme ke dalam modul pendidikan (Gaus-AF, 2013).

Tidak hanya itu, studi PPIM menemukan adanya konten intoleran

terhadap perbedaan dan ajaran untuk menerima tindakan

kekerasan atas nama agama dalam menyikapi perbedaan. Hal ini

ditemukan pada buku teks Pendidikan Agama Islam (PAI) yang

digunakan dalam pembelajaran agama Islam di sekolah. Konten

tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam yang bersifat

rahmatan li al-alamin (Nasuhi, Makruf, Umam, & Darmadi,

2018).

Radikalisasi menggunakan berbagai media, sistem dan

mekanisme yang unik untuk memperkuat jejaringnya. Di Eropa

misalnya, proses penyebaran ideologi sebagai program utama

Page 8: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

2 | Radikalisasi Anak Usia Dini

kelompok-kelompok terorisme dan fundamentalisme bersifat

informal dan terselubung tetapi sangat sistematis. Mereka

cenderung menjadikan imigran Muslim sebagai target radikalisasi

karena mereka tidak mudah diterima oleh masyarakat baru

(mayoritas) dan biasanya mereka masih memiliki hubungan yang

sangat dekat dengan negeri asalnya—pada umumnya negeri-

negeri Islam. Selain itu, mereka juga menjadikan kelompok

muslim muda yang termarginalisasi di Eropa sebagai target utama

perekrutan (Bott et al., 2009). Di Indonesia sendiri, salah satu cara

radikalisme masuk melalui sistem dan proses pendidikan formal

dan mengintai anak muda (Fanani, 2013). Hal ini tentu menjadi

catatan penting dalam memahami proses doktirinisasi yang

sistematis dalam upaya radikalisasi terhadap anak muda.

Radikalisme keagamaan menurut Azyumardi Azra

bersumber dari pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-

sepotong dan tidak utuh terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

Pemahaman seperti itulah yang hampir tidak memberikan ruang

bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok

Muslim lain yang umumnya moderat dan karena itu menjadi arus

utama (mainstream) umat. Kelompok umat Islam yang berpaham

seperti ini sudah muncul sejak masa al‐ Khulafa’ al‐ Rasyidun

keempat Ali ibn Abi Thalib dalam bentuk kaum Khawarij yang

sangat radikal dan melakukan banyak pembunuhan terhadap

pemimpin Muslim yang telah mereka nyatakan ‘kafir’ (Azra,

2011). Hal inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal

dengan memanfaatkan lembaga pendidikan dan mengajarkan

fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik.

Tidak heran kemudian ormas-ormas Islam garis keras yang

tumbuh pasca reformasi menjadikan pendidikan sebagai pintu

masuk yang efektif bagi penyebaran dakwah Islam garis keras.

Hal ini dapat dilihat tumbuh dan berkembangnya lembaga

pendidikan berbasis agama seperti dengan kemasan Islam Terpadu

(IT) mulai dari tingkat PAUD, TK, SD, hingga SLTA. Di sekolah-

sekolah IT ini diajarkan ciri keagamaan yang mereka anut seperti

khas Timur Tengah, leterlek dan harfiah dalam memahami Islam

serta menggunakan istilah-istilah baru yang bernuansa Arab

seperti halaqah, dawrah, mabit dan lain sebagainya (Rokhmad,

2012).

Page 9: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 3

Jejaring lembaga pendidikan Islam ini disinyalir

dimanfaatkan untuk memasukkan konten radikal dalam proses

pembelajaran, materi ajar, bahan ajar, buku ajar dan perangkat

pendidikan lainnya. Di kota Depok misalnya, pada tahun 2016

awal, Gerakan Pemuda (GP) Ansor menemukan buku-buku untuk

Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD), mengandung kalimat-kalimat berisi ujaran terorisme dan

radikalis. Penulis buku yang ditemukan tersebut diduga adalah

istri pimpinan kelompok Laskar Jihad di Solo, Jawa Tengah

(Rochmi, 2016). Di Sumatera Barat, gejala radikalisme dalam

proses pendidikan dini di TK & PAUD juga mulai dirasakan oleh

beberapa orang tua murid TK & PAUD IT. Beberapa gejala

tersebut terlihat dari proses belajar anak-anak, materi ajar dan

bahan ajar para siswa. Gejala tersebut terlihat dari beberapa

respon mereka terhadap perbedaan. Hanya saja, gejala ini masih

dalam bentuk dugaan yang belum dapat dibuktikan secara ilmiah.

Namun demikian, assesmen awal penelitian menduga adanya

proses radikalisasi dalam proses pendidikan pada lembaga

pendidikan usia dini di Sumatera Barat.

Dalam konteks Sumatera Barat, pentingnya penelitian ini

dilakukan mengingat selain berdasarkan indikasi awal yang

ditemukan, juga mengacu pada studi Jeffrey Hadler dan

Azyumardi Azra tentang radikalisme. Hadler dalam A

Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia:

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History, mengemukakan

bahwa secara historis di Minangkabau sudah pernah terjadi

gerakan pembaharuan Islam pada abad ke-18 yang disebut sebagai

the first Muslim-against-Muslim Jihad in South Asia. Memahami

sejarah gerakan paderi yang diusung oleh Tuanku Imam Bonjol,

sesungguhnya adalah upaya untuk menelusuri pertarungan antara

wahabisme menghadapi matrifocal di Minangkabau (Hadler,

2008). Bersamaan dengan itu, Azyumardy Azra juga

mengemukakan pandangan bahwa radikalisme di kalangan

muslim Indonesia bukanlah hal yang baru. Hal itu dapat

dibuktikan melalui kemunculan gerakan Paderi di Sumatera Barat

Page 10: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

4 | Radikalisasi Anak Usia Dini

pada akhir abad-18. Pola dan bentuk gerakan Paderi yang

cenderung menggunakan kekerasan, dan teror diartikan oleh

Azumardi Azra sebagai gerakan radikal yang muncul di Sumatera

Barat, bahkan dipahami lebih modern ketimbang gerakan yang

dilakukan oleh Laskar Jihad dan Front Pembela Islam dewasa ini

(Azra, 2011).

Pandangan Jeffrey Hadler dan Azyumardi Azra tersebut

mengukuhkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara

sejarah pembaharuan Islam dengan radikalisasi di Sumatera Barat.

Ditangkapnya lima terduga teroris di sejumlah lokasi yang ada di

Sumbar pada Agustus 2018 lalu menunjukkan bahwa hingga hari

ini masih terdapat gejala dan gerakan radikal di Sumatera Barat.

Al Chaedar bahkan menyebutkan terdapat sekitar 3000-an anggota

terorisme di Sumatera Barat. Mereka terafiliasi dengan ISIS,

Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan jaringan Jamaah Ansharut

Khilafah (JAK) (Haluan, 2018). Maka tidak berlebihan jika

radikalisasi di Sumatera Barat terus berlangsung dengan

bentuknya yang sangat halus dan sistematis, meskipun terkadang

tidak disadari oleh etnis Minangkabau. Salah satunya adalah

radikalisasi anak pada usia dini melalui institusi pendidikan Islam.

Radikalisasi anak tersebut juga menggunakan strategi yang sama,

dan sering dilakukan oleh kelompok-kelompok terorisme, yaitu

doktrinasi perang dan mengajarkan kebencian terhadap perbedaan.

Hal ini dapat dilacak pertama, melalui perangkat formal

pendidikan seperti kurikulum, buku dan guru. Kedua melalui

aspek-aspek simbolik seperti pakaian yang dipakai oleh guru dan

pakaian untuk anak-anak, model hubungan anak laki-laki dan

perempuan, serta simbol-simbol di sekolah seperti gambar dan

lain sebagainya.

2. Perumusan Masalah

Penelitian ini, berangkat dari tesis bahwa radikalisme

tumbuh di kalangan umat Islam tidak secara spontan dan

aksidental, melainkan melalui proses yang terkadang tidak

disadari oleh umat Islam. Sebagaimana diuraikan di atas, proses

Page 11: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 5

radikalisasi bahkan masuk melalui lembaga pendidikan di semua

tingkatan pendidikan dengan berbagai cara yang kemudian

mengubah konsepsi jihad para siswa. Tesis ini dibangun selain

mengacu pada hasil studi yang telah disinggung di atas, juga

berangkat dari pernyataan Erich Kolig (2005) bahwa radikalisme

di kalangan umat Islam tidak hanya didorong oleh alasan-alasan

struktural seperti skeptisisme terhadap pemerintahan dan

kebijakannya, tetapi juga didorong oleh doktrinasi yang salah

terhadap konsepsi Islam-jihad, dan isu takfiri. Berdasarkan latar

belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Bagaimana proses radikalisasi anak usia dini terjadi pada

institusi pendidikan Islam di Sumatera Barat

3. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami

model-model radikalisasi dalam lembaga pendidikan. Secara

spesifik, penelitian ini bertujuan memahami proses radikalisasi

anak melalui lembaga Pendidikan Islam Terpadu.

4. Kajian Literatur

Ada banyak studi terkait radikalisasi. Hasil studi yang

dipublikasikan oleh Change Institute tentang kepercayaan, narasi

dan ideologi yang menyebabkan kekerasan dan radikalisme

menyimpulkan bahwa tindakan tersebut lahir dari penafsiran yang

salah terhadap Islam. Studi ini juga menyebutkan bahwa perilaku

radikalisme adalah perilaku irasional karena lebih terlihat sebagai

ekspresi ideologi dan kepercayaan, ketimbang ekspresi ekonomi

(Ahmad, Aydin, & Barou, 2009). Studi lain menyimpulkan bahwa

faktor yang menyebabkan radikalisasi adalah kolonialisasi Barat

dan represi rezim penguasa. Selain itu isu-isu identitas, poor

political dan integrasi sosio-ekonomi serta faktor-faktor

psikologis lainnya juga menjadi faktor radikalisasi (Veldhuis &

Staun, 2009). Meskipun semua faktor tersebut berkontribusi

terhadap radikalisasi tetapi tidak cukup dapat menjelaskan

perubahan drastis pada perilaku kekerasan seperti kasus bom

Page 12: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

6 | Radikalisasi Anak Usia Dini

London pada tahun 2005, yang dilakukan oleh pembunuh Theo

Van Gogh, Mohammed Bouyeri.

Radikalisasi menjadi fenomena kompleks untuk dikaji dan

dipahami. Terlebih tidak ada daftar dan profile pelaku radikalisme

yang lengkap. Faktor-faktor mengapa radikalisasi terjadi dan

menguat cenderung bervariasi dan dinamis (Patel, 2011). Oleh

karena itu, gerakan radikal seperti terorisme seringkali tidak

terduga, tetapi sangat mengancam keteraturan global (Silber &

Bhatt, 2007). Oleh karena itu, tidak heran jika beberapa gerakan

radikal dalam bentuk teror beberapa tahun terakhir muncul tanpa

diduga. Dan menariknya, beberapa aksi teror yang dinilai sebagai

gerakan radikal tersebut dilakukan oleh anak muda. Berdasarkan

hipotesis tersebut kemudian banyak studi tentang radikalisme

bergeser ke institusi pendidikan. Di Indonesia studi-studi tersebut

sebagaimana disinggung pada bagian pendahuluan menemukan

adanya upaya radikalisasi melalui pendidikan formal di sekolah

dan perguruan tinggi.

Studi paling mengejutkan tentang radikalisme di sekolah

dilakukan oleh LaKIP tahun 2010-2011 dengan mengambil

sampel 200 sekolah (100 SMP dan 100 SMA) di Jabodetabek.

Studi dengan pendekatan survey ini telah mewawancarai 993

siswa tingkat SMP dan SMA (Fanani, 2013; Munip, 2012), dan

hasilnya hampir separuh siswa SMP dan SMA setuju dengan

radikalisme atas nama agama. Studi ini, meskipun kontroversial

banyak dirujuk dalam literatur yang mendiskusikan radikalisme.

Studi lainnya, masih di tingkat SLTA dilakukan oleh Maarif

Institute pada 4 SMU Negeri di 4 daerah (Cianjur, Pandeglang,

Surakarta, dan Yogyakarta) menunjukkan adanya upaya upaya-

upaya dari kelompok-kelompok radikal untuk masuk ke

lingkungan sekolah dalam menyebarkan paham mereka dan

merekrut anggota dari kalangan pelajar (Gaus-AF, 2013). Di

Perguruan tinggi, perkembangan pemikiran radikal tengah

menjangkiti mahasiswa. Di UIN Jakarta, fenomena tersebut

mengalami peningkatan bersamaan dengan terbukanya kelompok-

kelompok luar dan organisasi keagamaan mengambil peran dalam

Page 13: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 7

dinamika organisasi kemahasiswaan (Mubarak, 2013). Studi

Fadjri dkk (2007) bahkan menunjukkan bahwa 65% dari 2.466

mahasiswa mendukung pelaksanaan sweeping kemaksiatan

dengan alasan bagian dari perintah agama (88%) (Munip, 2012;

Muqoyyidin, 2013).

Berbagai literatur dari studi terdahulu merupakan studi

penting dalam penelitian ini, terutama studi yang berhubungan

dengan proses radikalisasi di lembaga pendidikan formal.

Meskipun demikian, terlihat bahwa kajian radikalisasi anak usia

dini belum tersentuh dari beberapa studi yang sudah dirangkum

dalam studi literatur tentang radikalisme yang ada di Indonesia.

Padahal fenomena tersebut tengah berlangsung melalui sistem

pendidikan Islam Terpadu yang tanpa disadari telah

mengondisikan lahirnya sikap radikalisme yang tidak saja

membahayakan masa depan generasi muda, tetapi juga tatanan

kehidupan sosial. Penelitian ini berusaha mengisi kekosongan

tersebut, dan ditujukan untuk memahami model, bentuk dan

proses radikalisasi anak usia dini pada institusi pendidikan dasar

Islam.

5. Kontribusi Penelitian

Berdasarkan penelusuran literatur, studi terhadap

radikalisasi melalui institusi pendidikan termasuk studi baru di

Indonesia. Sejauh ini, belum ditemukan studi tentang ini baik di

tingkat nasional maupun daerah. Sementara di sisi lain, jaringan

pendidikan Islam Terpadu cukup menguat pasca reformasi dan

sistem pendidikan IT ini sangat diterima oleh masyarakat

(Suyatno, 2014). Meskipun sistem pendidikan ini diterima oleh

masyarakat, tidak tertutup kemungkinan institusi pendidikan usia

dini terinfiltrasi oleh gerakan radikalisasi oleh kelompok ormas

Islam garis keras.

Kontribusi teoritis studi ini akan dapat dilihat bahwa

menurut teori tabularasa, anak-anak itu seperti kertas putih yang

akan diwarnai oleh sistem sosialisasi yang ada, baik sosialisasi

informal melalui pergaulan dan melihat keadaan, atau sosialisasi

Page 14: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

8 | Radikalisasi Anak Usia Dini

formal melalui pendidikan. Hanya saja dapat diketahui bahwa

sosialisasi yang ada, tidak selalu searah, tapi kadang berlawanan

satu sama lain. Itu artinya akan menciptakan kebingungan dan

konflik batin dalam diri anak-anak. Dengan demikian, ada

kemungkinan anak-anak akan mengalami gangguan mental, sters

atau gila. Akan tetapi kenyataannya anak-anak tidak ada yang

mengalami gangguan jiwa, stress atau gila. Lalu bagaimana anak-

anak merespon berbagai sosialisasi yang berlawanan itu sehingga

mereka tidak mengalami stress? Dalam konteks inilah studi ini

diharapkan memberi kontribusi teoritis terhadap kekosongan yang

ditinggalkan oleh teori tabularasa. Selain hal di atas, kontribusi

akademis yang diharapkan dari studi ini adalah pertama, adanya

peta tentang potensi radikalisasi anak pada lembaga Pendidikan.

Kedua, karena studi ini bersifat eksploratif, maka studi ini

memberikan kontribusinya sebagai studi pendahuluan untuk

melihat implikasi-implikasi yang ditimbulkan dari proses

radikalisasi anak pada institusi pendidikan. Ketiga, studi ini sangat

berguna dijadikan dasar evaluasi terhadap kurikulum,

materi/doktrin yang digunakan institusi pendidikan agar anak-

anak terhidar dari praktik radikalisasi.

6. Metode Penelitian

6.1. Setting dan Pendekatan Penelitian

Studi ini adalah studi eksploratif yang mencoba untuk

menelusuri, menggali, memahami dan memetakan radikalisasi

anak usia dini pada institusi pendidikan Islam. Artinya, studi ini

akan mengamati, memahami, hingga memetakan berbagai aspek

terkait radikalisasi anak tersebut, baik aspek psikologis maupun

sosiologis. Aspek-aspek psikologis yang akan intens dikaji adalah

kognitif, persepsi, dan perilaku anak usia dini sebagai objek

radikalisasi. Sementara itu aspek sosiologis ditekankan pada

faktor-faktor lingkungan seperti bentuk doktrinasi, dan konsep-

konsep radikalisme yang diinternalisasikan pada anak usia dini.

Selain itu implikasi dua hal tersebut-aspek psikologis dan

sosiologis, terhadap perilaku anak usia dini ketika berhadapan

dengan entitas lain atau “the others” juga intens dikaji.

Page 15: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 9

Berangkat dari hal tersebut maka setidaknya ada dua aspek

yang ditekankan dalam studi ini yaitu aspek formal pendidikan

dan aspek simbolik. Aspek formal pendidikan yang dijadikan

acuan adalah doktrin, metode pengajaran atau doktrinasi, ingatan,

pemahaman, pengetahuan, persepsi dan sikap anak usia dini

setelah menjalani proses belajar pada institusi pendidikan.

Sedangkan aspek simbolik adalah cara berpakaian, cara berbicara,

pengaturan ruang kelas, pengaturan bermain anak, cara

bersosialisasi guru, berbagai hiasan, dan lukisan.

Penelitian ini merupakan studi kualitatif, yang berusaha

memahami bentuk dan proses radikalisasi anak pada institusi

pendidikan usia dini di Sumatera Barat. Studi yang menggunakan

pendekatan kualitatif merupakan studi yang mengutamakan

deskripsi secara detail dan mendalam dengan mengutamakan

analisis pada kualitas atau substansi dari pengalaman manusia

(Marvasti, 2004). Berdasarkan hal tersebut, peneliti dalam

penelitian ini akan menggali pengalaman belajar siswa, guru serta

manajemen sekolah pada institusi pendidikan dini. Proses

penggalian pengalaman dilakukan melalui proses sharing antara

subjek penelitian dengan peneliti. Sehingga dengan demikian,

peneliti dapat menginterpretasi bagaimana proses berlangsungnya

radikalisasi anak usia dini pada institusi pendidikan Islam di

Sumatera Barat. Studi kualitatif ini akan didukung oleh data

survey terkait dengan, pertama, metode yang digunakan guru

dalam menanamkan nilai-nilai radikalisme, dan kedua, terkait

dengan respon dan sikap anak/siswa terhadap proses radikalisasi.

6.2. Lokasi Penelitian

Studi ini mengambil lokasi Provinsi Sumatera Barat

dengan Kota Padang, Bukittinggi dan Kota Solok sebagai daerah

sampel. Radikalisasi anak usia dini yang menjadi sampel dalam

studi ini adalah sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Islam Terpadu

(IT). Jumlah sampel keseluruhan adalah 6 (enam) TK-IT, di mana

2 (dua) mewakili masing-masing kota. Pilihan terhadap jumlah

sampel lebih dikarenakan karena studi ini adalah studi kualitatif

yang menekankan pada kedalaman bukan untuk representasi.

Page 16: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

10 | Radikalisasi Anak Usia Dini

6.3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam studi ini ada dua sumber data, yaitu responden dan

informan. Dalam memilih responden digunakan teknik purposive

random sampling yaitu pengambilan responden secara acak sesuai

tujuan penelitian. Penentuan responden diambil secara acak 2 [dua

orang] guru dan 10 [sepuluh] orang tua pada masing-masing

sekolah. Dalam studi ini yang menjadi subjek atau informan

adalah siswa, orang tua, guru, dan manajemen sekolah. Teknik

dalam memilih informan digunakan digunakan snowball

sampling, dan informan dipilih secara sengaja berdasarkan

kebutuhan informasi yang didalami lebih jauh.

Karena studi kualitatif bersifat non-linear dan siklis, maka

model yang digunakan untuk pengumpulan data studi

dokumentasi dan wawancara seperti yang ditawarkan oleh Bruce

L. Berg (2001). Selain dua metode pengumpulan data di atas,

dalam studi ini juga menggunakan observasi, survey, dan FGD)

sebagai alat pengumpulan data.

6.4. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan

pendekatan yang ditawarkan oleh Earl Babbie dalam melakukan

analisis data kualitatif, yakni coding; memoing; dan concept

mapping. Tahap tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Pertama, “coding” adalah proses dimana peneliti

mengklasifikasikan atau mengkategorikan data-menghubungkan

dengan berbagai retrieval system. Karena itu kemudian Babbie

memaknai bahwa coding merupakan tindakan fisik. Kedua,

“memoing” merupakan pememo-an atau mencatat secara simultan

terhadap data yang diperoleh di lapangan. Ketiga, “concept

mapping” merupakan usaha menghubungkan antar konsep dengan

data (Babbie, 2009).

Studi ini juga melengkapi analisis data dengan pendekatan

yang ditawarkan oleh Miles dan Huberman (19920), pertama,

reduksi data, di mana bahan empirik yang telah direduksi

disajikan dalam bentuk yang diorganisir dengan membuat

ringkasan terstruktur, jaringan, atau diagram, matrik, sinopsis

dengan teks.

Page 17: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 11

Kedua, pemaparan bahan empirik, yaitu melakukan

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data ‘kasar’

yang muncul dari catatan tertulis di lapangan yang telah dilakukan

sejak mulai dan bahkan sebelum mulai mengumpulkan bahan

empirik. Kemudian berlanjut sampai pada kesimpulan-kesimpulan

finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi; melakukan

penafsiran terhadap makna dari display bahan empirik dengan

mencatat keteraturan, pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin

serta proposisi. Sama halnya dengan reduksi dan display bahan

empirik, maka verifikasi juga berlangsung sebelum, selama, dan

sesudah pengumpulan bahan empirik, sehingga membentuk

hubungan siklus yang interaktif. Dalam konteks ini dilakukan daur

ulang terhadap catatan lapangan, tukar pikiran atau

menghadapkan dengan temuan lainnya.

Secara operasional analisis data juga dilakukan dengan

menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh Cresswell [2015],

pertama, manajemen data, dimana data yang diperoleh melalui

angket, wawancara dan FGD diorganisasi ke dalam file-file dan

mengonversi file-file tersebut menjadi satuan teks; kata, kalimat,

cerita. Kedua, pembacaan dan memoning data. Data-data yang

telah diorganisasi ke dalam file-file; database dibaca berulang kali

secara keseluruan. Kemudian data-data tersebut diberi memo atau

catatan singkat dan ringkas.

Ketiga deskripsi, klasifikasi dan penafsiran data. Setelah

data-data dibaca dan dimemoning, maka berikutnya dilakukan

deskripsi secara detail, mengembangkan tema atau dimensi, dan

memberikan penafsiran. Teknik deskripsi data ini dilakukan

dengan cara mengelompokkan data tesk atau visual menjadi

kategori informasi yang lebih kecil, mencari bukti untuk kode

tersebut dari berbagai database yang digunakan, kemudian

memberikan label pada kode tersebut. Setelah data dideskripsikan,

maka tahap berikutnya adalah klasifikasi data dengan cara

memilah-milah teks, mencari kategori, dan tema. Langkah

berikutnya setelah klasifikasi data adalah menafsirkan data, yaitu

pengembangan kode, pembentukan tema dari kode, dan

pengorganisasian tema menjadi satuan abstraksi yang lebih luas

untuk dimaknai.

Page 18: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

12 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Keempat, visualisasi data. Data-data yang telah ditafsirkan

dikemas dalam bentuk teks, tabel, dan grafik. Data-data yang

diperoleh melalui angket disajakan melalui tabel dan grafik,

sedangkan data-data yang diperoleh melalui wawancara dan FGD

disajaikan dalam bentuk teks.

Page 19: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 13

BAB II

PENDIDIKAN ISLAM TERPADU DAN RADIKALISASI

Diskusi pendidikan Islam Terpadu dan radikalisasi pada

bagian ini hendak menarasikan pertama, sejarah dan berbagai teori

terkaut dengan radikalisme dalam islam. Kedua, doktrin dan

pemaknaan terhadap radikalisme, dan ketiga, sejarah dan irisan

sekolah Islam Terpadu dengan radikalisme Islam.

A. Radikalisme Dalam Islam

Memahami radikalisasi secara langsung dihadapkan pada

konsep terorisme atau kekerasan. Meskipun terma radikalisasi

dengan terorisme adalah dua hal yang berbeda, namun kedua

konsep tersebut memiliki hubungan yang sangat jelas dan dapat

dipahami garis batas antara satu sama lain. Jamal R. Nassar

(2010) menegaskan bahwa terorisme bukanlah hal yang bersifat

genetik melainkan bersifat sosial. Terorisme bukanlah tindakan

yang semata disebabkan oleh fanatisme, tetapi terjadi untuk

menegaskan tujuan dan agenda yang terorganisir oleh sekelompok

orang. Dalam konteks itu, ada dua motivasi dari aksi-aksi

terorisme, yaitu melawan kekuasaan dan dominasi, dan kedua

ekspresi dari keputusasaan dalam merespon dan melawan

kekuasaan (Nassar, 2010). Lantas, apa hubungan antara terorisme

dengan radikalisasi? Devin R. Springer etc. (2008) menegaskan

bahwa terorisme muncul diawali dengan radikalisasi-dari

menentukan target, doktrinasi hingga perekrutan anggota

(Springer, Regens, & Edger, 2008). Radikalisasi adalah proses

atau tindakan yang diekspresikan melalui kekerasan dan

menggunakan Islam sebagai ideologi atau justifikasi religious

(Patel, 2011). Dengan kata lain terorisme adalah bentuk dari

tindakan radikal.

Dari segi gerakan, istilah radikalisme pertama kali

mengacu pada aktivitas yang menuntut perluasan hak pilih bagi

seluruh warga negara. Di Prancis pada abad ke-19, kata radikal

merujuk pada aktivis tiga partai, yaitu Partai Republikan, Partai

Page 20: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

14 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Sosialis Radikal, dan Partai Radikal yang anti monarki (Susetyo,

2018). Secara definisi, istilah radikalisme berasal dari bahasa

Latin radix, radicis yang berarti akar. Menurut The Concise

Oxford Dictionary (1987), radikalisme berarti akar, sumber, atau

asal mula. Dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna

ekstrem, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra dan

fundamental. Sedangkan radicalism berarti paham atau aliran

yang radikal dalam politik dan bersikap ekstrem atau memakai

cara kekerasan dalam menginginkan pembaharuan sosial dan

politik. Ensiklopedi online Wikipedia membuat definisi yang

lebih spesifik bahwa radikalisme adalah paham yang dibuat-buat

oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau

pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan

menggunakan cara-cara kekerasan (Baidhowi, 2017).

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa

penyakit radikalisme dapat diendap oleh siapapun atau kelompok

manapun. Namun belakangan ini istilah radikalisme sering

dikaitkan dengan agama Islam, karena munculnya berbagai

macam aksi kekerasan dan teror yang mengatasnamakan agama

Islam atau memakai simbol-simbol Islam. Istilah jihad fi

sabilillah, mati syahid, khilafah dan Islamic state (negara Islam)

populer kepermukaan dan sering diteriakkan untuk menggalang

simpati, merekrut anggota bahkan dimanfaatkan untuk

kepentingan politik (Ulya, 2016). Jika ditelisik dalam bahasa

Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan beberapa istilah,

di antaranya al-‘unf, at-tatarruf, al-guluww, dan al-irhab. Kalimat

al-‘unf merupakan antonim dari ar-rifq yang berarti lemah lembut

dan kasih sayang. Abdullah an-Najjar mendefinisikan al-‘unf

dengan penggunaan kekuatan secara ilegal -main hakim sendiri-

untuk memaksakan kehendak atau pendapat. Dalam tradisi Barat

banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan tindakan

ekstrimisme religius dalam Islam, seperti ekstrimisme Islam yang

diungkapkan oleh Gilles Kepel, Islam Radikal menurut Emmanuel

Sivan, atau integrisme, revivalisme, dan Islamisme. (Abdullah,

2016).

Jika merujuk pada sejarah Islam, fenomena radikalisme

Islam sudah berlangsung sejak pergantian setiap khalifah, hingga

permusuhan Ali dan Muawiyah yang mewarnai dunia perpolitikan

Page 21: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 15

Islam. Permusuhan Ali dan Muawiyah melahirkan arbitrase antar

keduanya. Dari sikap Ali tersebut muncul sebagian kelompok

penentangnya atau dikenal dengan kelompok Khawarij yang

didirikan oleh Dhu al-Khuwaysirah. Khawarij ini menganggap Ali

dan Muawiyah melakukan dosa besar serta berkesimpulan bahwa

darah mereka halal untuk dibunuh (Thoyyib, 2018). Menurut

Alim et al (2018) munculnya gerakan radikalisme Islam salah satu

akibat legitimasi teks keagamaan atau teks kultural dalam

melakukan berbagai tindakan. Kasus gerakan ekstrimisme Islam

yang merebak hampir di seluruh kawasan Islam-termasuk

Indonesia- adalah bentuk legitimasi teologis dari teks-teks

keislaman (al-Quran, Hadits dan Sumber Klasik (Classical

Sources- kitab kuning) yang jika dilihat secara kasat mata

memang mendukung sikap-sikap ekslusifisme dan ekstrimisme.

Ada beberapa tesis yang dapat diajukan untuk memahami

relasi radikalisme dengan agama, antara lain adalah pertama,

Douglas Pratt (2006) yang memahami terma fundamentalisme

dewasa ini ditemukan dalam agama-agama mayoritas di pelbagai

negara. Seringkali fundamentalisme diasosiasikan dengan

kecenderungan ekstremisme yang tumbuh dalam agama-agama.

Fakta-fakta itu dapat ditemukan dalam agama Islam, bahkan

Kristen (Pratt, 2006). Semakin tinggi kecenderungan ekstremisme,

maka semakin tinggi potensi reproduksi terorisme di satu negara.

Hal ini mengandaikan satu asumsi bahwa ekstremisme tumbuh,

erat kaitannya dengan doktrinasi tentang perang dan

ketidaksukaan terhadap perbedaan. Kedua, Abiodun Alao (2013)

yang menyebutkan bahwa Nigeria menjadi field yang menarik

diteliti, karena ia menjadi ruang dimana kekerasan seringkali

muncul ke permukaan sebagai konsekuensi dari radikalisasi

agama. Tidak sedikit masyarakat di Afrika yang menjadi korban

disebabkan oleh kekerasan beragama. Agama dalam bentuk ini

seringkali dijadikan “kambing hitam” untuk menyucikan tindakan

kekerasan dan teror. Tindakan itu seolah-olah tidak bertentangan

dengan agama dan perintah Tuhan.

Ketiga, Basia Spalek yang meminjam teori sosial Antony

Giddens (1991), Young (1999) dan Bauman (2004) tentang late

modern society. Dengan teori tersebut Basia Spalek

menghubungkan meningkatnya fenomena terorisme dengan

Page 22: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

16 | Radikalisasi Anak Usia Dini

meningkatnya upaya membangun sistem kepercayaan-agama,

doktrin-doktrinnya, serta dengan meningkatnya reflexivity. Hal itu

membuat penyimpangan terjadi di banyak tempat dan siapapun

berpotensi menyimpang (Abbas, 2007). Perilaku agresif yang

dilandasi secara subjektif pada doktrin-doktrin agama, idealnya

dipahami dalam konteks ini. Radikalisasi dalam konteks ini,

diartikan sebagai upaya membangun sistem kepercayaan di

kalangan umat beragama dengan mengobarkan semangat

membenci perbedaan, dan menciptakan common enemy atau

musuh bersama-infidels, dan zionism.

Kekerasan dengan latar ideologi dan agama juga bukan

hanya didorong oleh sikap agresif pelaku (psychological-

problem), atau diartikan sebagai gangguan psikologis. Kekerasan

ini diproduksi dari struktur dan ideologi yang khas dan sistematis.

Begitulah Mark Juergensmeyer menjelaskan kekerasan yang

dilakukan oleh kelompok militan agama yang didorong oleh

ideologi agama dan faktor-faktor lainnya (Juergensmayer, 2000)

seperti motivasi ekonomi atau pemahaman keagamaan yang

eksklusif-tidak mampu menerima perbedaan. Di luar itu, Hannah

Arendt (1970) juga menyebutkan bahwa faktor politik dan

kekuasaan juga dapat memicu terjadinya kekerasan. Namun

Hannah Arendt tidak bermaksud menghubungkan pandangannya

itu dengan kekerasan yang dilakukan oleh individu atas dasar

pertimbangan ideologis seperti paham keagamaan ataupun faktor-

faktor budaya. Setidaknya terdapat empat cara menandai

pemikiran radikalisme yang sekaligus menjadi karakteristiknya,

yaitu: Pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai

pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni

sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain.

Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda

dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner,

yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam

mencapai tujuan. (Rodin, 2016).

Berbeda pula dengan Haidar Bagir dengan mengutip Noor

Huda Ismail mengatakan bahwa seseorang atau kelompok tertentu

dapat berpaham radikalisme disebabkan tiga hal, yaitu individu

yang termarjinalkan, kelompok yang memfasilitasi, dan ideologi

yang membenarkan (Bagir, 2017) Dengan temuan yang hampir

Page 23: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 17

sama, Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (2010) yang menelisik

konteks Indonesia mengatakan bahwa ada dua faktor yang

menyebabkan radikalisme itu muncul: Pertama, terkait dengan

sejarah umat Islam dengan rezim Orde Baru. Karena pada masa

itu politik Islam termarjinalkan secara historis akibat konfliktual

politik Islam dengan rezim yang berkuasa. Secara global adanya

marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni politik internasional

(Amerika Serikat). Dengan kesadaran tersebut, beberapa

kelompok keagamaan mencoba mengembalikan posisi politik

Islam dengan jalan non-negara dan struktural. Kedua, ekonomi-

politik. Dalam konteks ini kelompok radikalisme tidak

mempunyai akses pada sumber modal karena dikuasai oleh

kapitalisme. Radikalisme hadir atas respon kelas untuk melawan

hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara. Dengan keadaan

itu, Umar berpendapat bahwa radikalisme muncul atas potret

kesadaran sejarah yang berpadu dengan kesadaran kelas.

Radikalisme agama tidak hanya menjadi masalah agama

dan negara satu bangsa, tetapi ia telah menjadi persoalan

internasional. Tidak hanya negara-negara berkembang yang

berusaha dengan keras untuk mengantisipasi radikalisasi, serta

menimalisirnya. Negara-negara maju pun, khususnya Amerika

Serikat dan Inggris juga sibuk mengantisipasi serta memutus

mata-rantai terorisme. Mengapa radikalisasi seringkali

dihubungkan dengan agama? Bilveer Singh (2006) secara tegas

menggarisbawahi bahwa fundamentalisme dan ekstremisme

dalam kondisi normal tidak dapat diterima oleh Islam. Oleh

karena itu Bilveer Singh lebih cenderung menggunakan

pendekatan politik ketimbang pendekatan keagamaan untuk

memahami fenomena radikalisme agama. Kendati demikian,

dalam memahami radikalisme dan doktrinasi agama-agama tidak

dapat diabaikan. Pemerintahan Amerika Serikat memahami bahwa

sosialisasi dan pengajaran ide-ide tentang jihad di Afghanistan

menjadi fondasi bagi gerakan radikalisasi oleh Taliban (Singh,

2007).

Page 24: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

18 | Radikalisasi Anak Usia Dini

B. Doktrinasi Radikalisme

Kenyataan hari ini gerakan radikalisme bukan hanya

menyasar orang yang kekurangan secara ekonomi, bukan hanya

merekrut orang yang terlibat dalam sejarah masa lalu, ia telah

menyusup ke kelas menengah, kelompok anak muda (Sasongko,

2017), bahkan telah merangkak ke anak usia dini melalui institusi

pendidikan (Hanafi, 2018). Dalam mengkaji dan memahami

radikalisasi anak pada institusi pendidikan dasar, kita akan dibawa

kepada pembicaraan yang salah satunya adalah rumpun psikologi

sosial. Bandura, seorang psikolog-sosial yang berusaha

mengembangkan social learning theory, memahami bahwa agresi

dan kekerasan merupakan hal yang lahir dari proses observasi,

belajar, dan mengimitasi diri terhadap berbagai objek atau model

agresif (Crossett & Spitaletta, 2010). Radikalisasi bisa dimulai

ketika seorang individu berafiliasi dengan organisasi radikal, atau

belajar secara sosial maupun melalui proses pendidikan yang

sengaja atau tidak mengajarkan materi yang berhubungan dan

sangat relevan dengan perilaku-perilaku agresif serta radikalisme

(Crossett & Spitaletta, 2010). Proses tersebut akhirnya akan

memodifikasi struktur pengetahuan individu, kepercayaan, dan

attitude. Secara sederhana social learning theory tersebut dapat

dimengerti melalui diagram di bawah ini;

Diagram 4.1.

Social Learning Theory

Page 25: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 19

Hubungan antara perilaku, faktor lingkungan (reinforce,

punishers) dan kepercayaan, persepsi, nilai, emosi, serta makna,

sangatlah erat. Hubungan ketiga hal ini bersifat simultan dan

saling mengisi serta terintegrasi (Crossett & Spitaletta, 2010).

Dengan kata lain, teori pembelajaran sosial atau social learning

theory merupakan sebuah teori yang mengasumsikan bahwa

individu belajar mengenal perilaku baru melalui observasi dan

proses belajar terhadap faktor-faktor sosial pada lingkungan

mereka. Ini menegaskan bahwa pendidikan adalah institusi yang

paling efektif membentuk perilaku anak, termasuk

memperkenalkan perilaku agresif dan mengenal radikalisme.

Dengan teori tersebut berbagai proses belajar, dan imitasi terhadap

perilaku radikal serta doktrinasi radikalisme dapat dipahami.

Menurut hasil survey yang dilakukan Badan Intelijen

Negara tahun 2018 terhadap tiga universitas dan SMA

menunjukkan bahwa 39% mahasiswa terpapar radikalisme. Dari

penelitian diperoleh data 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA

setuju dengan jihad demi tegaknya negara Islam (Akbar, 2018).

Hasil survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)

menunjukkan bahwa 48,9% siswa yang menjadi sampel survey

menyetujui aksi radikalisme karena agama (Fanani, 2013; Munip,

2012). Hasil studi Munip (2012) menunjukkan bahwa 65% dari

2.466 sampel mahasiswa mendukung pelaksanaan sweeping

kemaksiatan, 18% mendukung dan terlibat dalam kegiatan

sweeping. Hanya 11% yang menyatakan tidak mendukung

kegiatan sweeping, dan 6% tidak menjawab. Alasan utama mereka

mendukung sweeping adalah karena bagian dari perintah agama

(88%), karena aparat tidak mampu menegakkan hukum (4%) dan

dekadensi moral (8%) (Munip, 2012; Muqoyyidin, 2013). Data

tersebut berbanding lurus dengan apa yang dikatakan oleh Mohtar

Saman (2018) bahwa radikalisme bagaikan virus yang tidak kasat

mata dan bisa menginveksi siapa saja, termasuk anak usia dini.

Anak usia dini pada umumnya memiliki rasa ingin tahu

yang besar, unik, suka imajinasi dan fantasi, egois, dan

konsentrasi yang relatif pendek. Bahkan usia dari 0-8 tahun

digolongkan kepada usia emas bagi anak. Menurut Jean Piaget

dalam teorinya Perkembangan Kognitif (Cognitive Theory)

Page 26: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

20 | Radikalisasi Anak Usia Dini

menyatakan bahwa anak usia dini sebenarnya memiliki cara

berpikir layaknya orang dewasa. Piaget membagi perkembangan

kognitif anak ke dalam empat tahapan, yaitu: Pertama, ketika

anak berumur 0-2 tahun. Sepanjang tahap ini bayi belajar tentang

diri sendiri dan dunia mereka melalui inderanya yang sedang

berkembang. Kedua, ketika berumur 2-7 tahun, yang dinamakan

tahap pra-operasional. Dalam proses ini, anak telah menunjukkan

aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal di luar dirinya.

Namun aktivitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang

terorganisir atau belum sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis.

Tapi anak sudah dapat memahami realitas di lingkungan dengan

menggunakan tanda-tanda dan simbol. Ketiga, ketika berumur 7-

11 tahun atau ditahap operasional konkret. Pada tahap ini, anak

sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau

operasi, tetapi hanya untuk objek fisik, tanpa objek fisik, mereka

masih mengalami kesulitan dalam soal logika. Tapi egosentris

anak sudah berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas

konservasi menjadi lebih baik. Keempat, Pada umur 12 tahun

keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat

menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk

operasi yang lebih kompleks. Kemajuan anak selama periode ini

adalah tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau

peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir

abstrak (Redaksi, 2018; Fatimah Ibda, 2015).

Jika dilihat dari rentang usia anak dini tersebut, terdapat

banyak pendapat, salah satunya yang diungkap oleh NAEYC

(National Association for The Education of Young Children)

(1992) mengatakan bahwa anak usia dini adalah anak yang berada

pada rentang usia 0-8 tahun, yang tercakup dalam program

pendidikan di taman penitipan anak, penitipan anak pada keluarga

(family child care home), pendidikan prasekolah baik swasta

maupun negeri, TK, dan SD (Amini, 2014). Sedangkan menurut

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional pasal I ayat 14 menyatakan bahwa

pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang

ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun

yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk

membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani

Page 27: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 21

agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih

lanjut. Selain itu peraturan menteri kebudayaan dan pendidikan

Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru

Pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah

Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah

Kejuruan, mencantumkan bahwa persyaratan pencalonan peserta

didik baru untuk SD berumur tujuh tahun, namun dibolehkan juga

bagi anak yang berumur lima tahun dengan syarat rekomendasi

psikolog profesional atau dari guru sekolah (Baca: Saputra, 2019).

Jika dilihat dari persyaratan umurnya, SD di Indonesia dapat

digolongkan kepada institusi pendidikan anak usia dini. Hal ini

senada dengan studi yang dilakukan oleh Supriyono (2012) yang

menggolongkan SD kepada bentuk pendidikan anak usia dini.

Studi Prasanti & Fitriani (2018) menunjukkan bahwa ada tiga hal

yang membentuk karakter anak usia dini, yaitu keluarga,

komunitas dan sekolah. Studi tersebut menemukan bahwa yang

paling dominan dalam membentuk karakter anak dimulai dari

keluarga, sekolah, kemudian komunitas. Namun jika dilihat hari

ini peran institusi pendidikan tak kalah penting dalam menentukan

karakter seorang anak, terlebih rata-rata anak usia dini saat

sekarang ‘’diserahkan‘’ oleh orang tua ke institusi pendidikan

formal atau non-formal, swasta ataupun negeri. Di institusi

pendidikan tersebut anak diajarkan dengan kurikulum dan metode

pembelajaran yang sudah dirancang, juga peran guru yang sangat

dominan dalam menentukan karakter seorang anak. Meskipun

Piaget mengatakan bahwa seorang anak mempunyai cara berpikir

layaknya orang dewasa, namun tak dapat dipungkiri juga bahwa

anak usia dini baru mempunyai kemampuan untuk meniru, belum

mengolah. Beragam bentuk serta model institusi pendidikan anak

usia dini muncul kepermukaan, yang familiar misalnya adalah

institusi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-

kanak (TK), dan Sekolah Dasar (SD). Setidaknya menurut

Andante (2018) mengatakan bahwa institusi tersebut memiliki

tujuan empat hal, yaitu: Pertama, membentuk anak yang

berkualitas. Kedua, membantu menyiapkan anak mencapai

kesiapan belajar di sekolah. Ketiga, intervensi dini dengan

Page 28: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

22 | Radikalisasi Anak Usia Dini

memberikan rangsangan sehingga dapat menumbuhkan potensi-

potensi yang tersembunyi. Keempat, untuk melakukan deteksi dini

terhadapmkemungkinan terjadinya gangguan terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak.

C. Pendidikan Islam Terpadu dan Radikalisme Islam

Islam terpadu merupakan sebuah konsep yang digagas

oleh seorang pemikir pendidikan Islam dari Timur Tengah, Hasan

al-Banna. Hasan al-Banna dibesarkan oleh ayahnya Syeikh

Ahmad bin Abdurrhaman bin Muhammad Albana as Sadati.

Ayahnya seorang guru yang mengajarkan al-Qur’an, Hadis, Fiqh,

Bahasa dan Tawaswuf. Selain belajar dari ayahnya, al-Banna juga

belajar di sekolah Darul Ulum di Khairo pada tahun 1927. Setelah

meninggalkan Darul Ulum, al-Banna mendapat tempat di sebuah

sekolah menengah pemerintah Ismailiah. Kemudian mendirikan

sebuah Harakah Islamiah, Al-Ikhwanul Muslimin. Hal itu

didukung oleh murid-murid yang setia jadi pengikutnya

(Miftahuddin, 2008).

Setelah al-Banna meninggal, Syaikh Yusuf Qardhawi

salah seorang murid terbaik dari Ikhwanul Muslimin melanjutkan

perjuangan melalui sebuah Madrasah yang bernama Madrasah

Hasan al-Banna. Madrasah itu sengaja disematkan oleh Qardhawi

agar tetap tumbuh dan mengembangkan dua tujuan besar, yaitu:

ilmiah dan alamiah, (berilmu dan beramal). Sejauh dapat dilacak,

selama belajar dari al-Banna, semua murid selalu menanamkan

pemahaman untuk mendidik dan mengkaderkan diri dari belia,

tetap berbuat baik, mengajarkan suruhan agama dan

meninggalkan larangan agama. Di samping itu, al-Banna juga

menekankan takziyah nafs, yang nantinya sangat berperan dalam

mentarbiyahkan umat. Selain itu, al-Banna juga memahami

konsep al-fahm dengan rincian yang disebut Al-Usuk ‘Isyrin,

ikhlas, Amal, Jihad, Taat, Stabat, Tadhiyah, Tajarrad, Ukhwah,

dan Tsiqqah. Keseluruhan konsep tersebut harus dimiliki seorang

Murabby (yang mengajarkan) dan yang diajar. Semua itu harus

ditekankan terhadap belia dan pelajar, meskipun membutuhkan

Page 29: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 23

waktu yang panjang dalam melihat hasil dari proses yang

ditempuh, karena mereka nantinya akan melanjutkan Tarbiyah di

berbagai negara.

Di Indonesia era 1980-an adalah masa pergolakan yang

penting dari perkembangan Islam. Di era ini dotrinisasi agama

kian menguat di kampus-kampus yang digerakan oleh aktivis

Islam, terutama aktivis yang terhimpun dalam Gerakan Dakwah

Kampus (GDK). Gerakan tersebut masuk melalui perguruan

tinggi yang bukan berbasis keislaman, seperti Institute Tekhnologi

Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Institute Pertanian

Bogor (IPB), dan Universitas Brawijaya (Qodir, 2011).

Menelusuri karakteristik dan ciri-ciri dari penggerak dakwah

tersebut secara tidak langsung terkoneksi dengan jaringan

Ikhwanul Muslimin (IM) besutan al-Banna. Hanya saja di

Indonesia berubah wujud dan terpecah. Berbagai kelompok

muncul, seperti kelompok tarbiyah, halaqah, usrah dan gerakan

dakwah lainnya. Sedangkan di perguruan tinggi tidak terbendung

hingga merebak masuk di kalangan masyarakat wilayah

Indonesia.

Terbukanya kran demokrasi dengan runtuhnya Orde Baru

tahun 1998, gerakan Tarbiyah tersebut membentuk diri dalam

Partai Keadilan. Namun Partai Keadilan tersebut gagal memenuhi

standar electoral threshold, sehingga berubah menjadi Partai

Keadilan Sejahtera (PKS). Saat ini PKS mencoba berubah bentuk

layaknya Muhammadiyah dan NU. Semenjak 1990-an, PKS

seakan memiliki kekuatan yang mengakar di tengah masyarakat

dan didukung oleh alumninya yang menyelesaikan pendidikan di

Timur Tengah. Gerakan dakwah PKS menguat tidak hanya di

kalangan remaja dan masyarakat, namun juga masuk melalui

sistem pendidikan. Saat ini sedikit sulit membedakan gerakan

antara yang dilakukan oleh PKS, Muhammadiyah atau NU. PKS

melalui gerakan Tarbiyah melakukan strategi besar untuk

menanamkan Ideologi; Pertama, dengan menyebarkan

pemahaman agama dan gagasan Islam yang dibungkus

sedemikian menarik untuk disebarkan terhadap masyarakat.

Page 30: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

24 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Program yang dilakukan melalui peribadatan training keislaman

di sekolah-sekolah (Training Awal Mula/training Islam for

beginner), (fikih perempuan/fikih nissa), membuka bimbingan

belajar, kursus-kursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan

buku-buku yang se ideologi, ceramah gratis dengan berbagai

tema, serta pembinaan terhadap anak-anak (TK-SD). Saat ini

membentuk wujud dengan Taman Kanak-kanak (TK Islam

Terpadu/TK IT). Kedua, strategi yang dilakukan adalah dengan

melakukan training kaderisasi, seperti intensif untuk anak-anak,

remaja, dan mahasiswa. Selanjutnya latihan mujahid dakwah,

training pembinaan dengan materi shalat, puasa, zakat, haji dan

iqra. Semua dilakukan secara sistematis dan berjenjang (Qodir,

2011). Dalam konteks pendidikan, hampir semua fasilitas

dipenuhi untuk menarik perhatian masyarakat agar tergabung

dalam satu tujuan yang diinginkan.

Saat ini, minat masyarakat terhadap Sekolah Islam

Terpadu (SIT) menjadi dominan (Kurnaengsih, 2015). Keadaan

tersebut tentu tidak lepas (Baca; Zuly Qodir) dari berbagai isu

yang kerap didengungkan oleh kelompok dotrinisasi keagamaan.

Isu tersebut disampaikan melalui mimbar masjid, pengajian

halaqoh, serta kampus. Juga disampaikan bahwa saat ini sangat

penting pemahaman agama bagi kalangan muslim, tidak

terkecuali bagi anak-anak yang masih sekolah. Sehingga tawaran

alternatif untuk jawaban saat ini adalah pendidikan Islam Terpadu.

Pendidikan yang diperoleh tidak hanya sebatas ilmu umum, tapi

juga paduan antara ilmu agama dan ilu umum yang selama ini

kurang tersentuh di sekolah-sekolah umum lainnya. Dasar pijakan

Islam Terpadu (IT) berlandaskan al-Qur’an dan As Sunnah.

Konsep al-Qur’an dan Sunnah yang didasari bahwa manusia

selama ini hanya mengedepankan pragmatisme kehidupan,

hedonis, dan materialis. Sehingga pemahaman agama seringkali

terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mendaur

ulang sistem pendidikan Islam diharapkan akan melahirkan sosok

insan religius, berkepribadian, cerdas, kreatif, sehat dan

berkarakter. Dalam operasional kurikulum yang digunakan adalah

Page 31: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 25

kurikulum nasional terhadap anak-anak PAUD dan TK Islam

Terpadu. Kemudian dikuatkan dengan nilai-nilai dan karakter

dalam setiap pelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas

(Hadisi, 2016).

Nuansa yang dibangun dalam memenuhi kompetensi

pendidikan tersebut sangat Islami dan didukung dengan sarana

prasarana, seperti; buku teks yang bernuansa Islami, referensi

merujuk kepada ensiklopedi Islam, al-Qur’an, tafsir serta

kumpulan hadis sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan

sehari-hari. Sarana lain adalah masjid dan mushola, laboratorium

dan kebun praktik, dan lain sebagainya (Khoirunnisaa’, 2014).

Demikian juga halnya dengan tenaga pendidik, baik pemimpin

sekolah, guru, murid, ataupun yayasan itu sendiri, masing-masing

memiliki kriteria dalam proses jalannya alur pendidikan. Sebagai

pemimpin, kepala sekolah meski memiliki pemahaman agama

yang baik, dan akhlak atau kepribadian yang terpuji, keteladanan,

memiliki visi yang bagus, memiliki keberanian, keterampilan

sebagai pemimpin, dan hubungan yang harmoni dengan semua

stakeholder.

Page 32: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

26 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Page 33: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 27

BAB III

PROSES RADIKALISASI ANAK USIA DINI

PADA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU

Bagian hendak memaparkan beberapa temuan terkait

dengan proses penanaman nilai-nilai pada anak usia dini oleh

institusi Pendidikan Islam terpadu. Ada empat aspek atau nilai

yang disoroti dalam studi ini, pertama, fanatisme, kedua, berburuk

sangka, ketiga, sikap keras, dan keempat memaksakan kehendak.

Keempat nilai atau aspek tersebut menjadi pijakan untuk melihat

terjadinya proses radikalisasi. Perlu digarisbawahi bahwa studi ini

bukan dimaksudkan menemukan radikal atau radikalismenya anak

usia dini pada institusi Pendidikan Islam terpadu, melainkan studi

ini hanya memotret apakah terjadi proses penanaman nilai-nilai

radikal terhadap anak usia dini pada intitusi Pendidikan Islam

Terpadu. Meski TK/Paud Islam Terpadu yang menjadi fokus studi

ini, namun keempat nilai yang tersebut di atas juga dilihat pada

TK/Paud non Islam Terpadu sebagai bahan perbandingan.

3.1. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini; Bacaan Ideologi,

Politik, Dan Ekonomi

Pendidikan anak usia dini yang menjadi sorotan studi ini

adalah Pendidikan Anak Usia Dini [PAUD] dan Taman Kanak-

Kanak [TK]. Secara umum Paud-TK dapat diklasifikasi menjadi

negeri dan swasta dengan afiliasi pada Kemendikbud dan

Kemenag. Artinya ada Paud-TK negeri dan swasta di bawah

koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan ada

Paud-TK di bawah koordinasi Kementerian Agama. Khusus untuk

Paud-TK yang berada di bawah kordinasi Kementerian Agama

diistilahkan dengan Raudhatul Athfal [RA].

Paud-TK tipe swasta Kemendikbud, memiliki beberapa

kategori. Ada kebangsaan dan ada pula keagamaan. Maksud

kategori kebangsaan adalah Paud-TK mengikuti secara utuh

orientasi, sistem dan kurikulum layaknya Paud-TK negari,

termasuk ke dalam kategori ini Paud-TK yang dikelola oleh

Page 34: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

28 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Bhayangkara. Sedangkan Paud-TK ketegori keagamaan adalah

sekolah yang dikelola oleh organisasi keagamaan seperti NU dan

Muhammadiyah, atau oleh kelompok atau orang yang menjadikan

agama sebagai simbol atau sistem dalam menjalankan pendidikan.

Paud-TK ketegori keagamaan juga memiliki tipe; Islam Terpadu

dan non Islam Terpadu.

Di Paud-TK Islam Terpadu ciri dan karakter Islam

sangatlah menonjol dan amat penting di banding sekolah Paud-TK

di luar label Islam Terpadu. Ciri dan karakter yang disasar oleh

Sekolah Islam Terpadu ini adalah menguwujudkan generasi

rabbani yang berkepribadian muslim. Dalam catatan Suyatno

(2013) ada sepuluh ciri kepribadian muslim tersebut yang

terangkum dalam muwasafat, yaitu, memiliki akidah yang lurus,

beribadah yang benar, berakhlak mulia, mandiri, berwawasan dan

berpengetahuan luas, berbadan sehat dan kuat, bersungguh-

sungguh terhadap dirinya, terampil mengelola segala urusan,

disiplin waktu, dan bermanfaat bagi orang lain. Kesepuluh

muwasafat ini menjadi ciri khas tujuan pendidikan SIT yang

diadopsi dari sepuluh muwasafat Ikhwanul Muslimin maupun

Jamaah Tarbiyah yang digariskan oleh Hasan al-Banna.

SIT pada hakikatnya adalah sekolah yang

mengimplementasikan konsep pendidikan Islam berlandaskan al-

Qur’an dan as-Sunnah. Konsep operasional SIT merupakan

akumulasi dari proses pembudayaan, pewarisan dan

pengembangan ajaran agama Islam, budaya dan peradaban Islam

dari generasi ke generasi. Istilah “Terpadu” dalam SIT

dimaksudkan sebagai penguat (taukid) dari Islam itu sendiri, Islam

yang utuh, menyeluruh, integral, bukan parsial, syumuliah bukan

juz’iyah. Semangat tersebut menjadi yang utama bagi SIT dalam

gerak da’wah di bidang pendidikan sebagai “perlawanan”

terhadap pemahaman sekuler dan dikotomi, juz’iyah. Dalam

praktiknya, SIT diartikan sebagai sekolah yang menerapkan

pendekatan dengan memadukan pendidikan umum dan

pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan

pendekatan ini, semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah

Page 35: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 29

tidak lepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai Islam. Tidak ada

dikotomi, tidak ada keterpisahan, tidak ada sekularisasi, di mana

pelajaran dan semua bahasan tidak boleh lepas dari nilai dan

ajaran Islam ataupun sakralisasi di mana Islam diajarkan terlepas

dari konteks kemaslahatan kehidupan masa kini dan masa depan

(Admisi jsit-indonesia.com, n.d.).

Dalam mewujudkan kurikulum yang mengintegrasikan

pendidikan umum dengan pendidikan agama, maka SIT mengacu

sepenuhnya pada Kemendikbud untuk pendidikan umum,

sementara untuk pendidikan agama, masing-masing SIT

merumuskan sendiri. Artinya masing-masing SIT memiliki

otoritas sendiri dalam menentuan orientasi, muatan, dan

kurikulum keagamaan. Dalam konteks inilah dapat dipahami

munculnya berbagai variasi muatan pelajaran keagamaan sesuai

dengan kepentingan masing-masing SIT.

Kehadiran SIT disambut baik oleh masyarakat. Karena

pasca Orde Baru juga terjadi pergeseran choice of education di

kalangan menengah Muslim Indonesia. Pergeseran tersebut terjadi

ketika orang tua dari kalangan menengah Muslim Indonesia lebih

suka menyekolahkan anaka-naknya di sekolah dengan basic

keislaman yang kuat, semisal sekolah-sekolah Muhammadiyah

dan SIT, dibandingkan dengan sekolah umum. Fakta ini

berbanding terbalik dengan beberapa dekade sebelumnya, ketika

orang tua dari kalangan menengah lebih bangga menyekolahkan

anak-anaknya ke sekolah yang tidak memiliki basic keagamaan.

Era ini juga ditandai adanya perubahan besar dalam berbagai

lanskap publik, baik dalam terminologi sistem politik, isi,

produksi, distribusi, pertunjukan, dan diskursus media di

Indonesia. Pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring

dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang

dalam skala yang lebih makro. Menurut Suyatno, (2015) para

orang tua ditakutkan dan dicemaskan dengan fenomena kenakalan

remaja, maka mereka terdorong untuk membekali anak mereka

sedini mungkin dengan pembiasaan nilai-nilai religius dan nilai-

nilai luhur ketimuran atau pendidikan karakter. Atas dasar itulah

Page 36: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

30 | Radikalisasi Anak Usia Dini

para orang tua berbondong-bondong memasukkan anak mereka ke

sekolah tersebut.

Keadaan di atas dibaca dengan baik para pencetus konsep

pendidikan Islam Terpadu. Mereka dengan cepat mengetahui

bahwa para konsumen SIT, membutuhkan kemasan kurikulum

Islamis, praktis dan sedikit ‘’wah’’. Dengan demikian, dikemaslah

serangkaian kurikulum serba instan dan segera dapat dilihat,

didengar dan dirasakan manfaatnya. Para orang tua tidak

menghiraukan biaya untuk mendaftarkan anaknya ataupun SPP

yang harus dibayar. Malahan orang tua bangga dengan

‘’keberhasilan’’ anaknya yang tahu agama dan terkadang anak

menegur orang tuanya ketika di rumah dengan ilmu agama yang

didapat di sekolah. Kebanggaan ini dibawa oleh orang tua kepada

teman-temannya, termasuk juga ke tempat kerja, sehingga

tingginya sumbangan yang harus dibayar saat masuk maupun

mahalnya SPP, dianggap tidak menjadi masalah bagi orang tua

(Moedliono, 2002).

Kenyataan lain, adalah bahwa anak usia dini keluarga

perkotaan tidak dapat sehari penuh merasakan kebersamaan

dengan orang tua mereka. Hal ini merupakan akibat dari

kesibukan atau orang tua di luar rumah sebagai tanggung jawab

hidup dan tuntutan perkembangan zaman. Anak usia dini keluarga

perkotaan pada waktu siang banyak bersama pembantu rumah

tangga, pengasuh khusus (baby sitter) atau berada pada lembaga

pendidikan nonformal, di antaranya TPA, KB, Play Group, dll.

Keadaan seperti itu memberikan peluang ‘’bisnis’’ lembaga

pendidikan anak usia dini. Hal tersebut ditunjukkan dengan

bertambahnya jumlah lembaga PAUD, termasuk SIT. Rata-rata

kelas yang dimiliki penuh, fasilitasnya diupayakan semakin baik,

persaingan mendapatkan peserta didik semakin ketat. Fenomen ini

bisa melihat menjelang tahun ajaran baru masing-masing sekolah

berlomba-lomba membujuk keluarga perkotaan agar memilih

program yang ditawarkannya. Tak jarang masing-masing sekolah

memasang spanduk di berbagai sudut kota (Sutarmin et al., 2014).

Page 37: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 31

Pendidikan memang menjadi wahana yang paling efektif

dalam menyebarkan paham keagamaan. Proses Islamisasi

masyarakat adalah penyebaran paham Islam berdasarkan nilai-

nilai dari al-Qur’an dan Hadist yang terangkum dalam wacana

teks. Agama menjadi bagian yang bukan hanya menjadi sisi

penyelamat, namun menjadi bagian dari penciptaan doktrin dan

juga dominasi pada kelompok masyarakat secara sadar. Hanya

saja karena tuntutan nilai dan moral, agama menjadi ideologi tak

terbantahkan dalam urusan keselamatan hidup. Keyakinan

masyarakat terhadap agama dalam menuju jalan keselamatan,

akhirnya memicu kemunculan model pendidikan Islam Terpadu

yang menimbulkan hegemoni tersendiri bagi khalayak masyarakat

untuk memilihkan sekolah bagi anaknya. Dengan tujuan dan dalih

agar anaknya bisa selamat dunia akhirat, berakhlak mulia,

memiliki budi pekerti luhur dengan belajar pada sekolah yang

memiliki basis agama yang kuat (Kusumawati, 2014).

Setidaknya, menurut Andante (2018) ada empat tujuan

yang hendak dicapai oleh Sekolah Paud-TK, pertama, membentuk

anak yang berkualitas. Kedua, membantu menyiapkan anak

mencapai kesiapan belajar di sekolah. Ketiga, intervensi dini

dengan memberikan rangsangan sehingga dapat menumbuhkan

potensi-potensi yang tersembunyi. Keempat, untuk melakukan

deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya gangguan terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak. Melampaui hal tersebut di

atas, Paud-TK sebagai salah satu institusi pembentuk karakter

anak yang paling dominan setelah keluarga. Studi Prasanti &

Fitriani (2018) menunjukkan bahwa tiga hal yang membentuk

karakter anak usia dini, yaitu keluarga, komunitas dan sekolah,

maka yang paling dominan dalam membentuk karakter anak

dimulai dari keluarga, sekolah, kemudian komunitas.

3.2. Tipologi Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini yang menjadi sorotan studi ini

adalah Pendidikan Anak Usia Dini [PAUD] dan Taman Kanak-

Kanak [TK]. Secara umum Paud atau TK dapat diklasifikasi

Page 38: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

32 | Radikalisasi Anak Usia Dini

menjadi, pertama, negeri dan swasta, kedua, afialisi Kemendikbud

dan Kemenag. Artinya ada Paud dan TK negeri dan swasta di

bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan

ada Paud dan TK di bawah koordinasi Kementerian Agama.

Khusus untuk Paud dan TK yang berada di bawah kordinasi

Kementerian Agama diistilahkan dengan Raudhatul Athfal [RA].

Paud-TK tipe swasta Kemendikbud, memiliki beberapa

kategori berdasarkan orientasi, ada kebangsaan dan ada kategori

keagamaan. Maksud kategori kebangsaan adalah Paud-TK

mengikuti secara utuh orientasi, sistem dan kurikulum layaknya

Paud-TK negari, termasuk ke dalam kategori ini Paud-TK yang

dikelola oleh Bhayangkara. Sedangkan Paud-TK ketegori

keagamaan adalah sekolah yang dikelola oleh organisasi

keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, atau oleh kelompok

atau orang yang menjadikan agama sebagai simbol atau sistem

dalam menjalankan pendidikan. Paud-TK ketegori keagamaan

juga memiliki tipe; Islam Terpadu dan non Islam Terpadu.

Paud-TK Islam Terpadu yang menjadi fokus studi ini

paling tidak memiliki tiga tipologi, pertama, Paud-TK yang

bergabung dalam perkumpulan Jaringan Sekolah Islam Terpadu

[JSIT], kedua Paud-TK yang bergabung dengan Asosiasi Sekolah

Sunah Indonesia [ASAI], dan ketiga Paud-TK yang sama sekali

tidak memiliki afiliasi dengan organsasi apapun.

Kategori pertama, Paud-TK yang tergabung dengan JSIT

adalah sekolah-sekolah yang dikelola oleh sebuah yayasan yang

memiliki irisan Partai Keadilan Sejahtera [PKS]. Sebagaimana

kemunculan sekolah Islam Terpadu digagas oleh pentolan Partai

Keadilan/PKS yang mengambil filosofi Pendidikan pada Hasan Al

Bana, maka kehadiran sekolah ini juga memiliki kepentingan

politis. Oleh karena itu, Paud-TK yang terafiliasi pada JSIT ini,

dapat dikatakan sekolah yang beroritasi pada politik. Kategori

kedua, Paud-TK yang tergabung dengan ASAI adalah sekolah

yang dikelola oleh yayasan memiliki irisan dengan kelompok

keagamaan salafi. Sekolah ini tentunya, tidak memiliki orientasi

politik sebagaimana JSIT dalam membangun basis massa politik,

Page 39: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 33

melampaui itu, sekolah ini memiliki orientasi ideologis ketimbang

politis. Sedangkan ketgori ketiga, yaitu sekolah-sekolah yang

tidak memiliki afiliasi adalah sekolah-sekolah yang dikelola oleh

yayasan berorientasi pada bisnis akademik. Sekolah-sekolah ini

tidak memiliki kepentingan ideologi dan politik, tetapi lebih

berkepentingan secara ekonomis.

3.3. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini

Guru adalah instrumen penting dan utama dalam membentuk karakter anak. Melalui guru nilai, sikap dan perilaku anak ditransformasikan. Di Paud-TK Islam Terpadu ciri dan karakter Islam sangatlah menonjol dan amat penting di banding sekolah Paud-TK di luar label Islam Terpadu.

Secara umum studi ini menemukan, pertama, telah terjadi dan sedang berlangsung proses penanaman nilai-nilai radikal terhadap anak usia dini pada Paud-TK Islam Terpadu dalam kategori atau tingkat intensitas sedang dengan persentase 63.50%.

Tabel 1

Radikalisasi Anak Usia Dini

No Aspek Radikalisasi Nilai Rata-

Rata Persentase Kategori

1 Fanatisme 3.06 76,65 Tinggi

2 Memaksakan Kehendak 2.66 66,58 Sedang

3 Sikap Keras 2.39 59,87 Sedang

4 Berburuk Sangka 2,05 51,40 Sedang

Rata-rata 2,54 63,50 Sedang

Kedua, data pada Tabel 3.1 di atas menunjukkan bahwa

dari empat varian yang ada, maka aspek fanatisme paling tinggi

dengan persentase 76,65%, diiringi dengan pemaksaan kehendak

sebesar 66%, sikap keras sebesar 59%, dan berburuk sangka

sebesar 51.40%. Ketiga, varian fanatisme masuk pada katogori

tinggi, sedangkan memaksakan kehendak, sikap keras dan

berburuk sangka termasuk pada kategori sedang.

Page 40: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

34 | Radikalisasi Anak Usia Dini

3.3.1. Penanaman Nilai dan Sikap Fanatisme

Secara sederhana fanatisme diartikan sebagai sebuah faham

atau pandangan ekstrim yang menganggap ide, nilai atau

kebenaran hanya diri atau kelompok tertentu, dan mengabaikan

fakta dan arugumen orang atau kelompok lain. Menurut Chung,

Baverland dan Farelly dalam Exploring Consumer Fanaticism;

Extraordinary Devotion in The Cunsumption Context (2008)

fanatik memiliki kecenderungan untuk bersikers terhadap subuah

gagasan yang menganggap diri sendiri atau kelompok tertentu,

dan mengabaikan fakta yang mungkin bertentangan dengan

pikiran atau keyakinan.

Goddard (2001) mendefinisikan fanatisme dengan suatu

keyakinan yang membuat seseorang buta sehingga mau

melakukan segala hal apapun demi mempertahankan keyakinan

yang dianutnya. Ada dua bentuk ekspresi dari fanatisme, yaitu

antusiasme (enthusiasm) dan kesetiaan (devotion). Kedua hal

tersebut dilakukan secara ekstrem atau berlebihan. Antusiasme

mengandaikan adanya tingkatan keterlibatan dan ketertarikan atau

kepedulian terhadap objek fanatik, sementara kesetiaan

meniscayakan keterikatan emosi dan kecintaan, komitmen, serta

dibarengi dengan adanya tingkah laku secara aktif (Nugraini,

2016).

Dengan demikian fanatisme dapat difahami sebuah sebuah

faham atau keyakinan yang ekstrim terhadap sesuatu; nilai, ide

dan lain sebagainya yang kebenarannya hanya ada pada diri atau

kelompok tertentu dan mengabaikan kebenaran dari orang atau

kelompok lain. Pengikut faham ini akan loyal dan totalitas

memperjuangkan dan mengabdikan diri pada obyek fanatik.

Merujuk hal di atas, maka antusias, kesetiaan, sikap ekstrim

(berlebihan) dan pengabdiaan menjadi dimensi untuk melihat

fanatisme. Dalam studi ini, keempat dimensi fanatisme tersebut

dikembangkan menjadi delapan indikator; penanaman keyakinan

terhadap Al Qur;an dan Sunnah sebagai sumber kebenaran,

penanaman nilai-nilai Pancasila, penanaman nilai-nilai keislaman,

penanaman kepatuhan kepada orang tua dan guru, larangan

Page 41: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 35

mengikuti selain yang diperintahkan Al Qu’an dan Sunnah,

larangan makanan produk Barat, larangan menonton film tidak

islami, dan larangan mengucapkan dan merayakan ulang tahun.

Kedelapan indikator fanatisme tersebut di atas diklasifikasi

menjadi dua kategori, pertama, kategori yang merepresentasikan

Islam, dan kedua kategori yang merepresantasikan sesuatu di luar

Islam. Indikator yang masuk pada kategori Islam adalah sumber

kebenaran, nilai-nilai keislaman, mengikuti perintah Al Qur’an

dan Sunnah, dan kepatuhan pada orang tua dan guru. Sedangkan

indikator yang masuk pada kategori di luar Islam adalah nilai-nilai

Pancasila, film tidak islami, ulang tahun, dan produk Barat.

Tabel 2

Fanatisme

NO INDIKATOR FANATISME

Nilai

Rerata

Persentase Kriteria

1 Penanaman keyakinan tentang sumber kebenaran 3,60 90,00 Tinggi

2 Penanaman nilai-nilai keislaman; 3,53 88,25 Tinggi

3 Doktrin untuk tidak mengikuti selain yang

diperintah Al Qur’an & Sunnah; 3,47 86,75 Tinggi

4 Penanaman kepatuhan terhadap orang tua & guru 3,40 85,00 Tinggi

5 Doktrin untuk tidak menonton film tidak islami; 2,88 72,00 Sedang

6 Penanaman nilai-nilai Pancasila; 2,81 70,25 Sedang

7 Doktrin untuk tidak merayaan ulang tahun; 2,63 65,75 Sedang

8 Doktrin untuk tidak memakan produk Barat 2,21 55,25 Sedang

Rata-Rata 3,06 76,65 Sedang

Data pada Tabel 2 di atas memberi informasi penting,

pertama, empat indikator fanatisme masuk pada kategori tinggi,

yaitu penenaman keyakinan bahwa hanya Al Qur’an dan Sunnah

sajalah yang menjadi sumber kebenaran, penanaman nilai-nilai

keislaman, penanaman sikap kepatuhan hanya kepada orang tua

dan guru, dan larangan untuk mengikuti sesuatu selaian yang

diperintahkan Al Qur’an dan Sunnah. Empat indikator fanatisme

lainnya masuk pada kategori sedang, masing-masing adalah,

penenaman nilai-nilai Pancasila, larangan menonton film yang

Nurus Shalihin
Page 42: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

36 | Radikalisasi Anak Usia Dini

tidak islami, larangan mengucapkan dan merayakan ulang tahun,

dan larang memakan produk Barat seperti KFC dan CFC.

Kedua, intensitas penanaman nilai dan sikap fanatisme yang

bersumber dari Islam berlangsung secara intensif dengan

frekuensi tinggi, sedangkan sesuatu yang berasal di luar Islam

intensitasnya berada pada skala atau level sedang. Artinya di satu

sisi, terjadinya penguatan fanatisme pada aspek keagamaan,

namun di pihak lain terjadi pelemahan dimensi di luar keagamaan

termasuk nilai-nilai kebangsaan seperti yang ditunjukkan oleh

item 6, dimana Pancasila menempati posisi yang tidak siginifikan.

Apa yang dapat dimaknai dari data dan fakta di atas adalah

pertama, ada kecenderungan yang kuat bahwa anak-anak usia dini

memiliki potensi yang sangat besar untuk menerima segala

sesuatu yang terkait dengan Islam baik subtansi maupun simbol.

Sebaliknya ada kecenderungan yang kuat anak-anak usia dini

akan menolak sesuatu yang datang atau berasal dari luar Islam.

Kedua, dominan proses doktrinisasi nilai dan sikap fanatisme

yang berasal dari Islam dan menolak sesuatu yang datang dari luar

Islam, maka anak-anak usia dini berpotensi besar untuk tidak

toleran; mengakui dan menerima perbedaaan dan keberagaman,

dan hidup berdampingan dengan kerjasama dengan orang yang

tidak sealiran, seetinik dan seagama.

3.3.2. Penanaman Nilai dan Sikap Pemaksaan Kehendak

Pemaksaan kehendak dalam ilmu sosial lebih dekat koersi.

Secara sederhana koersi adalah penggunaan pakasaan untuk

memperoleh sesuatu yang diinginkan. Koersi lebih tepat dimaknai

sebagai salah satu strategi untuk melakukan kontrol sosial.

Sebagai sebuah strategi, koersi adalah sebuah tindakan untuk

mengontrol tindakan sosial. Sebagai sebuah tindakan, Bartos dan

Wehr (2003) mengkospetualisasikan koersi dengan tindakan yang

memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu yang orang tersebut

tindak ingin melakukan. Ada dua model orang memaksakan

kehendak atau melakukan tindakan koersif. Pertama, memaksakan

kehendak dengan cara melukai, menyiksa dan membunuh. Model

kedua dengan mengancam, mengintimidasi dan negosiasi. Kedua

Page 43: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 37

model ini diistilahkan oleh Bartos dan Wehr (2003) dengan actual

coercion dan therat coercion.

Menurut Tedeshi dan Felson di dalam konsep koersif

terdapat ancaman, hukuman dan paksaan sebagai strategi penting

untuk menyakiti atau mendapatkan kepatuhan dari target yang

menolak untuk disakiti atau untuk patuh. Oleh kerenanya, bagi

Tedeshi dan Felson strategi koersif dipandang sebagai suatu

instrumen yang digunakan oleh si pelaku untuk menyakiti

targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi tuntunan

pelaku. Ada tiga yang menjadi taget dari pelaku koersif ini,

pertama: mengontrol perilaku orang lain yang menjadi tujuan

utama, kedua: untuk menegakkan keadilan, dan ketiga untuk

mempertahankan atau melindungi identitas (Susantyo, 2011).

Ada enam dimensi yang dijadikan indikator untuk melihat

aspek pemaksaan kehendak dalam studi ini. Keenam hal tersebut

adalah, kewajiban mematuhi setiap nasehat guru, balasan pahala

dan surga bagi orang yang membela agama Islam, larangan

menyanyikan lagu selain lagu islami, masuk sekolah agama

setalah taman kanak-kanak, keharusan menyampaikan agar orang

tuan memakai pakaian seperti guru mereka di sekolah dan

temasisasi perang dengan permainan bermain peran.

Tabel 3

Memaksakan Kehendak

NO INDIKATOR

Nilai

Rerata Persentase Kriteria

1 Kewajiban mematuhi setiap nasehat

guru;

3,53 88,25 Tinggi

2

Doktrin adanya balasan pahala dan

surga untuk orang yang membela

agama Islam;

3,42 85,50 Tinggi

3 Larangan anak-anak menyanyikan

lagu selain lagu-lagu islami;

2,60 65,00 Sedang

4 Doktrin agar masuk ke sekolah agama

setelah taman kanak-kanak;

2,48 62,00 Sedang

Page 44: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

38 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Data pada Tabel 5 menggambar bahwa, ada tiga kategori

dari enam indikator penanaman sikap pemaksaan kehendak, yaitu

tinggi, sedang dan rendah. Penanaman sikap agar mematuhi

semua nasehat guru dan doktrinisasi adanya balasan pahala dan

surga kepada orang-orang yang membela agama Islam masuk

pada ketegori intensitas tinggi. Penanaman sikap memaksakan

hendak agar anak-anak tidak menyanyikan selain lagu-lagu islami,

masuk sekolah agama setelah taman kanak-kanak dan keharusan

anak-anak memberitahu orang tua mereka agar mengikuti pakaian

yang sama dengan yang dipakai guru disekolah termasuk pada

kategori intensitas sedang. Satu dimensi penanaman sikap

pemaksaan kehendak masuk pada intensitas rendah, yaitu

doktrinisasi perang melalui permainan bermain peran.

3.3.3. Penanaman Nilai dan Sikap Keras

Sikap keras dalam Islam diistilahkan dengan ghuluw yaitu

sikap keras, kaku, berlebih-lebihan, dan melebihi batas atau sikap

ekstrem. Dalam terminologi syari’at sikap eksrem dimaknai

sebagai sikap berlebih-lebihan dalam suatu perkara atau bersikap

ekstrem pada satu masalah dengan melampaui batas yang telah

disyariatkan. Karwadi (2014) memaknai sikap keras hampir sama

seperti definisi radikalisme dalam KBBI, yaitu: Pertama, paham

atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran

yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan

politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem

dalam suatu aliran.

Sikap keras berhubungan dengan self interest, yaitu

kekukuhan dalam memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok.

Self interest ini merupakan tindakan isolitif, sebuah tindakan yang

5

Keharusan anak-anak menyampaikan

agar orang tua mengikuti pakaian

sama dengan yang dipakai guru di

sekolah;

2,35

58,75

Sedang

6 Doktrin perang melalui permainan

peran

1,60 40,00 Rendah

Rata-rata 2,66 66,58 Sedang

Page 45: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 39

berupaya memenuhui kebutuhan privat dan mengabaikan

kepentingan publik. Self interest oleh Plato diposisikan sebagai

sesuatu yang negatif dan merupakan biang kejahatan dan dosa.

Bagi Plato self-interest hanya akan mendorong individu berlaku

tidak adil terhadap orang lain (Pramudya, 2010). Selain self

interest, sikap keras juga berhubungan dengan closed self

persepective, yaitu kekukuhan pada perspektif sendiri dan

menutup diri dari perspektif orang lain. Hal ini berawal dari

adanya pertama, klaim kebenaran, dimana hanya diri atau

kelompok merekalah yang benar sehingga tidak memerlupkan

persepketif lain. Kedua, adanya pandangan negarif atau asumsi

negatif terhadap orang atau kelompok lain.

Enam dimensi yang dijadikan indikator untuk melihat

intensitas penanaman sikap keras pada anak usia dini. Keenam

dimensi tersebut adalah pertama, doktrin adanya keharusan bagi

anak untuk menyuruh orang tua mereka tidak shalat agar

melaksanakan shalat. Kedua, doktrin adanya keharusan bagi anak

untuk menyuruh orang tua mereka yang tidak berpuasa agar

melaksanakan puasa. Ketiga, doktrin adanya keharusan berjuang

untuk membela agama. Keempat, doktrin adanya kaharusan

menjauhi membaca komik yang tidak islami. Kelima, adanya

doktrin keharusan menjauhi orang yang tidak sama tata cara

ibadahnya, dan keenam adanya doktrin keharusan melawan orang

yang tidak menjalankan ajaran Islam.

Tabel 4.

Bersikap Keras

NO INDIKATOR Nilai

Rerata Persentase Kriteria

1 Keharusan menyuruh orang tua

untuk melaksanakan shalat 3,16 79,00 Tinggi

2 Keharusan menyuruh orang tua

untuk berpuasa; 3,04 76,00 Tinggi

3 Keharusan berjuang membela

agama; 2,48 62,00 Sedang

4 Keharusan menjahui membaca

komik-komik yang tidak islami; 2,44 61,00 Sedang

5 Keharusan menjahui orang yang tak 1,79 44,75 Rendah

Page 46: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

40 | Radikalisasi Anak Usia Dini

sama tatacara ibadahnya;

6

Kaharusan melawan orang-orang

yang tidak menjalankan ajaran

Islam.

1,46 36,50 Rendah

Rata-Rata 2,39 59,87 Sedang

Data pada table 4 di atas menggambarkan, ada tiga

kategori penanaman nilai dan sikap keras pada anak usia dini,

yaitu tinggi, sedang dan rendah. Dimensi yang masuk pada

kategori intensitas tinggi adalah pembentukan sikap keras agar

anak menyuruh orang tua mereka untuk shalat dan puasa.

Penanaman sikap keras agar anak harus berjuang membala agama

dan menjauhi untuk membaca bacaan yang tidak islami seperti

komik masuk pada kategori intensitas sedang. Sementara

penanaman sikap keras agar anak menjauhi orang yang tidak

setatacara ibadahnya dan keharusan melawan orang yang tidak

menjalankan ajaran Islam masuk kategori intensitas rendah.

3.3.4. Penanaman Nilai dan Sikap Berburuk Sangka

Berburuk sangka dalam terminologi psikologi sosial dapat

diartikan sebagai prasangka (prejudice), yaitu suatu sikap

perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, bisa itu

golongan ras, ataupun kebudayaan yang notabennya berlainan

dengan kelompoknya (Sihabudin & Amiruddin, 2008). Prasangka

sosial menurut Papalia dan Sally, (1985) adalah sikap negatif yang

ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya

tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut.

Allport, (dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka

social merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain

tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci

kelompok tersebut. Menurut Sears individu yang berprasangka

pada umumnya memiliki sedikit pengalaman pribadi dengan

kelompok yang diprasangkai. Oleh karenanya, prasangka

cenderung tidak didasarkan pada fakta-fakta objektif, tetapi

Page 47: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 41

didasarkan pada fakta-fakta yang minim yang diinterpretasi

secara subjektif.

Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat

dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori

sosial. Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagii

dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu“kelompok kita” (in

group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah

kelompok sosial di mana individu merasa dirinya dimiliki atau

memiliki (“kelompok kami”), sedangkan out group adalah grup di

luar grup sendiri (“kelompok mereka”). Timbulnya prasangka

sosial dapat dilihat dari perasaan in group dan out group yang

menguat, dan terjadinya penguatan perasaan in group dan out

group sangat erat kaitannya dengan streotipe, perasaan frustasi,

dan dogmatisme.

Dalam studi ini, ada lima dimensi yang dijadikan sebagai

indikator untuk melihat tingkat prasangka atau berburuk sangka,

yaitu, larangan untuk tidak mempercayai orang atau ajaran yang

diberikan oleh orang lain, larangan untuk tidak bermain dengan

orang yang tidak sekeyakinan atau seagama, larang berteman

dengan orang yang tidak seetnis, doktrin bahwa selain orang islam

adalah orang berdosa, selain Islam/orang kafir adalah musuh.

Sepintas kelima indikator ini tidak ada yang perlu

dipersoalkan karena hal tersebut sudah biasa bahkan menjadi

kelaziman atau keharusan dalam agama. Hanya saja karena kelima

doktrin tersebut dibangun di atas basis kecurigaan, perasaan

negatif dan antipati terhadap orang atau komunitas yang berbeda,

maka ia akan berimplikasi secara sosial. Sebab kelima indikator

masing-masing menggambarkan atau merepresentasikan social

trust, social sacred, sosial enemy, social network, dan kerjasama.

Hal ini tentunya sangat berpotensi membangun sikap

merendahkan, perasaan negatif, serta tindak permusuhan dan

diskriminatif sebagaimana yang dikemukan oleh Browr tentang

dimensi kognitif, dimana prasangka menimbulkan keyakinan

kognitif yang bersifat merendahkan, afektif; pengekpresian

Page 48: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

42 | Radikalisasi Anak Usia Dini

perasaan negatif dan konatif; tindakan permusuhan, dan

diskriminatif (Alfandi, 2013).

Tabel 5

Berburuk Sangka/Prasangka

NO INDIKATOR

Nilai

Rerata Persentase Kriteria

1

Larangan untuk tidak mudah percaya pada orang

atau ajaran yang diberikan orang yang tidak dikenal;

3,07 76,75 Tinggi

2 Larangan untuk tidak bermain dengan orang yang tidak sekeyakinan/seagama;

2,09 52,25 Sedang

3 Penanaman nilai bahwa orang yang bukan Islam

adalah orang yang berdosa; 2,05 51,25 Sedang

4 Penanaman nilai bahwa selain Islam atau orang

kafir adalah musuh; 1,56 39 Rendah

5 Larangan untuk tidak berteman dengan orang

yang tidak seetnis. 1,51 37,75 Rendah

Rata-Rata 2,05 51,40 Sedang

Data pada Table 5 mengambarkan pertama, ada tiga

kategori intensitas penanaman nilai dan sikap berburuk sangka,

yaitu tinggi, sedang dan rendah. Penanaman nilai distrust terhadap

ajaran atau orang/komunitas asing atau tidak dikenal masuk pada

kategori intensitas tinggi. Penanaman larangan untuk tidak

berkerjasama dengan orang atau komunitas yang tidak

sekayakinan atau segama dan penanaman doktrin social sacred

terhadap orang atau komunitas di luar dari Islam berada pada

kategori intensitas sedang. Sedangkan penanaman doktrin social

enemy terhadap non muslim dan penanaman larangan untuk tidak

membangun jaringan atau berteman dengan orang di luar

komunitas; suku, kelompok, aliran dan semacamnya tingkat

intensitasnya berada pada level rendah.

Kedua, tingginya intensitas penamaman larangan untuk

tidak mudah percaya pada orang atau ajaran yang diberikan oleh

orang yang tidak dikenal, menyiratkan bahwa seiring dengan

terjadinya proses penguatan sosial trust dalam kelompok inti di

satu sisi, pada kelompok luar justeru terjadi proses pelebaran jarak

sosial. Meski demikian, kondisi sosial tersebut tidak berpotensi

terjadinya benturan sosial, karena ada kecenderungan kelompok

muslim tidak mengganggap kelompok non muslim sebagai

musuh. Hal ini tergambar dari tidak begitu kuatnya intensitas

penanaman doktrin yang menganggap orang di luar Islam sebagai

musuh seperti terlihat pada item 4 Tabel 5.

Page 49: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 43

Ketiga, meski tidak begitu tingginya intensitas proses

doktrinasi terhadap orang di luar Islam yang dianggap berdosa

serta penanaman larangan bermain dengan orang atau komunitas

yang tidak sekeyakinan/segama, namun proses tersebut secara

sublim semakin memperkuat streotipe dan memperlebar jarak

hubungan sosial orang muslim dengan non muslim. Hal ini

diperkuat dengan fakta adanya streotipe terhadap kelompok luar

selain dari non muslim cenderung melemah seperti yang terlihat

pada item 5 Tabel 5.

3.4. Radikalisasi Anak Usia Dini; Tipologi Sekolah Islam

Terpadu

Studi ini juga menemukan ada tiga varian atau tipologi

Sekolah Paud-TK IT, pertama, Paud-TK IT yang bergabung

dalam perkumpulan Jaringan Sekolah Islam Terpadu [JSIT].

Kedua, Paud-TK IT yang bergabung dengan Asosiasi Sekolah

Sunah Indonesia [ASESI], dan ketiga Paud-TK IT yang sama

sekali tidak memiliki afiliasi dengan organsasi apapun.

Paud-TK IT yang tergabung dengan JSIT adalah sekolah-

sekolah yang memiliki irisan dengan Partai Keadilan Sejahtera

[PKS]. Sebagaimana kemunculan sekolah Islam Terpadu digagas

oleh pentolan Partai Keadilan/PKS yang mengambil filosofi

Pendidikan pada Hasan Al Bana, maka kehadiran sekolah ini juga

memiliki kepentingan politis. Oleh karena itu, Paud-TK IT yang

terafiliasi pada JSIT ini, dapat dikatakan sekolah yang beroritasi

pada politik. Dalam catatan Kurniawan, (2016) rata-rata SIT

berada di bawah naungan Jaringan Islam Terpadu (JSIT) yang

berhaluan ke Partai Keadilan Sejahtera PKS. Yusup (2017)

dengan mengutip Noorhaidi Hasan menyebutkan bahwa JSIT

berhaluan ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Melalui JSIT, PKS

tidak hanya memperkenalkan modernisasi manajemen

kelembagaan pendidikan Islam, tetapi juga menanamkan ideologi

Islam ala PKS. Jauh dari itu, JSIT juga memiliki orientasi politik

yang digunakan untuk membangun struktur organisasi untuk

memobilisasi dukungan kepada PKS.

Page 50: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

44 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Tidak semua Sekolah Islam Terpadu berafiliasi dan

menjadi bagian dari JSIT. Ada Sekolah Islam Terpadu yang

berafiliasi dengan ASESI. Sekolah ini memiliki irisan dengan

gerakan salafi Indonesia. Tidak seperti JSIT yang beririsan dengan

kepentingan politik, maka sekolah yang tergabung dengan ASESI

lebih kental beririsan dengan ideologi salafi. Artinya sekolah ini

memiliki orientasi idelogis ketimbang politis. Selain JSIT dan

ASESI, ada juga Sekolah Islam Terpadu yang justeru tidak

memiliki afiliasi dengan organisasi apapun. Kerena itu, sekolah

ini tidak berafiliasi dan beririsan dengan kepentingan politik dan

ideologi, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan

ekonomis-bisnis.

Dari ketiga tipologi sekolah Paud-TK IT tersebut di atas

ditemukan bahwa proses penanaman nilai-nilai radikal masih

dalam ketegori sedang. Paud-TK IT JSIT intensitas penanaman

nilai-nilai radikal berada pada level tertinggi dengan persentase

65.00%, diiringan oleh Paud-TK IT ASESI sebesar 73,05%

persen, dan Paud-TK Non Afiliasi berada pada urutan terendah

sebesar 62,75%.

Tabel 6.

Radikalisasi pada Tiga Tipologi TK/ PAUD

Data-data pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa

pertama, sekolah Paud-TK IT yang memiliki afiliasi (ASESI

87,25% & JSIT 80,25%) lebih tinggi tingkat intensitasnya

radikalisasinya di bandingkan dengan Paud-TK IT yang tidak

memiliki afiliasi (73,05%).

Page 51: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 45

Kedua, ada kesamaan pada tipologi sekolah Paud-TK IT

yang memiliki afiliasi pada aspek fanatisme, dimana kedua

tipologi; JSIT dan ASESI intensitas penanaman nilai-nilai

fanatisme berada pada level tinggi, sementara Paud-TK IT Non

Afialiasi intensitasnya berada pada kategori sedang. Hanya saja

sekolah Paud-TK IT ASESI lebih tinggi tingkat intensitas dalam

menanamkan nilai-nilai fanatisme (87,25%) di banding Paud-TK

JSTI (80.25%).

Ketiga, dalam aspek berburuk sangka, SIT tipologi ASESI

dan JSIT berada dalam kategori sedang, sedangkan SIT Non

Afiliasi berada pada level rendah. Artinya PAUD-TK IT ASESI

(67,05%) paling tinggi tingkat intensitas penanaman nilai dan

sikap berburuk sangka SIT, berikutnya PAUD-TK IT JSIT

(54,25%) dan paling rendah tingkat intensitas penanaman nilai

dan sikap berbutuk sangka adalah PAUD-TK IT Non Afialisasi

(48,25%).

Keempat, ketiga tiplogi SIT, baik Paud-TK IT JSIT,

PAUD-TK IT ASESI maupun PAUD-TK IT Non Afiliasi pada

aspek sikap keras, ketiganya masuk pada kategori sedang. SIT

tertinggi dalam aspek penanaman nilai dan sikap keras adalah

PAUD-TK IT ASESI (75%00), berikutnya PAUD-TK IT JSIT

(62,25%), dan yang paling rendah adalah PAUD-TK IT Non

Afialiasi.

Kelima, dalam aspek memaksakan kehendak, ketiga

tipologi SIT sama-sama berada dalam kategori intensitas sendang.

Namun paling tertinggi tingkat intensitas penanaman nilai dan

sikap pemaksaan kehendak adalah PAUD-YK IT Non Afiliasi

(72,75%), setelahnya PAUD-TK IT ASESI (64,05) dan paling

terendah adalah PAUD-TK IT JSIT (63,29%).

3.4.1. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Fanatisme

Secara umum studi ini menemukan bahwa dari delapan

aspek yang menjadi indikator fanatisme, maka SIT Paud-TK IT

ASESI paling tinggi tingkat intensitasnya dalam menanamkan

nilai dan sikap fanatisme (87,25%), diikuti oleh SIT Paud JSIT

Page 52: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

46 | Radikalisasi Anak Usia Dini

(80,25%). Kedua SIT tersebut berada pada level intensitas tinggi.

Sedangkan SIT Non Afiliasi berada pada posisi terendah di antara

ketiga tipologi, dimana tingkat intensitasnya dalam menanamkan

nilai dan sikap fanatisme berada pada level sedang (73,05%).

Tabel.7

Perbandingan Fanatisme

Data pada Tabel 7 di atas memperlihatkan bahwa, pertama,

ada tiga kategori tingkat intensitas pada aspek penanaman nilai

dan sikap fanatisme, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Lima hal

yang masuk pada kategori tinggi bagi PAUD-TK IT JSIT, yaitu,

pertama, penanaman keyakinan tentang Al Qur’an dan Sunnah

sebagai sumber kebenaran (91,75%), kedua, penanaman larangan

untuk tidak mengikuti selain yang diperintah Al Qur’an dan

Sunnah (86,75%), ketiga, penanaman kepatuhan hanya pada orang

tua dan guru (86,75%), keempat, penanaman nilai-nilai keislaman

(85,00%), dan kelima, penanaman larangan untuk tidak menonton

film yang tidak islami (81,75%). Tiga hal yang masuk pada

kategori sedang, yaitu, pertama, penanaman larangan memakan

produk Barat seperti KFC, CFC masuk pada kategori rendah

(75,00%), kedua, penanaman larangan untuk merayakan hari

ulang tahun (57,75%), dan ketiga, penanaman nilai-nilai Pancasila

(60,00%).

Page 53: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 47

Pada PAUD-TK IT ASESI, enam masuk kategori

intensitas tinggi, yaitu, pertama, penanaman larangan untuk tidak

mengikuti selain yang diperintah Al Qur’an dan Sunnah (97,50%),

kedua, penanaman larangan untuk merayakan hari ulang tahun

(97,50%), ketiga, penanaman keyakinan tentang Al Qur’an dan

Sunnah sebagai sumber kebenaran (97,25%), keempat, penanaman

kepatuhan hanya pada orang tua dan guru (96,75%), kelima,

penanaman larangan untuk tidak menonton film yang tidak islami

(95,00%), dan keenam, penanaman nilai-nilai keislaman (77,50).

Sedangkan, penanaman nilai-nilai Pancasila (75,00%) dan

penanaman larangan memakan produk Barat seperti KFC, CFC

(62,50%), keduanya masuk pada kategori intensitas sedang.

Bagi Paud-TK IT Non Afiliasi, ada lima hal yang masuk

pada ketegori tinggi, yaitu, pertama, penanaman nilai-nilai

keislaman (91,25%), kedua, penanaman keyakinan tentang Al

Qur’an dan Sunnah sebagai sumber kebenaran (88,50%), ketiga,

penanaman larangan untuk tidak mengikuti selain yang diperintah

Al Qur’an dan Sunnah (85,50%), keempat, penanaman kepatuhan

hanya pada orang tua dan guru (82,75%), dan kelima, penanaman

nilai-nilai Pancasila (76,00%). Dua masuk pada kategori sedang,

yaitu penanaman larangan untuk tidak menonton film yang tidak

islami (64,50%), dan penanaman larangan untuk merayakan hari

ulang tahun (57,75%), sedangkan penanaman larangan memakan

produk Barat seperti KFC, CFC masuk pada kategori rendah

(43,25%).

Kedua, ada empat aspek yang sama di antara ketiga

tipologi SIT; PAUD-TK IT JSIT, ASESI dan Non Afiliasi berada

dalam kategori intensitas tinggi. Masing-masing adalah pertama,

penanaman nilai dan sikap hanya Al Qur’an dan Sunnah saja yang

menjadi sumber kebenaran. Dalam konteks ini, PAUD-TK IT

ASESI (97,25%) paling tinggi tingkat intensitasnya, setelahnya

PAUD-TK IT JSIT (91,75%), dan paling rendah adalah PAUD-

TK IT Non Afiliasi (88,50%). Kedua, penanaman nilai dan sikap

untuk tidak mengukuti selain yang diperintahkan Al Qur’an dan

Sunnah. Pada bagian ini PAUD-TK IT ASESI (97,50%) paling

Page 54: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

48 | Radikalisasi Anak Usia Dini

tinggi intensitasnya, setelahnya PAUD-TK IT JSIT (86,75%), dan

paling rendah PAUD-TK IT Non Afiliasi (85,50%). Ketiga,

penanaman nilai dan sikap kepatuhan hanya kepada orang tua dan

guru. Dalam hal ini, PAUD-TK IT ASESI (96,75%) juga yang

paling tinggi tingkat instnsitasnya dibandingkan dengan PAUD-

TK IT JSIT (86,75%), sedangkan PAUD-TK IT Non Afiliasi

menempati posisi paling rendah (82,75%). Keempat, penanaman

nilai-nilai keislaman. Pada bagian ini PAUD-TK IT Non Afiliasi

(91,25%) paling tinggi tingkat intensitasnya, diikuti PAUD-TK IT

JSIT (85,00%), sedangkan intensitas paling rendah pada aspek ini

adalah PAUD-TK IT ASESI (77,50%).

Ketiga, ada kesamaan kategori tinggi dan sedang hanya

antara SIT; Paud-TK IT JSTI dan ASESI. Satu aspek, yaitu,

penanaman larangan untuk tidak menonton film yang tidak islami,

antara ASESI dan JSIT sama-sama berada pada kategori intensitas

tinggi. Sedangkan aspek penanaman larangan memakan produk

Barat seperti KFC, CFC, dan penanaman nilai-nilai Pancasila,

keduanya sama-sama berada pada kategori intensitas sedang.

Keempat, kesamaan antara SIT; Paud-TK IT JSIT dan Non

Afiliasi hanya terjadi pada aspek penanaman larangan untuk

merayakan hari ulang tahun yang berada pada kategori intensitas

sedang. Tidak ada kesamaan yang terjadi antara SIT; ASESI

dengan Non Afiliasi.

Kelima, ada dua aspek yang tidak ada kesamaan antara

ketiga tipologi. Ketiga aspek tersebut adalah, penanaman larangan

memakan produk Barat seperti KFC, CFC, dan penanaman

larangan untuk tidak menonton film yang tidak islami. Keduanya

adalah berada pada kategori rendah dan sedang, yang hanya

dimiliki oleh SIT Non Afiliasi.

3.4.2. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Berburuk

Sangka

Ada tiga kategori pada aspek penanaman nilai dan sikap

berburuk sangka, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Dari lima aspek

yang menjadi indikator berburuk sangka, maka SIT Paud-TK IT

Page 55: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 49

ASESI paling tinggi tingkat intensitasnya dalam menanamkan

nilai dan sikap berburuk sangka (67,05%), diikuti oleh SIT Paud

JSIT (54,25%). Kedua SIT tersebut berada pada level intensitas

sedang. Sedangkan SIT Non Afiliasi berada pada posisi terendah

di antara ketiga tipologi, dimana tingkat intensitasnya dalam

menanamkan nilai dan sikap berburuk sangka berada pada level

rendah (48,25%).

Tabel 8

Perbandingan Berburuk Sangka

Data pada Tabel 8 di atas menggambarkan bahwa,

pertama, tidak ada satupun aspek penanaman nilai dan sikap

berburuk sangka yang masuk pada kategori tinggi pada SIT Paud-

TK IT JSIT. Empat dari lima aspek masuk kategori intensitas

sedang, dan satu masuk pada kategori rendah pada SIT Paud-TK

IT JSIT. Keempat aspek tersebut adalah, pertama, penanaman

nilai dan sikap larangan untuk tidak mudah mempercayai atau

menerima orang atau ajaran yang diberikan orang yang tidak

dikenal. Kedua, penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak

bermain dengan orang yang tidak sekeyakinan atau seagama.

Ketiga, penanaman doktrin bahwa selain orang Islam adalah

berdosa. Keempat, penanaman doktrin bahwa di luar Islam atau

orang kafir adalah musuh. Sedangkan penanaman nilai dan sikap

larangan berteman dengan orang yang tidak seetinis, sekelompok,

dan sealiran berada pada kategori rendah.

Page 56: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

50 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Kedua, hanya ada dua kategori; tinggi dan sedang, dan

tidak ada aspek yang masuk kategori rendah pada SIT Paud-TK

IT ASESI. Dua aspek masuk pada kategori intensitas tinggi, dan

tiga aspek masuk pada kategori sedang. Kedua aspek kategori

tinggi tersebut adalah pertama, penanaman doktrin bahwa selain

orang Islam adalah berdosa, dan kedua, penanaman nilai dan sikap

larangan untuk tidak mudah mempercayai atau menerima orang

atau ajaran yang diberikan orang yang tidak dikenal. Tiga aspek

kategori intensitas sedang adalah, pertama, penanaman nilai dan

sikap larangan berteman dengan orang yang tidak seetinis,

sekelompok, dan sealiran berada pada kategori rendah. Kedua,

penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak bermain dengan

orang yang tidak sekeyakinan atau seagama. Ketiga, penanaman

doktrin bahwa di luar Islam atau orang kafir adalah musuh.

Ketiga, pada SIT Paud-TK IT Non Afiliasi dari lima aspek

penanaman nilai dan sikap berburuk sangka, satu masuk kategori

intensitas tinggi, satu intensitas rendah dan tiga intensitas sedang.

Penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak mudah

mempercayai atau menerima orang atau ajaran yang diberikan

orang yang tidak dikenal masuk pada kategori intensitas tinggi.

Penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak bermain dengan

orang yang tidak sekeyakinan atau seagama masuk pada kategori

intensitas sedang. Sedangkan tiga kategori intensitas rendah

adalah, pertama, penanaman doktrin bahwa selain orang Islam

adalah berdosa, kedua, penanaman doktrin bahwa di luar Islam

atau orang kafir adalah musuh, dan ketiga, penanaman nilai dan

sikap larangan untuk tidak bermain dengan orang yang tidak

sekeyakinan atau seagama.

Keempat, ada satu aspek penanaman nilai dan sikap

berburuk sangka yang sama masuk pada ketiga tipologi SIT.

Aspek tersebut adalah penanaman nilai dan sikap larangan untuk

tidak bermain dengan orang yang tidak sekeyakinan atau seagama.

Kelima, pada satu sisi ada kesamaan antara SIT JSIT

dengan SIT ASESI dan SIT JSIT dengan SIT Non Afiliasi, di

pihak lain ada pula kesamaan antara SIT ASESI dengan SIT Non

Page 57: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 51

Afiliasi. Satu kesamaan antara JSIT dengan ASESI ditemukan

dalam menanamkan doktrin bahwa di luar Islam atau orang kafir

adalah musuh berada pada level intensitas sedang. Sedangkan

kesamaan antara JSIT dengan Non Afiliasi pada penanaman nilai

dan sikap larangan berteman dengan orang yang tidak seetinis,

sekelompok, dan sealiran. Kedua-duanya sama-sama berada pada

level intensitas rendah. Satu aspek kesamaan antara SIT ASESI

dengan SIT Non Afiliasi dalam penanaman nilai dan sikap

larangan untuk tidak mudah mempercayai atau menerima orang

atau ajaran yang diberikan orang yang tidak dikenal. Satu aspek

tersebut berada pada level intensitas tinggi.

3.4.3. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Keras

Tiga kategori intensitas dalam menanamkan nilai dan

sikap keras pada masing-masing tipologi SIT, yaitu tinggi, sedang

dan rendah. Studi ini menemukan bahwa ketiga tipologi SIT;

JSIT, Asesi dan Non Afiliasi berada pada kategori intensitas

sedang dalam menanamkan nilai dan sikap keras. Ketiga tipologi

SIT tersebut di atas, SIT Asesi (75,00%) berada pada tingkat

intensitas paling tinggi, diikuti oleh SIT JSIT (62,25%), dan SIT

Non Afiliasi (57,25%) berada pada posisi paling rendah.

Tabel 9

Perbandingan Sikap Keras

N

o

Indikator

Sikap

Keras

Kelompok sekolah

JSIT ASESI Non Afiliasi

Rerata % Kategori Rerata % Kategori Rerata % Kategori

1

menyuruh

orang tua

untuk melaksana

kan shalat

3,13 78,25 Tinggi 3,50 87,50 Tinggi 3,15 78,75 Tinggi

2

menyuruh orang tua

untuk

berpuasa

3,00 75,00 Sedang 3,50 87,50 Tinggi 3,04 76,00 Tinggi

3 berjuang membela

agama

2,40 60,00 Sedang 2,50 62,50 Sedang 2,53 63,25 Sedang

Page 58: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

52 | Radikalisasi Anak Usia Dini

4

menjahui

orang

yang tidak setatacara

dalam

beribadah

2,00 50,00 Sedang 2,50 62,50 Sedang 1,61 40,25 Rendah

5

melawan orang

yang tidak

menjalankan agama

Islam

1,66 41,50 Rendah 2,00 50,00 Sedang 1,31 32,75 Rendah

6

membaca komik-

komik

yang tidak Islami

2,80 70,00 Sedang 4,00 10,00 Tinggi 2,11 52,75 Sedang

Rata-rata 2,49 62,25 Sedang 3 75,00 Sedang 2,29 57,25 Sedang

Data pada Tabel 9 di atas, memberi informasi bahwa

pertama, SIT JSIT memiliki ketiga kategori intensitas; tinggi,

sedang dan rendah. Satu aspek masuk pada kategori intensitas

tinggi, yaitu penanaman nilai dan sikap agar anak menyuruh orang

tua mereka melaksanakan shalat. Penanaman doktrin keharusan

melawan orang yang tidak menjalankan agama Islam berada pada

kategori intensitas rendah. Empat aspek masuk pada ketegori

sedang, yaitu, pertama, penanaman nilai dan sikap untuk

menyuruh orang tua melaksanakan puasa, kedua, penanaman

doktrin untuk tidak membaca komik yang tidak islami, ketiga,

doktrin keharusan berjuang membela agama, dan keempat,

penanaman doktrin keharusan menjauhi orang yang tidak

setatacara dalam menjalankan ibadah.

Kedua, hanya ada dua kategori; tinggi dan sedang pada

SIT Asesi dalam menanamkan nilai dan sikap berburuk sangka.

Tiga aspek pada ketegori intesitas tinggi, dan tiga aspek pula

kategori intensitas sedang. Ketiga aspek yang berada pada level

intensitas tinggi adalah, pertama, penanaman nilai dan sikap agar

anak menyuruh orang tua mereka melaksanakan shalat. Kedua,

penanaman nilai dan sikap untuk menyuruh orang tua

melaksanakan puasa, dan ketiga, penanaman doktrin untuk tidak

membaca komik yang tidak islami. Aspek pertama dalam kategori

Page 59: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 53

intensitas sedang adalah penanaman doktrin keharusan berjuang

membela agama. Aspek kedua, penanaman doktrin keharusan

menjauhi orang yang tidak setatacara dalam menjalankan ibadah,

dan aspek ketiga penanaman doktrin keharusan melawan orang

yang tidak menjalankan agama Islam.

Ketiga, dua aspek berintensitas tinggi, dua aspek

berintensitas sedang, dan aspek berinstnsitas rendah dalam

menanamkan nilai dan sikap keras ditemukan pada tipologi SIT

Non Afiliasi. Aspek yang termasuk pada kategori intensitas tinggi

adalah, pertama, penanaman nilai dan sikap agar anak menyuruh

orang tua mereka melaksanakan shalat, dan kedua, penanaman

nilai dan sikap untuk menyuruh orang tua melaksanakan puasa.

Aspek pertama berintensitas sedang adalah penanaman doktrin

keharusan berjuang membela agama, sedangkan aspek kedua

adalah penanaman doktrin untuk tidak membaca komik yang tidak

islami. Penanaman doktrin keharusan menjauhi orang yang tidak

setatacara dalam menjalankan ibadah, serta penanaman doktrin

keharusan melawan orang yang tidak menjalankan agama Islam

merupakan dua aspek termasuk kategori intensitas rendah.

3.4.4. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Pemaksaan

Kehendak

Ada tiga kategori tingkat intensitas penanaman nilai dan

sikap pemaksaan kehendak; tinggi, sedang dan rendah. Ketiga

tipologi SIT berada dalam kategori intensitas sedang, dan Paud-

TK IT Non Afiliasi (72,75%) berada pada posisi paling tertinggi,

diikuti Paud-TK IT Asesi (64,05%), sedangkan Paud-TK JSIT

(63,29%) berada pada posisi paling rendah.

Page 60: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

54 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Tabel 10.

Perbandingan Pemaksaan Kehendak

Data pada Tabel 10 di atas memperlihatkan, pertama,

Paud-TK IT JSIT memiliki ketiga kategori tingkat intensitas;

tinggi, sedang dan rendah. Dua aspek berada pada level intensitas

tinggi, tiga aspek berada pada level intensitas sedang, serta satu

aspek berada pada level intensitas rendah. Kedua aspek

penanaman nilai dan sikap pemaksaan kehendak kategori

intensitas tinggi adalah pertama, penanaman doktrin ada balasan

pahala dan surga untuk setiap orang yang membela agama Islam,

dan kedua, penanaman doktrin keharusan mengikuti setiap

nasehat guru. Ketiga aspek penanaman nilai dan sikap pemaksaan

kehendak level intensitas sedang adalah, pertama, penanaman

doktrin larangan menyanyikan lagu selain lagu-lagu islami.

Kedua, penanaman doktrin agar melanjutkan ke sekolah agama

setelah taman kanak-kanak. Ketiga, penanaman doktrin agar anak-

anak mengaharuskan orang tua mereka memakai pakaian seperti

yang dipakai guru di sekolah. Sedangkan aspek penanaman

doktrin keharusan berperang dengan cara bermain peran, berada

pada level intensitas rendah.

Kedua, dua aspek penanaman nilai dan sikap pemaksaan

kehendak berintensitas tinggi, tiga berintensitas sedang, serta satu

Page 61: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 55

berintensitas rendah pada SIT tipologi Asesi. Dua aspek

berintensitas tinggi adalah, pertama, penanaman doktrin ada

balasan pahala dan surga untuk setiap orang yang membela agama

Islam, dan kedua, penanaman doktrin keharusan mengikuti setiap

nasehat guru. Tiga aspek berintensitas sedang adalah pertama,

penanaman doktrin larangan menyanyikan lagu selain lagu-lagu

islami. Kedua, penanaman doktrin agar melanjutkan ke sekolah

agama setelah taman kanak-kanak. Ketiga, penanaman doktrin

agar anak-anak mengaharuskan orang tua mereka memakai

pakaian seperti yang dipakai guru di sekolah. Sedangkan aspek

berinsitas rendah adalag penanaman doktrin keharusan berperang

dengan cara bermain peran.

Ketiga, hanya ada dua level intensitas; tinggi dan sedang

pada SIT Non Afiliasi dalam menanamkan nilai dan sikap

pemaksaan kehendak. Dua aspek berintensitas tinggi dan empat

berintensitas sedang. Dua aspek berintensitas tinggi adalah

pertama, pertama, penanaman doktrin keharusan mengikuti setiap

nasehat guru, dan kedua, penanaman doktrin ada balasan pahala

dan surga untuk setiap orang yang membela agama Islam.

Keempat aspek berintensitas sedang adalah pertama, penanaman

doktrin agar melanjutkan ke sekolah agama setelah taman kanak-

kanak. Kedua, penanaman doktrin agar anak-anak mengaharuskan

orang tua mereka memakai pakaian seperti yang dipakai guru di

sekolah. Ketiga, penanaman doktrin larangan menyanyikan lagu

selain lagu-lagu islami, dan keempat penanaman doktrin

keharusan berperang dengan cara bermain peran.

Apa yang dapat dipahami dari data di atas adalah afiliasi

sekolah berhungan dengan irisan, orientasi dan kepentingan.

Pertama, fanatisme menjadi varaian paling dominan dan sangat

berkontribusi besar dalam membentuk sikap radikal anak usia dini

pada ketiga tipologi Paud-TK IT. Salah satu argumen yang dapat

diajukan adalah ada kekuatan antusias dan kesetiaan yang

melibatkan emosi, kedekatan, keterlibatan, kepedulian dan

kecintaan terhadap objek fanatik. Dalam konteks ini obyek fanatik

tersebut adalah Al Qur’an dan Sunnah, guru dan orang tua, Islam,

Page 62: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

56 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Pacasila, makanan, dan parayaan ulang tahun. Obyek fanatik

tersebut di atas menjadi magnet menarik antusias dan kesetiaan

orang karena hal tersebut sesuatu yang dekat dan intim dengan

kehidupan sehari-hari. Penanaman sikap fanatik pada gilirannya

melahir fanatisme; sebuah faham atau keyakinan yang ekstrim

terhadap sesuatu; nilai, ide dan lain sebagainya yang

kebenarannya hanya ada pada diri atau kelompok tertentu dan

mengabaikan kebenaran dari orang atau kelompok lain. Menurut

Chung, Baverland dan Farelly dalam Exploring Consumer

Fanaticism; Extraordinary Devotion in The Cunsumption Context

(2008) fanatik memiliki kecenderungan untuk bersikers terhadap

subuah gagasan yang menganggap diri sendiri atau kelompok

tertentu, dan mengabaikan fakta yang mungkin bertentangan

dengan pikiran atau keyakinan. Pengikut faham ini akan loyal dan

totalitas memperjuangkan dan mengabdikan diri pada obyek

fanatik.

Kedua, pada aspek berburuk sangka, Paud-TK IT ASESI

dan JSIT termasuk pada kategori intensitas sedang, sementara

Paud-TK Non Afiliasi berada masuk kategori intensitas rendah.

Salah satu penyabab adalah adanya pengaruh dari irisan dan

kepentingan dari masing-masing SIT. Rendahnya intensitas

penanaman sikap berburuk sangka pada Paud-TK IT Non Afiliasi

lantaran sekolah ini nyaris tidak memiliki irisan dengan politik

dan juga tidak berpentingan terhadap ideologi tertentu. Orientasi

sekolah ini jelas untuk bisnis dan sangat berkepentingan secara

ekonomis. Berbeda dengan Paud-TK IT ASESI yang berisan

dengan gerakan salafi dan memiliki kepentingan secara ideologis.

Hal yang sama juga pada Paud-TK IT JSIT yang beririsan dengan

PKS dan memiliki kepentingan secara politis.

Tema ideologi dan politik sangat akrab dengan berburuk

sangka atau dalam istilah psikologi sosial disebut dengan

prasangka. Menurut Gordon Allport prasangka adalah sikap

antipati yang berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi

yang tidak luwes. Jones mengatakan bahwa prasangka adalah

sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggneralisasi yang

Page 63: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 57

salah dan tidak fleksibel (Alfandi, 2013). Antipati dapat dirasakan

dan dinyatakan, dan dapat langsung diarahkan oleh kelompok atau

individu kepada kelompok tertentu. Di dalam prasangka, kata

“antipati” merupakan kata kunci, yang oleh Websters Dictionary

disebut sebagai “perasaan negatif” (Alfandi, 2013). Kepemilikan

sifat attitude-attitude positif dan negatif di dalam prasangka,

menjadi stimulus yang dapat memberikan pengaruh terhadap

tingkah laku sesorang terhadap kelompok lain. Prasangka akan

muncul dalam bentuk perbuatan, yang kerap kali muncul adalah

sikap yang mengandung nilai-nilai diskriminatif tanpa alasan-

alasan yang objektif (Gerungan, 1996 dalam Sihabudin &

Amiruddin, 2008). Dengan begitu, adanya sikap prasangka

menjadi sikap yang sangat berpotensial untuk terciptanya

kekonflikan di dalam berkomunikasi antar umat beragama. Alo

Liliweri dalam (Alfandi, 2013) menyatakan bahwa salah satu

pemicu terjadinya konflik antar dan intern umat beragama adalah

karena adanya ketidaksepahaman yang dibangun oleh masing-

masing pemeluk agama.

Ketiga, paling tingginya posisi SIT Paud-TK Asesi, diikuti

SIT Paud JSIT dan paling rendahnya posisi SIT Paud-TK Non

Afiliasi sangat berhubungan dengan kekuatan dan kepentingan

ideologi. Ideologi memerlukan sikap keras, karena ia berhubungan

dengan way of life yang menjadi tuntunan hidup. Sikap keras

berhubungan dengan self interest, yaitu kekukuhan dalam

memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok. Self interest ini

merupakan tindakan isolitif, sebuah tindakan yang berupaya

memenuhui kebutuhan privat dan mengabaikan kepentingan

publik. Self interest oleh Plato diposisikan sebagai sesuatu yang

negatif dan merupakan biang kejahatan dan dosa. Bagi Plato self-

interest hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil

terhadap orang lain (Pramudya, 2010). Selain self interest, sikap

keras juga berhubungan dengan closed self persepective, yaitu

kekukuhan pada perspektif sendiri dan menutup diri dari

perspektif orang lain. Hal ini berawal dari adanya pertama, klaim

kebenaran, dimana hanya diri atau kelompok merekalah yang

Page 64: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

58 | Radikalisasi Anak Usia Dini

benar sehingga tidak memerlupkan persepketif lain. Kedua,

adanya pandangan negarif atau asumsi negatif terhadap orang atau

kelompok lain.

Keempat, tingginya posisi SIT Paud-TK Non Afiliasi,

Paud-TK Asesi posisi kedua, dan Paud-TK JSIT pada posisi

terendah mengandaikan bahwa orientasi bisnis dan ideologi

memiliki kepentingan yang besar terhadap kekuasaan, dimana

pemaksaan kehendak menjadi bagian inheren dari kekuasaan.

Pemaksaaan kehendak mengandaikan kekuasaan, dimana will to

power menjadi dasar dan pusat pergerakan ekonomi, ideologi dan

politik. Kerena ekonomi, ideologi dan politik berhubungan dengan

will to power, maka pemaksaan kehendak menjadi salah satu

instrumen untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi, ideologi dan

politik.

Page 65: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 59

BAB IV

PENUTUP

Bagian ini merupakan akhir dari diskusi tentang proses

radikalisasi anak usia dini pada lembaga pendidikan Pendidikan

Islam. Ada dua hal yang menjadi perhatian dalam menutup

pembahasan ini, yaitu simpulan dari temuan penelitian

sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian ketiga, dan

keempat. Kedua, apa yang bisa digunakan dari hasil studi ini

untuk memformulasikan gagasan atau sebuah model yang bisa

dikembangkan dalam kehidupan masyarakat.

4.1. Kesimpulan

Merujuk rumusan masalah penelitian ini yaitu, bagaimana

proses radikalisasi anak usia dini terjadi pada institusi pendidikan

Islam di Sumatera Barat yang telah dirumuskan pada latar

belakang, maka studi ini menemukan; pertama, secara umum

bahwa telah dan sedang berlangsung penanaman nilai dan sikap

radikal terhadap anak usia dini pada SIT Paud-TK.

Kedua, radikalisasi anak usia dini yang terjadi pada

lembaga pendidikan Islam terpadu masih dalam kategori sedang.

Artinya penanaman nilai dan sikap radikal berada pada level

intensitas sedang. Ketiga, empat varian radikalisasi; fanatisme,

berburuk sangka, sikap keras dan pemaksaan kehendak, maka

fanatisme adalah varian yang berkontribusi besar dalam

penanaman nilai dan sikap radikal, diikuti varian memaksakan

kehendak, dan sikap keras, sedangkan varian berburuk sangka

berada pada posisi terendah.Keempat, dari tiga tipologi SIT; JSIT,

Asesi dan Non Afiliasi, maka SIT; Paud-TK Asesi berada pada

posisi tertinggi dalam menanamkan nilai dan sikap radikal, dan

diikuti Paud-TK JSIT, sedangkan SIT Paud-TK Non Afiliasi

berada pada posisi terendah.

Ketiga, di tengah keragaman gerakan keagamaan,

pendidikan Islam bukanlah realitas yang tunggal. Keragaman dan

dinamikanya ditentukan oleh berbagai realitas yang dihadapi.

Page 66: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

60 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Kehadiran SIT tidak semata-mata dipengaruhi oleh perbedaan

paham keagamaan, melainkan juga pemahaman ideologis

terhadap paham keagamaan. Dalam perjalanannya institusi

pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ideologi,

politik, dan ekonomi yang mengitari kehidupan masyarakat

sehari-hari.

Cacatan penting dari studi ini ialah pertama, sekolah Paud-

TK IT sebagai salah satu instrumen pembentuk karakter memiliki

potensi besar dalam menanamkan nilai, sikap dan membentuk

karakter radikal pada anak usia dini. Hal ini dimungkinkan karena

ada otoritas penuh bagi sekolah tersebut menentukan corak,

orientasi, muatan dan kurikulum dalam pendidikan keagamaan.

Kedua, terjadinya radikalisasi dalam arti penanaman nilai yang

mengarah pada pembentukan sikap radikal pada anak usia dini di

Paud-TK IT, menunjukkan bahwa institusi pendidikan (Paud-TK

IT) dan anak usia dini sangat rentan menjadi obyek eksploitasi

untuk berbagai motif dan kepentingan, baik ideologis, politis

maupun ekonomis.

4.2. Saran

Berangkat dari temuan studi ini, dimana telah dan sedang

terjadi penanaman nilai dan sikap radikal terhadap anak usia dini

pada lembaga pendidikan Islam Terpadu, maka diperlukan model

pembelajaran atau strategi membangun pendidikan anak usia dini

yang menekankan pendekatan moderasi.

Page 67: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 61

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, A. (2016). Gerakan Radikalisme Dalam Islam:

Perspektif Historis. Addin, 10(1), 1.

https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1127

Akbar, W. (2018). BIN Ungkap 39 Persen Mahasiswa Terpapar

Radikalisme. Retrieved from

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180429023027-

20-294442/bin-ungkap-39-persen-mahasiswa-terpapar-

radikalisme

Alim, N., Pairin, Ikhsan, M., Samrin, & Syamsuddin. (2018).

Singularitas Agama: Identifikasi Aliran dan Paham Radikal

di Kendari. Al-Ulum, 18(2), 271–300.

https://doi.org/10.30603/au.v18i2.487

Abbas, T. (2007). Islamic Political Radicalism: A European

Perspective. Manchester: Edinburgh University Press.

Ahmad, A., Aydin, H., & Barou, J. (2009). Studies into Violent

Radicalisation: The Beliefs Ideologies and Narratives.

London: The Change Institute.

Alao, A. (2013). Islamic radicalisation and violent extremism in

Nigeria. Conflict, Security & Development, 13(2), 127–147.

http://doi.org/10.1080/14678802.2013.796205

Arendt, H. (1970). On Violence. New York: A Harvest/HBJ Book.

Azra, A. (2011). Akar Radikalisme Keagamaan: Peran Aparat

Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat

Beragama. In Workshop Memperkuat Toleransi melalui

Institusi Sekolah (pp. 14–15). Bogor: The Habibie Center.

Bagir, H. (2017). Islam Tuhan Islam Manusia Agama dan

Spiritual di Zaman Kacau (I; A. B. dan Ahmad Baiquni, ed.).

Bandung: PT Mizan Pustaka.

Baidhowi. (2017). Islam Tidak Radikalisme dan Terorisme.

Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang,

3(1), 197–218.

Babbie, E. (2009). The Basic of Social Research. California:

Wadsworth.

Page 68: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

62 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Berg, B. L. (2001). Qualitative Research Methods for The Social

Sciences. London: Allyn and Bacon.

Bott, C., Castan, W. J., Dickens, R., Rowley, T., Smith, E., Lark,

R., & Thompson, G. (2009). Recruitment And Radicalization

Of School-Aged Youth By International Terrorist Groups.

Arlington.

Crossett, C., & Spitaletta, J. A. (2010). Radicalization: Relevant

Pyschological and Sociologial Concepts. USA: U.S. Army

Asymmetric Warfare Group: The John Hopkins University.

Fanani, A. F. (2013). Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum

Muda. Ma’arif, 8(1), 4–13.

Gaus-AF, A. (2013). Pemetaan Problem Radikalisme di SMU

Negeri di 4 Daerah. Ma’arif, 8(174–191).

Hadler, J. (2008). A Historiography of Violence and the Secular

State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of

History. The Journal of Asian Studies, 67(3), 971–1010.

http://doi.org/10.1017/S0021911808001228

Haluan. (2018). Analisis pengamat Terorisme; Ribuan Teroris

‘Lahir’ di Sumbar. Retrieved September 10, 2018, from

https://www.harianhaluan.com/news/detail/70939/ribuan-

teroris-‘lahir’-di-sumbar

Hadisi, L. (2016). Efektifitas Pendidikan Karakter Pada Sekolah

Anak Usia Dini. AL-Izzah, 11(1979–9726), 1–17.

Hanafi, R. (2018). Cegah Radikalisme Sejak Usia Dini, BNPT

Sasar PAUD dan TK. Retrieved from

https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4228266/cegah-

radikalisme-sejak-usia-dini-bnpt-sasar-Paud-dan-tk

Juergensmayer, M. (2000). The Global Rise of Religious Violence.

London: University of California Press.

Khoirunnisaa’. (2014). KUALITAS LAYANAN TERPADU (

TOTAL QUALITY SERVICE ) PADA PERGURUAN. An-

Nuha, 1 No 1, 2–16.

Kurnaengsih. (2015). Konsep sekolah islam terpadu. Risalah

Pendidikan Dan Studi Islam, 1(1), 78–84.

Kurnaengsih. (2015). Konsep sekolah islam terpadu. Risalah

Page 69: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 63

Pendidikan Dan Studi Islam, 1(1), 78–84.

Miftahuddin. (2008). Pengaruh Ideologi Ikhwanul Muslimin

Terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia.

Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah.

Munip, A. (2012). Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah.

Jurnal Pendidikan Islam, 1(2), 159–181.

Muqoyyidin, A. W. (2013). Membangun Kesadaran Inklusif-

Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal

Pendidikan Islam, 2(1), 131–151.

https://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.131-151

Muqoyyidin, A. W. (2013). Membangun Kesadaran Inklusif-

Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal

Pendidikan Islam, 2(1), 131–151.

https://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.131-151

Marvasti, A. B. (2004). Qualitative Research in Sociology.

London: Sage Publications.

Munip, A. (2012). Menangkal Radikalisme Agama di

Sekolah. Jurnal Pendidikan Islam, 1(2), 159–181.

Muqoyyidin, A. W. (2013). Membangun Kesadaran Inklusif-

Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal

Pendidikan Islam, 2(1), 131–151.

http://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.131-151

Nassar, J. R. (2010). Globalization and Terrorism: The Migration

of Dreams and Nightmares. Manoa: The University of

Hawai.

Nasuhi, H., Makruf, J., Umam, S., & Darmadi, D. (Eds.). (2018).

Intolerasni Dalam Buku Pendidikan Islam? Telaah Atas Isi

dan Kebijakan Produksi. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan

Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah.

Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research; Qualitatif and

Quantitatif Approach. Boston: Pearson Education, Inc.

Patel, F. (2011). Rethinking Radicalization. New York.

Pratt, D. (2006). Terrorism and Religious Fundamentalism:

Prospects for a Predictive Paradigm. Marburg Journal of

Religion, 11(1), 1–15.

Page 70: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

64 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Qodir, Z. (2011). Sosiologi Agam (Pertama). Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rodin, D. (2016). ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas

Ayat-ayat “Kekerasan” dalam al-Qur’an. Addin, 10(1), 29.

https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1128

Rodin, D. (2016). ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas

Ayat-ayat “Kekerasan” dalam al-Qur’an. Addin, 10(1), 29.

https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1128

Rochmi, M. N. (2016). Ajaran radikalisme ditemukan dalam buku

TK. Retrieved September 10, 2018, from

https://beritagar.id/artikel/berita/ajaran-radikalisme-

ditemukan-dalam-buku-tk

Rokhmad, A. (2012). Radikalisme Islam Dan Upaya

Deradikalisasi Paham Radikal. Walisongo: Jurnal Penelitian

Sosial Keagamaan, 20(1), 79–114.

Silber, M. D., & Bhatt, A. (2007). Radicalization in The West:

The Homegrown Threat. New York: NYPD Intelegence

Division.

Singh, B. (2007). Talibanization of Southeast Asia: Losing the

War on Terror to Islamist Extremist. London: Praeger

Security International.

Springer, D. R., Regens, J. L., & Edger, D. N. (2008). Islamic

Radicalism and Global Jihad. Washington DC: Georgetown

University Press.

Suyatno, S. (2014). Sekolah Islam terpadu; Filsafat, ideologi, dan

tren baru pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan

Islam, 2(2), 355–377.

http://doi.org/10.14421/jpi.2013.22.355-377

Sarman, M. (2018). Meretas Radikalisme Menuju Masyarakat

Inklusif. In LKiS (I).

https://doi.org/10.1192/bjp.111.479.1009-a

Sasongko, J. P. (2017). ISIS dan Fenomena Radikalisme

Keagamaan Kelas Menengah. Retrieved from

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170201135943-

20-190578/isis-dan-fenomena-radikalisme-keagamaan-kelas-

Page 71: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 65

menengah

Susetyo, H. (2018). Sudah Tepatkah Kita Menggunakan Istilah

Radikalisme? Baca selengkapnya di artikel “Sudah Tepatkah

Kita Menggunakan Istilah Radikalisme?”,

https://tirto.id/cPHG. Retrieved from https://tirto.id website:

https://tirto.id/sudah-tepatkah-kita-menggunakan-istilah-

radikalisme-cPHG

Thoyyib, M. (2018). Radikalisme Islam Indonesia. TA’LIM :

Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(1), 90–105. Retrieved from

http://e-

jurnal.unisda.ac.id/index.php/talim/article/view/636%0Ahttp:

//moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241954

595

Ulya, I. (2016). RADIKALISME ATAS NAMA AGAMA: Tafsir

Historis Kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah.

Addin, 10(1), 113. https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1131

Umar, A. R. M. (2010). Melacak Akar Radikalisme Islam di

Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 14(2), 169–

186. https://doi.org/10.1158/1541-7786.MCR-07-0324

Veldhuis, T., & Staun, J. (2009). Islamist Radicalisation: A Root

Cause Model. Den Haag: Nedherlands Institute of

Internationa Relations Clingendael.

Amini, M. (2014). Hakikat Anak Usia Dini. Perkembangan Dan

Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini, 65. Retrieved

from repository.ut.ac.id/4697/1/PAUD4107-M1.pdf

Andante. (2018). Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Dalam Mengembangkan Potensi dan Pembentukan Karakter

Anak. Retrieved from

http://anggunpaud.kemdikbud.go.id/index.php/berita/index/2

0181121140117/Peran-Pendidikan-Anak-Usia-Dini-PAUD-

Dalam-Mengembangkan-Potensi-dan-Pembentukan-

Karakter-Anak

Fatimah Ibda. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget.

Jurnal Intelektualita, 3(1), 27–38.

Prasanti, D., & Fitriani, D. R. (2018). Pembentukan Karakter

Page 72: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

66 | Radikalisasi Anak Usia Dini

Anak Usia Dini: Keluarga, Sekolah, Dan Komunitas. Jurnal

Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2(1), 13–19.

https://doi.org/10.31004/obsesi.v2i1.2

Redaksi. (2018). No Title. Retrieved from

https://kumparan.com/@kumparanmom/tahapan-

perkembangan-anak-yang-perlu-anda-tahu

Saputra, I. A. (2019). Syarat yang Harus Dipenuhi Anak untuk

Masuk SD Negeri. Retrieved from

https://kumparan.com/@kumparanmom/syarat-yang-harus-

dipenuhi-anak-untuk-masuk-sd-negeri-

1551076774350842203

Supriyono. (2012). Jenis-Jenis Pendididikan Anak Usia Dini (

PAUD ). 1–8.

Page 73: Nurus Shalihin, Yulia 1 - repository.uinib.ac.id

Nurus Shalihin, Yulia | 67