numbers 1-2

21
A da tempat-tempat yang biasa didatangi oleh anak- anak sepertiku. Anak pemurung, anak nakal, anak yang bosan dan kesepian, anak-anak yang berbeda. Hari apa saja, kalau kau tahu ke mana harus mencari, kau akan menemukan kami: di belakang pertokoan, di jalan tikus, di bawah jembatan di pinggir kali dan sungai, di sekitar garasi, di gubuk-gubuk, di kebun kosong. Kami ada ribuan jumlahnya. Itu pun kalau kau memutuskan untuk mencari kami. Kalau melihat kami, biasanya orang-orang membuang muka, berpura-pura kami tak ada. Begitu lebih mudah. Jangan percaya omong kosong tentang memberikan kesempatan kepada semua orang. Saat orang melihat kami, mereka merasa lega karena kami tidak berada di sekolah bersama anak-anak mereka, mengganggu pelajaran mereka, membuat hidup pelajaran mereka, membuat hidup mereka, membuat hidup 1

Upload: ufuk-fiction

Post on 27-Mar-2016

224 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Bab 1 dan 2 Numbers yuk

TRANSCRIPT

Page 1: Numbers 1-2

Ada tempat-tempat yang biasa didatangi oleh anak-

anak sepertiku. Anak pemurung, anak nakal,

anak yang bosan dan kesepian, anak-anak yang berbeda.

Hari apa saja, kalau kau tahu ke mana harus mencari,

kau akan menemukan kami: di belakang pertokoan,

di jalan tikus, di bawah jembatan di pinggir kali dan

sungai, di sekitar garasi, di gubuk-gubuk, di kebun

kosong. Kami ada ribuan jumlahnya. Itu pun kalau kau

memutuskan untuk mencari kami. Kalau melihat kami,

biasanya orang-orang membuang muka, berpura-pura

kami tak ada. Begitu lebih mudah. Jangan percaya omong

kosong tentang memberikan kesempatan kepada semua

orang. Saat orang melihat kami, mereka merasa lega

karena kami tidak berada di sekolah bersama anak-anak

mereka, mengganggu pelajaran mereka, membuat hiduppelajaran mereka, membuat hidup mereka, membuat hidup

1

Page 2: Numbers 1-2

mereka menderita. �uru-guru juga begitu. Apakahmenderita. �uru-guru juga begitu. Apakah. �uru-guru juga begitu. Apakah

menurutmu para guru kecewa kalau kami tidak datang

untuk mendaftar? Yang benar saja, mereka malah

tertawa. Mereka tidak menginginkan anak-anak seperti

kami berada di kelas mereka, dan kami juga tak ingin

berada di sana.

Sebagian besar nongkrong dalam kelompok-kelompokkelompok

kecil, berdua atau bertiga, menghabiskan waktu dengan

percuma. Kalau aku, aku lebih suka sendirian. Aku lebih

suka mencari tempat yang tidak ada orangnya, tempat

aku tidak perlu memandang siapa-siapa, tempat aku

tidak usah melihat nomor mereka.

Itulah sebabnya aku kesal saat aku tiba di tempat

nongkrong kesukaanku di pinggir kali dan mendapati

seseorang sudah ada di sana sebelum aku. Kalau itu

hanya orang asing, gelandangan tua atau pecandu, aku

tinggal mencari tempat lain, gampang. Tapi, dasar nasib,

itu salah satu anak dari kelas “khusus” Mr. McNulty:

si besar mulut jangkung yang tak bisa diam, yang biasa

dipanggil Spider.

Dia tertawa saat melihatku, langsung menghampiri

dan menggoyangkan satu jari di wajahku. “Nakal, nakal!

Sedang apa kau di sini, Nak?”

Aku menggerakkan bahu, menunduk.

Page 3: Numbers 1-2

Dia terus menggodaku. “Tak kuat seharian bersama

Nutter, ya? Bukan salahmu, Jem. Dia sakit. Seharusnya

dia tidak boleh dibiarkan keluar, iya, kan?”

Spider bertubuh besar, jangkung. Salah satu dari

orang-orang yang gemar berdiri terlalu dekat, tak tahu

kapan harus mundur. Kurasa itulah sebabnya dia sering

berkelahi di sekolah. Dia selalu berada di dekatmu,

sampai-sampai kau bisa mencium baunya. Bahkan, kalau

kau berpaling dan berputar, dia masih ada di dekatmu—

sama sekali tidak pandai membaca tanda-tanda, tak

pernah mengerti isyarat. Pandanganku terhalang oleh

tepi tudung baju hangatku, tapi karena dia menjulang di

atasku dan secara naluriah aku mengerakkan kepalaku

untuk menjauhinya, mata kami bertemu sesaat dan

terpampanglah di sana. Nomornya. 15122009. Itulah

alasan lain mengapa dia membuatku merasa tidak enak

hati. Anak malang. Dia tidak mungkin selamat, bukan,

dengan nomor seperti itu?

Semua orang punya nomor, tapi kurasa hanya

aku yang bisa melihatnya. Yah, sebenarnya aku tidak

benar-benar “melihat”-nya, cuma seperti sesuatu yang

melayang di udara; nomor itu sepertinya muncul begitu

saja di kepalaku. Aku merasakannya, di suatu tempat

di belakang mataku. Tapi, nomor itu nyata. Aku tak

peduli kalau kau tak percaya, terserah kau saja, aku tahu

Page 4: Numbers 1-2

nomor itu nyata. Dan, aku tahu apa artinya. Teka-teki

itu terpecahkan pada hari ibuku meninggal.

Aku selalu melihat nomor-nomor itu, sepanjang

ingatanku. Kukira semua orang begitu. Sambil berjalan-

jalan, kalau aku bertemu pandang dengan orang

lain, pasti ada, nomor mereka. Dulu, aku suka mem-mem-

beritahukan nomor orang-orang itu kepada ibuku saat nomor orang-orang itu kepada ibuku saat

dia mendorong keretaku. Kukira Mum akan senang.

Pasti Mum pikir aku pintar. Dasar bodoh.

Kami sedang bergegas menyusuri jalan utama,

menuju kantor Departemen Sosial untuk mengambil

tunjangan mingguan Mum. Kamis biasanya hari yang

indah. Sebentar lagi, tak lama lagi Mum bisa membeli

barang dari rumah yang dipalangi di ujung jalan kami,

dan dia akan merasa senang selama beberapa jam. Setiap

otot tegang di tubuhnya akan mengendur, dia akan

mengajakku bicara, bahkan terkadang membacakan

cerita untukku. Aku memekikkan nomor orang-orang

itu dengan riang sambil kami melaju. “Dua, satu, empat,

dua, kosong, satu, sembilan! Tujuh, dua, dua, kosong,

empat, enam!”

Tiba-tiba, Mum menyentakkan kereta dorong sampai

berhenti dan memutarnya sampai menghadap dirinya.

Dia merunduk dan memegang kedua sisinya, membentuk

kerangkeng dengan tubuhnya, mencengkeram dengan

Page 5: Numbers 1-2

begitu erat sampai-sampai aku bisa melihat urat-urat di

lengannya menonjol, lebam dan bekas jarum suntiknya

semakin kentara. Dia menatap mataku dengan tajam,

amarah terpampang jelas di wajahnya.

“Dengar, Jem,” kata-katanya menghambur dari

wajahnya, “aku tak tahu apa yang kau ocehkan itu, tapi

kumau kau menghentikannya. Bikin kepalaku pusing.

Aku tidak membutuhkan itu hari ini. Mengerti? Aku

tidak membutuhkannya. Jadi... tutup... mulutmu.”

Kata-katanya menyengat seperti lebah mengamuk,

ludah berbisanya muncrat ke arahku. Dan sementara

itu, saat kami duduk di sana saling menatap, nomornya

ada di sana, tertatah di bagian dalam tengkorakku:

10102001.

Empat tahun kemudian, aku memperhatikan seorang

pria yang mengenakan jas lecek menuliskannya di atas

selembar kertas: Tanggal kematian: 10.10.2001. Aku

menemui Mum pagi-pagi. Aku bangun tidur, seperti

biasanya, memakai baju hendak berangkat sekolah,

mengambil sereal untukku sendiri. Tidak pakai susu,

karena susunya basi saat kukeluarkan dari kulkas. Aku

meletakkan kotak susunya di samping kulkas, menjerang

air dan mengunyah Coco Pops-ku sambil menunggu

airnya mendidih. Setelah itu, aku membuatkan kopi

hitam untuk Mum dan mengantarkan ke kamarnya

Page 6: Numbers 1-2

10

dengan hati-hati. Mum masih di tempat tidur, kelihatan-kelihatan-

nya sedang bersandar. Matanya terbelalak, dan ada sedang bersandar. Matanya terbelalak, dan ada

sesuatu, muntahan, di bagian depan tubuhnya dan di

atas seprai. Aku meletakkan kopi di lantai, di samping

jarum suntik.

“Mum?” kataku, walaupun aku tahu dia tidak akan

menjawab. Tidak ada orang di sana. Mum sudah pergi.

Dan nomornya juga hilang. Aku masih ingat, tapi tak

bisa melihatnya lagi saat aku menatap mata hampanya

yang kosong.

Aku berdiri di sana selama beberapa menit, beberapa

jam—entahlah—kemudian turun dan menceritakannya

kepada wanita yang tinggal di flat di bawah flat kami.

Dia naik untuk memeriksa. Menyuruhku menunggu di

luar flat, seolah-olah aku belum melihatnya, dasar bodoh.

Wanita itu hanya menghilang selama tiga puluh detik,

lalu tergopoh-gopoh melewatiku dan menumpahkan

isi perutnya di lorong. Begitu selesai, dia mengelap

mulutnya dengan saputangan, membawaku ke flatnya

dan menelepon ambulans. Setelah itu, orang-orang pun

berdatangan: orang-orang berseragam—polisi, petugas

ambulans; orang-orang berjas—seperti lelaki yang

membawa papan catatan dan kertas itu; dan seorang

wanita, yang berbicara kepadaku seakan-akan aku anak

terbelakang dan membawaku pergi dari sana, dengan

Page 7: Numbers 1-2

11

begitu saja, membawaku dari satu-satunya tempat yang

pernah kukenal.

Di dalam mobilnya, dalam perjalanan yang hanya

Tuhan yang tahu ke mana, aku terus memutar rekaman

itu di benakku. Kali ini bukan nomor, melainkan kata-

kata. Dua kata. Tanggal Kematian. Tanggal Kematian.

Kalau saja aku tahu bahwa nomor itu adalah tanggal

kematian, aku bisa memberi tahu Mum, menghentikan-menghentikan-

nya, entahlah. Apakah akan ada bedanya? Kalau Mum, entahlah. Apakah akan ada bedanya? Kalau Mum

tahu bahwa kami hanya punya waktu tujuh tahun untuk

bersama? Apa Mum akan tetap jadi pecandu. Tak ada

di dunia ini yang bisa menghentikannya. Dia sudah

terjerat.

Aku tak suka berada di kolong jembatan dengan

Spider. Aku tahu itu termasuk luar ruangan, tapi aku

merasa tersekap, terperangkap di sana bersamanya.

Spider seolah-olah memenuhi tempat ini dengan lengan

dan tungkainya yang panjang dan kurus, yang terus

menerus bergerak—tersentak-sentak, tepatnya—belum

lagi baunya yang minta ampun itu. Aku menghindar

melewatinya dan keluar ke jalan di pinggir kali.

“Mau ke mana kau?” dia berseru di belakangku,

suaranya yang menggelegar, memantul di tembok

beton.

“Jalan,” gumamku.

Page 8: Numbers 1-2

12

“Baik,” katanya, sambil mengejarku. “Jalan dan

ngobrol,” katanya, “jalan dan ngobrol.” Dia berjalan

mengiringi langkahku, terlalu dekat dengan bahuku,

menyenggolku. Aku terus berjalan, menunduk, tudung

dipasang, petak-petak jalan dan sampah melesak di

bawah sepatuku. Spider berjalan dengan santai di

sampingku. Kami pastilah kelihatan tolol, aku yang

bertubuh terlalu kecil untuk anak berumur lima belas

tahun dan dia yang seperti jerapah hitam yang berlari.

Dia mencoba mengajakku mengobrol sedikit, tetapi aku

tak menggubrisnya. Sambil berharap dia menyerah dan

pergi. Tidak ada harapan. Kurasa aku harus mengusirnya

dengan kata-kata untuk membuatnya menyingkir, dan

bahkan itu pun mungkin belum tentu membuatnya

pergi.

“Jadi, kau anak baru di sini, ya?”

Aku menggerakkan bahu.

“Dikeluarkan dari sekolahmu yang lama? Kau cewek

bandel, ya?”

Dikeluarkan dari sekolah, dikeluarkan dari “rumah”

terakhirku, dan yang sebelumnya dan yang sebelumnya

lagi. Orang-orang hanya tidak mengerti aku. Tidak

mengerti bahwa aku butuh sedikit ruang. Selalu mendikte

apa yang harus kulakukan. Mereka pikir peraturan,

rutinitas, tangan bersih, dan memperhatikan kata-kata

Page 9: Numbers 1-2

13

guru akan membuat semuanya baik-baik saja. Mereka

sama sekali tidak tahu.

Spider merogoh sakunya. “Mau rokok? Aku punya,

lihat.”

Aku berhenti dan memperhatikan saat dia mengeluar-mengeluar-

kan satu pak rokok yang sudah lecek. “Ambillah.” satu pak rokok yang sudah lecek. “Ambillah.”

Dia menyodorkan sebatang dan menyalakan korek

untukku. Kucondongkan tubuhku ke depan dan menarik

napas sampai rokok terbakar, dan pada saat yang sama

menghirup bau badannya. Dengan cepat aku mundur dan

mengembuskan napas lagi. “Trims,” gumamku.

Spider mengisap rokoknya, seakan-akan itu benda

paling enak sedunia, lalu mengembuskan asapnya dengan

dramatis dan nyengir. Dan kupikir, kurang dari tiga

bulan lagi, hanya itu. Yang dilakukan anak malang ini

hanyalah bolos sekolah dan merokok di pinggir kali. Itu

tidak bisa disebut kehidupan, bukan?

Aku duduk di atas tumpukan bekas bantalan rel

kereta. Nikotin mengurangi sedikit kegelisahanku, tapi

tak ada yang mampu membuat Spider tenang. Dia naik-

turun, memanjat bantalan rel, meloncat turun, berjalan

di atas ujung kakinya sambil berusaha menyeimbangkan

diri di bantaran sungai, melompat lagi. Kupikir, begitulah

caranya dia pergi nanti, dasar bocah sinting, meloncat

Page 10: Numbers 1-2

14

turun entah dari mana, mengakibatkan leher celakanya

itu patah.

“Apa kau tak bisa diam?” kataku.

“Tidak, aku bukan patung. Bukan patung lilin

seperti di museum Madame Tussauds. Aku punya banyak

energi, Sob.” Spider berjingkrak-jingkrak di sana, di

jalanan pinggir kali. Mau tak mau aku nyengir. Rasanya

seperti untuk yang pertama kalinya setelah beberapa

tahun. Anak muda itu membalas cengiranku.

“Senyummu manis,” katanya.

Itu membuatku jengkel, aku tak suka komentar

pribadi. “Tutup mulutmu, Spider,” kataku, “jangan

banyak omong.”

“Santai, Sob. Aku tidak bermaksud apa-apa.”

“Yah, nah... Aku tidak suka.”

“Kau juga tak suka menatap orang, kan?” Aku

menggerakkan bahu. “Kata orang kau sombong, gara-

gara kau selalu menunduk, tak mau melihat mata orang

lain.”

“Nah, itu juga urusan pribadi. Aku punya alasan

sendiri.”

Spider berputar dan menendang batu ke dalam kali.

“Terserah. Dengar, aku tak akan bermanis-manis lagi

denganmu, mengerti?”

“Baiklah,” jawabku.

Page 11: Numbers 1-2

1�

Ada bel tanda bahaya berbunyi di dalam kepalaku.

Sebagian dari diriku menginginkan ini lebih dari

apa pun di dunia—punya seseorang untuk berbagi,

bersikap seperti orang lain untuk sejenak. Sebagian lagi

menjerit menyuruhku menyingkir dari sana, agar jangan

terjerat. Kau terbiasa dengan seseorang—mulai menyukai

mereka—dan mereka meninggalkanmu begitu saja. Pada

akhirnya, semua orang akan pergi. Aku menatapnya, dia

melompat ke sana kemari dari satu kaki ke kaki lainnya,

lalu meraup kerikil dan melemparkannya ke air. Jangan

melangkah ke arah situ, Jem, pikirku. Dalam waktu

beberapa bulan dia akan pergi.

Sewaktu punggung Spider berbalik, aku bangkit

diam-diam dari tempatku bertengger di atas bantalan rel

dan mulai berlari. Tanpa penjelasan, tanpa ada ucapan

selamat tinggal.

Aku bisa mendengar Spider memanggil dari

belakangku, “Hei, mau ke mana kau?” Aku ingin dia

tetap di sana, tak usah mengikuti. Semakin jauh jarak

yang kurentangkan di antara kami, suaranya semakin

samar-samar

“Ya sudah. Sampai besok, Sob.”

*

Page 12: Numbers 1-2

1�

Nutter sedang melecutkan cambuknya. Pasti ada

yang mengguncangkan kandangnya—apa pun

itu, yang jelas dia sedang memperhatikan kami. Tak

boleh macam-macam, tak boleh mengobrol, kepala

tertunduk, ulangan Bahasa Inggris, tiga puluh menit.

Intinya, kalau ada yang menyuruhku melakukan sesuatu,

aku selalu bermasalah. Aku ingin menyuruh mereka

agar jangan menggangguku. Aku akan mengerjakannya

sesuai dengan keinginanku. Bahkan, kalau itu sesuatu

yang memang ingin kulakukan. Tapi, yang ini tidak.

Jangan salah, aku bisa membaca, kurang lebih, tapi

tidak bisa terlalu cepat. Otakku sepertinya perlu

waktu untuk mencerna kata-kata. Kalau aku mencoba

membaca dengan cepat, semuanya jadi tumpang-tindih,

kata-kata itu jadi tak ada artinya. Omong-omong, aku

2

Page 13: Numbers 1-2

1�

sedang berusaha keras kali ini. Sungguh. Karen, ibu

angkatku, membacakan sanksi dari peraturan tidak

boleh membolos sekolah. Kau tahu bagaimana rasanya,

bukan? “Sudah waktunya belajar... mendapatkan

kualifikasi itu penting... hidup ini bukan geladi resik...”

Karen sudah bicara dengan pihak sekolah, dengan

petugas sosialku—para tersangka yang biasa—dan

kurasa aku tidak butuh omelan lagi. Aku akan menuruti

semuanya, sambil terus menundukkan kepalaku sedikit,kepalaku sedikit, sedikit,

agar mendapat ruang untuk bernapas.

Herannya, anak-anak lain juga tenang. Mereka

bisa merasakan suasana hati si Nutter yang kejam

dan memutuskan untuk tidak memancing-mancing.

Ada sedikit kasak-kusuk dan keluh-kesah, tetapi pada

dasarnya semua orang duduk diam dan mengerjakan

soal-soal—atau berpura-pura begitu—ketika, tanpa

peringatan, sesuatu merangsek masuk ke dalam

ruangan. Pintu mengayun di engselnya dan terbanting

ke dinding di belakangnya, lalu Spider pun menerobos

masuk solah-olah ditembakkan oleh meriam, sambil

terhuyung-huyung, nyaris tersungkur. Suasana langsung

meledak. Anak-anak mulai bersorak-sorai dan memekik,

berteriak-teriak kepada Spider.

Page 14: Numbers 1-2

1�

Nutter tidak terkesan. “Apa maksudmu dengan

menerobos masuk seperti itu? Pergilah keluar ke lorong,

dan masuk lagi seperti manusia yang beradab.”

Spider terenyak sambil menghela napas secara

berlebihan dan memutar kepalanya ke langit-langit.

“Ah, ayolah, Sir. Sekarang aku sudah masuk, bukan?

Aku ada di sini.”

McNulty berbicara dengan pelan, tetapi dengan

kekuatan, kalau kau mengerti maksudku, seakan-akan

dia baru saja berhasil menahan segala sesuatunya agar

tetap terkendali. “Lakukan saja seperti yang kuminta,

dan kita akan mulai dari awal lagi.”

“Untuk apa Anda melakukan ini, Sir? Aku tidak

perlu berada di sini, tapi aku toh ada di sini. Aku siap

untuk belajar, Sir.” Tatapan ironisnya melayang ke arah

kami, disambut dengan seruan riuh-rendah. “Mengapa

Anda harus membuatku menderita seperti ini?”

Si Nutter menarik napas dalam-dalam. “Aku tak

tahu mengapa kau memutuskan untuk bergabung

dengan kami hari ini, tapi sesuatu sudah membawamu

kemari. Sekarang, kalau kau ingin bergabung, dan

kuharap demikian, kau harus keluar, masuk dengan

tenang, seperti yang kuminta, dan kita akan meneruskan

pelajaran.”

Page 15: Numbers 1-2

1�

Ada jeda panjang, sementara mereka saling menatap.

Kami semua terdiam, menunggu apa yang akan terjadi

selanjutnya. Untuk pertama kalinya, Spider nyaris berdiri

diam-diam di sana, matanya menatap Nutter, hanya satu

kakinya yang bergoyang-goyang. Dia kemudian berputar

dan keluar, dengan begitu saja. Setiap mata di dalam

kelas itu memperhatikan dia pergi dan tetap mengamati

pintu yang kosong melompong. Apakah dia pergi tanpa

kembali? Ada gumaman pelan saat dia muncul kembali,

berdiri dengan tegak, sesantai-santainya. Dia berhenti

sejenak di depan pintu. “Pagi Sir,” katanya dan meng-

angguk ke arah Nutter.

“Selamat pagi, Dawson.” Ada kesan waspada di

mata McNulty, tak yakin bagaimana menghadapi

sikap Spider yang jelas-jelas menyerah itu. Khawatir,

karena kemenangan itu terlalu mudah diraih. �uru itu

meletakkan kertas soal, beberapa lembar kertas dan

pulpen di meja Spider. “Duduklah, Nak, dan kerjakan

ulangan ini sebaik-baiknya.”

Dengan santai, Spider menghampiri mejanya,

sementara McNulty kembali ke depan kelas dan berdiri di McNulty kembali ke depan kelas dan berdiri di

sana, mengawasi kami. “Baiklah, Anak-anak, tenanglah.

Dua puluh lima menit lagi. Mari kita lihat seberapa baik

kemampuan kalian.”

Page 16: Numbers 1-2

20

Tetapi, kembalinya Spider yang tak disangka-sangka

itu sudah merusak suasana. Kami merasa resah sekarang,

ada suara-suara pelan di sana-sini. Semua orang gelisah;

ada yang mengobrol, kaki kursi terseret di lantai.

McNulty menepuki beberapa anak, mencoba untuk

kembali mengendalikan situasi: “Tolong perhatikan

soalnya, ya.” Dia berjuang dengan sia-sia.

Sementara aku, kata-kata di hadapanku berenang

dan menari-nari. Tidak ada artinya, sebuah pola, tak

lebih dari itu, tidak ada bedanya dengan aksara Cina

atau Arab. Karena aku tidak bisa berhenti bertanya-

tanya, akukah alasan kembalinya Spider. Sewaktu di

pinggir kali, kupikir aku merasakan awal dari sebuah

hubungan, dan itu membuatku ketakutan setengah

mati. Sejak saat itu, aku menghindari Spider, tetapi

kupikir dia tak akan menanggapiku, sampai hari ini.

Sebab, aku berani sumpah saat dia berjalan ke mejanya,

dia mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Berani-

beraninya. Memangnya dia pikir dia itu siapa?

Sesudah istirahat makan siang, Nutter tak tahan lagi.

Dilatarbelakangi kebisingan, tawa canda riang, obrolan,

tiba-tiba dia berhenti.

“Baiklah, singkirkan buku, pulpen, dan kertas.

Semuanya. Sekarang!” Nah, mau apa lagi dia sekarang?

“Ayolah, lakukanlah. Semuanya singkirkan. Kita harus

Page 17: Numbers 1-2

21

bicara.” Mata diputar, ada yang menguap—ya ampun,

kami mengerti, sebentar lagi pasti ada wejangan. Kami

menaruh alat-alat tulis di tas atau menjejalkannya ke

saku, dan menunggu kedatangan omong-kosong standar:

“Sikap kurang ajar... mengecewakan diri kalian sendiri...

tidak punya rasa hormat...” Ternyata tidak.

Alih-alih, McNulty berjalan di antara meja-meja,

berhenti dan mengatakan sesuatu kepada kami satu per

satu sebelum melanjutkan ke anak lain. “Pengangguran.”

“Kasir.” “Tukang sampah.” Sewaktu sampai giliranku,

dia bahkan tidak berhenti. “Tukang bersih-bersih,”

katanya sambil terus berjalan. Terus begitu sampai

kembali ke depan, berputar dan menghadap kami.

“Baiklah, bagaimana perasaan kalian?”

Kami menatap meja atau ke luar jendela. Rasanya

persis seperti yang dia ingin kami rasakan. Seperti

sampah. Kami semua tahu masa depan seperti apa yang

menanti kami selepas sekolah, tidak perlu pecundang

seperti dia untuk mengingatkan kami.

Spider kemudian memecah keheningan. “Aku merasa

baik-baik saja, Sir. Itu hanya pendapat Anda saja, bukan?

Tidak ada artinya. Aku bisa melakukan apa pun yang

kumau, iya, kan?”

“Tidak, Dawson, itulah intinya, dan aku ingin kalian

semua mendengarkan baik-baik. Saat ini, dengan sikap

Page 18: Numbers 1-2

22

kalian seperti ini, ke sanalah tujuan kalian. Akan tetapi,

kalau kalian mau sedikit bekerja keras, berkonsentrasi,

berusaha sebaik-baiknya selama tahun terakhir kalian di

sini, keadaan bisa saja berbeda. Kalau kau mendapatkan

nilai �CSE*, mendapatkan rapor yang bagus dari

sekolah, jauh lebih banyak yang bisa kalian capai.”

“Ibuku bekerja jadi kasir.” Itu Charmaine, dua

bangku dariku.

“Ya, dan tidak ada salahnya dengan pekerjaan itu.

Tapi, kau, Charmaine, bisa jadi manajer toko kalau kau

mau. Kalian semua perlu memandang sedikit lebih jauh,

menyadari apa yang bisa kalian raih. Menurut kalian,

apa yang akan kalian kerjakan? Ayolah, apa yang akan

kalian lakukan dalam waktu setahun, dua tahun, lima

tahun? Laura, kau duluan.”

Dia berkeliling kelas. Sebagian besar anak tidak punya

bayangan. Atau, mereka tahu bahwa penilaian pertama

McNulty sangatlah tepat. Sewaktu tiba giliran Spider,

aku menahan napas. Anak yang tidak punya masa depan,

apa yang akan dia katakan?

* General Certificate of Secondary Education (GCSE) adalah kualifikasiakademik yang diberikan untuk beberapa mata pelajaran tertentu, yangumumnya diambil oleh pelajar berusia 14–16 tahun pada sekolah tingkatmenengahdiInggris,Wales,danIrlandiaUtara.

Page 19: Numbers 1-2

23

Tentu saja, dia menjawab tantangan tersebut sambil

berdiri. Dia duduk di sandaran kursinya, seakan-akan

hendak berpidato. “Lima tahun dari sekarang, aku akan

berjalan-jalan dengan BMW hitamku, sambil menyetel

musik dengan sound system-ku, banyak uang di sakuku.”

Anak-anak lelaki bersorak.

McNulty menatapnya dengan putus asa. “Dan bagai-

mana, Dawson, caramu untuk mewujudkannya?”

“Dengan melakukan ini-itu, Sir. Jual-beli.”

Air muka McNulty berubah. “Pencurian, Dawson?

Menjual narkoba?” katanya dingin. McNulty mengge-

lengkan kepalanya. “Aku hampir tak tahu mau bilang

apa, Dawson. Melanggar hukum, menjual penderitaan.

Hanya itukah yang bisa kau angankan?”

“Itu satu-satunya cara orang seperti kami agar bisa

mendapatkan uang. Mobil Anda apa, Sir? Astra merah

kecil yang di parkiran itu? Mengajar? Bekerja selama

dua puluh tahun? Begini, ya, aku tidak mau punya mobil

Astra.”

“Duduklah, Dawson, dan tutup mulutmu. Yang lain,

silakan. Jem, bagaimana dengan kau?”

Bagaimana aku bisa tahu apa yang akan terjadi

kepadaku? Aku bahkan tidak tahu di mana aku akan

tinggal setahun dari sekarang. Mengapa pria ini menyiksa

kami, membuat nyali kami ciut seperti ini? Aku menarik

Page 20: Numbers 1-2

24

napas dalam-dalam dan berkata, semanis mungkin,

“Aku, Sir? Aku tahu apa yang kuinginkan.”

“Oh, bagus. Lanjutkan.”

Aku memaksakan diri menatap matanya secara

langsung. 2512202�. Berapa usianya sekarang? Empat. 2512202�. Berapa usianya sekarang? Empat

puluh delapan? Empat puluh sembilan? Dia akan hidup

sampai tiba saatnya pensiun kalau begitu. Pada hari

Natal, lagi. Hidup ini memang kejam, bukan? Suasana

Natal akan rusak bagi keluarganya untuk selama-

lamanya. Sudah sepantasnya dia mendapatkan itu, dasar

jahat.

“Sir,” jawabku, “aku ingin menjadi... seperti...

Anda.”

Untuk sesaat, wajahnya jadi cerah, ada senyuman

yang separuh terbentuk, kemudian menjadari bahwa

aku sedang memperolok dirinya. Wajahnya meredup,

dan McNulty menggelengkan kepalanya. Mulutnya

membentuk garis keras, semua orang bisa melihat tulang-

tulang menyembul saat dia mengatupkan rahangnya.

“Keluarkan buku matematika kalian,” bentaknya.

“Membuang-buang waktuku saja,” rutuknya pelan.

“Buang-buang waktu.”

Sambil keluar kelas, Spider dan aku saling menepuk-

kan sebelah tangan. Biasanya aku tidak melakukan itu,

Page 21: Numbers 1-2

2�

tetapi tanganku teracung untuk menyambut tangannya

seolah-olah punya kehendak sendiri.

“�ayamu boleh juga, Sob,” katanya, sambil meng-

angguk tanda setuju. “Kau bikin dia KO. Telak.”

“Trims,” kataku. “Spider?”

“Ya.”

“Kau tidak jual narkoba, kan?”

“Ah, tidak, bukan yang berat-berat, aku cuma

becanda. �ampang sekali, kan, kadang-kadang? Kau

mau pulang?”

“Tidak, ada hukuman.” Aku perlu waktu beberapabeberapa

menit, untuk membiarkan arus anak-anak yang

berbondong-bondong keluar itu menipis. Karen akan

menunggu di luar gerbang. Dia menemaniku berjalan

pergi dan pulang sekolah sekarang, hanya sampai aku

“bisa dipercaya”. Tidak mungkin aku akan membiarkan

anak-anak ini melihatku bersamanya.

“Sampai nanti kalau begitu.”

“Yah, sampai nanti.” Dia menendang-nendang

tasnya sambil melewati pintu kelas dan setelah itu

menyampirkannya. Dan, sambil memperhatikan pemuda

itu, aku membatin, Jauhi narkoba, Spider, demi Tuhan.

Benda itu sangat berbahaya.

*