nomor 02, juni 2006 buletin plan log - storage.jak...

28
Nomor 02, Juni 2006 ISSN: 1858-3261 G P L A N L O BULETIN Oleh : Iman Santosa Tj. *) esuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan, salah satu tugas BPKH adalah penyajian data dan informasi di bidang kehutanan sesuai dengan wilayah kerjanya. Untuk dapat menjalankan tugas tersebut, BPKH tentunya melakukan pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya. Namun demikian sampai saat ini belum ada ketentuan atau prosedur standar mengenai pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan pada BPKH, sehingga untuk kelancaran dan ketertiban pengelolaan data perlu ditelaah beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan data/informasi. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas beberapa aspek dasar dalam pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan pada BPKH yang tentu saja dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing BPKH. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tersebut di atas maka penanggungjawab langsung pengelolaan data pada BPKH ialah Kepala Seksi Informasi Sumberdaya Hutan. Tugas dan tanggungjawab tersebut antara lain mencakup : Mengidentifikasi dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan data/informasi BPKH sesuai tupoksinya, Memeriksai kelengkapan dan keutuhan data/infromasi, Melaksanakan pemutakhiran, validasi, sinkronisasi dan rekonsiliasi data/informasi, menjaga kerahasiaan data/informasi yang perlu dirahasiakan, mengontrol pemberian dan/atau peminjaman data/informasi dan pengembaliannya, mengoptimalkan pelayanan data/informasi kepada institusi lain dan masyarakat umum. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab tersebut perlu dilaporkan kepada Kepala BPKH baik secara periodic maupun insidentil. Kewenangan yang dimiliki antara lain : Memberi dan/atau meminjamkan data kepada pihak luar atas persetujuan Kepala BPKH. serta memberikan saran kepada kepala BPKH dalam pengelolaan data. Seluruh Data/Informasi yang berkaitan dengan SDH pada BPKH perlu dibuat kalsifikasinya berdasarkan sifat transparansinya atau kerahasiannya, yaitu : (1) Terbuka untuk umum (public domain)/Tidak rahasia dan (2) Tidak terbuka untuk umum (bukan public domain)/Rahasia. Data yang bersifat terbuka untuk umum pada prinsipnya adalah semua data teknis sumberdaya hutan kecuali yang karena sifatnya telah diklasifikasikan sebagai Rahasia. Pada umumnya semua data yang ada pada BPKH bersifat untuk umum. Data yang bersifat rahasia adalah data yang karena sifatnya perlu dirahasiakan, misalnya data yang terkait dengan keamanan Negara atau data dari analisis yang akan digunakan dalam suatu proses hukum. Beberapa contoh data yang perlu diklasifikasikan sebagai rahasia antara lain ialah data spasial berupa peta topografi wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur atau perbatasan Indonesia Timor Leste di Provinsi Nusa Tenggara Timur, daftar koordinat pal batas negara Indonesia dan negara tetangga khususnya yang terletak dalam kawasan hutan serta data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaraan dalam kawasan hutan. Klasifikasi ini sangat penting untuk dibuat dan dipahami oleh seluruh pegawai BPKH karena jika tidak diperhatikan dapat berakibat buruk bagi institusi dan atau pegawai. Format data, baik spasial maupun numerik sedapat mungkin perlu dibuat dalam format digital atau berbasis komputer, sehingga mudah dalam penyimpanan, pengaksesan, pemutakhiran, dan pengolahan lainnya. Hasil penataan batas dan/atau rekonstruksi batas perlu didigitasi sehingga tersimpan juga dalam format digital. S 1. Penanggungjawab 2. Klasifikasi 3. Format DARI REDAKSI K R ejelasan Tujuan, subjek dan objek pembangunan merupakan wujud hakiki dan untuk apa suatu rencana disusun dan ditetapkan. Kejelasan suatu rencana selain memudahkan sosialisasi dan implementasinya, juga membuat evaluasi menjadi bermakna bagi umpan balik penyempurnaan langkah langkah pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Berangkat dari runtut fikir di atas, mudah-mudahan Pembaca setia, setuju bila Buletin kita mulai saat ini akan mempunyai tema khusus setiap edisinya. Semoga upaya pencerahan yang dinamis dapat mewarnai motivasi kita sekarang dan kedepan. Selamat membaca edaksi

Upload: vuongcong

Post on 01-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Nomor 02, Juni 2006

ISSN: 1858-3261

GPLAN LOBULETIN

Oleh : Iman Santosa Tj. *)

esuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemantapan

Kawasan Hutan, salah satu tugas BPKH adalah penyajian data dan informasi di bidang kehutanan sesuai dengan wilayah kerjanya. Untuk dapat

menjalankan tugas tersebut, BPKH tentunya melakukan pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan sesuai dengan kemampuan dan

kewenangannya. Namun demikian sampai saat ini belum ada ketentuan atau prosedur standar mengenai pengelolaan data/informasi sumberdaya

hutan pada BPKH, sehingga untuk kelancaran dan ketertiban pengelolaan data perlu ditelaah beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam

pengelolaan data/informasi. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas beberapa aspek dasar dalam pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan

pada BPKH yang tentu saja dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing BPKH.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tersebut di atas maka penanggungjawab langsung pengelolaan data pada BPKH ialah Kepala Seksi

Informasi Sumberdaya Hutan. Tugas dan tanggungjawab tersebut antara lain mencakup : Mengidentifikasi dan mengupayakan pemenuhan

kebutuhan data/informasi BPKH sesuai tupoksinya, Memeriksai kelengkapan dan keutuhan data/infromasi, Melaksanakan pemutakhiran, validasi,

sinkronisasi dan rekonsiliasi data/informasi, menjaga kerahasiaan data/informasi yang perlu dirahasiakan, mengontrol pemberian dan/atau

peminjaman data/informasi dan pengembaliannya, mengoptimalkan pelayanan data/informasi kepada institusi lain dan masyarakat umum.

Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab tersebut perlu dilaporkan kepada Kepala BPKH baik secara periodic maupun insidentil. Kewenangan yang

dimiliki antara lain : Memberi dan/atau meminjamkan data kepada pihak luar atas persetujuan Kepala BPKH. serta memberikan saran kepada kepala

BPKH dalam pengelolaan data.

Seluruh Data/Informasi yang berkaitan dengan SDH pada BPKH perlu dibuat kalsifikasinya berdasarkan sifat transparansinya atau kerahasiannya,

yaitu : (1) Terbuka untuk umum (public domain)/Tidak rahasia dan (2) Tidak terbuka untuk umum (bukan public domain)/Rahasia.

Data yang bersifat terbuka untuk umum pada prinsipnya adalah semua data teknis sumberdaya hutan kecuali yang karena sifatnya telah

diklasifikasikan sebagai Rahasia. Pada umumnya semua data yang ada pada BPKH bersifat untuk umum.

Data yang bersifat rahasia adalah data yang karena sifatnya perlu dirahasiakan, misalnya data yang terkait dengan keamanan Negara atau data

dari analisis yang akan digunakan dalam suatu proses hukum. Beberapa contoh data yang perlu diklasifikasikan sebagai rahasia antara lain ialah data

spasial berupa peta topografi wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur atau perbatasan Indonesia

Timor Leste di Provinsi Nusa Tenggara Timur, daftar koordinat pal batas negara Indonesia dan negara tetangga khususnya yang terletak dalam

kawasan hutan serta data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaraan dalam kawasan hutan.

Klasifikasi ini sangat penting untuk dibuat dan dipahami oleh seluruh pegawai BPKH karena jika tidak diperhatikan dapat berakibat buruk bagi institusi

dan atau pegawai.

Format data, baik spasial maupun numerik sedapat mungkin perlu dibuat dalam format digital atau berbasis komputer, sehingga mudah dalam

penyimpanan, pengaksesan, pemutakhiran, dan pengolahan lainnya. Hasil penataan batas dan/atau rekonstruksi batas perlu didigitasi sehingga

tersimpan juga dalam format digital.

S

1. Penanggungjawab

2. Klasifikasi

3. Format

DARI REDAKSIK

R

ejelasan Tujuan, subjek dan objek pembangunan merupakan wujud hakiki dan untuk apa suatu rencana disusun danditetapkan. Kejelasan suatu rencana selain memudahkan sosialisasi dan implementasinya, juga membuat evaluasi menjadi bermaknabagi umpan balik penyempurnaan langkah langkah pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.

Berangkat dari runtut fikir di atas, mudah-mudahan Pembaca setia, setuju bila Buletin kita mulai saat ini akan mempunyai temakhusus setiap edisinya.

Semoga upaya pencerahan yang dinamis dapat mewarnai motivasi kita sekarang dan kedepan. Selamat membaca

edaksi

Halaman

2

Nomor 02, Juni 2006

4. Perolehan

5. Pengolahan

6. Pemeliharaan/penyimpanan

a. Data berupa hardcopy

b. Data berupa softcopy

7. Pemutakhiran dan validasi,

8. Rekonsiliasi dan sinkronisasi

9. Pelayanan

Data dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Data yang diperoleh secara langsung merupakan data yang diperoleh

melalui kegiatan yang dilaksanakan oleh BPKH, misalnya inventarisasi potensi, enumerasi PSP/TSP, penataan batas, penfasiran citra

satelit untuk memperoleh data penutupan lahan dll. Data yang diperoleh secara tidak langsung merupakan data yang berasal dari

pemberian pihak lain atau pembelian oleh BPKH. Data yang diperoleh dari pembelian tentunya memerlukan perhatian yang lebih besar,

karena harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara administrasi pertanggungajwaban anggaran, maupun dari aspek kesesuaian

teknisnya.

Pengolahan data terutama dilakukan sesuai dengan tujuan pengumpulan data itu sendiri, yang tentunya didasarkan pada pedoman

atau petunjuk yang telah dikeluarkan secara resmi. Pengolahan data dapat juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atau permintaan

pihak luar sebagai salah satu bentuk pelayanan oleh BPKH.

Data yang berupa hardcopy dapat berupa peta cetak, lemabaran data, laporan dan arsip lainnya yang nyata secara fisik.. Standar

pemeliharaan/ penyimpanannya adalah :

(1). Disimpan dalam lemari/rak khusus.

(2). Secara periodik diperiksa kebersihan, keutuhan dan kelengkapannya.

(3). Dibuat catatan indeks koleksi data/peta secara lengkap dengan sejarah data yang keluar-masuk.

(4). Data/peta yang rusak/robek/hilang harus segera diperbaiki/diganti.

Data berupa softcopy adalah data yang masih tersimpan dalam hardddisk computer atau disket/CD/USB (flash disk). Penyimpanannya

adalah :

(1). Dibuat back up pada 2 atau lebih computer (hard disk) dan atau floppy disk/CD/ USB (flash disk).

(2). Dibersihkan dari virus secara periodic/insidentil.

(3). Dibuat kode/penamaan yang disepakati bersama, misalnya kode/nomor disk yang digunakan, nama folder, nama file dst. Dengan

demikian data akan lebbih mudah untuk ditemukan.

Penyimpanan data/informasi yag bersifat rahasia tentunya perlu diatur tersendiri, misalnya dengan menunjuk petugas yang betul-betul

dapat dipercaya atau disimpan oleh Kepala Seksi ISDH atau disimpan langsung oleh Kepala BPKH dengan pengamanan yang maksimal.

Pemutakhiran data sekaligus validasinya merupakan upaya untuk memperbaharui data sehingga akurasinya dapat ditingkatkan

sehingga tetap valid. Pemutakhiran data perlu dilakukan berdasarkan perkembangan data baru yang diperlukan dan tersedia, misalnya

pemekaran administrasi pemerintahan, review RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota, pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi/

Lindung/Produksi, penunjukan/penetapan kawasan konservasi yang baru, survei potensi, reenumerasi PSP/TSP dll. Pemutakhiran data

dapat dilakukan secara periodik atau insidentil. Pemutakhiran ini sangat penting, mengingat cepatnya perubahan kondisi kawasan hutan

di lapangan serta sulitnya memonitor perijinan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah khususnya kabupaten. Selain itu

pemutakhiran data juga perlu dilakukan sebagai akibat kemajuan teknologi atau perubahan kebijakan.

Rekonsiliasi data, yaitu menyepakati suatu nilai data yang akan digunakan bersama oleh berbagai instansi produsen/konsumen data

secara konsekuen dan konsisten. Data yang diutamakan untuk diacu adalah data yang dikeluarkan oleh instansi atau unit kerja yang

paling berkompeten mengenai data yang bersangkutan.

Sinkronisasi data merupakan proses penyelarasan data, sehingga tidak terjadi redundansi (pengulangan yang tidak perlu), kesenjangan

dan inkonsistensi data.

Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam rekonsiliasi/sinkronisasi data antara lain ialah : istilah, dasar dan tema

(khususnya untuk data spasial), jenis data (spasial dan numerik), cakupan data, waktu data diperoleh/diproses/dikeluarkan, konsistensi

data antar berbagai dokumen yang disusun oleh BPKH, kesesuaian data pusat daerah serta di dalam lingkup wilayah kerja BPKH.

Pelayanan data yang baik antara lain dicirikan oleh kelengkapan dan akurasi data yang diberikan serta kecepatan pelayanannya.

Walaupun pada dasarnya setiap pihak harus dilayani dengan baik, pelayanan data/informasi sumberdaya hutan tetap perlu dilakukan

secara selektif, sehingga tidak sampai memberikan data/informasi yang mungkin dapat digunakan untuk tujuan yang bertentangan

dengan kebijakan resmi Departemen Kehutanan. Terkait dengan hal tersebut, perlu dibedakan pelayanan untuk data yang bersifat

terbuka untuk umum dan data yang bersifat rahasia, baik berupa peminjaman maupun pemberian. Demikian pula perlu diatur pelayanan

untuk internal BPKH, antar instansi pemerintah pusat/daerah serta untuk pihak swasta/Lembaga Swadaya Masyarakat/masyarakat

umum. Pelayanan data dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : pemberian langsung kepada peminta, melalui korespondensi/ surat

menyurat serta melalui koneksi jaringan internet/SIAPHUT.

Pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan perlu benar-benar diperhatikan, mengingat sampai saat ini BPKH tetap akan

diproyeksikan sebagai pusat data kehutanan di tingkat regional sesuai wilayah kerjanya masing-masing.. Hal ini semakin diperkuat lagi

dengan adanya rencana pengembangan jumlah BPKH di berbagai provinsi yang disertai dengan pengembangan tugas pokok dan

fungsinya.

*) Kepala Bidang Statistik Kehutanan pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan

#

Nomor 02, Juni 2006

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

3

Oleh : Ali Djajono *)

Ada banyak penyebab mengapa bangsa Indonesia terpuruk seperti saat ini, salah satu yang paling mendasar adalah tingginya

tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Birokrasi menjadi “penyumbang” timbulnya KKN tersebut. Aparat birokrasi diIndonesia sangat terkenal dengan keterlambatan, malas, tidak efisien, kurang tanggap, tidak inovatif, rendah moral, budaya mintadilayani dll. Intinya sangat minim dengan profesionalisme. Selama bertahun-tahun masyarakat yang sadar bahwa birokrasiIndonesia tidak profesional hanya bisa “bermimpi” memperoleh pelayanan birokrasi yang profesional. Bisakah mimpi masyarakatdiwujudkan?, nampaknya perlu langkah plus tindakan radikal yang harus dilakukan oleh unsur penyelenggara negara untukmewujudkannya. Walaupun disadari langkah dan tindakan tersebut tetap berpotensi menghadapi implikasi-implikasi sosial politikyang sangat tinggi khususnya dari lingkungan birokrasi.

Langkah radikal yang perlu diambil akan menyangkut antara lain: perubahan peraturan perundangan menyangkut segalapengaturan mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI; Perombakan dalam sistem administrasi pengelolaanpenganggaran khususnya yang mengatur penggunaan APBN/APBD; Pegurangan jumlah PNS untuk memperoleh jumlah PNSyang proporsional dan sesuai dengan tugasnya. Langkah-langkah tersebut bukannya berdiri sendiri-sendiri tetapi sangat terkaitsatu dengan lainnya.

Peraturan perundangan yang menyangkut mengenai pengaturan birokrasi lebih banyak merupakan produk-produk selama ordebaru, dimana pada masa itu PNS telah dijadikan alat politik kekuasaan untuk dapat dijadikan mesin politik dan sekaligus untukmelanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu pengaturan tersebut tidak mencerminkan penyelenggaraan birokrasi yangprofesional. Walaupun semenjak reformasi telah dicanangkan untuk melakukan perombakan birokrasi, namun upaya tersebuttidak dilakukan menyeluruh sehingga hasilnya belum tampak secara signifikan.

Kelemahan pengaturan yang menghambat menuju ke taraf birokrasi profesional meliputi antara lain:Belum adanya sistem yang akurat dalam menilai “kinerja” masing-masing aparat birokrasi sesuai dengan kompetensinya.Contoh: lemahnya penerapan sistem “reward and punishment”. Sampai saat ini masih terlihat bahwa tidak ada perbedaan antarakerja dan malas, karena tetap berpenghasilan sama.Belum jelasnya sistem pola karir dalam menjaring aparat-aparat yang berkualitas sesuai kompetensinya, dengan tujuan akhirmendapatkan pimpinan-pimpinan yang berkualitas.Masih lemahnya penerapan penegakan hukum disiplin aparat. Contoh: sangat sulit untuk memecat PNS, walaupun yangbersangkutan katakanlah telah ingkar kerja beberapa hari dalam setiap minggunya. Aturan yang ada membuat senang “aparatmalas kerja” sekaligus menyulitkan para atasan yang ingin menegakkan disiplin.

Maka langkah perubahan peraturan perundangan birokrasi yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan aturan yangmemuat ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Aturan baru yang tercipta harus mampu membuat jerapara birokrat, misal: a) menciptakan kemudahan untuk dapat memberi sanksi kepada aparat yang ingkar kerja tanpa alasan jelas,kalau perlu diciptakan kemudahan untuk dapat memecat, atau b) aparat yang sudah jadi minimal tersangka kasus tindak pidanakejahatan (korupsi, narkoba, pungli, memeras dll) langsung dilakukan pemecatan. Disamping itu aturan baru juga dapatmenggairahkan birokrat yang berkinerja bagus malalui kemudahan untuk memperoleh insentif-insentif yang konkret misal: naikpangkat, naik gaji, promosi, beasiswa untuk keluarganya dsb. Tentu saja pengaturan yang ketat dan tegas ini harus diiringi dengangaji yang memadai, yang salah satunya dapat diperoleh melalui perombahakan dalam sistem administrasi pengelolaan anggaranAPBN/APBD.

Sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD yang berlaku saat ini (walaupun menurut Departemen Keuangan telahdilakukan beberapa perbaikan) masih menampakkan celah-celah bagi para birokrat melakukan manipulasi terhadappelaksanaan kegiatan yang dibiayai olehAPBN/APBD. Ditinjau dari struktur masih menampakkan item-item kegiatan yang sangatboros menggunakan biaya, misal: kemudahan pengadaan sarana/prasarana yang tidak prioritas (pengadaan kendaraan dinas,pembangunan gedung, pembelian alat-tulis kantor), masih dominannya biaya untuk perjalanan dinas para birokrat yang tumpangtindih bahkan ada anekdot “1 bulan bisa mencapai 40 hari”, kemudahan mengadakan seminar/lokakarya atau rapat pembahasanyang dibiayai oleh negara. Ditinjau dari sisi pelaksanaan kegiatan dan administrasi pertanggungjawaban masih menggunakancara-cara lama, misal: aparat yang melakukan perjalanan dinas keluar kota akan memperoleh penggantian ongkos transport danlumpsum harian dengan bukti “visum” pada surat perintah perjalanan dinas (SPPD), padahal bisa saja dipraktekkan ybs tidakmelakukan perjalanan tapi cukup “mengirim” SPPDnya.

Praktek pengelolaan penggunaan dana APBN/APBD seperti beberapa contoh di atas baik secara struktur maupun praktek harusdirubah total, dengan menggunakan misalnya sistem yang dipraktekkan dalam perusahaan-perusahaan swasta. Contoh kecilyang mungkin efektif dapat digambarkan sebagai berikut: aparat yang akan melakukan perjalanan dinas sudah disediakan tikettranportnya sekaligus tempat ybs menginap dengan dibekali uang harian sekadarnya. Perombakan dalam sistem pengelolaanpenganggaran APBN/APBD akan sangat menghemat anggaran, sekaligus penghematan tersebut dapat dipergunakan untukmemperbaiki struktur gaji birokrat sehingga layak untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Yang terakhir terkait dengan banyaknya jumlah birokrat di jajaran pusat maupun daerah. Secara kasat mata akan nampak bahwabirokrasi kita sangat gemuk namun miskin kinerja dan pelayanan prima kepada masyarakat. Gemuknya birokrasi merupakanwarisan “orde baru”, pada masa itu rekruitmen pegawai sangat kental diwarnai kepentingan politis (termasuk salah satunyatindakan populis melalui penyerapan tenaga kerja) dan bernuansa korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), sehingga terjadi pengabaianterhadap uji kompetensi terhadap calon birokrat yang bersangkutan. Kesalahan dalam sistem rekruitmen seperti itu telahmelahirkan sebagian besar birokrat yang tidak sadar bahwa dia sebenarnya adalah “abdi negara”, palayan masyarakat yangdalam melaksanakan tugasnya dibiayai oleh uang rakyat. Yang terjadi adalah minimnya kreatifitas, efektivitas dalammelaksanakan pekerjaan.

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Nomor 03, September 2006

Halaman

4

Nomor 02, Juni 2006

Oleh karena itu, tindakan pengaturan jumlah birokrat sangat urgen untuk dilaksanakan, dengan konsekwensi pengurangan secarabesar-besaran terhadap para birokrat yang tidak produktif serta yang kerjanya hanya mengganggu pelayanan kepadamasyarakat.Pengurangan secara radikal tersebut harus dilandasi oleh kajian, argumentasi serta dukungan peraturan perundangan yang jelas,transparan dan berkeadilan, termasuk mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat (misal: guru,dosen, perawat, dokter). Hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penerapan kebijakan tersebut. Pengurangan iniharus secara significan menjaring para birokrat yang potensial untuk bekerja efektif serta layak untuk mendukung birokrasi yangprofesional. Bagaimana dengan birokrat yang tersingkir ?, untuk para birokrat disediakan beberapa alternatif pilihan yangdirancang untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintah sengaja ingin menciptakan pengangguran baru dan harus adapenyadaran pada semua pihak bahwa pengurangan para birokrat tersebut semata-mata untuk menyelamatkan uang rakyat, sertabahwa para birokrat tersebut apabila digaji maupun tidak digaji tidak merpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat.Alternatif-alternatif yang dapat diajukan antara lain: pensiun dini dengan pesangon beberapa kali gaji (ingat bahwa birokrattersebut masih mendapatkan uang pensiun walaupun sudah tidak bekerja).

Tindakan-tindakan radikal tersebut harus didahului dengan sosialisasi dan kalau perlu semacam gerakan nasional kepada parapihak yang terkait untuk mendapatkan respon sekaligus untuk mengetes sampai seberapa jauh reaksi ekonomi-politik berbagaipihak terhadap kebijakan dimaksud. Respon dan reaksi ekonomi-politik dapat untuk memperkaya kajian dan analisis lebih lanjutterhadap tindakan radikal itu, sehingga kebijakan yang akan diambil dapat meminimalisir resistensi beberapa pihak sertamendapatkan dukungan publik yang luas.

Mendambakan birokrasi profesional memang seolah “mimpi di siang bolong”, dia termasuk barang langka di negeri ini. Tapi kalauada tindakan radikal yang dapat mewujudkan mimpi tersebut, mengapa tidak dicoba?.

*) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan#

BAGAIMANA WUJUD NYATA TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK( ) ?

PRINSIP-PRINSIPTATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK

Berwawasan ke Depan (Visioner)TransparanCepat Tanggap (Responsif)Bertanggung Gugat (Akuntabel)Profesional dan KompetenEfisien dan EfektifDesentralistisDemokratisMendorong Partisipasi Masyarakat (Partisipatif)Mendorong Kemitraan dengan Swasta dan MasyarakatMenjunjung Supremasi HukumBerkomitmen pada Pengurangan KesenjanganBerkomitmen pada PasarBerkomitmen pada Lingkungan Hidup

GOOD GOVERNANCE

Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik ( ) membutuhkan komitmen kuat, 'stamina',dan waktu yang cukup lama karena diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai tatakepemerintahan yang baik secara utuh oleh seluruh komponen bangsa termasuk oleh para aparatur pemerintah danmasyarakat luas. Di samping itu, perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa optimis yang tinggi dari seluruhkomponen bangsa bahwa penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masadepan bangsa dan negara yang lebih baik.

good governance

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

Halaman

5

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Nomor 02, Juni 2006

Perencanaan merupakan kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap orang bahkan mengetahui maksud dari

perencanaan tersebut. Namun jika kita kaji lebih mendalam lagi, maka hanya sebagian orang saja yang mungkin mengetahui arti”Perencanaan” yang dimaksud. Dengan tulisan ini kita coba gali segala sesuatu tentang perencanaan secara umum denganharapan kita menjadi lebih mengenal dekat kedudukan perencanaan dalam suatu manajemen secara umum.

Manajemen adalah proses yang terdiri dari tindakan-tindakan planning, organizing, actuating dan controlling. Bahkan kitalebih dekat dengan kata penyingkatan dari arti tersebut yaitu POAC. Uraian dari setiap tidakan tersebut adalah sebagai berikut :

Planning (perencanaan) : merupakan proses penetapan apa yang harus dilakukan seluruh komponen/ anggota organisasi/lembaga/ perusahaan di masa yang akan datang.

Organizing (pengorganisasian) : merupakan pendistribusian atau pengalokasian tugas dan menetapkan hubungan kerjakepada para anggota kelompok/ anggota organisasi/ lembaga/ perusahaan.

Actuating (penggerakan) : kegiatan menggerakan kelompok-kelompok secara efisien dan efektif menuju arah pencapaiantujuan.

Controlling (pengawasan) : kegiatan pengendalian agar jalannya organisasi tersebut sesuai dengan rencana yang telahditetapkan.

Sebelum kita mengenal lebih jauh kedudukan perencanaan dalam manajemen secara umum, cobalah kita ingat bahwa dalammencapai tujuan manajemen terdapat beberapa unsur seperti man, material, machines, methods, money dan market. Sehinggajika digambarkan secara jelas maka akan terlihat pola penggunaan unsur-unsur manajemen dalam pencapaian sasaran tersebutadalah sebagai berikut.

Sedangkan proses manajemen sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :

Dengan demikian berdasarkan gambar tersebut, maka sedikit demi sedikit kita sudah bisa meraba-raba arti dari perencanaan.Berdasarkan definisi manajemen di atas, maka perencanaan merupakan tindakan pertama dalam mencapai suatutujuan.Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu perencanaan adalah proses persiapan-persiapan yang teratur dari setiap usahayang akan mewujudkan/ mencapai tujuan.Unsur-unsur perencanaan yang harus dipenuhi meliputi unsur tujuan, kebijakan,prosedur, progress dan program.

Agar perencanaan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tingkatan manajemen, maka suatu perencanaanyang dibuat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :a. Tujuan harus dirumuskan secara jelasb. Sifatnya harus sederhanac. Memuat analisis, penjelasan dan penggolongan ”tindak usaha” yang direncanakan untuk dilakukan, kegiatan-kegiatan yang

hendak dilaksanakan dan memuat pedoman-pedomand. Bersifat luwes (flexible)e. Ada keseimbangan ke luar dan ke dalam.

R

R

R

R

Oleh : Efsa Caesariantika *)

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

6

Nomor 02, Juni 2006

Dalam menyusun perencanaan didasarkan kepada data atau fenomena yang terjadi sebelumnya, sehingga melalui analisis akan

diperoleh gambaran kecenderungan arah kondisi di masa yang akan datang. Namun demikian dalam pelaksanaanya seringkali

dihadapkan pada kondisi yang berbeda dari kondisi pada saat perencanaan dibuat. Oleh karena itu, pada setiap periode tahapan

perencanaan tersebut dievaluasi, apakah dapat diimplementasikan dan sesuai dengan target-target (standar) yang telah

ditetapkan. Hasil evaluasi tersebut diharpkan akan menjadi bahan penyempurnaan (umpan-balik) perencanaan tersebut.

Sedikit berbicara tentang hutan, kita semua sepakat bahwa hutan Indonesia yang merupakan sumber kekayaan alam yang

memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi perlu dikelola dengan bijaksana agar bisa digunakan secara lestari. Untuk itu dalam

mengelola hutan juga langkah yang paling awal yaitu melakukan perencanaan hutan.

Perencanaan hutan adalah pola tentang peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan; serta penyusunaan pola

kegiatan-kegiatan pelaksanaannya menurut ruang dan waktu, dengan tujuan agar dengan segala kegiatan tersebut dapat

dilaksanakan secara rasional, dalam rangka pemanfaatan hutan yang sebesar-besarnya secara lestari.

Berdasarkan definisi di atas maka dalam perencanaan hutan terdapat dua kegiatan utama yaitu perencanaan kawasan hutan dan

perencanaan kegiatannya. Perencanaan kawasan hutan ini ditujukan untuk mengalokasikan kawasan hutan berdasarkan :

a. Statusnya yakni hutan negara dan hutan hak

b. Fungsi pokok hutan yakni hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi

c. Wilayah pengelolaannya yakni tingkat propinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan.

Perencanaan kegiatan dibedakan atas rencana makro, rencana bidang, rencana regional/propinsi/kabupaten dan rencana mikro.

Rencana makro (master plan) merupakan rencana arahan (kebijakan) Departemen Kehutanan sebagai arahan kegiatan nasional

jangka panjang. Rencana makro ini dijabarkan dalam rencana bidang yang menyangkut rencana kegiatan masing-masing bidang

kehutanan seperti Badan Palnologi Kehutanan (BAPLAN), Perlindungan hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Rehabilitasi Lahan

dan Perhutanan Sosial (RLPS), Badan Penelitian dan Pengembangan serta Bina Produksi Kehutanan (BPK). Rencana

regional/wilayah pengelolaan adalah rencana kegiatan di tingkat wilayah pengelolaan propinsi/kabupaten yang mengacu kepada

rencana makro dan rencana bidang. Rencana mikro merupakan rencana implementasi di masing-masing bidang kegiatan dan

wilayah pengelolaan berupa program dan proyek.

Tujuan disusunnya rencana tersebut agar segala kegiatan yang akan dilaksanakan terpadu, memiliki sequence (secara berurut-

urutan) dan dapat diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan manajemen hutan yakni untuk kesejahteraan yang

berkeadilan dan berkelanjutan.

#

*) Staf pada Bidang Rencana Umum Kehutanan - Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan - Badan Planologi Kehutanan

Halaman

7

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Nomor 02, Juni 2006

engenaan provisi sumber daya hutan (PSDH) saat ini didasarkan pada harga patokan jual kayu hasil tebangan dari

hutan alam dan/atau hutan tanaman industri. Dasar pengenaan PSDH adalah PP 34 Tahun 2002. Penetapan harga patokanjual kayu tersebut ditentukan oleh Departemen Perdagangan. Nilainya adalah 10% dari harga patokan jual kayu, khususnyakayu-kayu yang berasal dari hutan alam. Misalnya harga patokan jual kayu dari Hutan Alam (HPH) sebesar Rp650.000 perm3, maka PSDH-nya sebesar Rp65.000 per m3. Sedangkan kayu yang berasal dari hutan tanaman, PSDH-nya ditetapkansebesar Rp2.800 per m3.

Pembagian porsi PSDH adalah 20% untuk pemerintah (pusat), 16% untuk pemerintah provinsi, 32% untuk pemerintahkabupaten penghasil, dan 32% untuk pemerintah kabupaten bukan penghasil di daerah tersebut. Dengan porsi yangdemikian, jelas akan merugikan desa-desa yang berada di dalam atau sekitar hutan, karena pengalokasiannya olehkabupaten daerah tersebut. Kalau pun mendapatkan jatah tersebut, akan sangat kecil bahkan terabaikan. Ini menjadi benarkarena pemerintah kabupaten melihatnya masih ada perusahaan di lokasi itu yang 'harus' bertanggung-jawab kepadamasyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dengan demikian, akan muncul opini bahwa kehutanan tidak ada kontribusinyakepada daerah/masyarakat desa.

Di sisi lain, pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan kepada kawasan produktif, juga belum menyentuhpembangunan desa secara signifikan. Dasar pengenaan PBB untuk kawasan hutan yang produktif adalah UU Nomor 12Tahun 1994. Jadi, baik kawasan hutan produksi di hutan alam maupun hutan tanaman tetap dikenakan PBB. Perhitungannyaadalah sebesar 40% dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dan, perhitungan besarnya nilai tarif lahan produktif yang dikenakanPBB adalah PP 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya NJOP untuk Perhitungan PBB. Kisaran PBB pada kawasanhutan yang produktif adalah Rp 60.000 per hektar. Pajak ini pun pada akhirnya akan dibagikan menurut proporsi tersebut diatas, sehingga masyarakat di desa-desa di dalam dan sekitar hutan akan tetap berada dalam kemiskinan.

Sebelum adanya UU No 12 Tahun 1994 tentang PBB, dan revisi peraturan pemerintah di bawahnya, yang saat ini diaturdengan PP Nomor 25 Tahun 2002, seluruh kawasan hutan tidak dikenakan PBB. Dengan dikenakannya PBB pada kawasanhutan produktif, maka perusahaan saat itu terkena beban pajak ganda. Saat kawasan hutan belum dikenakan PBB, provisi(kala itu Iuran Hasil Hutan 'IHH') tersebut telah lebih dahulu dikenakan. Tarif PSDH tidak dikurangi, namun PBB tetapdikenakan, sehingga banyak di antara perusahaan-perusahaan HPH maupun HTI yang menunggak karena beratnyabiaya/pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Saat itu harga kayu sedang anjlok akibat maraknya tebangan liar. Namun,dengan berbagai upaya maka perusahaan mendapattkan keringanan setelah dilakukan beberapa perhitungan yang wajar.Bayangkan saja, jika luas areal HPH rata-rata luas 100.000 hektar (luas efektif 70.000 hektar), maka dalam satu tahunperusahaan HPH akan membayar sebesar 40% kali Rp4.2 milyar = Rp1.68 milyar setahun. Jika perusahaan memproduksirata-rata per tahun 100 000 m3, maka setara dengan Rp16.800 per m3 untuk membayar PBB. Oleh karenanya banyakperusahaan-perushaan HPH yang keberatan atas pengenaan pajak tersebut.

PBB yang dikenakan untuk HPHTI rata-rata sebesar Rp48.000 per hektar. Jika rata-rata luas HTI adalah 150.000 hektar(efektif tanaman), maka besarnya PBB sekitar Rp2.88 miliar, atau setara dengan Rp2.880 per m3, dengan asumsi perusahaanmemproduksi rata-rata 1 juta m3 setiap tahunnya. Pengenaan PBB untuk HTI lebih rendah dari HPH untuk memberikaninsentif pada pengusaha HTI, karena pada umumnya areal HTI berada di lahan-lahan marjinal.

Di lain pihak, perusahaan masih dikenakan lagi Dana Reboisasi (DR) untuk hasil hutan kayu di hutan alam yangbesarnya US$16 per m3 dan PSDH sebesar 10% dari harga patokan jual kayu. Saat ini PSDH untuk kayu alam diameter > 30cm (logs) sebesar Rp 65.000 per m3 dan kayu bulat kecil (bila dimanfaatkan) sebesar US$ 2 per m3. Untuk kayu-kayu bulatkecil ini konon akan dinaikkan menjadi US$ 5 per m3. Hal ini jelas tidak memberikan insentif (disinsentive) kepadaperusahaan yang diharuskan untuk tidak melakukan pembakaran hasil land clearing. Jika kayu-kayu kecil ini dimanfaatkan,misalnya untuk bahan bakar boiler, dijual sebagai kayu untuk bahan baku kilang penggergajian, partikel, dan pulp, maka akanmemberikan insentif.

Dengan jenis pajak, dana reboisasi dan provisi ini saja, perusahaan HPH dikenakan sebesar Rp235.400, terdiri atasDR sebesar Rp147.200 per m3, PSDH-kayu bulat kecil sebesar Rp18.400 per m3, PSDH-kayu bulat besar Rp65.000 perm3, dan PBB setara dengan Rp4.800 per m3. Belum lagi masih dikenakan iuran, dan pungutan-pungutan, bahkan biayasosial lainnya yang menimbulkan higt cost economy. Oleh karena itu, tidak jarang kemudian perusahaan HPH melakukanoperasi yang tidak legal. Ini semua akibat dari lemahnya pengawasan, dan tingginya biaya ekonomi perusahaan.

Untuk HPHTI tidak dipungut DR, namun masih dipungut PSDH dan PBB, serta iuran IUPHHK-HT. Provisi tersebutditetapkan sebesar Rp2.800 per m3 dan PBB setara dengan Rp48.000 per hektar. Jika luas HTI 150.000 hektar (efektiftanaman), maka PBB-nya sebesar Rp2.88 miliar atau berkisar Rp 2.880 per m3, jika HPHTI memproduksi rata-rata 1 juta m3

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kawasan hutan seyogyanya digabung saja dengan Provisi Sumber DayaHutan (PSDH).. PBB ini seharusnya tidak tepat pengenaannya pada kawasan hutan karena tidak ada 'property

right' atau hak yang melekat tentang hukum keagrariaan, karena hanya merupakan izin usaha. PBB setelahdigabung dengan PSDH, perhitungannya didasarkan pada persentase nilai instriksik yang dapat dilakukan

melalui pendekatan nilai tegakan (stumpage value). Pembagian hasilnya harus sampai menyentuh pedesaan,khususnya di dalam dan sekitar hutan. Porsi (persentase) pembagian PSDH untuk desa paling tidak 25% dari

penerimaan provisi tersebut untuk daerah penghasil. Dengan ini maka akan nyata kontribusi kehutananterhadap pembangunan

daerah (kabupaten dan desa).

P

Pengenaan PBB di Kawasan Hutan

Pengenaan DR dan PSDH pada HutanAlam

Pengenaan PSDH dan Iuran lainnya di Hutan Tanaman

PBB di Kawasan Hutan Gabung Saja dengan PSDH

Dr. Ir. Bambang Widyantoro, MMAgr.

Halaman

8

Nomor 02, Juni 2006

dalam setahun.Dengan pengenaan pajak dan provisi tersebut, perusahaan HPHTI berkewajiban membayar kedua pungutan tersebut

sebesar Rp5.680 per m3, belum termasuk iuran IUPHHK-HT dan pungutan-pungutan lain atau biaya sosial lainnya, seperti untukcommunity development (CD) dan royalty fee untuk masyarakat. Biaya-biaya ini berkisar Rp12.500 per m3, terdiri atas biaya CDsebesar Rp2.000 per m3, iuran IUPHHK-HT sebesar Rp2.800 per hektar, dan royalty fee sebesar Rp7.500 per m3.

Dengan demikian, total biaya setiap tahunnya untuk pungutan dan iuran-iuran tersebut berkisar Rp18.180 per m3. Inijelas akan memberatkan perusahaan HPHTI, dimana seharusnya investor mendapatkan insentif.PBB atau PSDH Saja ?Pengenaan PBB di kawasan hutan sebenarnya tidak tepat, karena untuk hutan tidak ada property right (hak) yang melekat padaperusahaan. Perusahaan hanya sebagai pengelola hutan atas lahan yang diberi izin usaha pemanfaatan oleh Pemerintah (Cq.Departemen Kehutanan). Hutan menurut UU 41 Tahun 1999 dikuasai oleh negara, sehingga hutan merupakan state property,bukan private property seperti layaknya hak guna usaha (HGU), atau hak-hak lainnya.

Oleh karena itu, biarkan untuk kawasan hutan produksi mengatur dirinya dengan hanya membayar PSDH, dan tidakdikenakan PBB. Namun, untuk mengkompensasikan PBB ini akan dilakukan perhitungan yang lebih memiliki dasar yang lebihkuat dalam pengenaan pungutan di kawasan hutan produksi, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Pendekatan pada hutanalam dilakukan melalui harga sewa lahan, sedangkan hutan tanaman melalui harga perolehan.Perhitungan PSDH di HutanAlam

Untuk menghitung PSDH yang dikenakan pada hasil hutan kayu dari hutan alam dapat dilakukan melalui pendekatan nilaitegakan (stumpage value) dari harga patokan jual kayu. Ini dilakukan karena nilai intrinsik yang merupakan asupan (faktor input)sangat sedikit yang diberikan oleh perusahaan HPH. Perhitungannya dapat disajikan pada Tabel 1.Tabel 1 tampak bahwa PSDH yang diusulkan menurut hitungan adalah Rp103.200 per m3, dengan perimbangan alokasi untukPSDH-murni sebesar Rp48.750 per m3 dan PBB-murni sebesar Rp54.400 per m3. Sedangkan yang berlaku saat ini adalahsejumlah Rp81.200 per m3, terdiri atas Rp65.000 untuk PSDH dan sekitar Rp16.000 per m3 untuk PBB. Dengan demikianterdapat tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari PSDH (termasuk PBB) sebesar Rp22.000 per m3.

Tabel 1. Perhitungan pengenaan PSDH (setelah digabung dengan PBB) pada HutanAlam Produksi.

No. Uraian Nilai/Harga(Rp/M3)

Keterangan

1 Harga sewa lahan (10% dari sewa lahan) 1.380.0002 Biaya eksploitasi 550.0003 Selisih (1 2) 830.0004 Laba perusahaan (30% dari harga jual) 414.0005 Selisih (3 4) 416.000 Rente ekonomi6 Pengenaan DR 147.2007 Selisih (5 6) 268.800 PSDH (+)8 Biaya Pembinaan Hutan US$ 18/m3 165.600 Termasuk biaya sosial9 PSDH (7 9) menurut hitungan 103.200 Termasuk PBB

10 PSDH yang berlaku 65.00011 Selisih (9 10) 38.200 Kompensasi untuk PBB12 PBB yang berlaku (kisaran) 16.200 25% dari PSDH berlaku

Perhitungan PSDH di Hutan TanamanBerbeda dengan ide perhitungan PSDH pada hutan alam, perhitungan PSDH pada hutan tanaman lebih

sederhana. Yaitu, melalui pendekatan nilai intrinsik yang merupakan nilai asupan (faktor input) atau harga perolehantegakan HTI per hektarnya atau nilai per m3 kayu yang dihasilkan setelah satu daur. Pendekatan lain juga bisadilakukan melalui penetapan harga patokan jual kayu, sebagimana yang berlaku saat ini. Tabel 2 di bawah inimenyajikan perhitungan PSDH dengan pendekatan nilai perolehan. Asumsi dasar potensi minimum pada hutantanaman adalah 100 m3 per hektar. Pendekatan ini sudah mempertimbangkan risiko kegagalan tanaman.Harga perolehan sebesar Rp7.5 juta terdiri atas seluruh biaya pembangunan HTI, sejak tanam hingga siap tebang),termasuk biaya-biaya berupa pajak bumi dan bangunan, iuran izin pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan tanaman,biaya masyarakat (community development), dan royalty fee.

Tabel 2. Perhitungan Pengenaan PSDH (Sebagai Pengganti Nilai Intrinsik atau Nilai Perolehan) pada Hutan

No. Uraian Nilai/Harga(Rp/M3)

Keterangan

1 Harga perolehan tanaman per hektar 7.500.0002 Nilai perolehan per m3 (1 daur) 75.000 Potensi 100 m3/ha3 Nilai perolehan per m3/ tahun

(Usulan PSDH baru)9.375 Daur 8 tahun

4 PSDH berlaku 2.8005 PBB (setara per m3) 2.8806 Iuran IUPHHK-HT (setara per m3) 2.8007 Biaya community development (CD) 2.000 Biaya Sosial8 Royalty fee untuk masyarakat 7.5009 Beban biaya perush. (4 s/d 8) 18.180

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

9

Nomor 02, Juni 2006

.Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai perolehan tanaman adalah Rp9.375 per m3 yang merupakan nilai intrinsik setara dengannilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman. Ini merupakan ide PSDH baru, yaitu gabungan dari pungutan PSDH dan PBBpada hutan tanaman. Jika dibandingkan dengan pungutan yang berlaku saat ini, PSDH + PBB sebesar Rp5.680 per m3 (Rp2.800+ Rp2.880), maka pungutan PSDH baru tersebut lebih besar (naik 65%).

Kenaikan tersebut untuk menjawab tuntutan daerah, khususnya kabupaten penghasil karena menganggap bahwapungutan PSDH untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman saat ini masih rendah. Daerah penghasil juga melihat bahwa kayu-kayu dari hutan tanaman dapat digunakan untuk bahan baku kilangplywood dan kayu gergajian, sehingga harganya dapat lebihtinggi daripada jika hanya untuk bahan baku kilangpulp.

Pembagiannya diusulkan secara proporsional, yaitu untuk pemerintah (Pusat) 18%, pemerintah provinsi 14%, kabupatenpenghasil 44%, dan kabupaten bukan penghasil 24%. Alokasi untuk kabupaten penghasil memiliki porsi yang paling besar,dimana kabupaten penghasil berkewajiban harus memasukkan program pembangunan desa-desa di dalam dan sekitar hutan.Dengan demikian, beban perusahaan akan berkurang dalam pelaksanaan program community development, termasuk socialcost lainnya karena sebagian akan diambil oleh pemerintah kabupaten setempat atau daerah penghasil.

Konsekuensi dari perhitungan ini adalah melakukan perubahan PP Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pengenaan PBB, atauperaturan turunan di bawahnya, khususnya terkait dengan pengenaan PBB pada kawasan hutan produktif. Di sisi lain,pemerintah harus mampu menjaga harga ideal tersebut di atas jika tetap ingin mempertahankan closed market untuk komoditasbahan baku kayu untuk pengolahan industri primer di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa perhitungan-perhitungan masih dengan angka-angka kasar. Di samping itu,pendekatan yang dilakukan memungkinkan masih menjadi berdebatan, khususnya bagi penentu kebijakan karena padapungutan PSDH saja (PBB sudah termasuk di dalamnya) hanya didasarkan satuan hasil per m3. Bagaimana jika hutan tersebuttidak ada atau gagal menghasilkan kayu? Jika pendekatan harga patokan jual kayu tetap dilpertahankan, maka kebijakan closedmarket akan menemui kesulitan karena Pemerintah harus tetap menjaga harga pasar pada kondisi ideal. Pada sisi lain, pasarakan melaju dengan hukum pasar yang hampir tidak bisa didikte.

Diskusi selanjutnya akan mengarah pada perubahan Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan berikutperaturan turunannya, terkait dengan pengenaan obyek pajak dan proporsi pembagian hasil. Ini harus dilakukan terobosan jikatidak menemui kesulitan melakukan perubahan peraturan dan perundang-undangannya. Dengan pendekatan perhitungan inisebenarnya Pemerintah (baca Negara) sangat diuntungkan, maka perubahan peraturan seharusnya tidak menjadi penghambat.

Pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebaiknya digabung dengan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH). PengenaanPBB di kawasan hutan tidak tepat karena hutan berstatus state property bukan private property sehingga hanya merupakan izinusaha pemanfaatan saja, dan tidak terkait dengan hukum keagrariaan. Penggabungan tersebut merupakan bentuk kompensasipungutan PBB ke dalam PSDH, dan besarnya pungutan PSDH baru lebih tinggi daripada PSDH + PBB yang berlaku.

Pendekatan hitungan PSDH dengan harga patokan hanya cocok untuk hasil hutan yang berasal dari hutan alam, sedangkanuntuk hutan tanaman sebaiknya digunakan pendekatan nilai intrinsik (nilai perolehan tegakan dari seluruh asupan 'input' biaya-biaya dan kapital atau setara dengan stumpage value. Nilai asupan yang diberikan oleh pengusaha terhadap hutan alam sangatrendah, oleh karenanya pendekatan hitungan PSDH dapat dilakukan selain melalui harga patokan jual kayu, juga dapat melaluiharga sewa lahan. Untuk hutan tanaman karena investor harus memperoleh insentif, maka pendekatan harga patokan menjadikurang tepat, karena nilainya pasti akan lebih tinggi.

Hitungan-hitungan tersebut perlu dipertajam dengan melalukan kajian pertimbangan kebijakan yang mengarah padapemberian insentif namun tidak mengorbankan kepentingan perusahaan, pemerintah dan masyarakat setempat.

Tanaman

Proporsi Pembagian Hasil dan Konsekuensinya

Diskusi Pendekatan

Kesimpulan dan Saran

#

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

10

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Nomor 02, Juni 2006

Untuk mendukung revitalisasi Industri Kehutanan, salah satunya adalah melalui usaha pengembangan hutan tanamanindustri rakyat yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas industri kehutanan sekaligus untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat/rakyat terutama masyarakat sekitar hutan. Berbagai dinamika dan problematika yang terusberkembang seputar hutan tanaman industri rakyat dan prospek kedepan telah dilakukan pengkajian oleh para pakar

dibidangnya. Hasil kajian telah merumuskan berbagai formulasi untuk mengembangkan Hutan Tanaman IndustriRakyat di Indonesia yang sekaligus sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk merumuskan dan

menetapkan kebijakan bertalian pembangunan industri kehutanan di Indonesia.

I Latar Belakang

II. Faktor Penentu

II. Permasalahan

IV. Pelaksanaan

.Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini dilakukan oleh pengusaha besar di bidang kehutanan. Usaha HTI skala kecil praktisbelum ada, kecuali usaha hutan rakyat yang telah berkembang pada beberapa wilayah di luar kawasan hutan, di Jawa, Sumatera,dan Sulawesi. Usaha hutan rakyat merupakan contoh usaha kecil, dimana pada awalnya rakyat menanam pohon lebih ditujukanuntuk konsumsi sendiri, namun dalam perkembangannya kemudian beralih menjadi komoditi komersial, bersamaan dengantumbuhnya pasar.HTI Rakyat belum memiliki istilah baku, sehingga pengertian HTI Rakyat setidaknya dapat diartikan sebagai HTI yangdilaksanakan oleh rakyat pada kawasan hutan; disamping itu dapat juga diartikan sebagai HTI yang dilaksanakan oleh rakyat baikdi dalam maupun di luar kawasan hutan. Selanjutnya yang dimaksud rakyat lebih diartikan sebagai rakyat yang tinggal di daerahsetempat. Lebih lanjut, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan yang mengatur HTI Rakyat, sehingga diharapkan kajianini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka kebijakan dan pelaksanaan pembangunan HTI Rakyat. Dengandemikian lingkup kajian ini mencakup seluruh aspek yang secara umum meliputi aspek: finansial-ekonomi, sosial-budaya, dansistem pengusahaan.

Keberhasilan pengusahaan hutan rakyat sangat ditentukan oleh (1) persepsi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian nilai-nilai atau budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya, (2) kepekaan masyarakat untuk memahami masalah sosial ekonomi,(3) kepekaan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian sumberdaya alam bagi, (4) kemampuan masyarakatuntuk melihat peluang dan mengupayakan pemecahan masalah yang diupayakan, (5) efektifitas dorongan, rangsangan dandukungan serta kesempatan yang diberikan pihak luar.

IBeberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia (Supriadi, 2002): (1) data dan informasimengenai hutan rakyat belum sepenuhnya dikuasai, (2) sosialisasi pelaksanaan program hutan rakyat belum berjalan semestinya,(3) belum ada rencana pengembangan hutan rakyat untuk setiap kabupaten, (4) pembuatan rancangan unit percontohanpengelolaan hutan rakyat di beberapa daerah masih belum mantap, (5) kurangnya perhatian terhadap unit percontohan hutanrakyat, (6) kualitas SDM petani yang masih belum mencukupi, (7) pemasaran hasil produksi kayu hutan rakyat masih bersifatperorangan, (8) masih terdapat penyimpangan bersifat administratif dalam penyelenggaraan KUHR (Kredit Usaha Hutan Rakyat),(9) kelembagaan petani peserta KUHR masih lemah, (10) keterbatasan peraturan perundangan tentang hutan rakyat masihterbatas baik di tingkat pusat maupun daerah, dan (11) kesiapan aparat daerah dalam menyelenggarakan KUHR masih belummemadai.

Pelaksanaan pembangunan HTI Rakyat diharapkan dapat memenuhi beberapa kondisi sebagai berikut:

HTI Rakyat sebagai salah satu sumber bahan baku industri, reboisasi lahan kosong, dan meningkatkan pendapatanmasyarakat melalui peningkatan lapangan kerja.

Pembangunan HTI Rakyat melalui pendekatan lintas sektoral, multidisiplin, stakeholders yang beragam dan pendekatansistem.

HTI Rakyat mampu memberikan keuntungan ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya.

Pengembangan HTI Rakyat mampu mewujudkan keseimbangan dinamis antara pertumbuhan ekonomi-bisnis denganpeningkatan kelestarian ekologi dan kestabilan sosial-budaya.

HTI Rakyat memiliki sistem penguasaan dan tata guna lahan yang mantap, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

HTI Rakyat dibangun sebaiknya menerapkan sistem Agroforestry yang memanfaatkan keunggulan komparatif dari berbagaijenis komoditi yang dikelola.

HTI Rakyat dibangun berdasarkan kemitraan sejajar antara pengusaha dengan masyarakat di sekitar hutan, yang menujuke bentuk kontrak kerja pada kelompok masyarakat yang adil dan berimbang.

Jenis tanaman HTI tidak terpaku pada jenis cepat tumbuh saja tetapi juga perlu pengaturan jenis yang seimbang denganjenis kayu campuran lainnya.

Pengusahaan HTI Rakyat diarahkan pada kawasan hutan produksi yang berupa tanah kosong, padang alang-alang, dansemak belukar.

Usaha HTI Rakyat merupakan suatu penerapan model usaha tani.

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

Oleh : Tedi Setiadi, S.Hut. *)

PROSPEK PENGEMBANGAN

HUTAN TANAMAN INDUSTRI RAKYAT

(Intisari Hasil Kajian Para Pakar untuk Menyusun Kebijakan)1)

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

11

Nomor 02, Juni 2006

V. Estimansi Biaya Pembangunan HTI Rakyat

Uji Petik Pembangunan HTI Rakyat di Propinsi Kaltim.

Kebutuhan biaya pembangunan tanaman:

Kebutuhan tenaga kerja dan pendapatan petani:

VI. Prasyarat Penentu

TENURIAL

Hitungan ekonomi secara kasar dalam pembangunan hutan tanaman secara kolaboratif:Asumsi-asumsi:1. Jenis tanaman adalah fast growing species, dengan daur 8 tahun ditujukan untuk kayu perkakas2. Kemampuan seorang petani mengelola lahan seluas 0,75 ha/tahun. Dalam 1 KK diasumsikan terdiri dari 2,5 HOK. Jadi 1

KK mempunyai kemampuan 1,875 ha/tahun.3. Biaya pembangunan tanaman per hektar adalah Rp. 7,5 juta.4. Produksi minimal adalah 150m3/ha.5. Harga pasar minimal Rp. 200.000/m3 di TPN atau TPK.6. Tidak terjadi force major hingga saat panen dan seterusnya.7. Kucuran subsidi maupun pemodalan akan diterima dalam 5 tahun ke depan.

Propinsi Kaltim diasumsikan sebagai daerah contoh dengan 8 Kabupaten akan membangun secara serentak hutan tanamankolaboratif.

Luas tanaman yang harus dibangun:1. Untuk ukuran propinsi Kaltim, kebutuhan industri 4,5juta m3/tahun, maka luas tebangan per tahun mencapai 30.000 ha

(asumís 150m3/tahun)2. Jika dibagi ke dalam 8 Kabupaten, maka setiap Kabupaten menebang 3.750 ha/tahun.3. Dengan daur 8 tahun, maka diperlukan luas tanaman: 8x30.000 ha = 240.000 ha efektif tanaman (netto). Dibutuhkan areal

sarana prasarana dan konservasi sejumlah 25%, sehingga total kebutuhan lahan adalah 320.000 ha, maka tiap Kabupatenmembutuhkan 40.000 ha (sangat kecil dibandingkan luas areal tidak produktif di tiap Kabupaten).

1. Dengan asumsi biaya pembangunan sebesar Rp. 7,5juta/ha, maka setiap Kabupaten menyediakan biaya sebesar Rp. 7,5juta x 40.000 ha = Rp. 300 Milyar.

2. Distribusi saham dengan komposisi penyertaan modal: Pemkab: 40% atau Rp. 120 Milyar; Pemprov: 10% atau Rp 30 Milyar;dan pemegang industri sebesar 50% atau Rp. 150 Milyar.

1. Dengan asumsi kemampuan 1 KK seluas 1,875 ha/tahun, maka 1 daur (8 tahun) kebutuhan lahan untuk 1 KK adalah 1,875 hax 8 = 15 ha. Dengan demikian untuk luasan 30.000 ha/tahun diperlukan 16.000 KK, bila dibagi 8 Kabupaten, maka setiap unitpembangunan hutan di Kabupaten diperlukan 2.000 KK (jumlah yang cocok untuk padat karya).

2. Pendapatan petani per KK berasal dari (a) tenaga kerja harian = 2,5 HOK x Rp. 30.000 = Rp. 75.000; (b) hasil panen tanamanpadi atau jagung (tanaman tumpangsari); (c) hasil produksi tanaman pokok per tahun = 2/3 x 1,875 ha x 150 m3 x Rp. 200.000= Rp. 37.499.999,- atau dibulatkan sebesar Rp. 37,5 juta atau rata-rata per bulan sebesar Rp. 3,125 juta.

Dengan berbagai hambatan dan kendala, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa HTI Rakyat memiliki prospek yang bagusuntuk dikembangkan, namun harus memperhatikan berbagai persyaratan sebagai berikut:

Untuk tahap awal sebaiknya diterapkan di wilayah penduduk atau masyarakatnya telah memiliki budayamenanam pepohonan kehutanan dan juga sangat membutuhkan program itu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.I Keberadaan dan kesanggupan industri-industri yang akan menampung hasil hutan kayu, sehingga HTIRakyat benar-benar terintegrasi dengan konsumen atau pasar.

·Keterlibatan para pihak dalam pengembangan HTI Rakyat sangat diperlukan.

Sistem pembangunan HTI Rakyat mengikuti sequential system dan sistem suksesi yang dikelola.

HTI Rakyat tidak dibangun dalam bentuk monokultur.

Kebijakan insentif perlu diberikan kepada para petani HTI Rakyat sebelum mereka memetik hasil hutan.

Sejak awal sebelum HTI Rakyat itu dibangun harus sudah dilakukan penguatan kelembagaan petani HTI Rakyat.

Pembangunan HTI Rakyat harus terintegrasi dengan berbagai program pembangunan hutan yang ada (GERHAN, DAKDR, CDM, dsb)

Tersedia pendamping lapangan yang tangguh, bisa dari sarjana kehutanan yang diangkat menjadi pegawai tidak tetap(PTT) dan ditempatkan di lapangan.

Kebijakan yang menyangkut biaya retribusi hasil hutan dari HTI Rakyat, sebaiknya pada tahap awal dilakukan seringanmungkin, hal ini untuk memberi insentif kepada para petani agar lebih bergairah dalam membangun hutan.

HTI Rakyat sebaiknya tidak dikembangkan sebagai gerakan nasional, tetapi sebaiknya diprioritaskan bagi daerah yangtelah siap dari berbagai aspek, seperti petani, SDM kehutanan, kelembagaan, teknik-biofisik.

Sosialisasi HTI Rakyat kepada petani khususnya, harus dilakukan secara intensif, meliputi aspek teknis-biofisik, sosial-budaya, ekonomi dan finansial.

Monitoring dan evaluasi yang bersifat multipihak terhadap kegiatan HTI Rakyat harus dilakukan secara berkala danberkelanjutan, agar dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan secara dini, jika ditemukan kelemahan atau penyimpangan.

Prosedur, aturan dan proses untuk pembangunan HTI Rakyat harus bersifat sederhana dan biaya murah.

Inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan HTI Rakyat harus menjadi prioritas utama.

Jenis-jenis pohon yang ditanam memiliki harapan kepastian pasar.

Adanya program pendampingan lapangan yang berkelanjutan.

Sistem pewarisan terhadap hak mengelola HTI Rakyat harus jelas dan mampu mencegah terjadinya fragmentasi lahan.

Adanya kepastian status lahan hutan sebagai lokasi HTI Rakyat, sehingga memberikan kepastian usaha bagi petani.

*

SOSIAL BUDAYA :

NFRASTRUKTUR :

KELEMBAGAAN :

) Perencana Pertama pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

R

#

Halaman

12

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Nomor 02, Juni 2006

Pendahuluan

Sekilas Penataan Ruang

Pengaturan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Urgensi pengaturan

ruang ini secara jelas telah dituangkan dalam alasan menimbang yang mendasari penetapan UU ini. Disebutkan antara lainbahwa letak dan kedudukan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnyamerupakan sumberdaya alam (SDA) yang perlu dikelola dan dilindungi untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional,untuk itu pengelolaan SDA yang berada di daratan, lautan dan udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengansumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalamdalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup.

Kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tataruang suatu wilayah dalam bentuk sulitnya ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkanruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain: Interest ekonomi politik terhadap ruangyang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturanperundangan, Konflik lahan yang terdapat di dalam kawasan hutan, belum sinkronnya kewenangan pengelolaan ruang olehberbagai sektor terhadap ruang yang sama. Salah satu persoalan pelik adalah berlarutnya permasalahan tenurial dalamkawasan hutan. Tulisan ini mencoba menelaah salah satu kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang khususnya ruangkehutanan (Kawasan Hutan) dalam perencanaan tata ruang dengan Persoalan tenurial, dengan urutan penyajian sbb:memahami sekilas penataan ruang, kawasan hutan sebagai bagian dari tata ruang nasional, tenurial dalam kawasan hutan.

Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terdapat pengertian yang berkaitan dengan ruang, antara lain: Ruang,Tata Ruang, Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang, Wilayah dan Kawasan.

Ruang adalah wadah yag meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempatmanusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan PenataanRuang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. SelanjutnyaRencana Tata Ruang adalah adalah hasil perencanaan tata ruang.

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnyaditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan Kawasan adalah wilayah dengan fungsiutama lindung dan budidaya. Kawasan ini terdiri dari Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, Kawasan Perdesaan, KawasanPerkotaan, Kawasan Tertentu.

Penjabaran kawasan secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata RuangWilayah Nasional, detailnya diuraikan dibawah ini:

a Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannyaKawasan hutan lindung (HL)Kawasan bergambutKawasan resapan air

b. Kawasan perlindungan setempatSempadan pantaiSempadan sungaiKawasan sekitar danau/wadukKawasan sekitar mata airKawasan terbuka hijau kota termasuk didalmnya hutan kota

c. Kawasan Suaka AlamCagar Alam (CA)Suaka Margasatwa (SM)

d. Kawasan Pelestarian AlamTaman Nasional (TN)Taman Hutan Raya (Tahura)Taman Wisata Alam (TWA)

e. Kawasan Cagar Budayaf. Kawasan Rawan Bencana Alamg. Kawasan Lindung lainnya

Taman Buru (TB)Cagar biosfirKawasan Perlindungan Plasma NutfahKawasan Pengungsian SatwaKawasan Pantai Berhutan Bakau

1. Kawasan Lindung

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

KOMPLEKSITAS PERSOALAN TENURIAL DALAMPERENCANAAN RUANG KEHUTANAN

Oleh : Ali Djajono

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

13

Nomor 02, Juni 2006

2. Kawasan Budidaya

3. Kawasan Tertentu

1. Kriteria Hutan Lindung (HL):

4. Kriteria Taman Nasional (TN):

a. Kawasan Hutan ProduksiKawasan Hutan Produksi TerbatasKawasan Hutan Produksi TetapKawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi

b. Kawasan Hutan Rakyatc. Kawasan Pertanian

Kawasan Pertanian Lahan Basah

Kawasan Tanaman Tahunan/PerkebunanKawasan PeternakanKawasan Perikanan

d. Kawasan Pertambangane. Kawasan Peruntukkan Industrif. Kawasan Pariwisatag. Kawasan Permukiman

Dengan demikian pada dasarnya seluruh wilayah di Indonesia sesuai dengan manfaat dan fungsinya, penataan ruang telah diaturdalam peraturan perundangan ini. Didalamnya juga telah diatur kemungkinan untuk dilakukan peninjauan kembali secara berkalamengingat dinamika pembangunan dan pengembangan wilayah.

Namun prosedur pelaksanaan peninjauan kembali tersebut yang berakibat pada perubahan fungsi dan pemanfaatannya(khususnya yang berskala besar dan berdampak penting) harus melalui persetujuan legeslatif. Kawasan hutan yang merupakanbagian dari wilayah negara RI, pengaturannya juga telah menjadi bagian dari Tata Ruang Nasional.

Hanya dalam peraturan perundangan ini tidak diatur mengenai keberadaan hak penguasaan atau hak pengelolaan/pemanfataanterhadap ruang yang akan diatur. Penetapan ruangnya lebih ditujukan pada pembagian ruang dalam suatu wilayah sesuai denganfungsi dan manfaatnya. Padahal permasalahan yang muncul terkait dengan ruang tidak dapat dilepaskan dari penegasanterhadap hak penguasaan terhadap ruang tersebut, apakah itu sebagai state property, common property, private property ataupunsebagai wilayah open acces.

Seperti telah ditetapkan dalam PP. No. 47 tahun 1997 tentang Tata Ruang Nasional, Kawasan Hutan merupakan bagian dari TataRuang Nasional. Dalam pembagian wilayah kawasan sesuai fungsinya yaitu Lindung dan Budidaya, maka kawasan hutan diatursebagai berikut:

1. Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung adalah:a.. Hutan Lindung (HL).

d. Taman Buru

2. Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan budidaya adalah:a. Hutan Produksi, yang meliputi: Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi.

Sesuai dengan PP No. 47 tahun 1997 tentang RTRWN dan PP. No. 34 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, kriteria darimasing-masing kawasan hutan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

yang cukup sebagai habitat habitan jenis satwa yang bersangkutan.

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

Kawasan Pertanian Lahan Kering

Kawasan Hutan Sebagai Bagian Tata Ruang Nasional

b. Kawasan Pelestarian Alam, yang meliputi: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA), Taman Wisata Alam(TWA).

c. Kawasan SuakaAlam, yang meliputi: CagarAlam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM).

Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angkapeningbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 atau lebih, dan/atau

Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan/atau

Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 m atau lebih.

Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, dan/atauMewakili formasi biota tertentu adan/atau unit-unit penyusunnya, dan/atauMempunyai kondisi alam, baikbiota mauoun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, dan/atauMempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas,dan/atauMempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta kenberadaannya memerlukankonservasi.

Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembang-biakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan upayakonservasinya dan atauMemiliki keanekaragamansatwa yang tinggi, dan atauMerupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan atauMempunyai luas

Wilayah yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup unuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alamiMemiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya sertagejala alam yang masih utuh dan lestariSatu atau beberapa ekosistem yang terdapat didalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat diubah oleh eksploitasi

¡

¡

¡2. Kriteria CagarAlam (CA):

3. Kriteria Suaka Margasatwa (SM):

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

14

Nomor 02, Juni 2006

maupun pendudukan oleh manusiaMemiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alamMerupak

Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupunkawasan yang sudah berubahMemiliki keindahan alam, tumbuhan, satwa dan gejala alamMudah dijangkau dan dekat dengan pusat-pusat emukiman pendudukMempunyai luas yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan/atau satwa baik jenis asli dan/atau bukanasli

Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah,unik dan nyamanMempunyai luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkanbagi pariwisata dan rekreasi alamKondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alamMudah dijangkau dan dengan pusat-puast pemukiman penduduk.

Areal yang ditunjuk mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan dan/atauKawasan yang terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur denganmengutamakan segi rekreasi, olahraga dan kelestarian satwa.

Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angkapenimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 125-175 diluar Hutan SuakaAlam dan Hutan PelestarianAlam

Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angkapenimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, diluar Hutan SuakaAlam dan Hutan PelestarianAlam

Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angkapenimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, diluar Hutan SuakaAlam dan Hutan PelestarianAlamKawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transprtasi, transmigrasi,permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan lain-lain.

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

¡

6. Kriteria Taman WisataAlam (TWA):

7. Kriteria Taman Buru:

8. Kriteria Hutan Produksi Terbatas (HPT):

9. Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP):

10. Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK):

an kawasan yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upayapelestarian sumberdaya alam hayati da ekosistemnya.

Kriteria-kriteria tersebut hanya berdasarkan kriteria teknis lapangan. Selanjutnya pengaturan terhadap pengelolaan ruangkawasan hutan diatur dan tunduk pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundangan turunannya,termasuk didalamnya pengaturan mengenai perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan untuk keperluan review ataupeninjauan kembali tata ruang.

Namun pengaturan ruang kawasan hutan dalam UU No. 41 tentang Kehutanan tidak mengatur secara rinci pengaturan yangterkait dengan tenurial. Hanya disana disebutkan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untuksebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya penguasaan hutan oleh negara tersebut memberi wewenang kepada Pemerintahuntuk: a) mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, b) Menetapkan status wilayahtertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, c) Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta pengaturan perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Penguasaan tersebut tetap harus memperhatikan hak masyarakat hukum adat dengan catatan sepanjang masih ada dan diakuikeberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kejelasan status penguasaannya menunjukkan bahwakawasan hutan merupakan hutan negara atau dalam istilah umum dikenal sebagai “state property”.

Penguasaan oleh negara inilah yang kemudian menimbulkan konflik lahan terkait dengan pengakuan sebagian masyarakat didalam kawasan hutan yang merasa dan mengakui bahwa mereka telah secara turun temurun memiliki hutan adat dalam kawasanhutan negara tersebut. Konflik ini timbul karena antara lain walaupun pada dasarnya keberadaan hutan adat diakui oleh UU, tetapikeleluasaan masyarakat hukum adat yang merasa memiliki hutan adat tersebut dalam mengelola hutannya masih dibatasi olehketentuan-ketentuan dalam pengelolaan hutan secara nasional.

Usaha dan upaya untuk menjembatani penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan sudah sering dilakukan, namun hinggasaat ini masih belum ditemukan solusi konkret untuk mengatasinya. Masing-masing pihak masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang dipegangnya. Pemahaman terhadap prinsip tenurial oleh masyarakat kemudian menjadi sangat penting untukmencoba memahami dimana letak kesenjangannya dengan peraturan perundangan nasional yang mengaturnya.

Tidak ada batasan yang baku mengenai definisi tenurial, namun secara umum tenurial atau “tenure” dapat dimaknai sebagai hakpemangkuan dan penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya. Ada juga beberapa pendapat yangmemaknai sebagai “land ownership” yang diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak ataukepentingan atas lahan.

Pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau negara. Pengakuan secara individu terhadap lahanyang bukan merupakan lahan yang dikuasai negara biasanya tidak menimbulkan banyak masalah karena sudah diatur secaratunggal dalam UU Agraria. Namun pengaturan hak penguasaan oleh kelompok atau negara masih menjadi polemik yangberkepanjangan. Bagi pemerintah acuannya jelas pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Kawasan hutan”dikuasai oleh negara termasuk pengaturan-pengaturan terhadapnya, sedangkan hutan adat merupakan wilayah masyarakat adatatau masyarakat hukum adat yang berada dalam hutan negara. Namun bagi sebagian besar masyarakat (khususnya masyarakathukum adat) lahan “kawasan hutan” tersebut secara “de facto” adalah merupakan hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat,bukan merupakan bagian dari hutan negara.

5. Kriteria Taman Hutan Raya (TAHURA):

Tenurial Dalam Kawasan Hutan

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

15

Pengakuan hutan adat oleh masyarakat dalam UU memang telah disebutkan, namun pengaturannya belum jelas dan mendetail,sehingga muncul multi-interpretasi terhadap pengaturan “kawasan hutan” yang ada “hutan adat”nya..

Kesimpang-siuran pengaturan lahan kawasan hutan inilah yang selalu menimbulkan permasalahan tenurial yang sangat komplekdalam kawasan hutan. Dari sisi peraturan perundangan secara “de jure” pengakuan penguasaan terhadap kawasan hutan olehpemerintah sudah jelas, namun secara “de facto” permasalahannya tidaklah sederhana. Apalagi model-model pengakuanpenguasaan oleh masyarakat sangatlah lokal specifik, antara daerah satu dengan daerah lainnya sangatlah berbeda. Namunsecara umum masyarakat hukum adat menginginkan kedaulatan dan hak penuh atas hutan yang berada di wilayahnya.

Pemecahan permasalahan ini sebenarnya sedang diupayakan melalui Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hutanadat, namun sampai saat ini pembahasannya menemui jalan buntu. Multi-interpretasi dan belum diakomodasikannya secarapenuh beberapa keiinginan masyarakat yang diperkirakan menghambat penyelesaian PP tersebut.

Apabila diamati terdapat beberapa tipe keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya dalam keterkaitannya dengan kawasanhutan. Pertama, yang terdapat dalam kawasan hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada HPH/IUPHHK Hutan alamdan Hutan tanaman. Kedua, yang terdapat dalam kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung (HL). Ketiga, yangterdapat di hutan produksi yang tidak dibebani hak pengelolaan/pemanfaatan.

Pemberian hak kepada pihak swasta oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan dalam bentuk HPH/IUPHHK Hutan Alammaupun Hutan Tanaman biasanya selalu dipertentangkan dengan keberadaan hutan adat dalam kawasan hutan tersebut.Masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengaturan hak tersebut, mereka merasa dimarginalkan dari tanah yangmereka tinggali, mereka merasa tidak selalu mendapatkan manfaat dari keberadaan pengelolaan kawasan hutan tersebut.

Pada saat ini terdapat arus perjuangan yang sangat kuat dari masyarakat adat dengan dibantu oleh LSM/NGO untuk menggolkankeinginan pengakuan secara lebih jelas dan tegas terhadap keberadaan masyarakat adat dan lahan sebagai bagian darigantungan kehidupan dan aktifitas kesehariannya. Arus tersebut mencoba menghilangkan pengakuan penguasaan lahan olehnegara khususnya terhadap lahan yang diakui sebagai bagian dari masyarakat adat.

Melalui berbagai pertemuan atau forum atau aksi baik secara Nasional, Regional maupun Global, mereka mencoba meyakinkandan memperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan melalui kejelasan dalam suatu peraturan perundangan Nasional. Kalauperlu dengan mengamandemen atau merubah UU yang terkait dengan pengaturan lahan yang berhubungan dengankeberadaannya. Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya merupakan salah satu“entry point” yang selalu dipegang untuk memperjuangkan kejelasan yang lebih konkret terhadap pengakuan tenurial dalamkawasan hutan.Banyak argumen yang melandasi keiinginan tersebut, antara lain:

Melihat persoalan tenurial tersebut, tampaknya akan sangat sulit untuk mempertemukan dan mensinkronkan pengaturan hutanoleh Pemerintah yang didasari landasan formal dengan aspirasi masyarakat yang berpegangan pada kondisi “de facto” dilapangan. Permasalahan bertambah rumit dengan masuknya unsur yang tidak bertanggung jawab yang coba menunggangikekisruhan yang terjadi, karena ditengarai bahwa masih banyak terdapat masyarakat yang murni merambah hutan namunmengaku sebagai masyarakat lokal atau masyarakat adat. Lebih parah lagi mereka biasanya didanai oleh oknum-oknum pemilikmodal dari kota.

Diperlukan keberanian, kejujuran dan keterbukaan semua pihak termasuk saling memahami pihak yang satu dengan pihaklainnya. Penyelesaian permasalahan harus didukung adanya keterbukaan dari semua pihak dan tiadanya unsur pemaksaanpihak satu ke pihak lainnya, tanpa hal tersebut penyelesaian masalah akan “dead lock” (menemui jalan buntu). Berlarut-larutnyapenyelesaian RPP HutanAdat mencerminkan persoalan tenurial dalam kawasan hutan yang menemui jalan buntu.

Dari sisi Pemerintah kiranya diperlukan beberapa upaya yang harus diambil, upaya tersebut antara lain:

Apa Yang Dapat Diupayakan ?

*) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan

a. Negara dianggap gagal dalam mengelola hutan, diindikasikan dengan: hancurnya hutan akibat eksploitasi berlebihan, makinsering terjadinya banjir dan tanah longsor, semakin terdegradasinya hutan, gagalnya pemerintah dalam meningkatkankesejahteraan masyarakat dalam dan sekitar hutan.

b. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sejak lama, menunjukkan kelestarian dalam pengelolaannya contoh:Repong damar di Lampung.

c. Peraturan perundangan yang ada memarginalkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat cenderung hanyadianggap sebagai obyek dari suatu pengelolaan hutan.

d. Makin terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan, program, kegiatan yang digagas oleh pemerintah.

a. Mengidentifikasikan kembali semua peraturan perundangan bidang kehutanan yang terkait dengan penataan ruangkehutanan dan tenurial. Kemudian melakukan kajian dan penelaahan yang mendetail terhadap peraturan tersebut.

b. Mengidentifikasi keragaman masyarakat adat yang ada di dalam dan sekitar hutan seluruh Indonesia, termasuk deskripsinya(sejarahnya, pola kehidupannya, kekerabatannya, peraturan adatnya dsb). Kemudian memetakannya dalam kawasan-kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah.

c. Melakukan dialog intensif dengan LSM/NGO dan Pakar/Pergurauan Tinggi yang concern dengan permasalahan tenurial.Termasuk merumuskan secara lebih konkret kriteria-kriteria umum maupun khusus apa itu masyarakat adat dan apa itu hutanadat, tentunya dalam konteks Indonesia.

d. Mengkaji implikasi sosial, ekonomi dan politik adanya permasalahan tenurial dalam kawasan hutan terhadap hak atau ijinyang telah diterbitkan oleh Pemerintah.

e. Melakukan evaluasi komprehensif terhadap skema-skema kebijakan atau kegiatan-kegiatan atau proyek Pemerintah yangbertujuan untuk mensejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

f. Menjadikan “permasalahan tenurial” sebagai suatu bagian dari fokus perhatian dalam pengambilan-pengambilan kebijakanpengelolaan dan pembangunan kehutanan. Karena “permasalahan tenurial” yang tidak terpecahkan akan menjadi salah satuhambatan bagi kemajuan pengelolaan dan pembangunan kehutanan.

g. Melakukan kajian-kajian dan riset bidang hukum terkait tenurial dan mencoba merumuskan rancangan/konsep peraturanperundangan untuk perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundangan kehutanan di masa yang akan datang.

#

Nomor 02, Juni 2006

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

16

Nomor 02, Juni 2006

Pembangunan Kehutanan Partisipatif

1. Salah satu akar masalah yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan adalah masalah kemiskinan masyarakat yang hidupdi dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sesuai data dari (2005), bahwa diantara 48,8 juta penduduk yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan negara, lebih kurang 10,2 juta orang (21%) adalah kaummiskin, 6,0 juta di antaranya hidup bergantung pada hasil hutan. Tekanan kemiskinan yang demikian besar itu pada akhirnyaakan berdampak negatif pada kelestarian hutan, karena menjadi faktor pemicu terjadinya perambahan kawasan, penebanganliar dan perdagangan kayu secara illegal.

2. Untuk terciptanya situasi yang kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan kehutanan yang berbasis masyarakat( ), diperlukan berbagai prasyarat. Pemihakan ( ), kepercayaan dan keberanianpemerintah untuk memposisikan masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan ( baik hutan konservasi, hutanlindung maupun hutan produksi ), yang umumnya mayoritas sebagai petani, adalah merupakan prasyarat utama. Konkretnya,bahwa sumber daya manusia (SDM) petani tersebut seharusnya menempati posisi yang paling strategis, yakni diperankansebagai pelaku dan penggerak utama pembangunan kehutanan ( ).

3. Komitmen seperti itulah menjadi kunci pertama dan utama yang akan menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan.Untuk itu dalam menetapkan kebijakan pembangunan kehutanan yang benar-benar berbasis kerakyatan, harus dirancangdan dirumuskan sedemikian rupa sehingga berawal dan berakhir pada petani di dalam dan di sekitar kawasan hutan.Kebijakan seperti itulah yang akan mengubah paradigma menjadi

4. Dalam implementasi di lapangan hingga saat ini, program dan proyek pembangunan kehutanan masih banyak yang bersifat“ dan dilaksanakan satu arah (linier) yaitu dengan pola “ . Dalam situasi sepertiitu, pembangunan kehutanan terkesan menjadi “paket instruksi” dari pemerintah kepada masyarakat petani, sehingga merekamasih diposisikan sebagai obyek pembangunan. Para petugas di lapangan belum sepenuhnya berperan sebagai fasilitator,namun masih bertugas sebagai “pelatih” atau “instruktur” dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan kehutanan.Kondisi yang demikian itu besar kemungkinan dapat mematikan kreativitas dan dinamika internal masyarakat pedesaan,modal utama dalam proses pemberdayaan masyarakat.

5. Penyelenggaraan kehutanan seperti tersebut di atas, telah menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi pelaksanaankebijakan pembangunan kehutanan berbasis masyarakat yang bersifat partisipatif . Oleh karena itu diperlukan suatuparadigma pembangunan yang dipandang lebih tepat, yang memiliki karakteristik antara lain:

Digerakkan oleh masyarakat petani yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan ( baik hutan konservasi, hutanlindung maupun hutan produksi ).Bertumpu pada pengetahuan/kearifan/teknologi lokal dan kekuatan kerjasama (antar petani.Diwadahi oleh suatu lembaga penyuluhan/pemberdayaan desa, yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat petani didalam dan di sekitar kawasan hutan itu sendiri.Berwawasan agro-ekosistem, agrosilvo-bisnis, kelestarian hutan dan lingkungan.Bertumpu pada otonomi daerah.

6. Dengan karakteristik seperti itu, barulah dapat dinyatakan sebagai pembangunan kehutanan yang bersifat partisipatif.Pengertian 'partisipatif' dimaksud, bahwa masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan mendapatkan kesempatanseluas-luasnya untuk menganalisis kehidupannya sendiri, sehingga mereka secara bertahap mampu menentukan rencanakegiatannya, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasinya secara mandiri, termasuk pengambilan keputusan di setiaptahap kegiatan.

7. Untuk terselenggaranya pembangunan kehutanan partisipatif memerlukan perubahan yang mendasar dalam perumusankebijakan, yaitu antara lain :

Pengambilan keputusan bersifat terdesentralisasi di masyarakat, sesuai potensi dan masalah masing-masing desa yangberada di dalam dan di sekitar kawasan hutan.Pendekatan pembangunan, dari “ yang berawal dari pemerintah dan berakhir pada petani, menjadi “yang berawal dan berakhir pada petani di dalam dan di sekitar kawasan hutan.Model pelaksanaan pembangunan, dari alih teknologi dibebankan kepada para petugas lapangan yang bersifatmenjadi proses berbagi pengetahuan, pengalaman, penemuan, dan ketrampilan yang bersifat interaktif.Strategi pembangunan, dari bersifat penyeragaman menjadi bertumpu pada potensi dan kebutuhan masyarakat desasetempat ( ).Sumber informasi dan teknologi, dari mengandalkan pada lembaga-lembaga pemerintah yang terbatas, menjadibersumber lebih luas yaitu dari sesama petani, dunia usaha, LSM, lembaga pendidikan, lembaga penyuluhan dan pusat-pusat penelitian.Peran para petugas lapangan ( PKL, PPL, POLHUT, PEH ), dari mengajar/melatih menjadi fasilitator dan berfungsisebagai pendamping dan dinamisator masyarakat pada proses penyuluhan kehutanan partisipatif yang dilakukan sendirioleh masyarakat desa setempatMetode pelatihan, dari bentuk ceramah dan demonstrasi dengan pola “ menjadi belajar bersamamelalui pengalaman dan penemuan dengan pola “ .Program pembangunan kehutanan, dari berorientasi sektor menjadi program terpadu ( kehutanan, pertanian tanamanpangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan ) dan memfokuskan perhatian pada kebutuhan para petanidan keluarganya ( bapak, ibu, anak ), khususnya keluarga petani miskin.

Natural Resource Management III Project/USAID

community based development enabling

prime mover of forestry development

“farmer last-top down” “farmer first-bottom up”.

top down and farmer last” government to farmer”

(indigenous knowledge) net working)

top-down” bottom-up”

linier,

local specific

government to farmer”farmer to farmer”

§

§

§

§

§

§

§

§

§

§

§

§

§

.

Oleh :Haris Surono Wardi Atmodjo *)

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

17

Nomor 02, Juni 2006

Penyuluhan Kehutanan Partisipatif

Proses Pemberdayaan Masyarakat Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan.

1. Sasaran pembangunan kehutanan berbeda dengan pembangunan pertanian pada umumnya. Pembangunan kehutananseharusnya berfokus kepada masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Masyarakat desa yang umumnyapetani dimaksud berada pada tatanan struktur sosial tertentu, dan interaksi dengan lingkungannya (termasuk dengankawasan hutan) akan mempengaruhi sistem usaha tani mereka. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan seharusnyadiarahkan pada upaya untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola usaha taninya, di dalam suatu sistempengelolaan hutan yang lestari, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.

2. Agar masyarakat desa dimaksud benar-benar mampu sebagai pelaku dan penggerak utama pembangunan kehutanan,maka mereka perlu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengembangkan potensinya gunamemecahkan berbagai permasalahan usaha taninya, sehingga akan terwujud kemandirian masyarakat yang bersangkutan.Dengan kata lain, proses pemberdayaan masyarakat Desa di dalam dan di sekitar kawasan menjadi “kata kunci”nya, dan halini benar-benar perlu diperhatikan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

3. Proses pemberdayaan masyarakat desa dimaksud, akan mencapai tujuan dan sasarannya, apabila didukung olehpenyelenggaraan penyuluhan yang bersifat partisipatif. Penyuluhan kehutanan itu sendiri, tidak lain adalah merupakanproses pemberdayaan guna meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakatsehingga menjadi tahu, mau dan mampu melakukan kegiatan pembangunan kehutanan untuk meningkatkan pendapatandan kesejahteraannya.

Proses pemberdayaan masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan ( baik hutan konservasi, hutan lindung maupunhutan produksi ) dapat digambarkan sebagaimana terlampir, yaitu dengan urutan kegiatan sebagai berikut :(1) Pelatihan Calon Fasilitator Pengkajian Desa Secara Partisipatif ( , dengan peserta :

Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Polisi Kehutanan (POLHUT), dan PengendaliEkosistem Hutan (PEH) yang akan ditugaskan sebagai tenaga penyuluh. Para fasilitator pelatihan ini yaitu : PenyuluhKehutananAhli (PKA) dan Penyuluh PertanianAhli (PPA), yang telah memahami proses PRA.

(2) Pelaksanaan PRA oleh masyarakat desa itu sendiri; kegiatan ini dilakukan oleh Tim PRA yang terdiri dari parapemuda/pemudi dan tokoh-tokoh masyarakat. Para fasilitator : PKL, PPL, POLHUT, PEH. Hasil PRA adalah berupa : ProfilKeluarga, Profil Kelompok dan Profil Desa. Profil adalah gambaran tentang kehidupan, kebiasaan, kecenderungan,kebutuhan, potensi, masalah, dan aspirasi, baik dari keluarga, kelompok maupun masyarakat Desa.

(3) Penyusunan Rencana Usaha Keluarga (RUK), Rencana Kegiatan Kelompok (RKK), Rencana Kegiatan Desa (RKD), yangbersifat terpadu (kehutanan, pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan). Dalam RKDdisebutkan antara lain : jenis kegiatan, lokasi, waktu pelaksanaan, sumber pembiayaan, penanggungjawab, dan pengawas.

(4) Penyusunan Rencana Kegiatan Penyuluhan Desa (RKPD) yang bersifat terpadu ( kehutanan, pertanian, perikanan ).(5) Pembangunan lembaga penyuluhan/pemberdayaan Desa yang bersifat terpadu. Lembaga/organisasi ini dibentuk atau

dikembangkan berdasarkan hasil musyawarah masyarakat Desa melalui dialog multipihak. Pihak-pihak yang terkait antaralain : Kepala Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), para Kepala Dusun/Kampung, BadanPermusyawaratan Desa (BPD), PKL, PPL, POLHUT, PEH, penyuluh sektor lain, tokoh-tokoh masyarakat ( adat, wanita,pemuda, agama, pendidikan, dll. ), LSM, dunia usaha, dan Kelompok-kelompok Tani.

(6) Penyusunan Rencana Kegiatan Penyuluhan Kehutanan Desa (RKPKD), yang mendasarkan pada RKPD. Untuk tahap awalpenyusunan RKPD masih diperlukan bantuan fasilitator (PKL, PPL, POLHUT, PEH). Namun setelah itu seyogyanya benar-benar penyusunannya dilakukan oleh masyarakat Desa sendiri, dengan difasilitasi oleh pengurus dan anggota lembagapenyuluhan/pemberdayaan Desa.

(7) Penyusunan Rencana Kegiatan Penyuluhan Kehutanan tingkat Kecamatan/Kabupaten/Balai Taman Nasional/ Balai KSDA.(8) Pelaksanaan penyuluhan kehutanan.(9) Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.__________________*)

baganParticipatory Rural Appraisal - PRA )

Forester berdomisili di Bogor, tengah berupaya menjadi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Desa

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

18

Nomor 02, Juni 2006

Latar Belakang dan Tujuan

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, telah berupaya menangani permasalahan di bidang kehutanan antara laindengan menetapkan kebijakan prioritas sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 456/Menhut-VII/2004, yang menetapkan 5(lima) Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu yang akanmenjadi landasan dan pedoman bagi pemerintah pusat maupun daerah serta pelaku pembangunan kehutanan lainnya, yaitu: 1)Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, 2) Revitalisasi sektor kehutanan khususnyaindustri kehutanan, 3) Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, 4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dansekitar kawasan hutan, serta 5) Pemantapan Kawasan Hutan.Secara nasional, Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan danKehutanan dalam rangka mewujudkan ' bidang ekonomi pemerintahan Indonesia Bersatu SBY-JK, yaitu: 1)Pertumbuhan 6,6 persen per tahun, 2) Menggerakkan kembali sektor riil, dan 3) Revitalisasi pertanian dan perekonomianpedesaan. Revitalisasi Pertanian Perikanan Kehutanan (RPPK) bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, mengurangipengangguran, meningkatkan daya saing usaha dan produk, membangun ketahanan pangan, membangun pedesaan,membangun daerah dan mengurangi ketimbangan antar wilayah, serta membangun kesinambungan kegiatan pertanianperikanan kehutanan berikut melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.Revitalisasi sektor kehutanan yang merupakan bagian integral dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)diarahkan untuk mempercepat terwujudnya penyelenggaraan kehutanan yang menjamin kelestarian hutan bagi kemakmuranrakyat serta untuk membangun kondisi industri kehutanan untuk berperan kembali sebagai salah satu penggerak perekonomiannasional melalui Pengelolaan Hutan Lestari, yang dicirikan pada beberapa indikator:

Untuk menjalankan revitalisasi sektor kehutanan, dukungan dan komitmen para pihak di sektor kehutanan maupun sektor-sektorterkait memegang peranan penting dan strategis. Sejalan dengan hal tersebut, untuk mengembangkan komitmen danterumuskannya arah dan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan yang lebih komprehensif, rasional dan layak untukdiimplementasikan, maka telah dialog dan workshop

revitalisasi sektor kehutanan dengan tema

Tujuan penyelenggaraan dimaksud adalah untuk : 1). Memperoleh gambaran obyektif mengenai situasi dan kondisi sertapermasalahan dalam penyelenggaraan kehutanan; 2) Merumuskan arah dan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan khususnyapada pengembangan beberapa komoditi strategis kehutanan; 3). Merumuskan investasi dan pembiayaan serta infrastruktur yangdibutuhkan dan insentif teknis maupun regulasi yang dapat mendorong revitalisasi sektor kehutanan ; 4). Membangun komunikasi,kesepahaman dan komitmen para pihak untuk mewujudkan langkah-langkah revitalisasi sektor kehutanan.Adapun hasil yang diharapkan adalah : 1). Informasi potensi dan kondisi sektor kehutanan di 19 Provinsi; 2). Arah dan kebijakanrevitalisasi sektor kehutanan ; 3). Rencana investasi dan pembiayaan, kebutuhan infrastruktur dan insentif teknis dan regulasiyang dikembangkan bagi revitalisasi sektor kehutanan; 4). Komitmen dan rekomendasi para pihak untuk mewujudkan revitalisasisektor kehutanan.

Pelaksanaan kegiatan Dialog dan Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan berlangsung selama 1 (satu) hari tanggal 19 April2006. Dialog dilaksanakan secara terbatas di Ruang Rapat Utama Dephut Blok I Lantai IV yang dihadiri oleh Menteri Kehutanan,Menteri Dalam Negeri, Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi terkait, Eselon I lingkup Dephut, Direktur Utama BUMNKehutanan, dan beberapa asosiasi. Sedangkan Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan dilaksanakan di Hotel Sahid Jaya, JalanJenderal Sudirman Kav. 86, Jakarta Pusat. Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan dilaksanakan setelah dialog dan dihadiri oleh182 orang pesertaDiskusi melibatkan sekitar 182 peserta yang meliputi 19 Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, unsur Eselon I lingkupDepartemen Kehutanan, departemen/instansi terkait, beberapa fakultas kehutanan, LSM, beberapa donor, asosiasi dan swastakehutanan, dengan perincian sebagai berikut :

Proses Dialog dan Diskusi meliputi berbagai tahapan :Dialog diawali sambutan oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri.Setelah sambutan dilanjutkan dialog langsung antara Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri dengan 19 Gubernur danKepala Dinas Kehutanan Provinsi terkait Revitalisasi Sektor KehutananSetelah istirahat acara dilanjutkan dengan workshop di Hotel Sahid Jaya yang didahului presentasi tentang Kebijakan danStrategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Infrastruktur RPPK oleh Kantor Menko perekonomiandan presentasi Kepala Badan Planologi Kehutanan tentang Kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan.Presentasi oleh Gubernur dan diskusi kelompok.Diskusi kelompok diakhiri dengan penyusunan rangkuman hasil diskusi dan perumusan kelompok, oleh Tim PerumusKelompok.Rangkuman hasil diskusi kelompok dan rumusan kelompok dipaparkan secara terbuka pada pleno, selanjutnya dibahasdalam diskusi dan dilanjutkan dengan perumusan/rekomendasi akhir.Penutupan oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.

Tripple Strategy'

Nilai tambah industri kehutanan, Penyerapantenaga kerja, Peningkatan devisa, Peningkatan ekonomi wilayah, Kesejahteraan masyarakat, Efisien dan kompetitif, Perbaikankoalitas SDH.

Departemen Kehutanan melalui Badan Planologi Kehutanan menyelenggarakan

: “ Melalui pengelolaan Hutan Lestari dapat mempercepat terwujudnya penyelenggaraankehutanan yang menjamin kelestarian hutan bagi kemakmuran rakyat serta untuk membangun kondisi industri kehutanan sebagai salahsatu penggerak perekonomian nasional “

Pelaksanaan

·

·

·

·

·

·

·

PELAKSANAAN DAN HASIL RUMUSAN :

DIALOG DAN WORKSHOP

REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN

Dirangkum Oleh : Tedi Setiadi *)

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

19

Nomor 02, Juni 2006

RUMUSAN DIALOG DAN WORKSHOP REVITALISASI SEKTOR KEHUTANANMemperhatikan arahan Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri, butir-butir dialog Menteri Kehutanan dan Menteri DalamNegeri dengan 19 Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi yang mengurusi Kehutanan, paparan Deputi II Kantor MenkoBidang Perekonomian, paparan Kepala Badan Planologi Kehutanan, paparan Gubernur, dan hasil diskusi kelompok, maka telahtersusun rumusan hasil pertemuan yaitu sebagai berikut :

1. Sumberdaya hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesiamerupakan sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat yang patut disyukuri, dipertahankan keberadaandan daya dukungnya secara optimal serta diurus dengan akhlak mulia.

2. Selama tiga dekade pada era ORBA sektor kehutanan mempunyai kontribusi nyata sebagai salah satu penggerakperekonomian nasional. Peran tersebut kini meredup, seiring semakin kompleksnya permasalahan dan kejahatankehutanan yang menghancurkan SDH. Saat ini kondisi kawasan hutan sangat memprihatinkan dengan laju deforestasi yangtinggi sehingga menjadi perhatian masyarakat internasional.

3. Sektor Pertanian, Perikanan dan Kehutanan masih menjadi tumpuan dalam pembangunan nasional karena kontribusinyayang nyata (signifikan) pada Produk Domestik Bruto (PDB) termasuk perannya dalam penyerapan tenaga kerja, devisanegara dan pertumbuhan serta pembangunan ekonomi wilayah. Untuk meningkatkan kembali peran ketiga sektor tersebut,Pemerintah telah mencanangkan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada 11 Juni 2005 di Jatiluhur -Jawa Barat.

4. Memahami kondisi dan permasalahan di sektor kehutanan serta dalam rangka memanfaatkan momentum RevitalisasiPertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), peserta dialog dan workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan sepakat untukbekerjasama membangun sektor kehutanan yang kokoh, sekaligus mendukung terwujudnya BidangEkonomi Kabinet Indonesia Bersatu (pertumbuhan 6,6% per tahun, menggerakkan kembali sektor riil, revitalisasi pertaniandan perekonomian pedesaan).

5. Sebagai bagian integral dari RPPK Nasional, Revitalisasi Sektor Kehutanan diarahkan untuk membangun industri kehutananagar berperan kembali sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional yang dicirikan oleh peningkatan nilai tambahindustri kehutanan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa dan peran dalam ekonomi wilayah, kesejahteraanmasyarakat, efisiensi, kompetitif dan perbaikan kualitas SDH.

6. Revitalisasi Sektor Kehutanan merupakan kebijakan tepat dan didukung alasan :a. Menurunnya peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional yang pada Era ORBAmenjadi salah satu penggerak

perekonomian nasional.b. Kawasan hutan seluas 120,35 juta ha, merupakan sumberdaya yang kaya akan keanekaragaman hayati dan

mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan.c. Permintaan pasar (lokal dan global) terhadap produk industri hasil hutan cenderung meningkat.d. Industri hasil hutan Indonesia cukup kompetitif dan dapat bersaing di pasar global (mempunyai daya saing yang tinggi).e. Luasnya kawasan hutan yang perlu direhabilitasi dikhawatirkan berdampak negatif pada lingkungan hidup dan

kehidupan sosekbud masyarakat.f. Terdapat sekitar 48,8 juta orang hidup di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang diantaranya miskin yang

berdampak pada kelestarian hutang. Secara global, hutan Indonesia merupakan faktor penting yang menjadi salah satu perhatian utama (sektor kehutanan

pekat dengan unsur politis).

7. Tiga jenis komoditi sektor kehutanan yang akan dikembangkan dalam rangka Revitalisasi Sektor Kehutanan adalah

pembangunan hutan tanaman, termasuk hutan tanaman rakyat (seluas 5 juta ha), pengembangan hasil hutan non kayu serta

pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam.

8. Untuk mewujudnya tujuan revitalisasi sektor kehutanan, diperlukan investasi (pemerintah dan swasta) serta dukunganinfrastruktur yang layak. Mengingat keterbatasan anggaran Pemerintah (APBN dan APBD), maka perlu keterlibatan investorsecara nyata. Untuk itu perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif agar mendorong investor masuk. Beberapa langkahstrategis yang perlu dilakukan secara sinergi antara Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah adalah :a. Menyusun kebijakan yang akrab pada investor ( . Sejalan hal tersebut, perlu dilakukan legal audit dan

revisi beberapa peraturan perundangan yang menghambat investasi dan pemberdayaan masyarakat al. PP No.34/2002, PP 18/1994, PP 68/1994, PP No. 35/2002, Permen/Kepmen turunan dari PP tersebut serta peraturan yangditerbitkan daerah (Perda).

b. Segera menyusun lokasi pembangunan hutan tanaman (termasuk hutan tanaman rakyat), pengembangan hasil hutannon kayu dan jasa lingkungan/wisata alam termasuk infrastruktur dan biaya yang dibutuhkan.

c. Menyusun kebijakan pemantapan kawasan hutan sebagai prakondisi untuk menjamin keberlangsungan usaha. Untukitu pemerintah Pusat dan Daerah akan mendorong terwujudnya pengelolaan kawasan hutan yang lestari dalam bentukKesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sesuai dengan fungsinya.

d. Pembangunan hutan tanaman diarahkan melibatkan masyarakat secara optimal melalui hutan tanaman rakyat. Darisisa target hutan tanaman yang belum terbangun (sampai 2009) sekitar 2,5 juta ha, minimal 50% diusahakan oleh ataubersama rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

e. Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah akan mencabut ijin pelepasan kawasan hutan untukkegiatan perkebunan yang tidak dikembangkan sehingga menjadi lahan tidur dan akan melelang (memberikan) kepadapihak yang serius untuk mengusahakannya.

f. Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah perlu mengalokasikan anggaran untuk kegiatan yang bersifatprakondisi pada lokasi yang akan dikembangkan guna menarik investor menanamkan modalnya. Sinergi anggarandapat dilakukan melalui diskusi maupun pertemuan seperti Rakorenbanghutda, Rakoreg, Rakontek, Musrebang,Rakernas, dsb.

g. Dana Reboisasi perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pembangunan hutan oleh karena itu upayapembentukan lembaga keuangan alternatif (LKA) untuk mengelola Dana Reboisasi guna membiayai pembangunanhutan perlu segera direalisasikan.

h. Penjabaran UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam bentuk PP sebagai pengganti PP No. 25 tahun2000 khususnya menyangkut penanganan urusan (wewenang) perlu diupayakan untuk segera diterbitkan sebagaipegangan bagi para pihak di Pusat dan Daerah.

9. Untuk memberikan arah pembangunan sektor kehutanan khususnya kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan, perludisusun dan Kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan yang disepakati para pihak. Disamping itu perlu upayauntuk meningkatkan komunikasi antara Pusat dan Daerah, mendorong serta memfasilitasi penguatankelembagaan dan kualitas SDM kehutanan di daerah serta meningkatkan koordinasi lintas sektor dan parapihak.

Tripple Strategy

investor friendly)

blue print(networking)

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

20

Nomor 02, Juni 2006

Dampak Aksi Boikot Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia:Analisis Simulasi Tekanan Internasional

Oleh: Bambang Widyantoro *)

Tujuan paper ini adalah untuk menganalisis tekanan internasional berupa aksi boikot ekspor pulp dan kertas Indonesia. Denganmenggunakan analisis ekonometrik persamaan simultan. Model disusun dengan 40 persamaan, diolah dengan SAS metode 2-SLS.Hasilnya, industri pulp Indonesia akan defisit sekitar Rp300 miliar per tahun. Devisa pulp dan kertas turun rata-rata US$83 juta, provisi danpajak juga turun Rp120 miliar per tahun. Produsen BBS dan kertas masih mendapatkan surplus. Secara keseluruhan tidak menurunkankesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk menghindari aksi boikot, Indonesia perlu berbenah dalam pengelolaan hutan, kilangpulp dankertas. Sudah saatnya diperlukan sertifikasi yang mencerminkan adanya kelola ekonomi, sosial dan lingkungan.

I. Pendahuluan

II. Metoda

III. Hasil-hasil Kajian

3.1. Perubahan dalam Sektor Bahan Baku Serpih

Indonesia saat ini berturut-turut menempati posisi ke-9 dan ke-12 sebagai negara pengekspor pulp dan kertas terbesar

dunia. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata ekspor pulp dan kertas mencapai berturut-turut sebesar 1.6 juta ton dan 1.7 juta ton

(APPI, 2005) Negara pengimpor pulp Indonesia terbesar adalah China, disusul Jepang dan Korea Selatan. Industri pulp dan

kertas Indonesia akan menjadi andalan ekspor di masa mendatang (Ibnusantoso, 1999). Namun, hingga saat ini terdapat

ganjalan adanya isu boikot ekspor pulp dan kertas yang dimotori oleh Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika Utara (ADB,

2000). Perkembangan kini bahwa negara-negara Amerika Utara sedang mengalami penurunan yang drastis akibat kurangnya

ketersediaan BBS untuk input kilangpulp.Ancaman boikot bisa saja menjadi kenyataan yang akhirnya akan merugikan industri pulp dan kertas Indonesia.

Masalah ini harus diantisipasi oleh perusahaan-perusahaan dan Pemerintah agar tidak memperoleh dampak negatif.

Kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akan dianalisa dengan menggunakan ekonometrik. Analisa selanjutnya adalah

pada perubahan-perubahan ukuran kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia, meliputi perubahan-perubahan terhadap

surplus produsen dan surplus konsumen. Perubahan lainnya juga diukur terhadap penerimaan negara (devisa), provisi

sumberdaya hutan (PSDH) dan pajak-pajak pemerintah.

Data seri diperoleh dari berbagai sumber, seperti BPS, Departemen Kehutanan dan FAO, sejak tahun 1984-2005

(selama 22 tahun). Metoda analisa yang digunakan adalah ekonometrik dengan persamaan dinamis dan simultan. Terdapat 40

persamaan struktural yang terdiri dari 25 persamaan perilaku,10 persamaan identitas, 5 persamaan instrumen kebijakan.Pengolahan data dengan menggunakan (2-SLS) untuk mengurangi bias nilai residualnya

(Sinaga, 1985). Program software SAS digunakan untuk mempermudah operasi pengolahan data.

Hipotesis diuji dengan uji statistik yang meliputi uji heteroskedastisitas, multikolinieritas, auto-korelasi dan bentuk fungsi

persamaan-persamaan dalam konstruksi model (Koutsoyiannis, 1977).Untuk menganalisis perubahan kesejahteraan digunakan analisis surplus produsen dan konsumen setiap sektor.

Perubahan diukur menurut naik-turunnya indikator tersebut dibanding dengan nilai dasar sebelum dilakukan simulasi. Hasilnya

dituangkan dalam tabel-tabel yang merupakan hasil kajian setiap sektor dan produk pulp dan kertas.

Jika aksi boikot ekspor pulp (bubur kertas) Indonesia yang dimotori oleh Jepang benar-benar terjadi, maka Indonesia

akan merugi ( ): surplus produsen dan penerimaan total industri pulp menurun berturut-turut sebesar Rp302 miliar dan

Rp710 miliar per tahun. Jumlah ini mewakili transfer pendapatan implisit dari konsumen bahan baku serpih (pengolah domestik)

terhadap produsen bahan baku serpih (perusahaan atau HTI-pulp').Tidak saja industri pulp yang terkena dampak negatif dari aksi boikot tersebut, namun juga penerimaan negara berupa

devisa yang berasal dari ekspor pulp dan pajak/provisi sumberdaya hutan turun berturut-turut sekitar US$12.35 juta (= Rp110

miliar, kurs 1 US$ = Rp9000,-) dan Rp120.31 miliar per tahun. Sektor BBS dan kertas masih memperoleh surplus, hanya karena

konsumsi domestik BBS dan kertas yang meningkat.Dampak negatif terbesar tampaknya pada industri pulp. Di Indonesia terdapat 10 unit kilangpulp dengan kapasitas

produksi yang bervariasi, yaitu antara 40 ribu ton hingga 1 juta ton pulp per tahun. Jadi, rata-rata setiap perusahaan pulp di

Indonesia akan menderita penurunan surplus produsen dan penerimaan total berturut-turut Rp30 miliar dan Rp70 miliar. Jika nilai

ini 1% saja dapat ditransfer ke unit HTI-pulp sebagai sumber bahan-bakunya, maka hanya Rp300 juta untuk menghindari

kemungkinan aksi boikot tersebut. Kerugian ini tidak main-main karena andalan ekspor hasil olah kayu kecil dari Indonesia di

masa depan tertumpu pada komoditas ini.

Pemboikotan tersebut tidak merubah Indonesia dalam memproduksi bahan baku serpih dari HTI-pulp dan HA, bahkan

naik, yaitu pada produksi rata-rata 15.5 juta ton, walaupun harga bahan baku serpih mencapai US$30/ton (f.o.b) dan sejumlah

produksi ini disuplai untuk kilangpulp.

two-stage least squares

(Statistical Analysis System)

losses

small logs

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

21

Nomor 02, Juni 2006

Perubahan pada kuantitas BBS yang diproduksi tidak menyebabkan perubahan konsumsi BBS untuk kilangpulp, yaitu sebesar

14.8 juta ton, namun untuk penggunaan lain naik menjadi 700 ribu ton (2.75%). Pemboikotan mengakibatkan perubahan

kebijakan produksi dan suplai di dalam negeri karena kebutuhan akan pulp dan kertas domestik relatif besar dan belum

seluruhnya dapat dipenuhi, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Perubahan yang ada adalah menurunkan produksi pulp menjadi sebesar 4.5 juta ton (7.1%). Ini disebabkan terutama

oleh 'keterpaksaan' perusahaan untuk menurunkan produksi pulp yang sebagian besar diekspor. Di lain pihak, produksi kertas

naik menjadi sebesar 6.4 juta ton (21.25%) karena tuntutan pabrik yang harus tetap berproduksi. Tambahan pulp sebagai input,

terutama dari impor pulp meningkat menjadi 2.1 juta ton (167.92 %) dan impor kertas bekas turun menjadi 1.58 juta ton (3.70%).Volume suplai pulp dalam pasar domestik turun menjadi 2.7 juta ton (10.10%) dan ekspor pulp dari Indonesia turun

sedikit, yaitu menjadi sebesar 1.5 juta ton ton (2.57%). Di lain pihak, suplai kertas dalam pasar domestik tetap, yaitu 4.8 juta ton

dan ekspor kertas dari Indonesia turun, yaitu menjadi 1.6 juta ton ton (9.87%). Hasil-hasil tersebut memberikan sinyal yang kuat

bahwa dengan adanya pemboikotan, maka baik suplai pulp maupun kertas lebih ditujukan untuk pasar domestik.

Tabel 1. Perubahan Rata-rata yang Disebabkan oleh Pemboikotan Ekspor Pulp dan KertasIndonesia, Tahun Simulasi 1995-2005

3.2. Perubahan dalam Sektor Pulp dan Kertas

Tabel 2. Perubahan Rata-rata pada Surplus Produsen, Penerimaan Total, Penerimaan Pemerintah,

Dan Devisa akibat Pemboikotan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005.

Tabel 3. Perubahan Rata-rata dalam Surplus Konsumen dan Pengeluaran Konsumen akibat Pemboikotan

Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005

PRODUKU R A I A N

(Unit)BBS Pulp Kertas

BekasKertas

Harga ekspor (US$/ton) 0 454 0 680Harga domestik (1000 Rp/ton) 279 3 520 50 5 570Intervensi harga Domestik (%) 30 -5 0 -12Produksi (1000 ton) 15 500 4 500 1 650 6 408Kuantitas ekspor (1000 ton) 0 1 120 0 1 610Suplai domestik (1000 ton) 15 500 2 380 1 650 3 798Konsumsi (1000 ton)

KilangpulpKilangkertasLainnyaAkhir

14 8000

7000

02 380

00

04 230

00

00

8402 958

Impor (1000 ton) 0 2 130 1 580 0

PERUBAHAN DALAMSurplus

ProdusenPenerimaan

TotalPenerimaanProvisi dan

Pajak

PenerimaanDevisaPRODUK

----------------- (Miliar Rp) --------------- (Juta US $)Bahan Baku Serpih 891.38 693.49 120.31 0Pulp -302.55 -710.95 -61.19 -12.35Kertas 48.31 851.86 385.19 -71.63Kertas Bekas -5.75 -2.79 -0.08 0

J u m l a h 631.39 831.61 404.22 -83.98

PERUBAHAN DALAMSurplus

KonsumenPengeluaran

KonsumsiPRODUK

----------------- (Miliar Rp) ----------------BBS untuk kilangpulp -661.26 665.38Pulp untuk kilangkertas 173.75 1 514.70Kertas 21.65 -543.09Kertas Bekas untuk kilang-kertas -3.18 -1.48

J u m l a h -469.04 2 721.70

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

22

Nomor 02, Juni 2006

3.3. Perubahan Harga

3.4. Provisi Sumberdaya Hutan dan Pajak

3.5. Perolehan Devisa

3.6. Manfaat dan Kerugian

I

4.1. Kesimpulan

Harga ekspor pulp dan kertas turun tajam, yaitu menjadi berturut-turut sebesar sekitar US$454/ton dan US$680/ton,

karena bergesernya suplai ekspor pulp dan kertas Indonesia. Dalam pasar domestik, harga pulp turun hampir sebesar Rp120

000/ton sebagai akibat perluasan atau ekspansi dalam suplai pulp yang diikuti oleh kontraksi permintaan pulp. Konsekuensinya

adalah dengan meningkatkan konsumsi pulp sebesar 1.4 juta ton (41.63%), atau menjadi 2 380 ribu ton. Harga kertas domestik

naik sebesar Rp15 000/ton, hal ini diakibatkan oleh adanya pergeseran/ekspansi permintaan kertas domestik. Konsekuensinya

adalah dengan meningkatkan konsumsi kertas rata-rata sebesar 520 ribu ton, sehingga konsumsi kertas naik menjadi sebesar 2

958 ribu ton (15.9%).Seperti halnya pada pasar BBS, perubahan harga pulp dalam pasar domestik dan dunia direfleksikan oleh kenaikan

dalam tingkat intervensi harga sekitar Rp120 000/ton. Turunnya harga ekspor pulp yang diukur dalam nilai uang domestik tidak

secara penuh dikompensasikan oleh tingkat intervensi dalam pasar pulp seperti yang diindikasikan oleh turunnya harga pulp

domestik. Turunnya harga ekspor kertas yang diukur dalam nilai uang domestik dikompensasikan dengan kenaikan konsumsi

domestik yang lebih tinggi.

Penerimaan provisi sumberdaya hutan dan pajak pada periode simulasi naik rata-rata sebesar Rp404.22 miliar per

tahun, yang terdiri atas sektor BBS naik sebesarRp120.31 miliar, dari sektor pulp turun sebesar Rp61.19 miliar, kertas naik

sebesar Rp385.19 miliar, dan dari sektor kertas bekas turun sebesar Rp0.08 miliar per tahun. Ini mengindikasikan bahwa

penurunan pajak dan provisi sumberdaya hutan dari sektor pulp dan kertas dikompensasikan oleh penerimaan pajak dari sektor

BBS dan kertas bekas.Tampak bahwa tekanan internasional ini tidak merugikan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Namun diperkirakan lambat laun akan memperoleh dampak negatif, ketika konsumsi domestik pulp dan kertas mengalami

kejenuhan. Memang, kondisi saat ini permintaan di pasar domestik masih besar.

Kontraksi dalam suplai pulp dan kertas ekspor menghasilkan penurunan devisa dari ekspor produk olahan (pulp dan

kertas) sebesar US$79.98 juta, yang terdiri dari ekspor pulp yang turun sebesar US$12.35 juta dan dari ekspor kertas naik

sebesar US$71.63 juta per tahun. Turunnya penerimaan devisa dari sektor kertas diakibatkan oleh kontraksi suplai kertas ekspor

dan kenaikan harga eskpor. Di sini tampak bahwa tekanan internasional sangat merugikan terutama pada sektor ekspor pulp dan

kertas.

Produksi bahan baku serpih menjadi lebih tinggi setelah adanya pemboikotan pulp dan kertas, dengan tetap

mendasarkan pada penetapan kenaikan harga bahan baku serpih sebesar 30% dan penurunan harga pulp sebesar 5%. Jadi,

perusahaan bahan baku serpih memperoleh manfaat dari kondisi ini, diindikasikan oleh naiknya produsen

surplus dan penerimaan total rata-rata berturut-turut sebesar Rp691.38 miliar dan Rp693.49 miliar per tahun. Sebaliknya,

kilangpulp domestik menderita kerugian, diindikasikan oleh turunnya surplus produsen dan penerimaan total berturut-turut

sebesar Rp252.55 miliar dan Rp611.95 miliar per tahun. Di pihak lain, kilang-kertas memperoleh manfaat dengan memperoleh

tambahan produsen surplus dan penerimaan total berturut-turut sebesar Rp28.31 miliar dan sebesar Rp2 851.86 miliar per tahun.

Di sisi lain, sektor kertas bekas menderita kerugian ( ), diindikasikan dengan turunnya produsen surplus yaitu sebesar

Rp1.75, sedangkan penerimaan total naik sebesar Rp0.79 miliar per tahun.Pada sisi konsumen, kilangpulp menderita kerugian yang diindikasikan dengan turunnya surplus konsumen rata-rata

sebesar Rp661.26 miliar per tahun, yang dihasilkan dari kombinasi harga dan tingkat konsumsi yang lebih tinggi pada bahan baku

serpih. Jumlah ini mewakili transfer pendapatan implisit dari konsumen bahan baku serpih (pengolah domestik) terhadap

produsen bahan baku serpih (perusahaan ). Kilangkertas memperoleh manfaat, yaitu dengan naiknya surplus

konsumen kertas sebesar Rp173.75 miliar, sedangkan dari sektor kertas bekas menderita kerugian, yaitu surplus konsumen

turun sebesar Rp3.18 miliar per tahun. Di lain pihak, konsumen kertas domestik masih memperoleh manfaat dengan naiknya

surplus konsumen sebesar Rp21.65 miliar. Dengan demikian, manfaat bersih dari kondisi ini turun rata-rata sebesar Rp469.04

miliar per tahun, berarti bahwa kerugian yang diderita oleh kilangpulp dan konsumen kertas bekas (kilangkertas) tidak

terkompensasikan oleh naiknya surplus konsumen yang diperoleh dari sektor lain.

Pemboikotan ekspor pulp dan kertas yang dimotori oleh secara umum mengkasilkan gambaran ekonomi domestik

yang masih baik. Produksi BBS belum sesuai yang diharapkan, karena tidak seluruh hasil produksi dapat dikonsumsi oleh

kilangpulp dan masih ada untuk penggunaan lain yang cukup besar. Dalam kondisi ini, kilangpulp adalah yang paling menderita;

terjadi penurunan surplus konsumen dan penerimaan total yang cukup besar.

(Gains) (Losses)

(small logs) (gains)

losses

small logs

V. Kesimpulan dan Saran

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

23

Nomor 02, Juni 2006

Sektor BBS dan kertas tidak banyak terpengaruh dengan adanya pemboikotan pulp dan kertas, karena baik konsumsi

dan produksi produk ini masih memperoleh manfaat dengan naiknya masing-masing ukuran kesejahteraan tersebut.Pengaruh stimulatif pada produksi dan suplai domestik BBS, kertas tidak cukup untuk menutupi pengaruh negatif dalam

penurunan harga domestik, walaupun terjadi ekspor pulp dan kertas ke negara selain Jepang dan Korea Selatan. Indonesia

menderita kerugian penerimaan devisa dari sektor pulp dan kertas atas pemboikotan pulp.Distribusi pendapatan tertinggi masih diterima oleh produsen BBS, namun kesejahteraan konsumen pulp umumnya

menurun. Dalam hal nilai, jumlah bersih kerugian yang diperoleh konsumen lebih kecil daripada manfaat

yang diperoleh produsen dan pemerintah.

Model selanjutnya dapat dikembangkan dengan memasukkan produsen pulp dan kertas negara-negara North-Scan

(Amerika Serikat, Kanada, Swedia, dan Finlandia) sebagai variable endogen dalam model. Dengan demikian, model tersebut

memungkinkan dapat menganalisa lebih tajam terhadap hubungan antar Negara-negara produsen dalam hubungannya dengan

tindakan kebijakan unilateral dan multilateral.Penelitian ini menyarankan bahwa karena industri tersebut rentan terhadap tekanan internasional, maka Pemerintah

Indonesia harus mampu mengkontrol seluruh aktivitas, termasuk praktik-praktik dan pengkelolaan industri bahan

baku serpih, pulp dan kertas. Pemerintah harus memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan kelola

peduli sosial dan lingkungan. Dorong terus pembangunan HTI, termasuk HTI-Rakyat untuk percepatan pembangunan hutan

tanaman hingga mencapai 5 juta hektar.

Latar belakang terjadinya aksi boikot ini antara lain (1) adanya pengelolaan industri pulp di Indonesia yang tidak

memperhatikan lingkungan sesuai standar ISO 140001, (2) asal bahan baku (input produksi) berupa kayu-kayu kecil ( )

dari HTI dan HA belum/tidak mengikuti pengelolaan hutan lestari ( ), dan (3) persaingan

bisnis internasional. Kita tidak perlu berdalih ini hanya persaingan bisnis. Oleh karenanya, kita harus berbenah untuk

menghadapi setiap perubahan yang menjadi tuntutan global berupa ekolabel.Tahun 2009 mereupakan batas akhir dimana pabrik pulp di Indonesia akan memperoleh bahan baku berupa kayu-kayu kecil

dari hutan alam (Departemen Kehutanan, 2005). Artinya, bahwa seluruh bahan baku pabrik pulp akan dipenuhi dari hutan

tanaman. Untuk hutan tanaman ini pun diharuskan memperoleh sertifikat 'SFM'. Adanya sertifikat hutan yang dikelola secara

lestari akan menuntun perusahaan ke arah yang lebih kokoh (handal) karena mendapat dukungan dari berbagai pihak

( ) dan lingkungannya.Terdapat beberapa sebab mengapa sertifikasi SFM di Indonesia macet, yaitu antara lain (1) para pengusaha HTI dan Hutan

Alam (HA) enggan mengurus sertifikasi karena persyaratan yang bertele-tele, (2) perusahaan yang memperoleh sertifikasi

belum memperoleh penghargaan ( ) atau insentif apapun dari Pemerintah, (3) beberapa negara pengimpor pulp dan

kertas dari Indonesia memperlakukan sama antara yang tidak ada sertifikat dan yang memperoleh sertifikat, dan (4) masalah

mendasar terhadap aspek sosial dan lingkungan sudah sejak lama belum teratasi.Lihat saja, dari sekitar 150-an HPH baru 5 HPH yang bersertifikat SFM dari LEI dan/atau FSC. Untuk perusahaan HTI yang

berjumlah 23 HTI-pulp di Indonesia baru terdapat 1 perusahaan yang memperoleh sertifikasi dari LEI. Selain itu, terdapat 3

pengelola hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) yang mendapatkan sertifikat FSC dan/atau LEI. Hal ini tentu saja

memprihatinkan sistem pengelolaan hutan di Indonesia, yang menyaratkan tiga pilar kelola, yaitu (1) ekonomi, (2) sosial, dan (3)

lingkungan. Ini yang dipersyaratkan dalam proses menuju sertifikasi 'SFM'. Sedangkan pada industri/kilangpulp dan kertas

harus memiliki ekolabel, misal ISO 14001. Unttuk masa yang akan datang, tuntutan global demikian tidak bisa dihindari lagi.

Oleh karenanya, perusahaan yang ingin mengekspor produknya ke negara-negara peduli lingkungan harus sudah memiliki

sertifikasi dari lembaga yang berkompeten.Beberapa perusahaan HPH dan HPHTI lainnya ada yang memperoleh sertifikat bukan dari lembaga independen tersebut,

sehingga tidak mempunyai pengaruh positif terhadap perolehan harga premium. Ini jelas merugikan perusahaan tersebut,

karena biaya untuk itu tidak sedikit. Untuk kasus ini, seharusnya Pemerintah menjembatani kemudahan tanpa mengabaikan

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses sertifikasi tersebut.

(gains)

(consumers' gains)

illegal logging

small logs

sustainable forest management 'SFM'

stakeholders

reward

4.2. S a r a n

4.3. Implikasi Kebijakan: Sertifikasi dan Kendalanya

Daftar Pustaka 

 

 

 

 

 

 

Asian Development Bank. 2000. Microeconamic Foundation for Indonesian Competition Law and Policy. ADB, Manila.

Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APPI). 2005. Dictionary 2005. The Indonesian Pulp and PaperAssociation (IPPA) Secretariat,

Jakarta.

FAO. 2003. Yearbook of Forest Products. FAO, Rome.

Ibnusantoso, G. 1999. Prospek dan Perkembangan Industri Pulp dan Kertas Indonesia. Departemen Perindustrian dan

Perdagangan, Jakarta.

Koutsoyiannis.A. 1977. Theory of Econemetrics. Happer and Row Publishers, Inc, London.

Maddala, G.S. 1977. Econometrics International Student Edition. McGraw-Hill Kogakusha, Tokyo.

Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis, PhD

Dissertation, University of the Philippines, Los Banos.

#*) Anggota Persaki, Doktor Ekonomi Pertanian, dan Pengajar di Beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta dan Bogor.

Nomor 02, Juni 2006

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

24

KAJIAN PENYEDERHANAAN SISTEMATIKA

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN

(SISTEM KEHUTANAN)

Oleh : Ir. H. Syaiful Ramadhan, MM *)

LATAR BELAKANG

MAKSUD DAN TUJUAN

PANDANGAN TENTANG POLAPENGELOLAAN PRA-REFORMASI

Pada era di mana populasi manusia masih di bawah ambang batas daya dukung sumberdaya alam, baru dikenalpemanfaatan terbatas (subsistence) sekedar memenuhi kebutuhan untuk survive atau dengan kata lain kebutuhan manusia masihpada tingkat yang terendah pada hierarki sesuai dengan teori Maslow, namun secara bertahap kebutuhan manusia meningkat ketingkat-tingkat yang lebih tinggi dan beragam.

Kondisi tersebut di atas berlaku umum dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan serta unsur-unsur penunjangkebutuhan, sehingga termasuk juga pada berkembangnya disiplin ilmu pengelolaan sumberdaya alam termasuk ilmu kehutanan.Berdasarkan sejarah perkembangan ilmu kehutanan, sumberdaya hutan sebagaimana yang didefinisikan Undang-Undang dankita kenali sebagai ekosistem, pada mulanya dikenal sebagai wild land yang bersiklus secara alami dalam memberikankemanfaatan pada hidup dan kehidupan makhluk lainnya. Pertumbuhan populasi penduduk tersebut, ternyata secara naluriahberkonsekuensi pada meningkatnya tuntutan keragaman dan jumlah serta mutu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh utamanyamanusia. Kondisi yang berkembang tersebut secara kodrat memaksa umat manusia untuk menggunakan sumberdaya akal dantenaga yang ada pada dirinya untuk mengadakan eksplorasi manfaat berbagai sumberdaya hutan yang tersedia di sekitarnya, baikdi daratan maupun di perairan.

Pengertian Kehutanan per-definisi adalah pengelolaan sumberdaya hutan untuk mengambil manfaatnya, sehinggaterminasi Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada hakekatnya sama dengan sistem Kehutanan.

Persepsi dan terminasi Stakeholder (pihak-pihak yang berkepentingan) atas sumberdaya, atas Daya Dukung Sumber Daya( dan keseimbangan ( ) merupakan kata-kata kunci (keywords) yang harus difaham,dihayati dan diterapkan dalam mengantisipasi kondisi paradoks antara tekanan kebutuhan manusia yang terus meningkat sejalandengan bertambahnya populasi dengan sediaan sumberdaya yang makin menipis. Terbukti sejalan dengan persepsi tersebut,gelombang reformasi yang terjadi sebagai salah satu dampak arus globalisasi pun secara mutlak menuntut penerapan norma-norma keadilan (just), kesetaraan ( , kelestarian ( ), keterbukaan dan kejujuran (transparancy and fairness)dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tuntutan-tuntutan tersebut sangatlah wajar dan layak, karena sebagai komoditisumberdaya hutan digolongkan sebagai ”Public Goods (Hak penggunaan bersama) bukan Private Goods (Hak kepemilikanpribadi)”.

Dilatar belakangi oleh uraian pemikiran di atas, maka mutlak dibutuhkan alternatif pola pengelolaan yang sistematis danefisien yang mengakomodir secara proporsional seluruh unsur teknis/norma yang dipersyaratkan oleh stakeholder.

Maksud dan tujuan penulisan kajian ini adalah dalam rangka mencari bentuk pengelolaan sumberdaya hutan yang diharapkanlebih berhasil guna dan berdaya guna secara nyata bagi pemberdayaan ekonomi rakyat di masa mendatang.

UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dengan peraturan-peraturan derivasinya, ternukti belum dapat secara ketatmengarahkan pengelolaan sumberdaya hutan yang efisien dan adil, sehingga masih diperlukan langkah penyusunanpenyempurnaannya yangAlhamdulillah pada saat ini telah disempurnakan menjadi UU No. 41 Tahun 1999.

Kondisi perekonomian RI di akhir dekade 60-an dan awal 70-an memang berkonsekuensi logis pada semua sektor pengelolasumberdaya untuk memprioritaskan upaya peningkatan kontribusi pemasukan/penerimaan negara dalam hal ini harus kita terimadengan penuh kesadaran sebagai bentuk perjuangan pembangunan demi eksisnya republik yang kita cintai ini.

Keterbatasan pengenalan secara teknis ekonomis atas segala sesuatu tentang sumberdaya hutan mengkondisikanterciptanya pola pengelolaan sumberdaya hutan yang menitikberatkan pada eksploitasi kayu (timber extracts) saja, sehinggamanfaat-manfaat lain dari fungsi hutan cenderung terabaikan. Di lain fihak eksploitasi hutan secara besar-besaran dan mekanismembutuhkan investasi yang besar dan mahal, sehingga berakibat pada terpusatnya pengelolaan sumberdaya hutan padasegelintir pemodal besar dan terbatas sampai tidak ada/hilangnya akses masyarakat setempat terhadap sumberdaya hutan.Sangatlah rasional akibat dari akumulasi penerapan pola yang berkepanjangan tersebut sudah barang tentu akhirnya bermuarapada satu pihak derasnya laju degradasi sumberdaya hutan baik kuantitatif dan di lain pihak, dampak nyata pemanfaatansumberdaya hutan terhadap khususnya masyarakat sekitar hutan serta umumnya daerah yang minim.

Tanpa mengkesampingkan kenyataan kontribusi pengelolaan sumberdaya hutan pada perekonomian nasional secara makro,yaitu sebagai sumber penerimaan devisa nomor dua setelah ekspor migas, berbagai kajian tentang pola pengelolaan sumberdayahutan era pre-reformasi menunjukkan kelemahan-kelemahan mendasar sebagai berikut :

1. Definisi SISTEM dan batas sistem pengelolaan sumberdaya hutan belum pernah ditetapkan secara tegas dan jelas. Hal iniberakibat pada tidak jelasnya penetapan batasan sub-sistem, padahal batasan tersebut sangat penting dalam rasionalisasikebijaksanaan dan dampak kebijaksanaan antar sub-sistem maupun sistem secara keseluruhan. Sebagai contoh :Keterlibatan terlampau jauh sampai dengan sub-sistem industri hulu/hilir mengakibatkan terkondisikannya sub-sistem bahanbaku/budidaya yang kurang tergarap secara baik (ctt : ungkapan keprihatinan yang sering dicetuskan bapak mantan MenhutRI Ir. H. Djamaluddin S)

2. Sebagai dampak dari kondisi pada butir 1. seringkali kebijaksanaan pengelolaan yang dikeluarkan Eselon I sebagai strukturyang mewakili sub sistem kurang memperhitungkan ekses kebijaksanaan pada sub-sistem (baca : Eselon I) yang lain, baikdari segi kesiapan, sinerjisitas.

3. Kondisi minimnya telaah/kajian kebijaksanaan dalam rangka penyempurnaannya, malah yang terjadi adalah penggantiankebijaksanaan pengelolaan tanpa dasar hasil evaluasi yang layak dari kebijaksanaan yang sedang berjalan, contoh : TPTI,TUK, TU-DR IHH.

4. Kebijaksanaan yang dikeluarkan belum mengacu pada kesimpulan hasil-hasil penelitian, sehingga penerapannya cenderungtersendat, karena kelayakan operasionalnya secara teknis masih seringkali diperdebatkan.

Carrying Capacity of Resources) equilibrium

equity) sustainability

Nomor 02, Juni 2006

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

25

5. Kerancuan kebijaksanaan juga terjadi pada tumpang tindih/ketidakjelasan pemilahan pola pengeloaan, yaitu tidak jelasantara pola investasi, pola pengusahaan, dan pola budidaya. Hal ini berdampak pada banyaknya istilah seperti HPHTI, HKM,TPTI, 5 pola kerjasama dan sebagainya yang mencerminkan kondisi tidak sistematisnya pengelolaan SDH.

6. Peraturan-peraturan yang ada, khususnya beratnya persyaratan bagi sebagian besar masyarakat untuk berperan sertadalam pengelolaan manfaat sumberdaya hutan sangat kecil atau kalaupun ada terbatas pada kegiatan konservasi yangbersifat keproyekan seperti reboisasi dan penghijauan, dimana itupun masih didominasi oleh pola top down(aspirasi/kebutuhan riel masyarakat tidak terwakili).

7. Pembuatan rencana dan atau rancangan yang kurang memperhatikan aspek keterpaduan dan keragaman (local specific)serta aspek sosial budaya sehingga cenderung membuka peluang pemborosan uang Negara. Hal ini terlihat nyata darikegiatan penatagunaan, penata batasan kawasan hutan, pembuatan pola rehabilitasi lahan dan konservasi tanah sertaderivasi rencananya seperti Rancangan Teknik Lima Tahunan dan Rencana Teknik Tahunnya yang seakan tanpa akhir,padahal setiap tahun dialokaskan anggaran negara yang relatif besar untuk kegiatan-kegiatan tersebut.

8. Kurangnya perhatian terhadap sediaan SDM yang berkualitas dan relevan dengan kegiatan yang dibutuhkan, baik daripengadaan, pengembangan maupun penempatan, padahal di awal tahun 90-an Dephut melalui Pusdiklat telah melakukankerjasama dengan konsultan PT. Hobase Delta perihal kebutuhan diklat yang salah satu butir kesimpulannya adalah belumoptimalnya pendayagunaan SDM yang tersedia akibat kelalaian dalam penempatannya.

9. Asepek yang paling akhir yang tidak kalah pentingnya adalah system tata nilai kinerja/prestasi yang cenderung menampilkanarogansi Eselon I secara intern dan arogansi sektoral secara ekstern dan berdampak pada pada rendahnya sinerjisitaspencapaian tujuan. Hal ini dapat dijelaskan secara kronologis sebagai berikut :

a. Ketika prioritas-prioritas sasaran untuk pencapaian tujuan Departemen yang ditetapkan, seharusnya sudah jelasterkondisi unit kerja/sub-sistem yang menjadi leader dan penunjang dan prioritas dan kondisi tersebut menjadi komitmendan harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.

b. Untuk menjamin terselanggaranya secara tertib/sistematis dan optimal pencapaian prioritas oleh leader dan penunjang,maka selayaknya tolok ukur penilaian kinerja leader dan penunjang harus dilihat sebagai satu kesatuan sistem yang utuh(baca : pendekatan sistem), sedangkan yang berbeda adalah indikator kinerja pada setiap sub-sistem/unit kerja.Berkaitan dengan hal tersebut, maka ketika sasaran prioritas tercapai 100 % seharusnya seluruh bagian sistemmendapat apresiasi/reward yang setara pula, sebaliknya apabila sasaran prioritas tidak tercapai maka hanya sub-sistempenyebab pokok hambatan sajalah yang terkena sanksi agar menjadi proseden dalam penerapan sistem nilai secarakonsisten.

c. Sistem tata nilai yang terkondisikan, ternyata tidak sebagaimana halnya pada butir 2, namun ketika sasaran prioritastercapai, hanya sub-sistem/Unit Kerja leader saja yang mendapat reward, sedangkan penunjang seakan tidakmempunyai peran sama sekali. Kondisi ini tidak pelak lagi memacu kompetisi yang tidak sehat antar sub-sistem, dimanatanpa mengacu pada realitas yang ada, semua pihak berebut untuk menjadi leader, hal ini barang tentu sangat merugikanproses sinergisitas pencapaian tujuan secara keseluruhan, karena demi menjadi yang ”paling utama”, prosesketerpaduan terabaikan (non visional situation).

Kalaulah boleh kita menarik kesimpulan secara makro, maka pengelolaan sumberdaya hutan pra-reformasi ”belumsistematis”, sehingga berdampak pada hilang dan rusaknya beragam fungsi dan manfaat yang seharusnya dapat lebih dinikmatiuntuk peningkatan harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan keberadaan sumberdaya hutan tersebut. Jadipertanyaan yang paling mendasar yang harus dijawab saat ini adalah :

”Bagaimana kita memberdayakan pengelola (stakeholder) dan pengelolaan sumberdaya hutan secara optimal secarasistematis dan adil, sehingga fungsi alaminya dapat termanfaatkan sepenuhnya secara proporsional bagi kesejahteraanpengelola di masa kini dan masa mendatang”.

Sejujurnya momentum gema reformasi merupakan ”trigger” sangat diharapakan untuk dapat menjadi momentum perubahanyang mendasar pada pola pengelolaan sumberdaya pengelolaan hutan. Harapan perubahan yang digambarkan oleh kondisisaat ini ternyata memberikan selain fenomena yang diharapkan juga fenomena yang kurang mendukung perubahan mendasar.Secara menyeluruh fenomena tersebut, yaitu antara lain :

a. Tumbuhnya kesadaran bersama untuk kembalinya kita kepada khittah paradigma pengelolaan sebagai interest dan carapandang yang objektif kepada sumberdaya hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelolakemanfaatannya secara penuh tanggung jawab serta memenuhi norma-norma keadilan, kesetaraan, nilai tambah,keberagaman dan kelestarian baik keberadaan sumberdata maupun kemanfaatannya.

b. Perubahan paradigma di atas berkonsekuensi pada perubahan pendekatan penguasaan/pemilikan menjadi pendekatanoptimalisasi manfaat ekonomis, ekologis dan sumberdaya hutan secara simultan dan berkelanjutan.

c. Saat ini sosialisasi pergeseran paradigma (metanoia/shifting of mind) pengelolaan sumberdaya hutan dari Timber Extractionke Nature Resources Based Management sedang berproses, malah cenderung pada situasi Revolusi dibanding situasiPembelajaran (learning process), hal ini terlihat sejalan dengan paradigma baru, maka muncullah percepatan berbagaikebijaksanaan baru yang belum terdukung secara hukum oleh aturan-aturan dalam pelaksaannya, di lain fihak terhadap sertaaturan yang tidak sejalan dengan paradigma lama atau didasarkan kebijaksanaan lama belum sepenuhnya dicabut.

d. Banyaknya pola pengelolaan yang ditawarkan dan akan diterapkan, yang cenderung menimbulkan kerancuan, karena tidaktersistematikan secara baik, sebagai contoh nyata adalah :

· Kebijaksanaan Restrukturisasi penatagunaan dan penataan lahan kawasan hutan serta pemanfaatan sumberdaya hutantidak jelas hubungannya dengan pola KPHP dan atau pola RLKT yang juga tetap diacu sebagai dasar luasan pengelolaan.

· Kebijakan Land Grant Collage sebagai upaya intensifikasi pengembangan IPTEK dan SDM, paling tidak di tingkat praktisimasih menimbulkan persepsi bersayap antara peluang kerjasam pengelolaan sebatas fee demi menambah penghasilaninstitusi Perguruan Tinggi melalui pembukaan akses pemanfaatan sumberdaya saja (catt : fenomena kegagalan HPH PT.Sylva Gama dan Sylva IPB serta Unmul berulang) yang dalam hal ini bisa disebut LHC adalah wahana pembiayaan sajaatau akan menjadi suatu pengkondisian Institusi Perguruan Tinggi menjadi Kampus Terpadu sepenuhnya melalui LGC.Ketidaktegasan kebijaksanaan sangat berdampak luas pada pertimbangan arahan kawasan peruntukan LGC, baik darisegi ekotype dominan di suatu wilayah, maupun kondisi berhutan atau tidaknya kawasan.

· Variabel pembeda kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan melalui restrukturisasi BUMN, HPH besar, sedang,

KONDISI BERJALAN SAAT INI

Nomor 02, Juni 2006

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

26

kecil, HPH masyarakat adat, HPH koperasi, HPH swasta, HPHKM (hutan kemasyarakatan), pola PIR, pola koperasi-investor, investor-koperasi, pola BTN, pola BOT yang hanya sebatas pada limitasi luasan (KPHP/RLKT/RTRWP/kriterialain ???), besaran modal kerja/investasi (apakah masyarakat/koperasi mampu memenuhi porsi kewajiban setor investasiyang menjadi bagiannya sudahkah masuk dalam pertimbangan ???)

Tidak dapat disangkal, bahwa sekelumit fenomena di atas yang belum lagi ditambah dengan penyelarasan kebijaksanaan untukmendukung otonomi/desentralisasi yang lebih luas ke Dati I/II bukanlah suatu hal yang mudah untuk diupayakan. Hal pentingyang harus digaris bawahi adalah kecenderungan terjadinya masalah yang paling mendasar di kondisi pra reformasi khususnyapoint ”sistematis” sebagaimana tersebut di atas relatif belum terjawab.

Berangkat dari kenyataan di atas, menurut hemat kami yang paling mendesak untuk diantisipasi dalam rangka penyempurnaansalah satunya adalah pembenahan pola pengelolaan dengan pendekatan sistem sebagai berikut :

1. Pada prinsipnya pada syarat layak kelola, pada setiap pengelolaan harus ada pembatasan/pendefinitifan jelas terhadap obyekkelola.

2. Berkaitan dengan butir 1 di atas, tanpa batasan yang jelas tidak akan bisa kita menetapkan pola pengelolaan secara uth danhal tersebut sudah barang tentu sangat tidak menguntungkan bagi sinerjisitas pencapaian tujuan pengelolaan. Hal inimembuka peluang tidak sinkronnya kebijaksanaan antar unsur pengelola, karena tidak ada kajian sensitifitas dampakkebijaksanaan terhadap aspek pengelolaan lainnya baik sebelum maupun ketika kebijaksanaan tersebut diterpakan.

3. Ketiadaan batasan sistem berkonsekuensi pada ketidakjelasan subsistem, memepersulit penetapan indikator untukpengukuran pencapaian dan pengawasan/pengendalian pelaksanaan guna penyempurnaan pola, karena sulit untukmendeteksi unsur/elemen mana dari sistem yang menyebabkan terjadinya hambatan pencapaian.

4. Dari runtut berfikir di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa mutlak pendefinisian sistem kehutanan beserta sub-sistemnya sebelum merancang pola pengelolaan yang mendekati efisien dan efektif sesuai tuntutan sistem dan visipengelolaan.

Pertama-tama perlu dipahami sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa sumberdaya hutan merupakan ”komoditasUmum/Public Goods Bukan Komoditas Pribadi/Privat” tidak ada seorangpun yang boleh/dapat yang mengklaim manfaatkeberadaannya hutanb bagi individu atau kelompoknya (UUD 1945 Pasal 33). Filosofi dari pemanfaatan tersebut sangat pentinguntuk dasar pemikiran maupun norma dasar pengelolaan sumberdaya hutan ditekankan bukan pada status kepemilikansumberdaya sebagai diatur dalam UU Pokok Kehutanan, bahwa hutan terdiri dari Hutan Negara dan Hutan Milik, namun padaoptimalisasi pemenfaatan akibat keberadaan sumberdaya hutan tersebut.

Berangkat dari pemahaman definisi Undang-Undang di atas maupun Ilmiah, bahwa hutan adalah suatu bentukan ekosistemberupa lapangan yang ditumbuhi pepohonan dengan segala isinya dan atau yang ditetapkan dengan peraturan per UU an sebagaihutan.

Sedangkan definisi sistem adalah kumpulan dari berbagai unsur/elemen dan subsistem yang berinteraksi serta tergantungsatu sama lain, mempunyai batas sistem dan merupakan bagian sistem yang lebih besar.

Dari definisi-definisi tersebut di atas bolehlah kita katakan, bahwa hutan diakui dan dapat berfungsi sebagai sumberdayaapabila adanya pengakuan secara hukum sebagai hutan dan dapat dikatakan sebagai sistem apabila ada kejelasanunsur/elemen, subsistem dan batas sistemnya.

Pengelolaan sumberdaya sebagai terjemahan dari istilah resource management, mengandung pengertian pemberianperlakuan dalam batas-batas tertentu terhadap suatu sumberdaya untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut dalamrangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Dari pengertian-pengertian di atas, dapatlah kita mendefinisikan, bahwa Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan adalah :”Kumpulan perlakuan terhadap sumberdaya hutan yang saling berinteraksi dan saling bergantung baik antar unsur di dalam

maupun dengan unsur di luar batas sistem”.Secara lebih jelas dan sederhana sistem pengelolaan sumberdaya hutan dapat diuraikan dalam gambaran sebagai berikut :

SUMBANGAN PEMIKIRAN PENYEDERHANAAN POLAPENGELOLAAN

DASAR PEMIKIRAN

SUMBANGAN PEMIKIRAN

1. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Sistem Kehutanan

Nomor 02, Juni 2006

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

27

Keterangan :Sub-Sistem Hulu (produksi Bahan Baku)SS I : SubSistem Budidaya (Terdiri dari elemen/Subsistem Penetaan dan Pembukaan Lahan, Pembibitan,

Penanaman, Rehabilitasi, Peremajaan, Perluasan, Penjarangan, dan Pemanenan bagi produk jasa wisata,tata air dan pelestarian plasma nutfah bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan).

SS II : SubSistem Pemasaran I (pemasaran produk fisik ; bahan baku ex hasil penjarangan dan pemanenan sertapemasaran produk : jasa)

SS III : SubSistem Pengolahan (Industri Hulu dan Industri Hilir)SS IV : SubSitem Pemasaran II (Pemasaran Ex Industri)

: Batas Sistem

Batas sistem akan ditentukan oleh luas otoritas Departemen, yaitu dapat saja cakupan sistem hanya meliputi SS I dan SS II (SSI sebagai SubSistem hulu sedangkan SS II SubSistem Hilir) yang berarti orientasi Sistem Pengelolaan dititik beratkan padatanggung jawab terpenuhinya demand bahan baku industri baik hasil hutan kayu maupun non kayu (termasuk pangan) dariaspek ekonomi dan pemenuhan fungsi hutan lainnbya seperti tata air, rekreasi dan ilmu pengetahuan, cadangan panganmaupun pertahanan.

Selain dari definisi sistem dan segala keterkaitannya dengan faktor internal dan eksternal, aspek yang sangat penting dikenalpula dalam rangka menerapkan pola pengelolaan, adalah pemahaman yang sama dari sifat komoditi yang akan dikelola yangdapat dijelaskan sebagai berikut :

Sifat Teknis Produk Kehutanan dan Perkebunan :

a. Produk sangat dominan dipengaruhi iklimb. Membutuhkan waktu relatif lamac. Irreversible (apabila sudah ditolak tidak dapat dibentuk lagi).d. Membutuhkan lahan yang relatif luas.e. Membutuhkan sarana transportasi yang cukup besar/banyak untuk pengangkutannya.f. Relatif mudah rusak/tidak tahan lama

Implikasi sifat produk terhadap resiko ekonomis :

a. Adanya faktor iklim yang tidak dapat dikendalikan dan waktu yang lama untuk berproduksi berakibat pada resikopengembalian modal tinggi.

b. Sifat mudah rusak dan tidak dapat dibentuk ulang berdampak pada resiko tinggi dalam angkutan dan pemenuhan order baru.c. Prasyarat lahan yang luas untuk ekstensifikasi di samping saprodi/teknologi tanam dan oleh produk untuk ekstensifikasi dan

diverifikasi serta sarana transportasi dan kepastian pasar membutuhkan investasi modal sekaligus labor/naker yang relatifbesar, sehingga jangka waktu pengembalian investasi secara menyeluruh relatif lama.

Potensi peluang partisipasi kemandirian rakyat dalam setiap sub sistem :

a. Sektor Jasa : Tenaga kerja, lahan, modal dan ketrampilan.b. Sektor Barang : Produk kerajinan rakyat ex limbah, produk pangan ex tumpangsari dan hutan kemasyarakatan.c. Sektor Sosbud : Budaya tanam/kultur pertanian merupakan sebagian besar mata pencaharian rakyat ( )

Berdasarkan pertimbangan berbagai aspek di atas, maka dalam rangka optimalisasi berjalannya sistem dalam mendukungtercapainya output dan outcome yang ditetapkan, mutlak diberlakukan pola atau sistem kerja yang jelas. Setiap kerancuansistem/pola mekanisme akan berakibat pada gangguan jalannya sistem sampai dengan tidak berjalannya sistem secaramenyeluruh. Selama ini sebagai akibat ketidakjelasan pendefinisian sistem kehutanan, wajar terjadi tumpang tindih sistemantara elemen/unsur/subsistem mulai dari arahan kebijaksanaan sampai dengan pelaksanaan tugas/kegiatan yang sangat tidakmendukung sinerjisitas pelaksanaan dan bermuara pada rendahnya pencapaian tujuan baik kualitas maupun kuantitas.

Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa dengan adanya kejelasan definisi sistem serta batas sistem, maka akan dapat secaramudah diidentifikasi subsistem yang sekaligus berfungsi sebagai simpul-simpul vital dari kegiatan yang berguna sebagai dasarpemikiran solusi pengelolaan sumberdaya yang paling efisien dan produktif.

Sebagaimana suatu sistem, kehutanan baru dapat dikatakan berjalan baik apabila memenuhi persyaratan, antara lain :

a. Manajemen aliran input dan aliran besaran keluaran antar subsistem tepat biaya (dihasilkan tanpa pemborosan biaya dantenaga), tepat jumlah (pemenuhan demand apat terpenuhi) tanpa pemborosan sumberdaya dan tepat waktu (sesuai musim,sesuai waktu pemenuhan pemesanan) serta tepat mutu (sesuai selera/kebutuhan konsumen/user) dan terjaminkontinuitasnya (keserasian akselerasi pembangunan hutan dengan eksploitasunya).

b. Sistem/cara pengelolaan yang digunakan maupun output sistem memenuhi aspirasi stakeholder dan stakeholder (ekologi,ekonomis dan keragaman sosial budaya) sebagai Faktor Lingkungan Sistem yang Internal dan Eksternal.

c. Kebijaksanaan, peraturan per UU an pendukung sistem, sinerjis dan tidak berdampak negatif terhadap kinerja sistem dansubsistem dalam rangka pencapaian misi, tujuan bersama.

Berangkat dari uraian berbagai kriteria menyangkut sistem dan komoditi, akhirnya kita tiba pada alternatif sistematika pola yangberlaku dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang kami beri nama Tri-Pola dan mudah-mudahan layak untuk mendukungkomoditi sumberdaya hutan baik produk fisik maupun jasa serta memberikan peluang akses yang besar bagi seluruh lapisanmasyarakat untuk menikmati hikmah keberadaan hutan, yaitu antara lain :

2. Pola Pengelolaan

ural based

GPLA

NLO

BU

LE

TIN

Halaman

28

Pelindung

Pengarah :

Pemimpin Redaksi :

Ketua :

Sekretaris :

Redaksi Pelaksana :

Editor :

Ketua :

Anggota :

Desain Grafis :

Kontributor :

:

Kepala Badan Planologi Kehutanan

Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan

Sekretaris Badan Planologi Kehutanan

Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan

Hutan Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan

Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan

Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan

Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan

Kepala Bidang StatistikKehutanan

Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.

Yuliarsyah, SP.,BSc.F.

Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism

Ade Wahyu, S.Hut.

Efsa Caesariantika, A.Md.

Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan

dan Mitra Badan Planologi Kehutanan

Tedi Setiadi, S.Hut.

Ir. Ali Djajono, M.Sc.

Ir. Watty Karyati

Ir. Euis Fatimah

Ir. Joko Kuncoro

Ir. Lilit Siswanty

Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM.

Ir. Herman Kustaryo,MM.

Ir. Endang Mahfud

Drs. Sunuprapto,MSc.

John Piter G. Lubis, S.Hut

Popi Susan ,S.Hut

DEWAN REDAKSI

MENU BULETIN

ALAMAT REDAKSIGd. Manggala Wanabakti, Blok VII Lantai 5

Jl. Jenderal Gatot Subroto, P.O.BOX 6506

JAKARTA - 10065

Telp. (021) 5720216 - Fax (021) 5730319

E-mail : [email protected]

~

~

~

~

~

~

~

~

~

~

Pengeloaan Data/Informasi Sumberdaya Hutan Pada Balai

Pemantapan Kawasan Hutan

Langkah Radikal Untuk Sebuah Profesionalisme Birokrasi

Mengenal Lebih Dekat Kedudukan Perencanaan

PBB di Kawasan Hutan Gabung Saja dengan PSDH

Pelaksanaan dan Hasil Rumusan : Dialog dan Workshop

Revitalisasi Sektor Kehutanan

Dampak Aksi Boikot Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia : Analisa

Simulasi Tekanan Internasional

Kajian Penyederhanaan Sistematika Pengelolaan Sumberdaya

Hutan (Sistem Kehutanan)

Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Industri Rakyat

Kompleksitas Persoalan Tenurial dalam Perencanaan Ruang

Kehutanan

Proses Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Dalam dan Di

Sekitar Kawasan Hutan

Nomor 02, Juni 2006

a.. Sistem Pembudidayaan Sumberdaya Hutan (Pola Budidaya)

· Penerapan kombinasi silvikultur dan budidaya antar berbagaikomoditi yang layak secara teknis, sosial budaya dan ekologis,contoh : Tumpang sari/Wana tani, Silvofishery, HutanKemasyarakatan, TPTI, TJTI, THPA dan THPB, PenangkaranSatwa, Pengelolaan Zonasi Inti Taman Nasional, PengelolaanKawasan Lindung, Budidaya Hutan Rakyat (Lahan Milik), Sistemmekanis/non mekanis

b. Sistem Pengusahaan Sumberdaya Hutan (Pola Pengusahaan)

· Penerapan bentuk hukum usaha pengelolaan hutan dan hasil hutanyang layak secara ekonomis, tata ruang, sosial budaya dan ekologis,contoh : Hak Pengusahaan Hutan Alam BUMN, Swasta, Koperasi,Masyarakat Adat, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman, HakPengusahaan Hutan Besar, Sedang dan Kecil, Hutan CadanganPangan, Pengusahaan Padat Karya/Padat Modal

c. Sistem Permodalan (Pola Investasi)

· Penerapan distribusi pemilikan/saham barang modal (CapitalGoods) yang mendukung kebijaksanaan ,seperti lahan, investasi uang, komoditas TKA dan TK lLokal antara ;PMDN-PMA, Investor Swasta/BUMN-Koperasi, Koperasi-Investor,Murni Koperasi, Murni BUMN, Murni Swasta yang akan berpengaruhpada

· Penerapan pola bagi hasil keuntungan secara proporsional dariberbagai kerjasama permodalan dan ”

dari permodalan murni kepada

o Komoditi lahan dan sumberdaya hutan adalah komoditi umum( )

o Pemanfaatan nilai tambah sebaiknya dilakukan secara simultandengan pemerataan kesempatannya.

o Monopoli pola pengusahaan sumberdaya hutan yang merupakankomoditi agribisnis mulai subsistem hulu sampai dengan pengolahan( adalah alternatif paling efisien dalam menjaminsetiap nilai tambah setiap sub-sistem akan diterima secaraproporsional oleh setiap pelaku sub-sistem melalui bagi hasil secaratransparan.

o Monopoli Permodalan (Pola Investasi Murni) merupakan alternatifterakhir apabila kerjasama permodalan sama sekali tidak mungkindiselenggarakan, namun dengan kompensasi kontribusi hasilberupa dari pemodal denganberupa ”

o Dalam penerapan pola permodalan tetap harus ada dispensasitahap subsidi silang dari modal mayoritas kepada modal minoritas.

o Unutk menjamin kesetaraan, permodalan dan sekaligus menutupkesenjangan kemampuan teknik, manajemen dan mutu SDM jugaperlu dispensasi (masa tenggang) pengembalian kredityang layak serta peran pro aktif Pemerintah dan Swasta dalampembinaan serta bimbingan dan sosialisasi pengembangan teknikserta manajemen.

Penulis berharap kajian ini dapat berkontribusi dalam penyederhanaansistem pengelolaan sumberdaya hutan dan atau setiap orang akan dapatmelihat sistem pengelolaan hutan secara lebih sistematis, sehingga setiaphambatan kinerja sistem dapat segera diketahui secara dini sekaligus jugaelemen/sub-sistem penyebab hambatan. Apapun pola yang diterapkan,menurut hemat kami kembali pada niat baik semua pihak untuk konsistendan konsekuen berorientasi pada kepentingan bersama bukan intereskelompok atau individu yang terbukti malah cenderung menimbulkankesenjangan sosial ekonomi serta kerusakan sumberdaya tanpa terkendali.

*) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan

retribusi asset secara adil

Kewajiban social cost danopprunity cost” stake holder(masyarakat/pemerintah

3. Paradigma Penerapan Sistem Pengelolaan Hutan (Tri-Pola)

Public Goods

Integrasi Vertikal)

social cost dan opportunity cost rewardgoodwill” dalam kolom Debit Neraca Perusahaan/Pemodal

tersebut.

grace period

PENUTUP

#