nitip teori normatif komunikasi massa

Upload: amin-nugroho

Post on 19-Jul-2015

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Selasa, 05 Oktober 2010TEORI NORMATIF KOMUNIKASI MASSATEORI NORMATIF KOMUNIKASI MASSA Teori normatif tentang pers mengandung beberapa pandangan tentang harapan masyarakat terhadap pers dan peran yang seharusnya dimainkan oleh pers tersebut. Meskipun setiap bangsa cenderung menganut teori normatif tersendiri yang khas dan rinci, namun masih terdapat beberapa prinsip umum yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi berbagai konsep khusus yang dianut oleh berbagai bangsa. Setiap ragam utama teori normatif ini cenderung dikaitkan dengan sistem politik/pemerintahan dimana pers tersebut menjadi subsistemnya. Dari dimensi sejarah, pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita mengenal beberapa macam teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: Teori Pers Otoriter, Teori Pers Liberal, Teori Pers Komunis, Teori Pers Tanggungjawab Sosial. Kemudian, McQuaill (1987) menambahkan lagi dengan dua teori normatif pers. Yaitu: Teori Pers Pembangunan, dan Teori Pers Demokratik-Partisipan. 1. Teori Pers Otoriter (authorian) Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini pers berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan pers. Akibatnya sistem pers sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak. Dalam sistem ini, manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan. Berdasarkan asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem kontrol yang efektif dan menggunakan pers sebagai alat penguasa. Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut: Pers seyogyanya tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang yang ada. Pers selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada. Pers seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan mayoritas. Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini. Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana. Wartawan atau ahli pers lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi persnya. Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini. Abdul Muis (2005) mengatakan bahwa negara-negara yang menganut teori pers otorian, seperti Indonesia di zaman Orde Baru, menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers dengan memberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-undang tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat signifikan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers pada waktu itu. 2. Teori Pers Liberal

Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad pencerahan). Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat libertarian ini, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham liberal memandang sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan manfaatkan akalnya. Mengenai kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiranpikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan melalui pers. Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut: Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga. Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi. Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu. Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal. Publikasi kesalahan dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan. Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi. Seyoyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan ekspor atau pengiriman atau penerimaan pesan di seluruh pelosok negeri. Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi mereka. Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal. Namun, Pers pada masa itu cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara masyarakat dan bangsa- namun dipergunakan sebagai terompet partai/golongan. Banyak surat kabar yang beredar merupakan organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu (baca Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,). Pada waktu itu, Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral (memperjuangkan kepentingan bangsa). 3. Teori Pers Komunis Teori ini berkembang pada awal abad kedua puluh sebagai akibat dari sistem komunis di Uni Soviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh teori Dialektika Hegel. Sesuai dengan sejarah kelahirannya dan pertumbuhannya yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah Pers Totalitar Soviet atau Pers Komunis Soviet. Dalam teori komunis ini, pers merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa pers harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau

partai. Tunduknya pers pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam pers, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Pers melakukan apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit negara dan partai. Yang dilakukan pers untuk mendukung komunis dan negara sosialis mwerupakan perbuatan moral, sedangkan perbuatan membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis adalah pembuatan immoral. Fungsi pers komunis ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa atau pendidikan massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara. Tunduknya pers secara total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi bahwa kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau pandangan-pandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para pembacanya. Postulat teori ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut: Pers seyogyanya melayani kepentingan dari, dan berada di bawah pengendalian, kelas pekerja. Pers seyogyanya tidak dimiliki secara pribadi. Pers harus melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan: sosialisasi terhadap norma yang diinginkan; pendidikan; informasi; motivasi; mobilisasi. Di dalam tugas menyeluruhnya bagi masyarakat, pers seyogyanya tanggap terhadap keinginan dan kebutuhan audiensnya. Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah, atu menghukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat. Pers perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan objektif tentang masyarakat dan dunia, dalam batas-batas prinsip marxisme-leninisme. Wartawan adalah profesi yang bertanggung jawab dengan tujuan dan cita-citanya, seyogyanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat. Pers hendaknya mendukung gerakan progresif di dalam dan di luar negeri. 4. Teori Pers Tanggungjawab Sosial Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori lebertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan Komisi Hutchins yang diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini dikembangkan pendapat betapa pentingnya peran pers dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, menekankan pada keharusan akan adanya tanggung jawab sosial dari setiap pers komunikasi. Para pemilik pers pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas terhadap fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna. Dalam memberikan pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka mengharapkan agar tugas-tugas yang dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsi-fungsi pers yang lain, seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian penerangan kepada masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik. Dalam mencukupi keuangan pers-pers individu tertentu, hendaknya diberikan kebebasan untuk mencari pasar. Theodore Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori tanggung jawab sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu prinsip bahwa kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern seperti sekarang ini.

Prinsip utama teori tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut: Pers seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat. Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, pers seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada. Pers sebaiknya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas eynik atau agama. Pers secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab. Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum. Wartawan dan pers profesional seyogyanya bertanggungjawab terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori Pers Tanggungjawab Sosial. Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999 yang berbunyi: Pasal 15 (3) Anggota Dewan Pers terdiri dari: a. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. (4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota. Pasal 17 (1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. 5. Teori Pers Pembangunan. Titik tolak bagi teori pembangunan yang tersendiri tentang pers ialah adanya fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang membatasi aplikasi teori lain atau yang mengurangi kemungkinan maslahatnya. Salah satu kenyataan adalah tiadanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa: infrastruktur komunikasi; ketrampilan profesional; sumber daya produksi dan budaya; audiens yang tersedia. Faktor lain, yang berhubungan, adalah ketergantungan pada dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut produk teknologi, ketrampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat sedang berkembang sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial sebagai tugas utama nasional, untuk mana semua lembaga lain harus bermuara. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara sedang berkembang menyadari keserupaan jatidiri dan kepentingan mereka dalam politik internasional. Dari berbagai kondisi tersebut muncul seperangkat harapan dan prinsip normatif tentang pers yang menyimpang dari hal-hal yang tampaknya berlaku, baik di dunia kapitalis maupun di dunia komunis. Tentu saja benar bahwa di kebanyakan negara yang dipandang sebagai negara berkembang, pers diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berasal dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya teori otoriter, liberal, tanggung jawab sosial, dan soviet

komunis. Meskipun demikian, perlu dikemukakan pernyataan sementara, khususnya dalam pandangan tentang fakta bahwa kebutuhan negara sedang berkembang akan komunikasi di masa lampau cenderung dinyatakan dalam hubungan dengan pengaturan kelembagaan yang ada, dengan penekanan khusus pada peran positif pers komersial untuk merangsang pembangunan atau pada kampanye pers untuk mendorong timbulnya perubahan ekonomi ke arah model masyarakat industri. Satu hal yang paling menyatukan teori pers pembangunan adalah penerimaan pembangunan ekonomi itu sendiri (yang karenanya perubahan sosial), dan sering kali pembangunan bangsa (notion-building) yang bersangkutan sebagai tujuan utama. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebebasan tertentu dari pers dan para wartawan tunduk pada tanggung jawab mereka untuk membantu pencapaiannya. Pada saat saat yang sama, yang ditekankan adalah tujuan kolektif dan bukan kebebasan individu. Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut: Pers seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional. Kebebasan pers seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas ekonomi, dan (2) kebutuhan pembangunan masyarakat. Pers perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional. Pers hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya negara sedang berkembang lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik. Para wartawan dan karyawan pers lainnya memiliki tanggung jawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya. Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam, atau membatasi, pengoperasian pers serta sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung dapat dibenarkan. Rogers (1976) dalam Communication and Development: Critical Perspective, menyatakan bahwa peranan pers dalam pembangunan dapat efektif apabila: a. Isi pers relevan dengan jenis-jenis pembangunan yang cocok dengan masyarakatnya; b. Isi pers relevan dengan perubahan struktur sosial yang diperlukan bagi tercapainya tujuan pembangunan. Konsep pembangunan pernah juga menjadi wacana (berlanjut menjadi program) dalam kehidupan pers Indonesia. Misal, seperti yang diputuskan dalam sidang Pleno XXV Dewan Pers di Surakarta pada 7-8 Desember 1984 yang tersurat sebagai berikut: Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.. Begitu juga kebijaksanaan pemerintah di bidang penerangan dan pers pada Repelita IV yang tersurat sebagai berikut: I. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial dengan pendekatan budaya: disini sasaran pokok adalah pengemangan pribadi manusia Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila. II. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional: di sini sasaran pokok adalah kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, wawasan menabung, wawasan produksi untuk ekspor dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. III. Pengembangan informasi budaya politik Pancasila: sasaran pokoknya adalah pembinaan kesadaran masyarakat akan modal dasar bangsa, faktor-faktor dominan bangsa dan kesadaran politik yang menunjang pemantapan Demokrasi Pancasila, dan kehidupan konstitusional, demokrasi dan penegakan hukum. IV. Penerapan sistem penerangan terpadu: peningkatan koordinasi dan kerja sama semua unsur penerangan bersama pers dan pers lainnya. V. Pengembangan dan peningkatan kegiatan komunikasi timbal balik: peningkatan peran serta masyarakat untuk ikut memikirkan dan memecahkan masalah-masalah pembangunan. VI. Peningkatan arus penerangan ke daerah pedesaan dalam rangka pemerataan informasi: peningkatan arus penerangan pembangunan ke desa-desa, terutama daerah-daerah perbatasan,

daerah terpencil dan daerah transmigrasi. 6. Teori Pers Demokratik-Partisipan. Seperti kebanyakan teori, teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan pengalaman aktual dan sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga pers. Lokasinya terutama dalam masyarakat liberal yang telah berkembang tetapi ia bergabung dengan beberapa unsur yang ada dalam teori pers pembangunan, khususnya penekanan pada basis masyarakat, pada nilai komunikasi horisontal, dan bukan pada komunikasi vertikal. Stimulus teori ini adalah reaksi terhadap komersialisasi dan pemonopolian pers yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma tanggungjawab sosial. Istilah demokratik-partisipan juga mengungkapkan rasa kecewa terhadap partai politik yang ada dan terhadap sistem demokratik parlementer yang tampaknya telah tercabut dari akarnya yang asli, sehingga menghalangi ketimbang memudahkan keterlibatan dalam kehidupan politik dan sosial. Teori pers bebas dipandang gagal karena subversinya berdasarkan pasar dan teori, dan teori tanggung jawab sosial tidak memadai sebagai akibat dari keterlibatan dalam birokrasi pemerintahan dan dalam perswalayanan organisasi dan profesi pers. Pengaturan diri sendiri oleh pers dan tanggung gugat (accountability) organisasi penyiaran besar tidak mencegah pertumbuhan lembaga pers yang mendominasi dari pusat kekuasaan masyarakat atau yang tidak berhasil dalam tugas mereka memenuhi kebutuhan yang timbul dari pengalaman warga negara sehari-hari. Dengan demikian, titik sentral teori demokratik-partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi penerima dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok maasyarakat yang berskala kecil, kelompok kepentingan subbudaya. Teori ini menolak keharusan adanya pers yang seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dengan penerima, hubungan komunikasi horisontal pada semua tingkat masyarakat, dan interaksi. Ikhtisar rumusan prinsip teori ini dapat disajikan sebagai berikut: Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan pers (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh pers sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri. Organisasi dan isi pers seyogyakan tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara. Pers seyogyanya ada terutama untuk audiensnya dan bukan untuk organisasi pers, para ahli atau nasabah pers tersebut. Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki pers sendiri. Bentuk pers yang berskala kecil, interaktif, dan partisipasif lebih baik ketimbang pers berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan. Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan pers tidak cukup hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga utamanya. Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli. Teori pers demokratik-partisipan juga telah mewarnai kehidupan pers Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-Undang no 32 tahun 2003, kehidupan pers kita telah mempraktekkan teori ini. Pertumbuhan dan berkembangnya penyiaran-penyiaran komunitas yang menerapkan jurnalisme partisipasi merupakan suatu contoh penerapan dari teori pers demokratik-partisipan. Daftar Pustaka A Muis, 2005, Gejolak Aspirasi Kebebasan Pers, Kompas 2 April 2005 Everet Rogers, 1976, Communication and Development: Critical Perspektif, Sage Publication.

Dennis McQuail, 1987, Teori-Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga. Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Grapers, Jakarta. F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, Grapers, Jakarta. Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta.

Minggu, 03 Januari 2010TEORI PERS LIBERAL DAN PERS KOMUNISPERS LIBERAL Teori pers liberal merupakan perkembangan dan reaksi terhadap teori pers sebelumnya, yaitu teori pers otoriter yang dimana sangat didominasi oleh kekuasaan dan pengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekan keberadaan pers. Fungsi utama teori pers ini adalah menjaga hak warga Negara agar tidak tertindas oleh kesewenangan. Dalam teori ini, pers merupakan sarana penyalur suara nurani rakyat. Karena itu, pers mengawasi dan menentukan sikap terhadap kebijakan pemerintah. Pers bukanlah alat kekuasaan pemerintah. Pers harus bebas dari kendali pemerintah dan kebebasan berekspresi mesti dilindungi. Dengan demikian, sensor dipandang sebagai tindakan inkonstitusional terhadap kemerdekaan pers. Krisna Harahap menjelaskan bahwa menurut konsep libertarian, pers mempunyai tugas sebagai berikut. 1) Melayani kebutuhan kehidupan ekonomi (iklan). 2) Melayani kebutuhan kehidupan politik. 3) Mencari keuntungan (demi kelangsungan hidupnya). 4) Menjaga hak warga Negara. 5) Memberi hiburan. Berikut ciri-ciri pers yang merdeka (libertarian). 1) Publikasi bebas dari setiap penyensoran pihak ketiga. 2) Penerbitan dan pendistribusian terbuka bagi setiap orang tanpa memerlukan izin atau lisensi. 3) Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik tidak dapat dipidana. 4) Tidak ada kewajiban memublikasikan segala hal, 5) Publikasi kesalahan dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan. 6) Tidak ada batasan hukum terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi. 7) Wartawan mempunyai otonomi professional dalam organisasi mereka. PERS KOMUNIS

Media massa merupakan alat pemerintah (partai yang berkuasa) dan bagian integral Negara sehingga pers harus tunduk kepada pemerintah. Teori pers ini berfungsi sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa. Dalam hubungannya dengan fungsi dan peranan pers komunis sebagai alat pemerintah dan partai, pers harus menjadi suatu collective propagandist, collective agitation, dan collective organizer (organ yang menyuarakan propaganda, hasutan dan mengorganisasikan kelompok). Ciri-ciri dari teori ini. 1) Media berada di bawah pengendalian kelas pekerja, karenanya melayani kepentingan kelas tersebut. 2) Media tidak dimiliki secara pribadi. 3) Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hokum lainnya untuk mencegah atau menghukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi yang bersifat antimasyarakat. 4) Pers merupakan alat Negara atau partai komunis yang berkuasa. 5) Pers harus tunduk kepada pemerintah dan mendapat kontrol dari pemerintah/partai komunis yang berkuasa. 6) Pers diizinkan memuat kritikan pada media massa selama tidak mengkritik ideologi komunisme. 7) Pers berfungsi sebagai alat indoktrinasi massal dalam propaganda. 8) Pers merupakan satu-satunya alat yang dapat membantu pemerintah berinteraksi dengan kelas pekerja (buruh). PERS INDONESIA Era Kolonial (1744-1900) Dunia pers di era colonial dimulai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Peranan pers yang bersifat liberal tersebut hanya bertahan selama 2 tahun karena dianggap sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis VOC di Hindia Belanda. Meskipun ada iklim yang memungkinkan terbitnya surat kabar, pemerintah colonial pada dasarnya cenderung mencurigai. Era Perjuangan Kaum Nasionalis (1900-1942) Era ini ditandai dengan terbitnya Medam Prijaji, surat kabar ini sangat berpengaruh pada zamannya. Kemudian Tirtoadisuryo menggunakan surat kabar sebagai wahana untuk membentuk pendapat umum (public). Sementara Sikap pemerintah cenderung membatasi ruang gerak pers, dan kemudian mengeluarkan peraturan mengenai larangan penebitan yang dinilai menggangu ketertiban umum. Masa Transisi Pertama (1942-1945) Pada masa ini Indonesia berada dalam kekuasaan pemerintah penjajahan Jepang. Pers cenderung bersifat Komunis karena setiap penerbitan cetak harus memiliki izin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Era Pers Partisan (1945-1957)

Pers mengidentifikasi diri sebagai pers perjuangan , tetapi pada masa ini, pers cenderung bersifat partisan. ( pers menjadi pengikut partai, golongan atau paham tertentu). Era Pers Terpimpin (1957-1965) Pada masa ini, pers cenderung bersifat Komunis, karena berita-berita yang dikeluarkan kantor berita tersebut cenderung pro-PKI. Tetapi pada akhir masanya diterbitkan surat kabar surat kabar lain guna mengimbangi pers PKI. Masa Transisi Kedua (1965 -1974 ) Pada awal pemerintahan Orde Baru, kehidupan pers di Indonesia bersifat Liberal dan pers pers yang bersifat Komunis dihilangkan. Pers bisa mengkritik jalannya pemerintahan, contohnya terkuaknya kasus korupsi yang terjadi di Pertamina. Tetapi pada akhirnya, pemerintahan Orde Baru melakukan pembatasan kepada pers, dan meberlakukan pencabutan izin bagi pers yang dianggap mengganggu jalannya pemerintahan. Era Bisnis (1974-1999) Pada masa ini, pers cenderung tertutup dan bersifat pragmatis. Pers kehilangan idealisme dan daya kritisnya terhadap kehidupan sehari hari. Pers sangat berhati-hati dalam menyikapi wacana keterbukaan politik agar tidak berdampak buruk terhadap kelangsungan hidupnya. Era Reformasi (1999- Sekarang) Pada masa ini, pers mengalami kemerdekaan untuk bisa menikmati kebebasaan. Disinilah awal pers dapat sebebas-bebasnya mengawasi dan mengomentari jalannya pemerintahan. PERS INTERNASIONAL NEGARA BARAT Negara Penganut adalah Amerika Serikat dan Eropa. Pada umumnya menganut liberalisme. Ideologi ini menjadi landasan sistem sosial dan sistem politik mereka. Kebebasan pers diyakini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dimiliki setiap individu. Maka sepatutnya Negara memberikan kemerdekaan dengan tanpa turut campur terlalu dalam kehidupan pers. Pers bukan merupakan terompet pemerintah seperti di Negara-negara otoriter. Pers berpengaruh kuat dalam kehidupan sosial dan politik. Budaya membaca masyarakat yang tinggi dan ditunjang tingkat pendapatan yang tinggi telah menciptakan masyarakat yang kritis. Namun terdapat suara sumbang dimana pers dianggap terlalu asyik mengungkap aspekaspek negative AS sehingga membuat Negara ini tampak buruk di mata dunia. Memang konstitusi Amerika menjamin kebebasan pers, namun belakangan ini, sebagian masyarakat mengajukan kritik bahwa terdapat kalangan pers yang terlalu mengedepankan aspek komersial dalam pemberitaannya, mereka bahkan melanggar hak kehidupan pribadi seseorang demi meraup uang yang sebanyak-banyaknya. Jika dilihat hubungan pers dan pemerintah serta masyarakat yang demikian, dapat digambarkan bahwa semuanya saling mengontrol. Artinya, walaupun ideology kebebasan

yang dianut member kemerdekaan berekspresi, tetapi bukan berarti semuanya tanpa control. Hubungan yang demikian dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan kuat serta masyarakat sipil yang juga kuat,. Kondisi yang demikian member sumbangan penting bagi terbangunnya kehidupan social yang demokratis. NEGARA KOMUNIS Kehidupan pers di Negara-negara Komunis merupakan cerminan system sossial dan politik komunis. Bertolak dari konsep bahwa kepemilikan atas sarana-sarana produksi dan distribusi berada di bawah kekuasaan Negara, maka pers di Negara Komunis dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, tidak ada pemilikan oleh perseorangan atau swasta. Pers digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu sebagai instrument yang terintegrasi dengan kekuasaan pemerintah dan partai untuk propaganda dan agitasi. Negara penganut adalah pecahan Negara Uni Soviet. Tokoh yang berperan yakni Lenin, Stalin, dan Kruchcev. Menurut Lenin, pers harus melayani kepentingan kaum buruh yang merupakan kelompok mayoritas. Dijelaskan lebih lanjut, Lenin adalah pencetus teori pers komunis dan Stalin yang menerapkan ajaran Lenin. Fungsi pers di Uni Soviet sebagai berikut. Pers sebagai alat propaganda, agitator, dan organisator kolektif. Pers merupakan tempat pendidikan kader-kader komunis di kalangan massa. Pers sebagai lembaga yang memobilisasi dan mendorong massa untuk terlihat dalam pembangunan ekonomi. Pers menerapkan dan menyiarkan semua dekrit, keputusan, instruksi yang dikeluarkan oleh Komite Sentral Partai maupun oleh Pemerintah Uni Soviet serta bahan publikasi lain dari pemerintah. Pers berfungsi sebagai lat untuk melakukan Kontrol. Pers tidak mementingkan pemberitaan kritis. Sebab, badan sensor tidak akan member izin untuk memberitakan kajadian-kejadian penting yang tidak dikehendaki serta menghindari pemberitaan-pemberitaan tentang pelanggaran HAM. Kebebasan individu dibatasi dan masyarakatnya bersifat tertutup. Dalam system pers komunis dikenal adanya lembaga control atau lembaga sensor yang diberi nama glavit. Tugasnya antara lain mengawasi bahan-bahan yang akan dipublikasikan dan mengamankan politik ideologis dan keamanan. NEGARA BERKEMBANG Sebagian besar Negara berkambang adalah Negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II. Dengan demikian tatanan social yang modern relative belum lama terbentuk dan politik dinegara-negara berkembang umumnya meneruskan system politik Negara bekas penjajahnya dengan penyesuaian-penyesuaian yang dianggap perlu. Namun, ada pula yang mengadakan perombakan secara total.

Meski setelah terbentuk pemerintahan sendiri yang berdaulat, namun tak ayal masuk kembali ke dalam pusaran penjajahan oleh pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh pemimpin yang otoriter. Lembaga pers juga tidak lepas dari pengaruh dan control pemerintah. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa pers dapat menjadi pembentuk opini public. Jika kritisme pers dapat dibungkam, besar kemungkinan kandali terhadap segenap kehidupan rakyat akan tergenggam aman di tangan penguasa. Berkembangnya gagasan demokrasi yang melanda dunia kemudian berimbas pula terhadap kehidupan politik di berbagai Negara berkembang. Para pemimpin otoriter mulai bertumbangan, baik kalah dalam pemilu maupun diturun paksa. Perubahan ini membawa angin keterbukaan yang membuat kebebasan berekspresi semakin berkembang. Selanjutnya, pers semakin menemukan ruang untuk menjalankan fungsi-fungsi idealnya untuk menyebarluaskan informasi secara kritis. Ciri-ciri kehidupan pers di Negara-negara berkembang, sebagai berikut. System persnya cenderung mengikuti system pers Negara bekas penjajahnya. Pers di Negara berkembang sampai saat ini berada dalam bentuk transisi. Ia masih berusaha mencari bentuk yang tepat atau mencari identitas. Karena masih dalam taraf transisi, maka pers Negara berkembang biasanya kurang stabil. Negara berkembang umumnya sedang membangun. Hal ini menyebabkan pers dituntut untuk bisa berperan sebagai agent of social change dimana pers bersama-sama pemerintah mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan pembangunan. Secara umum kebebasan pers di Negara berkembang diakui keberadaannya, tetapi dalam pelaksanaanya terdapat pembatasan-pembatasan. Hal ini karena pers dituntut untuk ikut menjamin atau mengusahakan stabilitas politik dan ikut serta dalam pembangunan ekonomi. Pada umumnya, system persnya menganut system tanggung jawab social (social responsibility). Pers di Negara berkembang mengalami masalah yang sama di bidang komunikasi, yaitu ketimpangan informasi, monopoli, dan pemusatan sumber dan jalur komunikasi yang berlebihan. Hal ini mengakibatkan adanya dominasi Negara maju atas Negara berkembang di bidang informasi dan komunikasi. System dan pola hubungan antara pers dan pemerintah cenderung merupakan perpaduan antara system-sistem yang ada (libertarian, authoritarian, dan social responsibility). Pada sisi lain kemampuan dan kemauan untuk membaca di kalangan masyarakat sendiri patut memperoleh perhatian. Hanya sekitar 26% yang menkonsumsi surat kabar dari total seluruh masyarakat Negara-negara berkembang. Hal ini menunjukkan minat baca penduduk Negara-negara berkembang masih sangat rendah, yang disebsbkan angka tuna aksara yang masih tinggi dan pendapatan per kapita yang masih rendah. Sistem pers liberal Sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem yang pertama. Jika sistem pers otoriter dikuasai oleh negara, maka pada sistem pers liberal lebih dikuasai oleh golongan pengusaha bermodal besar. Lahirnya prinsip liberal yang mendasari berbagai lembaga sosial politik terutama pers

disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya. Pertama, penemuan geografis menghasilkan perluasan pikiran manusia terutama penemuan-penemuan ilmiah, seperti Newton, Copernicus, dan Kepler yang memperlihatkan adanya nilai-nilai baru. Kedua, kehadiran kelas menengah dalam masyarakat terutama di Eropa dimana kepentingan kelas komersial sedang berkembang dan menuntut agar pertikaian agama dihentikan. Sementara itu hak khusus para bangsawan dibatasi. Selain itu, terbentuknya sistem pers liberal ini didasari oleh asumsi-asumsi dasar filosofis sebagai berikut. a. Hakikat manusia Manusia seperti hewan rasional dan memiliki tujuan sendiri. Walaupun manusia sering melatih kemampuannya untuk berpikir yang diberikan Tuhan kepadanya untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi, pada akhirnya mereka mampu menghimpun keputusan secara terpisah. Berbeda dengan hewan, maka manusia dapat menggunakan kemampuannya untuk berpikir, mengingat, dan pengalamannya untuk membuat keputusan. b. Hakikat masyarakat Tujuan masyarakat ialah kebahagiaan dan kesejahteraan manusia dan sebagai organisme yang dapat berpikir ia sanggup mengorganisasi dunia sekelilingnya dan membuat keputusan yang dapat mendukung kepentingannya. Fungsi utama masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggotanya serta menciptakan perlindungan agar masyarakat tidak mengambil alih peran utama dan menjadi tujuan itu sendiri. c. Hakikat negara Negara merupakan alat yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan. Negara menyediakan lingkungan bagi masyarakat dan perorangan sehingga mereka dapat menggunakan kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan. Jika negara gagal dalam mencapai tujuan tersebu, maka dianggap penghalang dan boleh diubah. Karena tercapainya tujuan perorangan merupakan tujuan terakhir, yaitu tujuan manusia, masyarakat, dan negara. d. Hakikat pengetahuan dan kebenaran Kemampuan berpikir manusia adalah pemberian Tuhan yang sama halnya dengan pemberian kejahatan dan kebaikan. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat memecahkan permasalahan sehingga makna pemberian Tuhan memudar dan kemampuan manusia memecahkan persoalan lebih menonjol. Tindakan manusia yang menggunakan panca indera untuk memecahkan permasalah menjadi nyata. Kebenaran adalah suatu yang dapat ditemukan dan diperlihatkan kepada manusia lain untuk diperdebatkan dan melalui musyawarah akan dapat mengakhiri perdebatan dan hasilnya dapat diterima oleh akal. Pada tahap akhir perang dunia kedua, golongan liberal menyatakan bahwa prinsip demokrasi tentang kebebasan berbicara dan pers akan tersebar luas sehingga dibentuklah sebuah organisasi internasional. Mereka yakin bahwa melalui badan organisasi internasional, maka prinsip-prinsip otoriter dan komunisme dapat dicegah. Salah satu

pendorong terbentuknya organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ialah diakuinya hakhak asasi manusia oleh seluruh dunia sesuai dengan prinsip liberal.

Studi Kasus tentang Pers Amerika Serikat1. Bahkan Sebuah Gelas pun Tak Selalu Transparan

Hayden Christensen as Stephen Glass Judul tersebut diberikan oleh penulis bukan sembarangan. Itu mengacu pada kisah jurnalis penulis cerita fiktif, yakni Stephen Glass. Pada awalnya Glass dikenal sebagai orang yang pintar dan bertalenta dalam jurnalisme. Dia pun menulis di berbagai majalahRolling Stones, George, Harpers, dan The New York Times Magazines sebelum ia bergabung di New Republic. Ia sangat piawai menuliskan berita yang didasari imajinasinya semata. Untuk hal itu pun ia tak kehilangan akal untuk membuat website-website palsu guna mendukung ceritanya. Pada akhirnya kebusukan Glass pun tercium oleh editornya. Selama karirnya di dunia jurnalistik, ternyata ia telah membuat 41 berita fiktif. Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah betapa teledornya editor-editornya selama jangka waktu Glass bekerja. Seringkali editor atau pemimpin redaksi menaruh kepercayaan tinggi pada jurnalis yang dianggap kredibel dan berkualitas berdasarkan penilaian kebanyakan orang. Hal itulah yang membuat para editor terlena sehingga tidak melakukan verifikasi secara benar. Mereka percaya akan fakta-fakta yang disodorkan di bawah hidung mereka oleh wartawan favorit mereka sendiri. Mereka merasa tidak perlu untuk check and recheck faktualitas pada sumber berita dan narasumber. Sudah cukuplah bagi mereka melihat data yang diberikan si wartawan atau menghubungi nomor yang dirujuk si wartawan tersebut. Padahal orang yang ditelepon tersebut bisa jadi hanyalah orang suruhan si wartawan.

Menganakemaskan salah satu jurnalis bukanlah hal dianjurkan untuk dilakukan oleh pemimpin redaksi dan editor. Semua wartawan hendaknya diperlakukan. Perbedaan perlakuan akan membuat wartawan yangs sering dipuji berada di atas angin dan lamakelamaan muncul pula keberanian untuk membuat berita palsu karena toh editor pasti percaya padanya. Sejak dini wartawan-wartawan yang masih baru harus dididik untuk mengagungkan fakta. Tak ada gunanya nama melambung karena bagusnya tulisan, namun ternyata hanyalah karangan belaka. Editor harus menanamkan hal tersebut pada setiap wartawan, tak peduli wartawan lama atau baru. Terkadang tekanan bagi wartawan untuk memburu berita-berita bagus nan eksklusif bisa membuat wartawan melakukan segala cara. Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach menuliskan, Setiap wartawan seringkali bekerja dengan mengandalkan metode pengujian dan penyediaan informasi yang sangat pribadi, yaitu verifikasinya sendiri. Intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi yang merupakan ihwal yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Verifikasi menjadi fungsi pokok dalam jurnalisme. Seperangkat konsep inti yang membentuk disiplin verifikasi terlihat dari lima hal yang merupakan prinsip intelektual sebuah laporan ilmiah: 1) Jangan pernah menambahi sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan pernah menipu audiens; 3) Berlakulah setransparan mungkin tentang metode dan motivasi; 4) Andalkan reportase sendiri; 5) Bersikap rendah hati. 2. DiCaprio Menuju Washington Aktor terkenal Leonardo DiCaprio memiliki perhatian khusus pada isu-isu lingkungan dan pada saat itu ia menjabat sebagai chairmanship of Earth Day. Secara tidak sengaja, ABC News ternyata juga merencanakan untuk membuat tayangan ekslusif tentang Earth Day. ABC News pun merekrut DiCaprio untuk menjadi pewawancara dalam acara berita khusus, di mana DiCaprio dijadwalkan akan mewawancarai presiden. Tentu hal tersebut untuk meningkatkan rating TV tersebut pada saat prime-time. Terdapat dua versi mengenai hal itu. Pertama, pihak Gedung Putih mengatakan bahwa ABC News-lah yang mengatur hal itu dan meminta presiden bersedia diwawancara. Namun, pihak ABC News mengatakan bahwa mereka melakukan siaran itu atas permintaan Gedung Putih. Berdasarkan diskusi kami, muncullah pertanyaan, apakah dengan adanya penilaian sebuah acara berdasarkan rating, lantas membuat stasiun TV rela melakukan apa saja meski harus menyiarkan acara yang berisi konspirasi dan akal-akalan semata, serta tidak berkualitas? Adanya penilaian berdasarkan rating malah membuat stasiun TV mengesampingkan fungsi media massa yang sebenarnya dan tidak memedulikan kualitas. Hal itu adalah salah satu bentuk usaha pembodohan bagi masyarakat. Di sini terlihat jelas bahwa stasiun TV berlomba menarik perhatian khalayak ramai meski dengan acara-acara sampah dan mengada-ada. Stasiun TV menjadi takluk pada keinginan khalayak ramai dalam menyiarkan acara. Mereka pun mulai me-mix and match antara informasi dan hiburan. Padahal belum tentu apa yang diminta masyarakat baik untuk

masyarakat itu sendiri. Sebagian masyarakat mungkin tak mengerti akan kebutuhan pada pendidikan. Maka dari itu, media massalah yang seharusnya menyediakan hal itu. 3. Feeding Frenzy Sebuah bom meledak di akhir Juli 1996 di Atlantas Centennial Olympic Park. Seorang satpam bernama Richard Jewell menemukan ransel berisi bom tersebut. Ia pun berusaha memperingatkan orang-orang untuk lari dan ia segera melaporkan kejadian itu pada polisi. Hal yang justru terjadi adalah muncul headline di Atlanta Journal Constitution yanga berbunyi FBI Suspects Hero Guard Have Planted Bomb. Semua media massa mengacu pada pemberitaan itu dan melakukan update pada setiap berita sehari-harinya. Artikel demi artikel disiarkan, bahkan pemberitaan tentang jatuh bangunnya Jewell dalam profesi penegakan hukum. Kejanggalan pun melayang ke permukaan karena ternyata FBI tak pernah menangkap dan menjerat Jewell atas tindakan kriminal. Kasus lain lagi, adalah hilangnya Chandra Levy, seorang intern, dari apartementnya dan tak pernah muncul di kantornya. Tak ada tanda-tanda ia diculik paksa dari apartemennya. Investigasi atas kasus itu pun tak mengalami kemajuan sehingga berita yang disiarkan hanyalah itu-itu saja. Maka pers pun mulai menuding hilangnya Levy erat kaitnnya dengan Rep. Gary A. Condit, atasan Levy karena adanya hubungan romantisme di antara mereka. Akhirnya Levy ditemukan telah tak bernyawa. Dan sama seperti kasus sebelumnya, tak ada satu pun orang yang ditahan atas tindak kriminal tersebut. Kedua kasus ini disebut feeding frenzyyang merupakan nama software permainan di komputermungkin karena pers dianggap memakan umpan yang diberikan para penegak hukum. Mungkin juga karena justru pers-lah yang memberi umpan pada khalayak ramai untuk merekonstruksi kasus tersebut sesuai dengan persepsi media massa ketika versi para penegak hukum tidak jelas. Sebenarnya media massa dan insan pers tidak boleh memberikan judgment atau penilaian terhadap masalah tertentu. Jika media massa sudah berani mengeluarkan penilaian dan tuduhan tertentu, berarti mereka sudah berani ambil risiko. Artinya, jika suatu saat orang mempertanyakan masalah tersebut, media massa memiliki fakta-fakta kuat dan berasal dari keterangan berbagai sumber, bukti, dan data-data yang terkorelasi. Tuduhan tak boleh berdasarkan opini sematabaik opini orang lain atau opini media massa tersebut. Yang terjadi pada kedua kasus tersebut adalah interpretasi yang tidak didasarkan fakta, jatuhnya malah seperti infotainment. Dari kedua kasus itu juga bisa diambil pelajaran bagaiman media massa bisa sangat tendensius dalam melakukan pemberitaanperihal A diberitakan B, B diberitakan A. Mereka hanya memunculkan dugaan yang seolah-olah fakta. Mungkin saking tak ada berita lain yang menarik perhatian masyarakat atau hanya latah pemberitaaan yang itu-itu saja karena media massa lain menyiarkan juga, maka media massa ini harus pula menyiarkan. Dalam kasus-kasus di mana dalam tindak kriminal itu tidak ditemukanbiang keroknya, pers seharusnya menjadi lebih tajam dalam mengendus kejanggalan. Pers ditutut untuk

memainkan peranannya sebagai public watch dog karena siapa tahu telah terjadi konspirasi para penegak hukum dengan berbagai pihak. Bill Kovach dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menuliskan, Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Media berita bertindak selaku anjing penjaga, membuat orangorang lebih dari sekadar terpuaskan, dan menawarkan suara bagi yang terlupakan. Jurnalisme mencerminkan sebuah pemahaman halus tentang bagaimana warga berperilaku, yang disebut Teori Keterkaitan Publik. Ada pula yang mengatakan tujuan utama jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran sehingga orang-orang akan memunyai informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. 4. Melaporkan tentang Terorisme

9/11 Tragedy Pada saat terjadi peristiwa 9/11 di mana dua pesawat menabrak WTC, insan pers menjadi orang-orang yang dipuja berbagai pihak. Banyak orang merasa haus informasi akan tindak terorisme tersebut dan pers menyediakan informasi dengan sebaik-baiknya. Namun, siapa sangka sebulan setelah masa kejayaan insan pers itu, pers justru dikritik sebagai penyebar terorisme? Ada masa ketika beberapa politisi dan presenter berita menerima surat yang sudah terkontaminasi virus anthrax. Orang-orang yang bersentuhan dengan surat itu menjadi sakit. Pemberitaan pun heboh di mana-mana. Ketika seorang meninggal akibat terkontaminasi virus tersebut, media massa pun memberitakan dengan heboh sehingga masyarakat menjadi paranoid. Masyarakat awam menelepon para penegak hukum ketika melihat amplop yang disinyalir terkontaminasi virus anthrax. Dokter dan tenaga medis pun

menjadi orang yang paling dicari saat itu untuk memastikan adanya virus anthrax atau tidak di tempat-tempat tertentu. Beberapa pihak seperti para ilmuwan mengatakan ini adalah terorisme yang dilakukan oleh pers karena pers bertindak overreaksi terhadap virus ini. Padahal, kemungkinan orang meninggal akibat virus ini adalah 1 : 70 juta, jauh lebih kecil dibandingkan perbandingan orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam kasus tersebut terlihat bagaimana pers memegang peranan penting dalam mengandalikan situasi masyarakat. Bisa jadi pers menjadi terlalu berlebihan dalam menyerukan peringatan akan bahaya tertentu. Itu bisa menyebabkan teror dalam masyakarat tatkala pers hanya menyiarkan bahaya-bahaya yang mungkin muncul, dan tidak menawarkan solusi. Padahal pers seharusnya menyebarkan rasa aman pada masyarakat, bukan malah meresahkan. Mungkin itu merupakan satu upaya agar berita mereka terus diikuti penonton. Kemungkinan juga hal itu dimaksudkan agar banyak iklan mengalir ke media massa tersebut. 5. Jiwa Patriotik Pembaca Berita Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001, banyak orang mendadak bersikap patriot. Di mana-mana digembar-gemborkan patriotisme guna mengutuk peristiwa naas tersebut. Di seluruh negeri Amerika Serikat dihiasi bendera berwarna merah, putih, dan biru. Di manamana terdengar lagu kebangsaan AS didengungkan. Para pembaca berita di TV pun tak mau kalah dalam menunjukkan jiwa patriotik mereka dengan menggunakan pita merahputih-biru di baju mereka. Yang menjadi pertanyaan adalah etiskah seorang pembaca berita menggunakan atributatribut seperti itu. Bukankah insan pers dituntut untuk memberitakan sesuatu secara objektif, tanpa mendukung salah satu pihak. Menurut kelompok kami, isu mengenai kebangsaan, patriotisme, dan nasionalisme adalah isu-isu yang patut diperdebatkan. Bisakah pers di suatu negara tertentu tidak membela kepentingan negaranya? Kami rasa tak mungkin. Sebobrok apapun suatu negara, pers pasti akan berusaha memperlihatkan kebaikan negara tersebut, kecuali negara itu hidup dalam kekuasaan tirani yang kejam dan perlu untuk membebaskan diri dari kekuasaan itu. Adalah sebuah dilema yang muncul ketika pers terus merongrong negerinya sendiri namun, sepertinya hal itu tak dirasakan pers Indonesia. Hal yang menjadi pertanyaan kami adalah perlukah menyembunyikan aib bangsa sendiri dari mata luar negeri dengan tidak memberitakannya secara terus-menerus dan terlalu gamblang. Di negara maju seperti di Amerika, mungkin media massa mereka berani menekan pemerintah karena usikan pers tersebut tidak terlalu berdampak pada jalannya pemerintahan. Namun, di Indonesia kekacaubalauanlah yang terjadi ketika pers tidak memiliki kontrol atas pemberitaan yang menyangkut keberlangsungan negara ini.

Menurut kami, pers Indonesia perlu juga membangkitkan jiwa patriotisme dan nasionalisme bangsa ini. Semakin lama kecintaan masyarakat akan bangsa dan negerinya semakin merosot. Pers gemar menunjukkan kebobrokan secara berlarut-larut, namun perihal kebaikan negara kita sendiri, hanya diberitakan sekali-dua kali. Benarkah pers tak boleh berpihak pada bangsanya sendiri? Bukankah sejak zaman penjajahan, keberpihakan seperti itu sudah kerap dilakukan? Bukankah pers juga berfungsi untuk membentuk opini publik ke arah pembangunan? Bagaimana pers diharapkan berperan dalam kemajuan suatu bangsa jika rasa nasionalisme dianggap sebagai sikap yang tidak objektif? Objektivitas meminta wartawan mengembangkan sebuah metode untuk secara konsisten menguji informasi (pendekatan transparan menuju bukti-bukti) dengan tepat sehingga bias personal dan bias budaya tidak melemahkan akurasi kerja mereka. Sedangkan realisme adalah pemikiran bahwa bila seorang reporter menggali fakta dan meruntutkannya secara kronologis, kebenaran akan dengan sendirinya terungkap. Kebenaran adalah fenomena yang rumit dan terkadang kontradiktif. Beberapa wartawan menyarankan pengganti bagi kebenaran. Maka muncullah istilah fairness (sikap tidak berat sebelah) dan balance (keseimbangan). Namun, fairness tidak bisa diuji dan balance dinilai masih terlalu subjektif. (Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach)