nilai budaya dalam foto jurnalistik (analisis...
TRANSCRIPT
NILAI BUDAYA DALAM FOTO JURNALISTIK (Analisis Semiotik Foto Headline di Surat Kabar Harian
Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: Faradilla Nurul Rahma
NIM: 1110051100032
KONSENTRASI JURNALISTIK PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1435 H./2014 M.
iii
ABSTRAK
FARADILLA NURUL RAHMA
Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semotik Foto Headline Surat Kabar
Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.)
Foto Jurnalistik atau foto berita merupakan salah satu media penyampai pesan melalui
bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu
kesatuan komunikasi. Headline atau berita utama adalah berita yang menurut penilaian
redaksi surat kabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan surat kabar
pada hari itu. Karena itu, untuk headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca.
Apa makna denotatif, konotatif dan mitos pada tiga foto headline bertemakan
Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013? Nilai
budaya apa yang terkandung dari tiga foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar
harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun subjek
penelitian adalah foto-foto yang menjadi headline pada harian Kompas bertemakan Ramadan,
mulai dari awal bulan Ramadan (10 Juli 2013) hingga akhir bulan Ramadan (7 Agustus
2013). Selama edisi Ramadan 2013, terdapat 8 foto headline yang bertemakan Ramadan,
namun dari 8 foto tersebut memiliki kesamaan topik; 1 foto tentang shalat tarawih, 1 foto
tentang kenaikan harga, dan 6 foto mengenai mudik. Kemudian, guna memperkecil jumlah
foto yang diteliti, maka terpilih 3 foto yang mewakili untuk penulis teliti.
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu semiotika Roland Barthes yang
mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan denotasi) kemudian menghasilkan mitos agar bisa
memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto yang menjadi headline pada harian
Kompas edisi Ramadan 2013.
Kehadiran bulan Ramadan mampu mengubah seluruh aspek kehidupan manusia. Di
antara aspek yang terpengaruh oleh kehadiran bulan Ramadan adalah media massa atau
sarana informasi publik. Media massa begitu kentara sekali dalam menyambut bulan
Ramadan. Berbagai informasi dan program acara baru yang dibuat khusus di bulan ini selalu
bermunculan. Dalam perubahan tersebut, media massa khususnya surat kabar juga ikut andil
dalam menyuguhkan berita seputar Ramadan. Foto jurnalistik sebagai penguat pesan dalam
surat kabar di bulan Ramadan seringkali juga memuat nilai budaya. Oleh karena itu,
pentingnya mengkaji nilai budaya dalam foto jurnalistik selama bulan Ramadan merupakan
hal yang perlu menurut penulis.
Harian Kompas merupakan salah satu media cetak yang terbit setiap harinya. Dalam
penerbitannya, harian Kompas hampir selalu menyertakan foto berita berdasarkan
permasalahan atau peristiwa berbeda-beda. Foto-foto berita pada harian Kompas, terlebih foto
headline seringkali ditampilkan secara menarik, kuat dan memiliki relevansi dengan berita
yang ditulis.
Dari tiga foto sampel yang dianalisis, tidak semuanya memiliki keenam prosedur
semiotika konotasi Roland Barthes, tetapi ada 6 prosedur yang lebih ditonjolkan seperti Pose,
Object, Photogenia dan Aestheticism. Hal ini terlihat pada objek utama yang ditonjolkan, cara
fotografer mengambil gambar, serta keterangan foto yang bersifat mengarahkan pembaca.
Sedangkan dari segi nilai budaya, memberikan gambaran bahwa foto headline edisi Ramadan
1434 H./2013 M. memuat 3 nilai budaya yaitu; nilai agama, nilai ekonomi, dan nilai
solidaritas. Terdapat 3 tema besar mengenai Ramadan pada harian Kompas edisi 10 Juli 2013
- 7 Agustus 2013, yakni tentang shalat tarawih, kenaikan harga, dan mudik.
Kata Kunci: Nilai Budaya, Foto Jurnalistik, Kompas, Semiotik, dan Ramadan.
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah Subhanahu wata’alaa, atas limpahan karunia dan ridho-Nya yang
diberikan kepada seluruh makhluk. Salam kemuliaan bagi kekasih-
Nya, Rasulullah SAW pembimbing bagi siapa yang mencari-Nya, pemegang
kunci gerbang menuju-Nya.
Alhamdulillahi rabbil’alamin penulis ucapkan, akhirnya skripsi yang
berjudul “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto
Headline di Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.).”
ini dapat terselesaikan. Adapun skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) pada Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam, Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah
dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa hasil skripsi ini tak lepas dari bantuan dan
dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. H. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi, Dr. Suprapto, M.Ed selaku Pembantu Dekan Bidang
Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Pembantu Dekan Bidang
Administrasi Umum, dan Dr. Sunandar, M.A selaku Pembantu Dekan
Bidang Kemahasiswaan.
v
2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Rubiyanah, M.A dan Sekertaris Konsentrasi
Jurnalistik, Ade Rina Farida, M.Si. atas ilmu dan kebaikan hatinya
sehingga mempermudah penulis selama proses perkuliahan.
3. Prof. Andi Faisal Bakti, M. A., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan waktu, pengetahuan, dan nasihatnya bahwa “Menulis itu
harus jujur, harus dari hati,” sehingga sangat memengaruhi penulis dalam
proses penyelesaian skripsi ini.
4. Seluruh Dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, yang telah banyak memberikan ilmu mulai dari semester
awal sampai saat ini.
5. Secara khusus kepada Siti Saadah dan Hary Priyatna, selaku orangtua
terbaik dan motivasi tertinggi dalam hidup, yang senantiasa melapangkan
jalan kehidupan dengan doa, perhatian, dan kasih sayang. Terimakasih
Ibu, Ayah!
6. Risti Kurnia Ainannur, Faisal Azkar Ghifari, Rahadian Arkan Maulana,
dan Arif Nur Rahman selaku kakak dan adik yang selalu memberi
semangat dalam menggapai cita-cita.
7. Almh. Nek dan Mbah Uti beserta seluruh keluarga besar.
8. Para penjaga persahabatan; Geeas Prisila, Aulia Rahmi, Husna Khalida,
dan Urnia Yumalita.
9. Seluruh pihak harian Kompas, khususnya Johnny T.G dan Lasti Kurnia,
selaku narasumber.
10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 khususnya prodi Jurnalistik.
Ummul, Septinia, Cucu, Ruli, Tezar, Mustaqiim dan seluruh Najua yang
vi
tak bisa disebutkan satu persatu, senang bisa kenal kalian. Semoga kita
jadi sarjana yang berguna.
11. Keluarga besar Klise Fotografi; Kak Arga, Kak Chris, Kak Faqih, Kak
Jali, Kak Aldi, Tyo, dan seluruh saudaraku yang berdarah Klise Fotografi.
Teman-teman KKN Merdika yang telah bersama-sama menyelesaikan
program KKN selama satu bulan di Desa Klunggen, Slogohimo,
Wonogiri.
12. Seluruh staf pimpinan dan karyawan Kantor Akuntan Publik Rama
Wendra, terutama Mba Anna, Bu Nia, Mba Novi, Mba Luki, Mba Erni,
Dewi dan Mas Bhakti, yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar
dan mendapat pengalaman di dunia kerja selama dua tahun lebih.
13. Serta semua pihak yang turut membantu, baik terlibat langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Terimakasih sebesar-besarnya. Semoga Allah Subhanahu wata’alaa
berkenan menggantinya dengan rahmat dan karunia kepada kita semua.
Akhirnya teriring salam dan doa, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya pembaca pada umumnya. Amiin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 15 Juli 2014
Faradilla Nurul Rahma
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR/BAGAN ...................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah .................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 8
D. Metodologi Penelitian ..................................................... 9
E. Pedoman Penulisan ......................................................... 19
F. Tinjauan Pustaka ............................................................. 19
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 22
BAB II LANDASAN TEORI
A. Fotografi Jurnalistik ....................................................... 25
B. Headline ......................................................................... 36
C. Semiotik Model Roland Barthes .................................... 38
D. Konsep Nilai Budaya ..................................................... 46
viii
BAB III GAMBARAN UMUM PROFIL HARIAN KOMPAS
A. Riwayat Singkat Harian Kompas .................................... 58
B. Visi & Misi Harian Kompas ............................................ 60
C. Sasaran Operasional Harian Kompas .............................. 64
D. Motto Harian Kompas ..................................................... 65
E. Kebijakan & Susunan Redaksi Harian Kompas .............. 66
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Data Foto 1 ...................................................................... 71
B. Analisis Data Foto 1 ........................................................ 72
C. Data Foto 2 ...................................................................... 83
D. Analisis Data Foto 2 ........................................................ 84
E. Data Foto 3 ...................................................................... 94
F. Analisis Data Foto 3 ........................................................ 95
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 103
B. Saran ................................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 108
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................... 115
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ................................................................................... 18
Tabel 2 ................................................................................... 34
Tabel 3 ................................................................................... 39
Tabel 4 ................................................................................... 41
Tabel 5 ................................................................................... 43
DAFTAR GAMBAR/BAGAN
Gambar/Bagan 1 ................................................................... 11
Gambar/Bagan 2 ................................................................... 16
Gambar/Bagan 3 ................................................................... 24
Gambar/Bagan 4 ................................................................... 40
Gambar/Bagan 5 ................................................................... 47
Gambar/Bagan 6 ................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran foto dalam media massa memiliki 'suara' tersendiri dalam
mengonstruksikan sebuah peristiwa. Bahasa foto merupakan bahasa visual
yang lebih mudah dipahami oleh semua orang yang bisa melihat dibandingkan
dengan bahasa verbal. Foto dianggap sebuah cara yang efektif untuk
mentransmisikan pesan bagi khalayak untuk mengetahui permasalahan apa
saja yang masih belum terselesaikan. Foto dalam hal ini mengandalkan aspek
visual yang memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi daripada komunikasi
suara, teks, dan komunikasi verbal. Hal tersebut didukung oleh penemuan
penelitian yang dilakukan oleh profesor berkebangsaan Amerika yakni
Profesor Mehrabian, bahwa aspek visual ditempatkan dalam urutan tertinggi
sebanyak 55% untuk tingkat kepercayaan terhadap pesan visual. Di posisi
kedua dan ketiga adalah vokal sebanyak 38% dan verbal yaitu hanya 7%.1
Adanya pergeseran produk dari tulisan ke gambar sudah dilihat oleh
Barthes sejak tahun 1960-an. Meski Barthes sempat meragukan masa depan
pergeseran itu, namun pada tahun 1980-an, Barthes merasa yakin bahwa
budaya gambar tidak dapat dielakkan.2 Hal ini terjadi terhadap pers di
Indonesia, khususnya surat kabar. Surat kabar yang dulunya sarat akan tulisan,
kini berubah menjadi dominasi gambar (foto). Positioning, kompetisi, dan
1 Albert Mehrabian dan James Russell, An Approach to Environmental Psychology,
Cambridge (Massachusetts: The MIT Press, 1996), h. 11. 2 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 156.
2
tuntutan pasar mengharuskan media cetak tampil lewat komunikasi yang lebih
„memikat‟.3 Jika fungsi bahasa adalah representatif (menghadirkan) yang
terbatas, munculnya foto harus mendapatkan perhatian yang serius karena foto
mempunyai kemampuan representatif yang lebih sempurna.
Secara karakteristik, media surat kabar merupakan salah satu media
yang memiliki jangkauan luas dalam penyebaran informasi sehingga
memudahkan pembaca memperoleh berita. Cerita dan foto yang
ditampilkan dalam surat kabar dapat dibaca dan dinikmati berulang-ulang
tanpa adanya batasan waktu. Foto jurnalistik pada surat kabar ditampilkan
dengan tujuan memperkuat dan memvisualkan isi berita, karena itu, foto
jurnalistik pada surat kabar memiliki peranan dalam melibatkan perasaan
dan menggugah emosi pembaca.4
Dalam tampilannya, foto jurnalistik tidak hanya berdiri sendiri, tetapi
mencakup isi berita dan caption. Secara singkat, yang dimaksud isi berita
adalah tulisan pada media surat kabar yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik.5 Pada awal berita pasti terdapat judul dan kadang kala
diperkuat dengan subjudul. Sedangkan yang dimaksud dengan caption adalah
kalimat pendek yang memberi penjelasan sekilas tentang kejadian pada foto
tersebut.6 Selembar foto tidak akan dapat dikatakan sebuah foto berita bila
tidak dilengkapi dengan caption/keterangan gambar, meskipun sebuah foto
mengandung foto jurnalistik. Keterangan foto memegang peran penting dalam
foto berita dan telah menjadi kesatuan dalam foto berita, sebab dari keterangan
foto inilah pembaca akan mendapat informasi yang lengkap. 7
3 Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, h. 156.
4 Hermanus Prihatna R., Foto Berita Hukum dan Etika Penyiaran. Lembaga Pendidikan
Jurnalistik ANTARA (Jakarta: LPJA, 2003), h. 1. 5 A. Siregar, dkk., Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa
(Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 41. 6 Eddy Hasby, “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik,” artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari
www.kompasimages.com 7 Dahlan Dani, “Fotografi Jurnalistik,” Majalah Cakram, 2 Juli 2002, h. 52.
3
Penempatan foto pada isi berita di surat kabar tidak hanya memperhatikan
tata letak penulisan, tetapi juga hal-hal yang berhubungan dengan desain
halaman (lay out), grafis dan ukuran foto. Karena itu, foto-foto yang dipilih
sesuai kebutuhan dan pemakaian. Kecenderungan pembaca melihat surat
kabar lebih dulu dari halaman paling atas, menjadi alasan mengapa foto harus
diletakkan di atas lipatan surat kabar. Ini biasa dilakukan untuk halaman satu,
karena „kompetisi‟ penjualan dimulai dari sini. Pembeli pun punya
kecenderungan untuk melihat setengah halaman muka (headline) surat kabar
lebih dahulu sebelum memutuskan untuk membelinya. 8
Maka dari itu, foto
headline disajikan berbeda dari yang lain, aktual, dan informatif. Hanya
dengan seketika, pembaca dibuat penasaran dan bertanya-tanya apa
sebenarnya yang ada di foto itu, apa yang dilakukan, di mana terjadinya
peristiwa itu dan siapa orang yang ada di foto itu. Setidaknya, itu yang ada
dibenak pembaca saat pertama kali melihat foto headline.
Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan
berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan
intelektual. Sedangkan foto dapat langsung dipahami, karena melibatkan
unsur-unsur panca indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan
pembaca. Dalam suatu berita, foto mempunyai kedudukan untuk
membuktikan atau fungsi dokumenter bagi teks (khususnya) artikel yang
dibuat untuk memberikan informasi pada para pembacanya.9 Itulah yang
membuat foto headline memiliki peran besar.
8 Hasby, “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik.”
9 St. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 184.
4
Sebagai salah satu bentuk media massa, foto-foto headline harian Kompas
dapat difungsikan sebagai media cetak dalam wujud hasil kerja jurnalistik
yang juga berperan untuk mempresentasikan suatu budaya atau gambaran
realitas dari suatu masyarakat. Kompas merupakan salah satu harian nasional
yang menempatkan berita foto dan tulis setara dan berimbang. Kompas juga
selalu merespon fenomena apa saja yang sedang terjadi sebagai produk yang
harus disajikan kepada masyarakat. Melalui foto-foto yang ada di harian ini,
dapat dipahami lebih jernih tentang apa yang disebut sebagai fotografi
jurnalistik. Kompas mempunyai susunan redaksi foto yang disebut desk photo
yang begitu menaruh perhatian terhadap perkembangan dunia fotografi
khususnya fotografi jurnalistik di Indonesia, terbukti dengan seringnya bagian
redaksi foto Kompas memberikan seminar dan pelatihan jurnalistik terhadap
para mahasiswa.10
Faktor utama dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu nilai pada foto
jurnalistik, terutama foto headline dapat diketahui pemaknaannya secara
menyeluruh, karena menurut pendapat penulis, tidak semua nilai yang ingin
disampaikan melalui foto dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak awam.
Maka penulis akan mencoba meneliti sekaligus menginterpretasikan nilai
dalam suatu foto jurnalistik agar dapat membuka wacana kita tentang apresiasi
fotografi, khususnya fotografi jurnalistik.
Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui nilai budaya yang
terkandung dalam foto-foto headline harian Kompas edisi Ramadan 1434
H./2013 M. (10 Juli 2013 - 7 Agustus 2013), baik secara tersurat maupun
10
Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas), Jakarta, 19 Mei
2014.
5
tersirat. Pemaknaan dilakukan dari tanda-tanda yang muncul dari foto
menggunakan pendekatan semiotika. Analisis semiotika merupakan cara atau
metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-
lambang yang terdapat pada suatu lambang-lambang pesan atau teks.11
Dengan kata lain pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang
menjadi pusat perhatian analisis semiotika. Tanda-tanda yang terdapat dalam
foto-foto jurnalistik dalam harian Kompas tersebut akan dikaji lebih dalam
lagi sehingga didapat pemaknaan yang menyeluruh. Kajian mengenai
semiotika ini akan dikaji melalui teori Roland Barthes. Dalam penelitian ini,
proses pemaknaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam foto-foto
jurnalistik dalam harian Kompas akan dilakukan dengan cara memberi
perhatian pada makna denotatif dan konotatif.
Penulis memilih foto-foto jurnalistik tentang aktivitas pada bulan
Ramadan karena, di media massa, baik radio, televisi ataupun surat kabar
biasanya ikut mendukung momen tersebut. Di antaranya mereka mengganti
acara tayangan sinetron dengan mengganti program yang lebih religius. Hal
ini bertujuan agar khalayak merasakan dukungan yang bersifat religius
sehingga memberikan kenyamanan bagi khalayak. Di samping itu, masyarakat
Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam yang biasanya suasana
Ramadan begitu terasa, karena pada bulan ini semua media massa
menyuguhkan info-info seputar Ramadan dan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Bahkan jam tayang melebihi biasanya dikarenakan ada tambahan
program atau acara-acara khusus dalam memeriahkan bulan Ramadan.
11
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku baik, 2003), h. 3.
6
Tidak terlepas dari itu semua, tentunya harian Kompas selaku media cetak
juga menjalankan peranan yang penting selama bulan Ramadan. Maka
terlihatlah “warna” yang berbeda dari sajian di luar bulan Ramadan. Namun
yang terpenting, apakah harian Kompas tetap menjalankan fungsinya dalam
menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca? Setidaknya, apakah
harian Kompas menyuguhkan pesan yang sarat akan manfaat dan mendukung
dalam ritual puasa? Dan nilai budaya apa yang ditampilkan Kompas dalam
headline fotonya selama bulan Ramadan 2013?
Berdasarkan dari penegasan di atas, maka penulis akan membahas
mengenai “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotika Foto
Headline Surat Kabar Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.).”
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi Masalah
Sebelum membatasi masalah, penulis akan terlebih dahulu memberikan
identifikasi masalah seputar judul yang diangkat. Masalah yang ditemukan
penulis untuk judul ini adalah seputar analisis Semiotika dalam perspektif nilai
budaya pada foto headline di surat kabar harian Kompas edisi Ramadan 1434
H./2013 M.
Penulis menemukan bahwa teori yang kiranya tepat untuk dijadikan
rujukan adalah salah satu teori nilai budaya dari buku Rusmin Tumanggor,
dkk.12
Dalam buku tersebut disebutkan enam nilai budaya yaitu: nilai teori,
nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas.
12
Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), h. 142.
7
b. Batasan Masalah
Agar permasalahan lebih terfokus, maka penulisan ini dibatasi pada foto-
foto headline di surat kabar harian Kompas yang terfokus pada tema Ramadan
mulai dari awal bulan Ramadan (10 Juli 2013) hingga akhir bulan Ramadan (7
Agustus 2013). Selama edisi Ramadan 2013 tersebut, terdapat 8 foto headline
bertema Ramadan yang memiliki kesamaan topik, yakni 1 foto tentang shalat
tarawih, 1 foto tentang kenaikan harga, dan 6 foto mengenai mudik. Kemudian
guna memperkecil jumlah foto yang diteliti, maka terpilih 3 foto yang
mewakili untuk penulis teliti.
c. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka secara
terinci, permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Bagaimana nilai budaya dalam foto jurnalistik berdasarkan analisis
semiotika Roland Barthes pada foto headline bertemakan Ramadan di surat
kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
a. Apa makna denotasi pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat
Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
b. Apa makna konotasi pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat
Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
c. Apa mitos yang terdapat pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di
Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
8
d. Nilai budaya apa yang terdapat dalam tiga foto headline bertemakan
Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7
Agustus 2013?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan yang ingin
dicapai adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui makna denotatif pada tiga foto headline bertemakan
Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7
Agustus 2013.
b. Untuk mengetahui makna konotatif pada tiga foto headline bertemakan
Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7
Agustus 2013.
c. Untuk mengetahui mitos yang terdapat pada tiga foto headline bertemakan
Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7
Agustus 2013.
d. Untuk mengetahui nilai budaya dalam tiga foto headline bertemakan
Ramadan pada foto headline surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013
sampai 7 Agustus 2013.
9
b. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dan sebagai
sumbangan pemikiran di Surat Kabar Harian Kompas dalam bidang foto
jurnalistik.
b. Manfaat Praktis
Bagi penulis, penelitian ini menambah informasi dan wawasan penulis
mengenai bidang kajian media cetak yang menyangkut pemaknaan foto.
Sedangkan bagi pembaca, diharapkan dapat dijadikan masukan bagi
para praktisi, fotografer dan sebagai pedoman untuk para jurnalis media
massa khususnya surat kabar yang tentunya berhubungan dengan foto
jurnalistik sehingga foto yang dihasilkan dan yang didapat dapat
memberikan informasi dan sarat akan nilai budaya.
D. Metodologi Penelitian
a. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan salah satu metode atau cara berfikir yang digunakan
penulis untuk melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian.
Paradigma juga diperlukan agar penulis tidak kehilangan atau keluar dari jalur
cara berpikir penelitiannya.13
Paradigma yang digunakan pada penulisan ini adalah paradigma
konstruksivisme. 14
Paradigma ini memandang bahwa kenyataan itu hasil
13
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2009),
h.5. 14
Zainal Arifin, Penelitian, Pendidikan Metode dan Paradigma Baru (Bandung: Remaja
Rosdakarya: 2012), h. 140.
10
konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat
ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai
hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil
bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruksivisme yang
berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil
pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil
konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap
realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek.15
Hal ini berarti, bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata,
tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian adalah cara pandang penulis dalam melakukan
penelitiannya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
deskriptif dengan jenis kualitatif. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan
fenomena dengan sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan
besarnya populasi atau sampling bahkan populasi dan samplingnya sangat
terbatas.16
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang memusatkan perhatian
pada prinsip-prinsip umum yang medasari dalam perwujudan sebuah
makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam
pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya
dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan
untuk memperoleh gambaran mengenai kategori tertentu.17
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif
15
Arifin, Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, h. 141. 16
Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2006), h. 56. 17
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2009), h. 23.
11
memusatkan perhatian pada gejala-gejala sosial yang ada dalam
masyarakat.18
Secara umum, teknik analisis data dengan alur yang lazim digunakan
dalam metode penulisan kualitatif adalah mengidentifikasi objek yang diteliti
untuk dipaparkan, dianalisis, dan kemudian ditafsirkan maknanya.19
Alur
prosedur yang berpola melingkar (siklis) ini dimulai dari pemilihan topik dan
atau masalah penelitian (biasanya bersifat deskriptif), melacak gejala-gejala
dengan pokok pertanyaan “bagaimana”. Dari sini peneliti
merumuskan/menyusun pertanyan-pertanyaan yang terarah kepada penemuan
jawaban atau masalah. Dengan bekal pertanyaan-pertanyaan ini peneliti
mengumpulkan data, tegasnya melakukan pengamatan.
Gambar 1: Alur Penelitian Kualitatif untuk Gambar/Foto (Isi Media)20
Data yang dimaksud terutama adalah bersifat kualitatif (berupa kategori-
kategori substantif) tetapi bukan berarti mengabaikan data kualitatif yang
18
Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theory and
Methods (Boston: Allyn and Bacon. Inc, 1982), h. 11. 19
HB Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif (Surakarta: Pusat Penelitian UNS, 1988), h. 20. 20
Firman Eka Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi,” (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), h. 48.
12
dinilai penting untuk dicatat dan dianalisis. Peran informasi dari sumber
kepustakaan sangat menentukan, oleh karena itu dari sinilah acuan, rujukan
dan referensi dihadirkan untuk „mengomentari‟ data yang ada.
c. Metode Penelitian
Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode untuk
menganalisis suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan
dalam menelaah masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan
dijelaskan secara lebih gamblang.
Metode penulisan merupakan cara teknis yang dilakukan dalam proses
penulisan untuk memperoleh fakta dan prinsip secara sistematis.21
Penulis
menggunakan metode semiotik Roland Barthes yang menganggap makna
tidaklah berada dalam teks itu sendiri. Produksi makna merupakan tindakan
dinamis yang setiap unsur didalamnya sama-sama memberikan kontribusi.22
Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang
merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam
foto berita yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya
penulis melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian
tentang nilai budaya.
Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa
yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi
tingkat pertama yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek.
21
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), h. 119. 22
Budiman, Semiotika Visual, h.25.
13
Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang
menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir.23
Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi
merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang
denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau
keyakinan. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tandatanda
dari sistem denotasi. Dalam hal ini, digambarkan bahwa denotasi lebih
menitik beratkan pada ketertutupan makna.24
Dalam kerangka Barthes,
konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.25
Mitos, menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda.
Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara)
seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang
tersimpan dalam dirinya. Mitos adalah naratif yang dikonstruksikan dengan
wacana dialektis dan eksposisi, mitos bersifat orasional dan intuitif, bukan
uraian filosof yang sistematis.26
Makna konotasi mengacu pada enam prosedur, yaitu:27
1. Rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas itu sendiri,
terdiri dari:
23
Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h.
39. 24
Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 39. 25
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 155. 26
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156. 27
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Rosda, 2012), h. 128.
14
a. Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan
memilih objek yang sedang diambil.
c. Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke
dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI)
pada sebuah gambar/foto.
2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah ―estetis, terdiri dari:
a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring
(keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze
(efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan
sebagainya.
b. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi.
Penelitian ini tidak hanya mencari makna atas tanda yang ada dalam foto,
melainkan juga untuk menjabarkan mitos ke arah nilai budaya dengan
menggunakan enam nilai budaya, yaitu:28
28
Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), h. 142.
15
a. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-
benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi
pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam
proses penilaian atas alam sekitar
b. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan,
yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup.
Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju
disebut aspel progresif dari kebudayaan.
c. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep
kekudusan dan ketakziman kepada yang Mahagaib, maka manusia
mengenal nilai agama.
d. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika
dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai
seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan
intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan.
e. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu manusia
mengenal nilai kuasa.
f. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,
persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan
merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal
nilai solidaritas.
16
Hal ini guna memperkaya dan memperdalam hasil bedah foto agar tidak
sebatas menemukan makna yang terbangun.
Gambar 2: Bagan Metodologis29
d. Subjek dan Objek Penulisan
Subjek penulisan bisa diartikan sebagai penentu sumber data, artinya
darimana data itu diperoleh. Subjek penulisan ini bisa berarti orang, atau apa
saja yang menjadi sumber penulisan.30
Adapun yang menjadi sumber dalam
penulisan ini meliputi:
1. Sejumlah orang yaitu wartawan foto jurnalistik atau fotografer di Surat
Kabar Harian Kompas
2. Redaktur foto jurnalistik atau editor foto jurnalistik di Surat Kabar
Harian Kompas
29
Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi,” h. 48. (Diolah lagi oleh
Penulis). 30
Suharsimi Ari Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Binika
Cipta, 1991), h. 32.
17
Objek penulisan adalah masalah yang akan diteliti atau yang akan
dijadikan objek penulisan.31
Dalam penelitian ini, penulis mengambil objek
foto headline harian Kompas edisi Ramadan, yaitu tanggal 10 Juli 2013
sampai 7 Agustus 2013.
e. Tempat dan Waktu Penulisan
Penulisan ini dilakukan di kantor redaksi surat kabar harian Kompas yang
beralamat di Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37 dalam
waktu selama empat bulan, mulai dari bulan Februari-Juni 2014.
f. Teknik Pengumpulan Data
Penulis mengumpulkan data dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
a. Dokumentasi
Berupa data tertulis yang mengandung keterangan dan penjelasan serta
pemikiran tentang fenomena yang masih aktual.32
Dalam hal ini berupa
foto, dokumen, arsip, atau catatan-catatan yang terdapat di harian Kompas.
b. Wawancara
Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data dengan
cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara seorang
atau beberapa orang yang diwawancarai.33
Dalam wawancara ini
penulisakan mewawancarai redaktur foto dan fotografer yang mempunyai
peran aktif dalam pengambilan foto ataupun yang berurusan dengan foto
jurnalistik.
31
Tatang M Anirin, Menyusun Rencana Penulisan (Jakarta: PT Raja Grafika Persada,
1995), h. 15. 32
Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek, h. 77. 33
Wardi Bachtiar, Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah (Jakarta: logos, 1997), h. 71.
18
Wawancara dilakukan kepada dua bagian yang berkepentingan dalam
skripsi ini, yaitu:
Tabel 1: Daftar Narasumber yang diwawancarai
Nama Jabatan Tujuan
Johnny T.G Ketua Desk Foto Harian
Kompas
Perihal kebijakan
redaksional
Lasti Kurnia Fotografer Kompas Perihal pengambilan
foto beserta maknanya.
c. Studi Kepustakaan (Library Research)
Penulis mengumpulkan dan mempelajari data melalui literatur dan sumber
bacaan, seperti buku-buku yang relevan dengan masalah yang dibahas dan
mendukung penulisan
g. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka hasil pengumpulan data kemudian dianalisis
berdasarkan analisis Semiotika. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah
Semiotika Roland Barthes. Studi Semiotika mengambil fokus penulisan pada
seputar tanda.34
Sedangkan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
mencari jawaban dari rumusan masalah yang penulis teliti, meliputi:
a. Mengidentifikasi foto headline di harian Kompas edisi 10 Juli 2013
sampai 7 Agustus 2013. Dalam proses identifikasi diperlukan pendataan
terhadap semua permasalahan di lapangan untuk menghindari
permasalahan yang melebar supaya penulisan dapat terjawab.
34
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 18.
19
b. Penyajian data, yaitu hasil dari analisa dan interpretasi tersebut di atas,
selanjutnya penulis sajikan dengan menggunakan metode deskriptif, yakni
menggambarkan atau memaparkan apa adanya.
c. Menganalisis dan menginterpretasi data, analisa adalah proses
memisahkan mengelompokkan permasalahan pokok yang mengarah
kepada jawaban rumusan masalah dengan penulisan ini, untuk kemudian
diinterpretasikan. Interpretasi adalah proses pemberian makna terhadap
data dari peristiwa atau situasi problematis, yang telah ditemukan guna
memberikan jawaban dari peristiwa yang terdapat dalam foto.
E. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan
oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.35
F. Tinjauan Pustaka
Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum penulis menyusunnya
lebih lanjut maka terlebih dahulu penulis melakukan literatur dalam penulisan
ini di beberapa perpustakaan. Maksud pengkajian ini adalah agar data
diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang tidak sama dengan skripsi-skripsi
sebelumnya.
35
Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
(Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
20
Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu dan buku-buku
serta artikel-artikel yang membahas tentang analisis Semiotika maupun nilai
budaya. Pada penelitian ini akan disampaikan analisis Semiotika dalam
perspektif nilai budaya pada foto headline surat kabar harian Kompas edisi
Ramadan 1434 H./2013 M. Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu,
seperti penelitian mengenai:
a. Skripsi yang disusun oleh Firman Eka Fitriadi dengan judul “Foto
Jurnalistik Bencana Alam gempa Bumi,” Universitas Sebelas Maret
Surakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu
Komunikasi tahun 2010.36
b. Skripsi “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan
Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah),” karya Ali Abdul Rodzik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2008.37
c. Skripsi oleh Arga Sumantri berjudul “Citra Buruh Perempuan dalam
Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di
Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013).” UIN
Syarif Hudayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi
Jurusan Jurnalistik tahun 2014.38
36
Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi.” 37
Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan
Srengseng Sawah,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
38
Arga Sumantri, “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik: Analisis Semiotik
Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei
2013,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2004).
21
d. Skripsi berjudul “Analisis Semiotika Headline Harian Tempo” oleh
Angga Rizal Nur Huda, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi tahun 2009.39
e. Skripsi dengan judul “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun
Kedung Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten
Wonogiri” oleh Hihmatun Hayu Pusporini dari Universitas Negeri
Yogyakarta jurusan pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni tahun
2012.40
f. Tesis Robi Irsyad berjudul “Representasi tentara Amerika Serikat dalam
foto berita surat kabar nasional: Analisis Semiotika foto berita tentang
tentara Amerika Serikat selama 21 hari pertama perang Irak di halaman
satu surat kabar Republika.” Universitas Indonesia, tahun 2005.41
g. Jurnal Mahrus Ali berjudul “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat
Madura mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana”
Universitas Islam Indonesia fakultas Hukum tahun 2010.42
h. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2005 berjudul “Sosialisasi
dan Akulturasi Nilai-nilai Budaya Lokal (Kasus pada Keluarga Inti
Orang Menes di Banten)” oleh Achmad Hufad.43
39
Angga Rizal Nurhuda, “Analisis Semiotik Headline Harian Kompas,” (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009). 40
Hihmatun Hayu Pusporini, “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun Kedung
Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri,” (Skripsi S1 Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012). 41
Roby Irsyad, “Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar
nasional: Analisis Semiotika foto berita tentang tentara Amerika Serikat selama 21 hari pertama
perang Irak di halaman satu surat kabar Republika,” (Tesis Universitas Indonesia, 2005). 42
Mahrus Ali, “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura mengenai
Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana,” (Jurnal Universitas Islam Indonesia, 2010). 43
Achmad Hufad, “Sosialisasi dan Akulturasi Nilai-niali Budaya Lokal: Kasus pada
Keluarga Inti Orang Menes di Banten,” (Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2005).
22
i. Jurnal berjudul “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya
Pembangunan Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula
di Kota Gorontalo)” oleh Rasid Yunus dari Universitas Pendidikan
Indonesia tahun 2012.44
Beberapa contoh skripsi dan satu tesis di atas memiliki kesamaan
membahas mengenai makna dan simbol pada foto jurnalistik dengan
menggunakan analisis Semiotika dan nilai budaya. Tetapi foto yang akan
dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang berbeda.
G. Sistematika Penulisan
Guna membuat penulisan skripsi ini semakin terarah, penulis membuat
sistematika penulisan yang disesuaikan dengan masing-masing bab. Penulis
membaginya menjadi lima bab yang masing-masing bab terdiri atas beberapa
sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika
penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
Penulis memulai dengan Pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan
menguraikan tentang Latar Belakang masalah, yaitu menjelaskan mengenai
fotografi, foto jurnalistik, foto headline, alasan mengapa mengambil surat
kabar harian Kompas, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metodologi Penulisan, Pedoman Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan
Sistematika penulisan.
Selanjutnya, penulis elaborasi dengan Landasan teori. Dalam bab dua ini,
penulis menguraikan tentang teori-teori yang digunakan yang sesuai dengan
44
Rasid Yunus, “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan
Karakter Bangsa: Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo,” (Jurnal Universitas
Pendidikan Indonesia, 2012).
23
permasalahan. Seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang
fotografi jurnalistik, sejarah fotografi di Indonesia, tinjauan umum tentang
semiotik, pandangan Saussure dan Peirce, juga semiotik foto Roland Barthes,
serta menambahkan penjelasan tentang nilai budaya.
Khususnya untuk Profil, penulis menguraikan tentang Surat kabar harian
Kompas, tentang riwayat singkat Kompas, perkembangannya, visi misi, serta
susunan redaksional Kompas, ditempatkan pada BAB III.
Sebagai inti skripsi, maka BAB IV merupakan analisis penelitian, yang
membahas hasil penelitian yang berisi tentang tanda-tanda, makna, pesan yang
terdapat pada foto headline dalam Surat kabar harian Kompas edisi Ramadan
2013 dengan menggunakan teori Roland Barthes yaitu denotatif, konotatif dan
mitos.
Akhirnya, penulis tutup dengan Kesimpulan dari hasil penelitian serta
Saran untuk penggiat fotografi dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi khususnya Program Studi Jurnalistik tentang makna, peran
dan juga kekuatan daya tarik dari foto jurnalistik.
24
Gambar 3: Bagan Teoritis
Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang
merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto
headline yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya penulis
melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian tentang nilai
budaya yang terdiri dari enam unsur, yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama,
nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas.
Penulis membaca nilai budaya yang timbul dari hasil pembacaan semiotik
foto, itulah mengapa penulis memposisikan nilai budaya setelah melihat pesan
yang timbul lewat metode semiotiknya, karena nilai budaya itu muncul setelah
mitos. Konotasi dan mitos adalah dua inti semiotika Barthes yang penulis pakai di
skripsi ini, dan mitos merupakan puncak pembacaan pesan dalam foto. Jadi
setelah mitos terbaca, saat itulah penulis mengkorelasikannya dengan nilai
budaya. Skripsi ini adalah skripsi semiotik, dan nilai budaya jadi satu tambahan
wacana yang ingin penulis angkat. Hal ini guna memperkaya dan memperdalam
hasil bedah foto agar tidak sebatas menemukan makna yang terbangun.
25
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Fotografi Jurnalistik
1. Pengertian Fotografi Jurnalistik
Fotografi dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah foto jurnalistik
atau foto berita. Dikatakan sebagai foto berita, sebab unsur dasar dari foto
jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga
harus memuat informasi 5W+H, yaitu: What, Who, When, Where, Way + How,
asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai
sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan
foto.1
Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto yang dapat berdiri
sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa. Foto jurnalistik pun dapat menjadi
pelengkap dan penguat pesan yang disampaikan dalam berita.2 Sehingga dapat
diasumsikan bahwasanya foto jurnalistik atau foto berita dapat memiliki peran
ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap berita, selanjutnya
disisi lain dapat menjadi berita itu sendiri.
Sejarah mencatat, surat kabar harian The Daily Graphic, pada hari Senin
tanggal 16 April 1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan
salon pada halaman satu yang disebut taufan Wijaya dalam bukunya Foto
Jurnalistik, merupakan embrio foto jurnalistik.3
1 Frank P. Hoy, Photo Journalism The Visual Approach (New Jersey America: Practice –
Hall, 1986), h. 5. 2 Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010), h. 91.
3 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik dalam Dimensi Utuh (Jakarta: CV Sahabat, 2011), h.1.
26
Kemudian pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat,
majalah tersebut menghadirkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada
tulisan dalam penyajian beritanya. Wilson Hicks merupakan pelopor foto
jurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut membuat kehadiran
fotografi sebagai salah satu elemen berita, berkembang semakin pesat. Pada
tahap ini, foto jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan,
karena kehadirannya telah menjadi elemen berita itu sendiri, bukan hanya
sebagai unsur pelengkap semata.4
Dalam buku Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi
Jurnalistik Indonesia Modern yang ditulis oleh Atok Sugiarto, dikatakan
bahwa seiring perjalananya, keberadaan foto memang bisa sejajar dengan
berita tulis, bahkan sering dikatakan bahwa sebuah foto dapat lebih hebat dari
ribuan kata-kata karena mampu menggambarkan atau menceritakan suatu
kejadian dengan amat baik.5
Foto jurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan. Pesan dalam foto
jurnalistik bisa sekadar bagian penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung
singkat, bisa juga sengaja diciptakan fotografer dari cerita dibalik sebuah
peristiwa.6 Esensi pesan menjadi hal yang seolah mutlak lekat dalam praktik
foto jurnalistik. Karena secara sederhana dapat dipahami bahwasanya foto
jurnalistik adalah foto yang sifatnya informatif dan menarik bagi pembaca.
Seiring berjalannya waktu, ketika foto telah mengisi setiap halaman pada
surat kabar, kehadiran foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak
4 Onong Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), h. 38. 5 Atok Sugiarto, Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia
Modern (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), h. 89. 6 Yunus, Jurnalistik Terapan, h. 19.
27
pakar Ilmu Komunikasi. Selain karena foto mampu membekukan suatu
peristiwa, bahkan merekam peristiwa yang berdurasi hanya sekejap, sifatnya
yang statis juga membuat foto dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti video
yang sifatnya lebih dinamis atau sepintas lalu, yang pada akhirnya sebuah foto
dapat menampilkan gambar lebih detail dari suatu peristiwa.7 Oleh karenanya
foto dapat lebih mudah dicerna berbagai kalangan dan dapat menimbulkan efek
psikologis secara langsung terhadap pembaca surat kabar.
2. Jenis Foto Jurnalistik
World Press Photo, organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan para
fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara lain:8
Spot Photo atau Foto Berita
Yang dimaksud dengan foto berita adalah foto tunggal yang menyajikan
satu peristiwa yang berdiri sendiri.9 Artinya, tanpa keterangan yang berbelit-
belit dan panjang lebar, pembaca surat kabar dapat atau mudah menangkap
kesan adanya peristiwa yang bernilai berita. Misalnya foto tentang pejabat
menggunting pita, akan menimbulkan kesan adanya peresmian suatu
tempat. Walaupun foto seperti itu dapat dikatakan sebagai foto berita, tetapi
nilai beritanya (news value) sangat rendah. Kadangkala bahkan foto seperti
iu tidak dimasukkan dalam foto jurnalistik. Hal itu disebabkan oleh faktor
seringnya atau mudah diperolehnya foto seperti itu.
Nilai berita pada foto jurnalistik itu terletak pada keanehan atau
ketepatan perekaman suatu peristiwa. Sebagai contoh tentang tabrakan.
Apabila foto tersebut hanya menyajikan peristiwa sesudah tabrakan ada
7 Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 77-79.
8 Alwi, Foto Jurnalistik, h.5.
9 Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 77.
28
mobil penyok, disampingmya beberapa orang terkapar dan telah banyak
orang mengerumuninya, foto tersebut tidak terlalu banyak berkata-kata.
Apalagi bila dalam gambar itu tidak ada identitas yang dapat menyatakan
tempat kejadian, pembaca akan langsung mengatakan, itu tabrakan. Tanpa
keterangan lebih lanjut yang ditulis, hanya kesan tabrakan itu yang dapat
ditangkap. Tetapi seandainya ada identitas yang dapat menjelaskan
peristiwa itu, akan banyak menolong pembaca untuk memahaminya.
Identitas yang dimaksudkan misalnya, nomor plat mobil yang menunjukkan
asal mula mobil tersebut, rambu-rambu lalu lintas atau tempat kejadian
misalnya pagar jalan atau gedung yang menjadi latarbelakang kejadian dan
seterusnya yang dengan mudah dapat diketahui oleh pembaca.
Identitas-identitas yang ditonjolkan membuat berita yang akan
disampaikan kepada pembaca melalui foto itu semakin banyak. Itu seperti
didalam menyajikan foto, harus diusahakan sesedikit mungkin memberikan
penjelasan bersifat tulisan. Melalui foto tersebut, pembaca disodori
sebanyak mungkin fakta.10
Foto jurnalistik yang paling tinggi atau bobot
beritanya selalu menyangkut suatu kejadian dan tepat waktu.11
Misalnya
tentang tabrakan. Di Saat tabrakan itu terjadi ada faktor lain yang
memperkuat atau menambah nilai berita. Faktor-faktor penunjangnya adalah
ekspresi orang yang melihatnya, yang ada disekitar tempat itu. Foto jenis ini
harus segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.
Ketepatan itu yang seringkali tidak dapat direncanakan dan lebih banyak
ditentukan oleh faktor kebetulan dan keberuntungan. Faktor itu yang
10
Alwi, Foto Jurnalistik, h. 3. 11
Alwi, Foto Jurnalistik, h. 4.
29
membuat nilai foto itu menjadi tinggi. Adegannya tidak dapat diulang dan
tidak dilakukan dengan pura-pura ia ada sebagaimana adanya.12
General News Photo
Adalah foto yang yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin
dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik, ekonomi dan
humor.
People in The News Photo
Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita, yang
ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu.
Daily Life Photo atau Human Interset
Adalah foto jurnalistik yang dapat digolongkan pada jenis ini berkaitan
erat dengan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ia tidak
terlalu asing bagi masyarakat. Hidup ditengah-tengah masyarakat dan dapat
dilihat setiap saat. Tetapi foto ini menyajikan fakta yang menggugah emosi
kemanusiaan, yang menyadarkan masyarakat akan harkat dan martabat
manusia. Ada pesan kuat yang ingin disampaikan melaui foto jenis ini, yaitu
pesan kemanusiaan.13
Misalnya foto tentang kegiatan pagi hari ditepi kali.
Dalam foto itu digambarkan keadaan kali yang sangat kotor tetapi ada yang
mandi, gosok gigi, mencuci dan buang hajat. Dengan foto seperti itu
kesadaran masyarakat akan kebersihan digugah, agar masalah tersebut
menjadi pemikiran semua orang.
Dengan demikian, foto jurnalistik jenis ini tidak harus memperhitungkan
nilai berita atau kehangatan sebagaimana foto-foto berita. Walau pun
12
Alwi, Foto Jurnalistik, h. 8. 13
Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 77.
30
kadang-kadang ia harus mampu berdiri sendiri tanpa harus bersandar pada
penjelasan tertulis yang barangkali perlu ditambahkan adalah keterangan
mengenai lokasi dan waktu pengambilan gambar. Tetapi hal itu pun tidak
perlu dilakukan apabila kita dapat merekam keterangan-keterangan itu
dalam foto. Misalnya dengan latar belakang gedung-gedung atau tulisan
tertentu.
Yang penting dalam foto jenis ini adalah kedekatan masalah yang ingin
disajikan dengan masyarakat. Sangat banyak permasalahan yang dapat kita
sajikan tanpa harus mengada-ada. Sering pula masyarakat menyaksikan
kejadian yang kita rekam dalam foto itu sehingga dianggap biasa. Tetapi
dengan foto jenis human interest itu kita justru menyajikan hal yang biasa
itu menjadi tidak biasa. Ada pesan lain yang akan kita sampaikan dari hal
yang biasa itu.14
Portrait
Adalah foto yang menampilkan seseorang secara personal sesuai karakter
ketokohannya. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang
dimiliki atau kekhasan lainnya.
Sport Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.
Science and Technology Photo
Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
14
Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 78.
31
Art and Culture Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.
Social and Environment
Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan
hidupnya.
Feature
Foto feature bukan sekedar snapshot, tapi usaha wartawan untuk memilih
sudut pandang yang khas dan bukan sekedar didikte oleh peristiwa itu
sendiri, sehingga memberi makna lebih dalam terhadap sebuah peristiwa.
Sebagai contoh, saat terjadi kebakaran, wartawan tidak hanya memotret api
yang menyala dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menjinakkan
api, tapi juga memotret ekspresi pemilik rumah yang sedih kehilangan
tempat tinggal.15
Essay Foto
Yang dimaksud dengan foto essay adalah serangkaian gambar atau foto
yang merupakan essay. Kumpulan beberapa foto features yang dapat
bercerita ini dibangun melalui sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita
secara sequentatif dan teks yang menyertainya. Foto kategori ini sering
dianggap “otaknya” foto jurnalistik. Foto-foto ini menyajikan beerbagai
aspek dari suatu masalah yang ingin dibahas.16
Misalnya rangkaian foto
terdiri dari :
- Anak-anak sekolahan (dengan seragam sekolah) bergerombol di depan
kios persewaan buku.
15
Yuniadhi Agung, Pengantar Fotografi Jurnalistik (Jakarta: T.pn., 2004), h. 23. 16
Fotomedia, “Foto Jurnalistik Gabungan Gambar dan Kata,” April 2003, h. 24.
32
- Segerombolan anak sekolah yang secara sembunyi-sembunyimembaca
buku porno.
- Anak-anak sekolahan berada dikomplek pelacuran.
Dari tiga foto itu pembaca diajak untuk merenungkan kejadian-kejadian
tersebut. Hal yang ingin kita sajikan dengan essay foto itu menyangkut
kerawanan buku porno dikalangan pelajar. Bisa juga essay foto itu dibuat
tanpa harus merupakan rentetan peristiwa dengan tokoh yang sama. Tetapi
pesan yang ingin disampaikan utuh. Misalnya foto:
- Tawar-menawar antara dua orang di suatu tempat yang tersembunyi
- Foto poster tentang bahaya narkotika
- Foto seorang remaja sedang menghisap rokok dan teler.
Dari rangkaian foto yang tidak ada hubungannya antara satu dengan yang
lain, kita dapat menyampaikan pesan tentang bahaya narkotika. Apabila kita
dapat menyajikan rangkaian foto secara menarik, pesan yang akan kita
sampaikan melalui essay foto itu akan lebih mudah ditangkap pembaca
daripada kita menyampaikannya dalam tulisan.
Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajiannya, foto berita
terbagi menjadi dua, yaitu:17
1. Foto Tunggal (single photo): Adalah foto yang memiliki informasi cukup
lengkap dan lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu
diperkuat oleh kehadiran foto lainnya.
17
Wawancara Pribadi dengan Lasti Kurnia (Fotografer Kompas), Jakarta, 6 Juni 2014.
33
2. Foto Seri (Foto Story): Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun
suatu cerita. Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran
menyeluruh dan lengkap tentang suatu peristiwa.
Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek. Pertama, isi pesan (content of
message), yang kedua adalah lambang (symbol). Kongkritnya, isi pesan itu
adalah isi foto dan caption. Isi pesan yang bersifat latent, yakni pesan yang
melatarbelakangi sebuah pesan, dan pesan yang bersifat manifest, yaitu pesan
yang tampak tersurat.18
Dalam hal ini, isi pesan yang dimaksud adalah isi
(content) dari foto jurnalistik dan foto features yang berupa lambang-lambang
berbentuk foto begitu juga konteks yang menyertainya.
3. Proses Teknik Foto Jurnalistik
Seorang fotografer jurnalistik harus mengetahui beberapa proses teknik
foto jurnalistik yang baik. Yang dimaksud dengan proses teknik foto jurnalistik
yaitu urutan atau tahapan pengambilan objek yang dilakukan oleh fotografer
sehingga menghasilkan sebuah karya foto yang dapat dinikmati, melibatkan
perasaan dan menggugah emosi pembaca. Foto jurnalistik yang baik tidak
hanya sekedar fokus secara teknis, namun juga fokus secara cerita. Fokus
dengan teknis adalah gambar yang mengandung tajam dan kekaburan yang
beralasan.19
Ini dalam artian memenuhi syarat secara teknis fotografi. Fokus
secara cerita, kesan, pesan dan misi yang akan disampaikan kepada pembaca
mudah dimengerti dan dipahami. Sementara dari konsep pemaknaan sudut
18
Onong Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 38. 19
SK Patmono, Teknik Jurnalistik Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan (Jakarta:
PT BPK Gunung Mulia, 1996), h. 109.
34
pengambilan gambar yang dikutip dari konvensi menurut Berger,20
sebagai
berikut:
Tabel 2
Signifier (Penanda)
Sudut Pengambilan
foto
Definisi Signified( Petanda)
Close-up (CU) Hanya wajah Keintiman
Medium shot (MS) Hampir seluruh tubuh Hubungan personal
Long shot (LS) Setting dan karakter Konteks, skope,
jarak publik
Full shot (FS) Keseluruhan Hubungan sosial
Low Angle (LA) Kamera melihat ke
Bawah
Kekuasaan, kekuatan
High Angle (HA) Kamera melihat ke atas Kelemahan,
Ketidakberdayaan
Eye Level Kamera sejajar dengan
mata objek
Kesejajaran
a. Close Up (CU)
Shot yang menampilkan objek pada gambar lebih dekat. Misalnya dari
batas bahu sampai atas kepala. Pengambilan gambar close up ini,
biasanya menampilkan identifikasi psikologi sebuah karakter yang
memerlukan perkuatan rincian detail berbagai aksi. Pengambilan gambar
secara close up berguna juga untuk menekankan detil.
b. Medium Shot (MS)
Medium Shot, dapat dikategorikan sebagai komposisi “Potret setengah
badan”, dengan background yang masih dapat dinikmati. Pengambilan gambar
ini memperdalam gambar dengan lebih menunjukkan profil dari obyek yang
diambil. Tampilan background menjadi hal kedua yang diperhatikan, yang
20
Arthur Asa Berger, Tehnik-tehnik Analisis Media, h. 33.
35
terpenting adalah profil, bahasa tubuh dan ekspresi tokoh utama dalam bingkai
gambar ini dapat terlihat dengan jelas.
c. Long Shot (LS)
Untuk mengikuti area yang lebar dan menunjukkan dimana objek
berada/menujukkan tempat. Long shot menunjukkan progres bagaimana posisi
subjek memiliki hubungan dengan yang lain.
d. Full Shoot (FS)
Pengambilan gambar penuh dari kepala hingga kaki. Fungsinya
memperlihatkan objek beserta lingkungannya.
e. Low Angle (LA)
Pengambilan gambar teknik ini yakni mengambil gambar dari bawah
objek. Kesan yang ditimbulkan yaitu keagungan atau kejayaan. Biasanya
teknik ini sering di gunakan untuk membuat sebuah karakater monster atau
manusia raksasa.
f. High Angle
Teknik pengambilan gambar dengan sudut tepat diatas objek. Sudut
pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari low angle. Pengambilan
gambar yang seperti ini memilki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil.
g. Eye Level Angle
Teknik pengambilan gambar ini dilakukan dengan posisi kamera berada
sejajar dengan obyek dalam pandangan mata secara horizontal, dimana dalam
praktek pengambilannya bisa berada di kiri, kanan, depan maupun dibelakang
obyek tergantung dari fotografer. Fungsi dari teknik ini cocok dipakai untuk
menerangkan kegiatan apa saja dalam dari obyek yang dibidiknya.
36
B. Headline
Headline menurut Kurniawan Junaedhie merupakan berita utama atau lebih
populer dengan istilah Headline News adalah yang dianggap layak dipasang di
halaman depan, dengan judul yang menarik perhatian dan menggunakan tipe
huruf yang relative besar. Pendeknya, berita yang istimewa.21
Sementara Onong Uchjana Efendy mengatakan, Headline News atau berita
utama adalah berita suratkabar, majalah, radio, atau televise, yang dinilai
terpenting untuk suatu masa penyiaran.22
Menurut A.M. Hoeta Soehoet, pengertian berita utama adalah:
Berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar
merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari
itu. karena itu, untuk headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca,
yaitu halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri.
Headline biasanya terdiri dari 3, 4, atau 5 kolom.23
Sebuah foto headline harus mudah diingat dan punya kesan mendalam
sehingga pertama kali melihat orang tersebut langsung tahu apa yang terjadi
dan mengetahui kejadian yang ditampilkan foto tersebut. Foto headline harus
menarik berbeda dari yang lain, aktual, informatif dan lain sebagainya. Hanya
dengan seketika, pembaca dibuat penasaran dan bertanyatanya apa sebenarnya
yang ada di foto itu, apa yang dilakukan, dimana terjadinya peristiwa itu dan
siapa orang yang ada di foto itu.24
Setidaknya itu yang ada dibenak pembaca
saat pertama kali melihat foto headline. Jika tidak muncul rasa seperti itu,
21
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991), h. 257. 22
Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensi Komunikasi (Bandung: Mandar Maju,
1981), h. 160. 23
A. M. Hoeta Soehoet, Dasar-dasar Jurnalistik (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta
IISIP, 2003), h. 78. 24
Moeljadi Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu? (Surabaya: Fakultas Seni dan
Desain UK Petra, 2000), h. 76-79.
37
maka gambar yang tepampang di headline tidak memenuhi kriteria sebuah
foto. Sebab, foto yang baik adalah foto yang menarik. Apabila kita membuat
foto yang sama dengan yang lain maka foto tersebut akan terlihat biasa saja
dan dianggap tidak menarik.
Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan
berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan intelektual.
Sedangkan foto dapat langsung dipahami karena melibatkan usnur-unsur panca
indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan pembaca.
Berdasarkan isinya, headline dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori
yaitu langsung dan tidak langsung. Headline langsung bersifat informatif dan
terus terang. Headline seperti ini cenderung menggunakan daya tarik rasional.
Daya tarik rasional membangkitkan kepentingan–diri audience. Daya tarik
rasional menunjukkan bahwa produk tersebut akan menghasilkan manfaat yang
dikatakan.25
Contohnya adalah headline yang menunjukkan kualitas, nilai
ekonomis, manfaat, atau kinerja suatu produk. Ditinjau dari segi demografis
dan psikografis, tampaknya audience pada kebudayaan industrial paling
respontif terhadap headline ini.
Headline tidak langsung tidak seselektif headline langsung dalam
memberi informasi. Headline jenis ini cenderung menggunakan daya tarik
emosional. Daya tarik emosional mencoba membangkitkan emosi positif atau
negatif yang akan memotivasi pembelian.26
Dalam hal ini headline memiliki
asosiasi yang unik bagi audience yang secara emosional mampu mendorong
munculnya suatu image yang baik mengenai produk yang diiklankan. Hal itu
25
Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, h. 75. 26
Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, h. 76-79.
38
dapat dicapai dengan menggunakan daya tarik negatif seperti rasa takut, rasa
bersalah, dan malu agar orang berhenti melakukan hal yang seharusnya tidak
mereka lakukan. Selain itu, juga dapat digunakan daya tarik emosional yang
positif seperti humor, cinta, kebanggaan, dan kebahagiaan.
C. Semiotik Model Roland Barthes
Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya berhenti
pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes
mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,
yaitu tingkat denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.27
Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap
berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna lapis kedua, yang
terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti
perasaan, emosi atau keyakinan.28
Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of
signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.
27
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261. 28
Piliang, Hipersemiotika, h. 261.
39
Tabel 3: Peta Tanda Roland Barthes29
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGN
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut
merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak
sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.
Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu
makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang
digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas
atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu
kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau
memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan.
Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat
berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai
kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut.
29
Paul Cobley & Litza Janz, Introducing Semiotics (NY: Totem Books, 1999), h. 51.
40
Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam
tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interkasi
antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif.30
Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan
mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signified
(petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan
menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi.
Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil
konotasi.31
Seperti pada gambar di bawah:
Gambar 4: Tatanan Penandaan Barthes32
Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan
pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.33
Denotasi dan Konotasi
Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa
yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi
tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek.
30
John Fiske, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 1990), h. 121. 31
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: PT Serambi Ilmu,
2008), h. 14. 32
Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 22. 33
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 70.
41
Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang
menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir. Dalam hal ini,
digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan
makna.34
Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi
merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang
denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau
keyakinan. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai
mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-
nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Karena pada
dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi.35
Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi
sebagai berikut:
Tabel 4: Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif36
KONOTASI DENOTASI
Pemakaian figur Literatur
Petanda Penanda
Kesimpulan Jelas
Memberi kesan tentang makna Menjabarkan
Dunia Mitos Dunia keberadaan/eksistensi
Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat,
baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam) dapat
dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:37
34
Fiske, Cultural and communication Studies, h. 122. 35
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 71. 36
Berger, Tehnik-tehnik Analisis Media, h. 55. 37
Yuwono dan Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia, 2004), h.
77-78.
42
a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message),
sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran denotasi citra yang
berfungsi menaturalkan pesan simbolik.
b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai
analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya
didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotip
tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur
konotasi citra –khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan
konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-
prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang
diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita
itu sendiri (Trick Effect, Pose, dan Object) dan konotasi yang diproduksi
melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax),
yaitu:38
Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan
memilih objek yang sedang diambil.
Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan
ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest
(POI) pada sebuah gambar/foto.
38
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 173.
43
Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto),
bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek
gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek)
dan sebagainya.39
Tabel 5: Pemaknaan Photogenia dalam menganalisis foto40
TANDA MAKNA KONOTASI
Photogenia Teknis Fotografi
Pemilihan lensa
Normal Normalitas keseharian
Lebar Dramatis
Tele Tidak personal, voyeuritis
Shot size
Close up Intimate, dekat
Medium up Hubungan personal dengan subjek
Full shot Hubungan tidak personal
Long shot Menghubungkan subjek dengan
konteks, tidak personal
Sudut pandang
High angle Membuat subjek tampak tidak berdaya,
didominasi, dikuasai, kurang otoritas
Eye level
Khalayak tampil sejajar dengan subjek,
memberi kesan sejajar, kesamaan,
sederajat.
Low angle
Menambah kesan subjek berkuasa,
mendominasi, dan memperlihatkan
otoritas
Pencahayaan
High Key Kebahagiaan, cerah
Low key Suram, muram
Datar Keseharian, realistis
Penempatan
subjek/objek pada
bidang foto
Atas Memberi kesan subjek berkuasa
Tengah Subjek penting
Bawah Subjek tidak penting
Pinggir Subjek tidak penting
39
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 174. 40
M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.
43.
44
Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption ialah:
Fungsi Penambat/ Pembatasa (anchorage) agar pokok pikiran dari
pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud penyampaiannya
Fungsi Pemancar/Percepatan (relay) agar langsung dipahami
maksud dari pesan yang disampaikan.41
John Fiske menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan
menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto
yang memunculkan pertanyaan „ini foto apa‟, sedangkan konotasi adalah
bagaimana ini bisa difoto? Atau menitikberatkan pertanyaan „mengapa
fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?.‟42
Atau dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan
konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Mitos menurut Roland Barthes, mitos bukanlah seperti apa yang kita
pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal,
transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang
hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Roland Barthes adalah sebuah
ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of specch (tipe wicara
atau gaya bicara) seseorang.43
Mitos digunakan untuk mengungkapkan
sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika
41
Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. 42
Fiske, Cultural and Communication Studies, h. 48. 43
Sobur, Analisis Teks Media, h. 127.
45
segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan
menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang
tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar). Roland Barthes pernah
mengatakan “Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh
kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi
bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali
kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa
itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal
atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik
suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.44
Menurut Barthes, mitos memiliki empat ciri, yaitu:45
1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan
deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem
tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta
yang sebenarnya.
2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
4. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi.
Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai
44
Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. 45
“Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes),” Media
Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007, h. 4.
46
kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik
tingkat pertamanya.
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan bagaimana pembacaan nilai
budaya dalam foto jurnalistik yang terdapat dalam foto headline koran
Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013. Selanjutnya, untuk
menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra
yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek),
photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).
D. Konsep Nilai Budaya
1. Nilai
Nilai (value) berasal dari bahasa latin “valere” yang berarti berguna,
berdaya, dan berlaku. Dalam hal ini mengandung beberapa pengertian, bahwa
nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang disukai, diinginkan, dimanfaatkan,
berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.46
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai berarti sifat-sifat (hal-hal)
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Misalnya dalam konteks
keagamaan, ini merupakan konsep mengenai penghargaan tinggi yang
diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok di
kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman tingkah
laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.47
Seperti yang dikutip Andreas A. Danandjaja berpendapat bahwa nilai
adalah pengertian-pengertian (conception) yang dihayati seseorang mengenai
46
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Golo Riwu, 2000), h. 721. 47
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 713.
47
apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang
baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar.48
Masih dalam buku yang
sama, J. M Soebijanta menyatakan bahwa nilai hanya dapat dipahami jika
dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam sebuah model metodologis:
Gambar 5: Model Metodologis Nilai
Nilai Sikap Tingkah Laku
Sebuah nilai dapat dikategorikan sebagai:49
a. Nilai Subjektif
Sesuatu yang oleh seseorang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya
pada suatu waktu dan oleh karena itu (seseorang tadi) berkepentingan atasnya
(sesuatu itu), disebut bernilai atau mengandung nilai bagi orang yang
bersangkutan. Oleh karena itu ia dicari, diburu, dan dikejar dengan
menggunakan berbagai cara dan alat. Dalam hal ini nilai dianggap subjektif
dan ekstrinsik. Nilai ekstrinsik sesuatu atau suatu barang berbeda menurut
seseorang dibanding orang lain.
b. Nilai Objektif
Nilai yang didasarkan pada standar dan kriteria tertentu, yang objektif,
yang disepakati bersama atau ditetapkan oleh lembaga berwenang. Dalam hal
ini nilai dianggap intrinsik.
Dari beberapa definisi nilai yang telah disebutkan di atas, maka peneliti
dapat menarik kesimpulan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang
48
Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 18. 49
Bagus, Kamus Filsafat, h. 716.
48
membuat sesuatu itu dihargai dan nilai tinggi sebagai suatu kebaikan dan
dapat dijadikan pedoman oleh seseorang dalam bersikap dan bertingkah
laku.50
2. Budaya
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.51
Menurut Tylor, “culture is the complex whole which includes knowledge,
belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities acquired by man
as a member of society.”52
Sedangkan menurut The American Herritage Dictionary mengartikan
kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang
dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan samua
hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.53
Menurut Elvio, “Culture is a set of learned adaptive techniques.”54
Jika
bicara masalah budaya, bukan hal yang secara singkat dapat dipahami, ini
menyangkut masalah bagaimana budaya berangsur-angsur secara pasti
terbentuk melalui proses interaksi manusia dengan alam atau manusia dengan
manusia itu sendiri.
50
Bagus, Kamus Filsafat, h. 713. 51
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h.
181. 52
Fri Suhara, Ilmu Budaya Dasar, Pokok-pokok Perkuliahan Untuk Mahasiswa (Bogor:
Maharani Press, 1998), h. 72. 53
Yan Mujianto, dkk., Pengantar Ilmu Budaya (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010),
h. 1. 54
Elvio Angeloni dan Clyde Kluckhohn, Classic Edition Sources Antropology (Pasadena:
Mc Graw Hill, 2008), h. 4.
49
Selanjutnya, Elvio juga memiliki persepsi tentang budaya itu sendiri,
“Culture is a way of thinking, feeling, believing. It is the group’s knowledge
stored up (in memories of men; in books and aobjects) for future use.”55
Bagaimana cara seseorang berfikir, merasakan dan memercayai sangatlah
berbeda dari manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Ini terbentuk
karena adanya ideologi yang dilahirkan dari karakteristik budaya yang ia
anut. Budaya juga bisa dikatakan sebagai sistem pengetahuan, nilai, adar
istiadat, tatakrama dan ritual keagamaan yang menjadi identitas masing-
masing individu.
Judy C. Pearson pun ikut andil memberikan persepsi lain tentang budaya
yang ia rumuskan. “Culture can be defined as a system of shared beliefs,
values, customs, behaviors, and rituals that the member of society use to cope
with one another and with their world.”56
Lebih jauh ia menjelaskan pengertian sub-budaya, “a group that is
similar to and part of the larger culture but is distinguished by beliefs and
behaviors that differ from the larger culture. And number of co-culture exist
based on language, race, religion, economics, age, gender, and sexual
orientation.”57
Inti penting dari budaya adalah mempunyai pandangan bagaimana cara
beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Budaya juga memiliki fungsi yang
sangat berarti dalam kehidupan sebagai makhluk sosial, budaya
55
Angeloni dan Kluckhohn, Classic Edition Sources Antropology, h. 5. 56
Judy C. Pearson, dkk., Human Communication (New York: McGraw-Hill, 2003), h.
212. 57
Pearson, Human Communication, h. 212.
50
dilambangkan sebagai aturan atau sistem sosial yang menjadi penunjuk dalam
menjalani hidup dan meneruskannya pada kehidupan selanjutnya.
Budaya terakhir guna memberikan gambaran terhadap pengalaman
empiris dan membagikannya pada generasi selanjutnya. Menjadikan pelajaran
dalam berbagai hal dalam menjalani kehidupan sosial.
Budaya juga memiliki banyak elemen-elemen, seperti makanan, tempat
tinggal, pekerjaan, pertahanan, control sosial, perlindungan, psikologis,
tujuan hidup dan lain-lain. Namun budaya juga memiliki komponen-
komponen umum seperti sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan
bahasa.
Karakteristik-karakteristik budaya adalah sebagai berikut:58
Budaya itu dipelajari
Budaya itu dibagikan
Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi
Budaya itu didasarkan pada simbol
Budaya itu dinamis
Budaya itu sistem yang terintegrasi
3. Nilai Budaya
Dalam kehidupan bermasyarakat, semua wujud-wujud kebudayaan tidak
bisa terpisahkan dan saling berkaitan. Wujud kebudayaan yang berupa
aktivitas/kelakuan mengaitkan semua wujud kebudayaan dengan manusia
yang kemudian membentuk sistem nilai yang membuat suatu kelakuan yang
berpola dalam masyarakat.
58
Pearson, Human Communication, h. 218.
51
Keterkaitan komponen-komponen tersebut dalam kebudayaan modern
sekarang sangat terkait dengan pembentukan budaya visual dalam kehidupan
manusia modern. Karena budaya visual merupakan salah satu wujud
kebudayaan yang berupa konsep (nilai) dan materi (artefak/benda) yang
ditangkap oleh panca indera visual manusia kemudian dapat dipahami sebagai
tautan pikiran untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Wujud dari kebudayaan
visual yang berupa artefak inilah yang diapresiasikan manusia kemudian
membentuk sebuah aktivitas komunikasi non-verbal yang akhirnya
memunculkan pemaknaan-pemaknaan terhadap artefak tersebut.59
Dalam studi
ilmu komunikasi, artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan
manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna
tertentu.60
Media komunikasi visual yang berupa foto dapat dipandang sebagai
budaya visual yang sangat fungsional serta telah menjadi bagian kehidupan
sehari-hari di masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat modern, foto
merupakan hasil kebudayaan yang menyentuh sisi kehidupan manusia tentang
arti dan makna dalam sebuah kehidupan. Foto merupakan wujud dari
pencapaian kreatifitas serta kecerdasan manusia yang dapat segera diserap
secara visual oleh panca indera manusia. Oleh karena itu foto merupakan
fenomena visual yang mengalami perkembangan teknologi cukup pesat.
Kehadiran fotografi disebut sebagai alat perekam dan penghadir ulang
sebuah kenyataan yang ampuh. Fotografi disebut-sebut mempunyai kepekaan
59
Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1957), h. 88. 60
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003), h. 380.
52
dalam merekam detail yang membuat manusia modern mengagungkannya
sebagai kemajuan manusia dalam merekam kenyataan yang ada, baik dari
sejarah sampai dengan foto-foto yang sifatnya dokumentasi sampai dengan
foto-foto yang bersifat komersial. Serbuan budaya populer membuat fotografi
menggiring pada anggapan sebagai media penghadir kenyataan yang objektif.
Dengan perkembangan masyarakat modern yang membutuhkan kecepatan dan
ketepatan informasi membuat fotografi menjadi salah satu media yang paling
handal.61
Dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual berperan besar
pada pembentukan opini publik. Para fotografer jurnalistik maupun fotografer
seni dalam dunia sosialis sangat meyakini bahwa fotografi dapat berperan dan
bertanggung jawab dalam pembentukan masyarakat yang ideal, berlawanan
dengan mereka yang mengagungkan obyektivitas dalam fotografi, yang
akhirnya menggunakan fotografi untuk memanipulatif.62
Sebuah kisah menarik ketika Roland Barthes membawa skandal fotografis
dalam peristiwa Komune Paris. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan
sosok-sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan
baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris,
merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan,
dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah ideologi. Dalam pose itu,
setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan cita-cita. Setiap wajah
mengguratkan kehendak dan keberanian dalam kekhasan ekspresi masing-
masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah hidup mereka
61
Barthes, Mythologies, h. 93. 62
Barthes, Mythologies, h. 60.
53
berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah warga Paris
pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat polisi
bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang
revolusioner itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi
mandat kepada polisi untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan
perbuatan mereka. Dari foto kemenangan itu, masing-masing orang itu
dikenali, kemudian satu demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun,
warga Paris tidak tahu bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan yang mereka
lihat itu, bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai.63
Skandal fotografis Roland Barthes di Paris menunjukan fotografi dalam se
buah kebudayaan menunjukan nilai tersendiri yaitu free value. Free value
merupakan sebuah nilai bebas atau mempunyai banyak arti. Nilai ini terlihat
ketika pada saat foto bisa menunjukan arti dan makna yang berbeda bagi
setiap orang yang melihatnya. Bagi kaum revolusioner Paris, foto yang
diambil Roland Barthes merupakan foto kejayaan dan kemenangan. Di lain
pihak bagi kaum borjuis koservatif di Paris, foto yang diambil Barthes
merupakan foto yang membuat mereka malu dan mereka melihat tokoh-tokoh
di balik pemberontakan dari foto itu. Kebebasan dalam memaknai foto inilah
akhirnya bisa menjadi kelemahan sebuah foto saat orang tidak tahu bagaimana
cara memaknainya dan jatuh ke tangan orang yang bertentangan opini. Baik
atau buruknya makna yang dibawa oleh foto tergantung dengan kepentingan
yang digunakan seseorang saat mempublikasikan foto tersebut.64
63
Barthes, Mythologies, h. 99. 64
Barthes, Mythologies, h. 70.
54
Kekuatan foto dalam kebudayaan visual dapat dibuktikan dengan
banyaknya konsumsi masyarakat terhadap kamera foto. Dalam melihat hasil
foto tidak dibutuhkan sebuah peralatan khusus, seperti saat masyarakat ingin
melihat hasil yang diproduksi dari kamera video. Foto bisa dilihat setiap saat
dan di mana saja. Ini yang menjadikan media komunikasi yang disebut dengan
foto ini mempunyai sifat timeless. Foto merupakan media komunikasi yang
tidak akan lekang oleh waktu, karena tidak membutuhkan perawatan khusus
untuk menyimpan dokumen-dokumen yang berbentuk foto. Sifat foto yang
sangat fleksible membuat media ini banyak digunakan untuk kepentingan-
kepentingan tertentu di media massa.65
Pada abad ke-19 para ilmuwan mengira bahwa apa yang ditangkap panca
indra kita sebagai sesuatu yang nyata dan akurat. Para psikolog menyebut
mata sebagai kamera dan retina sebagai film yang merekam pola-pola cahaya
yang jatuh di atasnya. Para ilmuan modern menantang asusmsi itu:
Kebanyakan percaya bahwa apa yang kita amati dipengaruhi sebagian oleh
citra retina mata dan terutama kondisi pikiran pengamat.66
Oleh karena itu
gambar-gambar dalam media visual tersebut mengkonstruksi pikiran manusia
melalui suatu proses aktif dan kreatif yang biasa disebut presepsi. Presepsi
adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan,
dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut
akhirnya mempengaruhi perilaku kita.67
Pada akhirnya kebudayaan visual
65
Barthes, Mythologies, h. 177. 66
Estelle Zannes, Communication: The Widening Circle (Massachusetts: Addison-
Wesley, 1982), h. 27. 67
Robert A. Baron & Paul B. Paulus, Understanding Human Relations: A Practical
Guide to people at Work (2nd
ed.) (A Division of Simon, 1991), h. 34.
55
melalui pencitraan fotografis mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam
kehidupan kebuadayaan visual manusia.68
Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan budaya dalam
mengelompokkan nilai menurut Rusmin Tumanggor dkk. Sekurang-
kurangnya, ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan
kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu:
teori, ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas.69
a. Nilai teori
Rusmin menjelaskan, pengertian dari nilai teori ini adalah ketika manusia
menentukan dengan objektif identitas benda-benda atau kejadian-kejadian,
maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal
adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.
b. Nilai ekonomi
Adalah ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau
kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni
dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Lebih lanjut
Rusmin menjelaskan, kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang
senantiasa maju disebut aspel progresif dari kebudayaan.
c. Nilai agama
Terjadi ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan
kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep kekudusan
dan ketakziman kepada yang Maha gaib, maka manusia mengenal nilai
agama.
68
Barthes, Mythologies, h. 137-142. 69
Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi, h. 142.
56
d. Nilai seni
Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam
menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni.
Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi,
perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan.
e. Nilai kuasa
Saat manusia merasa puas jika orang lain mengikuti pikirannya, norma-
normanya, dan kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.
f. Nilai solidaritas
Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan, dan
simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan
ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.
Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai
kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma
etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada
seseorang atau kelompok orang, akan menentukan “sosok” mereka sebagai
manusia budaya.70
Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang
memerhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori
cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa
cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni
cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok yang materialis,
seniman, dan pekerja sosial. Bisa juga adailmuwan yang mengabdi kepada
70
Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi, h. 102.
57
materi, politisi yang pejuan, ulama yang rasional, ilmuwan yang mistis, dan
sebagainya.71
Budaya progresif akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan
melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya
ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung
budaya progresif pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi
penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya
ekspresif biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang sudah final.72
Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya, yaitu :73
1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas)
2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut
3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi
kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
71
Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, h. 143. 72
Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, h. 144. 73
“Nilai-nilai Budaya,” diakses pada 4 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-
nilai_budaya
58
BAB III
GAMBARAN UMUM PROFIL SURAT KABAR HARIAN KOMPAS
A. Riwayat Singkat Harian Kompas
Kompas Gramedia Grup merupakan salah satu perusahaan besar hingga
saat ini, namun perkembangan Kompas Gramedia Grup hingga saat ini
bukanlah dengan waktu yang singkat, terdapat beberapa peristiwa penting
dalam lingkungan Kompas Gramedia Grup hingga sampai saat ini.
Ide awal penerbitan harian ini datang dari Menteri/Panglima TNI AD
Letjen Ahmad Yani, untuk mengadang dominasi pemberitaan pers komunis.
Gagasan diutarakan kepada Menteri Perkebunan saat itu Drs Frans Seda,
yang kemudian menggandeng Drs Jakob Oetama dan Mr Auwjong Peng
Koen—dua tokoh yang memiliki pengalaman menerbitkan media cetak.1
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, dibentuklah Yayasan Bentara
Rakyat pada 16 Januari 1965. Nama semula diusulkan Bentara Rakyat. Atas
usul Presiden Sukarno, namanya diubah menjadi Kompas, yang berarti
pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan rimba. Kompas terbit
pertama kali pada 28 Juni 1965 dengan tiras sebanyak 4.828 eksemplar.2
Kompas sempat dua kali dilarang terbit. Pertama, pada 2 Oktober 1965
ketika Penguasa Pelaksana Perang Daerah Jakarta Raya mengeluarkan
larangan terbit untuk semua surat kabar, termasuk Kompas, sebagai upaya
agar pemberitaan tidak menambah rasa bingung masyarakat terkait peristiwa
1 Blenzinky, “Perjalanan Sejarah Kompas,” artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari
www.Kompas.com 2 Blenzinky, “Perjalanan Sejarah Kompas.”
59
Gerakan 30 September yang tengah berkecamuk. Kompas terbit kembali pada
6 Oktober 1965.3
Pada 21 Januari 1978, Kompas untuk kedua kalinya dilarang terbit
bersama enam surat kabar lainnya. Pelarangan terkait pemberitaan seputar
aksi mahasiswa menentang kepemimpinan Presiden Soeharto menjelang
pelaksanaan Sidang Umum MPR 1978. Pelarangan bersifat sementara dan
pada 5 Februari 1978, Kompas terbit kembali.4
Pada edisi perdana, Kompas terbit empat halaman dengan 11 berita pada
halaman pertama. Terdapat enam buah Iklan yang mengisi kurang dari
separuh halaman. Pada masa-masa awal berdirinya, Kompas terbit sebagai
surat kabar mingguan dengan delapan halaman, lalu terbit empat kali
seminggu, dan dalam waktu dua tahun berkembang menjadi surat kabar
harian nasional dengan tiras 30.650 eksemplar.5
Sejak 1969, Kompas merajai penjualan surat kabar secara nasional. Pada
2004, tiras harian mencapai 530.000 eksemplar, sedangkan edisi Minggu
mencapai 610.000 eksemplar. Kompas diperkirakan dibaca 2,25 juta orang di
seluruh Indonesia. Dengan tiras sebesar itu, Kompas menjadi surat kabar
terbesar di Indonesia. Untuk memastikan akuntabilitas jumlah tiras, sejak
1976, Kompas menggunakan jasa ABC (Audit Bureau of Circulations) untuk
melakukan audit.
3 “Sejarah Kompas,” diakses pada 4 Juli 2014 dari
http://print.Kompas.com/about/sejarahKompas.html 4 Frans Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob (Jakarta: Humanisme dan Kebebasan
Pers, 2001), h. 59. 5 “Sejarah Kompas.”
60
Saat ini, Kompas Cetak (bukan versi digital) memiliki tiras rata-rata
500.000 eksemplar per hari, dengan rata-rata jumlah pembaca mencapai
1.850.000 orang per hari yang terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia.6
B. Visi & Misi Harian Kompas
a. Visi Harian Kompas
Setiap media memiliki visi yaitu pandangan media dalam menilai suatu
masalah yang terjadi dalam masyarakat. Seperangkat visi inilah yang
nantinya akan dijabarkan dalam kebijakan editorial dan sekaligus menjadi
acuan bagi surat kabar yang bersangkutan. Visi sebuah surat kabar adalah
dasar untuk menguraikan sejumlah nilai dalam menentukan kriteria dalam
menyeleksi dan mengolah beritanya. Selain itu visi juga menjdi nilai dasar
dan acuan yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja di
penerbitan tersebut. Aktualisasinya diterjemahkan oleh wartawan melalui
pergulatan dan pemikiran serta pengolahan realitas sosial menjadi realitas
media baik dalam bentuk berita maupun komentar.7
Kelahiran Kompas pada saat itu diatur oleh perundangan yang
mengharuskan surat kabar yang terbit berafilisai dengan Partai Katholik.
Namun sejak semula para pendiri dan perintis Kompas selalu menekankan
bahwa visi kemasyarakatan koran haruslah terbuka. Visi Kompas adalah
“Menjadi institusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangnya
masyarakat Indonesia yang demokratis dan bermartabat serta menjunjung
tinggi asas dan nilai kemanusiaan.” Visi pokok yang dijabarkan menjadi
6 “Sejarah Kompas.”
7 St. Sularto, Kompas Meluncurkan Tim Ombusman (Jakarta: Humanisme dan Kebebasan
Pers, 2001), h. 77.
61
kebijakan redaksional, selain menjadi kerangka acuan serta kriteria dalam
menyeleksi dan mengolahnya menjadi berita, juga menjadi visi serta seuntai
nilai dasar yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja dalam
media tersebut. Visi ini sekaligus diperkaya dan diaktualkan oleh para
wartawan melalui pekerjaan dan pergulatannya dengan realitas serta
pemikiran yang mereka olah menjadi bahan berita, laporan, maupun
komentar.8
Kompas mengakomodir setiap kepentingan masyarakat. Kompas inigin
berkembang sebagai suatu institusi pers yang mengedepankan keterbukaan,
meninggalkan pengotak-kotakan latar belakang suku, agama, ras, dan
golongan. Kompas juga berusaha menjadi juru bicara kemanusiaan,
mengedepankan persoalan yang berkaitan dengan nasib orang banyak
terutama yang terpinggir dan tertinggal. Maka, independensi Kompas adalah
ketika Kompas mengambil jarak terhadap pemerintah dan terhadap setiap
lembaga kekuasaan.9 Motto tersebut menunjukkan bahwa Kompas
berkomitmen juga menyuarakan hati nurani rakyat. Jargon manusia dan
kemanusiaan yang diusung Kompas akan memberikan warna, makna,
kekayaan, serta jiwa dalam pemberitaan, laporan maupun realitas sosial
secara lebih peka. Karena peka terhadap penderitaan sesama manusia adalah
sifat khusus humanisme.10
b. Misi Harian Kompas
8 Jakob Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 59. 9 Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob, h. 60.
10 Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas), Jakarta, 19 Mei
2014.
62
Sementara itu, Misi Kompas adalah sebagai berikut: “Mengantisipasi dan
merespon dinamika masyarakat secara professional, sekaligus memberi arah
dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi terpercaya.” Dalam
kiprahnya dalam institusi pers, misi Kompas “Berpartisipasi membangun
masyarakat Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui prinsip “humanism
transedental” (persatuan dalam perbedaan) deangan menghormati individu
dan masyarakat adil dan makmur.11
Secara spesifik, bisa diuraikan sebagai
berikut:
a. Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka.
b. Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok politik tertentu
baik politik, agama, sosial, atau golongan ekonomi.
c. Kompas seacra aktif membuka dialog dan berinteraksi positif dengan
segala kelompok.
d. Kompas adalah Koran nasional yang berusaha mewujudkan aspirasi dan
cita-cita bangsa.
e. Kompas bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan
tetapi selalu memperhatiakan konteks struktur kemasyarakatan dan
pemerintah yang menjadi lingkungan.
Menurut Jacob Oetama, surat kabar tidak lebih dari sekedar suatu
informasi dan peliputan perihal peristiwa, surat kabar adalah juga interaksi.
Karena itu, surat kabar mempunyai policy, kebijakan editorial dan juga
kebijakan perusahaan. Interaksi antara kebijakan dan liputan lapangan itulah
dinamika yang menhasilkan berita, komentar, dan opini.12
Kompas tidak
11
B. Nugraha, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta: ISAI, 1999), h. 62. 12
Nugraha, Politik Media Mengemas Berita, h. 60.
63
hanya sekedar media cetak yang menyampaikan informasi kepada pembaca,
tapi lebih dari itu, ia mengemban sebuah misi yaitu untuk mendidik dan
mencerdaskan hati nurani anak bangsa. Hal ini sesuai dengan cita-cita
Kompas untuk menjadi sebuah Monumen Nasional Dari Hati Nurani
Rakyat.13
Sesuai dengan misinya tersebut, Kompas berusaha untuk membuat
pembacanya tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi pembaca Kompas
diharapkan dapat memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya.
Kompas juga mengajak pembacanya untuk berfikir dan memberikan
interpretasi terhadap sajian teks berita. Tugas redaksi hanya sampai pada
proses memberikan informasi yang seimbang antara dua belah pihak. Dengan
cara yang tidak memberikan justfikasi atas permasalahan tertentu, pembaca
Kompas diharapkan memiliki ruang tersendiri untuk lebih berkontemplasi
terhadap suatu realistas. Atas dasar itu, Kompas tidak pernah membuat berita
yang sensasional.14
Artinya, tidak ada fakta yang dikemas secara hiperbolik
dalam rangka mengejar oplah. Meskipun humanis, namun hal ini tidak
menjadikan bahasa Kompas menjadi kenes. Kompas juga jarang sekali atau
bahkan tidak menggunakan bahasa-bahasa yang kenes, vulgar, dan
adhiaporis belaka. Karena keprihatinan humanisnya, Kompas tidak ingin
menghibur pembacanya, tapi ingin ikut bertanggungjawab untuk mendidik
pembacanya menjadi humanis.
C. Sasaran Operasional Harian Kompas
13
Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob, h. 61. 14
Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob, h. 62.
64
Kompas berperan serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi nomor
satu dalam semua usaha di antara usaha-usaha lain yang sejenis dan dalam
kelas yang sama. Hal tersebut dicapai melalui etika usaha bersih dengan
melakukan kerja sama dengan peusahaan-perusahaan lain. Hal ini dijabarkan
dalam lima sasaran operasional:15
1. Kompas memberikan informasi yang berkualitas dengan ciri: cepat,
cermat, utuh, dan selalu mengandung makna.
2. Kompas memiliki bobot jurnalistik yang tinggi dan terus dikembangkan
untuk mewujudkan aspirasi dan selera terhormat yang dicerminkan
dalam gaya kompak, komunikatif, dan kaya nuansa kehidupan dan
kemanusiaan.
3. Kualitas informasi dan bobot jurnalistik dapat dicapai melalui upaya
intelektual yang penuh empati dengan pendekatan rasional, memahami
jalan pikiran dan argumentasi pihak lain, selalu berusaha menundukan
persoalan dengan penuh pertimbangan tetapi tetap kritis dan tetap teguh
pada prinsip.
4. Berusaha menyebarkan informasi seluas-luasnya demi meningkatkan
tiras.
5. Untuk dapat merealisasikan Visi dan Misi, Kompas harus berusaha
memperoleh keuntungan dari usaha. Namun keuntungan yang dicari
bukan sekedar demi keuntungan itu sendiri tetapi menunjang kehidupan
layak bagi karyawan dan pengembangan usaha sehingga mampu
melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebagi perusahaan.
15
Wawancara Pribadi dengan Johnny TG.
65
D. Moto Harian Kompas
Harian Kompas berusaha menyajikan nilai-nilai humanis kepada
pembacanya melalui artikel-artikel, cerita kehidupan rakyat biasa yang
disajikan Kompas dalam liputan setiap harinya. Keberpihakkan pada rakyat
tergambar jelas pada motto “Amanat Hati Nurani Rakyat” yang terdapat di
bawah kata Kompas. Judul tambahan ini mencerminkan bahwa Kompas lebih
mengedepankan kepentingan rakyat. Kompas mengedepankan kepentingan
rakyat.16
Motto ini menggambarkan visi dan missi Kompas bagi disuarakanya hati
nurani rakyat. Kompas ingin berkembang sebagai institusi pers yang
mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengkotakan latar belakang
suku, agama, ras, dan golongan. Kompas ingin berkembang sebagai “
Indonesia Mini” karena Kompas sendiri adalah lembaga yang terbuka dan
kolektif. Kompas ingin ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa. Kompas
ingin menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus
perhatian dan tujuan pada nilai-nilai transenden atau mengatasi kepntingan
kelompok. Rumusan bukunya adalah “humanisme transedental”. Pepatah
yang kemudian ditemukan dan menegaskan empati dan compassion Kompas
adalah “Kata Hati Mata Hati”.17
16
Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014. 17
Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014.
66
E. Kebijakan & Susunan Redaksi Harian Kompas
a. Kebijakan Redaksional Harian Kompas
Kebijakan redaksional menjadi pedoman dan ukuran dalam
menentukan peristiwa apa yang menentukan nilai berita oleh surat kabar
yang bersangkutan. Kompas menerapkan prinsip jurnalistik: liput dua
belah pihak yang lain, jangan-jangan masih ada kemungkinan yang lain.
Suatu persoalan besar maupun kecil ditinjau dari berbagai segi, sehingga
jelas duduk perkaranya, semakin lengkap seluruh dimensinya dan semaki
tercapai proporsisinya.18
Kebijakan redaksional (editorial policy) suatu media merupakan
penjabaran dari tujuan media yang mendasari langkah media dalam
menyaksikan informasi. Selain tujuan media, kondisi objektif pembaca
juga menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan redaksional.
Kebijakan redaksional ini menjadi tolak ukur dari standar kelayakan suatu
informasi yang akan ditampilkan dalam media.19
Melihat dari motto yang dimiliki, Kompas mengidentifikasi dirinya
sebagai pembawa kepentingan dan suara hati rakyat, maka seluruh
kegiatan dan keputusan Kompas berdasarkan pada nilai-nilai dasar yaitu:20
1) menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat
dan martabatnya, 2) mengutamakan watak baik, 3) profesionalisme, 4)
semangat kerja tim, 5) berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca,
18
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004), h. 116. 19
Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Penerbit Kencana, 2009), h.
65. 20
Wawancara Pribadi dengan Johnny TG.
67
pengiklan, mitra kerja penerima proses selanjutnya), dan 6) tanggung
jawab sosial.21
b. Susunan Redaksi Harian Kompas
Posisi tertinggi pada struktur organisasi Kompas dipegang oleh
Pemimpin Umum yang dibantu Wakil Pemimpin Umum yang bertugas
sebagai koordinator. Di bawahnya terdapat pemimpin redaksi dibantu wakil
pemimpin redaksi I dan wakil pemimpin redaksi II. Wakil pemimpin redaksi
I khusus membidangi berita opini yang meliput artikel, tajuk, serta
karikatur. Di bawah ini Wakil Pemimpin redaksi adalah redaktur pelaksana.
Susunan redaksi Harian Kompas periode 2014 adalah sebagai
berikut:22
a. Pemimpin Umum: Jakob Oetama
b. Wakil Pemimpin Umum: Agung Adiprasetyo, St. Sularto
c. Pemimpin Redaksi: Rikard Bangun
d. Wakil Pemimpin Redaksi: Trias Kuncahyono, Budiman Tanuredjo,
Ninuk Mardiana Pambudy
e. Redaktur Pelaksana: James Luhulima
f. Wakil Redaktur Pelaksana: Mohammad Bakir, Bambang Sigap
Sumantri, Rusdi Amral
g. Sekretaris Redaksi: Retno Bintarti, M. Nasir
21
J. Oetama dan Suryapratomo, Kompas Menulis dari Dalam (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2007), 65-66. 22
Surat Kabar Harian Kompas Edisi 24 Juni 2014.
68
Struktur Redaksi Foto:23
Ketua Desk Foto : Johnny TG
Wakil : Agus Susanto
Desk Politik dan Hukum : Mohammad Subhan, Anton Wisnu
Nugroho,
Alif Ichwan, Totok Wijayanto dan
Yuniadhi
Agung
Desk Olah Raga : Agus Susanto
Desk Ekonomi : Lucky Pransiska dan Riza Fathoni
Desk Humaniora : Lasti Kurnia
Desk Meotropolitan : Danu Kusworo dan Wisnu Widiantoro
Desk Non Berita : Arbain Rambey dan Priyombodo
Desk Kompas Minggu : Myrna Ratna
Desk Nusantara :
Atika Walujani Moedjiono Bahana Patria Gupta, Hendra A. Setyawan, Heru
Sri Kumoro, Iwan Setiyawan, Raditya Helabumi, Rony Ariyanto Nugroho,
Wawan H. Prabowo, Arum Tresnaningtyas Dayu Putri, Fergananta Indra
Riatmoko dan P. Raditya Mahendra Yasa
23
Wawncara pribadi dengan Johnny TG.
69
Gambar 6: Struktur Organisasi Redaksi Harian Kompas24
24
Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014.
Waredpel
II
Luar Negeri
Ekonomi
Waredpel III
Pendidikan &
Kebudayaan
IPTEK
Pimpinan Umum&Wakil
Badan Penelitian
& Pengembangan Pemimpin
Sirkulasi
Iklan
Rumah
Tangga
Administrasi
Pemimpin Redaksi
Wakil Pemimpin Redaksi
Sek. Redaksi Perpustakaan &
Dokumentasi
Tim Penulis
Halaman
Opini
Karikatur & Ilustrasi
Redaktur
Pelaksana
Sekretaris
Bid. Polkam
Red. Feature
Red. Daerah
Red. Fotografi
Redaktur
Kompas Minggu
Red/Wakil
Bid. Produksi
Penyunting
Tata Wajah
Waredpel I
Metropolitan
Hukum & Kriminalitas
Olahraga
70
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini, penulis menjelaskan data serta hasil penelitian dari judul
penelitian “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto
Headline Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.).”
Berkaitan dengan foto berita yang penulis jadikan sampel pada penelitian
ini, Barthes memperhatikan hubungan antara posisi teks dan kaitannya dengan
signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan
oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, headline, artikel atau gabungan dari
ketiganya. Adapun arti dari caption adalah mengulangi saja denotasi, oleh karena
itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam
headline atau artikel. Menurutnya, foto berita umumnya bersifat not arbitrary,
unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan
suatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran
sepersis mungkin) tanpa manipulasi maupun manipulasi subjek dan peristiwa
menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi
sebagai sebatas penambat (anchorage) dan pemancar (relay) belaka.1
Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang
merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto
berita yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya penulis
melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian tentang nilai
budaya.
1 Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang : Yayasan Indonesiatera, 2001), h.
41.
71
A. Data Foto 1
Harian Kompas Edisi Rabu, 10 Juli 2013
Tarawih Pertama
Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/
Caption :
Pengungsi korban gempa melaksanakan shalat Tarawih pertama sebelum
memulai puasa di mushala darurat berupa tenda di posko terpadu di Desa Kute
Glime, Ketol, Aceh Tengah, Selasa (9/7). Sebanyak 52.113 pengungsi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terpaksa melaksanakan ibadah puasa
Ramadan di pengungsian yang tersebar di lebih dari 70 lokasi, baik posko terpadu
maupun pengungsian mandiri di pekarangan rumah.
Fotografer : Lasti Kurnia
72
B. Analisis Data Foto 1
1. Makna Denotasi
Denotasi yaitu relasi antara penanda dengan petanda dalam sebuah
tanda, serta tanda dengan acuan realitas eksternalnya. Untuk mengungkap
makna denotatif dalam sebuah foto dapat diketahui pada tahap perseptif,
yaitu melakukan transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi
gambar.2
Pada ranah denotasi, foto mentransmisikan sebuah realistis yang
terekam. Ada imaji fotografi atau analogon yang merupakan turunan atau
salinan dari realitas yang terjadi dari sebuah peristiwa yang tertangkap.
Analogon inilah yang diterima sebagai kekuatan foto tersebut. Analogon
yang hadir dari foto adalah juga bentuk pesan yang disampaikan pada ranah
denotasi. Denotasi terhadap karya fotografi hanya menyatakan apa yang ada
dan terlihat dalam gambar, tanpa memberi pemaknaan subjektif.3 Sebagai
contoh: secara denotatif, babi adalah nama jenis binatang, namun secara
konotatif, “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain, seperti: polisi yang
korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, denotasi
dapat merupakan sebagai kata yang memiliki arti sesuai dengan apa yang ada
didalam kamus bahasa indonesia, yang dapat merupakan makna
sesungguhnya atau makna yang sebenarnya dari apa yang tertulis dan dilihat.
Artinya, denotasi dalam foto hanya akan membicarakan tentang apa
yang difoto, tidak lebih dari itu. Menambahkan atau mengurangi baik secara
objektif maupun anggapan subjektif terhadap apa yang tampak dalam foto
2 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156.
3 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 157.
73
adalah hal yang dilarang ketika menjelaskan tentang makna denotasi pada
foto.
Dalam data foto pertama, objek (analogon) apa saja yang didapat,
antara lain:
a. Beberapa wanita memakai mukena sedang melaksanakan ibadah
shalat.
b. Cahaya yang hanya tampak di dalam tenda dan di belakang tenda.
c. Latar belakang yang dibuat blur (samar).
d. Foto tercetak dalam bentuk berwarna, dengan warna hitam sebagai
warna dominan.
Makna denotasi yang didapat dengan memperhatikan beberapa
analogon yang ada mengungkapkan, secara verbal dapat kita katakan dalam
gambar ini terdapat tampilan beberapa perempuan yang dibingkai oleh
sebuah jendela tenda, sedang melaksanakan ibadah shalat pada malam hari.
2. Makna Konotasi
Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode
Barthes disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun
atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman kultural, juga dapat
diperoleh dengan mengamati beberapa perkembangan prosedur yang
mempengaruhi gambar sebagai analogon.4 Prosedur tersebut dikategorikan
menjadi enam, antara lain:
4 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 159.
74
2.1 Trick Effect
Trick Effect ialah memanipulasi gambar secara artifisial, dengan
maksud membuat foto menjadi lebih baik lagi sehingga mengubah isi foto
yang sebenarnya.5
Menyangkut istilah “manipulasi”, umumnya orang masih
berpedoman bahwa sebuah foto hasil manipulasi adalah foto yang diutak-
atik dengan sebuah perangkat. Selama ini istilah foto manipulasi semata
mengacu pada sebuah tindakan pada foto yang sudah jadi. Dengan begitu,
wajar pula kalau umumnya orang sering menyalahkan keberadaan
perangkat lunak yangdisebut Photoshop.
“Bolehkah foto jurnalistik diolah dengan Photoshop?”
Demikianlah pertanyaan yang sering dilontarkan publik dalam seminar
foto jurnalistik di mana pun. Dalam kacamata umum, manipulasi foto
memang mengutak-atik foto yang sudah jadi. Sesungguhnya, manipulasi
foto itu banyak sekali jenis dan maksudnya. Manipulasi foto bisa terjadi
tanpa olahan sama sekali pada fotonya, juga manipulasi foto bahkan bisa
terjadi hanya semata dengan ucapan.
Salah satu contoh, adalah foto-foto korban tragedi jatuhnya
pesawat Sukhoi di Gunung Salak yang sudah bertaburan di internet
padahal, saat tim SAR pun belum bisa mencapai lokasi kecelakaan. Itu
adalah foto manipulasi. Foto-foto yang beredar cepat itu adalah foto dari
kecelakaan pesawat di Afrika, tapi dikatakan sebagai foto di Gunung
Salak. Manipulasi jenis ini adalah mengubah informasi sebuah foto,
5 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 162.
75
sehingga foto kejadian A bisa menjadi foto kejadian B. Tanpa Photoshop,
sebuah manipulasi bisa terjadi.
Dalam sampel foto 1, tidak terlihat adanya indikasi trick effect.
Proses edit hanya sebatas pemotongan sebagian gambar atau cropping
dengan menggunakan sebuah aplikasi pengolahan data foto atau gambar,
seperti Photoshop dan aplikasi sejenisnya yang dilakukan untuk
membuang gambar yang dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi
visual dari foto sampel ini. Selain itu, sentuhan editing dalam batas yang
normal dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik juga
dilakukan pada foto 1, namun tanpa mengubah foto atau gambar yang
sebenarnya.
2.2 Pose
Pose, sebagaimana dijabarkan penulis dalam bab 2, dipahami
sebagai gaya, sikap, ekspresi ataupun posisang fotografer. Pose seringkali
mudah ditemukan dalam foto yang berisi objek manusia atau hewan.
Sedangkan dalam foto dengan objek pemandangan alam misalnya, kita
tidak akan menemukan pose didalamnya. Sebab, pemandangan alam yang
menjadi objek foto tidak terdapat unsur gaya, ekspresi apalagi sikap.
Pada data foto 1, terlihat beberapa wanita yang sedang shalat dengan
ekspresi khusyu‟ dan khidmat. Mereka menunduk dan memejamkan mata.
Posisang fotografer dalam memotret moment ini berada tepat di samping
subjek foto dengan meletakkan kamera pada posisi yang sejajar dengan
subjek foto.
76
Dalam gambar data foto 1 merupakan jenis foto human interest,
dengan format gambar horizontal. Human interest merupakan foto yang
menggambarkan suka dan duka perjalanan hidup manusia. Nilai-nilai
keseharian manusia dapat terekam melalui aliran fotografi ini. Foto
Human interest juga merupakan komentar sosial, dan karakter fotonya
dapat menimbulkan emosi, tawa, atau sedih.6
2.3 Object
Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto sebenarnya
bisa dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait dengan object dalam
membaca foto di sini, sebagaimana yang penulis jabarkan dalam bab 2,
object dipahami sebagai benda-benda atau yang dikomposisikan
sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu juga
merupakan point of interest (POI) atau pusat perhatian dalam foto.
Penempatan beberapa wanita itu sebagai POI sangat menarik untk
dilihat. Terlebih warna putih yang dikenakan wanita tersebut menjadi
sangat kontras, dengan dominan warna hitam yang memenuhi frame
sehigga mata yang melihat gambar ini akan langsung tertuju pada wanita
yang memakai mukena warna putih itu.
2.4 Photogenia
Dalam Photogenia, kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman
foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek
6 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 170.
77
gerak), freeze (efek beku), maupun angle (sudut pandang pengambilan
objek).
Dari sisi pencahayaan, penulis melihat objek berada di luar
ruangan (outdoor) pada malam hari dengan kondisi minim cahaya,
sehingga sang fotografer menggunakan bantuan flash (lampu kilat)
internal kamera dan memanfaatkan sedkit cahaya lampu di dalam dan di
belakang tenda. Hal ini dapat diamati dari bayangan (shadow) wajah
sejumlah wanita tersebut.
Perlu juga diketahui, terdapat beberapa pilihan penggunaan cahaya
bantuan (flash) dalam pengoperasian kamera. Pertama dapat
menggunakan flash internal kamera, flash eksternal (lampu kilat
tambahan), atau dengan menggunakan seperangkat alat lighting yang
biasa dipakai di studio-studio foto.7 Di sini penulis meyakini fotografer
memotret foto dalam data foto 1 menggunakan flash internal kamera
karena melihat beberapa indikator, pertama atas shadow yang nampak di
bagian wajah. Kedua, atas hasil foto yang berada pada tingkat
pencahayaan rendah (under exposure). Keyakinan penulis juga diperkuat
oleh keterangan Lasti Kurnia sebagai fotografer foto tersebut.
Adanya perbedaan ketajaman objek pada latar depan (foreground)
dan latar belakang (background) mengindikasikan foto diambil
menggunakan tehnik ruang tajam sempit, yang berarti pengaturan
diafragma berada antara f/2,8 sampai f/5,1. Dengan posisi diafragma
tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan pencahayaan
7 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata Fotogafi (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 55.
78
yang nampak dalam data foto 1 berkisar antara S: 1/30 sampai 1/60. Atau
juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 400 sampai 800. Titik
fokus yang ditempatkan pada latar depan jendela (di dalam tenda) ini
dilakukan fotografer sebagai upaya penegasan fokus pesan yang ingin
disampaikan, dalam hal ini pesan tentang kegiatan ibadah para pengungsi.
Melihat POI yang ada dalam foto memberi indikasi foto diambil
dengan sudut pandang sejajar mata manusia atau dalam istilah angle
fotografi disebut dengan eye level. Sudut pengambilan ini memberi kesan
yang sama dengan cara mata kita melihat terhadap objek. Posisi dan arah
kamera memandang objek yang akan diambil layaknya mata kita melihat
objek secara biasa. Kamera dan lensa sejajar dengan objek.
Pengambilan angle eye view biasanya digunakan untuk mengambil foto
potret terhadap manusia, dimana posisi kamera layaknya posisi mata kita
sendiri, memberi kesan sejajar, kesamaan dan sederajat.Dengan
penggunaan angle ini, secara teknik tidak terlalu menimbulkan pesan
tertentu.
Perlu juga diketahui, pemilihan angle dalam fotografi sedikit
banyak juga dapat memberi pesan tertentu, dan juga biasanya dari angle
yang digunakan fotografer, kita dapat melihat bagaimana sudut pandang
seorang fotografer dalam menampilkan sebuah foto. Contohnya, ketika
seorang fotografer memotret Jokowi dengan menggunakan low angle
(memotret dengan kamera yang berada lebih rendah dari objek), maka
kesan yang timbul terhadap Jokowi adalah akan dapat terlihat sebagai
sosok yang berwibawa. Akan menjadi berbeda pesan ketika seorang
79
fotografer memotret Jokowi dengan posisi kamera yang berada lebih
tinggi (high angle), maka kesan yang timbul terhadap Jokowi akan dapat
terlihat kerdil dan tidak berwibawa.
2.5 Aestheticism
Aestheticism atau komposisi merupakan susunan dari berbagai objek
atau gambar yang mempunyai dua sifat saling bertentangan, bisa
“membangun” gambar namun juga bisa mengacaukan gambar. Gambar
pada foto ini terlihat menarik dan eye catching karena penempatan wanta
yang sedang shalat ini dibingkai oleh sebuah jendela. Dalam dunia
fotografi, hal ini juga disebut sebagai framing.
Jika dilihat dari komposisinya, foto tersebut memperhatikan kaidah
1/3 (rule of third) dengan menempatkan POI di 1/3 bagian kiri foto.
Ukuran POI yang penuh secara vertikal gambar mengarahkan sekaligus
menegaskan mata untuk langsung mengarah pada objek.
2.6 Syntax
Syntax adalah penyusunan tanda-tanda menjadi satu kalimat atau
satu makna tertentu.8 Syntax tidak harus dibangun dengan lebih dari satu
foto. Dalam satu foto pun dapat dibangun syntax. Pembentukan syntax
seperti ini biasanya dibantu dengan caption. Foto ini menceritakan bahwa
pengungsi korban gempa melaksanakan shalat Tarawih pertama sebelum
memulai puasa di mushala darurat berupa tenda di posko terpadu di Desa
Kute Glime, Ketol, Aceh Tengah, Selasa (9/7). Sebanyak 52.113
pengungsi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terpaksa
8 Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.
80
melaksanakan ibadah puasa Ramadan di pengungsian yang tersebar di
lebih dari 70 lokasi, baik posko terpadu maupun pengungsian mandiri di
pekarangan rumah.
Dari berbagai aspek teramati yang telah dijabarkan di atas,
didapati makna konotasi dari data foto 1 yang menggambarkan bahwa
dalam keadaan darurat dan berduka pun tidak menyurutkan niat para
pengungsi untuk beribadah. Para pengungsi korban gempa tetap
melaksanakan shalat Tarawih pertama di mushala darurat berupa tenda.
3. Mitos
Makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah sebuah keteguhan hati
masyarakat Aceh yang menjalankan ajaran Islam dalam kondisi apapun.
Masyarakat Aceh yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam dan
dijuluki dengan Serambi Mekkah ini memang sudah menerapkan hukum
Islam dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di kondisi apapun.
Diberlakukannya hukum Islam dengan benar, menimbulkan efek kepada
masyarakatnya sadar akan pentingnya mengikuti aturan Islam. Islam sangat
berperan penting sebagai sarana pemersatu dan menjadi rujukan masyarakat.
Islam juga memiliki daya konstruktif, regulatif dan formatif dalam
membangun tatanan hidup. Bagi masyarakat, terutama yang berdomisili di
desa-desa, agama telah dijadikan indikator yang mampu membentuk satu
kesatuan sosial yang kuat. Mereka umumnya selalu patuh pada perintah-
perintah Allah dan Rasul-nya, meyakini bahwa ajaran Islam akan
menyejahterakan mereka di dunia dan di akhirat kelak. Adat dan agama
tidak bisa di pisahkan dalam kehidupan masyarakatnya. Ini terlihat dari
81
masyarakat Aceh yang hampir tidak mampu membedakan antara
hukum dan adat.
4. Nilai Budaya
Setelah melalui proses pemaknaan denotasi, konotasi dan mitos, maka
dapat disimpulkan bahwa nilai budaya yang didapat pada data foto 1 adalah
nilai agama. Dalam data foto 1, tersirat masyarakat Aceh sangat memegang
teguh nilai agama. Para pengungsi korban gempa tetap melaksanakan ibadah
shalat tarawih sebelum memulai puasa Ramadan meskipun di dalam mushala
darurat berupa tenda. Perlu diketahui, shalat tarawih adalah shalat sunnah
yang dilaksanakan khusus pada malam bulan Ramadan. Adapun yang
dimaksud dengan hukum sunnah adalah apabila dikerjakan mendapat pahala,
dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Waktu pelaksanaannya adalah
selepas isya‟ dan biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid sebanyak 11
rakaat (8 rakaat shalat tarawih dan 3 rakaat witir).
5. Interpretasi
Lasti Kurnia, selaku fotografer, mengungkapkan bahwa pesan dari foto ini
adalah saat orang lain bisa tarawih di rumah dengan keluarga, suka cita pergi
ke masjid bersama, sedangkan saudara kita yang lain sedang menyambut
Ramadan dengan kondisi tertimpa musibah. Dalam hal ini, Lasti ingin
menggugah empati dan mengajak pembacanya untuk lebih peduli terhadap
musibah yang terjadi melalui fotonya. Ia ingin memberi perspektif agar
orang lain peduli sesama dan ikut merasakannya. Bagi seorang jurnalis
seperti Lasti, suatu bencana tidak hanya selalu dimaknai dengan kacamata
sempit yang hanya sebatas meliput bagaimana kronologis bencana terjadi,
82
berapa jumlah korban, bagaimana penanganan bencana, pencarian korban,
dan sebagainya, tetapi juga mencari dampak-dampak lain di luar lokasi yang
menderita bencana. Karena menurutnya, tidak ada peristiwa yang tidak
memberi dampak pada orang lain.
83
C. Data Foto 2
Harian Kompas Edisi Kamis, 11 Juli 2013
Harga Masih Meroket
Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/
Caption :
Warga berbelanja sayur-mayur di Pasar senen, Jakarta Pusat, Rabu (10/7).
Memasuki bulan puasa, harga kebutuhan pokok terus naik dan diperkirakan
makin melambung hingga Lebaran. Pemerintah sebaiknya segera menstabilkan
harga kebutuhan pokok.
Fotografer : Priyombodo
84
D. Analisis Data Foto 2
1. Makna Denotasi
Dalam gambar data foto kedua kita dapat amati beberapa analogon
yang berbentuk objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain:
a. Dua orang laki-laki sedang melakukan proses jual beli.
b. Beberapa sayur-mayur tersusun dan tergantung rapi.
c. Ekspresi sumringah menghiasi wajah penjual dan pembeli.
e. Latar belakang pasar tradisional.
f. Warna-warna bahan pangan seperti merah, hijau, kuning, oren, dan
ungu menjadi warna dominan.
Makna denotasi yang didapat dari beberapa analogon yang terdapat
dalam data foto 2 dapat mengungkapkan, secara verbal dapat kita katakan
dalam foto terdapat peristiwa dengan menampilkan proses jual beli sayur-
mayur antara pedagang dan pembeli di sebuah pasar tradisional.
2. Makna konotasi
2.1. Trick Effect
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect merupakan
suatu upaya manipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan sehingga
mengubah makna suatu foto.
Dalam fotografi jurnalistik, sang pewarta foto seringkali mengatur
subyek atau narasumber agar tampil sesuai dengan yang diharapkan. Pada
kamera diatur bokeh, white balance, dibuat black and white dan
sebagainya. Seringkali fotografer memotret tidak apa adanya. Hal ini
sudah biasa dilakukan. Secara umum pengaturan pada tingkat sederhana
85
seperti perbaikan cahaya, pengubahan menjadi black and white, dan
cropping masih dianggap wajar. Walaupun ini juga sudah masuk dalam
ranah manipulasi digital. Bagian inilah yang kadang membingungkan
karena batasan-batasan yang kurang tegas.9
NPPA (National Press Photographers Association) pada halaman
kode etik menyebutkan editing harus mempertahankan integritas konten
gambar foto dan konteks. Kemudian jangan memanipulasi gambar atau
menambahkan atau mengubah suara dengan cara apapun yang dapat
menyesatkan pemirsa atau tidak menggambarkan subyek. Tergantung dari
sudut mana menafsirkannya, jika masuk golongan garis keras, maka
segala macam manipulasi digital apapun bentuknya tidak dihalalkan.10
Salah satu kasus tahun 2001 ada di koran Los Angeles Times di
mana fotografer menggunakan Adobe Photoshop untuk menggabungkan
dua foto. Sang fotografer itu kemudian dipecat. Lalu ada kasus fotografer
Adnan Hajj, seorang fotografer lepas Lebanon yang “menambah” asap
dari foto perang yang ia ambil. Reuters kemudian berhenti bekerjasama
dengan Adnan Hajj dan editor foto Reuters dipecat.11
Tersedianya software digital editing membuat semua orang bisa
mengedit foto sehingga batas baik dan buruk menjadi kabur. Banyak
jurnalis foto menggunakan aturan "ruang gelap" di mana hanya
9 Frank P. Hoy, Photo Journalism the Visual Approach (New Jersey : Prentice-
Hall, 1986), h. 51. 10
Martin Keene, Practical Photojournalismn a Proffesional Guide (Inggris: Focal Press,
1993), h. 77. 11
Bambang Dwi Atmoko, “Polemik Manipulasi Foto di Dunia Jurnalistik,” artikel
diakses pada 6 Juli 2014 dari http://ruangkamera.com/mrbambang/2012/02/07/polemik-
manipulasi-foto-di-dunia-jurnalistik/
86
menggunakan Photoshop untuk hal-hal yang masih bisa dilakukan secara
tradisional.
Dari beberapa kasus di atas, terlihat bahwa manipulasi foto
jurnalistik memancing pro dan kontra. Pihak yang berkepentingan demi
pencitraan, estetika atau hal lainnya akan melakukan manipulasi atau
manipulasi foto. Ada juga pihak yang kontra atau tidak setuju dengan
manipulasi digital pada jurnalistik.
Terkait dengan data foto 2, tidak terlihat indikasi trick effect.
Proses edit yang dilakukan hanya sebatas pemotongan sebagian gambar
atau cropping yang dilakukan untuk membuang gambar yang dirasa tidak
perlu atau mengganggu komposisi visual dari foto 2. Sementara dari segi
kontras warna, penulis tidak menemukan sentuhan editing dengan
menggunakan aplikasi pengolahan foto atau gambar, seperti Photoshop
dan aplikasi sejenisnya, jadi tidak merubah kontras warna yang
sebenarnya.
2.2. Pose
Pose adalah gesture, sikap atau ekspresi objek yang berdasarkan
stock of sign masyarakat yang memiliki arti tertentu, seperti arah pandang
mata atau gerak-gerik yang hanya dapat dilihat pada objek foto yang
menampilkan objek manusia, ataupun hewan. Foto dalam data foto 2
adalah foto yang menampilkan kegiatan manusia, maka penulis
menemukan unsur yang bisa dikatakan sebagai pose. Adapun pose yang
terdapat pada data foto 1 adalah penjual dan pembeli yang sedang
87
melakukan proses jual beli. Terlihat dari gerak gerik penjual dan pembeli
yang sedang berinteraksi.
2.3. Object
Berbeda dengan foto 1, penempatan POI pada foto 2 berada di
tengah gambar. Objek utama berupa kedua lelaki yang ditempatkan pada
bagian tengah komposisi tampak stabil dan secara jelas menunjukkan
maksud sang fotografer. Warna putih yang merupakan baju dari salah satu
lelaki yang menjadi POI tersebut menjadi tanda bahwa itu adalah pusat
perhatian pada foto 2. Sebab, kedua lelaki yang menjadi POI terlihat
sebagai objek yang paling menonjol dan menarik mata, sementara sayur-
mayur yang dalam foto berperan sebagai background dan foreground
terlihat blur atau tidak fokus.
2.4. Photogenia
Photogenia ialah seni memotret sehingga foto yang dihasilkan
telah menggunakan beberapa teknik-teknik memotret, seperti teknik
lighting, exposure, blurring, angle atau cara pengambilan foto, panning
maupun moving.
Foto ini diambil dengan menggunakan diafragma atau bukaan
lensa sempit sekitar f/2,8 hingga f/5,1. Dengan posisi diafragma tersebut
maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan pencahayaan yang
nampak dalam data foto2 berkisar antara S: 1/30 sampai 1/60. Atau juga
dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 400 sampai 800., hal itu
membuat hanya bagian tengah yang terlihat tajam dan fokus, sementara
foreground dan background terlihat blur.
88
Objek dalam keseluruhan bingkai berada di tempat yang sejajar
dengan fotografer, sehingga fotografer menggunakan eye level.
Penggunaan jenis angle yang dipakai oleh seorang fotografer dalam
memotret suatu objek dapat terjadi atas beberapa kemungkinan, bisa
karena keinginan sang fotografer guna menimbulkan kesan tertentu
ataupun karena keadaan (situasi) lokasi di mana ia memotret. Pada data
foto 2, penulis tidak menemukan kesan lain terhadap penggunaan eye
level yang dilakukan oleh fotografer dalam memotret keseluruhan objek
dalam satu bingkai foto.
Dari sisi pencahayaan, penulis melihat objek berada di luar
ruangan (outdoor) dengan kondisi cahaya yang cukup terang, maka sang
fotografer tidak perlu menggunakan bantuan flash (lampu kilat) internal
kamera. Hal ini dapat diamati dari keseluruhan objek yang mendapat porsi
cahaya yang sama, baik di bagian si penjual, si pembeli, maupun sayuran
yang dijajakan.
2.5. Aestheticism
Pada sampel foto 2, format gambar dalam bentuk berwarna-warni,
memberi kesan suasana yang hidup.
Dari segi estetika, foto 2 menggunakan metode framing. Framing
merupakan suatu tahapan dimana fotografer membingkai suatu detil
peristiwa yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang foto jurnalis
mengenal arti suatu komposisi, pola, tekstur, dan bentuk subjek
pemotretan dengan akurat. Rasa artistik semakin penting dalam tahap ini.
Inilah yang makin membuat foto ini terlihat menarik.
89
Sang fotografer mengambil komposisi dengan timing yang tepat,
yaitu saat penjual dan pembeli sedang berinteraksi. Timing merupakan
salah satu metode dalam fotografi yang yang tergabung dalam EDFAT
(Entire, Detail, Framming, Angle, dan Timing). Time merupakan tahap
penentuan penyinaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan
kecepatan atas empat tingkat yang telah disebutkan sebelumnya.
Pengetahuan teknis atas keinginan membekukan gerakan atau memilih
ketajaman ruang adalah satu prasyarat dasar yang sangat diperlukan.
2.6. Syntax
Sintaxis dalam foto jurnalistik biasanya dapat kita lihat lewat teks
yang ada pada judul atau caption foto. Dalam foto 2, caption yang tertulis
adalah warga yang sedang berbelanja sayur-mayur di Pasar Senen, Jakarta
Pusat pada hari Rabu, 10 Juli 2013. Lebih lanjut, caption tersebut
menerangkan bahwa pemerintah sebaiknya menstabilkan harga kebutuhan
pokok.
Jika dilihat dari tampilan layout pada headline, data foto 2
meupakan sebuah foto ilustrasi dari sebuah berita yang mengiringinya.
Perlu diketahui, sebuah foto ilustrasi pada hakikatnya merupakan hasil
visualisasi dari suatu tulisan dengan teknik fotografi yang lebih
menekankan hubungan subjek dengan tulisan daripada bentuk, dengan
tujuan untuk menerangkan atau menghiasi suatu cerita, tulisan, puisi, atau
informasi tertulis lainnya. Dengan foto ilustrasi, diharapkan tulisan yang
mengiringinya lebih mudah dicerna. Oleh karena itu, fotografer harus
bekerja sama dengan reporter, fotografer harus tahu apa yang reporter
90
tulis, reporter dan fotografer melakukan liputan secara bersamaan, dan
foto-foto yang diambil juga harus sesuai dengan tulisan reporter.
Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan, makna konotasi dari
foto tersebut merupakan foto ilustrasi dari sebuah berita kenaikan harga.
Warga yang sedang melakukan proses jual beli meupakan salah satu objek
yang dipilih oleh fotografer untuk mengilustrasikan berita tentang naiknya
harga kebutuhan pokok. Selanjutnya, elemen lain berupa ekspresi pembeli
yang sumringah dan bersemangat secara tersirat dapat ditafsirkan sebagai
sikap konsumtif masyarakat yang gemar memborong berbagai bahan
makanan meskipun harga cenderung naik, terutama saat Ramadan .
3. Makna Mitos
Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah kultur
konsumerisme masyarakat menjelang dan saat bulan Ramadan. Sudah
menjadi tradisi tahunan bila memasuki bulan Ramadan harga sejumlah
kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan dan terus melambung sampai
mendekati Hari Raya. Hal ini dipicu dari tingginya permintaan pasar
sehingga harga otomatis akan naik karena stok yang menipis. Bahkan tak
sedikit para penjual mengemas paket khusus guna menarik konsumen yang
royal saat momentum ini sehingga angka penjualan retail biasanya akan
mengalami peningkatan yang cukup besar.
Secara umum, pada bulan Ramadan masyarakat berbelanja dengan
porsi berbeda daripada hari biasa, hal ini dilihat dari salah satu sisi yang
menganggap ketersediaan makanan hanya untuk menumbuhkan semangat
saat berbuka dan sahur. Bila menyimak fenomena ini, bahkan terkesan tak
91
bisa dihindari, seolah tradisi belanja adalah bagian dari tradisi Ramadan itu
sendiri. Sebuah trend yang berevolusi menjadi budaya. Bila awalnya kita
tidak ada niat untuk membeli, namun melihat tetangga yang berbelanja
kebutuhan Ramadan hingga Lebaran dari membeli makanan yang lebih
banyak dari biasanya, merombak penampilan rumah, kendaraan, dan
sebagainya, mau tak mau akan mengelitik keinginan kita untuk melakukan
hal yang sama, padahal kocek setiap orang berlainan dan tentu saja harus
diperhitungkan berdasarkan kebutuhan. Apalagi mayoritas masyarakat
Indonesia masih tergolong kurang mampu. Kesenjangan sosial yang semakin
membentang akan membuka peluang-peluang kejahatan untuk
menyamakannya.
Dalam Islam, memang diperbolehkan menyambut dan merayakan
Ramadan dengan suka cita sebagai wujud rasa syukur datangnya bulan yang
ditunggu-tunggu, bulan yang penuh berkah. Namun akulturasi budaya
hedeonis semakin menyatu dengan tradisi Ramadan bukan hal yang baik.
Sungguh menyedihkan, tamu agung yang begitu dinantikan itu,
dicederai oleh sikap konsumtif. Padahal dalam al-Quran diindikasikan bahwa
puasa adalah untuk memantapkan ketakwaan yang menganjurkan bersikap
sederhana dan tidak berlebihan dalam mengkonsumsi barang-barang
kapanpun, apalagi di bulan penuh berkah ini. Allah SWT melarang bersikap
berlebih-lebihan dalam harta:
“... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra [17]:26-27).
92
Ibadah puasa jika dipahami dan dilaksanakan dengan benar tentu akan
menghasilkan pribadi yang bertakwa. Artinya, di bulan Ramadan ini
seharusnya perilaku konsumtif dapat dihindari. Sebab, manifestasi dari takwa
adalah tidak mengumbar hawa nafsu, mampu mengendalikan semua
keinginan, termasuk keinginan berbelanja yang tidak perlu (berlebihan).
4. Nilai Budaya
Dari mitos yang didapat, sudah jelas bahwa nilai budaya yang terkandung
pada data foto 2 adalah nilai ekonomi. Ada pemahaman yang kemudian
timbul dalam pemikiran penulis tentang esensi dari nilai ekonomi itu sendiri,
yaitu suatu hal yang diasumsikan memiliki nilai ekonomi adalah hal-hal yang
berpotensi memberikan keuntungan secara ekonomi (komersil). Jika merujuk
pada penjelasan nilai ekonomi sebagai sebuah nilai budaya dalam foto ini,
adalah terdapatnya pola konsumtif yang merupakan efek dari
berkembangnya nilai ekonomi di masyarakat.
Dari penjelasan di atas, data foto 2 kemudian penulis asumsikan tidak
memiliki nilai budaya lainnya seperti nilai teori, nilai agama, nilai seni, nilai
kuasa, dan nilai solidaritas, melainkan nilai ekonomi.
5. Interpretasi
Jika dibandingkan dengan pernyataan Priyombodo, selaku fotografer
dari foto 2, ia justru melihat fenomena Ramadan yang terjadi di Indonesia
malah justru menguak kesenjangan. Tak sedikit kaum muslim
meramaikannya dengan “pengamalan shalih bergengsi”. Seperti puasa sambil
umroh di tanah suci, atau menggelar paket buka bersama di hotel-hotel
berbintang. Sungguh bertolak belakang dengan “keprihatinan” pelaku ibadah
93
puasa sejati yang berbuka bersama di surau-surau kecil di pojok kampung.
Sakralitas Ramadan pupus oleh sifat matrealistik-konsumtif. Tradisi masih
membudaya di mana-mana, dengan makanan yang lezat, baju baru, mengecat
rumah, dan pengalokasian anggaran belanja yang berlipat dari hari biasa.
Terlebih menjelang idul fitri, pembicaraan seputar THR (Tunjangan Hari
Raya), baju baru, mobil baru, sofa baru, dan segala yang dianggap perlu baru
atas nama momentum silaturahmi, telah menjadikan Ramadan, bulan yang
seharusnya berhias khusyu„ dalam beribadah, menjadi masa riuh rendahnya
berbelanja.
Priyombodo juga menambahkan selayaknya kita mengevaluasi diri
sejauh mana keberhasilan pelaksanaan ibadah puasa. Mampukah ia menjadi
sarana pembentukan pribadi yang mampu mengekang hawa nafsu, mampu
menghindari dari sikap konsumtif, dan bertahan dari segala gempuran
kapitalisme. Kemenangan di akhir bulan Ramadan sama sekali tidak dinilai
dari berapa baju baru yang Anda miliki.
94
E. Data Foto 3
Harian Kompas Edisi 5 Agustus 2013
Puluhan Triliyun Mengalir
Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/
Caption :
Pemudik menunggu giliran naik kapal feri di Pelabuhan Merak Banten, Minggu
(4/8). Melonjaknya jumlah pemudik membuat setiap kendaraan mobil atau bus
harus menempuh waktu sedikitnya lima jam perjalanan dari Gerbang Tol Merak
hingga antre naik kapal.
Fotografer : Ferganata Indra Hatmoko
95
F. Analisis Data Foto 3
1. Makna Denotasi
Dalam gambar data foto 3 kita dapat amati beberapa analogon yang
berbentuk objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain:
a. Bus pariwisata yang sedang berhenti.
b. Seorang laki-laki berada di bagasi bus sedang berbaring sambil
mengenakan earphone.
c. Di dalam bus, beberapa orang sedang duduk, ada juga yang berdiri.
d. Foto diambil pada malam hari.
Makna denotasi yang didapat dari beberapa analogon yang terdapat
dalam data foto 3 adalah, beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya
masing-masing sembari menunggu bus yang sedang dalam keadaan diam.
Tulisan “bus pariwisata” yang terdapat di foto mengindikasikan bahwa
penumpang tersebut adalah para pemudik.
2. Makna konotasi
2.1 Trick Effect
Trick effect dipahami sebagai upaya memanipulasi gambar sampai
tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
Dalam foto 3, penulis tidak menemukan manipulasi foto. Adapun
pemotongan sebagian gambar atau cropping yang dilakukan, bukan
merupakan bagian dari trick effect yang dimaksud. Proses mengatur
kontras warna dan brightness menjadi lebih baik pun bukan hasil dari olah
digital tambahan, melainkan sudah diatur sejak dalam kamera, hal ini
ditegaskan oleh Lasti Kurnia saat diwawancarai penulis pada 6 Juni 2014.
96
Dalam buku serial Photojournalism yang diterbitkan oleh Time
Life12
diungkapkan bahwa: Sementara foto-foto yang dihasilkan oleh para
wartawan foto seperti yang kita lihat di media massa adalah pers foto (foto
berita) yang penekanannya pada perekaman fakta otentik. Misalnya foto
yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran dll. Foto berita,
foto advertensi dan sebagainya itu semua sebenarnya juga ingin
menceritakan sesuatu yang pada gilirannya akan membuat orang tersebut
bertindak (feedback) dan melakukan sesuatu atas peristiwa yang terjadi.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa foto jurnalistik atau khususnya
pers foto adalah foto yang memiliki pesan yang jelas dari sebuah
peristiwa. Untuk mencapai ini tentunya kita harus menguasai dua dasar
yang berbeda, yaitu pendekatan teknis serta pendekatan konseptual.
2.2 Pose
Pose dapat dikatakan sebagai gaya, sikap, ekspresi ataupun posisi
objek dalam foto. Pada foto 3 terlihat beberapa orang sedang melakukan
aktivitasnya masing-masing. Ada yang sedang berbaring, duduk, dan
beridiri, yang tentu saja itu bisa disebut pose.
Posisi fotografer dalam memotret moment ini berada tepat di depan
subjek foto dengan meletakkan kamera pada posisi sejajar dengan subjek
foto atau biasa disebut eye level.
2.3 Object
POI pada foto 3 berada pada seorang lelaki yang berada di dalam
bagasi bus sedang berbaring sambil memakai earphone di telinganya dan
12
William Cahn, Photojournalism (New York: Time-Life Book, 1972), h. 34.
97
menatap ke suatu barang yang ia pegang. Hal ini terlihat karena porsi
pencahayaan yang didapat pada objek lelaki tersebut lebih terang dan
memiliki perbedaan warna dengan objek lain di sekelilingnya.
Objek pendukung lainnya adalah beberapa orang dari berbagai
gender dan usia berada di dalam bus sedang melakukan aktivitas. Ada
yang berdiri, duduk, menunduk, dan lain-lain. Bus yang memenuhi frame
terlihat tidak moving atau paning, dapat memberi tafsiran bahwa bus
sedang dalam posisi berhenti. Tulisan bertuliskan “bus pariwisata” yang
ada pada badan bus menunjukkan bahwa mereka sedang atau akan
melakukan perjalanan yang cukup jauh.
2.4 Photogenia
Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman
foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek
gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek).
Secara photogenia, foto 3 memiliki kekuatan pada pengambilan
sudut pandang (angle) yang dilakukan oleh fotografer. Posisi bus yang
tidak terlihat secara keseluruhan menunjukkan bahwa sang fotografer
hanya ingin fokus pada kegiatan yang sedang terjadi di dalam bus. Cara
pengambilannya berada pada posisi yang sejajar dengan objek (eye level)
dan menggunakan lensa standar atau lensa normal. Di dunia fotografi,
lensa normal atau lensa standar adalah lensa yang memiliki cakupan
pandang mirip dengan mata manusia dalam kondisi normal, oleh karena
itu disebut lensa normal. Ferganata Indra Hatmoko, selaku fotografer juga
98
menambahkan, lensa normal adalah lensa dengan field of view (sudut
pandang) yang kurang lebih sama dengan sudut pandang mata manusia
dalam kondisi normal.
Pada konteks pencahayaan, sebagaimana layaknya foto yang
diambil pada malam hari atau saat kondisi gelap, foto diambil dengan
bantuan lampu kilat (flash) dari segi ketajaman foto, tingkat ketajaman
keseluruhan objek foto terlihat sama. Dalam tehnik memotret dikenal
dengan istilah ruang tajam luas dengan mengatur kamera pada diafragma
berkisar f/45, sampai f/11. Dengan posisi diafragma tersebut maka
kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan pencahayaan yang nampak
dalam data foto 1 berkisar antara S: 1/15 sampai 1/800. Atau juga dapat
dikompensasi dengan menggunakan ISO 400 sampai 800.
2.5 Aestheticism
Estetika komposisi gambar pada foto 3 juga memiliki kekuatan
pesan yang menarik. Penempatan framing pada masing-masing objek
menjadikan foto ini terlihat. Masuknya bagian belakang bus bertuliskan
“Bus Pariwisata” merupakan suatu informasi bahwa yang menaiki bus
tersebut merupakan para pemudik.
Tedapatnya objek pria yang sedang berada dalam bagasi bus,
secara tidak langsung memberi informasi bahwa bus tersebut berhenti
dalam waktu yang tidak sebentar. Penempatan objek utamanya pun
memakai komposisi rule of third atau 1/3 sehingga membuat foto ini
semakin enak dilihat.
99
2.6 Sintaxis
Berdasarkan caption, foto 3 menampilkan para pemudik yang
sedang menunggu giliran untuk naik kapal feri di Pelabuhan Merak,
Banten, Minggu (4/8). Melonjaknya jumlah pemudik membuat setiap
kendaraan mobil atau bus harus menempuh waktu sedikitnya lima jam
perjalanan dari Gerbang Tol Nerak hingga antre naik kapal.
Perlu diketahui, mudik merupakan sebuah tradisi yang
dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun menjelang
akhir bulan Ramadan dan Lebaran untuk silahturrahmi bersama sanak
saudara keluarga untuk berkumpul di kampung halaman. Orang atau
keluarga yang merantau serasa belum sempurna Ramadannya dan ber-
Idhul Fitri jika belum pulang kampung.
Mudik sendiri berasal dari sandi kata bahasa Jawa ngoko yaitu
mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Dalam konteks mudik di sini,
tentu kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung
halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang
terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya
menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul
dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya
juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik muncul pada beberapa
negara berkembang dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti
Indonesia dan Bangladesh.13
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Mudik (diakses pada tanggal 14 Juni 2014 pukul 11.58).
100
Tradisi mudik yang selalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi awal
pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai salah
satu kota besar di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa.
Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sodikin (1966-
1977), berhasil disulap menjadi kota Metropolitan. Bagi penduduk kota-
kota lain, Jakarta menjelma menjadi kota impian, Jakarta menjadi tempat
penampungan orang-orang yang di kampung tidak beruntung dan di
Jakarta “seolah-olah” akan kaya. Lebih dari 80% para urbans ini datang
ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan.14
Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu, sebab pada hari
Lebaran, ada dimensi keagamaan dan waktu yang tepat untuk kembali
bersilaturrahmi ke kampung halaman. Itulah awal mula pulang kampung
atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya.
Dari foto 3, dapat ditafsirkan secara sintakasis, ada sebuah
fenomena mudik yang terjadi di Indonesia dilihat dari jumlah masif
pemudiknya dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan makna
konotasinya adalah warga yang senantiasa antusias untuk melakukan
mudik ke kampung halaman masing-masing, tak peduli harus membayar
mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang Lebaran, harus antri
tiket jauh-jauh hari sebelum Lebaran, bahkan banyak yang harus
menempuh waktu dan jarak lebih lama.
14
Hyk, “Mudik dan Idul Fitri” artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari
http://nasional.sindonews.com/read/769918/16/mudik-dan-idul-fitri
101
3. Makna Mitos
Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah fenomena mudik
sebagai gambaran masyarakat Indonesia masih peduli dengan keluarga meski
harus dilalui dengan bersusah payah. Teknologi komunikasi yang sudah
demikian canggih pun, tampaknya tidak sepenuhnya dapat menggantikan
tradisi mudik di negeri ini. Bagi sebagian orang, berlebaran mungkin tidak
hanya cukup dengan mengirim SMS atau bertelepon, ada motivasi lain yang
mengharuskannya pulang mudik.
Jika ditelusuri, fenomena mudik di Indonesia terjadi karena begitu
banyak rakyat yang mencari penghidupan di tanah rantau. Mengapa harus
merantau, karena pada umumnya mereka mengalami kesulitan untuk mencari
pekerjaan di daerah sebagai sumber penghidupan yang layak bagi
keluarganya. Mengapa mereka kesulitan mencari pekerjaan yang layak di
daerah, karena sejauh ini program pembangunan nasional memang masih
dikonsentrasikan di kota, pembangunan belum semerata seperti yang
diharapkan. Namun dibalik semua persoalan yang melatarbelakangi, mudik
memang sudah menjadi fenomena sosio-kultural di negeri ini.
4. Nilai Budaya
Berdasarkan temuan mitos di atas, mudik memiliki sisi budaya positif dari
segi nilai solidaritas. Dengan mudik, berarti masyarakat masih menjunjung
nilai silaturahmi antara keluarga. Acara mudik, khususnya menjelang
Lebaran bukan hanya menjadi milik umat muslim yang akan merayakan Idul
Fitri bersama keluarga, namun telah menjadi milik “masyarakat Indonesia.”
Karena, meskipun manusia adalah makhluk individu yang berhak menetukan
102
tujuan hidupnya sendiri, pada dasarnya bersilaturahmi juga hakikat dari
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa
orang lain.
Selain untuk bersilaturahmi, mudik juga digunakan sebagai momen
untuk menunjukkan sebuah eksistensi para pemudik kepada orang lain.
Dengan bertemu sanak keluarga, mereka bisa menunjukkan sampai sejauh
mana hasil jerih payah mencapai taraf hidup di perantauan. Meskipun para
perantau rela menghamburkan tabungannya, jerih payahnya selama di rantau
untuk menunjukkan “keberhasilan” kepada keluarga dan tetangga, tetapi
ketika hal itu menjelma menjadi cinta, persahabatan, dan simpati sesama
manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu
mereka, maka mudik akan membuat manusia mempunyai nilai solidaritas.
Orang yang mencintai kampung halamannya adalah orang yang tidak
lupa darimana dia berasal, lebih filosofis adalah ibarat kacang yang tak lupa
akan kulitnya, atau menurut pepatah “Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya
akan kembali ke sarangnya.” Oleh karena itu, mudik juga dapat digunakan
untuk sebuah refleksi diri kembali ke asal, kembali ke belakang, bahkan
sampai di masa kecil kita.
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mendeskripsikan dan menganalisis hasil temuan data yang telah
dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis akan menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Denotasi
Dari penelitian ketiga foto melalui tahap denotasi, disimpulkan bahwa data
foto pertama merupakan foto single atau foto berita yang berdiri sendiri tanpa
sebuah berita yang mengiringinya. Sedangkan data foto 2 dan 3 adalah foto
ilustrasi dari sebuah headline berita yang mengiringinya.
Pada foto pertama, makna denotasi yang diapat adalah beberapa
perempuan yang dibingkai oleh sebuah jendela tenda, sedang melaksanakan
ibadah shalat pada malam hari. Foto kedua, adalah peristiwa dengan
menampilkan proses jual beli sayur-mayur antara pedagang dan pembeli di
sebuah pasar tradisional. Dan foto terakhir adalah beberapa orang sedang
melakukan aktivitasnya masing-masing sembari menunggu bus yang sedang
dalam keadaan diam.
2. Konotasi
Melalui tahap ini, tidak ditemukan makna konotasi trick effect (manipulasi
foto pada tingkat yang berlebihan). Proses edit yang dilakukan dari ketiga foto
tersebut hanya sebatas cropping dan color balancing. Selain itu, dari ketiga
foto yang diteliti terdapat Point of Interest pada setiap fotonya dan, semuanya
terdapat subjek foto. Aliran foto human interest adalah yang termasuk dalam
104
ketiga foto tersebut karena masing-masing foto terdapat unsur manusia di
dalamnya. Photogenia yang digunakan dalam ketiga foto ini berbeda-beda.
Dari segi pencahayaan, foto 1 dan 3 diambil menggunakan flash, baik internal
maupun eksternal guna membantu pencahayaan foto. Sedangkan pada foto 2,
fotografer lebih memilih menggunakan available light atau cahaya alami
matahari karena foto tersebut diambil pada pagi hingga siang hari. Secara
umum, ketiga foto menggunakan bukaan diafragma sedang hingga kecil. Hal
ini dimaksudkan agar ruang fokus atau tajam dapat diperluas. Karena minim
cahaya dan sempitnya bukaan inilah, foto 1 dan 3 menggunakan ISO yang
sedang hingga tinggi. Sedangkan pada foto 2 menggunakan ISO rendah.
Pada keseluruhan foto yang diteliti, hampir tidak terdapat efek shaking,
moving, atau pergerakan dari objek atau subjek. Hal ini dikarenakan fotografer
menggunakan shutter speed sedang hingga cepat. Selain itu pada semua foto
sampel subjek atau objek terlihat tidak melakukan gerak-gerik yang cepat
sehingga membantu fotografer dalam pengambilan gambar. Fungsi caption
pada ketiga foto tersebut ada yang sebagai penjelas tambahan, ada juga
sekaligus sebagai berita foto yang berdiri sendiri.
3. Mitos
Mitos yang didapat dari ketiga foto tersebut berbeda-beda. Pada foto 1
dapat disimpulkan bahwa keteguhan hati masyarakat Aceh yang menjalankan
ajaran Islam dalam kondisi apapun. Mereka umumnya selalu patuh pada
perintah-perintah Allah dan Rasul-nya, meyakini bahwa ajaran Islam akan
menyejahterakan mereka di dunia dan di akhirat kelak. Bahkan terkesan adat
dan agama tidak bisa di pisahkan dalam kehidupan masyarakatnya.
105
Pada foto 2, dapat diketahui bahwasanya bila memasuki bulan Ramadan
harga sejumlah kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan dan terus
melambung sampai mendekati Hari Raya. Hal ini dipicu dari tingginya
permintaan pasar sehingga harga otomatis akan naik karena stok yang menipis.
Bila menyimak fenomena ini, bahkan terkesan tak bisa dihindari, seolah tradisi
belanja adalah bagian dari tradisi Ramadan itu sendiri. Sebuah trend yang
berevolusi menjadi budaya.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 3 tema besar mengenai Ramadan
pada harian Kompas edisi 10 Juli 2013 - 7 Agustus 2013, yakni tentang shalat
tarawih, kenaikan harga, dan mudik.
4. Nilai Budaya
Pada foto 1, telah didapat makna mitos tentang masyarakat aceh yang
religius, sehingga secara otomatis nilai agama adalah unsur nilai budaya yang
terkandung. Selanjutnya pada data foto 2, mitos kultur konsumerisme
masyarakat menjelang dan saat bulan Ramadan yang ditemukan
mengungkapkan bahwa unsur nilai budaya yang tersirat adalah nilai ekonomi.
Sedangkan pada foto 3, dari foto yang ditampilkan sehingga menghasilkan
mitos tentang fenomena mudik sebagai gambaran masyarakat Indonesia masih
peduli dengan keluarga meski harus dilalui dengan bersusah payah
mengandung nilai budaya dengan unsur nilai solidaritas.
106
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat
menjadi saran bagi beberapa pihak, antara lain:
1. Bagi Harian Kompas dalam menampilkan pemberitaan terkait bulan
Ramadan. Disamping menjalankan fungsinya sebagai harian nomor 1 di
Indonesia dalam menyampaikan informasi yang bermanfaat, sebaiknya
lebih banyak menyuguhkan pesan yang sarat akan manfaat yang
mendukung dalam ritual puasa.
2. Bagi akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingat banyaknya penelitian yang
menggunakan analisis semiotika atau semiologi di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Komunikasi, agar metodologi tersebut mendapat perhatian yang lebih
besar, sehingga mampu menghadirkan hipotesa dan teori baru yang lebih
berkembang dan kajian yang lebih mendalam guna memperkaya khasanah
keilmuan khususnya ilmu komunikasi.
3. Bagi peminat fotografi khususnya mahasiswa komunikasi, metode
semiotika dapat berperan sebagai kamus bahasa visual yang merupakan
diluar bahasa yang dikenal secara konvensional baik secara verbal maupun
nonverbal, untuk itu metode tersebut patut didalami agar seorang
fotografer dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga
dapat memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan
suatu pesan, khususnya dalam medium visual.
4. Bagi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dan peminat karya-karya fotografi
khususnya foto jurnalistik, metode ini juga berfungsi untuk mengungkap
107
makna lain yang terdapat dalam sebuah foto jurnalistik, baik secara
objektif maupun subjektik.
5. Kajian semiotika dapat mengasah paradigma konstruktifis, bahkan wacana
kritis dalam menilai makna di balik sebuah karya seni visual. Sehingga
dengan semiotika, kita dapat menelaah arah perkembangan karya seni
visual, khususnya di Indonesia.
6. Wacana tentang seni fotografi khususnya, tidak lagi hanya mendebatkan
foto dari segi teknis bagaimana foto itu dibuat, melainkan sudah harus
bergerak pada ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat
terus berjalan kearah perkembangan, dan bukan hanya sekedar
pengulangan agar dapat terintegrasi dengan banyak hal yang berkaitan
dengan fenomena budaya yang berkembang di masyarakat, bekal wawasan
budaya secara meluas dapat membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih
kaya informasi.
108
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Yuniadhi. Pengantar Fotografi Jurnalistik. Jakarta: 2004.
Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata Fotogafi. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa.
Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Angeloni, Elvio dan Kluckhohn, Clyde. Classic Edition Sources Antropology. Pasadena: Mc
Graw Hill, 2008.
Anirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penulisan. Jakarta: PT Raja Grafika Persada, 1995.
Arifin, Zainal. Penelitian, Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya: 2012.
Bactiar, Wardi. Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Barthes, Roland. Mythologies. New York: The Noonday Press, 1957.
Berger, Arthur. Tehnik-tehnik Analisis Media Second Edition. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya, 2000.
Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia, 2001.
Birowo, Antonius. Metodologi Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gitanyali, 2004.
Bogdan dan Biklen. Qualitative Research For Education, an Introduction to Theory and
Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc., 1982.
Budiman, Kris. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku baik, 2003.
Budyatna, M. Jurnalistik, Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009.
109
Cahn, William. Photojournalism. New York: Time-Life Book, 1972.
Cobley, Paul dan Janz, Litza. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, 1999.
Dani, Dahlan. “Fotografi Jurnalistik.” Majalah Cakram, 2 Juli 2002: h. 52.
Effendy, Onong Uchjana. Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung: Mandar Maju, 1981.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Fiske, John. Cultural and Communication Studies. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi
Subandy Ibrahim. Bandung; Jakarta, 1990.
Fitriadi, Firman Eka. “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi.” Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004.
Hoed, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: FIB UI Depok, 2008.
Hoy, Frank P. Photo Journalism the Visual Approach. New Jersey : Prentice-Hall, 1986.
Hufad, Achmad. “Sosialisasi dan Akulturasi Nilai-niali Budaya Lokal: Kasus pada Keluarga
Inti Orang Menes di Banten.” Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2005.
Indriyanti, Amilia. Belajar Jurnalistik dari Nilai-nilai Al-Quran. Solo: Samudra, 2006.
Irsyad, Roby. “Representasi tentara Amerika Serikat dalam Foto Berita Surat Kabar
Nasional: Analisis Semiotika Foto Berita tentang Tentara Amerika Serikat selama 21
Hari Pertama Perang Irak di Halaman Satu Surat Kabar Republika.” Tesis Universitas
Indonesia, 2005.
Junaedhie, Kurniawan. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Keene, Martin. Practical Photojournalismn a Proffesional Guide. Inggris: Focal Press, 1993.
Kiyanto, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2006.
110
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Kroeber, A.L. dan Kluckhohn, Clyde. Culture: A Critical Review Of Concept and
Definitions. New York: Vintage Books, 1952.
Kunto, Suharsimi Ari. Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bineka Cipta,
1991.
Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Yayasan Indonesiatera, 2001.
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Golo
Riwu, 2000.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 1995.
Mehrabian, Albert dan Russel, James. An Approach to Environmental Psychology,
Cambridge. Massachusetts: The MIT Press, 1996.
Mujianto, Yan. dkk. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010.
Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi).
Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Ndraha, Taliziduhu. Budaya Organisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Nugraha, B. Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: ISAI, 1999.
Nurhuda, Angga Rizal. “Analisis Semiotik Headline Harian Kompas.” Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009.
Oetama, Jakoeb. Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001.
Oetama, Jakoeb dan Suryapratomo. Kompas Menulis dari Dalam. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2007.
111
Panuti, Sudjiman dan Aart, Van Zoest. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: PT Karya Nusantara,
1996.
Patmono, SK. Teknik Jurnalistik Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia, 1996.
Pearson, Judy C. dkk. Human Communication. New York: McGraw-Hill, 2003.
Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Bandung: Jalasutra, 2003.
Pranata, Moeljadi. Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?. Surabaya: Fakultas Seni dan
Desain UK Petra, 2000.
Prihatana, Hermanus. Foto Berita Hukum dan Etika Penyiaran. Jakarta: LPJA, 2003.
Pusporini, Hihmatun Hayu. “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun Kedung Balar,
desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri.” Skripsi S1 Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012.
Ratna Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Rodzik, Ali Abdul. “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi,
Kelurahan Srengseng Sawah.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Seda, Frans. Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob. Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers,
2001.
Siregar, A. dkk. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta:
Kanisius, 1998.
Soehoet, A. M. Hoeta. Dasar-dasar Jurnalistik. Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP,
2003.
112
Sugiarto, Atok. Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia
Modern. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011.
Suhara, Fri. Ilmu Budaya Dasar, Pokok-pokok Perkuliahan untuk Mahasiswa. Bogor:
Maharani Press, 1998.
Sularto, St. Kompas Meluncurkan Tim Ombusman. Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers,
2001.
Sumaatmadja, Nursid. Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alumni,
1984.
Sumantri, Arga. “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik: Analisis Semiotik Foto
Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi
8 Mei 2013.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Sutrisno, Edy. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Kencana, 2009.
Sunardi, St. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, 2002.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda, 2012.
Soelarko, R. M. Pengantar Foto Jurnalisitk. Jakarta: PT. Karya Nusantara, 1985.
Tumanggor, Rusmin. dkk. Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Wijaya, Taufan. Foto Jurnalistik dalam Dimensi Utuh. Jakarta: CV Sahabat, 2011.
Yunus, Rasid. “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter
Bangsa: Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo.” Jurnal Universitas
Pendidikan Indonesia, 2012.
Yunus, Syafrudin. Jurnalistik Terapan. Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010.
Yuwono, Untung dan T., Christomy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004.
113
Non Buku
Ali, Mahrus. “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura mengenai Penyelesaian
Carok dalam Hukum Pidana.” Jurnal Universitas Islam Indonesia, 2010.
Atmoko, Bambang Dwi. “Polemik Manipulasi Foto di Dunia Jurnalistik.” Artikel diakses
pada 6 Juli 2014 dari http://ruangkamera.com/mrbambang/2012/02/07/polemik-
manipulasi-foto-di-dunia-jurnalistik/
“Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes).” Media Indonesia,
25 maret 2007.
Blenzinky. “Perjalanan Sejarah Kompas.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari
www.Kompas.com
Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014.
“Foto jurnalisitik Gabungan Gambar dan Kata.” Fotomedia, April 2003: h. 24-25.
Hasby, Eddy. “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari
www.kompasimages.com
Hyk. “Mudik dan Idul Fitri.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari
http://nasional.sindonews.com/read/769918/16/mudik-dan-idul-fitri
“Mudik.” Artikel diakses pada tanggal 14 Juni 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mudik
“Nilai-nilai Budaya.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-
nilai_budaya
“Salat Witir.” Artikel diakses pada 26 Juni 2013 dari Id.m.wikipedia.org/wiki/Salat_Tarawih
“Sejarah Kompas.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari
http://print.Kompas.com/about/sejarahKompas.html
Sonesson, Goran. “The Interne Semiotics Encyclopedia.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014
dari www.arthist.lu.se
114
Surat Kabar Harian Kompas Edisi 24 Juni 2014.
Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas). Jakarta, 19 Mei 2014.
Wawancara Pribadi dengan Lasti Kurnia (Fotografer Kompas). Jakarta, 6 Juni 2014.
“Warna-warni: Memahami Arti Komposisi.” Fotomedia, Juni 1996: h. 13-15.
115
Naskah Wawancara 1
Nama : Johnny T.G
Pekerjaan : Ketua Desk Foto Harian Kompas
Tempat : Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37
Tanggal : Senin 19 Mei 2014
Pukul : 13.30 WIB
Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik
(Analisis Semiotik Foto Headline Harian Kompas Edisi Ramadan
2013M./1434 H.)
1. Bisa dijelaskan tentang tugas Bapak sebagai ketua desk foto Kompas seperti
apa?
Kurang lebih job desknya sama kayak redaktur foto, kalo di Kompas
sebutannya aja yang beda. Kalo di Kompas sebutannya ketua desk foto. Saya
ertanggung jawab terhadap setiap rubrikasi yang ada di bidangnya
dan berkoordinasio dengan Redaksi Pelaksana dan Koordinator Wartawan.
Kalo untuk foto, secara langsung atau tidak langsung, harus lewat saya. Jadi
kalau toh itu yang menseleksi orang lain, itu biasanya udah atas persetujuan saya.
Biasanya wakil saya. Kalau wakil sekarang dua orang. Saat seleksi foto, saya juga
harus melihat dengan hati-hati. Jangan sampai ada sesuatu yang tidak sesuai dengan
aturan dan kriteria yang sudah ditetapkan.
2. Masuk ke cara kerja redaksional ya, Pak. Bisa dijelaskan sedikit?
Kita selalu ngikutin siklus prosedur. Seminggu sekali diadakan rapat setiap
hari rabu, sebutannya rapat pagi, yaitu membicarakan fenomena apa yang sedang
hangat, sharing ide, kemudian menentukan konsep berita atau foto apa yang akan
116
diambil. Setelah itu ketemu lagi pada Rapat sore, yaitu menyampaikan hasil laporan
dari data yang sudah diliput. Baru lanjut pada proses penulisan besoknya.
3. Dalam peliputan berita, SOP dari Kompas sendiri seperti apa?
Kalau untuk liputan foto, hampir sama dengan berita. Yang pasti tidak boleh
cloning. Kloning itu ada yang copy-paste. Kalau untuk fotografer, misalnya saya gak
motret nih, trus ada temen yang motret 5 frame, lalu saya minta 1 frame, nanti saya
akuin ini punya saya. Itu gak boleh. Kompas gak boleh lah, kalau tempat lain saya
gak tahu.
4. Apabila sudah mendapat izin dari yang orang bersangkutan, tetap tidak boleh?
Tidak boleh, kecuali, ada yang namanya pool. Pool itu artinya, di dalam suatu
peristiwa, yang diizinkan meliput itu media atau orang tertentu, yang memang
diakreditasi sama yang punya hajat. Lalu setelah diakreditasi, media yang
diperbolehkan meliput itu, diwajibkan memberi ke media lain. Tapi nanti kreditnya
pool. Misalnya dari Antara, karena yang hanya boleh meliput itu dari Antara. Itu
beda sama yang cloning tadi. Kita dikasih memang kita gak boleh masuk. Kalau
digital kan gampang transfernya, gak seperti dulu.
5. Selain kloning, apakah ada lagi aturan yang tidak tertulis?
Untuk aturan yang gak tertulis itu setting. Setting dalam arti, misalnya acara
kan udah selesai, trus bilang “diulang lagi dong Pak” nah itu gak boleh. Tapi kalau
“Pak agak geser sedikit, biar bagus” itu gapapa, selama gak mengubah peristiwa
yang terjadi dan maknanya. “Pak senyum sedikit” itu gapapa. Jadi sebenarnya kalau
temen-temen sih berusaha senatural mungkin, makanya harus datang lebih awal. Jadi
artinya, ketika media lain mensetting, ke kiri, ke kanan, senyum, segala macam,
temen-temen Kompas akan mengambil terus, siapa tau akan ada yang lebih menarik.
Karena kalau orang disuruh kan jatohnya maksa atau kurang alami. Nanti ketauan,
117
apalagi sekarang kalau digital itu kan kita bisa buka metadatanya, jadi ketauan.
Misalnya yang lain rata-rata jam 3, kok foto dia jam 5 tapi hasilnya sama. Trus kayak
tadi, gak boleh menghasut. Misalnya, orang siding di tipikor. Begitu sidang, trus dia
kucek-kucek mata, lalu kita kasih judul “menangis”, padahal faktanya dia gak
nangis, matanya ngantuk atau apa kan. Kompas harus lebih teliti. Sama juga, ya
mungkin ini bisa dibilang jadi background Kompas, yaitu penempatan porsi berita
yang harus kita tahu secara etika. Misalnya kalau RI 2 di depan, RI 1 harus ada di
dalam. Kalau RI 1 di atas, RI 2 di bawah. Begitu juga sebaliknya. Bahkan dulu
zamannya Pak Harto, gak boleh dia di dalem, foto beliau harus di depan. Kita pernah
taro foto Pak Harto di dalem, itu ditelfon sama pihaknya. Gak ada aturannya,
pokoknya gak boleh aja. Kalau yang sekarang sih SBY engga, tapi pernah kita buat
Pak Sby, Ibunya nanya, “kok saya gak pernah dimuat?”. Akhirnya pernah satu edisi
itu, Ibunya ada, tapi di dalem.
6. Kita langsung ke headline. Kriteria untuk foto headline di harian Kompas itu apa
saja?
Kalau untuk kriteria tertulis ya kita patokannya kode etik jurnalistik. Kayak
misalnya foto gak boleh menghasut, mengandung sara, rasis, dan lain-lain. Kalau di
Kompas sendiri sih yang pasti harus mempunyai efek kepada masyarakat, entah itu
menimbulkan kepekaan, simpati maupun empati. Sifanya harus informatif,
memberikan jalan keluar, dan seimbang.
7. Proses apa saja yang dilakukan sebelum foto berita dimuat di halaman surat
kabar harian Kompas?
Jadi di meja saya itu, saya punya fasilitas untuk membuka layout. Cuma
dikasih kotak aja. Jadi kalau foto warnanya biru, kalau grafis warnanya merah.
Mereka membedakan dari kotak-kotak berwarna itu. Jadi kalau warnanya merah,
118
saya gausah mikir, karena itu sudah pasti design grafis. Tapi kalau kotaknya warna
biru, saya bertanggung jawab pada foto. Lalu kotak itu, apakah terkait dengan
tulisan atau engga saya baca dulu. Fotonya cocok gak dengan tulisan. Nanti saya
pilih foto, kalau harus dicropping nanti saya akan kasih tanda cropping berarti saya
nanti pindah ke pengolah foto. Adjuster namanya, pengolah gambar supaya lebih
menarik. Dari situ nanti foto dikirim ke bagian layout. Layout itu nanti masang lalu
ditempel di kotak yang kosong tadi yang berwana biru itu, kemudian nanti saya lihat
lagi, sudah benar atau belum. Jangan-jangan begitu dipasang ga sesuai. Karena kan,
foto itu ada cara memotongnya sendiri. Kalau cropping harus tau prosedurnya.
Mungkin aja setelah kita kirim sesuai kotak-kotaknya tadi, nanti ternyata begitu
dipasang, itu tulisannya jadi panjang, atau tadinya dua kolom di layout jadi tiga
kolom. Kalo udah mendapat persetujuan dari saya, baru naik cetak.
8. Apakah angle dalam sebuah foto berita atau ideologi Kompas memengaruhi foto
tersebut?
Tentu. Karena kan tiap media punya karakter yang berbeda-beda. Kompas itu
sangat strick. Dalam arti, tiap produk yang dihasilkan, baik foto maupun tulisan
harus sangat diperhatikan. Hemm... ingat saat Gusdur meninggal gak? Gusdur kan
meninggal tgl 30 atau 31 Desember, saya lupa pokoknya menjelang akhir tahun,
waktu itu kebetulan saya jaga. saya juga bingung gitu kan foto apa yang mau kita
pasang. Kalo foto jenazah Gusdur kan itu pasti orang juga gamau lihat. Orang kan
pengen tahu wajahnya. Tapi kalau wajah orang mati dikasih lihat kan juga serem.
Akhirnya kita diskusi, terus kita mencoba mengabstraksikan Gusdur itu seperti apa.
Kalau dipasang wajahnya aja yang ketawa, ga sopan juga. Lalu kita terfikir
bagaimana image Gusdur sebagai Bapak bangsa, pokoknya kan orang melihat dia itu
sosok yang dihormati, berkharisma. Trus kita cari-cari, itu kalau dikasihliat
119
depannya, matanya merem, aneh juga. Akhirnya kita dapet foto yang dia acara
pembacaan pusisi atau apa gitu. Dia mau berorasi tapi dia duduk dulu. Itu kita punya
pernah ngambil itu. satu badan, artinya dia dalam kondisi duduk, satu badan agak
dari samping. Yaudah kita pasang itu dan backgroundnya item. Bunyi. Dapet emas
kita. Se-asia, untuk layout. Layoutnya bagus, fotonya bagus vertical, jadi dia fotonya
dari perut ke atas. Trus kalo ga salah cuma dua item. Dan kita dapet emas. Tapi itu
kan gak gampang ya, coba sekarang kamu mau menggambarkan orang yang sudah
mati.
9. Sejauh mana proses editing foto dalam harian Kompas?
Kalau mengedit itu ada 2 pengertiannya. Artinya mengedit di saya sendiri,
sama mengedit di bagian pengolah foto atau adjuster. Kalau saya mengedit itu saya
gak boleh ganti-ganti nih background segalanya gak boleh. Saya hanya memotong.
Misalnya fotonya horizontal tapi tempatnya vertical. Kalau sejauh masih bisa dibuat
vertical, dari foto yang horizontal, dan tidak mengubah makna. Nah kalau nanti di
pengolah foto itu, di adjuster, dia hanya mengedit terang gelap, tidak lebih. Dia gak
boleh merubah suatu foto menjadi makna berbeda. Dia hanya boleh ngasih terang
atau gelap. Itu aja. Sama dia menyesuaikan dengan ukuran yang sudah memang jadi
patokan dipercetakan. Misalnya untuk warna merah, harus berapa persen. Itu mereka
sudah tau, kita sesuaikan itu.
Di luar negeri pernah ada kejadian, fotografernya itu dikeluarin. Jadi dia
mengirim foto, lalu diedit sendiri. Foto perang kalau ga salah. Jadi dia ngirim
beberapa sequence foto ke koran itu, terus ada yang dia hilangin background. Saat
ditelusuri, baru ketauan. Sayangnya itu, medianya kecolongan disitu. Jadi kalau
menghilangkan atau menambah, itu tidak boleh.
120
10. Perbedaan pada Harian Kompas saat bulan Ramadan dengan bulan lain?
Karena yang namanya koran, apalagi harian, kita harus menyediakan data
apa yang terjadi sesuai dengan fenomena. Setiap fenomena yang terjadi harus kita
respon sebagai produk yang disajikan ke masyarakat. Jadi, kalau saat Ramadan ya
sudah pasti hampir semua rubrikasi berkaitan dengan Ramadan. Tak hanya foto,
tulisan juga. Pola-polanya pasti terbaca. Event-event tahunan seperti Natal, bulan
puasa, tahun baru, itu semua termasuk event berpola.
11. Bagaimana tekhnisnya?
Ada pembentukan tim untuk kordinator liputan. Bagian redaksi membentuk
tim liputan khusus hari raya. Jadi, setiap event yang berulang, misalnya Ramadan,
Lebaran dan tahun baru dijadikan satu rangkaian waktu. Istilahnya, mereka dapat
SK (Surat Keputusan) sekali jalan. Kalau Ramadan, tim dibentuk biasanya terdiri
dari satu fotografer dan beberapa reporter, durasinya dari sebelum Ramadan sampai
Lebaran. Tapi kalau Natal dan tahun baru, mulainya sebelum Natal sampai selesai
tahun baru, karena waktunya berdekatan. Nanti setelah itu ya bubar, masuk lagi ke
desk masing-masing. Kalo waktu itu saya tidak termasuk ke dalam tim Ramadan
karena urusannya berbeda. Saya urusannya bencana alam, jadi masuknya ke
hardnews. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau foto atau berita yang naik berasal
dari luar tim Ramadan. Nah ini maksud saya bahwa, Kompas itu ga terpaku harus
begini-begini. Hanya, tim Ramadan ini, dia punya tugas, bahwa saat bulan Ramadan
itu harus ada foto tema Ramadan yang menarik dan berpengaruh bagi banyak orang.
Misalnya foto serial atau foto single. Jadi, isu yang sedang terjadi sebisa mungkin
dikaitkan dengan Ramadan. Namun Kompas akan tetap menampilkan berita atau foto
di luar konteks Ramadan, dengan asumsi bahwa berita atau foto itu sangat penting
untuk naik pada hari itu. supaya kita punya variasi.
121
12. Langsung ke foto pertama yang penulis jadikan objek penelitian, sebagai
redaktur foto, apa yang membuat foto tersebut terpilih menjadi foto headline?
Kebetulan ini saat ada gempa, lalu ada pengungsi, dan ketika ini masuk saat
bulan Ramadan, yaudah itu kita pakai. Kalau misalnya foto ini terjadi di tempat
pengungsi yang mayoritas non muslim, yaudah pasti foto ini ga bakal bunyi, foto ini
hanya sekedar foto pengungsi aja, sudah. Tapi karena ini kejadiannya di lokasi
muslim, jadi foto ini lebih kuat, apalagi kalau dinaikan saat Ramadan. Sebenarnya ini
faktor kebetulan juga. Kita cek dari temen-temen yang ditugaskan di lokasi bencana,
kebetulan ada momen ini. Dan ini kan, tarawih pertama, biasanya akan orang
tunggu.
13. Menurut Bapak, pesan apa yang kira-kira ingin disampaikan fotografer dalam
foto ini?
Kalau saya lihat sih lebih ke kesederhanaan. Inikan orang lagi tertimpa
musibah di bulan yang harusnya disambut dengan suka cita. Ini juga termasuk
tentang ketegaran yang bisa membuat orang terenyuh dan membuat orang lebih
berkaca pada dirinya kan, bahwa apa yang tadinya dipikir itu bahwa bulan Ramadan
adalah bulan suci yang kita bisa seneng-seneng, bisa kita sambut dengan suka cita,
tapi saudara kita mengalami musibah. Terlihat juga dari ekspresinya. Makanya ada
framing itu. Karena akan beda kalau pengambilannya tidak memperlihatkan subjek
lain di sekelilingnya. Gak akan bunyi. Dan ini juga sudah telfon kepada yang
bersangkutan, si Lasti ini. Supaya dapat gambaran. Bisa aja kan ini bukan di tenda,
bisa aja ini alam terbuka. Ngambilnya mungkin detail mukanya, tapi karena harus
ada sesuatu yang membingkai, alam terbuka kan berarti akan banyak fokus yang
terlalu banya, misalnya ada pohon kelapa, anak kecil lari-lari, dan sebagainya. Tapi
kalau ini kan orang fokus kesini bahwa ini ada di dalam sebuah tenda, bukan alam
122
terbuka. Jadi ada banyak hal yang harus diperhatikan. Kenapa dikasih lampu, kan
kalau gelap malah aneh gitu ya kayak gaada kehidupan. Saya juga menghubungi si
fotografer. Kamu lihat apa disitu. Karena kan beda sama orang yang tawarihnya di
alam terbuka tapi 5 orang misalnya, meskipun orangnya hanya kelihatan 2 atau 3.
Tolong saya dikasih informasi disitu ada apa aja. Untuk saya bisa menggambarkan
malah nanti saya bisa ngasih masukan. Karena ini kan kebetulan, fotografernya non
muslim, jadi kan dia gak tau titiknya. Kalau orang lagi solat kan pas lagi sujud pas
nungging kan malah jadi aneh. Karena kan kita harus tau, titik mana yang masih baik
untuk disampaikan. Kalau pas edisi shalat tarawih di istiqlal ini kan orang udah
biasa lah. Kita kan nyarinya yang berbeda. Itu yang selalu saya pesankan sama
temen-temen. Jangan sampai mengulang. Entah gimana caranya. Harus beda, trus
jangan sampe salah juga. Ini kan sebuah peristiwa yang gak boleh dimain-mainin.
14. Selanjutnya untuk foto kedua?
Ini termasuk foto serial. Ini kan foto yang terkait sama tulisan. Ini kan
namanya serial. Adanya di bawah, kalau ini di atas kan jadi kurang menarik. Jadi
boleh aja serial mau ada di sebelah mana. Yaudah, kita naikin. Kalau misalnya ada
seseuatu pemberitaan yang kuat berkaitan dengan Ramadan, bisa jadi dia naik. Yang
pasti kan tema harga naik kan pasti ada saat Ramadan. Pada saat itu kita juga
melihat dalam pergerakan harga perhari itu apa yang paling berpengaruh pada
kebanyakan orang, misalnya kan 9 bahan pokok. Saat Ramadan itu ada apa aja sih,
ya kayak gini, harga barang naik, ada mudik, yaudah itu yang kita pake. Soal angle
nya itu kita harus cari yang menarik. Jadi kadang-kadang kan pasar itu kan ga harus
digambarkan dengan kondisi yang kumuh. Orang-orang yang berkeringat, atau dekil,
pake singlet, tapi dengan seperti ini malah lebih menarik.
123
15. Dan foto terakhir?
Ini bus antar kota ya. Kan biasanya kita juga ada yang pesawat.harusnya kita
lebih banyak transportasi. Mulai dari bus, kereta, pesawat. Nah untuk kali ini kita
ambil dari transportasi bus. Atau juga kita selang seling, kalau bus itu kan hampir
setiap orang bisa naik atau mampu. Ini kan juga kita harus tau dan yakin betul bahwa
ini orang mau mudik. Jangan-jangan ini ga ada hubungannya dengan arus mudik.
Dia juga harus tau bahwa bus yang lagi antre memang ada hubungannya sama orang
mudik. Makanya tulisan “bus pariwisata” dimasukkan. Terlihat juga di dalam bus
terisi oleh banyak orang dan tas-tas. Jadi dia ga boleh mengada-ada. Itu merupakan
tanggung jawab si fotografer. Kerika dia menawarkan ini, dan saya sampaikan pada
editor foto, saya juga harus yakin bahwa ini sesuai dengan caption. Dari cropping
juga bisa memadatkan sebuah pesan. kalau misalnya dia memperlihatkan bus secara
penuh, kan foreground akan mengganggu, walaupun ada pemudik disitu. Tapi kan
pemudik ga bisa kita atur, dan yang tadi saya bilang, tidak boleh ada setting yang
mengubah makna, misalnya fotografer mengatur para pemudik untuk berdiri di depan
bus agar terlihat lebih ramai. Makanya kita melakukan cropping. Nah itu tadi, jadi
ketika si fotografer ngambil, dia harus tau bahwa itu bus yang sedang menunggu
antrean. Kalau fotografer bohong berarti kan saya juga dibohongi, itu bahaya, kita
bisa kasih punishment. Jadi dia ga hanya motret, tapi juga harus mengenali medan.
Nah kalau hanya menampilkan bus yang berhenti itu orang juga ga akan tertarik, jadi
juga harus diperhatikan aktivitas orang, ekspresi, dan pengambilannya. Banyak hal
yang harus diperhatikan. Jadi ketika itu kan kita udah kasihtau ke fotografer, “ini tuh
lagi musim mudik” coba cari suasana baru. Dia juga ga boleh mengada-ada, kan kita
bisa cek juga lewat tulisan reporter. Misalnya fotografer bilang ini bus sedang
menunggu antrean, ternyata kata reporternya engga. Jadi harus sesuai.
124
Naskah Wawancara 2
Nama : Lasti Kurnia
Pekerjaan : Fotografer Kompas
Tempat : Gedung KOMPAS Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37
Tanggal : Jumat, 6 Juni 2014
Pukul : 19.00 WIB
Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik
(Analisis Semiotik Foto Headline Harian Kompas Edisi Ramadan 2013
M./1434 H.)
1. Langsung ke fotonya Mba Lasti yang saya jadikan subjek penelitian, untuk foto
tentang tarawih pertama ini, bisa diceritakan?
Kenapa ini kemudian menjadi “Tarawih Pertama”. Jadi pada saat itu
memang sedang terjadi gempa Aceh, di Gayo tepatnya, kejadiannya sebelum
Ramadan. Saya ditugaskan untuk meliput bencana tersebut. Itu juga sebenarnya
walaupun sifatnya kita (fotografer) responsif terhadap apa yang terjadi di lapangan
dan kalau kita meliput bencana itu sudah pasti akan meliput bagaimana masyarakat
yang tertimpa bencana, bagaimana penanganan bencana, pencarian korban,
bagaimana yang di pengungsian, perkembangan pencarian korban dari hari ke hari.
Hari pertama, kita kerahkan pasukan TNI, Kopasus, kemudian biasanya nanti sudah
hari berikutnya muncul anjing pelacak atau mungkin pemakaian alat berat. Tapi di
luar itu, kalau kita di Kompas sebagai fotografer, biasanya saat ditugaskan untuk
liputan bencana tidak hanya memakai “kacamata yang sempit” yang sebatas meliput
bencana. Dalam arti, kami sebagai fotografer juga mencari dampak-dampak di luar
lokasi yang menderita bencana, karena tidak ada suatu peristiwa yang tidak memberi
125
dampak pada yang lain. Saya mencoba melihat dampak dari perekonomian dan
mencari feature. Salah satu angle yang saya ambil adalah perkebunan kopi -karena
Gayo terkenal dengan kopinya- yang ternyata mengakibatkan penggilingan kopinya
rubuh.
Hari berikutnya, kalau tidak salah hari keempat saya di Gayo, akan memasuki
bulan Ramadan, kami sesama tim Kompas sudah bersiap, artinya, kita harus melihat
bagaimana mereka (para pengungsi) akan memulai Ramadan pertama. Kita sudah
mulai cari tahu. Ternyata ada tradisi “meugang” yang kebetulan saya bikin foto
story tentang itu. Kalau tidak salah satu pekan setelah foto ini, foto story saya
tersebut terbit di Kompas. Jadi, sudah pasti peristiwa yang uptodate terjadi disana
harus saya ambil, karena kita akan terus kasih informasi kepada pembaca,
bagaimana kondisi gempa di sana. Dan terutama ketika sudah mau Ramadan, waktu
itu kondisi mereka tarawih pertama adalah penting untuk saya ambil. Sudah seperti
tradisi, saat kita memasuki Ramadan kita pasti akan dapat permintaan dari editor
foto untuk kita yang di Jakarta pergi ke Istiqlal, atau masjid mana yang unik.
Termasuk saya saat sedang liputan bencana, dititipkan (oleh editor foto) bagaimana
Ramadan pertama di sana. Begitu juga dengan teman-teman lain di luar Jakarta.
Kebetulan karena waktu itu saya di Gayo, saya berfikir kondisi yang tidak normal
adalah ketika harus melewati puasa pertama di tenda pengungsian. Otomatis saya
langsung konsentrasi ke tenda pengungsian. Target saya sore itu, saya cari
pengungsian yang terbesar, karena ada banyak kantong pengungsian, dan beberapa
dari mereka ada yang ngungsi di depan reruntuhan rumahnya, jadi cuma pakai tenda
kecil untuk sesama keluarga. Posko pengungsian besar ada di Kute Glime, jadi saya
ke sana.
126
Saat liputan, saya tidak hanya mengambil foto yang beda dari yang lain,
tetapi juga mencari objek yang value-nya lebih dibanding yang sudah biasa
ditampilkan. Kita ajak orang berfikir, bagaimana yang lain bisa tarawih di rumah
dengan keluarga, suka cita pergi ke masjid, bagaimana dengan saudara kita di
pengungsian. Kita mau memberi perspektif untuk orang lain peduli dengan sesama,
ikut merasakannya. Dan jadilah foto ini.
2. Proses terpilihnya foto Mba Lasti ini menjadi foto headline?
Setelah selesai liputan, semua fotografer pasti menyetor, saya di Gayo, yang
lain di Yogyakarta, ada yang dari Surabaya dan sebagainya. Nah yang menentukan
ini kemudian dipilih menjadi foto headline di bulan pertama Ramadan adalah editor
foto. Keputusan itu kenapa dipilih karena ada dua hal, yaitu dilihat dari konten dan
visualnya. Mungkin karena kontennya lebih “dalem” dan secara visual, namanya foto
jurnalistik, walaupun dia news, buat saya tetap sebuah karya seni. Kalau foto jelek
juga orang ga akan mau lihat.
3. Jadi momennya pun berdekatan ya Mba, terjadinya gempa, kemudian bulan
Ramadan?
Ya, dan setelah ini, besok paginya ada ritual “meugang” yang tadi saya
cerita. Jadi kalau di sana itu mereka ada seperti potong kerbau atau sapi. Saya bikin
foto story dan video juga. Dan itu naik di akhir pekannya. Kita tidak mau terlalu
lambat dalam menampilkan sebuah foto, jangan sampai kehilangan momennya,
karena ini kan momennya juga masih Ramadan, jadi beritanya harus fresh.
Saya juga membuat foto story tentang Desa Serempah yang ada di Gayo. Jadi
Desa Serempah itu adalah Desa yang sudah hancur karena gempa. Bener-bener
sudah tidak ada desanya, sudah habis rata. Saya mengambil angle hanya jejak-
jejaknya saja. Saya ingin mengambil begitu, karena tidak selamanya foto jurnalistik
127
harus ada orangnya. Yang penting kan kamu bicara. Tersampaikan. Gimana caranya
menyampaikan, kamu bisa mencari caramu. Artinya, cara berbicara itu hampir sama
dengan cara menulis. Cara menulis kan banyak ya, misalnya kamu mau menulis
feature yang bagaimana, yang sangat keras, yang sangat fantasi, memasukkan ada
banyak kalimat-kalimat yang kemudian membuat kamu bisa berfantasi, mau kamu
soft, mau nakal sedikit pakai sentilan-sentilan. Sama, foto juga bisa seperti itu. Kamu
bisa jail, kamu bisa sangat reflektif.
4. Foto simbolik seperti itu apakah bisa masuk koran? Bukanya hanya cocok
untuk pameran foto?
Bisa. Biasanya tidak hanya fotografernya, tapi editornya juga harus punya
visi. Makanya seorang editor tidak mungkin pengalamannya baru, setidaknya,
seorang editor harus memiliki jam terbang yang lumayan. Dan sebaiknya harus tetap
motret, bergaul melihat perkembangan di luar. Tetapi tidak juga hanya editor
fotonya, karena kalau kita bicara koran adalah hasil kerja banyak orang. Saya
sampai sekarang masih berada di Kompas karena dari awal saya memang sepakat,
tidak terima amplop, tidak menerima gratifikasi apapun. Kenapa, karena kita tidak
pernah bisa menjamin apakah berita itu akan naik atau tidak. Sekarang gini, kamu
terima amplop, kalau kamu udah terima amplop, narasumber sudah berharap
beritanya naik dong, sudah bayar nih wartawan, tapi kan sekarang yang punya koran
siapa, disini ada Jacob Utama kemudian ada komisaris-komisaris segala macam, di
bawahnya lagi ada Pemred, Redpel, editor-editor, dan banyak lagi, yang menentukan
Kompas sampai terbit bukan hanya wartawannya, sehingga kalau misalnya saya
terima, itu akan jadi boomerang, selain itu menyalahi kode etik jurnalistik. Yang bisa
dilakukan sebagai foto jurnalis adalah kamu mengcover semaksimal mungkin di
lapangan, apa yang kamu lihat, peristiwa yang kamu lihat, peristiwa yang menurut
128
kamu, masyarakat perlu untuk mnegtahui, nah setelah itu kamu mengirimkan ke
kantor, lalu ada banyak proses di sini, mulai dari memilih foto, memilih tulisan,
mengedit tulisan, semuanya sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan dari media itu
sendiri.
5. Kebijakan di Kompas sendiri seperti apa?
Kebijakan di setiap media hampir sama. Untuk Kompas sendiri, tidak akan
mungkin menampilkan misalnya, alat vital, kita ga akan vulgar, darah-darah tidak
akan muncul. Jadi saya dapet pelajaran banget waktu meliput bom bali satu. Waktu
itu saya belum diangkat. Saat itu agak kecelakaan juga, harusnya saya gak dikirim
kali ya. Tapi ya, waktu itu Anton Triadi, editor foto Kompas. Saat itu saya sedang
tugas di Surabaya, mungkin karena saya yang paling dekat dari Bali, jadi saya
disuruh ke Bali. Masih pakai film, masih pakai FM 2, yang jadul. Itu pertama kalinya
saya meliput bencana dan bertarung dengan media-media asing. Jadi malam itu juga
saya langsung ke rumah sakit. Saat itu mayat-mayat masih berjejeran, terus besoknya
ada yang dimasuk-masukin peti, saya waktu motret masih polos, ya meskipun saya ga
akan motret yang berdarah-darah gitu lah, saya sudah tahu Kompas ga boleh. Saya
motret tuh, saya pikir sudah aman lah karena saya motret cuma kaki-kakinya doang,
saya pikir sudah cukup simbolis, mayatnya juga sudah tertutup sama kain, ternyata
foto saya tidak kepilih. Foto saya kalah sama fotonya Bea Wiharta Reuters. Jadi dia
itu simbolis banget, fotonya hanya kakakinya yang tidak begitu kelihatan sementara
di depannya ada karangan bunga. Fotonya fokus sama karangan bunga, dan latar
belakangnya itu orang tau, jajaran mayat yang hanya kelihatan kakinya yang tertutup
kain, jadi blur gitu yang di belakang. Saya kalah tuh sama foto dia. Saya saja sudah
tidak memperlihatkan gitu ya. Jadi kayak gitu. Sudah menjadi kebijakan di sini,
bahwa Kompas tidak akan menampillkan darah, tidak menampilkan alat vital, tidak
129
akan menampilkan hal-hal yang sara. Itu yang bukan aturan dari saya, walaupun
saya sepakat, itu aturan dari sini, yang memformulasikan itu jajaran pemred, redpel,
dan sebagainya. Sudah dari awal nilai-nilai tersebut kemudian diturun-temurunkan.
Style menulis juga ditentukan, tidak seperti koran kuning yang bisa seenaknya
menggunakan bahasa lebay.
6. Kalo dari segi angle, mengapa memilih foto dengan angle seperti ini? Apa ada
makna tertentu?
Kalau saya sih setiap memotret, selalu mengambil semua angle. Setelah itu,
pilihlah yang terbaik. Saya selalu berusaha seperti itu. Cobalah semua angle, coba
angle yang tidak lazim, berfikir out of the box. Setiap angle tentu memiliki makna
tertentu, foto dengan versi tenda kelihatan banyak orang sudah pasti saya punya,
versi ibu-ibu ini tanpa ada bocoran sedikit di belakang tenda pengungsian, ada juga.
Jadi, bikinlah semua angle. Apalagi kalau baru awal-awal motret. Dari atas, dari
bawah, dari samping, dari depan, dari belakang. Semuanya aja. Kalau kamu bisa
jungkir balik, ya jungkir balik, kalau kamu bisa tiduran ya tiduran. Nah baru nanti
kamu juga akan tahu, yang terbaik itu yang mana. Nanti juga akan terasa kok. Kalau
misalnya udah editing, kamu nanti akan milih, yang mana yang oke dan tidak. Itu
kadang-kadang experience juga sih. dan saya juga sudah tau, koran saya maunya
apa.
130
Foto Dokumentasi Wawancara
Wawancara Tahap 1 dengan Johnny T.G (Ketua Desk Foto Kompas)
131
Wawancara Tahap 2 dengan Johnny T.G (Ketua Desk Foto Kompas)
Wawancara dengan Lasti Kurnia (Fotografer Kompas)