newsrhetor edisi 48
DESCRIPTION
Ada apa dengan LKM? Menanti Gerakan SEMA & DEMA pasca Pemilwa. Akankah vakum (lagi)?TRANSCRIPT
NewsRhetor
Ada apadengan LKM?Menanti Gebrakan SEMA & DEMA pasca Pemilwa.Akankah vakum (lagi)?
Edisi XLVIII/Mei 2016
Media Komunikasi Mahasiswa
Setelah menunggu berpuluh purnama...Sema dan Dema dilantik jua...
RHETOR
alam sejahtera bagi pembaca setia
NewsRhetor.
Kebahagian jelas terpancar dari
segenap awak redaksi LPM Rhetor.
Media cetak berbentuk buletin yang pembaca
sekalian pegang akhirnya terselesaikan meski
badai konvergensi media terus mengalir deras.
Memang bukan perkara mudah, semua
menginginkan serba instan, cara memproduksi
sebuah berita (praktisi media) hingga cara
menikmatinya (pembaca). Selain itu kendala lain
seperti kebutuhan anggaran yang lebih juga
menjadi masalah klasik jika masih ingin
mempertahankan media cetak.
Media terus mengikuti perkembangan, dari
cetak menuju cyber media (media online). Tak
dapat dihindari, eksisitensi media cetak perlahan
menurun, tergerus oleh media online. Beberapa
surat kabar harian dan majalah banting setir
mencari siasat. Ada yang mensiasati dari isi
laporanya “khas” adapula yang mensiasati
dengan cara penerbitanya. Beberapa media
kedapatan mengurangi jumlah halaman, rubrik,
hingga harus rela mengurangi terbitan, yang
semula satu minggu tujuh kali menjadi enam kali
terbit. Begitupun yang terjadi di Lembaga Pers
(LPM) Rhetor, eksisistensi media cetak
NewsRhetor juga terkena imbasnya.
Siasat taktis harus dimiliki oleh semua
praktisi media, termasuk LPM Rhetor. Meski
badai cyber media mendominasi informasi yang
dikonsumsi masyarakat, namun NewsRhetor,
media cetak LPM Rhetor akan tetap
dipertahankan, sebagai corong informasi di
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suanan
Kalijaga. Salah satu siasat agar tidak tergerus
oleh eksistensi media online adalah dengan
mempertahankan kekhasan isi pemberitaan.
Seperti tagline News Rhetor, kritis, solutif, dan
humanis. News Rhetor akan setia menjembatani
komunikasi masyarakat kampus.
Sebagai langkah nyata News Rhetor dalam
mempertahankan isi pemberitaanya, adalah
dengan melakukan penerbitan berkala.
Mempublikasikan hasil refleksi atas realitas
kedalam karya tulis. Rhetor juga menyadari,
jurnalisme tak hanya dapat menagandalkan
versi cetaknya. Apalagi dalam perkembangan
teknologi informasi yang kian pesat membuat
para pegiat Jurnalisme harus menyesuaikan
dirinya di era ke kinian, di era new media, ruang
virtual. Laporan-laporan naratif yang sering
menguras halaman kini tak perlu khawatir
dengan jumlah halaman, karena adanya media
online. Begitupun dengan buletin yang
pembaca sekalian pegang, bisa di akses dilaman
online Lpm Rhetor. Dengan hadirnya buletin ke
XLVIII di tangan pembaca ini diharapkan dapat
menjadi sarana penyaluran bakat jurnalistik
sekaligus sumber informasi bagi mahasiswa
mengenai perkembangan kampus.
Pembaca yang budiman, selamat membaca!
SALAM REDAKSI
News Rhetor diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) RHETOR FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pelindung: Dekan FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Penasehat: WD III FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pembina: Nanang Mizwar Hasyim M.Si Pimpinan Umum: Acep Adam Muslim Sekretaris Umum: Nelis Restin Fajrin
Bendahara: Anindia Eka Puspitasari, Muhammad Hadi, Fatkhu Riza Pemimpin Redaksi: Eko Sulistyono
Redaktur News Rhetor: Tri Junita Sari Redaktur Rhetor Online: Ihda Nurul S Redaktur Fotografi: Rofida Ilya
Redaktur Bahasa: Sarjoko Staf Redaksi: Hadi Mulyana, Tiara Apriani, Dyah Retno Utami, Vicky Mazaya, Emy Rosiana,
Ahmad Faza Azkiya, Ika Nur Khasanah, Fahri Hilmi, Maesaroh, Syihabuddin Koordinator PSDM: Amin Awlawy
Staf PSDM: Puput Sahara, Iko Khumairo, Septia Annur Rizkia, Astutik, Anom, Ikhlas Al-farisi, Nisa Zahro Istiqomah
Jarkom: Asran, Mr. Lafzee, Riza Aji Banasthi, Tuffy S, Wulan, Javank Kohin Pradana, Perusahaan: Royhan Asrofi
Tata Letak: Sarjoko Cover : Twitter SEMA U
S
Tajuk... 4 || Laporan Utama...6|| Laporan Khusus...9 ||Rhetorika...12 || Orator...13 || || Opini...15 || Sketsa...16 || Cerpen...16 || Cerpen...17 || Shutter Speed...21
DAFTAR ISI
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 3
emokratisasi kampus merupakan
kondisi diamana semua civitas
akademika (Rektorat, pengajar,
mahasiswa maupun pegawai) memiliki
hak yang sama. Misalnya, dalam
merumuskan kebijakan dalam menentukan
orientasi penyelenggaraan pendidikan di tingkat
universitas semuanya memiliki hak yang sama,
tidak kalah penting, civitas akademika juga memiliki
hak yang sama dalam mendapatkan informasi
publik.
Sayangnya, tidak semua mahasiswa memahami
konteks demokrasi. Berdasarkan angket yang kami
sebar di UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, masih
banyak mahasiswa yang tidak paham dan tidak
mau memahami kata tersebut. Berikut ada
beberapa catatan kami yang mungkin bisa
menunjukan bahwa demokratisasi kampus
hanyakah bualan:
Pertama, Mahasiswa masih dipandang sebagai
masyarakat kelas dua. Beberapa kebijakan penting
di kampus seperti orientasi penyelenggaraan
pendidikan misalnya, jarang melibatkan mahasiswa.
Orientasi penyelenggaraan pendidikan hanya
dilakukan oleh elit-elit kampus, rektora dan
jajaranya. Artinya, kampus sebagai miniature
negara dalam penerapan demokrasi tanpa disadari
telah ternoda. Jika tidak ada demokratisasi kampus
itu berarti tujuan universitas hanya melayani
kepentingan segelintir orang.
Kedua, hak untuk mendapatkan
informasi publik masih dibatasi.
Ditanya masalah transparasi UKT
(uang kuliah tunggal) misalnya,
kampus masih belum ada
transparansi secara utuh.
Akibatnya, kebanyakan
mahasiswa tidaka tahu
menahu transparasi UKT
yang mereka bayarkan.
Tahunya ya hanya kuliah di
UIN lebih murah dibandingkan dengan kampus lain.
Perlu dicatat, ukuran murah dan mahal bukan dari
jumlah uang yang dibayarkan melalui UKT satu
kampus dengan kampus lain, melainkan jumlah UKT
yang dibayarkan berbanding lurus dengan fasilitas
yang diberikan oleh kampus. Selain itu, pendapatan
UKT kampus yang didistribusikan untuk kegiatan
kemahasiswaan seperti UKM (unit kegiatan
mahasiswa) juga tidak ada transparasi yang jelas.
Ketiga, dalam beberapa kasus, posisi kampus
sebagai ruang akademik tidak mencermminkan sikap
akademis. Demokrasi menghendaki, semua orang
bebas bersuara dan berekspresi selama tujuanya
murni untuk kegiatan akademik. Masih teringat
beberapa kali kegiatan diskusi, nonton film yang
akan diselenggarakan di kampus dilarang. Alasanya,
ada oknum yang tidak menghendaki adanya
pemutaran film bahkan diskusi yang akan
dilaksanakan oleh mahasiswa. Harus kita
garisbawahi, di wilayah itu nyatanya kampus tidak
mampu mempertahankan kedaulatanya sebagai
ruang akademik.
Keempat, terbaru adalah pelibatan mahasiswa
dalam pemilihan wakil mahasiswa (Pemilwa). Para
pimpinan mahasiswa masih di dominasi oleh satu
golongan. Dalam prosesnya, pelibatan lembaga lain
di kampus seperti LPM di kampus sebagai kontrolnya
juga dibatasi. Entah siapa yang tidak menunjukan
sikap tak dewasa, yang jelas pemilwa ada indikasi
tidak transparan.[Redaksi]
D
RHETOR menerima tulisan baik berupa opini, cerpen, puisi, surat pembaca dan lain
sebagainya. Karya dikirim ke email [email protected] dengan menyertakan subyek
jenis karya. Redaksi berhak mengedit tanpa menghilangkan esensi karya tersebut.
Bagi yang dimuat, semoga diberi balasan yang setimpal dari Allah Swt...
Masyarakat Kelas DuaMahasiswa Itu
SakitSSenyatanya Nyelekits
A: Alhamdulillah, doa saya terkabul
B: Doa apa, bro?
A: Ini, jadi mahasiswa
B: Syukurlah. Betewe dapet jurusan
apa, nih?
A: Pengennya jurusan A. Tapi dapet-
nya jurusan B.
B: Lha, kok kamu ambil?
A: Daripada jadi pengangguran?
B: Kakakku habis jadi sarjana juga
masih nganggur....[]
Asal Tidak Nganggur
Mahasiswa masih dipandang sebagai masyarakat kelas dua. Beberapa kebijakan penting di
kampus seperti orientasi penyelenggaraan pendidikan misalnya, jarang melibatkan
mahasiswa
TAJUK
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 20164
Surat Pembaca
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 5
da apa dengan UIN? Mengapa Aada pengurangan jumlah sks
Pusat Bahasa (PB) di tahun
2015, Khususnya Bahasa Arab. Apakah
karena kampus kami sudah pandai,
cerdas serta mahir dalam berbahasa
asing?. Belum lagi standar nilai yang
harus dicapai saat ujian, skor 500.
Apakah ini adil ? Apakah ini adil bagi
mereka yang tak ada beside apapun
dalam bidang itu. Karena, beberapa di
antara kami (termasuk penulis)
mungkin baru mengenal bahasa Arab,
baru belalajar menghafal
wahidun,ist’naini,tsa’lata sampai
‘arbaatun.
Itu artinya, bagi kami para mualaf
pemula harus memeras pikiran,
tenaga dan waktu agar bisa mengejar
dan setara dengan mereka yang
sudah terbiasa dengan bahasa arab.
Tidak mungkin juga kita ini berfokus
pada satu bidang saja, mahasiswa juga
dituntut memenuhi tugas yang lainya.
Kalau begini siapa yang mau
disalahkan, Saya, atau kampus?. Ada
yang bilang Salah sendiri masuk UIN.
Bagi penulis, tidak bisa begitu dong
kawan. Seharusnya pihak kampus juga
memperhatikan mereka yang berasal
dari SMK/SMA karena mereka juga
tahu beside kami. Tetapi sepertinya
pihak yang diatas menutup ,tak mau
melihat dan menggap kami tak ada,
atau menggangap kami ini pandai,
cepat mengguasai? sungguh lucu.
Apalagi dalam semingu hanya
satu kali pertemuan, yang berarti
selama satu semester ada 14 kali
pertemuan. Bagiu penulis, waktu
tersebut sangatlah kurang. Sangat
kurang untuk mengetahui, memahami
dan mengaplikasikan ilmu terkait.
Padahal menurut kakak senior tahun
sebelumnya pertemuan selama satu
semester ada 28 kali. Itupun hasilnya
belum memuaskan, apalagi jumlah
sksnya dikurangi seperti ini.
Tahukah kekhawatiran kami
selanjutnya atau apa yang kami
resahkan?, ketika kami terjun
ditengah masyarakat. Sebagai alumni
UIN, kelak kami pasti akan digadang-
gadang sebagai orang yang paham
agama termasuk dalam berbahasa di
lingkungan tempat kami berada.
Namun, kami mendustakan itu. Pada
akhirnya nama besar Instansi pula
yang akan dibawa. Pahamilah kami
maka kami akan memahami.
Ketahuilah maka kami pun akan
mengetahui. Berfikirlah maka kamipun
akan berfikir.
Memang dalam surat Al Maidah:2
di jelaskan hakikatnya Suatu keadaan
manusia tidak akan berubah kecuali
manusianya sendiri yang menggubah.
Petatah Ingris pun menggatakan “Do
the best you can do and then God do
the best you can’t do “ kami percaya
itu ,tetapi kami butuh dukungan
fasilitator dari pihak kampus.
(Hindun, mahasiswa KPI)
Kenapa Jumlah SKSPB Dikurangi?
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 20166
khir 2015 lalu merupakan
awal kembali terbentuknya
Lembaga Kegiatan
Mahasiswa (LKM), di
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta, setelah hampir
dua tahun lembaga yang terdiri dari
Dewan Mahasiswa (DEMA) dan Senat
Mahasiswa (SEMA) ini vakum. Setelah
melewati tahap yang cukup panjang,
dimulai dari adanya tim ad-hock yang
dibentuk oleh pihak kampus hingga
terbentuknya Panitia Pemilihan Umum
Mahasiswa Universitas/Fakultas
(PPUM-U / PPUM-F).
Alimatul Qibtiyah, Wakil Dekan
III Fakultas Dakwah dan Komunikasi
(FDK) UIN menegaskan bahwa LKM
berawal dari Pemilwa yang
sebelumnya digodok oleh tim ad-hoc.
“pelaksanaannya telah diserahkan
kepada mereka termasuk penentuan
kriteria dan persyaratannya,” tegas
Alim (Rabu, 20/04). Selain itu, lanjut
Alim, pihak kampus juga memberikan
sedikit arahan terkait pelaksanaan.
Walaupun pada pelaksanaan lapangan
diserahkan kepada mahasiswa.
Perhelatan Pemilwa berlangsung
ramai sekaligus riuh dengan beragam
intrik-intrik politik dari masing-masing
kubu yang terlibat. Bahkan pemukulan
mahasiswa saat debat kandidat calon
presiden mahasiswa pun terjadi. Hal
ini mendapat tanggapan dari
beberapa kalangan, salah satunya Ira
Amelia. Mahasiswa prodi Bimbingan
dan Konseling Islam ini
mempertanyakan mengapa hal-hal
demikian harus terjadi saat Pemilwa.
“Mereka kok teriak demokrasi tapi
seakan gak paham arti demokrasi itu
apa. Aku gak mau nyalahin partai
LKM Harus Punya Kreatifitas Agar Dikenal Mahasiswa
Oleh: Ikhlas Alfarisi
LAPORANUTAMA
Suasana pelantikan SEMA & DEMA UIN Sunan Kalijaga. Setelah melewati proses yang panjang dan melelahkan, mahasiswa berharap lembaga tersebut tidak vakum (lagi).
A
manapun, dan masing-masing
boleh punya cara yang berbeda
untuk memenangkan partainya,
tapi kok sampai terjadi seperti itu
pada tahap prosesnya,” keluh Ira.
Selain itu, pada saat
pemilihan Ira juga menyesalkan
molornya waktu pemungutan
suara. Rencana pemungutan
berlangsung pukul 09.00, diundur
lantaran surat suara belum siap
untuk didistribusikan. Akhirnya
mahasiswa harus menunggu lebih
lama lagi. “Tapi setelah kami pergi
sebentar, malah tiba-tiba pemilihan
dimulai dan panitia terkesan lebih
mementingkan satu golongan
saja,” ujar Ira kesal.
Sementara itu, di Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK),
terjadi peristiwa nahas. Laily
Nurmahasiswa prodi Manajemen
Pendidikan Islam, mengalami
pingsan akibat terlalu lama
berdesakan tak beraturan di
antrean menuju TPS. Setelah
dikonfirmasi oleh News Rhetor,
ternyata memang pada prakteknya
proses pencoblosan masih kurang
kondusif. “Pada tataran prakteknya
panitia masih terkesan maunya
praktis. Tapi enggak memikirkan
kondisi mahasiswa yang lain secara
keseluruhan,” sesal Laily.
Lain di FTIK lain pula di FDK.
Malam harinya, PPUM-F FDK
melakukan penghitungan suara
dadakan serta tertutup, Kamis
(3/12) 2015. Hal ini menuai teguran
dari Alimatul Qibtiyah. Alim
menyesalkan proses yang dadakan
dan tertutup itu. “Atik sebagai
ketua PPUM-F boleh berdalih ini
untuk keamanan, tapi kan semua
elemen kampus harus mengetahui
jalan prosesnya, selebihnya kami
serahkan kepada teman-teman,”
papar Alim beberapa saat sepulang
penghitungan suara.
Sementara Atik, selaku ketua
PPUM-F menangkal hal itu. Hal ini
terjadi bahwa PANWASLU sendiri
tidak hadir saat jalannya
penghitungan suara serta
beberapa peraturan terkait
keamanan.
“Padahal memang
sudah kami
siapkan tempat
untuk mereka.
Selain itu, ini
aturan dari pusat
demi keamanan.
Kami tidak ingin
terjadi hal-hal
yang tidak
diinginkan,”
ujarnya berdalih.
Setelah Pemilwa, lalu apa?
Meskipun banyak dinamika
yang terjadi, LKM pada akhirnya
terbentuk setelah diadakan
pelantikan berlangsung. Rapat
kerja dari tingkat Universitas
sampai pada Himpunan Mahasiswa
Program Studi (HMPS), juga telah
dilaksananakan. Mahasiswa
sebagai masyarakat
kampus,banyak berharap akan
kinerja Student Government mereka
yang baru.
Seperti yang disampaikan
oleh Muhammad Shiddiq,
Mahasiswa jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam ini. Ia mengatakan
dengan kembali aktifnya LKM, agar
lembaga ini betul-betul
menjalankan perannya sebagai
sarana mediasi diantara mahasiswa
UIN Sunan Kalijaga secara umum
yang terdiri dari beberapa
golongan agar tidak terjadi kubu-
kubuan. “Sebenarnya adanya kubu-
kubuan itu wajar sih. Tapi ketika
sekarang sudah terpilih, ya sudah
gak adalagi kubu-kubuan dan LKM
seharusnya bisa menetralkan hal
itu,” ujar Shiddiq.
Selain itu, hasil Pemilwa pun
tak seperti yang diharapkan.
Banyak dari mahasiswa tidak tahu-
menahu soal perhelatan tersebut.
bahkan siapa yang terpilihpun
banyak tidak tahu. Berdasarkan
angket sebanyak 500 angket yang
disebar News Rhetor di lima
fakultas berbeda menghasilkan
Alimatul Qibtiyah, Ph.D, wakil dekan FDK (tvmu)
Berdasarkan 500 angket
yang disebar News Rhetor
di lima fakultas berbeda
menghasilkan hasil yang
mencengangkan. Sebanyak
80% mahasiswa tidak tahu
siapa yang menjadi Presiden
Mahasiswanya saat ini
Sum
ber:
Polli
ng N
ew
s R
heto
r
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 7
hasil yang mencengangkan.
Sebanyak 80% mahasiswa tidak
tahu siapa yang menjadi Presiden
Mahasiswanya saat ini. Bahkan
bagaimana mereka dipilih dan
prosedur pemilihannya pun tidak
tahu.
Ketidaktahuan ini pun
mendapat perhatian dari Alimatul
Qibtiyah. Ia memberikan banyak
catatan terkait kepengurusan LKM.
“Yang namanya LKM kan sangat
berkaitan betul dengan yang
namanya politik. Mungkin saja
banyak mahasiswa yang tidak
tertarik dengan politik sehingga
berimbas pada ketidaktahuannya
akan presiden mahasiswa di
kampusnya,” kata Alimatul Qibtiyah
menanggapi hal tersebut.
Ia juga menyarankan agar
LKM melakukan kreaifitas tertentu
agar LKM dapat dikenal oleh
mahasiswa dengan memanfaatkan
dana dari kampus dalam
pelaksanaan Program Kerja
(Proker). Selain itu, LKM diharapkan
agar tidak menggantungkan diri
pada pendanaan kampus. “LKM
tidak selalu dapat menggantung-
kan dari pendanaan kepada
kampus, karena memang dana
yang sangat terbatas,” tegasnya.
Salah mahasiswa?
Sementara itu, ketidaktahuan
mahasiswa ditanggapi berbeda
oleh Arta Wijaya pada Selasa,
(26/04). Presiden Mahasiswa
terpilih ini beranggapan bahwa
dalam mekanisme pemilihan dari
pihak Wakil Rektor (WR) III kurang
masif melakukan proses sosialisasi
kepada mahasiswa secara umum.
“Bisa jadi banyak mahasiswa yang
memang tidak mau tahu soal ini,
disebabkan sosialisasinya yang
kurang mengena terhadap
mahasiswa,” tegasnya.
Selain itu, Arta menambahkan
bahwa masalah lain juga ada pada
pihak mahasiswa sendiri.
Mahasiswa seharus berinisiasi
sendiri tidak selalu menunggu dari
pihak atas. “Seharusnya ada bottom
up dari mahasiswa, bukan malah
selalu top down dari atas kebawah,”
ujarnya. Bahkan ia juga
beranggapan mahasiswa tidak
hanya tidak tahu siapa Presiden
Mahasiswanya. Rektor kampusnya
sendiri pun tidak. “Jangankan kami
sebagai Presiden Mahasiswa, boleh
jadi rektor UIN saja mereka tidak
tahu, WR (WakilRektor) III saja
jangan-jangan mereka tidak tahu,”
tandas Arta.
[Editor: Suhairi Ahmad]
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 20168
HISTORYWILL ABSOLVEME!Fidel Castro
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 9
eberapa jurusan yang ada di Fakultas Dakwah
dan Komunikasi (FDK) yaitu KPI, IKS, MD, BKI,
PMI kedapatan sudah memiliki Lab untuk
menunjang kegiatan kemahasiswaan. Hanya
saja, keberadaanya belum dimanfaatkan secara
maksimal.
Permasalahanya klasik, mahasiswa yang kurang
mengapresiasi keberadaan lab maupun pengurus yang
kurang serius mengelola lab. Sebut saja lab yang ada di
jurusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam). Lab yang
belum lama berdiri tersebut belum banyak diketahui oleh
mahasiswa. Bahkan menurut sebagian mahasiswa,
adanya lab KPI hanya untuk tempat kumpul, rapat, dan
pengganti ruang kuliah saja.
Adanya lab KPI memang belum sepenuhnya disadari
oleh sebagian besar mahasiswa, bahkan yang sudah dua
tahun menjadi mahasiswa KPI, mengaku belum tahu di
mana letak Lab KPI. “Katanya sih KPI punya lab, tapi
belum tahu ada di mana,” ungkap salah seorang
mahasiwa KPI angkatan 2014, Annida Ma’rufah.
Habibaturrohma, mahasiswa dari jurusan BKI saat
ditanya oleh NewsRhetor mengaku belum tahu jika di
ruangan yang dikhususkan untuk laboratorium jurusan di
fakutas Dakwah dan Komunikasi juga terdapat lab KPI.
“Aku kira lab KPI ya PPTD itu. Ada juga, tho, di ruangan
ini?”
Keheranan tersebut berangkat dari kurang eksisnya
lab KPI di kalangan mahasiswa. Tidak adanya kegiatan
yang rutin dilakukan juga membuat lab KPI sepi
pengunjung dan tidak disadari keberadaannya. Dari
beberapa Mahasiswa yang berhasil News Rhetor temui,
mereka menyatakan bahwa LAB KPI memang kurang
eksis di kalangan mahasiswa KPI sendiri.
Pemanfaatan Lab KPI yang kurang maksiaml
disampaikan oleh Ketua HMPS Dakwah
Firdaus Ismail. “Padahal, melihat sejarahnya,
lab dibuat untuk mewadahi seluruh LKM
yang ada di dakwah,” ungkapnya. Ia juga
mengakui bahwa pemanfaatan lab KPI yang
kurang maksimal juga dikarenakan belum
tersosialisasikannya program-program yang
diagendakan oleh lab KPI. Padahal, menurut
mahasiswa KPI yang akrab disapa Daus
tersebut, harusnya lab KPI memiliki prospek
untuk mewadahi kegiatan yang dilakukan
mahasiswa. “Aku rasa memang itu tujuan
dibangunnya lab,” tukas Firdaus.
Pihak Spasi juga ikut mengomentari
terkait peranan lab untuk kegiatan
kemahasiswaan. Menurut Nur Fitriatus
Shalihah, lab bisa sangat berguna jika
difungsikan dengan baik. Namun sampai
saat ini belum begitu maksimal fungsinya.
“Lab KPI perlu dimaksimalkan lagi penggunaanya juga
sosialisasinya, berguna banget sebenarnya. Selain itu,
selama ini masih banyak yang enggak tahu kalau
mahasiswa KPI bisa makai lab, enggak kayak jurusan lain
yang sudah tahu,” ungkapnya.
Pihak pengelola lab KPI, yang diwakili Nanang
Mizwar Hasyim mengiyakan jika mahasiswa kurang ngeh
dengan keberadaan lab KPI. Ia juga menambahkan
bahwa program lab belum berjalan secara maksimal
dikarenakan keterbatasan fasilitas yang ada, juga sumber
daya manusia yang mau dengan aktif ikut mengelola lab
KPI. Pengelola lab tidak bisa fulltime. Bahkan, salah satu
pengelola lab juga memegang bagian stategis di PPTD.
Nanang, sapaan akrabnya, juga mengiyakan jika
sampai saat ini hanya LPM Bukit dan Forum diskusi Spasi
yang menggunakan lab KPI, itupun hanya untuk kumpul-
kumpul. “Kita pernah membuat kelompok diskusi tapi
sampai saat ini belum berjalan,” ungkapnya
Alasan lain kenapa lab belum bisa eksis di kalanagan
Mahasiswa adalah karena sebagian besar Mahasiswa
lebih memilih PPTD yang memfasilitasi kegiatan
Mahasiswa KPI yang berbasis praktik. “Basik keilmuan KPI
kan ada jurnalistik, ada broadcasting. Fasilitas
pengembangan broadcasting ya adanya di PPTD,”
tambahnya.
Mengenai kegiatan dan program kerja ke depan,
Nanang mejelaskan masih belum ada program yang
pasti. Meski, mungkin akan ada kerjasama dengan pihak
HMPS, itupun masih wacana. Sedangkan untuk kerjasama
dengan pihak PPTD, Nanang mengatakan belum ada”.[]
Kurang Eksis!Lab KPI
Oleh: Ihda Nurus Sholihah
DOK : EKO
B
LAPORANKHUSUS
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201610
Kata orang, setelah zaman milenium berganti modern, kepedulian mulai rontok satu persatu dari sosok-sosok manusia di bumi. Kepedulian sama halnya seperti es di
atas bara api, mulai meleleh lalu menguap. Hilang. Tapi bagi kami, kepedulian menjadi bagian dari hal yang kami sukai. Hal yang membuat aku, kau, dia, dan mereka menjadi kami, menjadi kita.”
Mengawali perkumpulan lewat percakapan dan
kesamaan tujuan, yakni berbagi dengan sesama,
sebuah komunitas yang berdedikasi pada wilayah
kepedulian sosial mulai tumbuh. Suka Peduli, itulah
nama yang tercetus sebagai apresiasi atas komunitas
sosial yang terbentuk di Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi angkatan
tahun 2015. Seorang punggawa yang mengadaptasi
kegiatan lamanya semasa di SMA, Wildan Prakoso,
menjadi pencetus atas komunitas sosial ini.
Bersama rekan-rekan KPI 2015, ia dan beberapa
rekannya mulai mengadakan kegiatan suka berbagi di
beberapa wilayah lokal di Yogyakarta. Biasanya, mereka
mengawali Suka Peduli dengan berbagi makanan bagi
orang-orang yang membutuhkan, seperti berbagi nasi
bungkus di sepanjang jalan Malioboro, lalu
mengunjungi sebuah kompleks kumuh di daerah
Gedong Kuning,.
Publikasi dan hasil jepretan kamera menjadi saksi
awal berdirinya komunitas ini, kemudian membuat
dampak positif bagi mahasiswa lain. Di akhir
September 2015, Suka Peduli mulai menarik perhatian
orang-orang di lingkungan Fakultas Dakwah. Satu
persatu orang mulai bertanya, mengajukan diri,
bergabung dan semakin loyal dengan Suka Peduli.
Anggota semakin banyak, ide-ide bermunculan,
donatur bertambah. Kini, sumber dana komunitas ini
juga bisa lebih banyak, tidak lagi hanya terbatas dari
infak mingguan mahasiswa KPI 2015.
Merespon antusiasme mahasiswa, Suka Peduli
mulai membentuk formasi barisan yang serius. Bagi
para pengurus, gagasan-gagasan tak bisa begitu saja
terabaikan, komunitas jelas butuh koordinasi yang
sistematis. Kesepakatan pun terjalin. 02 Oktober 2015
ditetapkan sebagai hari resmi lahirnya Suka Peduli,
komunitas yang berdedikasi pada masyarakat kurang
mampu, anak-anak yatim dan/atau piatu, serta
lembaga-lembaga masyarakat yang memerlukan
bantuan. Dengan visi-misi yang tertulis sebagai bentuk
kesepakatan bersama atas kesamaan tujuan antar
anggota, satu persatu ide dan gagasan mulai
direngreng menjadi suatu realitas.
Suka Peduli melaksanakan program kerjanya untuk
mengajar di beberapa TPA/TPQ di wilayah Yogyakarta.
Beberapa yang sudah terlaksana adalah kegiatan
mengajar di TPQ daerah Sagan, TPQ An-Nur
Demangan, panti asuhan Mafaza, Umbulharjo, panti
asuhan Al-Wahhaab, Condong Catur, dan kegiatan
terakhir adalah di TPQ Al Istiqomah, Berbah pada 23
April 2016.
Selain Suka Mengajar, komunitas ini masih aktif
berbagi dan melakukan kegiatan amal lainnya seperti
berbagi makanan yang rutin dilakukan dua minggu
sekali, berkunjung dan berbagi bahan makanan atau
kebutuhan pokok di panti-panti asuhan. Selain itu,
Suka Peduli juga pernah mengadakan suatu acara
mengaji bersama di salah satu kompleks kumuh di
daerah Gedong Kuning yang mana pernah menjadi
lokasi untuk Suka Berbagi juga. Meskipun, acara
LAPORANKHUSUS
Oleh: Ika Nur Khasanah
Membangun Suka dalam Kepedulian
Suka Peduli
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 11
mengaji memang tidak rutin diadakan, sebab tergolong dalam acara besar Suka Peduli. Selain itu, tidak semua tempat bisa diadakan acara akbar seperti pengajian ini.
Dari masing-masing kegiatan,
selalu dilakukan pada hari sabtu atau
jum’at siang menjelang sore atau
pada malam hari. Hal itu
menyesuaikan pada kesamaan waktu
luang yang dimiliki para anggota
Suka Peduli. Selain itu juga
menunggu terkumpulnya dana,
sehingga kegiatan itu tidak tergolong
asal-asalan saja. Meski ini komunitas
yang tergolong masih baru, namun
untuk mengadakan kegiatan-kegiatan
yang ada dalam program kerjanya,
Suka Peduli selalu mempersiapkan
dengan kemampuan yang paling
baik.
“Kita ada briefing, kalau perlu
adakan musyawarah besar semua
anggota—itu kalau acaranya besar
dan butuh persiapan banyak. Kita
juga ada beberapa divisi, ada tim
survei juga,” kata Wildan sebagai
ketua komunitas.
Ketua menyadari bahwa
kegiatanya tidak mudah, perlu
persiapan matang. “Sebab seminggu
atau dua minggu sebelum acara, kita
adakan survei lokasi, atau survei
kebutuhan—misal itu di panti asuhan.
Kita juga ada divisi lain seperti
publikasi dan komunikasi, divisi acara,
divisi kaderisasi, hubungan
masyarakat dan sie konsumsi.”
lanjutnya.
Wildan juga mengatakan bahwa
dalam pelaksanaannya, pembekalan
sebelum acara diharapkan akan
menjadi suatu pelatihan tersendiri
bagi masing-masing anggota. Sebab
komunitas ini dibentuk bukan sekedar
untuk berbagi saja, tapi
menumbuhkan sikap peduli,
tanggung jawab dan kepekaan sosial
juga.
Semakin banyaknya kegiatan
yang dilakukan Suka Peduli terhadap
masyarakat, Wildan sebagai ketua
sekaligus pencetus Suka Peduli
memiliki suatu harapan supaya
komunitas ini tidak berhenti di satu
angkatan saja. Kedepan, ia
menginginkan komunitas ini
diresmikan sebagai suatu organisasi
di Fakultas agar generasi selanjutnya
ikut menjadi bagian dari para
pemerhati sosial serta tidak
kehilangan rasa kepedulian terhadap
sesama.
Begitulah Suka Peduli, berawal
dari bungkusan nasi di sepanjang
jalan Malioboro hingga menjadi
komunitas dengan anggota dan
relawan yang tidak sedikit—berharap
kegiatan-kegiatannya tidak pupus
begitu saja. Suka Peduli akan selalu
peduli kamu, kalian dan mereka.
LAB KPI
Oleh: Fulan
Semakin banyaknya
kegiatan yang dilakukan
Suka Peduli terhadap
masyarakat, Wildan sebagai
ketua sekaligus pencetus
Suka Peduli memiliki
suatu harapan supaya
komunitas ini tidak
berhenti di satu angkatan
saja.
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201612
cakadut adalah istilah saya, Amungkin istilah orang sunda lainnya juga untuk menyebut
sesuatu yang bermasalah dan kacau. Istilah itu juga relevan jika dikaitkan dengan keadaan demokrasi Indonesia. Demokrasi indonesia yang saat ini boleh di bilang dalam keadaan Acakadut. Agaknya penilaian ini tak terlalu berlebihan, mengingat dinamika sosial-politik yang ada begitu carut-marut. Sebab kepentingan perebutan kekuasaan, banyak hal yang sesungguhnya lebih penting, bahkan mendesak, yang itu bersentuhan dengan nasib rakyat banyak, terabaikan.
Terciptanya sebuah demokrasi yang benar-benar demokratis, mensyaratkan adanya partisipasi rakyat, baik demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan, berserikat, berkumpul, berpendapat, pers, orientasi seksual, hingga menentukan nasib nasib sendiri. Dalam proses demokratisasi, rakyat punya kedaulatan penuh melakukan gerakan di segala sector. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Dewasa ini, idealitas dan realitas demokrasi itu sendiri berbenturan, jelas bermasalah. Idealnya, adanya sistem demokrasi tercipta pula check and balance dari demokrasi itu sendiri yang akan menjadikan segala tatanan kian membaik. Tetapi realitas berbicara lain, check and balance berupa partisipasi rakyat, suara dan ekspresi mereka sebagai bentuk kritik membangun dan kontrol terhadap penguasa selalu saja syarat dengan adanya refresif alias tindakan militeristik dari aparat kepolisian, militer dan aparat negara lainnya.
Di hampir seluruh Indonesia, proses demokratisasi terhambat sebab adanya watak militeristik. Watak militeristik tak hanya dilakukan oleh represif apparatus seperti tentara dan polisi, namun juga oleh ormas-ormas sipil yang tumbuh dan berkembang membawa misi kontraproduktif terhadap gerakan rakyat. Sayangnya, ormas-ormas itu justru dibiarkan
hidup, bahkan tak jarang bersama-sama aparat melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap gerakan rakyat.
Rendanya kualitas demokrasi kita juga tercermin dalam pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Alih-alih menjadi ruang dialektis dalam memberikan pendidikan yang demokratis, kampus malah terlibat dalam penghancuran demokratisasi itu. Tercatat, beberapa kali kampus melakukan tindak tak demokratis bagi gerakan mahasiswa dengan melakukan pelarangan, pembubaran, pembredelan, bahkan ancaman drop out bagi kegiatan-kegiatan yang dianggap tak sesuai misi kampus.
Dalam tiga tahun terakhir misalnya, di tahun 2014-2016, kasus-kasus ancaman dan tindak antidemokrasi terjadi terhadap pers mahasiwa. Semua didalangi oleh birokrasi kampus. Kasus dibredelnya Persma Lentera, kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yang isi buletinnya mengangkat isu ‘65. Persma Poros dibekukan oleh birokrasi Universitas Ahmad Dahlan sebab isinya yang mengkritisi kampus. Serta pembubaran kegiatan-kegiatan diskusi, bedah buku, serta bedah film.
Lembaga pendidikan memang salah satu lahan bagi berkembangnya kapitalisme. Lewat penundukan kesadaran palsu, ia masuk dan meninabobokkan siswa dan mahasiswa pun. Kapitalisme mensyaratkan pengamanan asset-aset di dalam pendidikan, dalam hal ini pengaman kebijakan di kampus. Kemudian ia bermetamorfosis menjadi laku dan tindak kekerasan yang militeristik.
Ironisnya, kampus sebagai wadah intelektual, mempunyai kedaulatan akademik secara kompherensif dan sepertinya semua orang mempercayai bahwa intelektualitas civitas akademik, terlebih aparat kampus dapat dipertanggung jawabkan intelek-tualitasnya. Kewajarnya, saya rasa semua juga faham, seperti yang dijelaskan di atas bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu instrumen kapitalisme yang juga
mensyaratkan adanya tindakan militeristik dan penindasan.
Lha, inilah prodak demokrasi kita yang menggelinding selama ini (pasca Orde Baru), tidak terdesain secara rapi, demokrasi yang dijalankan dengan kegugupan-kegugupan sosial-politik, bahkan direduksi sedemikian rupa oleh negara. Ini memang bukan jaman orba Suharto, tapi watak-watak orba masih terus hidup hingga zaman ini.
Demokrasi memang bukan jalan akhir. ia hanya proses menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi dan porsi yang utuh. Winston Churchill, misalnya, terus terang mengakui bahwa sesungguhnya, demokrasi bukan sistem politik yang terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang dianggap lebih baik. Hal tersebut menandakan bahwa demokrasi bisa menjadi pedang bermata dua, mata yang satu untuk mendorong kemajuan dan kesejahteraan, mata yang lain sebaliknya. Semua tergantung banyak faktor, bagaimana dinamika aktor-aktornya, kultur politik, hingga hal-hal yang lebih spesifik lagi, misalnya kesadaran kolektif masyarakat.
Sudahlah, kita telah terlanjur memilih demokrasi sebagai suatu sistem sosial-politik di era reformasi ini. Harapannya, demokrasi harus mengarah pada Rahmat, bukan laknat. Karenanya, mutlak, demokrasi harus berkualitas, dalam arti aktor-aktor yang ada harus mampu bersinergi secara demokratis dalam pembangunan segala sektor, dan orientasi dari semua itu adalah kemajuan, keadilan serta kesejahteraan.
26 Mei 2015, 15.30 WIB (Waktu Indonesia Berdiskusi).
Adam Mozlem. Saat ini detik-detik terakhir menjabat Pimpinan Umum (PU) di LPM Rhetor priode 2015-2016 dan masih sibuk berdinamika di markasnya. Ia masih buronan Dosen Pembimbung Akademik (DPA) karena belum mood garap skripsi.
RHETORIKA
AcakadutOleh : Adam Mozlem
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 13
eperti bunyi undang-undang Sklise republik ini, bahwa salah satu tugas Negara
ialah mencerdaskan kehidupan bangsanya. Amanat itu tertanam hingga kealam bawah sadar kita. Diingatnya terus-menerus kata-katanya, hingga kita geram melihat realisasinya yang tak kunjung tiba. Dalam konteks itu, Negara harus menjamin akses dan pendidikan yang berkualitas bagi rakyat Indonesia. Menjamin lembaga pendidikan yang demokratis dan bervisi kerakyatan.
Namun, persosalan dalam dunia pendidikan kita memang sangat kronis. Jerat kapitalisme yang masuk kedalam negara Indonesia juga turut menyerang dunia pendidikan. Melalui proses liberalisasi pendidikan nasional, praktik-praktik komersialisasi, diskriminasi, serta perampasan kebebasan akademik seakan menjadi legal untuk dilakukan oleh birokrasi kampus, aparat serta organisasi masyarakat yang reaksioner. Imbasnya, pendidikan menjadi mahal dan sulit diakses masyarakat, ruang-ruang demokrasi dalam kampus menjadi sempit, serta jamian kebebasan akademik menjadi hilang.
Imbas lain dari proses liberalisasi tersebut ialah terkoop-tasinya lembaga pendidikan ke borjuasi-borjuasi dan pemilik modal. Imbasnya, swastanisasi pendidikan menjadi semakin massif dan menjamur. Dengan dalih otonomi kampus, biaya kuliah dinaikkan, atau dibuat logika subsidi silang seperti mekanisme Uang Kuliah Tunggal (UKT). Negara menjadi lepas tangan untuk memberikan akses pendidikan bagi rakyat,
pendidikan sepenuhnya dibiarkan sesuai dengan kebutuhan pasar.
Kita tahu, kalau pendidikan nasional kita hari ini jauh dari kebutuhan rakyat, pendidikan nasional kita hari ini jutrsu hadir untuk melanggengkan dominasi kapitalisme di Indonesia. Akhirnya, eksploitasi sumber daya alam kita menjadi dibiarkan, rakyat menjadi apatis terhadap perampasan sumber daya alam oleh borjuasi dan elit politik Negara. Padahal, jika sumber daya alam yang ada di Indonesia dikuasai Negara dan diperuntukkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat seperti amanat UUD 33 2, maka dijamin pendidikan nasional kita akan menjadi gratis. Namun lagi-lagi, Negara menjadi lepas tanggung jawab dan ikut serta melanggengkan liberalisasi tersebut.
Sementara itu, demokratisasi di dalam kampus juga masih saja terus dirampas, kebebasan akademik dan mimbar akademik menjadi tak terjamin. Imbasnya, diskriminasi sering terjadi, pemberangusan kajian, kegiatan-kegiatan mahasiswa, pemberangusan kebebasan pers, bahkan kriminali-sasi menjadi tontonan yang sering terjadi di lingkungan kampus. Kasus-kasus itu real terjadi, dan banyak menimpa mahasiswa dan tenaga pendidik.
Ya berbagai persoalan dari mahalnya biaya pendidikan dan tak adanya demokratisasi kampus memang buah dari langgengnya proses liberalisasi didalam pendidikan nasional kita. Akar masalahnya adalah kapitalisme yang menjerat Negara kita. Elit politik, borjuasi, serta biroksai
kampus saat ini semua tunduk pada mekanisme kerja kapital, sehingga rakyat menjadi korbannya. Pendidikan mahal, demokratisasi kampus diberangus, mahasiswa hanya dicekoki kurikulum pragmatis, sumber daya alam dirampas, kemiskinan menjamur, akhirnya penindasan terus terjadi tanpa henti.
Dominasi kelas
Lembaga pendidikan dalam negara sebenarnya hanyalah alat untuk mengukuhkan dominasi kelas. Kelas yang menguasai Negara ialah kelas yang akan melakukan kontrol terhadap lembaga pendidikan di dalamnya. Itu terjadi di Indonesia, kemenagan kapitalisme yang mendorong otoritarianisme rezim orde baru turut berkontribusi besar terhadap corak pendidikan nasional kita hari ini. Bahwa keniscayaan kapitalisme ialah mendorong agar sistem pendidikan berada dalam kontrol borjuasi.
Hal itu persis seperti yang dikatakan Bourdieu sebagai dominasi habitus, bahwa proses yang berjalan dalam lembaga pendidikan adalah proses reproduksi budaya kelas dominan. Bahwa lembaga pendidikan mempengaruhi dan memaksakan kelas terdominan (peserta didik) untuk mengikuti budaya atau kebiasaan kelas dominan. Pendeknya, berjalannya proses pendidikan dalam Negara ialah sebagai representasi kebutuhan kelas penguasa. Celakanya, Indonesia selama puluhan tahun dikuasai oleh rezim orde baru hingga neo-orbanya, yang dalam banyak term disebut sebagai representasi dari kepentingan
Pendidikan &
Perjuangan KelasOleh : Ahmad Hedar*
“Sistem pendidikan harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas bagi umat manusia” – Paolo Freire
ORATOR
kapitalisme.
Bagaimana melawannya
Dalam praktek perubahan sistem, perjuangan kelas adalah sebuah solusi yang mesti dilakukan. Peserta didik (Siswa, Mahasiswa), dan tenaga didik (Guru, Dosen) harus mampu membaca kelas dan habitusnya. Mereka harus sadar bahwa perubahan sistem pendidikan tidak bisa diubah secara normatif. Sistem pendidikan nasional tidak bisa hanya diubah dengan melakukan tambal sulam kebijakan. Jauh dari itu, perjuangan secara politik dengan merebut dominasi kelas bojuasi harus dilakukan.
Dalam konteks itu, kita bisa belajar dari Kuba, Revolusi pendidikan kuba dimulai dengan Revolusi Kuba secara ekonomi dan politik. Negara miskin yang pada tahun 1961, dibawah pemerintahan yang revolusioner, mampu menasionalisasikan seluruh jenjang pendidikan dari
Sekolah Dasar hingga Pendidikan Doktoral dan menggratiskannya. Tak hanya gratis, Lembaga Pendidikan di Kuba juga mampu memproduksi tenaga pendidik yang berkualitas hingga berkontribusi besar terhadap pengentasan buta huruf dan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Di Kuba proses Demokratisasi pendidikan juga tak sekedar menjadi reproduksi pengetahuan dalam kelas, melainkan menjadi praktek dengan mendorong siswa dan mahasiswanya untuk terlibat dalam perjuangan politik rakyat Kuba.
Itulah alasan mengapa kemudian kesadaran kelas dan habitus menjadi penting. Uang Kuliah Tunggal, pembatasan kebebasan akademik, rendahnya mutu pendidik adalah riak-riak kecil dari kondisi pendidikan yang kapitalistik. Melawannya secara normatif bak melawan riak-riak kecilnya.
Karenanya, rakyat yang
terekploitasi dengan direbut hak pendidikan dan politiknya harus mampu melakukan pengorganisiran dengan bersatu dengan elemen rakyat di sektor buruh, tani dan sektor rakyat yang melawan lainnya. Semua dilakukan dalam rangka mobilisasi kekuatan melawan kelas dominan borjuasi. Pendidikan gratis, ruang yang demokratis, serta mutu yang merakyat akan mampu tercipta jika kelas yang mewakili borjuasi direbut.
Ahmad Hedar. Penulis merupakan Pemimpin Umum Persma RHETOR periode 2013-2015 dan Aktif dalam Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) di Yogyakarta.
“Pengetahuan tentang apa pun,
karena segala sesuatu memiliki sebab,
tidak diperoleh atau tidak akan lengkap
kecuali diketahui penyebabnya.” -Avicenna
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201614
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 15
erbicara perihal pendidikan,
semua orang tentu
menginginkan untuk
mengenyam bangku
pendidikan yang setinggi-
tingginya. Mulai dari Taman Kanak-
kanak sampai Perguruan Tinggi,
entah negeri maupun swasta. Dari
yang semula belum faham menjadi
faham, itulah tujuan mula dari sebuah
pendidikan. Yaitu membebaskan
manusia dari kebodohan dan
ketertindasan.
Sayangnya, harapan
mengenyam pendidikan
tersebut tidak dirasakan oleh
masyarakat secara menyeluruh.
Mahalnya biaya pendidikan
juga tidak berbanding lurus
dengan peningkatan kualitas
pendidikan yang lebih baik. Di
UIN Sunan Kalijaga sendiri
mulai bermunculan beberapa
masalah, pengurangan jumlah
SKS (Sistem Kredit Semester)
yang ada di Pusat Bahasa salah
satunya. Sehingga, hal tersebut mulai
diresahkan oleh mahasiswa angkatan
2015. Jika sebelumnya jumlah SKS
pada bidang studi Bahasa berjmlah 3
SKS dengan 3 kali pertemuan dalam
satu minggu, kini menjadi 2 SKS yang
hanya ada satu kali pertemuan dalam
setiap minggunya. Ada apa di balik
sistem pendidikan ini?
Jumlah SKS sudah mengalami
pemadatan, sedang biaya UKT tiap
tahunnya mengalami kenaikan. Tiap
tahunnya UIN sendiri mendapatkan
dana dari BOPTN. Tahun ini jumlah
nominalnya sebesar 29 M, sedang
tahun kemarin berjumlah 23 M. Itu
yang dari pemerintah. Jika ditambah
dengan biaya UKT yang tiap
tahunnya naik, pasti banyak dana
yang masuk.
Jika seperti itu adanya , maka
mahasiswa adalah salah satu pihak
yang dirugikan. Baik secara akademik
maupun secara ekonomi. Bentuk
semacam ini bukan lagi tujuan
esensial dari pendidikan sebagai
bentuk pencerdasan dan penyadaran
untuk bangsa ini. Lembaga
pendidikan justru disamakan dengan
komoditi, suatu bentuk usaha atau
bisnis yang mengedepankan pada
untung dan rugi. Penulis
membahasakanya dengan
“Komersialisasi pendidikan”.
Pendidikan saat ini dijadikan
formalitas belaka, sekedar mencari
ijazah dan gelar sarjana untuk
membantu memudahkan mencari
pekerjaan. Toh nantinya, kampus bisa
dibilang sebagai wadah untuk
mencetak para tenaga kerja yang
akan dikirim kepada para pemilik
modal.
Persoalannya tak cukup selesai
sampai disitu saja. Pendidikan saat ini,
tidak hanya di UIN tapi semua
Universitas sudah terlibat pada
agenda neo-liberalisme. Yang
menggunakan logika kekuasaan,
sehingga membuat para mahasiswa
menjadi apatis, hedonis, dan
individualis. Nalar yang dibangun
oleh sistem neolib akhirnya
mencengkeram dunia pendidikan,
karena pendidikan adalah ranah yang
strategis dalam membentuk tatanan
sosial melaui intelek dan sosialisasi.
Beberapa praktik neoliberalisme
dalam pendidikan antara lain,
berupaya untuk melepas tanggung
jawab pemerintah dalam mendanai
pendidikan, menyamakan dunia
pendidikan dengan dunia industri,
dan dunia pendidikan sekadar
menjadi subsistem dari tatanan
ekonomi neolib. Pengetahuan telah
menjadi sejenis modal yang dikelola
dan diperjualbelikan.
Penulis menegaskan, sebagai
generasi yang terdidik mengajak
kepada semua khalayak untuk
sadar pada agenda pendidikan
yang telah diselewengkan oleh
oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Hirroh
pendidikan selain untuk
pencerdasan bagi anak
bangsa, juga untuk memahami
ketimpangan sosial yang ada
dimasyarakat dan juga sebagai
upaya memperbaiki bentuk
tatanan negara yang timpang
tindih. Hal semacam itu perlu
dikembalikan dengan bentuk
penyadaran kepada seluruh elemen
masyarakat. Sikap kritis juga perlu
ditanam pada setiap individu.
Bagi penulis yang paling penting
adalah, pendidikan diperlukan untuk
semua lapisan masyarakat tanpa
memandang ras, suku, jenis kelamin
maupun warna kulit. Orang miskin
juga berhak atas pendidikan yang
layak. Sejatinya pendidikan itu untuk
memahamkan yang belum faham,
memberitahu yang belum tahu.
Bukan pada siapa yang mampu
membayar, dialah yang berhak
mendapat pendidikan yang layak.
Karena apa? Tugas dari pemerintah
adalah untuk mengayomi rakyatnya
juga memberikan kehidupan yang
layak.[]
OPINI
BOleh: Septia Annur Rizkia
Komersialisasi Pendidikan
Lembaga pendidikan
justru disamakan dengan
komoditi, suatu bentuk
usaha atau bisnis yang
mengedepankan pada
untung dan rugi.
Pagi baru menguap beberapa
waktu yang lalu, dan siang belum
naik begitu terik di pematang
langit, Selasa (03/05). Wajah-wajah
mahasiswa dan mahasiswi dengan
kepentingannya masing-masing
berseliweran di lorong lebar gedung
rekorat lama kampus timur Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Beberapa orang keluar masuk salah satu
ruangan di sebelah kanan pintu masuk
gedung itu. Serangkai kalimat bertuliskan
Pusat Layanan Difabel (PLD) menyambut
di samping kiri pintu ruangan. Menjadi
identitas bagi petak persegi panjang
yang sudah ditata dengan apik menjadi
ruangan khusus untuk melayani
kebutuhan para
mahasiswa/i difabel.
Beberapa
orang yang
baru masuk
saling
bertegur
sapa,
kadang
menggu-
nakan
bahasa
isyarat ketika
menyapa para
penyandang
tunarungu. Salah satu
yang terlihat begitu
akrab dengan para difabel
di ruangan itu adalah seorang
gadis bernama Rahma. Mahasiswi
jurusan Ilmu Kesejahteraan
Sosial semester enam ini
terlihat begitu lihai
memberikan kode bahasa
bagi seorang mahasiswa
tunarungu. Komunikasi
verbal yang baik dari seorang
pendamping penyandang difabilitas.
Mengusut lebih dalam perihal
pendampingan, Rahma adalah salah satu
mahasiswi yang sejak semester tiga
sudah membantu para difabel dalam
kegiatan mereka di kampus. Secara
umum mungkin orang-orang mengira
para pendamping hanya membantu
sebatas menemani saja. Namun tidak
sesimpel itu, ada banyak hal remeh yang
ternyata ada selama menjadi
pendamping. Rahma mengatakan,
pendampingan ini memang rutin
dilakukan. Hampir setiap hari, selama
kuliah. Mungkin, katanya, yang lebih kita
prioritaskan untuk didampingi saat di
kelas adalah penyandang tunarungu.
Soalnya mereka akan sulit mengikuti
penjelasan langsung dari dosen.
Meski para pendamping lebih sering
menemani tunarungu, bukan berarti
penyandang difabilitas lainnya
terabaikan. Pasalnya, para pendamping
juga menghargai kemampuan mereka
dan menyesuaikan terhadap kebutuhan
para difabel. Sehingga, ketika
penyandang difabel netra tidak
didampingi, bukan berarti pendamping
itu tidak berlaku atau pilih kasih. Namun
karena para tunanetra jauh lebih mampu
mendengarkan penjelasan dosen dan
beberapa memang tidak sepenuhnya
tidak bisa melihat.
Rahma yang sudah hampir dua
tahun menjadi pendamping, merasa
tidak masalah dengan kegiatan yang
harus dia lakukan bersama kawan-kawan
difabel. “Itu adalah keinginan dari diri
sendiri, meskipun awalnya karena teman
juga, kan dulu temanku ada yang ikut
jadi pendamping juga. Kelihatannya asyik
dan enggak ada salahnya juga ikut jadi
SKETSA
Oleh: Ika Nur Khasanah
“Kelihatannya Asyik...”Rahma
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201616
pendamping,” ceritanya.
Mengenai sistem
pendampingan sendiri, tiap
relawan dan penyandang difabel
masing-masing menyerahkan
jadwal kuliahnya supaya dapat
dibagi kapan akan
pendampingan dan siapa kiranya
yang akan didampingi. Bagi
Rahma, meskipun dia harus
berbagi waktu dengan para
difabel, rasanya tidak masalah
ketika semuanya dilakukan
dengan tulus dan sungguh-
sungguh.
Dari sekian hal, yang menarik
dari beberapa sosok
penyandang difabel adalah
tingkat optimisme mereka.
Misalnya saja ketika Fikri,
penyandang tunanetra
memaparkan mengenai
keseharian mereka selama di PLD.
Mereka yang memang menyadari
kekurangannya tidak lantas
menutup diri dan enggan
menerima bantuan dari orang
lain. Meskipun masing-masing
mereka tentu punya keinginan
untuk melakukan hal-hal secara
mandiri. Di balik itu mereka juga
memiliki pola pikir yang relatif
mengagumkan, pasalnya selain
menguasai ilmu-ilmu di bangku
perkuliahan, para penyandang
difabel itu juga mengikuti setiap
perkembangan informasi dengan
baik.
Fikri sebagai
salah satu
penyandang difabel
yang tak bisa
disepelekan pola
pikirnya. Ketika
disinggung
mengenai kampus
UIN Sunan Kalijaga
yang notabene
dipandang sebagi
kampus inklusi,
dirinya mengatakan itu kurang
tepat. Baginya yang hampir
setiap hari berada di PLD,
menganggap istilah kampus
inklusi masih kurang pas
disandangkan dengan UIN Sunan
Kalijaga apabila hanya mengacu
pada PLD sebagai tolak ukurnya.
Pemuda bertubuh agak tambun
itu menyatakan keinginannya
pada pihak kampus supaya tidak
hanya menempatkan pelayanan
difabel di satu gedung atau
ruangan saja. Setidaknya tiap
fakultas memiliki ruangan khusus
untuk pelayanan difabel
sehingga akses bagi penyandang
difabel lebih mudah.
Lain dengan Rahma, dia yang
menjadi pendamping hanya
berharap kesediaan relawan
untuk ikut mendampingi kawan-
kawan difabel. Terlebih ketika
masa ujian berlangsung,
kebanyakan waktu yang sangat
dibutuhkan oleh para difabel
adalah ketika mereka sedang
dalam waktu ujian. Keterbatasan
yang mereka miliki bukan hal
yang harus dikasihani, melainkan
dilengkapi sehingga kita sama-
sama menjadi pribadi yang utuh.
Tanpa memandang status
maupun kepentingan masing-
masing, dirinya berharap
kedepannya pelayanan difabel
lebih baik dan sungguh-sungguh
menghargai para penyandang
disabilitas.
Fikri berharap, kelak akan
banyak Rahma Rahma yang lain
di PLD membantu orang-orang
yang senasib denganya.
Begitupun pendidikan di
Indonesia, ia mengharapkan
kelak, pendidikan akan semakin
berpihak kepada penyandang
difabel, pendidikan inklusi. []
Ketika disinggung mengenai
kampus UIN Sunan Kalijaga
yang notabene dipandang
sebagi kampus inklusi,
dirinya mengatakan itu
kurang tepat.
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 17
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201618
Hari sudah terang ketika akhirnya suara-suara itu tak lagi terdengar, tapi setelahnya
udara jadi terasa menyesakkan. Asap hitam berkeliaran terbawa angin, remah-remah abu dan bara-bara kecil berterbangan di luar rumah. Sisa-sisa ledakan di beberapa toko, ruko, dan rumah penduduk. Termasuk di dalamnya rumah pamanku yang terkena imbas ledakan. Sambil terbatuk-batuk kecil, aku membasahi tiga lembar kain kecil. Menyerahkannya pada kakak perempuanku, paman—yang kehilangan rumahnya—dan satunya lagi kupakai sendiri sebagai masker.
Setelah menyuruh kakakku untuk tenang dan menutup portal bawah tanah, aku mengendap-endap menuju jendela depan. Mataku menyipit, mengintip dari celah markis. Berusaha untuk tidak membuat gerakan yang ganjil. Takut-takut kalau masih ada mob yang berkeliling di jalan, setelah lama memutar-mutar bola mata ternyata tak ada manusia satu pun yang berkeliaran di jalan.
Mataku menyisir jalanan lagi, sekarang lebih jauh. Sedikit gegabah dengan menyingkap markis selebar muka. Rumahku masih utuh (lantai satunya), dua lantai di atas entah seperti apa. Beruntung pondasi rumah ini dibuat sedemikian rupa, memang disiapkan untuk situasi seperti ini. Dua rumah di
seberang sudah hancur, satunya masih berdiri kokoh di beberapa sisi dinding, rumah satunya lagi tak berbentuk. Puing-puing mobil dan Sqeil (mobil terbang untuk satu orang, bentuknya hampir seperti kursi roda bermeja—yang isinya panel pengendali—dengan atap tempat baling-baling), serpihan kaca, kayu, batu bata dan entah apa lagi.
Jalanan sangat berantakan. Sebuah helikopter rusak masih menyisakan api kecil dan asap pekat. Tergeletak seperti rongsokan, tak jauh dari rumahku. Setelah
yakin tak ada mob lagi dan tak ada satu pun orang yang terjebak di luar, aku menutup markis. Berjalan normal ke bungker, sudah bisa bernapas lega.
Tanganku membuka portal bungker sambil melepas kain yang kupakai untuk masker. Kembali menemui paman Keth dan Soi—yang masih gemetaran takut. Aku menggeleng, memberitahukan bahwa tak ada mob di luar. Soi menghambur dan memelukku, dia sangat khawatir—sudah sifatnya selalu mencemaskan orang lain. Soi mencengkeram erat mantel bagian belakangku, suara isakkannya tak begitu jelas karena bibirnya merapat ke mantelku. Bungker lengang. Selain deru napas yang sedikit berantakan, suara isakan halus Soi, dan derap langkah paman yang berjalan pelan ke sofa—tak ada percakapan setelahnya, mulutku masih enggan menjelaskan apapun.
Bulan September yang kacau, tak ada perkiraan satu pun atas kejadian ini. Kami semua sama tahu betapa rumitnya sistem keamanan dunia tahun-tahun terakhir. Tapi dengan banyak pertimbangan, mengingat posisi buldan yang sangat aman dan menjanjikan—kami terlanjur yakin hal itu tak akan berdampak pada buldan kami. Tidak untuk malam tadi dan hari ini. Semuanya tiba-tiba begitu kacau. Mob datang serentak dengan mobil-mobil semi militer, aku yakin mereka telah lama
memodif mobil-mobil itu supaya bisa sampai di sini, buldan Wichlyz.
Tak ada satu pun ide yang melintas tentang hal itu, semuanya merasa aman. Sampai para mob entah dari mana itu datang dan memporak-porandakan seluruh buldan. Dengan helikopter sejenis CAIC WZ-10—helikopter jadul yang sepertinya ikut dimodif ulang, mereka membombardir benteng perbatasan. Meluncurkan rudal-rudal sialan yang berhasil membawa pasukan mob bergerilya masuk. Lalu tanpa aba-aba, para mob secara destruktif berhasil melumpuhkan seluruh warga. Tak sedikit yang mati karena hal itu. Aku termasuk yang beruntung sempat masuk bungker, entah dengan tetangga yang lain.
Meskipun dalam satu tahun terakhir kami banyak menyiapkan amuisi dan persenjataan lengkap, tapi tadi malam semuanya begitu tak terduga. Aku terus memastikan situasi lewat Detch, temanku. Walaupun para mob merusak trafo listrik, mematikan semua pemancar dan sengaja melakukan aksinya di malam hari, tapi kami masih bisa berkomunikasi.
Buldan Wichlyz memiliki sistem yang sangat berbeda, hasil rancangan beberapa pemuda—termasuk aku dan Detch. Sistem komunikasi itu tetap berfungsi meskipun tak ada matahari, dan tak ada listrik. Alat komunikasi itu hanya berupa chip kecil yang terpasang di bawah kulit tengkuk kami, tersambung dengan tulang belakang dan otomatis otak kami juga. Cara kerjanya adalah dengan mengambil tenaga dari aliran darah kami, seperti bagian dari tubuh manusia.
Kami menamainya sistem Miqlo, dan sepanjang kami belum mati, sistem itu tetap aktif. Kita hanya perlu memikirkan apa atau siapa yang akan kita ajak bicara. Semuanya sudah otomatis berjalan, jika itu adalah pesan, maka pesan itu akan muncul di kepala kita. Seperti kita melihat pesan itu di depan mata.
Melalui cara itulah aku terus bertanya jawab soal keadaan sekitar pada Detch. Dia pemantau buldan kami, bersama beberapa teman dia menempati sebuah rumah atau sebut saja barak khusus yang di desain mirip dengan bebatuan. Mereka membentuk koloni khusus, berlatih untuk saat-saat tak terduga seperti sekarang. Dari sanalah kami melihat semua
CERPEN
Cerpen Ika Nur Luthfi Di Saku Jaket Elektrik
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201619
pergerakan, dan melancarkan beberapa serangan balasan malam tadi. Setelah secara sepihak kami dibuat babak-belur, setengah jam selanjutnya kami mulai melancarkan serangan balasan. Melepaskan rudal-rudal yang terpasang di lajur senjata tak terlihat, membombardir sebagian besar mobil mereka. Hal itu terus terjadi selama empat jam lebih, sampai akhirnya mereka dengan begitu saja melepas rudal ke rumah-rumah penduduk—yang sebelumnya hanya menembakkan ke arah gedung-gedung pusat buldan. Kami kewalahan, tak banyak yang bisa kami lakukan—apalagi dengan posisi tersembunyi seperti itu. Koloninya Decth jelas tak akan mau mati sia-sia dengan menunjukkan diri di depan pasukan mob.
Serangan balik mob itu berhasil membungkam perlawanan kami, aku tak begitu paham bagaimana situasi itu terjadi. Hanya lewat penjelasan Horf yang ada di barak dan sesekali Decth menjelaskan sambil terus mengomando pasukannya—aku memahami situasi di atas rumah kami. Aku yakin, mob itu sangat marah karena tak dapat menemukan asal dari serangan itu—bahkan sebagian besar warga Wichlyz saja tak tahu ada barak rahasia yang menempel di tebing pembatas buldan. Malam itu, suara rentetan senjata mengisi udara, bersambungan dengan dentuman bom, suara mesin helikopter yang terus mengintai, berputar-putar di atas rumah-rumah warga. Malam yang panjang dan melelahkan.
***“Siapa menurutmu?” paman Keth
mencoba memecah hening yang menggantung beberapa manit lamanya. Aku masih diam, menebak-nebak jawaban yang mungkin pas. Soi baru saja tertidur dengan masih memelukku—bedanya sekarang kami sudah duduk di sofa, tepat di hadapan paman Keth.
“Bukankah kita tidak terlibat faksi manapun?” pertanyaan keduanya lebih tepat ditanyakan pada dirinya sendiri—dia lebih paham soal faksi-faksi itu.
“Aku rasa tujuan mereka bukan karena ada faksi, tapi karena tidak adanya faksi itu.” Aku menghela napas pendek, menyisir rambutku dengan jari. “Kita satu-satunya yang bebas, mereka sepertinya sudah tahu soal perkembangan teknologi kita. Aku pikir ini kabar buruk. Setelah penyerbuan lima tahun lalu, aku pikir semuanya sudah berakhir.”
“Kau pasti bergurau, Jey.” Paman terkekeh kecil, mencoba mencairkan ketegangan. Kami diam beberapa saat, mataku lekat menatap Soi. Kakakku tak
mungkin bertahan lama dalam situasi ini, dia sudah kadung trauma sejak kejadian lima tahun lalu.
“Paman,” tatapanku berpindah ke arah iris mata paman yang sangat coklat.
“Hm? Kau punya ide? Katakan, Nak. Aku kelaparan, tidak bisa berpikir dengan baik.” Paman Keth mencoba bergurau soal lapar, tapi sepertinya keponakannya sedang serius. Wajahnya tak menampakkan dia akan tertawa dengan kalimatnya tadi.
“Ini soal Soi,” suaraku sedikit bergetar. Aku sedang membahas soal kakakku, dan tak sedikitpun berniat meladeni paman Keth yang kelaparan.
“Aku takut dia tidak bisa bertahan dengan kondisi ini. Bisakah kita bawa dia ke baraknya Detch? Satu-satunya tempat yang tak mungkin diketahui musuh hanya di sana. Aku khawatir soal Soi, Paman.” Keningku berkerut, aku menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggung sambil memejamkan mata. Aku kehabisan ide.
“Kau yakin hanya Soi yang kau khawatirkan?” Paman Keth entah kenapa bertanya seperti itu, sepertinya dia mencoba memancing sesuatu yang belum pernah kami bicarakan sebelumnya.
“Eh? Maksud Paman apa?” Aku membuka mata, kembali duduk tegap. Sesuatu di dalam diriku bergolak lembut, semakin lama semakin jelas. Sosok itu terbayang di bola mataku yang hijau jernih. Diam-diam aku menunuduk, menyadari semburat merah di pipiku akan terlihat jelas jika aku terus menatap ke depan.
“Jey, tak apa. Aku paham jika kau sudah memiliki perasaan demikian, itu wajar. Jangan disembunyikan terus begitu, apalagi situasinya seperti ini.” Paman Keth tersenyum tulus, mata coklatnya memandang teduh ke arahku. Mungkin dialah satu-satunya orang yang tak ingat kalau rumahnya hancur, tak peduli dengan situasi sekitar yang jauh dari tenang.
“Kami hanya bersahabat, paman, tidak lebih...” aku semakin menunduk, dahiku hampir menyentuh dahi Soi yang tidur di pangkuanku. “Aku hanya sahabatnya. Hanya itu baginya. Lagi pula, ini bukan saat yang tepat untuk membahasnya, kita harus memikirkan alasan mob itu tiba-tiba kemari.”
“Haaah, baiklah. Kau benar, ini bukan saat yang tepat. Jadi, apa kau kebetulan punya beberapa makanan? Aku lapar, sejak semalam belum makan.” Paman Keth bersiul riang, mengikuti kemauanku untuk mengalihkan pembicaraan. Laki-laki empat puluh tahun itu benar-benar tak pas dengan umurnya. Baik sikap maupun tubuhnya, menyiratkan bahwa
dia jauh lebih muda dari umurnya sekarang. Perawakannya yang tinggi tegap bahkan bisa mengelebui orang—mengira usianya baru tiga puluhan awal.
“Tentu saja ada. Ini bunker, kalau tak ada makanan namanya kuburan, Paman.” Paman Keth tertawa lepas dengan ucapanku. Lama-lama bunker ini hangat juga dengan percakapan. Soi bangun tepat pukul satu siang—saat aku dan paman Keth masih serius membahas soal mob yang menyerang kemarin malam. Soi ikut dalam perbincangan yang belum menemui titik terang, masih menggantung. Antara kemungkinan ini itu, alasan ini itu dan lainnya. Semua masih samar-samar, sama seperti sesuatu yang terus bergerak lembut di dalam sini. Masih abu-abu untuk bisa dicaritahu siapa pemilik rasa ini.
Pukul tiga sore, Detch dan teman-temannya yang berada di barak mengabarkan lewat Miqlo bahwa situasai bisa dikatakan aman. Dalam radius lima kilometer sudah tak ada lagi mob, jadi kami bisa keluar rumah. Aku dan paman Keth memutuskan untuk pergi ke reruntuhan rumahnya. Sedangkan Soi pergi bersama beberapa teman lain, mengurus warga yang terluka akibat serangan semalam.
Aku pikir, dengan berhentinya serangan mob itu maka semuanya bisa diulang dari awal. Tapi kehancuran itu bukan hanya bertahta pada materi saja, sebab enam jam setelahnya Detch memberitahu seluruh warga mengenai kepulangan peneliti buldan kami. Itu serangan mematikan selanjutnya, yang meski tak pernah melukai kami tapi mampu melumpuhkan harapan kami. Setengah tahun lalu, buldan Wichlyz mengirimkan sekitar enambelas orang yang tergabung dalam tim peneliti pusat.
Aku tak mau menjelaskan hubungannya sebab ini semua sudah jelas sejak serangan pertama para mob itu. Tidak ada, satupun dari mereka tak ada yang benar-benar kembali. Orang terakhir yang bisa Detch hubungi adalah Hylj, ketua tim peneliti. Dan hal terakhir yang sampai di perbatasan buldan kami adalah Sqeil miliknya, tanpa awak—hanya ada beberapa barang yang sebagian tak berbentuk.
Ika Nur Lutfi. Penulis adalah pengagum Soe Hok Gie. Menulis beberapa tulisan di berbagai media. Kini menjadi redaktur Rhetor Online.
Selamat Datang HilangKuperkenalkan pada kalianSebuah negeri tanpa pintuNegeri dimana jendela adalah pintuDan pintu hanyalah formalitas
Kalian takkan mengiraManusia negeri itu bermuka duaBermuka dua maka makin berkuasaUang adalah TuhanPangkat adalah panggung sandiwaraMedia menjadi kiblat dunianya
Ini realitaTakkan kau temukan malu di negeri ituKarena rasa malu adalah benaluIni realitaBerkeliaran psikopat Tak ada rasa takutYang ada hanya celurut
Ini belum selesai kawanKetika kejujuran disuarakanPara petinggi pura-pura lawatanKejujuran terabaikan dionggokkan dalam pojok tulisanKejujuran adalah pendar dalam gemerlapan
KetikaKeadilan didengungkanDan para agen perubahan turun ke jalanHingga noda merah tumpah bercucuranPara petinggi bersimpati Tapi dalam bualanTertawalah kalian
Musnah sudah, tak ada yang tersisaNegeri itu telah terlelapMenuju pintu binasaAkibat sandiwara kursi penguasa*AzhiYogyakarta, 13 November 2015
Dari AnakmuSehelai kertas yang lusuh, ditemani tinta biruDisebuah ruangan yang bidangSemesta inilah saksinya..Saksi atas semua kebohonganmuSaksi bahwa kau bermuka dua di hadapankuKau Dusta di kala kau lelah,Kau Dusta dikala kau sakitKebohonganmu membuat aku buta!!!
Buta akan kedurhakaanku..Saat ku di perintah, terkadang aku membantahDi kala ku lemah, ribuan rintihan aku keluhkanDi saat asyik dengan duniaku, aku mengacuhkanmuBahkan, ketika ku berkehendak aku menuntut.Namun.. senyum lembutmu tetap kau berikan,Dari waktu ku ditimang hingga sampai detik iniPikir ku pun melesat jauh ke masa silam.Riwayat semasa ku belia, kala kau rela terbangun ketika aku terusikRela mengorbankan seluruh waktu, jiwa dan raga..Saat virus menyapaku, kaulah tabib di atas fajar dan senjaMengirimkan jutaan doa terbaik dalam setiap sujudmu.Menakjubkan sekali manusia ini.Cintanya melebihi dalamnya samudra...Kasihnya melebihi bintang di angkasa....Sayangnya melebihi cahaya surya yang menyinari dunia...Makhluk itu ialah ibu...Terimakasih ibu, kau Wanita terhebat yang pernah aku jumpai,Meski daya tak sampai menebus semua yang kau berikanPercayalah, aku sangat mencintaimuDari anakmu..Rahma nisa
Lelah BerkataHanya ada tumpukan ideYang bersarang di benaknyaTak ada rasa, tak ada energiBahkan tak ada lagi satu katapun yang berani keluarDari mulutnya yang liat Seakan telah mati jiwa dan akalnyaSeakan telah hilang jasadnya Di bawah kegelapan kotak yang sempit ituDimanakah dirinya yang duluYang selalu ada dan hidup di antara merekaSekarang dan dahulu sungguh berbeda Sekarang dia bagaikan tak ada lagi di antara merekaSeperti orang yang diasingkan hidupnyaBahkan suaranya bagaikan suara pohon yang sulit untuk didengar dan dimengertiHanya keadaan diam yang memaksa dirinya untuk sekarang iniSeakan nyaman dengan keadaannya yang tetap diamApakah dia sudah melepaskan kebutuhannyaYang mengharuskan dirinya terlibat dengan dunia luarAkan tetapi sekarang dia sekarang tidak lebih dari mayat hidup Tak mau lagi hidup seperti halnya manusia berakal.
Endang Santika. Penyair.
Sajak-sajak Endang Santika
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201620
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201621
Dok : LPM RHETOR
www.lpmrhetor.com
DON’T HATE THE MEDIABECOME
THE MEDIA-J. BIAFRA
News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201622
CLICK!
Keluarga Besar LPM RHETOR
Telah Berpulangdengan Tenang Kawan Fuad karena Gelar Sarjana Mudanya
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolahdan menganggap dirinya terlalu tinggi
dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita
yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”
-Tan Malaka