negara dan pluralisme agama - repository.uinjkt.ac.id€¦ · pluralisme, selama ini bangsa...
TRANSCRIPT
NEGARA DAN PLURALISME AGAMA (Studi Pemikiran Hasyim Muzadi Tentang Pluralisme Agama
Di Indonesia Pasca Orde Baru)
Oleh
Anang Lukman Afandi NIM : 103 033 227 810
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1432 H / 2011 M
i
ABSTRAKSI Pluralisme agama sepertinya menemui jaman keemasan kembali. Di saat masyarakat Indonesia sering terjadi konflik yang bernuansa agama, pembahasan tentang pluralisme akan kembali menjadi topik perbincangan para tokoh lintas agama di Indonesia. Dalam hal ini penulis akan mencoba untuk mengulas kembali makna pluralisme menurut salah satu tokoh moderat Islam yaitu Hasyim Muzadi, Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi dalam skripsi ini dilatar-belakangi bahwa penulis menganggap bahwa selama ini masih sedikit karya-karya yang berisi pemikiran Hasyim Muzadi. Tujuan penulis adalah ingin memperdalam pengetahuan pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme serta langkah-langkah yang beliau lakukan guna memperjuangkan pluralitas keagamaan di Indonesia. Hasyim Muzadi sebagai salah satu tokoh moderat yang konsisten memperjuangkan Pluralisme, menawarkan sebuah solusi atas kebuntuan dialog antar agama maupun keyakinan. Pluralisme dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk mempertahankan pluralitas keagamaan di Indonesia dan menjaga kerukunan antar umat yang berbeda agama maupun keyakinan sehingga dapat memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesimpulan dari pembahasan tentang pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi diantaranya pemikiran tentang Pluralisme sebagai bagian dari Humanisme serta perbedaan pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis. Menurut Hasyim Muzadi, umat beragama di Indonesia harus sadar bahwa masalah-masalah yang dihadapi selama ini adalah buntunya dialog antar golongan yang berbeda interpretasi ajaran-ajaran agama yang mereka anut. Jadi menurut penulis, pembahasan ini sangatlah penting untuk menyadarkan kembali pehaman tentang pluralisme agama dengan tujuan terciptanya kerukunan sesama agama maupun antar agama walaupun perbedaan keyakinan dan agama adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk ini.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, memberikan akal dan pikiran
kepada manusia sehingga dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari dengan baik.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan selamanya kepada Nabi Muhammad
SAW, berserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya dan semoga menjadi
tauladan bagi kita semua.
Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing, dan mendukung penulis
secara fisik maupun moral dalam penyusunan skripsi ini yang tidak akan tercapai
kesempurnaan lantaran bantuannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk dapat menempuh studi di kampus peradaban ini.
2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Alimun Hanif, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktunya untuk selalu memberikan saran dan kritik guna
terselesaikannya skripsi ini.
iii
5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan kontribusi pemikiran Ilmu
Politik kepada penulis selama kuliah di Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Ayahanda tercinta Imam Nawawi (Boniran) dan Ibunda tersayang
Khomsatun, Kakek Boyamin dan Mbok Samijem, orang tua penulis yang
tiada lelah memberikan do’a, semangat dan motivasi dengan kasih sayang
yang tak terhingga. Serta keluarga besar Imam Nawawi, Kakakku Ali
Murtadho, Yeni Siswanti serta saudara-saudaraku Shidiq dan kholil.
7. Almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH. Bahruddin
yang telah mengasuh dan memberikan ilmu yang tak terhingga saat
penulis mondok di Pesantren Ciganjur dan Darul Hikam Ciputat.
8. Sahabat-sahabat selam kuliah di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya Usep Kholil, Dedi, Farid, Dian, Budi, Bayan, Hamid,
Furqon, Janan, Bagus, Yamin, Iwan, Hamdi, Fuad, dan semuanya yang
tidak penulis sebutkan satu per satu.
9. Sahabat dan teman kerja di Bio Team Ciputat, Andi, Shofyan, Zulfan,
Enjum, Ujang, Roy, Rifki, serta teman pondok di Pesantren Darul Hikam
Ciputat, Rahmat Kabir dan Shoghir, Harid, Fatoni, Tsani, Abu, Azis,
Malik, Iwan, Syu’eib, Firman dan semuanya.
10. Terkhusus untuk calon istriku tercinta, Umi Charisah yang telah
memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat segera
menyelesaikan skripsi ini.
iv
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................. 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ............................................. 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB II NEGARA DAN PLURALISME
A. Pengertian Negara …………………………………………. 12
B. Pengertian Pluralisme ……………………………………… 14
C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme …………………… 31
D. Pro-Kontra Tentang Pluralisme ……………………………. 33
E. Wacana Pluralisme di Indonesia ………………………….. 37
BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL & POLITIK HASYIM MUZADI
A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi ……………….. 41
B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi ……………….. 44
C. Karier Organisasi dan Politik ……………………………… 47
vi
D. Karya-karya Hasyim Muzadi ……………………………… 46
BAB IV PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG PLURALISME
AGAMA DI INDONESIA
A. PEMIKIRAN PLURALISME HASYIM MUZADI ……… 49
1. Islam Rahmatan lil Alamin ……………………………... 54
2. Pluralisme Teologis Dan Sosiologis ……………………. 55
3. Pendekatan Dialog Peradaban ………………………….. 56
4. Pluralisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme ….. 61
a. Dimensi Humanisme Dalam Agama ………………… 61
b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain …………….... 64
B. PANDANGAN HASYIM MUZADI TERHADAP FATWA
MUI ………………………………………………………… 69
C. KOMITMEN MENJAGA PLURALITAS KEAGAMAAN.. 71
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 78
B. Saran-Saran ........................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam konteks masa depan Islam Indonesia khususnya serta Islam pada
umumnya yang terjadi hari ini justru yang muncul adalah indikasi yang kuat untuk
bersama-sama membangun paradigma baru tentang Islam terutama Islam
Indonesia di mata dunia Internasional. Karena Islam, terutama pasca serangan 11
September 2001 yang menghancurkan Gedung WTC (World Trade Centre), telah
dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan, dan pada saat itu hal-hal yang
menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal mayoritas masyarakat Islam di
Dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.
Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York dan
Pentagon di Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam
di bawah komando Osama bin Laden membuat penilaian negatif masyarakat Barat
terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik
nadir.1
Kondisi itu mengakibatkan kaum muslim di dunia dipandang buruk dan
disebut sebagai pengikut ajaran agama yang dogmanya hanya menyebarkan teror
dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu terjadi karena masyarakat barat
melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam yang diyakininya sebagai
kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum lainnya. Padahal
kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara pasti ajaran Islam sesungguhnya
1 John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), (Bandung: Mizan, 2008),
h. 9.
2
dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari media massa yang
pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam, yang distigmakan
sebagai kaum yang lekat dengan dunia kekerasan dan tidak bisa berdamai dengan
ajaran lainnya. Sehingga membuat umat lain menjadi berang kepada umat Islam.
Tantangan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan
yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya
ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling
serius saat ini adalah di bidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama
disadari adalah tantangan internal yang berupa fanatisme, taklid buta, bid'ah,
kurafat, dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang dihadapi saat
ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme
agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan bangsa
Indonesia.2
Skripsi ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan
memfokuskan pada makna pluralisme agama beserta sejarah, faktor-faktor,
penyebaran, dampak dan solusinya.
Pluralisme, selama ini bangsa Indonesia terlalu takut dan bahkan antipati
dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini
bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan
mereka dengan istilah ini. Penulis tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi
Media Indonesia dengan judul ”Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”3
2 Adian Husaini, Plurlisme Agama Haram (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 2. 3 Editorial Media Indonesia “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”, Rabu, 15
September 2010. Diambil dari Website : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-Ada-NU-dan-Muhammadiyah.
3
tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia
yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.
Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas
agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik
antar tokoh bangsa. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia sudah sedari
dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika masyarakat Indonesia
tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama.4 Walaupun beliau
lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri,5 namun
spirit itu tidaklah mati begitu saja. Dua organisasi yang sudah berdiri sejak
sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia
mengedepankan tenggang-rasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap
ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia
tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya,
ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi
terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak
peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara
terjadi di mana-mana di pelosok negeri.
Tapi satu hal yang penulis soroti saat ini adalah adanya dua kutub yang
senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha
mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas
beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut
pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal
4 Lihat http://www.republika.com/perjalanan-sejarah-indonesia-175.page.html 5 Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan
Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakan oleh Orientalis Clifford Geertz dengan Trikotomi-nya.
4
dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa
yang multi-kultural. Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi
Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak
awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di
masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu
menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang
rahmatan lil alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal
bangsa Indonesia sebagai agama yang toleran. Tidak ada penghinaan terhadap
agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan
inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam oleh masyarakat
Indonesia.
Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah
jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha di dalamnya tanpa ada tenggang-rasa antar umat
beragama. Tidak akan ada kedamaian dan ketenteraman dalam menjalankan
ibadah ketika nilai-nilai ”lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan
bangsa Indonesia. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama
mungkin bisa jadi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa barbar yang beringas.
Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan
dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang
menghendaki hal seperti ini.
Dalam kerangka itu, Hasyim Muzadi sebagai salah satu pemimpin
organisasi Islam terbesar di Indonesia, gencar melakukan agenda yang terkait
dengan pentingnya membangun semangat pluralitas. Hal ini ditunjukkan dengan
5
diselenggarakannya pertemuan Ulama’ Sunni-Syiah seluruh dunia yang
diprakarsainya.6 Pertemuan-pertemuan semacam itu seakan menjadi titik terang
usaha beliau dalam menata Islam Indonesia menuju Islam Global yang lebih baik
sebagai aktualisasi rahmatan lil-alamiin.
Sedang pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang
tumbuh, seperti bangsa Indonesia, tentu sulit untuk mengembangkan saling
pengertian antar beraneka ragam unsur-unsur etnis, dan budaya daerah. Kalaupun
tidak terjadi salah pengertian mendasar atas unsur-unsur itu, paling tidak tentu
saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka, dengan kata lain,
suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan
sekedar mengurangi kesalahpahaman.7
Atas dasar kenyataan seperti di atas dan juga banyaknya ide-ide dari
pemikir dan pemimpin Islam di Indonesia tentang permasalahan Islam, maka
Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang pemikiran atau ide pluralisme
keagamaan yang terkait erat dengan hubungan antar agama dan negara.
Untuk lebih fokusnya kajian ini, Penulis mengambil pemikiran dari salah
seorang tokoh Islam yang pernah menjadi pemimpin salah satu organisasi Islam
terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama) yaitu Hasyim Muzadi. Kajian tentang
pluralisme agama Hasyim Muzadi ini didasari oleh kenyataan bahwa menurut
Penulis selama ini, belum ada karya-karya yang berisi pemikiran utuh dari
Hasyim Muzadi terkait dengan pemikiran pluralismenya. Kalaupun ada, hal ini
hanya berupa pernyataan-pernyataan Hasyim Muzadi yang tersebar di media
6 Pada tanggal 9 November 2004, Hasyim Muzadi beserta Din Syamsuddin mengundang
ulama-ulama Sunni-Syiah seluruh dunia yang terdiri dari 84 negara untuk menyerukan sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam di Bogor, Jawa Barat.
7 Surahman Hidayat, Islam Pluralisme Dan Perdamaian (Jakarta: Robbani Press, 2008), h. 53.
6
massa maupun media elektronik, dan juga dari beberapa buku dari para penulis
yang mengungkap sebagian pemikiran atau sosok Hasyim Muzadi.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka perlu Penulis tegaskan bahwa batasan dan
rumusan dari permasalahan ini yaitu :
1. Bagaimana pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama?
2. Bagaimana bentuk hubungan agama dan negara menurut Hasyim Muzadi?
Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari
beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga
berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
C. Tujuan dan Manfaat
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana dalam bidang Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ada tujuan dan manfaat yang lain yaitu :
1. Tujuan :
a. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam tentang karakteristik
pemikiran Hasyim Muzadi mengenai wacana pluralisme keagamaan, serta
hubungan Islam dan negara.
b. Mengidentifikasi asal-usul gagasan beliau, baik itu berlatar belakang sosial,
pendidikan ataupun politik.
c. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi gagasan tersebut
dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
7
2. Manfaat :
a. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan
terhadap karakteristik pemikiran Hasyim Muzadi.
b. Bagi dunia ilmu pengetahuan, akan memberi tambahan khazanah baru
dalam pemikiran yang terkait dengan wacana diatas.
c. Bagi umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia pada khususnya,
diharapkan akan memiliki persepsi yang benar mengenai Islam Indonesia
sehingga tidak terjebak pada pemahaman tunggal yang menyebabkan
fanatisme keagamaan yang berlebihan dan kontra-produktif.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang pluralisme serta hubungan agama dan negara dalam
literatur Indonesia cukup banyak, dan memang di era sekarang kajian tersebut
seperti menemukan zaman keemasannya karena didukung oleh kondisi sosio-
kultural yang memang memungkinkan wacana tersebut berkembang, apalagi
kondisi Indonesia yang memang plural, baik dalam hal suku bangsa, ras, maupun
agama.
Sedangkan pembahasan tentang pluarlisme sendiri telah banyak dilakukan
oleh para penulis baik dalam maupun luar negeri. Karya terakhir dalam rentang
penulisan skripsi ini adalah tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
pluralisme dan humanisme yang ditulis oleh Saiful Ma’arif, mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
Menurut penulis, kajian tentang pemikiran Hasyim Muzadi sendiri belum
ada yang tulis dalam bentuk skripsi, kecuali buku-buku yang telah banyak beredar
walaupun tidak secara spesifik membahas tentang pluralisme Hasyim Muzadi.
Buku-buku karya Hasyim kebanyakan membahas tentang bagaimana pandangan
Islam mengenai globalisasi dan terorisme.
Disamping itu, dalam banyak studi dan penerbitan yang ada, pembahasan
Hasyim Muzadi lebih sering ditujukan pada persoalan politik. Padahal
sebagaimana yang diharapkan terdapat dalam skripsi ini, Hasyim Muzadi
memiliki ide sentral pluralisme yang mewarnai banyak pemikiran-pemikirannya.
Dengan latar belakang bahwa penulisan tentang ide pluralisme Hasyim Muzadi
belum banyak dilakukan, skripsi ini mencoba mengangkat tema tersebut dan
mengaitkannya dengan kehidupan beragama dan sosial budaya di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Dalam bahasan terkait dengan penelitian ini, perlu penulis paparkan
tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian,
sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannya dan analisa
data.
1. Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih
mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi
tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut.
Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan tokoh tersebut. Kedua, penelitian
tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.
9
2. Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih kepada teknik deskriptif-
analisis. Yang dimaksud dengan deskriptif dalam konteks ini adalah
menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau
literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini
ialah karakter dari Hasyim Muzadi dan fenomena yang mempengaruhi
pemikirannya. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis,
yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan beliau, dalam hal ini
penulis lebih memfokuskan pada aliran pemikiran Islam kontemporer yakni
modernis dan neo-modernis yang penulis anggap sebagai representasi dari beliau.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu : data
primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari beliau baik buku, artikel dan
kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya
yang mengkaji tentang gagasan beliau dan hasil-hasil penelitian yang relevan
dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
4. Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif
dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan
untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang
berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena
diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam,
khususnya fiqih siyasah.
10
Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa
setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan
sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian
ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode
pemikiran Hasyim Muzadi akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut
mempengaruhi pemikiran beliau dalam masalah ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan ini penulis membagi menjadi lima bab. Bab pertama
memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan yang terakhir
sistematika pembahasan.
Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi pluralisme agama, relasi agama
dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap
pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan
negara di Indonesia. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan
dihadapkan pada tokoh yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi Hasyim Muzadi. Penelaahan ini meliputi
latar belakang sosial dan prilaku politik beliau dalam menggagas pluralism agama
serta relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-
cita ideologi negara yang beliau perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim
yang peduli terhadap bangsa.
Bab keempat menganalisa pemikiran beliau tentang relasi Pluralisme
agama, hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi
11
pancasila. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan beliau
terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi
saat ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran Hasyim Muzadi
tentang pluralisme agama serta hubungan Islam dan negara di Indonesia,
sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penulis atau peneliti yang akan
mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
12
BAB II
NEGARA DAN PLURALISME
A. Pengertian Negara
Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di
mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal
terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat
serta pengakuan dari negara lain. 8
Istilah negara di terjemahkan dari kata-kata asing yaitu “steat” (bahasa
Belanda dan Jerman). “state” (Bahasa Inggris. “Etat” (bahasa Perancis). Kata
“Staat, State, etat itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum”
yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifata yang
tegak dan tetap. Kata “status” atau “statum” lazim diartikan sebagai “standing”
atau “station” (kedudukan) yang dihubungkan dengan kedudukan persekutuan
hidup manusia sebagaiman diartikan dalam istilah “Status Civitatis” atau “Status
Republicae”. 9
Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian yang
menunjukkan organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara
pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya. Negara merupakan
integrasi dari kekuasaan Politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan
politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan
untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
8 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008), h. 51
9 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html
13
kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu
wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan
kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan
bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana
kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan
golongan atau asosiasi maupun oleh negara sendiri.10
Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :
a. Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
b. Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok
manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
c. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau
kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Negara mempunya dua tugas yaitu :
1. Mengendalikan dan menatur gejala-gejalah kekuasaan yang asosial.
Yakni yang bertentangan satu-sama lain. Supaya tidak anatagonistik
yang membahayakan.
2. Mengorganisasikan dan mengintergrasikan kegiatan manusia dan
golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya.11
10 Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 82 11 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages2/56746.html
14
B. Pengertian Pluralisme
Pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih
dari satu,12 dan isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan
politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme
berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial
dan politiknya).13 Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan
pembahasan pada pluralisme agama.
Dalam wacana pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam terutama sejak era reformasi gereja yang terjadi pada abad ke-15 yang berpengaruh besar terhadap perubahan dalam aspek sosial, budaya, dan terutama pemikiran. Di sisi lain, Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat ini di dalam maupun di luar Arab. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan Pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadialan sosial (sosial justice).14 Dalam kaitannya dengan pluralisme, Islam sangat menekankan pada dua
aspek dasar, yaitu :
1. Kesatuan manusia (unity of mankind).
2. Keadilan di semua aspek kehidupan.15
Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat
lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka
untuk menjadi pemimpin.16 Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam
12 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta, Balai Pustaka, 1994), h. 883.
13 Ibid., h. 884 14 Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 33. ` 15 Ibid., h. 34.
16 Ibid., h. 35.
15
memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan
apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama-
sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di
bawah penjagaan dan perlindungannya. 17
Pada dasarnya manusia diciptakan berbeda-beda. Allah menjelaskan
bahwa dengan perbedaan itu manusia dituntut untuk saling mengenal, lita
‘arofu.18 Namun ketika seseorang memahami sebagai kebenaran mutlak yang ia
yakini, orang itu kerap kali terjebak dalam pandangan yang mengarah pada
konflik, pertikaian antara seorang muslim dan non-muslim atau mungkin diantara
sesama Muslim yang berbeda faham. Bagaimana menjembatani perbedaan-
perbedaan ini sehingga memungkinkan terwujudnya perdamaian?
Hal itu menurut Khamami Zada, sangat terkait dengan bagaimana
seseorang memahami agama lain sebagai sesuatu yang mempunyai jalan
tersendiri. Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 48, likullin
ja’alna minkum siratan wa minhaja’, (untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami
berikan aturan dan jalan yang terang) dalam setiap agama itu ada syari’atnya
sendiri, jalannya sendiri, yang memiliki kebenarannya masing-masing. Tanpa
memahami kebenaran mutlak di masing-masing agama, kita akan sulit
menemukan perdamaian diantara agama-agama itu sendiri. Disinilah kekurangan
umat Islam ketika memahami agama lain sebagai sesuatu yang lain, ‘ the others’.
Agama lain harus dipahami sebagai suatu realitas yang ada dimasyarakat.19
17 Muhammad Quttub, Islam Agama Pembebas, fungky kusnaedi timur (terj) (Yogyakarta
Mittra Pustaka, 2001), h. 368. 18 Baca QS. Al-Hujurrat (49) : 13 19 Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan
Agama Membaca Realiatas (Jakarta: Air Langga, 2003), h. 73-74
16
Islam sebaiknya tidak sekedar didakwahkan dalam perspektif yang
lahiriyah, persoalan-persoalan keakhiratan yang melupakan dimensi sosial. Kalau
Islam didakwahkan secara inklusif, dan bisa memahami agama-agama lain
sebagai suatu realitas kebenaran tersendiri, maka Islam akan benar-benar menjadi
agama rahmatan lil ’alamain.20
Oleh karena itu, Budhi Munawar-Rahman, menjadi penting untuk disadari
adalah memposisikan fungsi kritis terhadap agama yang harus dilakukan dengan
menjauhi sikap-sikap yang bersifat totaliter.21 Disamping itu agamapun dituntut
untuk mangadakan kritik terhadap dirinya sendiri, karena keberadaan agama telah
mendasarkan diri pada iman kepada Tuhan “pencipta manusia” bukan Tuhan
“ciptaan manusia”.22 Agama juga tidak bisa apolitis dalam pengertian hanya
membatasi diri pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan
individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat kedalam proses transformasi
sosial.23
Abdul Wahid Hamid mengatakan, suatu ciri khas ajaran Islam adalah
keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh.
Agama yang mempunyai hubungan integral dan organik dengan politik dan
masyarakat. Ideal Islam itu terbayang dalam perkembangan hukum Islam yang
merupakan suatu hukum yang serba mencakup.24 Sebagai ajaran yang benar,
20 Ibid., h. 75. 21 Budhi Munawar-Rahman, Islam pluralisme (Jakarta:Paramadina,2001), hlm.363 22 Ibid., h. 363-364. 23 Ibid., h. 370 24 Jhon L Esposito (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), (Jakarta: bulan
bintang, 1986), h. 3.
17
Islam pada dasarnya bisa diterapkan disepanjang masa dan dimanapun (shalihun li
kulli zaman wa makam).25
Dalam tiap langkahnya, seorang muslim akan selalu berhadapan dengan
Tuhan yang terepresentasikan melalui syari’atnya. Disini tanggung jawab individu
menjadi jelas, karena kehadiran Tuhan dalam perasaan manusia saja sudah cukup
membuat setiap manusia benar-benar sadar akan kewajibannya, demikian menurut
pendapat Khurshid Ahamad.26 Mengutif pernyataan Fazrul Rahman, kenyataan
yang peling mendasar tentang Islam dalam abad sekarang ini adalah kemerdekaan
dari kekuasaan asing yang dicapai oleh rakyat-rakyat Muslim diberbagai negri
mereka.27 Dengan mengacu pada kenyataan seperti itu, maka Islam telah
memainkan peran yang menentukan dan dominan.
Menurut Anis Malik Toha gagasan plurarisme agama dalam wancana pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa Perang Dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya barat. Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wawancara pemikiran Islam, antara lain melalui karya-karya pemikiran mistik barat seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Zaeni) dan Frithjob Schuon (Isa Nurdin Ahmad). Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religion, sangat syarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama.28 Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim syiah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional”. Keberhasilannya dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama tersebut mengantarkannya pada sebuah posisi ilmuan kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama besar seperti Ninian Semart, John Hick, Annemarie Schimmel. Nasr mencoba menuangkan tesisnya pada
25 Abdul Wahid Hamid, Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), (Yogyakarta:
Lazuardi, 2001), h. 301 26 Khurshid Ahmad, Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1983), h.
121. 27 Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1984), h. 365. 28 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task=
view&id=1406&Itemid=0
18
pluralisme agama dalam kemasan sophia perenis atau perenial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau kebenaran abadi), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi dibalik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam ‘alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau menyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sumgguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada simbol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama yang satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Demikian penuturan Anis Malik Toha.29
Hamdi Fahmy mengatakan, pluralisme sebagai paham yang
merambah dalam bidang agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu aliran kesatuan transenden agama-agama (transcenden unity of religion) dan teologi global. Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung grakan globalisasi. Pendekatan yang dipakai oleh aliran teologi global terhadap agama-agama lebih bersifat sosiologis, kultural dan idiologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Idiologis sebab ia telah mejadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme.30
Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas
dari sejarah besar pluralisme. Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam hal agama seperti halnya di Indonesia. Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis.31 Jika toleransi dalam beragama tidak ditegakkan, maka negara atau bangsa tersebut akan menghadapi berbagai konflik antar pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan
29 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task
=view&id =1406&Itemid=0 30 Ditulis oleh Hamdi Fahmy, diakses dari http://www.insistnet.com/content/view/25/34/, 31 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 1999), h. 5.
19
disintegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya dan dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jika belum ada), atau menumbuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat dalam al-Qu’an surat al-Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, yaitu al-Baqarah: 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.
Ayat di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan
mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang
benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam al-Qur’an disebut ajaran
thagut). Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam
konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari
kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak
mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo.32 Dengan visi teologis
semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengisi
kehampaan spiritual yamg merupakan produk dunia modern.33
Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam).
Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budaya dan aspirasi yang
beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada
superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka
juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan
politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara
32 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), h.
164. 33 Ibid, h. 165.
20
mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan
konsep atau paham kemajemukan (pluralisme).34
Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan
adanya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah
mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan
toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat. 35 salah satu wujud
nyata dari sikap toleran adalah adanya dialog-dialog yang berfungsi menjembatani
sekian kebuntuan yang ada. Dengan menilik kasus kartunisasi Nabi Muhammad
oleh Jyllands Posten salah satu koran di Denmark beberapa waktu yang lalu,
kasus Salman Rusdie di Inggris (1969), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan
Theo Van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks yang berbeda, namun
menyisakan persoalan serius dan kompleks dalam kaitannya dengan komunitas
ditingkat regional maupun global. Di antara persoalan yang belum serius
didialogkan menurut Muhammad Ali adalah ketegangan antara kebebasan
ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu,
hubungan antara hukum dari sebuah negara dan kebebasan pers, hubungan antara
berbagai etika dunia, maka kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional,
antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.36
Dialog antar pemeluk agama dan dialog antar kawasan seperti disinggung
Ali harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance
(ketidaktahuan) dalam bentuk penghubung intrinsik antara islam dan terorisme,
Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Dipihak lain dikalangan umat Islam,
34 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: kompas,
2001), h. 11-12. 35 Ibid, h. 21 36 Muhammad Ali, dari http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-
agama.html.
21
masih ada tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang
tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa
dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim
menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah peradaban bangsa lain. Salah
satu ketidak tahuan disebagian media masa barat adalah memposisikan tokoh nabi
seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang muslim mungkin tidak cukup religius
dalam beribadah, tapi jika nabi mereka disinggung rasa panatisme keagamaannya,
mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat
populer yang memuat puji-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi
Selatan acara maulud memperingati kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling
meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah. Di
kalangan umat Islam kecintaan umat nabi ini ada yang berlebihan, ada yang
moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam
sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini
kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa
membuat kartun.37
Dipihak lain menurut Muhammad Ali lagi, umat Islam juga perlu
memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam
memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, dimuseum-museum di Eropa, banyak
sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni
yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai-
nilai etika kemanusian yang tidak selalu berseberangan dengan etika dikawasan
lain. Karena itulah, dialog, antar budaya sungguh penting, untuk memahami
37 Ibid., h. 3
22
sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya
hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu
persoalan yang harus didialogkan.38
Disamping itu juga dalam kenyataanya, sikap-sikap tidak toleran itu tidak
semata-mata disebabkan oleh faktor internal masing-masing kelompok, tetapi
sering juga disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena kebijakan politik
pemerintah tertentu atau kekuasaan politik global dan kekuatan dunia tertentu.39
Dalam dunia ilmu pengetahuan istilah pluralisme sekarang ini dikembangkan
secara luas oleh para ilmuan sosial. Pada level yang minimal istilah ini semata-
mata mengacu kepada heterogenitas. Di kalangan para ilmuan politik, antropolog,
sosiolog politik, misalnya, terjadi perselisihan apakah prulalisme itu menghambat
atau melindungi pemerintah demokratik. Menurut Philip E. Hammond, para
teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia
menyediakan beragam saluran bagi pemegang kekuasaan atau menyediakan
tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga
ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan
kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga
menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau
kelompok dari pada faksi-faksi politik yang saling bersaing.40
Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan
menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Secara
38 Ibid., h. 6 39 Nur Ahmad, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, h. 13. 40 Robert N. Bellah dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam
Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, imam khoeri, dkk (tej), (yogyakarta: ircisod: 2003), h. 212
23
garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan
oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai
dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja.
Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain,
pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan
saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam
kebhinekaan.41
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama,
ras, bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagi contoh adalah kota New
York. Kota ini adalak kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi,
Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun.
Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar
penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.42
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang
relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai”
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau
masyarakatnya.
41 Alwi shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), h. 41. 42 Ibid., h. 42-43
24
Sebagai contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa
Eropa bahwa “Colombus menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan
“kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan
“Colombus mencaplok Amerika”.
Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa
pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena
kebenaran agama-agama, walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan
lainnya, tetapi harus diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk
semua dan sepanjang masa.43 Namun yang menjadi persoalan adalah manusia
memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan
menimbulkan dampak pada perubahan sosial.
Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai
kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karenanya memiliki sistem ide
yang berbeda. Jika Teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya
merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat
dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.44
Menurut Ignas Kleden, dikotomi yang dibuat oleh sementara psikologi
agama, antara agama sebagi agama, dan agama sebagai yang dihayati dalam
kesadaran para penganutnya, barangkali tidak akan diperhatikan dalam tulisan ini.
Sebab bagaiman pun agama sebagai suatu entitas abstrak yang dilepaskan sama
sekali dari kenyataan bagaiman dia dihayati adalah sangat sulit dibayangkan.
Sedangkan, bila agama dilihat sebagai suatu realitas manusiawi yang muncul
sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti
43 Ibid., h. 42. 44 Ibid., h. 213.
25
bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian suatu agama
sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak
berguna. Dengan itu mau dikatakan bahwa filsafat yang melihat agama secara
ontologis tidak akan banyak membantu mencari kemungkinan dialog antar agama.
Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan substansi, unsur yang berdiri sendiri,
yang berbeda dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan sesuatu
itu ada dasar dirinya. Ontologi justru mengandaikan dan menekankan distansi dan
esensi yang mutlak dan karena itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.45
Sebaliknya agamapun tidak diidentikkan dengan batas-batas psikologis
yang sering justru hendak diterobos oleh tuntutan dan harapan keagamaan. Dua
reserve disini untuk menghindari terjebaknya agama kedalam kemungkinan
Psychologisierung der Religion. Yang Pertama adalah unsur supranatural,
merupakan elemen trensenden dalam tiap agama yang menyebabkan bahwa
agama tidak mutlak membutuhkan suatu stratum psikologis sebagai conditio sin
qua non untuk tumbuh dan berkembang dalam penghayatan para penganutnya.
Misalnya beberapa eksperimen studi psikiatri terhadap kehidupan rohani beberapa
orang kudus, sama sekali tidak menggoncangkan alasan untuk tetap mengakui
kekudusan mereka. Demikian pula seandainya ada pertemuan-pertemuan empiris
yang bisa menunjuk indikasi-indikasi kuat tentang adanya psikose tertentu yang
mereka derita dan alami selama hidupnya. Yang kedua adalah, bahwa hukum-
hukum psikologis tidak selalu merupakan batas-batas yang harus diterima oleh
suatu agama. Agama dan tuntunannya sering malah berusaha keluar dari siklisme
psikologis semacam itu. Demikian, maka tidak berarti bahwa agama selalu
45 Ignas Kleden, “ Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya.
Dalam Kumpulan Tulisan Agma dan Tantangan Jaman, (Jakata:LP3ES, 1985), h. 153.
26
bersifat menentang kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Namun mungkin
bahwa apa yang dicita-citakan suatu agama mengisyartatkan pula pengakuan akan
terbatasnya kemampuan manusia dalam mengindentifikasikan dirinya sendiri, dan
di depan suatu realitas dan aktifitas ilahi, manusia justru ditantang untuk
mengatasi ikatan-ikatan dari dunianya, batas-batas psikologisnya dan persyaratan-
persyaratan imanensinya.46
Harus dicatat bahwa meningkatnya kecerdasan manusia menyebabkan ia
mencari sendiri kebenaran primer yang belum terpecahkan oleh ilmu
pengetahuan. Di sisi lain, menyebar luaskan agama, propaganda (dalam arti
netral), atau evanggeli merupakan persoalan manusia dalam hidupnya yang telah
berjalan sekurang-kurangya 25 abad. Ada agama yang non-evanggelis, seperti
Yahudi yang justru bersikap ekslusif dan tidak dengan aktif menyebar-luaskan
agamanya.47
Amin Abdullah menyatakan, dapat dibayangkan bagaimana kulaitas
tingkat kenyamanan, ketenangan, kedamaian suatu masyarakat beragama yang
bersifat pluralistik, jika masing-masing secara sepihak dan tertutup mengklaim
bahwa tradisi agamanya sendirilah yang paling sempurna dan benar. Dan jika
klaim itu merambah ke wilayah historis-ekonomis-sosiologis, maka kedamaian
yang diserukan dan didambakan oleh ajaran agama-agama akan terkikis dengan
sendirinya dalam kenyataan hidup keseharian. Meskipun secara ontologis-
metafisis, klaim seperti itu memang dapat dimengerti, namun belum tentu dapat
dibenarkan, karena memang itulah salah satu inti keberagamaan yang sebenarnya.
Artinya, bahwa hard core dari pada pandangan hidup agama-agama yang
46 Ibid,. h. 154-155 47 Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali Agama dan Masyarakat (Yogyakarta
Sunan Kalijaga Press, 1993 ), h. 169.
27
beraneka ragam memang berbeda. Sedangkan hard core keberagamaan hanya
dapat dinikmati secara historis, lewat sekat-sekat teologis yang ada.48
Perubahan sosial dalam Islam, hendaknya dilihat dari segi agama dan
perubahan yang lebih luas. Manusia telah dikaruniai dengan kesadaran diri,
intelek, dan imajinasi. Kecakapan-kecakapan inilah yang membedakannya dengan
alam semesta lainnya, selain merupakan kenyataan bahwa dirinya juga merupakan
bagian dari dirinya. Menurut John L. Eposito, agama adalah suatu sistem
kepercayaan yang menempatkan dirinya (sebagi alat bantu bagi manusia) dalam
upaya menghadapi kesulitan tersebut, serta kemudian menjadikan manusia agar
betah di dalamnya.49 Quraish Shihab mengatakan, pada hakikatnya, khususnya
dalam kehidupan bermasyarakat dimana perbedaan-perbedaan sangat
dimungkinkan, Islam lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan
bentuk-bentuk.50
Diakui bahwa, dalam sejarah agama-agama, telah terjadi pertikaian antara
pemeluk agama yang sama atau antar pemeluk berbagai agama. Namun,
pertikaian tersebut lebih banyak disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non
agama. Dapatkah umat masa kini menemukan pandangan dan jalan yang telah
ditempuh oleh generasi terdahulu yang hidup berdampingan dan harmonis?. Kalau
jalan tersebut tidak dapat ditemukan oleh pimpinan-pimpinan agama-agama
sendiri, maka ketika itu mereka harus membenarkan pandangan yang menyatakan
bahwa ada krisis agama. Karena dengan demikian, agama telah menjadi sumber
48 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. h. 14-15. 49 John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri
Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 293. 50 Qurais shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), h. 215.
28
keresahan pemeluknya dan tidak heran bila agama hanya akan tinggal sebagai
kenangan buruk sejarah.51
Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi,
kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama memiliki ajaran yang sangat
ideal dan cita-citanya sangat tinggi, bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan
“benda” yang suci, sakral, angker, dan keramat. Ia selalu menawarkan jampi-
jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan. Namun kenyataan berbicara lain,
agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengkaran. Menurut
Ahmad Najib Burhani, fenomena ini dilatari oleh: pertama, pendewaan agama.
Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan
pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat yang menyelimuti-Nya berulang kali
hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama dan ajaran sucinya juga mengalmi nasib
yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak
mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah
fungsi menjadi semisal markas jaringan “mafia”, sehingga tidaklah heran bila
kemudian muncul “manipulasi agama” dan “korupsi agama”.
Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak
untuk lebih dekat kepada saudara-saudara “seagama” (in group feeling) dan
menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain. Hal ini
membuahkan sikap yang kurang obyektif dalam memandang apa yang ada di luar
diri sendiri. Misalnya sebagimana yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman
dalam Islam Transpormatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama
51 Ibid., h. 21.
29
agama, namun jika keadilan sosial tidak menimpa “kita” atau saudara “kita”,
maka “kita” kurang menaruh perhatian.
Ketiga, monopoli kebenaran. Banyak agama atau bahkan seluruh agama
yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu
kewajiban dan memang sepantasnya memberikan doktrin-doktrin keabsolutan
kebenaran agama. Namun kewajaran itu akan berubah menjadi ketidakwajaran
bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas
doktrin orang lain. Lebih-lebih bila pemberian doktrin tersebut dibarengi dengan
penularan anggapan bahwa doktrin-doktrinnyalah yang benar, sementara yang lain
salah total. Dan akan semakin tragis apabila fenomena itu diiringi dengan
pelecehan agama lain.52
Dengan menggali ajaran-ajaran agama, meninggalkan fanatisme buta, serta
berpijak pada kenyataan menurut Qurais Shihab, jalan akan dapat dirumuskan.
Bukankah agama-agama monoteisme dengan sejarah ketuhanan Yang Maha Esa,
pada hakikatnya menganut universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang
menciptakan seluruh manusia, seluruh manusia bersumber dari satu keturunan,
betapapun berbeda agama, bangsa atau warna kulit. Demikian ditegaskannya
pula.53
Menurut Ahmad Najib Burhani, teosentrisme atau wacana agama tentang
Tuhan hanya akan bermanfaat apabila sekaligus menjunjung tinggi tinggi
martabat manusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi
perbincangan verbal saja apabila tidak ada keterlibatan dalam memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global. Mengiyakan Tuhan tidak
52 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 3-4.
53 Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 218-219
30
berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan pada
Tuahan, tetapi komitmen dan respon ini tidak diperintahkan diaktualisasikan
dalam hubungan sesama makhluk. Bahwa bertuhan justru dipihak segenap
manusia, bukan hanya manusia anggota agamanya saja. Setelah menjawab sapaan
Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan.
Maka disarankan, keberagamaan perlu lebih humanistik-uneversal.54
Teologi harus lebih concern pada persoalan lingkungan hidup, tertib
sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya cradible apabila dapat
menolak segala sikap yang bernapaskan kebencian, balas dendam, kepicikan,
pembunuhan dan pemaksaan serta mengembangkan sikap kebaikan hati, belas
kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras,
gender, dan agama, keadilan, kebebasan, rasionalitas, kejujuran dan
keterbukaan.55
Sebaliknya masyarakat yang hendak diatur oleh agama senantiasa
mengalami perubahan dan oleh karena itu bersifat dinamis. Dalam ilmu semantika
disebutkan bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan
dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat.56
Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu negara,
tetapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan
persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis-
multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya dikalangan umat Islam, tapi juga
menyangkut umat-umat antar agama dan persoalan-persoalan non-agama.
54 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin
Yang Membantu, h. 14-15. 55 Ibid., h. 16 56 Abdul nasir Solissa (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya, (Yogyakarta:LESFI,
1983), h. 15.
31
C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme
Menurut Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok.57 Di ungkapkan oleh Abdurrahman Wahid bahwa, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar.58
Dalam kaitannya dengan bergulirnya arus globalisasi yang merambah
dalam seluruh sistem termasuk dalam agama Islam itu sendiri menurut Jhon L.
Esposito, akan melahirkan lapangan pengetahuan baru. Akan tetapi, studi tentang
modernisasi di dalam Islam sering memuat dikotomi yang tidak bertanggung
jawab: tradisi lawan perubahan, fundamentalisme lawan modernisme, stagnasi
lawan progres. Bagi kebanyakan analis pihak Barat maupun pihak skularis
muslim, Islam itu merupakan rintangan besar bagi perubahan politik dan sosial
yang berarti dalam dunia Islam. Bagi pihak aktivis Islam, dan para mukmin
lainnya, Islam itu secara abadi tetap serasi dan berlaku.59 Sebagi suatu sistem
nilai, Islam tentu saja tidak bisa merestui suatu masyarakat yang bersifat laissez-
faire. Ditegaskan oleh Fazlurrahman, dipihak lain, Islam mengetahui dengan baik
bahwa pemaksaan tidak akan membuahkan hasil, bahkan tidak akan bisa
bekerja.60
57 Robbert N Bellah dan Phillip E. Hammond, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam
Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, h. 212. 58 Budhi Munawar Rachman, (ed.), Kontekstualisasi Diktrin Islam Dalam Sejarah,
(Jakarta: Paramadina), h. 546 59 Jhon L. Esposito, Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj), (Jakarta:Bulan
Bintang, 1990), h. 298. 60 Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas, Akhsim Muhammad (terj), (Bandung: Pustaka:
1985), h. 192
32
Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial,
kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk
hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan
formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan
pemerintah yang terlalu berlebihan dari pada agama-agama lain.61
Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam
segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan
penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu
jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing
agama.62 Terlebih masing-masing agama memiliki identitas sebagi simbol dan
pesan agama tidaklah secara seimbang ditangkap dan ditafsirkan oleh berbagai
lapisan sosial. Demikian dinyatakan Taufiq Abdullah.63
Jiwa toleransi beragama dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut:
1. Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain.
2. Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.
3. Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama.
4. Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan.
5. Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada
toleransi beragama.
61 Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made
Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj), (Yogyakarta: LKIS, 1997), h.204 62 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun
Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 63 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 245
33
6. Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Mungkin hal-hal ini
dapat mengubah ketegangan hidup beragama yang dirasakan ada dalam
masyarakat kita sekarang.64
Dengan upaya menjunjung tinggi nilai dan semangat pluralitas tersebut,
maka diharapkan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang besar. Oleh
karena itu, penulis sepakat dengan pendapat Fazlur Rahman bahwa, setiap
peradaban besar mengembangkan beberapa ciri khas yang tersembunyi dibalik
ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas yang tersembunyi
dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas itu menjadi
kebajikan khusus karena mereka muncul untuk menyumbang terhadap
ekspansinya, tetapi ketika peradaban itu mencapi puncaknya ciri-ciri itu kembali
dipermasalahkan.65
D. Pro-kontra Tentang Pluralisme
Nur Khalik Ridwan berpendapat, bagi pegiat wacana pluralisme, mereka
memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada
satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu
sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah
diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk
perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme
64 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun
Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 65 Harun Nasution & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam,
(Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985), h. 39
34
keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan
dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika.66
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu
penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena
itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk
yang datang dari luar Islam.67
Disamping itu akhir abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan-perubahan
yang mencengangkan. Kenyataan tersebut menurut Bachtiar Effendi, telah
menghadapkan masyarakat agama kepada suatu kesadaran kolektif terhadap
penyesuaian struktural dan kultural.68 Keanekaragaman agama akan menjadi
kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara
menyenangkan di sebuah negara.69
Namun bagi mereka yang begitu mencurigai akan bahaya pluralisme,
mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Maka menjadi
penting menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan
protestanistik yang kini digandrungi sebagai Muslim sangatlah begitu pelik.
Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad
modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi
(baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya
dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
66 Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
(Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 77 67 Saifudin Zuhri Qudsy (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan
Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ , 2003), h. 5. 68 Bachtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta:
Galang Press, 2001), h. 3 69 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. h. 80.
35
Anas Malik Toha mensinyalir, sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama. Demikian dikatakannya.70
Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis.
Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan
pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika
gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme
politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik
(politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis
terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman
sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam
masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua
puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.71
Dalam konteks Indonesia, pikiran yang mengaggap semua agama itu sama
sebenarnya telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya.
Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan
“baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.
70 Diakses dari tulisan anis malik toha, http://www.Hidayatullah.com_content&task
=view&id=1460&itemid=0, dengan judul: pluralisme agama. 71Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,. h. 86
36
Umat Islam seperti mendapatkan pekerjaan rumah yang baru dari luar rumahnya
sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah
kebhinekaan atau pluralitas saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan
hukum-hukum terkait. Dalam Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama’
Indonesia, MUI telah mengeluarkan 11 fatwa, dimana sejak berdirinya MUI
belum pernah mengeluarkan fatwa sebanyak itu.
Menurut Frans Magnis, teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter
(Protestan) dan Raimondo Panikkar (Katolik), adalah tokoh dengan paham yang
menolak ekslusifisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya
sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-
tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar dari pada
yang lain-lain.72
Disisi lain bagi mereka yang pro terhadap pluralisme memaknai dikatakan
Nur Khalik, pluralisme adalah sebauah paham yang menegaskan bahwa hanya ada
satu fakta kemanusiaan, yakni keragamaan, heterogenitas dan kemajmukan itu
sendiri. Oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah
diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk
perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara, dalam pluralisme,
perbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam
bentuk hemogenitas, kesatuaan, tunggal, mono dan ika.73
72 Ibid,. h. 94 73 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 77.
37
E. Wacana Pluralisme di Indonesia
Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman
pluralisme, bersama liberalisme, dan sekularisme pada tahun 2005, alih-alih
masyarakat serentak menyetujui, tidak sedikit terutama dari kalangan intelektual
muslim sendiri yang malah memberikan respons secara kritis sebagai ungkapan
ketidaksetujuan terhadap fatwa tersebut. Artikel yang bernuansa menolak terhadap
fatwa MUI meluncur deras di beberapa media massa.74 Sebut misalnya artikel
yang ditulis M. Dawam Rahardjo, Mengapa Semua Agama Itu Benar?75 (Tempo,
1 Januari 2006). Dalam artikelnya itu, M. Dawam Rahardjo coba memaparkan
beragam perspektif tentang pluralisme. Poin penting dari penelusuran M. Dawam
Rahardjo adalah, ternyata pluralisme tidak bisa digiring hanya dalam suatu
perspektif sebagaimana yang menjadi dasar pertimbangan MUI.
Dalam menghadapi keragaman, kata M. Dawam Rahardjo, kita
membutuhkan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with
plurality). Tentu akan menyulitkan jika di satu pihak pluralitas diterima sebagai
suatu realitas sedangkan di pihak lain, pluralisme ditolak sebagai suatu paham.
74 Selain artikel, banyak juga publikasi yang berbentuk buku yang mengusung tema
pluralisme. Lihat misalnya, Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran (Bekasi Timur: Menara, 2006); Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2006); Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005); Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006); Jerald F. Dirk, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2006). Buku-buku ini berisi dukungan terhadap pluralisme. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, berpandangan bahwa pluralisme bukan sesuatu yang paradoks dengan al-Quran. Dalam analaisis Rakhmat, dalam al-Quran banyak sekali ayat yang mendukung pluralisme.
75 Lihat juga artikel M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekeluralisme dan Pluralisme”, http://www.icrp-online.org.
38
Respons kritis terhadap fatwa MUI, lebih-lebih yang berhubungan dengan
pluralisme, tidak hanya ramai pada awal-awal keluarnya fatwa.76
Beberapa media massa rupanya menganggap perbincangan seputar
pluralisme tetap memiliki aktualitas sehingga artikel yang memberikan sorotan
kritis terhadap fatwa MUI dimunculkan. Di Indonesia, pluralitas dan pluralisme
terutama yang terkait dengan agama seakan ditaqdirkan selalu berada dalam posisi
problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di
Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama.
Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7
M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi
Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat
Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya
Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini
ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu.77
Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi
konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan
pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua
agama. Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar
wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi
sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang
dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang
meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang
76 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 83. 77 Ibid, h. 84
39
terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-
Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan
banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman
manusia. 78 Peristiwa terakhir, yaitu penyerangan warga Ahmadiyah oleh
sekelompok orang tidak dikenal di Desa Cikeusik kembali mencoreng kerukunan
beragama yang berbeda keyakinan di Indonesia. Pemaksaan kehendak oleh salah
satu pihak yang mengklaim sebagai mayoritas seolah-olah mendapatkan
pembenaran oleh penegak hukum bahwa keyakinan yang diyakini oleh sebagian
besar golongan adalah kebenaran mutlak, sedangkan keyakinan yang dipegang
oleh minoritas seakan selalu salah dan dianggap sesat. Selain itu, insiden
penusukan pendeta HKBP oleh sekelompok organisasi masyarakat yang beda
agama di Bekasi seakan menegaskan bahwa pentingnya pluralitas keagamaan di
Indonesia. Karena jika konflik-konflik seperti ini tidak segera diatasi dan
diketahui solusinya, maka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan
dipertaruhkan.
Dalam konteks kehidupan beragama, MUI memaknai pluralisme (agama)
sebagai paham yang menganggap semua agama sama. Dari pemahaman ini lalu
berkembang logika begini: pluralitas yes, pluralisme no!. Tidak sedikit di
kalangan Islam yang sepaham dengan logika ini. Padahal, logika ini jelas
mengandung kerancuan (fallacy). Mana mungkin menyikapi pluralitas tanpa
memiliki sandaran pada salah satu perspektif pluralisme. Secara akademik
pandangan MUI dapat dipersoalkan mengingat pemaknaan terhadap konsep
pluralisme tidak tunggal.
78 Ibid, h. 85
40
Dalam pengertian generiknya, pluralisme merupakan pandangan yang
mengafirmasi dan menerima keragaman (http://en.wikipedia.org). Situs ini juga
mengemukakan penggunaan istilah pluralisme dalam agama (pluralisme agama)
yang diartikan sebagai relasi damai antaragama yang berbeda. Jika bertolak dari
pengertian tersebut, maka ada dua hal yang ditekankan dalam pluralisme agama.
Pertama, pengakuan sekaligus penerimaan terhadap keragaman termasuk dalam
agama. Keragaman agama merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Munculnya
berbagai agama pada masa sebelumnya secara historis tidak bisa menghapus
agama yang muncul pada masa sesudahnya. Begitu juga sebaliknya. Fakta ini
meniscayakan adanya suatu pengakuan terhadap keragaman. Kedua, perlunya
mengembangkan relasi damai dengan kelompok agama lain. Apa pun agamanya,
bisa dipastikan memiliki kepedulian pada masalah kemanusiaan. Semua agama
juga menekankan kepasrahan terhadap apa yang kita sebut dengan Tuhan. Poin-
poin inilah yang memungkinkan adanya perjumpaan, dan bahkan kerja sama,
antar-umat beragama, tanpa merasa perlu mempertukarkan keyakinannya. Wacana
semacam ini berkembang cukup pesat di tanah air sejak 1990-an. Penelitian ini
ingin merekontruksi wacana tersebut.
41
BAB III
BIOGRAFI INTELEKTUAL DAN POLITIK HASYIM MUZADI
A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi
Hasyim Muzadi adalah termasuk salah satu seratus tokoh nasional
Indonesia paling berpengaruh dipanggung politik nasional saat ini dan diprediksi
akan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam menentukan konfigurasi
politik bangsa di masa-masa yang akan datang.79 Hasyim Muzadi merupakan
tokoh terpandang di negeri ini dan saat ini ia masih menjadi Rais Syuriah
organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang memiliki
basis terbesar di negeri ini.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Hasyim Muzadi diakui kapasitas,
kapabilitas dan ketokohannya oleh publik baik dibidang pemikiran ataupun sepak
terjang politiknya. Sehingga Hasyim Muzadi menjadi tokoh yang diperhitungkan
dalam kancah politik Indonesia saat ini. Tentunya hal itu tidak semata-mata
karena ia pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU),
akan tetapi karena komitmen dan kontribusi ide-ide kebangsaan dan pergulatan
panjangnya dalam sejarah gerakan politik yang diawali sejak masih muda.
Terbukti nama besar Hasyim dapat mendongkrak suara pasangan Capres-
cawapres Mega-Hasyim pada pemilu 2004 secara signifikan walau tetap dibawah
perolehan suara Capres-cawapres SBY-Budiono.
Untuk mengurai dan membaca karakter pemikirannya secara detail
diperlukan penelusuran yang mendalam atas latar teoritis dan latar belakang sosio-
79 Zaenal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: Narasi, 2008), h. 162
42
kultural, pendidikan dan pengalaman dibidang organisasi, serta tokoh-tokoh yang
berpengaruh dalam membentuk gugusan pengetahuan personalnya yang nantinya
banyak menyumbangkan dan mengilhami pandangan-pandangannya dalam
bidang politik.
Hasyim Muzadi dilahirkan di Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944, dari
pasangan Muzadi dan Rumiyati. Ia merupakan anak ketujuh dari delapan
bersaudara. Secara geografis Tuban terletak dibagian Utara Pulau Jawa, tepatnya
perbatasan Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro. Di daerah inilah ia
menghabiskan masa kecilnya. Hasyim menikah dengan Muthomimah dan
dikaruniai 6 anak, yakni 3 putra dan 3 putri. Di masa kecilnya ia berada dalam
kehidupan yang tidak serba berkecukupan sehingga ia menjadi sosok pribadi yang
pantang menyerah. Tak heran jika anak ke-tujuh dari delapan saudara ini
mencanangkan kalimat “Tiada hari tanpa perjuangan”, sebagai motto hidupnya.80
Hasyim Muzadi, begitu akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di
Madrasah Ibtidaiyah di tanah kelahirannya Tuban pada tahun 1950-1953 lalu ia
pindah ke Sekolah Dasar (SD) Tuban sampai lulus pada 1955. Setelah itu ia
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di kota yang sama
hanya menempuh satu tahun yakni dari tahun 1955-1956. Lalu ia pindah ke
Pondok Pesantren Gontor dengan menempuh pendidikan KMI selama enam tahun
tercatat dari 1956-1962. Lulus dari Gontor ia pindah ke Pondok Pesantren Senori
Tuban tak lama kemudian ia pindah ke Pondok Pesantren Lasem pada tahun 1963.
Setelah ia selesai berkeliling dari satu pondok ke pondok yang lain ia melanjutkan
pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang dari tahun
80 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim
Muzadi, (Surabaya, LTN NU Jatim, 2004), h. 189
43
1964-1969. Sedangkan pendidikan non-formalnya ia tempuh di Pondok Pesantren
Gontor dan tamat pada tahun 1963.
B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi
Semenjak duduk dibangku kuliah, ia mulai mengenal berbagai tokoh
politik mulai dari tokoh-tokoh dunia hingga tokoh politik nasional, dari yang
klasik sampai kontemporer. Pada fase ini, Hasyim berkenalan dengan beragam
pemikiran politik mulai dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.81
Keterlibatan Hasyim dalam medan politik pergerakan dimulai sejak ia
menginjakkan kaki di bangku kuliah, ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) komisariat IAIN Malang. PMII82 adalah salah satu organ
gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi gerakan mahasiwa yang ada di
Indonesia yang memiliki kedekatan sosio-kultural dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Di organisasi inilah Hasyim mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan
dan terlibat langsung dalam konfrontasi gerakan mahasiswa dengan Orde Lama
yang sedang harmonis dengan kelompok komunis.
PMII yang baru seumur jagung pada masa itu sangat gencar sekali
melakukan gerakan anti-komunis. Bahkan melancarkan gerakannya lewat
81 http://id.wikipedia.org/wiki/hasyim-muzadi 82 PMII adalah salah satu gerakan mahasiswa (organisasi mahasiswa) di Indonesia PMII,
yang sering kali disebut Indonesia Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), anak yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 Hijriah. Namun, pada akhirnya PMII memilih lepas yakni independent dari organisasi induknya. Hal ini dipertegas dan dijelaskan pada kongres V PMII di Ciloto Jawa BArat pada tangggal 28 desember 1973. Semenjak itu PMII lepas secara structural sampai sekarang meski secara structural PMII tidak jauh brda dari tradisi NU.
44
demontrasi-demontrasi di jalan. Sehingga PMII meski berada dibawah naungan
NU namun, telah menunjukkan karakternya sebagai the agent of control.
C. Karier Organisasi dan Politik
Hasyim dikenal sebagai sosok yang sangat tulus memposisikan dirinya
sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup
nasionalis dan pluralis. Apa saja yag dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan
NU, Hasyim ikhlas melakukannya.83 Karakter tersebut ia bangun semenjak dalam
organisasi kepemudaan seperti gerakan pemuda Anshor84 dan organisasi
kemahasiswaan, yakni PMII. Hal inilah yang menjadikan modal kuat Hasyim
untuk terus berkiprah di NU.85
Kiprah organisasinya mulai dikenal sejak tahun 1992 ketika ia terpilih
menjadi ketua pengurus wilayah NU Jawa Timur. Posisi ini mampu menjadi batu
loncatan bagi Hasyim untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1999.
Sebagai organisasi keagamaan yang terbesar di tanah air ini, NU selalu menjadi
daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun juga
menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim
tidak bisa mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat suami dari Hajah
Muthomimah ini pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986. Karena itu partai Islam hanya
diwakili satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, jabatan
sebagai ketua PBNU-lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan
83 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi Perjalanan KH. Hasyim
Muzadi, h. 196-198 84 Gerakan Pemuda Anshor merupakan lembaga otonom yang bergerak sebagai lokus
gerakan kaum muda NU. 85 Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki, pada hari selasa, 30 Juni 2009
45
publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan wilayah aktivitas
alumni Ponpes Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur namun
telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang dengan
modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam Malang
yang menampung ribuan santri.
Kiprah Hasyim dalam memimpin NU tidak kalah beratnya dibandingkan
dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Semisal, dibandingkan dengan
kepemimipinan Abdurrahman Wahid yang telah akrab dibanding Gus Dur, NU
dibawah kepemimpinannya terakhir berduet dengan KH. Ilyas Ruhiat, pengasuh
Ponpes Cipasung Tasik Malaya Jawa Barat sebagai Ra’is Aam harus berhadapan
dengan pressure penguasa Orde Baru. Sedangkan di era Hasyim Muzadi, tekanan
terhadap NU terjadi justru karena membela Gus Dur dari gempuran konspirasi elit
politik yang berupaya keras menggulingkannya dari kursi Presiden Republik
Indonesia. Pembelaan NU bukan semata-mata posisi Gus Dur sebagai presiden,
melainkan lebih memilih pada nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan Gus
Dur.86 Kedua pemimpin NU tersebut memiliki karakteristik pemikiran yang
berbeda pula. Ketika Presiden Gus Dur diguncang konspirasi elit politik mau tak
mau NU dibawah naungan Hasyim Muzadi ikut pula tergoyang. Begitu
goncangan semakin kuat, NU pun ikut tergoyang kuat. Namun, ketika Gus Dur
dilengserkan, NU harus bersikap tetap utuh dan bermakna sebagai perekat umat
dan bangsa. Sebagai penyangga yang kokoh bagi negara hukum dan pengawal
yang setia atas wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia.
86 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan,
kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.
46
Integritas Hasyim yang lintas sektoral diuji. Ijtihad politik pria berusia 60
tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan87 untuk menjadi calon wakil
presiden (cawapres) di pemilu 2004, yang merupakan bagian dari sosok dirinya
yang moderat. “saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama”,
ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Mega-
Hasyim.88 Walaupun tidak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah
Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum
Nahdliyin, Gus Dur. Bahkan langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah
menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama.
Namun, diatas segalanya, hanya Hasyim yang tahu persis, maka di balik langkah
politik menuju kursi kekuasaan yang dulu dirintisnya.89 Secara politis
kemenangan kubu Hasyim Muzadi sebagai pejabat PBNU tertransisi telah
mengerahkan pengaruhnya. Sebagai hal ini berhasil men-setting ulang posisi
politik organisasi yang didirikan KH. Hasyim Asyari dan kiai-kiai lain pada tahun
1926.
D. Karya-karya Hasyim Muzadi
Dalam penelusuran penulis, karya-karya Hasyim Muzadi tidak jarang
ditemukan dalam bentuk buku. Ada empat karya yang telah diterbitkan menjadi
buku. Buku yang pertama, Membangun NU pasca Gus Dur (Jakarta: Grasindo,
1999). Buku ini merupakan bangunan gagasan yang mencoba untuk melakukan
87 PDIP adalah Partai Demokrasi Indonesia Indonesia Perjuangan ini meminang Hasyim
Muzadi sebagai calon wakil Presiden pada pemilu 2004. 88 Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Muzadi, pada kamis, 2 Juli 2009 89 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan,
kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.
47
peneropongan dan terobosan baru terhadap organisasi yang digelutinya. Ide-ide
terkait pembangunan NU ia ulas dalam karya tersebut. Meski buku ini lebih tepat
dikatakan sebagai promosi gagasan untuk mencalonkan diri dalam Muktamar NU.
Kendati demikian, promosi karya ini menjadi sisi lain dari Hasyim yang juga
mengantarkannya menjadi orang nomor satu di NU.
Buku kedua, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa,
(Jakarta: Logos, 1999). Buku ini membahas sederet pelbagai persoalan yang kini
dialami NU. Dimana kelahirannya sebagai organisasi keagamaan dan banyak
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap meluasnya pengaruh gerakan
pembaharuan yang dimotori kelompok Islam modernis. Namun, lambat laun pada
perjalanan kemudian NU seakan tak sanggup mengelak dari tuntutan zamannya
yang menghendaki pengambilan peran aktif dalam wilayah politik, bahkan
terkadang mengharuskan bersinggungan dengan panggung elit kekuasaan-
kekuasaan.
Menyembunyikan Luka NU, (Jakarta: Logos, 2002). Buku yang ketiga ini
mengulas tentang peristiwa-peristiwa yang menimpa NU. Dimana salah satu
tokoh kader NU yakni Gus Dur secara mengejutkan telah terpilih menjadi
Presiden Republik ini. Sayang saat masa kepemimpinannya tidak berjalan lama
karena dikudeta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pengkudetaan Gus Dur
dari kursi presiden yang telah dilakukan oleh elit-elit politik berdampak trhadap
NU. Sebab peristiwa tersebut telah menyulut bara kemarahan warga NU di
berbagai daerah yang tidak terima akan pencopotan Gus Dur dari kursi presiden.
Pada saat itulah oragnisasi NU mendapat guncangan keras dari berbagai kalangan
48
non-NU dengan menuduh bahwa NU telah menyulut perpecahan di bumi perttiwi
ini.
Lewat karya tersebut Pak Hasyim mencoba mengurai persoalan yang telah
menimpa NU sebagai bagian dari bangsa yang juga memiliki tanggung jawab
akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain
kehadiran buku tersebut merupakan klarifikasi akan peristiwa-peristiwa yang telah
memojokkan NU sebagai kambing hitam dari perpecahan bangsa. Buku keempat,
Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa (Jakarta, 2004). Karya ini
menjelaskan tentang bagaimana membangun bangsa dan negara Indonesia yang
beradab, berkeadilan, bermartabat, dan religius. Selain itu, ia juga ingin mengajak
anak bangsa bersama-sama membangun Indonesia menumbuhkan rasa percaya
dan meninggalkan berbagai purbasangka yang hanya akan merugikan negara ini.
Dalam buku ini ia ingin menegaskan bahwa pembangunan bangsa tidak
bisa dipikul atau menjadi tanggung jawab satu kelompok saja, tapi harus menjadi
komitmen dan tanggung jawab segenap warga negara. Karya ini juga membahas
berbagai persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia dalam
melanjutkan proses pembangunan. Tak lupa bahwa buku ini lebih
mengetengahkan masalah-masalah sosial keagamaan yang tidak terlepas dari
kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat dan ulama.
49
BAB IV
PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG
PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
A. Pemikiran Pluralisme Hasyim Muzadi
Untuk mengawali uraian dalam bagian ini, penulis mengutip beberapa poin
dari salah satu tulisan Hasyim Muzadi yang mengatakan:
“Setidaknya ada empat pilar yang mendesak digarap dalam mukhtamar ini. Pertama, pilar pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Ini faktor mendasar. Ini betul-betul harus mendapatkan prioritas, ini bukan seperti NU ini meninggalkan pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Tetapi bagaimana cara beragama yang optimal fi al-dunya hasanah dan wafil akhirotil hasanah. Jadi bagaimana kita beragama melahirkan kesolehan pribadi dan kesolehan sosial. Bagaiman lahir generasi yang solihun lidinihi tetapi juga solihun lizamanihi. Soleh terhadap agamanya tetapi juga soleh terhadap tingkat perkembangan zamannya”.90
Selanjutnya ia mengatakan :
“Pilar kedua, perumusan dan pembakuan tentang hubungan agama dan negara. Embrionya sudah ada sejak muktamar ke-27 di Situbondo. Tetapi dalam konteks kekinian perlu ada penajaman kembali dan pengembangan lebih lanjut. Terutama dalam fenomena, dimana sekarang banyak ekstrimitas yang menggunakan label agama dan kemudian menciptakan disintegrasi antara agama dan negara. Dalam kondisi seperti ini, maka konsep NU yang terkenal moderat sangat relevan di dalam meletakkan agama dalam sistem pluralisme Indonesia. Tingkat moderasi NU dilihat dari kerangka ajarannya yang meletakkan hubungan agama dan negara yang substansial inklusif”.91
Disisi lain, Hasyim sebagai tokoh yang peduli dengan kondisi Indonesia dan
Islam tentunya memiliki pemikiran sebagai representasi dari pemikiran Islam
sekaligus yang membedakan antara pemikirannya dengan para pemikir lainnya
sesuai semangat zamannya, maka untuk memahami terlebih dahulu apa yang
90 Hasyim Muzadi, “Menggagas Kebangkitan NU Kedua”. Kompas, Selasa , 9 November 1999. h. 33
91 Ibid., h. 35
50
dimaksud pemikiran Islam alangkah baiknya jika menilik tulisan dari Muslim
Abdurrahman yang mengatakan:
“Berbeda dengan ulama yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”. Mereka, dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptualis tidak lagi mengalirkan pesannya yang mendasar dalam zaman yang baru. Orang-orang seperti ini (sebagai anak zamannya), sesungguhnya memiliki kreatifitas sejarah, yang dapat melakukan transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam iman dan pikirannya yang selalu berjuang melawan “formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang menempatkan iman hanya sebatas kegiatan rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan “strukturalisme” islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh pencarian ijtihad untuk menghidupkan inovasi, kreatifitas, dan perubahan”. Oleh karena itu, “Berpikir Islami” merupakan sebuah pencarian makna keIslaman yang masuk akal. Kitab suci al-Qur’an dan sunnah, bukanlah memuat gagasan yang serba ada, atau merupakan sebuah “impian surga” yang sudah sempurna. Hubungan kitab suci dan warisan tradisinya (turast) sebagai petunjuk kehidupan memerlukan pembacaan yang terbuka, karena kaum muslimin menjumpai zaman dan lokus kebudayaan yang berbeda-beda”.92
Selanjutnya mengatakan:
“Berpikir Islam yang terbuka dan berwatak transformatif, sekali lagi memang lain dibandingkan dengan semangat mencari “Jawaban Islam” yang khas untuk disandingkan dengan pemikiran yang lainnya sebagai alternatif. Dalam pemikiran Islam yang “bebas”, kaum muslimin diluar kesadaran komunitsnya harus benar-benar menjadi manusia, seperti halnya manusia yang lainnya, dengan kebebasan berpikir-sekuler. Kendatipun mereka betulk-betul hidup dalam suasana moral dan emosi spiritual yang religius, namun dalam bernegara, demokrasi, dan ber-civil society, tentu tidak harus mempertanyakan terlebih dahulu, adakah dan dimanakah rujukan agamanya, karena hal-hal seperti itu merupakan bagian dari komitmen nilai hudup bersama dengan orang lain dan tentu saja semata-mata merupakan wilayah politik yang imajinatif. Corak berpikir Islam seperti ini, adalah sesuatu yang seharusnya terjadi secara natural dan harus dilakukan. Pertama, karena imajinasi politik seperti itu memang merupakan kebutuhan kontemporer yang belum pernah terpikirkan oleh para pemikir Islam skolastik. Kedua, orang Islam sekarang hidup dalam peradaban yang kesadarannya tidak mungkin bisa dibatasi oleh entitas yang singular akibat munculnya gejala “pinjam-meminjam” gagasan kemanusiaan yang sangat terbuka dewasa ini. Oleh karena itu, tidak mungkin kaum muslimin hidup dalam syari’ah dan keumatannya sendiri
92 Muslim Abdurrahman, Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama
Membaca Realitas, (Jakarta: Airlangga, 2003). h. 39
51
tanpa mempertimbangkan dirinya dalam kehidupan individu dengan orang lain, dengan negara dan sebagai warga negara yang luas”.93
Dari tulisan di ataslah penulis terinspirasi dan bermaksud menjelaskan
posisi pemikiran (Islam) khususnya pemikiran Hasyim Muzadi, dan kemudian
yang ingin penulis pertegas terlebih dahulu adalah makna pemikiran Islam. Fakhri
Ali dalam salah satu tulisannya sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi
mendefinisikan pemikiran Islam sebagai “refleksi” intelektual yang sistematis
dalam menanggapi permasalahan individual, sosial-politik, ekonomi dan
kebudayaan dari perspektif ajaran Islam.94
Definisi tersebut dapat kita terima dengan dua catatan. Pertama, bahwa
pemikiran Islam tersebut tidaklah terkooptasi atas kepentingan tertentu serta
sebagai suatu yang memang terbuka menerima ruang dialog terhadap bentuk
perubahan yang berlangsung. Kedua, menjadikan pendidikan sebagai basis
perubahan, di mana pendidikan yang matang akan melahirkan intelektual Muslim.
Hasyim dikenal sebagi sosok kiai yang memposisikan dirinya sebagai
seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal
“nasionalis dan pluralis”.95 Hasyim Muzadi mengatakan bahwa munculnya
konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga
pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang
harus diselesaikan. Bila menyangkut konflik menyangkut antar agama, ia
mengatakan NU telah melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin
93 Ibid., h. 47 94 Ihsan Ali Fauzi, “ Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an”, (Bandung : Prisma,
Edisi 1991). h. 31 95 Diakses dari Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Hasyim_Muzadi.
52
masalah itu diselesaikan hanya dengan peran satu kelompok saja. Bila konflik itu
ingin dituntaskan, maka harus melibatkan keduanya itu.96
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya WTC 11 September 2001 yang
memunculkan tuduhan AS langsung terhadap gerakan Al Qaeda sebagai
pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait
dengan jaringan Al Qaeda posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan.
Namun hal itu bukan berarti persoalannya selesai. Hasyim Muzadi memiliki
pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan
perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya
komunikasi dengan duni luar secara intensif, tak terkecuali dengan AS. Makin
banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indoinesia
dengan internasional dan AS, maka hal itu makin positif. Apalagi, ditengah
keterpurukan ekonomi, sosial dan keamanan di Indonesia saat ini kerjasama
internasional jauh lebih berfaidah dari pada keterasinagan internasional.97
Selanjutnya sebagi respon tindak lanjut dari pernyataan Hasyim di atas, ia
pun menjadi tokoh yang mendapat undangan pemerintah AS untuk memberi
penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup
gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat
gambaran langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga
besyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam
Indonesia kepada pihak luar. Beliau memberikan gambaran bahwa, umat Islam di
96 Diakses dari http://gp-ansor.org/?pageid+115 97 Ibid., h. 57
53
Indonesia itu pada dasarnya moderat bersifat kultural, dan domestik, serta tak
kenal jaringan kekerasan internasional.98
Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, betapa pun jumlah dan
kekuatannya Cuma segelintir, Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya
harus tidak sembarangan. Tidak boleh sekali-kali menggunakan represi. Bukan
hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS
bertindak, seperti dilakukannya di Afganistan atau negara-negara Timur Tengah,
dengan intervensi langsung, hasilnya bisa ruyam. Indonesia tidak bisa dipukul rata
dengan timur tengah atau negara-negara lain.99
Selanjutnya Hasyim menyarankan, alternatif pendekatannya jika represi
ditanggalkan adalah supaya pendekatannya dengan cara pendekatan pendidikan.
Kultural, dan sosial problem solving. Dengan cara demikian, maka gerakan-
gerakan kekerasan akan hilang.100 Pada kesempatan lain ketika terjadi konflik
Sunni-Syi’ah yang terjadi di Jawa Timur, Hasyim berpesan agar kelompok tetap
pada keyakinan masing-masing, serta tetap menjaga keseimbangan dan toleransi
kepada kelompok lainnya.101 Itulah sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black
September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika, yang menempatkan
umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini,
tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasioanal bawa umat
Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural dan tidak memiliki
jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh
98 Ibid., h. 46 99 Ibid., h. 48 100 Ibid., h. 51 101 Diakses dari www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-
syiah-jawa-timur-dipicu-provokator.htm,
54
umat di Indonesia yang dijadikan referensasi oleh dunia barat dalam menjelaskan
karakteristik umat Islam di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan penulisan pemikiran pluralisme keagamaan
Hasyim Muzadi, penulis menemukan paling tidak ada tiga pandangan penting
beliau yang bisa ditangkap, yaitu prinsip Islam Rahmatn Lil ‘Alamin sebagi solusi
alternatif atas persoalan bangsa dan dunia selama ini, pendekatan dialog
peradaban, dan pluralisme sebagai Humanisme.
1. Islam Rahmatan lil Alamin
Warna keberagamaan (Islam) yang “khas” masyarakat di Indonesia tengah
menghadapi gugatan dengan kehadiran penomena radikalisme beberapa tahun
terakhir ini. Ditengah serbuan berbagai arus informasi, pemikiran dan idiologi
yang masuk ke nusantara, saatnya NU sebagai organisasi yang sejak awal
menempatkan diri sebagai subyek kebangsaan dengan misi sosial keagamaan yang
memiliki ciri fakih fi mashalalihi-l-khalqi yakni yang selalu berpikir tentang
kemaslahatan umat manusia merekonsepsi ulang gerakannya. Sejak berdiri tahun
1926 permasalahan yang menjadi tantangan NU adalah tantangan global yaitu
dengan bangkitnya faham fundamentalisme agama dengan menggunakan baju
wahabi dan puritanisme, dan kolonialisme yang merajarela dengan
mengeksploitasi kekayaan bangsa-bangsa muslim dengan gagasan modernisasi
dan liberalisasi sebagai pintu masuknya.
Dalam menjembatani persoalan tersebut, ada satu harapan besar dari publik
agar Islam Rahmatan lil al’amin dapat diterjemahkan dalam sosial
kemasyarakatan khususnya dalam hal kontribusinya sebagai penyelesai konflik
55
global yang terjadi selama ini yang berpengaruh terhadap sistem dan sendi
kehidupan. Dalam pandangan Hasyim Muzadi, agar Islam bisa mewujud menjadi
Islam yang rahmatan lil ‘alamin harus bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam
dalam menyelesaikan konflik global hendaknya mengutamakan pendekatan
dialog. Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan
ketakwaan dalam arti agama hendaknya diposisikan dalam dimensi kemanusiaan
secara proporsional yang nantinya akan membentuk keshalihan sosial bukan
keshalihan individual. kedua hal tersebut pada tataran praktisnya saling berkait,
saling mengisi yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya.102
2. Pluralisme Teologis dan Sosiologis
Menurut Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul
Ulama di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis.
Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan
atau keyakinan "tahu campur" dalam agama. Konsep pluralisme kembali marak
dibicarakan menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.
Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual adalah hak original agama
masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas
agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan
waktu yang bersamaan.
102 Muslim Abdurrahman, Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, h.
103
56
Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan "umat" beragama
dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka
Tunggal Ika atau unity and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan
ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.
Menurut Hasyim, hal yang ia sampaikan mengenai pluralisme itu telah
disampaikan dan disepakati melalui utusan ICIS saat berada di Vatikan, Wina,
WCC/Kristen di Porto Alegre Brazilia dalam Assembly ke-9 tahun 2006, dan
dengan Katolik Ortodox di Moskow dan para biksu di Thailand.103
3. Pendekatan Dialog Peradaban
Pertengkaran yang terjadi antara dunia Timur dan Barat terutama pasca
terjadinya serangan WTC yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab telah menumbuhkan keprihatinan dari berbagai kalangan. Muhadjir Darwin
berpendapat, posisi dan peran agama menjadi serba paradoks jika persoalannya
diperluas dalam isu-isu demokrasi, humanisme, dan semacamnya. Belum lagi
persoalan pluralitas dimana yang cara anti-pluralitas yang dibawa karena politik
maka yang terjadi kemudian adalah perilaku yang ekslusif, yang cenderung
mendiskriminasikan terhadap hak politik warga negara lain yang mempunyai
agama yang berbeda.104
Karena itu, Hasyim berinisiatif melakukan sebuah upaya tertentu perlu
diusahakan untuk meredam konflik kedua belah pihak. Sejumlah konsep
diusahakan untuk mengatasi ketegangan tersebut. Untuk mencapainya dari pihak
Islam dan kaum muslimin harus berani melakukan terobosan-terobosan yang lebih
103 Hasyim Muzadi, Diakses dari http://www.nu.or.id/show/pages/625.html 104 Muhadjir Darwin, Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas Agma
dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press). h. 31
57
berani, yakni salah satunya, agama harus dikembalikan pada kedudukannya yang
sebenarnya yakni sebagai pemersatu umat. Agama itu hadir tidak dipakai tujuan-
tujuan kekerasan. Artinya agama harus dikembalikan ke rahmatan lil ‘alamin
yaitu menjadi pedoman kehidupan yang penuh rahmat dan kasih sayang. Disinilah
pentingnya dunia silam berkesempatan untuk menata diri.
Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang paling awal dilakukan menurut Hasyim Muzadi, adalah melalui ma’ruf dan nahi munkar. Akan tetapi ketika gairah untuk nahi munkar naik, amar ma’ruf sering kali tertinggal atau bahkan energi hanya terkonsentrasi untuk nahi mukar saja. Inilah yang kemudain melahirkan persoalan baru yang mengarah memunkar-kan hal baru. Atau justru me-makrufkan sebuah kemunkaran orang yang munkar, karena salah sasaran.105
Ada suatu pendapat yang dikemukakan Imam al-Ghazali didalam kitab
Ihya’ Ulumuddin, yang diadopsi pemikirannya oleh Hasyim Muzadi, bahwa Amar
ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-amr bi al-ma’ruf dan adab
al nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika yang disampaikan oleh al-Ghozali. Salah
satunya adalah memerintahkan orang untuk berbuat baik dan mencegah berbaut
jahat jangan sampai menimbukan kemungkaran yang lebih besar. Fikih Islam
mengenal “akhaffu aldhararain”. Maksudya, dalam kondisi yang dilematis,
dimana pilihan-pilihan untuk beramal semuanya buruk maka yang dipilih adalah
yang lebih sedikit bahayanya. Demikian dijelaskan oleh Ulil Abshar Abdala. Dari
dua konsepsi fikih diatas menurut penulis, Hasyim berusaha mewujudkan sikap
pluralis terutama dalam upaya mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.
Dalam usaha mewujudkan usaha diatas, Hasyim menggelar sebuah Konferensi Internasional Ilmuan Islam Sedunia yang bekerja sama dengan Departemen Luar Negri RI. Hasyim berhasil menghimpun seluruh tokoh pemikir Islam Internasional, ulama, dan dunia barat untuk duduk dalam satu forum (majlis) membicarakan persoalan umat manusia. Kegiatan tersebut bertajuk Internasional Conference Of Islamic Scholar atau Konferensi
105 Ibid., h. 44.
58
Internasional Ilmuan Islam yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC) tanggal 23-26 Februari 2004, Hasyim menghadirkan 300 ilmuan dengan 120 diantaranya uandangan berasal dari luar negri. Dua puluh orang dan yang separuh diataranya merupakan tokoh dunia ditampilkan sebagai pembicara.106
Menurut Hasyim, diharapkan dengan konferensi itu bisa meredakan
ketegangan antara dunia Timur dan Barat, dengan tujuan untuk menata uamt
Islam secara internasional dan melahirkan pemikiran khusus, khususnya dibidang
pendidikan, ekonomi dan media.107 Acara yang digagas Hasyim ini adalah
kegiatan society to society antara jam’iyah satu negara dengan jam’iayah negara
lain dengan melibatkan tokoh dunia baik sebagi perorangan maupun sebagi
lembaga. Hal itu dilakukan dalam kerangka untuk menghindari tarik menarik
kepentingan. Sebab konflik-konflik yang mengunakan Islam itu jarang sekali yang
murni dari agama. Biasanya suatu negara dengan negara lain yang kebetulan umat
Islamnya banyak berperang dimana umat bernegara tersebut ikut terlibat maka
agamanya juga ikut sertakan. Dengan hanya dihadiri oleh ulama’ dan tokoh
pemikir berkumpul Hasyim ingin meletakan agama, sebagai sumber nilai
kemanusiaan, sumber persatuan dan ilmu pengetahuan serta menjadi rahmat bagi
seluruh alam.108
Pemahaman seperti itu bukan berarti secara otomatis memisahkan antara
agama dan negara, tetapi dimaksudkan supaya orang melihat hubungan antara
keduanya secara propesional. Pemisahan agama dan negara merupakan konsep
yang masih pro-kontra, walaupun seyogyanya harus dapat dibedakan antara posisi
dan peran masing-masing.109
106 Ibid., h. 45. 107 Ibid., h. 57 108 Ibid., h. 46. 109 Ibid, h. 47.
59
Sesuatu yang hendak dikonsepsikan Hasyim Muzadi sebenarnya hanyalah
sederhana. Bagaimana umat Islam ini menjadi lebih cerdas dalam menangani
setiap permasalahan yang muncul. Karena didalam situasi kemelut apapun justru
yang lebih banyak adalah pihak-pihak yang menumpang dengan berbagai
kepentingan, dan kemudaian menyerang Islam itu sendiri. Analisis seperti ini
jarang dikatakan orang. Dalam stesel hubungan antara Barat dan Timur sejak
terjadi ketegangan, dan dalam dunia pergaulan yang acak itu, membuka leher
kemungkinan orang untuk menumpang kepentingan dalam mengacak-acak Islam.
Maka agar tidak bisa di acak-acak dari luar, hendaknya umat Islamnya sendiri
harus melihat kedalam dan bertindak dengan logika yang cerdas, sehingga kalau
ada serangan yang bersifat arogan pasti akan dapat diketahui sejak dini.
Sebaliknya jika pada saat umat Islam sendiri arogan, maka hal itu dijadikan
sertifikasi serangan orang ghairu Islam yang lebih hebat lagi.110
Yang sangat ditekankan disini menurut penulis adalah bahwa pluralisme
dapat dipahami bukan sebagai suatu yang netral. Ia tidak mengandaikan kita untuk
selalu permisif tanpa ada keberpihakan yang jelas, misalnya terhadap semangat
toleransi. Dalam Islam, memang sering ditantang dengan pemikiran semacam ini.
Pada saat kunjungan ke Amerika, yang paling mengesankan bagi Hasyim
Muzadi adalah ketika bertemu staf keamanan Presiden Amerika Serikat (Steve
Hadley) yang berkantor di gedung putih kemudian beliau berdua berdiskusi,
dalam diskusi tersebut Hasyim Muzadi, mengatakan bahwa Islam di Asia
Tenggara jangan disamakan dengan Islam Timur Tengah. Karena Islam yang di
Timur Tengah wawasannya fundamental selain negerinya sering “diobok-obok”
110 Ibid., h. 48-49.
60
Barat seperti dalam konteks Israel. Sehingga timbul perlawanan double,
perlawanan sebagai beda agama dan perlawanan terhadap imperialisme dan
fasisme.111 Maka kalau disana terjadi kekerasan-kekerasan, itu masuk akal. Kalau
di Asia Tenggara tidak demikian, dan tidak ada penekanan dari Barat, tidak ada
urusan langsung dengan Israel, dan sebagainya. Disitu terjadilah diskusi bahwa
Amerika kalau melakukan intervensi terhadap Indonesia maka kerugian ada pada
pihak Amerika untuk jangka panjang, sekalipun untuk jangka pendek merugikan
Indonesia.112 Maka kalau Timur Tengah dalam suasana perang mungkin banyak
pihak mengatakan sebagai suatu kewajiban. Dalam suatu perang yang demikian
itu , dalam Islam ada hukumnya sendiri. Dalam suasana perang disitulah tidak ada
jalan lain kecuali melawan dan jihad dengan mengangkat senjata, sehingga
melahirkan gerakan radikal dan fundamentalis yang sangat kuat. Disini
(Indonesia) maka dalam kenyataannya tidak ada perang. Perang yang demikian
memerangi siapa? Semuanya menjadi tidak jelas. Sebagian kelompok melakukan
kekerasan itu dengan dalih menegakan jihad. Padahal sebenarnya pengertian jihad
yang komprehensif tidak demikian. Apa pun yang dilakukan untuk kepentingan
agama mengandung arti jihad. Berani mati itu memang jihad, namun hidup
berkeadilan, hidup halal, dan hidup hidup makmur juga bagian dari jihad
fisabilillah.
Jadi apa yang diharapkan dengan dialog Timur dan Barat adalah upaya
penghentian kekejaman. Tapi kita menyelesaikan juga orang-orang yang telah
membuka kekejaman itu. Oleh karena itu perlu dihindari sumber-sumber konflik
111 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance
(Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004)., h. 142. 112 Ibid., h. 145
61
dan kembalikan agama harus dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya sebagai
rahmat bagi seluruh alam baik alam Timur maupun alam Barat.
Agama yang membawa rahmat tentunya bertumpu pada ajaran dan konsepsi
takwa secara tepat. Takwa adalah modal utama hidup di dunia untuk menuju
baldatun toyyibatun warobbun ghofur.
4. Plularisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme
Secara objektif fakta dilapangan menunjukan bahwa, bangsa ini dalam
kondisi pecah belah kerusuhan dan konflik berkepanjangan yang hampir tiada
ujung. Wilayah Indonesia yang begitu luasnya terdapat sejumlah daerah yang
sampai hari ini masih dalam situasi konflik berkepanjangan, mulai dari konflik
sara, etnis, separatisme dan juga konflik-konflik politik serta agama. Misalnya
bisa disebutkan sejumlah daerah yang menjadi titik rawan konflik seperti Aceh,
Maluku, Ambon, Kalimantan Timur, Papua Irian Jaya, Makasar, dan sebagainya.
Komitmen dan konsepsi Hasyim Muzadi berkaitan dengan fenomena keagamaan
akan dijelaskan pada bagian berikut.
a. Dimensi Humanisme Dalam Agama
Pluralisme keberagamaan Indonesia dalam pandangan Hasyim sebagaimana diungkapkan Anshori adalah bagaimana agama-agama menampilkan dimensi kemanusiaannya yaitu hidup berdampingan berkembang diatas fundamen tradisi agama yang saling menghormati, tradisi gotong royong, tradisi musyawarah dan dialog serta budaya santun. Secara lebih spesifik pada bahasan ini akan disampaikan bagaimana pandangan Hasyim Muzadi dalam melihat hubungan Islam dengan agama-agama lain dalam wacana pluralisme agama.113
Menurut Hasyim, bahwa pertemuan-pertemuan yang sifatnya
musyawarah sebagai bentuk dialogis antara umat beragama merupakan
113 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance., h. 54.
62
sesuatu yang sudah mentradisi pada jama’ah warga NU di Indonesia. Warga
NU sudah terbiasa melakukan pertemuan bersama teman-teman dari
Kristen dan Katolik terutama pada hal-hal yang harus diselesaikan bersama-
sama. 114
Sejumlah perubahan telah terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan
intensitas yang cukup dalam memperat tali dialog dengan umat semua
agama bahkan hampir setiap minggu dilakukan dialog dengan Kristen,
Katolik, Budha, Hindu, Konghucu untuk membicarakan hal-hal yang
menyangkut kepentingan dan hajat hidup bersama.
Hasyim Muzadi berpandangan bahwa agama Islam itu mempumyai tiga
bagian, yakni masalah teologi atau keimanan, masalah ibadah ritual, dan
masalah humanisme (kemanusiaan). Yang membedakan antara Islam dan
agama lainnya adalah tentang teologi dan ritual keagamaannya. Demikan
dijelaskan Anshori.115
Pada aspek nilai-nilai kemanusian semua agama mengakuinya sebagai
hal yang bernilai universal dan harus dijunjung tinggi dengan tanpa pandang
bulu. Hubungan kemanusiaan yang sudah terbangun tidak boleh rusak
hanya karena perbedaan teologi dan ritual. Itulah mungkin yang
membedakan NU dengan ormas Islam laninnya. Untuk masalah-masalah
humanisme (kemanusiaan), yang meliputi konsepsi persaudaraan, keadilan,
persamaan kemakmuran, cinta kasih, toleransi, kerjasama, dan juga anti
kekerasan semua menjadi tanggung jawab bersama. Prinsip dimasud adalah
114 Ibid., h. 55. 115 Ibid., h. 63.
63
nilai-nilai kehidupan yang universal yang juga dikehendaki oleh agama-
agama lainnya tidak terbatas hanya bagi umat Islam semata.
Menurut Hasyim, siapa yang mempunyai pandangan yang sama
terhadap nilai humanisme ini adalah saudara kita. Kemudian jika
menginginkan ber-Islam, dia cukup melakukan ritual dan keimanan.
Menurut Hasyim pula keimanan tidak mungkin dipaksakan. Ritual adalah
sesuatu yang berada diluar akal kita, karena bentuk dan metodenya telah
ditentukan Tuhan.116
Menurut penulis, pemikiran Hasyim Muzadi dapat dipetakan sebagai
berikut :
Pertama, Hasyim Muzadi dibesarkan dalam tradisi pesantren sehingga
nalar politiknya tidak begitu nampak dalam kehidupannya, akan berbeda
halnya jika semisal dia dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan politisi.
Akan tetapi karena sejak mahasiswa beliau sudah aktif di organisasi dan
selanjutnya semakin matang maka selanjutnya publik memepercayainya
untuk duduk di DPRD Jatim dan selanjutnya memimpin PWNU Jatim.
Kedua, meskipun Hasyim Muzadi pernah menjadi salah satu kandidat
cawapres mendampingi Megawati yang diusung oleh PDIP dalam pemilu
tahun 2004 yang lalu namun bukan berarti beliau mewakili kalangan politisi
tetapi karena semata-mata menjawab kebutuhan warga NU yang
menginginkan figur alternatif dimana PKB sebagai partai yang mayoritas
warga Nahdliyin ternyata belum sepenuhnya mampu mengakomodir
kepentingan warga NU.
116 Ibid., h. 56.
64
Ketiga, dalam praksisnya Hasyim yang berlatar belakang pesantren
sangat konsisten mengkampanyekan gerakan-gerakan yang mengarah pada
upaya dialog antar kelompok dengan seringnya mengadakan agenda yang
melibatkan antar kelompok yang bertaraf nasional maupun internasional
seperti dialog ulama Sunni-Syi’i yang berlangsung di Bogor, disamping itu
posisi beliau sebagai presiden Word Conference on Religion for Peace
semakin mengukuhkannya sebagai salah satu tokoh sekaligus pemimpin
ormas keagamaan yang memiliki kepedulian yang kuat akan kondisi sosial-
keagamaan yang mengarah pada pluralitas. Hal ini membuktikkan bahwa
posisi pesantren memiliki peran strategis dalam turut mendorong kearah
kesadaran akan kemajemukan yang tidak hanya pada keagamaan suku,
etnik, golongan, melainkan juga dalam dunia religius.
b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain
Hasyim Muzadi berpendapat bahwa kerjasama antara agama dapat
dilakukan pada dimensi humanisme. Sementara dalam soal keyakinan
diperselisihkan berbeda. Tapi baik Islam maupun Kristen tentu tidak tega
melihat rakyat menderita. Pada titik inilah perlu dibangun kerjasama, bahu
membahu satu dengan yang lainnya tanpa membedakan keyakinan yang
satu dengan keyakinan yang lainnya.
Karenanya bisa dimengerti bahwa untuk masalah hubungan NU dengan
agama-agama lain sangat baik dan sejati. Jadi bukan hubungan yang “pura-
pura” dan penuh dusta. Apalagi di Indonesia, suatu negara yang tidak
pernah mengalami tekanan antar agama. Mungkin berbeda dengan Timur
65
Tengah yang menggunakan tema agama dalam kekerasan. Di Indonesia, ini
semua tidak ada kesulitan yang berarti untuk hubungan antar agama.
Kebebasan menjalankan agama dan ibadah dijamin oleh negara.
Selama ini diakui ada kasus-kasus yang menghambat kerukunan antar
umat beragama di Indonesia. Tetapi hal ini tidak disebabkan oleh
pemahaman NU terhadap Islam. Kemungkinan kasus-kasus itu disebabkan
oleh masuknya pemikiran-pemikiran keras berasal dari luar Indonesia.
Demikian pula adanya kesenjangan ekonomi dan konflik budaya setempat
atau perlawanan terhadap pemerintah, sehingga gerakan-gerakan itu
terkadang juga menimbulkan akses bentrokan antara agama. Hal demikian
ini hanya merupakan sebagian kecil dan dapat diselesaikan oleh Nahdlatul
Ulama (NU) melalui peran ulama yang ada.117
Faktor lainnya yang menyulut konflik adalah pengaruh kelompok-
kelompok tertentu yang masuk ke Indonesia sebagai barisan pendatang.
Inilah sebagian minoritas yang tidak menyukai Nahdlatul Ulama (NU) yang
selama ini menjadi nilai ditengah-tengah umat Islam di Indonesia. NU
dianggap terlalu kompromistis, terlalu baik terhadap semua agama dan
mempunyai toleransi yang terlalu berlebihan terhadap budaya lokal (local
wisdom). Bahkan pada akhirnya mereka ini mengklaim NU sebagai bid’ah,
khurafat dan tahayyul.118
Kelompok ini kemudian mencoba melakukan purifikasi (pemurnian).
Purifikasi ini berkiblat pada realitas Islam di Timur Tengah masa lalu
(klasik). Sehingga semua harus dikembalikan kepada masa lampau. Mereka
117 Ibid., h. 57. 118 Ibid., h. 57-58
66
tidak mentolelir konsepsi humanisme itu berdasarkan yang kental dengan
nilai lokalitas budaya. Sehingga semuanya cenderung dianggapnya
bertentangan dengan teologi. Inilah yang kemudian bersambung dengan
kelompok-kelompok dari luar. Demikian penjelasan Anshori.119
Menilik dari kenyataan sejarah bahwa, walisongo bisa mengislamkan
orang Indonesia 90% tanpa perang. Hal inilah yang menjadi pertanyaan
dalam konteks perkembangan NU hingga sekarang, bagaimana NU tidak
terlibat dalam kekerasan dan selanjutnya bagaimana sikap NU terhadap
kekerasan dan terorisme internasional. Kenyataan tersebut dapat dipakai
untuk mensosialisasikan khittah. Islam yang rahmatan lil ‘alamin dibangun
dari mabadi’ khoira ummah, sementara politik secara nasional harus
mengandung landasan konsep mengayomi dan merekonstruksi dari civil
society. Negara dibangun melalui pluralisme, demokrasi dan konstitusi yang
disepakati bersama, dan di NU sudah memadai semua nilai itu didalam
“rahim jama’ah”. Mereka menginginkan islam di dunia seperti Islam nya
NU. Bagaimana pendiri NU menangkap ide walisongo lalu dijabarkan
dalam konteks negara Indonesia. Posisi NU hari ini sudah berada pada
maqaamam mahmuda, tetapi untuk sampai kesana Hasyim bilang, NU haus
berada diatas semua golongan.120
Dalam kaitannya dengan hubungan dunia timur dan barat sekarang ini
dari dua belah pihak (Islam dan Barat) terjadi sebuah kerancuan. Negara-
negara barat menuduh bahwa terorisme terkait dengan agama Islam.
Sementara kelompok muslim sendiri, punya persepsi seakan-akan perbuatan
119 Ibid., h. 58 120 Ibid., h. 59
67
itu harus dibela melalui agama. Kedua persepsi demikian itu tidak ada yang
benar. Seperti halnya tragedi Bali harus dilihat sebagai kejahatan
kemanusiaan, sehingga pelaku yang tertangkap perlu diterapkan hukuman
yang setimpal dalam arti mengadili kejahatan kemanuisaannya itu sendiri.
Hasyim Muzadi mengingatkan kepada semua pihak agar berhati-hati
dalam menyikapi dan penuh kewaspadaan terhadap munculnya konflik
ditengah masyarakat. Aparat yang berwenang harus cekatan. Kemungkinan
ada provokator yang membenturkan umat antar agama. Hal yang perlu
dikhawatirkan adalah munculnya kejahatan kemanuisaan dan kemudian
dihubungkan dengan agama. Jika demikian maka masalahnya akan menjadi
besar. Misalnya kasus bom Bali sungguh merupakan kejadian yang luar
biasa. Siapa pun pelakunya perlu dikutuk, karena sudah sangat tidak
mempertimbangkan nyawa. Dalam Islam, membunuh seorang sama dengan
membunuh seluruh manusia. Dalam ajaran agama manapun termasuk Islam
tidak terdapat ajaran yang membenarkannya. Peristiwa diatas tidak boleh
dikaitkan dengan agama yang kemudian akan terjadi konflik antar agama.121
Menurut penuturan Anshori, Hasyim Muzadi telah menegaskan, NU
sudah mencoba berbagai upaya agar berbagai konflik di daerah tidak
dipersepsikan sebagai konflik yang berdasar agama. Dalam menerangi dan
mengantisipasi gejala terorisme, Hasyim Muzadi meminta semua pihak,
agar tidak terjebak memakai kata jama’ah Islamiah. Konsep jama’ah
Islamiah ditakutkan akan menjadi konsep pukul rata semua jama’ah yang
berarti komunitas atau kelompok yang memegang teguh Islam sebagai
121 Ibid., h. 62.
68
agamanya dan melakukan dakwah-dakwah disemua tempat. Jika konsep ini
dipukul ratakan maka mengandung implikasi jama’ah umat islam dari
berbagai tempat terkena klaim sebagai barisan teroris, tidak terbatas
kelompok Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, dan kawan-kawan, namaun juga
jama’ah NU, Muhammadiah, al-Irsyad dan sebagainya terkena stigma dan
image bahwa mereka adalah teroris.122
Dalam upaya memerangi dan mengantisipasi terorisme secara bersama-
sama, Hasyim Muzadi melakukan silaturahmi bersama sejumlah delegasi
dari mancanegara, mereka menilai, NU tidak hanya merupakan kelompok
Islam moderat, tetapi juga sebagai titik temu sejumlah elemen bangsa.
Untuk itulah mereka datang ke Hasyim Muzadi karena membutuhkan
pemikiran-pemikiran dari NU terkait terorisme. Disitulah dihasilkan
kesepakatan dan persetujuan bahwa terorisme adalah persoalan serius
sehingga perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Apapun bentuk dan
alasannya, para pelaku aksi terorisme adalah pembunuh dan penjahat dalam
artian umum yang tidak mewakili agama apapun.
Memang berat perjalanan NU dimasa Hasyim Muzadi dimana ancaman
bertubi-tubi datang silih berganti yang jikalau NU sebagai jam’iyyah tidak
kokoh memperkuat diri maka Indonesia sebagai negara dan bangsa akan
hancur, karena bagaimanapun diakui atau tidak organisasi yang tetap
konsisten mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia adalah
NU.
122 Ibid., h. 63
69
Menurut Hasyim, Kalau NU ingin istiqamah, mencapai maqaamam
mahmudah. Maka untuk mencapai itu, ada beberapa pokok yang harus
dilakukan NU. Pertama, kembali pada metode assalafus saleh. Kedua,
harus dibangun ukhuwah Nahdliyah untuk menempatkan NU sebagai milik
Indonesia. Ketiga, keretakan dari umat Islam harus disambung kembali,
seperti dengan Muhammadiyah termasuk dengan ikhwan, sementara itu
ukhuwah wathaniyah yang retak harus disambung lagi. Keempat, awal 2000
sampai 2001, kalau bisa dibangun ukhuwah islamiyah
internasional.123Sampai hari ini NU sebetulnya belum menemukan bentuk
formasi ideal sebagai sebuah jam’iyyah yang mencerminkan organisasi
dengan pengikut terbanyak yang turut membawa kepentingan besar dalam
menentukan masa depan bangsa dan negara indonesia. Organisasi yang
diidealkan oleh warga NU adalah organisasi politik yang mampu
berkompetisi (berdaya saing) dengan organisasi politik yang lain dalam era
demokrasi sejati dan pemikiran abad kontemporer ini. Untuk itu, NU tidak
bisa disamakan dengan partai NU zaman dahulu. Sebab dimungkinkan
disitu ada ulama-nya yang bertugas menunggui, dan pengurus yang lain
adalah orang yang profesional pada bidangnya, sehingga mampu melahirkan
politisi dan berkembang menjadi negarawan.
B. Pandangan Hasyim Muzadi Terhadap Fatwa MUI
Pada saat MUI dalam musyawarah nasional-nya yang ke VII yang
berlangsung di Jakarta pada tanggal 26 sampai 29 juli 2005 yang mengambil
123 Ibid., h. 113.
70
keputusan dengan mengeluarkan beberapa fatwa yang amat kontroversial
terutama yang terkait dengan diharamkannya pluralisme, sekularisme, dan
liberalisme agama yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama islam. Hasyim
pun menyayangkan langkah yang ditempuh MUI dengan mengeluarkan fatwa
yang justru memicu persoalan baru. Menurut Hasyim, fatwa MUI itu merupakan
langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama.124 Ia menyatakan seperti
itu menurut penulis karena selama ini belum ada kata sepakat yang bisa jadi
karena perbedaan persepsi tentang definisi pluralisme, sekularisme, liberalisme
serta dampaknya terhadap islam di indonesia yang bisa-bisa justru memunculkan
gerakan baru yang mengarah kepada upaya formalisasi agama yang tentunya akan
terkait dengan konsep relasi agama-negara. Menyinggung prinsip hubungan
agama dengan negara, Hasyim menyebut agama substansialis yang inklusif, buka
ekslusif. Formalis ekslusif hanya akan memecah belah bangsa ini dalam hal
kerukunan umat beragama atau pertikaian antar suku dan budaya yang lain.125
Menurutnya :
“Jadi, bagaimana inklusifisme itu menjamin fluralisme, dan agama bisa berjalan dengan baik. Sudah ada paradigmanya tinggal mengembangkan saja”126
Di sisi lain munculnya fatwa MUI menjadi sangat memprihatinkan pada
saat tokoh-tokoh agama sedang giat-giatnya membangun sistem keagamaan yang
toleran, yaitu dengan upaya penghargaan terhadap kenyataan yang ada serta
menjungjung tinggi terhadap agama-agama maupun paham keagamaan yang di
dalamnya demi setabilitas bangsa serta diakuinya eksistensi, harkat dan martabat
bangsa Indosnesia di hadapan bangsa lain. Dengan kasus yang muncul di Ambon,
124 Kompas, 30 Juli 2005. 125 http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html. 126 Ibid., h. 72
71
Bali, dan daerah-daerah lain yang kasusnya hampir serupa tentunya mengundang
keperihatinan dunia internasional terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia.
Dengan keragaman tersebut jika dikelola dengan baik maka akan menghasilkan
keunikan yang diharapkan akan menjadi potensi positif tersendiri dan akan
menjadi ciri khas yang akan membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa
lainnya.
Namun ketika MUI memfatwakan tentang diharamkannya paham
pluralisme, sekulerisme, libralisme maka seperti menjadikan persoalan lama
dipaksakan untuk dimunculkan kemabli. Hal tersebut juga dinilai bertentagan
dengan ajaran Islam seperti dalam QS. A l-Baqoroh (2): 256 yang berbunyi la
ikraha fi ad-din yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama, munculnya
fatwa tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya pemahaman akan
kenyataan keragaman yang ada di Indonesia serta mengingkari sunatullah akan
kenyataan adanya perbedaan. Di sisi lain munculnya fatwa tersebut tanpa disadari
atau tidak justru akan menciptakan friksi baru di kalangan masyarakat bahwa
yaitu terkelompokannya antara yang pro dan kontra terhadap fatwa MUI tersebut
yang tentunya akan menambah beban tersendiri dalam upaya menciptakan
stabilitas bangsa melalui semangat pluralitas yang dibangun oleh beberapa tokoh
termasuk Hasyim Muzadi.
C. Komitmen Menjaga Pluralitas Kebangsaan
Dalam kurun tiga dasawarsa terakhir di penghujung abad ke-20, tuntutan
demokratisasi menggelinding secara massif di dunia internasional. Menguatnya
tuntutan ini lantaran demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk
72
mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal.
Demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk mengantarkan
masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi
dipandang lebih mampu mengangkat harkat, martabat kemanusiaan, lebih
rasional, dan lebih realistis, untuk mencegah munculnya kekuasaan yang
dominan, represif, dan otoriter.127
Dalam pandangan Hasyim Muzadi, demokrasi adalah sistem politik yang
paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Fakta sosiologis
menunjukkan, Indonesia adalah bangsa yang mengandung keberbagaian etnik,
kultur, agama, dan kepercayaan. Paling tidak, menurut Hasyim, ada dua nilai
fundamental yang secara inheren terkandung dalam demokrasi. Pertama, nilai
keadilan. Demokrasi mengandung tata nilai keadilan yang menjadi kebutuhan
fundamental seluruh umat manusia yang terekspresi dalam bentuk pemberian
kesempatan dan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk
mengembangkan talentanya tanpa perlu merasa khawatir adanya diskriminasi dari
penyelenggara negara atau kelompok-kelompok lain.128 Kedua, demokrasi
dipandang sebagai sistem yang paling mungkin dan memadai bagi penyatuan
kekuatan seluruh elemen kebangsaan. Demokrasi dipandang mampu
mengkerangkai ikatan-ikatan primordial selebihnya. Karenya, menurut Hasyim,
demokrasi harus ditempatkan sebagai kerangka dasar kebangsaan dan
diorientasikan secara sistematik pada upaya pemenuhan cita-cita kolektif
127 Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais
Tentang Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 59 128 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta,
Logos, 1999), h. 48
73
berbangsa dan bernegara.129 Demokrasi tidak bisa berpangku tangan atas nasib
rakyat miskin yang termarginalisasi secara ekonomi politik dengan hanya sebatas
berfokus pada penciptaan seperangkat sistem politik yang bisa meminimalisir
gerak laju dan kembalinya otoritarianisme.130
Menurut Hasyim Muzadi, demokrasi tidak hanya merupakan sistem
ketatanegaraan yang unggul dan saat ini dijadikan rujukan mayoritas negara-
negara di dunia akan tetapi secara prinsip mengandung struktur nilai yang paling
sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia yang notabene suatu bangsa yang
majemuk dalam berbagai hal. Demokrasi diperjuangkan tidak hanya karena
demokrasi merupakan sistem yang realistis dan manusiawi, tapi juga karena
inheren didalamnya ada potensi untuk menyatukan seluruh komponen dan
kekuatan bangsa. 131 Potensi ini tentu tidak dimiliki oleh agama dan berbagai
nilai-nilai primordial yang lain dengan demokrasi seluruh kekuatan kebangsaan
akan mampu dihimpun guna memperkokoh bangunan kebangsaan Indonesia.
Dalam catatan hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya
memperlihatkan pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham
yang menghargai eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan
dalam bentuk semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara
implisit mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang
semestinya bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar
tidak menjadi kekuatan yang tercerai berai.
129 A. Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi: Meawat Bangsa dengan Visi Ulama,
h. 72 130 Hasyim Muzadi, Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa, (Jakarta, Pustaka
Azhari, 2004), h. 29 131 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 48
74
Berpijak pada prinsip itulah para pendiri negara kita berusaha sekuat
tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai
semua bentuk penghargaan. Namun, harus kita akui bersama bahwa rumusan para
pendiri bangsa tentang penghargaan atas bentuk perbedaan tidaklah berjalan
mulus sesuai dengan harapan. Menurut penalaran Hasyim penyikapan terhadap
perbedaan yang selalu cenderung negatif merupakan cerminan dari masyarakat
yang belum memiliki kedewasaan budaya.132 Dalam pengertian perbedaan adalah
sesuatu hal yang harus dihindari atau ditaklukan agar tidak menyimpang bibit
perlawanan yang mengganggu kepentingan pihak yang berlawanan.
Selain itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor
potensial yang menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini
membawa nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain
sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara
sesama manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau
predikat yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang
menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling
menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.
Hasyim menyayangkan akan citra ideal agama yang tak jarang
menampakkan wajah yang kurang bersahabat ketika menjelma menjadi ideologi
atau keyakinan sekelompok orang yang bersifat mutlak, tertutup, agresif, dan
menjerumus ke arah ekskluvisme. Kebenaran yang dianut bukan lagi menafikan
kebenaran yang diyakini oleh pihak, tetapi lebih dari itu, penghormatan terhadap
132 Ibid, h. 50
75
suatu eksistensi diluar dirinya tidak diberikan sama sekali, sehingga perbedaan
dianggap fenomena yang menyalahi “kebenaran” itu sendiri.133
Dalam perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu
masalah yang serius karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam
secara tegas menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan
diturunkannya syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas:
Pertama, kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat
diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz
ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan hukum
(hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau
keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda atau hak milik pribadi
(hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifu al-
‘aql).134
Menurut pandangan Hasyim Muzadi, keharusan menjaga prinsip
pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tapi juga
dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa
berdasarkan pengalaman di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama
berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif
terhadap budaya lokal,135 termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga
mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.
133 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 53 134 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 55. Lihat
juga , Abdurahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme”, dalam Budhy Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. 546. dan Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h. 62
135 Hal ini didasarkan pada salah satu pandangan tentang teori masuknya Islam di Indonesia. Lihat, Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan: 1998), h. 68
76
Pluralisme yang ditentukan Hasyim Muzadi adalah pluralisme dalam
bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk
tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda
keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau
mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada gilirannya pluralisme ini akan
melahirkan sikap toleran terhadap yang lain. Sikap ini amat penting ditetapkan
dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Prinsip ini pula yang mendorong
Hasyim Muzadi untuk menyuarakan kepada kaum muslimin agar bergaul dan
bersahabat dengan penganut agama lain.
Langkah kongkrit Hasyim dalam memperjuangkan pluralisme juga
direalisasikan lewat gerakan International Converence Islamic Scholars (ICIS)
dengan mengusung tema besar Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Dimana gerakan ini
bertujuan membangun persamaan persepsi dikalangan umat Islam sendiri atau
non-Islam. Selain itu gerakan ICIS berupaya mencari jalan keluar dari konflik
berkepanjangan yang terjadi di negara Islam atau non-Islam. Semuanya itu
merupakan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.136
Sikap pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama
dalam keragaman sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.
Sikap pluralistik dengan sendirinya menampik setiap upaya untuk menjadikan
Islam sebagai ideologi negara dan menggantikan pancasila. Sikap itu pula yang
membuat Hasyim Muzadi sangat gigih menentang keras kalangan Islam yang
berniat mengganti ideologi pancasila dengan Islam.137
136 Diakses dari http://www.antara.co.id/, pada hari senin, 06 Juli 2009 137 Pernyataan ini sering dilontarkan Hasyim Muzadi dalam menanggapi kelompok Islam
keras (ekstrimis) yang seringkali melakukan kekerasan atas nama agama, dan tak jarang gerakan
77
Visi Hasyim Muzadi tentang pluralisme dan toleransi tergambar dalam
pernyataan berikut :
Sikap akomodatif yang lahir dan adanya kesadaran untuk menghargai
perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh
bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi
hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai
kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. 138
Sikap hidup demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis,
toleran, dan pluralistik Hasyim Muzadi. Sikap itu pula yang bisa menjelaskan
kekuasaan pergaulan dan wawasan Hasyim Muzadi yang ternyata bersumber dari
banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia serta
pandangannya tentang pluralitas kebangsaan yang tetap relevan untuk Indonesia.
ini selalu berupaya untuk mengganti sistem negara pancasila dengan ideologi Islam atau khilafah. Diakses dari http://www.eramuslim.com/, pada hari Senin, 29 Mei 2009
138 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 61
78
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi
sebagaimana dipaparkan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Sebagai seorang tokoh yang pernah memimpin sebuah organisasi
keagamaan terbesar di Indonesia, Hasyim Muzadi memiliki beberapa
pemikiran, diantaranya adalah tentang pluralisme agama. Pemikiran
Hasyim Muzadi dalam hal pluralisme agama ini adalah :
a. Gagasan tentang Islam Rahmatan lil ‘Alamin yg menurutnya
merupakan solusi alternatif atas kebuntuan global yang sampai saat ini
belum terpecahkan. Pada dasarnya pemikiran Hasyim Muzadi tersebut
berawal dari kegelisahan atas implikasi yang muncul atas berbagai
kasus yang mengancam pluralitas dan lahirnya gerakan radikal yang
mengatas-namakan agama, dimana gerakan tersebut tidak
mencerminkan kenyataan atas kondisi kultur, social, dan budaya yang
berkembang di Indonesia.
b. Pendekatan dialog peradaban. Untuk penerapan konsep Islam
Rahmatan lil ‘Alamin, menurutnya, yang paling awal dilakukan adalah
melalui amar ma’ruf dan nahi munkar dengan mengambil pendapat
yang dikemukakan Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin,
bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-
79
amri bi al-ma’ruf dan adab al-nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika
yang disampaikan al-Ghazali. Salah satunya adalah memerintahkan
orang untuk berbuat baik dan mencegah berbuat jahat jangan sampai
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, dan dari fikih Islam
“akhaffu aldhararain”. Dari dua konsepsi diatas, Hasyim Muzadi
berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam rangka
mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.
c. Pluralisme agama sebagai bagian dari humanisme. Hal ini bias
dipahami mengingat adanya dimensi humanisme dalam agama dan
adanya tuntutan kerjasama antara agama yang satu dengan agama yang
lain.
2. Relevansi pandangan pluralisme Hayim Muzadi terhadap masyarakat
Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya amat
dibutuhkan mengingat kondisi bangsa yang sedang menghadapi krisis
multidimensi termasuk kaitannya dengan sosial-keagamaan, maka gagasan
Islam Rahmatan lil ‘alamin menjadi solusi alternative atas kebuntuan
bangsa.
Menurut Hasyim, Islam bisa menjadi Rahmatan lil ‘alamin dengan
bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik
global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Dengan dialog
tersebut, diharapkan problem-problem yang sbelumnya tidak terpecahkan
karena tidak tersampaikannya kepentingan maka akan terselesaikan.
Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan
ketaqwaan. Dari situ maka agama akan menjadi sesuatu yang humanis
80
yang diharapkan akan membentuk kesalehan sosial, bukan hanya
kesalehan individual.
Disamping itu, dinamika keislaman yang sedang marak di
Indonesia hendaknya diarahkan pada hal-hal berikut : Pertama, umat
Islam harus sadar bahwa persoalan yang dihadapi saat ini tidak hanya
lingkup Indonesia, namun persoalan global-mondial, dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut memerlukan pengetahuan dan pemikiran
Muslim Indonesia yang nantinya akan menggabungkan diri dengan
pemikiran Islam Internasional. Kedua, upaya pencerdasan dalam berbagai
disiplin ilmu dan teknologi serta menerjuni segala sector kehidupan
modern, agar terkuasainya seluruh idiomnya maka umat Islam akan
menemukan kembali peradabannya. Disamping hal tersebut, upaya
Islamisasi dan atau penggalian ilmu yang orisinil Islam juga harus
dilakukan. Serta pembahasan sistem sosial, ekonomi dan politik yang
Islami juga perlu dipertajam. Ketiga, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf
nahi munkar yang mutlak perlu untuk mendorong terciptanya masyarakat
etis dan egaliter. Mengingat problem-problem sosial yang menyertai
pembangunan dan perubahan sosial ini, maka amat penting para
intelektual Islam lebih menguatkan advokasinya atas kelompok
masyarakat lemah yang menjadi korban dari proses pembangunan,
mempertajam kritik terhadap budaya yang merusak moral masyarakat
serta lebih memperkeras dorongan terhadap proses demokratisasi politik
dan ekonomi, terutama dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Keempat, dimensi tasawuf menjadi hal yang penting untuk dikembangkan
81
dalam teologi Islam. Karena menjadi sangat berbahaya pada saat akal tidak
memiliki pembimbing yang bermotif rohani yang bersih, di sisi lain
pemikiran keagamaan fuqaha’ yang memerlukan agama lebih sebagai
hokum dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi
semacam ideologi, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi
bathin yang menjadi inti keberagamaan yang sebenarnya. Dan secara
mendasar, agama yang membawa rahman bertumpu pada ajaran dan
konsepsi taqwa secara tepat.
B. SARAN-SARAN
Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut :
1. Sebagai organisasi dengan jama’ah terbesar di Indonesia yang pernah
dipimpin oleh Hasyim Muzadi sebagai tokoh pluralis, secara formal
mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan
umat, hendaknya PBNU dapat memberikan dorongan dan dukungan serta
perhatian yang sungguh-sungguh dalam menghadapi gerakan-gerkan yang
berupaya merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik
Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 yang dinilai NU sudah
menjadi harga mati.
2. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang menghadapi persoalan yang amat
kompleks, tawaran yang digagas Hasyim Muzadi merupakan salah satu
solusi alternatif yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
alangkah baiknya dengan solusi yang ditawarkan Hasyim Muzadi
82
tersebut, pikiran masyarakat menjadi terbuka melihat kondisi riil bangsa
Indonesia yang memang dilahirkan menjadi bangsa yang majemuk.
Semangat pluralitas tersebut akan dapat membangun jati diri bangsa
menuju bangsa yang berperadaban.
83
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER DARI BUKU :
Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.
Abdullah, Taufiq. Islam Dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1987.
Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 1993.
Abdurrahman, Muslim. Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama
Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003. _______ Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta:
Airlangga, 2003. Ahmad, Khurshid. Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka,
1983. Ahmad, Nur. (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta:
Kompas, 2001. Al-Brebesy, Ma’mun Murod. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin
Rais Tentang Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1999. Ali Enginer, Asghar. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999. Ali Fauzi, Ihsan. Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an. Bandung : Prisma,
Edisi 1991. Ali, Zaenal. 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Narasi, 2008.
Anshori, Ibnu. KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance. Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004.
Baso, Ahmad. Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi
Mendialogkan Agama Membaca Realiatas. Jakarta: Air Langga, 2003. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia PustakaUtama,
2008. Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar
Doktrin Yang Membantu. Jakarta: Kompas, 2001.
84
Darwin, Muhadjir. Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas
Agma dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2004. Effendy, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta:
Galang Press, 2001. Eko, Sutoro. Pelajaran Konsolidasi Demokrasi Untuk Indonesia. Dalam
pangantar buku terjemah Lary Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press, 2003.
Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), Bandung: Mizan,
2008. _______ (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), Jakarta: bulan
bintang, 1986. _______ Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri
Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987. _______ Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj). Jakarta: Bulan Bintang,
1990. _______ Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.). Bandung: Pustaka,
1985. Fealy, Greg. Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A.
Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj). Yogyakarta: LKIS, 1997.
Husaini, Adian. Plurlisme Agama Haram. Jakarta: Perspektif, 2005.
Hidayat, Surahman. Islam Pluralisme Dan Perdamaian, Jakarta: Robbani Press, 2008.
Hamid, Abdul Wahid. Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.),
Yogyakarta: Lazuardi, 2001. Hermawan, Eman. Politik Membela Yang Benar; Teori, Kritik dan Nalar.
Yogyakarta: Klik R, 2001. Iskandar, A. Muhaimin. Melampaui Demokrasi: Merawat Bangsa dengan Visi
Ulama. Jakarta: Grafindo, 2001. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1993.
85
Kleden, Ignas. Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agama dan Tantangan Jaman. Jakata: LP3ES, 1985.
Litle, David John Kelsay dan Abdul Aziz A. Sachedina, Kebebasan Agama dan
Hak-hak Asasi Manusia, Riyanto (terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, 2006.
Munawar-Rahman, Budhi. Islam pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001.
_______ (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.
Muzani, Syaiful (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution. Bandung: Mizan, 1995. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, cet. IV, 1993. Muzadi, Hasyim. Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa. Jakarta:
Logos, 1999. _______ Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa. Jakarta: Pustaka Azhari,
2004. Nasution, Harun & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam.
Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985. N. Bellah, Robert dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam
Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, Imam Khoeri, dkk (tej). Yogyakarta: Ircisod, 2003.
Qudsy, Saifudin Zuhri. (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah
Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ , 2003. Quttub, Muhammad. Islam Agama Pembebas, Fungky Kusnaedi Timur (terj).
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung:
Pustaka, 1984. Rahmat, M. Imdadun. (peng), Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca
Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003. Ridwan, Nur Kholik. Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur.
Yogyakarta: Galang Press, 2002.
86
Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1993.
Shodiq, Mohammad. Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim Muzadi. Surabaya: LTN NU Jatim, 2004.
Solissa, Abdul Nasir (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya. Yogyakarta:
LESFI, 1983. Turmudzi, A.M. “Merumuskan Keberislaman Secara Baru”, Jakarta: Basis, Edisi
Maret 1991. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi II, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
INTERNET :
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-ada-NU-dan-Muhammadiyah
http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html
Menggagas Kebangkitan NU Kedua. Kompas, Selasa, 9 November 1999. Kumpulan tulisan dari Koran detik.com, Suara Pembaharuan, Kompas: Kiprah
PBNU 2000-2001, Analisa dan Evaluasi Pemeritaan tentang Kepemimpinan Hasyim Muzadi, diterbitkan oleh eLkapim Malang, tanpa tahun.
http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0
http://www.insistnet.com/content/view/25/34/,
http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html.
http://www.icrp-online.org.
http://id.wikipedia.org/wiki
http://gp-ansor.org/?pageid+115
www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-syiah. http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html.
http://www.nu.or.id/show/pages/625.html
i
ABSTRAKSI Pluralisme agama sepertinya menemui jaman keemasan kembali. Di saat masyarakat Indonesia sering terjadi konflik yang bernuansa agama, pembahasan tentang pluralisme akan kembali menjadi topik perbincangan para tokoh lintas agama di Indonesia. Dalam hal ini penulis akan mencoba untuk mengulas kembali makna pluralisme menurut salah satu tokoh moderat Islam yaitu Hasyim Muzadi, Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi dalam skripsi ini dilatar-belakangi bahwa penulis menganggap bahwa selama ini masih sedikit karya-karya yang berisi pemikiran Hasyim Muzadi. Tujuan penulis adalah ingin memperdalam pengetahuan pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme serta langkah-langkah yang beliau lakukan guna memperjuangkan pluralitas keagamaan di Indonesia. Hasyim Muzadi sebagai salah satu tokoh moderat yang konsisten memperjuangkan Pluralisme, menawarkan sebuah solusi atas kebuntuan dialog antar agama maupun keyakinan. Pluralisme dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk mempertahankan pluralitas keagamaan di Indonesia dan menjaga kerukunan antar umat yang berbeda agama maupun keyakinan sehingga dapat memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesimpulan dari pembahasan tentang pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi diantaranya pemikiran tentang Pluralisme sebagai bagian dari Humanisme serta perbedaan pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis. Menurut Hasyim Muzadi, umat beragama di Indonesia harus sadar bahwa masalah-masalah yang dihadapi selama ini adalah buntunya dialog antar golongan yang berbeda interpretasi ajaran-ajaran agama yang mereka anut. Jadi menurut penulis, pembahasan ini sangatlah penting untuk menyadarkan kembali pehaman tentang pluralisme agama dengan tujuan terciptanya kerukunan sesama agama maupun antar agama walaupun perbedaan keyakinan dan agama adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk ini.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, memberikan akal dan pikiran
kepada manusia sehingga dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari dengan baik.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan selamanya kepada Nabi Muhammad
SAW, berserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya dan semoga menjadi
tauladan bagi kita semua.
Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing, dan mendukung penulis
secara fisik maupun moral dalam penyusunan skripsi ini yang tidak akan tercapai
kesempurnaan lantaran bantuannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk dapat menempuh studi di kampus peradaban ini.
2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Alimun Hanif, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktunya untuk selalu memberikan saran dan kritik guna
terselesaikannya skripsi ini.
iii
5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan kontribusi pemikiran Ilmu
Politik kepada penulis selama kuliah di Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Ayahanda tercinta Imam Nawawi (Boniran) dan Ibunda tersayang
Khomsatun, Kakek Boyamin dan Mbok Samijem, orang tua penulis yang
tiada lelah memberikan do’a, semangat dan motivasi dengan kasih sayang
yang tak terhingga. Serta keluarga besar Imam Nawawi, Kakakku Ali
Murtadho, Yeni Siswanti serta saudara-saudaraku Shidiq dan kholil.
7. Almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH. Bahruddin
yang telah mengasuh dan memberikan ilmu yang tak terhingga saat
penulis mondok di Pesantren Ciganjur dan Darul Hikam Ciputat.
8. Sahabat-sahabat selam kuliah di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya Usep Kholil, Dedi, Farid, Dian, Budi, Bayan, Hamid,
Furqon, Janan, Bagus, Yamin, Iwan, Hamdi, Fuad, dan semuanya yang
tidak penulis sebutkan satu per satu.
9. Sahabat dan teman kerja di Bio Team Ciputat, Andi, Shofyan, Zulfan,
Enjum, Ujang, Roy, Rifki, serta teman pondok di Pesantren Darul Hikam
Ciputat, Rahmat Kabir dan Shoghir, Harid, Fatoni, Tsani, Abu, Azis,
Malik, Iwan, Syu’eib, Firman dan semuanya.
10. Terkhusus untuk calon istriku tercinta, Umi Charisah yang telah
memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat segera
menyelesaikan skripsi ini.
iv
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................. 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ............................................. 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB II NEGARA DAN PLURALISME
A. Pengertian Negara …………………………………………. 12
B. Pengertian Pluralisme ……………………………………… 14
C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme …………………… 31
D. Pro-Kontra Tentang Pluralisme ……………………………. 33
E. Wacana Pluralisme di Indonesia ………………………….. 37
BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL & POLITIK HASYIM MUZADI
A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi ……………….. 41
B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi ……………….. 44
C. Karier Organisasi dan Politik ……………………………… 47
vi
D. Karya-karya Hasyim Muzadi ……………………………… 46
BAB IV PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG PLURALISME
AGAMA DI INDONESIA
A. PEMIKIRAN PLURALISME HASYIM MUZADI ……… 49
1. Islam Rahmatan lil Alamin ……………………………... 54
2. Pluralisme Teologis Dan Sosiologis ……………………. 55
3. Pendekatan Dialog Peradaban ………………………….. 56
4. Pluralisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme ….. 61
a. Dimensi Humanisme Dalam Agama ………………… 61
b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain …………….... 64
B. PANDANGAN HASYIM MUZADI TERHADAP FATWA
MUI ………………………………………………………… 69
C. KOMITMEN MENJAGA PLURALITAS KEAGAMAAN.. 71
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 78
B. Saran-Saran ........................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam konteks masa depan Islam Indonesia khususnya serta Islam pada
umumnya yang terjadi hari ini justru yang muncul adalah indikasi yang kuat untuk
bersama-sama membangun paradigma baru tentang Islam terutama Islam
Indonesia di mata dunia Internasional. Karena Islam, terutama pasca serangan 11
September 2001 yang menghancurkan Gedung WTC (World Trade Centre), telah
dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan, dan pada saat itu hal-hal yang
menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal mayoritas masyarakat Islam di
Dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.
Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York dan
Pentagon di Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam
di bawah komando Osama bin Laden membuat penilaian negatif masyarakat Barat
terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik
nadir.1
Kondisi itu mengakibatkan kaum muslim di dunia dipandang buruk dan
disebut sebagai pengikut ajaran agama yang dogmanya hanya menyebarkan teror
dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu terjadi karena masyarakat barat
melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam yang diyakininya sebagai
kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum lainnya. Padahal
kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara pasti ajaran Islam sesungguhnya
1 John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), (Bandung: Mizan, 2008),
h. 9.
2
dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari media massa yang
pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam, yang distigmakan
sebagai kaum yang lekat dengan dunia kekerasan dan tidak bisa berdamai dengan
ajaran lainnya. Sehingga membuat umat lain menjadi berang kepada umat Islam.
Tantangan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan
yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya
ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling
serius saat ini adalah di bidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama
disadari adalah tantangan internal yang berupa fanatisme, taklid buta, bid'ah,
kurafat, dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang dihadapi saat
ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme
agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan bangsa
Indonesia.2
Skripsi ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan
memfokuskan pada makna pluralisme agama beserta sejarah, faktor-faktor,
penyebaran, dampak dan solusinya.
Pluralisme, selama ini bangsa Indonesia terlalu takut dan bahkan antipati
dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini
bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan
mereka dengan istilah ini. Penulis tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi
Media Indonesia dengan judul ”Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”3
2 Adian Husaini, Plurlisme Agama Haram (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 2. 3 Editorial Media Indonesia “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”, Rabu, 15
September 2010. Diambil dari Website : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-Ada-NU-dan-Muhammadiyah.
3
tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia
yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.
Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas
agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik
antar tokoh bangsa. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia sudah sedari
dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika masyarakat Indonesia
tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama.4 Walaupun beliau
lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri,5 namun
spirit itu tidaklah mati begitu saja. Dua organisasi yang sudah berdiri sejak
sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia
mengedepankan tenggang-rasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap
ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia
tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya,
ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi
terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak
peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara
terjadi di mana-mana di pelosok negeri.
Tapi satu hal yang penulis soroti saat ini adalah adanya dua kutub yang
senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha
mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas
beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut
pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal
4 Lihat http://www.republika.com/perjalanan-sejarah-indonesia-175.page.html 5 Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan
Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakan oleh Orientalis Clifford Geertz dengan Trikotomi-nya.
4
dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa
yang multi-kultural. Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi
Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak
awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di
masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu
menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang
rahmatan lil alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal
bangsa Indonesia sebagai agama yang toleran. Tidak ada penghinaan terhadap
agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan
inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam oleh masyarakat
Indonesia.
Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah
jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha di dalamnya tanpa ada tenggang-rasa antar umat
beragama. Tidak akan ada kedamaian dan ketenteraman dalam menjalankan
ibadah ketika nilai-nilai ”lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan
bangsa Indonesia. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama
mungkin bisa jadi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa barbar yang beringas.
Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan
dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang
menghendaki hal seperti ini.
Dalam kerangka itu, Hasyim Muzadi sebagai salah satu pemimpin
organisasi Islam terbesar di Indonesia, gencar melakukan agenda yang terkait
dengan pentingnya membangun semangat pluralitas. Hal ini ditunjukkan dengan
5
diselenggarakannya pertemuan Ulama’ Sunni-Syiah seluruh dunia yang
diprakarsainya.6 Pertemuan-pertemuan semacam itu seakan menjadi titik terang
usaha beliau dalam menata Islam Indonesia menuju Islam Global yang lebih baik
sebagai aktualisasi rahmatan lil-alamiin.
Sedang pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang
tumbuh, seperti bangsa Indonesia, tentu sulit untuk mengembangkan saling
pengertian antar beraneka ragam unsur-unsur etnis, dan budaya daerah. Kalaupun
tidak terjadi salah pengertian mendasar atas unsur-unsur itu, paling tidak tentu
saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka, dengan kata lain,
suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan
sekedar mengurangi kesalahpahaman.7
Atas dasar kenyataan seperti di atas dan juga banyaknya ide-ide dari
pemikir dan pemimpin Islam di Indonesia tentang permasalahan Islam, maka
Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang pemikiran atau ide pluralisme
keagamaan yang terkait erat dengan hubungan antar agama dan negara.
Untuk lebih fokusnya kajian ini, Penulis mengambil pemikiran dari salah
seorang tokoh Islam yang pernah menjadi pemimpin salah satu organisasi Islam
terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama) yaitu Hasyim Muzadi. Kajian tentang
pluralisme agama Hasyim Muzadi ini didasari oleh kenyataan bahwa menurut
Penulis selama ini, belum ada karya-karya yang berisi pemikiran utuh dari
Hasyim Muzadi terkait dengan pemikiran pluralismenya. Kalaupun ada, hal ini
hanya berupa pernyataan-pernyataan Hasyim Muzadi yang tersebar di media
6 Pada tanggal 9 November 2004, Hasyim Muzadi beserta Din Syamsuddin mengundang
ulama-ulama Sunni-Syiah seluruh dunia yang terdiri dari 84 negara untuk menyerukan sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam di Bogor, Jawa Barat.
7 Surahman Hidayat, Islam Pluralisme Dan Perdamaian (Jakarta: Robbani Press, 2008), h. 53.
6
massa maupun media elektronik, dan juga dari beberapa buku dari para penulis
yang mengungkap sebagian pemikiran atau sosok Hasyim Muzadi.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka perlu Penulis tegaskan bahwa batasan dan
rumusan dari permasalahan ini yaitu :
1. Bagaimana pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama?
2. Bagaimana bentuk hubungan agama dan negara menurut Hasyim Muzadi?
Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari
beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga
berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
C. Tujuan dan Manfaat
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana dalam bidang Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ada tujuan dan manfaat yang lain yaitu :
1. Tujuan :
a. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam tentang karakteristik
pemikiran Hasyim Muzadi mengenai wacana pluralisme keagamaan, serta
hubungan Islam dan negara.
b. Mengidentifikasi asal-usul gagasan beliau, baik itu berlatar belakang sosial,
pendidikan ataupun politik.
c. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi gagasan tersebut
dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
7
2. Manfaat :
a. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan
terhadap karakteristik pemikiran Hasyim Muzadi.
b. Bagi dunia ilmu pengetahuan, akan memberi tambahan khazanah baru
dalam pemikiran yang terkait dengan wacana diatas.
c. Bagi umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia pada khususnya,
diharapkan akan memiliki persepsi yang benar mengenai Islam Indonesia
sehingga tidak terjebak pada pemahaman tunggal yang menyebabkan
fanatisme keagamaan yang berlebihan dan kontra-produktif.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang pluralisme serta hubungan agama dan negara dalam
literatur Indonesia cukup banyak, dan memang di era sekarang kajian tersebut
seperti menemukan zaman keemasannya karena didukung oleh kondisi sosio-
kultural yang memang memungkinkan wacana tersebut berkembang, apalagi
kondisi Indonesia yang memang plural, baik dalam hal suku bangsa, ras, maupun
agama.
Sedangkan pembahasan tentang pluarlisme sendiri telah banyak dilakukan
oleh para penulis baik dalam maupun luar negeri. Karya terakhir dalam rentang
penulisan skripsi ini adalah tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
pluralisme dan humanisme yang ditulis oleh Saiful Ma’arif, mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
Menurut penulis, kajian tentang pemikiran Hasyim Muzadi sendiri belum
ada yang tulis dalam bentuk skripsi, kecuali buku-buku yang telah banyak beredar
walaupun tidak secara spesifik membahas tentang pluralisme Hasyim Muzadi.
Buku-buku karya Hasyim kebanyakan membahas tentang bagaimana pandangan
Islam mengenai globalisasi dan terorisme.
Disamping itu, dalam banyak studi dan penerbitan yang ada, pembahasan
Hasyim Muzadi lebih sering ditujukan pada persoalan politik. Padahal
sebagaimana yang diharapkan terdapat dalam skripsi ini, Hasyim Muzadi
memiliki ide sentral pluralisme yang mewarnai banyak pemikiran-pemikirannya.
Dengan latar belakang bahwa penulisan tentang ide pluralisme Hasyim Muzadi
belum banyak dilakukan, skripsi ini mencoba mengangkat tema tersebut dan
mengaitkannya dengan kehidupan beragama dan sosial budaya di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Dalam bahasan terkait dengan penelitian ini, perlu penulis paparkan
tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian,
sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannya dan analisa
data.
1. Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih
mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi
tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut.
Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan tokoh tersebut. Kedua, penelitian
tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.
9
2. Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih kepada teknik deskriptif-
analisis. Yang dimaksud dengan deskriptif dalam konteks ini adalah
menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau
literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini
ialah karakter dari Hasyim Muzadi dan fenomena yang mempengaruhi
pemikirannya. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis,
yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan beliau, dalam hal ini
penulis lebih memfokuskan pada aliran pemikiran Islam kontemporer yakni
modernis dan neo-modernis yang penulis anggap sebagai representasi dari beliau.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu : data
primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari beliau baik buku, artikel dan
kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya
yang mengkaji tentang gagasan beliau dan hasil-hasil penelitian yang relevan
dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
4. Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif
dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan
untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang
berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena
diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam,
khususnya fiqih siyasah.
10
Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa
setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan
sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian
ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode
pemikiran Hasyim Muzadi akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut
mempengaruhi pemikiran beliau dalam masalah ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan ini penulis membagi menjadi lima bab. Bab pertama
memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan yang terakhir
sistematika pembahasan.
Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi pluralisme agama, relasi agama
dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap
pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan
negara di Indonesia. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan
dihadapkan pada tokoh yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi Hasyim Muzadi. Penelaahan ini meliputi
latar belakang sosial dan prilaku politik beliau dalam menggagas pluralism agama
serta relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-
cita ideologi negara yang beliau perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim
yang peduli terhadap bangsa.
Bab keempat menganalisa pemikiran beliau tentang relasi Pluralisme
agama, hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi
11
pancasila. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan beliau
terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi
saat ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran Hasyim Muzadi
tentang pluralisme agama serta hubungan Islam dan negara di Indonesia,
sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penulis atau peneliti yang akan
mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
12
BAB II
NEGARA DAN PLURALISME
A. Pengertian Negara
Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di
mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal
terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat
serta pengakuan dari negara lain. 8
Istilah negara di terjemahkan dari kata-kata asing yaitu “steat” (bahasa
Belanda dan Jerman). “state” (Bahasa Inggris. “Etat” (bahasa Perancis). Kata
“Staat, State, etat itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum”
yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifata yang
tegak dan tetap. Kata “status” atau “statum” lazim diartikan sebagai “standing”
atau “station” (kedudukan) yang dihubungkan dengan kedudukan persekutuan
hidup manusia sebagaiman diartikan dalam istilah “Status Civitatis” atau “Status
Republicae”. 9
Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian yang
menunjukkan organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara
pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya. Negara merupakan
integrasi dari kekuasaan Politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan
politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan
untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
8 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008), h. 51
9 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html
13
kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu
wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan
kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan
bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana
kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan
golongan atau asosiasi maupun oleh negara sendiri.10
Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :
a. Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
b. Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok
manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
c. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau
kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Negara mempunya dua tugas yaitu :
1. Mengendalikan dan menatur gejala-gejalah kekuasaan yang asosial.
Yakni yang bertentangan satu-sama lain. Supaya tidak anatagonistik
yang membahayakan.
2. Mengorganisasikan dan mengintergrasikan kegiatan manusia dan
golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya.11
10 Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 82 11 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages2/56746.html
14
B. Pengertian Pluralisme
Pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih
dari satu,12 dan isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan
politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme
berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial
dan politiknya).13 Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan
pembahasan pada pluralisme agama.
Dalam wacana pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam terutama sejak era reformasi gereja yang terjadi pada abad ke-15 yang berpengaruh besar terhadap perubahan dalam aspek sosial, budaya, dan terutama pemikiran. Di sisi lain, Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat ini di dalam maupun di luar Arab. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan Pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadialan sosial (sosial justice).14 Dalam kaitannya dengan pluralisme, Islam sangat menekankan pada dua
aspek dasar, yaitu :
1. Kesatuan manusia (unity of mankind).
2. Keadilan di semua aspek kehidupan.15
Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat
lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka
untuk menjadi pemimpin.16 Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam
12 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta, Balai Pustaka, 1994), h. 883.
13 Ibid., h. 884 14 Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 33. ` 15 Ibid., h. 34.
16 Ibid., h. 35.
15
memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan
apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama-
sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di
bawah penjagaan dan perlindungannya. 17
Pada dasarnya manusia diciptakan berbeda-beda. Allah menjelaskan
bahwa dengan perbedaan itu manusia dituntut untuk saling mengenal, lita
‘arofu.18 Namun ketika seseorang memahami sebagai kebenaran mutlak yang ia
yakini, orang itu kerap kali terjebak dalam pandangan yang mengarah pada
konflik, pertikaian antara seorang muslim dan non-muslim atau mungkin diantara
sesama Muslim yang berbeda faham. Bagaimana menjembatani perbedaan-
perbedaan ini sehingga memungkinkan terwujudnya perdamaian?
Hal itu menurut Khamami Zada, sangat terkait dengan bagaimana
seseorang memahami agama lain sebagai sesuatu yang mempunyai jalan
tersendiri. Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 48, likullin
ja’alna minkum siratan wa minhaja’, (untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami
berikan aturan dan jalan yang terang) dalam setiap agama itu ada syari’atnya
sendiri, jalannya sendiri, yang memiliki kebenarannya masing-masing. Tanpa
memahami kebenaran mutlak di masing-masing agama, kita akan sulit
menemukan perdamaian diantara agama-agama itu sendiri. Disinilah kekurangan
umat Islam ketika memahami agama lain sebagai sesuatu yang lain, ‘ the others’.
Agama lain harus dipahami sebagai suatu realitas yang ada dimasyarakat.19
17 Muhammad Quttub, Islam Agama Pembebas, fungky kusnaedi timur (terj) (Yogyakarta
Mittra Pustaka, 2001), h. 368. 18 Baca QS. Al-Hujurrat (49) : 13 19 Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan
Agama Membaca Realiatas (Jakarta: Air Langga, 2003), h. 73-74
16
Islam sebaiknya tidak sekedar didakwahkan dalam perspektif yang
lahiriyah, persoalan-persoalan keakhiratan yang melupakan dimensi sosial. Kalau
Islam didakwahkan secara inklusif, dan bisa memahami agama-agama lain
sebagai suatu realitas kebenaran tersendiri, maka Islam akan benar-benar menjadi
agama rahmatan lil ’alamain.20
Oleh karena itu, Budhi Munawar-Rahman, menjadi penting untuk disadari
adalah memposisikan fungsi kritis terhadap agama yang harus dilakukan dengan
menjauhi sikap-sikap yang bersifat totaliter.21 Disamping itu agamapun dituntut
untuk mangadakan kritik terhadap dirinya sendiri, karena keberadaan agama telah
mendasarkan diri pada iman kepada Tuhan “pencipta manusia” bukan Tuhan
“ciptaan manusia”.22 Agama juga tidak bisa apolitis dalam pengertian hanya
membatasi diri pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan
individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat kedalam proses transformasi
sosial.23
Abdul Wahid Hamid mengatakan, suatu ciri khas ajaran Islam adalah
keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh.
Agama yang mempunyai hubungan integral dan organik dengan politik dan
masyarakat. Ideal Islam itu terbayang dalam perkembangan hukum Islam yang
merupakan suatu hukum yang serba mencakup.24 Sebagai ajaran yang benar,
20 Ibid., h. 75. 21 Budhi Munawar-Rahman, Islam pluralisme (Jakarta:Paramadina,2001), hlm.363 22 Ibid., h. 363-364. 23 Ibid., h. 370 24 Jhon L Esposito (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), (Jakarta: bulan
bintang, 1986), h. 3.
17
Islam pada dasarnya bisa diterapkan disepanjang masa dan dimanapun (shalihun li
kulli zaman wa makam).25
Dalam tiap langkahnya, seorang muslim akan selalu berhadapan dengan
Tuhan yang terepresentasikan melalui syari’atnya. Disini tanggung jawab individu
menjadi jelas, karena kehadiran Tuhan dalam perasaan manusia saja sudah cukup
membuat setiap manusia benar-benar sadar akan kewajibannya, demikian menurut
pendapat Khurshid Ahamad.26 Mengutif pernyataan Fazrul Rahman, kenyataan
yang peling mendasar tentang Islam dalam abad sekarang ini adalah kemerdekaan
dari kekuasaan asing yang dicapai oleh rakyat-rakyat Muslim diberbagai negri
mereka.27 Dengan mengacu pada kenyataan seperti itu, maka Islam telah
memainkan peran yang menentukan dan dominan.
Menurut Anis Malik Toha gagasan plurarisme agama dalam wancana pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa Perang Dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya barat. Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wawancara pemikiran Islam, antara lain melalui karya-karya pemikiran mistik barat seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Zaeni) dan Frithjob Schuon (Isa Nurdin Ahmad). Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religion, sangat syarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama.28 Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim syiah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional”. Keberhasilannya dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama tersebut mengantarkannya pada sebuah posisi ilmuan kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama besar seperti Ninian Semart, John Hick, Annemarie Schimmel. Nasr mencoba menuangkan tesisnya pada
25 Abdul Wahid Hamid, Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), (Yogyakarta:
Lazuardi, 2001), h. 301 26 Khurshid Ahmad, Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1983), h.
121. 27 Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1984), h. 365. 28 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task=
view&id=1406&Itemid=0
18
pluralisme agama dalam kemasan sophia perenis atau perenial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau kebenaran abadi), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi dibalik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam ‘alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau menyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sumgguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada simbol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama yang satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Demikian penuturan Anis Malik Toha.29
Hamdi Fahmy mengatakan, pluralisme sebagai paham yang
merambah dalam bidang agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu aliran kesatuan transenden agama-agama (transcenden unity of religion) dan teologi global. Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung grakan globalisasi. Pendekatan yang dipakai oleh aliran teologi global terhadap agama-agama lebih bersifat sosiologis, kultural dan idiologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Idiologis sebab ia telah mejadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme.30
Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas
dari sejarah besar pluralisme. Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam hal agama seperti halnya di Indonesia. Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis.31 Jika toleransi dalam beragama tidak ditegakkan, maka negara atau bangsa tersebut akan menghadapi berbagai konflik antar pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan
29 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task
=view&id =1406&Itemid=0 30 Ditulis oleh Hamdi Fahmy, diakses dari http://www.insistnet.com/content/view/25/34/, 31 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 1999), h. 5.
19
disintegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya dan dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jika belum ada), atau menumbuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat dalam al-Qu’an surat al-Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, yaitu al-Baqarah: 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.
Ayat di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan
mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang
benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam al-Qur’an disebut ajaran
thagut). Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam
konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari
kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak
mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo.32 Dengan visi teologis
semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengisi
kehampaan spiritual yamg merupakan produk dunia modern.33
Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam).
Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budaya dan aspirasi yang
beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada
superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka
juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan
politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara
32 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), h.
164. 33 Ibid, h. 165.
20
mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan
konsep atau paham kemajemukan (pluralisme).34
Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan
adanya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah
mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan
toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat. 35 salah satu wujud
nyata dari sikap toleran adalah adanya dialog-dialog yang berfungsi menjembatani
sekian kebuntuan yang ada. Dengan menilik kasus kartunisasi Nabi Muhammad
oleh Jyllands Posten salah satu koran di Denmark beberapa waktu yang lalu,
kasus Salman Rusdie di Inggris (1969), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan
Theo Van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks yang berbeda, namun
menyisakan persoalan serius dan kompleks dalam kaitannya dengan komunitas
ditingkat regional maupun global. Di antara persoalan yang belum serius
didialogkan menurut Muhammad Ali adalah ketegangan antara kebebasan
ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu,
hubungan antara hukum dari sebuah negara dan kebebasan pers, hubungan antara
berbagai etika dunia, maka kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional,
antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.36
Dialog antar pemeluk agama dan dialog antar kawasan seperti disinggung
Ali harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance
(ketidaktahuan) dalam bentuk penghubung intrinsik antara islam dan terorisme,
Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Dipihak lain dikalangan umat Islam,
34 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: kompas,
2001), h. 11-12. 35 Ibid, h. 21 36 Muhammad Ali, dari http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-
agama.html.
21
masih ada tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang
tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa
dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim
menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah peradaban bangsa lain. Salah
satu ketidak tahuan disebagian media masa barat adalah memposisikan tokoh nabi
seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang muslim mungkin tidak cukup religius
dalam beribadah, tapi jika nabi mereka disinggung rasa panatisme keagamaannya,
mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat
populer yang memuat puji-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi
Selatan acara maulud memperingati kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling
meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah. Di
kalangan umat Islam kecintaan umat nabi ini ada yang berlebihan, ada yang
moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam
sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini
kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa
membuat kartun.37
Dipihak lain menurut Muhammad Ali lagi, umat Islam juga perlu
memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam
memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, dimuseum-museum di Eropa, banyak
sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni
yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai-
nilai etika kemanusian yang tidak selalu berseberangan dengan etika dikawasan
lain. Karena itulah, dialog, antar budaya sungguh penting, untuk memahami
37 Ibid., h. 3
22
sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya
hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu
persoalan yang harus didialogkan.38
Disamping itu juga dalam kenyataanya, sikap-sikap tidak toleran itu tidak
semata-mata disebabkan oleh faktor internal masing-masing kelompok, tetapi
sering juga disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena kebijakan politik
pemerintah tertentu atau kekuasaan politik global dan kekuatan dunia tertentu.39
Dalam dunia ilmu pengetahuan istilah pluralisme sekarang ini dikembangkan
secara luas oleh para ilmuan sosial. Pada level yang minimal istilah ini semata-
mata mengacu kepada heterogenitas. Di kalangan para ilmuan politik, antropolog,
sosiolog politik, misalnya, terjadi perselisihan apakah prulalisme itu menghambat
atau melindungi pemerintah demokratik. Menurut Philip E. Hammond, para
teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia
menyediakan beragam saluran bagi pemegang kekuasaan atau menyediakan
tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga
ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan
kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga
menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau
kelompok dari pada faksi-faksi politik yang saling bersaing.40
Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan
menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Secara
38 Ibid., h. 6 39 Nur Ahmad, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, h. 13. 40 Robert N. Bellah dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam
Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, imam khoeri, dkk (tej), (yogyakarta: ircisod: 2003), h. 212
23
garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan
oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai
dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja.
Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain,
pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan
saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam
kebhinekaan.41
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama,
ras, bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagi contoh adalah kota New
York. Kota ini adalak kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi,
Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun.
Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar
penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.42
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang
relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai”
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau
masyarakatnya.
41 Alwi shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), h. 41. 42 Ibid., h. 42-43
24
Sebagai contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa
Eropa bahwa “Colombus menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan
“kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan
“Colombus mencaplok Amerika”.
Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa
pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena
kebenaran agama-agama, walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan
lainnya, tetapi harus diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk
semua dan sepanjang masa.43 Namun yang menjadi persoalan adalah manusia
memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan
menimbulkan dampak pada perubahan sosial.
Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai
kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karenanya memiliki sistem ide
yang berbeda. Jika Teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya
merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat
dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.44
Menurut Ignas Kleden, dikotomi yang dibuat oleh sementara psikologi
agama, antara agama sebagi agama, dan agama sebagai yang dihayati dalam
kesadaran para penganutnya, barangkali tidak akan diperhatikan dalam tulisan ini.
Sebab bagaiman pun agama sebagai suatu entitas abstrak yang dilepaskan sama
sekali dari kenyataan bagaiman dia dihayati adalah sangat sulit dibayangkan.
Sedangkan, bila agama dilihat sebagai suatu realitas manusiawi yang muncul
sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti
43 Ibid., h. 42. 44 Ibid., h. 213.
25
bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian suatu agama
sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak
berguna. Dengan itu mau dikatakan bahwa filsafat yang melihat agama secara
ontologis tidak akan banyak membantu mencari kemungkinan dialog antar agama.
Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan substansi, unsur yang berdiri sendiri,
yang berbeda dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan sesuatu
itu ada dasar dirinya. Ontologi justru mengandaikan dan menekankan distansi dan
esensi yang mutlak dan karena itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.45
Sebaliknya agamapun tidak diidentikkan dengan batas-batas psikologis
yang sering justru hendak diterobos oleh tuntutan dan harapan keagamaan. Dua
reserve disini untuk menghindari terjebaknya agama kedalam kemungkinan
Psychologisierung der Religion. Yang Pertama adalah unsur supranatural,
merupakan elemen trensenden dalam tiap agama yang menyebabkan bahwa
agama tidak mutlak membutuhkan suatu stratum psikologis sebagai conditio sin
qua non untuk tumbuh dan berkembang dalam penghayatan para penganutnya.
Misalnya beberapa eksperimen studi psikiatri terhadap kehidupan rohani beberapa
orang kudus, sama sekali tidak menggoncangkan alasan untuk tetap mengakui
kekudusan mereka. Demikian pula seandainya ada pertemuan-pertemuan empiris
yang bisa menunjuk indikasi-indikasi kuat tentang adanya psikose tertentu yang
mereka derita dan alami selama hidupnya. Yang kedua adalah, bahwa hukum-
hukum psikologis tidak selalu merupakan batas-batas yang harus diterima oleh
suatu agama. Agama dan tuntunannya sering malah berusaha keluar dari siklisme
psikologis semacam itu. Demikian, maka tidak berarti bahwa agama selalu
45 Ignas Kleden, “ Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya.
Dalam Kumpulan Tulisan Agma dan Tantangan Jaman, (Jakata:LP3ES, 1985), h. 153.
26
bersifat menentang kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Namun mungkin
bahwa apa yang dicita-citakan suatu agama mengisyartatkan pula pengakuan akan
terbatasnya kemampuan manusia dalam mengindentifikasikan dirinya sendiri, dan
di depan suatu realitas dan aktifitas ilahi, manusia justru ditantang untuk
mengatasi ikatan-ikatan dari dunianya, batas-batas psikologisnya dan persyaratan-
persyaratan imanensinya.46
Harus dicatat bahwa meningkatnya kecerdasan manusia menyebabkan ia
mencari sendiri kebenaran primer yang belum terpecahkan oleh ilmu
pengetahuan. Di sisi lain, menyebar luaskan agama, propaganda (dalam arti
netral), atau evanggeli merupakan persoalan manusia dalam hidupnya yang telah
berjalan sekurang-kurangya 25 abad. Ada agama yang non-evanggelis, seperti
Yahudi yang justru bersikap ekslusif dan tidak dengan aktif menyebar-luaskan
agamanya.47
Amin Abdullah menyatakan, dapat dibayangkan bagaimana kulaitas
tingkat kenyamanan, ketenangan, kedamaian suatu masyarakat beragama yang
bersifat pluralistik, jika masing-masing secara sepihak dan tertutup mengklaim
bahwa tradisi agamanya sendirilah yang paling sempurna dan benar. Dan jika
klaim itu merambah ke wilayah historis-ekonomis-sosiologis, maka kedamaian
yang diserukan dan didambakan oleh ajaran agama-agama akan terkikis dengan
sendirinya dalam kenyataan hidup keseharian. Meskipun secara ontologis-
metafisis, klaim seperti itu memang dapat dimengerti, namun belum tentu dapat
dibenarkan, karena memang itulah salah satu inti keberagamaan yang sebenarnya.
Artinya, bahwa hard core dari pada pandangan hidup agama-agama yang
46 Ibid,. h. 154-155 47 Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali Agama dan Masyarakat (Yogyakarta
Sunan Kalijaga Press, 1993 ), h. 169.
27
beraneka ragam memang berbeda. Sedangkan hard core keberagamaan hanya
dapat dinikmati secara historis, lewat sekat-sekat teologis yang ada.48
Perubahan sosial dalam Islam, hendaknya dilihat dari segi agama dan
perubahan yang lebih luas. Manusia telah dikaruniai dengan kesadaran diri,
intelek, dan imajinasi. Kecakapan-kecakapan inilah yang membedakannya dengan
alam semesta lainnya, selain merupakan kenyataan bahwa dirinya juga merupakan
bagian dari dirinya. Menurut John L. Eposito, agama adalah suatu sistem
kepercayaan yang menempatkan dirinya (sebagi alat bantu bagi manusia) dalam
upaya menghadapi kesulitan tersebut, serta kemudian menjadikan manusia agar
betah di dalamnya.49 Quraish Shihab mengatakan, pada hakikatnya, khususnya
dalam kehidupan bermasyarakat dimana perbedaan-perbedaan sangat
dimungkinkan, Islam lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan
bentuk-bentuk.50
Diakui bahwa, dalam sejarah agama-agama, telah terjadi pertikaian antara
pemeluk agama yang sama atau antar pemeluk berbagai agama. Namun,
pertikaian tersebut lebih banyak disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non
agama. Dapatkah umat masa kini menemukan pandangan dan jalan yang telah
ditempuh oleh generasi terdahulu yang hidup berdampingan dan harmonis?. Kalau
jalan tersebut tidak dapat ditemukan oleh pimpinan-pimpinan agama-agama
sendiri, maka ketika itu mereka harus membenarkan pandangan yang menyatakan
bahwa ada krisis agama. Karena dengan demikian, agama telah menjadi sumber
48 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. h. 14-15. 49 John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri
Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 293. 50 Qurais shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), h. 215.
28
keresahan pemeluknya dan tidak heran bila agama hanya akan tinggal sebagai
kenangan buruk sejarah.51
Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi,
kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama memiliki ajaran yang sangat
ideal dan cita-citanya sangat tinggi, bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan
“benda” yang suci, sakral, angker, dan keramat. Ia selalu menawarkan jampi-
jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan. Namun kenyataan berbicara lain,
agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengkaran. Menurut
Ahmad Najib Burhani, fenomena ini dilatari oleh: pertama, pendewaan agama.
Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan
pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat yang menyelimuti-Nya berulang kali
hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama dan ajaran sucinya juga mengalmi nasib
yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak
mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah
fungsi menjadi semisal markas jaringan “mafia”, sehingga tidaklah heran bila
kemudian muncul “manipulasi agama” dan “korupsi agama”.
Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak
untuk lebih dekat kepada saudara-saudara “seagama” (in group feeling) dan
menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain. Hal ini
membuahkan sikap yang kurang obyektif dalam memandang apa yang ada di luar
diri sendiri. Misalnya sebagimana yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman
dalam Islam Transpormatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama
51 Ibid., h. 21.
29
agama, namun jika keadilan sosial tidak menimpa “kita” atau saudara “kita”,
maka “kita” kurang menaruh perhatian.
Ketiga, monopoli kebenaran. Banyak agama atau bahkan seluruh agama
yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu
kewajiban dan memang sepantasnya memberikan doktrin-doktrin keabsolutan
kebenaran agama. Namun kewajaran itu akan berubah menjadi ketidakwajaran
bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas
doktrin orang lain. Lebih-lebih bila pemberian doktrin tersebut dibarengi dengan
penularan anggapan bahwa doktrin-doktrinnyalah yang benar, sementara yang lain
salah total. Dan akan semakin tragis apabila fenomena itu diiringi dengan
pelecehan agama lain.52
Dengan menggali ajaran-ajaran agama, meninggalkan fanatisme buta, serta
berpijak pada kenyataan menurut Qurais Shihab, jalan akan dapat dirumuskan.
Bukankah agama-agama monoteisme dengan sejarah ketuhanan Yang Maha Esa,
pada hakikatnya menganut universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang
menciptakan seluruh manusia, seluruh manusia bersumber dari satu keturunan,
betapapun berbeda agama, bangsa atau warna kulit. Demikian ditegaskannya
pula.53
Menurut Ahmad Najib Burhani, teosentrisme atau wacana agama tentang
Tuhan hanya akan bermanfaat apabila sekaligus menjunjung tinggi tinggi
martabat manusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi
perbincangan verbal saja apabila tidak ada keterlibatan dalam memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global. Mengiyakan Tuhan tidak
52 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 3-4.
53 Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 218-219
30
berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan pada
Tuahan, tetapi komitmen dan respon ini tidak diperintahkan diaktualisasikan
dalam hubungan sesama makhluk. Bahwa bertuhan justru dipihak segenap
manusia, bukan hanya manusia anggota agamanya saja. Setelah menjawab sapaan
Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan.
Maka disarankan, keberagamaan perlu lebih humanistik-uneversal.54
Teologi harus lebih concern pada persoalan lingkungan hidup, tertib
sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya cradible apabila dapat
menolak segala sikap yang bernapaskan kebencian, balas dendam, kepicikan,
pembunuhan dan pemaksaan serta mengembangkan sikap kebaikan hati, belas
kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras,
gender, dan agama, keadilan, kebebasan, rasionalitas, kejujuran dan
keterbukaan.55
Sebaliknya masyarakat yang hendak diatur oleh agama senantiasa
mengalami perubahan dan oleh karena itu bersifat dinamis. Dalam ilmu semantika
disebutkan bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan
dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat.56
Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu negara,
tetapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan
persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis-
multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya dikalangan umat Islam, tapi juga
menyangkut umat-umat antar agama dan persoalan-persoalan non-agama.
54 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin
Yang Membantu, h. 14-15. 55 Ibid., h. 16 56 Abdul nasir Solissa (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya, (Yogyakarta:LESFI,
1983), h. 15.
31
C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme
Menurut Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok.57 Di ungkapkan oleh Abdurrahman Wahid bahwa, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar.58
Dalam kaitannya dengan bergulirnya arus globalisasi yang merambah
dalam seluruh sistem termasuk dalam agama Islam itu sendiri menurut Jhon L.
Esposito, akan melahirkan lapangan pengetahuan baru. Akan tetapi, studi tentang
modernisasi di dalam Islam sering memuat dikotomi yang tidak bertanggung
jawab: tradisi lawan perubahan, fundamentalisme lawan modernisme, stagnasi
lawan progres. Bagi kebanyakan analis pihak Barat maupun pihak skularis
muslim, Islam itu merupakan rintangan besar bagi perubahan politik dan sosial
yang berarti dalam dunia Islam. Bagi pihak aktivis Islam, dan para mukmin
lainnya, Islam itu secara abadi tetap serasi dan berlaku.59 Sebagi suatu sistem
nilai, Islam tentu saja tidak bisa merestui suatu masyarakat yang bersifat laissez-
faire. Ditegaskan oleh Fazlurrahman, dipihak lain, Islam mengetahui dengan baik
bahwa pemaksaan tidak akan membuahkan hasil, bahkan tidak akan bisa
bekerja.60
57 Robbert N Bellah dan Phillip E. Hammond, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam
Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, h. 212. 58 Budhi Munawar Rachman, (ed.), Kontekstualisasi Diktrin Islam Dalam Sejarah,
(Jakarta: Paramadina), h. 546 59 Jhon L. Esposito, Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj), (Jakarta:Bulan
Bintang, 1990), h. 298. 60 Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas, Akhsim Muhammad (terj), (Bandung: Pustaka:
1985), h. 192
32
Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial,
kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk
hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan
formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan
pemerintah yang terlalu berlebihan dari pada agama-agama lain.61
Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam
segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan
penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu
jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing
agama.62 Terlebih masing-masing agama memiliki identitas sebagi simbol dan
pesan agama tidaklah secara seimbang ditangkap dan ditafsirkan oleh berbagai
lapisan sosial. Demikian dinyatakan Taufiq Abdullah.63
Jiwa toleransi beragama dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut:
1. Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain.
2. Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.
3. Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama.
4. Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan.
5. Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada
toleransi beragama.
61 Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made
Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj), (Yogyakarta: LKIS, 1997), h.204 62 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun
Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 63 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 245
33
6. Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Mungkin hal-hal ini
dapat mengubah ketegangan hidup beragama yang dirasakan ada dalam
masyarakat kita sekarang.64
Dengan upaya menjunjung tinggi nilai dan semangat pluralitas tersebut,
maka diharapkan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang besar. Oleh
karena itu, penulis sepakat dengan pendapat Fazlur Rahman bahwa, setiap
peradaban besar mengembangkan beberapa ciri khas yang tersembunyi dibalik
ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas yang tersembunyi
dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas itu menjadi
kebajikan khusus karena mereka muncul untuk menyumbang terhadap
ekspansinya, tetapi ketika peradaban itu mencapi puncaknya ciri-ciri itu kembali
dipermasalahkan.65
D. Pro-kontra Tentang Pluralisme
Nur Khalik Ridwan berpendapat, bagi pegiat wacana pluralisme, mereka
memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada
satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu
sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah
diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk
perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme
64 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun
Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 65 Harun Nasution & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam,
(Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985), h. 39
34
keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan
dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika.66
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu
penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena
itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk
yang datang dari luar Islam.67
Disamping itu akhir abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan-perubahan
yang mencengangkan. Kenyataan tersebut menurut Bachtiar Effendi, telah
menghadapkan masyarakat agama kepada suatu kesadaran kolektif terhadap
penyesuaian struktural dan kultural.68 Keanekaragaman agama akan menjadi
kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara
menyenangkan di sebuah negara.69
Namun bagi mereka yang begitu mencurigai akan bahaya pluralisme,
mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Maka menjadi
penting menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan
protestanistik yang kini digandrungi sebagai Muslim sangatlah begitu pelik.
Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad
modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi
(baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya
dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
66 Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
(Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 77 67 Saifudin Zuhri Qudsy (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan
Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ , 2003), h. 5. 68 Bachtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta:
Galang Press, 2001), h. 3 69 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. h. 80.
35
Anas Malik Toha mensinyalir, sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama. Demikian dikatakannya.70
Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis.
Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan
pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika
gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme
politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik
(politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis
terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman
sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam
masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua
puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.71
Dalam konteks Indonesia, pikiran yang mengaggap semua agama itu sama
sebenarnya telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya.
Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan
“baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.
70 Diakses dari tulisan anis malik toha, http://www.Hidayatullah.com_content&task
=view&id=1460&itemid=0, dengan judul: pluralisme agama. 71Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,. h. 86
36
Umat Islam seperti mendapatkan pekerjaan rumah yang baru dari luar rumahnya
sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah
kebhinekaan atau pluralitas saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan
hukum-hukum terkait. Dalam Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama’
Indonesia, MUI telah mengeluarkan 11 fatwa, dimana sejak berdirinya MUI
belum pernah mengeluarkan fatwa sebanyak itu.
Menurut Frans Magnis, teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter
(Protestan) dan Raimondo Panikkar (Katolik), adalah tokoh dengan paham yang
menolak ekslusifisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya
sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-
tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar dari pada
yang lain-lain.72
Disisi lain bagi mereka yang pro terhadap pluralisme memaknai dikatakan
Nur Khalik, pluralisme adalah sebauah paham yang menegaskan bahwa hanya ada
satu fakta kemanusiaan, yakni keragamaan, heterogenitas dan kemajmukan itu
sendiri. Oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah
diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk
perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara, dalam pluralisme,
perbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam
bentuk hemogenitas, kesatuaan, tunggal, mono dan ika.73
72 Ibid,. h. 94 73 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 77.
37
E. Wacana Pluralisme di Indonesia
Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman
pluralisme, bersama liberalisme, dan sekularisme pada tahun 2005, alih-alih
masyarakat serentak menyetujui, tidak sedikit terutama dari kalangan intelektual
muslim sendiri yang malah memberikan respons secara kritis sebagai ungkapan
ketidaksetujuan terhadap fatwa tersebut. Artikel yang bernuansa menolak terhadap
fatwa MUI meluncur deras di beberapa media massa.74 Sebut misalnya artikel
yang ditulis M. Dawam Rahardjo, Mengapa Semua Agama Itu Benar?75 (Tempo,
1 Januari 2006). Dalam artikelnya itu, M. Dawam Rahardjo coba memaparkan
beragam perspektif tentang pluralisme. Poin penting dari penelusuran M. Dawam
Rahardjo adalah, ternyata pluralisme tidak bisa digiring hanya dalam suatu
perspektif sebagaimana yang menjadi dasar pertimbangan MUI.
Dalam menghadapi keragaman, kata M. Dawam Rahardjo, kita
membutuhkan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with
plurality). Tentu akan menyulitkan jika di satu pihak pluralitas diterima sebagai
suatu realitas sedangkan di pihak lain, pluralisme ditolak sebagai suatu paham.
74 Selain artikel, banyak juga publikasi yang berbentuk buku yang mengusung tema
pluralisme. Lihat misalnya, Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran (Bekasi Timur: Menara, 2006); Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2006); Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005); Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006); Jerald F. Dirk, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2006). Buku-buku ini berisi dukungan terhadap pluralisme. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, berpandangan bahwa pluralisme bukan sesuatu yang paradoks dengan al-Quran. Dalam analaisis Rakhmat, dalam al-Quran banyak sekali ayat yang mendukung pluralisme.
75 Lihat juga artikel M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekeluralisme dan Pluralisme”, http://www.icrp-online.org.
38
Respons kritis terhadap fatwa MUI, lebih-lebih yang berhubungan dengan
pluralisme, tidak hanya ramai pada awal-awal keluarnya fatwa.76
Beberapa media massa rupanya menganggap perbincangan seputar
pluralisme tetap memiliki aktualitas sehingga artikel yang memberikan sorotan
kritis terhadap fatwa MUI dimunculkan. Di Indonesia, pluralitas dan pluralisme
terutama yang terkait dengan agama seakan ditaqdirkan selalu berada dalam posisi
problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di
Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama.
Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7
M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi
Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat
Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya
Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini
ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu.77
Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi
konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan
pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua
agama. Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar
wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi
sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang
dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang
meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang
76 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 83. 77 Ibid, h. 84
39
terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-
Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan
banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman
manusia. 78 Peristiwa terakhir, yaitu penyerangan warga Ahmadiyah oleh
sekelompok orang tidak dikenal di Desa Cikeusik kembali mencoreng kerukunan
beragama yang berbeda keyakinan di Indonesia. Pemaksaan kehendak oleh salah
satu pihak yang mengklaim sebagai mayoritas seolah-olah mendapatkan
pembenaran oleh penegak hukum bahwa keyakinan yang diyakini oleh sebagian
besar golongan adalah kebenaran mutlak, sedangkan keyakinan yang dipegang
oleh minoritas seakan selalu salah dan dianggap sesat. Selain itu, insiden
penusukan pendeta HKBP oleh sekelompok organisasi masyarakat yang beda
agama di Bekasi seakan menegaskan bahwa pentingnya pluralitas keagamaan di
Indonesia. Karena jika konflik-konflik seperti ini tidak segera diatasi dan
diketahui solusinya, maka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan
dipertaruhkan.
Dalam konteks kehidupan beragama, MUI memaknai pluralisme (agama)
sebagai paham yang menganggap semua agama sama. Dari pemahaman ini lalu
berkembang logika begini: pluralitas yes, pluralisme no!. Tidak sedikit di
kalangan Islam yang sepaham dengan logika ini. Padahal, logika ini jelas
mengandung kerancuan (fallacy). Mana mungkin menyikapi pluralitas tanpa
memiliki sandaran pada salah satu perspektif pluralisme. Secara akademik
pandangan MUI dapat dipersoalkan mengingat pemaknaan terhadap konsep
pluralisme tidak tunggal.
78 Ibid, h. 85
40
Dalam pengertian generiknya, pluralisme merupakan pandangan yang
mengafirmasi dan menerima keragaman (http://en.wikipedia.org). Situs ini juga
mengemukakan penggunaan istilah pluralisme dalam agama (pluralisme agama)
yang diartikan sebagai relasi damai antaragama yang berbeda. Jika bertolak dari
pengertian tersebut, maka ada dua hal yang ditekankan dalam pluralisme agama.
Pertama, pengakuan sekaligus penerimaan terhadap keragaman termasuk dalam
agama. Keragaman agama merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Munculnya
berbagai agama pada masa sebelumnya secara historis tidak bisa menghapus
agama yang muncul pada masa sesudahnya. Begitu juga sebaliknya. Fakta ini
meniscayakan adanya suatu pengakuan terhadap keragaman. Kedua, perlunya
mengembangkan relasi damai dengan kelompok agama lain. Apa pun agamanya,
bisa dipastikan memiliki kepedulian pada masalah kemanusiaan. Semua agama
juga menekankan kepasrahan terhadap apa yang kita sebut dengan Tuhan. Poin-
poin inilah yang memungkinkan adanya perjumpaan, dan bahkan kerja sama,
antar-umat beragama, tanpa merasa perlu mempertukarkan keyakinannya. Wacana
semacam ini berkembang cukup pesat di tanah air sejak 1990-an. Penelitian ini
ingin merekontruksi wacana tersebut.
41
BAB III
BIOGRAFI INTELEKTUAL DAN POLITIK HASYIM MUZADI
A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi
Hasyim Muzadi adalah termasuk salah satu seratus tokoh nasional
Indonesia paling berpengaruh dipanggung politik nasional saat ini dan diprediksi
akan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam menentukan konfigurasi
politik bangsa di masa-masa yang akan datang.79 Hasyim Muzadi merupakan
tokoh terpandang di negeri ini dan saat ini ia masih menjadi Rais Syuriah
organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang memiliki
basis terbesar di negeri ini.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Hasyim Muzadi diakui kapasitas,
kapabilitas dan ketokohannya oleh publik baik dibidang pemikiran ataupun sepak
terjang politiknya. Sehingga Hasyim Muzadi menjadi tokoh yang diperhitungkan
dalam kancah politik Indonesia saat ini. Tentunya hal itu tidak semata-mata
karena ia pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU),
akan tetapi karena komitmen dan kontribusi ide-ide kebangsaan dan pergulatan
panjangnya dalam sejarah gerakan politik yang diawali sejak masih muda.
Terbukti nama besar Hasyim dapat mendongkrak suara pasangan Capres-
cawapres Mega-Hasyim pada pemilu 2004 secara signifikan walau tetap dibawah
perolehan suara Capres-cawapres SBY-Budiono.
Untuk mengurai dan membaca karakter pemikirannya secara detail
diperlukan penelusuran yang mendalam atas latar teoritis dan latar belakang sosio-
79 Zaenal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: Narasi, 2008), h. 162
42
kultural, pendidikan dan pengalaman dibidang organisasi, serta tokoh-tokoh yang
berpengaruh dalam membentuk gugusan pengetahuan personalnya yang nantinya
banyak menyumbangkan dan mengilhami pandangan-pandangannya dalam
bidang politik.
Hasyim Muzadi dilahirkan di Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944, dari
pasangan Muzadi dan Rumiyati. Ia merupakan anak ketujuh dari delapan
bersaudara. Secara geografis Tuban terletak dibagian Utara Pulau Jawa, tepatnya
perbatasan Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro. Di daerah inilah ia
menghabiskan masa kecilnya. Hasyim menikah dengan Muthomimah dan
dikaruniai 6 anak, yakni 3 putra dan 3 putri. Di masa kecilnya ia berada dalam
kehidupan yang tidak serba berkecukupan sehingga ia menjadi sosok pribadi yang
pantang menyerah. Tak heran jika anak ke-tujuh dari delapan saudara ini
mencanangkan kalimat “Tiada hari tanpa perjuangan”, sebagai motto hidupnya.80
Hasyim Muzadi, begitu akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di
Madrasah Ibtidaiyah di tanah kelahirannya Tuban pada tahun 1950-1953 lalu ia
pindah ke Sekolah Dasar (SD) Tuban sampai lulus pada 1955. Setelah itu ia
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di kota yang sama
hanya menempuh satu tahun yakni dari tahun 1955-1956. Lalu ia pindah ke
Pondok Pesantren Gontor dengan menempuh pendidikan KMI selama enam tahun
tercatat dari 1956-1962. Lulus dari Gontor ia pindah ke Pondok Pesantren Senori
Tuban tak lama kemudian ia pindah ke Pondok Pesantren Lasem pada tahun 1963.
Setelah ia selesai berkeliling dari satu pondok ke pondok yang lain ia melanjutkan
pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang dari tahun
80 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim
Muzadi, (Surabaya, LTN NU Jatim, 2004), h. 189
43
1964-1969. Sedangkan pendidikan non-formalnya ia tempuh di Pondok Pesantren
Gontor dan tamat pada tahun 1963.
B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi
Semenjak duduk dibangku kuliah, ia mulai mengenal berbagai tokoh
politik mulai dari tokoh-tokoh dunia hingga tokoh politik nasional, dari yang
klasik sampai kontemporer. Pada fase ini, Hasyim berkenalan dengan beragam
pemikiran politik mulai dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.81
Keterlibatan Hasyim dalam medan politik pergerakan dimulai sejak ia
menginjakkan kaki di bangku kuliah, ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) komisariat IAIN Malang. PMII82 adalah salah satu organ
gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi gerakan mahasiwa yang ada di
Indonesia yang memiliki kedekatan sosio-kultural dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Di organisasi inilah Hasyim mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan
dan terlibat langsung dalam konfrontasi gerakan mahasiswa dengan Orde Lama
yang sedang harmonis dengan kelompok komunis.
PMII yang baru seumur jagung pada masa itu sangat gencar sekali
melakukan gerakan anti-komunis. Bahkan melancarkan gerakannya lewat
81 http://id.wikipedia.org/wiki/hasyim-muzadi 82 PMII adalah salah satu gerakan mahasiswa (organisasi mahasiswa) di Indonesia PMII,
yang sering kali disebut Indonesia Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), anak yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 Hijriah. Namun, pada akhirnya PMII memilih lepas yakni independent dari organisasi induknya. Hal ini dipertegas dan dijelaskan pada kongres V PMII di Ciloto Jawa BArat pada tangggal 28 desember 1973. Semenjak itu PMII lepas secara structural sampai sekarang meski secara structural PMII tidak jauh brda dari tradisi NU.
44
demontrasi-demontrasi di jalan. Sehingga PMII meski berada dibawah naungan
NU namun, telah menunjukkan karakternya sebagai the agent of control.
C. Karier Organisasi dan Politik
Hasyim dikenal sebagai sosok yang sangat tulus memposisikan dirinya
sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup
nasionalis dan pluralis. Apa saja yag dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan
NU, Hasyim ikhlas melakukannya.83 Karakter tersebut ia bangun semenjak dalam
organisasi kepemudaan seperti gerakan pemuda Anshor84 dan organisasi
kemahasiswaan, yakni PMII. Hal inilah yang menjadikan modal kuat Hasyim
untuk terus berkiprah di NU.85
Kiprah organisasinya mulai dikenal sejak tahun 1992 ketika ia terpilih
menjadi ketua pengurus wilayah NU Jawa Timur. Posisi ini mampu menjadi batu
loncatan bagi Hasyim untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1999.
Sebagai organisasi keagamaan yang terbesar di tanah air ini, NU selalu menjadi
daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun juga
menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim
tidak bisa mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat suami dari Hajah
Muthomimah ini pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986. Karena itu partai Islam hanya
diwakili satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, jabatan
sebagai ketua PBNU-lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan
83 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi Perjalanan KH. Hasyim
Muzadi, h. 196-198 84 Gerakan Pemuda Anshor merupakan lembaga otonom yang bergerak sebagai lokus
gerakan kaum muda NU. 85 Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki, pada hari selasa, 30 Juni 2009
45
publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan wilayah aktivitas
alumni Ponpes Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur namun
telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang dengan
modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam Malang
yang menampung ribuan santri.
Kiprah Hasyim dalam memimpin NU tidak kalah beratnya dibandingkan
dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Semisal, dibandingkan dengan
kepemimipinan Abdurrahman Wahid yang telah akrab dibanding Gus Dur, NU
dibawah kepemimpinannya terakhir berduet dengan KH. Ilyas Ruhiat, pengasuh
Ponpes Cipasung Tasik Malaya Jawa Barat sebagai Ra’is Aam harus berhadapan
dengan pressure penguasa Orde Baru. Sedangkan di era Hasyim Muzadi, tekanan
terhadap NU terjadi justru karena membela Gus Dur dari gempuran konspirasi elit
politik yang berupaya keras menggulingkannya dari kursi Presiden Republik
Indonesia. Pembelaan NU bukan semata-mata posisi Gus Dur sebagai presiden,
melainkan lebih memilih pada nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan Gus
Dur.86 Kedua pemimpin NU tersebut memiliki karakteristik pemikiran yang
berbeda pula. Ketika Presiden Gus Dur diguncang konspirasi elit politik mau tak
mau NU dibawah naungan Hasyim Muzadi ikut pula tergoyang. Begitu
goncangan semakin kuat, NU pun ikut tergoyang kuat. Namun, ketika Gus Dur
dilengserkan, NU harus bersikap tetap utuh dan bermakna sebagai perekat umat
dan bangsa. Sebagai penyangga yang kokoh bagi negara hukum dan pengawal
yang setia atas wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia.
86 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan,
kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.
46
Integritas Hasyim yang lintas sektoral diuji. Ijtihad politik pria berusia 60
tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan87 untuk menjadi calon wakil
presiden (cawapres) di pemilu 2004, yang merupakan bagian dari sosok dirinya
yang moderat. “saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama”,
ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Mega-
Hasyim.88 Walaupun tidak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah
Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum
Nahdliyin, Gus Dur. Bahkan langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah
menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama.
Namun, diatas segalanya, hanya Hasyim yang tahu persis, maka di balik langkah
politik menuju kursi kekuasaan yang dulu dirintisnya.89 Secara politis
kemenangan kubu Hasyim Muzadi sebagai pejabat PBNU tertransisi telah
mengerahkan pengaruhnya. Sebagai hal ini berhasil men-setting ulang posisi
politik organisasi yang didirikan KH. Hasyim Asyari dan kiai-kiai lain pada tahun
1926.
D. Karya-karya Hasyim Muzadi
Dalam penelusuran penulis, karya-karya Hasyim Muzadi tidak jarang
ditemukan dalam bentuk buku. Ada empat karya yang telah diterbitkan menjadi
buku. Buku yang pertama, Membangun NU pasca Gus Dur (Jakarta: Grasindo,
1999). Buku ini merupakan bangunan gagasan yang mencoba untuk melakukan
87 PDIP adalah Partai Demokrasi Indonesia Indonesia Perjuangan ini meminang Hasyim
Muzadi sebagai calon wakil Presiden pada pemilu 2004. 88 Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Muzadi, pada kamis, 2 Juli 2009 89 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan,
kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.
47
peneropongan dan terobosan baru terhadap organisasi yang digelutinya. Ide-ide
terkait pembangunan NU ia ulas dalam karya tersebut. Meski buku ini lebih tepat
dikatakan sebagai promosi gagasan untuk mencalonkan diri dalam Muktamar NU.
Kendati demikian, promosi karya ini menjadi sisi lain dari Hasyim yang juga
mengantarkannya menjadi orang nomor satu di NU.
Buku kedua, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa,
(Jakarta: Logos, 1999). Buku ini membahas sederet pelbagai persoalan yang kini
dialami NU. Dimana kelahirannya sebagai organisasi keagamaan dan banyak
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap meluasnya pengaruh gerakan
pembaharuan yang dimotori kelompok Islam modernis. Namun, lambat laun pada
perjalanan kemudian NU seakan tak sanggup mengelak dari tuntutan zamannya
yang menghendaki pengambilan peran aktif dalam wilayah politik, bahkan
terkadang mengharuskan bersinggungan dengan panggung elit kekuasaan-
kekuasaan.
Menyembunyikan Luka NU, (Jakarta: Logos, 2002). Buku yang ketiga ini
mengulas tentang peristiwa-peristiwa yang menimpa NU. Dimana salah satu
tokoh kader NU yakni Gus Dur secara mengejutkan telah terpilih menjadi
Presiden Republik ini. Sayang saat masa kepemimpinannya tidak berjalan lama
karena dikudeta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pengkudetaan Gus Dur
dari kursi presiden yang telah dilakukan oleh elit-elit politik berdampak trhadap
NU. Sebab peristiwa tersebut telah menyulut bara kemarahan warga NU di
berbagai daerah yang tidak terima akan pencopotan Gus Dur dari kursi presiden.
Pada saat itulah oragnisasi NU mendapat guncangan keras dari berbagai kalangan
48
non-NU dengan menuduh bahwa NU telah menyulut perpecahan di bumi perttiwi
ini.
Lewat karya tersebut Pak Hasyim mencoba mengurai persoalan yang telah
menimpa NU sebagai bagian dari bangsa yang juga memiliki tanggung jawab
akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain
kehadiran buku tersebut merupakan klarifikasi akan peristiwa-peristiwa yang telah
memojokkan NU sebagai kambing hitam dari perpecahan bangsa. Buku keempat,
Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa (Jakarta, 2004). Karya ini
menjelaskan tentang bagaimana membangun bangsa dan negara Indonesia yang
beradab, berkeadilan, bermartabat, dan religius. Selain itu, ia juga ingin mengajak
anak bangsa bersama-sama membangun Indonesia menumbuhkan rasa percaya
dan meninggalkan berbagai purbasangka yang hanya akan merugikan negara ini.
Dalam buku ini ia ingin menegaskan bahwa pembangunan bangsa tidak
bisa dipikul atau menjadi tanggung jawab satu kelompok saja, tapi harus menjadi
komitmen dan tanggung jawab segenap warga negara. Karya ini juga membahas
berbagai persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia dalam
melanjutkan proses pembangunan. Tak lupa bahwa buku ini lebih
mengetengahkan masalah-masalah sosial keagamaan yang tidak terlepas dari
kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat dan ulama.
49
BAB IV
PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG
PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
A. Pemikiran Pluralisme Hasyim Muzadi
Untuk mengawali uraian dalam bagian ini, penulis mengutip beberapa poin
dari salah satu tulisan Hasyim Muzadi yang mengatakan:
“Setidaknya ada empat pilar yang mendesak digarap dalam mukhtamar ini. Pertama, pilar pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Ini faktor mendasar. Ini betul-betul harus mendapatkan prioritas, ini bukan seperti NU ini meninggalkan pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Tetapi bagaimana cara beragama yang optimal fi al-dunya hasanah dan wafil akhirotil hasanah. Jadi bagaimana kita beragama melahirkan kesolehan pribadi dan kesolehan sosial. Bagaiman lahir generasi yang solihun lidinihi tetapi juga solihun lizamanihi. Soleh terhadap agamanya tetapi juga soleh terhadap tingkat perkembangan zamannya”.90
Selanjutnya ia mengatakan :
“Pilar kedua, perumusan dan pembakuan tentang hubungan agama dan negara. Embrionya sudah ada sejak muktamar ke-27 di Situbondo. Tetapi dalam konteks kekinian perlu ada penajaman kembali dan pengembangan lebih lanjut. Terutama dalam fenomena, dimana sekarang banyak ekstrimitas yang menggunakan label agama dan kemudian menciptakan disintegrasi antara agama dan negara. Dalam kondisi seperti ini, maka konsep NU yang terkenal moderat sangat relevan di dalam meletakkan agama dalam sistem pluralisme Indonesia. Tingkat moderasi NU dilihat dari kerangka ajarannya yang meletakkan hubungan agama dan negara yang substansial inklusif”.91
Disisi lain, Hasyim sebagai tokoh yang peduli dengan kondisi Indonesia dan
Islam tentunya memiliki pemikiran sebagai representasi dari pemikiran Islam
sekaligus yang membedakan antara pemikirannya dengan para pemikir lainnya
sesuai semangat zamannya, maka untuk memahami terlebih dahulu apa yang
90 Hasyim Muzadi, “Menggagas Kebangkitan NU Kedua”. Kompas, Selasa , 9 November 1999. h. 33
91 Ibid., h. 35
50
dimaksud pemikiran Islam alangkah baiknya jika menilik tulisan dari Muslim
Abdurrahman yang mengatakan:
“Berbeda dengan ulama yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”. Mereka, dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptualis tidak lagi mengalirkan pesannya yang mendasar dalam zaman yang baru. Orang-orang seperti ini (sebagai anak zamannya), sesungguhnya memiliki kreatifitas sejarah, yang dapat melakukan transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam iman dan pikirannya yang selalu berjuang melawan “formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang menempatkan iman hanya sebatas kegiatan rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan “strukturalisme” islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh pencarian ijtihad untuk menghidupkan inovasi, kreatifitas, dan perubahan”. Oleh karena itu, “Berpikir Islami” merupakan sebuah pencarian makna keIslaman yang masuk akal. Kitab suci al-Qur’an dan sunnah, bukanlah memuat gagasan yang serba ada, atau merupakan sebuah “impian surga” yang sudah sempurna. Hubungan kitab suci dan warisan tradisinya (turast) sebagai petunjuk kehidupan memerlukan pembacaan yang terbuka, karena kaum muslimin menjumpai zaman dan lokus kebudayaan yang berbeda-beda”.92
Selanjutnya mengatakan:
“Berpikir Islam yang terbuka dan berwatak transformatif, sekali lagi memang lain dibandingkan dengan semangat mencari “Jawaban Islam” yang khas untuk disandingkan dengan pemikiran yang lainnya sebagai alternatif. Dalam pemikiran Islam yang “bebas”, kaum muslimin diluar kesadaran komunitsnya harus benar-benar menjadi manusia, seperti halnya manusia yang lainnya, dengan kebebasan berpikir-sekuler. Kendatipun mereka betulk-betul hidup dalam suasana moral dan emosi spiritual yang religius, namun dalam bernegara, demokrasi, dan ber-civil society, tentu tidak harus mempertanyakan terlebih dahulu, adakah dan dimanakah rujukan agamanya, karena hal-hal seperti itu merupakan bagian dari komitmen nilai hudup bersama dengan orang lain dan tentu saja semata-mata merupakan wilayah politik yang imajinatif. Corak berpikir Islam seperti ini, adalah sesuatu yang seharusnya terjadi secara natural dan harus dilakukan. Pertama, karena imajinasi politik seperti itu memang merupakan kebutuhan kontemporer yang belum pernah terpikirkan oleh para pemikir Islam skolastik. Kedua, orang Islam sekarang hidup dalam peradaban yang kesadarannya tidak mungkin bisa dibatasi oleh entitas yang singular akibat munculnya gejala “pinjam-meminjam” gagasan kemanusiaan yang sangat terbuka dewasa ini. Oleh karena itu, tidak mungkin kaum muslimin hidup dalam syari’ah dan keumatannya sendiri
92 Muslim Abdurrahman, Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama
Membaca Realitas, (Jakarta: Airlangga, 2003). h. 39
51
tanpa mempertimbangkan dirinya dalam kehidupan individu dengan orang lain, dengan negara dan sebagai warga negara yang luas”.93
Dari tulisan di ataslah penulis terinspirasi dan bermaksud menjelaskan
posisi pemikiran (Islam) khususnya pemikiran Hasyim Muzadi, dan kemudian
yang ingin penulis pertegas terlebih dahulu adalah makna pemikiran Islam. Fakhri
Ali dalam salah satu tulisannya sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi
mendefinisikan pemikiran Islam sebagai “refleksi” intelektual yang sistematis
dalam menanggapi permasalahan individual, sosial-politik, ekonomi dan
kebudayaan dari perspektif ajaran Islam.94
Definisi tersebut dapat kita terima dengan dua catatan. Pertama, bahwa
pemikiran Islam tersebut tidaklah terkooptasi atas kepentingan tertentu serta
sebagai suatu yang memang terbuka menerima ruang dialog terhadap bentuk
perubahan yang berlangsung. Kedua, menjadikan pendidikan sebagai basis
perubahan, di mana pendidikan yang matang akan melahirkan intelektual Muslim.
Hasyim dikenal sebagi sosok kiai yang memposisikan dirinya sebagai
seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal
“nasionalis dan pluralis”.95 Hasyim Muzadi mengatakan bahwa munculnya
konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga
pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang
harus diselesaikan. Bila menyangkut konflik menyangkut antar agama, ia
mengatakan NU telah melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin
93 Ibid., h. 47 94 Ihsan Ali Fauzi, “ Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an”, (Bandung : Prisma,
Edisi 1991). h. 31 95 Diakses dari Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Hasyim_Muzadi.
52
masalah itu diselesaikan hanya dengan peran satu kelompok saja. Bila konflik itu
ingin dituntaskan, maka harus melibatkan keduanya itu.96
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya WTC 11 September 2001 yang
memunculkan tuduhan AS langsung terhadap gerakan Al Qaeda sebagai
pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait
dengan jaringan Al Qaeda posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan.
Namun hal itu bukan berarti persoalannya selesai. Hasyim Muzadi memiliki
pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan
perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya
komunikasi dengan duni luar secara intensif, tak terkecuali dengan AS. Makin
banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indoinesia
dengan internasional dan AS, maka hal itu makin positif. Apalagi, ditengah
keterpurukan ekonomi, sosial dan keamanan di Indonesia saat ini kerjasama
internasional jauh lebih berfaidah dari pada keterasinagan internasional.97
Selanjutnya sebagi respon tindak lanjut dari pernyataan Hasyim di atas, ia
pun menjadi tokoh yang mendapat undangan pemerintah AS untuk memberi
penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup
gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat
gambaran langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga
besyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam
Indonesia kepada pihak luar. Beliau memberikan gambaran bahwa, umat Islam di
96 Diakses dari http://gp-ansor.org/?pageid+115 97 Ibid., h. 57
53
Indonesia itu pada dasarnya moderat bersifat kultural, dan domestik, serta tak
kenal jaringan kekerasan internasional.98
Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, betapa pun jumlah dan
kekuatannya Cuma segelintir, Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya
harus tidak sembarangan. Tidak boleh sekali-kali menggunakan represi. Bukan
hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS
bertindak, seperti dilakukannya di Afganistan atau negara-negara Timur Tengah,
dengan intervensi langsung, hasilnya bisa ruyam. Indonesia tidak bisa dipukul rata
dengan timur tengah atau negara-negara lain.99
Selanjutnya Hasyim menyarankan, alternatif pendekatannya jika represi
ditanggalkan adalah supaya pendekatannya dengan cara pendekatan pendidikan.
Kultural, dan sosial problem solving. Dengan cara demikian, maka gerakan-
gerakan kekerasan akan hilang.100 Pada kesempatan lain ketika terjadi konflik
Sunni-Syi’ah yang terjadi di Jawa Timur, Hasyim berpesan agar kelompok tetap
pada keyakinan masing-masing, serta tetap menjaga keseimbangan dan toleransi
kepada kelompok lainnya.101 Itulah sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black
September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika, yang menempatkan
umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini,
tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasioanal bawa umat
Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural dan tidak memiliki
jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh
98 Ibid., h. 46 99 Ibid., h. 48 100 Ibid., h. 51 101 Diakses dari www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-
syiah-jawa-timur-dipicu-provokator.htm,
54
umat di Indonesia yang dijadikan referensasi oleh dunia barat dalam menjelaskan
karakteristik umat Islam di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan penulisan pemikiran pluralisme keagamaan
Hasyim Muzadi, penulis menemukan paling tidak ada tiga pandangan penting
beliau yang bisa ditangkap, yaitu prinsip Islam Rahmatn Lil ‘Alamin sebagi solusi
alternatif atas persoalan bangsa dan dunia selama ini, pendekatan dialog
peradaban, dan pluralisme sebagai Humanisme.
1. Islam Rahmatan lil Alamin
Warna keberagamaan (Islam) yang “khas” masyarakat di Indonesia tengah
menghadapi gugatan dengan kehadiran penomena radikalisme beberapa tahun
terakhir ini. Ditengah serbuan berbagai arus informasi, pemikiran dan idiologi
yang masuk ke nusantara, saatnya NU sebagai organisasi yang sejak awal
menempatkan diri sebagai subyek kebangsaan dengan misi sosial keagamaan yang
memiliki ciri fakih fi mashalalihi-l-khalqi yakni yang selalu berpikir tentang
kemaslahatan umat manusia merekonsepsi ulang gerakannya. Sejak berdiri tahun
1926 permasalahan yang menjadi tantangan NU adalah tantangan global yaitu
dengan bangkitnya faham fundamentalisme agama dengan menggunakan baju
wahabi dan puritanisme, dan kolonialisme yang merajarela dengan
mengeksploitasi kekayaan bangsa-bangsa muslim dengan gagasan modernisasi
dan liberalisasi sebagai pintu masuknya.
Dalam menjembatani persoalan tersebut, ada satu harapan besar dari publik
agar Islam Rahmatan lil al’amin dapat diterjemahkan dalam sosial
kemasyarakatan khususnya dalam hal kontribusinya sebagai penyelesai konflik
55
global yang terjadi selama ini yang berpengaruh terhadap sistem dan sendi
kehidupan. Dalam pandangan Hasyim Muzadi, agar Islam bisa mewujud menjadi
Islam yang rahmatan lil ‘alamin harus bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam
dalam menyelesaikan konflik global hendaknya mengutamakan pendekatan
dialog. Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan
ketakwaan dalam arti agama hendaknya diposisikan dalam dimensi kemanusiaan
secara proporsional yang nantinya akan membentuk keshalihan sosial bukan
keshalihan individual. kedua hal tersebut pada tataran praktisnya saling berkait,
saling mengisi yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya.102
2. Pluralisme Teologis dan Sosiologis
Menurut Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul
Ulama di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis.
Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan
atau keyakinan "tahu campur" dalam agama. Konsep pluralisme kembali marak
dibicarakan menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.
Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual adalah hak original agama
masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas
agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan
waktu yang bersamaan.
102 Muslim Abdurrahman, Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, h.
103
56
Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan "umat" beragama
dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka
Tunggal Ika atau unity and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan
ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.
Menurut Hasyim, hal yang ia sampaikan mengenai pluralisme itu telah
disampaikan dan disepakati melalui utusan ICIS saat berada di Vatikan, Wina,
WCC/Kristen di Porto Alegre Brazilia dalam Assembly ke-9 tahun 2006, dan
dengan Katolik Ortodox di Moskow dan para biksu di Thailand.103
3. Pendekatan Dialog Peradaban
Pertengkaran yang terjadi antara dunia Timur dan Barat terutama pasca
terjadinya serangan WTC yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab telah menumbuhkan keprihatinan dari berbagai kalangan. Muhadjir Darwin
berpendapat, posisi dan peran agama menjadi serba paradoks jika persoalannya
diperluas dalam isu-isu demokrasi, humanisme, dan semacamnya. Belum lagi
persoalan pluralitas dimana yang cara anti-pluralitas yang dibawa karena politik
maka yang terjadi kemudian adalah perilaku yang ekslusif, yang cenderung
mendiskriminasikan terhadap hak politik warga negara lain yang mempunyai
agama yang berbeda.104
Karena itu, Hasyim berinisiatif melakukan sebuah upaya tertentu perlu
diusahakan untuk meredam konflik kedua belah pihak. Sejumlah konsep
diusahakan untuk mengatasi ketegangan tersebut. Untuk mencapainya dari pihak
Islam dan kaum muslimin harus berani melakukan terobosan-terobosan yang lebih
103 Hasyim Muzadi, Diakses dari http://www.nu.or.id/show/pages/625.html 104 Muhadjir Darwin, Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas Agma
dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press). h. 31
57
berani, yakni salah satunya, agama harus dikembalikan pada kedudukannya yang
sebenarnya yakni sebagai pemersatu umat. Agama itu hadir tidak dipakai tujuan-
tujuan kekerasan. Artinya agama harus dikembalikan ke rahmatan lil ‘alamin
yaitu menjadi pedoman kehidupan yang penuh rahmat dan kasih sayang. Disinilah
pentingnya dunia silam berkesempatan untuk menata diri.
Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang paling awal dilakukan menurut Hasyim Muzadi, adalah melalui ma’ruf dan nahi munkar. Akan tetapi ketika gairah untuk nahi munkar naik, amar ma’ruf sering kali tertinggal atau bahkan energi hanya terkonsentrasi untuk nahi mukar saja. Inilah yang kemudain melahirkan persoalan baru yang mengarah memunkar-kan hal baru. Atau justru me-makrufkan sebuah kemunkaran orang yang munkar, karena salah sasaran.105
Ada suatu pendapat yang dikemukakan Imam al-Ghazali didalam kitab
Ihya’ Ulumuddin, yang diadopsi pemikirannya oleh Hasyim Muzadi, bahwa Amar
ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-amr bi al-ma’ruf dan adab
al nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika yang disampaikan oleh al-Ghozali. Salah
satunya adalah memerintahkan orang untuk berbuat baik dan mencegah berbaut
jahat jangan sampai menimbukan kemungkaran yang lebih besar. Fikih Islam
mengenal “akhaffu aldhararain”. Maksudya, dalam kondisi yang dilematis,
dimana pilihan-pilihan untuk beramal semuanya buruk maka yang dipilih adalah
yang lebih sedikit bahayanya. Demikian dijelaskan oleh Ulil Abshar Abdala. Dari
dua konsepsi fikih diatas menurut penulis, Hasyim berusaha mewujudkan sikap
pluralis terutama dalam upaya mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.
Dalam usaha mewujudkan usaha diatas, Hasyim menggelar sebuah Konferensi Internasional Ilmuan Islam Sedunia yang bekerja sama dengan Departemen Luar Negri RI. Hasyim berhasil menghimpun seluruh tokoh pemikir Islam Internasional, ulama, dan dunia barat untuk duduk dalam satu forum (majlis) membicarakan persoalan umat manusia. Kegiatan tersebut bertajuk Internasional Conference Of Islamic Scholar atau Konferensi
105 Ibid., h. 44.
58
Internasional Ilmuan Islam yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC) tanggal 23-26 Februari 2004, Hasyim menghadirkan 300 ilmuan dengan 120 diantaranya uandangan berasal dari luar negri. Dua puluh orang dan yang separuh diataranya merupakan tokoh dunia ditampilkan sebagai pembicara.106
Menurut Hasyim, diharapkan dengan konferensi itu bisa meredakan
ketegangan antara dunia Timur dan Barat, dengan tujuan untuk menata uamt
Islam secara internasional dan melahirkan pemikiran khusus, khususnya dibidang
pendidikan, ekonomi dan media.107 Acara yang digagas Hasyim ini adalah
kegiatan society to society antara jam’iyah satu negara dengan jam’iayah negara
lain dengan melibatkan tokoh dunia baik sebagi perorangan maupun sebagi
lembaga. Hal itu dilakukan dalam kerangka untuk menghindari tarik menarik
kepentingan. Sebab konflik-konflik yang mengunakan Islam itu jarang sekali yang
murni dari agama. Biasanya suatu negara dengan negara lain yang kebetulan umat
Islamnya banyak berperang dimana umat bernegara tersebut ikut terlibat maka
agamanya juga ikut sertakan. Dengan hanya dihadiri oleh ulama’ dan tokoh
pemikir berkumpul Hasyim ingin meletakan agama, sebagai sumber nilai
kemanusiaan, sumber persatuan dan ilmu pengetahuan serta menjadi rahmat bagi
seluruh alam.108
Pemahaman seperti itu bukan berarti secara otomatis memisahkan antara
agama dan negara, tetapi dimaksudkan supaya orang melihat hubungan antara
keduanya secara propesional. Pemisahan agama dan negara merupakan konsep
yang masih pro-kontra, walaupun seyogyanya harus dapat dibedakan antara posisi
dan peran masing-masing.109
106 Ibid., h. 45. 107 Ibid., h. 57 108 Ibid., h. 46. 109 Ibid, h. 47.
59
Sesuatu yang hendak dikonsepsikan Hasyim Muzadi sebenarnya hanyalah
sederhana. Bagaimana umat Islam ini menjadi lebih cerdas dalam menangani
setiap permasalahan yang muncul. Karena didalam situasi kemelut apapun justru
yang lebih banyak adalah pihak-pihak yang menumpang dengan berbagai
kepentingan, dan kemudaian menyerang Islam itu sendiri. Analisis seperti ini
jarang dikatakan orang. Dalam stesel hubungan antara Barat dan Timur sejak
terjadi ketegangan, dan dalam dunia pergaulan yang acak itu, membuka leher
kemungkinan orang untuk menumpang kepentingan dalam mengacak-acak Islam.
Maka agar tidak bisa di acak-acak dari luar, hendaknya umat Islamnya sendiri
harus melihat kedalam dan bertindak dengan logika yang cerdas, sehingga kalau
ada serangan yang bersifat arogan pasti akan dapat diketahui sejak dini.
Sebaliknya jika pada saat umat Islam sendiri arogan, maka hal itu dijadikan
sertifikasi serangan orang ghairu Islam yang lebih hebat lagi.110
Yang sangat ditekankan disini menurut penulis adalah bahwa pluralisme
dapat dipahami bukan sebagai suatu yang netral. Ia tidak mengandaikan kita untuk
selalu permisif tanpa ada keberpihakan yang jelas, misalnya terhadap semangat
toleransi. Dalam Islam, memang sering ditantang dengan pemikiran semacam ini.
Pada saat kunjungan ke Amerika, yang paling mengesankan bagi Hasyim
Muzadi adalah ketika bertemu staf keamanan Presiden Amerika Serikat (Steve
Hadley) yang berkantor di gedung putih kemudian beliau berdua berdiskusi,
dalam diskusi tersebut Hasyim Muzadi, mengatakan bahwa Islam di Asia
Tenggara jangan disamakan dengan Islam Timur Tengah. Karena Islam yang di
Timur Tengah wawasannya fundamental selain negerinya sering “diobok-obok”
110 Ibid., h. 48-49.
60
Barat seperti dalam konteks Israel. Sehingga timbul perlawanan double,
perlawanan sebagai beda agama dan perlawanan terhadap imperialisme dan
fasisme.111 Maka kalau disana terjadi kekerasan-kekerasan, itu masuk akal. Kalau
di Asia Tenggara tidak demikian, dan tidak ada penekanan dari Barat, tidak ada
urusan langsung dengan Israel, dan sebagainya. Disitu terjadilah diskusi bahwa
Amerika kalau melakukan intervensi terhadap Indonesia maka kerugian ada pada
pihak Amerika untuk jangka panjang, sekalipun untuk jangka pendek merugikan
Indonesia.112 Maka kalau Timur Tengah dalam suasana perang mungkin banyak
pihak mengatakan sebagai suatu kewajiban. Dalam suatu perang yang demikian
itu , dalam Islam ada hukumnya sendiri. Dalam suasana perang disitulah tidak ada
jalan lain kecuali melawan dan jihad dengan mengangkat senjata, sehingga
melahirkan gerakan radikal dan fundamentalis yang sangat kuat. Disini
(Indonesia) maka dalam kenyataannya tidak ada perang. Perang yang demikian
memerangi siapa? Semuanya menjadi tidak jelas. Sebagian kelompok melakukan
kekerasan itu dengan dalih menegakan jihad. Padahal sebenarnya pengertian jihad
yang komprehensif tidak demikian. Apa pun yang dilakukan untuk kepentingan
agama mengandung arti jihad. Berani mati itu memang jihad, namun hidup
berkeadilan, hidup halal, dan hidup hidup makmur juga bagian dari jihad
fisabilillah.
Jadi apa yang diharapkan dengan dialog Timur dan Barat adalah upaya
penghentian kekejaman. Tapi kita menyelesaikan juga orang-orang yang telah
membuka kekejaman itu. Oleh karena itu perlu dihindari sumber-sumber konflik
111 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance
(Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004)., h. 142. 112 Ibid., h. 145
61
dan kembalikan agama harus dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya sebagai
rahmat bagi seluruh alam baik alam Timur maupun alam Barat.
Agama yang membawa rahmat tentunya bertumpu pada ajaran dan konsepsi
takwa secara tepat. Takwa adalah modal utama hidup di dunia untuk menuju
baldatun toyyibatun warobbun ghofur.
4. Plularisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme
Secara objektif fakta dilapangan menunjukan bahwa, bangsa ini dalam
kondisi pecah belah kerusuhan dan konflik berkepanjangan yang hampir tiada
ujung. Wilayah Indonesia yang begitu luasnya terdapat sejumlah daerah yang
sampai hari ini masih dalam situasi konflik berkepanjangan, mulai dari konflik
sara, etnis, separatisme dan juga konflik-konflik politik serta agama. Misalnya
bisa disebutkan sejumlah daerah yang menjadi titik rawan konflik seperti Aceh,
Maluku, Ambon, Kalimantan Timur, Papua Irian Jaya, Makasar, dan sebagainya.
Komitmen dan konsepsi Hasyim Muzadi berkaitan dengan fenomena keagamaan
akan dijelaskan pada bagian berikut.
a. Dimensi Humanisme Dalam Agama
Pluralisme keberagamaan Indonesia dalam pandangan Hasyim sebagaimana diungkapkan Anshori adalah bagaimana agama-agama menampilkan dimensi kemanusiaannya yaitu hidup berdampingan berkembang diatas fundamen tradisi agama yang saling menghormati, tradisi gotong royong, tradisi musyawarah dan dialog serta budaya santun. Secara lebih spesifik pada bahasan ini akan disampaikan bagaimana pandangan Hasyim Muzadi dalam melihat hubungan Islam dengan agama-agama lain dalam wacana pluralisme agama.113
Menurut Hasyim, bahwa pertemuan-pertemuan yang sifatnya
musyawarah sebagai bentuk dialogis antara umat beragama merupakan
113 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance., h. 54.
62
sesuatu yang sudah mentradisi pada jama’ah warga NU di Indonesia. Warga
NU sudah terbiasa melakukan pertemuan bersama teman-teman dari
Kristen dan Katolik terutama pada hal-hal yang harus diselesaikan bersama-
sama. 114
Sejumlah perubahan telah terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan
intensitas yang cukup dalam memperat tali dialog dengan umat semua
agama bahkan hampir setiap minggu dilakukan dialog dengan Kristen,
Katolik, Budha, Hindu, Konghucu untuk membicarakan hal-hal yang
menyangkut kepentingan dan hajat hidup bersama.
Hasyim Muzadi berpandangan bahwa agama Islam itu mempumyai tiga
bagian, yakni masalah teologi atau keimanan, masalah ibadah ritual, dan
masalah humanisme (kemanusiaan). Yang membedakan antara Islam dan
agama lainnya adalah tentang teologi dan ritual keagamaannya. Demikan
dijelaskan Anshori.115
Pada aspek nilai-nilai kemanusian semua agama mengakuinya sebagai
hal yang bernilai universal dan harus dijunjung tinggi dengan tanpa pandang
bulu. Hubungan kemanusiaan yang sudah terbangun tidak boleh rusak
hanya karena perbedaan teologi dan ritual. Itulah mungkin yang
membedakan NU dengan ormas Islam laninnya. Untuk masalah-masalah
humanisme (kemanusiaan), yang meliputi konsepsi persaudaraan, keadilan,
persamaan kemakmuran, cinta kasih, toleransi, kerjasama, dan juga anti
kekerasan semua menjadi tanggung jawab bersama. Prinsip dimasud adalah
114 Ibid., h. 55. 115 Ibid., h. 63.
63
nilai-nilai kehidupan yang universal yang juga dikehendaki oleh agama-
agama lainnya tidak terbatas hanya bagi umat Islam semata.
Menurut Hasyim, siapa yang mempunyai pandangan yang sama
terhadap nilai humanisme ini adalah saudara kita. Kemudian jika
menginginkan ber-Islam, dia cukup melakukan ritual dan keimanan.
Menurut Hasyim pula keimanan tidak mungkin dipaksakan. Ritual adalah
sesuatu yang berada diluar akal kita, karena bentuk dan metodenya telah
ditentukan Tuhan.116
Menurut penulis, pemikiran Hasyim Muzadi dapat dipetakan sebagai
berikut :
Pertama, Hasyim Muzadi dibesarkan dalam tradisi pesantren sehingga
nalar politiknya tidak begitu nampak dalam kehidupannya, akan berbeda
halnya jika semisal dia dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan politisi.
Akan tetapi karena sejak mahasiswa beliau sudah aktif di organisasi dan
selanjutnya semakin matang maka selanjutnya publik memepercayainya
untuk duduk di DPRD Jatim dan selanjutnya memimpin PWNU Jatim.
Kedua, meskipun Hasyim Muzadi pernah menjadi salah satu kandidat
cawapres mendampingi Megawati yang diusung oleh PDIP dalam pemilu
tahun 2004 yang lalu namun bukan berarti beliau mewakili kalangan politisi
tetapi karena semata-mata menjawab kebutuhan warga NU yang
menginginkan figur alternatif dimana PKB sebagai partai yang mayoritas
warga Nahdliyin ternyata belum sepenuhnya mampu mengakomodir
kepentingan warga NU.
116 Ibid., h. 56.
64
Ketiga, dalam praksisnya Hasyim yang berlatar belakang pesantren
sangat konsisten mengkampanyekan gerakan-gerakan yang mengarah pada
upaya dialog antar kelompok dengan seringnya mengadakan agenda yang
melibatkan antar kelompok yang bertaraf nasional maupun internasional
seperti dialog ulama Sunni-Syi’i yang berlangsung di Bogor, disamping itu
posisi beliau sebagai presiden Word Conference on Religion for Peace
semakin mengukuhkannya sebagai salah satu tokoh sekaligus pemimpin
ormas keagamaan yang memiliki kepedulian yang kuat akan kondisi sosial-
keagamaan yang mengarah pada pluralitas. Hal ini membuktikkan bahwa
posisi pesantren memiliki peran strategis dalam turut mendorong kearah
kesadaran akan kemajemukan yang tidak hanya pada keagamaan suku,
etnik, golongan, melainkan juga dalam dunia religius.
b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain
Hasyim Muzadi berpendapat bahwa kerjasama antara agama dapat
dilakukan pada dimensi humanisme. Sementara dalam soal keyakinan
diperselisihkan berbeda. Tapi baik Islam maupun Kristen tentu tidak tega
melihat rakyat menderita. Pada titik inilah perlu dibangun kerjasama, bahu
membahu satu dengan yang lainnya tanpa membedakan keyakinan yang
satu dengan keyakinan yang lainnya.
Karenanya bisa dimengerti bahwa untuk masalah hubungan NU dengan
agama-agama lain sangat baik dan sejati. Jadi bukan hubungan yang “pura-
pura” dan penuh dusta. Apalagi di Indonesia, suatu negara yang tidak
pernah mengalami tekanan antar agama. Mungkin berbeda dengan Timur
65
Tengah yang menggunakan tema agama dalam kekerasan. Di Indonesia, ini
semua tidak ada kesulitan yang berarti untuk hubungan antar agama.
Kebebasan menjalankan agama dan ibadah dijamin oleh negara.
Selama ini diakui ada kasus-kasus yang menghambat kerukunan antar
umat beragama di Indonesia. Tetapi hal ini tidak disebabkan oleh
pemahaman NU terhadap Islam. Kemungkinan kasus-kasus itu disebabkan
oleh masuknya pemikiran-pemikiran keras berasal dari luar Indonesia.
Demikian pula adanya kesenjangan ekonomi dan konflik budaya setempat
atau perlawanan terhadap pemerintah, sehingga gerakan-gerakan itu
terkadang juga menimbulkan akses bentrokan antara agama. Hal demikian
ini hanya merupakan sebagian kecil dan dapat diselesaikan oleh Nahdlatul
Ulama (NU) melalui peran ulama yang ada.117
Faktor lainnya yang menyulut konflik adalah pengaruh kelompok-
kelompok tertentu yang masuk ke Indonesia sebagai barisan pendatang.
Inilah sebagian minoritas yang tidak menyukai Nahdlatul Ulama (NU) yang
selama ini menjadi nilai ditengah-tengah umat Islam di Indonesia. NU
dianggap terlalu kompromistis, terlalu baik terhadap semua agama dan
mempunyai toleransi yang terlalu berlebihan terhadap budaya lokal (local
wisdom). Bahkan pada akhirnya mereka ini mengklaim NU sebagai bid’ah,
khurafat dan tahayyul.118
Kelompok ini kemudian mencoba melakukan purifikasi (pemurnian).
Purifikasi ini berkiblat pada realitas Islam di Timur Tengah masa lalu
(klasik). Sehingga semua harus dikembalikan kepada masa lampau. Mereka
117 Ibid., h. 57. 118 Ibid., h. 57-58
66
tidak mentolelir konsepsi humanisme itu berdasarkan yang kental dengan
nilai lokalitas budaya. Sehingga semuanya cenderung dianggapnya
bertentangan dengan teologi. Inilah yang kemudian bersambung dengan
kelompok-kelompok dari luar. Demikian penjelasan Anshori.119
Menilik dari kenyataan sejarah bahwa, walisongo bisa mengislamkan
orang Indonesia 90% tanpa perang. Hal inilah yang menjadi pertanyaan
dalam konteks perkembangan NU hingga sekarang, bagaimana NU tidak
terlibat dalam kekerasan dan selanjutnya bagaimana sikap NU terhadap
kekerasan dan terorisme internasional. Kenyataan tersebut dapat dipakai
untuk mensosialisasikan khittah. Islam yang rahmatan lil ‘alamin dibangun
dari mabadi’ khoira ummah, sementara politik secara nasional harus
mengandung landasan konsep mengayomi dan merekonstruksi dari civil
society. Negara dibangun melalui pluralisme, demokrasi dan konstitusi yang
disepakati bersama, dan di NU sudah memadai semua nilai itu didalam
“rahim jama’ah”. Mereka menginginkan islam di dunia seperti Islam nya
NU. Bagaimana pendiri NU menangkap ide walisongo lalu dijabarkan
dalam konteks negara Indonesia. Posisi NU hari ini sudah berada pada
maqaamam mahmuda, tetapi untuk sampai kesana Hasyim bilang, NU haus
berada diatas semua golongan.120
Dalam kaitannya dengan hubungan dunia timur dan barat sekarang ini
dari dua belah pihak (Islam dan Barat) terjadi sebuah kerancuan. Negara-
negara barat menuduh bahwa terorisme terkait dengan agama Islam.
Sementara kelompok muslim sendiri, punya persepsi seakan-akan perbuatan
119 Ibid., h. 58 120 Ibid., h. 59
67
itu harus dibela melalui agama. Kedua persepsi demikian itu tidak ada yang
benar. Seperti halnya tragedi Bali harus dilihat sebagai kejahatan
kemanusiaan, sehingga pelaku yang tertangkap perlu diterapkan hukuman
yang setimpal dalam arti mengadili kejahatan kemanuisaannya itu sendiri.
Hasyim Muzadi mengingatkan kepada semua pihak agar berhati-hati
dalam menyikapi dan penuh kewaspadaan terhadap munculnya konflik
ditengah masyarakat. Aparat yang berwenang harus cekatan. Kemungkinan
ada provokator yang membenturkan umat antar agama. Hal yang perlu
dikhawatirkan adalah munculnya kejahatan kemanuisaan dan kemudian
dihubungkan dengan agama. Jika demikian maka masalahnya akan menjadi
besar. Misalnya kasus bom Bali sungguh merupakan kejadian yang luar
biasa. Siapa pun pelakunya perlu dikutuk, karena sudah sangat tidak
mempertimbangkan nyawa. Dalam Islam, membunuh seorang sama dengan
membunuh seluruh manusia. Dalam ajaran agama manapun termasuk Islam
tidak terdapat ajaran yang membenarkannya. Peristiwa diatas tidak boleh
dikaitkan dengan agama yang kemudian akan terjadi konflik antar agama.121
Menurut penuturan Anshori, Hasyim Muzadi telah menegaskan, NU
sudah mencoba berbagai upaya agar berbagai konflik di daerah tidak
dipersepsikan sebagai konflik yang berdasar agama. Dalam menerangi dan
mengantisipasi gejala terorisme, Hasyim Muzadi meminta semua pihak,
agar tidak terjebak memakai kata jama’ah Islamiah. Konsep jama’ah
Islamiah ditakutkan akan menjadi konsep pukul rata semua jama’ah yang
berarti komunitas atau kelompok yang memegang teguh Islam sebagai
121 Ibid., h. 62.
68
agamanya dan melakukan dakwah-dakwah disemua tempat. Jika konsep ini
dipukul ratakan maka mengandung implikasi jama’ah umat islam dari
berbagai tempat terkena klaim sebagai barisan teroris, tidak terbatas
kelompok Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, dan kawan-kawan, namaun juga
jama’ah NU, Muhammadiah, al-Irsyad dan sebagainya terkena stigma dan
image bahwa mereka adalah teroris.122
Dalam upaya memerangi dan mengantisipasi terorisme secara bersama-
sama, Hasyim Muzadi melakukan silaturahmi bersama sejumlah delegasi
dari mancanegara, mereka menilai, NU tidak hanya merupakan kelompok
Islam moderat, tetapi juga sebagai titik temu sejumlah elemen bangsa.
Untuk itulah mereka datang ke Hasyim Muzadi karena membutuhkan
pemikiran-pemikiran dari NU terkait terorisme. Disitulah dihasilkan
kesepakatan dan persetujuan bahwa terorisme adalah persoalan serius
sehingga perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Apapun bentuk dan
alasannya, para pelaku aksi terorisme adalah pembunuh dan penjahat dalam
artian umum yang tidak mewakili agama apapun.
Memang berat perjalanan NU dimasa Hasyim Muzadi dimana ancaman
bertubi-tubi datang silih berganti yang jikalau NU sebagai jam’iyyah tidak
kokoh memperkuat diri maka Indonesia sebagai negara dan bangsa akan
hancur, karena bagaimanapun diakui atau tidak organisasi yang tetap
konsisten mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia adalah
NU.
122 Ibid., h. 63
69
Menurut Hasyim, Kalau NU ingin istiqamah, mencapai maqaamam
mahmudah. Maka untuk mencapai itu, ada beberapa pokok yang harus
dilakukan NU. Pertama, kembali pada metode assalafus saleh. Kedua,
harus dibangun ukhuwah Nahdliyah untuk menempatkan NU sebagai milik
Indonesia. Ketiga, keretakan dari umat Islam harus disambung kembali,
seperti dengan Muhammadiyah termasuk dengan ikhwan, sementara itu
ukhuwah wathaniyah yang retak harus disambung lagi. Keempat, awal 2000
sampai 2001, kalau bisa dibangun ukhuwah islamiyah
internasional.123Sampai hari ini NU sebetulnya belum menemukan bentuk
formasi ideal sebagai sebuah jam’iyyah yang mencerminkan organisasi
dengan pengikut terbanyak yang turut membawa kepentingan besar dalam
menentukan masa depan bangsa dan negara indonesia. Organisasi yang
diidealkan oleh warga NU adalah organisasi politik yang mampu
berkompetisi (berdaya saing) dengan organisasi politik yang lain dalam era
demokrasi sejati dan pemikiran abad kontemporer ini. Untuk itu, NU tidak
bisa disamakan dengan partai NU zaman dahulu. Sebab dimungkinkan
disitu ada ulama-nya yang bertugas menunggui, dan pengurus yang lain
adalah orang yang profesional pada bidangnya, sehingga mampu melahirkan
politisi dan berkembang menjadi negarawan.
B. Pandangan Hasyim Muzadi Terhadap Fatwa MUI
Pada saat MUI dalam musyawarah nasional-nya yang ke VII yang
berlangsung di Jakarta pada tanggal 26 sampai 29 juli 2005 yang mengambil
123 Ibid., h. 113.
70
keputusan dengan mengeluarkan beberapa fatwa yang amat kontroversial
terutama yang terkait dengan diharamkannya pluralisme, sekularisme, dan
liberalisme agama yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama islam. Hasyim
pun menyayangkan langkah yang ditempuh MUI dengan mengeluarkan fatwa
yang justru memicu persoalan baru. Menurut Hasyim, fatwa MUI itu merupakan
langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama.124 Ia menyatakan seperti
itu menurut penulis karena selama ini belum ada kata sepakat yang bisa jadi
karena perbedaan persepsi tentang definisi pluralisme, sekularisme, liberalisme
serta dampaknya terhadap islam di indonesia yang bisa-bisa justru memunculkan
gerakan baru yang mengarah kepada upaya formalisasi agama yang tentunya akan
terkait dengan konsep relasi agama-negara. Menyinggung prinsip hubungan
agama dengan negara, Hasyim menyebut agama substansialis yang inklusif, buka
ekslusif. Formalis ekslusif hanya akan memecah belah bangsa ini dalam hal
kerukunan umat beragama atau pertikaian antar suku dan budaya yang lain.125
Menurutnya :
“Jadi, bagaimana inklusifisme itu menjamin fluralisme, dan agama bisa berjalan dengan baik. Sudah ada paradigmanya tinggal mengembangkan saja”126
Di sisi lain munculnya fatwa MUI menjadi sangat memprihatinkan pada
saat tokoh-tokoh agama sedang giat-giatnya membangun sistem keagamaan yang
toleran, yaitu dengan upaya penghargaan terhadap kenyataan yang ada serta
menjungjung tinggi terhadap agama-agama maupun paham keagamaan yang di
dalamnya demi setabilitas bangsa serta diakuinya eksistensi, harkat dan martabat
bangsa Indosnesia di hadapan bangsa lain. Dengan kasus yang muncul di Ambon,
124 Kompas, 30 Juli 2005. 125 http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html. 126 Ibid., h. 72
71
Bali, dan daerah-daerah lain yang kasusnya hampir serupa tentunya mengundang
keperihatinan dunia internasional terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia.
Dengan keragaman tersebut jika dikelola dengan baik maka akan menghasilkan
keunikan yang diharapkan akan menjadi potensi positif tersendiri dan akan
menjadi ciri khas yang akan membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa
lainnya.
Namun ketika MUI memfatwakan tentang diharamkannya paham
pluralisme, sekulerisme, libralisme maka seperti menjadikan persoalan lama
dipaksakan untuk dimunculkan kemabli. Hal tersebut juga dinilai bertentagan
dengan ajaran Islam seperti dalam QS. A l-Baqoroh (2): 256 yang berbunyi la
ikraha fi ad-din yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama, munculnya
fatwa tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya pemahaman akan
kenyataan keragaman yang ada di Indonesia serta mengingkari sunatullah akan
kenyataan adanya perbedaan. Di sisi lain munculnya fatwa tersebut tanpa disadari
atau tidak justru akan menciptakan friksi baru di kalangan masyarakat bahwa
yaitu terkelompokannya antara yang pro dan kontra terhadap fatwa MUI tersebut
yang tentunya akan menambah beban tersendiri dalam upaya menciptakan
stabilitas bangsa melalui semangat pluralitas yang dibangun oleh beberapa tokoh
termasuk Hasyim Muzadi.
C. Komitmen Menjaga Pluralitas Kebangsaan
Dalam kurun tiga dasawarsa terakhir di penghujung abad ke-20, tuntutan
demokratisasi menggelinding secara massif di dunia internasional. Menguatnya
tuntutan ini lantaran demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk
72
mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal.
Demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk mengantarkan
masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi
dipandang lebih mampu mengangkat harkat, martabat kemanusiaan, lebih
rasional, dan lebih realistis, untuk mencegah munculnya kekuasaan yang
dominan, represif, dan otoriter.127
Dalam pandangan Hasyim Muzadi, demokrasi adalah sistem politik yang
paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Fakta sosiologis
menunjukkan, Indonesia adalah bangsa yang mengandung keberbagaian etnik,
kultur, agama, dan kepercayaan. Paling tidak, menurut Hasyim, ada dua nilai
fundamental yang secara inheren terkandung dalam demokrasi. Pertama, nilai
keadilan. Demokrasi mengandung tata nilai keadilan yang menjadi kebutuhan
fundamental seluruh umat manusia yang terekspresi dalam bentuk pemberian
kesempatan dan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk
mengembangkan talentanya tanpa perlu merasa khawatir adanya diskriminasi dari
penyelenggara negara atau kelompok-kelompok lain.128 Kedua, demokrasi
dipandang sebagai sistem yang paling mungkin dan memadai bagi penyatuan
kekuatan seluruh elemen kebangsaan. Demokrasi dipandang mampu
mengkerangkai ikatan-ikatan primordial selebihnya. Karenya, menurut Hasyim,
demokrasi harus ditempatkan sebagai kerangka dasar kebangsaan dan
diorientasikan secara sistematik pada upaya pemenuhan cita-cita kolektif
127 Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais
Tentang Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 59 128 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta,
Logos, 1999), h. 48
73
berbangsa dan bernegara.129 Demokrasi tidak bisa berpangku tangan atas nasib
rakyat miskin yang termarginalisasi secara ekonomi politik dengan hanya sebatas
berfokus pada penciptaan seperangkat sistem politik yang bisa meminimalisir
gerak laju dan kembalinya otoritarianisme.130
Menurut Hasyim Muzadi, demokrasi tidak hanya merupakan sistem
ketatanegaraan yang unggul dan saat ini dijadikan rujukan mayoritas negara-
negara di dunia akan tetapi secara prinsip mengandung struktur nilai yang paling
sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia yang notabene suatu bangsa yang
majemuk dalam berbagai hal. Demokrasi diperjuangkan tidak hanya karena
demokrasi merupakan sistem yang realistis dan manusiawi, tapi juga karena
inheren didalamnya ada potensi untuk menyatukan seluruh komponen dan
kekuatan bangsa. 131 Potensi ini tentu tidak dimiliki oleh agama dan berbagai
nilai-nilai primordial yang lain dengan demokrasi seluruh kekuatan kebangsaan
akan mampu dihimpun guna memperkokoh bangunan kebangsaan Indonesia.
Dalam catatan hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya
memperlihatkan pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham
yang menghargai eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan
dalam bentuk semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara
implisit mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang
semestinya bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar
tidak menjadi kekuatan yang tercerai berai.
129 A. Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi: Meawat Bangsa dengan Visi Ulama,
h. 72 130 Hasyim Muzadi, Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa, (Jakarta, Pustaka
Azhari, 2004), h. 29 131 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 48
74
Berpijak pada prinsip itulah para pendiri negara kita berusaha sekuat
tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai
semua bentuk penghargaan. Namun, harus kita akui bersama bahwa rumusan para
pendiri bangsa tentang penghargaan atas bentuk perbedaan tidaklah berjalan
mulus sesuai dengan harapan. Menurut penalaran Hasyim penyikapan terhadap
perbedaan yang selalu cenderung negatif merupakan cerminan dari masyarakat
yang belum memiliki kedewasaan budaya.132 Dalam pengertian perbedaan adalah
sesuatu hal yang harus dihindari atau ditaklukan agar tidak menyimpang bibit
perlawanan yang mengganggu kepentingan pihak yang berlawanan.
Selain itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor
potensial yang menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini
membawa nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain
sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara
sesama manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau
predikat yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang
menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling
menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.
Hasyim menyayangkan akan citra ideal agama yang tak jarang
menampakkan wajah yang kurang bersahabat ketika menjelma menjadi ideologi
atau keyakinan sekelompok orang yang bersifat mutlak, tertutup, agresif, dan
menjerumus ke arah ekskluvisme. Kebenaran yang dianut bukan lagi menafikan
kebenaran yang diyakini oleh pihak, tetapi lebih dari itu, penghormatan terhadap
132 Ibid, h. 50
75
suatu eksistensi diluar dirinya tidak diberikan sama sekali, sehingga perbedaan
dianggap fenomena yang menyalahi “kebenaran” itu sendiri.133
Dalam perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu
masalah yang serius karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam
secara tegas menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan
diturunkannya syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas:
Pertama, kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat
diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz
ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan hukum
(hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau
keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda atau hak milik pribadi
(hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifu al-
‘aql).134
Menurut pandangan Hasyim Muzadi, keharusan menjaga prinsip
pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tapi juga
dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa
berdasarkan pengalaman di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama
berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif
terhadap budaya lokal,135 termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga
mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.
133 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 53 134 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 55. Lihat
juga , Abdurahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme”, dalam Budhy Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. 546. dan Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h. 62
135 Hal ini didasarkan pada salah satu pandangan tentang teori masuknya Islam di Indonesia. Lihat, Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan: 1998), h. 68
76
Pluralisme yang ditentukan Hasyim Muzadi adalah pluralisme dalam
bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk
tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda
keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau
mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada gilirannya pluralisme ini akan
melahirkan sikap toleran terhadap yang lain. Sikap ini amat penting ditetapkan
dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Prinsip ini pula yang mendorong
Hasyim Muzadi untuk menyuarakan kepada kaum muslimin agar bergaul dan
bersahabat dengan penganut agama lain.
Langkah kongkrit Hasyim dalam memperjuangkan pluralisme juga
direalisasikan lewat gerakan International Converence Islamic Scholars (ICIS)
dengan mengusung tema besar Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Dimana gerakan ini
bertujuan membangun persamaan persepsi dikalangan umat Islam sendiri atau
non-Islam. Selain itu gerakan ICIS berupaya mencari jalan keluar dari konflik
berkepanjangan yang terjadi di negara Islam atau non-Islam. Semuanya itu
merupakan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.136
Sikap pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama
dalam keragaman sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.
Sikap pluralistik dengan sendirinya menampik setiap upaya untuk menjadikan
Islam sebagai ideologi negara dan menggantikan pancasila. Sikap itu pula yang
membuat Hasyim Muzadi sangat gigih menentang keras kalangan Islam yang
berniat mengganti ideologi pancasila dengan Islam.137
136 Diakses dari http://www.antara.co.id/, pada hari senin, 06 Juli 2009 137 Pernyataan ini sering dilontarkan Hasyim Muzadi dalam menanggapi kelompok Islam
keras (ekstrimis) yang seringkali melakukan kekerasan atas nama agama, dan tak jarang gerakan
77
Visi Hasyim Muzadi tentang pluralisme dan toleransi tergambar dalam
pernyataan berikut :
Sikap akomodatif yang lahir dan adanya kesadaran untuk menghargai
perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh
bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi
hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai
kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. 138
Sikap hidup demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis,
toleran, dan pluralistik Hasyim Muzadi. Sikap itu pula yang bisa menjelaskan
kekuasaan pergaulan dan wawasan Hasyim Muzadi yang ternyata bersumber dari
banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia serta
pandangannya tentang pluralitas kebangsaan yang tetap relevan untuk Indonesia.
ini selalu berupaya untuk mengganti sistem negara pancasila dengan ideologi Islam atau khilafah. Diakses dari http://www.eramuslim.com/, pada hari Senin, 29 Mei 2009
138 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 61
78
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi
sebagaimana dipaparkan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Sebagai seorang tokoh yang pernah memimpin sebuah organisasi
keagamaan terbesar di Indonesia, Hasyim Muzadi memiliki beberapa
pemikiran, diantaranya adalah tentang pluralisme agama. Pemikiran
Hasyim Muzadi dalam hal pluralisme agama ini adalah :
a. Gagasan tentang Islam Rahmatan lil ‘Alamin yg menurutnya
merupakan solusi alternatif atas kebuntuan global yang sampai saat ini
belum terpecahkan. Pada dasarnya pemikiran Hasyim Muzadi tersebut
berawal dari kegelisahan atas implikasi yang muncul atas berbagai
kasus yang mengancam pluralitas dan lahirnya gerakan radikal yang
mengatas-namakan agama, dimana gerakan tersebut tidak
mencerminkan kenyataan atas kondisi kultur, social, dan budaya yang
berkembang di Indonesia.
b. Pendekatan dialog peradaban. Untuk penerapan konsep Islam
Rahmatan lil ‘Alamin, menurutnya, yang paling awal dilakukan adalah
melalui amar ma’ruf dan nahi munkar dengan mengambil pendapat
yang dikemukakan Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin,
bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-
79
amri bi al-ma’ruf dan adab al-nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika
yang disampaikan al-Ghazali. Salah satunya adalah memerintahkan
orang untuk berbuat baik dan mencegah berbuat jahat jangan sampai
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, dan dari fikih Islam
“akhaffu aldhararain”. Dari dua konsepsi diatas, Hasyim Muzadi
berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam rangka
mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.
c. Pluralisme agama sebagai bagian dari humanisme. Hal ini bias
dipahami mengingat adanya dimensi humanisme dalam agama dan
adanya tuntutan kerjasama antara agama yang satu dengan agama yang
lain.
2. Relevansi pandangan pluralisme Hayim Muzadi terhadap masyarakat
Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya amat
dibutuhkan mengingat kondisi bangsa yang sedang menghadapi krisis
multidimensi termasuk kaitannya dengan sosial-keagamaan, maka gagasan
Islam Rahmatan lil ‘alamin menjadi solusi alternative atas kebuntuan
bangsa.
Menurut Hasyim, Islam bisa menjadi Rahmatan lil ‘alamin dengan
bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik
global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Dengan dialog
tersebut, diharapkan problem-problem yang sbelumnya tidak terpecahkan
karena tidak tersampaikannya kepentingan maka akan terselesaikan.
Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan
ketaqwaan. Dari situ maka agama akan menjadi sesuatu yang humanis
80
yang diharapkan akan membentuk kesalehan sosial, bukan hanya
kesalehan individual.
Disamping itu, dinamika keislaman yang sedang marak di
Indonesia hendaknya diarahkan pada hal-hal berikut : Pertama, umat
Islam harus sadar bahwa persoalan yang dihadapi saat ini tidak hanya
lingkup Indonesia, namun persoalan global-mondial, dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut memerlukan pengetahuan dan pemikiran
Muslim Indonesia yang nantinya akan menggabungkan diri dengan
pemikiran Islam Internasional. Kedua, upaya pencerdasan dalam berbagai
disiplin ilmu dan teknologi serta menerjuni segala sector kehidupan
modern, agar terkuasainya seluruh idiomnya maka umat Islam akan
menemukan kembali peradabannya. Disamping hal tersebut, upaya
Islamisasi dan atau penggalian ilmu yang orisinil Islam juga harus
dilakukan. Serta pembahasan sistem sosial, ekonomi dan politik yang
Islami juga perlu dipertajam. Ketiga, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf
nahi munkar yang mutlak perlu untuk mendorong terciptanya masyarakat
etis dan egaliter. Mengingat problem-problem sosial yang menyertai
pembangunan dan perubahan sosial ini, maka amat penting para
intelektual Islam lebih menguatkan advokasinya atas kelompok
masyarakat lemah yang menjadi korban dari proses pembangunan,
mempertajam kritik terhadap budaya yang merusak moral masyarakat
serta lebih memperkeras dorongan terhadap proses demokratisasi politik
dan ekonomi, terutama dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Keempat, dimensi tasawuf menjadi hal yang penting untuk dikembangkan
81
dalam teologi Islam. Karena menjadi sangat berbahaya pada saat akal tidak
memiliki pembimbing yang bermotif rohani yang bersih, di sisi lain
pemikiran keagamaan fuqaha’ yang memerlukan agama lebih sebagai
hokum dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi
semacam ideologi, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi
bathin yang menjadi inti keberagamaan yang sebenarnya. Dan secara
mendasar, agama yang membawa rahman bertumpu pada ajaran dan
konsepsi taqwa secara tepat.
B. SARAN-SARAN
Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut :
1. Sebagai organisasi dengan jama’ah terbesar di Indonesia yang pernah
dipimpin oleh Hasyim Muzadi sebagai tokoh pluralis, secara formal
mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan
umat, hendaknya PBNU dapat memberikan dorongan dan dukungan serta
perhatian yang sungguh-sungguh dalam menghadapi gerakan-gerkan yang
berupaya merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik
Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 yang dinilai NU sudah
menjadi harga mati.
2. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang menghadapi persoalan yang amat
kompleks, tawaran yang digagas Hasyim Muzadi merupakan salah satu
solusi alternatif yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
alangkah baiknya dengan solusi yang ditawarkan Hasyim Muzadi
82
tersebut, pikiran masyarakat menjadi terbuka melihat kondisi riil bangsa
Indonesia yang memang dilahirkan menjadi bangsa yang majemuk.
Semangat pluralitas tersebut akan dapat membangun jati diri bangsa
menuju bangsa yang berperadaban.
83
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER DARI BUKU :
Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.
Abdullah, Taufiq. Islam Dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1987.
Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 1993.
Abdurrahman, Muslim. Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama
Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003. _______ Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta:
Airlangga, 2003. Ahmad, Khurshid. Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka,
1983. Ahmad, Nur. (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta:
Kompas, 2001. Al-Brebesy, Ma’mun Murod. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin
Rais Tentang Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1999. Ali Enginer, Asghar. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999. Ali Fauzi, Ihsan. Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an. Bandung : Prisma,
Edisi 1991. Ali, Zaenal. 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Narasi, 2008.
Anshori, Ibnu. KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance. Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004.
Baso, Ahmad. Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi
Mendialogkan Agama Membaca Realiatas. Jakarta: Air Langga, 2003. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia PustakaUtama,
2008. Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar
Doktrin Yang Membantu. Jakarta: Kompas, 2001.
84
Darwin, Muhadjir. Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas
Agma dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2004. Effendy, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta:
Galang Press, 2001. Eko, Sutoro. Pelajaran Konsolidasi Demokrasi Untuk Indonesia. Dalam
pangantar buku terjemah Lary Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press, 2003.
Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), Bandung: Mizan,
2008. _______ (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), Jakarta: bulan
bintang, 1986. _______ Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri
Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987. _______ Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj). Jakarta: Bulan Bintang,
1990. _______ Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.). Bandung: Pustaka,
1985. Fealy, Greg. Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A.
Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj). Yogyakarta: LKIS, 1997.
Husaini, Adian. Plurlisme Agama Haram. Jakarta: Perspektif, 2005.
Hidayat, Surahman. Islam Pluralisme Dan Perdamaian, Jakarta: Robbani Press, 2008.
Hamid, Abdul Wahid. Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.),
Yogyakarta: Lazuardi, 2001. Hermawan, Eman. Politik Membela Yang Benar; Teori, Kritik dan Nalar.
Yogyakarta: Klik R, 2001. Iskandar, A. Muhaimin. Melampaui Demokrasi: Merawat Bangsa dengan Visi
Ulama. Jakarta: Grafindo, 2001. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1993.
85
Kleden, Ignas. Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agama dan Tantangan Jaman. Jakata: LP3ES, 1985.
Litle, David John Kelsay dan Abdul Aziz A. Sachedina, Kebebasan Agama dan
Hak-hak Asasi Manusia, Riyanto (terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, 2006.
Munawar-Rahman, Budhi. Islam pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001.
_______ (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.
Muzani, Syaiful (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution. Bandung: Mizan, 1995. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, cet. IV, 1993. Muzadi, Hasyim. Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa. Jakarta:
Logos, 1999. _______ Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa. Jakarta: Pustaka Azhari,
2004. Nasution, Harun & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam.
Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985. N. Bellah, Robert dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam
Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, Imam Khoeri, dkk (tej). Yogyakarta: Ircisod, 2003.
Qudsy, Saifudin Zuhri. (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah
Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ , 2003. Quttub, Muhammad. Islam Agama Pembebas, Fungky Kusnaedi Timur (terj).
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung:
Pustaka, 1984. Rahmat, M. Imdadun. (peng), Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca
Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003. Ridwan, Nur Kholik. Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur.
Yogyakarta: Galang Press, 2002.
86
Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1993.
Shodiq, Mohammad. Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim Muzadi. Surabaya: LTN NU Jatim, 2004.
Solissa, Abdul Nasir (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya. Yogyakarta:
LESFI, 1983. Turmudzi, A.M. “Merumuskan Keberislaman Secara Baru”, Jakarta: Basis, Edisi
Maret 1991. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi II, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
INTERNET :
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-ada-NU-dan-Muhammadiyah
http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html
Menggagas Kebangkitan NU Kedua. Kompas, Selasa, 9 November 1999. Kumpulan tulisan dari Koran detik.com, Suara Pembaharuan, Kompas: Kiprah
PBNU 2000-2001, Analisa dan Evaluasi Pemeritaan tentang Kepemimpinan Hasyim Muzadi, diterbitkan oleh eLkapim Malang, tanpa tahun.
http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0
http://www.insistnet.com/content/view/25/34/,
http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html.
http://www.icrp-online.org.
http://id.wikipedia.org/wiki
http://gp-ansor.org/?pageid+115
www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-syiah. http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html.
http://www.nu.or.id/show/pages/625.html