negara dan agama

Upload: ihsanhoy

Post on 10-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 3

    BAB 3

    PEMBAHASAN

    A. AGAMA

    1. Pengertian Agama

    Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang

    mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan

    Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan

    manusia dan manusia serta lingkungannya.

    Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, gama yang berarti

    "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini

    adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata

    kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan

    berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.

    mile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang

    terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan

    dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin

    berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas

    beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya

    Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang

    mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang

    dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik

    perbedaannya.

    Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan

    akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang

    luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari

    sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada

    bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri.

    Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Samadan lain-lain atau hanya

  • 4

    menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng

    Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.

    Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri

    kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:

    menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan

    yakin berasal dari Tuhan

    menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal

    dari Tuhan

    Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu

    penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama

    terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu

    paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian

    tersebut dapat disebut agama.

    Lebih luasnya lagi, Agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup.

    Yakni bahwa seluruh aktifitas lahir dan batin pemeluknya itu diatur oleh

    agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul,

    bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata

    cara agama.1

    Dapatlah di simpulkan bahwa kehidupan manusia tidak dapat

    dipisahkna dari agama, karena pada hakikatnya agama memiliki dua

    keistimewaan. Ia merupakan keutuhan fitri dan emosional manusia, dan

    ia juga merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fitri

    manusia yang tak sesuatu pun dapat menggantikan kedudukannya.2

    1 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama

    2 Perspektif alquran tentang manusia dan agama.hal44.

  • 5

    2. AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM

    Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang

    melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya :

    Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu

    (QS Ad-Rum [30]: 30)

    Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan

    menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya.

    Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama --boleh jadi sampai

    dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh

    rmeninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Memang, desakan

    pemenuhan kebutuhan bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap

    agama dapat ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.

    Tadinya manusia menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif pengganti

    agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa alternatif ini,

    sangat labil, karena yang dinamai "nurani" terbentuk oleh lingkungan dan

    latar belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan

    SiB,dan dengan demikian tolak ukur yang pasti menjadi sangat rancu.

    Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang mempersilakan manusia

    melakukan apa saja yang dianggapnya baik, atau menyenangkan tanpa

    mempedulikan nilai.

    Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena

    seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia, walaupun

    keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan manusia itu

    sendiri. Beberapa ilmuwan berpandangan bahwa,"Selama manusia masih

    memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama

    (berhubungan dengan Tuhan)."Itulah sebabnya mengapa perasaan takut

    merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.

    Ilmu mempercepat kita sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang

    dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama

    menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan

    batin. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi

  • 6

    harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai

    dengan "bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan

    "mengapa." Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang

    agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus. Demikian

    Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama

    dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan

    teknologi.

    Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio ada

    wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau bahkan dihadapi

    oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai semata-mata oleh akal, karena yang

    lebih berperan di sini adalah kalbu. Kalau demikian, keliru apabila

    seseorang hanya mengandalkan akal semata-mata. Akal bagaikan

    kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut

    yang tenang, tetapi bila ombak dan gelombang telah membahana, maka

    yang pandai berenang dan yang tidak bisa berenang sama-sama

    membutuhkan pelampung.

    Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan

    teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia

    tetap ingin jadi manusia. Ambillah sebagai contoh bidang bio-teknologi.

    Ilmu manusia sudah sampai kepada batas yang menjadikannya dapat

    berhasil melakukan rekayasa genetika. Apakah keberhasilan ini akan

    dilanjutkan sehingga menghasilkan makhluk-makhluk hidup yang dapat

    menjadi tuan bagi penciptanya sendiri? Apakah ini baik atau buruk? Yang

    dapat menjawabnya adalahnilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula

    filsafat. Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat

    menggantikan agama. Mereka yang mengabaikannya, terpaksa menciptakan

    "agama baru" demi memuaskan jiwanya.

    Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan

    Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia pertama

    di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu keindahan, kebenaran,

    dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai suci. Manusia ingin mengetahui

  • 7

    siapa atau apa Yang Mahasuci, dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan

    sejak itu pula ia berusaha berhubungan dengan-Nya bahkan berusaha untuk

    meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha itulah yang dinamai beragama, atau

    dengan kata lain, keberagamaan adalah terpatrinya rasa kesucian dalam jiwa

    beseorang. Karena itu seorang yang beragama akan selalu berusaha untuk

    mencari dan mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.

    Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik

    menghasilkan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni. Jika

    demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia, tetapi juga

    selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia yang tidak

    mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?

    3. Kefitrian agama

    Alquran al karim telah mengungkapkan bahwa Allah SWT

    menyimpan agama dalam lubuk jiwa manusia :

    Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas

    fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu.

    (QS.30:30)

    Disaat berbicara tentang para nabi, Imam Ali (alaihissalam)

    menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada

    perjanjian, yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan

    dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat diatas kertas,

  • 8

    melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan

    lubuk fitrah manusia, dan diatas permukaan hati nurani serta

    dikedalaman perasaan bathiniah.

    Hal diatas dikemukakan bukan untuk pembuktian atau argumentasi,

    melainkan untuk menegaskan bahwa islam adalah yang pertama kali

    menemukan fan menandaskan bahwa agma merupakan kebutuhan fitri

    manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini,muncul

    beberapa orang yang menyeru dan mempopulerkannya. Berbagai teori

    dan konsep mengenai hal ini muncul mula mula pada abad ketujuh belas,

    kemudian pada abad kedelapan belas dan sembilan belas, sedangkan Al

    Quran Al karim telas menandaskannya dalam firman Allah seperti

    tersebut diatas.3

    B. NEGARA

    1. Pengertian Negara

    Istilah Negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing:

    state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis).

    Secara terminologi, Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi

    diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk

    bersatu, hidup didalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintah yang

    berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada

    galibnys dimiliki oleh suatu Negara berdaulat: masyarakat(rakyat),

    wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Lebih lanjut dari

    pengertian ini, Negara identik dengan hak dan wewenang.

    2. Tujuan Negara

    Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang

    yang mendiaminya, Negara harus memiliki tujuan yang disepakati

    bersama. Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara lain:

    a. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.

    3 Perspektif Al quran tentang manusia dan agama.hal45.

  • 9

    b. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.

    c. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan hukum.

    Dalam tradisi barat, pemikiran tentang terbentuknya sebuah Negara

    memiliki tujuan tertentu sesuai model Negara tersebut. Dalam konsep

    dan ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan

    kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai

    makhluk social. Berbeda dengan Plato, menurut ajaran dan konsep

    teokratis Thomas Aquinas dan Agustinus, tujuan Negara adalah untuk

    mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat

    kepada dan dibawah pimpinan Tuhan. Pemimpin Negara menjalankan

    kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan

    kepadanya.

    Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan

    Negara adalah agar manusia bias menjalankan kehidupannya dengan

    baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing.

    Paradigma ini didasarkan pada konsep sosiohistoris bahwa manusia

    diciptakan oleh Allah SWT dengan watak dan kecenderungan

    berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara

    individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan.

    Adapun, menurut Ibnu Khaldun, tujuan Negara adalah untuk

    mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada

    kepentingan akhirat.

    Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara adalah untuk

    memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

    ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

    perdamaian abadi , dan keadilan social sebagaimana tertuang dalam

    Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945. Dengan demikian, dapat

    dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu Negara yang bertujuan

  • 10

    untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat

    yang adil dan makmur.

    3. Unsur-unsur Negara

    Suatu Negara harus memiliki tiga unsur penting, yaitu rakyat,

    wilayah, dan pemerintahan. Ketiga unsur ini oleh Mahfud M.D.

    disebut sebagai unsur konstitutif. Tiga unsure ini perlu ditunjang

    dengan unsure lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia

    internasional yang oleh Mahfud disebut dengan unsur deklaratif.

    Untuk lebih jelas memahami unsure-unsur pokok dalam Negara

    ini, berikut akan dijelaskan masing-masing unsur tersebut.

    a. Rakyat

    Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu Negara adalah

    sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan

    dan bersaman-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak

    bias dibayangkan jika ada suatu Negara tanpa rakyat. Hal ini

    mengingat rakyat atau warga Negara adalah substratum

    personel dari Negara.

    b. Wilayah

    Wilayah adalah unsure Negara yang harus terpenuhi karena

    tidak mungkin ada Negara tanpa ada batas-batas tertorial yang

    jelas. Secara umum, wilayah dalam sebuah Negara biasanya

    mencakup daratan, perairan, (samudra, laut, dan sungai), dan

    udara. Dalam konsep Negara modern masing-masing batas

    wilayah tersebut diatur dalam perjanjian dan perundang-

    undangan internasional.

    c. Pemerintah

    Pemerintah adalah alat kelengkapan Negara yang bertugas

    memimpin organisai Negara untuk mencapai tujuan bersama

  • 11

    didirikannya sebuah Negara pemerintah, melalui aparat dan

    alat-alat Negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan

    ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya

    dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama tersebut dijumpai

    bentuk-bentuk Negara dan pemerintahan. Pada umumnya,

    nama sebuah Negara identik dengan model pemerintahan yang

    dijalankannya, misalnya Negara demokrasi dengan

    pemerintahan system parlementer atau presidensial. Ketiga

    unsur ini dilengkapi dengan unsur Negara lainnya, konstitusi.

    d. Pengakuan Negara Lain

    Unsur pengakuan oleh Negara lain hanya bersifat menerangkan

    tentang adanya Negara. Hal ini hanya bersifat deklaratif, bukan

    konstitutif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada dua macam

    pengakuan suatu Negara, yakni pengakuan de facto dan

    pengakuan de jure. Pengakuan de facto ialah pengakuan atas

    fakta adanya Negara. Pengakuan ini didasarkan adanya fakta

    bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsure

    utama Negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah yang

    berdaulat). Adapun pengakuan de jure merupakan pengakuan

    akan sahnya suatu Negara atas dasar pertimbangan yuridis

    menurut hukum. Dengan memperoleh pengakuan de jure ,

    maka suatu Negara mendapat hak-haknya disamping kewajiban

    sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban

    dimaksud adalah hak dan kewajiban untuk bertindak dan

    diberlakukan sebagai suatu Negara yang berdaulat penuh di

    antara Negara-negara lain.

    4. Teori Tentang Terbentuknya Negara

    1. Teori kontak sosial

  • 12

    Teori kontak sosial atau teori perjanjian masyarakat

    beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-

    perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat

    a. Thomas hobbes (1588-1679)

    Bagi Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan

    yang aman dan sejahtera tapi sebaliknya. Oleh karena itu

    dibutuhkan kontak atau perjanjian bersama individu-individu

    yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan

    menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada

    seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.

    b. John Locke ( 1632-1704)

    Berbeda dengan Hobbes john Lock menanggap bahwa

    keadaan yang alamiah sebagai suatu keadaan yang damai,

    penuh komitmen baik dan saling menolong antara individu

    dalam masyarakat. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan ideal

    tersebut memiliki potensi kekacauan lantaran tidak adanya

    organisasi dan pimpinan yang mengatur kehidupan mereka.

    c. Jean Jacques Rouseau

    Berbeda dengan keduanya, menurut Rouseau keberadaan

    suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk

    mengikatkan diri dengan suatu pemerintah yag dilakukan

    melalui organisasi politik. Menurutnya pemerintahan dasar

    konraktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang

    dibentuk melalui kontak.

    2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)

    Teori ketuhanan dikenal juga dikenal istilah doktrin teokratis.

    Teori ini ditemukan baik di Timur maupun dibelahan dunia Barat.

    Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna

    dalam sempurna tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada Abad

    Pertengahan yang mengggunakan teori ini tunuk membenarkan

    kekuasaan mutlak para raja.

  • 13

    Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang

    dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat

    Tuhan untuk bertakhta sebagai penguasa. Para raja mengklaim

    sebagai wakil Tuhan di dunia yang mempertanggungjawabkan

    kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia.

    Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin

    politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan. Pandangan ini

    berkembang menjadi paham dominan bahwa dalam Islam tidak ada

    pemisahan anatara agama dan negara. Sama halnya dengan

    perngalaman kekuasaan teokrasi di Barat, penguasa teokrasi Islam

    menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti-kerajaan.

    Dipengaruhi pemikiran sekuler Barat, menurut pandangan

    modernis Muslim, kekuasaan dalam Islam harus

    dipertanggungjawabkan baik kepada Allah maupun rakyat.

    3. Teori Kekuatan

    Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara

    terbentuk adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan.

    Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (raison detre)

    dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan

    pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu

    dimulailah proses pembentukan suatu negara. Dengan kata lain,

    terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di mana

    sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk suatu negara.

    Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian yang

    terjadi dikalangan suku-suku primitif, di mana si pemenang

    pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang

    dikalahkan. Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern

    adalah penaklukan dalam bentuk penjajahan bangsa Barat atas

    bangsa-bangsa Timur. Setelah masa penjajahan berakhir di awal

    abad ke-20, dijumpai banyak negara-negara baru yang

  • 14

    kemerdekaannya banyak ditentukan oleh penguasa kolonial.

    Negara Malaysia dan Brunie Darussalam bisa dikategorikan ke

    dalam jenis ini.

    5. Bentuk-Bentuk Negara

    Negara memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum, dalam

    konsep dan teori modern, negara terbagi kedalam dua bentuk: negara

    kesatuan(unitarianisme) dan negara serikat(federasi).

    1. Negara Kesatuan

    Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka

    dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan

    mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya,

    negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem

    pemerintah: sentral dan otonomi.

    a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah

    sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh

    pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah

    dibawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat.

    Model pemerintah Orde Baru di bawah pemerintahan

    Presiden Soeharto adalah salah satu contoh sistem

    pemerintah model ini.

    b. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah

    kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan

    untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya

    sendiri. Sistem ini dikenal dengan istilah otonomi

    daerah swatantra.

    2. Negara Serikat

    Negara serikat atau federasi meru[akan bentuk negara

    gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah

    negara serikat. Pada mulanya negara-negara beberapa beagian

  • 15

    tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan

    berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara

    serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan dari

    kekuasaannya dan menyerahkan kepada negara serikat.

    Berikut adalah sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk

    negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok : monarki, oligarki,

    dan demokrasi.

    a. Monarki

    Pemerintahan monarki adalah model pemerintahan

    yang dikepalai oleh raja atau ratu. Dalam praktiknya,

    monarki memiliki dua jenis: monarki absolut dan monarki

    konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan

    dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau

    ratu. Adapaun, monarki konstitusional adalah bentuk

    pemerintahannya (perdana menteri) dibatasi oleh

    ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Praktik monarki

    konstitusional ini adalah yang paling banyal dipraktikkan

    dibeberapa negara, seperti, Malaysia, Thailand, Jepang dan

    Inggris. Dalam model monarki konstitusional ini,

    kedudukan raja hanya sebatas simbol negara.

    b. Oligarki

    Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang

    dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari

    golongan atau kelompok tertentu

    c. Demokrasi

    Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk

    pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau

  • 16

    mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan ke hendak

    rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).

    C. PERANAN AGAMA DALAM NEGARA PANCASILA

    Pancasila yang menjadi landasan dan falsafah negara telah membuktikan

    dirinya sebagai wadah yang dapat menyatukan bangsa. Dengan Pancasila

    bangsa Indonesia diikat oleh kesadaran sebagai satu bangsa dan satu negara.

    Dalam negara Panacasila Agama hidup dan berkembang denga

    perlindungan negaraam. Pemeluk agama berhak berhak untuk

    mengembangkan agama nya sesuai keyakinan agama yang dipeluknya.

    Masing-masing agama diberikan kebebasan untuk menyiarkan agamanya

    dengan tetap menghargai agama orang lain. Dengan demikian dalam negara

    Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, agama mempunyai peranan

    penting dan asasi dalam kehidupan bangsa dan negara. Bahkan, negara tidak

    hanya melindungi pemeluk agama dan memberi kebebasan untuk

    melaksanakan ajaran agama tetapi negara juga memberikan dorongan dan

    bantuan untuk memajukan agama.

    Hendaknya kita pahami bahwa tidak ada pertentangan antara Agama dan

    Pancasila. Artinya Pancasila adalah dasar dan ideologi negara yang harus

    kita mantapkan, sedangkan agama adalah keyakinan dan pedoman hidup

    sebagai manusia. Kedua-duanya tidak perlu dipertentangkan dan memang

    tidak bertentangan.

    Sebenarnya mengembangkan dan menyemarakkan kehidupan beragama

    menjadi kewajiban para pemimpin dan seluruh rakyat bersama Pemerintah.

    Dengan demikian dari umat beragama diharapkan partisipasinya dalam

    pembangunan bangsa, ikut menggairahkan dan menggerakkan masyarakat

    dalam membina kehidupan beragama dalam Pembangunan Nasional. Sebab,

    pembangunan agama merupakan bagian tak terpisahkan dalam

    pembangunan nasional.

  • 17

    Pembangunan agama sangat erat hubungannya dengan pembangunan

    nasional karena sedikitnya 99 persen dari bangsa Indonesia adalah pemeluk

    agama. Ini berarti pembangunan melalui pintu agama merupakan jalan

    terpendek dengan biaya relatif lebih murah. Banyak contoh yang dapat

    dikemukakan, misalnya hidup dan berkembangnya majelis talim,

    pengajian-pengajian di desa sampai ke kota dapat merupakan sarana untuk

    memasyarakatkan program nasional. Adanya lembaga keagamaan yang

    tersebar diseluruh nusantara merupakan kekayaan yang dapat dijadikan

    jembatan untuk memasyarakatkan program pembangunan dengan bahasa

    yang lebih dapat dipahami masyarakat.

    Agama harus selalu dipelihara, dihormati dan dihayati serta diamalkan

    oleh para pemeluknya. Dalam rangka pembinaan kehidupan umat beragama

    maka Pemerintah tidak bermaksud mengawasi tetapi sekedar mengarahkan

    dan membina dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa. Sebagai bangsa

    yang Agamis (religious), tentulah menginginkan agar nilai-nilai agama yang

    luhur dan universal itu benar-benar menjiwai kehidupan bangsa serta

    dihayati dan diamalkan baik secara individual maupun sosial. Disadari

    bahwa negara Pancasila bukan negara Sekuler. Sebab, negara Pancasila

    tidak dibentuk atas dasar paham sekularisme yang tidak sesuai dengan

    Falsafah Negara Pancasila. Demikian pula tidak dikenal pemisahan tentang

    urusan agama dan urusan negara, dan menganggapnya sebagai dua dunia

    yang sama sekali tidak bersangkut-paut satu sama lain.

    Dari uraian diatas jelas bahwa agama merupakan bagian dari kehidupan

    bangsa Indonesia, agama bahkan mempunyai tempat yang wajar dalam

    sistem kenegaraan. Karena itu harus diusahakan bagaimana agar agama

    sebagai kenyataan dalam kehidupan bangsa dapat menjadi penunjang dalam

    mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Demikian pula bagaimana

    agar kita dapat mendorong dan mengarahkan perkembangan agama

    sehingga mampu berperan dalam proses modernisasi bangsa secara positif

  • 18

    dan kreatif. Telah dikemukakan bahwa negara Pancasila telah meletakkan

    hubungan yang wajar antara negara dan agama. Dalam hubungan ini maka

    ciri masyarakat Pancasila yang diidam-idamkan benar-benar merupakan

    gagasan yang perlu beroleh pendalaman.

    Ungkapan agamis yang telah dipergunakan di atas harus dilihat dalam

    konotasi ideologis. Maksudnya ialah bahwa nilai-nilai agama mestilah

    beroleh tempat dalam interpretasi dan implementasi pancasila sebagai dasar,

    falsafah, ideologi negara kita. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa

    bangsa Indonesia yang diakui sebagai bangsa yang beragama itu tidak akan

    mengalami problem psikologis dan pecahnya kepribadian dalam usaha

    mereka menjadikan dirinya insan beragama dan insan pancasila. Seorang

    dan setiap warga negara harus meyakini sepenuhnya bahwa seorang

    beragama yang baik adalah juga seorang Pancasilais yang baik, dan

    sebaliknya seorang Pancasilais yang baik adalah juga seorang yang

    beragama baik.

    Ungkapan religious itu mesti diwujudkan dalam pelayanan nyata

    pemerintah terhadap hajat keagamaan dari masyarakat dan umat beragama.

    Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintah mencampuri masalah

    intern keagamaan, baik yang menyangkut masalah pemahaman maupun cara

    pelaksanaan ajaran agama. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban

    mengajak umat beragama untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan.

    Demikian pula berulang kali telah dikemukakan bahwa sebagai orang

    Islam seseorang berpedoman pada Al-Quran dan Hadist, dan sebagai warga

    negara seseorang juga berpegang dan berpedoman kepada Pancasila. Juga

    telah ditandaskan bahwa tidak semua orang Islam harus Pancasilais, hanya

    orang islam warga negara Indonesia saja yang harus Pancasilais. Umat islam

    di Saudi Arabia, Malaysia dan lain-lain tidak Pancasilais, mereka berpegang

    pada ideologinya masing-masing. Untuk menegaskan kedudukan agama ini

    maka di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea terakhir telah disebutkan

    bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar

    kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

  • 19

    Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

    kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan

    mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Di dalam UUD 1945 itu sendiri pada Bab XI pasal 29 tentang Agama,

    ditegaskan pula bahwa:

    1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

    2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

    agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

    kepercayaan nya itu.

    Untuk melaksanakan seperti dalam alinea terakhir Pembukaan UUD

    1945 maupun Bab XI pasal 29 dalam UUD 1945 itu, maka lewat Peraturan

    Pemerintah Nomor 33 tahun 1949 juga Peraturan Pemerintah Nomor 8

    tahun 1950 ditegaskan bahwa tugas dan kewajiban Departemen Agama

    (sekarang menjadi Kementerian Agama) secara garis besarnya adalah

    melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Di Indonesia dengan dasar negara nya yaitu Pancasila memiliki

    keberagaman agama yang tersebar di seluruh daerah-daerah yang ada di

    Indonesia ini. Keberadaan agama ini sangat penting pengaruhnya dalam

    upaya membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Agama memiliki

    peran yang penting untuk memajukan serta mensejahterakan bangsa ini.

    Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara yang mengakui adanya

    salah satu agama resmi dan tentu saja bukan negara sekuler. Tidak ada

    agama eksklusif yang harus lebih dominan diantara agama-agama lainnya,

    sekalipun diantaranya ada agama mayoritas mutlak dianut oleh warga

    negara nya. Negara Republik Indonesia menempatkan substansi dan nilai-

    nilai agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara amat penting.

    Baik umat Islam sebagai penganut mayoritas di negeri ini maupun penganut

    agama-agama minoritas lainnya tidak merasa ada hambatan di dalam

    mengamalkan ajaran agamanya.

    Hal yang harus ditimbulkan sebagai warga negara dan sebagai umat

    beragama di dalam wilayah NKRI ialah kedewasaan dan kematangan

  • 20

    beragama, berbangsa, dan bernegara. Semua pihak harus menghindari cara-

    cara anarkis di dalam menyelesaikan setiap persoalan, tetapi di sisi lain

    semua pihak juga harus taat terhadap hukum dan perundang-undangan yang

    berlaku di Indonesia. Setiap warga negara juga harus mempelajari lebih

    dalam lagi ajaran-ajaran agama yang mereka anut agar tidak ada kesalah

    pahaman di dalam mempraktikkan ajaran tersebut. Penguatan nilai

    ketuhanan sebagai landasan spiritualitas dan moralitas berbangsa dan

    bernegara pada gilirannya harus berakar kuat pada persemaian dan

    pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini secara

    formal, non-formal maupun informal menjadi tumpuan untuk melahirkan

    kualitas kepribadian. Yakni kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral

    seseorang, seperti kepercayaan dan kejujuran, penghargaan atas keragaman

    potensi dan identitas insani serta ketegaran dalam menghadapi kesulitan.

    Di dalam negara Indonesia ada yang namanya suatu pembangunan

    nasional, dan agama juga ikut berperan dalam pembangunan itu.

    Pembangunan bertujuan membangun manusia, dan agama bertujuan untuk

    kebahagiaan umat manusia juga. Pembangunan memerlukan nilai agama

    dan agama memberi bentuk kepada arti dan kualitas hidup. Kalau tidak

    demikian maka pembangunan akan kehilangan tujuan nya, kedalaman dan

    keindahan nya. Dengan demikian jelaslah bahwa agama memberikan

    motivasi dan tujuan bagi pembangunan. Dorongan untuk membangun

    diberikan oleh agama. Dan agama memerlukan pembangunan karena tanpa

    pembangunan agama berarti tidak dihayati dan diamalkan. Pembangunan

    nasional dan bangsa yang sedang dilaksanakan sekarang ini secara langsung

    menyangkut umat beragama. Berhasil atau tidaknya pembangunan tersebut

    pertama-tama akan dirasakan oleh umat beragama. Sehubungan dengan hal

    tersebut seluruh umat beragama haruslah mengambil posisi terdepan untuk

    mensukseskan pembangunan.

    Agama juga berperan dalam membangun masyarakat untuk menjadi

    lebih baik lagi, dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang terdiri dari

    keberagaman suku bangsa ini, peran agama sebagai bagian dalam sistem

  • 21

    masyarakat masih sangat terlihat. Agama selain menjadi sebuah

    penghayatan iman individu, ternyata juga mempunyai peranan dalam

    pembentukan sistem moral dalam masyarakat. Dalam fenomena ini jelas

    bahwa umat beragama di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar

    dalam pembangunan bangsa, negara, dan masyarakat.

    Beberapa agama besar di Indonesia masih terlihat dominan dalam

    memberikan aspirasinya menyangkut perpolitikan di Indonesia. Hal ini

    berpengaruh terhadap pembangunan negara karena politik menentukan para

    pemimpin yang melaksanakan pembangunan. Peran agama dalam politik di

    Indonesia dapat dilihat dari banyaknya partai-partai politik yang

    bernafaskan agama yang ikut dalam koalisi pemerintahan. Serta tingginya

    minat para pengikut agamanya untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

    Agama juga mendorong masyarakat untuk mendirikan organisasi-organisasi

    sosial agar keinginan untuk membantu orang lain dapat terwujud. Tidak

    hanya orang yang satu agama tetapi juga yang berbeda agama. Disinilah

    agama membuktikan bahwa ia bisa membangun negara melalui gerakan

    organisasi secara persuasif.

    D. KONSEP RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

    Antara relasi hubungan Agama dan Negara mengalami berbagai

    perdebatan yang cukup panjang dikalangan ulama islam hingga kini.

    Berkenaan dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan

    dengan relasi agama dan negara dalam islam dapat dibagi atas tiga

    pendapat yakni paragdima integralistik, paragdima simbiotik, dan

    paradigma sekularistik. Berikut akan dijelaskan secara rinci :

    a. Paradigma Integralistik

    Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan

    agama dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara yang

    tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang

    menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara

  • 22

    merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.

    Konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal

    pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini

    sama dengan konsep teokrasi.

    Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara,

    yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan

    hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma

    integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, yang

    sumber hukum positifnya adalah hukum agama.

    Paham ini dianut oleh beberapa ulama-ulama islam diantaranya

    yang paling ekstrim adalah golongan syiah dengan teori imamah

    mereka. Dan juga ulama-ulama yang terkemuka lainnya yakni, Al-

    Mawardi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, serta dikalangan ulama

    kontemporer seperti Rayid Ridho, kelompok-kelompok Ikhwanul

    Muslimin seperti Hasan Al-Bana, Syaid Qutub, dan lain sebagainya.

    Mawardi berpendapat bahwa Allah mengangkat untuk umatnya

    seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk

    mengamankan agama, dengan disertai mandate politik. Dengan

    demikian imam disatu pihak adalah pemimpin politik. Pemikiran ini

    tidak beranjak dari ilustrasinya tentang kepemimpinan pada masa

    Rasulullah dan Khalifah Ar-Rasyidin.

    Begitu juga yang ditegaskan Al-Ghazali bahwa agama dan raja

    ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu fondasi sedangkan sultan

    adalah penjaganya; sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh,

    dan fondasi tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan

    keharusan bagi tertib agama, dan ketertiban agama merupakan

    keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat nanti. Begitu juga

    Ibnu Khaldun yang dengan memberikan uraian tentang makna khalifah

    bahwa khalifah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh

    peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat

  • 23

    bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat

    adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus

    berpegang pada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat

    syariat (Rasulullah SAW) dalam memeliharaan urusan agama dan

    mengatur politik keduniaan. Dan Rasyid Ridha walaupun dia

    merupakan murid dari Muhammad Abduh yang berpemikiran

    simbiotik namun Ridha memiliki ide yang berbeda dengan sang

    gurunya, menurut Ridha eksistensi syariat sangat penting dalam rangka

    penetapan hukum syariat Islam. Bahwa Islam adalah agama

    kedaulatan, politik dan pemerintahan, maka bentuk pemerintahan yang

    lain (selain kekhalifahan) baginya tidak dapat menerapkan syariat

    Islam.

    Selanjutnya Al- Ikhwan Al-Muslimin yang dirikan Hasan Al-Bana

    di Kairo-Mesir tahun 1928, yang mana perhatiannya pada mulanya

    hanya pada kegiatan-kegiatan reformasi moral dan social, namun

    dalam perkembangan berikutnya munjadi suatu organisasi keagamaan

    dan politik, hal ini terlihat jelas saat mereka mendambakan berdirinya

    negara Islam di Mesir. Adapun pendapat tokoh-tokoh Ikhwanul

    Muslimin yang paling sentral adalah Islam adalah suatu agama yang

    sempurna dan lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan

    peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur

    segala aspek kehidupan termasuk kehidupan politik, ekonomi sosial,

    oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat

    Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu,

    kembali kepada kitab sucinya (Al-Quran) dan sunah Nabi, mencontoh

    pola hidup rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau

    bahkan jarang meniru pola atau system politik, ekonomi dan social

    barat.

    b. Paradigma Simbiotik

  • 24

    Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling

    membutuhkan dan bersifat timbale balik. Dalam konteks ini, agama

    membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan

    mengembangkan agama, begitu juga sebaliknya, negara juga

    memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam

    pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.Pemikiran ini dianut

    kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Muhammad

    Abduh, Jamaludin Al-Aghani, Yusuf Al-Qardhawi dan lain-lain.

    Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang

    mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang

    paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bias

    tegak. Pendapat beliau melegitimasikan agama dan negara merupakan

    dua etensitas yang berbeda tetapi saling membutuhkan. Oleh

    karenanya, konstitusi yang berlaku pada paradigm ini tidak hanya

    berasal dari adanya social contract tetapi bias saja diwarnai dengan

    hukum agama. Jamaludin Al-Afghani dalam membahas

    ketatanegaraan lebih menghendaki pemerintahan republic dimana

    pemikiran beliau lebih dipengaruhi pemikiran barat, namun hal ini

    menurut beliau cukup ideal diterapkan pada pemerintahan, sebab di

    dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus

    tunduk kepada undang-undang dasar tetapi tidak lepas dari

    pemahaman beliau terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam. Selanjutnya

    pemikiran beliau dilanjutkan oleh murid beliau yakni Muhammad

    Abduh. Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan, maka

    bentuk demikinpun harus sesuai perkembangan masyarakat dalam

    kehidupan materi dan kebebasan berpikir, menurutnya lebih jelas lagi

    bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan. Pemerintah dan

    rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara dasar-

    dasar agama, dan menafsirkan selama ia berkaitan dengan masalah

    keduniaan. Produk dari pemahaman ini tidak bertentangan dengan

    salah satu pokok agama.

  • 25

    Dalam kepala mereka adalah bentuk pemerintahan. Artinya

    merekalah yang menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang

    mereka kehendaki. Namun demikian tidak berarti Muhammad Abduh

    memisahkan antara urusan agama dan negara secara mutlak namun

    menurutnya Islam menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada rakyat

    dan pemerintah, dan pemerintah wajib menegakan keadilan yang

    dituntut oleh agama dan rakyat. Demikian juga pendapat yang di

    kemukakan ulama kontemporer Yusuf Al-Qhardawi bahwa ada yang

    mengatakan, karena demokrasi itu hukum dari rakyat oleh rakyat, yang

    berarti harus menolak pendapat yang mengatakan kedaulatan pembuat

    hukum hanya milik Allah, hal ini merupakan pendapat yang tidak bias

    diterima. Prinsip hukum milik rakyat yang merupakan asas demokrasi

    tidak bertentangan dengan prinsip hukum milik Allah yang merupakan

    asas penetapan hukum dalam Islam.

    c. Paradigma Sekularistik

    Paradigma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama

    dan Negara, agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda

    dan satu sama lain memiliki garapan di bidang masing-masing,

    sehingga keberadaannya harus dipisahkan. Hal ini dianut beberapa

    ulama kontemporer yakni Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal

    dan lain-lain.

    Menurut Raziq, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas

    kerasulannya, melainkan tugas terpisah dari dakwah Islammya dan

    berada diluar tugas kerasulan. Alasannya, bahwa Nabi Muhammad

    SAW memang telah mendirikan negara di Madinah, akan tetapi sulit

    membuat kesimpulan bagaiman prosedur penetapan hukum yang

    ditempuh oleh rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup

    mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, misalnya masalah

    keuangan dan wawasan, keamanan jiwa dan harta. Namun demikian,

  • 26

    bagian-bagian tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti ekspedisi militer

    untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah.

    Pendelegasian tugasnya kepada para sahabat untuk melaksanakannya.

    Jadi, kegiatan kenegaraan merupakan keadaan nabi yang terpisah dari

    jabatan beliau sebagai Rasul melainkan merupakan tugas beliau

    sebagai pemimpin dalam dunia muamalah manusia biasa. Pendapat

    tersebut sealiran dengan pendapat Muhammad Husain Haikal, dimana

    beliau menyampaikan bahwa sesungguhnya Islam tidak menetapkan

    system tertentu bagi pemerintah, dan akan tetapi beliau meletakan

    kaidah-kaidah bagi tingkah laku dan muamalah dalam kehidupan antar

    manusia. Kaidah-kaidah itu menjadi dasar untuk menentukan system

    pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah.

    E. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA MENURUT BEBERAPA

    PAHAM

    1. Menurut Faham Teokrasi

    Hubungan agama dan Negara menurut faham teokrasi digambarkan

    seebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan

    agama,pemerintahan dijalankan berdarkan firmanTuhan. Segala tata

    kehidupan dalam masyarakat,bangsa dan Negara dilakukam atas

    perintah Tuhan. Dengan demikian urusan kenegaraan atau politik dalam

    paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.

    Paham ini kemudian berkembang dan terbagi kedalam dua

    bagian,yakni paham teokrasi tidak langsung. Paham teokrasi langsung

    dan paham teokrasi tidak langsung. Paham teokrasi langsung

    mengatakan bahwa; pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara

    langsung. Adanya Negara didunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan

    oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan. Sedangkan menurut

    paham teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan

  • 27

    sendiri,tetapi yang memerintah adalah raja/kepala Negara yang

    memeiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja diyakini

    memerintah atas kehendak Tuhan.

    Contoh Negara yang menganut paham ini adalah kerajaan Belanda.

    Menurut sejarah,raja dinegara Belanda diyakini sebagai pengemban

    tugas suci yakni kekuasaan yang merupakan amanat suci dari Tuhan

    untuk kemakmuran rakyatnya.

    Dalam pemerintahan teokrasi tidak langsung,system dan norma-

    norma dalam Negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan.

    Dengan demikian,Negara menyatu dengan agama. Agama dan Negara

    tidak dipisahkan.

    2. Menurut Paham Sekuler

    Bila sebelumnya paham teokrasi menyatakan bahwa Negara dan

    agama itu menyatu sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun menurut

    paham sekuler justru kebalikannya. Paham sekuler memisahkan dan

    membedakan antara agama dan manusia lain-lain. Sedangkan agama

    adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan dua pandangan

    tersebut,paham sekuler mengatakan bahwa agama dan Negara tidak

    dapat disatukan.

    Dalam Negara sekuler,system dan Negara hokum positif

    dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma ditentukan atas

    kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman

    Tuhan. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan

    Negara,akan tetapi Negara membebaskan warga Negaranya untuk

    memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing dan Negara tidak

    intervensif dalam urusan agama.

    3. Menurut Paham Komunisme

  • 28

    Menurut paham komunisme yang dipelopori oleh Karl

    Max,hubungan agama dan Negara yaitu didasarkan pada filosofi

    matearilisme-dialektis dan materialisme historis. Paham ini sering

    disebut dengan paham atheis. Karl Marx memandang agama sebagai

    candu masyarakat (Marx,dalam Loius Leahy,1992:97-98). Menurutnya

    manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama,dalam

    paham ini dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum

    menemukan dirinya sendiri.

    Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang

    kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama

    dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia; dan agama

    merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus

    ditekan,bahkan dilarang.

    E. PERMASALAHAN AGAMA DAN NEGARA DI AWAL

    KEMEDEKAAN INDONESIA

    Perdebatan klasik sejak indonesia merdeka adalah bagaimana hubungan

    antara negara dan agama? sampai sekarang perdebatan itu tidak pernah

    berhenti. Coba perhatikan debat mengenai RUU pornografi, Pera syriah, dan

    Ahmadiyah, yang menyeret sejumlah kalangan dalam perselisihan yang

    nyaris tak berkesudahan. Pertengkaran tersebut bukan hanya perbedaan

    wacana, tetapi juga tekah berubah menjadi pentas adu kekuatan yang

    menulusup dalam beragam isu. Padahal, pangkal maslahnya adalah ketidak

    sesuaian persepsi dalam memandang hubungan negara dan agama.

    Titik itu seolah tak pernah terlewati. Beragam isu keagamaan umumnya

    selalu berpulang pada soal klasik itu, dan tidak bisa beranjak jauh.

    Belakangan muncul aneka gagasan yang lebih progresif seperti islam yes,

    partai islam no Nurcholis Majid atau gagasan yang lebih luas mengenai

    desakralisasi. Begitu pula kiai Abdurrahman Wahid yang kerap

  • 29

    menganjurkan pribumisasi Islam. Namun demikian, dari kacamata politik,

    pesona gagasan-gagasan tersebut kalah jauh dibandingkan perdebatan Islam

    versus negara.

    Secara teoretis hubungan islam dengan negara modern sangat

    problematis. Hingga sekreang masih banyak pandangan dan mazhab yang

    tidak mudah dipertemukan. Pada saat bersamaan, banyak daarah telah

    tumpah untuk mewujudkan impian. Sebut saja, Negara Islam. Sejarah

    modern tidak pernah sepi dari fenomena itu.

    Indonesia itu bukan perkecualian. Debat mengenai masalah yang masuk

    dalam pembahasan dasar negara itu berlasngsung sejak tahun 1945 dan

    tidak pernah tuntas hingga sekarang. Buktinya, gelombang reformasi

    memunculkan kebali perdebatan tersebut, dipicu oleh merebaknya partai-

    partai politik Islam dan ditingkahi isu-isu mutakhir seperti perda syariah dan

    Ahmadiyah. Semua menimbulkan tanda tanya, sejauh mana kita telah maju

    dalam merumuskan hubungan antara agama dan negara.

    Masalah itu perlu dituntaskan, setidaknya ada dua agenda pokok yang

    perlu diperhatikan. Agenda pertama adalah hubungan diantara agama dan

    negara, sementara agenda kedua adalah implementasi prinsip negara

    berketuhanan sebagai mana pesan Pancasila dan Konstitusi. Kedua agenda

    tersebut perlu di elaborasi lebih lanjut dan diupayakan dapat menghasilkan

    konsensus bersama tentang bagaimana seharusnya generasi mendatang

    mengelola masalah itu.

    Supaya tidak berkutat pada perdebatan klasik tak kunjung usai, maka

    penelusuran kembali wacana Islam dan negara di Indonesia menjadi suatu

    keharusan, bukan menjadi penggugat masa lalu, melainkan agar kita

    memperoleh teladan dan inspirasi bagaimana seharusnya mengelola

    kehidupan yang tidak sekuler sekaligus tidak mencerminkan negara

    agama.

    A. Awal mula perdebatan

  • 30

    Tidak satu pun tokoh menafikan peran penting Islam dalam

    membangun kesadaran nasional. Dan membentuk negara Indonesia

    merdeka. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, tokoh-tokoh dari

    golongan kebangsaan sangat menyadari akan penting arti islam dalam

    membangun kesadaran nasional. Islam dalam persepsi kalangan nasionalis

    dapat menjadi landasan moral dan etis bagi pergerakan kebangsaan.

    Meminjam peribahasa Soekarno, yang penting bagaimana api atau

    semangat Islam tetap berkobar. Walaupun negaranya sekuler, bila api dan

    semangat islam tetap berkobar niscaya Islam pula negara itu. Namun,

    merujuk kemerosotan dunia Islam, kalangan kebangsaan menolak

    penyatuan Islam dan negara. Meletakkan Islam sebagai spirit, atau landasan

    moral itulah kemudan hari dikenal dengan aliran substansialis.4

    Berbeda dengan tokoh-tokoh dari kalangan agama, terutama yang

    berhakuan modern. Agus salim dan Mohammad Natsir misalnya,

    memandang kemerdekaan dan cinta Tanah Air sebagaimana dikonsepsikan

    kaum nasionalis bukan sebagai ultimate goal. Menurut mereka, ultimate

    goal seharusnya adalah pengabdian kepada Allah. Bahkan, Natsir menilai

    kehadiran negara sangat penting untuk menjamin agar perintah hukum Islam

    dapat dijalankan. Artinya, kehadiran negara Islam adalah suatu keharusan.

    Kelak, padangan itu dikenal sebagai pendekaten literelis atau formalistik.5

    Selain kedua perspektif dominan tersebut ada perspektif lain yang tidak

    mencerminkan keduanya. Perspektif tersebut disuarakan Nahdlatul Ulama.

    Organisasi para kiai ini meyakini sistem pemerintahan Hindia-Belanda

    bersifat sekuler, namun bukan berarti syariat tidak bisa menjalankan di

    dalam sistem itu. Umpamanya, muktamar NU tahun 1936 melakukan

    terobosan fikih dengan memberi status negara kolonial sebagai Darul

    Islam demi menyelamatkan beberapa institusi Islam yang ada. Keputusan

    itu di satu sisi mencerminkan pandangan literalis (kesetiaan terhadap fikih

    4 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

    Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 76. 5 Ibid., hal. 78-80.

  • 31

    sebagai paradigma) dan mewakili pandangan substanisalis dengan

    mempertombangkan aspek kemaslahatan disisi lain.6

    Perspektif substansialis dan perspektif literalis tampak dominan dalam

    rapat-rapat BPUPKI. Golongan agama yang dimotori oleh Ki Bagus

    Hadikoesoemo mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka adalah Islam.

    Sedangkan golongan nasionalis yang dimotori Bung Hatta dan Soepomo

    menyukai dasar negara adalah persatuan. Debat tentang dasar negara

    berlangsung sejak sidang pertama BPUPKI pada 28 Mei 1945- 1 Juni 1945.

    Sayangnya tidak terlalu jelas siapa, apa, dan bagaimana tokoh-tokoh

    yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara mengemukakan argumen

    dalam sidang BPUPKI. Dokumen yang bisa diakses, buku Risalah Sidang

    BPUPKI, hanya mencantumkan pidato-pidato Muhammad Yamin,

    Soepomo, dan Soekarno. Ketiga tokoh tersebut sama sekalitidak

    mengusulkan Islamse bagai dasar negara.

    Dari ketiga tokoh itulah kita mengetahui alasan mengapa islam ditolak

    sebagai dasar negara. Soepomo misalnya, memeri argumen cukup sistematis

    tentang penolakannya terhadap Islam Sebagai Dasar Negara.

    Namun demikian Soepomo sangat tidak setuju bila negara nasional

    Indoneia bersifat a-religius. Menurut Soepomo, Negara Nasional yang

    bersatuitu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan

    memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang

    demikian itu dan akan hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar

    moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.

    Namun gagasan brylian tersebut tampaknya belum bisa meyakinkan

    anggota-anggota BPUPKI mengenai arti penting membangun negara bukan

    berdasarkan agama tertentu. Perdabatan tentang masalah itu agak sedikit

    mereda saat Sokarno berpidato pada 1 Juni 1945. Soekarno yang

    6 Asad Said Ali, Pergolkan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati (Jakarta: Pustaka LP3ES

    Indonesia, 2008), hal. 39.

  • 32

    mengusulkan pancasila sebagai dasar negara bisa meyakinkan kalangan

    nasionalis-relgius bahwa, meski tidak berdasarkan Islam, negara yang akan

    dibentuk adalah negara kita akan berTuhan pula. Semangat ketuhanan itu

    dimasukkan sebagaisalah satu prinsip dalam pancasila. Soekarno juga

    mencoba membesarkan hati kelompok nasionalis-Islam bahwa badan

    perwakilan nantinya akan diduduki orang-orang Islam. marilah kita

    bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk

    dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka pemuka Islam. Dengan

    sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu,

    hukum Islam pula.

    Gagasan yang dikemukakan soekarno tampaknya melegakan golongan

    yang sejak awal mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Setidaknya,

    Soekarno elah berusaha mangakomodasi berbagai pandangan yang

    mengemuka saat itu. Kekhawatiran golongan Islam mampu diredam

    Soekarno dengan mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang

    berTuhan. Di dalam Indonesia merdeka akan terdapat badan perwakilan

    yang se yogyanya diisi oleh pemuka-pemuka Islam. Dengan itu, produk

    hukum yang dihasilkan pula adalah hukum Islam pula. Pandangan itu cukup

    mengena. Usulan Soekarno mengenai mengenai Pancasila pun dibahas

    panitia kecil yang diberi tugas untuk menyusun mukaddimah UUD1945.

    Sebagaimana diketahui, panitia kecil berhasil menyempurnakan gagasan

    Soekarno. Lima dasar yang diusulkan diperbaiki panitia kecil menjadi

    rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang.

    Apakah rumusan dasar negara yang tercantum di dalam piagam jakarta

    memuaskan semua pihak? Dalam rapat BPUPKI 14-15 Juli 1945 misalnya,

    Kibagus Hadi Koesoemo, tokooh dari muhammadiyah menggugat kembali

    isi Piagam Jakarta, khususnya sila pertama. Dia mengusulkan kata bagi

    pemeluk-pemeluknya dihilangkan sehingga bunyi lengkap sila pertama

    menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam. Tokoh

    lain seperti Wahid Hasyim malah mengusulkan agar presiden dan wakil

  • 33

    presiden harus beragama islam serta agama negara adalah agama islam.

    Sementara pandangan kalangan kristen mengenai Piagam Jakarta tidak

    seragam. Maramys menyetujui, sedangkan Johanes Latuharhary berulang

    kali menolak karena menganggap bertentangan dengan hukum adat

    Maluku.7 Perdebatan sengit kembali meruyak. Soekarno bersusah payah

    meyakinkan agar rumusan yang telah dihasilkan dapat diterima. Dalam

    rapat BPUPKI 16 Juli 1945, Soekarno kembalimenekankan pentingnya

    pengorbanan semua pihak, khusunya golongan kebangsaan, suoaya bersedia

    menerima kesepaatan yang dihasilkan demi selekasnya menuju

    kemerdekaaan.

    Akhirnya lobi dari Soekarno membuahkan hasil yang diinginkan, dia

    berhasil meyakinkan beberapa tokoh nasionalis yang masih berkeberatan,

    bahwa Piagam Jakarta adalah sebuah bentuk kompromi yang maksimal.

    Begitu pula dengan golongan islam. Soekarno memberi jaminan kepada

    mereka bahwa negara yang akan dibentuk tidak perlu menjadi sekuler

    sebagaimana yang dikhawatirkan. Jaminannya adalah, pertama, rumusan

    sila yang pertama Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam

    bagi pemeluk-pemeluknya. Sila kedua , Presiden republik Indonesia harus

    orang Indonesia asli yang beragama Islam.

    Dengan tercapainya kesepakatan itu tampakmya menjadi sesuatu yang

    melegakan. Artinya, Piagam Jakarta dan naskah UUD 1945 yang dihasilkan

    BPUPKI adalah sebuah gentlement agreement sangat penting yang berhasil

    mempertemukan aspirasi-aspirasi golongan kebangsaan dengan golongan

    agama.

    Naskah Piagam Jakarta (yang di dalamnya terdapat rumusan

    :Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan kewajiban syariat islam bagi

    pemeluk-pemeluknya) dan rumusan UUD ( salah satu pasalnya

    7 Ananda B Kusuma, Catatan Seputar Simposium Restorasi Pancasila dalam Irfan Nasution dan

    Roni Agustinus (ed.), Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas (Depok: FISIP UI, 2006), hal. 240.

  • 34

    mencantunkan bahwa presiden harus orang indonesia asli yang beragama

    islam) kemudian disetujui 62 orang dan ditolak seorang anggota BPUPKI.

    Namun, debat tentang masalah itu belum final. Saat dibawa ke forum rapat

    PPKI tanggal 18 Agustus 1945 muncul perkembangan politik yang sangat

    menarik. Kelompok Kritsen dan Katolik dari Indonesia bagian timur,

    sebagaimana dikabarkan seorang opsir kaigun, tidak sreg dengan Piagam

    Jakarta. Bila rumusan tersebut tetap disahkan mereka mengancam akan

    keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Mohammad Hatta segera merespon aspirasi mereka. Sebelum rapat

    PPKI dibuka, Bung Hatta melobi Teuku M Hasan (salah seorang tokoh dari

    Aceh) untuk meyakinkan Ki Hadi Bagus Koesoemoagar bersedia menerima

    bila tujuh kata dan persyaratan presiden harus beragama Islam dicoret. Lobi

    Hatta berhasil. Ki Bagus rela tujuh kata tersebut dicoret demi

    menyelamatkan republik yang baru satu hari diproklamasikan. Bahkan Ki

    Bagus mengusulkan agar tujuh kata yang dicoret itu diganti dengan kata-

    kata Tuhan yang Maha Esa sehingga bunyi lengkapnya menjadi

    Ketuhanan yang Maha Esa. Penambahan kata yang Maha Esa: diartukan

    oleh Ki Bagus sebagai tauhid. Sementara bagi Mohammad Hatta rumusan

    itu menjadikan pancasila relatif lebih netral dan dapat diterima oleh

    kalangan non-muslim.

    Apa yang dapat disimpulkan dari perdebatan-perdebatan tersebut?

    Pertama, Pancasia dan pembukaan UUD 45 adalah suatu bentuk kompromi

    atau konsensus. Sebagai gentlemen agreement, tidak ada pihak yang seratus

    persen menang. Ada proses saling memberi dan menerima. Selain itu, hal

    yang diutamakan adalah kepentingan bersama. Kedua, Menolak gagasan

    yang memisahkan agama dan negara. Negara tetap berlandaskan spirit ke-

    Tuhanan atau moralitas keagamaan kendati negara tidak mematok diri

    dengan prinsip agama tertentu. Posisi demikian diterima oleh kedua kubu.

    Lalu, bagaimana bentuk negara yag tidak sekuler sekaligus tidak negara

    agama?

  • 35

    Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI memang tidak berhasil merumuskan

    secara jernih bagaimana bentuk keterlibatan negara dalam urusan agama

    atau sebaliknya bagaimana implementasi negara berdasarkan asas

    keTuhanan yang Maha Esa yang tercantum dalam pasal 28 UUD 1945.

    Masalah itu dipersepsikan akan menjadi tugas generasi berikutnya. Pada

    poin inilah letak persoalannya. Ketidak jelasan rumusan mengenai

    hubungan negaradan agama justru mendorong generasi berikutnya

    mengulangi kembali perdebatan lama yang tak kunjung tuntas.

    B. Simpang Jalan Ideologi Islam dan Pancasila

    Sayangnya, konsensus atau platform bersama dalam membentuk negara

    pada 1945 itu tidak serta-merta diresapi banyak kalangan, dan nyaris

    tenggelaman diterjang hiruk piruk revolusi. Begitu pula tatkala kedaulatan

    sudah diperoleh sepenuhnya, dan Indonesia mulai menata kehidupan

    kenegaraan dan kebangsaan. Pancasila sebagai platform dan konsensus

    bersama tidak lagi mengemuka dalam isu-isu kenegaraan dan kebangsaan.

    Tokoh-tokoh nasional saat itu agaknya lebih terpikat dengan apa yang

    dinamakan ideologi. Sebagaimana diketahui, akhir tahun 1940-an dan awal

    tahun 1950-an ditandai oleh perlombaan ideologi dunia yang sangat sengit.

    Kapitalisme Amerika Serikat sedang mencoba membangun dan memperluas

    pengaruh seluruh dunia, sementara Uni Sovyet perlahan namun pasti

    berusaha menandingi dengan gagasan-gagasan sosialisme. Kedua ideologi

    kapitalisme dan sosialisme berlomba-lomba di dalam era perang dingin.

    Hasrat untuk menarik Pancasila sebagai ideologi pun kiat menguat.

    Soekarno mungkin orang yang pertama memercikkan kembali isu

    sensitif itu. Ketika berpidato di Amuntai pada 27 Januari 1953, Soekarno

    terang-terangan mempropagandakan Pancasila sebagai ideologi pemersatu

    seraya menentang Islam sebagai ideologi negara. Pernyataan tersebut

  • 36

    langsung menimbulkan kegusaran di kalang tokoh agama.8 Ideologisasi

    Pancasila nyaris tak terbendung. Bahkan beberapa tokoh nasional mulai

    memandang Pancasila sebagai sebuah ideologi yang dapat disandingkan

    dengan ideologi-ideologi dunia. Muhammad Yamin, misalnya, gencar

    mengampanyekan Pancasila sebagai dasar rohani atau weltanschauung

    bangsa. Begitu pula di kalangan akademisi. Profesor Notonagoro, ahli

    filsafat hukum dari Universitas Gajah Mada, dalma pidato penganugerahan

    doktor honoris causa, memandang Pancasila sebagai ideologi negara yang

    ilmiah. Pidato itu menjadikan justifikasi bagi sejumlah upaya yang

    meletakkan Pancasila sebagai ideologi resmi bersifat menyeluruh.

    Pada mulanya, tokoh-tokoh Islam tidak menaruh kekhawatiran terhadap

    kecendrungan ideologisasi Pancasila. Bahkan Mohammad Natsir pada tahun

    1952 masih memandang positif terhadap Pancasila, seperti dikemukakannya

    pada forum The Pakistan Institute Of World Affairs, sebagai berikut:

    Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena

    penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan Islam sebagai agama

    negara. Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta

    bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam

    konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi

    Indoneisa tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegeraan. Bahkan ia

    telah menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan

    pada tempat teratas dari Pancasila lima prinsip yang dipegang sebagai

    dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangsa. 9

    Sikap positif berubah ketika proses ideologisasi Pancasila semakin

    kencang dan tak terbendung. Pemicu utama perubahan sikap adalah ketika

    kekuatan komunis masuk kedalam blok pendukung Pancasila. Kalangan

    Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi

    8 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Jakarta: Grafiti,

    1995), hal. 62. 9 Ibid.

  • 37

    oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi

    dimensi religiositas-nya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena

    adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamatkan

    perlunya dibentuk majelis Konstituante yang bertugas dalam merumuskan

    UUD yang definitif.

    Inilah yang mengubah sikap dan mendatangkan reaksi balik berupa

    penguatan ideologisasi Islam guna mengimbangi gerak langkah kalangan

    nasionalis dan komunis yang telah mencoba melakukan ideologisasi

    terhadap Pancasila.

    Masyumi mungkin merupakan salah satu partai terdepan saat itu yang

    mengampanyekan Islam sebagai ideologi yang layak diperjuangkan menjadi

    dasar negara. Argumen utamanya bertumpu pada pandangan bahwa Islam

    tidak bisa dipisahkan dari urusan politik dan ketatanegaraan. Negara

    dibutuhkan untuk menjalankan hukum Islam. Mengikuti asumsi itu, negara

    harus berdasarkan Islam. Negara bagi kita, tutur Natsir, bukan tudjuan,

    tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknja dan pada dasarnja adalah satu

    bagian jang tak dapat dipisahkan, satu intergreerend deel dari Islam. Jang

    mendjadi tudjuan ialah kesempurnaan berlakunja undang-undang ilahi, baik

    jang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu

    ataupun sebagai anggota dari masyarakat.10

    Partai-partai islam lainnya seperti NU ikut terseret arus besar yang

    dimotori Masyumi. Partai itu juga menolak Pancasila sebagai dasar Negara.

    Kiai Masykur, misalnya, mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah

    penyederhanaan yanag tidak mempunyai arti.Bila misalnya, sila

    Ketuhanan yang Maha Esa diartikan oleh seorang atau satu kelompok yang

    menganggap Tuhan sebagai batu, maka sila kepercayaan kepada Tuhan

    10

    Mohamad Natsir, Arti Agama dalam Negara, dalam Muhammad Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 442.

  • 38

    dalam Pancasila akan dipenuhi batu.11Pandangannya terhadap islam

    hampir sebangun dengan pemikiran Natsir. Sementara Muhammad Sjafii

    Wirakusumah, anggota konstituante dari NU mengatakan, Islam adalah

    peraturan Tuhan, suatu wet yang dibuat Tuhan Yang Maha Sempurna yang

    tidak ada kekurangannya. Islam tidak dapat dipisahkan daripada soal ibadah

    dan soal politik atau soal ketatanegaraan.12

    Polarisasi ideology menjadi tak terhindarkan. Menjelang pemili 1955,

    setiap kelompok dan golongan berusaha memantapkan posisi ideologis

    masing-masing. Sejak itu, simpang jalan dengan islam makin menajam.

    Adnan Buyung Nasution yang menyusun disertasi tentang kehidupan

    constitutional era demokrasi liberal mencatat sebagai berikut:

    Pada tahun-tahun berlangsungnya kampanye pemilihan umum (red,

    pemilu 1955), Pancasila dikembangkan menjadi doktrin atau pandangan

    dunia yang kompleks, yang berbeda dengan pandangan dunia yang lain.

    Perbedaannya dengan Islam, yang pada dasarnya sudah mempunyai

    pandangan dunia yang khas, menjadi semakin tajam karena setiap

    pandangan dunia selalu akan dianggap lebih benar, lebih lengkap dan

    sempurna dibandingkan dengan pandangan dunia lain oleh para

    penganutnya.13

    Pengamatan tokoh HAM itu tidaklah keliru. Ideologisasi telah

    mendorong dan mengharuskan Pancasila bersaing dengan ideologi-ideologi

    lain, khususnya Islam. Repotnya, gejala saling meniadakan sulit dihindari.

    Setiap kelompok mengklaim kebenaran ideologi masing-masing. Pancasila

    pun, menurut Adnan Buyung Nasution, kehilangan tujuan hakikinya, yaitu

    sebagai alat untuk mempersatukan bangsa. Pancasila bukan lagi sebagai

    11

    Sebagaimana dikutip Andi Feilard, NU vis-a-vis Negara: Pencarian Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LkiS, 1999), hal. 57. 12

    Sebagaimana dikutip Buyung Adnan Nasution, op.cit., hal. 71 13

    Ibid., hal. 63.

  • 39

    flatform bersama, melainkan kepingan-kepingan ideology, tak ubahnya

    dengan ideology lain.14

    Puncak persaingan ideologis itu tampak di dalam siding Konstituante.

    Lembaga tersebut gagal menyusun konstitusi baru. Selain faktor eksternal

    yang sangat kuat mempengaruhi, nuansa atau mood peserta siding juga turut

    menyumbang kegagalan Konstituante dalam menyusun konstitusi baru.

    Masalah dasar negara, umpamanya. Sebagian besar anggota Konstituante

    memahami dasar negara haruslah sebuah ideology.15

    Persepsi itulah yang

    mengubah sidang Konstituante menjadi arena persaingan ideologis. Masing-

    masing memperjuangkan agar ideology yang dianut dapat diresmikan

    menjadi dasar negara. Mereka berdebat seraya mengagungkan dan

    mengklaim keunggulan dan kesempurnaan ideology masing-masing. Sulit

    dicari titik temu karena yang diperdebatkan adalah sesuatu yang tak

    mungkin dapat disatukan.

    Namun demikian, ada beberapa upaya untuk mempertemukan dua

    kutub antagonistic itu. Kiai Wahab Hasbullah, misalnya, mencoba

    memperingatkan bahwa tanpa ada formulasi kompromi, maka militer dan

    Soekarno akan mengambil alih. Sayangnya, Kiai Wahab gagal

    meyakinkan partai-partai yang ada, terutama Partai Nasional Indonesia

    (PNI), akan pentingnya formula kompromi.16

    Sebagaimana diketahui,

    Konstituante akhirnya dibubarkan Soekarno dengan dukungan militer. Saat

    Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945, ini merupakan

    kekalahan bagi semua golongan yang saat itu sedang bertikai. Sepintas,

    Dekrit presiden 5 Juli 1959 memenangkan golongan nasionalis. Namun, bila

    praktik politik semasa Demokrasi Terpimpin dicermati, Soekarno justru

    tampak menjadi aktor dominan di semua bidang, termasuk penafsir tunggal

    14

    Ibid. 15

    Sutan Takdir Alisyahbana adalah salah satu peserta sidang Konstituante yang tidak berpikir bahwa dasar negara harus sebuah ideologi. Baginya, dasar negara hanyalah sebuah patokan atau pedoman, dan bukan fundamen. STA menilai makna dasar negara terlalu dibesar-besarkan oleh peserta sidang; lihat, Nasution, op.cit., hal. 68. 16

    Greag Feasly, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. 278.

  • 40

    Pancasila. Satu-satunya ideologi yang boleh hidup hanyalah Pancasila

    dalam versi Soekarno. Paham-paham lain harus menyingkir. Hal demikian

    diperlihatkan Soekarno dengan membubarkan partai Mubra. Sementara

    golongan Kristen yang semula menyangka dapat berteduh di bawah paying

    ideology Pancasila juga mengalami nasib serupa. Mereka ikut mengalami

    penyingkiran politik.17

    Contoh yang cukup memilukan adalah Mohammad Natsir (Masyumi)

    dan Ignatius Joseph Kasimo (pendiri partai Khatolik Indonesia). Kedua

    tokoh ini, pada masa konstituante, selalu berseberangan pendapat. Namun,

    pada awal masa Demokrasi Terpimpin, keduanya bisa saling membahu.

    Mereka berdua berani menyatakan secara terbuka menolak Konsepsi

    Presiden dan Demokrasi Terpimpin. Akibat penolakan ini, keduanya harus

    menjalani kehidupan politik yang tragis; tersingkir dari arena yang amat

    dicintai.18

    Bagaiman dengan nasib ideologi islam? Setali dengan paham

    nasionalisme Murba. Ideologi islam semakin tersudut. Kekuatan-kekuatan

    politik Islam tidak diberi peluang untuk menghidupkan kembali Ideologi

    Islam. Partai masyumi yang selama itu dianggap paling depan dalam

    mempreentasikan perjuangan ideologi Islam dibubarkan. Satu-satunya

    kelompok Islam yang masih mendapat tempat cukup lapang dalam rezim

    demokrasi terpimpin hanyalah NU. Soekarno membutuhkan partai itu tidak

    hanya karena aspirasinya yang kuat mengenai Negara Islam, tetapi juga

    karena NU dapat membuktikan diri sebagai partai terbesar ketiga dalam

    pemilu 1955. Singkat kata, Soekarno memanfaatkan NU untuk

    menjustifikasi paham persatuan mewakili unsur Islam.

    17

    Sebagaimana dikutip Effendy, op.cit., hal. 109. 18

    Di dalam DPR dan Konstituante, IJ Kasino (Partai Katolik) dan M Natsir (Masyumi) adalah dua tokoh yang sering sekali berbeda pendapat secara tajam. Namun, kedua tokoh ini sebenarnya mempunyai hubungan pribadi yang sangat baik. Perdebatan pendapat diantara mereka tidak pernah menjadi penghalang hubungan kemanusiaan kedua tokoh.

  • 41

    Mengapa NU menerima demokrasi terpimpin? Sebagaimana telah

    disinggung, paradigma berpikir kalangan NU sangat berbeda dibanding

    mereka yang mengusung paham Islam holistik. Nahdatul Ulama menerima

    demokrasi terpimpin bersandarkan paham kemaslahatan (darul mafaasid

    muqaddam ala jalbil maslahih), dimotori kiai Wahab Hasbullah, sementara

    mereka yang menolak paham demokrasi terpimpin berpandangan bahwa

    demokrasi ini menerapkan demokrasi ghasab, dengan dimotori Kiai Bisri

    Syamsuri, Mochamad Dahlan dan Imron Rosyadi.

    Ketika zaman berganti, sebagian kalangan pendukung Islam politik

    berusaha mengangkat kembali gagasan-gagasn tersebut agar mendapat

    tempat dalam sistem politik orde baru. Namun, aspirasi mereka nampaknya

    tidak digubris. Orde baru bergeming menjaga kemurnian ideologi pancasila

    denan merestrukturisasi atau menyederhanakan sistem kepartaian. Orde

    baru menginginkan bangunan politik baru harus steril dari dimensi aliran

    atau paham keagamaan. Karena itu, dengan menggunakan metode tertentu,

    sejumlah kekuatan politik islam digabungkan dalam satu partai politik,

    yakni partai persatuan pembangunan(PPP). Sementara kekuatan-kekuatan

    politik nasionalis dan lainnya dimasukkan dalam kelompok Partai

    Demokrasi Indonesia (PDI). Sejak itu kekuatan Islam politik kembali

    tersingkir dari percaturan politik nasional. Ideologi Islam semasa orde baru

    harus mengalami nasib naas; ditekan terus menerus untuk melanggengkan

    ideologi pancasila.

    C. Negara dan Soal Keagamaan

    Sebagaimana telah dipaparkan, kegigihan kalangan umat islam dalam

    memperjuangkan Islam sebagai dasar negara sesungguhnya berangkat dari

    kekhawatiran bahwa negara ini akan menjadi sekuler apabila hanya

    berlandaskan pancasila. Kekhawatiran semacam itu muncul semenjak

    konstitusi dirumuskan pada 1945.

  • 42

    UUD 1945 sebenarnya mencerminkan semangat jalan tengah, namun

    harus diakui, tokoh-tokoh yang bersidang di dalam BPUPKI sulit

    mendefinisikannya. Akhirnya, gagasan jalan tengah didefinisikan secara

    negatif; tidak sekuler dan tidak negara agama. Keagamaan tersebut

    berimbas pada perumusan UUD 1945. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945,

    misalnya, menyebutkan bahwa Negara berdasarkan keTuhanan yang Maha

    Esa sedangkan ayat (2) pasal yang sama hanya menjelaskan jaminan

    negara terhadap penduduknya untuk memeluk agama dan menjalankan

    ibadah. Bagaimana aplikasi Negara berdasar atas keTuhanan yang Maha

    Esa? sampai sekarang belum ada penjelasan yang memuaskan.

    Bagaimanapun juga, semangat untuk todak menjadikan negara ini sekuler

    atau berpahaman netral agama sudah ditunjukkan sejak awal.

    DAFTAR PUSTAKA

    .1983.Membina Kerukunan Hidup antar Umat Beriman. Yogyakarta:Yayasan

    Kanisius.

    Ali, Asad Said.2009.Negara Pancasila: Jalan Keselamatan Berbangsa.

    Jakarta.Lp3Es Indonesia.

    Karim, Muhammad Rusli. 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik.

    Yogyakarta. PT Tiara Wacana Yogya.

    Muthahhari, Murthada. 1995. Perspektif Al-quran tentang Manusia dan Agama.

    Bandung:Mizan.

  • 43

    Taher, Elza Peldi.2009.Merayakan Kebebasan Beragama.

    Jakarta:ICRP(Indonesian Conference on religion and peace).

    Ubaedillah, A & Abdul Rozak. 2013. Pancasila, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta:

    ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

    Muthahhari, Murthada.1995.Perspektif Al-quran tentang Manusia dan Agama.

    Bandung:Mizan.