ndonesia dikenal oleh dunia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17

23
ndonesia dikenal oleh dunia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 pulau serta panjang pantai mencapai kurang lebih 81.000 km yang merupakan 14% dari total panjang garis pantai yang ada di seluruh dunia. Salah satu ekosistem pesisir yang terkenal di dunia adalah ekosistem mangrove. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Mangrove Information Center (2006) menyebutkan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Luasnya mencapai 25% atau 4,5 juta hektar, dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia yang jumlahnya mencapai 18 juta hektar. Jumlah itu, setara dengan 3,8% dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sayangnya, kini hanya tersisa 40% hutan bakau yang masih baik di seluruh Indonesia. Apa itu mangrove? Menurut etimologi bahasa Inggris, kata "mangrove" merupakan sesuatu yang masih menjadi perdebatan. beberapa diantaranya adalah "manggi-manggi" dari bahasa Melayu, "mangue" dari bahasa Senegale, "mangue, manguezal, mangle, manglares" dari bahasa Portugal dan Spanyol. beberapa menghubungkan istilah mangrove sebagai gabungan dari beberapa bahasa, antara lain kombinasi bahsa Arab dengan Melayu "el gurm to mang-gurm", kombinasi bahasa Portugis "mangle" dengan bahasa Inggris "grove" (Saenger 2002). Sebagian besar peneliti mendifinisikan, bahwa hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang hidup dan berkembang di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Selain itu ada juga yang mendefinisikan hutan mangrove merupakan tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat- tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Berdasarkan SK Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/Dj/I/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang

Upload: arief-r-teguh

Post on 29-Jul-2015

81 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

ndonesia dikenal oleh dunia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 pulau serta panjang pantai mencapai kurang lebih 81.000 km yang merupakan 14% dari total panjang garis pantai yang ada di seluruh dunia.

Salah satu ekosistem pesisir yang terkenal di dunia adalah ekosistem mangrove. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Mangrove Information Center (2006) menyebutkan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Luasnya mencapai 25% atau 4,5 juta hektar, dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia yang jumlahnya mencapai 18 juta hektar. Jumlah itu, setara dengan 3,8% dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sayangnya, kini hanya tersisa 40% hutan bakau yang masih baik di seluruh Indonesia.

Apa itu mangrove?

Menurut etimologi bahasa Inggris, kata "mangrove" merupakan sesuatu yang masih menjadi perdebatan. beberapa diantaranya adalah "manggi-manggi" dari bahasa Melayu, "mangue" dari bahasa Senegale, "mangue, manguezal, mangle, manglares" dari bahasa Portugal dan Spanyol. beberapa menghubungkan istilah mangrove sebagai gabungan dari beberapa bahasa, antara lain kombinasi bahsa Arab dengan Melayu "el gurm to mang-gurm", kombinasi bahasa Portugis "mangle" dengan bahasa Inggris "grove" (Saenger 2002).

Sebagian besar peneliti mendifinisikan, bahwa hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang hidup dan berkembang di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob.

Selain itu ada juga yang mendefinisikan hutan mangrove merupakan tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Berdasarkan SK Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/Dj/I/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, yaitu tergenang air laut pada waktu pasang dan bebas dari genangan pada waktu surut. Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.

 Karakteristik habitat hutan mangrove

Page 2: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Ciri-ciri penting dan penampakan  hutan mangrove antara lain: habitat yang unik, memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora), memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipari atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada rhizophora sp. serta memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (Tuheteru 2008). Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan (Bengen, 2000) sebagai berikut:

Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

Daerahnya tergenang air lain secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove

Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.

Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil)

Ekologi hutan mangrove

Secara umum zonasi hutan mangrove dapat dapat dibagi ke dalam beberapa bagian diantaranya:

Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik

Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan daratan rendah

biasa ditumbuhi oleh Nypafruticans dan beberapa spesies palem lainnya

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri ats 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan yang dominan.

Jenis mangrove tertentu, seperti bakau (Rhizophora sp) dan tancang (Bruguire sp) memiliki daur hidup yang khusus, diawali dari benih yang ketika masih pada tumbuhan induk berkecambah dan mulai tumbuh di dalam semaian tanpa istirahat. Selama waktu ini, semaian memanjang dan distribusi beratnya berubah, sehingga menjadi lebih berat pada bagian terluar dan akhirnya lepas. Selanjutnya semaian ini jatuh dari pohon induk, masuk ke perairan dan mengapung di permukaaan air.

Page 3: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Semaian ini kemudian terbawa oleh aliran air ke perairan pantai yang cukup dangkal, dimana ujung akarnya dapat mencapai dasar perairan, untuk selanjutnya akarnya dipancangkan dan secara bertahap tumbuh menjadi pohon.

 Fauna dan rantai makanan di ekosistem hutan mangrove

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok:

Kelompok fauna daratan/terrestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya dilur jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanan berupa hewan laut pada saat air surut.

Kelompok fauna perairan/akuatik, terdiri atas dua tipe, yaitu yang hidup dikolom air, terutama berbagai jenis ikan, dan udang dan yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting dan berbagai jenis invertebrate lainnya

Rantai makanan tumbuhan mangrove, bila dijabarkan sebagimana tumbuhan lainnya mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrient) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organic) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri,  tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dsb). Sebagian serasah mangrove didekomposisikan oleh bakteri dan fungsi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai artikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan-memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala makanan.

 Fungsi dan peran habitat mangrove

Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar

Sebagai kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan kepiting, kerang, dan sebagainya, yang setelah dewasa akan kembali lepas ke pantai

Page 4: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Sebagai kawasan untyuk berlindung, bersarang, serta berkembangbiak bagi burung dan satwa lain

Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut

lainnya

Secara ekonomi, kawasan mangrove merupakan sumber devisa (pendapatan), baik bagi masyarakat, industri, maupun bagi negara. adapun fungsi ekonomi kawasan mangrove sebagai sumber devisa adalah sebagai berikut:

Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang, serta kayu untuk bahan bangunan dan perabot rumah tangga

Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika, dan zat pewarna

Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu

Sebagai kawasan wisata alam pantai dengan keindahan vegetasi dan satwa, serta berperahu disekitar mangrove

Sebagai tempat pendidika, konservasi, dan penelitian. Serta masih banyak fungsi serta pemanfaatan lainnya yang dimiliki oleh lingkungan hutan mangrove

 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem  hutan mangrove

Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan dll), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak langsung misalnya pencemaran berbagai limbah berbagai  kegiatan pembangunan).

 Pemanfaatan ramah lingkungan hutan mangrove

Hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Selain itu, bersama dengan ekosistem pesisir lainnya, yaitu padang lamun dan terumbu karang, ekosistem mangrove memegang peranan yang sangat vital dalam mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon/emisi C02 yang merupakan gas rumah kaca. Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai C02. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah

Page 5: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon (Prihadi, DJ, 2009).

Hutan mangrove di Indonesia

Sebagai salah satu negara di dunia yang kaya akan beragam sumber daya alammnya, menurut Noor, dkk. (1999) Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas hutan mangrove terluas didunia dengan keanekaragaman hayati terbesar didunia dan struktur paling bervariasi didunia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Rehabilitas Lahan dan Hutan Sosial (2001), luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar akan tetapi sekitar 5,30 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya meencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas hutan mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).

Akan tetapi diperkirakan luas hutan mengrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (FAO, 2007). Data Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.2009 ha, kondisi rusak sedang 4.510.456 ha dan kondisi rusak 2.146.174 ha. Berdasarkan data tahun 2006 pada 15 provinsi yangbersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan mangrove mencapai 4.390.756ha.

 Ancaman hutan mangrove di Indonesia

Hasil penelitian menunjukkan luas area hutan mangrove Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun. Data Wetlands International memperlihatkan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 tinggal sekitar 1,5 juta ha. Padahal luas hutan mangrove di seluruh kawasan pesisir Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan masih sekitar 4,25 juta ha. Pengurangan luas area hutan mangrove ini menjadi indikator terancamnya hutan mangrove dari kawasan pesisir di Indonesia. Bahkan tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan, hutan mangrove yang menjadi bagian dari ekosistem pantai yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan biota laut dan manusia itu akan punah. Kondisi terparah terdapat di pantai Utara Nangroe Aceh Darussalam, Teluk Lampung, Tanjung Pasir (Tangerang), Delta Mahakam (Kaltim), Lombok Barat dan teluk Saleh (NTB). Secara umum, kerusakan tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor antrogenik, faktor alami dan faktor biologis. Penyebab terbesar adalah faktor antrogenik di mana manusia menjadi pelaku utama perusakan itu. Eksploitasi hutan mangrove yang tidak terencana, adanya penebangan liar, pembukaan lahan mangrove untuk areal pertambakan, pertanian, penggaraman dan

Page 6: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

pemukiman, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap manfaat mangrove termasuk juga persepsi negatif masyarakat terhadap kebe-radaan mangrove sudah merupakan contoh konkrit bahwa manusialah sesungguhnya yang punya andil besar merusak ekosistem mangrove tersebut.

Penyebab terbesar adalah faktor antrogenik dimana manusia menjadi pelaku utama perusakan itu. Eksploitasi hutan mangrove yang tidak terencana adanya penebangan liar, pembukaan lahan mangrove untuk areal pertambakan, pertanian,penggaraman dan pemukiman, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap manfaat  mangrove termasuk juga persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan mangrove sudah merupakan contoh konkrit bahwa manusialah sesungguhnya yang punya andil besar merusak ekosistem mangrove di dalam lingkungan hutan mangrove tersebut.

 Kebijakan hutan mangrove

Departemen Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan, maka landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuwan yang relevan, dan konvensi-konvensi internasionl terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan olehkarena itu, maka pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari,kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (pasal2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (pasal 43). Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak (pasal 5, ayat 1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secar teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untk melindungi, lestarikan dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suatu wilayah daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang  didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.

Page 7: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Desentralisasi kewenangan pengelolaan, berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan  pemerintah propinsi, maka kewenangan pemerintah pusat dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk hutan mangrove)hanya terbatas menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar, norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabillitasi hutan dan lahan (pada hutan produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah daerah, terutama pemerintah kabuoaten/kota, kecuali di kawasan hutankonservasi masihmenjadi kewenangan pemerintah pusat.

Konservasi dan rehabilitasi secara partisipatif, dalam program konservasi dan rehabilitasi mangrove, pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah disebutkan bahwa penggunaan  dana reboisasi sebesar 40% dialokasikan kepada daerah penghasil untuk kegiatan reboisasi-penghijauan dan sebesar 60% dikelola pemerintah pusat untuk kegiatan reboisasi. Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 104 tahun 2000 tentang dana perimbangan disebutkan  bahwa dana reboisasi sebesar 40% dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk untuk rehabilitasi hutan mangrove. Hingga saat ini Departemen Kehutanan telah meengkoordinasi dengan Departmen Keuangan, departmen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Bappenas untuk mempersiapkan penyaluran dan pengelolaan DAK-DR dimaksud.

Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan mangrove, didalam menyelenggarakan kewenangan dalam pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengeloaan DAS (BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraaan rehabilitasi dilaksanakan pemerintah propinsi dan terutama pemerintah kabupaten/kota (dinas yang membidangi kehutanan). Sedangkan untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi mangrove,departemen kehutanan sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre) di Denpasar-Bali (untuk wilayah bali dan Nusa Tenggara) yang selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan, penyusunan dan sebagai pusat informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub centre informasi mangrove di Pemalang-jawa Tengah (untuk wilayah pulau Jawa), di Sinjai-Sulawesi Selatan

Page 8: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

(untuk wilayah Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya), di Langkat-Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan).

Adapun untuk mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah, pemerintah pusat telah menetapkan pola umum dan standar serta kriteria rehabilitasi hutan dan lahan (keputusan Menteri Kehutanan no. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalam rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman peyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan bagi pemerintah, pemerintah daerah (propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat. Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove:

sosialisasi fungsi hutan mangrove rehabilitasi dan konservasi penggalangan dana dari berbagai sumber

Status hutan mangrove di Sulawesi-Selatan

Provinsi Sulsel memiliki areal seluas 22.353 ha yang terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 ha dan hutan mangrove sekunder 20.943 ha, dengan 19 spesies mangrove. Pada wilayah yang berbatasan dengan laut, hutan mangrove didominasi olleh Avicennia dan Sonneratia. Dibelakang zona tersebut ditemuai Bruguire dan Rhizophora, sedang pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan dengan daratan ditemukan pandan, ficus, nypa dan biota lain yang menjadi ciri peralihanantara wilayah laut dan daratan.

Habitat mangrove dihuni jenis-jenis ikan pemakan detritus dan juga duhuni oleh kerang-kerangan, udang, kepiting, beberapa jenis burung, tikus, babi dan kelelawar. Wilayah pantai timur Sulsel setiap tahun menjadi area yang paling banyak didatangi oleh burung-burung migratory, terutama yang berasal dari Australia dan New Zealand.

 Ancaman terhadap mangrove di Sulawesi Selatan

Luas hutan mangrove/bakau yang tersisa saat ini 22.353 ha atau hanya 19,85% dari luas hutan mangrove 112.577 ha pada tahun 80-an. Kerusakan yang sama terus berlangsung pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang yang tersisa dalam kondisi baik hanya Ý 20% dari total terumbu karang Sulawesi Selatan. Demikian pula kondisi terumbu karang Taman Nasional Laut Taka Bonerate yang berdasarkan hasil penelitian LIPI 1995 menemukan kondisi karang yang sangat baik tersisa 6,45%, kondisi baik 22,35%, kondisi kritis 28,39% dan kondisi rusak berat 42,95%. Kondisi terumbu karang tersebut banyak disebabkan eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara destruktif yang tidak ramah lingkungan. Tingkat pencemaran terhadap lingkungan pesisir dan laut semakin meningkat sejalan dengan makin berkembangnya mobilitas transportasi laut di Selat Makassar dan kegiatan-kegiatan industri yang semakin pesat serta limbah domestik (rumah tangga). Pencemaran lain

Page 9: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

yang terjadi dan tidak pernah diperhitungkan/diperhatikan di Sulawesi Selatan khususnya adalah pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh limbah dari aktifitas budidaya laut (tambak) terhadap ekosistem perairan. Menurut Dedy Yaniharto (Direktorat Pengkajian Ilmu Kelautan Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan BPP Teknologi), aktifitas budidaya secara berlebihan akan menimbulkan dampak negatif dari limbah yang dihasilkan terhadap keseimbangan ekosistem perairan laut dan pantai secara menyeluruh. Diantara  tiga komoditas laut yang banyak dibudi dayakan seperti rumput laut (seaweed), kerang (mussel dan oyster) dan ikan (fish culture/farming), maka budi daya kerang dan budi daya ikan penyumbang limbah terbesar yang umumnya berupa unsur fospor (P) dan Nitrogen (N), kedua senyawa ini akan menyuburkan / memperkaya (enrichment) perairan dan meningkatkan biomasa pada semua tingkat trofik. Peningkatan biomas perairan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut terutama pada malam hari. Masalah kualitas air ini diperburuk pula oleh perubahan-perubahan fisik, kimiawi dan biologis yang sejalan dengan peningkatan biomas perairan. Fenomena lain yang memperlihatkan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan adalah telah banyaknya terjadi pengikisan/abrasi pantai pada beberapa Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini disebabkan kondisi ekosistem Mangrove, padang lamun, Terumbu karang dan Biota laut lainnya di Sulawesi Selatan yang mulai terdegradasi dan lambat laun akan habis. Untuk itu potensi sumberdaya pesisir dan laut Sulsel perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaannya, khususnya eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara yang destruktif yang tidak ramah lingkungan perlu segera ditindaki secara tegas dan menciptakan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan yang kondusif dan ramah lingkungan serta berbasis masyarakat yang diharapkan nantinya dapat menjaga dan melestarikan sumberdaya pesisir dan lautnya, sehingga harapan kedepan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Sulawesi Selatan mampu sejajar dengan negara-negara ASEAN lainnya yang sudah lebih maju ini.

 Ancaman alih fungsi hutan mangrove

Sekitar 90 persen hutan mangrove di Sulawesi Selatan mengalami kerusakan yang cukup parah akibat eksploitasi dan alih fungsi lahan. Menurut Direktur Eksekutif Jurnal Celebes, Mustam Arif, salah satu sumber daya alam pesisir dan laut yang mengalami degradasi cukup parah adalah hutan mangrove (bakau) yang kini tingkat kerusakannya sudah mencapai 90 persen.

Menurutnya kendati ada perbedaan data antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) dan Dinas Kehutanan Sulsel, namun kesimpulannya tingkat kerusakan hutan mangrove di daerah ini sudah sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Bapedalda Sulsel diketahui bahwa hutan mangrove di daerah ini 26.000 ha dan yang tersisa hanya 214 ha. Sementara data dari Dinas Kehutanan Sulsel tercatat habitat hutan mangrove yang sudah rusak parah mencapai 132.900 ha.

Page 10: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Hal tersebut menurut Mustam, diakibatkan karena Fenomena kerusakan hutan mangrove itu, umumnya diakibatkan oleh over eksploitasi atau alih fungsi hutan mangrove menjadi areal tambak, permukiman dan areal industri.

Sebagai contoh kasus, lanjutnya, pada awal 2010 di Kabupaten Selayar, Sulsel sudah terjadi alih fungsi hutan bakau menjadi areal pariwisata. Lebih jauh dia mengatakan, meskipun Dinas Kehutanan Sulsel hingga 2009 sudah merehabilitasi sekitar 5.920 ha lahan melalui program Gerakan Hutan dan Lahan (Gerhan), namun data Bapedalda Sulsel melansir bahwa tingkat keberhasilan menekan laju dovorestasi bakau hanya sekitar 10 persen. Hal itu disebabkan sejumlah kendala diantaranya faktor alam dan kurangnya pemberdayaan masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian hutan mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove

Hal pertama yang harus disiapkan adalah mengenai pembibitan yang terdiri dari

 Penyiapan bibit

Bibit mangrove diusahakan berasal dari lokasi setempat atau lokasi terdekat

Bibit mangrove disesuaikan dengan kondisi tanahnya Persemaian dilakukan di dekat lokasi tanam untuk penyesuaian

dengan lingkungan setempat

 Pemilihan bibit mangrove

Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara: (1) menanam langsung buahnya, dan (2) melalui persemaian bibit. Yang pertama tingkat keberhasilan tumbuhnya rendah (sekitar 20-30%), sedangkan yang kedua tingkat keberhasilan tumbuhnya relative tinggi (sekitar 60-80%).

Untuk memperoleh bibit mangrove yang baik, pengumpulan buah (propagule) dapat dilakukan antara bulan September sampai dengan bulan Maret, dengan karakteristik sebagai berikut:

Bakau/Bakau-bakau (Rhizophora spp.), antara lain:

1. Buah sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang berusia diatas 10 tahun

2. Buah yang baik dicirikan oleh hampir lepasnya bongkol buah dari batang buah

3. Buah yang sudahmatang dari bakau besar (R. mucronata) dicirikan oleh warna buah hijau tua dan kecoklatan dengan kotiledon (cincin) berwarna kuning; buah bakau kecil (R.

Page 11: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

apiculata) matang ditandai dengan warna buah hijau kecoklatan dan warna kotiledon merah

Tancang (Bruguiera spp.), antara lain:

1. Buah dipilih dari pohon yang beumur antara 5-10 tahun2. Buahnya dipilih yang sudah matang, dicirikan oleh hampir

lepasnya batang buah dari bongkolnya

Api-api (Avicennia spp.), Bogem (Sonneratia spp.) dan Nyirih (Xylocarpus granatum), antara lain:

1. Buah sebaiknya diambil yang sudah matang, dicirikan oleh warna kecoklatan, agak keras dan bebas dari hama penggerek

2. Buah lebih baik diambil yang sudah jatuh dari pohon

 Persemaian bibit mangrove

yang terdiri dari:

Tempat persemaian/penyapihan di lahan yang lapang dan datar, dekat dengan lokasi tanam, dan terendam saat air pasang, dengan frekuensi lebih kurang 20-40 kali/bulan, sehingga tidak memerlukan penyiraman

Pembuatan bedeng persemaian, dengan ukuran disesuaikan dengan kebutuhan, umumnya berukuran 1x 5 meter atau 1 x 10 meter dengan tinggi 1 meter. Bedeng diberi naungan ringan dari daun nipah atau sejenis. Media bedengan berasal dari tanah lumpur sekitarnya, dan bedeng berukuran 1 x 5 meter dapat menampung bibit dalam kantong plastik (10 x 50) atau dalam botol air mineral bekas (500 ml) sebanyak 1200 unit, atau sebanyak 2250 unit untuk bedeng berukuran 1 x 10 meter

 Lokasi penanaman mangrove

Penanaman mangrove dapat dilakukan di kawasan hutan lindung, hutan produksi, kawasan budidaya, dan di luar kawasan hutan pada daerah:

Pantai dengan lebar sebesar 120 kali rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah yang diukur dari garis air surut terendah ke arah pantai

Tepian sungai, selebar 50 meter kea rah kiri dan kanan tepian sungai yang masih terpengaruh air laut

Tanggul, pelataran dan pinggiran saluran air ke tambak

Pemilihan jenis pada setiap tapak

Page 12: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Bakau (Rhizophora spp) dapat tumbuh dengan baik pada substrat (tanah yang berlumpur, dan dapat mentoleransi tanah lumpur-berpasir, di pantai yang agak bergelombang dengan frekuensi genangan 20-40 kali /per bulan. Bakau merah (Rhizophora stylosa) dapat ditanam pada lokasi bersubstrat (tanah) pasir berkoral

Api-api (Avicennia marina) lebih cocok ditanam pada substrat (tanah) pasir berlumpur terutama dibagian terdepan pantai, dengan frekuensi genangan 30-40 kali /bulan

Bogem/prapat (Sonneratia spp.) dapat tumbuh baik dilokasi bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dari pinggir pantai kea rah darat, dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan

Tancang (Bruguira gymnorrhiza) dapat tumbuh dengan baik pada substrat (tanah) yang leebih keras yang terletak kea rah darat dari garis pantaai dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan

Persiapan lahan

Buat jalur tanaman searah garis pantai danbersihkan jalur tanaman sekitar 1 m dari tumbuhan liar

Pasang 0,5 m dengan jarak disesuaikan dengan jarak tanam. Pemasangan ajir ini bertujuan untuk mempermudah mengetahui tempat bibit akan ditanam, tanda adanya tanaman baru, dan menyeragamkan jarak bibit yang satu dengan yang lainnya

 Cara penanaman

Penanaman mangrove dapat dilakukan melalui 2 sistem, yaitu

sistem banjar harian, antara lain:

1. Menggunakan benih, di dekat ajir, buat lubang tanam pada saat air surut, dengan kedalaman lubang disesuaikan dengan panjang benih yang akan ditanam. Penanaman benih sebaiknya dilakukan sedalam kurang lebih sepertiga dari panjang benih. Selain ituBenih ditanam secara tegak, dengan bakal kecambah menghadap keatas

2. Menggunakan bibit, buat lubang di dekat ajir pada saat air surut, dengan ukuran lebih besar dari ukuran kantong plastic atau botol air mineral bekas. Setelah itu Bibit ditanam secara tegak ke dalam lubang yang telah dibuat, dengan melepaskan bibit dari kantong plastic atau botol air mineral bekas secara hati-hati agar tidak merusak akarnya. langkah terakhir, sela-sela lubang di sekeliling bibit ditimbun dengan tanah sebatas leher akar

3. Jarak tanam, tergantung pada tujuan penanaman mangrove, bila untuk perlindungan pantai bibit ditanam pada jarak 1x1 meter, tetapi bila untuk produksi digunakan jarak 2x2 meter

Page 13: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

sistem tumpang sari, atau yang lebih dikenal dengan sistem wanamina (silvofishery)

1. Pada prinsipnya penanaman benih atau bibit mangrove dengan sistem wanamina sama seperti pada sistem banjar harian. Perbedaannya adalah pada penanaman mangrove dengan sistem wanamina dibuatkan tambak/kolam dan saluran air untuk membudidayakan sumberdaya ikan (ikan, udang, dsb), sehingga terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya sumberdaya ikan (mina). Secara umum terdapat 3 pola dalam sistem wanamina(silvofsihery), yaitu:

2. Wanamina dengan pola empang parit, yaitu lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air

3. Wanamina dengan pola empang parit yang disempurnakan, dimana diatur oleh saluran air yang terpisah

4. Wanamina dengan pola komplangan, dimana lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleeh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang

 Cara penanaman khusus

Penggunaan Alat Penahan Ombak (APO),yaitu:

1. Alat Penahan Ombak (APO) digunakan pada lokasi penanaman mangrove yang berombak besar

2. APO dipasang pada bagian depan pantai ke arah laut dari lokasi penanaman mangrove

3. APO terbuat dari potongan batang bamboo yang dirakit dengan menggunakan tali nilon dengan ukuran tinggi 2 meter dan lebar 2 meter atau 4 meter. APO dengan ukuran tinggi 2 meter hanya efektif digunakan pada daerah pantai yang tinggi pasang air lautnya lebih kecil dari 2 meter

4. APO dipasang sejajar garis pantai dan atau agak miring (membentuk sudut tertentu terhadap garis pantai) tergantung pada pola arus dan tipologi pantai agar APO dapat berdiri tegak, maka pemasangannya menggunakan tiang pancang pada setiap jarak 0,5 meter sebagai penopang.

5. Bibit mangrove ditanam di belakang APO kea rah darat baik secara langsung maupun dengan bantuan ajir dari bamboo atau buis.

Penggunaan batang bambu, yaitu:

1. Untuk lokasi ini ditanam jenis Rhizophora spp.2. Pancangkan bambu sedalam 50cm pada titik tanam,

kemudian tanamlah bibit disebelahnya dan ikatkan batangnya

Page 14: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

ke bamboo tersebut dengan menggunakan tali raffia atau tali nilon.

Penggunaan buis beton atau bamboo,yaitu:

1. Pilihlah buis beton atau bamboo berukuran garis tengah 30cm dan panjang 1 meter

2. Pancangkan buis beton atau bamboo ke titik tanam yang telah ditentukan sedalam 50cm. Isi dengan lumpur / tanah yang berasal dari sekitar lokasi penanaman

3. Tanamlah bibit ke dalam buis beton atau bambu tersebut

 Pemeliharaan dan perawatan mangrove

Penyiangan dan penyulaman, tiga bulan setelah penanam, dilaksanakan pemeriksaan lapangan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan tanaman. Apabila ada tanaman yang mati, harus segera dilaksanakan penyulaman dengan tanaman baru. Pada lokasi penanaman yang agak tinggi atau frekuensi genangan air pasang kurang, perlu perlu mendapat perhatian lebih insentif dalam pemeliharaannya.  Hal ini disebabkan pada lokasi tersebut cepat ditumbuhi piyai mengganggu sejenis pakis-pakisan(Acrosthicum aaureum). Jadi apabila kelihatan tumbuhan piyai menggangu pertumbuhan anakan , perlu segera diadakan penebasan kembali. Kegiatan penyiangan dan penyulaman ini dilakukan sampai tanaman berumur 5 tahun.

Penjarangan, kegiatan penjarangan diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang ideal bagi tanaman, yaitu agar pertumbuhan tanaman dapat meningkat dan pohon-pohon yang tumbuh sehat dan baik. Hasil penjarangan ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku arang, industri chip/kertas, kayu bakar bahkan untuk makanan kambing.

Perlindungan tanaman, Mangrove dalam pertumbuhannya mempunyai masa-masa kritis. Oleh karena itu perlindungan tanaman mangrove dari hama yang merusak, mulai dari pembibitan hingga mencapai anakan, perlu dilakukan agar pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik. Sejak usia pembibitan sampai 1 tahun, batang mangrove sangat disukai oleh serangga atau ketam/kepiting. Menurut pengalaman 60-70% mangrove akan mati sebelum berusia 1 tahun karena digerogoti serangga atau ketam/kepiting. Untuk mengatasi hama ini dilakukan beberapa cara sebagai berikut:

Buah Rhizophora spp. atau Bruguiera spp. yang akan digunakan sebagai bibit, dipilih yang telah cukup matang. Tanda-tanda kematangan buah ditunjukkan oleh keluarnya buah dari tangkai

Buah kemudian disimpan ditempat yang teduh, ditutupi dengan karung goni setengah basah selama 5-7 hari. Penyimpanan selama itu dimaksudkan untuk menghilangkan bau/aroma buah segar yang dimiliki buah mangrove yang sangat disenangi oleh serangga

Page 15: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Setelah itu buah mangrove siap untuk disemai pada kantong plastik/botol air mineral bekas atau ditanam langsung ke lokasi tanam.

Hama lain yang juga sering menyerang tanaman mangrove pada usia muda adalah kutu lompat (mealy bug). Serangan hama ini dicirikan oleh warna daun tanaman yang menjadi kuning, kemudian rontok dan tanaman mati. Bila serangan hama ini terjadi sebaiknya tanaman yang terserang dimusnahkan saja agar menghambat penyebarannya pada tanaman lain.

Pola pemeliharaan sebaiknya melibatkan seluruh anggota kelompok dengan menjaga tiap kaplingan areal penanaman. Tiap anggota masyarakat dipercayakan untuk menyulam tiap bibit mangrove yang kebetulan rusak atau tercabut oleh aktivitas arus dan gelombang. Untuk mengontrol kelangsungan hidup tiap bibit dan anakan mangrove, sebaiknya dilakukan pengontrolan setiap 3-4 hari sekali sampai pada saat bibit mangrove yang ditanam berusia 3 – 5 bulan. Selanjutnya dilakukan pengontrolan seminggi sekali selama 10 -12 bulan.  Setelah diatas satu tahun dapat dilakukan pengontrolan selama 1 – 2 kali sebulan. Pemeliharaan mangrove adalah hal penting yang perlu dilakukan untuk menjaga agar mangrove tetap hidup dan bertahan dengan baik. Komplesitasnya kondisi fisik dan ekologis lingkungan serta kadang adanya hama dan gangguan lain membuat mangrove kadang mengalami kematian walaupun umur mangrove telag berusia diatas 8 – 12 bulan,  namun jika dilakukan pengontrolan yang rutin maka akan dapat meminimalisasi kegagalan yang ada. (Maruf. 2008. Rehabilitasi mangrove.  Buton)

Rehabilitasi mangrove di SulSel

Contoh kasus Tongke-Tongke, Sinjai

Secara administratif dusun Tongke-tongke merupakan bagian dari sebuah desa Samaritang  yang berada pada kecamatan Sinjai Timur. Kabupaten Sinjai yang berjarak sekitar 20 km dari Balanipa (ibukota kabupaten Sinjai) yang dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor dalam waktu 30 menit. Daerah yang memiliki luas 2,25 km2, secara umum merupakan kawasan konservasi hutan Mangrove dan daerah pertanian.

Tongke-tongke mempunyai populasi  penduduk sekitar 1.809 orang yang dapat dibagi atas dua golongan, golongan pertama adalah penduduk lokal yang kebanyakan adalah petani sawah dan palawija, sedangkan golongan kedua adalah pendatang yang umumnya adalah nelayan. Sebagian besar pendatang berasal dari daerah Mare kabupaten Bone yang memiliki keahlian dalam penangkapan ikan tuna dan pencarian terumbu karang yang oleh masyarakat ini disebut dengan “taka-taka”. Pendatang inilah yang kemudian mengolah kawasan hutan mangrove menjadi empang-

Page 16: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

empang. Selain itu, mereka juga menanami kembali kawasan mangrove tersebut.

Sejak awal kedatangan mereka (pendatang) pada tahun 60an, mereka membuka kawasan hutan mangrove untuk dikonversi menjadi pertambakan sebagai mata pencahariannya. Untuk memperoleh lahan mangrove, mereka membelinya dari seorang tuan tanah (kaum Bangsawan dan para ketua Hadat) di daerah tersebut  yang notabene menguasasi mangrove tersebut. Secara intensif mereka melakukan pengkonverisan menjadi tambak dan empang. Namun, pada tahun 80an, mereka mulai merasakan dampak negatif yang dihasilkan oleh kegiatan pengkonverisan tersebut. Dampak termaksud diantaranya abrasi air laut yang kian terus berjalan dimana setiap tahunnya diperkirakan terjadi penggerusan sekitar 10 hingga 30 meter ke daerah tambak penduduk. Kondisi ini menurut mereka disebabkan oleh hilangnya penghalang ombak (green belt).

Selain ancaman abrasi air laut, ternyata terumbu karang di wilayah ini juga mengalami kerusakan, disebabkan kebiasaan masyarakat nelayan yang menggunakan bom sebagai metode penangkapan ikan. Dampak lain yang juga dirasakan adalah besarnya tiupan angin darat (berasal dari laut menuju darat) yang menghantam rumah-rumah penduduk, mengakibatkan banyak rumah penduduk rusak pada masa tersebut.  Dan yang lebih meresahkan mereka adalah semakin sulitnya menemukan sumber mata air tawar, dikarenakan intrusi air laut sudah mencapai sumur-sumur mereka.

Pada mulanya, upaya yang dilakukan oleh nelayan untuk mengahadapi kerusakan yang terjadi pada kawasan tersebut adalah dengan membuat dam-dam  penahan ombak dari terumbu karang (Tajing batu) yang diambil di perairan teluk Bone, dengan panjang sekitar 30 meter dan kedalaman sekitar satu meter. Mereka  membangun secara bersama-sama. Namun upaya tersebut gagal, dimana abrasi pantai terus berlangsung.

Upaya kedua adalah melakukan penanaman jenis Rhizophora macronata (kayu Bakko) sepanjang pantai dan sepanjang bibir sungai. Hal ini didasari atas keberhasilan yang mereka lihat di daerah lain dalam menerapkan metode ini. Penanaman dilakukan oleh berbagai kelompok secara terpisah sejak 1984/1985.  Beberapa nelayan mengumpulkan benih pohon bakau dari daerah Maroanging dan Pangasa yang ditanam di sepanjang bibir pantai dan sepanjang alur sungai. Kelompok lain yang disebut dengan Pa’bagang juga melakukan hal yang sama. Walaupun kedua kelompok tersebut melakukan penanaman akan tetapi mereka melakukannya secara independen dan tidak terikat satu dengan yang lainnya, dengan berbagai motivasi yang berbeda.

Untungnya, kondisi lingkungan dan iklim mendukung usaha mereka, sehingga sangat membantu pertumbuhan tanaman tersebut. Badan

Page 17: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

Metreologi dan Geofisika (BMG) menyatakan bahwa kawasan Tongke-tongke memiliki intensitas curah hujan yang tinggi antara bulan April-september, dengan temperatur berkisar antara 20-30 °C, merupakan kondisi yang baik dalam menunjang pertumbuhan. Selain itu Paloloang (2001) menyatakan bahwa pantai yang tenang dan berlumpur, serta saltasi (pelumpuran) yang terjadi akibat dari sedimentasi sungai yang ada diatasnya sangat sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Karakterisitik seperti ini terdapat juga pada hutan mangrove di Tongke Tongke.

Perikanan mangrove berkelanjutan: Kepiting bakau

Budidaya kepiting sangat prospektif untuk dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia. Selama wilayah tersebut memiliki lahan tambak air payau. Wilayah Sulawesi Selatan misalnya. Yang luas lahan tambak air payaunya kurang lebih 150.000 ha. Dengan garis pantai sepanjang 2500 km yang tepinya ditutupi hutan mangrove ini sangat potensial menjadi lahan budidaya, baik kepiting bakau maupun rajungan. Selain itu, salah satu faktor pendukung budidaya di Sulsel yakni tersedianya bibit yang cukup memadai.

Dari hasil kajian yang dilakukan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005, terungkap bahwa kabupaten Wajo, terutama di kecamatan Keera adalah salah satu daerah penghasil bibit kepiting bakau. Bibit kepiting dari daerah ini banyak terdistribusi ke berbagai sentra produksi yang melakukan budidaya kepiting. Upaya penyediaan bibit dari hatchery pun sudah mulai digalakkan. Baik kepiting bakau maupun rajungan telah berhasil dibenihkan secara buatan, meskipun disana sini masih perlu disempurnakan untuk dapat menyamai keberhasilan pembibitan udang yang telah berlangsung lama.

Di desa Pallime, daerah yang menjadi indikator perkepitingan Sulawesi Selatan, budidaya kepiting bakau di tambak umumnya masih dilakukan secara sederhana tanpa sentuhan teknologi. Bibit kepiting ditebar di tambak atau sawah kemudian dibiarkan begitu saja tanpa atau dengan suplai pakan seadanya. Makanan kepiting pada pembesaran sederhana ini hanyalah ikan-ikan liar yang ikut masuk ke dalam tambak atau tanaman-tanaman air yang tumbuh secara tidak sengaja atau daun-daun bakau yang terjatuh ke dalam tambak.

Akibatnya, tingkat kematian atau yang kabur dari tambak cukup besar, yakni sekitar 50%. Namun demikian, petani masih dapat meraup keuntungan yang cukup lumayan. Jadi bisa dibayangkan bila budidaya kepiting itu dilakukan dengan sistem semi atau full intensif maka bisa dipastikan pembudidaya kepiting akan semakin banyak mendapatkan rejeki. Sekitar 50%.

Biasanya, setiap hektar tambak dapat ditebari 1000 ekor bibit dengan ukuran lebar karapas 4-6 cm yang dibeli dari nelayan pengumpul seharga Rp.350 – 500. Setelah 3 – 4 bulan pemeliharaan, kepiting sudah mencapai

Page 18: Ndonesia Dikenal Oleh Dunia Sebagai Negara Kepulauan Dengan Jumlah Pulau Yang Mencapai 17

ukuran minimal 250 g (size 4, empat kepiting per kilogram). Untuk ukuran tersebut, kepiting laku dijual di kalangan pengumpul seharga Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per kg. Jadi dengan modal kurang lebih Rp 500 ribu, petani dapat meraup hasil kurang lebih Rp 6 juta.

Daftar pustaka

Smallcrab. Mengenal Manfaat Bakau (Online), (http://www.smallcrab.com, diakses 15 November 2010)

Nybakken, J.W. 1982. Marine Biology: An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M. Eidman. Jakarta: Gramedia

Wikipedia. 2010. Hutan Bakau (Online), (http://www.wikipedia.org, diakses 15 November 2010)

Coremap. 2006. Hutan Mangrove (Online), (http://www.coremap.or.id, diakses 14 November 2010)

Forester, I. 2010. Definisi Bakau (Online), (http://www.pengertian-definisi.blogspot.com, diakses 14 November 2010)

Santoso, U. 2008. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya (Online), (http://www.uripsantoso.wordpress.com, diakses 13 November 2010)

Risnandar. 2010. Mengenal Ekosistem Mangrove (Online), (http://www.baligreen.org, diakses 13 November 2010)

Arief, A. 2003. Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Jakarta: Kanisius Maruf. 2008. Mengenal Pola Rehabilitasi Mangrove Partisipatif

(Online), (http://maruf.wordpress.com, diakses 13 November 2010) Dephut. 2010. Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia (Online),

(http://dephut.go.id, diakses 13 November 2010) Warta Isoi. 2010. Hutan Mangrove di Indonesia Terancam Punah

(Online), (http://warta-isoi.blogspot.com, diakses 13 November 2010)

La Hatta. 2007. Degradasi Sumber daya Pesisir dan Kelautan Sulsel (Online), (http://regional.coremap.or.id, diakses 13 November 2010)

Sinar Harapan. 2010. DKP Tak Berdaya Atasi Alih Fungsi Mangrove (Online), (http://www.sinarharapan.co.id, diakses 13 November 2010)