naskah akademik dan draft rancangan peraturan...

154
NASKAH AKADEMIK DAN DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DINAS PARIWISATA, KEBUDAYAAN, PEMUDA, DAN OLAHRAGA KABUPATEN TUBAN 2020

Upload: others

Post on 18-Mar-2020

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

NASKAH AKADEMIK DAN DRAFT

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN

TENTANG

PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

DINAS PARIWISATA, KEBUDAYAAN, PEMUDA, DAN OLAHRAGA

KABUPATEN TUBAN

2020

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................iKATA PENGANTAR..................................................................................iiBAB I : PENDAHULUAN.........................................................................

1.1. Latar Belakang....................................................................11.2. Identifikasi Masalah............................................................111.3. Maksud dan Tujuan............................................................121.4. Metode Penelitian................................................................131.5. Sistematika Penyusunan.....................................................21

BAB II : KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS...........................2.1. Hakikat Kebudayaan...........................................................232.2. Konsep Budaya...................................................................302.3. Tinjauan Umum tentang Cagar Budaya..............................322.4. Tinjauan Umum tentang Peraturan Daerah........................482.5. Praktik Empiris...................................................................59

BAB III : EVALUASI DAN ANALISISPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT...................3.1. Evaluasi dan Analisis UUD NRI Tahun 1945.......................633.2. Evaluasi dan Analisis UU 11/2010.....................................653.2. Evaluasi dan Analisis UU 12/2012.....................................683.3. Evaluasi dan Analisis UU 23/2014.....................................69

BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS...............4.1. Landasan Filosofis...............................................................724.2. Landasan Sosiologis............................................................744.3. Landasan Yuridis................................................................76

BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUPMATERI MUATAN PERATURAN DAERAH................................5.1. Sasaran...............................................................................815.2. Jangkauan..........................................................................825.3. Arah …………………………………………………………………….825.4. Ruang Lingkup Materi Muatan …………………………………..83

i

BAB VI : PENUTUP...................................................................................6.1. Kesimpulan.........................................................................1256.2. Saran/Rekomendasi............................................................127

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN : RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa

atas Rahmat dan Taufik yang diberikan, sehingga penyusunan Naskah

Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian

Cagar Budaya dapat diselesaikan. Penyusunan Naskah Akademik ini telah

melalui dan disesuaikan dengan tahapan/prosedur yang telah ditentukan oleh

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun

2015 tentang Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Naskah Akademik disusun berdasarkan latar belakang masalah, tujuan,

kajian teori serta diperkuat dengan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis

dan telah kami sertakan Lampiran Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Naskah akademik ini diharapkan

dapat bermanfaat sebagai bahan bagi penyusunan Rancangan Peraturan

ii

Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya yang menjadi

prakarsa Pemerintah Kabupaten Tuban melalui Dinas Pariwisata,

Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tuban. Tujuan akhir Raperda

tersebut dapat bermanfaat dan berguna serta menjadi payung hukum bagi

Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban.

Penyusunan Naskah Akademik ini tidak dapat diselesaikan tanpa

dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, atas dukungan dan partisipasi

yang telah diberikan oleh berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu

persatu, kami ucapkan terimakasih yang tidak terhingga. Selain itu, Naskah

Akademik ini tidak lepas dari berbagai kekurangan, untuk itu kritik dan saran

yang bersifat konstruktif-solutif sangat dinantikan.

Tuban, Februari 2020

Ketua Tim Penyusun

Dr. RUSDIANTO SESUNG, S.H., M.H.

iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Benda, struktur, dan bangunan yang memiliki nilai eksistensi

kehidupan masa lalu pada suatu wilayah atau komunitas penting

mendapat perhatian untuk memberi track pemahaman terhadap realitas

sosial dan fisik kekinian. Hal ini karena realitas sosial dan fisik

terbentuk secara evolutif dan umumnya berlangsung linier. Sehingga

fakta-fakta yang terbentuk pada masa lalu menjadi track yang autentik

untuk mengkonstruksi pemahaman realitas faktual.

Pemahaman terhadap masa depan sangat dipengaruhi oleh

kemampuan manusia menganalisa realitas faktual. Hal ini karena

dinamika manusia bersifat historis sehingga konstruksi masa depan

sangat dipengaruhi oleh realitas yang terjadi secara faktual ada hari ini.

Proses historis secara umum berlangsung evolutif dan linier sehingga

pola pergerakan masa depan dapat dianalisis dari tahapan-tahapan

perkembangan dalam konteks sejarah yang telah berlangsung.

Kemampuan mengantisipasi sejarah menjadi kunci bagaimana nilai-nilai

1

dan produktivitas manusia terjaga. Tanpa antisipasi tersebut, sebuah

masyarakat atau komunitas terancam eksistensinya karena terlindas

oleh pergerakan sejarah yang dinamis. Cerita tentang hilangnya

komunitas masyarakat sudah cukup ternarasi dalam folklor sejarah

misalnya suku-suku kecil di komunitas Jawa serta komunitas lokal

yang saat ini makin tergerus.

Keberadaan komunitas-komunitas lokal yang menjaga

otentisitasnya cukup mengganggu kekuatan global yang secara agresif

mendesain masyarakat dunia dalam bentuk yang tunggal. Mengenai hal

itu, Herbert Marcuse mengemukakan bahwa, “kekuatan global

mendorong manusia di dunia ini masuk dalam dimensi tunggal. Pada

saat manusia berdimensi tunggal maka kekuatan global tersebut akan

mengeruk keuntungan besar karena memiliki pasar (market) sangat

besar yang bisa setiap saat dikelola, terutama untuk mengkonsumsi

komodutas-komoditas yang diciptakan.1

Pernyataan Herbert Marcuse nampaknya diamini oleh Francis

Fukuyama yang meramalkan manusia berakhir pada kemenangan

kapitalisme liberal dengan indikator utamanya adalah industri dan

konsumsi dalam skala massif.2 Dengan adanya agresi kekuatan

1 Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Massachuset, USA: Beacon Press, 1964, hlm.52

2 Francis Fukuyama, The End of History, Oxford, British: Free Press, 1992, hlm. 154

2

dominan tersebut maka perlu diantisipasi dengan adanya pemahaman

yang utuh tentang pergerakan perubahan sosial yang salah satunya

dilakukan dengan metode historis. Dalam konteks inilah eksistensi,

narasi, dan konstruksi sosial masa lalu penting. Hal ini karena akan

memberi track yang relatif akurat untuk memahami situasi kekinian.

Salah satu basis data yang orisinal adalah keberadaan benda, struktur,

atau bangunan yang merupakan peninggalan masa lalu dan memiliki

nilai atau cerita tentang praktik-praktik kehidupan. Benda, struktur,

dan bangunan tersebut layak dijadikan sebagai Cagar Budaya yang

mendapat perlakuan khusus baik dari sisi fisik maupun

pemanfaatannya.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, Cagar budaya merupakan

kekayaan yang menjadi warisan budaya bangsa yang tidak terhingga

nilainya sebab cagar budaya adalah wujud karya manusia yang

bersumber dari hasil pemikiran dan perilaku manusia pada jamannya.

Cagar budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat yang rapuh,

unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sebagaimana yang terjadi

pada warisan budaya pada umumnya, tidak semua cagar budaya ketika

ditemukan sudah tidak berfungsi lagi dalam kehidupan masyarakat

pendukungnya; sebab dalam kenyataan masih cukup banyak cagar

3

budaya yang masih digunakan oleh pendukungnya, baik dalam

fungsinya seperti semula atau diberi peran baru.

Mengingat pentingnya arti cagar budaya bagi pemahaman dan

pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka keberadaan

cagar budaya sangat penting untuk dipertahankan, dilestarikan, dan

dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan

pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka untuk menjaga

cagar budaya dari berbagai ancaman, diperlukan pengaturan yang jelas

mengenai pelestarian cagar budaya, baik yang sifatnya sebagai

monumen mati (dead monument) maupun yang sifatnya sebagai

monumen hidup (living monument). Pelestarian cagar budaya yang

dimaksud mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan dan

memanfaatkannya.

Negara mempunyai tanggung jawab dalam pengaturan

perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.

Tanggung jawab tersebut adalah amanat konstitusi sebagaimana

ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun

4

1945 menegaskan bahwa ”Negara memajukan kebudayaan nasional

Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan

masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai

budayanya.”.

Ketentuan dari Pasal 32 ayat (1) di atas adalah hasil perubahan

(amandemen) Pasal 32 sebelumnya yang berbunyi: ”Pemerintah

memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Perubahan ini dapat

dimaknai ke dalam 3 (tiga) hal mendasar yakni:

1. Adanya kesadaran dari perumus Undang-undang Dasar tentang

peran penting kebudayaan dalam pembentukan jati diri masyarakat

dan bangsa Indonesia pada khususnya, serta bagi modernitas dan

kemajuan bangsa pada umumnya.

2. Adanya kesadaran bahwa pengembangan budaya Indonesia adalah

tanggung jawab Negara, bukan hanya pemerintah tetapi juga

masyarakat.

3. Identitas bangsa Indonesia seperti yang terkandung dalam sasanti

Bhinneka Tunggal Ika harus dihayati. Persatuan (Tunggal) akan

selalu ada bersama dengan kemajemukan (Bhinneka).

Cagar Budaya di Indonesia adalah cerminan dari nilai-nilai luhur

bangsa yang harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa,

5

mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan

rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada

masa depan. Pelestarian Cagar Budaya di Indonesia juga sangat penting

dalam rangka memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan

kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan

nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.

Merujuk pada amanat UUD NRI Tahun 1945 tersebut, pemerintah

mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan

kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sehubungan dengan hal tersebut, seluruh hasil karya bangsa Indonesia,

baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu

dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan

budaya masa lalu, cagar budaya menjadi penting perannya untuk

dipertahankan keberadaannya.

Sebagai penjabaran amanat ketentuan Pasal 32 UUD NRI Tahun

1945 khususnya berkaitan dengan Pelestarian Cagar Budaya

Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya yang diundangkan pada tanggal 24 November 2010.

Undang-undang a quo merupakan pengganti undang-undang

6

sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda

Cagar Budaya.

Dasar filosofis penggantian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992

tentang Benda Cagar Budaya adalah bahwa undang-undang a quo

dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan

kebutuhan hukum dalam masyarakat. Atas dasar itu, lahirnya Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2010 tidak hanya sekadar mengatur

pelestarian benda Cagar Budaya, melainkan juga mengatur berbagai

aspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalan budaya

masa lalu, baik benda, bangunan dan struktur, situs dan kawasan,

serta lanskap budaya yang pada undang-undang sebelumnya tidak

secara jelas dimunculkan. Di samping itu, paradigma Pelestarian Cagar

Budaya juga mengalami perubahan.

Manajemen pengelolaan Cagar Budaya menurut Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1992 mengacu kepada sistem manajemen yang bersifat

terpusat, yaitu pemerintah bertanggungjawab penuh terhadap

perlindungan Cagar Budaya. Orientasi manajemen pengelolaan Cagar

Budaya lebih banyak kepada orientasi perlindungan. Berbeda dengan

kondisisi tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya mempunyai orientasi manajemen pengelolaan Cagar

7

Budaya yang bersifat partisipatif. Di mana, sistem pengelolaan

manajemen Cagar Budaya, Pemerintah pusat tidak lagi mengambil

peran sebagai penanggungjawab tunggal, melainkan melibatkan para

stakeholder yang terdiri dari masyarakat, akademisi, organisasi

kemasyarakatan, pihak swasta dan pemerintah daerah. Oleh karena itu,

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

terdapat tiga peringkat Cagar Budaya, yaitu Cagar Budaya peringkat

nasional yang penetapannya dilakukan dengan Keputusan Menteri,

Cagar Budaya peringkat provinsi yang ditetapkan dengan Keputusan

Gubernur, dan Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota yang

ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota sebagai

pengejawantahan dari adanya peran dan fungsi pemerintah daerah yang

harus ikut serta dalam Pelestarian Cagar Budaya.

Sejalan dengan paradigma Era Reformasi yang bertumpu pada

Otonomi Daerah maka peran pemerintah daerah menjadi penting dalam

Pelestarian Cagar Budaya. Hal itu terlihat dari ketentuan Pasal 95

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, di mana

pelestarian cagar budaya tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab

Pemerintah Pusat, melainkan juga menjadi tanggungjawab Pemerintah

Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Dengan demikian,

8

Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban mempunyai peranan yang penting

dalam Pelestarian Cagar Budaya, tidak hanya dalam perlindungan dan

pengembangan tetapi juga dalam pemanfaatan cagar budaya untuk

kepentingan masyarakat.

Selanjutnya, Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2010 tentang Cagar Budaya memberikan tugas kepada Pemerintah

Daerah Kabupaten Tuban khususnya untuk:

1. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan

kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat

dalam Pengelolaan Cagar Budaya;

2. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin

terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;

3. menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan Cagar Budaya;

4. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;

5. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;

6. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan

promosi Cagar Budaya;

7. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat

untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah

9

dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan

terhadap daerah yang mengalami bencana;

8. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap

Pelestarian warisan budaya;

9. mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.

Agar tugas-tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban dibekali dengan seperangkat

wewenang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, antara lain:

1. membuat peraturan pengelolaan cagar budaya;

2. menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;

3. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor

dan wilayah;

4. menghimpun data Cagar Budaya;

5. menetapkan peringkat Cagar Budaya;

6. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

7. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;

8. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

9. mengelola Kawasan Cagar Budaya;

10

10. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah

melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

11. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk

kepentingan Pengamanan;

12. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan

peringkat kabupaten/kota;

13. menetapkan batas situs dan kawasan; dan

14. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan

yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar

Budaya, baik seluruh maupun bagian- bagiannya.

Dengan adanya berbagai tugas dan wewenang sebagaimana

diuraikan di atas, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban perlu

menetapkan strategi dan sekaligus merumuskan kebijakan yang

dituangkan ke dalam produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah

Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Peraturan daerah

a quo, memiliki urgensi setidaknya karena 3 (tiga) alasan mendasar

yaitu: (1) melaksanakan tugas dan wewenang dalam Pelestarian Cagar

Budaya sebagai wujud dari adanya otonomi daerah; (2) mengisi

kekosongan aturan (regel vacuum) bidang Pelestarian Cagar Budaya di

11

Daerah; (3) menetapkan pedoman tunggal bagi Pemerintah Daerah

sendiri dan pihak lain termasuk organisasi kemasyarakatan bidang

Pelestarian Cagar Budaya, masyarakat, dan orang perorangan agar ada

standar baku dalam pelaksanaan Pelestarian Cagar Budaya di Daerah

sehingga Cagar Budaya dapat dilindungi, dikembangkan, dan

dimanfaatkan secara terarah, terintegrasi, dan berkepastian hukum.

1.2. Identifikasi Masalah

Berpokok pangkal pada latar belakang di atas, maka masalah

hukum yang muncul adalah adanya kekosongan aturan (regel vacuum)

yang dapat dijadikan payung hukum dalam Pelestarian Cagar Budaya di

Kabupaten Tuban. Dengan demikian, perlu disusun Peraturan Daerah

Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Adapun masalah-

masalah yang akan diteliti dalam penyusunan Naskah Akademik ini

adalah sebagai berikut:

a. Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan

pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian

Cagar Budaya?

b. Bagaimana urgensitas Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya sebagai dasar pemecahan masalah?

12

c. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

yuridis pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya?

d. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,

jangkauan, dan arah pengaturan dalam Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya?

Sesuai dengan kewenangannya untuk mengatur (regelendaad),

Kabupaten Tuban dapat membentuk Peraturan Daerah sebagai landasan

dan dasar hukum untuk menjamin kepastian hukum dalam Pelestarian

Cagar Budaya. Untuk itu, diperlukan naskah akademik yang berfungsi

sebagai pedoman penyusunan Raperda Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya.

1.3. Maksud dan Tujuan

1.3.1. Maksud

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya ini dimaksudkan untuk

merumuskan pengaturan dalam bentuk Peraturan Daerah sebagai

dasar Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban. Di samping

itu, Naskah Akademik tersebut juga dimaksudkan untuk

13

mencegah terjadinya disharmonisasi peraturan perundang-

undangan, baik vertikal maupun horizontal dalam penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya.

1.3.2. Tujuan

Tujuan dibentuknya Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar

Budaya ini adalah untuk:

a. Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar

Budaya.

b. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang harus

ada dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban

tentang Pelestarian Cagar Budaya, guna memberikan

pengaturan yang pasti atas Pelestarian Cagar Budaya di

Kabupaten Tuban.

c. Memberikan kajian dan kerangka dasar filosofis, sosiologis dan

yuridis serta teknis tentang perlunya pembentukan Peraturan

Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.

14

1.4. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berupaya untuk

memperoleh pemecahan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan

dengan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya. Oleh karena itu, dibutuhkan metode

penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah melalui

pengungkapan kebenaran secara sistematis, analisis-konstruktif

terhadap bahan yang dikumpulkan dan diolah. Atas dasar inilah, maka

di dalam penelitian ini terdapat beberapa unsur dari kerangka metode

penelitian tersebut.

1.4.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif

dan penelitian hukum empiris yang dilakukan untuk mencari

pemecahan masalah atas permasalahan hukum yang ada. Hasil

dari penelitian ini adalah memberikan preskripsi mengenai apa

yang seyogyanya mengenai permasalahan yang diajukan. Peter

Mahmud Marzuki menyatakan bahwa penelitian hukum

merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-

15

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab

isu hukum yang dihadapi.3

1.4.2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian normatif ini

adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan konseptual (conceptual approach).4 Pendekatan

perundang-undangan (statute approach) yaitu suatu pendekatan

yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan

dengan masalah dalam penelitian ini. Sedangkan pendekatan

konseptual (conceptual approach), digunakan untuk mengkaji dan

menganalisis kerangka pikir atau kerangka konseptual maupun

landasan teoritis yang sesuai dengan tujuan penelitian ini.

1.4.3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Untuk menemukan, menghimpun, mengolah dan

menganalisis permasalahan penelitian, maka diperlukan

beberapa jenis dan sumber bahan hukum yang dapat dijadikan

dasar hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Adapun jenis dan sumber bahan hukum yang akan menjadi

dasar analisis di dalam penelitian ini sesuai dengan tipe3Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2010), hlm. 354Ibid., hlm. 93

16

penelitian adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah data yang yang diperoleh dari bahan-

bahan pustaka. Di dalam data sekunder ini terdiri dari tiga bahan

hukum, yaitu:5

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ini diperoleh dari beberapa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

masalah dalam penelitian ini, meliputi :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang

Pembentukan Daerah Kabupaten di Propinsi Jawa Timur

juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1965 tentang

Perubahan Bentuk Daerah Kota Praja Surabaya dan

Daerah Tingkat II Surabaya (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 2730);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana(Lembaran Negara Republik Indonesia

5Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 12-13

17

Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209);

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4247);

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4725);

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2012 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5168);

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234);

18

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5679) sebagaimana

telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan

Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2017 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 6055);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang

Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Di

Museum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1995 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3599);

19

11. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 6041);

13. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2017 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 199);

14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007

tentang Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan

Bidang Kebudayaan, Keraton dan Lembaga Adat dalam

Pelestarian dan Pengembangan Budaya;

20

15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007

tentang Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan

Nilai Sosial Budaya Masyarakat;

16. Peraturan Bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

Nomor 40 tahun 2009 dan Menteri Dalam Negeri Nomor

42 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian

Kebudayaan;

17. Peraturan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor

01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Yang

Dilestarikan.

18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015

tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 2036)

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan

Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun

2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor

157);

21

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ini memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer yang berasal dari beberapa

literatur dan tulisan ilmiah lainnya yang dapat menjelaskan

terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dapat

berasal dari kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

1.4.4. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum primer berupa perundangan-undangan

dikumpulkan dengan metode inventarisasi dan kategorisasi.

Bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan sistem kartu

catatan (card system), baik dengan kartu ikhtisiar (memuat

ringkasan tulisan sesuai aslinya, secara garis besar dan pokok

gagasan yang memuat pendapat asli penulis); Kartu kutipan

(digunakan untuk memuat catatan pokok permasalahan); serta

kartu ulasan (berisi analisis dan catatan khusus penulis).

22

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

telah dikumpulkan (inventarisasi) kemudian dikelompokkan dan

dikaji dengan pendekatan perundangan-undangan, guna

memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum.

Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan klaisifikasi kemudian

dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum yang

dikemukakan oleh para ahli, untuk akhirnya dianalisa secara

normatif.

1.4.5. Tahapan Penelitian

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya,

dilakukan dengan mengacu pada tahapan di bawah ini:

a. Persiapan pengkajian atau penelitian normatif yang

diperlukan dengan metode kajian normatif, filosofis dan

sosiologis;

b. Penyusunan Naskah Akademik dan Draft Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian

Cagar Budaya.

23

c. Evaluasi terhadap kesesuaian Naskah Akademik dan Draft

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya.

d. Penyerahan sekaligus laporan kegiatan dengan lampiran

hasil kegiatan berupa Naskah Akademik dan Draft

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya (final).

1.5 Sistematika Penyusunan

Naskah akademik ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, yang menggambarkan latar belakang

munculnya kebutuhan peraturan daerah ini, yang antara lain memuat

tentang pengaturan mengenai Pelestarian Cagar Budaya dalam berbagai

peraturan perundang-undangan, perlunya pembentukan peraturan

mengenai Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban. Dalam bab ini

juga dipaparkan mengenai maksud dan tujuan dari Naskah Akademik

ini, serta sistematika penyusunan dokumen naskah akademik ini.

Bab II : Kajian Teoritis dan Empiris, yang memaparkan tentang

kajian akademik, baik secara teoritis maupun empiris. Kajian tersebut

24

merupakan landasan perlunya pembentukan peraturan mengenai

Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban.

Bab III : Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan

Terkait, yang memaparkan tentang berbagai peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya. Dengan

adanya evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan tersebut,

diharapkan Peraturan Daerah tersebut tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, baik secara vertikal maupun

horizontal.

Bab IV : Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis, yang

memaparkan tentang landasan pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya. Landasan

tersebut baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Bab V : Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup

Materi Muatan Peraturan Daerah, memaparkan tentang pokok dan

lingkup materi apa yang harus ada dalam Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya, di dalamnya mencakup

ketentuan umum, materi pokok yang akan diatur, dan ketentuan

penutup.

25

Bab IV : Penutup, yang berisi kesimpulan dari keseluruhan

naskah akademik dan rekomendasinya.

Lampiran : berisi legal drafting atas Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.

26

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS

2.1 Hakikat Kebudayaan

Mendasarkan kepada berbagai kajian pustaka, hakikat dari

kebudayaan dapat dipahami sebagai serangkaian aturan-aturan,

petunjuk-petunjuk, pedoman, rencana-rencana, dan strategi-strategi,

yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan

secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan

yang dihadapinya.

Kebudayaan dapat dipandang sebagai "mekanisme kontrol" bagi

kelakuan dan tindakan-tindakan manusia, atau sebagai "pola-pola bagi

kelakuan manusia". Oleh karena itu, kebudayaan merupakan hasil karya

manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan

keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala

keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang

ada di sekitarnya.

Kebudayaan merupakan perwujudan tanggapan manusia terhadap

tantangantantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri

mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan

27

pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk

memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta

menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong

terwujudnya kelakuan. Hal ini dapat terjadi karena kebudayaan

melingkupi nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut

adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang

dimiliki oleh setiap manusia.

Kebudayaan berkembang menjadi sistem pengetahuan, yang

secara terusmenerus digunakan untuk dapat memahami dan

menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada

dalam lingkungannya. Interaksi sosial antarindividu dalam masyarakat

selalu mewujudkan nilai dan norma dalam tingkah laku yang harus

saling dapat dipahami agar keteraturan sosial dan kelangsungan hidup

anggota masyarakat sebagai makhluk sosial dapat tetap dipertahankan.

Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk

membaca dan memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai

gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka.

Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan

modelmodel kognitif yang mempunyai peranan sebagai kerangka

pegangan untuk pemahaman. Dengan kebudayaan manusia memiliki

28

kesanggupan untuk mewujudkan perilaku tertentu sesuai dengan

rangsangan-rangsangan yang ada atau yang sedang dihadapinya.

Bagaimanapun, kebudayaan yang terdiri atas serangkaian

petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan

simbol-simbol yang diperlukan, yang secara bersama-sama dan diatur

sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk tingkah laku atau benda-

benda kebudayaan (artefak). Dalam setiap kebudayaan terdapat pedoman

yang antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-

tujuan dan cara-cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya,

berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan

mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya

bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta bagaimana

mengatasinya.

Dalam serangkaian rekomendasi Kongres Kebudayaan mulai tahun

1992 hingga 2013, setidaknya bisa ditemukan empat pemahaman

tentang kebudayaan yang diajukan. Pertama, kebudayaan sebagai

”warisan luhur nenek moyang”; Kedua, sebagai kenyataan antropologis

(yang bersifat serba menyeluruh, yang terdiri atas (a) “seven culture

universals”, ataupun yang melihatnya dari (b) sudut ajaran nilai, jadi

kebudayaan adalah sesungguhnya “konfigurasi sistem nilai”. Ketiga,

29

kebudayaan sebagai “kreativitas kehidupan yang estetik”. Keempat,

kebudayaan sebagai sistem makna (system of meaning).6

Pemahaman kebudayaan sebagai ”warisan nenek moyang” hanya

dapat berlaku pada kesatuan-kesatuan etnis saja, bukan pada bangsa

yang sifatnya ”multietnis”, jadi yang bersifat multi-warisan nenek

moyang. Hanya kata-kata slogan atau mitos yang mengatakan bangsa

Indonesia mempunyai nenek moyang yang sama, bukan realitas sejarah.

Slogan atau mitos mungkin bermanfaat dalam usaha memajukan suatu

keinginan normatif tetapi menyesatkan dalam usaha merumuskan

pemahaman, apalagi kebijakan yang strategis. Jadi pemahaman

kebudayaan ”sebagai warisan nenek moyang” lebih baik dipakai oleh

para literati daerah saja. Hal ini tentu saja bisa dibenarkan secara

kontitusional agar keprihatinan kultural daerah mendapat tempat yang

wajar dalam kebijaksanaan nasional.

Sedangkan pemahaman kebudayaan sebagai ”kreativitas estetik”

dengan mudah menyebabkan kita tergelincir pada penyempitan

pemahaman. Meskipun dinamika kebudayaan sangat tergantung pada

kreativitas, tetapi pemahaman artistik dan estetik dengan mudah

menjebak kita pada penyempitan makna kebudayaan menjadi

6 Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 26

30

”kesenian”, betapapun mungkin banyaknya ragam perwujudan kesenian

itu. Namun demikian, arah Pembangunan Nasional Kebudayaan akan

kehilangan orientasi bilamana disusun tanpa batasan yang jelas

mengenai konsep kebudayaan.

Kebudayaan oleh para ahli dirumuskan dalam pengertian yang

tidak seragam. Dalam kata lain, kebudayaan didefinisikan bermacam-

macam sesuai dengan anggapan dasar pemikiran, pengalaman

keseharian, pengetahuan yang dimiliki, latar belakang kepentingan

sekaligus perenungan-perenungan tertentu. Namun demikian,

kebudayaan akan dipandang dalam perspektif pembangunan yang

berarti sebuah perubahan yang disengaja secara sistematik dari satu

kondisi kebudayaan yang dirasa kurang bernilai menuju kearah kondisi

kebudayaan yang lebih baik sesuai dengan tuntutan jaman.

Pengertian Kebudayaan yang selama ini dipahami oleh masyarakat

akademis sebagai : “keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya

manusia dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui

proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi

sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara”, ternyata tidak mampu menjadi penafsiran tunggal mengenai

hakekat Kebudayaan.

31

Mendasarkan pada kebuntuan mengenai pemahaman kebudayaan

diatas dalam rangka menyusun Undang-Undang Kebudayaan di sini,

kebudayaan lebih dipahami bukan dari pengertian definisi semata, akan

tetapi lebih dipahami dan didekati secara paradigmatik untuk

menyepakati substansi prioritas segenap aspek yang dirasa oleh bangsa

Indonesia merupakan persoalan yang perlu diubah ke arah yang lebih

baik.

Mendasarkan pada serangkaian penyerapan aspirasi dan pendapat

dari segenap pemangku kepentingan dan pemangku kebenaran di bidang

kebudayaan, akhirnya disimpulkan ada 8 (delapan) aspek yang menjadi

hakekat substansi dari pembangunan kebudayaan Indonesia ke depan.

Ke delapan aspek tersebut meliputi:7

a. Aspek Hak Berkebudayaan;

b. Aspek Jatidiri dan Karakter Bangsa;

c. Aspek Multikulturalisme;

d. Aspek Sejarah dan Warisan Budaya;

e. Aspek Industri Budaya;

f. Aspek Diplomasi Budaya;

g. Aspek Pranata dan SDM Kebudayaan;

h. Aspek Prasarana dan Sarana Kebudayaan.7 Ibid. hlm. 62

32

Mengingat begitu luasnya tebahan domain kebudayaan dan

kerumitan keterkaitannya dengan berbagai peraturan perundangan dari

sektor terkait yng telah mendahuluinya, maka didalam menyusun

Undang-Undang tentang Kebudayaan ini, perlu memahami kebudayaan

sebagai suatu sistem. Memahami makna sistem kebudayaan di

Indonesia, hendaknya perlu didahului dengan mengetahui pengertian

‘sistem’ dan ‘sistem kebudayaan’. Apa yang dimaksud dengan sistem?

Kemudian bagaimana pemahaman atas ‘sistem’ tersebut terkait dengan

istilah ‘kebudayaan’, sehingga istilah ‘sistem kebudayaan’ dalam konteks

Indonesia dapat dibaca sebagai sebuah sistem kebudayaan nasional yang

akan akan dapat diterangkan secara lebih jelas.

Apabila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Keempat, istilah sistem dapat dimaknai sebagai “perangkat unsur yang

secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.”8

Sedangkan dalam Kamus Oxford 7-th Edition, system didefinisikan

sebagai “an organized set of ideas or theories or a particular way of doing

something.”9 Dari kedua pengertian tersebut di atas, selanjutnya dapat

ditarik ke dalam definisi yang lebih sederhana. Sistem di sini akan

8 Departemen Pendidikan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia, 2008, hlm. 1320

9 Richard Chenevix Trench, Oxford Dictionary 7th edition, Oxford University Press, 2006,hlm 1557

33

dimaknai sebagai seperangkat gagasan atau unsur-unsur tentang

sesuatu yang saling berkelindan yang mempengaruhi sesuatu. Ketika

istilah ‘sistem’ disandingkan dengan istilah ‘kebudayaan’, sistem

kebudayaan bisa diartikan sebagai: seperangkat unsur-unsur

kebudayaan yang saling berkaitan dan mempengaruhi antara yang satu

dengan yang lainnya. Lebih lanjut, sistem kebudayaan Indonesia dapat

dipahami sebagai seperangkat unsur-unsur kebudayaan yang berada

dalam batas wilayah negara Indonesia yang saling berkaitan dan

mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Sistem

Kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi sistemik dari

budaya keagamaan, budaya kebangsaan, budaya kesukuan, budaya

tempatan, serta budaya global, yang terkait satu sama lain dan dinamis

menuju ke arah kemajuan peradaban bangsa.

Adapun unsur-unsur kebudayaan Indonesia terdiri atas sepuluh

unsur yaitu (1) sistem kepercayaan; (2) organisasi sosial; (3) komunikasi;

(4) mata pencaharian; (5) pendidikan; (6) kesehatan; (7) kesenian; (8)

pengetahuan dan teknologi; (9) tata boga; dan (10) tata busana.

2.2 Konsep Budaya

34

Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu

diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat.

Menurut Koentjaraningrat kebudayaan dengan kata dasar budaya

berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari

buddhi yang berarti “budi” atau “akal”.10 Jadi Koentjaraningrat

mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan

rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.

Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang

membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya

merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari

budi. Pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan

dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan

atau disingkat budaya, menurut Koentjaraningrat merupakan

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar.

Untuk lebih jelasnya mengenai hal diatas, Koentjaraningrat

membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu: (1) Wujud

kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai,

10 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Gramedia PustakaUtama, 2000, hlm. 131

35

norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai

suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam

suatu masyrakat. (3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil

karya manusia.11

Menurut Liliweri kebudayaan merupakan pandangan hidup dari

sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan

simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar yang semuanya

diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi

berikutnya.12

Lebih lanjut, Taylor dalam Liliweri mendefinisikan kebudayaan

tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang disebut

adat istiadat yang mencakup teknologi, pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, estetika, rekreasional dan kemampuan-

kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia

sebagai anggota masyarakat.13 Dengan kata lain, kebudayaan mencakup

semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota

masyarakat.

11 Ibid.12 Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: LKiS,

2002, hlm. 813 Ibid. hlm. 62

36

Hawkins mengatakan bahwa budaya adalah suatu kompleks yang

meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta

kemampuan dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai bagian

masyarakat.14 Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari

masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari

cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi

atau lebih diinginkan. Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai

aspek kehidupan meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan

dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia khas untuk suatu

masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.15

2.3 Tinjauan Umum tentang Cagar Budaya

2.3.1. Konsep Cagar Budaya

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun

2010 tentang Cagar Budaya menentukan :”Cagar Budaya adalah

warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar

Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang

perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting14 P. Hawkins, Creating a Coaching Culture, New York: Bell and Bain Ltd., 2012, hlm. 8115 Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006,

hlm. 18

37

bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan melalui proses penetapan”. Dari difinisi konsep

tersebut dapat dipahami bahwa cagar budaya adalah warisan

budaya. Warisan pada umumnya dipahami sebagai peninggalan

dari masa lalu dan akan ditinggalkan untuk generasi mendatang

supaya dapat belajar darinya, dikagumi, dan dinikmati.

Dari pengertian Cagar Budaya di atas, Cagar Budaya

meliputi obyek yang cukup luas, meliputi benda, bangunan,

struktur, situs, dan kawasan cagar budaya yang berada di darat

dan/atau di air. Untuk dapat memahami konsep Cagar Budaya

seutuhnya, penting dipahami lingkup Cagar Budaya. Lingkup

Cagar Budaya tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang meliputi:

1. Benda Cagar Budaya, yaitu benda alam dan/atau benda

buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa

kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-

sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan

sejarah perkembangan manusia;

2. Bangunan Cagar Budaya, yaitu susunan binaan yang terbuat

dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi

38

kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan

beratap;

3. Struktur Cagar Budaya, yaitu susunan binaan yang terbuat

dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk

memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan

alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan

manusia;

4. Situs Cagar Budaya, yaitu lokasi yang berada di darat

dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya,

bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya

sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa

lalu; dan

5. Kawasan Cagar Budaya, yaitu satuan ruang geografis yang

memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya

berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang

khas.

2.3.2. Paradigma dalam Pelestarian Cagar Budaya

Pengaturan benda-benda purbakala sudah ada sejak jaman

sebelum kemerdekaan, yaitu melalui Monwnenten Ordonantie

1931 (Stbl. No. 238 tahun 1931), lazimnya dlsingkat MO. Setelah

39

kemerdekaan, tonggak penting pengaturan benda peninggalan

budaya ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5

Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Saat ini, pengaturan

benda-benda peninggalan budaya berdasarkan Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Seiring dengan

pergantian peraturan perundang-undangan tersebut, terjadi pula

pergeseran paradigma dalam pelestarian cagar budaya.

Dengan dikeluarkannya undang-undang a quo, terjadi

perubahan paradigma dalam pelestarian Cagar Budaya. Apabila

diidentifikasi, terdapat lima hal yang menjadi paradigma baru

yang membedakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang

Benda Cagar Budaya dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun

2010 tentang Cagar Budaya, yaitu:

1. manajemen pengelolaan cagar budaya sifat pemerintahan yang

sentralistik diubah menjadi desentralistik.

2. adanya perubahan cara pandang pelestarian, dari object-

oriented menjadi site-oriented yang mengarah pada pengelolaan

kawasan.

40

3. pelestarian yang bersifat statis menjadi dinamis serta

mencakup lingkungan daratan dan perairan (arkeologi bawah

air).

4. pelestarian yang dinamis merupakan wujud dari prinsip

perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

5. Pelestarian cagar budaya yang semula hanya terarah pada

objek materi, kini diarahkan pula pada pelestarian nilai untuk

pembentukan identitas (jati diri) bangsa dan kesejahteraan

rakyat.

Selanjutnya, Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2010 menyebutkan bahwa pelestarian Cagar Budaya pada masa

yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang

berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat,

desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan

kebutuhan hukum dalam masyarakat.

2.3.3. Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelestarian Cagar Budaya

Penerapan otonomi daerah di Indonesia setelah Reformasi,

membawa konsekuensi perubahan terhadap cara pandang

maupun perilaku dalam melihat pola hubungan pusat dengan

daerah. Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk

41

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Otonomi

daerah kemudian menjadi salah satu alasan pergantian Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1992 melalui Undang-undang Nomor 11

Tahun 2010. Dengan berlakunya Undang-undang Nomer 11

Tahun 2010 maka terjadi perubahan arah dan ruang lingkup

pelestarian cagar budaya. Berdasarkan UU Benda Cagar Budaya

tahun 1992, manajemen pengelolaan Cagar Budaya mengacu

kepada sistem manajemen yang bersifat terpusat, yaitu

pemerintah bertanggungjawab penuh terhadap perlindungan

Cagar Budaya.

Berdasarkan undang-undang yang baru, Pemerintah pusat

tidak lagi mengambil peran sebagai penanggungjawab tunggal

dalam sistem pengelolaan manajemen Cagar Budaya, melainkan

melibatkan para stakeholder yang terdiri dari masyarakat,

akademisi, NGO, pihak swasta dan pemerintah daerah. Seiring

dengan menguatnya Otonomi Daerah setelah Reformasi, maka

peran pemerintah daerah, baik tingkat provinsi dan kabupaten

mempunyai peran yang penting tidak hanya dalam perlindungan

42

dan pengembangan tetapi juga dalam pemanfaatan Cagar Budaya

untuk kepentingan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya memberikan kewenangan yang cukup besar kepada

Pemerintah Daerah dalam pelestarian cagar budaya. Hal itu dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2010 yang memberikan 16 kewenangan kepada daerah.

Selengkapnya Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2010 menyatakan sebagai berikut:

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

tingkatannya mempunyai wewenang:

a. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya;

b. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas

sektor dan wilayah;

c. menghimpun data Cagar Budaya;

d. menetapkan peringkat Cagar Budaya;

e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

f. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;

g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;

h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

43

i. mengelola Kawasan Cagar Budaya;

j. mendirikan dan membubarkan unit pelak-sana teknis

bidang pelestarian, penelitian, dan museum;

k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di

bidang kepurbakalaan;

l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah

melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk

kepentingan pengamanan;

n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat

provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;

o. menetapkan batas situs dan kawasan; dan

p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses

pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang,

atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun

bagian-bagiannya.

Selain itu, berdasarkan Pasal 97, Pemerintah Daerah

berwenang memfasilitasi pengelolaan Kawasan Cagar Budaya.

Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud

44

dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.

2.3.4. Ruang Lingkup Pelestarian Cagar Budaya

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya, terjadi pergeseran konsep pelestarian cagar

budaya. Dalam Undang-Undang Benda Cagar Budaya

sebelumnya, yaitu Undang- Undang Nomor 5 tahun 1992, dianut

konsep bahwa pelestarian adalah salah satu tujuan dari

perlindungan benda budaya. Selanjutnya, dalam Pasal 2

menegaskan bahwa, ”Perlindungan benda cagar budaya dan situs

bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan

kebudayaan nasional Indonesia”. Sebaliknya, menurut Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2010, justru perlindungan adalah salah

satu upaya untuk melestarikan cagar budaya. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 22, pelestarian didifinisikan sebagai

upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya

dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan

memanfaatkannya. Dengan demikian, dalam konsep pelestarian

perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Adapun ruang

lingkup Pelestarian Cagar Budaya dalam Undang-Undang Nomor

45

11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya lebih lengkap diuraikan

sebagai berikut:

1. Perlindungan

Perlindungan dalam hal ini mencakup kegiatan-kegiatan

penyelamatan, pengamanan, zonasi kawasan, pemeliharaan

dan pemugaran cagar budaya. Penyelamatan adalah upaya

menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari

kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Menurut Pasal 58,

penyelematan Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk (a)

mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam

yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai- nilai yang

menyertainya; dan (b) mencegah pemindahan dan beralihnya

pemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar

Budaya dari ancaman dan/atau gangguan. Berdasarkan Pasal

61 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Pengamanan Cagar

Budaya adalah kewajiban pemilik dan/atau yang

menguasainya. Masyarakat juga dapat berperan serta

46

melakukan Pengamanan Cagar Budaya (vide Pasal 63).

Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah Cagar

Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah.

Pengamanan Cagar Budaya dapat dilakukan dengan memberi

pelindung, menyimpan, dan/atau menempatkannya pada

tempat yang terhindar dari gangguan alam dan manusia.

Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud di atas

harus memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan

sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama,

kebudayaan, dan/atau pariwisata.

Pelindungan Cagar Budaya juga dilakukan dengan menetapkan

batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui

sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian. Sistem zonasi ini

ditetapkan oleh Menteri untuk cagar budaya nasional, oleh

gubernur untuk cagar budaya provinsi, dan oleh

Bupati/Walikota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya

atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.

Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar

Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.

Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik

47

vertikal maupun horizontal, yang dapat terdiri atas: (a) zona

inti, (b) zona zona penyangga , (c) zona pengembangan,

dan/atau (d) zona penunjang.

Masih termasuk dalam lingkup kegiatan perlindungan adalah

pemeliharaan dan pemugaran. Pasal 75 Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2010 menegaskan bahwa Setiap orang wajib

memelihara Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.

Cagar Budaya yang ditelantarkan oleh pemilik dan/atau yang

menguasainya dapat dikuasai oleh Negara. Pemeliharaan

dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya untuk

mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh

alam dan/atau perbuatan manusia. Perawatan dilakukan

dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas

kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak,

gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya (vide Pasal 76).

Mengenai pemugaran, Pasal 77 menentukan bahwa Pemugaran

Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang

rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan

cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya

melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan

48

restorasi. Pada Pasal 77 ayat (2) ditentukan bahwa Pemugaran

Cagar Budaya harus memperhatikan: (a) keaslian bahan,

bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan; (b)

kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin; (c)

penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat

merusak; dan (d) kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.

Di samping itu, pemugaran harus memungkinkan

dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap

mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan

Cagar Budaya.

2. Pengembangan

Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi,

dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui

Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan

serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian (vide Pasal

1 angka 29) Pengembangan cagar budaya mencakup kegiatan

penelitian, revitalisasi cagar budaya, dan adaptasi. Penelitian

adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan

metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan

keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu

49

pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan (vide Pasal 1

angka 30). Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang

ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting

Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang

tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya

masyarakat (vide Pasal 1 angka 31). Adaptasi adalah upaya

pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai

dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan

terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai

pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai

penting (vide Pasal 1 angka 32)

3. Pemanfaatan

Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk

kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan

tetap mempertahankan kelestariannya. (Pasal 1 angka 33)

Pemanfaatan mencakup kegiatan pemanfaatan untuk bidang

agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi,

kebudayaan dan pariwisata. Ketiga fokus kegiatan pelestarian

ini merupakan suatu kegiatan yang terkait dan saling

mendukung. Menurut Pasal 85 Undang-Undang Nomor 11

50

tahun 2010, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang

dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama,

sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan,

dan pariwisata. Pemerintah dan Pemerintah Daerah

memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang

dilakukan oleh setiap orang. Yang dimaksudkan dengan ”setiap

orang” adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat,

badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan

berbadan hukum (vide Pasal 1 angka 35)

2.3.5. Manajemen Pelestarian Cagar Budaya yang Partisipatif

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya mempunyai orientasi manajemen pengelolaan Cagar

Budaya yang bersifat partisipatif. Sistem pengelolaan manajemen

Cagar Budaya yang partisipatif mempunyai tujuan: (a) melibatkan

masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya; (b) meningkatkan

kesadaran masyarakat dalam melindungi Cagar Budaya. Dengan

demikian, orientasi sistem manajemen pengelelolaan Cagar

Budaya berdasarkan undang- undang yang baru adalah bersifat

berkelanjutan dan berbasiskan masyarakat (community based)

51

dalam suatu wadah manajemen yang terintegrasi (integrated

management).

2.3.6. Masyarakat Hukum Adat sebagai Pemilik Cagar Budaya

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, istilah

”masyarakat hukum adat” ditemukan dalam tiga pasal, yaitu Pasal

13, Pasal 87 ayat (2), dan pasal 97 ayat (3). Pasal 13 berkaitan

dengan pengakuan dari undang-undang ini terhadap hak dari

masyarakat hukum adat yang dapat memiliki cagar budaya,

khususnya kawasan cagar budaya. Selengkapnya, Pasal 13

menegaskan bahwa: ”Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki

dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara

turuntemurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat”. Pasal 87

berkaitan dengan pemanfaatan cagar budaya yang pada saat

ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula. Pasal 87 ayat (1)

menyatakan bahwa Cagar Budaya yang pada saat ditemukan

sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan tertentu. Selanjutnya pada ayat (2) ditentukan bahwa

Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud di atas

dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai

dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum

52

adat yang memiliki dan/atau menguasainya. Kedudukan hukum

adat juga kuat dalam pembentukan badan pengelola kawasan

cagar budaya. Dalam Pasal 97 ayat (3) ditentukan bahwa:

Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya...dilakukan oleh badan

pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,

dan/atau masyarakat hukum adat”.

Mengingat pentingnya kedudukan masyarakat hukum adat,

baik sebagai (1) pemlik/penguasa cagar budaya, (2) pemberi ijin

pemanfaatan cagar budaya yang sudah tidak lagi berfungsi seperti

semua, dan sebagai (3) pembentuk badan pengelola kawasan

cagar budaya; maka konsep masyarakat hukum adat harus

dijelaskan. Dalam Penjelasan Pasal 13 memang sudah disebutkan

bahwa: ”Yang dimaksud dengan “masyarakat hukum adat” adalah

kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah geografis

tertentu yang memiliki perasaan kelompok (in-group feeling),

pranata pemerintahan adat, harta kekayaan/benda adat, dan

perangkat norma hukum adat.

Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia,

ditemukan dua istilah yang ditemukan berkaitan dengan

masyarakat hukum adat. Dalam UUD NRI Tahun 1945,

53

khususnya dalam Pasal 18B ayat (2) istilah yang digunakan

adalah ”kesatuan masyarakat hukum adat”, sedangkan dalam

beberapa undang- undang, termasuk dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2010 digunakan istilah ”masyarakat hukum

adat”. Secara akademis . sesungguhnya kedua istilah ini

mempunyai pengertian yang berbeda, yaitu ”kesatuan hukum

adat” menunjuk kepada lembaga atau unit organisasi atau wadah

dari masyarakat hukum adat di mana masyarakat hukum adat

adalah isi dari unit organisasi atau warga dari kesatuan

masyarakat hukum adat itu.16 Namun demikian, dalam kajian ini

perbedaan pengertian tersebut tidak terlalu dipermasalahnkan

karena kedua istilah tersebut mempunyai maksud yang sama.

Dengan begitu, pemahaman tentang konsep kesatuan masyarakat

hukum adat dapat juga digunakan untuk memahami konsep

masyarakat hukum adat.

Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor:

31/PUU-V/2007, di Indonesia terdapat 3 (tiga) golongan kesatuan

masyarakat hukum adat, yaitu:

16 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005, hlm. 77

54

1. kesatuan masyarakat hukum adat genealogis, yaitu kesatuan

masyarakat hukum adat yang ditentukan berdasarkan kriteria

hubungan keturunan darah;

2. kesatuan masyarakat hukum adat fungsional, yaitu kesatuan

masyarakat hukum adat yang didasarkan atas fungsi-fungsi

tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang

mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan

dan tidak tergantung kepada hubungan darah atau pun

wailayah;

3. kesatuan masyarakat hukum adat teritorial, yaitu kesatuan

masyarakat hukum adat yang bertumpu pada wilayah tertentu

di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang

bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan

hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan air, hutan, dan

sebagainya.

2.4 Tinjauan Umum tentang Peraturan Daerah

2.4.1 Pengertian Peraturan Daerah

Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar

level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif

55

(inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap

dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang

berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.17

Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau

penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari

campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah

dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat.18

Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter hubungan

pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang

terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki

tangan pemerintah pusat.19

Keharusan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 18 dan Pasal 18

A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI Tahun 1945), dalam ketentuan tersebut termaktub keharusan

pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan

pemerintahan. Artinya, terdapat keharusan untuk menerapkan asas

17 Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDMAparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000. hlm. 5

18 M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1978. hlm. 15019 Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara,

Rajawali Press, Jakarta, 1998. hlm. 52

56

desentralisasi sebab asas tersebut memberikan indikasi positif bagi

penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah.

Menurut pendapat Riant Nugroho D. memberikan pengertian

mengenai desentralisasi yaitu sebagai pendelegasian, prinsip ini

mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi

sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.20

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Amrah Muslimin yang

menyatakan bahwa Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan

kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dan

daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.21

Pemerintah daerah merupakan subsistem dari pemerintah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-

cita yang diamanatkan oleh pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah

juga merupakan cita-cita dan tujuan pemerintah daerah yang harus

dicapai. Dengan dilaksanakannya asas desentralisasi, pemerintah

daerah menjadi pemegang kendali bagi pelaksanaan pemerintah di

daerah. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 ayat 6 UUD

NRI Tahun 1945 menetapkan, “Pemerintahan daerah berhak

20 Riant Nugroho D., Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Resolusi Kajian dan KritikAtas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002. hlm. 42

21 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982.hlm. 42

57

menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Peraturan Daerah

merupakan salah satu dari jenis peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 6 UUD NRI Tahun 1945 maka

setiap daerah diberikan wewenang untuk membuat sendiri peraturan

daerahnya. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, mengatur bahwa peraturan daerah dibentuk

dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Provinsi atau Kabupaten

atau Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih

lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah

sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan merupakan

bagian dari pembangunan sistem hukum nasional.

Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh

metode dan standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentukan

peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011), menjadi landasan

hukum untuk penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk

58

juga peraturan lokal tadi yaitu peraturan daerah yang berlaku mengikat

bagi daerah tempat peraturan daerah itu dibentuk. Peraturan Daerah

merupakan produk hukum daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah

atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan dalam

pelaksanaannya berlaku secara lokal, sehingga kekuatan mengikatnya

hanya pada daerah dibentuk. Menurut ketentuan yang tercantum di

dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:

“Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-Undangan

yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan

persetujuan bersama Gubernur.” Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 8 UU

No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa: “Peraturan Daerah Kabupaten/

Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan

bersama Bupati/Walikota.” Ketentuan yang tercantum diatas dapat

diketahui bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk membuat

Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten

Kota.

Peraturan Daerah tetap mengacu pada peraturan hukum lebih

tinggi di atasnya, sehingga tidak serta merta akan mengesampingkan

aturan-aturan yang lebih tinggi. Prinsip peraturan daerah adalah untuk

59

melaksanakan peraturan yang lebih tinggi diatasnya maka tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut. Oleh karena

itu daya ikat dari Peraturan Daerah adalah hanya mengikat bagi setiap

aspek-aspek kepentingan daerah, namun tidak berarti dengan berlaku

mengikat secara lokal tersebut, sehingga pemerintah daerah

menganggap bahwa pengawasan pemerintah terhadap peraturan daerah

tidak ada. Justru kewenangan pembentukan peraturan daerah

diberikan kepada daerah untuk melakukannya dengan tetap mendapat

pengawasan dan pembinaan hukum oleh pemerintah melalui institusi

pemerintah yang berkompeten, yaitu Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia. Kewenangan pembentukan

peraturan daerah (PERDA) tersebut, merupakan wujud nyata

pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan

sebaliknya peraturan daerah merupakan salah satu sarana

penyelenggaraan otonomi daerah.

Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah

mendapat persetujuan bersama dengan DPRD, untuk penyelenggaraan

otonomi yang dimiliki oleh daerah provinsi/kabupaten/kota. Peraturan

daerah pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana

60

dijelaskan di atas, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing

daerah. Peraturan daerah yang dibuat oleh suatu daerah, baru

mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat

dalam lembaran daerah, namun dalam asas hukum pemberlakuannya

tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi dan atau menyangkut kepentingan umum.

2.4.2. Landasan-Landasan Pembentukan Peraturan Daerah

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di

Indonesia, peraturan daerah dalam pembentukannya tunduk pada asas

maupun teknik dalam penyusunan perundang-undangan yang telah

ditentukan. Hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan diantaranya adalah menyangkut tentang

landasannya. Landasan yang dimaksud disini adalah pijakan, alasan

atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus dibuat.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Bagir Manan terdapat

4 (empat) landasan yang digunakan dalam menyusun perundang-

61

undangan agar menghasilkan perundang-undangan yang baik dan

berkualitas.22 Keempat landasan tersebut adalah:

a) Landasan yuridis

Landasan ini berkaitan dengan ketentuan hukum yang menjadi

dasar kewenangan (bevoegheid, competentie) pembuat peraturan

perundang-undangan. Apakah kewenangan pejabat atau badan

mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam perundang-

undnagan atau tidak. Hal ini sangat penting untuk disebutkan dalam

perundang-undangan karena seorang pejabat/suatu badan tidak

berwenang (onbevogheid) mengeluarkan aturan. Landasan ini dibagi

menjadi dua:

1) Dari segi formil landasan ini memberikan kewenangan bagi

instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu.

2) Dari segi materiil sebagai dasar hukum untuk mengatur hal-hal

tertentu Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-

undangan meliputi 3 hal:

a. Kewenangan dari pembuat perundang-undangan.

b. Kesesuaian bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan

dengan materi yang diatur.

22 W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legislatif Drafting: Teori dan TeknikPembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009. hlm. 25-28

62

c. Keharusan mengikuti tata cara tertentu pembuatan

perundang-undangan

Adapun Landasan yuridis dalam suatu perundang-undangan

ini ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat”.

b) Landasan Sosiologis

Landasan Sosiologis yaitu satu peraturan perundang-undangan

yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan

kenyataan hidup.Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus

sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam

masyarakat.23 Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-

undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di

masyarakat.

c) Landasan Filosofis

Landasan ini berkaitan dengan dasar filsafat atau pandangan

atau ide yang menjadi dasar sewaktu menuangkan hasrat dan

kebijakan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan

negara. Suatu rumusan perundang-undangan harus mendapat

pembenaran (recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara

filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi induk dari

23 Soimin, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.hlm. 18

63

landasan filosofis ini adalah pancasila sebagai suatu sistem nilai

nasional bagi sistem kehidupan bernegara.24

d) Landasan Politis

Landasan ini berkaitan dengan garis kebijakan politik yang

menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan dan pengarahan

ketatalaksanaan pemerintahan negara, hal ini dapat diungkapkan

pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program

Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah

(Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasional

(Propenas) sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di

laksanakan selama pemerintahannya ke depan.

Selain landasan tersebut diatas masih ada beberapa landasan

yang dapat digunakan diantaranya, landasan ekonomis, ekologis,

cultural, religi, administratif dan teknis perencanaan yang tidak boleh

diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundang-undangan yang

baik di semua tingkatan pemerintah.

2.4.3. Asas Pembentukan Peraturan Daerah

Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 UU No. 12

Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan

24 Budiman NPD., Ilmu Pengantar Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2005.hlm. 33

64

Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang

meliputi:

a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang

hendak dicapai.

b. kelembagaan atau organisasi pembentuk yang tepat, yaitu setiap

jenis peraturan perundang- undangan harus dibuat oleh

lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat

oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam

pembentukan peraturan perundang- undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan

perundang-undangan.

d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan

perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara

filosofis, yuridis maupun sosiologis.

65

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan

perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan

pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan

mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,

penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam

proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Selain asas-asas yang telah dikemukakan di atas lebih lanjut

dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 juga menyatakan bahwa materi

muatan Perda juga harus mengandung asas-asas sebagai berikut:

66

a. asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus

berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan

ketentraman masyarakat.

b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus

mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional.

c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan

sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan)

dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus

mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap

pengambilan keputusan.

e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa

memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi

muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang

berdasarkan Pancasila.

f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda

harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan

golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut

67

masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga

negara tanpa kecuali.

h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap

materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku,

ras, golongan, gender atau status sosial.

i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan

Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat

melalui jaminan adanya kepastian hukum.

j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap

materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan,

keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan

masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

k. asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.

Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah

Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan

68

keunggulan lokal/daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam

pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

2.5 Praktik Empiris Bidang Kebudayaan di Kabupaten Tuban

Secara geografis, Kabupaten Tuban termasuk dalam wilayah

Provinsi Jawa Timur yang berada di pantai utara pulau jawa dengan

luas wilayah 183.994.562 Ha dan luas wilayah laut 22.608 km2 dengan

koordinat 111o35’ Bujur Timur dan 6o40’ sampai dengan 7o18’ Lintang

Selatan. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tuban ada sebagai

berikut:

Utara : Laut Jawa

Timur : Kabupaten Lamongan

Selatan : Kabupaten Bojonegoro

Barat : Kabupaten Rembang dan Blora (Provinsi Jawa Tengah)

Daerah administratif Kabupaten Tuban terbagi dalam 20

Kecamatan yaitu Kecamatan Plumpang, Widang, Singgahan, Rengel,

Soko, Senori, Bangilan, Bancar, Parengan, Merakurak, Palang, Jatirogo,

Jenu, Tuban, Tambakboyo, Montong, Semanding, Kenduruan, Kerek,

dan Grabagan. Dari 20 Kecamatan tersebut terbagi ke dalam 311 Desan

dan 17 Kelurahan.

69

Jumlah penduduk Kabupaten Tuban kurang lebih sejumlah

1.304.080 jiwa berdasarkan registrasi tanggal 31 Desember 2015.

Jumlah tersebut tentunya tumbuh secara pesat pada tahun 2019.

Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan atau disebut

rasio jenis kelamin (sex ratio) tercatat 100,42. Angka tersebut

menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Tuban

sedikit lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan.

Dihitung berdasarkan kepadatan per km2 sebesar 708,76 yang berarti

tiap 1 km2 luas daratan di Kabupaten Tuban dihuni oleh rata-rata 709

jiwa.

Secara harfiah, Tuban dalam Bahasa Kawi bermakna “Air Terjun”

atau “Air Yang Jatuh Dari Tempat Yang Curam”, hal tersebut

menunjukkan bahwa di sekitar wilayah Tuban terdapat air terjun meski

yang belakangan yang disebut Tuban adalah kota pantai yang terletak di

daerah dataran rendah. Keberadaan air terjun di selatan Tuban

kemungkinan menunjukkan bahwa wilayah hunian di Kabupaten Tuban

lebih masuk ke pedalaman daripada sekarang.

Secara historis, Kabupaten Tuban yang wilayahnya diapit oleh laut

jawa sebelah utara dan sungai bengawan Solo di sebelah selatan

merupakan kawasan lalu lintas utama pada zaman dahulu. Hal itulah

70

yang menjadikan Tuban sebagai kawasan strategis dan sangat penting

dalam sejarah perjalanan nusantara, terutama yang berkaitan dengan

sejarah penyebaran agama islam di pulau jawa. Kabupaten Tuban

mempunyai kedudukan yang penting pada zaman kerajaan Kahuripan,

Kediri, Singasari, Majapahit, dan kerajaan Islam Demak. Atas dasar

itulah kemudian Tuban mempunyai banyak sekali Cagar Budaya baik

itu benda, bangunan, struktur, situs, maupun kawasan yang menjadi

warisan dari kerajaan-kerajaan di masa lampau.

Berkenaan dengan hal tersebut, jika dikaitkan dengan keberadaan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka

Kabupaten Tuban mempunyai warisan Cagar Budaya yang perlu

dilestarikan karena memiliki jumlah yang banyak sesuai dengan kriteria

yang ditentukan dalam undang-undang a quo. Adapun benda,

bangunan, struktur, situs, dan kawasan Cagar Budaya di Kabupaten

Tuban yang masih ada hingga saat ini dan perlu terus dilestarikan,

meliputi jenis-jenis Cagar Budaya sebagai berikut:

71

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Menurut stufenbau des recht theorie dari Hans Kelsen bahwa norma

hukum di dalam negara itu berjenjang dan mempunyai hierarki. Norma

hukum yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi pembentukan norma

hukum yang lebih rendah, karenanya norma hukum yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Terkait dengan

hal tersebut, Hans Kelsen menyatakan bahwa:

“The relation between the norm regulation the creation of another normand this other norm may be presented as a relationship of super and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm determining thecreation of another norm is the superior, the norm created according to thisregulation, the inferior norm. the legal order, especially the legal order thepersonification of wich is State, is therefore not a system of normscoordinated to each other, stading, so to speak, side by side on the samelevel, but a hierarchy of different levels of norms”25

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah akan

memperoleh validitas normatif apabila sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah akan kehilangan validitas normatifnya, apabila materi muatannya

25 Hans Kelsen, General Theory of Law and State; Teori Umum Tentang Negara danHukum, Bandung: Nusamedia, 2006, hlm. 36

72

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk

itu, melihat kedudukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka diperlukan

analisis berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait langsung

dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian

Cagar Budaya. Hal tersebut diperlukan supaya Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya

tersebut nantinya mempunyai validitas yuridis dan dapat dijadikan sebagai

dasar hukum dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar

Budaya di Kabupaten Tuban.

3.1 Pasal 18, ayat (2), ayat (3) ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin diberikannya

otonomi kepada daerah otonom, baik provinsi maupun

kabupaten/kota.Otonomi sendiri mengandung arti kewenangan untuk

mengurus (bestuurdaad) dan mengatur (regelendaad). Kewenangan

73

untuk mengurus berisi kewenangan daerah untuk mengurus beberapa

urusan yang menjadi kewenangannya, sedangkan kewenangan

mengatur berisi kewenangan daerah untuk membuat Norma, Standar,

Prosedur Dan Kriteria (NSPK) yang dapat dijadikan dasar untuk

melaksanakan kewenangan pengurusan tersebut.

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia menentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah

didasarkan pada prinsip otonomi. Selanjutnya, Pasal 18 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menentukan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan

kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-

anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Ketentuan tersebut

menegaskan bahwa pemerintahan daerah selain memiliki kepala daerah

sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah, juga memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah dan berkedudukan setara dengan

kepala daerah sehingga harus diberikan hak dan kewajiban yang sama.

Selanjutnya, Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa otonomi yang

diberikan kepada daerah otonom adalah otonomi seluas-luasnya.

74

Karenanya, Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan”. Atas dasar itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban

melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga

berinisiatif membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya sebagai wujud dari pelaksanaan kewenangan

mengatur (regelendaad) Kabupaten Tuban sebagai salah satu Daerah

Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Paragraf ke 9, 10, dan 11 Penjelasan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menegaskan sebagai berikut:

Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datangmenyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi padapengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasipemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhanhukum dalam masyarakat. Paradigma baru tersebut mendorongdilakukannya penyusunan Undang-Undang yang tidak sekadarmengatur pelestarian Benda Cagar Budaya, tetapi juga berbagaiaspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalanbudaya masa lalu, seperti bangunan dan struktur, situs dankawasan, serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnyatidak secara jelas dimunculkan. Di samping itu, nama CagarBudaya juga mengandung pengertian mendasar sebagaipelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakanpenyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu

75

pengetahuan dan teknologi. Untuk memberikan kewenangankepada Pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam mengelolaCagar Budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan,pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan denganpelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budayasebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas.

Berdasarkan uraian tersebut, maka telah terjadi pergeseran

paradigma dalam Pelestarian Cagar Budaya di Indonesia dari semula

hanya melakukan pelindungan, namun setelah lahirnya undang-undang

a quo, maka Pelestarian Cagar Budaya selain pelindungan juga

dilaksanakan melalui pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya.

Di samping itu, seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat juga

dilibatkan dalam setiap upaya Pelestarian Cagar Budaya. Oleh karena

itu, Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya menentukan bahwa, Pemerintah dan/atau Pemerintah

Daerah mempunyai tugas melakukan pelindungan, pengembangan, dan

pemanfaatan Cagar Budaya. Dengan demikian, maka tugas Pelestarian

Cagar Budaya tidaklah bersifat sentralistik sebagaimana ditentukan

dalam undang-undang yang lama, namun juga merupakan tugas

Pemerintah Daerah termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban

untuk melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar

Budaya. Adapun tugas-tugas tersebut diuraikan dalam ayat (2)

ketentuan a quo yang berbunyi sebagai berikut:

76

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannyamempunyai tugas:a. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta

meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dankewajiban masyarakat dalam Pengelolaan Cagar Budaya;

b. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapatmenjamin terlindunginya dan termanfaatkannya CagarBudaya;

c. menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan CagarBudaya;

d. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;e. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;f. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan

dan promosi Cagar Budaya;g. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan

darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasanyang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikandukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;

h. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadapPelestarian warisan budaya; dan

i. mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian CagarBudaya.

Atas dasar pelaksanaan tugas-tugas tersebut, Pemerintah Daerah

juga dibekali dengan seperangkat wewenang sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya yang menentukan sebagai berikut:

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannyamempunyai wewenang:a. menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;b. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas

sektor dan wilayah;c. menghimpun data Cagar Budaya;d. menetapkan peringkat Cagar Budaya;e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

77

f. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;i. mengelola Kawasan Cagar Budaya;j. mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang

Pelestarian, Penelitian, dan museum;k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang

kepurbakalaan;l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah

melakukan Pelestarian Cagar Budaya;m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk

kepentingan Pengamanan;n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi,dan peringkat kabupaten/kota;

o. menetapkan batas situs dan kawasan; danp. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses

pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, ataumusnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Mencermati beberapa ketentuan sebagaimana diuraikan di atas

dan dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka

Pemerintah Kabupaten Tuban mempunyai wewenang dalam Pelestarian

Cagar Budaya, sehingga dalam fungsi pengaturan (regelendaad)

Pemerintah Kabupaten Tuban dapat membentuk Peraturan Daerah

tentang Pelestarian Cagar Budaya yang materi muatannya meliputi

tugas dan wewenang yang diberikan melalui Pasal 95 ayat (1) dan ayat

(2) Juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya. Hal demikian telah sesuai dengan ketentuan

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

78

Peraturan Perundang-Undangan Juncto Pasal 236 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang

menentukan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah dalam

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut

dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

3.3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa

“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi

khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi.” Ketentuan Pasal 14 undang-undang a quo

memberikan ruang bagi peraturan daerah untuk mengatur ketentuan

pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi dan dalam rangka

melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

79

Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 12 ayat (2) huruf p Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

menentukan bahwa Kebudayaan merupakan salah satu urusan

pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar (non

basic need). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban

dalam melaksanakan otonomi daerah mempunyai kewenangan dalam

merumuskan kebijakan untuk urusan kebudayaan yang kemudian

dituangkan ke dalam produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah

Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya guna dijadikan

payung hukum dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan

Cagar Budaya di Daerah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Juncto Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

3.4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah

Pasal 236 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah menyebutkan “Untuk menyelenggarakan otonomi

daerah dan tugas pembantuan, daerah membentuk perda.” Lebih Lanjut

Pasal 236 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

80

Pemerintahan Daerah menentukan, “Perda sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) memuat materi muatan:

a. Penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; dan

b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Ketentuan di atas memberikan kewenangan kepada daerah untuk

membentuk produk hukum daerah sebagai wujud dari fungsi mengatur

daerah (regelendaad) sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun bentuk

produk hukum daerah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 236

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di

atas adalah Peraturan Daerah yang salah satu materi muatannya

sebagai penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan. Dengan

demikian, adanya Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya merupakan pelaksanaan atas otonomi daerah

di bidang kebudayaan yang menurut Pasal 12 ayat (2) huruf p Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar

(non basic need).

81

Selanjutnya, Pasal 31 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga mengamanatkan untuk

memelihara keunikan adat isiadat, tradisi, dan budaya Daerah dalam

melakukan penataan Daerah yang juga menjadi bagian dalam

pelaksanaan desentralisasi. Oleh karena itu, Kabupaten Tuban sebagai

Daerah Otonom wajib melaksanakan amanat tersebut dengan tetap

melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya di

Daerah sebagai upaya dalam melestarikan Cagar Budaya yang

merupakan pelaksanaan dari Otonomi Daerah.

82

BAB IV

LANDASAN FILOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

4.1. Landasan Filosofis

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum

negara adalah sesuai dengan Pembukaan (Preambule) Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke IV yaitu,

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam persmusyawaratan/perwakilan dan Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta

sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-

nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal demikian secara yuridis

diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam pembukaan

(preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 mengamatkan untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia

83

dan memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar itu, maka pemerintah

berkewajiban untuk menjamin tatanan berbangsa dan bernegara secara

tertib dan berkeadilan. Sehingga, perlu memberikan pelayanan yang

optimal kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Untuk memaknai eksistensi Kebudayaan secara filosofis, alinea

keempat pembukaan (preamble) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara.

Sila-sila yang termaktub dalam Pancasila tersebut dijadikan sebagai

kristalisasi nilai-nilai Kebudayaan bangsa harus dijadikan fondasi dalam

pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebagai upaya

Pelestarian Cagar Budaya di Daerah.

Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, mengamanatkan bahwa “Negara berkewajiban memajukan

kebudayaan Nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai nilai budayanya, sehingga kebudayaan Indonesia

perlu dihayati oleh oleh seluruh warga Negara.” Oleh karena itu, setiap

kebudayaan termasuk yang bersifat kebendaan (tangible) yang

mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna

memperkokoh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat

84

bangsa serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi

terwujudnya cita cita bangsa pada masa depan.

Berdasarkan pada amanat Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban

mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk melestarikan

Cagar Budaya. Sehubungan dengan itu, keseluruhan kistalisasi nilai-

nilai bangsa Indonesia yang meliputi; gagasan, perilaku dan hasil karya

manusia dan/atau kelompok manusia Indonesia yang dikembangkan

melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkunganya yang

berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara perlu untuk terus dilestarikan dan dikelola sebagai dasar

dan jiwa dalam membangun bangsa. Bertitik tolak dari kondisi tersebut,

maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban perlu melakukan langkah-

langkah strategis dengan membuat kebijakan (policy) yang dituangkan ke

dalam produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.

4.2.Landasan Sosiologis

Secara sosiologis, hukum adalah alat rekayasa sosial (law as a

tool of social engineering) dan hukum adalah alat untuk memaksimalkan

85

manfaat (law as a to maximize overall social utility). Dari dasar pemikiran

tersebut, maka Peraturan Daerah sebagai produk hukum harus dibuat

semaksimal mungkin harus mendatangkan kesejahteraan bagi

masyarakat. Peraturan Daerah sebagai produk hukum harus

mempunyai landasan atau dasar sosiologis (sociologische grondsIag)

sebagai dasar Peraturan Daerah tersebut mempunyai validitas sosiologis

(social validity). Suatu perda dapat dikatakan mempunyai validitas

sosiologis apabila Peraturan Daerah tersebut disusun, dibuat sesuai

dengan kondisi masyarakat, kebutuhan masyarakat dan keyakinan

umum atau kesadaran hukum masyarakat. Dalam artian bahwa, norma

hukum yang ada dalam Peraturan Daerah tersebut tidak boleh

bertentangan dengan kesadaran hukum, kehendak dan keyakinan

hukum masyarakat dimana Peraturan Daerah tersebut dibutuhkan.

Dengan kata lain, Peraturan Daerah harus disusun dan dibuat sesuai

dengan kondisi dan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat itu

sendiri, baik berupa kebutuhan, maupun tuntutan yang dihadapi oleh

masyarakat, serta kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan

memperhatikan kondisi semacam ini peraturan perundang-undangan

diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku

secara efektif.

86

Pelestarian Cagar Budaya merupakan upaya untuk

mempertahankan warisan budaya agar tetap lestari dan berkelanjutan

di samping memberikan manfaat bagi kebudayaan, tetapi juga memiliki

nilai manfaat secara ekonomi. Pelestarian yang semula dipahami secara

sempit hanya sebagai upaya pelindungan, kini diperluas tidak saja

untuk maksud tersebut, tetapi terkait juga dengan upaya

pengembangan dan pemanfaatan. Perluasan pemahaman ini

dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak satu pun unsur dari

pengertian pelestarian itu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan

sebuah kesatuan yang saling mempengaruhi tanpa dapat dipisahkan.

Kabupaten Tuban sebagai daerah otonom yang sangat lekat sekali

dengan sejarah masa lalu khususnya pada masa-masa kejayaan

kerajaan di Indonesia berkepentingan untuk tetap melestarikan Cagar

Budaya dengan tetap mempertahankan nilai dan ciri khas Cagar

Budaya. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya sebagai daerah

otonom yang mempunyai kewenangan untuk mengatur (regelendaad),

Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban perlu menetapkan strategi dan

sekaligus merumuskan kebijakan (policy) dalam melakukan

pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya yang ada

di wilayah Kabupaten Tuban agar Cagar Budaya yang merupakan

87

warisan dan kekayaan budaya serta identitas budaya masyarakat

Kabupaten Tuban dapat terjamin keberadaanya sesuai bentuk dan

muka aslinya. Dengan demikian, perlu membentuk Peraturan Daerah

Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya yang dapat

dijadikan sebagai payung hukum dan pedoman tunggal dalam

pelaksanaan Pelestarian Budaya di Kabupaten Tuban.

4.3. Landasan Yuridis

Beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan

landasan yuridis dalam penyusunan Rancangan Naskah Akademik dan

Draft Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar

Budaya adalah sebagai berikut:

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan

Daerah Kabupaten di Propinsi Jawa Timur juncto Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1965 tentang Perubahan Bentuk Daerah Kota Praja

Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 2730);

88

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 130,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5234);

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679)

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

89

Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan

Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017

Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

6055);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan

dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Di Museum (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 35, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3599);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4532);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara

90

Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 6041);

13. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);

14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang

Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan,

Keraton dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan

Budaya;

15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang

Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya

Masyarakat;

16. Peraturan Bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 40

tahun 2009 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2009 tentang

Pedoman Pelestarian Kebudayaan;

17. Peraturan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/PRT/M/2015 tentang

Bangunan Gedung Yang Dilestarikan.

91

18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80

Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);

92

BAB V

JANGKAUAN PENGATURAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar

Budaya adalah sebagai berikut:

5.1. Sasaran

Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar

Budaya dimaksudkan untuk merumuskan pengaturan (regeling) dalam

bentuk Peraturan Daerah sebagai dasar Pelestarian Cagar Budaya di

Kabupaten Tuban. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu Peraturan Daerah

yang mengatur mengenai Pelestarian Cagar Budaya yang berlandaskan

prinsip perlindungan hukum dan kepastian hukum.

Selain itu, adanya Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya ini bertujuan untuk menjadi pedoman tunggal

dalam Pelestarian Cagar Budaya di Kabupaten Tuban. Sehingga, Cagar

Budaya dan dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif

dan optimal guna menjaga dan melindungi identitas dan kekayaan

kesejarahan di Daerah serta untuk memberikan manfaat ekonomi bagi

93

masyarakat Tuban. Dengan demikian, adanya Peraturan Daerah

Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya dapat dijadikan

payung hukum dalam Pelestarian Cagar Budaya yang diselenggarakan

oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban.

5.2. Jangkauan

Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar

Budaya, merupakan wujud dari kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten Tuban dalam melaksanakan pelindungan, pengembangan,

dan pemanfaatan Cagar Budaya di Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya juga dibentuk untuk

kepentingan masyarakat Kabupaten Tuban agar dapat memberikan

manfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan, serta menjadi

pedoman bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban dalam melindungi,

mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya di Daerah secara

terarah, terintegrasi, dan berkepastian hukum sebagaimana telah

diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

5.3. Arah

Sesuai dengan prinsip otonomi daerah dan tugas pembantuan,

maka Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar

Budaya ini harus dijadikan rujukan bagi penyusunan Peraturan Bupati

94

yang diperintahkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya ini dan juga harus menjadi pedoman bagi

Bupati dalam menyusun Keputusan (beschikking) dan/atau Peraturan

(regeling) yang berkaitan dengan Pelestarian Cagar Budaya. Sehingga

dapat mencegah adanya disharmonisasi dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Selain itu, Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian

Cagar Budaya juga menjadi pedoman bagi seluruh pemangku

kepentingan (stake holder) dalam melaksanakan Pelestarian Cagar

Budaya agar terjadi sinkronisasi dan tidak menimbulkan kerugian bagi

seluruh elemen masyarakat.

5.4. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya terdiri dari 18 (delapan belas) bab yang

mencakup ruang lingkup sebagai berikut:

Bab I adalah Ketentuan umum yang merupakan satu ketentuan

yang berisi:

1. Batasan pengertian atau definisi

2. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam Peraturan Daerah

95

3. Hal-hal lain yang besifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal

berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud

dan tujuan.

Ketentuan umum yang dimuat dalam Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya mencakup

hal-hal sebagai berikut:

1. Daerah adalah Kabupaten Tuban.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah

Kabupaten Tuban.

3. Bupati adalah Bupati Tuban.

4. Dinas adalah Dinas Pariwisata, Kebudayaan,

Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tuban.

5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pariwisata,

Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tuban.

6. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang

disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai

penyelenggara Pemerintahan Desa di Kabupaten Tuban.

7. Setiap orang adalah perseorangan, kelompok

orang, masyarakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan

usaha bukan berbadan hukum.

96

8. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat

kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar

Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui

proses penetapan.

9. Benda Cagar Budaya adalah benda alam

dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak

bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya,

atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan

dan sejarah perkembangan manusia.

10. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan

yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk

memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding,

dan beratap.

11. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan

yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia

untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan

97

alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan

manusia.

12. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di

darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai

hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

13. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang

geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang

letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang

khas.

14. Cagar Budaya Daerah adalah Cagar Budaya

peringkat Daerah yang ditetapkan oleh Bupati.

15. Pemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh

terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial

dan kewajiban untuk melestarikannya.

16. Penguasaan adalah pemberian wewenang dari

pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang

untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi

sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

98

17. Dikuasai oleh Daerah adalah kewenangan

tertinggi yang dimiliki oleh Daerah dalam menyelenggarakan

pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar

Budaya.

18. Pengalihan adalah proses pemindahan hak

kepemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang

kepada setiap orang lain atau kepada Daerah.

19. Kompensasi adalah imbalan berupa uang

dan/atau bukan uang dari Pemerintah Daerah.

20. Insentif adalah dukungan berupa advokasi,

perbantuan, atau bentuk lain bersifat non finansial untuk

mendorong pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah Daerah.

21. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli

pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat

kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan,

pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.

22. Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang

karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat

di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar

Budaya.

99

23. Museum adalah lembaga yang berfungsi

melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda,

bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar

Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mempublikasikannya

kepada masyarakat.

24. Kurator adalah orang yang karena kompetensi

keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.

25. Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda,

bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk

diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah Daerah atau

perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan

dalam Register Nasional Cagar Budaya.

26. Penetapan adalah pemberian status Cagar

Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan

ruang geografis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

27. Register Daerah Cagar Budaya adalah daftar

resmi kekayaan budaya Daerah berupa Cagar Budaya yang berada

di dalam dan di luar Daerah.

100

28. Penghapusan adalah tindakan menghapus status

Cagar Budaya dari Register Daerah Cagar Budaya.

29. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk

melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya

melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

30. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk

mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan

cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

31. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan

dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan,

kehancuran, atau kemusnahan.

32. Pengamanan adalah upaya menjaga dan

mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.

33. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan

Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan

kebutuhan.

34. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan

merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.

101

35. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi

fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur

Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk,

tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang

usianya.

36. Pelindungan adalah upaya mencegah dan

menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan

dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan

Pemugaran Cagar Budaya.

37. Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai,

informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui

penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta tidak

bertentangan dengan tujuan pelestarian.

38. Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan

menurut kaidah dan metode yang sistematis untuk memperoleh

informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan pelestarian Cagar

Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.

39. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang

ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar

Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak

102

bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya

masyarakat.

40. Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar

Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa

kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan

mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada

bagian yang mempunyai nilai penting.

41. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar

Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat

dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

42. Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi langsung

terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau

Struktur Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Bab II adalah Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup yang mengatur

beberapa ketentuan sebagai berikut:

‒ Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Pancasila;

b. Bhinneka Tunggal Ika;

c. kenusantaraan;

103

d. keadilan;

e. ketertiban dan kepastian hukum;

f. kemanfaatan;

g. keberlanjutan;

h. partisipasi;

i. transparansi dan akuntabilitas; dan

j. kearifan lokal.

‒ Pelestarian Cagar Budaya bertujuan untuk:

a. Melestarikan dan memanfaatkan cagar budaya yang berada di

Daerah sebagai bagian dari pembelajaran masyarakat untuk

kepentingan agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan,

pariwisata dan kebudayaan;

b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya;

c. memperkuat karakter dan kepribadian Daerah;

d. meningkatkan kesejahteraan rakyat;

e. mempertahankan kearifan lokal;

f. mengamankan potensi cagar budaya yang mempunyai nilai

penting bagi Daerah; dan

g. mempromosikan potensi cagar budaya Daerah kepada

masyarakat.

104

‒ Ruang lingkup Pelestarian Cagar Budaya dalam Peraturan Daerah ini

meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan:

a. benda;

b. bangunan;

c. struktur;

d. situs; dan/atau

e. kawasan;

Cagar Budaya di darat dan/atau di air.

Bab III adalah Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah yang

mengatur beberapa ketentuan sebagai berikut:

‒ Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Pelestarian Cagar Budaya

mempunyai tugas:

a. merencanakan, melaksanakan dan mengawasi dalam pelestarian

dan pengelolaan Cagar Budaya dengan memperhatikan

kemampuan dan potensi wilayahnya;

b. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta

meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan

kewajiban masyarakat dalam Pelestarian Cagar Budaya;

c. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat

menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;

105

d. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Cagar Budaya;

e. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;

f. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;

g. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan

promosi Cagar Budaya;

h. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan

darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan

yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya;

i. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap

Pelestarian Cagar Budaya; dan

j. mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar Budaya.

‒ Dalam melaksanakan tugas Pelestarian Cagar Budaya, Pemerintah

Daerah berwenang:

a. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya tingkat Daerah;

b. mengkoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor

dan wilayah;

c. menghimpun data Cagar Budaya tingkat Daerah;

d. menetapkan peringkat Cagar Budaya tingkat daerah;

e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya tingkat Daerah;

f. menyusun peraturan Pelestarian Cagar Budaya;

106

g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;

h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum di bidang Cagar

Budaya;

i. mengelola kawasan Cagar Budaya;

j. mendirikan atau membubarkan lembaga pelaksana bidang

pelestarian, penelitian, dan museum;

k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang

kepurbakalaan;

l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang

melaksanakan Pelestarian Cagar Budaya;

m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk

kepentingan pengamanan;

n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat Daerah;

o. menetapkan batas situs dan kawasan Cagar Budaya; dan

p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses

pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau

musnahnya Cagar Budaya, baik sebagian maupun seluruhnya.

107

Bab IV adalah Kriteria dan Penggolongan Cagar Budaya yang

mengatur beberapa ketentuan sebagai berikut:

‒ Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda

Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar

Budaya apabila memenuhi kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama, dan/atau kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

‒ Benda Cagar Budaya yang memenuhi kriteria dapat berupa:

a. benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan

oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan

dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan

sejarah manusia;

b. benda bergerak atau tidak bergerak; dan

c. merupakan kesatuan atau kelompok.

‒ Bangunan atau struktur Cagar Budaya yang memenuhi kriteria

dapat:

a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau

108

b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

‒ Lokasi dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila

memenuhi kriteria:

a. mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan

b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

‒ Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar

Budaya apabila memenuhi kriteria:

a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya

berdekatan;

b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling

sedikit 50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu

berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;

d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses

pemanfaatan ruang berskala luas;

e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan

f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti

kegiatan manusia atau endapan fosil.

109

‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang

atas dasar penelitian memiliki arti khusus bagi masyarakat Daerah,

tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya dapat diusulkan

sebagai Cagar Budaya.

‒ Cagar Budaya yang memenuhi kriteria dibagi atas 3 (tiga) golongan

yang meliputi:

a. golongan A (utama);

b. golongan B (madya); dan

c. golongan C (pratama).

‒ Cagar Budaya golongan A (utama) merupakan Cagar Budaya yang

harus dipertahankan dengan cara preservasi.

‒ Cagar Budaya golongan B (madya) merupakan Cagar Budaya yang

dapat dilakukan pemugaran dengan cara restorasi, rehabilitasi atau

rekonstruksi.

‒ Cagar Budaya golongan C (pratama) merupakan Cagar Budaya yang

dapat dilakukan pemugaran dengan cara revitalisasi atau adaptasi.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis Cagar Budaya yang

masuk ke dalam penggolongan diatur dalam Peraturan Bupati.

Bab V adalah Pencarian dan Penemuan yang mengatur beberapa

hal sebagai berikut:

110

‒ Pemerintah Daerah wajib melakukan pencarian benda, bangunan,

struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.

‒ Setiap orang dapat melakukan pencarian benda, bangunan, struktur,

dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya dengan

penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau

di air setelah mendapatkan izin dari Kepala Dinas.

‒ Pencarian hanya dimaksudkan untuk kepentingan penelitian dengan

tetap memperhatikan hak kepemilikan dan/atau penguasaan

terhadap benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga

sebagai Cagar Budaya.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan tata cara perizinan

diatur dalam Peraturan Bupati.

‒ Setiap orang yang menemukan benda, bangunan, struktur, dan/atau

lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya wajib melaporkan kepada

Dinas atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

penemuan.

‒ Dalam hal penemuan tidak dilaporkan Pemerintah Daerah dapat

mengambil alih benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang

diduga Cagar Budaya.

111

‒ Untuk menindaklanjuti laporan Dinas atau instansi terkait

melakukan kajian terhadap objek penemuan.

‒ Dalam hal objek penemuan ditetapkan sebagai Cagar Budaya

berdasarkan hasil kajian penemu berhak mendapatkan kompensasi

dari Pemerintah Daerah.

‒ Dalam hal objek penemuan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya

memiliki jenis yang sangat langka, rancangan yang unik, dan jumlah

yang sedikit, penguasaannya dialihkan kepada Pemerintah Daerah.

‒ Dalam hal objek penemuan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya

tidak memiliki jenis, rancangan, dan jumlah, pemilikannya dapat

diberikan kepada penemu.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai kajian atas penemuan Cagar

Budaya dan tata cara pemberian kompensasi diatur dalam Peraturan

Bupati.

Bab VI adalah Pemilikan dan Penguasaan yang mengatur beberapa

hal sebagai berikut:

‒ Setiap orang dapat memiliki benda, bangunan, struktur, dan/atau

situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya

112

sepanjang jumlah dan jenisnya telah memenuhi kebutuhan Daerah

serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

‒ Pemilikan dapat diperoleh melalui hadiah, tukar-menukar, jual-beli,

hibah, pewarisan, dan/atau berdasarkan putusan atau penetapan

pengadilan, kecuali terhadap Cagar Budaya yang dikuasai oleh

Pemerintah Daerah.

‒ Pemerintah Daerah mempunyai hak penguasaan terhadap Cagar

Budaya yang pemiliknya telah meninggal dan tidak mempunyai ahli

waris atau tidak mengalihkan kepada orang lain berdasarkan wasiat,

hibah, atau hadiah, dengan cara mengambil alih sesuai tata cara

yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

‒ Seluruh kawasan Cagar Budaya di Daerah dikuasai oleh Pemerintah

Daerah, kecuali Kawasan Cagar Budaya yang dimiliki oleh

masyarakat hukum adat secara turun temurun.

‒ Pemerintah Daerah secara serta merta menguasai Cagar Budaya yang

tidak diketahui pemiliknya.

‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya dapat mengalihkan

pemilikannya kepada orang lain atau dialihkan untuk dikuasai oleh

Pemerintah Daerah.

113

‒ Pengalihan pemilikan dapat dilaksanakan melalui hibah, waris,

hadiah, jual-beli, tukar menukar, ganti rugi, dan/atau putusan atau

penetapan pengadilan.

‒ Pengalihan untuk dikuasai oleh Pemerintah Daerah wajib

didahulukan atas pengalihan pemilikan Cagar Budaya.

‒ Cagar Budaya yang telah dikuasai oleh Pemerintah Daerah tidak

dapat dialihkan kepada pihak lain.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalihan diatur dalam

Peraturan Bupati.

‒ Setiap orang yang melakukan pengalihan atas pemilikan Cagar

Budaya peringkat Daerah baik sebagian maupun seluruhnya, wajib

mendapatkan izin dari Bupati.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan dan pemberian izin

diatur dalam Peraturan Bupati.

‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh)

hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki rusak, hilang,

atau musnah wajib melaporkannya kepada Dinas atau instansi

terkait.

114

‒ Dalam hal pemilik tidak melakukan pelaporan dalam jangka waktu,

Pemerintah Daerah dapat menguasai Cagar Budaya untuk dikelola

guna kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.

‒ Benda, bangunan, dan/atau struktur Cagar Budaya bergerak yang

dikuasai oleh Pemerintah Daerah atau dimiliki oleh setiap orang

dapat disimpan dan/atau dirawat di museum.

‒ Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan benda, bangunan,

dan/atau struktur Cagar Budaya bergerak, menjadi tanggung jawab

pengelola museum.

‒ Dalam melaksanakan tanggung jawab, museum wajib memiliki

Kurator.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur dengan Peraturan

Bupati.

‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang

diduga sebagai Cagar Budaya atau yang telah ditetapkan sebagai

Cagar Budaya yang disita untuk kepentingan penegakan hukum

dilarang dimusnahkan atau dilelang.

‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang

diduga sebagai Cagar Budaya atau yang telah ditetapkan sebagai

Cagar Budaya yang disita untuk kepentingan penegakan hukum,

115

dapat dilindungi secara mandiri oleh lembaga yang melaksanakan

penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan atau

meminta bantuan kepada Dinas.

‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya dan melakukan

pelindungan terhadap Cagar Budaya yang dimilikinya sesuai

peraturan perundang-undangan, berhak mendapatkan kompensasi

atau insentif fiskal dari Pemerintah Daerah.

‒ Insentif fiskal berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan atau

pajak penghasilan.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kompensasi

dan insentif diatur dalam Peraturan Bupati.

Bab VII adalah Tim Ahli Cagar Budaya yang mengatur beberapa hal

sebagai berikut:

‒ Untuk kepentingan Pelestarian Cagar Budaya. Pemerintah Daerah

membentuk Tim Ahli Cagar Budaya yang bertugas melakukan kajian

dan memberikan rekomendasi dalam penetapan, pemeringkatan,

dan/atau penghapusan Cagar Budaya.

116

‒ Tim Ahli Cagar Budaya berjumlah paling banyak 5 (lima) orang yang

terdiri atas berbagai ahli lintas disiplin ilmu yang memiliki sertifikat

kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan.

‒ Tim Ahli Cagar Budaya diangkat berdasarkan Keputusan Bupati

dengan masa kerja paling lama 5 (lima) tahun.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, keanggotaan, dan tata

cara pengangkatan Tim Ahli Cagar Budaya diatur dalam Peraturan

Bupati.

‒ Dalam hal Tim Ahli Cagar Budaya belum terbentuk, Pemerintah

Daerah dapat mengajukan permohonan rekomendasi penetapan,

pemeringkatan, dan/atau penghapusan Cagar Budaya kepada Tim

Ahli Cagar Budaya Provinsi.

Bab VIII adalah Register Daerah Cagar Budaya yang mengatur

beberapa ketentuan sebagai berikut:

‒ Setiap orang yang memiliki Cagar Budaya wajib mendaftarkan

kepada Dinas tanpa dipungut biaya.

‒ Cagar Budaya yang tidak didaftarkan oleh pemiliknya, dapat diambil

alih untuk dikuasai oleh Pemerintah Daerah.

117

‒ Setiap orang yang tidak memiliki Cagar Budaya dapat berpartisipasi

melakukan pendaftaran atas benda, bangunan, struktur, dan/atau

lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.

‒ Dinas melakukan pendaftaran terhadap Cagar Budaya yang tidak

diketahui pemiliknya atau Cagar Budaya yang dikuasai oleh

Pemerintah Daerah.

‒ Hasil pendaftaran harus dilengkapi dengan deskripsi dan

dokumentasi objek pendaftaran.

‒ Pendaftaran dapat dilaksanakan secara elektronik dan/atau non

elektronik.

‒ Hasil pendaftaran diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya untuk

diidentifikasi dan diklasifikasi guna kepentingan pengkajian dalam

rangka memberikan penilaian kelayakan untuk ditetapkan sebagai

Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.

‒ Benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang didaftarkan dan

dilakukan pengkajian, wajib dilindungi dan diperlakukan sebagai

Cagar Budaya selama proses pengkajian.

‒ Pengkajian terhadap koleksi museum yang didaftarkan, dilaksanakan

secara mandiri oleh Kurator.

118

‒ Hasil pengkajian wajib diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya

untuk dilakukan penilaian.

‒ Tim Ahli Cagar Budaya memberikan rekomendasi kepada Bupati

untuk menetapkan Cagar Budaya, dalam hal hasil pengkajian

menyatakan layak untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

‒ Bupati dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

dikeluarkannya rekomendasi menetapkan status Cagar Budaya

dengan Keputusan Bupati.

‒ Benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang telah ditetapkan

sebagai Cagar Budaya dicatat dalam Register Daerah Cagar Budaya.

‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang

memiliki arti khusus bagi masyarakat Daerah dapat ditetapkan

sebagai Cagar Budaya dengan Keputusan Bupati setelah

mendapatkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya.

‒ Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang ditetapkan

sebagai Cagar Budaya berhak mendapatkan kompensasi dari

Pemerintah Daerah.

‒ Pemilik Cagar Budaya yang dicatatkan dalam Register Daerah Cagar

Budaya berhak memperoleh:

a. surat keterangan status Cagar Budaya; dan

119

b. surat keterangan pemilikan berdasarkan bukti yang sah.

‒ Pemerintah Daerah membangun sistem Register Daerah Cagar

Budaya untuk mencatat Cagar Budaya.

‒ Benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan geografis yang telah

ditetapkan sebagai Cagar Budaya harus dicatat dalam Register

Daerah Cagar Budaya.

‒ Koleksi museum di Daerah yang memenuhi kriteria sebagai Cagar

Budaya dicatat dalam Register Daerah Cagar Budaya.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai Register Daerah Cagar Budaya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diatur dengan Peraturan

Bupati.

‒ Pemerintah Daerah dapat melakukan pemeringkatan Cagar Budaya

peringkat Daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

‒ Peringkat Daerah dapat diberikan terhadap Cagar Budaya yang

memenuhi syarat:

a. Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan di Daerah;

b. mewakili masa gaya yang khas;

c. tingkat keterancamannya tinggi;

d. sedikit jenisnya; dan/atau

e. jumlahnya terbatas.

120

‒ Pemeringkatan Cagar Budaya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

‒ Cagar Budaya yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat

Daerah, namun tidak lagi memenuhi syarat, peringkatnya dapat

dicabut berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

‒ Selain pencabutan, Cagar Budaya peringkat Daerah dapat dicabut

peringkatnya, dalam hal Cagar Budaya:

a. musnah;

b. kehilangan wujud dan bentuk aslinya; atau

c. kehilangan sebagian besar unsurnya.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeringkatan Cagar

Budaya diatur dalam Peraturan Bupati.

‒ Bupati dapat melakukan penghapusan terhadap Cagar Budaya yang

tercatat dalam Register Daerah Cagar Budaya.

‒ Penghapusan hanya dilaksanakan untuk menindaklanjuti

penghapusan Cagar Budaya dalam Register Nasional Cagar Budaya

yang lokasinya berada di Daerah setelah mendapatkan rekomendasi

dari Tim Ahli Cagar Budaya.

‒ Penghapusan dilaksanakan dalam hal Cagar Budaya:

a. musnah;

b. hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan;

121

c. mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan

keasliannya; atau

d. di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.

‒ Penghapusan Cagar Budaya dilaksanakan dengan tanpa

menghilangkan data dalam Register Daerah Cagar Budaya berserta

dokumennya.

‒ Dalam hal Cagar Budaya yang hilang ditemukan kembali, Cagar

Budaya wajib dilakukan pencatatan ulang ke dalam Register Daerah

Cagar Budaya.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan dan

pencatatan kembali diatur dalam Peraturan Bupati.

Bab IX adalah Pelestarian Cagar Budaya yang mengatur beberapa

ketentuan sebagai berikut:

‒ Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan melalui kegiatan:

a. pelindungan;

b. pengembangan; dan

c. pemanfaatan.

‒ Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan oleh Tenaga Ahli

Pelestarian berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat

122

dipertanggungjawabkan secara akademik, teknis, dan administratif

serta memperhatikan etika pelestarian.

‒ Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan dengan:

a. mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pengembalian

kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian; dan

b. didukung pendokumentasian sebelum dilaksanakannya kegiatan

yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.

‒ Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan teknis dan/atau

kepakaran kepada setiap orang yang akan melakukan upaya

Pelestarian Cagar Budaya yang dimilikinya.

‒ Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-

halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya.

‒ Pemerintah Daerah melakukan pelindungan terhadap Cagar Budaya

di Daerah.

‒ Selain pelindungan oleh Pemerintah Daerah, setiap orang dapat

berperan serta melakukan pelindungan terhadap Cagar Budaya baik

yang dimiliki maupun tidak dimilikinya.

‒ Pelindungan Cagar Budaya dilaksanakan melalui kegiatan:

a. penyelematan;

b. pengamanan;

123

c. penetapan zonasi;

d. pemeliharaan; dan/atau

e. pemugaran.

‒ Penyelamatan Cagar Budaya dimaksudkan untuk:

a. mencegah kerusakan karena faktor alam dan/atau manusia yang

mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang

menyertainya; dan

b. mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan atau

penguasaan Cagar Budaya secara bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

yang dilaksanakan dalam keadaan normal atau keadaan darurat.

‒ Setiap orang wajib melakukan penyelamatan Cagar Budaya yang

dimilikinya dalam keadaan darurat atau keadaan yang memaksa

untuk dilakukan tindakan penyelamatan.

‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang dapat memindahkan

Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau musnah ke tempat

lain yang lebih aman untuk menjamin keutuhan dan keselamatan

Cagar Budaya dengan tetap berada di bawah koordinasi Tenaga Ahli

Pelestarian.

124

‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang yang melakukan tindakan

penyelamatan dengan cara pemindahan wajib menjaga dan merawat

Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan, dan kerusakan baru.

‒ Pelaksanaan penyelamatan dilakukan menurut tata cara yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

‒ Pemerintah Daerah melakukan pengamanan terhadap Cagar Budaya

yang dikuasai atau Cagar Budaya yang tidak diketahui pemiliknya.

‒ Setiap orang wajib melakukan pengamanan Cagar Budaya yang

dimilikinya untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak

rusak, hancur, hilang, atau musnah.

‒ Selain pelindungan dengan cara pengamanan oleh Pemerintah

Daerah dan setiap orang, masyarakat dapat berperan serta dalam

melakukan pengamanan terhadap Cagar Budaya.

‒ Pengamanan Cagar Budaya harus memperhatikan pemanfaatannya

bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu

pengetahuan, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.

‒ Pengamanan dilaksanakan dengan cara memberikan pelindung,

menyimpan, dan/atau menempatkannya di tempat yang terhindar

dari gangguan manusia dan bencana alam.

125

‒ Pelaksanaan pengamanan dilakukan menurut tata cara yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

‒ Setiap orang dilarang merusak dan/atau mencuri Cagar Budaya baik

sebagian maupun seluruhnya dari kesatuan, kelompok, dan/atau

letak asal.

‒ Setiap orang dilarang memisahkan dan/atau memindahkan Cagar

Budaya peringkat Daerah baik sebagian atau seluruhnya tanpa izin

dari Bupati.

‒ Setiap orang dapat membawa Cagar Budaya ke luar Daerah baik

sebagian maupun seluruhnya hanya untuk kepentingan penelitian,

promosi kebudayaan, dan/atau pameran setelah mendapatkan izin

dari Bupati.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan

pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.

‒ Dalam melaksanakan pelindungan Cagar Budaya, Pemerintah

Daerah menetapkan batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang

melalui sistem zonasi yang didasarkan pada hasil kajian.

‒ Pemanfaatan ruang melalui sistem zonasi dapat dilakukan untuk

tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi.

126

‒ Sistem zonasi ditetapkan dengan Keputusan Bupati sesuai dengan

keluasan situs atau kawasan Cagar Budaya di Daerah.

‒ Sistem zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya secara

vertikal dan horizontal yang terdiri atas:

a. zona inti;

b. zona penyangga;

c. zona pengembangan; dan/atau

d. zona penunjang.

‒ Pengaturan zonasi secara vertikal dapat dilakukan terhadap

lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air.

‒ Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan

hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan

kesejahteraan masyarakat Daerah.

‒ Pelaksanaan penetapan zonasi dilakukan menurut tata cara yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

‒ Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya yang dimilikinya

dengan cara merawat Cagar Budaya untuk mencegah dan

menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau

perbuatan manusia, baik di lokasi asli atau di tempat lain setelah

lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap.

127

‒ Perawatan dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan

perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk,

tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi cagar budaya.

‒ Terhadap Cagar Budaya yang berasal dari air dilakukan perawatan

sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya

dengan tata cara khusus.

‒ Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru

pelihara untuk melakukan perawatan cagar budaya.

‒ Pelaksanaan pemeliharaan dilakukan menurut tata cara yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

‒ Pemugaran bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya yang

rusak, dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara

memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui

pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.

‒ Pemugaran cagar budaya harus memperhatikan:

a. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi

pengerjaan;

b. kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;

c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat

merusak;

128

d. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran; dan

e. penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap

mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan

cagar budaya.

‒ Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap

lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului dengan

dokumen lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

‒ Setiap orang yang melakukan pemugaran bangunan cagar budaya

dan struktur cagar budaya wajib memperoleh izin mendirikan

bangunan.

‒ Pelaksanaan pemugaran dilakukan menurut tata cara yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

‒ Pemerintah Daerah melakukan pengembangan Cagar Budaya di

Daerah sebagai upaya peningkatan potensi nilai, informasi, dan

promosi Cagar Budaya melalui kegiatan:

a. penelitian;

b. revitalisasi; dan

c. adaptasi.

129

‒ Pengembangan Cagar Budaya dilaksanakan dengan memperhatikan

prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-

nilai yang melekat padanya.

‒ Pengembangan Cagar Budaya harus:

a. disertai pendokumentasian; dan

b. diarahkan untuk memacu pengembanganan ekonomi yang

hasilnya digunakan untuk pemeliharaan Cagar Budaya dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

‒ Setiap orang dapat melakukan pengembangan Cagar Budaya setelah

memperoleh:

a. izin dari Bupati; dan/atau

b. izin dari pemilik apabila Cagar Budaya yang akan dilakukan

pengembangan bukan merupakan miliknya sendiri.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan

pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.

‒ Untuk kepentingan pengembangan Cagar Budaya, Pemerintah

Daerah melakukan penelitian untuk menghimpun informasi serta

mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya.

‒ Penelitian dilaksanakan melalui:

a. penelitian dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan; dan

130

b. penelitian terapan untuk pengembangan teknologi atau tujuan

praktis yang bersifat aplikatif.

‒ Penelitian dapat dilaksanakan sebagai bagian dari analisis mengenai

dampak lingkungan atau secara berdiri sendiri.

‒ Proses dan hasil penelitian Cagar Budaya diinformasikan dan

dipublikasikan kepada masyarakat untuk kepentingan promosi Cagar

Budaya.

‒ Pemerintah Daerah melakukan revitalisasi potensi situs atau

kawasan Cagar Budaya dengan memperhatikan tata ruang, tata

letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya berdasarkan kajian.

‒ Revitalisasi dilaksanakan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai

budaya, dan penguatan informasi Cagar Budaya.

‒ Revitalisasi harus memberikan manfaat untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat di Daerah dan mempertahankan ciri khas

budaya lokal.

‒ Setiap orang dilarang mengubah fungsi situs dan/atau kawasan

Cagar Budaya peringkat Daerah baik sebagian maupun seluruhnya,

tanpa izin dari Bupati.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan

pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.

131

‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang dapat melakukan adaptasi

terhadap bangunan atau struktur Cagar Budaya untuk memenuhi

kebutuhan masa kini sepanjang tetap mempertahankan:

a. ciri asli dan/atau muka bangunan atau struktur Cagar Budaya;

dan/atau

b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah situs atau

kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.

‒ Adaptasi dilaksanakan dengan cara:

a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;

b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;

c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau

d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan

keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

‒ Pelaksanaan pengembangan Cagar Budaya melalui kegiatan

penelitian, revitalisasi, dan adaptasi dilakukan menurut tata cara

yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

‒ Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang dapat melakukan

pemanfaatan terhadap Cagar Budaya untuk kepentingan pendidikan,

ilmu pengetahuan, teknologi, agama, sosial, kebudayaan, dan/atau

pariwisata.

132

‒ Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya di museum dilaksanakan

untuk sebesar-besarnya pengembangan pendidikan, ilmu

pengetahuan, sosial, kebudayaan, dan/atau pariwisata.

‒ Pemanfaatan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau

analisis mengenai dampak lingkungan apabila berpotensi

menyebabkan terjadinya kerusakan.

‒ Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitasi bagi setiap orang

yang melakukan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya berupa:

a. dukungan Tenaga Ahli Pelestarian;

b. dukungan dana; dan/atau

c. pelatihan.

‒ Promosi dilaksanakan untuk memperkuat identitas budaya serta

untuk meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat.

‒ Setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya yang pada saat

ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula untuk kepentingan

tertentu.

‒ Pemanfaatan dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari:

a. Bupati untuk Cagar Budaya yang memenuhi kriteria sebagai

Cagar Budaya peringkat Daerah; atau

133

b. masyarakat hukum adat untuk Cagar Budaya yang dimilikinya

secara turun temurun.

‒ Setiap orang yang melakukan pemanfaatan lokasi temuan yang telah

ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya wajib memperhatikan fungsi

ruang dan pelindungannya.

‒ Pemerintah Daerah dapat menghentikan pemanfaatan dalam hal

pemilik dan/atau pihak yang melakukan pemanfaatan terbukti

melakukan perusakan atau menyebabkan rusaknya Cagar Budaya.

‒ Cagar Budaya yang tidak lagi dimanfaatkan harus dikembalikan pada

keadaan semula seperti saat sebelum dimanfaatkan.

‒ Biaya pengembalian dibebankan kepada pemilik dan/atau pihak

yang melakukan pemanfaatan Cagar Budaya.

‒ Setiap orang dapat melakukan pemanfaatan dengan cara

perbanyakan benda Cagar Budaya yang ditetapkan sebagai peringkat

Daerah setelah mendapatkan izin dari Bupati.

‒ Setiap orang dapat melakukan pemanfaatan dengan cara

mendokumentasikan Cagar Budaya baik sebagian maupun

seluruhnya untuk kepentingan komersial setelah mendapatkan izin

dari:

134

a. Bupati untuk Cagar Budaya yang dikuasai oleh Pemerintah

Daerah; atau

b. pemilik Cagar Budaya.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan

pemberian izin diatur dalam Peraturan Bupati.

‒ Pelaksanaan pemanfaatan Cagar Budaya dilakukan menurut tata

cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Bab X adalah Partisipasi Masyarakat yang mengatur sebagai

berikut:

‒ Masyarakat dapat berpartisipasi dalam Pelestarian Cagar Budaya di

Daerah.

‒ Partisipasi dilaksanakan melalui:

a. upaya merawat Cagar Budaya di Daerah;

b. pengawasan terhadap Pelestarian Cagar Budaya; dan/atau

c. penyampaian informasi atau laporan terjadinya penelantaran,

pencurian, perusakan, dan/atau pemusnahan Cagar Budaya.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat

diatur dalam Peraturan Bupati.

135

Bab XI adalah Pembinaan dan Pengawasan yang mengatur

beberapa hal sebagai berikut:

‒ Dalam rangka mengoptimalkan Pelestarian Cagar Budaya di Daerah,

Bupati melakukan pembinaan.

‒ Pembinaan berupa:

a. pendidikan dan pelatihan Pelestarian Cagar Budaya bagi

masyarakat Daerah;

b. penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk

menyelenggarakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan

Cagar Budaya di Daerah; dan

c. pemberian insentif kepada masyarakat dan/atau orang

perseorangan yang melakukan Pelestarian Cagar Budaya di

Daerah.

‒ Bupati dapat melakukan pengawasan terhadap Pelestarian Cagar

Budaya di Daerah.

‒ Dalam melakukan pengawasan, Bupati berwenang:

a. melakukan inspeksi di lapangan;

b. meminta laporan kepada masyarakat;

c. melakukan evaluasi atas Pelestarian Cagar Budaya di Daerah;

atau

136

d. memberikan sanksi administratif kepada setiap orang yang

melakukan pelanggaran.

‒ Dalam melaksanakan pengawasan, Bupati dapat melibatkan

masyarakat dan/atau organisasi kemasyarakatan di bidang

Pelestarian Cagar Budaya.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan

Pelestarian Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Bupati.

Bab XII adalah Larangan yang memuat norma dan ketentuan

sebagai berikut:

‒ Setiap orang dilarang secara melawan hukum membawa,

memindahkan, menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau

memusnahkan Cagar Budaya di Daerah.

‒ Setiap Orang dilarang secara melawan hukum melakukan perbuatan

yang mengakibatkan sistem Register Daerah Cagar Budaya tidak

dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Bab XIII adalah Pembiayaan yang mengatur mengenai sumber

pendanaan sebagai berikut:

137

‒ Pembiayaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab

bersama antara Pemerintah Daerah dan masyarakat.

‒ Pembiayaan bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

b. hasil pemenfaatan Cagar Budaya; dan/atau

c. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan

perundang-undangan.

‒ Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk pelindungan,

pengembangan, pemanfaatan, dan kompensasi Cagar Budaya dengan

memperhatikan prinsip proporsionalitas.

‒ Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk

penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan

yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sesuai kemampuan

keuangan Daerah.

Bab XIV adalah Penyelesaian Perselisihan yang mengatur sebagai

berikut:

‒ Perselisihan dalam Pelestarian Cagar Budaya antar orang

perseorangan dan/atau antar masyarakat diselesaikan secara

musyawarah oleh para pihak.

138

‒ Musyawarah para pihak dapat dilakukan melalui mediasi dan

rekonsiliasi.

‒ Dalam hal musyawarah tidak tercapai, Bupati dapat memfasilitasi

proses penyelesaian perselisihan.

‒ Dalam hal musyawarah dan fasilitasi, tidak tercapai penyelesaian

perselisihan, para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan

melalui proses peradilan.

Bab XV adalah Sanksi Administrasi yang memuat norma dan

ketentuan sebagai berikut:

‒ Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal dikenakan sanksi

administrasi.

‒ Sanksi administrasi berupa:

a. peringatan tertulis;

b. paksaan pemerintah;

c. pembekuan izin; dan/atau

d. pencabutan izin.

‒ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi

administrasi diatur dalam Peraturan Bupati.

139

Bab XVI adalah Ketentuan Penyidikan yang mengatur sebagai

berikut:

‒ Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah

berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran

Peraturan Daerah ini.

‒ Dalam melakukan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

diberikan wewenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan/atau

keterangan mengenai pelanggaran atas Peraturan Daerah ini;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan

pelanggaran;

c. meminta keterangan dan/atau barang bukti yang berkaitan

dengan pelanggaran;

d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain yang

berhubungan dengan pelanggaran;

e. melakukan penyitaan terhadap barang dan/atau surat yang

berkaitan dengan pelanggaran;

f. meminta dan/atau mendengarkan keterangan ahli dalam rangka

mendukung pelaksanaan tugas penyidikan terhadap dugaan

pelanggaran;

140

g. menghentikan proses penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup

bukti mengenai adanya pelanggaran.

‒ Dalam hal melaksanakan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

wajib melakukan pemberitahuan dan menyerahkan hasil penyidikan

kepada penuntut umum pada Kejaksaan Negeri setempat melalui

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bab XVII adalah Ketentuan Pidana yang mengatur mengenai

pengenaan sanksi pidana sebagai berikut:

‒ Setiap orang yang melanggar diancam dengan pidana kurungan

paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

‒ Tindak pidana dalam Peraturan Daerah ini adalah pelanggaran.

Bab XVIII adalah Ketentuan Penutup yang mengatur sebagai

berikut:

‒ Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini

ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini

diundangkan.

‒ Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

141

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Daerah Kabupaten Tuban.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka jangkauan, arah pengaturan

dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya adalah sebagai berikut:

BAB I : KETENTUAN UMUM

BAB II : ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

BAB III : TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH

BAB IV : KRITERIA DAN PENGGOLONGAN CAGAR BUDAYA

BAB V : PENCARIAN DAN PENEMUAN

BAB VI : PEMILIKAN DAN PENGUASAAN

BAB VII : TIM AHLI CAGAR BUDAYA

BAB VIII : REGISTER DAERAH CAGAR BUDAYA

BAB IX : PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

BAB X : PARTISIPASI MASYARAKAT

BAB XI : PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

BAB XII : LARANGAN

BAB XIII : PEMBIAYAAN

BAB XIV : PENYELESAIAN PERSELISIHAN

142

BAB XV : SANKSI ADMINISTRASI

BAB XVI : KETENTUAN PENYIDIKAN

BAB XVII : KETENTUAN PIDANA

BAB XVIII : KETENTUAN PENUTUP

143

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Pelestarian Cagar Budaya merupakan upaya untuk

mempertahankan warisan budaya agar tetap lestari dan berkelanjutan di

samping memberikan manfaat bagi kebudayaan, tetapi juga memiliki nilai

manfaat secara ekonomi. Pelestarian yang semula dipahami secara sempit

hanya sebagai upaya pelindungan, kini diperluas tidak saja untuk

maksud tersebut, tetapi terkait juga dengan upaya pengembangan dan

pemanfaatan. Perluasan pemahaman ini dilatarbelakangi oleh kenyataan

bahwa tidak satu pun unsur dari pengertian pelestarian itu yang berdiri

sendiri, melainkan merupakan sebuah kesatuan yang saling

mempengaruhi tanpa dapat dipisahkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara dalam hal ini Pemerintah

Daerah mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kebudayaan

dengan cara menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai-nilai budayanya. Sebagai perwujudan Pasal 32 ayat

(1) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

144

tersebut, Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya menjelaskan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya

yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar

Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan

Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses

penetapan.

Kabupaten Tuban sebagai daerah otonom yang sangat lekat sekali

dengan sejarah masa lalu khususnya pada masa-masa kejayaan kerajaan

di Indonesia berkepentingan untuk tetap melestarikan Cagar Budaya

dengan tetap mempertahankan nilai dan ciri khas Cagar Budaya. Oleh

karena itu, dalam menjalankan fungsinya sebagai daerah otonom yang

mempunyai kewenangan untuk mengatur (regelendaad), Pemerintah

Daerah Kabupaten Tuban perlu menetapkan strategi dan sekaligus

merumuskan kebijakan (policy) dalam melakukan pelindungan,

pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya yang ada di wilayah

Kabupaten Tuban agar Cagar Budaya yang merupakan warisan dan

kekayaan budaya serta identitas budaya masyarakat Kabupaten Tuban

dapat terjamin keberadaanya sesuai bentuk dan muka aslinya. Dengan

145

demikian, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang

Pelestarian Cagar Budaya yang dapat dijadikan sebagai payung hukum

dan pedoman tunggal dalam pelaksanaan Pelestarian Budaya di

Kabupaten Tuban.

6.2. Saran/Rekomendasi

Untuk mengatasi kekosongan aturan (regel vacuum) dalam

pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya di

Kabupaten Tuban, maka perlu disusun Peraturan Daerah Kabupaten

Tuban tentang Pelestarian Cagar Budaya.

146

DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta:

LKiS, 2002.

Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung,

1982.

Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM

Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

2000.

Budiman NPD., Ilmu Pengantar Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta,

2005.

Departemen Pendidikan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia,

2008.

Francis Fukuyama, The End of History, Oxford, British: Free Press, 1992.

Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State; Teori Umum Tentang Negara

dan Hukum, Bandung: Nusamedia, 2006.

Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Massachuset, USA: Beacon Press,

1964.

Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2006.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Gramedia

Pustaka Utama, 2000.

M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1978.

P. Hawkins, Creating a Coaching Culture, New York: Bell and Bain Ltd., 2012.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010.

Riant Nugroho D., Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Resolusi Kajian dan

Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Elex Media

Komputindo, Jakarta, 2002.

Richard Chenevix Trench, Oxford Dictionary 7th edition, Oxford University

Press, 2006.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984).

Soimin, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2010.

Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata

Negara, Rajawali Press, Jakarta, 1998.

W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legislatif Drafting: Teori dan

Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atmajaya, Yogyakarta,

2009.