namira andiani a24070128 - ipb repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54907/bab...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Lidah Mertua (Sansevieria trifaciata Prain)
Sansevieria trifasciata Prain termasuk dalam famili Agavaceae yang
memiliki habitat asli daerah tropis kering dan mempunyai iklim gurun yang panas.
Famili Agavaceae memiliki sekitar 60 spesies yang tersebar di Afrika dan
sebagian spesies dari genus Sansevieria merupakan tanaman hias yang komersial
(Henley et al., 2006). Tanaman Sansevieria termasuk tanaman yang bersifat
sukulen, karena secara morfologi Sansevieria dicirikan dengan daun yang tebal
dan memiliki kandungan air yang tinggi (Arnold, 2004).
Sansivieria trifaciata Prain ‘Laurentii’ merupakan salah satu jenis
Sansevieria yang mudah ditemukan. Sansivieria trifaciata Prain ‘Laurentii’
memiliki ciri khas daun seperti pedang, kaku dan berdaging. Purwanto (2006)
menjelaskan bahwa jenis Sansevieria trifaciata Prain ‘Laurentii’ pada umumnya
paling banyak memiliki enam daun per roset, dan memiliki tinggi daun maksimal
sekitar 1.25 – 1.5 m dengan lebar daun 5 – 7.5 cm.
Henley et al. (2006) menyatakan bahwa Sansevieria dapat tumbuh pada
rentang suhu yang luas dan dapat bertahan hidup di daerah panas seperti gurun,
pertumbuhan optimal dicapai pada siang hari dengan temperatur 24-290C dan
pada malam hari 18-210C. Sansevieria dapat beradaptasi pada ruangan dengan
suhu dan kelembaban yang rendah seperti pada ruangan berpendingin (Air
Conditioner). Sansevieria dapat tumbuh dengan baik pada kondisi pencahayaan
penuh maupun pencahayaan yang kurang, namun Sansevieria lebih menyenangi
kondisi sinar matahari langsung untuk pertumbuhannya.
Penelitian yang telah dilakukan Badan Antarikasa Amerika Serikat (NASA)
menunjukkan bahwa daun Sansevieria mampu menyerap 107 jenis unsur
berbahaya, maka dari itu Sansevieria digunakan sebagai tanaman hias indoor dan
tanaman lanskap. Purwanto (2006) pada bukunya mengemukakan riset yang
dilakukan oleh Wolverton Environmental Service yang menyebutkan bahwa
sehelai daun Sanseviera mampu menyerap formaldehid sebanyak 0.938 µg per
jam. Terdapat dua jenis Sansivieria trifaciata Prain ‘Laurentii’ yang banyak
ditemui sebagai tanaman hias indoor dan tanaman lanskap, yaitu Sansivieria
5
trifaciata Prain ‘Laurentii’ jenis daun hijau, serta jenis daun variegata yaitu daun
berwarna hijau dan memiliki warna kuning dibagian pinggir daun, seperti terlihat
pada Gambar 1.
Beberapa kultivar dari jenis yang banyak kita temui antara lain Sansevieria
trifaciata ‘Laurentii’, ‘Lilian True’, ‘Golden Hahnii’, dan ‘Tiger Stripe’.
Sansivieria trifaciata Prain ‘Laurentii’ yang memiliki warna kuning di bagian
pinggir daunnya, atau berdaun variegata merupakan jenis Sansevieria yang paling
populer di pasaran.
Perbanyakan Sansevieria secara Vegetatif
Perbanyakan tanaman Sanseviera pada umumnya dilakukan secara
vegetatif. Sansevieria dapat diperbanyak menggunakan stek, pemisahan anakan.
teknik cabut pucuk, dan kultur jaringan (Purwanto, 2006). Teknik perbanyakan
tanaman Sansevieria secara vegetatif yang sering dilakukan antara lain
perbanyakan dengan stek daun dan pemisahan anakan, pada umumnya tunas akan
terbentuk dan tubuh setelah akar terbentuk dengan baik (Hartman et al., 1997).
Tanaman yang dapat diperbanyak dengan stek daun antara lain Sansevieria,
Begonia, Peperomia dan Kalanchoe. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Lestari (2007) bahan stek daun Sansevieria trifaciata ‘Laurentii’ yang dipotong
mendatar pada bagian tengah dan ujung daun menghasilkan tunas, jumlah daun,
tinggi tanaman, serta lebar daun yang lebih baik dibandingkan bahan stek daun
A
Gambar 1. Sansevieria trifaciata Prain ‘Laurentii’ (A) Jenis Daun Hijau; (B)Jenis Daun Variegata.
B
6
Sansevieria trifaciata ‘Laurentii’ setengah bagian daun. Bentuk potongan pangkal
stek dibuat miring, karena dengan permukaan irisan yang miring akan memiliki
permukaan irisan yang lebih luas dibandingkan permukaan irisan yang dipotong
datar. Permukaan irisan yang lebih luas akan menghasilkan jumlah akar yang
lebih banyak, selain itu akan menghasilkan satu akar yang besar diujung stek,
karena pada ujung stek terjadi akumulasi zat tumbuh (Wudianto, 1994).
Media Tanam
Media tanam merupakan komponen penting dalam budidaya tanaman hias
sebagai tempat tanaman tumbuh, berakar dan berkembang. Pemilihan media
tanam harus sesuai tujuannya, sebagai media semai dan perbanyakan atau sebagai
tempat tumbuh sampai produksi. Media tanam yang akan digunakan harus
disesuaikan dengan jenis tanaman, biasanya jenis media tanam disesuaikan
dengan habitat asal tanaman yang akan dibudidayakan. Tanaman hias pada
umumnya memerlukan media yang gembur, porous, subur, mengadung bahan
organik, bebas dari organisme pengganggu tanaman, dan memiliki aerasi serta
drainese yang baik (Wuryaningsih, 2008).
Media tumbuh sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman
optimal. Kondisi media tanam yang ideal bisa didapatkan dari kombinasi antara
bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik dapat berupa cacahan pakis,
kompos, humus, serbuk gergaji, arang sekam, dan cocopeat. Bahan anorganik
dapat berupa tanah, pasir, pasir malang, batu kerikil, dan hydrogel. Media tanam
terdiri dari dua tipe yaitu campuran tanah (soil-mixes) yang mengandung tanah
alami dan campuran tanpa tanah (soilles-mixes) yang tidak mengandung tanah
(Harjadi, 1989).
Bahan campuran media tanam harus memiliki peranan khusus di dalam
campuran tersebut. Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih media untuk
dijadikan campuran adalah kualitas dari bahan tersebut, sifat kimia atau fisiknya,
tersedia di pasaran, murah, mudah cara penggunaanya, dapat digunakan untuk
berbagai macam tanaman, tidak membawa hama dan penyakit, mempunyai
drainase dan kelembaban yang baik, mempunyai pH yang sesuai dengan jenis
7
tanaman dan mengandung unsur hara yang mendukung pertumbuhan tanaman
(Acquaah, 2002).
Sansevieria membutuhkan media tanam yang sama dengan jenis tanaman
sukulen lainnya. Tanaman sukulen pada umumnya tidak menyukai media yang
basah atau mengandung banyak air. Tanaman sukulen akan mudah terserang
penyakit dan jamur terutama pada media yang lembab, maka dibutuhkan media
yang bersifat porous dan tidak terlalu lembab sesuai dengan habitat aslinya daerah
tropis kering dan mempunyai iklim gurun yang panas.
Pasir
Pasir adalah silika murni dengan ukuran partikel antara 0.5 – 2 mm.
Umumnya pasir digunakan sebagai media campuran (mixes) sebagai salah satu
bahan komposisi media tanam. Pasir ditambahkan ke dalam media tanam untuk
meningkatkan porositas media, tetapi pasir yang terlalu halus dapat menghalangi
lubang-lubang drainase (Poerwanto, 2003)
Pasir seharusnya difumigasi dan dipasteurisasi sebelum digunakan karena
mengandung biji rumput liar dan berbagai patogen yang berbahaya. Pasir tidak
menyediakan banyak unsur hara dan secara kimia pasir merupakan bagian dari
media yang tidak bereaksi (Acquaah, 2002). Pasir sangat bagus digunakan sebagai
media tanam Sansevieria karena selain porositasnya tinggi, pasir mempunyai
kapasitas tukar kation yang rendah sehingga sangat lambat dalam melepaskan
unsur hara. Komposisi media tanam campuran pasir dan kompos memberikan
pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan vegetatif pada pembibitan tanaman
asparagus (Hanum, 2010). Pasir malang merupakan salah satu media tanam yang
banyak digunakan pada tanaman yang menyukai iklim kering seperti Adenium,
Euphorbia dan Sansevieria.
Pupuk Kandang
Pupuk kandang merupakan bahan organik yang berasal dari kotoran hewan,
yang mempunyai unsur hara yang lengkap, mulai dari unsur N (Natrium), P
(Fosfor), dan K (Kalium). Penggunaan pupuk kandang sebagai komponen media
8
tanam dapat menjamin ketersediaan unsur hara bagi tanaman karena dalam pupuk
kandang terkandung unsur N, P, K yang berguna bagi tanaman.
Pemakaian pupuk kandang sebagai media tanam harus dalam keadaan sudah
matang serta steril. Pupuk kandang yang belum matang, akibat belum tuntasnya
proses fermentasi berakibat timbul banyak bakteri sehingga tanaman mudah rusak
serta akar yang membusuk. Pupuk kandang yang akan digunakan harus yang
sudah matang. Pupuk kandang yang sudah matang memiliki ciri-ciri warna yang
cenderung kehitaman, dan teksturnya lebih remah. Beberapa jenis pupuk kandang
yang umum digunakan di bidang pertanian adalah pupuk kandang dari kotoran
sapi, kotoran kambing, dan kotoran ayam.
Menurut Muslihat (2003) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa
pemberian pupuk kandang pada tanah, akan membentuk agregat tanah yang
mantap, keadaan ini besar pengaruhnya terhadap porositas dan aerasi persediaan
air dalam tanah, yang berpengaruh terhadap perkembangan akar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian pukan 20 ton/ha akan menunjang ketersediaan
unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh
dengan subur, namun pemberian pupuk kandang berlebihan tidak meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Oyo (2010) menyatakan bahwa pupuk kandang
merupakan penyangga biologis yang berfungsi memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah, sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah yang
berimbang.
Tanah
Tanah merupakan sistem dispersi tiga fase yang selalu berada dalam
keseimbangan dinamis. Ketiga fase tersebut adalah padat, cair dan gas.
Pertumbuhan tanaman membutuhkan kondisi material yang optimal, maka
proporsi material harus tepat (Poerwanto, 2003). Porsi padat pada tanah terdapat
dalam bentuk organik dan anorganik, bagian organik berasal dari hasil
dekomposisi organisme, sedangkan bagian anorganik merupakan residu dari
batuan induk hasil pelapukan secara kimia atau fisika. Porsi cair dalam tanah
merupakan larutan tanah yang merupakan akibat dari air yang melarutkan mineral,
oksigen dan karbondioksida. Bagian gas penting untuk pertumbuhan tanaman,
pada tanah yang memiliki drainase buruk atau tanah tergenang, air akan
9
menggantikan udara sehingga pertumbuhan akar teganggu dan menghilangkan
mikroorganisme aerobik yang diiginkan (Poerwanto, 2003).
Tanah mengandung unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg dan S) dan
unsur hara mikro (Fe, Mn, Zn, B, Cu, Mo dan Cl). Tanah adalah jenis media yang
lazim digunakan untuk tanaman. Tanah untuk budidaya Sansevieria biasanya jenis
tanah yang berporositas tinggi diantaranya adalah tanah merah (latosol).
Kompos
Kompos merupakan media organik dari hasil pelapukan jaringan atau
bahan-bahan tanaman atau limbah organik pengolahan pabrik atau sampah
organik yang sengaja dibuat manusia, tingkat kandungan hara kompos sangat
ditentukan oleh bahan dasar, cara pengomposan, dan cara penyimpanan
(Musnamar, 2004).
Kompos berperan sebagai materi humus pengikat kelembaban bila
dicampur dengan tanah, kompos akan menambah bahan organik sehingga dapat
meningkatkan sifat fisik tanah, meningkatkan infiltrasi air, meningkatkan aerasi
tanah, menurunkan erosi, dan menyediakan hara bagi tanaman (Poerwanto, 2003).
Arang Sekam
Arang sekam merupakan media yang diperoleh dari pembakaran sekam
yang tidak sempurna (sebelum berubah menjadi abu). Hasil analisis Japanese
Society dalam Krisantini et al. (1993), jenis arang sekam paling banyak ditempati
oleh SiO2 (52%) dan C (31%), komponen lain adalah Fe2O3, K2O, MgO, CaO,
MnO dan CuO dalam jumlah sedikit serta bahan-bahan organik.
Arang sekam digunakan dalam campuran media sangat ringan (berat jenis =
0.2 kg/l), kasar sehingga sirkulasi udara tinggi (banyak pori), berwarna coklat
kehitaman sehingga dapat mengabsorpsi sinar matahari dengan efektif, dapat
mengurangi pengaruh penyakit khususnya bakteri (Wuryaningsih, 1994). Media
arang sekam merupakan media terbaik untuk pengakaran stek tanaman krisan.
(Nugroho et al., 2004). Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa media
arang sekam menghasilkan pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun terbaik
10
pada planlet Anthurium hasil aklimatisasi (Marliana dan Rusnandi, 2007). Media
tanam arang sekam berfungsi sebagai deodorizer, yaitu penyerap bau tidak sedap
dan racun dari hasil dekomposisi pada ruang perakaran, di samping itu arang
mempunyai daya serap air yang tinggi.
Cocopeat (Serbuk Sabut Kelapa)
Serbuk sabut kelapa (cocopeat) merupakan media hasil penghancuran
sabut kelapa. Sabut kelapa adalah bagian mesokarp dari buah kelapa yang sudah
matang. Sabut kelapa dapat dimanfaatkan sebagai media tanam karena
mengandung unsur kalium dan fosfor. Serbuk sabut kelapa banyak diproduksi
terutama di Sri Langka, Philipina, Indonesia, Meksiko, Costa Rica dan Guyana.
Serbuk sabut kelapa merupakan hasil dari limbah pertanian, yang dapat
digunakan sebagai media tanam pengganti pakis dan moss yang merupakan hasil
hutan. Hasil penelitian Muhit (2010) serbuk sabut kelapa dapat menggantikan
media pakis dan moss sebagai media pembesaran bibit kompot anggrek bulan.
Serbuk sabut kelapa banyak digunakan untuk media tanam, karena
mempunyai kapasitas memegang air yang baik, dapat mempertahankan
kelembaban (80%), kaya akan unsur hara, akan tetapi mudah terdekomposisi jika
terus menerus terkena air (Sulianta dan Yonathan, 2009). Serbuk sabut kelapa
memiliki kapasitas tukar kation dan porositas yang baik, mempunyai C/N ratio
rendah yang mempercepat N tersedia dan mereduksi karbon.
Zat Pengatur Tumbuh
ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) menstimulasi pertumbuhan dengan memberi
isyarat kepada sel target untuk membelah atau memanjang, beberapa ZPT
menghambat pertumbuhan dengan cara menghambat pembelahan atau
pemanjangan sel. Sebagian besar molekul ZPT dapat mempengaruhi metabolisme
dan perkembangan sel-sel tumbuhan. ZPT digunakan secara luas di dunia
pertanian dengan berbagai tujuan diantaranya penundaan atau peningkatan
peluruhan daun atau pentil buah, pengendalian ukuran organ dan lain-lain
11
(Harjadi, 2009). Terdapat lima jenis zat pengatur tumbuh yaitu auksin, sitokinin,
giberelin, inhibitor atau asam absisat dan etilen.
Menurut penelitian yang dilakukan Hayashi (1961) dalam Arteca (1996)
menunjukkan bahwa pemberian giberelin (GA3) melalui daun dapat meningkatkan
pertumbuhan karena terjadi peningkatan luas daun efektif sehingga fotosintesis
meningkat. Berdasarkan hasil penelitian Kusumawardana (2008), penambahan
hormon auksin dalam aplikasi 0.1% IBA, 0.03 % NAA, NAM, NAD, fungisida
thiram dapat meningkatkan nilai persentase stek hidup, persentase stek bertunas,
jumlah daun, panjang akar dan jumlah akar stek panili di pembibitan.
Giberelin
Giberelin merupakan salah satu jenis zat pengatur tumbuh yang pada
prinsipnya digunakan untuk pertumbuhan vegetatif. Abidin (1985)
mengemukakan bahwa giberelin menstimulasi perpanjangan sel karena adanya
hidrolisa pati yang dihasilkan dari giberelin yang akan mendukung terbentuknya α
amylse. Sebagai akibat dari terbentuknya α amylase, maka konsentrasi gula akan
meningkat yang akan mengakibatkan tekanan osmotik didalam sel akan menjadi
naik, sehingga ada kecenderungan sel tersebut berkembang. Menurut Berrie et al.
(1987) pengaruh giberelin adalah mempercepat pemanjangan batang dengan
mekanisme pembelahan sel.
Giberelin merupakan hormon yang mempercepat perkecambahan biji,
kuncup tunas, pemanjangan batang, pertumbuhan daun, merangsang pembungaan,
perkembangan buah, mempengaruhi pertumbuhan dan deferensiasi akar
(Campbell et al., 2003). Giberelin adalah suatu golongan ZPT dengan rangka ent-
gibberellins yang berfungsi merangsang pembelahan sel, pemanjangan sel, dan
fungsi pengaturan lain (Harjadi, 2009). Semakin tinggi konsentasi GA3
menyebabkan pertumbuhan vegetatif seperti jumlah cabang, tinggi tanaman dan
panjang ruas tanaman cabai hias meningkat (Sari, 2010).
Hormon giberelin berperan dalam hampir seluruh kegiatan perkembangan
tanaman, giberelin merupakan hormon tumbuhan yang terdapat pada jaringan –
jaringan tanaman yang muda. Giberelin merupakan zat pengatur tumbuh endogen
yang terdapat pada berbagai organ dan jaringan tumbuhan seperti akar, tunas,
12
mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan halus (Wattimena, 1988).
Hormon Giberelin yang diberikan di daerah apek tajuk dapat meningkatan
pembelahan sel dan pertumbuhan sel yang mengarah pada pemanjangan batang
serta (pada beberapa spesies) perkembangan daun yang berlangsung lebih cepat,
sehingga laju fotosintesisnya lebih terpacu dan menghasilkan peningkatan
keseluruhan pertumbuhan, termasuk akar (Salisbury dan Ross, 1995). Terdapat
bermacam-macam asam giberelin, saat ini sudah 136 macam giberelin yang telah
diidentifikasi dan berasal dari tanaman fungi, dan bakteri, GA3 merupakan yang
pertama kali dikenal dan diidentifikasi serta paling banyak digunakan (Sengbusch,
2003).