na ruu prov. kepulauan

111
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat dan ditulis NKRI), merupakan negara kepulauan (archipelagic state), terdiri dari sejumlah besar pulau besar maupun kecil. Di samping beberapa pulau besar yakni pulau Sumatera, pulau Jawa, (sebagian besar) pulau Kalimantan, pulau Sulawesi dan (sebagian) pulau Papua, terdapat pulau-pulau kecil yang diperkirakan jumlahnya berkisar antara 17,480 sampai 18,3006 buah. (17,508 (Dishidros), 17,480 (Fredy Numberi), 17,508 ( Pussurta ABRI), 18,306 (LAPAN 1982 berdasar pantauan Satelit Citra). Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau kecil yang memiliki kekayaan alam dan jasa lingkungan (environmental service) yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi (Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2001 : 5), maupun pembangunan bidang sosial, politik, budaya di samping penyelenggaraan 1

Upload: joe2211mdpl

Post on 24-Jul-2015

66 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Na Ruu Prov. Kepulauan

BAB   I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat dan ditulis

NKRI), merupakan negara kepulauan (archipelagic state), terdiri dari

sejumlah besar pulau besar maupun kecil. Di samping beberapa pulau besar

yakni pulau Sumatera, pulau Jawa, (sebagian besar) pulau Kalimantan, pulau

Sulawesi dan (sebagian) pulau Papua, terdapat pulau-pulau kecil yang

diperkirakan jumlahnya berkisar antara 17,480 sampai 18,3006 buah.

(17,508 (Dishidros), 17,480 (Fredy Numberi), 17,508 ( Pussurta ABRI),

18,306 (LAPAN 1982 berdasar pantauan Satelit Citra).

Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau kecil yang

memiliki kekayaan alam dan jasa lingkungan (environmental service) yang

sangat potensial untuk pembangunan ekonomi (Departemen Kelautan dan

Perikanan RI, 2001 : 5), maupun pembangunan bidang sosial, politik, budaya

di samping penyelenggaraan keamanan dan pertahanan dan beberapa fungsi

lainnya yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintahan negara.

Kehadiran provinsi-provinsi, kabupaten/kota-kabupaten/kota, bahkan

kesatuan-kesatuan masyarakat pedesaan maupun kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat di berbagai pulau dalam NKRI, merupakan

kenyataan-kenyataan yang lahir melalui proses-proses politik bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara dan ditetapkan sebagai ketentuan yang menjamin

1

Page 2: Na Ruu Prov. Kepulauan

terlaksananya upaya pensejahteraan rakyat dalam lingkup-lingkup yang lebih

kecil. Artinya, baik pada awal kemerdekaan maupun dalam perjalanan hidup

selanjutnya dari bangsa dan negara Indonesia, bagian-bagian wilayah yang

disebut di atas sama sekali tidak dapat eksistensinya sebagai ruang wilayah

atau teritori yang di atasnya diselenggarakan upaya pensejahteraan rakyat

yang dilakukan pemerintahan yang dibentuk di wilayah atau teritori melalui

kegiatan di bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya di samping

penyelenggaraan keamanan dan pertahanan dan beberapa fungsi lainnya

yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintahan negara.

Daerah-daerah yang berciri atau karakter khusus kepulauan yang merupakan

bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus mendapat

perhatian serius pemerintah, karena secara konstitusional terdapat jaminan

yang kuat.

Berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang pembangunan dan

pemerintahan selama ini belum sepenuhnya mengakomodir berbagai

kebutuhan masyarakat pada wilayah-wilayah yang berciri kepulauan atau

berkarakter khusus, sehingga sering dirasakan adanya ketidakadilan.

Secara teoretis pemerintah atau negara mengakui eksistensi wilayah-wilayah

yang berciri kepulauan, dimana perlakuan khusus terhadap eksistensi

masyarakat termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wewenang

pemerintah serta hak dan kewajiban tertentu, patut mendapat perhatian

serius untuk diatur dalam sebuah produk hukum yang representatif.

Eksistensi wilayah sedemikian merupakan asal-usul yang melekat pada

daerah-daerah berkarakter kepulauan yang wilayahnya didominasi perairan

2

Page 3: Na Ruu Prov. Kepulauan

laut, yang nyata, diakui dan tetap hidup sehingga perlu memperoleh

perlakuan yang khusus atau keistimewaan dalam bidang pengelolaan sumber

daya alam maupun sumber daya manusia di dalam wilayah Kepulauan

masing-masing.

Sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,

tuntutan untuk mendapat perlakuan yang khusus merupakan hak yang sudah

tentu merupakan cerminan dari prinsip keadilan dan pemerataan

pembangunan yang berdimensi luas, dimana dalam arak-arakan

pembangunan tidak boleh ada wilayah-wilayah yang tertinggal.

Berlandaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan RI

dibagi atas daerah-daerah provinsi; daerah-daerah provinsi itu dibagi atas

kabupaten dan kota. Hal ini berarti bahwa keberadaan provinsi-provinsi,

kabupaten/kota-kabupaten/kota, bahkan kesatuan-kesatuan masyarakat

pedesaan maupun masyarakat-masyarakat hukum adat di berbagai pulau

dalam NKRI, merupakan kenyataan-kenyataan yang lahir melalui proses-

proses politik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan ditetapkan

sebagai ketentuan perundang-undangan yang menjamin terlaksananya

penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya mensejahterakan rakyat dalam

lingkup-lingkup yang lebih kecil.

Pemerintah daerah baik itu Provinsi maupun Kabupaten/kota setelah era

reformasi dituntut melaksanakan prinsip good governance sehingga

diharapkan dapat mencapai masyarakat yang adil dan makmur di samping

mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas.

3

Page 4: Na Ruu Prov. Kepulauan

Di dalam upaya perwujudan kesejahteraan rakyat, provinsi yang luas wilayah

laut lebih luas dari wilayah darat dan memiliki ratusan pulau-pulau yang

berpenghuni seperti Provinsi Maluku yang terdiri dari kurang lebih 1.000

pulau dengan luas 92,6 % wilayah laut, Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari

96 % wilayah laut, Provinsi NTT terdiri dari 1.192 pulau dengan luas 80,8 %

wilayah laut, Provinsi Bangka Belitung terdiri dari 79,9 % wilayah laut, dan

Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 95,8 % wilayah laut, mengalami kesulitan

dalam rangka pemenuhan kesejahteraan rakyat maupun pelayanan publik

yang berkualitas.

Hal itu disebabkan oleh kondisi geografis dengan pulau-pulau yang banyak,

yang membutuhkan pembiayaan yang jauh lebih besar untuk suatu kegiatan,

sedangkan untuk kegiatan yang sama yang dilakukan pada provinsi yang

wilayah daratannya lebih luas biaya yang dikeluarkan tidak sebesar biaya

yang dikeluarkan pada provinsi berbasis kepulauan. Akibatnya adalah muncul

kesan adanya ketidakadilan dalam pembangunan, atau tidak ada pemerataan

pembangunan sehingga proses peningkatan kesejahteraan masyarakat di

daerah yang berkarakteristik akuatik teristerial (laut lebih luas dari daratan)

menjadi lamban.

Dengan demikian maka dalam kepelbagaian kondisi geografis dengan

karakter masing-masing atau karakter khusus , perlu ditempuh kebijakan

khusus pula, sehingga sasaran pembangunan bisa tercapai dan masyarakat

dapat menikmati hasil hasil pembangunan secara adil.

Atas latar belakang itulah, maka dibutuhkan pengkajian untuk menyiapkan

Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan yang diharapkan

dapat menjadi perangkat yang mampu mencapai pembangunan yang

4

Page 5: Na Ruu Prov. Kepulauan

berkeadilan bagi rakyat Indonesia yang mendiami wilayah-wilayah

kepulauan.

1.2. Identifikasi Masalah

Kajian ini berupaya menjawab masalah-masalah sebagai berikut:

1. Apa yang membedakan kondisi wilayah di daerah kepulauan dari

kondisi wilayah di daerah daratan (kontinental)?

2. Apa yang menjadi sebab lambannya pembangunan kesejahteraan rakyat

di daerah kepulauan?

3. Apakah pengaturan daerah kepulauan dapat mendorong pembangunan

berkeadilan di wilayah-wilayah tersebut?

4. Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis dan yuridis bagi

pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan?

5. Apa sasaran yang hendak dicapai, ruang lingkup pengaturan, jangkauan

dan arah pengaturan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi

Kepulauan?

1.3. Tujuan dan Kegunaan kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka

tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang

Provinsi Kepulauan adalah sebagai berikut:

1. Mengedepankan perbedaan kondisi daerah kepulauan dari kondisi

daerah daratan.

5

Page 6: Na Ruu Prov. Kepulauan

2. Mengedepankan sebab-sebab kelambanan pembangunan kesejahteraan

rakyat di daerah kepulauan.

3. Mengedepankan pertimbangan bahwa pengaturan untuk daerah

kepulauan dapat mendorong pembangunan berkeadilan di wilayah-

wilayah kepulauan tersebut.

4. Merumuskan pokok-pokok yang menjadi landasan filosofis, sosiologis

dan yuridis mengenai pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang

Provinsi Kepulauan.

5. Merumuskan sasaran yang hendak dicapai, ruang lingkup pengaturan,

jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Undang-Undang tentang

Provinsi Kepulauan.

Dengan demikian, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini dijadikan

acuan dalam pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang

tentang Provinsi Kepulauan.

1.4. Metode

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi

Kepulauan ini berdasar: (1) masukan pemikiran dari beberapa anggota

Dewan Perwakilan Daerah dalam diskusi pada Rapat Dengar Pendapat

Umum (RDPU) dari nara sumber; (2) kajian-kajian terhadap pendapat nara

sumber menyangkut pokok-pokok tertentu; (3) masukan

pikiran/pendapat/kehendak para pemangku kepentingan yang dilakukan

pada Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) di beberapa

provinsi berbasis kepulauan yakni di Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi

Bangka Belitung dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian maka

metode yang ditempuh ini adalah Metode Asesmen (Assesment Method)

6

Page 7: Na Ruu Prov. Kepulauan

terhadap keinginan masyarakat pemangku kepentingan di provinsi-provinsi

berbasis kepulauan dilihat dari aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Metode ini dilaksanakan berdasar pertimbangan:

a. Keinginan-keinginan para pemangku kepentingan di provinsi-provinsi

berbasis kepulauan merupakan keinginan nyata adanya perlakuan

khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan, harus

diketahui langsung dari mereka;

b. Penyelenggaraan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion)

dibatasi hanya pada tiga provinsi yang dipilih karena ketersediaan sarana

dan prasarana pendukung, keterbatasan waktu dan tenaga, dan tingkat

kepentingan yang membutuhkan perhatian secara menyeluruh dan cepat.

c. Pendapat nara sumber dari instansi maupun pakar merupakan masukan

penting dalam penyusunan argumentasi bagi diperlukannya pengaturan

perlakuan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

kepulauan.

Selain Metode Asesmen yang dikemukakan di atas, penyusunan Naskah

Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan ini

dilakukan juga dengan melakukan kajian atas peraturan perUndang-

Undangan yang terkena implikasi adanya (perlakuan khusus terhadap)

provinsi berbasis kepulauan. Banyak peraturan perundangan yang akan

berkaitan dengan adanya keinginan mengatur secara khusus

penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan. Dengan demikian metode

kedua yang dipergunakan adalah Metode Yuridis Normatif.

Kedua metode di atas dipergunakan dengan pertimbangan:

7

Page 8: Na Ruu Prov. Kepulauan

a. Pemenuhan kehendak baru para pemangku kepentingan memerlukan

pengetahuan tentang apa yang dikehendaki yang dikemukakan

pemangku kepentingan sendiri.

b. Pemikiran-pemikiran para pakar di bidang tertentu seperti di bidang

kelautan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang hukum menjadi

bahan masukan penting bagi penyusunan argumentasi perlunya

Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan.

Kajian yuridis normatif dilakukan dengan bertolak dari Falsafah Pancasila

sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang

menjadi landasan atau yustifikasi meta-yuridis bagi dapat atau tidak dapatnya

pengaturan tentang Provinsi Kepulauan, diikuti dengan telaah terhadap pasal

dalam konstitusi yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(UUD NRI Tahun 1945) yang dipandang menjadi dasar adanya pengaturan

tentang provinsi kepulauan berikut pemerintahannya. Kajian atau telaah

terhadap peraturan perundangan yang berhubungan dengan pemerintahan

daerah dilakukan untuk memperoleh landasan yuridis maupun solusi atas

masalah yang berkaitan dengan pengaturan tentang Provinsi Kepulauan

.

BAB II 

KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTEK EMPIRIK

8

Page 9: Na Ruu Prov. Kepulauan

1. Kajian Teoritik

Kajian teoretik yang menjadi landasan utama dalam upaya menata wilayah-

wilayah negara yang berkarakter khusus mencakup, teori wewenang serta

teori penguasaan wilayah atau teritori tertentu, teori pengelolaan atau

manajemen, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, pemerataan,

harmonisasi dan sinkronisasi. Hal itu berarti bahwa pemerintah harus

mampu mengelola secara adil, wilayah negara yang luas dan memiliki

berbagai karakter khusus sehingga tidak menimbulkan berbagai problem

dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan.

Hal tersebut sudah tentu harus diikuti dengan sejumlah hak dan kewajiban

dari semua komponen pengelolaan, sehingga dapat menimbulkan

harmonisasi dan sinkronisasi yang bermanfaat bagi sebuah negara hukum

dengan Ideologi Pancasila.

1.1. Teori Wewenang serta Teori Penguasaan Wilayah atau Teritori

Tertentu

Teori wewenang serta teori penguasaan wilayah atau teritori tertentu, pada

hakekatnya berkaitan dengan luas lingkup dan sifat pemerintahan daerah

menurut UUD NRI Tahun 1945.

Salah satu aspek penting yang turut direformasi adalah konstitusi Indonesia.

Selama orde baru, UUD 1945 dikeramatkan dan dimanfaatkan secara licik

oleh penguasa untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan.

Ternyata dengan tuntutan reformasi untuk mewujudkan civil society dan

9

Page 10: Na Ruu Prov. Kepulauan

terciptanya good governance, maka dilakukan beberapa kali amandemen

terhadap UUD 1945 yang kini disebut UUD NRI Tahun 1945. Pada

Amandemen yang kedua, telah dilakukan perubahan rumusan Pasal 18 UUD

1945 dengan rumusan terdiri dari Pasal 18, 18A, dan 18B UUD NRI Tahun

1945.

Bilamana pengaturan dimaksud dicermati, maka dapat dipetik beberapa

prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:

a. Pemerintahan Daerah terdiri dari dua tingkatan, yaitu Pemerintahan

Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten dan Kota;

b. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berpijak pada asas otonomi dan

tugas pembantuan;

c. Masing-masing Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota memiliki

DPRD, yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum, serta

setiap Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipimpin oleh

Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokratis;

d. Setiap Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang mengenai urusan

Pemerintah Pusat;

e. Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, setiap pemerintahan

daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan

lainnya.

f. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

propinsi, kabupaten, dan kota memperhatikan kekhususan dan

keragaman daerah;

g. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam

dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan

10

Page 11: Na Ruu Prov. Kepulauan

daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan

Undang-Undang;

h. Satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat

istimewa diakui dan dihormati. Juga diakui dan dihormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan pekerbangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-

Undang.

Pertanyaan yang mengedepan adalah: apakah satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus dan istimewa memiliki tingkatan pemerintahan

yang sejajar dengan pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota? Ataukah

terlepas dari satuan pemerintahan yang ada?

Bilamana mencermati prinsip Pemerintahan Daerah yang terdiri dari dua

tingkatan, yaitu Pemerintahan Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota,

kemudian dihubungkan dengan prinsip satuan–satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau istimewa yang diakui dan dihormati, serta prinsip

hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

propinsi, kabupaten/kota serta memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah, maka dapat dideskripsikan struktur pemerintahan daerah

berdasarkan luas tingkatan pemerintahan daerah dan kekhususan atau

keistimewaan pemerintahan daerah sebagai berikut:

a. Pemerintahan tingkat Propinsi yang khusus atau istimewa;

b. Pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota yang khusus atau istimewa

Konstruksi pemerintahan daerah ini tidak diatur lebih jauh dalam UUD NRI

Tahun 1945 dan semakin kabur ketika status Penjelasan UUD 1945 menjadi

11

Page 12: Na Ruu Prov. Kepulauan

goyah sebagai akibat amandemen UUD 1945 itu, menjadi UUD NRI Tahun

1945.

Oleh karenanya maka perlu diatur lebih lanjut dalam Undang Undang

Pemerintahan Daerah, dengan memperjelas kriteria/tolok ukur kekhususan

atau keistimewaan pemerintahan daerah dan bagaimana bentuk perlakuan

terhadap kekhususan dan keistimewaan pemerintahan daerah dimaksud

(wujud dari prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah).

Oleh karenanya pula, salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam

perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah memasukkan

Propinsi dan juga Kabupaten Kepulauan sebagai salah satu bentuk

kekhususan pemerintahan daerah dan memperjelas bentuk dan luas

perlakuan pemerintah terhadap kekhususan dan keistimewaan pemerintahan

daerah dimaksud.

Perlunya perlakuan pemerintah terhadap kekhususan dan keistimewaan

pemerintahan daerah sejalan dengan eksistensi Indonesia sebagai Negara

Kesatuan. Dalam Negara kesatuan, semua kekuasaan pemerintahan ada di

tangan pemerintah (pusat). C.F. Strong (1966:80) mengedepankan bahwa "a

unitary state is one in which we find 'the habitual exercise of supreme legislative

authority by one central power' . . .". (negara kesatuan ialah bentuk negara

dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif

pusat/nasional). Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak ada

pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk

menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak

12

Page 13: Na Ruu Prov. Kepulauan

otonomi, tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan

pemerintah pusat. Demikian pula James MacGregor Burn, et all (1978:43)

menandaskan bahwa pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya

kepada unit-unit konstituen tetapi apa yang didelegasikan itu mungkin juga

ditarik kembali.

Senada dengan pandangan tersebut, Wolhoff dalam Zen Zanibar (2003:109)

menyatakan bahwa dalam negara kesatuan pada asasnya kekuasaan

seluruhnya dimiliki pemerintah (pusat). Artinya, peraturan-peraturan

pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan

daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya

sendiri.

Pemikiran yang dipaparkan di atas hendak menegaskan bahwa prinsip yang

dianut dalam Negara kesatuan ialah kewenangan pemerintah (pusat) untuk

campur tangan yang lebih intensif terhadap persoalan-persoalan di daerah.

Tetapi kewenangan dimaksud terdapat dalam suatu pengaturan yang jelas

dan tegas. Pada prinsipnya pemerintah (pusat) dapat mencampuri urusan

apapun juga sepanjang mengenai kepentingan umum.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa ruang intervensi pemerintah

(pusat) terhadap pemerintahan daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota)

memiliki legitimasi dalam konteks Indonesia sebagai negara kesatuan.

Legitimasi intervensi pemerintah (pusat) ini juga ditujukan kepada Propinsi

atau kabupaten Kepulauan sebagai wujud dari kekhususan dan keistimewaan

pemerintahan daerah. Bentuk dan luas intervensi pemerintah (pusat)

dimaksud mestinya diatur dalam Undang Undang Pemerintahan Daerah.

13

Page 14: Na Ruu Prov. Kepulauan

Oleh karenanya, dalam perubahan Undang Undang Pemeritahan Daerah perlu

dipertegas dan diperjelas pengaturan tentang daerah istimewa dan daerah

khusus, dengan merumuskan kriteria daerah khusus dan daerah istimewa,

serta menentukan luas perlakuan/intervensi pemerintah terhadap daerah-

daerah dimaksud.

Hal yang perlu dipertimbangkan adalah daerah-daerah yang secara geografis

mengalami persoalan seperti daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah

pesisir dan kepulauan, pulau terluar. Seyogyanya dalam UU Pemerintahan

Daerah diberikan ruang kepada setiap Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk

mengatur kekhususan dan keistimewaannya, dengan titik berat pada daerah

tertinggal, daerah terpencil, daerah pesisir dan kepulauan, pulau terluar dan

daerah-daerah yang beresiko terhadap bencana.

Pemikiran mengenai pengakuan terhadap kekhususan daerah kepulauan

(atau wacana lain tentang pengakuan daerah-daerah yang bersifat istimewa)

dimaksud sesungguhnya memiliki wacana akademik sebagaimana

dikemukakan Charles D. Tarlton yang disitir Robert Endi Jaweng (Suara

Pembaruan, Selasa, 21 Desember 2010: 5). Dalam pandangan Tarlton, model

desentralisasi teridentifikasi dalam desentralisasi simetris dan desentralisasi

asimetris. Model desentralisasi simetris/biasa ditandai kesesuaian

(conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan

sistem politik nasional, pemerintah pusat maupun antar daerah. Sedangkan

model desentralisasi asimetris dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah

khusus/istimewa memiliki pola hubungan berbeda dan tak lazim terjadi di

14

Page 15: Na Ruu Prov. Kepulauan

daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal relasi dengan pusat, relasi dengan

daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah itu sendiri.

Lebih lanjut mengenai letak kekhususan dan keistimewaan suatu daerah,

Tarlton menandaskan bahwa subyek utamanya adalah soal kewenangan.

Dasar pemberian dan isi kewenangan khusus/istimewa mempresentasikan

alasan-alasan unik. Subyek kewenangan inilah yang nantinya menentukan

bangunan relasi daerah khusus/istimewa dengan pusat atau daerah lain

maupun arah kebijakan internal dan tata kelola pemerintahannya (ibid).

Dasar Alasan memberlakukan desentralisasi asimetris pada sebagian Negara

adalah bertolak dari political reason seperti respons atas keberagaman

karakter regional atau primordial, bahkan ketegangan etnis (seperti kasus

Quebeck di Kanada); sebagian lain dilandasi efficiency reasons, yakni

bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan administrasi

pemerintahan (ibid).

Sesuatu yang dipandang sebagai kekhususan seperti di atas, tampaknya

sangat dipahami dari perspektif demokrasi. Jimly Asshiddiqie (2005: 245 et

seq) mengedepankan bahwa “…dalam perspektif yang bersifat horizontal,

gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum (“constitutional democracy”),

mengandung empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya jaminan persamaan dan

kesetaraan dalam kehidupan bersama, (ii) adanya pengakuan dan

penghormatan terhadap pluralitas atau perbedaan, (iii) adanya aturan yang

mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama, dan (iv) adanya mekanisme

penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang disepakati

bersama itu.”

Daerah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil merupakan daerah yang

berbeda dari daerah pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan,

15

Page 16: Na Ruu Prov. Kepulauan

Sulawesi dan Papua. Daerah-daerah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau

kecil ini yang merupakan wilayah daerah kepulauan yang didominasi laut,

yang berbeda dari pulau-pulau besar, dapat dimasukkan dalam prinsip pokok

kedua dari “constitutional democracy” yang dikedepankan Jimly Asshiddiqie

itu.

Tentang desentralisasi asimetris ini, Tri Widodo W. Utomo (2009: 58)

mengedepankan bahwa:

“Decentralization has multiple meaning, interpretation, and implementation in

different country and different context. But there is common essence of

decentralization, that is, strengthening local authorities through transfer of

power and resources from the central government. It must never be forgotten

that the purpose of decentralization is not to reinforce local powers or to

preserve central power but exclusively to ensure the best service to the citizen,

service that is closer, more comprehensible and less costly. By quoting

Bernard:“Decentralization cannot be forced. It must be made alive for and by

the inhabitants of the City of Mankind.” Consequently, contrasting unitary and

federal states, or contrasting decentralization and deconcentration, is no longer

relevant. The more important thing to be noticed is that both unitary and

federal states have equal opportunity to promote asymmetrical

decentralization. Asymmetrical decentralization constitutes a win-win solution

to resolve any conflict between Unitarian supporters and separatist movement”.

Sedikit berbeda dari kesimpulan Tri Widodo W. Utomo yakni kehendak

melakukan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi berbasis

kepulauan, tidak bertumpu pada pemikiran separatis sebagaimana di negara-

negara lain. Kajian empiris sebagaimana dikemukakan pada angka 2 bab ini

akan memperlihatkan bahwa kehendak melakukan penyelenggaraan

16

Page 17: Na Ruu Prov. Kepulauan

pemerintahan daerah di provinsi berbasis kepulauan lebih ditekankan pada

penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat untuk

mencapai hasil pembangunan yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat.

Hal ini dilihat dari kenyataan sebagai berikut. Aksesibilitas pemerintah

provinsi bersama rakyatnya di wilayah perairan pedalaman provinsi menjadi

berkurang. Dalam menentukan luas wilayah daerah kepulauan yang

didominasi laut maka penentuan batas wilayah di pulau-pulau yang masuk

daerah kepulauan itu yang diukur dengan menggunakan penarikan garis

dasar lurus yang menghubungkan dua titik awal berdekatan dan berjarak

tidak lebih dari 12 mil laut sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas

Daerah, adalah tidak adil. Sebab, dengan cara seperti itu maka bagian terbesar

wilayah laut yang berada dalam batas-batas wilayah provinsi sebagaimana

disebutkan dalam undang-undang, akan hilang. Hal ini tidak sekedar

menyangkut pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditentukan berdasar

luas wilayah daratan.

Masalah terbesar ialah ruang atau wilayah pengelolaan sumber daya alam di

laut pada perairan pedalaman provinsi yang berada di luar jarak 12 mil laut

tidak berada di dalam otoritas penyeelenggara pemerintah daerah kepulauan.

Oleh karena itu untuk menciptakan keadilan wilayah di antara semua daerah

yang telah terbagi-bagi secara konstitusional di dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia, maka penggunaan cara pengukuran garis dasar lurus

seperti disebutkan di atas, cukup dilakukan pada tempat-tempat yang

menghadap keluar (outward position) dari pulau-pulau pada batas provinsi

17

Page 18: Na Ruu Prov. Kepulauan

berbasis kepulauan, bukan melakukan perhitungan keliling atau melingkar

(circle position) masing-masing pulau.

Dengan cara demikian maka daerah kepulauan dengan kondisi sosial,

ekonomi, budaya maupun satuan-satuan masyarakat hukum adat dengan

sistemnya memiliki wilayah nyata atas sumber daya alam di laut di antara

pulau-pulau yang dapat dikelola untuk kesejahteraan masyarakatnya dan

pembangunan.

Jadi, jelaslah bahwa pengakuan daerah kepulauan sebagai model

pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga memiliki rujukan akademik

yaitu sebagai wujud model desentralisasi asimeteris yang berlandaskan pada

political reasons (keberagaman karakter regional) dan efficiency reason, yakni

bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah. Oleh karenanya,

pembentukan daerah kepulauan sebagai daerah yang bersifat khusus di

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki landasan konstitusional dan

landasan akademik yang tak perlu diragukan lagi.

Atas dasar pemikiran yang dipaparkan di atas, maka beralasan Rancangan

Undang Undang yang sedang digagas ini diberi judul “Rancangan Undang

Undang Tentang Provinsi Kepulauan”. Argumentasi penggunaan judul

tersebut secara lebih konkrit adalah sebagai berikut:

a. Daerah Kepulauan menunjukkan bahwa yang diakui sebagai satuan

pemerintahan daerah yang berkarakter/bersifat khusus kepulauan

meliputi propinsi, kabupaten/kota, dan tidak menutup kemungkinan

kelak diakui desa kepulauan.

18

Page 19: Na Ruu Prov. Kepulauan

b. Secara yuridis maupun secara akademik, satuan pemerintahan daerah

yang disebut daerah kepulauan telah mendapatkan justifikasi sebagai

konsekuensi negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang

menganut prinsip desentralisasi. Sebagai konsekuensi dari dianutnya

prinsip desentralisasi adalah pengaturan sistem pemerintahan daerah

di Indonesia dengan Undang Undang Pemerintahan Daerah.

c. Di dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia juga dikembangkan

desentralisasi asimetris, yaitu terwujud dalam pengakuan daerah yang

bersifat khusus dan daerah yang bersifat istimewa. Salah satu satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus dalam kerangka ini adalah

daerah kepulauan.

d. Kehadiran Rancangan Undang Undang tentang Provnsi Kepulauan

mempertegas bahwa RUU ini lahir sebagai konsekuensi dari penerapan

prinsip desentralisasi asimentris dan sebagai implikasi dari sistem

pemerintahan daerah sebagaimana diatur terdahulu dengan Undang

Undang tentang Pemerintahan Daerah.

1.2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya

alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah

Prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah lainnya yang ditarik dari

pengaturan UUD NRI TAHUN 1945 adalah hubungan keuangan, pelayanan

umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang diatur dan dilaksanakan

secara adil dan selaras berdasarkan Undang Undang. Prinsip ini semestinya

diwujudkan dalam pengaturan Undang-Undang Pemerintahan Daerah,

19

Page 20: Na Ruu Prov. Kepulauan

terutama berkaitan dengan pengaturan hubungan Pemerintah dan

Pemerintah Daerah.

Namun justru pengaturan tentang hal tersebut belum dirumuskan secara

jelas. UU Nomor 32 tahun 2004 memberikan perhatian dalam pengaturan

tentang hubungan kewenangan pemerintah (pusat) dengan pemerintah

daerah.

Konstruksi hubungan pemerintah dengan pemerintah daerah, sebagaimana

dikemukakan Mohammad Fauzan (2006:34) adalah sebagai berikut:

a. Suatu pembagian kekuasaan yang rasional di antara tingkat-tingkat

pemerintahan dalam memungut dan membelanjakan sumber dana

pemerintah, yaitu suatu pembagian yang sesuai dengan pola umum

desentralisasi;

b. Suatu bagian dari sumber-sumber dana secara keseluruhan untuk

membiayai fungsi, penyediaan pelayanan, dan pembangunan yang

diselenggarakan oleh pemerintah daerah;

c. Pembagian yang adil di antara daerah-daerah atas pengeluaran

pemerintah, atau sekurang-kurangnya ada perkembangan yang memang

diusahakan ke arah itu;

d. Suatu upaya perpajakan (fiscal effort) dalam memungut pajak dan

retribusi oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan pembagian yang

adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam

masyarakat.

Atas dasar pemahaman tentang kontruktruksi hubungan pemerintah dan

pemerintah daerah seperti itu, maka hubungan keuangan, pelayanan umum,

20

Page 21: Na Ruu Prov. Kepulauan

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah harus diatur secara adil dan selaras. Pengaturan

yang adil dan selaras tentunya mempertimbangkan berbagai aspek terkait,

termasuk aspek kondisi geografis dan realitas masyarakat yang hidup dalam

satu tatanan pemerintahan daerah, namun berada di pulau-pulau yang

tersebar atau sering disebut sebagai daerah (propinsi atau kabupaten

kepulauan).

Penegasan ini harus mendapat perhatian khusus dalam pengaturan hubungan

pemerintah dan pemerintah daerah seiring dengan gagasan untuk merevisi

Undang Undang Nomor 32 tahun 2004.

Berkaitan dengan hubungan pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, tentunya merujuk

pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu “bumi air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pengertian dikuasai Negara menurut

pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa tidak dapat diartikan hanya sebatas

hak untuk mengatur dan mengawasi, karena hal tersebut dengan sendirinya

melekat dalam fungsi-fungsi Negara tanpa harus menyebut secara khusus

dalam UUD NRI TAHUN 1945. Sekiranya pun tidak dicantumkan dalam

konstitusi sebagaimana lazim di banyak Negara yang menganut paham

ekonomi liberal, sudah dengan sendirinya Negara berhak mengatur

perekonomian. Atas dasar itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

penguasaan Negara diartikan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas

segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

21

Page 22: Na Ruu Prov. Kepulauan

dalamnya”, sebagai pemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-

sumber kekayaan, dan kemudian rakyat tersebut secara kolektif

dikonstruksikan oleh UUD NRI TAHUN 1945 memberikan mandat kepada

Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan

(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (bestuursdaad)

dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas ijin,

lisensi, dan konsesi (Maruarar Siahaan, 2007:21-22).

Lebih jauh Abrar Saleng (2007:52) mengemukakan bahwa penggunaan Pasal

33 ayat (3) UUD 1945 dilakukan dengan pendekatan bahwa sumberdaya alam

dikuasai oleh negara dan merupakan milik bersama (common property)

bangsa-bangsa (nation) yang ada di Indonesia dan digunakan untuk

kesejahteraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari satu generasi

ke generasi selanjutnya (intergeneration) secara berkelanjutan

(substainablility).

Juga Titahelu (1993:80-81), yang menunjuk pada pendapat Gaius dan

Javolenus dalam Vegting (1946:27), memperlihatkan bahwa negara bukanlah

pemilik dari benda-benda yang ditentukan penggunaannya untuk umum (de

staat noet den eigendom heft van de voor het publiek gebruik bestemde zaken).

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan

benda-benda atau sumber daya yang dimanfaatkan bagi sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Disini letak makna het publiek gebruik dari benda-benda

atau sumber daya alam atau kekayaan alam yang ada di dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Het publiek gebruik dimaknai sebagai pemilikan

dan pemakaian bersama.

22

Page 23: Na Ruu Prov. Kepulauan

Dalam era otonomi daerah, terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem

dan praktek pengelolaan sumberdaya alam. Perubahan dimaksud terlihat

dalam kewenangan pemerintah daerah yang besar dalam pengelolaan

sumberdaya alam. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menentukan bahwa “Daerah berwenang mengelola

sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab

memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perUndang-

Undangan”.

2. Kajian Empirik

Hal-hal di atas menjadi dasar penting berhubung dengan masalah konkrit di

bidang kelautan dan perikanan yang sangat berdampak pada pembangunan

dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi-provinsi yang memiliki wilayah

yang didominasi lautan, (Masengi, 2012). Kenyataan-kenyataan berupa:

1. Belum memadainya infrastruktur kegiatan budidaya sehingga potensi

sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan dan

dikelola secara optimal;

2. Masih terbatasnya infrastruktur pengendalian dan pengamanan bencana

sehingga kemungkinan impact akibat bencana alam, ancaman/gangguan

thd kelestarian ekosistem dan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau

kecil masih sering dirasakan;

3. Masih terbatasnya infrastruktur pengendalian dan pengawasan

pembangunan sehingga sering terjadi tumpang tindih dan konflik

23

Page 24: Na Ruu Prov. Kepulauan

kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut,

pesisir, dan pulau-pulau kecil;

4. Masih terbatasnya infrastruktur perhubungan dan komunikasi antara

wilayah produksi dengan wilayah pemasaran khususnya di kawasan

potensial yang masih terbelakang.

Peta di bawah ini memperlihatkan bahwa peluang pengembangan

sumberdaya perikanan daerah pengelolaan perikanan di seluruh Indonesia,

yang dapat dikelola oleh pemerintah jauh lebih besar daripada wilayah

kelautan yang dikelola oleh masing-masing provinsi berbasis kelautan.

1. Selat Malaka; 2. Laut Cina Selatan; 3. Laut Jawa; 4. Selat Makasar dan Laut Flores; 5. Laut Banda;6. Laut Seram sampai Teluk Tomini; 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; 8. Laut Arafura; 9. Samudera Hindia

95oT 100o 105o 110o 115o 120o 125o 130o 135o 140oT

5oU

0o

5oS

10o

15o

1% - 20%20% - 40%40% - 60%< 1%

(Sumber: Masengi, 2012)

Sementara di provinsi berbasis kepulauan di sebelah barat Indonesia yakni

Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Bangka Belitung, memiliki masalah

tersendiri seperti masalah pasir. Diketahui bahwa ekspor pasir laut masih

terjadi dgn modus operasi baru (pasir laut/darat ditutupi oleh granit. Selain

24

Page 25: Na Ruu Prov. Kepulauan

itu terjadi tumpang tindih kewenangan penambangan antara pusat & daerah,

adanya kebijakan-kebijakan yang belum serasi, terjadinya manipulasi harga

pasir, manipulasi volume pasir yang dijual, dan hukum tidak ditegakkan.

Hal-hal tersebut sangat berimplikasi terhadap hilangnya sumber PAD,

hilangnya sumber pendapatan Pemerintah, hilangnya sumber pendapatan/

lapangan kerja masyarakat, dan menimbulkan dampak ekonomi dan politis di

Daerah bersangkutan (Masengi, ibid).

Oleh karena itu, diperlukan pemberian kewenangan atas wilayah pengelolaan

sumber daya kelautan dan perikanan kepada pemerintah di provinsi-provinsi

berbasis kepulauan sehingga pemerintahan di provinsi-provinsi berbasis

kepulauan memiliki peran yang lebih leluasa dan terfokus pada sumber daya

kelautan dan perikanan di wilayah perairan pedalaman dalam provinsi

berbasis kepulauan, dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyatnya.

Dari gambaran yang dikemukakan Lasabuda (2012) berikut ini:

25

Page 26: Na Ruu Prov. Kepulauan

menunjukkan bahwa perdagangan antar daerah terpusat di Jawa dan

Sumatera (ditandai sebagai Blok Utara), sedangkan perdagangan antar daerah

di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih relatif kecil

dan belum berkembang. Wilayah ini memerlukan percepatan pembangunan.

Selain itu gambaran di atas menyimpulkan adanya ketimpangan sosiasl,

ekonomi, dan budaya yakni: (1) 70% dari total uang Indonesia hanya beredar

di P. Jawa; (2) Perguruan Tinggi Kelas Dunia (UI, Binus, Pelita Harapan, IPB,

ITB, UNPAD, UGM, UNAIR, dan ITS) terdapat di P. Jawa. (3) Rumah Sakit

terbaik juga terdapat di P. Jawa. (4) Infrastruktur terbaik juga terdapat di

Jawa dan Bali. (Lasabuda, ibid)

Pada saat ini provinsi-provinsi berbasis kelautan memiliki peluang untuk

mengembangkan diri berdasar pada beberapa faktor yakni:

26

Page 27: Na Ruu Prov. Kepulauan

1. Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun

dunia, maka kebutuhan (demand) domestik maupun global terhadap SDA

& JASLING kelautan akan semakin meningkat.

2. SDA daratan Indonesia sudah menipis, dan SD. kelautan negara-negara

lain juga semakin terbatas, menempatkan SDA & JASLING kelautan

Indonesia sangat potensial sebagai keunggulan kompetitif bangsa.

3. Sekitar 35% penduduk Indonesia bekerja di –bidang ekonomi kelautan.

Sebab itu, bila bidang ekonomi kelautan maju, maka 35% rakyat

Indonesia yang lebih sejahtera (purchasing power tinggi) akan membeli

berbagai produk & jasa dari sektor-sektor lainnya. Artinya: memajukan

sektor-sektor lainnya.

4. Sebagian besar sektor-sektor ekonomi kelautan berbasis pada SDA

terbarukan (renewable resources). Oleh sebab itu, pembangunan

ekonomi kelautan juga menjamin pembangunan bangsa secara

berkelanjutan (sustainable development).

Sementara itu juga diperlihatkan Lasabuda bahwa sektor ekonomi kelautan

adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan,

dan/atau yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk

menghasilkan goods and services yang dibutuhkan umat manusia (Dahuri,

2003; Kildow, 2005).

Mencermati isu-isu terbaru di bidang kelautan (Lasabuda, ibid), berupa:

1. Peranan aquaculture, fishculture

2. Perubahan klimat dan naiknya permukaan laut.

3. Meningkatnya peranan coastal dan ocean economics.

27

Page 28: Na Ruu Prov. Kepulauan

4. Semakin berkembangnya prinsip co-management, baik antara pusat dan

daerah, antar sesame daerah, antar pemerintah dengan stakeholders,

maupun antara nasional dan regional-organizations.

5. Claim negara-negara atas continental margin di luar ZEE.

6. Berkembangnya konsep ICOM (Integrated Coastal and Ocean

Management).

7. Berkembangnya konsep LME (Large Marine Ecosystem) sebagai basis bagi

manajemen kelautan berdasar ekosistem.

8. Munculnya IMP (Introduced Marine Pests) seperti: Stripe Mussels, North

Pacific Star Fish.

9. Adanya perkembangan Marine Biotechnologi.

10. Berkembangnya riset-riset kelautan mengenai sumber kekayaan alam.

11. Hadirnya MPA (Marine Protected Areas)

12. Adanya Marine dan Eco tourism.

13. Adanya energi-energi baru seperti: otec, hydrothermal, arus dan ombak

dan lain-lain.

14. Instalasi dan anjungan lepas pantai yang tidak terpakai lagi.

15. Masalah-masalah kabel dan pipa bawah laut.

16. Masalah peninggalan-peninggalan budaya dan sejarah di dasar laut.

17. Kegiatan-kegiatan illegal di laut seperti penyelundupan barang dan

manusia, imigrasi gelap, kejahatan trans-nasional, bajak laut, terorisme di

laut, IUU Fishing, dan lain-lain.

18. Marine Environmental modification seperti coastal mining dan lain-lain.

19. Munculnya kekuatan-kekuatan baru di bidang kelautan yang saling

bersaing mencari resources dan pengamanan transportasi laut

28

Page 29: Na Ruu Prov. Kepulauan

Maka paradigma pembangunan yang berbasis daratan (pertanian-domestik,

wawasan monokultural yang terisolasi dan berdasar nasionalisme yang

eksklusif), perlu bergeser ke arah pembangunan berbasis kelautan

(Perdagangan antar pulau dan lintas lautan, wawasan multikultural yang kaya

interaksi budaya, dan berdasar nasionalisme yang inklusif).

Masalah spesifik bagi provinsi-provinsi berbasis kepulauan yang memiliki

beberapa pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga,

seperti di Provinsi Sulawesi Utara (kabupaten-kabupaten Kepulauan Talaud,

Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Sitaro), Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi

Bangka Belitung maupun di provinsi-provinsi lainnya memperlihatkan bahwa

di dalam wilayah provinsi berbasis kepulauan

1) ada pulau-pulau yang sangat strategis ditinjau dari aspek pertahanan dan

keamanan negara, adanya wilayah yang rentan terhadap intervensi

asing,

2) ada pulau-pulau yang karena letaknya diperbatasan, dimanfaatkan oleh

warga negara asing untuk melakukan kegiatan pengurasan sumber daya

laut dan perikanan (illegal fishing) dan trans-shipment.

3) Wilayah laut (secara turun temurun diakses masyarakat pulau) memiliki

potensi sumber daya alam yang sangat potensial dan relatif besar, namun

penduduknya miskin, termasuk daerah tertinggal, dan merupakan

wilayah rawan bencana.

4) Umumnya memiliki infrastruktur dasar dan sarana transportasi yang

sangat terbatas, dan prasarana-prasarana pelabuhan dan sarana

penunjang lainnya dalam kondisi tidak dapat digunakan.

29

Page 30: Na Ruu Prov. Kepulauan

3. Kesimpulan

Dengan demikian maka pemaknaan terhadap hak penguasaan Negara ini

secara rasional dapat juga diterapkan pada tingkat daerah di provinsi dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia, sepanjang penguasaan itu didelegasikan

kepada daerah dengan pemberlakuan asas desentralisasi asimetris. Oleh

karenanya, dalam era otonomi daerah yang antara lain ditandai dengan

tuntutan untuk pengakuan daerah berbasis kepulauan sebagai salah satu

bentuk kekhususan otonomi, maka kewenangan secara luas dalam

pengelolaan sumberdaya alam di darat maupun di laut di antara pulau-pulau

di dalam provinsi, merupakan sesuatu hal yang melekat dengan kekhususan

otonomi dimaksud.

30

Page 31: Na Ruu Prov. Kepulauan

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

1. Harmonisasi Hukum

Harmonisasi hukum mencakup penyesuaian peraturan perUndang-Undangan,

keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum

dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan

kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan

mengorbankan pluralisme hukum (Gandhi, 1995:30).

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman (dalam

Wargakusumah, dkk, 1997:37), memberikan pengertian harmonisasi hukum,

yakni sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisan hukum

tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis

maupun yuridis. Pengkajian terhadap rancangan peraturan perUndang-

Undangan, dalam berbagai aspek adalah untuk menjawab pertanyaan apakah

peraturan perundangan tertentu telah mencerminkan keselarasan dan

kesesuaian dengan peraturan perUndang-Undangan yang lain, hukum tidak

tertulis yang hidup dalam masyarakat, konvensi-konvensi dan perjanjian-

perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral yang telah

diratifikasi Indonesia.

Dengan demikian, harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang

ditujukan untuk mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang

31

Page 32: Na Ruu Prov. Kepulauan

bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk

merealisasikan keselarasan, kesesuaian, keserasian, keseimbangan di antara

asas-asas hukum, norma-norma dan lembaga-lembaga hukum di dalam

peraturan perUndang-Undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan

kerangka sistem hukum nasional. Harmonisasi merupakan ilmu, teknik

perancangan, seni penerapan metode dalam mencermati asas, norma, dan

pranata hukum dalam peraturan perUndang-Undangan, apakah ada konflik,

kontradiksi, tumpang tindih, kesenjangan atau disparitas (gap/disparity),

inkonsistensi, inkompatible (mismatch) dengan peraturan perUndang-

Undangan atau tidak, sehingga dapat diupayakan terwujudnya norma hukum

yang memiliki karakteristik 1) keterintegrasian (integration); 2) keteraturan

(regularity); 3) keutuhan (wholeness); 4) keterorganisasian (organization-

organized); 5) keterlekatan komponen satu sama lainnya (coherence); 6)

keterhubungan komponen satu sama lainnya (connectedness); dan 7)

kebergantungan komponen satu sama lainnya (interdependency).

Sering terlihat bahwa produk-produk hukum yang dihasilkan masih dirasakan

kurang sempurna. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya

sumberdaya manusianya, perkembangan teknologi yang sangat pesat ataupun

sarana dan prasarananya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah

koordinasi antar lembaga atau instansi yang melaksanakannya. Oleh

karenanya, faktor-faktor yang semestinya diperhatikan dalam pembentukan

hukum tertulis dalam koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di samping

substansi hukumnya sendiri harus mengakomodasi nilai-nilai filosofis,

sosiologis, dan yuridis, serta psiko-politis masyarakat. Hal ini dimaksudkan

agar produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan

32

Page 33: Na Ruu Prov. Kepulauan

masyarakat dan sesuai dengan teknis peraturan perUndang-Undangan yang

berlaku.

Di bidang hukum, seringkali ditemukan adanya suatu kondisi

ketidakharmonisan atau ketidaksinkronan antara satu peraturan perUndang-

Undangan dengan peraturan yang lain, baik yang sifatnya sederajat maupun

yang di bawahnya. Hal ini mungkin saja timbul karena beberapa sebab, antara

lain:

a. Adanya perbedaan antara rumusan peraturan dalam berbagai peraturan

perUndang-Undangan. Selain itu, jumlah peraturan yang makin besar

menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal peraturan

tersebut secara keseluruhan. Adagium yang menyebutkan bahwa semua

orang dianggap mengetahui semua hukum yang berlaku menjadi tidak

efektif.

b. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perUndang-Undangan

nasional dengan peraturan-peraturan tingkat daerah.

c. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perUndang-Undangan

dengan hukum kebiasaan, hukum adat, dan/atau hukum agama.

d. Adanya perbedaan pengaturan antara Undang Undang dengan peraturan

pelaksanaannya, antara Peraturan Daerah dengan peraturan

pelaksanaannya, misalnya biasa dikenal Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)

atau Petunjuk Teknis (Juknis) yang sifatnya kebijakan, yang dalam

prakteknya mungkin saja bertentangan dengan peraturan perUndang-

Undangan yang akan dilaksanakan.

e. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perUndang-Undangan

dengan peraturan-peraturan lain atau yurisprudensi.

33

Page 34: Na Ruu Prov. Kepulauan

f. Kebijakan-kebijakan antar instansi pemerintah dan pemerintah daerah

yang saling bertentangan serta adanya perbedaan antarkebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

g. Adanya rumusan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang

kurang tegas atau jelas dan mengundang perbedaan tafsir.

h. Adanya benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena

pembagian wewenang yang tidak sistimatis dan jelas.

Sebagai konsekuensi logis dari pemahaman inilah, maka perumusan

rancangan undang undang yang mengatur tentang provinsi berbasis

kepulauan harus secara ”tailor made” disusun dalam kerangka keharmonisan

tersebut. Pemahaman tersebut diperlukan untuk dapat menghasilkan suatu

peraturan perUndang-Undangan yang tidak kontroversial karena dilandaskan

pada penyelarasan dan penyerasian hukum yang optimal.

Upaya harmonisasi dalam kaitan penyusunan Rancangan Undang Undang

mengenai daerah kepulauan, dimaksudkan mengatasi hambatan hukum yang

kemungkinan timbul di kemudian hari karena adanya:

a. Tumpang tindihnya kewenangan. Berbagai peraturan perUndang-

Undangan umumnya telah memberikan mandat hukum kepada para

pemangku kepentingan untuk melaksanakan tugas-tugas pembangunan.

Oleh karenanya, perumusan isi peraturan-peraturan daerah dimaksud

harus diupayakan untuk mengatasi duplikasi berbagai kewenangan ini

dan mengubahnya menjadi arena kerjasama kelembagaan yang

menguntungkan.

34

Page 35: Na Ruu Prov. Kepulauan

b. Benturan/konflik kepentingan. Para pemangku kepentingan

pembangunan memiliki kepentingan yang berbeda-beda sesuai dengan

tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Perbedaan ini akan

mempengaruhi cara pandang pemangku kepentingan terhadap

permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

di Indonesia. Dalam kaitan inilah Undang Undang Provinsi Kepulauan

diharapkan mampu mencegah benturan kepentingan, dan dapat menjadi

sarana penyatuan pandangan, serta mengubah potensi konflik menjadi

arena kerjasama yang konstruktif antar kepentingan yang berbeda

tersebut.

Pada saat ini ada beberapa peraturan yang secara substansial sangat erat

kaitannya dengan provinsi berbasis kepulauan, yaitu :

a. UUD NRI Tahun 1945: Pasal 1 jo Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18A

ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 25A, Pasal 33 ayat (3), 28A-28J;

b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United

Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS);

c. Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996.

Di samping Peraturan PerUndang-Undangan yang telah disebutkan, masih

terdapat juga sejumlah peraturan perUndang-Undangan sektoral juga harus

diperhatikan dalam kaitan dengan perumusan norma tentang

penyelenggaraan pemerintahan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-

Undang tentang Provinsi Kepulauan.

35

Page 36: Na Ruu Prov. Kepulauan

2. Menelusuri Berbagai Produk Aturan

Dalam rangka mendorong upaya-upaya yang sistematis dalam merespon

keinginan adanya provinsi berbasis kepulauan sebagai satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus serta desain penyelenggaraannya, maka

diperlukan sebuah Undang-Undang. Pembentukan peraturan perUndang-

Undangan pada umumnya, termasuk pembentukan Undang-Undang,

selayaknya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yuridis.

Adanya sejumlah instrumen hukum yang dapat dijadikan pertimbangan

sebagai landasan pembentukan Undang-Undang ini, yaitu mencakup antara

lain:

a. landasan konstitusional,

b. komitmen HAM

c. deklarasi PBB yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

d. serta peraturan perUndang-Undangan lainnya.

Eksistensi Provinsi Berbasis Kepulauan dimaksud sesungguhnya telah

memiliki landasan yuridis dalam sistem hukum Indonesia, yaitu:

Pertama, dalam UUD NRI Tahun 1945.

Ada sejumlah pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dapat dijadikan sebagai

landasan yuridis bagi adanya Provinsi Berbasis Kepulauan, yaitu:

36

Page 37: Na Ruu Prov. Kepulauan

a. Pasal 1 dan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945

Negara Republik Indonesia telah menentukan pilihan pada negara kesatuan

sebagai bentuk negaranya. Hal ini tersirat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun

1945 Alinea IV yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk

suatu pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia…”.

Selanjutnya gagasan negara kesatuan tersebut dirumuskan secara tegas dalam

Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan bunyi “Negara Indonesia ialah

negara kesatuan yang berbentuk Republik”.

Sebagai konsekuensi pengaturan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan,

maka lebih lanjut diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tentang

Pemerintahan Daerah, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(a)Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi

dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap

propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang

diatur dengan Undang-Undang.

(b) Pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan,

(c)Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum.

(d) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis.

37

Page 38: Na Ruu Prov. Kepulauan

(e)Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat.

(f) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas

pembantuan.

(g)Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

Undang-Undang.

Pengaturan dalam Pasal 1 jo Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 ini menganut

beberapa prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu :

(a) Sebagai negara kesatuan, Indonesia dibagi-bagi atas daerah provinsi dan

daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota.

(b) Pemerintahan Daerah terdiri dari dua tingkatan, yaitu Pemerintahan

Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten, dan Kota.

(c) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berpijak pada asas otonomi dan

tugas pembantuan.

(d) Masing-masing Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota memiliki

DPRD, yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum, serta

setiap Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipimpin oleh

Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokratis.

(e) Setiap Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali ditentukan lain oleh Undang Undang mengenai urusan

Pemerintah Pusat.

(f) Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, setiap pemerintahan

daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan

lainnya.

38

Page 39: Na Ruu Prov. Kepulauan

Berkaitan dengan pembagian daerah dalam negara kesatuan Indonesia harus

dipahami bahwa pembagian dimaksud dilakukan terhadap wilayah daratan

dan laut, sehingga pemerintahan provinsi dan kabupaten dan kota itu

memiliki otoritas atas wilayah daratan dan juga wilayah laut bilamana satuan

pemerintahan itu bersentuhan/meliputi wilayah laut.

b. Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa, ”hubungan

wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur

dengan undang undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah.”

Kekhususan dan keragaman daerah sebagaimana dimaksudkan di atas

seyogyanya juga mengandung pengertian tentang kekhususan dan keragaman

daerah berbasis kepulauan.

c. Pasal 18A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa, ”hubungan

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan

dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang- undang”.

Salah satu hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang harus

diperhatikan adalah pemanfaatan sumberdaya alam laut pada daerah-daerah

berbasis kepulauan. Pengakuan pemerintah pusat terhadap kewenangan dan

pemanfaatan sumberdaya dimaksud diarahkan pada upaya mensejahterakan

rakyat di kawasan tersebut dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan

39

Page 40: Na Ruu Prov. Kepulauan

dan keselarasan. Hal ini berkonsekuensi juga pada pengakuan otonomi

khusus Daerah Kepulauan.

d. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ini menegaskan bahwa, “Negara

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang Undang”.

Pengakuan tentang bersifat khusus atau bersifat istimewa tersebut belum

dijabarkan lebih rinci sebagai acuan untuk pembentukan daerah yang bersifat

istimewa dan khusus.

e. Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945

Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 ini menegaskan bahwa, “Negara Kesatuan

Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri Nusantara

dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang

undang.” Pemaknaan dari ketentuan ini pada hakekatnya menunjukkan

realitas bahwa, wilayah Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan

gugusan pulau-pulau kecil yang disatukan oleh hamparan laut yang sangat

luas, yang terbentang dari Sabang sampai ke Merauke dan dari Miangas

sampai ke Rote. Konsekuensi dari legitimasi negara Indonesia sebagai Negara

Kepulauan seyogyanya berdampak juga kepada legitimasi yuridis formal

kepada provinsi berbasis kepulauan sebagai provinsi yang memiliki otonomi

khusus.

40

Page 41: Na Ruu Prov. Kepulauan

f. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 ini menegaskan bahwa, “Bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Hal ini berarti, Negara diharuskan untuk bersikap bijak dalam mengatur

kekayaan alam yang ada sehingga semua masyarakat Indonesia, baik yang

berdomisili di wilayah daratan dan wilayah kepulauan harus

memanfaatkannya secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan jasmani

dan rohaninya.

g. Pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945

Pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945 ini mengatur tentang Hak Asasi Manusia.

Secara eksplisit, perjuangan untuk mengakomodasi kehendak adanya provinsi

berbasis kepulauan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan pembentukan Rancangan Undang-Undang

tentang Provinsi Berbasis Kepulauan, bermuara pada terakomodasinya Hak

Asasi Manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28C ayat (1) yang

menentukan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui

pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan

memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,

demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat

manusia”. Pada pasal 28C ayat (2) ditentukan bahwa: “Setiap orang berhak

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Sedangkan pada Pasal 28H

ayat (1) ditentukan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan

41

Page 42: Na Ruu Prov. Kepulauan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; dalam pasal 28H ayat

(3) ditentukan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.

Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United

Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS) pada dasarnya harus

mendapat perhatian dalam pengaturan pemerintahan daerah terkait dengan

penetapan kewenangan daerah otonom pada wilayah laut. Salah satu hal yang

diatur dalam UNCLOS 1982 adalah prinsip Negara Kepulauan (archipelagic

states) dan perairan negara-negara demikian yang diperjuangkan oleh

Indonesia sejak Deklarasi Djuanda 1957.

Negara Kepulauan menurut UNCLOS adalah, “suatu negara yang seluruhnya

terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain,”

(Pasal 46 ayat 1). Wujud suatu Negara Kepulauan ditentukan berdasarkan

penentuan garis pangkal lurus kepulauan (Archipelagic Straight baseline)

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982:

“Suatu Negara Kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang

menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar

kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian

termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara

daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu

berbanding satu dan sembilan berbanding satu”.

42

Page 43: Na Ruu Prov. Kepulauan

Penarikan garis pangkal lurus kepulauan di atas dilakukan bagi Negara

dengan karakteristik kepulauan. Ketentuan tersebut tidak menjadikan

penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan sebagai suatu kewajiban,

melainkan hanya sebagai suatu pilihan.

Negara Kepulauan mempunyai kebebasan untuk menetapkan cara penarikan

garis pangkal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi PBB

tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982. Garis pangkal lain dalam

konteks ini, pada dasarnya diberlakukan pada negara yang tidak memiliki

karakteristik kepulauan yaitu penarikan garis pangkal biasa (normal baseline)

atau garis pangkal lurus (straight baseline) sebagaimana dimaksud pada Pasal

5 dan Pasal 7 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 5 menegaskan

bahwa, “kecuali ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal biasa untuk

mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai

sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh negara

pantai tersebut.” Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menegaskan bahwa “Di tempat-

tempat di mana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam

atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara

penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat

dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial

diukur”.

Pada pasal 3-7 Konvensi PBB tentang Hukum Laut tertanggal 10 Desember

1982 tersebut di atas, juga mengatur tentang batas laut teritorial tidak

melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Dimaksudkan dengan garis

pangkal biasa (normal) adalah garis pangkal yang ditarik pada pantai pada

waktu air laut surut dengan mengikuti lekukan-lekukan pantai.

43

Page 44: Na Ruu Prov. Kepulauan

Namun demikian, dalam hal kepulauan yang terletak pada atol-atol atau

kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkal itu

adalah garis pasang surut pada sisi karang ke arah laut sebagaimana yang

ditunjukkan oleh tanda yang jelas pada peta-peta yang secara resmi diakui

oleh negara pantai.

Garis pangkal lurus dapat dipakai sesuai dengan keadaan-keadaan yang

diuraikan dalam Pasal 7 (bandingkan dengan Pasal 4 dari Konvensi 1958),

yang sebegitu jauh merupakan perwujudan prinsip-prinsip yang diakui dalam

Anglo-Norwegian Fisheries Case. Garis-garis demikian yang menghubungkan

“titik-titik yang tepat” dapat ditarik untuk “tempat-tempat” di mana garis

pantai menjorok ke dalam dan menikung ke dalam atau apabila terdapat

suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya.

Dalam Konvensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958, ternyata Garis Pangkal

Lurus ini dikukuhkan sebagai salah satu Garis Pangkal yang dapat diterapkan

dalam pengukuran lebar laut teritorial, di samping ini garis pangkal normal.

Hal ini dimuat dalam Pasal 4-5 Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona

Tambahan. Dengan isi dan jiwa yang sama seperti Konvensi Jenewa 1958

tersebut, dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Garis Pangkal Lurus inipun juga

masih tetap diakui sebagai salah satu Garis Pangkal dalam pengukuran lebar

Laut Teritorial (Pasal 7).

Konvensi Hukum Laut 1982 menerapkan “prinsip pembedaan” dalam

menentukan lebar laut teritorial suatu negara sebagaimana dimaksudkan di

atas, melalui penerapan ketiga cara penarikan garis pangkal untuk

44

Page 45: Na Ruu Prov. Kepulauan

menentukan lebar laut teritorial, sehingga dapat mencerminkan adanya

keadilan dalam masyarakat internasional.

a) Bagi negara-negara dengan karakteristik kontinental dipergunakan garis

pangkal biasa (normal baseline) untuk mengukur lebar laut territorial.

b) Bagi negara-negara kontinental dengan karakteristik teluk yang lebar

atau terdapat pulau-pulau di depan pantainya dipergunakan garis

pangkal lurus (straight baseline) untuk mengukur lebar laut teritorialnya,

c) Sedangkan bagi negara-negara dengan karakteristik kepulauan dapat

dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight

baseline) untuk mengukur lebar laut teritorial.

Sebagaimana dikedepankan di atas, dalam menentukan batas wilayah

provinsi atau kabupaten/kota, yang menggunakan garis lurus kepulauan

dengan cara melingkari pulau sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006, justru mengosongkan jangkauan

wewenang pemerintah dan masyarakat di provinsi berbasis kepulauan atas

sumber daya alam yang berada di laut di sisi-sisi dalam antar pulau.

Bertolak dari prinsip keadilan pula, maka penentuan batas wilayah provinsi

dilakukaan dengan menarik garis lurus kepulauan pada sisi luar pulau yang

berada dekat garis perhinggan provinsi.

Dengan demikian maka wilayah laut di luar 12 mil laut dari batas perhinggaan

provinsi berbasis kepulauan, yang dihitung dari sisi luar (out ward position)

dari pulau yang terdekat dengan garis perhinggaan, menjadi wilayah laut yang

wewenang pengelolaannya berada di tangan Pemerintah.

Makna perbedaan penarikan garis-garis pangkal sedemikian itu dalam

lingkup Hukum Internasional memperlihatkan penerapan prinsip keadilan

45

Page 46: Na Ruu Prov. Kepulauan

yang lebih substantif berdasarkan karakter wilayah. Oleh karena itu pula

berdasarkan prinsip keadilan, melalui pemahaman keserasian, keselarasan

dan keseimbangan antara Pusat dan Daerah, maka wilayah laut dalam daerah-

daerah provinsi berbasis kepulauan pun layak berada dalam tangan

pemerintah daerah dan masyarakatnya. Sedangkan wilayah laut selebihnya

berada dalam pengelolaan pemerintah.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 pada dasarnya

merupakan produk hukum yang menggantikan Undang-Undang Nomor

4/Prp/1060 mengenai Perairan Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1996 juga menganut prinsip pembedaan sebagaimana dalam UNCLOS 1982

yang telah menjadi Hukum Nasional Indonesia berdasarkan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 1985.

Beranjak dari ulasan-ulasan sebelumnya, dapatlah disimpulkan bahwa secara

konstitusional telah terkandung prinsip-prinsip penyelenggaraan

pemerintahan daerah dalam UUD NRI Tahun 1945. Prinsip-prinsip dimaksud

antara lain memberikan ruang bagi pengembangan daerah-daerah khusus dan

istimewa (termasuk mempertimbangkan realitas geografis dan sosial sebagai

daerah kepulauan).

Namun prinsip dimaksud belum dijabarkan secara tegas dan jelas dalam

ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Demikian pula pengaturan

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan pembagian

kewenangan yang concurrent secara proporsional dengan

46

Page 47: Na Ruu Prov. Kepulauan

mempertimbangkan asas ekternalitas. Namun demikian belum ada ketentuan

yang mengatur kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi penyelenggaraan

pemerintahan daerah kepulauan.

47

Page 48: Na Ruu Prov. Kepulauan

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

1.1 Landasan Filosofis Provinsi Berbasis Kepulauan

Seperti dikemukakan di atas, daerah-daerah yang berciri atau berkarakter

khusus kepulauan adalah daerah-daerah yang merupakan bagian integral dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana juga dikemukakan di atas bahwa berlandaskan Pasal 18 ayat (1)

UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi;

daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Ada dua karakter

utama yang muncul daerah-daerah daerah yakni daerah dengan ruang

wilayah atau teritori yang terdiri dari wilayah utama daratan dengan atau

tanpa pulau kecil disertai perairan pedalaman di darat maupun di laut, dan

provinsi dengan ruang wilayah atau teritori yang terdiri dari satu atau

beberapa pulau sedang dan kecil sebagai daratan-daratan terpisah dengan

sebagian besar perairan pedalaman berada di laut.

Jadi, dalam lingkup itulah terdapat ciri:

(1) ruang wilayah atau teritori yang terdiri dari wilayah utama daratan (main

land) sebagai bagian terbesar dengan atau tanpa pulau-pulau kecil

termasuk perairan pedalaman (baik di darat maupun di laut) di

sekitarnya;

(2) ruang wilayah yang terdiri dari satu atau beberapa pulau sedang dan

kecil sebagai daratan-daratan terpisah (isle land) beserta perairan

48

Page 49: Na Ruu Prov. Kepulauan

pedalaman di darat maupun di laut di antara pulau-pulau, perairan mana

menghubungkan pulau satu dengan pulau lainnya.

Ruang-ruang wilayah yang didominasi daratan, maupun ruang wilayah yang

didominasi laut di atas, dengan sendirinya merupakan wilayah yang di

atasnya terletak wewenang-wewenang oleh pemerintahan pada provinsi-

provinsi yang bersangkutan.

Penyelenggaraan wewenang pemerintahan di dalam ruang wilayah

didominasi daratan (main land) dengan atau tanpa pulau-pulau kecil yang

menyertainya, berlangsung secara penuh di dalam batas-batas ruang wilayah

yang geografinya ditentukan dalam Undang-Undang pembentukan provinsi-

provinsi yang bersangkutan.

Sedangkan penyelenggaraan wewenang pemerintahan di dalam ruang-ruang

wilayah atau teritori yang didominasi lautan, terdiri dari sejumlah pulau

sedang maupun kecil beserta perairan di laut yang berada di antara pulau-

pulau, tidak berlangsung secara penuh di dalam batas-batas ruang wilayah

yang geografinya ditentukan dalam Undang-Undang pembentukan provinsi.

Artinya, penyelenggaraan wewenang daerah kepulauan hanya ada di atas

ruang wilayah daratan pulau-pulau beserta sedikit perairan laut pedalaman

yang ada di antara pulau-pulau dalam daerah kepulauan itu. Padahal batas-

batas geografi daerah kepulauan disebutkan dalam Undang-Undang tentang

pembentukan masing-masing provinsi.

49

Page 50: Na Ruu Prov. Kepulauan

Dalam kajian yuridis di atas ternyata bahwa konsekuensi dari legitimasi

negara Indonesia sebagai konstruksi Negara Republik Indonesia yang adalah

juga sebagai Negara Kepulauan, selayaknya berdampak juga kepada legitimasi

yuridis formal kepada daerah kepulauan sebagai provinsi yang memiliki

otonomi khusus. Kelayakan ini dapat dibenarkan secara filsafati menurut

falsafah Pancasila.

Dari sila KeTuhanan Yang Maha Esa

Eksistensi atau keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tegak

berdiri sampai saat ini adalah atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa

Kehadirannya dipertahankan melalui perjuangan seluruh rakyat Indonesia

dan selanjutnya atas kerja keras bangsa bersama pemimpin-pemimpinnya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia hadir di atas dan pada geografi wilayah

kepulauan kepulauan dengan ciri-ciri pulau-pulau besar dan ribuan gugus

kepulauan serta perairan laut di antara pulau-pulau maupun sekeliling luar

pulau-pulau, yang membentuk kemajemukan ciri geografi. Kemajemukan ciri

geografi kepulauan besar dan kecil yang membentang dari Merauke di timur

sampai ke Pulau Sabang di barat, dan dari Pulau Rote di selatan sampai Pulau

Miangas di utara, serta perairan laut di antara dan disekelilingnya, merupakan

ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang dianugerahkan kepada bangsa

Indonesia. Ruang-ruang wilayah itulah yang disebut sebagai ruang wilayah

yang didominasi oleh daratan maupun ruang wilayah yang didominasi oleh

perairan laut. Pemikiran arif para pendiri bangsa yang membagi-bagi Negara

Kesatuan Republik Indonesia ke dalam daerah-daerah provinsi, kemudian

daerah-daerah provinsi dibagi ke dalam daerah kabupaten dan daerah kota,

memberi konsekuensi logis pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah-

50

Page 51: Na Ruu Prov. Kepulauan

daerah provinsi, kabupaten dan kota. Penyelenggaraan pemerintahan

diselenggarakan di atas daerah provinsi bahkan daerah kabupaten dan kota

yang ada pada masing-masing ruang wilayah, baik dalam ruang wilayah yang

didominasi daratan maupun ruang wilayah yang didominasi lautan. Arti dari

eksistensi ruang wilayah didominasi daratan maupun ruang wilayah

didominasi lautan adalah anugerah Tuhan Yang Esa, adalah juga sesuatu yang

prima facie ataupun by nature terbentuk jauh sebelum hadirnya NKRI.

Ciri geografi sedemikian sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, bukanlah

satu-satunya yang diperhatikan oleh para pemimpin bangsa. Tuhan Yang

Maha Kuasa pun menganugerahkan keragaman ciri sosial, budaya, di atas

masing-masing ruang wilayah. Hal sedemikian inilah yang membenarkan

pengaturan pemerintahan di Yogyakarta melalui Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogyakarta; di Nanggroe

Aceh Darussalam melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta

melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia, dan di Papua melalui Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua.

Bertolak dari pemikiran sedemikian itulah, maka dari sila KeTuhanan Yang

Maha Esa terdapat pembenaran untuk memperlakukan atau menjustifikasi

adanya ruang-ruang wilayah yang didominasi oleh laut sebagai daerah-

51

Page 52: Na Ruu Prov. Kepulauan

daerah kepulauan, di dalam hal menyelenggarakan pemerintahannya disertai

kewenangan-kewenangan yang dilekatkan kepadanya.

Dari sila Persatuan Indonesia

Makna sila Persatuan Indonesia dalam Pancasila, dengan semboyan Bhineka

Tunggal Ika meneguhkan arti keragaman atau kemajemukan ciri itu. Sila

Persatuan Indonesia ini merupakan dasar kokoh yang melihat, mengakui dan

meyustifikasi kenyataan adanya ruang-ruang wilayah yang didominasi

daratan maupun adanya ruang wilayah yang didominasi lautan. Baik ruang

wilayah yang didominasi daratan maupun ruang wilayah yang didominasi

lautan adalah ruang-ruang wilayah yang merupakan satu kesatuan.

Pengaturan ciri wilayah berbasis kepulauan di samping wilayah-wilayah yang

berciri utama daratan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan serentak dengan itu pula diterbitkan

pengaturan lewat Undang-Undang terhadap beberapa daerah seperti Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Jogyakarta; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang

Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota

Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,

seluruhnya tidak keluar dari makna Persatuan Indonesia.

Dengan demikian dari dimaknai sila Persatuan Indonesia dalam Pancasila,

adanya pengaturan tentang provinsi berbasis kepulauan di dalam Undang-

Undang tentang Provinsi Kepulauan justru memperkokoh makna persatuan

dan kesatuan Indonesia.

52

Page 53: Na Ruu Prov. Kepulauan

Terlepas dari adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pengaturan terhadap daerah-daerah tertentu seperti

dikemukakan di atas, memberi arti adanya pengakuan terhadap keragaman

kondisi di Indonesia, yang justru mengokohkan makna nasionalisme. Dengan

demikian, kehendak yang didasarkan pada pemikiran diperlukannya

pengaturan lewat Undang-Undang mengenai pemerintahan di provinsi

berbasis kepulauan adalah kehendak dan pemikiran yang tidak keluar dari

makna persatuan Indonesia bahkan makna nasionalisme. Keragaman ciri

sebagai sesuatu yang prima facie ataupun by nature telah terbentuk jauh

sebelum hadirnya NKRI, tidaklah memecahkan persatuan Indonesia.

Dari Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dengan menerapkan makna sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia di dalam Pancasila, maka sepatutnya penyelenggaraan wewenang

pemerintahan di ruang wilayah yang didominasi lautan dilangsungkan

(berkonsentrik) di atas ruang wilayah yang geografisnya ditetapkan dalam

Undang-Undang pembentukan provinsi yang bersangkutan, sama seperti

penyelenggaraan wewenang pemerintahan di ruang wilayah yang didominasi

daratan, yang geografinya juga disebut dalam Undang-Undang pembentukan

provinsi yang bersangkutan.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia di dasarkan pada hikmat dan

kebijaksanaan atau berdasar kebajikan (by virtue) dalam memperlakukan

pemerintah dan rakyat di dalam ruang wilayah yang secara geografis maupun

kondisi sosial budaya yang sangat beragam.

53

Page 54: Na Ruu Prov. Kepulauan

Penyelenggaraan wewenang pemerintahan di atas ruang yang didominasi

daratan maupun pada ruang wilayah yang didominasi lautan patut

diselenggarakan secara berkeadilan dan berkeseimbangan atau bijaksana

berdasar kebajikan karena setiap manusia atau masyarakat yang berada di

dalam tiap kategori ruang wilayah, memiliki kedudukan yang sama. Dengan

demikian masyarakat bersama pemerintah di provinsi berbasis kepulauan

seharusnya memiliki akses penuh di atas geografi yang ditetapkan dalam

Undang-Undang pembentukan provinsi yang bersangkutan, sama seperti yang

diberlakukan terhadap masyarakat bersama pemerintah di atas geografi

wilayah kategori 1 yang memiliki akses penuh atas geografi daratan yang luas,

bahkan termasuk perairan pedalaman di sekitarnya.

Menghindari ketidakadilan terhadap masyarakat dan pemerintah dan di

provinsi berbasis kepulauan, maka masyarakat dan pemerintah di pulau-

pulau dalam lingkup provinsi kepulauan perlu memperoleh akses atas

sejumlah besar ruang wilayah atau teritori di perairan kepulauan Jadi,

hakekat provinsi berbasis kepulauan berarti memberikan secara adil,

berdasarkan hikmat dan kebajikan, proses atau cara-cara bertindak atau

bereaksi secara tertentu dalam hubungan dengan manusia (masyarakat dan

pemerintah) dalam ruang wilayah kategori 2, maupun dalam hubungan

dengan segala sesuatu dalam arti ekonomi (antara lain sumber daya alam),

relasi-relasi sosial, budaya, sipil maupun politik.

Keadilan yang dimaksud adalah tidak mengosongkan atau mengurangi

wewenang masyarakat dan pemerintah provinsi berbasis kepulauan dalam

54

Page 55: Na Ruu Prov. Kepulauan

mengelola sumber daya alam di dalam ruang wilayah kategori 2. Jadi,

masyarakat maupun pemerintah provinsi tetap memiliki wewenang

mengelola sumber daya lam yang ada di daratan (pulau-pulau) maupun

perairan laut di sisi dalam antar semua pulau yang ada di dalam ruang

wilayah kategori 2.

Dari Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan

Kehendak adanya pengaturan provinsi berbasis kepulauan melalui Undang-

Undang yang dibentuk untuk itu merupakan aspirasi dari berbagai komponen

masyarakat  dari 7 provinsi dengan memperhatikan masukan dan saran-saran

dari 3 provinsi yang berbasis kepulauan masing-masing Provinsi Bangka

Belitung, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui

Focus Group Discussion ( FGD ). Sorotan  kajian  meliputi (1)  memberdayakan

dan mengangkat masyarakat di daerah kepulauan dari kemiskinan dan

kemelaratan, (2) memberi perhatian pada perbedaan karakteristik daerah

kepulauan dan daerah yang dominan daratan, (3) disparitas pembangunan

antara provinsi yang daratannya lebih luas dengan provinsi yang luas

wilayahnya didominasi oleh laut, (4) perlu adanya perlakuan khusus pada

provinsi berbasis kepulauan dengan menekankan jawaban atas persoalan:

bagaimana memperhitungkan formulasi anggaran untuk daerah-daerah yang

berkarakteristik kepulauan dan (5 ) pengelolaan provinsi berbasis kepulauan

masih terbatas pada pengelolaan sumber-sumber daya alam di pulau-pulau

tertentu. Adalah kehendak rakyat di provinsi-provinsi berbasis kepulauan

untuk adanya Undang-Undang yang memberikan perlakuan khusus pada

55

Page 56: Na Ruu Prov. Kepulauan

provinsi berbasis kepulauan sebagai perUndang-Undangan yang tidak

bertentangan dengan UUD NRI TAHUN 1945.

Masyarakat di provinsi-provinsi berbasis kepulauan memahami sepenuhnya

adanya visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam

Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Masyarakat di

provinsi-provinsi berbasis kepulauan pun menyadari bahwa visi

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi adalah´Mewujudkan

Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur.

Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah terdapat ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) yang menentukan

bahwa kewenangan untuk mengola sumberdaya di wilayah laut

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 mil laut diukur dari

garis pantai kea rah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan

untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan dari wilayah

kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Ketentuan pasal tersebut

membuat ketentuan Pasal 18 ayat (4) ini isinya bertentangan dengan

makna Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam wilayah NKRI

terdapat kekosongan pengelolaan wilayah oleh daerah-daerah

kepulauan.

Kondisi ini telah menyebabkan ketimpangan dalam pembangunan

dibeberapa daerah khususnya daerah kepulauan, yang memiliki wilayah

laut yang luas.

56

Page 57: Na Ruu Prov. Kepulauan

Masyarakat menyadari keterkaitan ekologis antara darat (pulau-pulau kecil

yang ditempatinya) dengan laut di sekitarnya bahkan yang mengantarai

pulau-pulau di dalam lingkup provinsi, dimana laut dan darat secara

ekosistem tidak dapat dipisahkan, dan dipandang  sebagai satu kesatuan yang

utuh dimana sistem pengelolaan, pemanfaatan dan pengamanan serta 

pelestarian merupakan tanggungjawab semua komponen masyarakat

termasuk pemerintah atau penguasa di daerah kepulauan;

Di lain pihak, masyarakatpun menghendaki adanya perlindungan terhadap 

kesatuan masyarakat hukum adat dengan memeprhatikan nilai-nilai dan

prinsip-prinsip kearifan lokal yang terdapat dalam Hukum adat dan adat

istiadat  yang hidup dalam mensyarakat adat. 

Masyarakat di provinsi-provinsi berbasis kepulauan menyadari bahwa seiring

dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia, maka

kebutuhan (demand) domestik maupun global terhadap SDA & Jasa

Lingkungan Kelautan akan semakin meningkat.

SDA daratan Indonesia sudah menipis, dan SDA kelautan negara-negara lain

juga semakin terbatas. Hal itu menempatkan SDA & Jasa Lingkungan Kelautan

Indonesia sangat potensial sebagai keunggulan kompetitif bangsa, khususnya

dalam wilayah laut sebagai perairan pedalaman yang berada dalam geografi

daerah kepulauan.

Selain itu, sekitar 35% penduduk Indonesia bekerja di bidang ekonomi

kelautan. Sebab itu, bila bidang ekonomi kelautan maju, maka 35% rakyat

Indonesia akan lebih sejahtera (purchasing power tinggi) dan akan membeli

57

Page 58: Na Ruu Prov. Kepulauan

berbagai produk & jasa dari sektor-sektor lainnya. Artinya: memajukan

sektor-sektor lainnya. Sebagian besar sektor-sektor ekonomi kelautan

berbasis pada SDA terbarukan (renewable resources). Oleh sebab itu,

pembangunan ekonomi kelautan di provinsi-provinsi berbasis kelautan juga

menjamin pembangunan bangsa secara berkelanjutan (sustainable

development). Hal ini disebabkan sektor ekonomi kelautan adalah kegiatan

ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan/atau yang

menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan

goods and services yang dibutuhkan umat manusia.

Kehendak masyarakat untuk adanya pengaturan terhadap provinsi berbasis

kepulauan didasarkan pada kehendak yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan. Disini letak makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan.

Dari Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kemampuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah kepulauan

lebih dapat difokuskan pada penetapan kebijakan bagi kesejahteraan rakyat

secara umum, khususnya di daerah kepulauan. Contoh kebijakan untuk

meningkatkan dan mengembangkan sarana dan prasarana infrastruktur

wilayah; kebijakan untuk meningkatkan fungsi kawasan pulau-pulau kecil

termasuk pulau-pulau di perbatasannegara; kebijakan untuk meningkatkan

fungsi kawasan rawan bencana alam, khususnya di pulau-pulau; kebijakan

untuk meningkatkan potensi, sumber daya, aksesibilitas pemasaran produksi

dan kualitas sumber daya manusia di bidang kelautan, perikanan, pariwisata

dan pertanian; serta kebijakan meningkatkan dan melestarikan fungsi

58

Page 59: Na Ruu Prov. Kepulauan

lingkungan hidup, adalah kebijakan-kebijakan yang bertumpu pada

kebutuhan provinsi.

Dengan demikian penanganan pembangunan tidak akan bersifat parsial dan

dapat ditangani secara terpadu dan terintegrasi oleh pemerintah provinsi

berbasis kepulauan.

Mengatur secara khusus penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan

akan merupakan kenyataan adanya keberpihakan pemerintah dalam

pembangunan dan pengembangan wilayah kepulauan antarnegara di daerah

kepulauan sebagai halaman depan NKRI, sehingga dapat mengatasi

kesenjangan kesejahteraan masyarakat di provinsi yang memiliki daratan

yang luas dengan daerah kepulauan (aquatic), termasuk mengatasi

ketidakseimbangan penyediaan sarana dan prasarana wilayah serta berbagai

pelayanan publik.

Makna adil dan beradab bagi bangsa Indonesia akan tampak pada cara

berpikir dan pola pembuatan UU yang mengakomodasikan aspek-aspek

konkrit dalam masyarakat dan wilayahnya, dalam keseimbangan antara

wilayah-wilayah yang memiliki daratan yang dominan dengan wilayah-

wilayah yang memiliki lautan yang lebih dominan.

Pokok-pokok di atas itulah yang menjadi landasan filosofis berdasarkan

Pancasila mengenai perlunya Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan.

1.2 Landasan Sosiologis Daerah Kepulauan

59

Page 60: Na Ruu Prov. Kepulauan

Kekhususan dalam bentuk ketetentuan tersebut di atas, merupakan dasar

bagi penguatan (to strengthening) kemampuan masyarakat dan pemerintah di

daerah kepulauan. Hasil-hasil sumber daya alam di dalam wilayah laut

pedalaman pada sisi dalam antar pulau, merupakan sumber yang memenuhi

kemaslahatan masyarakat di dalam daerah kepulauan maupun terhadap

masyarakat Indonesia seluruhnya.

Kelembagaan adat yang masih ada sampai saat ini dan masih berfungsi,

merupakan lembaga-lembaga yang dikenal dengan baik oleh masyarakat dan

pemerintah masing-masing daerah kepulauan. Lembaga-lembaga adat

sedemikian pada hakekatnya memiliki kapasitas untuk didinamisasikan bagi

kehidupan masyarakat dalam daerah kepulauan. Kerjasama di bidang

perekonomian atau usaha yang dilakukan masyarakat di pulau-pulau, yang

saat ini dilakukan secara tradisional dan dalam skala kecil dan menengah,

dapat didinamisasikan menjadi kelompok kerja sama dalam bidang usaha

yang lebih besar. Pemerintah Daerah kepulauan mengenal dengan baik

kelompok-kelompok kerjasama yang ada pada masyarakat di lingkup masing-

masing. Praktek-praktek yang telah mentradisi dalam masyarakat di lingkup

kepulauan, dapat menjadi locus of power yang masih berguna untuk masa

depan. Cara sedemikian diyakini mampu memberdayakan dan mengangkat

masyarakat dalam daerah kepulauan dari kemiskinan dan kemelaratan.

Masyarakat yang menempati pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di sekitarnya

masih memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam di perairan laut

yang berada pada sisi dalam antar pulau di ruang wilayah dari daerah-daerah

kepulauan.

60

Page 61: Na Ruu Prov. Kepulauan

Hal ini dapat dihubungkan dengan pandangan bahwa “masalah wewenang di

daerah kepulauan berhubungan sangat erat dengan kehendak melakukan self-

regulation oleh pemegang otoritas di lingkup daerah kepulauan, yang

melibatkan masyarakat hukum adat di wilayah-wilayah kepulauan yang

kehidupannya sangat berkaitan dengan pesisir dan laut. … Self-regulation ini

berkaitan dengan keragaman susunan sosial maupun ekonomi, dan juga

tujuan untuk memenuhi hak-hak sipil, politik, budaya dan ekonomi dalam

mencapai tujuan yang dikehendaki … ” (Titahelu, 2010) yang ada dalam

daerah kepulauan.

Sementara itu, pengelolaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di

tingkat lokal (pedesaan di pulau kecil), bahkan di beberapa tempat di tingkat

kabupaten, memperlihatkan adanya peran-peran dan fungsi institusi adat,

maupun institusi sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang erat

hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam mereka.

Bagi kelompok masyarakat tertentu laut dipandang tidak terpisah dari

daratan namun laut dipandang sebagai daratan yang berair seperti

pandangan masyarakat di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara . Hal

ini mengandung makna filosofis yang dalam bahwa antara laut dan darat,

mempunyai hubungan ekologi dalam suatu ekosistem dan tidak dapat

dipandang secara terpisah.

Hal ini memperlihatkan masyarakat di setiap pulau kecil maupun gugus-gugus

pulau kecil memahami kekhususan lingkungan fisik, ekosistem, ekologis

maupun biologis, yang berperan terhadap perekonomian maupun sosial

budaya mereka.

61

Page 62: Na Ruu Prov. Kepulauan

Oleh karena itu, makna “perlakuan khusus” terhadap pemerintah dan

masyarakat di daerah-daerah kepulauan hendaknya dilakukan bukan semata-

mata sebagai sebuah tindakan-tindakan istimewa, melainkan memperlakukan

ruang wilayah yang didominasi oleh lautan sebagai satu kesatuan geografis

secara utuh baik di darat maupun perairan laut pada sisis-sisi dalam antar

pulau atau laut pedalaman. Selain itu, oleh karena ruang wilayah yang

didominasi lautan “… memiliki kekhususan lingkungan fisik, ekosistem,

maupun biologis, yang berperan terhadap perekonomian maupun sosial

budaya masyarakatnya,”, dan bersama-sama merupakan kekayaan sekaligus

kekuatan yang tidak ternilai harganya yang mendorong tercapainya

kehidupan yang sejahtera bagi manusia yang ada di dalamnya” (Titahelu,

ibid), Oleh karenanya, diperlukannya perUndang-Undangan terhadap provinsi

kepulauan menjadi lebih penting lagi.

Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025,

khususnya menyangkut penataan kembali langkah-langkah antara lain

pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan

kelembagaan, sehingga bangsa Indonesia, dapat mengejar ketertinggalan dan

mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat (Dewan Kelautan,

2010:9). Maksud ini harus diartikan mencakup juga bangsa Indonesia di

daerah berbasis kepulauan. Kehadiran Undang-Undang ini akan memberi

peluang atau jalan masuk untuk memberi wewenang kepada pemerintah

provinsi dan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam di dalam ruang

wilayah dalam daerah kepulauan.

Dengan demikian diperoleh dasar atau argumentasi sosiologis tentang:

62

Page 63: Na Ruu Prov. Kepulauan

(1) adanya daerah kepulauan (archipelagic based province) di dalam negara

kepulauan (archipellagic state).

(2) ruang wilayah atau teritori provinsi berbasis kepulauan yang mencakup

(a) seluruh wilayah daratan yang ada di pulau-pulau kecil di

dalamnya,

(b) seluruh wilayah perairan di darat maupun di laut yang terletak

pada sisi dalam antara pulau-pulau dalam daerah provinsi

kepulauan.

(3) penegasan dan pemberian makna hukum batas geografi provinsi

kepulauan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang pembentukan tiap

provinsi, termasuk daerah provinsi kepulauan, menunjukkan adanya

yurisdiksi ajudikatif, atau daerah yang berada di bawah kompetensi

hkum provinsi.

(4) penegasan adanya wewenang pemerintah daerah provinsi kepulauan

bersama-sama masyarakatnya di ruang wilayah atau teritori yang

didominasi oleh lautan.

Oleh karena itu, dipertimbangkan lebih rasional dan logis jika disusun

peraturan perundangan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah

kepulauan sebagai salah satu cara untuk melaksanakan tercapainya tujuan

yang dikandung oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

1.3. Landasan Yuridis

A. Landasan Hukum Dasar (metayuridis): Pancasila.

B. Landasan Konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945:

63

Page 64: Na Ruu Prov. Kepulauan

a. Pasal 1 dan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945

b. Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

c. Pasal 18A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

d. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

e. Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945

f. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

g. Pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945

C. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

XV/MPR/1998

D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

E. Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996.

BAB V

64

Page 65: Na Ruu Prov. Kepulauan

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PROVINSI

KEPULAUAN

1.1. Jangkauan dan Arah RUU Tentang Provinsi Kepulauan

Jangkauan Rancangan Undang-undang ini lebih mencakupi aspek kewenangan

atau otoritas penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan

perikanan di wilayah perairan laut pedalaman pada daerah kepulauan, dan

pengaturan lain yang berhubungan dengannya yakni di bagian darat daerah

kepulauan yang bersangkutan.

Istilah Daerah Kepulauan tidak dimaksudkan untuk mengubah bentuk dan

susunan pemerintahan pada daerah-daerah yang memiliki luas lautan yang

lebih besar dari luas daratan. Dengan kata lain daerah kepulauan adalah

daerah yang terdiri dari wilayah pulau-pulau kecil dan sedang serta perairan

pedalaman lautan di antaranya, dan luas perairan pedalaman laut ini jauh

lebih besar dari wilayah daratan.

Hal di atas dikedepankan oleh karena dalam undang-undang pembentukan

provinsi yang bersangkutan, disebutkan adanya batas-batas wilayah. Arti dari

kata batas secara geografis adalah garis perhinggaan pada satu daerah yang di

atasnya terdapat pemegang otoritas tertentu. Arti ini memiliki implikasi

terhadap kewenangan-kewenangan. Disadari bahwa kewenangan tertinggi,

yang diartikan sebagai kedaulatan, ada di dalam tangan negara. Namun untuk

mengatur, mengelola dan memanfaatkannya negara menyerahkan

65

Page 66: Na Ruu Prov. Kepulauan

kewenangan itu kepada bagian-bagian negara yakni provinsi, sebagaimana

dimaksud dalam konstitusi. Dengan demikian maka provinsi sebagai bagian

dari negara memegang wewenang mengatur, mengelola dan memanfaatkan

sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah yang ditetapkan baginya,

baik wilayah darat (termasuk wilayah perairan danau, sungai), maupun

wilayah perairan laut pedalaman).

Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang ada di dalam

wilayah provinsi berbasis daratan mencakupi semua sumber daya di darat

maupun di laut yang merupakan kesatuan wilayah yang utuh.

Paralel dengan hal tersebut maka pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan

sumber daya yang ada dalam daerah kepulauan mencakupi semua sumber

daya di darat dan juga di laut yang masuk dalam keutuhan wilayah provinsi

berbasis kepulauan. Perairan laut di antara pulau-pulau dalam provinsi

berbasis kepulauan inilah yang disebut sebagai perairan laut pedalaman

Daerah Kepulauan.

Jadi, dimaksudkan dengan wilayah perairan laut pedalaman Daerah

Kepulauan adalah sisi-sisi dalam perairan laut yang berada di antara seluruh

rangkaian pulau dalam Daerah Kepulauan yang dimulai dari 12 mil laut dari

perhinggan terluar garis lurus kepulauan, ke arah perairan laut di dalam

lingkaran yang merangkaikan pulau-pulau.

Rancangan Undang-undang tentang Provinsi Kepulauan yang diusulkan tidak

mengubah bentuk dan susunan pemerintahan di daerah-daerah kepulauan.

1.2. Sasaran yang Ingin Dicapai

66

Page 67: Na Ruu Prov. Kepulauan

Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya keleluasaan menyelenggarakan

pemerintahan yang otonom secara lebih tepat di daerah-daerah kepulauan,

yang dijalankan di dalam wilayah-wilayah darat dan laut (khususnya wilayah

perairan laut pedalaman) yang menjadi bagiannya. Keleluasaan

menyelenggarakan pemerintahan yang otonom secara lebih tepat ini

diperlukan agar pemerintahan di daerah-daerah kepulauan dapat turut serta

secara signifikan menyelenggarakan pembangunan dengan menggunakan

seluruh sumber daya alam di darat dan di laut (perikanan dan sumber daya

kelautan) yang ada di dalam wilayah masing-masing, dengan menurut-

sertakan sumber daya manusia dalam wilayahnya.

Penggunaan seluruh sumber daya alam di darat dan di laut (perikanan dan

sumber daya kelautan) yang ada di wilayah daerah-daerah kepulauan oleh

masing-masing daerah kepulauan merupakan pemenuhan dari maksud yang

ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.3. Materi Muatan

1.3.1.Ketentuan Umum

Di dalam ketentuan umum selain menyangkutkan pengertian-pengertian

tentang Pemerintah, dimuat pula pengertian tentang Pemerintah Daerah

Kepulauan, Provinsi Kepulauan, Kabupaten/Kota Kepulauan, wilayah

67

Page 68: Na Ruu Prov. Kepulauan

perairan laut pedalaman, batas wilayah Provinsi Kepulauan, wilayah Provinsi

Kepulauan, dan lain-lain.

1.3.2.Asas-asas

Penyusunan RUU tentang Provinsi Kepulauan berpangkal pada asas-asas

sebagai berikut:

a. Asas Kebangsaan

Pengertian dari asas ini yakni rakyat Indonesia seluruhnya adalah satu

bangsa, walau terdapat keragaman corak budaya, etnis, agama,

kehidupan sosial maupun politik

b. Asas Kenusantaraan

Pengertian dari asas ini yakni seluruh wilayah di Indonesia yang terdiri

dari geografi berbasis daratan dengan wilayah utama didominasi

daratan, dan geografi berbasis kepulauan dengan wilayah utama

didominasi lautan, adalah wilayah nusantara Indonesia

c. Asas Bhineka Tunggal Ika

Pengertian dari asas ini yakni seluruh keragaman corak budaya, etnis,

agama, kehidupan sosial maupun politik, dan keragaman corak geografi

adalah kenyataan yang ada dan diakui dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia

d. Asas Desentralisasi Asimetris

Pengertian asas ini yakni adanya pelimpahan wewenang dalam pola

hubungan khusus atau spesifik berdasar pertimbangan politik atas

68

Page 69: Na Ruu Prov. Kepulauan

keberagaman karakter (etnis, budaya, sosial maupun regional) yang

menentukan bangunan relasi khusus/istimewa antara daerah dengan

pusat atau dengan daerah lain, maupun arah kebijakan internal dan tata

kelola pemerintahannya. Asas Desentralisasi Asimetris ini memiliki

kedudukan dengan Asas Desentralisasi Simetris.

e. Asas Pengayoman

Pengertian asas ini yakni adanya proses atau perbuatan melindungi dari

negara terhadap kepentingan bangsa keseluruhan yang meliputi juga

perbuatan melindungi kepentingan bangsa Indonesia yang beragam

corak etnis, budaya, sosial, dan kepentingan ekonomi yang berada di

wilayah-wilayah geografis yang didominasi daratan maupun yang

didominasi lautan atau berbasis kepulauan.

f. Asas Kekeluargaan

Pengertian asas ini yakni penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun

daerah yang berdasar asas Desentralisasi Simetris dan asas

Desentralisasi Asimetris, dilakukan dalam suasana hikmat dan penuh

kebijaksanaan di antara sesama saudara.

g. Asas Kesejahteraan

Pengertian asas ini merujuk pada tercapainya kehidupan masyarakat dan

bangsa yang makmur dan bahagia di seluruh wilayah Tanah Air

Indonesia, melalui perlindungan, pengakuan dan pelaksanaan wewenang-

wewenang pemerintahan di pusat dan daerah yang memiliki keragaman

corak kehidupan.

69

Page 70: Na Ruu Prov. Kepulauan

h. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum

Asas ini berarti political reason yang didasarkan pada kepentingan dan

kehendak masyarakat Indonesia umumnya, dan khusus kepentingan dan

kehendak masyarakat di wilayah-wilayah berbasis kepulauan yang

didominasi lautan mendapat kemasan perUndang-Undangan atas dasar

legitimasi filosofis Pancasila dan atas dasar UUD NRI TAHUN 1945, dan

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat di wilayah-wilayah berbasis

kepulauan yang didominasi oleh lautan.

i. Asas Pemberdayaan

Asas ini memiliki arti yakni memberi kemampuan bagi pemerintah dan

masyarakat di wilayah berbasis kepulauan yang didominasi oleh lautan,

melalui penyelenggaraan wewenang berasaskan Desentralisasi Asimetris.

j. Asas Keserasian, Keselarasan dan Keseimbangan

Asas ini mengandung makna adanya keadilan yang diselenggarakan

secara bijaksana berdasarkan kebajikan terhadap keragaman corak etnik,

budaya, sosial,kepentingan ekonomi bahkan perbedaan corak geografi

wilayah Indonesia, baik yang memiliki wilayah yang didominasi daratan

maupun wilayah berbasis kepulauan yang didominasi lautan.

k. Asas Kemanusiaan

Asas ini mengandung arti yakni memahami dan memperlakukan secara

manusiawi, masyarakat Indonesia yang beragam corak etnik, budaya,

beragam geografi.

70

Page 71: Na Ruu Prov. Kepulauan

Asas-asas di atas merujuk pada diperlukannya suatu perundang-undangan

yang mengatur eksistensi provinsi berbasis kepulauan. Pengaturan itu perlu

diselenggarakan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan.

Asas-asas dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah kepulauan

didasarkan pada asas-asas sebagai berikut.

1. Asas kepastian hukum,

Asas ini mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan

daerah kepulauan didasarkan pada jaminan kepastian hukum bagi semua

pihak.

2. Asas persatuan dalam perbedaan,

Asas ini mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan

pemerintahan di provinsi berbasis kepulauan semua pihak diperlakukan

sama secara proporsional.

3. Asas non diskriminasi,

Asas ini mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah provinsi berbasis kepulauan tindakan-tindakan

pemerintah daerah dilakukan tanpa diskriminasi apapun.

4. Asas diskresi,

Asas ini mengandung arti bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan

di daerah provinsi berbasis kepulauan pengambilan keputusan-

keputusan penting sebagai kebijaksanaan pemerintah daerah tetap dapat

dipertanggungjawabkan berdasarkan undang-undang.

5. Asas tidak menyalahgunakan kekuasaan,

Asas ini mengandung makna bahwa pemerintah daerah provinsi berbasis

kepulauan dalam menyelenggarakan wewenang wewenangnya tidak

melakukan penyalahgunaan kekuasaannya.

71

Page 72: Na Ruu Prov. Kepulauan

6. Asas keseimbangan dan tanggung jawab Negara.

Asas ini mengandung makna bahwa pemerintah daerah provinsi berbasis

kepulauan dalam memenuhi kepentingan masyarakat di daerahnya,

menjalankan wewenangnya tersebut secara seimbang dengan memenuhi

tanggung jawabnya terhadap negara.

1.3.3. Pokok-pokok Ketentuan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah Kepulauan

Ketentuan pokok yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang

Provinsi Kepulauan ini lebih ditekankan pada pengelolaan sumber daya

alam, khususnya sumber daya kelautan dan perikanan dalam wilayah

perairan laut pedalaman Daerah Kepulauan

1.3.4. Pokok-pokok Ketentuan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah Kepulauan

Pokok yang diatur adalah tentang provinsi-provinsi yang menjadi

Provinsi Kepulauan, wilayah Provinsi Kepulauan, wewenang

Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan atas pengelolaan sumber daya

kelautan dan perikanan di dalam wilayah perairan laut pedalaman

Provinsi Kepulauan, asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah

provinsi berbasis kepulauan tidak ada perubahan pada bentuk dan

susunan pemerintahan di Provinsi Kepulauan, perihal keuangan yang

diperlukan sehubungan kewenangan Provinsi Kepulauan dalam hal

72

Page 73: Na Ruu Prov. Kepulauan

pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di dalam wilayah

perairan laut pedalaman Provinsi Kepulauan, dan ketentuan peralihan

sehubungan dengan bantuan pembiayaan oleh Pemerintah kepada

Provinsi

1.3.5. Ketentuan Lain-lain

Menyangkut tetap berlakunya peraturan perundangan sebelum adanya

undang-undang tentang Provinsi Kepulauan, sampai adanya ketentuan

lain yang mengatur lebih lanjut hal-hal yang dimuat dalam undang-

undang tentang Provinsi Kepulauan.

BAB VI

PENUTUP

1.1. Simpulan

73

Page 74: Na Ruu Prov. Kepulauan

Simpulan yang ditarik dari uraian di atas adalah sebagai berikut.

1.1.1. Pengaturan dalam undang-undang tentang Provinsi Kepulauan bertolak

dari aspirasi langsung masyarakat di daearah-daerah Kepulauan, yang

disuarakan lewat Focus Group Discussion dengan para Senator (anggota-

anggota DPD);

1.1.2. Aspirasi yang dikemukakan menghendaki adanya wewenang yang lebih

bermakna dalam pengelolaan sumber daya laut dan perikanan dalam

wilayah Kepulauan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakatnya,

khususnya dalam wilayah perairan laut pedalaman daerah Kepulauan;

1.1.3. Para pemangku kepentingan di daerah Kepulauan tidak bermaksud

mengubah bentuk dan susunan pemerintahan di daerah Kepulauan.

1.1.4. Konsekuensi-konsekuensi hukum yang timbul (jika) Pemerintahan

Daerah Kepulauan diakui sebagai satuan pemerintahan daerah yang

memiliki ciri dan karakter kewilayahan yang khusus, tidak mengubah

bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.1.5. Pemenuhan aspirasi adanya Daerah Kepulauan dapat mengatasi

ketimpangan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya antara sentra-

sentra kehidupan sosial, ekonomi dan budaya antara wilayah berbasis

daratan dengan wilayah berbasis kepulauan yang didominasi perairan

laut pedalaman.

1.1.6. Wilayah perairan teritorial Indonesia dan laut pedalaman lainnya yang

menjadi wewenang Pemerintah dalam mengelola sumber daya laut dan

perikanan di luar Daerah-Daerah Kepulauan, masih lebih luas

74

Page 75: Na Ruu Prov. Kepulauan

dibandingkan dengan jumlah keseluruhan wilayah perairan laut

pedalaman dari seluruh Daerah Kepulauan.

1.1.7. Argumentasi akademik, filosofis, dan sosiologis mengenai adanya

Provinsi Berbasis Kepulauan, menepis argumentasi akan adanya

disintegrasi bangsa jika status Daerah Kepulauan ditetapkan.

1.2. S a r a n

Isi Undang-undang tentang Provinsi Kepulauan sebaiknya hanya difokuskan

pada wewenang Pemerintah Daerah Kepulauan dalam mengelola sumber

daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan laut pedalaman di Daerah

Kepulauan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar Saleng, Implementasi Bentuk Negara Kesatuan Dalam Dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Kekayaan Negara Dari Perspektif

75

Page 76: Na Ruu Prov. Kepulauan

Otonomi Daerah, Jurnal Hukum Yurisprudensia, Volume 6 Nomor 1

Januari 2007.

Dewan Kelautan Indonesia-Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Institut Pertanian Bogor, Buku Putih: Merajut Kejayaan Laut

Untuk Membangun Bangsa (Sumbang Pikir Untuk Pembangunan Kelautan

Nasional), Jakarta-Bogor, 2010.

Gandhi, L.M., Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Pidato

Pengukuhan Guru Besar Tetap FH UI., 1995.

James MacGregor Burn, et all., Government by the People, Prentice-Hall

International, Inc., London, 1978.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Demokrasi: Serpihan

Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta, Juli 2005.

Maruarar Siahaan, Relevansi Penguasaan Negara atas Cabang Produksi

Strategis Menurut UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 3,

September 2007.

Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan

Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006.

Robert Endi Jaweng, Anomali Desentralisasi Asimetris, Suara Pembaruan,

Selasa, 21 Desember 2010.

76

Page 77: Na Ruu Prov. Kepulauan

Seidmann, Ann, dkk., Penyusunan Rancangan UU Dalam Perubahan

masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Rancangan UU,

Terjemahan Johannes Usfunan, dkk., ELIPS, 2002.

Strong, C.F., Modern Political Constitutions, English Language Book Society and

Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966.

Tri Widodo W. Utomo, Rethinking Decentralization and Deconcentration in the

Unitary State, Graduate School of International Development (GSID),

Nagoya University, Japan, June 18 2009.

Titahelu, Ronald Z., Penetapan Asas-asas Hukum Umum Dalam Penggunaan

Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi, Universitas

Airlangga, Surabaya, 1993.

_________________, Positition Paper, dalam rangka penyelenggaraan Pre

Conference menghadapi International Small Island Conference (ISIC) di

Ambon, kerjasama Pemerintah Provinsi Maluku dengan Universitas

Pattimura, 2010.

Vegting, Mr. W.G., Publiek Domein en Zaken Buiten den Handel, N. Samsom N.V.,

Alphen aan de Rijn, 1946.

Wargakusumah, Moh. Hasan,dkk., Perumusan Hamonisasi Hukum tentang

Metodologi Harmonisasi Hukum, BPHN Departemen Kehakiman,

1996/1997.

77

Page 78: Na Ruu Prov. Kepulauan

Zen Zanibar, Otonomi Desa Dengan Acuan Khusus Pada Desa di Propinsi

Sumatera Selatan, Disertasi, UI, Jakarta, 2003.

Lain-lain:

Lasabuda, Ridwan, Materi Dalam Rangka FGD Komite I DPD RI Dalam Rangka

Inventarisasi RUU Tentang Provinsi Kepulauan, Manado, 28 Februari

2012.

Masengi, K. W. Alex, Potensi Sumber Daya Pesisir dan LautSerta

Pengelolaannya Untuk Kesejahteraan Bangsa, dibawakan Pada Focus

Group Discussion Dalam Rangka Inventarisasi Materi Undang-Undang

Tentang Provinsi Kepulauan Di Hadapan Komite I DPD RI, Manado, 28

Februari 2012

78