mu'tazilah jabariyah qadariyah

25
“ALIRAN MU’TAZILAH, JABARIYAH, Dan QADARIYAH” MAKALAH Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM yang dibimbing oleh Bapak Dr. H. Faisol Nasar Bin Madi, MA Oleh: Arief Nazar NIM :

Upload: abd-rohman-fahruddin

Post on 03-Oct-2015

60 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

ALIRAN MUTAZILAH, JABARIYAH,

Dan QADARIYAHMAKALAH

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM

yang dibimbing oleh Bapak Dr. H. Faisol Nasar Bin Madi, MA

Oleh:

Arief NazarNIM :

PROGRAM PASCASARJANA PRODI EKONOMI ISLAMSEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)JEMBER 2014A. Latar Belakang Masalah

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syariat, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[1]

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti kata-kata. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[2]Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Mu'tazilah, Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

[1] Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86

[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1B. Mutazilah

a. Sejarah Kemunculan MutazilahSecara harfiah, mutazilah berasal dari kataItazalayang berartiberpisah atau memisahkan diri, yang berarti jugamenjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah mutazilah menunjukan pada dua golongan.[3]Golongan pertama,muncul sebagai respon politik murni.Pada asalnya golongan jamaah ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya daalam artian sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan lawannya, terutama dengan Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah ibn Zubair.[4].

Golongan kedua,sebagai respon persoalan teologi yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murjiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir pada orang yang berbuat dosa besar[5].

Di kisah ini dinyatakan bahwasannya Washil ibn Atha mempertahankan pendiriannya tentang pelaku dosa besar di hadapan Hasan Basri dan para murid muridnya, kemudian ia memisahkan diri. Dari kisah inilah Hasan Basri menyebut Washil ibn Atha dan sahabat sahabatnya yang sependirian pula dengan nama Mutazilah. Dua golongan ini sama sama mempunyai corak politik. Golongan pertama politik murni, sedangkan golongan kedua pun juga membahas praktek praktek politik yang dilakukan Usman, Ali, Muawiyah, dan sebagainya. Letak perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mutazilah kedua menambahkan persoalan persoalan teologi dan falsafat ke dalam ajaran ajaran dan pemikiran mereka[6].[3]Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam,Pustaka Setia,Bandung,2011, hlm 77[4]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,Ilmu Kalam,IAIN Sunan Ampel press,Surabaya,2012, hlm 81[5]Ibid[6]Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, ctkn V,1986, hlm 40b. Al Ushul Al Khamsah

Al Ushul Al Khamsah ini maksudnya adalah lima ajaran pokok atau lima ajaran dasar teologi Mutazilah. Dan lima ajaran ini antara lain :

1. At TauhidAt Tauhid atau pengesaan Tuhan merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mutazilah. Sebenarnya, setiap madzhab memegang doktrin ini. Namun, bagi Mutazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik[7]. Maksudnya ialah bahwa Tuhan-lah satusatunya yang Maha Esa dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi taaddud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesan Tuhan (tanzih), Mutazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mutazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya[8].

2. Al-Adl

Ajaran dasar Mutazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik, dan bukan yang tidak baik[9]. Tuhan memberikan daya kepada manusia untuk dapat memikul beban beban yang diletakkan Tuhan di atas pundaknya, menerangkan hakekat akan beban beban itu dan memberi hukuman atas perbuatan perbuatannya.[7]Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 80[8]Ibid[9]Ibid, hlm 83

Dan kalau Tuhan memberikan siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia, jika tidak demikian maka berarti Tuhan melalaikan kewajiban kewajibannya[10]. Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini.

a) Perbuatan ManusiaManusia menurut Mutazilah, melakukandan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara secara langsung atau tidak. Manusia benar benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk[11].

b) Berbuat baik dan terbaik

Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berlaku jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan Penjahat dan Penganiaya. Itu adalah sebutan yang sangat tak layak untuk Tuhan. Jika Tuhan melakukan hal demikian, itu berarti Tuhan tidak adil dan Maha Sempurna[12].

c) Mengirimkan Rasul

Bagi aliran Mutazilah, akal dapat mengetahui hal- hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan dia akhirat nanti.[10]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,Ilmu Kalam,hlm 100[11]Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 83[12]Ibid, hlm 843. Kewajiban Menepati Janji (al-Wad) dan Ancaman (al-Waid)

Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mutazilah. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik ; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.

4. Al-Manzilah bain al-manzilatain

Inilah ajaran yang mula mula menyebabkan lahirnya madzhab Mutazilah ini. Karena perbedaan pendapat saat memberikan status kepada pelaku dosa besar.

5. Al-Amr bi Al-Maruf wa An-Nahy an Munkar

Ajaran dasar yang kelima ini adalah menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemunkaran. Hal inimerupakan konsekuensi logis untuk orang yang mengaku beriman. Dan di bawah ini syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam melakukan amar maruf nahi munkar menurut seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar,

a) Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang maruf dan yang dilarang adalah hal yang munkar.

b) Mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.

c) Mengethaui bahwa amr mafuf nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.

d) Mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya[13].

e) Mengetahui atau setidaaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil[14].

[13]Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 86[14]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,Ilmu Kalam, hlm 104C. Jabariyah (Fatalism/Presditinason)1. Latar Belakang Lahirnya JabariyahSecara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[15]Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[16]Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[17] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[18] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.[15] Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 63[16] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, ctkn V,1986, hlm 31[17] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 23[18] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[19]

Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[20]Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:a. QS ash-Shaffat: 96 : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".b. QS al-Anfal: 17: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.c. QS al-Insan: 30 : Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[19] Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 64[20] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, ctkn V,1986, hlm 31Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[21]Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[22][21] Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 64-65

[22] Ibid.,

Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.2. Ajaran-ajaran JabariyahAdapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[24][24] Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm. 67-68; Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[25]D. Aliran Qadariyah ( Free Will And Free Act)

1. Latar Belakang Lahirnya Aliran QadariyahPengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. [25]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 75Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[26]Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[27]Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Mabad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [28]Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syuib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[29][26] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam., h. 70; Abudin Nata, Ilmu Kalam., h. 36; Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi.., h. 68[27] Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi.., h. 68.,[28] Ibid[29] Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm. 70

Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[30]2. Ajaran-ajaran QadariyahHarun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[31]Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[32][20] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.. 74[21] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, ctkn V,1986, hlm 31[22] Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm. 73

Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :

a. QS. Fush-Shilat : 40 : Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat, b. QS. Al-Kahfi : 29 : Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah, c. QS.Ali Imran :165 : dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.d. QS.Ar-Rd :11 : Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka yang ada pada diri mereka sendiri. E. KesimpulanMemahami terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah dapat kita ketahui bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT.

Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul Jabariyah dan Qodariyah kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.DAFTAR PUSTAKAAnwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2

Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Ilmu Kalam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press 2012)