aliran teologi islam mu'tazilah

31
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbedaan teologi dalam agama Islam tidak akan ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khawarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat- shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan- kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.

Upload: abdul-fauzan

Post on 17-Aug-2015

60 views

Category:

Spiritual


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aliran teologi islam mu'tazilah

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbedaan teologi dalam agama Islam tidak akan ada habis-habisnya, karena

terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khawarij

dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung

dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi

orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi

yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk

pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari

agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari

hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum

muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan

gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat

hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati

saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok

Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan

masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan

kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.

Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama

yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka

menamainya dengan Aqlaniya, Modernisasi pemikiran, Westernasi, sekulerisme serta

nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka

anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan

menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal

pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam

pembahasan kali ini akan dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.

Page 2: Aliran teologi islam mu'tazilah

2.1 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah?

2. Bagaimana ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah?

3. Apa sajakah kritikan untuk aliran Mu’tazilah?

2.1 Tujuan

Mengatahui bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah

Mengetahui bagaimana ajaran-ajaran Mu’tazilah

Dan mengetahui berbagai macam kritikan untuk Mu’tazilah

Page 3: Aliran teologi islam mu'tazilah

BAB II

PEMBAHASAN

Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan

Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari

pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali yang

menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sofyan,

Gubernur Syam, pada waktu Perang Siffin. Di situ ‘Ali mengalami kekalahan diplomatis dan

kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk

kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (Pembelot atau

Pemberontak). Kaum Khawarij memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena

mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka

merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah. Tapi kaum Khawarij, melalui

seseorang bernama Ibn Muljam, hanya berhasil membunuh ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah

hanya mengalami luka-luka saja.

Bila Khawarij merupakan kelompok yang kontra terhadap Ali, maka kelompok kedua

yang muncul kepermukaan yaitu Rhawafidl (Syi’ah) justru kebalikan Khawarij. Mereka

adalah pendukung Ali dan mendaulatkan bahwa Ali-lah yang berhak menyandang gelar

khalifah setelah Nabi Muhammad SAW. bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka

semua ini bahkan dikafirkan oleh Syi’ah.

Selanjutnya muncul pula Murji’ah pada akhir kurun pertama (akhir masa sahabat)

tepatnya pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik. Kemudian pada awal kurun

kedua (masa tabi’in) yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah muncul Jahmiyah,

Musyabihah, dan Mumatstsilah yang diusung Ja’di bin Dirham dan Jahm bin Shafwan,

penganut faham Jabariyah. Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah yang mempunyai ciri

khas ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah kebalikan dengan apa yang diusung Jahm bin

Shafwan.

Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah

membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang

menyebutkan tentang keikutsertaan beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu

Page 4: Aliran teologi islam mu'tazilah

‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan

gugurnya Al Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu

golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid

itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang

berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka ikut-

sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan,

disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat memberontak kepada penguasa

yang zalim.

Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia

mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan

terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah

satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang

terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.

Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-

pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan

gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang

membacanya. Sebut saja  istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama

lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari

pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan

pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.

Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal

usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui

secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran

agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk

bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya

sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.

Page 5: Aliran teologi islam mu'tazilah

A. Latar belakang munculnya aliran Mu’tazilah

Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan

kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri.1

Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu

kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam

permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin

Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad

ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik

Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk

Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi

Al-Ghozzal.2

Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij

dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang

Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan

sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang

berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang

kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang

ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin

yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan

mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak

ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi

siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.

Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama

Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam

peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin,

yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut

dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad

1 Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Bairut: Darul Kitab, t.t), hal. 2072 Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 489

Page 6: Aliran teologi islam mu'tazilah

kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis,

istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:

Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni

bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan

politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh,

‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa

sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun

berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata

melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah

ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau

terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini,

mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta

meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-

mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah

khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada

kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.3

Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis

yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.

Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan

Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian,

antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-

pisahkan. Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa

versi, di antaranya:

1. Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada

peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan

Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh

Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai

pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri

masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat

bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi

berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia

3Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 77

Page 7: Aliran teologi islam mu'tazilah

menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid.

Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan

adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita

(i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada

peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.4

2. Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin

Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara

mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan

diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak

mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.5

3. Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk

mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya

adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan

majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum

Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.6

Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam,

terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran

Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang

mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan

istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru

mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al

Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).

Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya

sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil

dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada masa

kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan

alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa

4 Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 485 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 786 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 78

Page 8: Aliran teologi islam mu'tazilah

Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Al-Qur’an dikatakan qadim, berarti ada

yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.

Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn

Atha’. Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini

muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar. Wasil berkata

dalam menentang pendapat Hasan.

Kami juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah

washil, walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti

Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah seorang

penyiar paham ini yang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang dialah tokoh

utamanya.

Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka

terdiri dari orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup

bersenag-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat itu

adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia. Sebenarnya tidak semua penganut paham

ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula yang dituduh melakukan pekerjaan–

pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada pula yang jahat.7 Gerakan kaum Mu`tazilah

pada mulanya memiliki dua cabang yaitu:

1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan

murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini

berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah

Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar

(211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.

2. Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah

seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan

dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H),

7 Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996) , cet.1 hal.150

Page 9: Aliran teologi islam mu'tazilah

Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).8

Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan di

Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan

mendukunhnya adalah:

1. Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)

2. Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)

3. Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)

4. Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)

5. .Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah

B. Ajaran Mu’tazilah

Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah at-

tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman

tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf

wa al-nahy an al-mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).

At-Tauhid

At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran

mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.

Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari

segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya

yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya

dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-

qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).9 Untuk memurnikan keesaan tuhan

(tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik

tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah

berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha

melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat

8 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 1659 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 80

Page 10: Aliran teologi islam mu'tazilah

Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat

tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin

Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan

sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan” 10 ini tidak dapat diterima karena

merupakan perbuatan syirik.

Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu

sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana di kutip oleh Musthafa Muhammad, berkata “Tuhan

mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan

kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri”.11 Dengan demikian,

pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan,

bukan sifat yang menempel pada dzatnya.

Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an

adalah manifestasi dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan

bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.

Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-jubba’I dengan Abu Hasyim 

adalah pernyataan bahwa “tuhan mengetahui dengan esensinya”. Menurut al-Jubba’i, arti

pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui bahwa tuhan tidak berhajat kepada suatu

sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim,

pernyataan tersebut berarti tuhan memliki keadaan mengetahui, sungguhpun demikian,

mereka sepakat bahwa tuhan tidak memilikki sifat.12

Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu al-Hudzail mengambil konsep nafy

ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles.13 Agaknya beralasan, bila

para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid

(pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk

mengesakan Allah dan menempatkannya benar-bemar adil.

10 Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 4611 Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 50912 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986) hal. 135-13613 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 81

Page 11: Aliran teologi islam mu'tazilah

Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat

menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, tuhan tidaklah sama dengan makhluknya. Tuhan

adalah immateri. Oleh karena itut tidak layak baginya setiap atribut materi. Segala

mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu

adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakanNya. Tegasnya,

mu’tazil antropomorfisme.14

Penolakan terhadap faham antropomorfostik bukan semata-mata atas pertimbangan akal,

melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan

pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:

�ص�ير� �ب ال م�يع� الس و�ه�و� ي�ء� ش� �ه� �ل �م�ث ك �س� �ي ل

Artinya: “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS. Asy syuraa 42:11)

Memang tidak dapat dibantah bahwa mu’tazilah sebagaimana aliran lain , telah

terkena pengaruh filsafat yunani, namun hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut

buta hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi

benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat,

pemikiran hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap

serangan para penentangnya,yakni para muhadditsin rafidah manichscanisme, dan

berbagai aliran keagamaan yang lain di India.15

Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah

memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan.

Mereka mamalingkan arti kata-kata tersebut pada arti kata yang lain, sehingga hilanglah

kejisiman tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara semena-mena, tetapi

merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa

contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya kata-kata tangan (Q.S shad 38:75)

diartikan “kekuasaan”. Pada konteks yang lain (Q.S. al-Maidah 5:64) di artikan “nikmat”.

14 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8215 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 82

Page 12: Aliran teologi islam mu'tazilah

Kata wajah ((Q.S. ar-Rahman 55:27) diartikan “esensi” dan “dzat”, sedangkan al-asyri

(Q.S. Thaha 20:5) diartikan “kekuasaan”.16

Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata

kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme.

Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan

tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan yang memiliki

ruang saja. Andaikan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat, tentu diduniapin

dia dapat dilihat oleh mata kepala. 17 Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-Qiyamah 75:22-23)

di takwilkan dengan “mengetahui”.

Al-Adl

Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha

adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan.

Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin

menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena

diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan

dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan

bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/

melanggar janjinya.18 Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya. Ajaran tentang

keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:

Perbuatan manusia

Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri,

terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak. 19Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk.

Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.

Berbuat baik dan terbaik

16 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 178-17917 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 178-17918 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8219Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 122

Page 13: Aliran teologi islam mu'tazilah

Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah.

Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk

manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan

bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan.

Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti

tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna.20 Bahkan

menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat jahat. 21

Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan,

yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti itu

berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam.22

Mengutus rasul

Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-

alasan berikut ini : Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak

dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.

 Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas

kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut

adalah dengan mengutus rasul. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk

beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain

kecuali dengan mengutus rasul.23

Al-Wa’d Wa Al-Wa’id

Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa

al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak

akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri,

yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan

mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji

tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar

adanya.24

20 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 12221 Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 5422 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 12823 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 12824 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 138-139

Page 14: Aliran teologi islam mu'tazilah

Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas

dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas

denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain

menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-

orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada

harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang

menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan

bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya.25Ajaran ini tampaknya bertujuan

mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa

Manzilah Bain Al-Manzilataini

Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal

dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang

tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik,

sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya

sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan.

Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya,

orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena

ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal)

dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun

mazhabnya.

Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat

bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm,

menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa

besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik

(hipokrit).26 ”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap

mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min

25 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8226 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53

Page 15: Aliran teologi islam mu'tazilah

pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.27

Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai

mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada

tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar,

tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan

rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum

bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang

fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari

pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan

kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya

disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar

maupun yang kecil.

Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar

Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada

kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan

keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari

keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,

diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf

nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar,

yaitu berikut ini:

a) ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah

munkar

b) ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang

c) ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan

membawa mudharat yang lebih besar.

27 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53

Page 16: Aliran teologi islam mu'tazilah

d) ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan

diri dan hartanya.28

Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep

mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa

yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan

kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah.29

Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima,

atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan

sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang

bertentangan dengan norma tuhan.30

Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran

kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang

diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah

mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyirkan ajaran-ajarannya.

C. Kritik Terhadap Ajaran Mu’tazilah

Pada ajaran Mu’tazilah at-Tauhid dikatakan bahwasanya “Mereka menafikan/

meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam,

pasti Allah itu berbilang.” Sudah dijelaskan di Al-Qur’an bahwa Allah mempunyai sifat

wajib yang sebanyak 20, yaitu wujud, qidam, baqa’, muqalafatililqawatisi, dsb. Jadi sangat

jelas bahwa ajaran at-Tauhid ini menyimpang dengan esensi Al-Qur’an. Pada kasus ini,

orang-orang Mu’tazilah salah menafsirkan sifat-sifat Allah. Sifat yang banyak tidak berarti

Allah berbilang-bilang. Allah tetap Esa dengan segala sifat-sifatnya.

At-Tauhid juga mengajarkan bahwa “Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata

walaupun di akhirat nanti.” Ajaran ini juga tidak sesuai dengan Al-Qur’an, karena di Al-

Qur’an dikatan barang orang-orang soleh akan berjumpa dengan Allah nanti di akhiat.

28 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8729 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 257-25830 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 259-260

Page 17: Aliran teologi islam mu'tazilah

Aliran Mu’tazilah juga tidak menyebutkan atas dasar apa ajaran ini dikeluarkan, jadi

kefalidannya tidak jelas.

Ajaran ketiga aliran Mu’tazilah adalah janji dan ancaman yang di dalamnya tertulis

bahwa “di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal

Wa’id (janji dan ancaman).” Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa siapa yang selalu

bersholawat atas Nabi maka di hari akhir akan mendapat Syafaatnya. Memang Syafaat ini

hanya untuk orang-orang yang taat, jadi orang-orang yang berbuat dosa besar dan

meninggal sebelum bertaubat sudah dipastiakan tidak akan mendapat Syafaat di hari akhir.

Sesuai esensi Al-Qur’an, Syafaat ada di hari akhir, jadi sekali lagi ajaran ini menyimpang

dari dasar-dasar agama Islam.

Selanjutnya yaitu ajaran tentang tempat diantara dua tempat, tempat bagi orang Fasik,

yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan

ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Ajaran ini sangat

membingungkan, karena Mu’tazilah sendiri tidak mendiskribsikan bagaimana keadaan

tempat tersebut. Bisa tempat yang setengah surga dan setengah neraka, atau mungkin bisa

juga tempat yang setengah panas dan setengah indah. Kalau dipikir secara logika sangat

tidak rasional. Tidak adil juga jika orang yang berbuat dosa besar tidak disiksa dalam

neraka, padahal dikatakan dalam Al-Qur’an, jangankan dosa besar, dosa sekecil zahro saja

akan dipertangjawabkan yaitu berupa siksa api neraga. Lalu bagaimana bisa orang yang

berbuat dosa besar tidak masuk dalam neraka.

Dalam ajaran amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah mengatakan bahwa  “Orang yang

menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”.

Tercatat oleh sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulama-ulama Islam

diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi, seorang ulama pengganti Imam

Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an Makhluk”. Pada ajaran ini kaum Mu’tazilah

menggunakan dasar al-Hadist yang artinya “siapa diantaramu yang melihat kemungkaran

maka rubahlah dengan tanganmu”. Nampaknya salah penafsiran terjadi kembali pada

ajaran ini. Hadist mengatakan “rubahlah dengan tanganmu sendiri” maksudnya tidak

dengan kekerasan tangan (membunuh) seperti yang dilakukan kaum Mu’tazilah tersebut.

Namun bagaimana kita bertindak untuk membenarkan mereka yang salah dengan halus

dan sopan seperti cara Rasul menyebarkan ajaran Islam. Dari sini dapat disimpulkan

Page 18: Aliran teologi islam mu'tazilah

bahwa yang dinamakan amar ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya

ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf

(kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Aliran Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak

Page 19: Aliran teologi islam mu'tazilah

memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“.

Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul

banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan

keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah

melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah baru yang tidak sedikit jumlahnya.

Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak

pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati

saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok

Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini.

Page 20: Aliran teologi islam mu'tazilah

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon:

Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951

Abu Zahrah, Muhammad,  Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta : Logos

Publishing House, 1996

A. Nasir, Sahilun,  Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,

Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

Izutsu, Tosihiko,  Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994

Ma’luf, Luwis, Al-Munjid fi Al-Lughah, Bairut: Darul Kitab

Mazru’ah, Mahmud,  Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Kairo: Dar Al-Manar, 1991

Nasution, Harun,  Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-

Press, 1986

Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006

Syak’ah, Musthafa Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu

Zahrah Al-Jawi Solo: Tiga Serangkai, 2008