musnad ahmad bin hambal
TRANSCRIPT
MUSNAD AHMAD BIN HAMBAL
A. Pendahuluan
Siapa yang tidak kenal dengan Imam Ahmad bin Hambal? Kemungkinan
besar nama ini sangat tidak asing lagi bagi kaum muslim di penjuru dunia.
Kita, orang Indonesia mungkin lebih mengenalnya sebagai Ulama yang sangat
luas keilmuannya dalam ilmu fiqh. Sejajar dengan imam-imam madzhab fiqh
lainnya.
Namun, bukan hanya dalam dunia fiqh saja keilmuannya. Bertahun-
tahun umur beliau tercurahkan untuk menyelami seluk-beluk luasnya dunia
hadis. Tak kurang dari 750 ribu hadis berhasil beliau kumpulkan dan hafalkan,
bahkan dalam beberapa keterangan lain mencapai satu juta hadis.1
Kesungguhan dan kedalaman ilmu Imam Ahmad dalam dunia hadis juga
nampak dari salah satu karya beliau, yaitu Musnad Ahmad. Kitab kumpulan
hadis yang tersarikan tak kurang dari 750 ribu hadis, yang tertulis ke dalam 24
jilid pada versi aslinya (tulisan tangan) dan menjadi 6 jilid saat diterbitkan
dalam edisi cetakan.2
Makalah ini mencoba mengupas salah satu karya monumental tersebut,
yaitu Musnad Ahmad bin Hambal. Dimulai dari sejarah perjalanan Imam
Ahmad sendiri, tentang Musnadnya serta seputar pendapat para ulama
tentangnya.
B. Sosok Imam Ahmad bin Hambal
Nama lengkap Ahmad bin Hambal ialah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin
Anas bin Awf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Zulal bin Ismail bin
Ibrahim. Dia lahir pada tahun 164 H di Baghdad, dan meninggal di Baghdad
pula pada tahun 240 H. Ia sempat dipenjara selama 28 bulan karena sikapnya
yang menolak faham kemakhlukan al-Qur’an. Kemudian ia dilepaskan dari
1 Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2010), 84. 2 Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, 89.
1
penjara sehubungan dengan sikap al-Mutawakkil yang tidak lagi berfaham
Mu’tazilah seperti halnya para khalifah sebelumnya.
Sebagian besar keilmuan Ahmad Ibn Hambal diperoleh melalui
beberapa ulama di Baghdad kota kelahirannya, sehingga hal tersebut sempat
mengantarkannya sebagai salah satu anggota diskusi atau Halaqah Qadhi Abu
Yusuf. Ketika Imam Syafi’i tinggal di Baghdad, Ahmad bin Hambal terus
menerus mengikuti berbagai kegiatan dan program dari halaqahnya, sehingga
ilmu fiqih dan hadis menjadi kepribadian beliau sebagai seorang yang
istimewa dalam majelis taklim Imam Syafi’i. Kehebatannya dalam ilmu fiqih
mendapatkan pengakuan dari Imam Syafi’i dan Yahya Ibn Ma’in. Hal tersebut
terbukti oleh popularitasnya dalam madzhab yang mampu menembus ke
negara Syiria, Iraq dan beberapa negara dan daerah lainnya.
Guna memperluas wawasan hadis, Ahmad bin Hambal melakukan
perjalanan ke beberapa negara, dan hal tersebut ditempuh setelah beberapa
lama mempelajari hadis dari Imam Syafi’i selama ia tinggal di Baghdad. Studi
hadis di berbagai negara yang meliputi Yaman, Kufah, Bashrah, Mekkah,
Madinah, dan Syiria. Ketika itu Imam Ahmad berada di Yaman dan sempat
berguru terhadap Basyar al-Mafadhal al-Raqasyi, Sufyan ibn Uainah, Yahya
ibn Sa’id al-Qathan, Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Ismail ibn Ulayyah
dan lainnya. Perlawatan ke negara pusat ilmu keislaman menghasilkan sekitar
satu juta perbendaharaan hadis yang dikuasai oleh Ahmad ibn Hambal.
Berkenaan dengan prestasi tersebut Abu Zahrah optimis menempatkan Imam
Ahmad ibn Hambal dalam deretan seorang Muhaddistin.3 Bahkan keahlian
beliau dalam mengerjakan hadis atau al-Sunnah berhasil memandu beberapa
murid asuhan menjadi ulama hadis, misalnya Imam Bukhari, Imam Muslim,
Abu Dawud, Waqi’ ibn Jarrah, Ali al-Madani dan lain sebagainya.
Disiplin ilmu tersebut yang menjadikan bidang keahlian Imam Ahmad
mencakup hadis dan ilmu hadis, fiqih dan ushul-fiqh serta tafsir. Dalam kitab
al-Ilal memperlihatkan betapa Imam Ahmad cukup serius dalam mengamati
illat atau kecacatan hadis, disamping itu kitab yang berjudul “Fadhail al-
3 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzhabi al-Fiqhiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), 307.
2
Shahabat” menjadi bukti bahwa beliau bersemangat mengenali lebih dekat
beberapa perilaku tokoh sahabat Nabi berikut dengan prestasi
perseorangannya. Sebuah karya tulis yang berjudul “kitab al-Asyribah” dan
“al-Nasikh wal Mansukh” menempatkan beliau sebagai penganalisis fiqih
dikelasnya, di samping itu pola pemikiran fiqihnya sedikit banyak dipengaruhi
oleh metode Istidlal Imam Syafi’i guru besarnya. Beliau juga menulis “kitab
al-Zuhdi” yang berisikan prilaku dan watak penampilan diri yang serba zuhud.
Dan beberapa hal yang meliputi biografinya ialah sebagai berikut :
1. Awal mula menuntut ilmu.
Keilmuan yang pertama kali yang dikuasai oleh Ahmad Ibn Hambal ialah
al-Qur’an dan ia mampu menghafal keseluruhan al-Qur’an pada usia 15
tahun. Ia juga mahir dalam baca tulis dengan sempurna, sehingga dikenal
sebagai orang yang tulisannya paling indah. Kemudian Ahmad Ibn
Hambal mulai berkonsentrasi belajar ilmu hadis di awal 15 tahun, ia
mempelajari hadis sejak kecil, sehingga untuk mempelajarinya ia
merantau ke negeri Syam/Syiria, Hijaz, Yaman, dan beberapa negara
lainnya, sehingga beliau akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa,
shalih dan zuhud. Abu Zur’ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak
12 buah sudah beliau hafal sepenuhnya.
2. Dalam kekeluargaan.
Ahmad Ibn Hambal menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan
keberkahan yang melimpah, yaitu mendapatkan anak-anak yang shalih
dari istrinya, yang mewarisi beberapa ilmunya, Abdullah dan Shalih.
Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari ayahnya.
3. Dalam Kecerdasan.
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita,
“Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, di saat itu
saya telah menghafal apa yang ku dengar darinya”. Abdullah, putranya
yang lain mengatakan, ayahku pernah menyuruhku, “ambillah kitab
Mushannaf Waki’ di mana saja yang kamu kehendaki kemudian
tanyakanlah yang kamu mau mengenai matan nanti kuberitahu sanadnya,
3
atau sebaliknya, kamu tanya mengenai sanadnya kemudian kuberitahu
matannya”. Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah
yang lebih kuat hafalannya ? anda atau imam Ahmad ibn Hambal ? beliau
menjawab, Ahmad. Ia masih bertanya, bagaimana anda tahu ?” beliau
menjawab, saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum
nama-nama perawi, sebab beliau hafal dari beberapa perawi tersebut,
sedangkan saya tidak mampu melakukannya. Abu Zur’ah mengatakan
bahwa Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadis.
4. Pujian para ulama terhadap Ahmad ibn Hambal.
Abu Ja’far mengatakan, bahwa Ahmad ibn Hambal merupakan manusia
yang sangat pemalu, sangat mulia, dan sangat baik dalam pergaulannya
serta tingkah lakunya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali
Madzakarah hadis dan menyebut beberapa orang shahih dengan penuh
hormat dan mengenai ungkapan yang indah. Jika berjumpa dengan
manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahna kepadanya.
Ahamd Ibn Hambal sangat rendah hati terhadap beberapa gurunya, serta
menghormatinya. Imam Syafi’i berkata bahwa Ahmad bin Hambal ialah
imam dalam delapan hal, imam dalam hadis, imam dalam fiqih, imam
dalam bahasa, imam dalam al-Qur’an, imam dalam kefaqiran, imam dalam
kezuhudan, imam dalam wara’ dan imam dalam sunnah”. Ibrahim al-Harbi
memujinya, “saya melihat Abu Abdillah Ahmad Ibn Hambal seolah Allah
gabungkan padanya beberapa ilmu orang terdahulu dan orang belakangan
dari berbagai disiplin ilmu”.
5. Guru-Guru Ahmad bin Hambal.
Ahmad bin Hambal berguru terhadap banyak ulama, dan jumlahnya lebih
dari dua ratus delapan puluh guru yang tersebar di berbagai negeri, seperti
Mekkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman, dan berbagai negeri lainnya.
Diantaranya ialah Ismail bin Ja’afar, Abbad bin Abbad al-Ataky, Umari
bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar al-
Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin
4
‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil, dan masih banyak lagi guru-
gurunya.
6. Adapun murid-murid Ahmad bin Hambal yang paling menonjol dalam
ahli hadis ialah Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Nasa’i,
Tirmidzi, Ibnu Majah, putranya, Shalih bin Ahmad bin Hambal dan
Abdullah bin Ahmad bin Hambal, keponakannya, Hambal bin Ishaq.
7. Karya-karya tulis Ahmad bin Hambal.
Ahmad bin Hambal menulis beberapa kitab al-Musnad al-Kabir yang
termasuk sebesar-besarnya kitab “musnad” dan sebaik-baiknya karyanya
dalam penelitian hadis. Ahmad bin Hambal tidak memasukkan dalam
kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai sebuah hujjah. Kitab musnad ini
berisi lebih dari 25.000 hadis. Diantara karya beliau ialah ensiklopedia
hadis atau musnad, yang disusun oleh anaknya dari beberapa kajian, dan
kumpulan dari 40 ribu hadis, juga kitab al-Salat dan kitab al-Sunnah.
Karya-karya Ahmad bin Hambal diantaranya ialah Kitab al-Musnad, karya
yang paling menakjubkan, sebab kitab inilah yang memuat lebih dari dua
puluh tujuh ribu hadis; Kitab al-Tafsir, tapi al-Dzahabi mengatakan bahwa
kitab ini sudah hilang; Kitab al-Nasikh Wa al-Mansukh; Kitab al-Tarikh;
Kitab Hadis Syu’bah; Kitab al-Muqaddam Wa al-Mu’akkhar Fi al-Qur’an;
Kitab al-Manasik al-Kabir; Kitab al-Manasik al-Saghir.
C. Apa itu Kitab Musnad?
Musnad adalah salah satu jenis kitab hadis yang disusun berdasarkan
salah satu metode penulisan hadis yang dipakai para ulama pada awal abad ke-
2 H/ke-8 M. Metode itu sendiri dikenal dengan nama tasnid, yakni
menghimpun hadis-hadis dari setiap orang sahabat berdasarkan kriteria
tertentu, seperti berdasarkan nama-nama sahabat secara alfabetis (urutan abjad
hijaiyah), fadhilah (keutamaan), nasab (keturunan), waktu keislaman, kabilah,
negeri, dan lain sebagainya. Namun secara teknis, musnad yang disusun
secara alfabetis lebih mudah dipergunakan. Dan inilah kriteria musnad yang
dikenal secara umum, seperti Musnad Imam Ahmad, karya Ahmad bin Hanbal
5
(W. 241 H/855 M). Meskipun demikian, ada sebagian ahli hadis yang
mendefinisikan musnad itu sebagai kitab yang disusun berdasarkan bab-bab
fikih, bukan berdasarkan musnad sahabat, seperti Musnad Baqi bin Makhlad
al-Andalusi (W. 276 H/889 M).4
Kitab-kitab jenis musnad sangat banyak, namun yang terkenal di
antaranya sebagai berikut:
1. Musnad Abu Daud Sulaiman bin Daud al-Thayalisi (W. 204 H/819 M),
atau yang lebih populer dengan sebutan Musnad al-Thayalisi.
2. Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair al-Humaidi (W. 219 H/834 M),
atau yang lebih populer dengan sebutan Musnad al-Humaidi.
3. Musnad Ali bin al-Ja’di (W. 230 H/844 M), atau yang lebih populer
dengan sebutan Musnad al-Ja’di
4. Musnad Ishaq bin Rahawaih (W. 238 H/852 M)
5. Musnad Ahmad bin Hanbal (W. 241 H/855 M)5
6. Musnad Abd bin Humaid. (W. 249 H/863 M)
7. Musnad Abu Ya’la Ahmad bin Ali al-Mutsanna al-Mushili (W. 307 H /
919 M).
D. Tentang Musnad Ahmad bin Hambal
Musnad Ahmad mulai ditulis di Baghdad pada tahun 200 H/815 M.
ketika Imam Ahmad berusia 36 tahun, setelah kembali dari Abdurrazaq di
Yaman6. Penulisan itu terus berlangsung di perjalanan, ketika beliau rihlah ke
Bashrah (tahun 200 H/815 M) hingga kembali ke Baghdad (tahun 209 H/824
M).7 Proses penulisan itu dilakukan dengan menggunakan lembaran-lembaran
kertas dan dipisah menjadi beberapa juz. Setelah kembali ke Baghdad, beliau
menyuruh putranya Abdullah untuk menghimpun dan menyusun juz-juz yang
terpisah itu.
4 Lihat, Muhammad Hasbi asy-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hal. 169.5 Perlu diketahui bahwa di antara kitab-kitab musnad yang ada, Musnad Ahmad merupakan yang terpenting dan paling populer. 6 Lihat, Khashaishul Musnad, hal. 257 Lihat, Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 27; Siyaru A’lamin Nubala, XI:306.
6
Pada tahun 225 H/839 M, Musnad Ahmad mulai di-isma (diajarkan)
kan kepada dua putranya (Shalih dan Abdullah) dan keponakannya Hambal
bin Ishaq. Pengajaran ini berlangsung selama 12 tahun (berakhir tahun 237
H/851 M)8. Pengajaran ini berlangsung seiring dengan proses penyusunan
kitab tersebut. Namun sebelum selesai dihimpun seluruhnya, beliau meninggal
dunia (tahun 241 H/ 855 M) pada usia 77 tahun.
Musnad Ahmad yang sesuai dengan versi al-Mu’jam adalah edisi
perdana cetakan al-Mathba’ah al-Maimuniyyah, Mesir, tahun 1313 H/1919 M.
Kemudian dicopy oleh Maktabah al-Islami dan Dar Shadir, Beirut, dan
diterbitkan sebanyak enam jilid bersama kitab Muntakhab Kanz al-Ummal fi
Sunan al-Aqwal wa al-Af’al pada hamisy-nya (pinggir halaman kitab). Pada
jilid pertama disertakan fahras rawi-rawi kitab musnad susunan Syekh Nashir
al-Din al-Albani. Apabila rujukan yang dipergunakan seorang pentakhrij
sesuai dengan versi-versi di atas, maka pentakhrijan hadis dengan kitab al-
Mu’jam relatif lebih mudah dilakukan
a. Metode Penyusunannya
Al-Imam Ahmad menyusun kitab Al-Musnad berdasarkan sistematika hadits
berikut9 :
1. Hadis yang berasal dari sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk
surga.
2. Hadis yang bersumber melalui sahabat Nabi yang ikut perang Badar.
Prioritas ini terkait erat dengan informasi dari Rasulullah saw bahwa
ada jaminan pengampunan masal dari Allah swt atas segala dosa para
sahabat yang ambil bagian dalam perang tersebut.
3. Hadis yang perawi utamanya adalah para sahabat yang mengikuti
peristiwa Bai’at al-Ridwan dan Sulh al-Hudaibiyah.
4. Hadis yang sumber periwayatannya melalui para sahabat Nabi yang
proses ke-Islamannya bertepatan dengan peristiwa Fathu Makkah.
8 Lihat, Siyaru A’lamin Nubala XI:3169 Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, hal. 90-91.
7
5. Hadis-hadis yang periwayatannya bersumber melalui Ummahatul
Mu’minin.
6. Hadis-hadis yang periwayatannya bersumber melalui para wanita
Sahabiyah.
b. Jumlah Hadits dalam Al-Musnad
Abu Musa Muhammad bin Abi Bakr Al-Madiniy berkata :
أربعون أنها الناس أفواه من أسمع أزل فلم المسند أحاديث عدد فأما
بكر أبو أخبرنا ببغداد زريق بن منصور أبي على قرأت أن إلى ألفا
أبيه عن أروى أحد الدنيا في يكن لم النادي أبن وقال قال الخطيب
ألفا ثالثون وهو المسند سمع ألنه حنبل بن أحمد بن الله عبد يعني منه
.... ابن ذكره الذي هل أدري فال ألفا وعشرون ألف مائة وهو والتفسير
القوالن فيصح المكرر من غيره وأراد فيه مكرر ال ما به أراد المنادي
.... جميعا
“Adapun jumlah hadits dalam kitab Al-Musnad, maka aku senantiasa
mendengar dari ucapan manusia bahwa ia berjumlah 40.000 hadis, hingga aku
membacakannya kepada Abu Manshur bin Zuraiq di Baghdad : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Khathib, ia berkata : Telah berkata
Ibnul-Munadiy : ‘Tidak ada di dunia seorang pun yang meriwayatkan dari
ayahnya lebih banyak darinya, yaitu ‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal.
Karena ia mendengar Al-Musnad yang jumlahnya 30.000 hadis, dan Tafsir
yang jumlahnya 120.000 hadis’.... Aku tidak tahu apakah yang disebutkan
Ibnul-Munadiy adalah hadis yang tidak diulang-ulang ataukah hadits lain yang
diulang-ulang? sehingga kedua perkataannya itu bisa benar...”10
Perbedaan penghitungan antara 40.000 dengan 30.000 hadis disebabkan
cara penghitungan. Kalau dihitung secara keseluruhan tanpa memperhatikan
pengulangan hadis maka jumlah keseluruhan bisa mencapai 40.000 hadis.
10 Khashaish Musnad al-Imam Ahmad, hal. 15
8
Akan tetapi jika dengan memperhatikan pengulangan hadis maka jumlah akan
mengecil11, sekitar 30.000 hadis.
Namun jika kita perbandingkan dengan versi cetak yang sampai kepada
kita, maka jumlah hadisnya sebagai berikut12 :
1. Penerbit Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. 1/1419 H, tahqiq : As-Sayyid
Abul-Ma’aathiy An-Nuriy dkk, : sebanyak 28.199 hadis.
2. Penerbit Baitul-Afkaar Ad-Dauliyyah, Cet. Thn. 1419 H :
sebanyak 28.199 hadis.
3. Penerbit Daarul-Hadiits, Cet. 1/1416, tahqiiq : Ahmad Syaakir dan
Hamzah Zain : sebanyak 27.519.
4. Penerbit Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1421, tahqiq : Syu’aib Al-
Arna’uth dkk. : sebanyak 27.647 hadis.
5. Program Jawaami’ul-Kalim versi 4.5 : sebanyak 27.099 hadis.
c. Syarat Imam Ahmad bin Hambal
Imam Ahmad bin Hambal tidak sembarangan dalam meriwayatkan
sebuah hadis. Beliau sangat selektif dan ketat dalam memilah-milah hadis.
Paling tidak ini tercermin dari jumlah hadis yang beliau tuangkan dalam Kitab
Musnad beliau yang hanya berjumlah sekitar 40.000 hadis dari sekitar 750
ribu sampai satu juta hadis yang beliau kuasai.
Ibnu Rajab berkata :
عن الرواية يترك أنه وكالمه أحمد اإلمام عمل من يتبين والذي
الحفظ وسوء للغفعة خطؤهم كثر والذين المPتهمين
“Dan yang nampak dari perbuatan dan perkataan Al-Imam Ahmad
bahwasannya beliau meninggalkan riwayat orang-orang yang tertuduh
(berdusta) dan orang-orang yang banyak kelirunya akibat kelalaian dan
jeleknya hapalan mereka”13
11 Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, hal. 89-90.12 Abu al-Jauza’, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Sebuah artikel. Hal. 313 Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, I, hal. 386
9
Ibnu Taimiyyah berkata :
(( )) (( وقد (( ، سننه في داود أبي شرط من أقوى المسند شرط
(( في (( أحمد عنهم أعرض رجال عن سننه في داود أبو روى
(( )) (( عمن(( المسند في يروي ال أحمد اإلمام كان ولهذا المسند
ولكن ونحوه، المصلوب سعيد بن محمد مثل يكذب أنه يعرف
به ليعتضد حديثه يكتب فإنه حفظه، لسوء Pض]عZف ي عمن يروي قد
به ويعتبر
“Syarat kitab Al-Musnad lebih kuat dibandingkan syarat Abu Dawud
dalam Sunan-nya. Abu Dawud telah meriwayatkan dalam Sunan-nya
dari para perawi yang ditolak oleh Ahmad dalam Al-Musnad. Oleh
karena itu, Al-Imam Ahmad tidaklah meriwayatkan dalam Al-Musnad
dari perawi yang diketahui telah sering berdusta semisal Muhammad
bin Sa’iid Al-Mashluub14 dan yang lainnya. Akan tetapi beliau kadang
meriwayatkan dari para perawi yang dilemahkan karena faktor jeleknya
hafalannya. Perawi tersebut ditulis hadisnya untuk menguatkan (hadis
lain) dan dijadikan sebagai i’tibar”15.
Beberapa perawi yang padanya ada kelemahan sebagaimana dikatakan
Ibnu Taimiyah, contohnya sebagai berikut :
1. Haramiy bin ‘Ammarah Al-‘Atakiy. Ahmad berkata : “Shaduuq,
namun padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”. Ibnu Ma’iin
berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun sering
ragu (yahimu)”.
2. ‘Abdullah bin Al-Walid Al-‘Adaniy. Ahmad berkata : “Ia bukan
seorang shaahibul-hadiits, dan haditsnya adalah hadis shahih.
Akan tetapi ia kadang keliru dalam penyebutan nama-nama. Abu
Haatim berkata : “Ditulis hadisnya, namun tidak boleh berhujjah
dengannya. Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Ibnu
Hajar berkata : “Shaduuq, namun kadang keliru”.14 Namanya adalah : Muhammad bin Sa’iid bin Hassan bin Qais Al-Qurasyiy Al-Asadiy; seorang pendusta [At-Taqriib, hal. 847 no. 5944].15 Majmuu’ Al-Fataawaa, 18/26
10
3. ‘Abdul-Wahhab bin ‘Athaa’ Al-Khaffaaf. Ahmad berkata :
“Dla’iiful-hadiits, goncang (mudltharib). Ia seorang yang ‘aalim
terhadap hadis Sa’iid bin Abi ‘Aruubah”. Ibnu Ma’iin berkata :
“Tidak mengapa dengannya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Hadisnya
berderajat hasan”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun kadang
keliru”.
4. Al-Muhadlir bin Al-Mauri’. Ahmad berkata : “Ia seorang yang
sangat lalai”. Abu Haatim berkata : “Ia tidak kokoh, ditulis
hadisnya”. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata :
“Shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan”.
5. Muammal bin Isma’il. Ahmad berkata : “Ia sering keliru”. Abu
Haatim berkata : “banyak keliru”. Ia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’iin,
Ishaaq, dan Ibnu Sa’d. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun jelek
hapalannya”.
Menurut penelitian Dr. ‘Amir bin Hasan Shabriy, ternyata dalam
Musnad Imaam Ahmad terdapat beberapa orang perawi matruk. Perawi
matruk ini dalam ilmu mushthalah termasuk perawi yang sangat lemah. Ada
empat orang, yaitu16:
1. ‘Amir bin Shalih bin ‘Abdillah Az-Zubairiy. Ibnu Hajar berkata :
“Matruukul-hadiits”.
2. ‘Abdullah bin Waqid. Ibnu Hajar berkata : “Matruuk”.
3. ‘Umar bin Harun Al-Balkhiy. Ibnu Hajar berkata : “Matruuk”.
4. Muhammad bin Al-Qasim Al-Asadiy. Ibnu Hajar berkata :
“Mereka mendustakannya”.
d. Klasifikasi Hadis-Hadis dalam Al-Musnad yang Tercetak
Asy-Syaikh Ahmad bin ‘Abdirrahman As-Sa’atiy berkata17 :
أقسام ستة إلي تنقسم وجدتها المسند ألحاديث : بتتبعي
16 Mu’jamu Syuyuukh Al-Imam Ahmad fil-Musnad, hal. 29-30.17 Fathur-Rabbaaniy, 1/8.
11
رحمهما - ــ أحمد اإلمام بن الله عبد الرحمن عبد أبو رواه قسم
، أحمد اإلمام بمسند المسمي وهو ، منه سماعا أبيه عن ــ وهو الله
الكتاب أرباع ثالثة علي يزيد جدا . كبير
جدا - قليل وهو ، وغيره أبيه من الله عبد سمعه . وقسم
المحدثين - عند المسمي وهو ، أبيه غير عن الله عبد رواه وقسم
األول القسم عدا كلها لألقسام بالنسبة كثير وهو ، الله عبد . بزوائد
قليل - وهو منه يسمعه ولم أبيه علي الله عبد قرأه . وقسم
بخط - أبيه كتاب في وجده ولكنه يسمعه ولم يقرأه لم وقسم
أيضا قليل وهو . يده
وأبيه - - الله عبد غير عن القطيعي بكر أبو الحافظ رواه وقسم
الجميع - أقل وهو الله رحمهم
“Berdasarkan penelitianku terhadap hadis-hadis dalam Al-Musnad, aku
dapati terbagi menjadi enam macam :
1. Bagian yang diriwayatkan oleh Abu ‘Abdirrahmaan ‘Abdullah bin
Al-Imam Ahmad – dari ayahnya dengan mendengarnya langsung.
Inilah yang diberi nama Musnad Al-Imaam Ahmad. Jumlahnya
sangat banyak mencapai ¾ bagian kitab.
2. Bagian yang ‘Abdullah mendengarnya dari ayahnya dan yang
lainnya. Jumlahnya sangat sedikit.
3. Bagian yang diriwayatkan ‘Abdullah dari selain ayahnya. Bagian ini
dinamakan oleh para muhadditsiin (ahli hadis) sebagai Zawaaid
(tambahan) dari ‘Abdullah. Jumlahnya cukup banyak dibandingkan
bagian yang lain, selain bagian yang pertama.
4. Bagian yang ‘Abdullah membacanya di hadapan ayahnya, dan ia
tidak mendengar darinya. Jumlahnya sedikit.
12
5. Bagian yang ia (‘Abdullah) tidak membacakannya (di hadapan
ayahnya) dan tidak pula mendengarnya, akan tetapi ia mendapati
kitab ayahnya dengan tulisan tangannya. Jumlahnya sedikit juga.
6. Bagian yang diriwayatkan oleh Al-Haafidh Abu Bakr Al-Qathii’iy
dari selain ‘Abdullah dan ayahnya. Jumlahnya paling sedikit.
e. Pemikiran dan Kritik atas Musnad Ahmad bin Hambal
Tekad Imam Ahmad adalah mengupayakan koleksi yang berpotensi
sebagi hujjah, berbekal tekad itu pula beliau melakukan penelitian dengan
seksama agar tiap hadis dalam al-Musnad bermutu shahih. Tanpa ragu Abu
Musa al-Madini dan juga Jalaludin al-Suyuti memandang setiap hadis di
dalamnya layak dijadikan hujjah.18 Pendapat lebih moderat datang dari Ibnu
Hajar al-Asqalani bahwa dari sekitar 40 ribu hadis al-Musnad hanya ada 3
atau 4 hadis yang belum diketahui secara pasti sumber riwayatnya (dha’if).19
Berbeda dengan sikap penilaian ulama’ al-Baqa’i menunjuk sejumlah
hadis (tanpa menyebut dengan pasti berapa banyaknya) dalam al-Musnad
yang dianggap Maudu’. Demikian pula dengan al-Hafidz al-Iraqi menuduh 9
hadis maudu’ sedangkan Ibn Jazuli mengklaim 29 hadis maudu’ dalam kitab
al-Musnad Ahmad bin Hambal.20
Bila ditelusuri ulang koleksi hadis dalam al-Musnad yang bermateri
Fada’il al-A’mal terasa adanya pola pelonggaran (tasahul) dalam sistem
seleksi pemuatannya, padahal Imam Ahmad Ibn Hambal dikenal moderat
dalam tradisi menilai jarah atau ta’dil para personalia para pendukung
riwayat hadis.
Fenomena yang mengisyaratkan kontras ini seyogyanya menjadikan
proses historis menuju kodifikasi al-Musnad sebagai bahan pertimbangan
secara jujur perasaan salut perlu diberikan kepada al-Hafidz al-Iraqi dan Ibn
Jauzi, sebab kedua ulama hadis tersebut menerapkan norma uji mutu terhadap
validitas (kesahihan) hadis bukan semata mata dipusatkan pada aspek
18 Zainal Arifin, Studi Kitab Hadis, hal. 94-95.19 Zainal Arifin, Studi Kitab Hadis, hal. 95.20 Zainal Arifin, Studi Kitab Hadis, hal. 95.
13
transmisi riwayat sanad, tetapi mengikut sertakan pula sektor kandungan
matan hadis yang bersangkutan dengan menyampingkan fanatik atau sentimen
keagamaan, tepat kiranya bila penilaian Imam Sharafuddin al-Tayalisi dalam
derajat kehujjahan hadisnya.
Derajat hadis dalam Musnad Ahmad diperselisihkan oleh para ulama’.
Setidaknya ada penilaian terhadap hadis-hadis kitab ini. Pertama, seluruh
hadis di dalamnya dapat dijadikan hujjah. Kedua, dalam Musnad Ahmad
terdapat hadis yang shahih, dha’if, bahkan maudhu’. Ketiga, di dalamnya
terdapat hadis shahih dan dhaif yang mendekati derajat hasan. Terlepas dari
kemungkinan adanya hadis dhaif bahkan maudu, kitab Musnad Ahmad tetap
memuat banyak hadis yang berkualitas shahih. Oleh karena itu, kitab ini tetap
dijadikan rujukan oleh kaum muslim dalam masalah keislaman.21
E. Daftar Pustaka
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis, Pustaka al-Muna, Surabaya, 2010.
Asy-Siddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999.
Hambal, ibn Ahmad. Al-Musnad, Dar al-Fikr, Beirut, 1991.
Ibn al-Wasim dan Abd al-Rahman bin Muhammad. Majmu’ Fatawa
ibn Taimiyah, Dar al-Fikr, Beirut, 1989.
Zahrah, Muhammad Abu. Tarikh al-Madzhabi al-Fiqhiyah, Dar al-
Fikr al-Arabi, Kairo.
21 Zainal Arifin, Studi Kitab Hadis, hal. 96.
14