mukadimah berumah tangga

6
Mukadimah ‘Kado Pernikahan untuk Istriku’ By Redaksi Hasan Al Banna · 2 June 2012 · No comments Keluarga , Muslimah · Tagged: Kado Pernikahan untuk Istriku , Mohammad Fauzil Adhim inShare Jika ada surga di dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi jika ada neraka di dunia, itu adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaankecurigaan yang menakutkan di antara suami dan istri. Di Timur dan di Barat, banyak usaha dilakukan orang untuk mencapai pernikahan yang bahagia. Kadangkala usaha itu mendekati kebaikan, kadangkala justru menjauhkan orang dari pernikahan yang sungguhsungguh bahagia. Marriage contracts adalah salah satu contoh usaha mencapai kebahagiaan pernikahan yang saya kira lebih banyak sedihnya daripada bahagianya. Marriage contracts atau kontrak perkawinan adalah model yang lazim dipergunakan oleh pengantinpengantin di Amerika untuk mengatur hubungan antara suami dan istri seperti yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Masingmasing menandatangi surat perjanjian yang berisi tentang kewajiban masingmasing pihak terhadap orang lain. Misalnya, siapa yang harus membuat secangkir kopi panas setiap pagi. Atau, apa yang harus dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Katakanlah, kapan suami berkewajiban mengatakan “I love you”. Kebahagiaan memang mahal. Bukubuku konseling atau psikologi perkawinan terus berusaha menemukan akar masalah ketidakbahagiaan perkawinan, meskipun ternyata masih banyak yang menemui kegagalan. Tulisan James O. Prochaska & Carlo C. DiClemente adalah salah satu yang bisa menerangkan dengan agak baik. Dari serangkaian penelitian, Prochaska dan DiClemente menyimpulkan bahwa faktor yang sangat banyak mempengaruhi perkawinan itu bahagia atau tidak, perkawinan yang lumpuh dapat diperbaiki atau tidak, adalah orientasi pasangan suami istri itu terhadap anak. Suami istri yang memiliki orientasi kuat terhadap pendidikan anak, mempunyai keinginankeinginan yang besar terhadap pendidikan anakanaknya, akan lebih bahagia. Mereka ini yang memiliki orientasi kuat terhadap pendidikan anakanak mereka semakin bahagia manakala anaknya semakin banyak. Kalau begitu, apakah sebaiknya kita mengikuti James O. Prochaska agar pernikahan kita bahagia? Emm, kita belum bisa memutuskan. Sebab, mereka yang mempunyai orientasi kuat terhadap pendidikan anak, sering mengalami situasi kesepian dan tidak berguna begitu anakanak mereka telah mandiri dan satu per satu meninggalkan rumah untuk memasuki rumah mereka sendiri. Mereka dapat merasa bahagia, sejauh anakanak mereka yang telah mandiri menunjukkan bahwa mereka masih membutuhkan peran orangtuanya. Alhasil, bagaimana kesimpulannya? Silakan Anda ambil kesimpulan sendiri setelah menyimak sedikit informasi yang telah saya sampaikan.

Upload: luffy-sama

Post on 29-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mukadimah berumah tangga

Mukadimah ‘Kado Pernikahan untuk Istriku’

By Redaksi Hasan Al Banna · 2 June 2012 · No commentsKeluarga, Muslimah · Tagged: Kado Pernikahan untuk Istriku, Mohammad Fauzil Adhim

inShare

Jika ada surga di dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi jika ada neraka di dunia, itu adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaankecurigaan yang menakutkan di antara suami dan istri.

Di Timur dan di Barat, banyak usaha dilakukan orang untuk mencapai pernikahan yang bahagia. Kadangkala usaha itu mendekati kebaikan, kadangkala justru menjauhkan orang dari pernikahan yang sungguhsungguh bahagia. Marriage contracts adalah salah satu contoh usaha mencapai kebahagiaan pernikahan yang saya kira lebih banyak sedihnya daripada bahagianya. Marriage contracts atau kontrak perkawinan adalah model yang lazim dipergunakan oleh pengantinpengantin di Amerika untuk mengatur hubungan antara suami dan istri seperti yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Masingmasing menandatangi surat perjanjian yang berisi tentang kewajiban masingmasing pihak terhadap orang lain. Misalnya, siapa yang harus membuat secangkir kopi panas setiap pagi. Atau, apa yang harus dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Katakanlah, kapan suami berkewajiban mengatakan “I love you”.

Kebahagiaan memang mahal. Bukubuku konseling atau psikologi perkawinan terus berusaha menemukan akar masalah ketidakbahagiaan perkawinan, meskipun ternyata masih banyak yang menemui kegagalan. Tulisan James O. Prochaska & Carlo C. DiClemente adalah salah satu yang bisa menerangkan dengan agak baik. Dari serangkaian penelitian, Prochaska dan DiClemente menyimpulkan bahwa faktor yang sangat banyak mempengaruhi perkawinan itu bahagia atau tidak, perkawinan yang lumpuh dapat diperbaiki atau tidak, adalah orientasi pasangan suami istri itu terhadap anak. Suami istri yang memiliki orientasi kuat terhadap pendidikan anak, mempunyai keinginankeinginan yang besar terhadap pendidikan anakanaknya, akan lebih bahagia. Mereka ini yang memiliki orientasi kuat terhadap pendidikan anakanak mereka semakin bahagia manakala anaknya semakin banyak.

Kalau begitu, apakah sebaiknya kita mengikuti James O. Prochaska agar pernikahan kita bahagia? Emm, kita belum bisa memutuskan. Sebab, mereka yang mempunyai orientasi kuat terhadap pendidikan anak, sering mengalami situasi  kesepian dan tidak berguna begitu anakanak mereka telah mandiri dan satu per satu meninggalkan rumah untuk memasuki rumah mereka sendiri. Mereka dapat merasa bahagia, sejauh anakanak mereka yang telah mandiri menunjukkan bahwa mereka masih membutuhkan peran orangtuanya.

Alhasil, bagaimana kesimpulannya? Silakan Anda ambil kesimpulan sendiri setelah menyimak sedikit informasi yang telah saya sampaikan.

Sambil menanti Anda mengambil kesimpulan, saya ingin mengajak Anda untuk melihat gambaran yang sangat berbeda tentang orientasi perkawinan. Jika bukubuku psikologi atau artikelartikel perkawinan selalu berbicara tentang perkawinan yang bahagia (happy marriage atau successful marriage), maka kita mendapati cerita yang berbeda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ad Darimi, Ibnu Sinni dan yang lainnya dengan kedudukan hasan.

Selengkapnya, mari kita simak kisah pernikahan Uqail bin Abu Thalib dengan seorang wanita dari kalangan Bani Jasym. Seperti lazimnya upacara pernikahan, tamutamu berdatangan. Dan seperti lazimnya upacara pernikahan di masa sekarang, para tamu ketika itu memberi ucapan selamat sekaligus sebagai do’a.

“Semoga bahagia dan banyak anak,” kata para tamu kepada pengantin lakilaki.

Page 2: Mukadimah berumah tangga

Menerima ucapan selamat seperti itu, Uqail segera teringat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian ia berkata, “Jangan kalian mengatakan demikian, karena sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal tersebut.”

“Kalau demikian,” kata mereka, “apakah yang harus kami katakan, wahai Abu Zaid?”

“Katakanlah oleh kalian,” jawab Uqail, “Semoga Allah membarakahi Anda sekalian dan melimpahkan barakah kepada Anda. Demikian yang diperintahkan kepada kita.”

Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa yang paling penting untuk dicari dalam pernikahan bukan kebahagiaan. Yang paling penting justru barakah, konsep yang sangat sering terdengar tetapi tidak banyak diketahui artinya. Mendo’akan pengantin baru agar dapat mencapai pernikahan yang bahagia dan sekaligus banyak anak dilarang (makruh). Sebaliknya, sunnah bagi kita mendo’akan saudara kita yang menikah dengan do’a barakah. Mudahmudahan pernikahan itu barakah bagi pengantinnya dan barakah atas pengantinnya, yakni barakah pernikahan tersebut juga terasakan oleh orangorang di sekelilingnya.

Kalau begitu, apakah “bahagia dan banyak anak” merupakan kata yang tabu dalam pernikahan yang Islami? Bukan begitu. Melalui lisan suci Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Islam justru mengingatkan kita agar tidak melupakan kriteria memilih istri agar dapat memperoleh kesenangan dan banyak anak.

“Kawinilah wanita yang subur rahimnya (waluud) dan pencinta,” sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, An Nasa’i dan Al Hakim. “Sebab aku kelak berbanyakbanyak kepada umatumat lain dengan kalian.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah menganjurkan, “Pilihlah yang masih gadis karena ia lebih manis mulutnya, lebih dalam kasihsayangnya, lebih terbuka, dan lebih menginginkan kemudahan.”

Yang dimaksud dengan “mulut manis” adalah ucapannya, kata Abdul Hamid Kisyik. Adapun yang dimaksud dengan “lebih dalam kasihsayangnya” adalah banyak melahirkan anak, terbuka, dan polos.

Ketika seorang sahabat memberi tahu Rasulullah bahwa ia baru saja menikah dengan seorang janda, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Mengapa tidak gadis yang ia dapat bermain denganmu, dan engkau dapat bermain dengannya, engkau menggigitnya dan ia menggigitmu?” (HR An Nasa’i, shahih).

Sebagian sahabat Nabi memberi keterangan, Tetaplah kalian mengawini gadis-gadis, sebab mereka lebih manis mulutnya, lebih rapat rahimnya, lebih hangat vaginanya, lebih sedikit tipuannya, dan lebih rela dengan nafkah yang sedikit.

Keterangan sahabat ini senada dengan hadis Nabi yang mengingatkan:

“Kawinilah oleh kalian perawan, sebab perawan itu lebih segar mulutnya, lebih subur rahimnya, lebih hangat vaginanya, dan lebih rela dengan nafkah yang sedikit.” (HR. Abu Na’im melalui Ibnu Umar r.a.. Periksa Mukhtarul Ahaadits).

Yang dimaksud dengan lebih rapat rahimya (antaqu arhaman) adalah banyak melahirkan. Umar bin Khaththab menganjurkan, “Perbanyaklah anak karena kalian tidak tahu dari anak yang mana kalian mendapatkan rezeki.”

Anak yang barakah adalah rezeki akhirat sekaligus rezeki dunia. Kita tidak tahu anak yang mana yang paling besar membawa rezeki, sehingga bisa mengangkat kita kepada kebahagiaan akhirat.

Masih ada hadis-hadis mengenai kesenangan-kesenangan yang bisa diperoleh ketika menikah dan perlu dipertimbangkan ketika akan melangkah ke sana. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah berfirman, Dan di antara tandatanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum [30]: 21).

Tetapi ada yang unik. Kita dilarang mendo’akan orang yang menikah agar mendapat kebahagiaan dan banyak anak dalam pernikahannya. Kita diminta untuk mendo’akan mereka semoga Allah membarakahi pengantin itu dan melimpahkan barakah bagi mereka. Yang pertama, mendo’akan agar mereka menjadi suami istri yang penuh barakah, sehingga sekelilingnya ikut terkena barakahnya. Yang kedua, mendo’akan agar mereka mendapatkan barakah. Wallahu A’lam bishawab. Mengapa kita disuruh mendo’akan dengan do’a barakah dan tidak dengan do’a banyak anak, padahal ada beberapa anjuran untuk memperbanyak anak? Sekali lagi, Allahu A’lam bishawab.

Ketika bertemu kawan, kita juga mendo’akan barakah. Tapi sebelum sampai kepada barakah, kita mendo’akannya semoga Allah melimpahkan salam (kedamaian dan ketenteraman) dan rahmat. Maka kita pun mengucapkan assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Untuk mencapai barakah, orang terlebih dulu memperoleh salam dan rahmat.

Page 3: Mukadimah berumah tangga

Sebuah keluarga bisa barakah jika di dalamnya ada sakinah. Mereka merasakan ketenteraman. Dalam keadaan diguncang kesulitan atau dikarunia kesuksesan, suami dan istri merasakan ketenteraman saat berdekatan. Ketika suami datang dengan wajah kusam berlipatlipat, istri memberi sambutan hangat besemangat. Wajahnya tetap teduh dan penuh perhatian sehingga suami semakin sayang.

Jika Anda mempunyai istri demikian, bersyukurlah. Anda sudah mendapatkan kunci kebahagiaan. “Tiga kunci kebahagiaan seorang lakilaki adalah istri shalihah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi membuatmu merasa aman , dia bisa menjaga kehormatanmu, dirinya dan hartamu; kendaraan yang baik yang bisa mengantar ke mana kamu pergi; dan rumah yang damai yang penuh kasih sayang. Tiga perkara yang membuatnya sengsara adalah istri yang tidak membuatmu bahagia jika dipandang dan tidak bisa menjaga lidahnya juga tidak membuatmu merasa aman jika kamu pergi karena tidak bisa menjaga kehormatan diri dan hartamu; kendaraan rusak yang jika dipakai hanya membuatmu merasa lelah namun jika kamu tinggalkan tidak bisa mengantarmu pergi; dan rumah yang sempit yang tidak kamu temukan kedamaian di dalamnya.”

Kalau keluarga Anda penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah atas keluarga Anda, maka Anda akan mendapati rumah tangga yang diliputi oleh mawaddah wa rahmah (ketulusan cinta dan kasihsayang). Kalau suami resah, ada pangkuan istri yang siap merengkuh dengan segenap perasaannya. Kalau istri gelisah, ada suami yang siap menampung airmata dengan dekapan hangat di dada, serta usapan tangan yang memberi ketenteraman dan perlindungan.

Tanpa adanya sakinah, mawaddah wa rahmah, keluarga sulit mencapai barakah dan penuh dengan kebarakahan. Suamiistri tidak bisa saling mencurahkan kasih sayang secara penuh. Mereka tidak bisa saling menerima, mempercayai dan memaafkan kekurangankekurangan, padahal setiap kita selalu punya kekurangan.

Di sini keluarga dipenuhi oleh keluhkesah dan kekecewaan. Bukan oleh keadaan ekonomi, melainkan oleh ketidakpuasan terhadap teman hidupnya beserta keluarganya. Sehingga interaksi antar keduanya menjadi kering, sangat periferal.

Bukan dari hati ke hati, sehingga saling merindukan. Pergi tiga hari saja tidak ditunggu tunggu kedatangannya. Apalagi sekedar terlambat pulang satu atau dua jam.

Dalam keadaan yang demikian, keluarga tidak menjadi tempat terbaik untuk membesarkan anak dan menumbuhkan kekuatan jiwa mereka. Rumah menjadi tempat yang sempit, sehingga anakanak dan suami tidak menemukan kedamaian di dalamnya. Meskipun secara fisik, rumah cukup besar dan megah.

Jadi, jika Anda mendo’akan barakah, insya Allah Anda juga mendo’akan sakinah, mawaddah wa rahmah bagi keluarga yang akan dibangun oleh pengantin baru itu.

Anda juga mendo’akan mereka mendapatkan keturunan yang barakah. Biar anak banyak asal barakah, sungguh sangat alhamdulillah.

Mendo’akan barakah sama seperti menyuruh shalat. Kalau Anda menyuruh saya melakukan shalat, berarti Anda juga menyuruh saya untuk berwudhu atau malah mandi jinabah jika saya sedang berhadas besar. Sebab, tidak bisa saya melakukan shalat kalau saya berhadas.

Kalau Anda menganjurkan saya shalat dengan khusyuk dan tenang, berarti Anda juga menganjurkan saya menghilangkan perintangperintang ketenangan. Anda tetap bisa shalat, tetapi ketika isya’ itu perut Anda melilitlilit shalat Anda tidak bisa tenang.

Karena itu makanlah lebih dulu. Semoga shalat Anda lebih sempurna.

Tetapi kalau Anda menyuruh saya mandi, tidak secara otomatis menyuruh saya shalat. Begitu juga kalau Anda mendo’akan banyak anak, belum tentu barakah. Malah anak bisa menjadi fitnah yang menyusahkan orangtua dunia akhirat.

Ini tidak berarti Anda tidak boleh meraih kesenangan dan bercanda dengan anak istri. Malah sebagaiman ditunjukkan di awal tulisan ini, kita banyak ditunjukkan dan “diperintahkan” untuk memperoleh kesenangankesenangan itu. Bahkan, berjima’ pun bernilai ibadah.

Kalau Anda berhubungan intim, Anda akan mendapat pahala shalat Dhuha.

Kalau Anda meremasremas jemari istri dengan remasan sayang, dosadosa Anda berdua berguguran. Kalau Anda menyenangkan istri sehingga hatinya bahagia dan diliputi suka cita, Anda hampirhampir sama dengan menangis karena takut kepada Allah. Subhanallah. Maha Suci Allah. Ia memberi keindahan. Ia juga memberi pahala dan ridhaNya.

“Barangsiapa menggembirakan hati seorang wanita (istri), “kata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “seakanakan menangis karena takut kepada Allah. Barangsiapa menangis karena takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan tubuhnya dari neraka.”

“Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan istrinya memperhatikan suaminya,” kata Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan, “maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan perhatian penuh rahmat. Manakala suaminya merengkuh telapak tangannya

Page 4: Mukadimah berumah tangga

(diremasremas), maka berguguranlah dosadosa suamiistri itu dari selasela jarijemarinya.” (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar Rafi’ dari Abu Sa’id Al Khudri r.a.).

Bahkan, pahala yang didapatkan ketika bersetubuh dengan istri bisa mencapai tingkat pahala mati terbunuh dalam perang di jalan Allah. Nabi kita Muhammad alma’shum bersabda, “Sesungguhnya seorang suami yang mencampuri istrinya, maka pencampurannya (jima’) itu dicatat memperoleh pahala seperti pahala anak lelaki yang berperang di jalan Allah lalu terbunuh.”

Mengenai hadis yang disebut terakhir ini, saya tidak menemukan keterangan lebih lanjut. Tetapi dari berbagai hadis tentang jima’ dan bercumbu, kita mendapati bahwa keduanya merupakan sesuatu yang dihormati dan bagi yang melakukannya secara sah, Allah memberi pahala yang besar. Bahkan, orang yang meninggalkan jima’ bisa “keluar dari Islam” (tidak termasuk ummat Muhammad) manakala tindakannya menyebabkan suami atau istri mengalami penderitaan.

Wallahu A’lam bishawab.

Jika pernikahan Anda barakah, insya Allah Anda mendapati pernikahan sebagai jalan yang menyelamatkan. Siapa saja yang memperoleh keselamatan? Anda sendiri, istri atau suami Anda, anakcucu serta orangtua Anda, termasuk mertua. Mereka akan saling tolong menolong dengan amalnya sepanjang anak, istri, orangtua dan mertua tetap dalam keimanan dan takwa. Mereka yang derajat amalnya kurang disusulkan kepada yang derajat amalnya lebih  tinggi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan hal ini dalam surat Az Zukhruf ayat 70, Masuklah ke surga beserta istri kamu untuk digembirakan. Kemudian, di dalam surat Ar Ra’d ayat 23, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan, Surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama mereka yang saleh di antara orangtua mereka, istriistri mereka, dan keturunan mereka.

Abdullah bin ‘Abbas, kata Ath Thabrani dan Ibn Mardawaih, meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ketika seorang masuk ke surga, ia menanyakan orangtua, istri dan anak anaknya. Lalu dikatakan padanya, ‘Mereka tidak mencapai derajat amalmu.’ Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, aku beramal bagiku dan bagi mereka.’ Lalu Allah memerintahkan untuk menyusulkan keluarganya ke surga itu.”

Setelah itu Ibn ‘Abbas membaca surat Ath Thur ayat 21, Dan orang-orang beriman, lalu anakcucu mereka mengikuti mereka dengan iman, Kami susulkan keturunan mereka pada mereka, dan Kami tidak mengurangi amal mereka sedikit pun.

Pertanyaannya, bagaimana pernikahan bisa menjadi jalan keselamatan bagi mertua? Bukankah yang akan disusulkan adalah orangtua, istri dan anak cucu?

Mertua adalah orangtua teman hidup kita, istri kita. Jika saat menikah istri meniatkan untuk mencapai keselamatan agama dan menjaga kehormtan farjinya, insyaAllah yang demikian ini dapat membawa orangtuanya kepada keselamatan dunia akhirat.

Bukankah kalau seorang anak perempuan melakukan perbuatan dosa karena tidak dinikahkan oleh ayahnya pada saat ia seharusnya menikah, dosadosanya akan ditanggung oleh ayahnya?

Jadi, pernikahan barakah adalah jalan keselamatan. Memilih calon istri juga calon suami juga berarti memilih orang yang diharapkan dapat ikut menyelamatkan orangtua dan anakcucu kelak di yaumilqiyamah, seorang yang dapat ikut mendekatkan kepada syafa’at di hari akhir. Seorang istri yang membantu suaminya bertakwa dan memperbaiki akhlak, berarti membantu mertuanya mencapai surga.

Tindakannya sendiri merupakan “wasilah” untuk mencapai surga dan kasihsayang Allah bagi dirinya sendiri maupun orangtua, karena orangtua bisa disusulkan kepada derajat amal anaknya.

Wallahu A’lam bi Shawab.

Maka semakin besar barakah pernikahan Anda, berarti semakin luas wilayah keselamatan dan kedamaiannya. Tidak hanya keluarga, masyarakat pun bisa ikut memperoleh barakahnya, meskipun saat itu mereka tidak merasakan langsung. Sebab adakalanya barakah yang sampai ke masyarakat tampak dengan segera. Adakalanya, sesudah anakanak yang lahir dari pernikahan itu dewasa. Adakalanya malah sesudah mereka tidak ada lagi. Sebagian malah tidak terlihat secara kasat mata, padahal Allah menolak bencana karena satu orang ini. Misalnya, jika keluarga itu melahirkan seorang wali ‘abdal.

Siapakah wali ‘abdal itu? Abu Nu’aim dalam Hilyat Al Awliya’, kata K.H. Jalaluddin Rakhmat, meriwayatkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Karena merekalah Allah menghidupkan dan menolak bencana.” Sabda Nabi ini terdengar begitu berat sehingga Ibnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud ‘karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan’?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Karena mereka berdo’a kepada Allah supaya diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdo’a agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, maka Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena do’a mereka, Allah menolak berbagai bencana.”

Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka.

Page 5: Mukadimah berumah tangga

Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terima kasih khusus kepada mereka. Kata Rasulullah, “Mereka mencapai kedudukan mulia itu karena banyak shalat atau puasa.”

Karena apa mereka mencapai derajat itu? Bissakhai wannashihati lil muslimin, kata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum  muslimin.