muhammad taufik mencari nafkah hidup dari ilustrasi sampul ... fileterus kebanjiran proyek-proyek...

1
T EPAT pukul 14.00 WIB, cuaca di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (28/7), tampak mendung. Hiruk pikuk ken- daraan beroda dua dan empat di separuh Jalan TB Simatupang begitu padat dan merayap. Siang itu, Tauk hadir tepat waktu di sebuah tempat yang telah disepa- kati bersama. Dia terlihat menenteng sebuah tas hitam berisikan puluhan novel yang semua sampul depannya merupakan hasil rancangan ilustrasi- nya sendiri. “Perkembangan ilustrasi sampul novel di Indonesia telah berkembang dari tahun ke tahun. Ini menjadi tantangan bagi para ilustrator muda untuk menun- jukkan kemampuan yang berbeda,” ujar Tauk saat membuka pembicaraan. Pergelutan pria kelahiran 15 Maret 1979 dalam bidang ilustrasi, terutama pada desain sampul depan (hard cover) novel, telah ditekuni sejak 2003. Waktu itu, novel saduran karya Arabella Weir berjudul Does My Bum Look Big in This?/ Besar Itu Indah menjadi karya ilustrasi pertamanya yang diterbitkan oleh Gra- media. Ilustrasi yang terpampang pada ha- laman sampul novel tersebut menggam- barkan tentang sesosok wanita karier. Dengan pakaian kantoran yang ketat, wanita bertubuh seksi itu tengah sibuk menggunakan komputer. “Waktu itu, saya diminta pihak pener- bit untuk membuat ilustrasi untuk novel Does My Bum Look Big in This?. Setelah membaca sinopsis novel tersebut, saya langsung merancang desain sesuai to- kok utama dalam novel tersebut,” tutur peraih Indonesia Graphic Design Award 2010 itu. Tauk yang sering disapa eMTe itu mengakui perkembangan teknologi in- formasi yang semakin pesat akhir-akhir ini juga telah memengaruhi hasil kar- yanya sebagai seorang ilustrator novel. Untuk itu, penggunaan perangkat lunak (software) dalam menunjang kerja mutlak dilakukan. Setelah berhasil mengilustrasikan sam- pul novel saduran karya Weir itu, dia terus kebanjiran proyek-proyek serupa dari beberapa penerbit lainnya. “Untuk membuat ilustrasi, tidak asal coret-coret aja. Saya perlu mengetahui dulu jenis dan isi novel terlebih dahulu. Gaya ilustrasi juga berbeda-beda dan harus sesuai dengan tema besar,” jelas eMTe. Tak dapat dimungkiri, sampul sebagai jendela isi buku sangat penting. Pasalnya, daya tarik sampul harus dapat memikat pembaca untuk membaca, lalu membeli novel bersangkutan. Pekerjaan itu diakui eMTe sebagai sebuah tantangan. Setelah bertahun-tahun bergelut de- ngan berbagai genre novel, dia tahu betul karakteristik apa yang penting untuk ditonjolkan. Menurutnya, paling mudah mengerjakan ilustrasi untuk novel-novel cinta. “Saya hanya membutuhkan tokoh uta- ma dalam novel itu. Lain halnya dengan novel horor yang perlu penggabungan antara unsur abstraksi dan keangkeran,” tukasnya. Hingga kini, sudah ratusan sampul novel yang telah eMTe garap. Di antara- nya beberapa karya novelis internasional Sophie Kinsele (Twenties Girl, Remember Me?), Sarah Mason (High Society), dan Diane Settereld (The Thirteenth Tale). Sementara untuk novelis nasional, di antaranya NH Dini (Jalan Bandungan, Padang Ilalang di Belakang Rumah, Ka- mayoran, dan Sebuah Lorong di Kotaku). Lalu Clara Ng (Malaikat Jatuh), dan Intan Paramaditha (Sihir Perempuan). Profesi “Dunia ilustrasi novel sekarang ini cukup menjanjikan. Saya bekerja sendiri dari rumah, dan bidang ini telah saya tekuni secara profesional sebagai sebuah mata pencarian.” Sebagai sebuah profesi, eMTe tahu betul akan keuntungan dalam men- jalankan bisnis gambar tersebut. Rata- rata karya ilustrasinya dihargai Rp1,2 juta hingga Rp2,5 juta per buku. Untuk itu, dia mengakui pesanan dari penerbit selalu ada, yaitu 4 hingga 7 novel per bulannya. “Bila telah dicetak dan kemudian dire- visi, penerbit tetap memberikan komisi. Ini menjadi bisnis yang dapat menjamin masa tua seseorang. Penghasilan pasti lumayan besar,” tukasnya. Berapa besar pendapatan per bulan- nya? “Cukup lah. Saya merasa juga seperti seorang pekerja kantoran yang mendapatkan upah bulanan,” cetus eMTe. Cikal bakal menjadi ilustrator pro- fesional tidak terlepas dari dukungan kedua orang tuanya, M Ali Mas’ud dan Frida Heliyani. Setelah menamatkan SMA, dia lang- sung melanjutkan ke Jurusan Desain Gras Institut Kesenian Jakarta (IKJ), 1998-2004. Dari kampus itulah, dia me- nekuni dunia ilustrator secara tekun. “Orang tua saya tidak bisa melukis. Saya hanya belajar secara autodidak dan masuk di IKJ. Selama di kuliah, saya banyak tahu tentang ilustrasi.” Selain mengilustrasikan sampul novel, eMTe juga menggarap beberapa ilustrasi untuk beberapa majalah dan rumah re- kaman. Rata-rata pesanan per bulannya selalu membanjir. Untuk itu, dia me- lakukan pengelolaan dengan dibantu beberapa temannya. “Biasanya deadline cukup membuat saya untuk fokus bekerja. Untuk itu, saya memiliki manajemen khusus ber- sama teman-teman untuk menyusus agenda secara tepat. Penerbit selalu minta untuk jangan melewati batas deadline. Ini menjadi tanggung jawab penuh,” akunya. Bulan ini, misalnya, peraih Adikarya Award 2005 dan 2007 itu tengah meng- habiskan proyek pembuatan ilustrasi halaman sampul beberapa buku sejarah Batavia dan buku dengan tema ling- kungan. Kesibukan seperti itu sudah menjadi rutinitas yang dilakukan eMTe secara terampil dalam tujuh tahun tera- khir ini. Namun, bagaimanakah ilustrasi untuk buku-buku nonfiksi, seperti politik? eMTe mengaku untuk menggarap desain sampul buku politik, dia bukan ilustrator yang berkecimpung di dalamnya. Jadi, dia perlu mempelajari isu-isu politik yang tengah hangat terjadi. “Saya tidak mengikuti perkembangan politik sehingga akan sulit mengerja- kannya. Ilustrasi tidak asal dikerjakan saja. Perlu perhitungan yang tepat,” katanya. Jika memperhatikan sejumlah ilus- trasi yang ada di buku-buku pengarang Setterfield hingga NH Dini, terdapat beberapa ciri khas eMTe dalam menu- angkan warna dan pengolahan gras. Namun, beberapa gambar lainnya juga tidak begitu mencolok karena perpadu- an warna yang kurang pas. Salah satunya, ilustrasi sampul novel Malaikat Jatuh karya Clara Ng yang tidak begitu impresif. Dalam ilustrasi tersebut terdapat seorang anak kecil yang tengah memandang ke atas dahan sebuah po- hon kering. Di sela-sela ranting-ranting itu, ter- dapat sayap-sayap malaikat yang ter- sangkut. Anak kecil itu hanya menatap, seolah ingin memiliki sayap-sayap patah itu. Setidaknya, pertautan antara judul dan gambar dalam novel tersebut tidak begitu terikat. Hal ini dapat membuat pembaca cepat bosan. Dan, pastinya akan langsung melirik buku lainnya. “Kadang saya harus mengikuti per- mintaan penerbit untuk menuangkan ilustrasi ke dalam sampul novel. Ini yang terkadang sulit,” kilahnya. (M-6) [email protected] Dunia ilustrasi novel di Tanah Air semakin menjanjikan. Bidang ini berhasil dibuktikan Muhammad Tauk yang menjadikannya sebagai mata pencaharian. Iwan Kurniawan Entrepreneur | 9 MINGGU, 1 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA MI/PANCA SYURKANI Muhammad Taufik Mencari Nafkah Hidup dari Ilustrasi Sampul Novel

Upload: voduong

Post on 03-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEPAT pukul 14.00 WIB, cuaca di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (28/7), tampak mendung. Hiruk pikuk ken-

daraan beroda dua dan empat di separuh Jalan TB Simatupang begitu padat dan merayap.

Siang itu, Taufi k hadir tepat waktu di sebuah tempat yang telah disepa-kati bersama. Dia terlihat menenteng sebuah tas hitam berisikan puluhan novel yang semua sampul depannya me rupakan hasil rancangan ilustrasi-nya sendiri.

“Perkembangan ilustrasi sampul novel di Indonesia telah berkembang dari tahun ke tahun. Ini menjadi tantangan bagi para ilustrator muda untuk menun-jukkan kemampuan yang berbeda,” ujar Taufi k saat membuka pembicaraan.

Pergelutan pria kelahiran 15 Maret 1979 dalam bidang ilustrasi, terutama pada desain sampul depan (hard cover) novel, telah ditekuni sejak 2003. Waktu itu, novel saduran karya Arabella Weir berjudul Does My Bum Look Big in This?/Besar Itu Indah menjadi karya ilustrasi pertamanya yang diterbitkan oleh Gra-media.

Ilustrasi yang terpampang pada ha-laman sampul novel tersebut menggam-barkan tentang sesosok wanita karier. Dengan pakaian kantoran yang ketat, wanita bertubuh seksi itu tengah sibuk menggunakan komputer.

“Waktu itu, saya diminta pihak pener-bit untuk membuat ilustrasi untuk novel Does My Bum Look Big in This?. Setelah membaca sinopsis novel tersebut, saya langsung merancang desain sesuai to-kok utama dalam novel tersebut,” tutur peraih Indonesia Graphic Design Award 2010 itu.

Taufi k yang sering disapa eMTe itu mengakui perkembangan teknologi in-formasi yang semakin pesat akhir-akhir ini juga telah memengaruhi hasil kar-yanya sebagai seorang ilustrator novel. Untuk itu, penggunaan perangkat lunak (software) dalam menunjang kerja mutlak dilakukan.

Setelah berhasil mengilustrasikan sam-pul novel saduran karya Weir itu, dia terus kebanjiran proyek-proyek serupa dari beberapa penerbit lainnya.

“Untuk membuat ilustrasi, tidak asal coret-coret aja. Saya perlu mengetahui dulu jenis dan isi novel terlebih dahulu. Gaya ilustrasi juga berbeda-beda dan harus sesuai dengan tema besar,” jelas eMTe.

Tak dapat dimungkiri, sampul sebagai jendela isi buku sangat penting. Pasalnya, daya tarik sampul harus dapat memikat pembaca untuk membaca, lalu membeli novel bersangkutan. Pekerjaan itu diakui eMTe sebagai sebuah tantangan.

Setelah bertahun-tahun bergelut de-ngan berbagai genre novel, dia tahu betul

karakteristik apa yang penting untuk ditonjolkan. Menurutnya, paling mudah mengerjakan ilustrasi untuk novel-novel cinta.

“Saya hanya membutuhkan tokoh uta-ma dalam novel itu. Lain halnya de ngan novel horor yang perlu pengga bungan antara unsur abstraksi dan keangkeran,” tukasnya.

Hingga kini, sudah ratusan sampul novel yang telah eMTe garap. Di antara-nya beberapa karya novelis internasional Sophie Kinsele (Twenties Girl, Remember Me?), Sarah Mason (High Society), dan

Diane Setterfi eld (The Thirteenth Tale). Sementara untuk novelis nasional, di antaranya NH Dini (Jalan Bandungan, Padang Ilalang di Belakang Rumah, Ka-mayoran, dan Sebuah Lorong di Kotaku). Lalu Clara Ng (Malaikat Jatuh), dan Intan Paramaditha (Sihir Perempuan).

Profesi“Dunia ilustrasi novel sekarang ini

cukup menjanjikan. Saya bekerja sendiri dari rumah, dan bidang ini telah saya tekuni secara profesional sebagai sebuah mata pencarian.”

Sebagai sebuah profesi, eMTe tahu betul akan keuntungan dalam men-jalankan bisnis gambar tersebut. Rata-rata karya ilustrasinya dihargai Rp1,2 juta hingga Rp2,5 juta per buku. Untuk itu, dia mengakui pesanan dari penerbit selalu ada, yaitu 4 hingga 7 novel per bulannya.

“Bila telah dicetak dan kemudian dire-visi, penerbit tetap memberikan komisi. Ini menjadi bisnis yang dapat menjamin masa tua seseorang. Penghasilan pasti lumayan besar,” tukasnya.

Berapa besar pendapatan per bulan-

nya? “Cukup lah. Saya merasa juga seperti seorang pekerja kantoran yang mendapatkan upah bulanan,” cetus eMTe.

Cikal bakal menjadi ilustrator pro-fesional tidak terlepas dari dukungan kedua orang tuanya, M Ali Mas’ud dan Frida Heliyani.

Setelah menamatkan SMA, dia lang-sung melanjutkan ke Jurusan Desain Grafi s Institut Kesenian Jakarta (IKJ), 1998-2004. Dari kampus itulah, dia me-nekuni dunia ilustrator secara tekun.

“Orang tua saya tidak bisa melukis. Saya hanya belajar secara autodidak dan masuk di IKJ. Selama di kuliah, saya banyak tahu tentang ilustrasi.”

Selain mengilustrasikan sampul novel, eMTe juga menggarap beberapa ilustrasi untuk beberapa majalah dan rumah re-kaman. Rata-rata pesanan per bulannya selalu membanjir. Untuk itu, dia me-lakukan pengelolaan dengan dibantu be berapa temannya.

“Biasanya deadline cukup membuat saya untuk fokus bekerja. Untuk itu, saya memiliki manajemen khusus ber-sama teman-teman untuk menyusus agenda secara tepat. Penerbit selalu minta untuk jangan melewati batas deadline. Ini menjadi tanggung jawab penuh,” akunya.

Bulan ini, misalnya, peraih Adikarya Award 2005 dan 2007 itu tengah meng-habiskan proyek pembuatan ilustrasi halaman sampul beberapa buku sejarah Batavia dan buku dengan tema ling-kungan. Kesibukan seperti itu sudah menjadi rutinitas yang dilakukan eMTe secara terampil dalam tujuh tahun tera-khir ini.

Namun, bagaimanakah ilustrasi untuk buku-buku nonfiksi, seperti politik? eMTe mengaku untuk menggarap desain sampul buku politik, dia bukan ilustrator yang berkecimpung di dalamnya. Jadi, dia perlu mempelajari isu-isu politik yang tengah hangat terjadi.

“Saya tidak mengikuti perkembangan politik sehingga akan sulit mengerja-kannya. Ilustrasi tidak asal dikerjakan saja. Perlu perhitungan yang tepat,” ka tanya.

Jika memperhatikan sejumlah ilus-trasi yang ada di buku-buku pengarang Setterfield hingga NH Dini, terdapat beberapa ciri khas eMTe dalam menu-angkan warna dan pengolahan grafi s. Namun, be berapa gambar lainnya juga tidak begitu mencolok karena perpadu-an warna yang kurang pas.

Salah satunya, ilustrasi sampul novel Malaikat Jatuh karya Clara Ng yang tidak begitu impresif. Dalam ilustrasi tersebut terdapat seorang anak kecil yang tengah memandang ke atas dahan sebuah po-hon kering.

Di sela-sela ranting-ranting itu, ter-dapat sayap-sayap malaikat yang ter-sangkut. Anak kecil itu hanya menatap, seolah ingin memiliki sayap-sayap patah itu.

Setidaknya, pertautan antara judul dan gambar dalam novel tersebut tidak begitu terikat. Hal ini dapat membuat pembaca cepat bosan. Dan, pastinya akan langsung melirik buku lainnya.

“Kadang saya harus mengikuti per-mintaan penerbit untuk menuangkan ilustrasi ke dalam sampul novel. Ini yang terkadang sulit,” kilahnya. (M-6)

[email protected]

Dunia ilustrasi novel di Tanah Air semakin menjanjikan. Bidang ini berhasil dibuktikan Muhammad Taufi k yang menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Iwan Kurniawan

Entrepreneur | 9MINGGU, 1 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

MI/PANCA SYURKANI

Muhammad Taufik

Mencari Nafkah Hidup dari Ilustrasi Sampul Novel