moratorium: momentum penegakan transparansi, akuntabilitas dan integritas bersama

2
SIARAN PERS Moratorium: Momentum Penegakan Transparansi, Akuntabilitas dan Integritas secara bersama Jakarta 8 Maret 2012 – Kelompok Kerja Satuan Tugas REDD+ Indonesia untuk Monitoring Moratorium, hari ini mengadakan Lokakarya Nasional Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dalam Kerangka Instruksi Presiden 10/2011. Lokakarya tersebut dirancang sebagai forum multipihak dalam tindaklanjut usaha pemantauan pelaksanaan Inpres 10/2011 tentang Penundaan Penerbitan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, yang lebih sering dikenal dengan moratorium. Kementerian Kehutanan, Kemeterian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, berbagai organisasi masyarakat sipil, lembaga donor, dan perwakilan dari lembaga nonpemerintah lainnya hadir untuk memberikan rekomendasi untuk proses revisi Peta Iindikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) selanjutnya, rancangan standardisasi nasional untuk pemetaan lahan gambut, dan pengaduan masyarakat. “Kami tidak bekerja secara terisolir tapi menyatu ke dalam berbagai programprogram di pemerintahan, dengan pendekatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ini bukan program yang didominasi pemerintah, ini melibatkan semua,” jelas ketua Satgas Kelembagaan REDD+, Kuntoro Mangkusubroto. Pelembagaan koordinasi yang multipihak termasuk pihak diluar pemerintah dalam rangka pengumpulan data secara eksplisit dapat terlihat dari proses revisi PIPIB yang dilakukan setiap 6 bulan sekali. Melalui proses Lokakarya Nasional Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dalam Kerangka Inpres 10/2010 ini, Satgas REDD+ mengajak semua pihak untuk ikut memikirkan bagaimana menyelesaikan kompleksitas masalah perijinan dan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia yang penuh dengan berbagai konflik kepentingan. “Kita memahami bahwa Inpres Moratorium ini tidak memuaskan bagi semua pihak, disatu sisi ada pihakpihak yang kuatir bahwa pertumbuhan ekonomi akan terancam percepatannya, sementara pihakpihak lain kuatir bahwa moratorium ini kurang kuat untuk bisa menyelamatkan hutan Indonesia segera. Ini untuk saya merupakan indikator yang cukup baik bahwa apa yang kita kerjakan sekarang berada pada rel yang benar.” Demikian ungkap Kuntoro. Selanjutnya Kuntoro mengajak semua untuk mulai mencoba melihat satu titik tujuan dan proses pembangunan yang sama. “Keduanya memiliki tujuan yang samasama baik, mengembangkan ekonomi di satu sisi dan melindungi keutuhan hutan dan lahan gambut disisi lain. Tantangan perubahan iklim mengharuskan kita untuk bersamasama menemukan model pembangunan yang mensinergikan kedua tujuan itu dengan sempurna. Ekonomi

Upload: redd-indonesia

Post on 30-Mar-2016

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Siaran pers moratorium 8 Maret 2012

TRANSCRIPT

     SIARAN  PERS    Moratorium:  Momentum  Penegakan  Transparansi,  Akuntabilitas  dan  Integritas  secara  bersama    Jakarta  8  Maret  2012  –  Kelompok  Kerja  Satuan  Tugas  REDD+   Indonesia  untuk  Monitoring  Moratorium,   hari   ini   mengadakan   Lokakarya   Nasional   Penyempurnaan   Tata   Kelola   Hutan  Alam  Primer  dan  Lahan  Gambut  dalam  Kerangka  Instruksi  Presiden  10/2011.    Lokakarya   tersebut   dirancang   sebagai   forum   multipihak   dalam   tindak-­‐lanjut   usaha  pemantauan   pelaksanaan   Inpres   10/2011   tentang   Penundaan   Penerbitan   Izin   Baru   dan  Penyempurnaan   Tata   Kelola   Hutan   Alam   Primer   dan   Lahan   Gambut,   yang   lebih   sering  dikenal   dengan   moratorium.   Kementerian   Kehutanan,   Kemeterian   Pertanian,   Badan  Pertanahan  Nasional,  Badan  Koordinasi  Survei  dan  Pemetaan  Nasional,  Unit  Kerja  Presiden  Bidang  Pengawasan  dan  Pengendalian  Pembangunan,  berbagai  organisasi  masyarakat  sipil,  lembaga   donor,   dan   perwakilan   dari   lembaga   non-­‐pemerintah   lainnya   hadir   untuk  memberikan   rekomendasi   untuk   proses   revisi   Peta   Iindikatif   Penundaan   Izin   Baru   (PIPIB)  selanjutnya,   rancangan   standardisasi   nasional   untuk   pemetaan   lahan   gambut,   dan  pengaduan  masyarakat.      “Kami   tidak  bekerja   secara   terisolir   tapi  menyatu   ke  dalam  berbagai   program-­‐program  di  pemerintahan,   dengan   pendekatan   yang  melibatkan   berbagai   pemangku   kepentingan.   Ini  bukan   program   yang   didominasi   pemerintah,   ini   melibatkan   semua,”   jelas   ketua   Satgas  Kelembagaan   REDD+,   Kuntoro   Mangkusubroto.   Pelembagaan   koordinasi   yang   multipihak  termasuk  pihak  diluar  pemerintah  dalam   rangka  pengumpulan  data   secara  eksplisit   dapat  terlihat  dari  proses  revisi  PIPIB  yang  dilakukan  setiap  6  bulan  sekali.      Melalui   proses   Lokakarya   Nasional   Penyempurnaan   Tata   Kelola   Hutan   Alam   Primer   dan  Lahan   Gambut   dalam   Kerangka   Inpres   10/2010   ini,   Satgas   REDD+  mengajak   semua   pihak  untuk   ikut  memikirkan  bagaimana  menyelesaikan  kompleksitas  masalah  perijinan  dan  tata  kelola  hutan  dan  lahan  di  Indonesia  yang  penuh  dengan  berbagai  konflik  kepentingan.  “Kita  memahami  bahwa  Inpres  Moratorium  ini  tidak  memuaskan  bagi  semua  pihak,  disatu  sisi  ada  pihak-­‐pihak   yang   kuatir   bahwa   pertumbuhan   ekonomi   akan   terancam   percepatannya,  sementara   pihak-­‐pihak   lain   kuatir   bahwa   moratorium   ini   kurang   kuat   untuk   bisa  menyelamatkan   hutan   Indonesia   segera.   Ini   untuk   saya  merupakan   indikator   yang   cukup  baik  bahwa  apa  yang  kita  kerjakan  sekarang  berada  pada  rel  yang  benar.”  Demikian  ungkap  Kuntoro.      Selanjutnya   Kuntoro  mengajak   semua  untuk  mulai  mencoba  melihat   satu   titik   tujuan   dan  proses   pembangunan   yang   sama.   “Keduanya   memiliki   tujuan   yang   sama-­‐sama   baik,  mengembangkan   ekonomi   di   satu   sisi   dan  melindungi   keutuhan   hutan   dan   lahan   gambut  disisi  lain.  Tantangan  perubahan  iklim  mengharuskan  kita  untuk  bersama-­‐sama  menemukan  model   pembangunan   yang   mensinergikan   kedua   tujuan   itu   dengan   sempurna.   Ekonomi  

tetap   harus   berkembang,   namun   hutan   dan   lahan   gambut   yang   dimiliki   Indonesia   juga  mutlak  harus  diselamatkan.”    Moratorium   ini   merupakan   momentum   penting   dari   serangkaian   upaya   perbaikan   rezim  perizinan   di   Indonesia,   dengan   mulai   mempraktekkan   secara   sungguh-­‐sungguh   prinsip-­‐prinsip  tata  kelola  yang  baik  yaitu  transparansi,  partisipatif,  akuntabel  dan  berintegritas.    Inpres   10/2011   tidak   dimaksudkan   untuk   dengan   sendirinya   mengurangi   emisi   dari  deforestasi   dan   kerusakan   hutan,  melainkan   dimaksudkan   sebagai   penciptaan   ruang   bagi  pelaksanaan  upaya  untuk  memperbaiki   landasan  tata  kelola   lahan  dan  hutan  di   Indonesia.  Tata  kelola  hutan  dan  lahan  yang  baik,  dimana  hak  tenurial  semua  pihak  mampu  ditegakkan  dengan  efektif  oleh  pemerintah,  mutlak  diperlukan  dalam  rangka  pencapaian  pertumbuhan  ekonomi  yang  berkesinambungan.      “Tata   kelola   hutan   yang   lebih   baik   ini   sedang   dibangun   melalui   pelembagaan   proses  koordinasi,   pengumpulan   data,   serta   proses   dialog   yang   inklusif   mengenai   kemungkinan  peraturan-­‐peraturan   baru   yang   diperlukan   guna  mewujudkan   kesejahteraan   rakyat   tanpa  menghancurkan   hutan   dan   lahan   gambut   yang   merupakan   asset   penting   bagi  pembangunan.  Tata  kelola  yang  baru  nanti  diharapkan  akan  bebas  dari  korupsi,  berorientasi  kepada  pelayanan,  bersifat  terbuka  dan  akuntabel  serta  mampu  menegakkan  hukum  secara  efektif,”  papar  Kuntoro.      Prinsip-­‐prinsip  itu,  sejak  penandatanganan  moratorium  pada  20  Mei  2011,  secara  sungguh-­‐sungguh   berusaha   diwujudkan   Satgas   REDD+   bersama   kementerian   dan   lembaga   terkait  melalui   perumusan   rencana   aksi   untuk   dua   tahun   ke   depan.   Selain   itu,   Inpres   10/2011  dipandang  sebagai  alat  untuk:  1.    Mengenali  kesenjangan  data  dan  peraturan  dalam  perencanaan  tata  kelola  hutan,  lahan  gambut  dan  tata  ruang  (bentang  alam)  dan  menyusun  strategi  dan  rencana  untuk  mengisi  kesenjangan  tersebut;    2.     Menetapkan   indikator   keberhasilan   proses   penyempurnaan   perencanaan   tata   kelola  hutan,  lahan  gambut  dan  tata  ruang  (bentang  alam)  serta  tata  cara  pelaksanaannya;  3.    Mempercepat   perencanaan   tata   kelola   hutan,   lahan   gambut   dan   tata   ruang   (bentang  alam)   dengan   menggunakan   pendekatan   baru,   kapasitas   yang   telah   ditingkatkan   dan  peraturan  yang  diperbaiki,  didukung  oleh  kelembagaan  yang  kuat.    Satgas  REDD+  Indonesia  kemudian  akan  merekomendasikan  hasil  lokakarya  dan  pertukaran  informasi  yang  berlangsung  kepada  proses  perumusan  kebijakan  nasional.          Keterangan  lebih  lanjut:  Nirarta  Samadhi  Ketua  Kelompok  Kerja  Monitoring  Moratorium  Deputi  V  Unit  Kerja  Presiden  Bidang  Pengawasan  dan  Pengendalian  Pembangunan    [email protected]