mood and suicide

27
Mood Disorder and Suicide A. Definisi 1. Mood Disorder Gangguan pada mood yang berlangsung sangat lama tidak seperti biasanya atau parah dan cukup serius sehingga menghambat fungsi sehari-hari. B. Tipe-Tipe Gangguan Mood Gangguan mood dibagi menjadi dua garis besar: Gangguan-gangguan Depresi (unipolar) Gangguan depresi ini dianggap unipolar karena gangguan ini terjadi hanya pada satu arah atau kutub emosionalke bawah. Gangguan-gangguan Depresi ini dibagi menjadi dua gangguan lagi, yaitu: 1. Gangguan Depresi Mayor Gangguan depresi mayor adalah suatu gangguan mood yang parah yang ditandai dengan episode-episode depresi mayor. Diagnosis dari gangguan depresi mayor didasarkan pada satu atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manik atau hipomanik. Dalam episode depresi mayor, orang tersebut mengalami salah satu diantara mood depresi (merasa sedih, putus asa, atau ”terpuruk”) kehilangan minat, rasa senang atau berbagai aktivitas untuk episode waktu paling sedikit 2 minggu (APA, 2000). Orang dengan depresi mayor biasanya dapat kehilangan minat pada hampir semua

Upload: priadiwae

Post on 31-Jul-2015

91 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mood and Suicide

Mood Disorder and Suicide

A. Definisi

1. Mood Disorder

Gangguan pada mood yang berlangsung sangat lama tidak seperti biasanya

atau parah dan cukup serius sehingga menghambat fungsi sehari-hari.

B. Tipe-Tipe Gangguan Mood

Gangguan mood dibagi menjadi dua garis besar:

Gangguan-gangguan Depresi (unipolar)

Gangguan depresi ini dianggap unipolar karena gangguan ini terjadi hanya pada

satu arah atau kutub emosionalke bawah. Gangguan-gangguan Depresi ini dibagi

menjadi dua gangguan lagi, yaitu:

1. Gangguan Depresi Mayor

Gangguan depresi mayor adalah suatu gangguan mood yang parah yang

ditandai dengan episode-episode depresi mayor. Diagnosis dari gangguan depresi

mayor didasarkan pada satu atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya

riwayat episode manik atau hipomanik. Dalam episode depresi mayor, orang

tersebut mengalami salah satu diantara mood depresi (merasa sedih, putus asa,

atau ”terpuruk”) kehilangan minat, rasa senang atau berbagai aktivitas untuk

episode waktu paling sedikit 2 minggu (APA, 2000). Orang dengan depresi mayor

biasanya dapat kehilangan minat pada hampir semua aktivitas rutin dan kegiatan

senggang mereka. Mereka juga mengalami kesulitan dalam membuat keputusan

dan berkonsentrasi pada sesuatu hal, memiliki pikiran yang menekankan pada

kematian dan mencoba bunuh diri.

Gangguan depresi mayor adalah tipe yang paling umum dari gangguan mood

yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidupnya wanita

lebih banyak mengalaminya dibandingkan pria (APA,2000). Depresi mayor,

khususnya pada episode yang lebih parah atau lebih berat, dapat disertai dengan

ciri psikosis, seperti dengan delusi bahwa tubuhnya digerogoti penyakit (Coryell

dkk., 1996). Orang dengan dengan depresi berat juga dapat mengalami

Page 2: Mood and Suicide

halusinasi, seperti ”mendengar” suara-suara orang lain, atau iblis yang seolah-olah

mengutuk mereka atas kesalahan yang dipresepsikan.

Di bawah ini adalah ciri-ciri dari suatu episode depresi mayor yang digunakan

untuk mendiagnostik gangguan depresi mayor. Suatu episode depresi mayor

ditandai dengan munculnya lima atau lebih ciri-ciri atau simtom-simtom di bawah

ini selama suatu periode 2 minggu. Paling tidak satu dari ciri-ciri tersebut harus

melibatkan (1) mood yang depresi, atau (2) kehilangan minat atau kesenangan

dalam beraktivitas.

a. Mood yang depresi hampir sepanjang hari, dan hampir setiap hari.

Dapat berupa mood yang mudah tersinggung pada anak-anak atau remaja.

b. Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam semua atau

hampir semua aktivitas, hampir setiap hari, hampir sepanjang hari.

c. Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan

(5% dari berat tubuh dalam sebulan), tanpa upaya apa pun untuk berdiet, atau

suatu peningkatan atau penururnan dalam selera makan.

d. Setiap hari (hampir setiap hari) mengalami insomnia atau

hipersomnia (tidur berlebihan).

e. Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respons gerakan hampir

setiap hari.

f. Perasaan lelah atau kehilangan energi hampir tiap hari.

g. Perasaan tidak berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah

yang berlebihan atau tidak tepat hampir tiap hari.

h. Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi, berpikir jernih

atau membuat keputusan hampir setiap hari.

i. Pikiran yang muncul berulang-ulang tentang kematian atau bunuh

diri tanpa suatu rencana yang spesifik, atau munculnya suatu percobaan bunuh

diri atau rencana yang spesifik untuk melakukan bunuh diri.

Episode-episode depresi mayor dapat berlangsung dalam jangka bulanan atau

satu tahun atau bahkan lebih (APA, 2000; USDHHS, 1999a). Umumnya orang

yang pernah mengalami gangguan episode depresi mayor dapat kambuh lagi

diantara periode normal. Dengan adanya pola kemunculan berulang dari episode

Page 3: Mood and Suicide

depresi mayor, depresi mayor disebut sebagai gangguan kronis, bahkan sepanjang

hidup.

Bentuk-bentuk dari depresi mayor antara lain adalah:

a Gangguan afektif musiman

Sering disebut juga dengan SAD (seasonal affective <mood> disorder) yaitu

suatu perubahan mood yang dipengaruhi oleh perubahan musim atau cuaca

yang dapat merubah ritme biologis pada tubuh yang mengatur temperatur

tubuh dan siklus tidur-bangun (Lee dkk., 1998). Ciri-ciri orang yang

mengalami SAD antara lain rasa letih, tidur yang berlebihan, lapar akan

karbohidrat dan berat badan naik. Lebih banyak terjadi pada wanita dibanding

pria dan terjadi pada masa dewasa muda.

b. Depresi pasca melahirkan

Terjadi beberapa hari setelah proses melahirkan yang menyebabkan perubahan

proses hormonal. Depresi pasca melahirkan disebut juga dengan postpartum

depression (PPD). PPD sering kali ditandai dengan gangguan dalam selera

makan dan tidur, self esteem yang rendah, serta kesulitan-kesulitan dalam

mempertahankan konsentrasi atau perhatian. Depresi pasca melahirkan

dianggap sebagai suatu bentuk depresi mayor yang onset dari episode

depresinya bermula dari jangka waktu 4 minggu setelah melahirkan

(APA,2000). Depresi pasca melahirkan biasanya lebih ringan dibandingkan

bentuk-bentuk depresi mayor lainnya dan relatif cepat sembuh (whiffen &

gotlib, 1993).

2. Gangguan Distimik

Berasal dari bahasa Yunani yaitu dysthimia di mana dys- yang berarti buruk

dan thymos yang berarti spirit. Gangguan distimik merupakan suatu bentuk

depresi kronik yang lebih ringan daripada gangguan depresi mayor. Meski

gangguan distimik lebih ringan daripada gangguan depresi mayor, mood

tertekan atau dan self esteem rendah yang terus menerus dapat mempengaruhi

fungsi pekerjaan dan sosial orang tersebut

Page 4: Mood and Suicide

Gangguan Perubahan Mood (bipolar)

Gangguan depresi ini dianggap bipolar karena gangguan ini melibatkan ekses

baik depresi maupun rasa girang, biasanya dalam pola bergantian. Gangguan-

gangguan Depresi ini dibagi menjadi dua gangguan lagi, yaitu:

1. Gangguan bipolar

Adalah suatu gangguan yang ditandai dengan perubahan mood antara rasa girang

yang ekstreem dan depresi yang parah. Episode dari gangguan bipolar dapat

berupa manik atau depresi. Dalam episode manik, biasanya bertahan beberapa

minggu hingga beberapa bulan. Episode manik sendiri adalah suatu periode

peningkatan euforia yang tidak realistis, sangat gelisah, dan aktivitas yang

berlebihan, yang ditandai dengan perilaku yang tidak terorganisasi dan hendaya

dalam penilaian.

Ciri-ciri dalam episode manik:

a. Mood yang melambung atau mudah tersinggung selama sekurang-kurangnya

seminggu.

b. Meningkatnya kadar aktivitas dalam pekerjaan, secara sosial, dan seksual.

c. Lebih banyak bicara dibanding biasanya; berbicara dengan cepat.

d. Pikiran yang melompat-lompat atau kesan yang subjektif bahwa berbagai

pikiran seolah berkejaran.

e. Memerlukan tidur lebih sedikit dari biasanya.

f. Harga diri yang melambung;yakin bahwa ia memiliki bakat istimewa,

kekuatan dan kemampuan

g. Mudah terganggu, perhatian beralih dengan mudah.

h. Keterlibatan yang berlebihan dalam berbagai aktivitas yang menyenangkan

yang kemungkinan memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti

berbelanja tanpa perhitungan.

Menurut DSM gangguan bipolar umum dibagi menjadi 2:

Gangguan bipolar I

Page 5: Mood and Suicide

Orang tersebut paling tidak mengalami satu episode manik secara penuh, individu

biasanya mengalami perubahan mood antara rasa girang dan depresi dengan

diselingi periode antara berupa mood normal.

Gangguan bipolar II

Diasosiasikan dengan suatu bentuk maniak yang lebih ringan. Pada gangguan ini

seseorang akan mengalami satu atau lebih episode-episode depresi mayor dan

paling tidak satu episode hipomanik. Namum orang tersebut tidak pernah

mengalami episode manik secara penuh.

2. Gangguan Siklotimik

Gangguan siklotimik berasal dari kata yunani kyklos yang berarti ”lingkaran” dan

thymos (”spirit”). Ganguan ini diartikan sebagai tipe gangguan bipolar yang

ditandai dengan suatu pola yang kronis dari perubahan mood ringan yang kadang-

kadang meningkat menjadi gangguan bipolar. Berawal pada masa dewasa dan

berlangsung selama bertahun-tahun.

C. Etiologi

Faktor-faktor biologis:

Predisposisi genetik

Fungsi neurotransmiter yang terganggu

Abnormalitas pada bagian otak yang mengatur kondisi mood

Keterlibatan sistem endokrin yang memungkinkan dalam kondisi mood

Faktor-faktor sosial lingkungan:

Peristiwa hidup yang penuh tekanan, seperti kehilangan seseorang yang

dicintai atau lama menganggur.

Faktor-faktor behaviorial:

Kurangnya reinforcement

Interaksi yang negatif dengan orang lain, menghasilkan penolakan

Page 6: Mood and Suicide

Faktor-faktor emosional dan kognitif:

Dalam teori psikoanalisis klasik, kemarahan diarahkan ke dalam

Kesulitan emosional dalam melakukan copyng atas kehilangan orang yang

dikasihi

Kurangnya makna atau tujuan dalam kehidupan

Cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif, atau suatu gaya

atribusional yang cenderung depresi

Perspektif Teori Tentang Gangguan Mood

Teori Psikodinamika

Teori ini meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan yang diarahkan ke

dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah

dapat diarahkan pada self setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya atau

ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting. Para teoritikus

psikodinamika lebih berfokus pada hilangnya self esteem yang dapat muncul

saat orang kehilangan teman atau anggota keluarga ataupun mengalami

kemunduran atau kehilangan pekerjaan.

Teori Humanistik

Menurut kerangka humanistik, orang menjadi depresi saat mereka tidak dapat

mengisi keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-

pilihan uatentik yang menghasilkan self-fulfillment. Pencarian akan makna

memberikan warna dan arti bagi kehidupan manusia. Perasaan bersalah dapat

timbul saat orang percaya bahwa mereka tidak membangkitkan potensi-potensi

mereka. Para tokoh teori humanistik memiliki fokus yang sama dengan

teoritikus psikodinamik tetapi lebih menghubungkan identiras personal dan

rasa self-worth seseorang dengan peran-peran sosialnya sebagai orang tua,

pasangan, pelajar, atau pekerja.

Page 7: Mood and Suicide

Teori Belajar

Teoritikus belajar lebih memikirkan faktor-faktor situasional seperti kehilangan

reinforcement positif. Peter Lewinsohn (1974) menyatakan bahwa depresi

dihasilkan dari ketidakseimbangan antara output perilaku dan input

reinforcement yang berasal dari lingkungan. Kurangnya reinforcement untuk

usaha seseorang dapat menurunkan motivasi dan menyebabkan perasaan

depresi.

Teori Kognitif

Aaron Beck menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara

berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif di awal kehidupan. Teori

kognitif meyakini bahwa orang yang mengadopsi cara berpikir negatif

memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi depresi bila dihadapkan pada

pengalaman hidup yang menekan atau mngecewakan seperti mendapat nilai

buruk tau kehilangan pekerjaan.

Gambaran Skema dari Beck:

Triad Negatif(gambaran pesimis tentang diri, dunia, dan

masa depan)

Skema atau keyakinan negatif yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa hiduy yang negatif

(misalnya aumsi bahwa “saya harus sempurna”)

Bias-bias kognitif(missal: penyimpulan arbitrer)

DEPRESI

Page 8: Mood and Suicide

Teori Atribusi dan Learned Helplessness

Menurut teori ini, orang akan mengalami depresi apabila mereka

mengatriusikan peristiwa negatif dengan atribusi global dan stabil. Individu

yang rentan terhadap depresi adalah yang memperlihatkan gaya atribusi

depresif, yaitu kecenderungan untuk mengatribusi hasil yang buruk pada

kesalahan pribadi yangglobal dan menetap.

Teori Hopelessness

Penanganan Gangguan Mood

*Pendekatan Psikodinamika

Psikoanalisis tradisional bertujuan membantu orang yang depresi untuk

memahami perasaan mereka yang ambivalensi terhadap orang-orang (objek)

penting dalam hidup mereka yang telah hilang atau yang terancam akan hilang.

Psikoanalisis tradisional membutuhkan waktu yang lama untuk mengungkap

dan menghadapi konflik-konflik yang tidak disadari. Model psikoanalisis yang

baru yaitu IPT (Interpesonal Psychoterapy). IPT adalah suatu bentuk singkat

dari terapi yang berfokus pada hubungan interpersonal klien di saat ini. IPT

telah tampil sebagai suatu penanganan yang efektif bagi depresi mayor dan

menunjukkan harapan dalam menangani gangguan pikologis lainnya termasuk

gangguan distimik dan bulimia. IPT membutuhkan waktu yang lebih singkat

dibandingkan psikoanalisis tradisional. Terapis berperan untuk membantu klien

mengekpresikan kesedihannya dan menghadapi rasa kehilangannya sambil

Peristiwa menyakitkan

Atribusi pada faktor global dan stabil

Perasaan tidak berdaya, tidak ada respon yang

berarti untuk mengatasi situasi

DEPRESI

Peristiwa menyakitkan

Atribusi pada faktor global dan stabil atau faktor kognitif lain

Perasaan tidak berdaya, tidak ada respon yang

berarti untuk mengatasi situasi dan hasil yang diharapkan tidak akan

terjadi

DEPRESI

Page 9: Mood and Suicide

membimbing klien dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas dan hubungan-

hubungan baru untuk membantu memperbaharui kehidupan klien.

*Pendekatan Behavioral

Pendekatan behavioral menggunakan program terapi kelompok yng disebut

CWD (Coping With Depression) Course. Program ini membantu klien

memperoleh keterampilan relaksasi, meningkatkan aktivitas yang

menyenangkan, dan membangun keterampilan sosial yang memungkinkan

mereka untuk mendapatkan reinforcement sosial. Peseta program ini diajarkan

untuk menyusun suatu rencana self-change unutk berpikir lebih konstruktif,

serta unutk membuat suatu rencana sepanjang hidup unutk mempertahankan

hasil penanganan dan mencegah kambuhnya depresi. Terapis berperan sebagai

guru dan klien sebagai murid.

*Pendekatan Kognitif

Aaron Beck mengembangkan suatu pendekatan penanganan yang

multikomponen yang disebut terapi kognitif (Cognitive Therapy). Kognitif

terapi ini berfokus pada membantu klien dengan depresi belajar untuk

menyadari dan mengubah pola berpikir klien yang disfungsional. Terapi

kognitif ini merupakan suatu bentuk terapi yang singkat, biasanya 14 samapi

16 sesi mingguan. Terapis menggunakan kombinasi dari teknik-teknik

behavioral dan kognitif untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengubah

pikiran-pikiran yang disfungsional serta mengembangkan perilaku yang lebih

adaptif.

Pendekatan Biologis

Pendekatan biologis yang paling umum untuk menangani gangguan mood

melibatkan penggunaan obat-obatan antidepresan dan terapi elektrokonvulsif

untuk depresi serta litium karbonat untuk gangguan bipolar.

- Obat Antedepresan

Obat-obatan yang digunakan untuk menangani depresi mencakup beberapa

kelas dari antidepresan, yaitu tricyclic antidepressants (TCAs), monoamine

Page 10: Mood and Suicide

oxidase (MAO) inhibitors, dan selective serotonin-reuptake inhibitors

(SSRIs). Obat yang digunakan gangguan bipolar adalah obat litium

karbonat. Litium karbonat merupakan bentuk bubuk dari litium berelemen

metalik. Litium efektif menstabilkan mood orang yang menderita

gangguan bipolar dan dalam mengurangi eisode-episode kambuh dari

maniak dan depresi (Baldessarini & Tondo,2000; Grof & Alda,2000).

Namun litium umumnya lebih efektif dalam menangani simtom-simtom

manik daripada depresi.

- Terapi Elektrokonvulsif

Terapi elektrokonvulsif (Electroconvulsive therapy/ECT) lebih sering

disebut terapi kejutan (shock therapy). ECT melibatkan pengaliran arus

listrik ke kepala. Arus listrik antara 70 hingga 130 volt digunakan untuk

menginduksi suatu konvulsi yang serupa dengan serangan epilepsy grand

mal.

BUNUH DIRI

Menurut Maramis (1994), (percobaan) bunuh diri ialah segala perbuatan

seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat.

Pikiran atau upaya bunuh diri merupakan salah satu karakterisitik depresi

mayor yang terdapat dalam DSM. Oleh karena itu, definisi depresi biasanya

mencakup pikiran atau tindakan bunuh diri. Dengan gejala yang sama, bila para

penderita skizofrenia atau masalah penyalahgunaan zat melakukan tindakan

bunuh diri, seringkali mereka juga didiagnosis menderita depresi (Roy, 1982; Roy

& Linnoila, 1986). Dengan demikian tidak mengherankan bila pemikiran untuk

bunuh diri banyak dimiliki orang-orang yang sakit mental, mengingat perilaku

yang menghancurkan diri sendiri tersebut diindikasikan sebagai salah satu ciri

beberapa gangguan mental.

Bunuh diri merupakan tindakan kompleks dan multisegi (Berman & Jobes,

1996; Brown dkk., 2000; Hoyert dkk., 2001; Moscicki, 1995). Tidak ada satupun

teori yang dapat menjelaskannya.

Page 11: Mood and Suicide

PERBANDINGAN ANTARA ORANG-ORANG YANG BERUPAYA DAN

BERHASIL BUNUH DIRI

Karakterisitik Orang-orang yang

Berupaya Bunuh Diri

Orang-orang yang

Berhasil Bunuh Diri

Gender Mayoritas perempuan Mayoritas Laki-laki

Usia Terutama berusia muda Risiko meningkat berkaitan

dengan usia

Metode Tingkat kefatalan rendah

(pil, memotong urat nadi)

Lebih keras (dengan senjata

api, melompat)

Diagnosis umum Gangguan distimik

Gangguan kepribadian

ambang skizofrenia

Gangguan mood mayor

Alkoholisme

Emosi dominan Depresi disertai

kemarahan

Depresi disertai

keputusasaan

Motivasi Perubahan kondisi

Mengharapkan

pertolongan (cry for help)

Depresi disertai

keputusasaan

Kematian

Riwayat rumah sakit Kesembuhan singkat dari

disforia

Sikap terhadap

upaya bunuh diri

Lega karena dapat selamat

Berjanji untuk tidak

mengulangi

Sumber: Diadaptasi dari Fremouw dkk, 1990

Beberapa mitos tentang Bunuh Diri, terdapat banyak miskonsepsi tentang

bunuh diri yang diyakini secara umum (Fremouw dkk., 1990; Pokorny, 1968;

Shneidman, 1973);

1. Orang-orang yang berkata ingin bunuh diri tidak akan melakukan tindakan

tersebut

2. Bunuh diri dilakukan tanpa memberi peringatan

3. Hanya orang-orang dari kelas tertentu yang melakukan bunuh diri

Page 12: Mood and Suicide

4. Menjadi anggota kelompok keagamaan tertentu adalah prediktor yang baik

bahwa seseorang tidak akan berpikir untuk bunuh diri

5. Motif bunuh diri dapat dengan mudah diketahui

6. Semua orang yang melakukan tindakan bunuh diri berada dalam keadaan

depresi

7. Seseorang yang menderita penyakit fisik yang mematikan tidak mungkin

melakukan bunuh diri

8. Tindakan bunuh diri merupakan tindakan psikotik

9. Bunuh diri dipengaruhi faktor-faktor kosmik

10.Membaiknya kondisi emosional berarti mengurangu risiko bunuh diri

11.Bunuh diri merupakan kesepian

12.Orang-orang yang berniat bunuh diri memang ingin mati

13.Berpikir untuk bunuh diri merupakan hal yang jarang terjadi

14.Menanyakan kepada seseorang, terutama orang yang depresi, tentang bunuh

diri akan memojokkannya dan menyebabkan tindakan bunuh diri yang

sebenarnya tidak akan terjadi jika tidak ditanyakan

15.Orang-orang yang mencoba bunuh diri dengan cara yang kefatalannya rendah

tidak sungguh-sungguh ingin membunuh dirinya sendiri

Perspektif Bunuh Diri

Ketika membayangkan bunuh diri biasanya berpikir tentang seseorang

yang penuh dengan perhitungan melakukan tindakan dramatis yang dipilih secara

eksplisit untuk mengakhiri hidupnya dengan segera, misalnya; perempuan yang

duduk di dalam garasi dengan mesin mobil menyala, laki-laki dengan ujung pistol

menempel di pelipisnya, atau seorang anak dengan sebotol obat tidur orang

tuanya. Namun, para ahli bunuh diri juga menganggap seseorang memiliki niat

bunuh diri jika mereka bertindak dengan cara yang tidak tampak jelas ingin

menghancurkan diri sendiri, namun dapat menyebabkan cedera serius atau

kematian setelah kurun waktu lama, seperti pasien diabetes yang menolak untuk

diberi insulin atau tidak patuh terhadap aturan diet atau seseorang yang menderita

alkoholisme yang tetap minum alkohol dan tidak mencari pertolongan terlepas

Page 13: Mood and Suicide

dari kesadaran terhadap kerusakan yang diakibatkan pada tubuhnya. Kadangkala

disebut kematian subintensional, tindakan yang jelas bunuh diri tersebut makin

merumitkan tugas untuk memahami dan mengumpulkan data statistik mengenai

bunuh diri (Shneidman, 1973).

Berbagai pemikiran tentang ciri-ciri dan penyebab bunuh diri dapat

ditemukan di banyak tempat (Shneidman, 1987). Surat-surat dan catatan harian

dapat memberikan insight tentang fenomenologi orang-orang yang bunuh diri.

Banyak motif bunuh diri yang dikemukakan (Mintz, 1968): agresi yang

dibalikkan ke diri sendiri; pembalasan yang dilakukan dengan cara menimbulkan

perasaan bersalah pada orang lain; upaya untuk memaksakan cinta dari orang lain;

upaya untuk melakukan perubahan atas kesalahan yang dilihat pada masa lalu;

keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal; dan

keinginan atau kebutuhan untuk melarikan diri dari stress, kehancuran, rasa sakit,

atau kekosongan emosional.

Suatu teori tentang bunuh diri yang didasari penelitian dalam bidang

psikologi sosial dan kepribadian menyatakan bahwa beberapa tindakan bunuh diri

dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan

atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan (Baumeister, 1990). Berbagai laporan

media massa tentang bunuh diri dapat menyebabkan meningkatnya angka bunuh

diri. Kemungkinan yang tidak menyenangkan ini dibahas oleh Bandura (1986),

dan yang mengkaji penelitian oleh Philips (1974, 1977, 1983) menunjukkan

beberapa hubungan berikut:

1. Bunuh diri meningkat hingga 12 persen pada bulan berikutnya menyusul

kematian Marilyn Monroe.

2. Publikasi berbagai kematian karena tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh

orang-orang yang tidak terkenal juga diikuti peningkatan angka bunuh diri

secara signifikan, menunjukkan bahwa hal yang menjadi penting adalah

publikasi itu sendiri dan bukan keterkenalan orang yang melakukannya.

3. Publikasi peristiwa pembunuhan-bunuh diri diikuti oleh meningkatnya

kecelakaan mobil dan pesawat di mana pengemudi dan penumpang tewas.

Page 14: Mood and Suicide

4. Berbagai laporan media massa tentang kematian wajar orang-orang yang

terkenal tidak diikuti peningkatan angka bunuh diri, menunjukkan bahwa

bukan rasa dukacita semata yang merupakan faktor berpengaruh.

Pandangan Teori-Teori terhadap Bunuh Diri

1. Psikoanalisis Freud

Freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan. Ketika seseorang

kehilangan orang yang dicintai sekaligus dibencinya, dan meleburkan orang

tersebut dengan dirinya, agresi dirahkan ke dalam. Jika perasaan ini cukup

kuat, orang yang bersangkutan akan bunuh diri.

2. Sosiologis Durkheim

Emile Durkheim (1897, 1951), menganalisis berbagai laporan bunuh diri

dari berbagai negara dan periode sejarah dan menyimpulkan bahwa penihilan

diri sendiri dapat dipahami secara sosiologis. Ia membedakan 3 jenis bunuh

diri.

a. Bunuh diri egostik dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sedikit

keterikatan dengan keluarga, masyarakat, atau komunitas. Orang-orang ini

merasa terasingkan dari orang lain, tidak memiliki dukungan sosial yang

penting agar mereka tetap berfungsi secara adaptif sebagai makhluk sosial.

b. Bunuh diri altruistik dianggap sebagai respon terhadap berbagai tuntutan

sosial. Beberapa orang yang bunuh diri merasa sangat menjadi bagian suatu

kelompok dan mengorbankan diri untuk melakukan hal yang dianggapnya

menjadi kebaikan bagi masyrakat.

c. Bunuh diri anomik dipicu oleh perubahan mendadak dalam hubungan

seseorang dengan masyarakat.

3. Shneidman dan Farberow, membagi orang yang melakukan bunuh diri

menjadi 4 golongan, yaitu:

a. Mereka yang percaya bahwa tindakan bunuh diri itu benar, sebab

mereka memandang bunuh diri sebagai peralihan menuju kehidupan yang

lebih baik atau mempunyai arti untuk menyelamatkan nama baiknya

(misalnya: hara-kiri)

Page 15: Mood and Suicide

b. Mereka yang sudah tua, hal ini ditemukan pada orang yang

kehilangan anak atau cacat jasmaninya, yang menganggap bunuh diri

sebagai suatu jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan bagi

mereka.

c. Mereka yang psikotik dan bunuh diri di sini merupakan jawaban

terhadap halusinasi atau wahamnya.

d. Mereka yang bunuh diri sebagai balas dendam, yang percaya

bahwa karena bunuh diri orang lain akan berduka cita dan mereka sendiri

akan dapat menyaksikan kesusahan orang lain itu.

4. Herbert Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh diri

sebagai berikut:

a. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (death as retaliatory

abandonment)

Bunuh diri dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang

rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia

dapat mengontrol dan mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.

b. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (death

as retroflexed murder)

Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, bunuh diri dapat

mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresi. Orang ini

cenderung untuk bertindak kasar dan bunuh diri dapat merupakan

penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk

membunuh.

c. Kematian sebagai penyatuan kembali (death as reunion)

Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu

akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal. Lebih sering

ditekankan pada rasa puas untuk mengikuti yang telah meninggal itu.

d. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (death as self

punishment)

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi

pada wanita, akan tetapi jika seorang ibu tidak mampu mencintai, maka

Page 16: Mood and Suicide

keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit

jiwa, perasaan tidak berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal

yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena

agresi, individu itu mencoba berbuat baik lagi, tetapi akhirnya ia

menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.

Panduan Untuk Menangani Klien yang Berpikir Untuk Bunuh Diri

Prosedur Umum

1. Berbicara tentang bunuh diri secara terbuka dan berdasarkan fakta

2. Hindari kat-kata negatif tentang perilaku atau motif bunuh diri

3. Sampaikan teori penyelesaian masalah tentang perilaku bunuh diri dan pertahankan

sudut pandang bahwa bunuh diri merupakan solusi yang tidak adaptif dan tidak efektif

4. Libatkan orang-orang yang signifikan bagi klien, termasuk terapis lain

5. Jadwalkan sesi secara cukup sering dan pertahankan disiplin misalnya sekurang-

kurangnya beberapa waktu dalam terapi difokuskan untuk tujuan jangka panjang terapi

6. Tetap menyadari betapa banyaknya variabel dalam diri pasien, dan hindari

mengambil atau menerima tanggung jawab secara berlebihan atas perilaku ingin bunuh

diri pasien

7. Lakukan terus konsultasi profesional dengan seorang kolega

8. Lakukan terus kontak berkala dengan orang-orang yang menolak menjalankan terapi

Sumber: Linehan, 1981, dalam H. Glazer dan J. Clarkin (Ed.), Depression, Behavioral,

Directive Interpretation Strategies (hlm 229-294), New York : Garland. Hak cipta 1981

Page 17: Mood and Suicide

Gangguan Mood15% pasien

gangguan mood kemudian bunuh

diri

Percobaan bunuh diri10% percobaan bunuh diri kemudian berhasil 10 tahun terakhir

Gambar hubungan gangguan perasaan dengan percobaan bunuh diri:

Bunuh Diri

45-70% orang yang bunuh diri memiliki gangguan moodsegala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat

19-24% orang berhasil bunuh diri pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya

Page 18: Mood and Suicide

DAFTAR PUSTAKA

Maramis, W.E. (1995). Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Erlangga University Press.Maslin, R. (2001). Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. Fausiah. (2003). Psikologi Abnormal Klinis.Nevid,J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2003). Psikologi Abnormal (jilid 1). Jakarta: Erlangga