modul+i%2c+anemia
TRANSCRIPT
LAPORAN KELOMPOK
SISTEM HEMATOLOGI
Modul I
“ANEMIA”
OLEH :Kelompok B5
Dosen Tutor :dr. Ibrahim Supu
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
KELOMPOK B5
C 111 07 013 JEANE EVELYN RATNANINGSIH BR.
C 11107 053 ADNAN YUSUF
C 111 07 055 SHABRINA
C 111 07 112 AMALIA MULIA UTAMI
C 111 07 136 FITRIANI SYAIFULLAH
C 11107 140 M. FARID HUZEIN
C 111 07 157 IVANNA SIROWANTO
C 111 07 180 SYUKRI LA RANTI
C 111 07 AMALIA RIDHAYANA
C 111 07 219 DEWI YUNITA DONER
C 111 07 224 WILLIAM
C 111 07 251 ADINDA SRI ASIH
C 111 07 265 M. SAHRUL
C 111 07 336 NURUL SOLIHAH ADAM
MODUL I
ANEMIA
Skenario
Seorang wanita 30 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan cepat lelah dan merasa lemah. Di
saat bersepeda pernah mau pingsan. Sering demam, dan mimisan. Menurut keluarganya dia
terlihat lebih pucat dari biasanya.
Kata Kunci
Wanita 30 tahun
Cepat lelah dan lemah
Hampir pingsan
Sering Demam
Mimisan (epistaksis)
Pucat
Pertanyaan
1. Bagaimana proses hematopoiesis (eritropoiesis, granulopoiesis, trombopoiesis)?
2. Bagaimana patomekanisme setiap gejala yang ada pada scenario dan kaitannya dengan
anemia?
3. Penyakit-penyakit apa saja yang sesuai untuk scenario di atas? Jelaskan etiologi, patogenesis,
gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium penyakit tersebut!
4. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada skenario di atas?
5. Bagaimana penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasi penyakit-penyakit pada no.3?
Jawaban
1. Proses hematopoiesis
Dalam proses pembentukan darah selalu akan terbentuk dua komponen penting yakni:
- Bagian yang Berbentuk (Formed Elements). Terdiri atas sel – sel darah merah (eritrosit),
sel – sel darah putih (leukosit), keping – keping darah (tombosit; platelet) yang bentuknya
dapat dilihat melalui mikroskop.
- Bagian yang Tidak Berbentuk(Unformed Elements). Plasma yan terdiri atas molekul –
molekul air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, enzim dan lain – lain. (Buku IPD hal
619)
Namun dari kedua kompenen di atas, yang akan menjadi fokus pembahasan adalah
bagian yang berbentuk (Formed Elements).
Proses pembentukan sel darah (hemopoesis; hematopoiesis) normalnya berlangsung
dalam sumsum tulang. Namun sejumlah komponen darah seperti sel T dan sel B mengalami
pendewasaan di luar sumsum tulang. Dalam sumsum tulang ini terdapat sel – sel yang
disebut sel stem hemopoietik pluripoten, yang merupakan asal dari seluruh sel – sel dalam
darah sirkulasi (guyton). Teori unitarian menyebutkan bahwa jenis sel ini jumlahnya sedikit
namun kemapuannya berproliferasi sangat luar biasa.
Sel stem pluripoten merupakan sel yang sudah ada sejak perkembangan janin yang tidak
langsung menghilang ketika manusia mengalami proses pertumbuhan akibat diferensiasi
fungsi dan morfologi. Sel ini tetap mempertahankan fungsinya untuk menjaga agar sel – sel
darah tetap dapat diproduksi sepanjang hayat. Sel stem pluripoten ini terus menerus
bereproduksi lalu berdiferensiasi untuk membentuk jenis – jenis sel darah yang berbeda –
beda. Gambaran skema diferesiensi sel stem pluripoten dapat dilihat pada gambar berikut:
Asal sel yang paling muda masih tidak tidak dapat dikenali sebagai suatu sel yang
berbeda dari sel stem pluripoten, walaupun sel – sel in telah membentuk suatu jalur sel
khusus yang disebut sel stem commited.
Berbagai sel stem commited, bila ditumbuhkan dalam biakan, akan menghasilkan koloni
tipe sel darah yang spesifik. Suatu sel stem commited yang menghasilkan eritrosit disebut
unit pembentuk koloni eritrosit, dan singkatan CFU-E digunakan untuk menandai jenis sel
stem ini. Demikian pula, unit yang membentuk koloni granulosit dan monosit disingkat
dengan CFU-GM dan seterusnya. Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh
bermacam – macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan dan diferensiasi.
Penginduksi pertumbuhan dan diferensiasi sel darah terdiri atas dua golongan besar
yakni:
1. Non-lineage-spesific Growth Factor
Golongan penginduksi ini bersifat tidak spesifik sehingga dapat menginduksi
pertumbuhan lebih dari satu jenis sel darah. Penginduksi ini disebut juga penginduksi
pertumbuhan. Contohnya adalah:
o IL-3 yang dapat menginduksi semua jenis pertumbuhan sel darah
o GM-CSF yang menstimulasi produksi granulopoiesis dan produksi makrofag
2. Lineage-Spesific Growth Factor
Penginduksi golongan ini terlibat pada proses diferensiasi dan pendewasaan jenis sel
darah yang bersifat spesifik. Penginduksi ini disebut juga Penginduksi diferensiasi.
Contohnya:
o Erythropoietin yang menstimulus proses pembentukan sel darah merah
o G-CSF yang menginduksi pembentukan granulosit dan menstimulus proliferasi
sel darah putih.
o M-CSF yang mempengaruhi produksi makrofag
o Thrombopoietin yang mempengaruhi CFU-Megakarosit.
Pembentukan protein penginduksi dan pendeferensiasi itu sendiri dikendalikan oleh
faktor – faktor di luar sumsum tulang. Sebagai contoh, pada sel darah merah, kontak tubuh
dengan oksigen berkonsentrasi rendah akan mengakibatkan induksi pertumbuhan,
diferensiasi, dan produksi eritrosit dalam jumlah yang sangat meningkat.
Seperti yang diperlihatkan pada gambar 1, proses diferensiasi dan pendewasaan sel darah
dari sel stem pluripoten melalui beberapa proses agar dapat membentuk eritrosit, granulosit,
limfosit dan platelet. Proses pembentukan masing – masing sel darah ini kemudian disebut
eritropoesis, granulopoesis, limfopoesis dan trombopoesis.
2. Patomekanisme dan hubungan antargejala
Gejala-gejala pasien yang disebutkan pada kasus yakni seorang wanita dengan keluhan
cepat lelah dan merasa lemah, sering demam, mimisan, dan lebih pucat dari biasanya.
Keluhan cepat lelah, lemah, dan pucat dapat dikaitkan pada terjadinya defisiensi eritrosit.
Hal ini jika dihubungkan dengan fungsi eritrosit, yakni mengangkut oksigen dan
mengedarkannya ke seluruh tubuh. Jika eritrosit berkurang, maka pengangkutan O2 pun ikut
berkurang. Akibatnya, proses pembakaran glukosa pada sel-sel tubuh untuk menghasilkan
energi juga akan berkurang yang akan menyebabkan kondisi tubuh yang lemah, sepat lelah,
dan pucat akibat kekurangan energi.
Keluhan sering demam dapat dikaitkan dengan terjadinya leukositopenia, yang
menyebabkan tubuh lebih mudah terkena infeksi. Leukosit merupakan komponen sel darah
yang berfungsi sebagai agen pertahanan tubuh terhadap benda asing yang masuk, baik bakteri,
virus, jamur, dan benda asing lainnya. Sehingga jika terjadi defisit dari leukosit, maka
pertahanan tubuh terhadap agen asing itu pun akan berkurang, akibatnya tubuh akan rentan
terhadp infeksi benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Mimisan yang terjadi dikaitkan dengan terjadinya trombositopenia, yakni defisiensi dari
trombosit. Hal ini berkaitan dengna fungsi trombosit pada proses koagulasi (pembekuan
darah), sehingga jika terjadi defisiensi erotrosit, maka tubuh akan rentan terhadap gejala-
gejala perdarahan seperti:
a) Ekimosis dan petekie (pendarahan di dalam kulit)
b) Epistaksis (perdarahan hidung)
c) Perdarahan saluran cerna
d) Perdarahan saluran kemih dan kelamin
e) Perdarahan sistem saraf pusat
3. Penyakit-penyakit yang mungkin pada scenario di atas :
Anemia Aplastik
Anemia Hemolitik
Anemia Defesiensi Besi
Anemia Malignancy
Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan
pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan
produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun.
Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif,
aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15-25 tahun; puncak insiden kedua
yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun.
Etiologi
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
Patogenesis
Defek yang mendasari pada semua kasus tampaknya ada pengurangan yang bermakna
dalam jumlah sel induk pluripotensial hemopoietik, dan kelainan pada sel induk yang ada
atau reaksi imun terhadap sel induk tersebut, yeng membuatnya tidak mampu membelah dan
berdiferensiasi secukupnya untuk mengisi sumsum tulang.
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh
ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi.
Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun
terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling
sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada
penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-
obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi
terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML).
Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C,
G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat
berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara).
Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari
sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh
paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan
rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang
ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
Gejala Klinis
Pansitopenia
o hipoplasia eritropoetik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala
anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan
lain-lain.
o Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
o Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir
atau pendarahan di organ-organ.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi, pada tabel
Tabel : Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2
Jenis Keluhan %
Pendarahan
Lemah badan
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
83
80
69
36
33
29
26
23
19
13
Pada pemerikasaan fisis dapat ditemukan hepatomegali pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan.
Pemeriksaan Laboratorium
a) Anemia bersifat normokrom normositik, atau makrositik . MCH seringkali 95-110 fl.
Jumlah retikulosit biasanya sangat rendah jika dikaitkan dengan derajat anemia.
b) Leukopenia. Terdapat penurunan selektif granulosit, biasanya tetapi tidak selalu sampai
di bawah 1,5 x 109/l. Pada kasus-kasus berat jumlah limfosit rendah. Netrofil tampak
normal dan kadar fosfatase alkalinya tinggi.
c) Trombositopenia selalu ada dan, pada kasus berat, kurang dari 10 x109/l
d) Tidak ada sel darah abnormal dalam darah tepi
e) Sumsum tulang memperlihatkan adanya hipoplasia, dengan hilangnya jaringan
hemopoetik dan penggantian oleh lemak yang meliputi lebih dari 75% sumsum tulang.
Biopsy trephine sangat penting dilakukan dan dapat memperlihatkan daerah seluler
berbercak pada latar belakang hiposeluler. Sel-sel utama yang tampak adalah limfosit dan
sel plasma; megakariosit sangat berkurang dan tidak ada.
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan destruksi eritrosit.
Hyperplasia eritropoesis dan pelebaran anatomic sumsum tulang menyabkan meningkatnya
destruksi eritrosit beberapa kali lipat sebelum pasien menjadi anemis-penyakit hemolisis
terkompensasi.
Etiologi
Berdasarkan etiologinya anemia hemolitik dibagi menjadi
1. Anemia hemolitik akibat kelainan extracorpusculer, yaitu disebabkan oleh kelainan-
kelainan yang tedapat di luar eritrosit, yaitu dalam plasma
2. Anemia hemolitik intracorpusculer, yaitu disebabkan oleh kelainan-kelainanyang terdapat
di dalam eritrosit.
Patofisologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravakuler. Hal ini tergantung pada patologi
yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskuler, destruksi eritrosit terjadi
langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen, dan aktivasi
sel permukaan atau infeksiyang langsung mendegradasi dan mendestruksi membrane sel
eritrosit. Hemolisis intravaskuler jarang terjadi.
Destruksi eritrosit biasanya terjadi setelah masa hidup rata-rata 120 hari, yaitu pada saat
dikeluarkan ke esktravaskular oleh makrofag system retikulosit endothelial (RE) yang
terutama terdapat pada di sumsum tulang, tetapi jug di hati dan limpa.
Gejala Klinis
Pasien mungkin memperlihatkan kepucatan membrane mukosa, ikterus ringan yang
berfluktuasi, dan splenomegali. Tidak ada bilirubin dalam urin, tetapi urin dapat menjadi
gelap karena urobilinogen yang berlebihan.
Pada pasien dengan pemecahan eritsosit sangat hebat, sebagian hemoglobin tidak dapat
dipecahkan menjadi Fe, biliverdin, dan globin, sehingga hemoglobin secara bebas dilarutkan
dalam plasma. Oleh karena itu, plasma menjadi merah. Di dalam darah juga umumnya
ditemukan retikulosit dan pada sumsum tulang ditemukan aktivitas dari system darah merah
meningkat luar biasa.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran peningkatan pemecahan :
a. Bilirubin serum meningkat tidak terkonjugasi dan terikat pada albumin
b. Urobilinogen urine meningkat
c. Sterkobilinogen feses meningkat
d. Haptoglobin serum tidak ada karena haptoglobin menjadi jenuh oleh hemoglobin dan
kompleks ini dikeluarkan oleh RE.
2. Gambaran peningkatan produksi eritrosit :
a. Retikulositosis
b. Hyperplasia eritroid sumsum tulang; rasio myeloid; eritrosit sumsum tulang normal
sebesar 2:1 sampai 12:1 menurun menjadi 1:1 atau sebaliknya
3. Eritrosit yang rusak :
a. Morfologi-mikrosferosit, eliptosit, fragmentosit, dll
b. Fragilitas osmotic, autohemolisis, dll
c. Ketahanan eritrosit memendek; paling baik ditunjukkan oelh pelabelan 51Cr disertai
pemeriksaan lokasi destruksi.
Anemia Defesiensi Besi
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan
besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang
pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini
adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui.
Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
a.Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis,
hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b.Salan genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia.
c.Salura kemih : hematuria
d.Saluran napas : hemoptoe.
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan
rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan
dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
5. Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara
itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.
Patogenesis
Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb).Kekurangan Fe
mengakibatkan kekurangan Hb.Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit
mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi makin
menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila
kekurangan zat besi berlanjut terus maka penyediaan zat besi untuk eritropoesis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum
terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis.Selanjutnya timbul anemia
hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency anemia.
Gejala Klinis
Anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala
lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis
lain, seperti :
1. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
2. Glositis : iritasi lidah
3. Keilosis : bibir pecah-pecah
4. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia
mayor. RDW (red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya
anisositosis.Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar
hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan
gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah
menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel
pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus
dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit dan trombosit normal.
Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering
dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-kelompok normo-
blast basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat
>350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia
defisensi besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang
meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari
jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin
serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.
Anemia Malignancy
Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita keganasan (kanker).
Penyebabnya dan mekanismenya kompleks dan multifaktor. Sering kali tidak diikuti dengan
gejala adanya infiltrasi ke sumsum tulang atau adanya kehilangan darah, hemolisis, kelainan
ginjal, hati atau endokrin, ataupun adanya tanda-tanda defisiensi nutrisional. Anemia yang
disebabkan oleh kanker, bisa terjadi sebagai efek langsung dari keganasan, dapat sebagai
akibat produksi zat-zat tertentu yang dihasilkan kanker, atau dapat juga sebagai akibat dari
pengobatan kanker itu sendiri. Pada waktu-waktu yang lalu, anemia yang terjadi pada pasien
kanker selalu dihubungkan dengan anemia karena penyakit kronik. Jenis anemia ini sekarang
disebut sebagai anemia yang berhubungan dengan kanker atau Cancer-Related Anemia
(CRA). Efek ini dikenal sebagai sindroma paraneoplastik.
Etiologi
Anemia disebabkan oleh sitokin
1. Gangguan pemakaian zat besi
2. Penekanan terhadap sel progenitor eritrosit (sel darah merah)
3. Produksi eritropoietin tidak memadai
4. Pemendekan umur sel darah merah
Anemia karena efek langsung Neoplasma
1. Anemia pada Kanker: Efek Langsung dari Keganasan
Kehilangan darah (pendarahan) akut ataupun kronik.
o Keganasan dari saluran cerna
o Kanker kepala dan leher
o Kanker urogenital.
o Kanker pada cervix dan vagina
Pendarahan dalam tumor sendiri (intratumor) Sakoma
o Melanoma yang sangat besar
o Hepatoma
o Kanker ovarium
o Tumor cortex adrenal
Anemia karena proses phagositosis dari eritrosit
o Retikulositosis histiocytic medular
o Limfoma histiositik
o Neoplasma histiositik yang lain.
Penggantian sumsum tulang
o Leukemia
o Limoma
o Mieloma
o Carcinoma (payudara, prostat)
Patogenesis
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan karena
aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan peningkatan beberapa
petanda sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin yang
semuanya disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh sel kanker sendiri.
Kanker dapat menyebabkan anemia dalam berbagai cara. Normalnya, ginjal membuat
hormon erythropoietin dan sebagai pengiriman signal ke bone marrow untuk memproduksi
eritrosit. Kanker dapat mengganggu proses ini dengan jalan melambatkan proses
pembentukan erythropoietin atau dengan menghambat penggunaan zat besi oleh tubuh. Pada
pasien kanker pula eritrosit dapat habis atau mati lebih cepat daripada normalnya dan proses
penggantiannya lebih lambat terjadi daripada orang normal, selain itu, kanker dapat
menyebabkan bleeding, yang berujung pada kekurangan darah. Pada beberapa kasus, jumlah
sel darah merah yang sedikit menyatakan jumlah hemoglobin yang beredar di tubuh, yang
mengangkut oksigen juga sedikit.
Gejala Klinis
Efek Anemia Pada Penderita Kanker secara klinis konsekuensi anemia berikut di bawah.
o Gangguan oksigenasi jaringan.
o Gangguan fungsi organ.
o Gangguan kualitas hidup.
o Meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya pendarahan karena trombositopenia.
o Meningkatkan angka kematian pasca operasi.
o Meningkatkan kemungkinan mendapat transfusi darah pasca kemoterapi.
o Meningkatkan absorpsi besi bila eritropoiesis tidak efektif.
o Menurunkan umur kehidupan (karena infeksi HIV ).
1. Gejala anemia
Kira-kira 75% dari semua pasien kanker melaporkan adanya rasa lelah (fatigue) yang dapat
dimanifestasikan sebagai rasa lemah, kurang energi, sulit memulai dan mengakhiri suatu
pekerjaan, serta rasa ingin tidur saja seharian. Rasa lelah merupakan gejala utama pada
pasien kanker. Anemia juga menyebabkan berbagai keluhan lain seperti palpitasi (rasa
berdebar), gangguan fungsi kognitif, mual, menurunnya temperatur kulit, gangguan fungsi
imun, vertigo, sakit kepala, nyeri dada, nafas pendek, dan depresi.
2. Gambaran Klinis dari Anemia
a. Lelah dan menurunnya kualitas hidup
b. Meningkatnya angka kematian
c. Menurunnya efektivitas pengobatan
4. Pendekatan diagnosis pada pasien anemia
Anemia adalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang dapat
disebabkan olen berbagai penyakit dasar(underlying disease). Hal ini penting diperhatikan
dalam diagnosis anemia. Tidak cukup hanya sampai diagnosis anemia, tetapi sedapat
mungkin harus dapat menentukan penyakit dasar yang menentukan anemia tersebut. Maka
tahap-tahap diagnosis anemia adalah:
o Menentukan adanya anemia
o Menentukan jenis anemia
o Menentukan etiologi dan penyakit dasar anemia
o Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan
Pada scenario di atas, nampak bahwa pasien menunjukkan gejala-gejala anemia.
Tetapi untuk menentukan diagnosis diperlukan anamnesis yang lebih jelas. Misalnya
menanyakan riwayat perdarahan, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat pengobatan
sebelumnya, serta riwayat penyakit keluarga agar dapat ditegakkan diagnosis dan
pemeriksaan selanjutnya.
Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan dengan cara, misalnya dengan
pendekatan tradisional (anamnesis, pemeriksaan fisis, hasil laboratorium, kemudian
analsis dan sintesis), atau dapat juga dilakukan berdasarkan sifat gejala anemia, gejala
anemia yang lebih menonjol dijumpai pada anemia hemolitik, defesiensi besi, atau
aplastik, sedangkan jika gejala penyakit dasarnya yang lebih menonjol, anemia dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik, penyakit hati, ginjal atau keganasan (kanker).
5. Penatalaksanaan
o Anemia Aplastik
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan
kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel ).
Manajemen Awal Anemia Aplastik
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab
anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat
diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
(misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari
donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien,
orang tua dan saudara kandung pasien.
o TST. Allogenik (kuratif) usia < 45 th, tersedia donor
o Terapi imunosupresif : Anti Thymocyte Globulin (ATG) atau Anti Lymphocyte Globulin
(ALG)
o Cyclosporine
o Glucocorticoid dosis tinggi
o High-dose Cyclophospamide
o Androgen : contoh Danazol
antithymocyte globulin (ATG) antilymphocyte globulin (ALG)
Prognosis
Dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila
transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan
transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia
kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50%
pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan
karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD
kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah
mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi stem sel.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki
jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau
trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal
nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada
40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama
dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang
lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang
lebih bertahan lama.
o Anemia Hemolitik
Penatalaksanaan
Terapi anemia hemolitik didasarkan pada penyebabnya. Dapat dilakukan splenoktomi dan
transfusi darah.
o Anemia Defesiensi Besi
Penatalaksanaan
1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan
antelmintik yang sesuai.
2. Pemberian preparat Fe :
Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi
elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat
besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
3. Bedah
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena
diverticulum Meckel.
4. Suportif
Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi yang bersumber dari
hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan).2,4
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap
anemia difesiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya, misalnya : pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak
maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :
a. Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan
aman.preparat yang tersedia, yaitu:
i. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan efektif).
Dosis: 3 x 200 mg.
ii. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,harga
lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.
b. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya,serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu :
i. Intoleransi oral berat;
ii. Kepatuhan berobat kurang;
iii. Kolitis ulserativa;
Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
o Anemia Malignancy
Penatalaksanaan
1. Defisiensi nutrisional
Bila kehilangan darah sedikit-sedikit yang terus-menerus tidak merupakan suatu problem
utama, tetapi gejala anemia tidak juga teratasi, maka harus dicari/diperiksa kemungkinan
adanya defisiensi besi, asam folat, atau vitamin B12, dan terapi suplemen harus diberikan
kalau ditemukan tanda-tanda difisiensi. Kalau anemia tidak berat, terapi suplemen cukup
untuk menghilangkan gejalanya dan mengembalikan hemoglobin ke batas normal.
2. Defisiensi zat besi
Pemberian zat besi diperlukan sebagai kombinasi dengan pengobatan yang menstimulasi
eritropoiesis, seperti rHuEPO, untuk mengobati anemia secara efektif, dan juga akan
mengurangi kebutuhan rHuEPO untuk mengoreksi hemoglobin. Defisiensi besi fungsional,
sebagai akibat dari penggunaan yang tidak adekuat dan adanya gangguan transpor besi guna
eritropoiesis, merupakan keadaan yang sering menyebabkan respon rHuEPO tidak adekuat di
antara penderita gagal ginjal dan juga mungkin merupakan faktor penting pada anemia
kronik pada kanker. Besi dapat diberikan secara oral atau intravena, walau ada gangguan
gastrointestinal yang agak mengganggu dan potensial terjadinya ketidakpatuhan pada
pemakaian oral. Pemberian besi intravena, juga kadang-kadang kurang mengenakkan dan
mahal, kadang-kadang dapat dikuti dengan beberapa gejala efek samping seperti anafilaksis.
3. Transfusi sel darah merah
Transfusi sel darah merah hanya diberikan pada kasus anemia akut setelah terjadi
pendarahan, pada kasus anemia kronik yang bergejala tetapi tidak berhasil dengan terapi besi,
dan pada pasien anemia yang berat yang tidak cukup waktu untuk menerima pemberian
rHuEPO. Walaupun di negara-negara maju, transfusi relatif aman, namun masih juga terjadi
efek samping atau penyulit pada transfusi sel darah merah, misalnya infeksi oleh karena
transfusi, reaksi alloimunisasi dan imunosupresi yang merupakan hal-hal penting yang harus
dipertimbangkan sebelum memberikannya. Terutama imunosupresi yang akan meningkatkan
pertumbuhan sel tumor.
4. Terapi dengan menstimulasi eritropoiesis
Dengan adanya kemajuan pada teknik rekombinan DNA dan dapat dibuat faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik (Haematopoietic Growth Factors), penggunaan rHuEPO lebih
dari satu dekade yang lalu, telah menunjukkan pendekatan baru terhadap pengobatan dan
pencegahan terjadinya anemia pada kanker. Pada penderita-penderita yang kadar EPO
endogennya rendah, pemberian EPO eksogen memberikan manfaat. Mekanisme kerjanya dan
efek imunologik dan hematologiknya ekuivalen dengan EPO endogen.
Walaupun terapi pada anemia terhadap keganasan telah difokuskan pada pengobatan
penyebab yang mendasari, telah banyak laporan adanya perbaikan dari massa sel darah
merah dengan pemberian rHuEPO pada pasien penyakit kanker yang menjalani pengobatan
dengan radiasi dan kemoterapi, seperti cisplatin dan carboplatin. Peneliti-peneliti juga
melaporkan bahwa ada perbaikan dari kualitas hidup yang dihubungkan dengan pemberian
EPO.
Analsis dan Sintesis
Table diagnosis banding scenario
Anemia AplastikAnemia
Hemolitik
Anemia
Defesiensi Besi
Anemia
Malignancy
Wanita √ √ √ √
30 tahun √ √ √ √
Cepat lelah dan
lemah√ √ √ √
Pingsan √ √ - √
Sering Demam √ - - -
Mimisan
(epistaksis)√ - - -
Pucat √ √ √ √
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami maka diagnosis sementara kami berdasarkan
gejala-gejala pada scenario adalah Anemia Aplastik. Karena gejala-gejala yang diberikan
memenuhi untuk diagnosis Anemia Aplastik. Tetapi untuk lebih menegakkan diagnosis maka
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk penentuan diagnosis dan pemilihan terapi.
DD
Gejala Klinis
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC.
Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI
Sudoyo,W.Aru.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.Nejm, 352 : 1011-1023.
Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life: prevalence, significance, and
causes in patients receiving palliative care. Medlineplus. 26:1132-1139.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2005/
http://www.anemia.org/patients/