model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

60
1 MODEL RANCANGBANGUN DAN REKAYASA PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah di Jawa Timur hingga saat ini telah membuktikan bahwa kebutuhan sumberdaya alam semakin banyak dan senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin serius, terutama di kawasan lahan kering. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman prioritas pemanfaatan sumberdaya alam dan pembinaan wilayah dengan melibatkan secara penuh segenap warga setempat, terutama di kawasan lahan kering Jawa Timur Bagian Selatan yang potensi sumberdaya alamnya sangat terbatas karena merupakan perbukitan berkapur dan kondisi pembangunan wilayahnya masih agak tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh wilayah lahan kering pada umumnya adalah terbatasnya alternatif kesem patan kerja di luar sektor pertanian, sehingga pertambahan pen duduk senantiasa akan diikuti oleh meningkatnya tekanan atas sumber daya lahan. Khususnya di daerah Jawa Timur Bagian Selatan ini 90% dari total keluarga adalah merupakan keluargatani, dengan 98% dari keluarga tani mengusahakan pekarangan dan 92% mengusahakan tegalan, dengan rataan luas usahatani untuk kawasan proyek sekitar 0,9 Ha dengan 43% berada pada kisaran 0,05 - 0,49 Ha, 25% dalam kisaran 0,49 - 0,99 Ha dan sisanya 32% > 1,0 Ha setiap keluarga tani. Kondisi seperti ini memaksa kita semua untuk senantiasa mencari alternatif- alternatif khusus bagi pembangunan wilayah lahan

Upload: vuongdiep

Post on 25-Jan-2017

260 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

1

MODEL RANCANGBANGUN DAN REKAYASA PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah di Jawa Timur hingga saat ini telah

membuktikan bahwa kebutuhan sumberdaya alam semakin banyak dan senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin serius, terutama di kawasan lahan kering. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman prioritas pemanfaatan sumberdaya alam dan pembinaan wilayah dengan melibatkan secara penuh segenap warga setempat, terutama di kawasan lahan kering Jawa Timur Bagian Selatan yang potensi sumberdaya alamnya sangat terbatas karena merupakan perbukitan berkapur dan kondisi pembangunan wilayahnya masih agak tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya.

Salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh wilayah lahan kering pada umumnya adalah terbatasnya alternatif kesem patan kerja di luar sektor pertanian, sehingga pertambahan pen duduk senantiasa akan diikuti oleh meningkatnya tekanan atas sumber daya lahan. Khususnya di daerah Jawa Timur Bagian Selatan ini 90% dari total keluarga adalah merupakan keluargatani, dengan 98% dari keluarga tani mengusahakan pekarangan dan 92% mengusahakan tegalan, dengan rataan luas usahatani untuk kawasan proyek sekitar 0,9 Ha dengan 43% berada pada kisaran 0,05 - 0,49 Ha, 25% dalam kisaran 0,49 - 0,99 Ha dan sisanya 32% > 1,0 Ha setiap keluarga tani. Kondisi seperti ini memaksa kita semua untuk senantiasa mencari alternatif-alternatif khusus bagi pembangunan wilayah lahan kering yang mampu memenuhi segenap kebutuhan dasar bagi kehidupan segenap warganya dan sekaligus melestarikan sumberdaya alamnya. Sebagian besar wilayah seperti ini sudah semenjak dahulu merupakan pusat kegiatan ekonomi tradisional dan sekaligus menjadi pusat pemukiman penduduk. Berbagai usaha pertanian, termasuk peternakan dan bahkan seringkali juga peman faatan hasil hutan berkembang dengan berbagai permasalahannya, termasuk permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang kadangkala berdampak sangat luas.

Suatu sistem wilayah lahan kering pada kenyataannya sangatlah kompleks, ber sifat dinamis, dan senantiasa berinteraksi dengan sistem-sistem wilayah lainnya. Pende katan "sistem" dipersyaratkan demi keber-hasilan penelaahan permasalahan dalam kerangka pencarian alternatif- alternatif program khusus untuk dapat lebih mendorong dan memacu proses

Page 2: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

2

pembangunan dan pembina annya. Melalui serangkaian analisis sistem dapat ditelaah struktur sistem wilayah lahan kering dalam upaya mendapatkan struktur yang optimal, sehingga dengan mensimulasi input sistem diharapkan dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut ialah dimungkinkannya rekayasa agro-sosio-teknologi arahan bagi setiap sistem usahatani komoditas yang ada, serta kelembagaan sosial-ekonomi pendukungnya.

Upaya penunjang partisipasi masyarakat dalam pengem bangan sumberdaya manu sia yang ada sangat diperlukan. Upaya tersebut dapat berupa pelatihan ketrampilan peng gunaan teknologi tepat guna, pengenalan jenis usaha dan komoditas baru yang lebih bernilai ekonomis, pelatihan ketrampilan dalam pengelolaan dan pengetahuan pemasaran yang disertai dengan penyediaan fasilitas perhubungan, komunikasi serta sarana kesehatan dan sarana kemasyarakatan, perbaikan gizi, keluarga berencana, pengadaan pasar dan pengembangan jaringan pemasaran. Sebagaimana dike tahui bahwa salah satu kegiatan pokok usaha pertanian di lahan kering adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang terbatas. Pengelolaan sumberdaya lahan secara rasional, disamping perlu mempertimbangkan faktor-faktor sosial-ekonomi dan budaya, maka juga harus tetap memperhatikan potensi sumberdaya lahan itu sendiri atau zone agro-ekologi sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan (sustainable) yang pada gilirannya akan bermuara pada sasaran akhir yaitu peningkatan penghasilan warga masyarakat desa.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini diharap kan dapatnya menya jikan landasan-landasan yang digunakan sebagai bahan rekomendasi rekayasa tehnologi tepat guna untuk pengembangan wilayah sasaran penelitian, yaitu di 31 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Ponorogo - Jawa Timur, yang sementara mendapatkan prioritas dalam penanganannya.

1.2. Masalah dan Strategi Pembangunan Lahan Kering Beberapa hal yang menjadi permasalahan tentang sistem pertanian

lahan kering pada umumnya dapat dikemukakan sebagai berikut :(1) Kapabi-litas sumberdaya alam yang rendah, terutama lahan dan air, (2) Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan, (3) Keterbatasan penguasaan modal dan teknologi, (4) Lemahnya kemampuan kelembagaan (formal) penunjang pembangunan , dan (5) Masih rendahnya akses masyarakat terhadap peluang- peluang bisnis yang ada.

Secara runtut persoalan pada wilayah lahan kering tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Page 3: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

3

(a). Kondisi sumberdaya air dan lahan dicirikan oleh bentuk muka lahan bergelombang hingga berbukit sehingga laju limpasan permukaan dan erosi cukup intensif dan mengakibatkan solum tanah yang ada sekarang umumnya tipis hingga sangat tipis.

(b). Neraca lengas lahan tahunan tidak berimbang, perbedaan sangat mencolok antara surplus di musim hujan dan defisit pada musim kemarau sehingga mengakibatkan musim pertumbuhan di lahan kering relatif sangat singkat. Keadaan ini diperparah oleh keterbatasan kemampuan profil tanah untuk menyimpan air hujan.

(c). Sebagai akibatnya produktivitas usahatani lahan kering umumnya rendah.

(d). Pada wilayah yang produktivitasnya rendah, maka sarana dan prasarana perhubungan yang ada untuk mengangkut hasil menjadi terbatas, kelembagaan penunjang pemba ngunan juga menjadi lemah. Kondisi demikian justeru mengakibatkan mahalnya biaya produksi, disisi lain harga komoditas yang diterima petani juga menjadi rendah karena biaya transportasi menjadi mahal dan kelembagaan ekonomi menjadi lemah, sehingga keuntungan usahatani sebagai sumber pendapat an utamanya menjadi rendah.

(e). Rendahnya keuntungan dalam usahatani mengakibatkan rendahnya permodalan petani, sehingga investasi lebih lanjut dalam kegiatan usahatani juga rendah. Dengan sendi rinya produktivitas menjadi semakin rendah.

(f). Motivasi dan kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi konservasi lahan dan air menjadi terbatas, sehingga apabila tidak ada intervensi dari luar, atau mendapatkan sumber pendapatan lain dari sektor non-pertanian dan ada kelebihan yang dapat diinvestasikan pada lahan keringnya , diperkirakan sistem usahatani lahan kering akan berkembang ke arah degradasi sumberdaya alam dan dapat berdampak pada penu runan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Dari persoalan ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan wilayah

kecamatan lahan kering, disamping dapat mendukung perkembangan sektor non-pertanian, juga memerlukan dukungan sektor non-pertanian. Berdasar-kan permasalahan dan tujuan peren canaan, memang bukan sekedar mendapatkan rekomendasi umum, melainkan lebih ditekankan pada perencanaan strategi pengembangan dan program aksi/implementasi secara lebih rinci yang realistis dan dapat dilaksanakan pada situasi dan kondisi wilayah. Untuk mencapai tujuan ini digunakan pendekatan "sistem" yang dijabarkan ke dalam empat pola analisis untuk menyusun profil wilayah dan masyarakat di kecamatan ini. Keempat pola analisis tersebut adalah (i) Pola analisis ruang, yang hasilnya berupa peta, transek atau gambar-gambar

Page 4: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

4

sketsa wilayah, (ii) Pola analisis waktu, yang hasilnya berupa siklus kegiatan, dan kalender musiman, (iii) Pola analisis aliran, yang hasilnya berupa flow chart yang menyatakan aliran materi, moneter, informasi atau kegiatan, dan (iv) Pola analisis keputusan (pengelolaan), yang hasilnya berupa diagram-diagram pengambil an keputusan atau diagram Venn keterkaitan antar kelembagaan di pedesaan.

Dengan menggunakan pendekatan tersebut di atas disusunlah profil wilayah, yang selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam analisis kondisi dan kendala wilayah kecamatan. Berdasarkan faktor pembatas dan kendala yang ditemukan disusunlah konsep strategi pengembangan wilayah.

1.3. Tujuan Model Perencanaan Berdasarkan hal-hal di atas , maka penelitian ini dilaksa nakan dengan

tujuan :(a). Mengembangkan data-base sumberdaya lahan yang dapat digunakan

untuk berbagai kepentingan perencanaan sistem usahatani konservasi di lahan kering secara cepat.

(b). Mengevaluasi potensi, kendala dan kapabilitas lahan kering secara lokal di berbagai wilayah penelitian dan menyusun wilayah tersebut dalam "zone agro ekologi".

(c). Merancang alternatif paket rekomendasi teknologi sistem usahatani konservasi di lahan kering yang layak teknik-ekonomis, aman lingkungan dan dapat diadopsi masyarakat.

1.4. Keluaran yang Diharapkan Beberapa keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah

(a). Database sumberdaya lahan, sumberdaya air, iklim, kelayakan ekonomis beberapa tipe usahatani tanaman pangan, horti kultura, perkebunan, kehutanan dan ternak dan usahatani komoditi lahan kering, yang akses komputer.

(b). Penyusunan "zone agro ekologi" di wilayah penelitian dan alternatif rancangan sistem usahatani konservasinya, di wilayah enam kabupaten yang ditentukan.

(c). Informasi tentang penunjang kegiatan produksi, pemasaran dan kele-starian lingkungan di wilayah penelitian seperti peranan aparat pemerintahan, lembaga sosial, perbankan, organisasi wanita tani, lembaga-lembaga lain yang saling berkaitan.

1.5. Kontribusi PenelitianHasil-hasil penelitian ini adalah model atau bentuk reko mendasi

rekayasa teknologi sistem usahatani konservasi di lahan kering dari masing-

Page 5: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

5

masing wilayah sasaran yang disesuaikan dengan kondisi lahan, jenis usahatani yang dikembangkan dan dukungan sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan yang terkait.

Secara lebih rinci manfaat hasil penelitian ini adalah sbb:(a). Bagi petani, sebagai informasi tambahan agroteknologi lahan kering

dalam upaya mengembangkan dan sekaligus meles tarikan lahan usahanya sehingga dapat membe rikan manfaat secara berkesinambungan.

(b). Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam pe-rencanaan pembangunan pertanian lahan kering , terutama penyusunan paket-paket teknologi sistem usahatani konservasi di lahan kering yang berke-lanjutan .

(c). Bagi instansi/lembaga penyuluhan, sebagai masukan dan tambahan informasi serta materi penyuluhan, khususnya dalam hal pengelolaan lahan kering.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

2 . Beberapa Informasi Ilmiah

2.1. Pembangunan PertanianPembangunan pertanian yang berkelanjutan (Sustainable Agricultural

Development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan (hidup) masa kini tanpa kompromi dengan kemampuan dan kesempatan generasi masa depan atau tanpa mengurangi apa yang menjadi bagian atau jatah masa depan (World Comision on Environment and Development, dalam Kisdarjono, 1987). Salah satu unsur pokok pembangunan pertanian adalah teknologi pertanian (Mosher, 1976). Agar pembangunan pertanian tersebut berkelanjutan, maka penerapan teknologi pertanian terhadap tanah untuk memperoleh produksi harus disertai dengan penerapan untuk pelestarian agar tanah tetap mampu memberikan dukungannya secara berkelanjutan (Redclift, 1987). Teknologi konservasi tanah dan air adalah merupakan salah satu macam teknologi pertanian yang memperhatikan unsur pelestarian

Page 6: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

6

sumberdaya. Khususnya untuk lahan kering, Satari, dkk. (1991) menyatakan perlunya lima syarat yang harus dipenuhi dalam teknologi pertanian lahan kering, yaitu (i) teknis bisa dilaksanakan, (ii) ekonomis menguntungkan, (iii) sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.

Di pedesaan lahan kering Pacitan, penerapan teknologi konservasi ini dimungkinkan apabila ada subsidi dari pemerintah, terutama di lokasi yang tekanan penduduknya atas lahan pertanian sangat besar . Hal ini kecuali karena biaya penerapan teknologi konservasi adalah tinggi, juga membutuhkan tenaga banyak, serta membutuhkan waktu yang lama untuk dapat meng hasilkan, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga petani dalam waktu singkat. Mengingat kondisi ekonomi petani di pedesaan lahan kering pada umumnya lemah, maka bagi mereka tidak mungkin/sulit menerapkan teknologi konservasi tanpa adanya subsidi dari pemerintah Di sisi lain, areal lahan yang memerlukan penerapan teknologi konservasi adalah cukup luas. Oleh karena itu pemberian subsidi akan menjadi kendala bagi pemerintah karena memerlukan dana yang sangat besar. Sebenarnya penerapan teknologi konservasi tanah dan air ini dimung-kinkan apabila tekanan penduduk atas lahan pertanian adalah rendah. Akan tetapi menurut Soemarwoto (1987), berdasarkan data sensus 1980, tekanan penduduk di pedesaan lahan kering Jawa pada umumnya tergolong tinggi. Dalam kondisi yang demikian, tanpa adanya dukungan sektor non-pertanian, akan terjadi "involusi pertanian" di lahan kering, artinya petani akan mengutamakan tanaman pangan yang sekedar untuk menyambung kebutuhan pokok hidupnya. Jika terjadi demikian, maka peluang petani untuk memupuk modal tidak dapat terjadi. Salah satu upaya untuk memutus siklus involusi ini adalah dengan pemindahan sebagian tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, melalui industrialisasi pedesaan. Dalam perspektif pembangunan yang lebih luas, industrialisasi pedesaan bukan merupakan tujuan akhir, melainkan lebih merupakan alat untuk (1) menciptakan lapangan kerja diluar sektor pertanian yang dapat diakses oleh sebagian warga pedesaan sendiri, (2) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan nilai tambah yang diperolehnya, (3) mendorong mekanisme akumulasi kapital intern di pedesaan, dan (4) mengembangkan keterkaitan yang dinamis dengan sektor-sektor lain dalam ekonomi pedesaan, baik sektor basis maupun sektor non-basis.

Apa yang dikemukakan ini sejalan dengan pemikiran para ahli pembangunan pertanian/pedesaan, bahwa pembangunan pertanian disamping dapat mendukung perkem bangan sektor non-pertanian, juga memerlukan dukungan sektor non-pertanian. Tetapi persoalannya, khususnya dalam implementasi industrialisasi pedesaan dengan inti

Page 7: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

7

"agroindustri" masih menghadapi berbagai kendala dan faktor pembatas yang selama ini dipandang menjadi penyebab "eksistensi" fenomena kemiskinan di pedesaan kawasan lahan kering. Lima macam faktor penyebab rendahnya pendapatan/miskin pada kawasan lahan kering adalah, (1) Rendahnya kapabilitas sumberdaya alam, terutama lahan, (2) Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan, (3) Keterbatasan penguasaan modal dan teknologi, (4) Lemahnya kemampuan kelembagaan(formal) penunjang pembangunan ditingkat pedesaan, dan (5) Masih rendahnya akses masyarakat terhadap peluang-peluang"bisnis" yang ada. Untuk mengembangkan kondisi pedesaan agraris yang demikian, menurut Mosher (1983) diperlukan beberapa persyaratan yang dikenal dengan sebutan "syarat pokok dan faktor pelancar". Tanpa adanya salah satu syarat pokok tersebut maka pembangunan pertanian akan tersendat, sedangkan tersedianya faktor pelancar sangat diperlukan untuk mempercepat proses pembangunan. Syarat pokok yang dimaksud mencakup lima hal, yaitu : (1) Tersedianya pasar untuk hasil-hasil pertanian, (2) Teknologi yang selalu berubah maju, (3) Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, sehingga dapat dengan mudah terjangkau oleh petani, (4) Tersedianya perangsang /insentif produksi yang memadahi bagi petani, dan (5) Kemudahan pengang kutan hasil produksi. Sedangkan faktor pelancar yang diperlukan untuk memacu laju pembangunan pertanian, adalah (1) Sistem pendidik an pembangunan yang kondusif, (2) Sistem dan fasilitas perkreditan untuk produksi, (3) Kegiatan-kegiatan kelompok yang kreatif, (4) Perbaikan/ konservasi sumberdaya, dan (5) Perencanaan pembangunan yang efektif (infrastruktur ekonomi).

Berdasarkan kesiapan untuk memenuhi syarat pokok dan faktor pelancar yang tersedia, diperlukan struktur pedesaan yang progresif (SPP) untuk mendukung laju pemba ngunan yang berkelanjutan. Kelembagaan yang diperlukan untuk menumbuhkan SPP ini antara lain adalah (i) pasar, dimana jual-beli hasil maupun input produksi untuk keperluan masyarakat desa, (ii) cukup tersedia jalan menuju ke pasar maupun kedunia luar, (iii) percobaan/ pengujian teknologi secara lokal yang lebih menguntungkan, (iv) jasa penyuluhan, dan (v) tersedianya kredit produksi yang terjangkau oleh warga pedesaan.

Dengan tersedianya struktur pedesaan yang progresif tersebut, diharapkan dapat membawa pengaruh luar yang positif, memperluas jangkauan pasar dari produk pedesaan, membantu perkembangan lapangan kerja alternatif, seperti industri pedesaan, mening katkan peran-serta wanita pedesaan, dan kegiatan lain yang secara langsung menunjang tercapainya kesejahteraan masyarakat pedesaan.

2.2. Sistem Pertanian Lahan Kering yang Berkelanjutan

Page 8: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

8

2.2.1. PendahuluanSistem pertanian berkelanjutan pada kenyataannya sangat kompleks,

dan upaya-upaya intervensi kerja yang berhubungan dengan sistem ini harus melibatkan perspektif konsumen, totalitas sistem pangan mulai dari produksi hingga konsumsi, implikasi sosial, dan peranan wanita pedesaan dalam pertanian. Dankelman dan Davidson (1988) mengemukakan beberapa persyaratan dasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu:(1). Akses yang merata bagi seluruh petani atas lahan yang subur, fasilitas

kredit, serta infor-masi pertanian(2). Pemeliharaan dan dukungan terhadap aktivitas pertanian yang dilakukan

oleh petani.(3). Pengembangan metode-metode kultivasi, pengolahan bahan pangan,

dan penyimpanan bahan pangan yang mampu menyerap tenagakerja wanita

(4). Diversifikasi spesies yang cukup tinggi guna mempertahankan fleksibilitas pola pertanaman

(5). Konservasi tanah-tanah subur dan produktif dengan jalan mendaur-ulangkan bahan organik

(6). Penggunaan air dan bahan bakar secara tepat.Persyaratan ini masih belum disepakati secara umum, terutama

mengenai kebu tuhan input bagi usaha on-farm dan off-farm. Sifat yang rumit dari sistem pertanian yang berkelanjutan mengharuskan pengkajian secara lebih mendalam tentang sistem usahatani. Parr (1990) mengusulkan bahwa sasaran akhir dari petani dalam pertanian yang berkelanjutan adalah (i) memelihara dan memperbaiki sumberdaya alam dasar, (ii) melindungi lingkungan, (iii) menjamin profitabilitas, (iv) konservasi energi, (v) mening-katkan pproduktivitas, (vi) memperbaiki kualitas pangan dan keamanan pangan, (vii) men ciptakan infrastruktur sosial-ekonomi yang viabel bagi usahatani dan komunitas pedesaan. Kontribusi aspek manusia dalam pertanian berkelanjutan tampak dari definisi yang dikemukakan oleh CGIAR (Consultative Group on International Agricultural Research), bahwa "sistem pertanian yang berkelanjutan melibatkan keberhasilan pengelolaan sumberdaya bagi pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia yang senantiasa berubah sambil memelihara atau memperbaiki sumberdaya alam dasar dan menghindari degradasi lingkungan". Sejarah munculnya konsepsi pertanian yang berkelanjutan dapat dibedakan menjadi dua tahapan. Tahapan pertama ialah munculnya konsepsi "pertanian regeneratif' pada awal tahun 1980-an (Jackson, 1980; Rodale, 1983). Konsepsi awal ini telah berkembang menjadi konsep pertanian yang didasarkan pada prinsip-prinsip interaksi ekologis. Tahapan ke dua telah dimulai pada sekitar tahun 1987-an, yaitu semakin gencarnya penggunaan istilah "sustainable, atau berkelanjutan", untuk menyatakan pertanian yang

Page 9: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

9

"stabil" secara global, melibatkan semua aspek perta nian dan interaksi-interaksinya dengan masyarakat.

Berdasarkan hal-hal di atas, Harwood (1990) mengemu kakan definisi kerja tentang pertanian yang berkelanjutan sebagai "suatu pertanian yang dapat berevolusi secara indefinit ke arah utilitas manusia yang semakin besar, efisiensi penggunaan sumberdaya yang semakin baik, dan keseimbangan dengan lingkungan yang nyaman baik bagi kehidupan manusia maupun bagi spesies lainnya". Definisi kerja ini masih sangat umum, untuk lebih memahami proses-proses yang terlibat didalamnya maka perlu diterjemahkan ke dalam substansi-substansi yang sesuai dengan kondisi dan tatanan yang berlaku di masing-masing negara. Sebagai konsepsi yang dinamis, pertanian yang berkelanjutan melibatkan interaksi-interaksi yang kompleks faktor-faktor biologis, fisik, dan sosial-ekonomis serta memerlukan pendekatan yang komprehensif untuk memperbaiki sistem yang ada dan mengembang kan sistem baru yang lebih berkelanjutan.

Beberapa pertimbangan biologis yang penting adalah: (1). Konservasi sumberdaya genetik; (2). Hasil per unit area per unit waktu harus meningkat; (3). Pengendalian hama jangka panjang harus dikembangkan melalui pengelolaan hama terpadu; (4). Sistem produk si yang seimbang yang mmelibatkan tanaman dan ternak ; (5). Perbaikan metode pengendalian hama dan penyakit ternak.

Beberapa faktor fisik yang sangat penting ialah: (1). Tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk menjamin

keberlanjutan sistem pertanian; sehingga kehilangan material tanah karena erosi dan kemunduran kesuburan tanah akibat kehilangan hara harus dikendalikan.

(2). Sistem pertanian merupakan pengguna air; pemanfaatan secara tidak efisien cadangan air bumi dan eksploitasi akuifer akan dapat berakibat fatal

(3). Pengelolaan tanah dan air yang tidak memadai di lahan perta nian tadah hujan dapat memacu degradasi lahan

(4). Penggunaan bahan agrokimia yang tidak tepat dapat mengaki batkan akumulasi bahan-bahan toksik dalam air dan tanah

(5). Perubahan atmosferik akibat ulah manusia dapat berdampak buruk terhadap sistem produksi pertanian.

(6). Konsumsi energi oleh sistem produksi pertanian dengan hasil-tinggi harus lebih dicermati.

Kendala sosial-ekonomi dan tatanan legal yang juga mempe ngaruhi stategi jangka panjang yang berkelanjutan adalah: (1). Infrastruktur yang lemah sehingga sangat mem batasi di namika transportasi dan komunikasi;

Page 10: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

10

(2). Program finansial dan administratif seringkali bias ke arah daerah urban; (3). Sistem penguasaan lahan (land tenure)

2.2.2. Konsekwensi, Biaya, dan ManfaatTingginya keragaman kondisi sistem pertanian yang ada telah

mengakibatkan sulitnya untuk mendeskripsikan secara umum konsekwensi dari keberhasilan proses perkembangan ke arah sistem pertanian yang berkelanjutan. Beberapa hal penting adalah sebagai berikut:

(1). Pengelolaan sumberdaya alamPraktek pertanian yang berkelanjutan akan sangat membantu perkembangan keberhasilan pengendalian erosi melalui per-giliran tanaman, tanaman penutup tanah, dan penggunaan bahan organik yang efisien seperti residu tanaman dan pupuk kandang. Praktek seperti ini diharapkan mampu mengurangi laju erosi tanah dari lahan-lahan pertanian. Dengan terkenda linya erosi maka petani akan mendapatkan keuntungan tidak langsung yaitu tersedianya air tanah dan unsur hara di lahan usahanya. Manfaat lain bagi masyarakat ialah badan-badar air permukaan lebih jernih, laju sedimentasi berkurang, dan ekosistem-ekosistem akuatik akan menjadi lebih sehat.

(2). Memperbaiki kualitas airTerkendalinya proses erosi dan pencucian unsur hara serta bahan organik dari lahan pertanian secara langsung dan tidak langsung akan mengakibatkan lebih baiknya kualitas air sungai. Hal ini akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi usaha-usaha penjernihan air untuk keperluan air bersih di kota-kota besar.

(3). Keragaan ekonomiPerbaikan perekonomian ini dapat dicapai melalui empat cara, yaitu (i) meningkatnya hasil tanpa peningkatan biaya; (ii) menurunnya nilai asset kapital dan/atau pendapatan tenagakerja dan manajemen; (iii) berkurangnya biaya- biaya dengan sedikti atau tanpa kehilangan hasil; dan (iv) berkurangnya biaya transportasi, penanganan, dan pemasaran hasil.

Perubahan-perubahan ekonomis tersebut kompatibel dan memang menjadi penyebab dari meluasnya adopsi sistem pertanian yang berkelanjutan daan metode produksinya. Empat macam jalur yang mungkin ditempuh untuk mengurangi biaya atau meningkatkan pendapatan adalah:

Page 11: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

11

(1). Memperluas produksi tanaman tertentu di daerah yang biaya nya murah, hal ini berarti memerlukan perubahan program pengembagan komoditi penting.

(2). Mengurangi sasaran-sasaran atau target produksi yang tidak realistik di daerah-daerah tertentu

(3). Menggunakan semua lahan pertanian dengan cara-cara yang paling menguntungkan ekonomis dan berkelanjutan .

(4). Menanam tanaman di lahan-lahan pertanian selama mungkin dalam setahun sehingga mampu lebih banyak menangkap energi surya.

2.2.3. Komponen Sistem Pertanian yang BerkelanjutanProduksi suatu tanaman melibatkan penanaman benih dengan

populasi dan pada waktu yang sesuai dengan beberapa input kunci. Beberapa input kunci ini adalah kultivasi tanah, pemupukan, perlindungan tanaman, dan rotasi tanaman untuk memaksimumkan produktivitas seperti bagan berikut. Titik sentral dari pola ini ialah ekonomi usahatani yang mencakup semua input lainnya, seperti lahan, tenagakerja, bangunan pertanian, mesin instrumental, bahan kimia, dan benih. Inut-input ini diseimbangkan dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil tanaman dan faktor ekonomis lainnya seperti harga pasar, ekspor dan subsidi.Dalam konteks ini ekonomi usahatani terutama berkenaan dengan ekonomi mikro pada tingkat usahatani, tetapi juga mencakup ekonomi makro tentang harga, subsidi, dan biaya lingkungan.

(1). PupukPada tingkat input yang lebih rendah, peningkatan peng gunaan

pupuk anorganik mampu meningkatkan hasil tanaman secara dramatis. Tetapi kalau jumlah pupuk yang digunakan semakin meningkat maka respon pertumbuhan dan hasil tanaman akan semakin berkurang secara eksponensial dan akhirnya akan "level off".

Pada titik tertentu biaya pupuk akan sama dengan nilai tambahan hasil tanaman. Penggunaan pupuk anorganik seyogyanya lebih rendah dari titik ini. Pengurangan pupuk anorganik dapat diimbangi dengan menerapkan pergiliran tanaman, terutama yang melibatkan legume sebagai sumber nitrogen dan unsur hara lain, dan mengunakan rabuk kandang kalau tersedia. Praktek lain yang dapat meminimumkan penggunaan pupuk adalah menanam jenis tanaman yang kebutuhan haranya lebih sedikit, dan menempatkan pupuk anorganik dalam barisan tanaman sehingga memaksimumkan serapan oleh tanaman dan tidak merangsang pertumbuhan gulma.

(2). Pestisida.

Page 12: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

12

Lazimnya petani menggunakan pestisida seperti apa yang dianjurkan oleh para agen-agen penjualnya. Poa penggunaan seperti ini biasanya agak berlebihan dan secara ekonomis tidak optimal. Penggunaan pestisida harus mulai dikurangi dan berbagai alternatif metode pengendalian hama /penyakit segera diadopsikan. Metode pengendalian hama terpadu yang melibatkan rotasi tanaman, varietas resisten, ambang batas ekonomis, peramalan hama, dan teknik-teknik pengendalian biologis , menjadi alternatif yang harus dilakukan. Disamping hal-hal tersebut, penggunaan pestisida dapat diminimumkan atau digantikan dengan teknik lainnya yang melibatkan:(1). Penggunaan insektisida secara minimal yang didasarkan pada metode-

metode peramalan gangguan hama(2). Penempatan dan formulasi insektisida yang lebih baik, sehingga

menggunakan lebih sedikit dengan cara yang lebih efisien (3). Penerapan lebih banyak pergiliran tanaman untuk memotong daur hidup

hama dan penyakit(4). Kultivasi yang tepat yang mampu meminimumkan serangan hama.

Pemilihan kultivar sejauh mungki memperhatikan dominasi hama yang ada

(5). Pengaturan saat tanam yang tepat (6). Adopsi praktek-praktek pertumbuhan gula yang terkendali dan bukannya

memberantas gulma secara bersih yang akan dapat memusnahkan musuh-musuh alami

(7). Penggunaan insektisida biologis yang didasarkan pada patogen hama yang efektif tanpa dampak lingkungan

(8). Pelepasan parasit dan predator hama(9). Penggunaan feromon, bahan kimia aleloid, atau repellent lainnya untuk

mengusir hama(10).Pelepasan serangga jantan steril untuk mengganggu reproduksi hama(11).Penggunaan varitas tanaman yang resisten terhadap gangguan hama(12).Penggunaan tanaman penjebak untuk merangsang emergensi hama

pada saat tanaman utama tidak ada(13).Teknik budidaya inovatif, seperti strip-cropping, inter-cropping, dll yang

mampu meningkatkan diversitas habitat, flora dan fauna.

.

Penggunaan fungisida dapat diminimumkan dengan jalan:(1). Penggunaan fungisida secara minimum yang didasarkan atas metode

peramalan penyakit tanaman(2). Penerapan pergiliran tanaman(3). Teknik aplikasi fugisida yang lebih baik: dosis dan penempatan(4). Saat tanam yang tepat

Page 13: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

13

(5). Penggunaan mikroorganisme antagonis penyakit(6). Penanaman kultivar yang toleran atau resisten penyakit

Aplikasi herbisida dapat digantikan dengan:(1). Penerapan pengendalian gulma secara mekanis.(2). Penerapan pergiliran tanaman untuk memutus daur hidup gulma

volunter dari tanaman sebelumnya(3). Penanaman penutup tanah untuk meminimumkan perkecam bahan biji

gulma (4). Penggunaan mulsa hidup untuk menyediakan penutup tanah dan

menghambat perke-cambahan biji gulma.(5). Pelepasan hama bagi gulma apabila memungkinkan.

(3). KultivasiSecara tradisional, lahan-lahan pertanian senantiasa diolah setiap

musim tanam. Operasi pengolahan tanah ini memerlukan energi yang cukup banyak, dan seringkali meningkatkan kepekaan permukaan tanah terhadap pukulan air hujan. Beberapa teknik pengolahan yang dapat mengurangi intensitas pengolahan tanah dibandingkan dengan deep-plowing adalah:(1). Shallow plowing hingga kedalaman maksimum 15 cm(2). Chisel-plowing, yang tidak membalik material tanah(3). Deep subsoiling, yang mengangkat tanah tetapi tidak membalik(4). Ridge tillage(5). Shallow-tine, menggemburkan tanah(6). Penyisiran untuk menyiapkan bedengan(7). Tanpa olah tanah (penanaman langsung).

(4). Pergiliran tanamanApabila penggunaan pupuk buatan dan pestisida harus dikurangi

maka biasanya akan menjadi sangat esensial untuk menerapkan pola pergiliran tanaman, terutama yang meli batkan legume.

(5). Teknik bidudaya inovatifKalau input bahan kimia dalam sistem pertanaman harus dikurangi,

maka semakin diperlukan teknik-teknik budidaya yang baru. Beberapa teknik yang mempunyai prospek baik:(1). Sistem strip intercropping dengan menggunakan dua tanaman(2). Undersowing dengan jenis legume atau tanaman lainnya(3). Penerapan campuran kultivar atau spesies untuk lebih meng-aneka-

ragamkan pertanaman (4). Penggunaan tanaman penjebak hama yang juga mempunyai nilai

ekonomis

Page 14: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

14

(5). Double row cropping untuk memudahkan pengendalian gulma secara mekanis.

(6). Input bahan organikSecara tradisional ternyata rabuk kandang menjadi suumber utama

unsur hara tanaman dan kesuburan tanah, sehingga sistem produksi tanaman dan ternak saling bergantungan. Sistem pertanian yang berkelanjutan harus memperhatikan peningkatan asosiasi antara produksi tanaman dan ternak. Kecuali itu ada banyak limbah industri dan limbah domestik yang belum dimanfaatkan untuk pertanian, padalah mempunyai kandungan hara yang sangat baik. Input bahan organik yang dapat digunakan untuk mengimbangi berkurangnya penggunaan pupuk anorganik adalah : (1). Rabuk kandang, terutama dari sapi, unggas, dan kambing/domba; (2). Limbah domestik yang kaya bahan organik; (3). Beberapa macam limbah industri pangan; (4). Berbagai macam tumbuhan pupuk hijau dan material kompos yang belum dimanfaatkan

(7). Pemuliaan tanamanVaritas tanaman unggul yang sangat respon terhadap pupuk nitrogen

banyak digunakan meningkatkan produksi pangan di negara-negara sedang berkembang. Akan tetapi varietas-varietas tanaman di negara sedang berkemban telah dirancang untuk responsif dan menghasilkan produk yang baikdengan sedikit pupuk anorganik karena memang ketersediaan pupuk ini sangat terbatas dan mahal. Secara tradisional pemuliaan tanaman telah melibatkan seleksi sifat-sifat tanaman yang terpilih (sesuai), menyilangkannya untuk menghasilkan varietas baru, dan membangun cadangan bibit. Sekarang keadaan telah mulai berubah dengan dikembangkannya teknik-teknik rekayasa genetik untuk mengembangkan kultivar yang respon terhadap sedikit pupuk tanpa kemerosotan produksi yang parah, resisten terhadap gangguan hama dan penyakit .

2.2.4. Sistem Pertanaman yang BerkelanjutanSebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, "Sistem pertanian

yang berkelanjutan" pada dasarnya merupakan suatu sistem pertanian yang bertumpu kepada input energi dan input kimia yang rendah untuk mencapai produktivitas dan kompatibilitas lingkungan jangka panjang (Poincelot, 1987). Menurut Stinner dan House (1988), pengelolaan yang lebih baik dan lebih terinformasi, serta pengelolaan yang spesifik terhadap interaksi dan proses-proses ekologis sangat diperlukan untuk menggantikan input yang tinggi dalam mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan. Sistem pertanian padat input telah mengundang berbagai kritik, terutama perihal

Page 15: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

15

over-produksi (Altieri, 1987), rendahnya stabilitas ekonomi (Ehrenfeld, 1987), dan degradasi lingkunan (Hallberg, 1986).

Selama 40-50 tahun yang lalu, di USA dan Eropa, sistem pertanian telah bergeser dari sistem usahatani yang menggunakan input energi dan input kimia yang rendah menjadi sistem yang ememrlukan input energi yang tinggi yang berasal dari bahan bakar fosil, pupuk kimia, dan pestisida (Edwards, 1988). Kemudian, sekitar tahun 1960 - 1970-an, program revolusi hijau mengeksport sistem pertanian teknologi tinggi dan padat iput kimia ini ke negara-negara sedang berkembang terutama di daerah tropis (Dahlberg, 1979). Sistem pertanian yang padat input dengan variatas unggul ini secara dramatis telah mampu meningkatkan produktivitas lahan di daerah beriklim sedang dan daerah tropis. Pengelolaan sistem pertanian ini mampu bertahan dan dapat menguntungkan hingga tahun 1970-an. Akan tetapi pada saat sekarang, karena beragam alasan ekonomis dan ekologis yang sangat kompleks, banyak yang memperdebatkan bahwa konsepsi hasil maksimum tidak dapat menjamin keberlanjutan jangka panjang dan dengan demikian sistem pertanaman ("cropping system") harus diubah. Pertanian yang berkelanjutan berbeda dengan pertanian konvensional dan pertanian padat-input, karena sistem ini mengutamakan stabilitas hasil jangka panjang dengan meminimumkan dampak lingkungan. Fokus ini berbeda dengan pendekatan hasil maksimum yang mengarah kepada sasaran jangka pendek. Sasaran dari sistem pertanian yang berkelanjutan tidak dapat dipenuhi hanya dengan mengurangi suplai input. Sistem pertanaman yang baru dan inovatif juga harus dirancang dan diadopsikan.

Beberapa karakteristik ekologis dan ekonomis yang utama dari sistem pertanaman yang konvensional dan inovatif disajikan dalam tabel berikut ini. Sistem pertanaman yang berkelanjutan menunjukkan beberapa kesamaan dengan komunitas tumbuhan yang lebih dewasa dalam suksesi ekologisnya dan tidak banyak terganggu, dengan sedikit perbedaan bahwa agroekosistem ini mengekspor banyak energi dan unsur hara sebagai hasil panen, dan oleh karenanya memerlukan beberapa input subsidi. Sistem-sistem pertanaman inovatif mencoba mengadopsi beberapa ciri suksesional ini untuk membentuk sifat keberlanjutannya dan untuk meminimumkan subsidi eksternal. Sistem padat input, yang pada dasarnya bertumpu ke-pada monokultur tanaman semusim skala luas, ternyata sangat peka terhadap kehilangan hara dan gangguan hama /penyakit. Stinner dan House (1988) menegaskan bahwa mes- kipun fenomena ekologis terjadi dalam semua agroekosistem, namun input yang tinggi cenderung untuk mengganggu proses-proses ekologis. Sistem- sistem inovatif yang berkelanjutan harus lebih didasarkan pada prinsip- prinsip ekologis dan tidak bertumpu kepada input energi dan kimia yang tinggi. Sebagai konsekwensinya memang sistem

Page 16: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

16

pertanaman yang berkelanjutan akan lebih kompleks, sehingga pengelolaannya lebih sofistikated.

..

.

.

.

.

Karakteristik ekologis dari sistem pertanian konvensional dan inovatif adalah

Konvensional Inovatif-berkelanjutan

1. Energi fosil Tinggi Rendah2. Tenagakerja/ Manajemen

Rendah? Tinggi?

3. Pupuk Anorganik Organik4. Pengolahan tanah

Rendah Lebih rendah

5. Diversitas tanaman

Rendah Tinggi

6. Daur hidup Musiman Permanen7. Hama Kurang stabil/ Lebih stabil/

Kimia Biologis8. Daur hara Terbuka Tertutup9. Integrasi ternak Rendah Tinggi10. Proses dekomposisi

Tidak penting Penting

2.2.4.1. Pertanaman Ganda Pertanaman ganda ("multiple cropping") menggunakan sebidang

lahan untuk menghasilkan dua atau lebih tanaman dalam setahun, lazimnya dianggap sebagai bentuk tertua dari sistem pertanian yang terorganisir secara menetap, dan masih tetap menjadi salah satu praktek pertanian yang lazim dilakukan oleh petani-petani tradisional di daerah tropis. Kebanyakan sistem usahatani alami di daerah tro-pis adalah poli-kultur, sedangkan di negara-negara maju sistem pertanaman-ganda kurang berkembang.

Page 17: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

17

Istilah "pertanaman ganda" sebenarnya mencakup berbagai sistem-pertanaman, yang secara komunal dikenal sebagai diversifikasi tanaman dalam waktu dan/atau ruang. Salah satu teladan adalah pertanaman sekuensial atau pergiliran tanaman, dimana dua atau lebih tanaman ditanam secara sekuensial pada sebidang lahan yang sama. Dalam kasus ini, diversifikasi tanaman hanya menurut waktu. Dalam tumpangsari ("intercropping"), dua jenis tanaman atau lebih ditanam secara bersamaan pada sebidang lahan. Dalam sistem tumpangsari tersebut akan terjadi "overlap" di antara jenis tanaman sehingga diversifikasi terjadi menurut ruang dan waktu. Sistem tumpangsari ini mencakup "tumpangsari-campuran", dimana dua jenis tanaman atau lebih ditanam tanpa tatanan barisan yang jelas; "tumpangsari baris" , dimana paling tidak ada satu jenis tanaman yang ditanam dalam barisan; "tumpangsari strip", dimana dua jenis tanaman atau lebih ditanam, dalam strip-strip yang cukup lebar sehingga memungkinkan kultivasi secara independen tetapi cukup sempit untuk memungkinkan interaksi ekologis di antara jenis tanaman; dan "tumpangsari-gilir atau tumpang gilir", dimana tanaman ke dua ditanam pada saat tanaman pertama masih belum dipanen.

Karakteristik yang sangat penting dari sistem pertanaman ganda ialah diversitasnya yang tinggi, baik dalam hal struktur habitat maupun spesiesnya. Dalam hal ini sistem pertanaman ganda lebih menyerupai komunitas tumbuhan alami daripada sistem monokultur konvensional yang padat input dimana banyak usaha dilakukan untuk meminimumkan diversitas. Salah satu keuntungan sistem pertanaman ganda ialah lebih rendahnya resiko kegagalan total tanam-an. Dengan menggunakan lebih dari satu jenis tanaman, seringkali dengan persyaratajn kebutuhan sumberdaya yang berbe-da, maka sistem pertanaman ganda akan meminimumkan resiko kegagalan karena gangguan hama/penyakit/gulma, gangguan cuaca, fluktuasi harga produk, dsb. Peningkatan diversitas spasial dan spesies tanaman juga mempunyai implikasi penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya, daur ulang hara secara internal, dan proses kontrol biologis.

Sistem tumpangsari seringkali mempunyai rasio setara lahan ("land equivalent ratio, LER") lebih besar dari 1.0. LER ini pada dasarnya merupakan ukuran jumlah relatif luas lahan yang ditanami monokultur yang akan diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang sama dengan tumpangsari. Alasan yang seringkali juga dikemukakan bagi keunggulan tumpangsari adalah pemanfaatan sumberdaya secara lebih efisien, baik menurut ruang maupun waktu. Karena jenis-jenis tanaman berbeda-beda kebutuhan sumberdayanya, termasuk cahaya, air, dan unsur hara, maka sistem tumpangsari yang dirancang dengan baik akan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien dibandingkan dengan sistem monokultur. Disamping mampu memanfaatkan sumberdaya yang tersedia

Page 18: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

18

secara lebih efisien, agroekosistem tumpangsari akan lebih efisien pula dalam pendaur- ulangan hara secara internal dibandingkan dengan monokultur. Kombinasi tanaman yang timing penyerapan unsur haranya berbeda akan dapat meminimumkan kehilangan unsur hara akibat pencucian. Tanaman yang pola pertumbuhan akarnya dalam dapat menyerap hara dari lapisan tanah yang lebih dalam dan membawa ke permukaan tanah melalui seresahnya dan dapat tersedia bagi tanaman lain (Harwood, 1984). Total produksi biomasa seringkali juga lebih besar dalam sistem tumpangsari (Gliessman dan Amador (1980). Penggunaan jenis tanaman legume merupakan aspek pen-ting dari berbagai sistem pertanaman ganda dan sangat relevan bagi pengembangan sistem pertanian berkelanjutan yang rendah input. itropgen yang difiksasi oleh legume dapat dimanfaatkan oleh jenis tanaman lainnya yang digunakan dalam sistem tumpangsari atau tumpang gilir dengan legume. Peningkatan diversitas tanaman seringkali juga dapat mengurangi permasalahan gangguan hama/penyakit/ gulma. Berkurangnya populasi hama dapat terjadi karena beberapa faktor, misalnya karena berkembangnya berbagai predator dan parasit.

2.2.4.2. Pengolahan Tanah Secara Minimum Pengolahan tanah secara minimum atau "minimum tillage" dapat

diartikan sebagai siatem penanaman tanaman yang mening galkan sekitar 30% atau lebih residu tanaman di permukaan tanah. Sistem pengolahan konservasi ini telah menjadi semakin banyak dipraktekkan di negara-negara maju, terutama karena sistem ini dapat menurunkan biaya usahatani, mengurangi limpasan permu kaan dan erosi tanah, membantu konservasi bahan organik tanah, dan memperbaiki retensi lengas tanah.

Praktek pengolahan tanah secara minimum ini mempunyai dampak ekologis, agro nomis dan ekonomis yang sangat besar, yaitu mendorong adopsi sistem pertanaman inovatif. Agroekosistem dengan pengolahan minimum ini, yang ditandai dengan sedikitnya gangguan terhadap tanah, mampu mendorong perkembangan subsistem dekomposisi bahan organik yang lebih kompleks, sehingga dapat membantu stabilitas sistem tanah dan efisiensi daur hara secara internal (House et al., 1984). Dengan meningkatnya kompleksitas interaksi di antara tumbuhan, invertebrata, dan mikroorganisme, maka sistem pengolahan-minimum ini lebih menyerupai ekosistem alamiah daripada sistem pertanian yang konvensional. Peningkatan reguali biotik terhadap proses-proses seperti dekomposisi dan pelepasan hara, pada kondisi pengolahan minimum akan menghasilkan agroekosistem yang lebih aman lingkungan dan lebih berkelanjutan (Stinner dan Stinner, 1989).

Praktek pengolahan tanah mempengaruhi distribusi dan kelimpahan arthropoda tanah yang menjadi hama dan bukan hama (Blumberg dan

Page 19: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

19

Crossley, 1983). Pengolahan yang intensif telah mereduksi populasi mikro-arthropoda tanah yang bermanfaat dan cacing tanah. Sistem pengolahan tanah minimum cenderung untuk mempunyai komunitas dekom poser yang lebih melimpah dan juga memungkinkan lebih stabilnya biota tanah. Selain itu juga akan mendorong berkembangnya predator tanah yang lebih melimpah dan aktif.

Kritik utama dari agroekosistem dengan pengolahan mini mum ini adalah ketergan tungannya pada input herbisida untuk mengendalikan gulma. Untuk mengatasi hal ini maka perlu digunakan teknik-teknik pengolahan minimum yang dikombinasikan dengan berbagai alternatif pengendalian gulma. Salah satu cara ialah mengkombinasikan pengolahan tanah minimum dengan sistem pertanaman ganda inovatif , seperti penanaman tanaman penutup tanah legume, dan berbagai sistem mulsa hidup.

2.2.4.3. Wanatani, AgrohutaniAgrohutani, yang melibatkan pohon dalam sistem perta naman,

merupkan praktek yang sangat populer. Barangkali sistem ini merupakan bentuk dari sistem pertanian yang orisinil di daerah-daerah yang semula lahannya berupa hutan (Bishop, 1983). Sistem ini telah menerima banyak perhatian, terutama di daerah tropika, karena sangat penting dalam upaya untuk mencapai sasaran pertanian yang berkelanjutan. Agrohutani sangat kompatibel dengan produksi tanaman semusim dan tahunan, tetapi juga meng integrasikan usaha peternakan.

Secara ekologis dan agronomis ternyata sistem agrohutani dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem pertanaman lainnya. Secara keseluruhan, agro-hutani menstabilkan sistem pertanaman. Pohon-pohon ini menyediakan struktur perma nen di atas dan di bawah tanah bagi sistem pertanaman. Dengan cara ini pergerakan air dan angin akan dihambat dan diharapkan kehilangan akibat erosi tanah dapat dikurangi. Pohon-pohon dalam bentang lahan pertanian dapat memodifikasi kondisi iklim mikro, misalnya dengan mengurangi suhu ekstrim. Agrohutani juga diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap kesuburan tanah. Penggunaan pohon dan perdu dari jenis legume dapat menyediakan mekanisme penyediaan nitrogen melalui fiksasi biologis. Sistem agrohutani juga dapat berpengaruh positif terhadap populasi invertebrata dan mikroorganisme sehingga dapat lebih banyak berperan dalam agroekosistem. Sistem agrohutani dapat didasarkan pada tanaman herba semusim atau tahunan, sistem pastoral untuk ternak, atau kombinasi-kombinasi lainnya. Sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan kultural yang ada, pengelolaan sistem agrohutani dapat diarahkan kepada salah satu fungsi saja. Misalnya

Page 20: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

20

di daerah tang kondisi tanahnya peka erosi, maka kepadatan tanaman pohon dapat ditingkatkan secara proporsional untuk memperbesar peranan perlindungannya. Atau jenis pohon yang tumbuhnya cepat dapat ditanam untuk meningkatkan siplai kayu bakar. Demikian juga perbandingan antara jenis tanaman tunai dan tanaman subsisten dapat divariasikan sesuai dengan kebutuhan.

Tanaman pohon mendukung banyak fungsi dlam sistem agrohutani: pangan bagi manusia dan ternak dalam bentuk buah, biji, atau hijauan; misalnya kopi dan kakao sebagai tanaman tunai ekspor. Pohon juga mampu menyediakan kayu bakar dan pagar alami. Bentuk lain dari sistem agrohutani yang sedag mendapatkan banyak perhatian para pakar adalah pertanaman lorong ("alley cropping") yang melibatkan Leucaena (semacam perdu jenis legume ) dengan jagung atau sorgum sebagai tanaman sela. Leucaena ditanam dalam pagar yang sejajar dengan jarak 10-20 meter, sedangkan tanaman sela semusimnya ditanam di antaranya. Secara periodik tajuk tanaman Leucaena dipotong dan daun-daunnya yang kaya nitrogen digunakan sebagai pupuk hijau. Sistem ini ternyata berhasil menstabilkan dan memperbaiki karakteristik tanah, dan sangat potensial untuk meningkatkan dan memperbaiki stabilitas populasi predator dan parasit hama (Plucknett dan Smith, 1986).

Robert dan Hart (1986)mengemukakan pendekatan lain untuk mengembangkan sistem agrohiutani di daerah tropis, yaitu dengan melibatkan suksesi ekologis. Agroekosistem dirancang dan dikelola secara sejalan atau meniru perkembangan ekosistem alamiah. Sistem pertanaman dimulaidengan menanam tanaman semusim, spesies yang tumbuhnya cepat, seperti kacang- kacangan atau jagung, kemudian diikuti dengan penanaman tanaman berkayu yang umurnya lebih panjang, seperti kopi dan apokat, dan akhirnya ditanam pohon-pohon besar seperti kelapa dan kakao. Beberapa sistem usahatani alami di daerah tropika telah mengikuti pola ini selama beratus-ratus tahun. Dalam tipe agrohutani ini, setiap fase suksesi akan memodifikasi lingkungan, dengan menghasilkan kondisi yang sesuai bagi fase selanjutnya. Dalam sistem ini, pepohonan juga mampu menyediakan manfaat tunai seperti pisang, apokat, dan kopi. Menurut penelitian Behmel dan Neuman (1985) nilai gizi dari hasil produksi sistem agrohutani seperti ini menunjukkan 31% protein lebih banyak, 54% kalori lebih banyak, dan 62% karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan sistem monokultur.

Agrohutani juga menjadi salah satu sarana penting untuk merehabilitasi lahan kritis, terutama di daerah hulu DAS. Agrohutani yang mengkombinasikan tanaman herba, ternak dan pepohonan telah digunakan untuk menstabilkan ekosistem lahan kritis ini. Pepohonan menciptakan struktur permanen yang menstabilkan tanah dan neraca hidrologis. Aneka tanaman perennial digunakan untuk mereduksi gangguan hama dan iklim.

Page 21: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

21

Sedangkan kesuburan tanah tergantung pada sumber organik dari kotoran ternak dan seresah tanaman.

Pertanaman ganda, pengolahan tanah secara minimum, agro hutani dan integrasi degan usaha peternakan semuanya mempunyai prospek dan potensi yang sangat besar untuk melestarikan produktivitas dengan menggunakan input kimia dan input energi yang lebih rendah. Walaupun kebanyakan dari praktek-praktek tersebut mempunyai landasan historis sangat tua dan bersifat tradisional, namun memberikan inspirasi yang sangat penting berupa prinsip-prinsip ekologis yang melandasinya. Prinsip-prinsip semacam ini sangat diperlukan bagi upaya-upaya inovasi pada sistem-sistem baru dalam pertanian modern. Dengan cara seperti ini, sistem-sistem yang berkelanjutan bukan berarti kembali kepada sistem lama, tetapi lebih merupakan sinergistik antara konsepsi lama dengan teknologi modern untuk mengakomodasikan kebutuhan masa depan. Dengan demikian rancangan dan pengelolaan sistem pertanian berkelanjutan harus didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis. Interaksi di antara komponen-komponen agroekosistem menjadi tema sentral.

2.2.5. Peranan Ternak dalam Sistem Pertanian BerkelanjutanSistem-sistem usahatani yang layak secara ekologis, biologis, dan

sosial- ekonomis ternyata bukan hanya sekedar melibatkan ternak, tetapi yang llebih penting ialah bagaimana pengintegrasian usahaternak dengan praktek usahatani lainnya. Karakteristik usaha produksi ternak dapat dieksploitir dalam rangka untuk memperbesar peranannya sebagai komplemen agroekosistem.

(1). Komplementaritas Tanaman dan TernakIntegrasi sumberdaya tanaman dan ternak untuk mencapai output

biomasa yang optimal di dalam suatu tatanan sistem ekologis dan sosial-ekonomis yang ada harus menjadi salah satu sasaran akhir bagi sistem usahatani yang berkelanjutan. Pengetahuan tentang fungsi-fungsi biologis yang terintegrasi sangat kompleks, namun diharapkan bahwa hubungan-hubungan tertentu dapat menjadi kunci bagi derivasi output optimal. Interaksi yang serasi antara komponen-komponen yang ada akan mendorong respon komple mentaritas dan sinergistik, sehingga efisiensi produksi dapat diting katkan dan dengan sendirinya kelayakan ekonomisnya akan semakin besar.

(2). Diversifikasi UsahataniSalah satu strategi terbaik untuk mencapai kelayakan ekonomis dari

sistem pertanian adalah fleksibilitas sistem untuk memproduksi bahan

Page 22: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

22

pangan dan serat. Fleksibilitas ini dapat dicapai melalui pengurangan biaya input dan meningkatkan diversifikasi usaha. Agroekosistem terpadu akan menyediakan efek stabilisasi yang lebih besar untuk menyangga fluktuasi harga- harga komoditi jangka pendek.

Sumberdaya yang mungkin paling membatasi sistem pertanian berkelanjutan adalah kemampuan manajerial yang diper-lukan untuk mengembangkan dan memelihara taraf difersifikasi usaha yang optimal. Sistem pertanaman monokultur lebih umum dipraktekkan dan tidak terlalu rumit dibandingkan dengan sistem tcampuran atau sistem terpadu. Pemahaman dan pengelolaan interaksi-interaksi di antara komponen agroekosistem akan memberikan peluang dan kesempatan untuk mengembangkan output dari sistem produksi yang terintegrasi.

(3). Integrasi Ternak-Hijauan PakanSalah satu hubungan biologis yang sangat penting ialah antara

herbivora dengan hijauan pakan. Material ligno-selulosik dari tumbuhan telah menjadi produk perytanian yang penting karena bahan ini dikonsumsi oleh ternak dan diasimilir menjadi produk-produk yang lebih bermanfaat bagi manusia.

(A). Forage FarmingPemahaman terhadap dasar-dasar fungsi biologis dan inter aksinya menjadi hal yang sangat penting untuk dapat mengembangkan sistem produksi ternak- hijauan pakan yang efisien. Pada umumnya, ternak merupakan makhluk oppor tunistik terhadap biomasa tumbuhan. Walaupun demikian mereka itu sangat sinergistik dalam hal kemampuannya untuk mengasimilasikan produk-produk yang berkualitas bagi kepentingan manusia, mendaur-ulangkan hara, dan memper baiki kondisi lingkungan yang sesuai bagi produksi hijauan. Secara ekonomis, keberhasilan sistem usahatani "forage farming" ini tergantung pada ternak sebagai sumber pendapatan. Maksimisasi energi surya, daur ulang hara pemanfaatan sumberdaya yang-tidak-dapat dipulihkan secara non kompetitif, konservasi lengas tanah, investasi kapital yang lebih rendah, dan fleksibilitas usaha semuanya merupakan karakteristik yang utama dari sistem usahatani ini. Dengan mengeksploitasi karakteristik produksi yang unik dari tanaman dan ternak berarti akan tersedia peluang untuk mengembangkan pertanian yang berkelanjutan.

(B). Animal-Forage SystemPemaduan karakteristik-karakteristik tanaman dan ternak untuk produksi biomasa yang optimum dan pemanfaatannya merupakan dasar

Page 23: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

23

untuk pengelolaan sistem usahatani ini secara efisien. Kemampuan adaptasi tanaman dan ternak terhadap kondisi ekologis yang ada akan menentukan sumberdaya dasar yang penting bagi pengembangan sistem produksi. Pengetahuan tentang kebutuhan nutrisi tanaman dan ternak merupakan landasan bagipegelolaan sistem secara efisien. Pemahaman dinamika perakaran tanaman juga penting untuk dapat mengelola komunitas tanaman yang lestari , sehat dan produktif. Persyaratan nutrisi dari kebanyakan spesies pakan ternak biasanya menjadi kendala utama dalam struktur biaya usahatani ternak. Oleh karena itu, sistem yang mampu menyediakan suplai bahan pakan yang ekonomis dan konsisten dengan kebutuhan produksi ternak tentu akan sangat tepat.Faktor utama yang mempengaruhi biomasa dan kualitas hijauan pakan adalah efek musiman yang diakibatkan oleh fluktuasi suhu udara dan curah hujan. Fluktuasi musiman dalam produksi hijauan pakan ini ternyata sangat menentukan pilihan metode pemanenan dan penggunaan hijauan-pakan dalam sistem usahatani ini. Fluktuasi ketersediaan pakan ini juga akan berdampak pada daya adaptasi dan karakteristik produksi spesies ternak. Pertimbangan biologis penting lainnya dalam pengelolaan sistem usahatani ini adalah variasi kebutuhan nutrisi di antara spesies ternak dan kelas- kelas ternak di dalam suatu spesies. Diversitas di antara spesies tumbuhan dan ternak serta fase produksi di antara kelompok-kelompok di dalam spesies juga menyediakan peluang untuk memacu tercapainya viabilitas agroekosistem yang berkelanjutan.

(C). Multiple Animal CroppingKonsep ini dikemukakan untuk lebih mengeksploitasi ragam jenis-jenis ternak guna memanfaatkan secara lebih efisien sumber nutrisi yang sangat beragam lokasi, macam, kualitas dan kuantitasnya. Karena perilaku innate damn preferensi diet di antara spesies ternak dan besarnya ragam kebutuhan nutrisi, maka sistem usahatani ini dipandang sangat potensial dalam upaya untuk memperbaiki efisiensi biologis dan ekonomis dari proses pemanfaatan hijauan pakan. Keuntungan dari sistem usahatani ternak multi-spesies ini telah banyak dilaporkan dari berbagai penjuru dunia.

(D). Mixed Cropping Tanaman dan TernakPeningkatan lebih lanjut taraf integrasi sistem-sistem perta naman yang melibatkan komponen tanaman dan ternak masih memungkinkan. Keuntungan dari komplementaritas dan sinergisme usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi output dan efek penyangga di antara usaha

Page 24: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

24

tersebut telah dikenal sebagai kekuatan utama agroekosistem terpadu untuk melestarikan produksi pertanian (CAST, 1988). Harwoord (1982) melaporkan pentingnya nilai hijauan legume fiksasi nitrogen dalam sistem rotasi tanaman untuk akumulasi unsur hara tanah sehingga mampu memper baiki produksi tanaman yang membutuhkan banyak nitrogen. Disamping itu, hijauan pakan sangat berguna sebagai penutup tanah. Hijauan pakan yang berkualitas tinggi secara langsung berhubungan dengan penampilan ternak, sehingga legume sangat penting untuk mendapatkan kualitas ternak yang lebih baik.

(E). Bahan Limbah Pertanaman Pemanfaatan limbah pertanaman untuk pakan ternak dapat menjadi penyangga sistem produksi biji-bijian. Residu tanaman ini merupakan bahan pakan ruminansia yang sangat penting di pedesaan. Teladan yang telah populer adalah jerami padi dan jagung.

2.2.6. Sistem Pertanaman LorongPertanaman lorong atau "alley cropping" pada hakekatnya

merupakan sistem agrohutani dimana tanaman pangan ditanam dalam lorong-lorong yang dibentuk oleh barisan tanaman pagar yang berupa pohon atau perdu (Kang et al., 1981b; Wilson dan Kang, 1981). Barisan tanaman pagar ini dipotong pada saat menanam tanaman pangan dan tetap dipangkas secara kontinyu selama musim pertumbuhan tanaman pangan untuk mereduksi efek naungan dan kompetisi dengan tanaman sela. Kalau tidak ada tanaman sela, barisan pagar dibiarkan tumbuh secara bebas menutup permukaan lahan.

Pertanaman lorong ini masih mempertahankan beberapa karakteristik dasar dari sistem "bush fallow". Sistem ini mudah diadopsi oleh petani-petani yang miskin sumberdaya di daerah tropis. Pohon dan perdu dalam sistem pertanaman lorong ini:(a). Menyediakan rabuk hijau atau mulsa yang dapat dimanfaatkan oleh

tanaman pangan. Dengan cara ini unsur hara yang berada di lapisan tanah bagian bawah dapat didaur-ulangkan.

(b). Menyediakan bahan pangkasan, yang digunakan sebagai mulsa, dan naungan selama musim bera untuk mengendalikan pertumbuhan gulma.

(c). Menyediakan kondisi yang sesuai bagi kehidupan mikro dan makro organisme tanah

(d). Kalau ditanam sepanjang garis kontur pada lahan yang miring, akan menyediakan barier uuntuk mengendalikan erosi tanah.

(e). Menyediakan hijauan akan ternak, kayu bakar dan kayu untuk kebutuhan lainnya

Page 25: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

25

(f). Menyediakan nitrogen yang difiksasi secara biologis bagi tanaman sela.

Salah satu keuntungan utama dari sistem pertanaman lorong dibandingkan dengan perladangan berpindah tradisi-onal dan sistem "bush fallow" ialah bahwa hase pertanaman dan fase bera dapat berlangsung secara tepat pada sebidang lahan yang sama, sehingga memungkinkan petani untuk menanam tanaman selama periode yang lebih lama tanpa me-ngembalikan lahan menjadi bera.

(1). Spesies Pohon dan PerduBerbagai jenis pohon dan perdu secara potensial sangat sesuai untuk

pertanaman lorong, tetapi baru sebagian kecil saja yang telah diuji. Sejauh ini jenis pohon dan perdu yang telah diuji meliputi spesies legume seperti Leucaena leucocephala, Gliricidia sepium, Flemingia congesta, dan beberapa jenis non legume seperti Alchornea cordifolia, Acioa barterii dan Gmelina arborea. Peranan beberapa spesies ini dalam menyuburkan tanah telah banyak dikenal oleh para petani didaerah tropis. Untuk mengevaluasi dan menyeleksi spesies pohon dan perdu yang sesuai untuk pertanaman lorong, uji lapangan masih sedang digalakkan terus, seperti di IITA Ibadan, Nigeria. Jenis pohon, perdu dan semak yang sesuai untuk pertanaman lorong diharapkan harus mampu memenuhi persyaratan : Dapat tumbuh dan ditanam dengan mudah ; Pertumbuhannya cepat ; Mempunyai sistem perakaran yang dalam ; Menghasilkan banyak daun ; Cepat tumbuh kembali kalau dipangkas ; Mempunyai kemampuan "membelukar" yang baik ; mudah dimusnahkan ; limbahnya bermanfaat.

Pohon, perdu, dan semak legume dianggap lebih baik dibandingkan dengan non legume karena mempunyai kemampuan memfiksasinitrogen udara secara biologis. Beberapa spesies memenuhi semua persyaratan di atas dan beberapa lainnya mempunyai kerugian yang harus diatasi. Misalnya Leucaena mempunyai pertumbuhan awal yang lambat, dan kecambahnya harus dilindungi terhadap gangguan gulma selama awal pertumbuhannya. Akan tetapi kalau telah tumbuh berkembang maka kecambah ini cepat menjadi besar. Spesies multiguna pada umumnya lebih disenangi karena mampu memberikan sistem pertanaman lorong yang fleksibel. Kadangkala harus dipilih suatu spesies yang sangat cocok untuk tujuan tertentu, misalnya Acioa barterii karena dekomposisi mulsanya lambat. atau Calliandra calothyrsus karena kemampuannya untuk meghasilkan banyak kayu bakar dalam waktu singkat.

(2). Penanaman Pohon dan PerduPenaburan benih secara langsung mmerupakan metode yang paling

murah dan mudah untuk menanam tanaman pagar. Akan tetapi kecambah

Page 26: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

26

dari benih yang ditaburkan langsung tersebut biasanya sangat kecil selama awal pertumbuhan dan harus diberi perawatan dan perlindungan ekstra. Suatu cara yang mudah dan murah untuk menanam pagar leucaena adalah dengan jalan menabur benih langsung dalam barisan tanaman pangan seperti jagung. Dengan cara ini tidak diperlukan biaya penyiangan ekstra selama awal pertumbuhan leucaena. Awal pertumbuhan kecambah leucaena yang lambat juga dapat memanfaatkan residu pupuk yang diberikan kepada tana-man pangan. Pada saat jagung dipanen, leucaena biasanya telah mencapai tinggi 75 cm.

Biji-biji legume tertentu, seperti leucaena, perlu diskarifikasi supaya perkecam bahannya dapat berlangsung dengan baik. Skarifikasi dapat dilak-ukan secara manual, atau dengan menggunakan air panas, atau dengan perlakuan asam. Perlakuan dengan air panas dilakukan dengan jalan merendam biji dalam air panas (90oC) dan membiarkannya terendam terus hingga air mendingin selama 12-24 jam. Perlakuan ini dapat memberikan hasil yang sangat erratis. Perlakuan dengan menggunakan larutan asam dapat lebih diandalkan. Biji diperlakukan selama 60 menit dengan larutan asam sulfat pekat (98%, 36N) dengan rasio biji:asam sekitar 10 : 1 berdasarkan volumenya. Setelah perlakuan ini biji segera dibilas dalam air yang mengÕ

Å;ÃÝ°þžü-<íöåʯ¯”y^C¯(yÊuPÐð#�`0 Ð

Page 27: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

27

p@à°PÐð#�`0 Ð

Page 28: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

28

p@à°PÐð#�`0 Ð

Page 29: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

29

p@à°PhÐð#�`0 Ð

Page 30: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

30

p@à°PÐð#�`0 Ð

Page 31: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

31

p@à°PÐð#�`0 Ð

Page 32: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

32

p@à°PÐð#�`0 Ð

Page 33: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

33

p@à°ÿPÐð#�`0 Ð

Page 34: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

34

p@à°ipasi angkatan kerja tersebut, fokus garapan dalam upaya pengembangan kesempatan kerja harus diprioritaskan pada tenaga kerja kelompok umur 30-34 tahun (baik laki-laki maupun perempuan) untuk daerah pantai, serta kelompok umur 20-24 t untuk tenaga kerja perempuan. Disamping itu, pada daerah dataran tinggi prioritas sebaiknya diberikan pada tenaga kerja perempuan khususnya pada kelompok umur 20-29 tahun. Proporsi tertinggi tenaga kerja dengan klasifikasi sedang mencari pekerjaan terjadi pada kelompok ahwa di antara 100 jiwa tenaga kerja anak-anak (kelompok umur 10-14 tahun) terdapat 4-16 jiwa angkatan kerja. Pada wilayah pantai dan pinggiran, tingkat partisipasi angkatan kerja (usia anak-anak) perempuan relatif lebih tinggi dari pada laki-lakÉ-a§× ×× pantai mempunyai bentuk yang sangat berbeda dari daerah yang lainnya. Pada kelompok umuíöïör 30-34 tingkat partisipasi menunjukkan jauh lebih rendah bila dibëöandingkan daerah lainnya. †} pola pdíöïöãPäýð#`0 Ð

Page 35: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

35

p@à°u yang digunakan. Pada umumnya semakin pendek jenis tanaman pagar dan semakin tinggi jenis tanaman selamnya maka semakin jarang diperlukan pemangkasan. Untuk jenis tanaman pagar yang tumbuhnya cepat, seperti leucaena dan glericidia, memerlukan pemangkasan setiap 5-6 minggu selama musim pertumbuhan tanaman sela.

(5). Pengolahan TanahPengolahan tanah secara konvensional dengan menggunakan bajak

dan sisir tidak diperlukan. Dalam sistem pertanaman lorong ini pengolaha tanah tidak terlalu berpengaruh terhada produktivitas tanaman lorong selama tersedia cukup banyak mulsa dari hasil pemangkasan tanaman pagar. Akan tetapi kadangkala disarankan untuk melakukan pengolahan tanah secara ringan dan dangkal untuk membumbun barisan tanaman pagar yang akarnya tersingkap ke permukaan.

(6). Pengendalian Gulma Penaungan oleh tanaman pagar pohon atau perdu selama musim

bera berhasil menekan pertumbuhan gulma. Hasil pangkasan yang digunakan sebgaai mulsa juga mampu menekan perkembangan gulma. Hasil pangkasan dari Acioa barterii dan Alchornea cordifolia yang proses dekomposisinya sangat lambat ternyata sangat efektif kalau digunakan dalam jumlah cukup banyak sebagai mulsa untuk menekan pertumbuhan gulma.

.

.

.

.

3. MODEL DAN METODE

3. 1. Pendekatan SaintifikDalam penelitian ini akan digunakan pendekatan melaui telaah foto

udara yang ada, interpretasi peta lahan, survei dan observasi langsung keadaan lapang untuk mengetahui kondisi dan karakteristik lahan. Selan-jutnya dilakukan analisis dari berbagai masukan data penunjang keadaan agroekologi, ragam vegetasi, sistem tanam dan pola tanam dan produksinya, keadaan sosial ekonomi, kelembabagaan yang mendukung pengelolaan produksi untuk disajikan dalam bentuk data deskriptip, skematis, data analisis, penyajian peta-peta kesesuaian lahan serta model-model rekomendasi rekayasa teknologi yang layak pada masing-masing wilayah.

Page 36: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

36

3.2. Batasan Lokasi Perencanaan Satuan perencanaan adalah sumberdaya lahan pertanian yang

terletak di beberapa wilayah Kecamatan, di Jawa Timur

3.3. Metodologi Dalam kegiatan perencanaan seperti ini dapat dilakukan tiga tahap

pekerjaaan yaitu dengan (1) Penggunaan Sistem Informasi Geografi, (2) Penggunaan Data dan informasi Sumberdaya wilayah dan (3) Penggunaan prinsip Perencanaan Tata Ruang yang digunakan sebagai landasan rekayasa rekomendasi teknologi terapan pada likasi sasaran.

3.3.1. Penggunaan Sistem Informasi GeografiSistem informasi geografi (SIG) merupakan suatu sistem informasi

yang berkenaan dengan perihal geografis. Data yang merupakan masukan bagi sistem ini berupa data spasial atau data yang mengacu kepada lokasi geografis. Data ini diproses menjadi informasi spasial a.l. adalah peta (Paul Suharto, 1990). Secara struktural sistem ini terdiri atas beberapa subsistem, yaitu (1) subsistem masukan data, (2) subsistem pengolahan dan pengelolaan, dan (3) subsistem penyajian informasi .

3.3.2. Penggunaan Data dan Informasi Sumberdaya WilayahSumberdaya dapat diartikan sebagai segala sumber perse diaan yang

secara potensial dapat didaya-gunakan; sedangkan dalam domain ekonomi, sumberdaya dapat berarti "masukan atau input" proses produksi. Berkenaan dengan pengertian di atas, maka sumberdaya alam mempunyai dua ciri penting, yaitu:(1). Pemanfaatannya dalam proses produksi akan menghasilkan "produk

utama" dan "produk sampingan" baik yang mengun tungkan maupun yang merugikan

(2). Tingkat keberadaannya dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor geografis dan sifat ketergantungan antar komponen sumberdaya alam dalam kesatuan ekosistem alami yang mensuplai bahan mentah untuk diproses menjadi produk-produk yang mampu memberikan inilai utilitas lebih tinggi kepada konsumen.

3.3.3. Penggunaan Prinsip Perencanaan Tata RuangRuang adalah adalah wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan,

ruang lautan dan ruang udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya serta daya, keadaan, sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dengan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatannya dan memelihara kelangsungan kehidupan nya. Tata ruang adalah wujud

Page 37: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

37

struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Daerah Tingkat I dan ruang wilayah Daerah Tingkat II yang mencakup perkotaan dan pedesaan, baik direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang; Penataan ruang adalah proses perencanaan, pelaksanaan rencana dan pengendalian pelaksanaan rencana tata ruang secara terarah, terpadu dan berkesinambungan dalam memenuhi kebutuhan pemanfaatan ruang; Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang berupa arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang secara terpadu untuk berbagai kegiatan.

3.3.4. Pengumpulan Data dan Informasi yang diperlukanData dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: (1).

Data agroekologi: curah hujan, temperatur, radiasi; (2). Data agrohidrologi: neraca lengas lahan, sungai, waduk; (3). Data sumberdaya lahan: sifat dan ciri tanah; (4). Data Penggunaan Lahan dan sistem pertanian; (5). Data Sosial Ekonomi.

Data sekunder tentang keadaan sosial ekonomi usahatani yang dilaku-kan petani dikumpulkan untuk mendukung model eva-luasi kesesuaian lahan . Data yang dikumpulkan meliputi a.l : (1). Kependudukan, (2). Pemilikan dan penggunaan lahan pertanian, (3). Sarana dan prasarana kehidupan sosial ekonomi dan kelembagaan, (4). Luas dan hasil komoditi pertanian, (5). Harga komoditi pertanian dan sarana produksi pertanian di tingkat petani, dan (6). Input/output usahatani beberapa komoditi tanaman dan ternak yang dominan di lokasi penelitian, serta (7). Kebutuhan biaya-biaya dan tenagakerja untuk pembangunan beberapa tipe teras di lahan petani.

3.3.5. Metode Pengumpulan Data dan Analisis

(1). Pemetaan dan Inventarisasi Sumberdaya LahanProsedur Pemetaan Sumberdaya Lahan ini meliputi beberapa tahapan

sebagai berikut :(a). Interpretasi Peta-peta thematik

Sebagai pedoman pokok dalam pembuatan peta dasar digu nakan hasil interpretasi peta-peta thematik: Peta Topografi Jawa-Madura skala 1:50.000; Peta Geologi Jawa Timur, skala 1:500.000 dan; Peta Tanah Tinjau Skala 1:250.000 dan/atau Semi Detil, skala 1:50.000; Peta Sistem Lahan, Skala 1:250 000; dan Peta Penggunaan Lahan Aktual, skala 1:50.000.Hasil interpretasi peta-peta thematik ini berupa, a.l : (i) vegetasi dan penggunaan lahan, (ii) bentuk lahan, (iii) kemiringan rataan, (iv) order tanah dan sifat-sifat umum, ter-masuk solum rataan. Analisis selanjutnya

Page 38: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

38

diarahkan untuk menentukan kawasan budidaya dan kawasan non-budidaya dengan menggunakan kriteria kemiringan lahan dan tebalnya solum tanah rataan. Klasifikasi penggunaan lahan mengikuti sistim klasifikasi liputan lahan yang digunakan oleh Bakosurtanal 1990. Sedangkan pena maan dan pembagian satuan bentuk lahan mengikuti sistem yang dikembangkan oleh Desaunettes (1977).

(b). Pengamatan LapanganPengamatan lapangan meliputi penghalusan batas-batas satuan bentuk lahan, penen tuan lokasi deskripsi kawasan budidaya dan non-budidaya. Disamping itu juga dilakukan pengamatan pola penggunaan lahan pertanian serta macam vegetasi yang dominan. Deskripsi kualitas dan karakteristik lahan didasarkan pada peta tanah tinjau LPT (1964), kemudian disesuaikan dengan sistem Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1975; 1990).

(c). Interpretasi Ulang dan Analisis Kondisi LapangAnalisis dan interpretasi ulang dilakukan untuk membetulkan hasil interpretasi peta-peta thematik sebelumnya, baik perbaikan batas satuan peta maupun identifikasi obyeknya. Analisis kondisi lapang didasarkan atas observasi keadaan fisik lapang.

(2). Metode Evaluasi Sumberdaya LahanMempelajari karakteristik sumberdaya lahan baik di lapangan maupun

di laboratorium. Hasil akhirnya disajikan dalam bentuk peta sumber daya lahan. Akan tetapi peta ini belum bersifat aplikatif terhadap kemampuan sumber daya lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Untuk itu perlu diikuti dengan tahapan berikutnya,yaitu evaluasi sumber daya lahan. Evaluasi sumber daya lahan bertujuan untuk memprediksi kesesuaian suatu penggu naan lahan yang berupa komoditi tertentu,pada suatu satuan lahan tertentu yang berada didaerah penelitian. Evaluasi sumber daya lahan yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti "Kerangka-kerja Evaluasi Lahan yang bertumpu pada karakteristik sistem lahan. Prinsip utama yang diterapkan adalah pemaduan (matching) antara kualitas sumber daya lahan dan persyaratan tumbuh bagi penggunaan lahan . Dalam evaluasi sumberdaya lahan ini digunakan tiga kriteria , yaitu : (i) sistem lahan, (ii) Kemiringan lahan , dan (iii) tebal solum tanah .

(3). Rekayasa Teknologi Pengelolaan Lahan KeringStrategi rancang bangun dan rekayasa sistem pengelolaan lahan

kering ini berprinsip pada optimasi sumberdaya alam yang tersedia dengan jalan mengatasi faktor pembatas dan kendala yang ada secara optimal. Oleh karena itu landasan yang digunakan adalah potensi sumberdaya lahan yang dapat diketahui dengan teknik evaluasi lahan.

Page 39: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

39

A. Evaluasi LahanA.1. Pendahuluan Evaluasi kapabilitas lahan merupakan penilaian potensi lahan bagi

penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dengan tidak membahas peruntukan jenis tanaman tertentu ataupun tindakan-tindakan pengelolaan tertentu. Karenanya evaluasi ini bersifat umum. Lahan dengan kapabilitas tinggi diharapkan mempunyai potensi tinggi untuk berbagai penggunaan, sehingga memungkinkan penggunaan yang intensif untuk berbagai macam kegiatan. Pada dasarnya penilaian kapabilitas lahan ini disebut juga sebagai sistem kategori karena sistem tersebut mengelompokkan lahan ke dalam sejumlah kecil kategori yang dinilai menurut faktor penghambat permanen serta sejumlah ciri-ciri tanah dan lingkungan lainnya.

Sistem kategori dilakukan dengan cara menguji nilai- nilai dari sifat tanah dan lingkungan terhadap seperangkat kriteria untuk masing-masing kategori melalui proses penyaringan. Mula-mula nilai-niali tersebut diuji terhadap kriteria kelas lahan yang terbaik, apabila tidak terpenuhi maka secara otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah. Pengujian ini dilakukan sampai semua kriteria yang ada terpenuhi dimana kelas kapabilitasnya ditemukan.

Selanjutnya kelas kapabilitas lahan ini dinilai tingkat kesesuaiannya untuk tanaman pangan dengan jalan membandingkan antara kualitas lahan dan syarat yang dibutuhkan untuk budidaya tanaman pangan semusim. Selanjutnya hasil evaluasi ini digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan lahan untuk penggunaan pertanian.

.

.A.2. Kelas Kapabilitas dan Kesesuaian LahanBerdasarkan penilaian seperti yang diuraikan di atas, maka kelas

kapabilitas dan tingkat kesesuaian lahan di lokasi proyek dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas sebagai berikut :

KELAS I : Tingkat kesesuaiannya S2Lahan mempunyai sedikit penghambat yang membatasi peng-

gunaannya, sesuai untuk segala macam penggunaan pertanian lahan kering. Kelas ini dicirikan oleh topografi datar-landai (0-8%), bahaya erosi kecil, solum relatif dalam (>51-75cm), umumnya berdrainase baik, mudah diolah, dapat menahan air dengan baik serta responsif terhadap pemupukan.

Lahan pada kelas ini tidak mempunyai penghambat ataupun ancaman kerusakan yang berarti dan sesuai untuk usaha tani yang intensif. Satu-satunya kendala yang perlu dipertimbangkan adalah terbatasnya periode pertumbuhan karena kebutuhan airnya sangat tergantung dari curah hujan.

Page 40: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

40

Sehingga pemanfaatan penggunaan lahan untuk tanaman semusim terbatas pada saat musim penghujan saja. Lebih dari itu tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah tetap diperlukan agar dapat mempertahankan kesuburan dan produktivitas lahannya.

Tingkat kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya tanaman pangan secara berkesinambungan, lahan ini termasuk dalam kategori cukup sesuai dengan pembatas kesuburan tanah dan ketersediaan air (S2.nr).

KELAS II : Tingkat kesesuaiannya S3Lahan pada kelas ini mempunyai sedikit penghambat yang dapat

mengurangi pilihan penggunaannya atau membutuhkan tindakan pengawetan yang sedang. Lahan pada kelas ini membutuhkan pengelolaan tanah secara hati-hati meliputi tindakan pengawetan, menghindari keruskan dan memperbaiki hubungan air-udara tanah. Penghambat dalam kelas ini dapat merupakan satu atau kombinasi dari faktor-faktor berikut : bentuk wilayah bergelombang dengan kelerengan agak miring (8-15%), sangat peka terhadap bahay erosi, berdrainase buruk, permeabilitas tanah sangat lambat, solum tanah agak dangkal (26- 50cm), kapasitas menahan air rendah sampai sedang, dan kesuburan tanah rendah. Di dalam penggunaannya diperlukan tindakan-tindakan pengawetan yang cukup, seperti pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dalam jalur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, guludan, dan pemupukan.

Tingkat kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya pertanian tanaman pangan secara berkesinambungan, lahan ini termasuk ke dalam kategori hampir sesuai dengan pembatas : topografi agak miring, erosivitas sedang-tinggi, kesuburan tanah rendah dan ketersediaan air terbatas (S3.tenr).

KELAS III : Tingkat kesesuaiannya N1Lahan pada kelas ini mempunyai penghambat yuang lebih besar,

sehingga pemilihan jenis penggunaan atau jenis tanaman lebih terbatas. Lahan pada kelas ini pada dasarnya masih dapat diusahakan untuk penggunaan pertanian tetapi dengan ancaman dan bahaya kerusakan yang cukup tinggi.

Lahan pada kelas ini mempunyai salah satu atau lebih faktor penghambat berikut : daerah berbukit dengan kelerengan curam (15-30%), solum agak dangkal (26-50cm) sampai dangkal (<25cm), sangat peka terhadap bahaya erosi, kapasitas menahan air rendah dan drainase buruk. Apabila diusahakan untuk kawasan budidaya, dibutuhkan tindakan pengelolaan khusus, yang relatif lebih sulit, baik dalam pelaksanaan maupun pemelihara annya, dibandingkan kelas- kelas sebelumnya. Lahan ini seyogyanya diusahakan untuk tanaman keras baik buah-buahan maupun

Page 41: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

41

kayu-kayuan sebagai tanaman pokoknya. Apabila dilengkapi dengan pembuatan teras- teras bangku lengkap dengan penguatnya baik berupa tanaman atau batu, di sela-sela tanaman pokok masih bisa ditanami tanaman semusim (jagung, palawija atau ketela pohon) yang dikelola dengan sistem budidaya lorong. Untuk mempertahankan tingkat kesuburan tanahnya diperlukan pergiliran dengan tanaman penutup tanah/makan ternak/pupuk hijau selama 3-5 tahun sekali.

Tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya pertanian tanaman pangan termasuk dalam kategori tidak sesuai saat ini, dengan faktor pembatas : Topografi curam, solum dangkal dan erosivitas tinggi (N1.tse)

KELAS IV : Tingkat kesesuaiannya N2Lahan pada kelas ini tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani

tanaman semusim (kawasan bukan budidaya), dan se baiknya digunakan untuk penanaman dengan vegetasi permanen seperti padang rumput atau hutan yang disertai tindakan pengelolaan yang tepat dan lebih intensif. Lahan pada kelas ini mempunyai lereng yang sangat curam (>30%), atau mengalami erosi yang berat, atau solum sangat dangkal (<25cm), atau berbatu. Tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman pertanian termasuk ke dalam kategori tidak sesuai selamanya, dengan pembatas utama : topografi, kedalaman efektif, kondisi batuan dan bahaya erosi (N2.tse).

B. Strategi Pengelolaan LahanStrategi pengelolaan lahan diarahkan untuk dapat memanfaatkan

sumberdaya alam yang tersedia seoptimal mungkin dan mengatasi kendala-kendala yang ada. Dalam hubungan ini, sumberdaya alam yang dimaksud adalah air hujan dan tanah sebagai medium pertumbuhan tanaman. Sedangkan kendala pengelolaan yang dihadapi beragam dengan kelas kapabilitas lahan.

B.1. Lahan-lahan yang tingkat kesesuaiannya S2.Lahan-lahan ini cukup sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan

budidaya tanam-an pangan lahan kering secara berkesinambungan. Faktor topografi dan solum tanah belum menjadi faktor pembatas, sedangkan kendala yang kemungkinan besar dihadapi adalah rendahnya ketersediaan hara /kesuburan tanah dan keterbatasan ketersediaan air hujan dalam setahun. Neraca lengas lahan biasanya ditandai oleh defisit lengas lahan selama 4-5 bulan, sehingga praktis lahan hanya dapat ditanami dua kali dalam setahun dengan pengaturan jadwal tanam yang tepat. Sedangkan rendahnya faktor kesuburan ditentukan oleh rendahnya kandungan bahan

Page 42: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

42

organik tanah, dan unsur hara NPK tersedia. Sehingga strategi yang disarankan ialah penggunaan bahan organik berupa rabuk kandang, rabuk hijau/kompos, mulsa atau bahan organik lainnya; sedangkan penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl dapat disesuaikan dengan nilai ekonomi tanaman yang dibudidayakan.

B.2. Lahan-lahan yang tingkat kesesuaiannya S3.Lahan-lahan ini hampir sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan

budidaya pertanian tanaman pangan palawija secara berkesinambungan, faktor pembatasnya adalah kemiringan lahan yang agak miring. Sebagai akibat dari faktor pembatas ini adalah tingginya volume dan laju limpasan permukaan pada musim hujan yang pada giliran selanjutnya akan mengakibatkan erosi tanah dan pencucian hara yang cukup berat, dan defisit lengas lahan yang semakin parah. Pada kondisi seperti ini strategi pengelolaan lahan diarahkan untuk memperingan efek dari faktor pembatas, yaitu dengan jalan memperkecil faktor topografi. Faktor topografi ini dapat diperkecil dengan jalan memperpendek panjang lereng dan/atau mengurangi derajat kemiringan. Tindakan praktis yang dapat dilakukan adalah pembuatan terras, saluran pembuangan air, pengolahan tanah menurut kontur atau sistem budidaya lorong, tergantung pada tingkat kemiringan lahan dan panjang lerengnya. Penjelasan mengenai teknologi konservasi ini telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Tindakan untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah dapat dilakukan setelah tindakan konservasi ini dilakukan, demikian juga pengaturan pola pergiliran tanaman dan jadwal pertanamannya. Pada lahan-lahan pekarangan disarankan untuk dikelola dengan sistem kebun campuran dengan proporsi tanaman tahunan (pohon-pohonan) disesuaikan dengan kemiringan lahan.

B.3. Lahan-lahan yang tingkat kesesuaiannya N1Lahan-lahan ini pada saat sekarang tidak sesuai untuk dikembangkan

menjadi lahan budidaya pertanian tanaman pangan. Faktor pembatas yang dihadapi adalah topografi curam, solum dangkal dan degradasi lahan akibat erosi telah parah. Strategi pengelolaan lahan seperti ini diarahkan untuk mengendalikan limpasan permukaan dan erosi melalui tindakan gabungan antara fisik mekanik dengan biologis (vegetasi tetap berupa pohon-pohonan). Persentase tanaman pohon harus cukup tinggi untuk mampu melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan sekaligus mampu meresapkan air hujan ke dalam profil tanah. Hal ini membawa konsekwensi pemilihan teknologi terras yang sesuai dan pemilihan jenis tanaman pohon yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Teknologi bibit dan pembibitan serta penanaman bibit menjadi sangat penting pada kondisi seperti ini, sehingga

Page 43: model rancangbangun dan rekayasa pembangunan pertanian

43

keberadaan kebun bibit desa yang dapat diakses oleh petani setempat menjadi sangat penting.

B.4. Lahan-lahan yang tingkat kesesuaiannya N2Lahan-lahan ini untuk selamanya tidak sesuai dikembangkan menjadi

lahan budidaya tanaman pertanian. Faktor pembatasnya yang utama adalah topografi yang curam, kedalaman efektif tanah sanga tipis, adanya batu-batuan di permukaan tanah dan degradasi lahan akibat erosi sudah sangat parah. Strategi pengelolaan lahan seperti ini diarahkan untuk sistem agroforestry yang melibatkan aneka pohon buah-buahan atau hutan rakyat dengan aneka tanaman kayu-kayuan dan tanaman pakan yang tahan kering. Teknologi yang sangat diperlukan adalah teknologi pembibitan dan penanaman bibit yang memungkinkan bibit tanaman dapat bertahan hidup pada kondisi defisit lengas selama 4-5 bulan musim kemarau. Teknologi penunjang lainnya adalah penampungan air hujan pada tempat jatuhnya dan kemudian meresapkannya dalam tanah.

C. Sarana dan Prasarana PenunjangBerdasarkan atas uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan

lahan untuk budidaya pertanian diperlukan biaya- biaya yang cukup besar untuk mengatasi faktor-faktor pembatas dan kendala yang ada. Biaya-biaya ini sebagian dapat disediakan oleh petani dan sebagian lainnya tidak mungkin dapat disediakan oleh petani, sehingga memerlukan bantuan dan bimbingan pengelolaannya. Sarana dan prasarana penunjang ini dapat berupa infra struktur fisik seperti prasarana jalan dan transportasi, bangunan konservasi tanah dan air, kebun bibit dan percontohan, dan lainnya. Prasarana kelembagaan sosial-ekonomi pedesaan sebagai pusat transfer informasi dan teknologi, kelembagaan yang mengelola bantuan modal dan sarana produksi, serta lembaga-lembaga pemasaran hasil produksi.