model perumusan kebijakan pendukung...

189
MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO BERBASIS KINERJA DRIVER RANTAI PASOK YUDI WIDAYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: hamien

Post on 19-Mar-2019

262 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

i

MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN

PENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO

BERBASIS KINERJA DRIVER RANTAI PASOK

YUDI WIDAYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Page 2: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

ii

Page 3: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Perumusan

Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver

Rantai Pasok” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Yudi Widayanto

NIM F361080021

Page 4: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

ii

RINGKASAN

YUDI WIDAYANTO. Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan

Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok. Dibimbing oleh

MACHFUD, ERLIZA HAMBALI dan SUKARDI

Indonesia sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia saat ini

sedang berupaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini melalui

pengembangan industri kakao. Berbagai kebijakan dan program telah

dilaksanakan untuk mencapai daya saing industri kakao. Namun, kompleksitas

pengembangan industri membuat tidak mudahnya merumuskan kebijakan yang

efektif. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pengembangan industri kakao di

antaranya adalah adalah manajemen rantai pasok dan infrastruktur.

Faktor rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan

industri kakao di Indonesia, karena secara geografis kegiatan agroindustri kakao

tersebar luas di berbagai pulau di wilayah Indonesia. Dalam manajemen rantai

pasok driver (faktor penggerak) logistik sangat mempengaruhi keputusan

perusahaan untuk melakukan ekspansi atau penambahan kapasitas. Selain itu,

aspek aliran informasi dan pilihan cara pengadaan juga menjadi pertimbangan

yang mempengaruhi pengembangan industri. Untuk mengetahui kinerja rantai

pasok diperlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai

pasok secara holistik.

Pengukuran kinerja pada level perusahaan sudah banyak dilakukan seperti

metode SCOR dan Balance Score Card, namun pengukuran kinerja pada level

antar perusahaan masih sangat jarang. Penelitian ini bertujuan merancang suatu

model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis

kinerja driver rantai pasok. Adapun tahapan untuk mencapai tujuan tersebut

adalah: a) Menguraikan permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia; b)

Menganalisis rantai pasok kakao sebagai upaya pengembangan industri kakao; c)

Menguraikan faktor penggerak (driver) kinerja rantai pasok kakao; dan d)

Mendesain model perumusan kebijakan yang didasarkan pada pengukuran kinerja

driver rantai pasok industri kakao. Industri kakao dalam penelitian ini dibatasi

pada industri pengolahan biji kakao yang menghasilkan cocoa cake, cocoa liquor,

cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan).

Permasalahan utama perkakaoan Indonesia adalah: produktivitas kebun

masih rendah, mutu biji belum standar, kapasitas industri rendah, konsumsi coklat

per kapita rendah, kurangnya dukungan infrastruktur jalan dan pasokan energi

untuk pembangunan industri. Dari identifikasi kebijakan untuk mengatasi masalah

pengembangan industri kakao ternyata kebijakan sektor keuangan khususnya

bidang perpajakan memiliki peran yang dominan. Hal ini dapat ditunjukkan dari

persandingan antara kronologi keluarnya kebijakan dan naik turunnya

perkembangan jumlah industri kakao yang berbanding lurus. Hasil analisis rantai

pasok menunjukkan pengembangan industri kakao perlu jaringan kemitraan

dengan petani. Metode pembangunan demplot di sentra produksi disertai

penyediaan penyuluh lapangan terbukti menghasilkan biji kakao berkualitas yang

mendukung keberlanjutan pasokan biji kakao industri.

Pengukuran kinerja rantai pasok dalam penelitian ini dibagi menjadi dua

aspek yaitu efisiensi dan responsivitas. Masing-masing aspek memiliki 5 buah

Page 5: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

iii

driver yaitu fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Untuk

memperoleh ukuran yang lebih operasional dilakukan dekomposisi driver menjadi

sub driver rantai pasok berdasarkan literatur yang relevan. Dalam penelitian ini

berhasil diuraikan 35 sub driver untuk aspek efisiensi dan 27 sub driver untuk

aspek respsonsivitas. Selanjutnya berdasar uraian sub driver tersebut disusun

kuesioner skor kinerja rantai pasok untuk perusahaan dan kuesioner pembobotan

yang diisi oleh pakar.

Hasil analisis menunjukkan driver fasilitas, inventori dan sourcing

cenderung mengutamakan responsivitas. Sementara driver transportasi dan

informasi lebih cenderung mengutamakan efisiensi. Perhitungan dengan Weighted

Scoring Model menghasilkan nilai indeks kinerja rantai pasok total sebesar 29.75.

Nilai ini relatif rendah jika dibandingkan nilai ideal sebesar 45.00 yang

mengindikasikan perlunya pembenahan atau perbaikan segera pada seluruh driver.

Secara berurutan prioritas driver yang perlu penanganan segera adalah fasilitas,

inventori, informasi, transportasi, dan sourcing.

Berdasarkan kinerja driver rantai pasok, model perumusan kebijakan

penelitian ini menghasilkan 11 kebijakan pemerintah dan 9 kebijakan perusahaan

dalam pengembangan industri kakao. Dengan menggunakan teknik ISM, hasil

studi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemberian insentif fiskal untuk

pengembangan industri, kebijakan perluasan penerapan wajib SNI biji kakao,

kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan

hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang

keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam

konteks kebijakan pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal

adalah kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao dan

bukan sebagai pendorong utama.

Keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao sangat

membutuhkan dukungan/dorongan kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan

industri dalam akan memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao

yang produktif dan bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya

keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan dan peningkatan produktivitas

diharapkan dapat menjadi pola revitalisasi lembaga penyuluhan pemerintah

melalui serangkaian kegiatan penyuluhan dan pendampingan yang kreatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur

jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan pada

kebijakan lainnya. Bersama-sama dengan kebijakan infrastruktur lainnya yaitu

perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan, dan pemenuhan pasokan

infrastruktur energi (listrik dan gas) diharapkan menjadi pendorong kebijakan

lainnya dalam pengembangan industri kakao. Kebijakan tersebut tidak hanya

berupa pembangunan fisik infrastruktur, namun juga non fisik yang lebih

mendorong penguatan dan pemberdayaan pemasok kakao yaitu petani kakao.

Validasi model dengan metode face validity menunjukkan bahwa kebijakan-

kebijakan yang tersusun dalam rumusan kebijakan serta model struktur yang

dihasilkan dapat menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan untuk

mengembangkan industri kakao di Indonesia.

Kata Kunci : industri kakao, driver rantai pasok, model perumusan kebijakan,

ISM, AHP

Page 6: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

iv

SUMMARY

YUDI WIDAYANTO. A Model for Supporting Policy Formulation of

Cocoa Industry Development Based on Supply Chain Driver Performance. Under

Direction of MACHFUD, ERLIZA HAMBALI and SUKARDI

As the third largest cocoa beans producer in the world Indonesia is currently

working to improve the added value of these commodities through the

development of the cocoa industry. Various policies and programs both upstream

and downstream sectors have been implemented to achieve industrial

competitiveness cocoa. However, the complexity of the development of the

industry makes it difficult to formulate effective policies. Many factors influence

the development of the cocoa industry. Previous studies one of the factors in the

development of the cocoa industry is a supply chain management and

infrastructure.

Supply chain factor is an important consideration in the development of

Indonesian cocoa industries, because geographically widespread cocoa activities

in various islands in Indonesia. Raw material production of cocoa beans is mostly

on the island of Sulawesi, Sumatra, and Kalimantan, while for manufacturing

activity is still concentrated in Java and some parts of Sulawesi.

In supply chain management logistics aspects such as location, capacity and

flexibility of its facilities, inventory, and equipment and transportation costs

greatly affect the company's decision to expand or adding capacity. In addition, an

aspect of the flow of information and the selection method of procurement is also

a consideration that affects the development of the industry. Aspects mentioned

above have referred to as drivers (driving forces) that will determine the

performance of the supply chain. To determine the performance of the supply

chain required measurement system that is able to evaluate the performance of the

supply chain holistically. However, choosing the system of supply chain

performance measures is quite difficult due to the complexity of the system. In

addition, the design of supply chain performance measurement is very diverse.

Performance measurement at the firm level has been done such as SCOR

method and Balance Score Card. But, the problem was how to measure an inter-

company level performance of the supply chain. The development of the cocoa

industry in Indonesia needs a supply chain performance measurement at the

industry level (inter-company) to support the government's role in creating a

climate that was more conducive to the development of the cocoa industry.

This study aims to design a model of cocoa industry development policy

formulation based on driver of supply chain performance. While the stages

include: a) analyses on policy issues and Indonesian cocoa; b) analysing the cocoa

supply chain as an effort to develop the cocoa industry, c) Describe the driver

cocoa supply chain performance, and d) Measuring supply chain performance

cocoa industry. Cocoa industry was limited to the processing industry that

produces cocoa beans, cocoa cake, cocoa liquor, cocoa butter, and cocoa powder.

The supply chain analysis shows that the cocoa industry development needs

a partnership between industry and farmers/cooperative. Development of a pilot

project in the production area with the provision of extension workers was proven

to produce high quality cocoa beans that support a sustainable supply of cocoa for

Page 7: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

v

industry. While the mechanism for fair and free barriers of trade should be

supported by government policy in terms of standard scales (metrology), trade

monitoring, road infrastructure improvement, and deregulate fees/levies.

The decomposition of supply chain driver obtained 5 drivers of efficiency

and responsiveness aspects. These five drivers are facilities, inventory,

transportation, sourcing, and information. This study has been able to break down

into 35 sub drivers for efficiency and 27 sub drivers for responsiveness.

Tendency analysis results show that the facilities, inventory and sourcing

driver tend to prioritize responsiveness. While the transportation and information

driver tend to give priority to efficiency. The Weighted Scoring Model calculation

produces Supply Chain Performance Index score total of 29.75. This value was

relatively low compared to the ideal value of 45.00 which indicate the need for

immediate improvement on the entire drivers.

Based on the performance of supply chain drivers, this study has been

formed twelve government‟s policies and eight firm‟s policies for the

development of the cocoa industry. Using ISM technique the policy formulation

previously unknown structure can be structured and have relationships clearer.

The results of this study indicate that the fiscal incentives policy, the

expansion of the application of SNI (Indonesian National Standard) cocoa beans,

telecommunication network expansion, and the policy of removal of trade barriers

were the four policies that its success were depend on other policies. In the cocoa

industry development context, the fiscal incentives policy was the final

determinant of successful policy. This was in line with the fiscal policy goal to

support national economic policy.

The improvement of the cocoa productivity urgently needs to encourage

cooperation between government and industry in the field of extension services.

Furthermore, the pattern of cooperation could be adopted for the government

revitalization extension services through a series of outreach activities and

creative mentoring.

This study indicates that improvements of road infrastructure policy were

the basic policies that will provide encouragement and support to other policies.

Organized with the other infrastructure policies such as the road infrastructure

(including bridges), infrastructure and improved management of the port, and

fulfillment supply of energy (electricity and gas) was expected to lead other

policies. The policy was not just a physical infrastructure development, but also

non-physical which encourage the strengthening and empowerment of the cocoa

farmers.

A model for supporting policy formulation of cocoa industry development

was validated using face validity method by experts. The results show that the set

of formulating policy and the structural models have been able to describe what

should be done to develop the cocoa industry in Indonesia. Emphasizing on using

supply chain driver performance as a basis for policy formulation has been

assessed by experts to meet the real demands of industrial development faced by

existing investor or industry owner.

Keywords: cocoa industry, supply chain driver, performance, policy formulation,

ISM, AHP.

Page 8: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 9: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

i

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN

PENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO

BERBASIS KINERJA DRIVER RANTAI PASOK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

YUDI WIDAYANTO

Page 10: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

ii

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Yandra Arkeman

Dr Ir Undang Fajar

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Eriyatno, MSAE

Dr Ir Dedi Mulyadi

Page 11: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

iii

Judul Disertasi : Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri

Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok

Nama :Yudi Widayanto

NIM : F361080021

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Machfud, MS

Ketua

Prof Dr Erliza Hambali Dr Ir Sukardi, MM

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr Ir Machfud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Juli 2013

Tanggal Lulus:

Page 12: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah

pengembangan industri kakao, dengan judul Model Perumusan Kebijakan

Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Machfud MS selaku

ketua komisi pembimbing serta kepada Ibu Prof Dr Erliza Hambali dan Bapak Dr

Ir Sukardi MM selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan

pengarahannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua

dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Dekan Fakultas

Teknologi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf administrasinya

yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis di IPB. Di samping itu,

penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi yang telah mensponsori kegiatan belajar dan penelitian penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Latief Setiono selaku

Direktur PT MCI yang telah memberi kesempatan penulis bergabung dalam

kajian kebijakan perkakaoan di Sulawesi Selatan serta mengijinkan penulis

menggunakan datanya untuk disertasi ini. Tak lupa penulis juga sampaikan terima

kasih kepada Bapak Dr Undang Fajar dan Bapak Dr Bambang Dradjat dari PT

Riset Perkebunan Nusantara (RPN), Bapak Dr Misnawi dari Puslit Kopi dan

Kakao Indonesia (ICCRI), Bapak Dr Andi Fahmi pimpinan Program Studi MPKP

– FE – UI, dan Bapak Monty S, PhD atas masukan dan diskusi yang memperkaya

penelitian ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Sindra Wijaya

SE selaku Direktur Utama PT Bumi Tangerang Mesindotama (BT Cocoa) dan

Direktur Eksekutif AIKI, Ibu Ir Mima Rangkuty MBS dari Kementerian

Perindustrian, Ibu Musdalifah dari Kemenko Perekonomian atas informasi dan

data yang diberikan. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Saudara Andi

Luxbinatur atas bantuannya dalam proses pencarian literatur penulisan disertasi

ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, dan anak-

anak tercinta kami serta seluruh keluarga, atas doa dan curahan kasih sayangnya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu, atas masukan, saran, dan berbagai bentuk bantuan

yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti program studi Doktor hingga

selesainya penulisan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

Yudi Widayanto

Page 13: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

v

DAFTAR ISI

PRAKATA iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

Kebaruan Penelitian 5

Sistematika Penulisan 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Pengertian Kebijakan Publik 6

Perumusan Kebijakan Publik 6

Pengertian Model 7

Model Perumusan Kebijakan 8

Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri 10

Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok 11

Klasifikasi Industri Pengolahan Kakao Berdasarkan Tahap Pengolahan 12

3 METODE 14

Kerangka Pemikiran 14

Teknik Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan 15

Verifikasi dan Validasi 16

4 PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN PERKAKAOAN INDONESIA 18

Abstrak 18

Pendahuluan 18

Metode Penelitian 19

Hasil dan Pembahasan 21

Permasalahan Perkakaoan Indonesia 21

Sektor-Sektor yang Terkait Pengembangan Industri Kakao Indonesia 27

Simpulan 35

5 ANALISIS RANTAI PASOK KAKAO UNTUK PENGEMBANGAN

INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI SULAWESI SELATAN 37

Abstrak 37

Pendahuluan 37

Page 14: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

vi

Metode Penelitian 39

Hasil dan Pembahasan 41

Simpulan 55

6 FAKTOR PENGGERAK (DRIVER) KINERJA EFISIENSI DAN

RESPONSIVITAS RANTAI PASOK INDUSTRI KAKAO 57

Abstrak 57

Pendahuluan 57

Tinjauan Pustaka 58

Metodologi Penelitian 64

Hasil dan Pembahasan 67

Simpulan 79

7 MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

KAKAO 80

Abstrak 80

Pendahuluan 80

Metode Penelitian 82

Hasil dan Pembahasan 87

Simpulan 118

8 PEMBAHASAN UMUM 120

9 SIMPULAN DAN SARAN 127

Simpulan 127

Saran 129

DAFTAR PUSTAKA 130

LAMPIRAN 138

Page 15: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

vii

DAFTAR TABEL

1 Aktivitas fungsional perumusan kebijakan model O‟Jones ............................. 9

2 Kriteria perumusan kebijakan industri ........................................................... 10

3 Keputusan driver kinerja rantai pasok menurut tingkat keputusan ............... 12

4 Kebijakan perkakaoan berdasarkan pelaku dan proses agroindustri ............. 26

5 Harga referensi Bea Keluar biji kakao ........................................................... 30

6 Bentuk dukungan dalam produksi biji kakao ................................................. 45

7 Perhitungan inefisiensi aliran barang ............................................................. 52

8 Inefisiensi rantai pasok akibat informasi harga, mutu dan perilaku

perdagangan ................................................................................................... 53

9 Upaya perbaikan rantai pasok ........................................................................ 54

10 Perbandingan harga tingkat petani yang berlaku di beberapa kabupaten

di Provinsi Sulawesi Selatan .......................................................................... 55

11 Perbandingan rantai pasok efisien dan responsif ........................................... 61

12 Perbandingan keputusan/strategi efisiensi dan responsivitas menurut

driver rantai pasok (Hugos 2010)................................................................... 61

13 Perbandingan strategi efisiensi dan responsivitas menurut aspek dalam

rantai pasok (Ravindran dan Warsing 2012) ................................................. 62

14 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek efisiensi ....................................... 69

15 Dekomposisi driver inventori dalam aspek efisiensi ..................................... 71

16 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek efisiensi ................................. 72

17 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek efisiensi ...................................... 73

18 Dekomposisi driver informasi dalam aspek efisiensi .................................... 73

19 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek responsivitas ................................ 75

20 Dekomposisi driver inventori dalam aspek responsivitas .............................. 76

21 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek responsivitas ......................... 77

22 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek responsivitas .............................. 78

23 Dekomposisi driver informasi dalam aspek responsivitas ............................. 78

24 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty ............ 85

25 Populasi industri kakao Indonesia tahun 2011 ............................................... 86

26 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek efisiensi ........................................... 88

27 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek responsivitas ................................... 89

28 Hasil pembobotan driver kinerja rantai pasok dengan AHP .......................... 90

29 Rumusan Kebijakan berdasar kinerja rantai pasok ........................................ 95

30 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ......................... 104

31 Rumusan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri kakao ....... 105

32 Iterasi ke-1 ................................................................................................... 110

33 Iterasi ke-2 ................................................................................................... 111

34 Iterasi ke-3 ................................................................................................... 111

35 Iterasi ke-4 ................................................................................................... 111

36 Iterasi ke-5 ................................................................................................... 112

37 Iterasi ke-6 ................................................................................................... 112

38 Iterasi ke-7 ................................................................................................... 112

Page 16: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

viii

DAFTAR GAMBAR

1 Kebijakan publik sebagai sebuah proses (Nugroho, 2009) .............................. 9

2 Pohon industri kakao ...................................................................................... 13

3 Kerangka pikir penelitian ............................................................................... 14

4 Kerangka pikir penelitian ............................................................................... 19

5 Tahapan perumusan masalah .......................................................................... 20

6 Produktivitas perkebunan kakao rakyat ......................................................... 22

7 Luas lahan dan produksi biji kakao (ribu ton/ha) ........................................... 22

8 Keterkaitan antar kebijakan pengembangan industri hilir kakao ................... 35

9 Kerangka analisis rantai pasok untuk pengembangan industri....................... 40

10 Ekspor kakao Sulawesi Selatan 2009 ............................................................. 42

11 Struktur rantai pasok kakao Sulawesi Selatan ................................................ 43

12 Aktivitas pendukung petani dalam menghasilkan biji kakao ......................... 45

13 Aktivitas perdagangan biji kakao ................................................................... 46

14 Aktivitas produksi kakao olahan .................................................................... 48

15 Kerangka desain rantai pasok menurut Chopra & Meindl (2007) ................. 59

16 Kerangka dekomposisi driver kinerja rantai pasok aspek esisiensi dan

responsivitas ................................................................................................... 65

17 Kerangka penelitian ........................................................................................ 82

18 Kerangka pengukuran kinerja rantai pasok aspek efisiensi dan

responsivitas ................................................................................................... 83

19 Struktur hirarki AHP untuk pembobotan driver dan sub-driver .................... 84

20 Grafik kinerja rantai pasok efisiensi dan responsivitas industri kakao .......... 90

21 Grafik kecenderungan efisiensi dan responsivitas industri kakao .................. 91

22 Grafik kinerja rantai pasok agregat industri kakao ........................................ 92

23 Kesenjangan kinerja driver rantai pasok industri kakao ................................ 92

24 Model konseptual perumusan kebijakan pendukung pengembangan

industri kakao berbasis rantai pasok ............................................................... 93

25 Proses penentuan kebijakan ............................................................................ 95

26 Structural self interaction matrix (SSIM) awal kebijakan pemerintah

pendukung pengembangan industri kakao ................................................... 106

27 Matriks reachability ..................................................................................... 106

28 Revisi SSIM final (memenuhi syarat transitivity rule) ................................ 107

29 Hasil matriks reachability final dan interpretasinya .................................... 107

30 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan pemerintah pendukung

pengembangan industri kakao ...................................................................... 108

31 Diagram model struktural kebijakan pengembangan industri kakao ........... 113

32 Skema pembahasan umum ........................................................................... 121

Page 17: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

ix

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner pakar ........................................................................................... 138

2 Kuesioner pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok ...... 148

3 Kuesioner penilaian kebijakan dengan ISM ................................................ 156

4 Data kinerja industri kakao aspek efisiensi .................................................. 161

5 Data kinerja industri kakao aspek responsivitas .......................................... 162

6 Jawaban pakar penilaian kebijakan pemerintah dalam pengembangan

industri kakao ............................................................................................... 163

7 Jawaban pakar penilaian kebijakan perusahaan dalam pengembangan

industri kakao ............................................................................................... 164

8 Penentuan level kebijakan pemerintah ......................................................... 165

9 Hasil matriks reachability final untuk kebijakan perusahaan ...................... 166

10 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan perusahaan pendukung

pengembangan industri kakao ...................................................................... 166

11 Diagram model struktural kebijakan perusahaan dalam pengembangan

industri kakao ............................................................................................... 167

12 Industri kakao yang mulai aktif kembali...................................................... 168

13 Industri kakao yang mengalami penambahan kapasitas .............................. 168

14 Jadwal survei lapangan ................................................................................ 168

15 Informan dalam survei lapangan: ................................................................. 169

16 Narasumber, pakar dan praktisi ................................................................... 170

Page 18: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi
Page 19: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia. Pada

tahun 2011 tercatat produksi Indonesia sebesar 459 ribu ton di bawah Pantai

Gading (1.5 juta ton) dan Ghana (1 juta ton). Akan tetapi, keberhasilan yang

dicapai di sektor hulu ini tidak dengan mudah dibawa ke sektor hilir industri

kakao. Perkembangan industri kakao Indonesia masih belum optimal mengingat

selama ini (hingga tahun 2011) sebagian besar kakao diekspor dalam bentuk

mentah dan belum diolah sehingga nilai tambah yang dihasilkan masih rendah.

Volume ekspor kakao olahan Indonesia yang pada tahun 2010 sekitar 120 ribu ton

dan naik menjadi 176 ribu ton di tahun 2011. Pencapaian ini masih jauh dari total

kapasitas terpasang industri kakao Indonesia sebesar 531 675 ton/tahun pada tahun

2010 dan 689 750 ton/tahun pada tahun 2011 (Kemenperin 2012).

Upaya pengembangan industri pengolahan kakao sudah dilakukan

pemerintah Indonesia sejak awal dekade tahun 2000-an. Namun baru pada tahun

2007 terbit kebijakan yang pro industri kakao dengan dihapuskannya PPN 10%

dan serangkaian kebijakan lainnya hingga kemudian keluar kebijakan Bea Keluar

(BK) pada tahun 2010. Upaya pemerintah tersebut perlu didukung dengan

penguatan informasi tentang apa yang diharapkan industri dan apa yang menjadi

pilihan strategi industri kakao untuk dapat berkembang.

Kebijakan pemerintah memegang peranan sentral bagi pengembangan

industri yang berbasis hasil pertanian (Agroindusri). Austin (1992) menjelaskan

bahwa iklim usaha agroindustri sangat ditentukan oleh kebijakan dan tindakan

pemerintah. Khusus di bidang perkakaoan Wahyudi et al. (2008) menyatakan

bahwa peranan perumusan strategi dan kebijakan pemerintah menjadi kunci

keberhasilan pengembangan industri kakao.

Perumusan kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses

pembuatan kebijakan. Perumusan kebijakan merupakan proses yang secara

spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus (Winarno

2002). Penggunaan data dan fakta yang komprehensif dan peran para ahli,

peneliti, dan akademisi sangat penting untuk memberikan landasan pengetahuan

yang memadai dalam perumusan kebijakan (Herawati 2011).

Kebijakan industri (industrial policy) pada dasarnya merupakan kelompok

kebijakan yang tujuan utamanya adalah mendorong perkembangan industri

tertentu (Taufik 2005). Dalam upaya mendorong pengembangan industri perlu

diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Suprihatini et al. (2004)

telah meneliti dan mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

pengembangan industri di sektor perkebunan, salah satu dari 10 faktor yang

berpengaruh penting adalah manajemen rantai pasok dan infrastruktur.

Rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan industri

kakao di Indonesia, karena kegiatan di dalam setiap tahapan agroindustri kakao

tersebar di berbagai pulau di wilayah Indonesia yang luas. Kegiatan produksi

bahan baku biji kakao tersebar di pulau Suwawesi, Sumatera, Kalimantan, dan

Jawa, sementara untuk untuk kegiatan pengolahan selama ini masih terkonsentrasi

di bagian barat pulau Jawa dan sebagian kecil di Sulawesi. Aspek-aspek logistik

Page 20: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

2

(logistic driver) seperti fasilitas, persediaan, transportasi, serta aspek-aspek lintas

fungsi (cross-functional driver) yang terdiri dari informasi, sourcing, dan harga

merupakan elemen-elemen dalam rantai pasok sangat mempengaruhi

pengembangan agroindustri kakao Indonesia. Di samping itu, karakteristik kakao

yang merupakan komoditas global membuat pengelolaan dan pemanfaatannya

tidak bisa dilepaskan dari jaringan rantai pasok internasional. Dalam konteks

global ternyata industri kakao sangat tersentralisasi, dimana hanya sekitar 10

perusahaan multinasional yang mendominasi 70% industri pengolah kakao dunia.

Cargill, ADM, dan Barry Callebaut adalah tiga perusahaan pengolah kakao

terbesar dunia. Bukti bahwa keterkatain itu terjadi adalah bahwa sebagian besar

industri pengolah kakao besar juga terlibat dalam perdagangan kakao

internasional (Thomas 2011).

Selain itu, pengembangan industri sangat ditentukan oleh daya tarik

investasi berupa faktor return dan risiko dimana investasi dalam industri kakao

sangat rentan terhadap risiko rantai pasok. Alam (2009) menunjukkan bahwa

investasi asing langsung sangat dipengaruhi oleh kemampuan rantai pasok suatu

negara. Sementara itu CSP (2010) mengungkap kebijakan pengembangan industri

kakao Indonesia kurang mencapai sasarannya karena kurangnya koordinasi

kebijakan pusat dan daerah, kurangnya pemahaman terhadap kemampuan pelaku

rantai pasok, serta tidak tepatnya pemilihan teknologi dan skala industri yang

direncanakan.

Kompleksitas permasalahan yang ditandai dengan dinamika rantai pasok

industri kakao yang tidak terakomodir dalam kebijakan pemerintah, maka

kebijakan yang dikeluarkan tidak bisa optimal. Studi FAO menyatakan bahwa

pengembangan agroindustri membutuhkan respon kebijakan yang sehat untuk

mengoptimalkan potensi dalam mencapai keuntungan rantai pasok dan

mengurangi risiko (FAO 2009). Tuntutan dunia akan keamanan dan kualitas

pangan, menjadikan aspek standar semakin memainkan peran fundamental dalam

organisasi rantai pasok (Busch 2000; Henson dan Reardon 2005; FAO 2009). Hal

ini sesuai dengan dorongan FAO terhadap kebijakan pengembangan industri yang

menyatakan :

“Industrial development policy should not add to the risk of entrepreneurs,

but encourage the application of sound, proven methods for the production

of useful goods” (FAO 2009).

Untuk kemudahan dan efektivitas di tengah kompleksitas perumusan

kebijakan, maka kehadiran suatu model perumusan kebijakan yang mampu

mengakomodir tuntutan pelaku sangat diperlukan. Beberapa model perumusan

kebijakan berbasis rantai pasok sudah dikembangkan (Arshinder et al. 2008;

Beheshti 2010; dan Manuj dan Sahin 2011). Namun, model tersebut merupakan

model pengambilan keputusan manajerial pada sebuah organisasi/perusahaan.

Sementara untuk model yang terintegrasi dengan mengembangkan metrik dan

sistem antar organisasi/ perusahaan belum banyak dilakukan (Pujawan 2005:234).

Beberapa penelitian yang relevan sebagai rujukan penulisan disertasi ini

meliputi Liu (2010), Becker et al. (2011) dan Wagner dan Neshat (2011). Ketiga

penelitian tersebut membahas penggunaan model rantai pasok antar perusahaan

dalam kaitan dengan perumusan kebijakan pemerintah. Penelitian Liu (2010)

melihat peran pemerintah selain melakukan kontrol terhadap dunia usaha, juga

secara aktif harus berinteraksi dengan dunia usaha melalui fasilitasi perdagangan

Page 21: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

3

untuk memastikan keamanan rantai pasok. Hal ini karena peran pemerintah sangat

menentukan efisiensi dan efektivitas operasi rantai pasok. Penelitian Liu (2010)

tersebut mendiskusikan bagaimana peran pemerintah yang dalam hal ini di bidang

perpajakan menangani masalah tata kelola rantai pasok dunia usaha (bisnis)

swasta. Kedekatan penelitian Liu (2010) dengan disertasi ini adalah dalam

konteks penggunaan rantai pasok pada perusahaan swasta sebagai suatu media

bagi pemerintah menangani masalah keamanan rantai pasok.

Selanjutnya Becker et al. (2011) dalam penelitiannya tentang kebijakan

pemanfaatan biomassa hutan di Amerika Serikat menggunakan kerangka analisis

rantai pasok untuk merumuskan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan

biomassa hutan. Kerangka analisis rantai pasok dalam penelitian Becker et al.

(2011) didekati dengan sinergi antara tahapan dalam rantai pasok dan kebijakan

pemerintah yang menyertainya. Namun demikian efektivitas kebijakan dalam

penelitian Becker et al.(2011) diukur dengan jumlah kebijakannya (0,1,2..dst)

bukan pada substansi kebijakan. Hal ini karena banyaknya kebijakan yang

direview, yaitu mencakup seluruh wilayah negara bagian di Amerika Serikat.

Pada bidang rantai pasok Wagner dan Neshat (2011) menggambarkan

bahwa mengukur kerentanan rantai pasok sangat penting karena kerentanan rantai

pasok tidak dapat diamati atau diukur secara langsung, melainkan ditentukan oleh

variabel yang mendorong kerentanan rantai pasok yang disebut driver kerentanan.

Oleh karena itu, perlu untuk mengukur driver, mengetahui hubungan antar driver,

dan menyusun agregasi driver untuk suatu ukuran kerentanan rantai pasok.

Mengingat tantangan dalam mengukur kerentanan rantai pasok, tujuan

utama dari penelitian Wagner dan Neshat (2011) adalah mendefinisikan konsep

kerentanan rantai pasok dan menyediakan pengukuran kerentanan rantai pasok

berupa indeks kerentanan rantai pasok (supply chain vulnerability index = SCVI),

kemudian menggunakan SCVI untuk menganalisis dan membandingkan

kerentanan rantai pasok berbagai kategori perusahaan. Kategori perusahaan dalam

penelitian tersebut didasarkan pada kinerja rantai pasok, ukuran perusahaan

(jumlah karyawan dan pendapatan penjualan), jenis produksi, logistik, jenis

perencanaan risiko rantai pasok, dan manajemen risiko rantai pasok.

Kedekatan penelitian Wagner dan Neshat (2011) dengan disetasi ini adalah

dalam hal perumusan suatu kebijakan publik dengan memperhatikan rantai pasok

agar perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja rantai pasoknya. Dalam

tatalaksana penelitiannya pengukuran kerentanan rantai pasok menggunakan

metrik (metric) untuk mengevaluasi driver kerentanan rantai pasok. Penelitian

Wagner dan Neshat (2011) menggunakan metode grafik dalam mengukur dan

menganalisa kerentanan rantai pasok.

Dengan memperhatikan perkembangan penelitian di bidang perumusan

kebijakan berbasis rantai pasok di atas, perumusan kebijakan yang dikembangkan

disertasi ini diharapkan dapat menjawab bagaimana kebijakan yang menjamin

tercapainya kinerja rantai pasok industri kakao. Dengan rumusan kebijakan yang

baik akan tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri kakao di

Indonesia.

Page 22: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

4

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah merancang model perumusan

kebijakan pengembangan industri kakao berbasis kinerja driver rantai pasok.

Tujuan umum tersebut dijabarkan dalam tahapan yaitu: 1) Menguraikan

permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia; 2) Menganalisis rantai pasok

kakao sebagai upaya pengembangan industri kakao; 3) Menguraikan faktor

penggerak (driver) kinerja rantai pasok kakao; dan 4) Mendesain model

perumusan kebijakan yang didasarkan pada pengukuran kinerja driver rantai

pasok industri kakao.

Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para

pengambil keputusan dalam pengembangan industri kakao Indonesia. Hasil

penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian

kebijakan, khususnya dalam proses perumusan kebijakan.

Analisis rantai pasok kakao akan memberi gambaran tentang kompleksitas dan

persoalan dalam upaya pengembangan industri kakao Indonesia.

Instrumen dan metode pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai

pasok untuk industri kakao merupakan suatu bentuk self assessment

perusahaan di dalam lingkup industri kakao yang bisa diterapkan guna melihat

sejauh mana kinerja rantai pasok industri secara agregat.

Rumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis kinerja

driver rantai pasok diharapkan dapat memandu pemangku kepentingan pada

tataran kebijakan dalam mengakomodir tuntutan pencapaian kinerja rantai

pasok industri kakao.

Relasi antar kebijakan yang dihasilkan penelitian ini memberi gambaran

kebijakan yang menyeluruh (mencakup permasalahan rantai pasok industri

kakao), mempunyai keterkaitan dan keselarasan yang jelas antara satu

kebijakan dengan kebijakan yang lain, dan terintegrasi sehingga cukup efektif

untuk mencapai tujuan pengembangan industri kakao.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian perumusan kebijakan industri sangatlah luas. Guna

memfokuskan penelitian dengan berbagai keterbatasan dan kendalanya, maka

lingkup penelitian ini dibatasi sebagai berikut:

Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu model konseptual

yaitu model yang menunjukkan gambaran tentang entitas (entity) dan relasinya

berdasarkan proses yang diinginkan oleh organisasi. Model konseptual dapat

diterapkan untuk menggambarkan relasi antar pelaku dalam suatu sistem

kebijakan (Gürel dan Kavak 2010).

Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan publik yaitu

suatu instrumen kebijakan yang dikeluarkan dan atau dilaksanakan oleh

instansi/lembaga pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan untuk

mengembangkan industri kakao Indonesia. Sementara pengertian kebijakan

pendukung pengembangan industri kakao kebijakan yang bertujuan untuk

Page 23: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

5

memberi iklim yang kondusif bagi efisien dan responsifnya rantai pasok

industri kakao.

Industri kakao dalam penelitian ini dibatasi pada industri antara (semi finished

industry) yaitu industri pengolahan biji kakao menjadi kakao olahan seperti:

cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder. Penelitian ini

mengambil data rantai pasok kakao di Sulawesi Selatan dan Lampung,

sementara data tentang rantai pasok industri kakao di Provinsi Banten.

Kebaruan Penelitian

Kebaruan dari penelitian ini adalah :

1) Pengukuran kinerja rantai pasok multi perusahaan yang diagregasi ke level

industri (kumpulan perusahaan sejenis) kemudian digunakan sebagai bahan

perumusan kebjakan pemerintah.

2) Disertasi ini mengembangkan konsep pengukuran kinerja rantai pasok

Chopra dan Meindl (2007) dan Hugos (2010) yang didasarkan pada faktor-

faktor penggerak (driver) kinerja rantai pasok yang didekomposisi menjadi

sub driver yang lebih terukur secara operasional. Sub driver kinerja rantai

pasok yang dikembangkan dalam disertasi ini merupakan suatu bentuk

penyesuaian dari driver-driver yang relevan untuk industri kakao.

3) Model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao

berbasis rantai pasok yang merupakan model konseptual yang

merepresentasikan proses perumusan kebijakan yang mendukung

pengembangan industri yang didasarkan pada kinerja driver rantai pasok

industri kakao.

Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini menganut pola rangkaian penelitian. Pada Bab 1

diuraikan pendahuluan yang memuat latar belakang, tujuan, manfaat, ruang

lingkup, dan kebaruan penelitian. Bab 2 menyajikan tinjauan pustaka yang

bersifat umum, dilanjutkan Bab 3 membahas metode penelitian secara umum.

Uraian Bab 4 hingga Bab 7 merupakan rangkaian penelitian yang dapat berdiri

sendiri dengan uraian tinjauan pustaka dan metode yang bersifat spesifik untuk

topik yang dibahas. Pada masing-masing bab tersebut juga dibuat simpulan.

Untuk menyatukan pembahasan yang terpisah-pisah tersebut pada Bab 8 diuraikan

pembahasan umum untuk merangkai bahasan pada bab-bab sebelumnya menjadi

satu kesatuan.

Penulisan disertasi ini diakhiri dengan Bab 9 tentang simpulan secara

keseluruhan dan saran penelitian lanjutan. Daftar pustaka yang disajikan

merupakan kumpulan pustaka yang diacu oleh keseluruhan bagian disertasi ini.

Page 24: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Kebijakan Publik

Pengertian tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak

ahli yang merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dye

(1981) mendefinisikan kebijakan publik sebagai whatever government choose to

do or not to do (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan). Sejalan dengan pendapat tersebut, Islamy (1997) menjelaskan bahwa

kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan

atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi

pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Sementara itu,

Chandler dan Plano (1988) menguraikan bahwa kebijakan publik adalah

penggunaan strategis dari sumber-sumber yang ada untuk menghilangkan

masalah-masalah negara atau pemerintah. Pengertian yang bersifat lebih umum

dikemukakan oleh Dunn (1999) bahwa kebijakan publik adalah suatu pola

ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling

tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak, yang dibuat oleh

badan atau kantor pemerintah.

Implikasi dari beberapa pengertian kebijakan publik di atas adalah: 1)

kebijakan publik merupakan bentuk penetapan tindakan-tindakan pemerintah; 2)

kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tapi juga dilaksanakan dalam

bentuk nyata; 3) Setiap kebijakan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; 4)

kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh

masyarakat.

Perumusan Kebijakan Publik

Menurut Dunn (1999) analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual

dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan

mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Proses

analisis kebijakan mempunyai lima tahap yang saling bergantung yang secara

bersama-sama membentuk siklus aktivitas intelektual yang kompleks dan tidak

linear. Adapun kelima tahapan penting menurut Dunn (1999) sebagaimana

tersebut diatas, meliputi : penetapan agenda kebijakan (agenda setting),

perumusan kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan, implementasi

kebijakan, dan penilaian kebijakan. Jadi, perumusan kebijakan publik merupakan

salah satu tahapan di dalam rangkaian analisis kebijakan yang bertujuan untuk

mengetahui masalah yang harus dipecahkan. Oleh karena itu untuk dapat

mengimplementasikan hasil perumusan kebijakan masih memerlukan serangkaian

tahapan.

Dalam pandangan Miller et al. (2007) tahapan perumusan kebijakan

merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Tahap perumusan kebijakan

melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan

untuk mengatasi permasalahan; serta mempersempit seperangkat solusi tersebut

sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir. Selanjutnya Miller et al.

(2007) memerinci bahwa perumusan kebijakan mencoba menjawab pertanyaan :

Page 25: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

7

Apa rencana untuk menyelesaikan masalah? Apa tujuan dan prioritas? Apa saja

keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Apa eksternalitas terkait dengan

setiap alternatif?

Tujuan perumusan kebijakan adalah untuk mengetahui masalah apa yang

harus dipecahkan (Dunn, 1999). Sejalan dengan pendapatan Dunn (1999), Keban

(2004) menambahkan cara untuk mengetahui dan mendapatkan kepastian

informasi dalam perumusan kebijakan seorang analis lebih baik membuat

pertanyaan-pertanyaan yang realistis dan etis sehingga mampu melahirkan sebuah

kebijakan yang terbaik.

Pengertian Model

Definisi model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya dalam gambaran

yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat

menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan

perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya (Simarmata 1983).

Dalam hal yang sama Eriyatno (2003) menjelaskan bahwa suatu model adalah

suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada

realitas itu sendiri.

Jenis-jenis model dapat dibagi dalam lima kelas yang berbeda :

1. Kelas I, pembagian menurut fungsi: a) Model deskriptif: hanya

menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa rekomendasi dan peramalan.

Contoh : peta organisasi; b) Model prediktif: model ini menunjukkan apa

yang akan terjadi, bila sesuatu terjadi; c) Model normatif : model yang

menyediakan jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model ini memberi

rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil. Contoh : model budget

advertensi, model ekonomi, model marketing.

2. Kelas II, pembagian menurut struktur: a) Model Ikonik : adalah model yang

menirukan sistem aslinya, tetapi dalam suatu skala tertentu. Contoh : model

pesawat; b) Model Analog: adalah suatu model yang menirukan sistem

aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan

menggambarkannya dengan benda atau sistem lain secara analog. Contoh :

aliran lalu lintas di jalan dianalogkan dengan aliran air dalam sistem pipa; c)

Model Simbolis : adalah suatu model yang menggambarkan sistem yang

ditinjau dengan simbol-simbol biasanya dengan simbol-simbol matematik.

Dalam hal ini sistem diwakili oleh variabel-variabel dari karakteristik sistem

yang ditinjau.

3. Kelas III, pembagian menurut referensi waktu: a) Statis: model statis tidak

memasukkan faktor waktu dalam perumusannya; b) Dinamis : mempunyai

unsur waktu dalam perumusannya.

4. Kelas IV, pembagian menurut referensi kepastian. a) Deterministik: dalam

model ini pada setiap kumpulan nilai input, hanya ada satu output yang unik,

yang merupakan solusi dari model dalam keadaan pasti; b) Probabilistik:

model probabilistik menyangkut distribusi probabilistik dari input atau proses

dan menghasilkan suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel output

yang disertai dengan kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga tersebut; c)

Game: teori permainan yang mengembangkan solusi-solusi optimum dalam

menghadapi situasi yang tidak pasti.

Page 26: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

8

5. Kelas V, pembagian menurut tingkat generalitas. a) Umum; b) Khusus.

Selain pembagian jenis model di atas, dalam proses pemodelan berkaitan

dengan model yang lebih rinci, Kristanto (2004) menyatakan perlunya dibuat

suatu model konseptual, yaitu model yang menunjukkan gambaran tentang entitas

(entity) dan relasinya berdasarkan proses yang diinginkan oleh organisasi. Model

konseptual dapat diterapkan untuk menggambarkan relasi antar pelaku dalam

suatu sistem kebijakan (Gürel dan Kavak 2010). Selain itu, model konseptual

dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara pembeli dan pemasok

(Zaefarian 2012). Dalam penelitiannnya model konseptual menggambarkan

prosedur dan hubungan pembeli-pemasok yang berkeadilan.

Berdasarkan acuan pustaka tentang jenis-jeni model di atas, menurut fungsi

model yang dikembangkan dalam penelitian ini termasuk model normatif dimana

akan disarankan cara yang sebaiknya dilakukan dalam merumuskan kebijakan.

Sementara itu, secara struktur model yang disusun ini termasuk model Analog,

dimana model yang dibuat menirukan sistem aslinya dengan hanya mengambil

beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya dengan benda atau sistem

lain secara analog.

.

Model Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan adalah inti dari kebijakan publik karena di sini

dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri (Nugroho 2009). Sebagai sebuah

proses, perumusan kebijakan memiliki langkah-langkah dan cara tertentu hingga

dihasilkannya suatu rumusan kebijakan yang dianggap paling sesuai dengan

permasalahan yang dihadapi. Untuk dapat merumuskan kebijakan harus

ditentukan terlebih dahulu langkah-langkah atau cara seperti apa yang akan

digunakan dalam merumuskan kebijakan. Kajian yang memfokuskan diri pada

proses pembuatan kebijakan inilah yang disebut Model Perumusan Kebijakan.

Sebagaimana pendapat Winarno (2002) yang menyatakan bahwa model

perumusan kebijakan merupakan upaya mengkaji proses pembuatan kebijakan

agar lebih mudah dipahami.

Beberapa model perumusan kebijakan dalam menggambarkan proses

pembuatan kebijakan yang sudah ada antara lain: model institusional, model elit-

massa, model inkremental, model group/kelompok, model sistem, model rasional,

model proses, model teori permainan, model demokratis, model strategis, model

deliberatif, model pilihan publik dan model “tong sampah” (garbage can model).

Nugroho (2009) telah membahas sedikitnya tiga belas macam model perumusan

kebijakan. Masing-masing model memiliki fokus yang berbeda terhadap kondisi

politik dan membantu memahami berbagai perbedaan tentang kebijakan publik.

Mencermati berbagai model perumusan kebijakan publik yang sudah ada,

penelitian ini lebih condong pada model proses. Dalam model proses berlaku

asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses.

Untuk itu, kebijakan juga merupakan suatu proses yang menyertakan rangkaian

kegiatan: 1) identifikasi masalah, 2) menata agenda, 3) perumusan kebijakan, 4)

legitimasi kebijakan, 5) implementasi kebijakan, dan 6) evaluasi kebijakan. Di

dalam rangkaian proses tersebut (Gambar 1), tahap perumusan kebijakan

(kegiatan ke-3) yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Page 27: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

9

Gambar 1 Kebijakan publik sebagai sebuah proses (Nugroho, 2009)

Model proses ini menjabarkan bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya

dibuat, namun belum memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus

ada (Nugroho 2009). Untuk itu, Nugroho (2009) menjabarkan perumusan

kebijakan yang lebih rinci dalam bentuk aktivitas fungsional dengan mengambil

dari Model O‟Jones (Tabel 1).

Tabel 1 Aktivitas fungsional perumusan kebijakan model O‟Jones

Sumber : Dimodifikasi dari Model O‟Jones dalam Nugroho (2009).

Di antara 15 aktivitas fungsional yang disebutkan pada Tabel 1, penelitian

ini membatasi pada aktivitas ke-1 sampai ke-6. Hal ini karena aktivitas tersebut

Identifikasi Masalah

Menata Agenda

Perumusan Kebijakan

Legitimasi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan

Aktivitas

Fungsional

Kategori dalam

Pemerintahan Sebagai Sistem Proses penelitian ini

1. Persepsi

Masalah ke

pemerintah

Identifikasi

permasalahan

Masalah yang dihadapi

industri kakao untuk

berkembang (berbasis

kinerja driver rantai

pasok)

2. Definisi

3. Agregasi

4. Organisasi

5. Representasi

6. Formulasi

Tindakan dalam

pemerintahan

Pengembangan

program/kebijakan

Perumusan kebijakan

pendukung

pengembangan industri

kakao 7. Legitimasi

8. Apropriasi

9. Organisasi Pemerintah ke

masalah

Implementasi

program/ kebijakan 10. Interpretasi

11. Aplikasi

12. Spesifikasi Program/

kebijakan ke

pemerintahan

Evaluasi

program/kebijakan

13. Pengukuran

14. Analisis

15. Resolusi/

Terminasi

Resolusi atau

perubahan Terminasi

Page 28: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

10

merupakan proses akademis. Sebaliknya aktivitas ke-7 hingga ke-15 lebih ke

ranah politik.

Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri

Kebijakan Industri suatu negara adalah upaya strategis pemerintah untuk

mendorong pengembangan dan pertumbuhan sektor industri manufaktur (Graham

1994; Bingham 1998; dan Rodrik 2004). Pemerintah mengambil langkah-langkah

yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kemampuan perusahaan

dalam negeri serta mempromosikan transformasi struktural pembangunan

infrastruktur (seperti sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi dan

energi) merupakan bagian utama yang memiliki peran penting dalam mendukung

kebijakan industri (UNCTAD 2008).

Kebijakan industri bukanlah hanya tentang penerapan pajak atau subsidi,

namun mencakup kolaborasi strategis antara sektor swasta dan pemerintah dengan

tujuan mengungkap di mana hambatan paling signifikan dan apa jenis intervensi

yang paling mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut. Sejalan dengan itu,

analisis kebijakan industri perlu memusatkan perhatian bukan hanya pada hasil

kebijakan, tetapi untuk mendapatkan proses kebijakan yang tepat. Menurut

UNIDO (2007) kriteria yang harus dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan

industri mencakup sepuluh macam. Kriteria tersebut dapat dikelompokkan ke

dalam dua jenis atribut yang melekat pada kriteria tersebut, yaitu sifat dan tujuan

(Tabel 2). Kriteria kebijakan industri tersebut dapat digunakan untuk penilaian

terhadap implementasi kebijakan industri yang sedang berlaku.

Tabel 2 Kriteria perumusan kebijakan industri

Kriteria Atribut

1. Realistis; Sifat

2. Berorientasi produktivitas dan pertumbuhan; Tujuan

3. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan sektor

swasta dan mampu menarik investasi; Tujuan

4. Mendorong kreativitas dan inovasi proses produksi dan produk; Tujuan

5. Menawarkan kesempatan penciptaan lapangan kerja dan

pemberdayaan masyarakat diintegrasikan dalam proses

industrialisasi;

Tujuan

6. Menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi; Tujuan

7. Mendorong pengembangan SDM untuk industri;. Tujuan

8. Terintegrasi secara fungsional dan berkelanjutan dengan kebijakan

sektoral;

Sifat

9. Transparan; Sifat

10. Kebijakan industri harus mewakili kepentingan negara, mengatasi

kepentingan dan permasalahan sektor swasta dan juga

memperhitungkan kebutuhan masyarakat pada umumnya;

Sifat

11. Bertujuan menjamin daya saing industri Tujuan

Sumber : diadopsi dari UNIDO (2007)

Rumusan kebijakan industri yang akan dihasilkan penelitian ini setidaknya

dapat memenuhi kriteria penilaian kebijakan industri menurut UNIDO (2007)

tersebut.

Page 29: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

11

Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok

Menurut Chopra dan Meindl (2007) sebuah rantai pasok (supply chain)

terdiri dari pihak-pihak yang terlibat, baik secara langsung dan tidak langsung,

dalam memenuhi permintaan pelanggan. Rantai pasok adalah jaringan pasokan

dan permintaan yang mencakup pemasok, produsen, pengecer besar dan

konsumen akhir, dengan tujuan respon cepat dan kerjasama yang efektif dalam

pengendalian kualitas dan penurunan biaya. Istilah manajemen rantai pasok

(supply chain management) dipopulerkan sebagai pendekatan manajemen

persediaan yang ditekankan pada pasokan bahan baku. Menurut Vorst (2004)

manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi

seluruh proses, dan aktivitas bisnis untuk menghantarkan nilai keutamaan produk

kepada konsumen sebagai keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan kepuasaan

para pihak yang berkepentingan dalam sistem rantai pasok. Rantai pasok adalah

jaringan fisik dan aktivitas yang terkait dengan aliran bahan dan informasi di

dalam atau melintasi batas-batas perusahaan.

Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen

rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: (1) produk pertanian bersifat

mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung

pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang

bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit

untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Faktor-faktor tersebut harus

dipertimbangkan dalam desain dan analisis rantai pasok produk pertanian menjadi

lebih kompleks daripada manajemen rantai pasok pada umumnya.

Pembahasan rantai pasok produk pertanian belum banyak dilakukan karena

kajian rantai pasok pada umumnya dilakukan oleh para peneliti dengan latar

belakang ilmu manajemen atau keteknikan yang berbasis manufaktur (Vanani et

al. 2009). Beberapa penelitian yang mengkaji lingkup rantai pasok pertanian

antara lain Zee dan Vorst (2005), Santoso (2005), Aramyan et al. (2006), Vorst

(2006), Yandra et al. (2007), dan Suharjito (2011).

Menurut Chopra dan Meindl (2007) terdapat hubungan yang sangat dekat

antara disain dan manajemen aliran di dalam rantai pasok (aliran produk,

informasi dan uang) dan berhasilnya suatu rantai pasok mencapai kinerja

terbaiknya. Adapun salah satu kunci berhasil atau gagalnya manajemen rantai

pasok adalah pengambilan keputusan dalam hal desain, perencanaan dan operasi.

Keberhasilan manajemen rantai pasok memerlukan banyak keputusan terkait

dengan aliran produk, informasi dan uang. Setiap keputusan harus dibuat untuk

mencapai tingkat surplus rantai pasok.

Terdapat tiga kategori atau tahapan keputusan manajemen rantai pasok

yaitu : Strategi atau disain, perencanaan, dan operasi rantai pasok. Strategi atau

disain rantai pasok berkaitan dengan konfigurasi rantai pasok. Keputusan-

keputusan tentang disain dan strategi ini memiliki jangka waktu yang panjang.

Sementara perencanaan rantai pasok mencakup suatu periode beberapa bulan

hingga tahun yang meliputi: perencanaan produksi, subkontrak, dan promosi

hingga periode perencanaan tersebut. Keputusan-keputusan operasional rantai

pasok merupakan keputusan dari menit ke menit sampai ke keputusan harian

termasuk sekuensi produks dan pemenuhan order.

Pentingnya pembuatan keputusan manajemen rantai pasok didasarkan atas

struktur faktor penggerak (driver) yang akan menentukan kinerja rantai pasok.

Page 30: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

12

Pengambilan keputusan rantai pasok berawal dari pemilihan strategi dalam

menjaga keseimbangan antara Responsiveness dan Efficiency rantai pasok .

Untuk mencapai tujuan, suatu perusahaan harus mampu menata atau

menstrukturkan kombinasi dari tiga driver logistik dan tiga driver lintas fungsi

(cross functional driver). Masing-masing driver tersebut adalah: fasilitas atau

infrastruktur, inventori dan transportasi untuk driver logistik, sedangkan informasi,

sourcing dan harga untuk driver lintas fungsi.

Keputusan suatu perusahaan untuk mencapai daya saingnya dilakukan

dengan menentukan titik keseimbangan (trade off) antara responsivitas

(responsiveness) dan efisiensi (efficiency). Keputusan tersebut merupakan suatu

strategi yang paling sesuai (strategic fit) dengan tujuan perusahaan dalam

menghadapi kondisi internal dan eksternal. Keputusan dalam mencapai kinerja

rantai pasok terbaik berdasarkan driver rantai pasok sangatlah luas. Chopra dan

Meindl (2007) menggambarkan beberapa tingkatan keputusan yang mungkin

diambil dari setiap driver (Tabel 3).

Tabel 3 Keputusan driver kinerja rantai pasok menurut tingkat keputusan

Driver Rantai

Pasok

Keputusan

Level Strategis/Disain Level Taktis/Rencana Level Pelaksanaan

Fasilitas • Penentuan lokasi fasilitas

• Penentuan jenis infrastsruktur

• Penentuan kapasitas • Skedul

• Jarak antar fasilitas

Persediaan • Pola permintaan

• Siklus persediaan

• Biaya inventaris

• Biaya penyimpanan

• Rata-rata persediaan

• Fill rate

Transportasi • Penentuan jaringan, rute,

moda angkutan,

• Penjadwalan

pengangkutan,

• Penentuan pasar

sasaran

• Biaya pengangkutan

• Kapasitas angkut

inbound dan

outbound

Informasi • Pull atau push system

• Koordinasi & sharing

informasi

• Knowledge transfer

• Forecast & aggregate

planning

• Enabling technology

• Perkiraan informasi

• Frekuensi

• Seasonal factor

Sourcing • Penentuan in house /

outsource

• Penentuan kontrak

• Rencana kolaborasi

• Proses pengadaan

• Catatan pembayaran

• Time delivery

• Kualitas pasokan

Harga • Penentuan skala ekonomi

• Penentuan strategi pricing

(dinamic, multiple segmen)

• Overbooking

• Overselling

• Stabilisasi order

• Catatan profit

• Biaya per unit

• Rentang harga

Sumber: diadaptasi dari Chopra dan Meindl (2007)

Klasifikasi Industri Pengolahan Kakao Berdasarkan Tahap Pengolahan

Pada umumnya, industri pengolahan kakao atau biasa disebut industri kakao

dibedakan atas industri hulu (grinder) dan industri hilir (manufacture chocolate).

Pengolahan kakao meliputi urutan proses mengubah bahan baku (biji kakao)

menjadi produk setengah jadi kakao (cocoa liquor, cocoa butter dan cocoa

powder). Hal ini mencakup tiga tahapan proses utama: (i) sangrai/pemanggangan

biji kakao, (ii) menggiling biji kakao untuk membuat cocoa liquor, (iii) proses

ekstraksi dari cocoa liquor menjadi cocoa butter dan bubuk kakao.

Page 31: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

13

Industri Kakao menurut Deperind (2009) adalah industri yang berbasis pada

pengolahan bahan baku hasil perkebunan kakao. Pengelompokan industri kakao

dan kakao olahan terdiri dari atas: Industri Hulu yang menghasilkan: buah kakao,

biji kakao, liquor/mass; Industri Antara yang menghasilkan: cocoa liquor, cocoa

cake, cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan); dan industri hilir adalah

industri makanan berbasis coklat.

Secara keseluruhan, empat kategori produk utama berdasarkan tahapan

pengolahan kakao, yaitu: 1) Biji kakao (mentah, atau minimal diolah); 2) Produk

antara kakao (cocoa liquor, cocoa butter, cocoa powder); 3) Couverture atau

cokelat industri; 4) Produk cokelat jadi. Secara umum pohon industri kakao

memuat berbagai turunan dari komoditi kakao yang masih terbuka peluangnya

untuk dikembangkan (lihat Gambar 2).

BIJI LIQUOR

CAKE

FAT

PASTE

POWDER

CONCENTRATE

EXTRACT

ESSENCE

LECHITIN

TANNIN

PEKTIN

COCO BUTTER

OLEO CHEMICAL

FATTY ACID

VITAMIN D

Confectionery

Bars

Minuman

Makanan

Obat-obatan

Makanan

Minuman

Kosmetika

Obat-obatan

Industri Kimia

Industri Kimia

Makanan

Industri Kimia

Obat-obatan

Industri Kimia

Industri Kimia/Farmasi

Sumber : BKPM, 2010

Gambar 2 Pohon industri kakao

Page 32: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

14

3 METODE

Kerangka Pemikiran

Kerangka pikir penelitian ini didasari pada perkembangan industri kakao

Indonesia yang masih belum optimal (Gambar 3). Perlu dibuktikan dugaan yang

mengatakan bahwa perkembangan industri kakao sangat dipegaruhi oleh

kebijakan pemerintah. Untuk itu, keberadaan kebijakan pemerintah di bidang

kakao perlu dipahami secara mendalam dan dikenali bagaimana kinerja

implementasi dan dampaknya terhadap perkembangan industri kakao. Secara

normatif seharusnya kebijakan mampu mendorong, memayungi dan mendukung

perkembangan industri kakao yang kondisinya masih belum berkembang. Hal ini

karena konsekuensi dari komoditi kakao sebagai komoditi global, sehingga kakao

dan produk turunannya masuk ke dalam suatu sistem rantai pasok berskala

internasional.

Model Perumusan KebijakanTool Analisis Kondisi yang DiharapkanKondisi Saat Ini

Jumlah dan Kapasitas

Industri Kakao Belum

Optimal

Identifikasi dan

Dekomposisi Driver &

Sub Driver Kinerja

Rantai Pasok

Pengukuran Kinerja

Rantai Pasok Industri

Kakao

Analisis tentang

Kebijakan Perkakaoan Model Perumusan Kebijakan

Pendukung Pengembangan

Industri Kakao

Verifikasi dan Validasi

Berkembangnya

Industri Kakao

Rantai Pasok Kakao

yang Efisien &

Responsif

Kebijakan

Pengembangan

Industri Kakao belum

Kondusif

Rantai Pasok

Kakao Belum

Efisien & Responsif

Rumusan Kebijakan

Pendukung

Pengembangan Industri

Kakao

Kebijakan Industri

Kakao yang Kondusif

OK

Belum

Analisis Rantai Pasok

Kakao

Gambar 3 Kerangka pikir penelitian

Pengembangan industri kakao tidak bisa dilepaskan dari manajemen rantai

pasok para pelakunya. Dengan demikian perkembangan industri kakao sangat

dipengaruhi oleh keputusan industri yang ada atau calon investor baru dalam

merespon risiko dan manajemen rantai pasok kakao. Dengan menggunakan rantai

pasok sebagai basis perumusan kebijakan diharapkan akan ada titik temu antara

tuntutan atau kebutuhan industri atau calon investor di satu sisi dan upaya penentu

kebijakan yang mendukung pengembangan industri kakao di sisi lain.

Page 33: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

15

Alat analisis yang digunakan untuk mengurai perihal pengembangan

industri kakao dimulai dari analisis tentang permasalahan dan kebijakan

perkakaoan. Dari pemahaman terhadap kebijakan yang ada kemudian dilanjutkan

melihat gambaran rantai pasok kakao. Analisis rantai pasok ini ditujukan untuk

melihat siapa saja yang terlibat, bagaimana hubungan antar pelaku dan bagaimana

konfigurasi rantai pasok yang ada. Dengan mengetahui konfigurasi rantai pasok

akan dikenali hambatan atau kendala terhadap aliran barang, informasi dan uang

di antara anggota rantai pasok. Kinerja rantai pasok akan dapat ditingkatkan jika

hambatan dan kedala dapat dihilangkan atau minimal dikurangi.

Untuk dapat mengetahui kinerja rantai pasok perlu metrik atau ukuran yang

relevan dengan obyek yang dihadapi yaitu industri kakao. Untuk itu, perlu

identifikasi faktor-faktor penggerak kinerja (driver) rantai pasok yang relevan

dengan obyek yang diteliti, kemudian mendekomposisi faktor-faktor tersebut ke

dalam variabel yang lebih operasional untuk dicari datanya.

Dengan terumuskannya ukuran atau variabel yang operasional akan dapat

disusun instrumen berupa kueioner untuk mengumpulkan data lapangan dan data

dari pakar terkait bobot dari setiap driver. Data diolah untuk mendapatkan indeks

kinerja rantai pasok. Hasil indeks kinerja rantai ini kemudian ditinjau secara

mendalam guna dirumuskan bagaimana kondisi industri kakao sebenarnya.

Berdasar hasil pengukuran kinerja driver rantai pasok industri kemudian dianalisis

untuk mengetahui kecenderungan dan kesenjangan antara capaian kinerja dengan

kondisi ideal yang diharapkan. Analisis kesenjangan dan kecenderungan akan

menghasilkan rumusan kebijakan yang seharusnya diambil baik oleh

perusahaan/industri sendiri maupun oleh pemerintah. Hasil rumusan kebijakan

dijadikan bahan bagi pemerintah guna mendukung perbaikan kinerja rantai pasok

industri kakao. Pada akhirnya rumusan kebijakan yang mendukung perbaikan

kinerja rantai pasok industri kakao diharapkan akan memberikan iklim yang lebih

kondusif bagi berkembang industri kakao Indonesia.

Teknik Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan

Data yang dikumpulkan penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dengan cara sebagai berikut: Observasi lapangan

ke lokasi para petani kakao, pedagang kakao, eksportir kakao, dan industri

pengolahan kakao; Wawancara mendalam dengan wakil petani, pedagang kecil

dan besar, eksportir, industri pengolah kakao, pemerintah daerah, beberapa

asosiasi dan lembaga lain terkait kakao; FGD (Focus Group Discussion) di

beberapa Kabupaten yang melibatkan anggota rantai pasok kakao di kabupaten.

Data sekunder diperoleh dari instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah

Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten terkait dengan statistik di sektor

Pertanian, Perdagangan, Perindustrian serta sektor Pekerjaan Umum. Data yang

diambil dari sektor Pertanian berkaitan dengan dukungan dalam hal budidaya dan

input faktor pertanian. Pada bidang perdagangan data yang dihimpun berkenaan

dengan kebijakan perdagangan daerah, seperti pengawasan perdagangan,

penerapan standar timbangan (metrologi) serta pungutan atau retribusi daerah.

Untuk sektor Perindustrian penelitian ini menyoroti kebijakan pengembangan

industri di tingkat nasional dan program bantuan peralatan pengolahan kakao

skala kecil di tingkat daerah. Sementara itu, data dari sektor Pekerjaan Umum

Page 34: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

16

berkaitan dengan kondisi infrstruktur jalan dan jembatan di seluruh wilayah

Sulawesi Selatan, program yang sedang dan akan dilaksanakan serta kebijakan

tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten di Sulawesi Selatan.

Pengetahuan dari pakar diperoleh dengan cara mengakuisisi kepakaran yang

dimilikinya melalui suatu instrumen penilaian berupa kuesioner pakar. Ada

beberapa kuesioner yang disiapkan untuk mengakuisisi pengetahuan dari pakar di

antaranya: validasi terhadap driver dan sub driver yang telah didekomposisi,

kuesioner AHP, kuesioner penilaian kebijakan, dan kuesioner verifikasi dan

validasi hasil perumusan kebijakan.

Verifikasi dan Validasi

Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian

konseptual dan kerja komputasi jika menggunakan perhitungan komputer. Model

diverifikasi dengan jalan menguji apakah program untuk model tersebut telah

dapat berjalan dengan baik dan benar. Agar model dapat diimplementasikan,

setelah dilakukan tahapan verifikasi, selanjutnya model perlu divalidasi. Tahap

validasi model ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa

berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model yang dikembangkan dapat

mewakili sistem yang sebenarnya (Susila 1991).

Validasi model dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik validasi

yang disesuaikan dengan kebutuhan. Efektivitas proses validasi sangat dibutuhkan

untuk meyakinkan bahwa model telah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata.

Validasi model pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu validasi penyusunan

(validation by construct) dan validasi hasil (validation by results). Validasi

penyusunan dimaksudkan untuk menilai keabsahan teori dan asumsi-asumsi yang

digunakan didalam model. Sementara, validasi hasil dimaksudkan untuk menilai

kesesuaian antara hasil keluaran model dan keluaran dari sistem yang sebenarnya.

Validasi penyusunan pada penelitian ini menggunakan teknik face validity,

animation validity (Sargent 2010) dan consistency analysis (Saaty 1983; Saxena

1992). Teknik face validity digunakan untuk validasi model-model dengan

pendekatan soft system metodhology. Pada teknik ini, validasi tidak bisa

sepenuhnya dilakukan secara matematis, namun cukup mendapat pengakuan

secara intelektual (professional judgement) (Checkland 1995). Prosedur validasi

yang diterapkan dalam penelitian ini adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan

yang bertujuan untuk mendapatkan kecocokan bahwa model telah mengandung

semua elemen, kejadian, dan relasi dari sebuah sistem pengembangan industri

kakao. Pada teknik ini diperlukan bantuan pakar yang memahami industri kakao

guna menilai apakah logika model dan hasil yang dicapai telah dianggap mewakili

sistem nyata yang ada. Pada tahap ini dimungkinkan terjadinya perbaikan-

perbaikan secara simultan yang pada akhirnya akan diperoleh model perumusan

kebijakan pengembangan industri kakao yang efektif. Teknik validasi ini

digunakan untuk validasi: hasil dekomposisi driver menjadi sub driver kinerja

rantai pasok yang dikembangkan dari studi pustaka yang relevan untuk industri

kakao;

Teknik animation digunakan untuk validasi hasil pengukuran kinerja

efisiensi dan responsivitas rantai pasok. Indeks kinerja rantai pasok ditampilkan

secara grafis (Sargent 2010). Metode ini dilakukan dengan melihat pola secara

Page 35: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

17

grafis indeks kinerja rantai pasok setiap perusahaan yang disurvey dan indeks

agregasi level industri dicocokkan dengan kenyataan sistem yang ada.

Teknik consistency analysis digunakan untuk validasi proses penilaian

bobot kepentingan dengan teknik AHP dan ISM. Teknik ini dilakukan dengan

melihat konsitensi penilaian yang diberikan oleh pakar terhadap berbagai kriteria,

alternatif dan jenis-jenis entitas yang dibandingkan secara pairwaise comparison.

Nilai rasio konsistensi untuk AHP harus 10 persen atau kurang. Jika lebih dari 10

persen, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. Sementara untuk

teknik ISM dilakukan dengan membentuk matriks yang bersifat Reachability jika

dengan operasi Boolean memenuhi syarat reflexive dan transitif, jika tidak maka

dilakukan penyesuaian dengan melakukan operasi recursive multiplication

sehingga terbentuk kondisi matriks tertutup (causal looping). Setelah dilakukan

proses pengecekan dengan aturan transitivity sampai didapatkan final SSIM untuk

diinterpretasikan hasilnya.

Validasi hasil dilakukan melihat kesesuaian output model dengan kondisi

nyata yang sebenarnya yang merupakan petunjuk bahwa model yang

dikembangkan adalah model yang valid. Teknik validasi yang digunakan dalam

penelitian adalah teknik face validity (Sargent 2010). Teknik tersebut digunakan

untuk validasi hasil rumusan kebijakan pengembangan industri kakao.

Page 36: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

18

4 PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN PERKAKAOAN

INDONESIA

Abstrak

Pengembangan industri kakao di Indonesia masih menemui banyak permasalahan.

Kondisi di sektor hulu (kebun kakao), perdagangan, hingga industri pengolahan

masih banyak mengalami hambatan. Kebijakan dari berbagai sektor telah

digulirkan untuk memperbaiki keadaan dan mempercepat peningkatan nilai

tambah bagi perekonomian. Namun, perkembangan industri belum mencapai

besaran yang dikehendaki. Penelitian pada bagian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia. Metode

Analisis Kebijakan digunakan untuk memperoleh rumusan masalah dan

pemahaman yang mendalam akan kebijakan perkakaoan. Hasil analisis

menunjukkan bahwa permasalahan utama perkakaoan Indonesia di antaranya:

produktivitas kebun masih rendah, mutu biji belum standar, konsumsi coklat

rendah, dukungan infrastruktur jalan dan pasokan energi untuk industri. Kebijakan

sektor keuangan masih mendominasi peranan sektor dalam pengembangan

idnsutri kakao.

Kata kunci: permasalahan kebijakan, pengembangan industri, kakao

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal

tanaman kakao Indonesia tercatat 1.4 juta hektar dengan produksi kurang lebih

500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar

ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pantai Gading, dengan luas area

1.6 juta Ha produksinya sebesar 1.5 juta ton per tahun, sedangkan Ghana sebesar

1 juta ton per tahun dengan luas area yang sama (ICCO 2011).

Dari perbandingan di atas terlihat kesenjangan yang nyata dalam

produktivitas antara kebun kakao Indonesia dan Ghana maupun Pantai Gading.

Menurut Kementerian Pertanian produktivitas kebun kakao Indonesia relatif

rendah yaitu 630 kg/Ha/tahun, karena berbagai hal seperti: penyakit CPB (Cocoa

Pod Borer), tanaman sudah tua, kecilnya penguasaan lahan rata-rata petani,

kurangnya perawatan lahan dan kebun, kurangnya varietas (klon) unggul yang

dikembangkan (Ditjenbun 2010).

Permasalahan juga dialami sektor hilir yaitu masih rendahnya kapasitas

industri pengolahan kakao Indonesia yang mengakibatkan rendahnya nilai tambah

yang bisa diambil dari komoditas potensial ini bagi perekonomian. Guna

peningkatan nilai tambah kakao, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan

serangkaian kebijakan mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari kebijakan di sektor

budidaya kakao, pasca panen, perdagangan, hingga sektor industri hilir kakao.

Selain itu, untuk „memayungi‟ berbagai program yang direncanakan pemerintah

juga mengeluarkan kebijakan pada tataran makro seperti: pajak ekspor,

standarisasi, Kebijakan Industri Nasional (Perpres 2008) dan kebijakan klaster

Page 37: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

19

industri (Deperind 2009a). Walaupun demikian, serangkaian kebijakan yang telah

dikeluarkan belum efektif mendukung pengembangan industri kakao.

Bagian ini bertujuan untuk mengurai permasalahan perkakaoan dan

kebijakan yang menyertainya agar dapat dipahami secara mendalam permasalahan

yang dihadapi dan kemana arah kebijakan perkakaoan Indonesia. Memahami

masalah sangat penting karena para analis kebijakan lebih sering gagal

memecahkan masalah yang salah daripada memperoleh solusi yang salah terhadap

masalah yang tepat (Dunn 1999). Selain itu, dapat diketahui kebijakan sektor apa

saja yang berpengaruh dan memiliki peran strategis dalam mendorong

pengembangan industri kakao Indonesia.

Metode Penelitian

Kerangka penelitian

Pada dasarnya suatu kebijakan merupakan sebuah sistem yang mencakup

tiga elemen yaitu kebijakan publik itu sendiri, lingkungan kebijakan, dan pelaku

kebijakan (Dunn 1999). Dalam penelitian ini, kebijakan publik adalah kebijakan

yang dikeluarkan oleh berbagai sektor (pemerintah) berkenaan dengan dukungan

atau pengaturan dalam rangka pengembangan industri kakao. Sementara untuk

elemen lingkungan dan pelaku dalam kerangka penelitian ini akan disatukan

pembahasannya karena interaksinya sulit untuk dipisahkan (Gambar 4).

Gambar 4 Kerangka pikir penelitian

Kondisi input

faktor

Kondisi aktivitas

budidaya

Kondisi

pasokan energi

Kondisi

infrastruktur

Tujuan pengembangan

industri kakao

Kebijakan berbagai

sektor

Kondisi aktivitas

pascapanen

Kondisi aktivitas

perdagangan

Kondisi aktivitas

Industri pengolahan

Perkembangan

industri kakao

Ragam

kebijakan

Permasalahan

Page 38: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

20

Dengan demikian, analisis dibagi menjadi dua bagian: pertama, analisis

permasalahan (lingkungan kebijakan) tentang kondisi pada setiap aktivitas

agroindustri (pelaku kebijakan) untuk menghasilkan rumusan masalah, dan kedua,

mengidentifikasi ragam kebijakan yang menjawab permasalahan perkakaoan.

Sumber data

Dalam mengurai permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia

menggunakan data sekunder dan primer. Data sekunder diambil dari studi literatur

yang relevan, statistik dan laporan lembaga-lembaga yang berkompeten.

Sementara untuk data primer diperoleh dengan observasi dan survey lapangan

(wawancara) dengan para pelaku usaha di bidang perkakaoan.

Metode analisis

Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi dan memahami

permasalahan diambil dari tahapan perumusan masalah dalam analisis kebijakan

Dunn (1999). Adapun tahapan perumusan masalah menurut Dunn (1999) adalah:

1) Pengenalan masalah yang digali dari literatur yang relevan; 2) pencarian

masalah, diperoleh dari survey dan observasi lapangan; 3) Pendefinisian masalah;

4) Spesifikasi masalah, diperoleh dari diskusi dan wawancara (Gambar 5).

Gambar 5 Tahapan perumusan masalah

Berdasarkan tahapan perumusan masalah pada Gambar 5, analisis yang

dilakukan dalam penelitian pada bagian ini terdiri dari dua hal. Pertama, uraian

tentang permasalahan perkakaoan Indonesia. Kedua, uraian kebijakan dari sektor-

sektor yang terkait dengan pengembangan industri kakao.

Meta

Masalah

Situasi

Masalah

Masalah

Substantif

Masalah

Formal

Pencarian

Masalah

Pendefinisian

Masalah

Spesifikasi

Masalah

Pengenalan

Masalah

Page 39: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

21

Hasil dan Pembahasan

Permasalahan Perkakaoan Indonesia

Proses pengembangan industri kakao secara umum mengikuti tahapan

agorindustri mulai dari hulu sampai hilir. Demikian juga permasalahan yang

dihadapi dapat diuraikan mengikuti tahapan agroindustri tersebut mulai dari

permasalahan di sektor hulu hingga sektor hilir.

Permasalahan di Sektor Hulu

Di sektor hulu (di kebun kakao) permasalahan yang dihadapi sebagaimana

dilaporkan oleh Kementerian Pertanian di antaranya: Produktivitas rendah yaitu

0.63ton/ha/tahun, padahal potensinya bisa mencapai 1.5ton/ha/tahun. Hal ini

karena berbagai hal seperti: Penyakit CPB (Cocoa Pod Borer), tanaman sudah tua,

kecilnya penguasaan lahan rata-rata petani, kurangnya perawatan lahan dan kebun,

kurangnya varietas (klon) unggul yang dikembangkan. Selain itu, budidaya kakao

belum berkembang karena kurangnya penyuluhan, pemahaman nilai ekonomi

komoditas yang kurang, pendidikan rendah, kurangnya sarana pertanian dan

permodalan budidaya, dan kurangnya peran lembaga keuangan formal (Ditjenbun

2010).

Sebenarnya, setelah krisis ekonomi tahun 1998 berlangsung, terutama pada

periode tahun 1999–2003 (selama 4 tahun) pernah terjadi kenaikan produktivitas,

dan puncaknya pada tahun 2000. Pada saat itu, produktivitas kebun kakao rakyat

mencapai 1.466 ton/ha/tahun atau 1.4 kali produktivitas yang dicapai pada tahun

1998. Hal ini karena sejak krisis ekonomi antusias petani dalam mengusahakan

tanaman kakao meningkat sangat pesat karena harga kakao meningkat tajam.

Namun demikian, pada akhir 2004 sampai dengan 2009 gairah petani dalam

mengusahakan tanaman kakao mulai menurun, karena: produktivitas tanaman

turun drastis terutama akibat tanaman tua serta serangan hama dan penyakit

(terutama hama PBK dan penyakit VSD). Kemudian, pada tahun 2007 pemerintah

meluncurkan program Revitalisasi Perkebunan (Revitbun) yang didukung

Permentan No.33/Permentan/OT.140/7/2006 serta Permenkeu No.117/PMK.06/

2006, tetapi realisasi kredit investasi perbankan untuk membiayai perluasan;

peremajaan; dan rehabilitasi kebun kakao masih sangat rendah. Hal ini karena

kebijakan penyaluran kredit perbankan bagi petani baru bersifat anjuran dan

himbauan (Peraturan BI No.3/2/PBI/2001). Padahal petani memerlukan kredit

investasi untuk pembangunan kebun baru dan/atau rehabilitasi kebun tua/rusak,

serta dan kredit operasional untuk pemeliharaan kebun produktif (menghasilkan).

Selain itu, tidak adanya jaminan sertifikat dan asuransi pertanian sering dijadikan

alasan perbankan untuk tidak menyalurkan kredit kepada petani (Hasil FGD,

Maret 2010).

Bahkan pada tahun 2008 produktivitas kakao tersebut hanya mencapai

0.498ton/ha/tahun atau hanya 34% dari puncak produksi yang pernah dicapai pada

tahun 2000.

Page 40: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

22

Sumber: Ditjenbun Kementerian Pertanian (2013)

Gambar 6 Produktivitas perkebunan kakao rakyat

Mengacu pada data statistik perkebunan, sebagaimana tertera pada Gambar

6, rendahnya produktivitas kebun kakao rakyat berkaitan dengan kondisi kebun

yang tua dan/atau rusak. Permasalahan di sektor hulu ini masih berlanjut hingga

saat ini, meskipun telah dilaksanakan program Gernas mulai tahun 2009 hingga

2011, terlihat produksi pada tahun 2011 justru mengalami penurunan (Gambar 7).

Hal ini disebabkan antara lain umur tanaman kakao yang telah tua, kondisi

tanaman yang rusak, tanaman kakao terkena penyakit pembuluh kayu kakao atau

vascular streak dieback (VSD) serta beberapa jenis organisme pengganggu

tanaman (OPT) kakao lainnya. Di samping itu, kondisi iklim dimana terjadi hujan

lebih lama dibanding tahun 2010 menyebabkan penurunan produksi kakao (BKF-

PKPN 2012).

Sumber: Ditjenbun Kementerian Pertanian (2013)

Gambar 7 Luas lahan dan produksi biji kakao (ribu ton/ha)

Krisis Ekonomi

Program

Revitbun

Program

Gernas

Iklim Ekstrim

Harga kakao

melonjak

Program

Revitbun

Program

Gernas

Page 41: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

23

Sejalan dengan itu, hasil observasi lapangan mengungkapkan bahwa

penurunan produktivitas kebun kakao petani yang tajam dan terus menerus terjadi

sejak tanaman semakin tua yang disertai dengan semakin tingginya intensitas

serangan hama Penggerek Buah Kakao atau Cocoa Pod Borer (CPB). Serangan

hama tersebut semakin lama semakin ganas sehingga para petani semakin sulit

menanggulanginya. Akibat lebih lanjut dari kondisi tersebut, para petani merasa

putus asa dan mereka enggan memelihara kebunnya karena usaha yang mereka

lakukan akan sia-sia. Di samping itu, bibit SE dari program Gernas yang ditanam

tahun 2010 baru panen 3-5 tahun kemudian.

Melihat data dan observasi yang ada permasalahan kakao pada sektor hulu

yang utama adalah produktivitas yang semakin menurun. Rendahnya

produktivitas tanaman kakao merupakan masalah klasik yang hingga kini masih

sering dihadapi. Secara umum, rata-rata produktivitas kakao Indonesia sebesar

900 kg/ha/tahun. Angka ini masih jauh di bawah rata-rata potensi yang diharapkan,

yakni sebesar 2 ton/ha/tahun. Di antara faktor penyebab rendahnya produktivitas

tanaman kakao mayoritas disebabkan oleh penggunaan bahan tanam yang kurang

baik, teknologi budi daya yang kurang optimal, umur tanaman, serta masalah

serangan hama dan penyakit. Penelitian ini melihat bahwa faktor umur menjadi

penyebab utama, karena sebelumnya saat umur tanaman masih muda, tanaman

tersebut memiliki produktivitas yang baik.

Tidak hanya di kebun, di luar kebunpun permasalahan yang dihadapi cukup

rumit, misalnya: akses pendanaan perawatan kebun petani yang kurang; perilaku

petani yang lebih cenderung menghasilkan biji kakao non fermentasi karena harga

yang diterima tidak signifikan bedanya dengan yang fermentasi (berkisar Rp1000-

1500); dicampurnya mutu biji kakao untuk mengejar volume; tidak adanya

insentif petani untuk memperbaiki mutu (Sa‟id 2009).

Permasalahan tersebut merupakan interaksi petani dengan pihak di luar

kebun baik di sisi penyediaan input produksi (misal: pupuk, bibit, jasa

penyuluhan) maupun pada tahap pascapanen sampai perdagangan. Permasalahan

pada rantai perdagangan kakao muncul karena struktur pasar oligopsoni1 (Elizabet

2008). Selain itu, tersebar luasnya sentra produksi di berbagai pelosok, informasi

harga yang belum merata menyebabkan banyaknya distorsi yang terjadi

(Panlibuton dan Lusby 2006).

Sejalan dengan itu, berdasar hasil wawancara mengungkapkan bahwa

permasalahan utama di sektor hulu di luar kebun adalah hambatan perdagangan,

rendahnya mutu biji kakao yang diperdagangkan. Rute perdagangan kakao yang

jauh menjadikan tingginya risiko terhambat karena berbagai kondisi seperti:

kondisi jalan poros yang sedang pengerjaan pelebaran, kondisi jalan desa dan

jalan kebun di sentra produksi kakao umumnya kurang baik. Akibatnya pilihan

moda angkutan yang dipakai juga harus menyesuaikan. Selama ini untuk di jalan

desa hanya bisa menggunakan truk kecil (maksimal 7 ton) bahkan jika kondisi

cuaca tidak memungkinkan hanya bisa menggunakan sepeda motor. Oleh sebab

itu, di sentra produksi yang letaknya jauh, petani memperoleh harga (harga tingkat

1 Oligopsoni, adalah keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan

atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas. 2 Dasar hukum penerapan BK adalah UU No. 1 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan PP No 55 tentang

Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor. Dalam PP tersebut (ayat 1), BK ditetapkan dengan tujuan

Page 42: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

24

petani) yang lebih rendah karena biaya transportasi menjadi lebih mahal. Keadaan

ini menunjukkan tidak efisiennya rantai pasok yang ada.

Di samping kondisi jalan, masih berlakunya pungutan resmi maupun tidak

resmi di sepanjang jalan tersebut. Pungutan tidak resmi yang berkembang

umumnya pungutan di perjalanan, mulai dari lokasi petani sampai pelabuhan.

Pengalaman dari para pedagang di Luwu Utara Sulsel mengungkapkan bahwa

pada saat mereka membawa biji kakao ke Makasar paling tidak menemui lebih

dari empat jembatan timbang dan belasan tempat pemberhentian yang

memberlakukan pungutan (cek point retribusi, dinas perhubungan, pos polisi,

preman, dll) (Wawancara, 12 Maret 2010).

Selain itu, untuk angkutan hasil bumi di beberapa daerah masih

memberlakukan pungutan resmi berupa pajak hasil bumi, retribusi, atau

sumbangan pihak ketiga mekipun tidak ada standar tarif resmi yang seragam di

semua kabupaten. Pada observasi di Kabupaten Luwu Utara didapatkan informasi

besar retibusi sebesar Rp30/kg; di Bone 1% dari harga jual; dan di Bulukumba

Rp100/kg (Wawancara, 1-28 Maret 2010).

Rendahnya mutu kakao rakyat tidak hanya disebabkan kurang baiknya

proses pasca panen tetapi juga kondisi kebun yang kurang baik. Kondisi kebun

dan/atau teknis budidaya yang berkaitan dengan mutu biji kakao adalah: jenis

klon tanaman, input produksi, pengendalian hama dan penyakit. Kondisi tersebut

lebih lanjut akan berkaitan dengan indikator mutu biji berikut : jumlah biji/100 gr,

jumlah biji hampa, jumlah biji dempet, insek hidup, dan residu pestisida.

Sementara itu, proses pasca panen (handling) yang dilakukan petani akan

berkaitan dengan indikator mutu berikut : kadar air, kadar jamur, kadar kotoran

dan benda asing.

Secara teknis, sebenarnya biji kakao fermentasi diperlukan kalangan industri

hilir kakao untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi. Biji kakao yang tidak

difermentasi menyebabkan produk yang dihasilkan tidak memiliki cita rasa khas

coklat karena didominasi oleh rasa sepat dan pahit. Namun demikian, biji kakao

non fermentasi tidak dipermasalahkan oleh pasar USA, mereka hanya

mempermasalah-kan good quality clean bean. Hal ini terjadi karena industri

coklat di USA memiliki formulasi produk makanan chocolate yang dirancang

menggunakan biji kakao unfermented dengan porsi tertentu. Padahal USA

merupakan salah satu pasar kakao Indonesia yang besar.

Permasalahan di Sektor Hilir

Kategori industri hilir kakao dalam kancah global terbagi menjadi tiga jenis,

yaitu industri pengolahan kakao setengah jadi (grinding), industri kakao untuk

industri (coverture) dan industri coklat konsumsi (makanan, minuman,

confectionery, dll). Pangsa pasar global untuk produk pengolahan kakao setengah

jadi (grinding) cenderung sangat terkonsentrasi dan didominasi oleh perusahaan-

perusahaan multinasional (UNCTAD 2008).

Isu yang berkembang tentang industri kakao Indonesia secara umum adalah

masih rendahnya daya serap industri. Masa kejayaan industri kakao Indonesia

terjadi antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2000 terdapat 40

pabrik dengan kapasitas sekitar 300 ribu ton/tahun. Sebaliknya, pada tahun 2008

produk olahan Indonesia hanya sekitar 130 ribu ton per tahun. Penurunan tersebut

Page 43: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

25

terjadi sebagai akumulasi berbagai kebijakan dan keadaan berikut: 1)

dilaksanakannya kebijakan PPN (Pajak Penambahan Nilai) atas transaksi bahan

baku kakao; 2) tingginya tarif bea masuk di negara tujuan ekspor (6-30%); 3)

diskriminasi tarif bea masuk kakao olahan di beberapa Negara tujuan ekspor

produk olahan (di Eropa: Indonesia 6% sedangkan Afrika 0%, di China: Indonesia

15% sedangkan Malaysia dan Singapore 0%); 4) krisis keuangan global yang

terjadi pada tahun 2008 dan 2009 terutama di Amerika dan Eropa yang

merupakan pasar kakao utama Indonesia; 5) harga biji kakao melambung hingga

100% dan bea masuk kakao olahan di Eropa menjadi semakin tinggi (sekitar

US$500/ton) .

Sebenarnya pemerintah Indonesia telah memperbaiki berbagai kebijakan

yang dianggap menghambat pengembangan industri kakao. Pada tahun 2007 PPN

dicabut, bea masuk kakao olahan di Indonesia dinaikkan dan bea masuk kakao

olahan di China diturunkan menjadi 0%. Walaupun demikian, ternyata hanya

beberapa industri kakao yang mampu bangkit kembali sedangkan yang lainnya

masih tetap berada pada kondisi yang sama. Sebagian besar industri yang

beraliansi multinasional, masih berproduksi dengan kapasitas produksi normal,

sedangkan beberapa industri lain yang mengalami hambatan (modal dan pasar)

belum dapat berpoduksi normal atau bahkan belum berproduksi lagi. Dari 17

pabrik industri pengolahan, hanya 4 pabrik yang bekerja dekat dengan kapasitas

terpasangnya, sedangkan 9 pabrik lainnya berproduksi kurang dari 50% kapasitas

terpasang, bahkan 4 pabrik lannya samasekali tidak berproduksi.

Pengembangan industri kakao masih terbuka luas mengingat banyaknya

produk turunan yang bisa dihasilkan dari buah kakao. Di samping itu, dengan

konsumsi kakao perkapita Indonesia yang sudah tumbuh secara signifikan yaitu

250gram/kapita/tahun (Kemenperin 2011), seharusnya memicu pengembangan

industri kakao Indonesia untuk memenuhi potensi pasar tersebut.

Kebijakan perkakaoan dapat dikelompokkan menurut rangkaian proses

agroindustri mulai dari hulu hingga hilir. Keterkaitan antara kegiatan agroindustri

dengan pelaku/sasaran kebijakan membentuk suatu matriks sebagaimana Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh proses agroindustri telah ada kebijakan yang

mengaturnya.

Page 44: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

26

Tabel 4 Kebijakan perkakaoan berdasarkan pelaku dan proses agroindustri

Pelaku /

Sasaran

Proses

Agroindustri

Kebijakan Peraturan/Sumber Acuan

Penyuluh

Pertanian Penyuluhan

Percontohan

Penyuluhan pertanian

Kebun percontohan

UU 16/2006 Sistem Penyuluhan

Penyedia Input

Pertanian Pengemasan

Pengiriman

Subsidi pupuk

Distribusi pupuk

Perpres No 77 Tahun 2005

tentang penetapan pupuk

bersubsidi.

Permendag No. 21/M-DAG/

PER/6/2008 tentang pengadaan

dan penyaluran pupuk

bersubsidi.

Permentan No. 42/Permentan

/OT.140/09/2008

Petani/

Kelompok

Tani

Budidaya

Pascapanen

Revitalisasi kebun

Gernas Kakao

Fermentasi

Teknologi Pasca

Panen

SNI Biji kakao

Teknologi Budidaya

Permentan No. 33/Permentan

/OT.140/7/2006 tetnag

Revitbun dan Permenkeu No.

117/PMK.06/ 2006

Bimbingan Teknis Penerapan

Pasca Panen Kementan

BSN No 86/KEP/ BSN/9/2008

tentang SNI biji kakao

Pedagang

Pengumpul

(perusahaan

pengering

kakao)

Pengeringan

Quality Control

Pengemasan

Penyimpanan

Pengiriman

SNI Biji kakao

Kebijakan

Perdagangan

(kab/prop)

Penurunan tarif THC

(Terminal Handling

Cost)

UU 102/2000 tentang SNI

Perda perdagangan antar daerah

Penurunan tarif THC, CHC dan

Surcharge melalui Kepmenhub

PR.302/3/18-PHB 2008

Eksportir dan

Perusahaan

transportasi /

Pengapalan

Pengemasan

Pemuatan

Pemeriksaan

Pengiriman

Pembongkaran

Penyimpanan

Teknologi Pasca

Panen

Bea Keluar

Kawasan

perdagangan dan

industri

Bimbingan Teknis Pasca Panen

Kakao oleh Kementan

Permenkeu

No.67/PMK.011/2010

Keppres Nomor 53 Tahun 1989

tentang Kaw Industri

Pemasok bahan

pendukung

Industri

Kakao/Coklat

Pengemasan

Pengiriman

Penyimpanan

SNI produk olahan

kakao

Kebijakan

Perdagangan LN

(Ekspor)

Permenperin 157/M.IND/

PER/11 /2009 penerapan SNI

bubuk kakao

Permendag No.27/M-

DAG/PER/6/2010 ttg

pembatalan L/C

Industri Kakao Sortasi

Kendali mutu

Pemrosesan

Pengemasan

Penyimpanan

Pembangunan

dan perluasan

Bantuan Mesin

Pengolahan skala

kecil

SNI Bubuk & produk

olahan kakao

Pembebasa bea

masuk

APBN (Anggaran Kemenperin)

UU 102/2000 tentang SN

PP 52/2011 ttg Tax allowance

Tax Allowance untuk Bidang-

Bidang Usaha Tertentu

PMK76/2012 Pembebasan Bea

Masuk Impor Barang Modal

Distributor Sistem distribusi Kebijakan

Perdagangan

Peraturan Perdagangan/Perda

Permendag no.27/M-

DAG/PER/6/2010) pembatalan

L/C termasuk kakao

Konusmen Konsumsi produk

akhir

Kampanye konsumsi

coklat

Belum ada kebijakan

Page 45: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

27

Sektor-Sektor yang Terkait Pengembangan Industri Kakao Indonesia

Sektor yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam

pegembangan industri hilir kakao di Indonesia adalah: sektor perindustrian, sektor

keuangan, sektor pekerjaan umum, sektor perhubungan dan telekomunikasi,

sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor energi. Secara keseluruhan

program dan kegiatan sektor yang berkaitan dengan pengembangan industri hilir

kakao dikoordinasikan oleh sebuah kementerian koordinator.

Sektor Perindustrian

Pada sektor perindustrian, kebijakan pengembangan industri kakao meliputi

kebijakan makro dan mikro. Pada kebijakan makro pengembagan industri kakao

diatur dan diarahkan oleh Kebijakan Industri Nasional (Perpres, 2008) dan

Kebijakan Klaster Industri (Deperind, 2009b). Dalam Kebijakan Nasional

disebutkan tentang industri-industri andalan masa depan, meliputi: Industri Agro,

Industri Alat Angkut, dan Industri Telematika. Industri kakao termasuk dalam

Industri Agro yaitu meliputi industri pengolahan kakao dan coklat.

Kebijakan jangka menengah yang dikeluarkan pemerintah melalui

Kementerian Perindustrian adalah: Meningkatkan jaminan pasokan bahan baku;

Melakukan diversifikasi produk kakao dan coklat olahan; Melakukan optimalisasi

kapasitas industri kakao dalam negeri; Meningkatkan mutu biji kakao fermentasi

dan produk kakao (Good Manufacturing Practices (GMP), Hazard Analysis and

Critical Control Point (HACCP) dan Sertifikasi Halal) dan penerapan sertifikasi

produk (SNI); Meningkatkan kerjasama internasional (pasar, teknologi, promosi

dan investasi); Mengembangkan teknologi pengolahan kakao; Meningkatkan

kompetensi SDM.

Kebijakan jangka panjang meliputi: Mengembangkan produk-produk kakao

non pangan; Membangun pusat-pusat pengembangan industri kakao di sentra-

sentra produksi; Mempromosikan industri hilir/turunan dari produk kakao.

Sementara itu, dalam menjalankan strateginya, Menteri Perindustrian menyusun

dan menetapkan peta panduan (Road Map) pengembangan klaster industri

prioritas. Klaster industri adalah sekelompok industri inti yang terkonsentrasi

secara regional maupun global yang saling berhubungan atau berinteraksi sosial

secara dinamis, baik dengan industri terkait, industri pendukung maupun jasa

penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait dalam meningkatkan

efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan mendorong terciptanya inovasi

sehingga tercipta keunggulan kompetitif. Industri Inti adalah industri yang

menjadi basis dalam pengembangan klaster industri nasional. Industri Penunjang

adalah industri yang berperan sebagai pendukung serta penunjang dalam

pengembangan industri inti secara integratif dan komprehensif.

Industri Prioritas adalah klaster industri yang memiliki prospek tinggi untuk

dikembangkan berdasarkan kemampuannya bersaing di pasar internasional, dan

industri yang faktor-faktor produksi untuk bersaingnya tersedia dengan cukup di

Indonesia.

Melalui kebijakan industri nasional, industri kakao ditempatkan sebagai

salah satu industri prioritas tinggi karena dianggap memiliki prospek tinggi untuk

dikembangkan berdasarkan kemampuannya bersaing di pasar internasional dan

faktor-faktor produksinya tersedia di Indonesia. Konsekuensinya adalah industri

Page 46: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

28

kakao dapat memperoleh fasilitas berupa insentif fiskal, insentif non fiskal dan

kemudahan lainnya dari pemerintah. Dalam road map yang disusun oleh

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian, sasaran

pengembangan industri kakao dalam kurun waktu (2010-2014) adalah sebagai

berikut: i) optimalisasi kapasitas terpasang industri kakao olahan dalam negeri

dari 40% menjadi 80%; ii) peningkatan biji kakao fermentasi dari 20% menjadi

80%; iii) peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk industri

dalam negeri; iv) meningkatnya investasi di bidang industri kakao; v)

pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri kakao dalam

negeri; dan vi) peningkatan ekspor produk kakao olahan rata-rata 16% per tahun.

Sektor Pertanian

Tujuan umum kebijakan pertanian adalah memajukan pertanian,

mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi

produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani

meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah pusat maupun daerah

mengeluarkan peraturan tertentu seperti: Undang-undang, Peraturan Pemerintah,

Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.

Kebijakan pertanian pada komoditi kakao secara umum tertuang dalam

kebijakan perkebunan (Undang-Undang No. 18 tahun 2004). Tujuan

pengembangan agribisnis kakao tidak bisa dilepaskan dari tujuan penyelenggaraan

perkebunan seperti yang tertuang dalam undang-undang tersebut, yaitu: i)

meningkatkan pendapatan masyarakat; ii) meningkatkan penerimaan negara; iii)

meningkatkan penerimaan devisa negara; iv) menyediakan lapangan kerja; v)

meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing; vi) memenuhi

kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan vii)

mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Ragam kebijakan sektor pertanian khusus komoditi kakao, di antaranya

kebijakan subsidi pupuk. Dilaporkan oleh Arsyad et al. (2011) bahwa subsidi

pupuk telah memberikan dampak positif terhadap produksi dan ekspor kakao.

Mengingat pentingnya produktivitas dan mutu kakao untuk mendapatkan

nilai tambah dan daya saing, maka peran penyuluh yang memberdayakan petani

menjadi sangat sentral. Namun, kinerja penyuluhan masih terbatas dan belum

efektif. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal-hal berikut: sasaran penyuluhan

komoditas kakao (area/jumlah petani) yang dilakukan lembaga pemerintah masih

terbatas. Kebijakan daerah belum mengapresiasi petani kakao sebagai kontributor

ekonomi primer sehingga kegiatan penyuluhan sebagai partner/supporting system

service bagi petani tidak berkembang (tanpa struktur dan alokasi pendanaan yang

memadai). Selain itu, kegiatan penyuluhan pertanian masih terkonsentrasi pada

tanaman pangan (Wawancara, 1-28 Maret 2010).

Dalam sistem kelembagaan penyuluhan yang diatur dalam Undang Undang

SP3K (Pasal 13 ayat 2) yang mengamanatkan bahwa lembaga penyuluhan

dibentuk sebagai lembaga struktural setingkat eselon II. Namun dari hasil

observasi menunjukkan kebijakan ini belum dapat diterapkan pada seluruh

kabupaten karena terkendala oleh PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah (Pasal 21) yang membatasi besaran organisasi perangkat daerah (SKPD)

di kabupaten, serta Permendagri No.59/2007 (pasal 32 ayat 2 dan 3 tentang

Page 47: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

29

klasifikasi belanja urusan wajib dan pilihan) yang tidak mencantumkan kata

„penyuluhan‟.

Selain kebijakan penyuluhan, pemerintah juga menetapkan suatu program.

Salah satunnya adalah Program Revitalisasi Perkebunan (Revitbun) yang

diluncurkan tahun 2007 untuk memfasilitasi petani melakukan kegiatan perluasan,

peremajaan, dan rehabilitasi kebun kakao dengan dana komersial perbankan

(kredit investasi). Dalam program ini, petani dapat mengusulkan pembiayaan

(kredit) lengkap sampai tanaman menghasilkan, termasuk biaya sarana produksi

dan tenaga kerja. Bantuan pemerintah hanya pendampingan oleh tenaga penyuluh

dalam subsidi bunga sehingga bunga yang mereka bayar hanya 10% (selama masa

Grass Periode).

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai tahun

2009 melaksanakan program “Gerakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu

Kakao Nasional” (Gernas kakao) yang merupakan upaya percepatan peningkatan

produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang

melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan sumberdaya yang ada secara

optimal. Gernas kakao tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009-

2011 di 9 provinsi dan 40 kabupaten dengan sasaran sebagai: i) perbaikan

tanaman kakao rakyat seluas 450 ribu Ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70

ribu Ha, rehabilitasi 235 ribu Ha dan intensifikasi seluas 145 ribu Ha; ii)

pemberdayaan petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450 ribu

petani; iii) pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450 ribu Ha; dan iv)

perbaikan mutu kakao sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI).

Beberapa target yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan ini

adalah: i) peningkatan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari 660kg/ha/tahun

menjadi 1 500kg/ha/tahun pada tahun 2013; ii) peningkatan produksi kakao di

lokasi gerakan dari 297ribu ton/tahun menjadi 675ribu ton/tahun; iii)

meningkatnya pendapatan petani dari Rp13.2juta/ha/tahun (2009) menjadi

Rp30juta/ha/tahun (2013); iv) meningkatnya devisa negara dari US$494 juta

(2009) menjadi US$1485 juta (2013); dan v) meningkatnya mutu kakao sesuai

SNI sebanyak 675ribu ton/tahun (2013).

Rossi (2004) menyebutkan bahwa secara umum, langkah penting yang

harus dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan sistem agroindustri

adalah mengintegrasikan berbagai sektor dan pelaku yang terlibat dalam sistem

agroindustri sehingga dapat dihadirkan koordinasi dan tindakan kolektif untuk

menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dalam sistem agroindustri

tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh Sa‟id (2010) yang menyebutkan

bahwa dalam penyusunan kebijakan pengembangan sistem agroindustri kakao,

pemerintah harus mampu memuaskan semua pihak yang terlibat terutama

masyarakat petani kecil.

Kesimpulan tentang peran kebijakan sektor pertanian terhadap

pengembangan industri kakao adalah memastikan peningkatan produktivitas dan

mutu kakao yang berkelanjutnan. Kebijakan sektor pertanian mencakup aspek

pemberdayaan petani melalui kebijakan penyuluhan, meningkatkan dukungan

perluasan dan rehabilitasi kebun kakao melalui penyediaan bibit unggul. Namun

kebijakan yang dikeluarkan masih memiliki permasalahan dalam hal kelembagaan,

kemauan politik dari pemerintah daerah serta jangkauan program yang masih

terbatas.

Page 48: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

30

Sektor Keuangan

Kebijakan sektor keuangan yang berkaitan dengan perkakaoan meliputi

kebijakan penerimaan berupa pajak ekspor atau bea keluar dan kebijakan pajak

dan retribusi daerah.

Kebijakan Pajak Ekspor

Hampir semua studi yang mengkaji dampak pemberlakuan pajak ekspor

produk suatu negara menyimpulkan bahwa dengan diberlakukannya pajak ekspor,

maka secara keseluruhan biaya ekspor menjadi meningkat. Di sisi lain,

pendapatan yang diterima eksportir menjadi menurun akibat turunnya harga yang

diterima.

Sejenis dengan pajak ekspor pemerintah telah mengeluarkan Bea Keluar

(BK). Meskipun sudah dicanangkan sejak tahun 2005, Bea Keluar (BK) atas biji

kakao baru diberlakukan 1 April 2010. BK adalah pungutan negara berdasarkan

Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor. BK diatur

dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.O11/2010 Tentang

Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar2.

Tujuan dari penerapan BK ini adalah dalam rangka menjamin ketersediaan bahan

baku serta peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pengolahan kakao

dalam negeri. Penetapan tarif BK atas Biji Kakao berdasarkan PMK dimaksud

adalah sebagaimana tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Harga referensi Bea Keluar biji kakao

No Harga referensi (US$) Bea Keluar (%)

1. Kurang dari 2,000 0

2. 2,000 - 2,750 5

3. 2,750 - 3,500 10

4. Lebih dari 3,500 15

Harga referensi3

untuk Biji Kakao ditetapkan oleh menteri yang

bertanggung jawab pada bidang perdagangan dan berpedoman pada harga rata-

rata internasional, yaitu harga rata-rata ClF New York Board of Trade (NYBOT),

NewYork.

Setelah penerapan selama 3 tahun dampak positif dan negatif dari kebijakan

BK telah banyak dikemukakan oleh berbagai pihak. Kebijakan BK, dalam jangka

pendek telah menjadi disinsentif bagi petani, sementara insentif yang tercipta bagi

industri hilir tidak bisa dinikmati oleh petani. Maksud baik pemerintah untuk

2 Dasar hukum penerapan BK adalah UU No. 1 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan PP No 55 tentang

Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor. Dalam PP tersebut (ayat 1), BK ditetapkan dengan tujuan

untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam,

mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari ekspor tertentu di pasaran internasional, dan

menjaga komoditas tertentu di dalam negeri. 3 Harga Referensi adalah harga rata-rata internasional komoditi tertentu untuk penetapan tarif Bea Keluar.

Page 49: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

31

merealokasi pendapatan negara yang berasal dari penerapan BK tersebut kepada

petani kakao, selain tidak mudah untuk dilaksanakan juga membutuhkan waktu

yang lama untuk bisa sampai dirasakan manfaatnya oleh petani. Padahal petani

tidak memiliki daya tahan yang cukup untuk itu. Disinsentif bagi petani bisa

mendorong beralihnya kepemilikan lahan petani kepada pemilik modal.

Kebijakan Pajak dan Reribusi Daerah

Dengan diberlakukannya Undang-undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak

dan Reribusi Daerah, daerah harus menghapus pungutan yang menambah biaya

perdagangan antar daerah. Pada bagian Penjelasan Umum UU ini diatur bahwa

pajak dan retribusi tidak boleh menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau

menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan

kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi

atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain dan

pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak

atau Retribusi. Namun, hingga saat ini regulasi ini belum cukup efektif berlaku

sehingga dalam prakteknya masih banyak daerah yang menarik pungutan dengan

berbagai sebutan. Kebijakan ini selain termasuk dalam kebijakan sektor keuangan

juga berkaitan dengan sektor perdagangan.

Sektor Perdagangan

Sektor Perdagangan merupakan sektor yang aktivitasnya sangat dipengaruhi

oleh kebijakan di sektor keuangan. Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari

target kebijakan pemerintah. Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan

penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, pemerintah menerapkan

kebijakan bea keluar untuk ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan

No. 67 tahun 2010. Bea Keluar ekspor biji kakao ditetapkan sesuai dengan harga

referensi yaitu harga rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata

CIF New York Board of Trade (NYBOT). Tarif bea keluar biji kakao adalah

sebagai berikut: i) untuk harga referensi sampai dengan US$2 000, tarif sebesar

nol persen; ii) harga referensi US$2.000–2.750, tarif sebesar 5 persen; iii) harga

referensi US$2 750–3 500, tarif sebesar 10 persen; dan iv) harga referensi lebih

dari US$3 500, tarif sebesar 15 persen.

Selain bea keluar, pemerintah juga menetapkan tarif bea masuk untuk biji

kakao dan produk olahan kakao. Tarif MFN bea masuk biji kakao dikenakan

sebesar 5 persen, sedangkan produk olahan kakao dikenakan tarif sebesar 10

persen. Sedangkan untuk negara-negara yang termasuk dalam perjanjian

perdagangan bebas ATIGA, ASEAN-CHINA dan ASEAN-KOREA tarifnya

sudah dihapuskan.

Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah berupa

insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao kering

baik yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang hasil

pertanian yang bersifat strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak

pertambahan nilai. Selain kebijakan yang langsung terkait dengan komoditas

kakao, berbagai kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun moneter, seperti

Page 50: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

32

subsidi pertanian secara umum, pembangunan infrastruktur, kebijakan nilai tukar,

inflasi, dan lain-lain, berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung

terhadap perkembangan agribisnis kakao. Setiap jenis kebijakan juga akan

memberikan dampak yang berbeda-beda bagi setiap pihak yang terkait.

Sebagaimana kebijakan di sektor keuangan UU 28 tahun 2009 tentang Pajak

dan Reribusi Daerah telah mengamanatkan untuk menghilangkan hambatan

perdagangan antara daerah. Namun dari observasi lapangan di beberapa daerah

seperti kabupaten Pinrang, dan Luwu Utara ternyata praktek penerapan retribusi

untuk perdagangan komoditas antar daerah masih berlaku.

Sektor Perhubungan

Peranan sektor perhubungan dalam pengembangan industri kakao dapat

dikategorikan sebagai dukungan prasarana dan sarana transportasi. Jenis prasarana

transportasi yang paling banyak berkaitan dengan aktivitas dalam rantai pasok

kakao meliputi prasarana pelabuhan, dan jalan. Sementara itu untuk sarana

transportasi yang berkaitan adalah moda transportasi laut dan transportasi darat.

Dalam konteks rantai pasok, Pujawan (2005) menyatakan bahwa tujuan dari

aktivitas transportasi atau disebut manajemen logistik dan manajemen distribusi

pada prinsipnya adalah menciptakan pelayanan yang tinggi ke pelanggan yang

bisa dilihat dari tingkat pelayanan (service level) yang dicapai, kecepatan

pengiriman, kesempurnaan barang sampai ke tangan pelanggan, serta pelayanan

purna jual yang memuaskan. Sejalan dengan hal itu, kebijakan pemerintah pada

sektor perhubungan bertujuan untuk mendukung pengembangan transportasi yang

lancar, terpadu, aman dan nyaman, sehingga mampu meningkatkan efisiensi

pergerakan orang dan barang, memperkecil kesenjangan pelayanan angkutan antar

wilayah serta mendorong ekonomi nasional (Kemenhub, 2010). Dalam

pengembangan industri kakao, peran kebijakan pemerintah dalam infrastruktur

transportasi menjadi enabler (pemungkin) suatu aktivitas trasnportasi mencapai

kinerja terbaiknya yang lancar, aman, nyaman serta efisien.

Proses transportasi bahan baku maupun barang jadi produk kakao untuk di

darat sebagian besar menggunakan angkutan Jenis Truk, sementara untuk di laut

dengan kapal laut baik kontainer maupun curah. Pemerintah Indonesia melalui

Kementerian Perhubungan terus menerus meningkatkan pembangunan kapasitas

infrastruktur logistik sehingga menjadi sarana transportasi yang efektif dan efisien

agar mekanisme pergerakan dan perpindahan barang dari satu moda ke moda

lainnya dengan lancar, cepat, akurat, dan dengan biaya yang wajar.

Dari pengamatan lapangan dan wawancara di Pelabuhan Makasar dalam

proses ekspor kakao di Terminal Petikemas Makassar (dengan kapal berkapasitas

13.000 Ton) biasanya melalui dua cara, yaitu : konvensional (cara manual) dan

kontainer (menggunakan crane). Dengan cara konvensional membutuhkan waktu

7 hari untuk bisa memenuhi kapal, dan perlu penambahan 4 hari jika kondisi

sedang hujan. Sedangkan untuk cara kontainer hanya membutuhkan waktu 1 hari.

Pengiriman kakao dengan kontainer biasanya digunakan jika harus ganti

kapal di Pelabuhan Surabaya. Namun sebagian besar proses pengapalan lebih

memilih cara konvensional, sehingga waktu handling sangat dipengaruhi oleh

kondisi cuaca. Untuk cara konvensional, tarif yang berlaku di Terminal

Petikemas Makassar, adalah sebesar Rp625/ton, sedangkan untuk tarif kontainer

umumnya Rp545 000 per box ukuran 20 feet.

Page 51: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

33

Dengan demikian peranan sektor perhubungan dalam pengembangan

industri kakao merupakan dukungan terhadap penyediaan infrastruktur dan

pelayanan transportasi untuk memperlancar dan efisiensi biaya aliran barang.

Sektor Pekerjaan Umum

Sektor pekerjaan umum secara umum di Indonesia mencakup bidang

penataan ruang, sumber daya air, jalan dan jembatan, perumahan dan permukiman.

Bidang-bidang tersebut merupakan bidang infrastruktur. Sistem infrastruktur

merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan ekonomi dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan

sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan,

instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem

sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg 2000).

Bidang infrastruktur yang berkaitan langsung dengan pengembangan

industri kakao adalah jalan dan jembatan serta bidang penataan ruang.

Infrastruktur jalan merupakan bagian dari sistem transportasi yang saling terkait

satu dengan yang lainnya. Jalan memiliki peran paling strategis terutama pada

tahap awal proses pembangunan suatu negara atau daerah dari keseluruhan

fasilitas infrastruktur transportasi. Ketersediaannya tidak hanya berperan penting

untuk mendorong aktivitas ekonomi, tetapi keberadaannya juga penting untuk

menyediakan berbagai jenis infrastruktur lainnya. Menurut Grigg (2000)

pembangunan jaringan infrastruktur listrik, jaringan telepon, jaringan irigasi, pipa

air bersih, rel kereta api, pelabuhan, air port, dan infrastruktur lainnya hampir

tidak mungkin dapat disediakan tanpa didahului oleh pembangunan jaringan jalan.

Bidang penataan ruang yang berpengaruh terhadap pengembangan industri

adalah dalam hal letak lokasi yang diperuntukkan membangun industri dalam

suatu wilayah. Hal ini penting karena lokasi indusri yang tidak mengakomodir

kepentingan pengusaha tidak akan menarik bagi pengusaha dan tidak akan

terwujud tujuan penataan ruang yang efektif.

Di sisi lain pertimbangan pengusaha atau calon investor terhadap lokasi

industri adalah sangat penting untuk efisiensi dan profitabilitas dari kegiatan

industri. Dalam dunia bisnis, pilihan yang tepat harus dilakukan untuk dapat

menghasilkan keuntungan. Lokasi industri adalah investasi tetap sehingga penting

untuk strategi dan investasi modal dari setiap calon investor. Lokasi ini juga

berdampak pada non-investor, yaitu secara langsung mempengaruhi penyerapan

tenaga kerja, masalah lingkungan, dan aktivitas ekonomi lokal (Harrington dan

Warf 1995).

Dengan demikian, peranan sektor Pekerjaan Umum sangat berkaitan dengan

pengembangan industri kakao dalam hal penyediaan infrastruktur jalan dan

jembatan yang mendukung kelancaran aktivitas transportasi aliran barang.

Sektor ESDM

Pemerintah telah menetapkan kebijakan umum mengenai pemanfaatan gas

alam nasional dalam rangka mendorong peningkatan pemanfaatan gas alam

domestik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai dengan amanat UU No.

22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal tersebut ditegaskan melalui PP

No 35 Tahun 2004 Pasal 46 dan Peraturan Menteri ESDM No 3 Tahun 2010, di

Page 52: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

34

mana pemerintah mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk

menyerahkan 25 persen dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi

keperluan dalam negeri dalam rangka domestic market obligation (DMO)4.

Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumberdaya

Mineral ada beberapa peran penting sektor ESDM, antara lain sebagai sumber

penerimaan negara, penggerak pembangunan daerah, neraca perdagangan,

investasi, subsidi, penyediaan energi dan bahan baku domestik (Kementerian

ESDM 2010). Pasokan energi sektor industri seperti gas merupakan acuan

strategis karena berfungsi sebagai bahan baku dan sumber energi. Pemanfaatan

gas bumi sebagai bahan baku industri dalam negeri sejalan dengan kebijakan

pemerintah untuk mendorong hilirisasi industri yang mendukung peningkatan

nilai tambah di Indoensia. Pemanfaatan gas sebagai sumber energi menjadi faktor

penting dalam menggerakkan kegiatan operasi industri manufaktur, termasuk di

dalamnya industri kakao serta industri turunannya. Hal ini karena Industri kakao

termasuk industri yang prospektif, baik dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri

maupun untuk berkompetisi di pasar internasional.

Kebutuhan gas bumi untuk industri saat ini mencapai 2.129.57 MMSCFD5

yang mencakup kebutuhan untuk bahan baku sebesar 1.022.00 MMSCFD dan

untuk energi sebesar 1.107.57 MMSCFD. Kebutuhan tersebut semakin meningkat

seiring dengan rencana pengembangan industri kedepan. Karena itu perlu ada

dorongan untuk memenuhi kebutuhan gas di sektor industri. Termasuk yang

dialami industri kakao, saat ini sulit mendapatkan tambahan pasokan gas alam

sehingga menghambat industri yang sedang melakukan ekspansi dan

pembangunan baru industri kakao di beberapa daerah (Kemenperin 2011; 2013).

Infrastruktur Energi Listrik

Infrastruktur energi listrik berperan sebagai input dalam proses produksi

berbagai aktivitas ekonomi khususnya sektor industri pengolahan. Penyediaannya

selain dilakukan oleh perusahaan negara, sebagian disediakan oleh pihak swasta,

termasuk pembangkitan tenaga listrik oleh perusahaan industri. Penyediaan energi

listrik oleh PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) mengalami perkembangan yang

cukup pesat pada periode sebelum krisis ekonomi dengan peningkatan kapasitas

terpasang mencapai 14.29 persen per tahun selama periode 1972-1996. Setelah

krisis ekonomi, peningkatannya hanya 4.10 persen per tahun pada periode 1997-

2006 (Delis 2008).

Delis (2008) mengidentifikasi bahwa perkembangan penyediaan

infrastruktur listrik juga mengalami pelambatan seperti halnya infrastruktur jalan.

Pada periode 1972-1980, peningkatannya mencapai 18.79 persen per tahun,

kemudian turun pada periode-periode berikutnya. Kecenderungan ini

4 DMO pada dasarnya adalah kewajiban kontraktor untuk memasok kebutuhan domestik sejumlah

volume tertentu. 5 MMSCFD adalah singkatan dari Million Metric Standard Cubic Feet per Day (gas) atau juta

standar metrik kaki kubik per hari (gas). M adalah 1000 (seribu) jika digunakan dalam hubungan

dengan satuan SCF (Standard Cubic Foot). SCF adalah sejumlah gas yang diperlukan untuk

mengisi ruangan 1 (satu) kaki kubik, dengan tekanan sebesar 14.7 psi (empatbelas dan tujuh per

sepuluh pound per square inch) dan pada temperatur 60oF (enampuluh derajat Fahrenheit) dalam

kondisi kering.

Page 53: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

35

mengindikasi melemahnya kemampuan keuangan negara dan BUMN dalam

pembiayaan energi listrik, padahal kebutuhan infrastruktur ini semakin meningkat

bersamaan dengan meningkatnya aktivitas industri pengolahan dan

berkembangnya teknologi produksi modern. Pada pengembangan industri kakao

hingga tahun 2012 didapati masih terbatasnya infrastruktur energi berupa listrik

dan gas (Kemenperin 2013).

Berdasar hasil analisis keterkaitan sektor-sektor yang berpengaruh terhadap

pengembangan industri kakao dapat disusun interaksi kebijakan antar sektor

sebagaimana skema pada Gambar 8.

Pengembangan

Industri Kakao

Kebijakan

Perindustrian

Kebijakan

Keuangan

Kebijakan

Perhubungan

Kebijakan

Pekerjaan Umum

Kebijakan

Pertanian

Kebijakan

Perdagangan

Kebijakan

TelekomunikasiKebijakan Energi

Gambar 8 Keterkaitan antar kebijakan pengembangan industri hilir kakao

Simpulan

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama

perkakaoan Indonesia di sektor hulu adalah produktivitas rendah dan mutu biji

belum standar. Selain itu, budidaya kakao belum berkembang karena kurangnya

penyuluhan, pemahaman nilai ekonomi komoditas yang kurang, pendidikan

rendah, kurangnya sarana pertanian dan permodalan budidaya, dan kurangnya

peran lembaga keuangan formal.

Permasalahan sektor hulu selanjutnya adalah akses pendanaan perawatan

kebun petani yang kurang, kecenderungan menghasilkan biji kakao non

fermentasi, perdagangan yang berbasis volume karena struktur pasar yang bersifat

oligopsoni, tersebarnya sentra produksi, dan informasi harga yang terdistorsi.

Selain itu, masih adanya hambatan perdagangan yaitu kondisi jalan poros yang

kurang memadai, kondisi jalan desa di sentra produksi kakao yang umumnya

kurang baik, serta pungutan yang berlaku pada perdagangan antar daerah.

Page 54: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

36

Pada sektor hilir permasalahan yang dihadapi adalah masih rendahnya daya

serap (kapasitas) industri akibat berbagai kebijakan seperti PPN, bea masuk di

negara tujuan ekspor, diskriminasi tarif bea masuk di beberapa Negara tujuan

ekspor; dan krisis keuangan global.

Pemerintah telah memperbaiki berbagai kebijakan yang menghambat

pengembangan industri kakao melalui pencabutan PPN tahun 2007, menaikkan

bea masuk kakao olahan di Indonesia dan untuk meningkatkan pasokan bahan

baku industri melalui kebijakan Bea Keluar tahun 2010. Namun demikian, proses

bangkitnya industri kakao masih belum optimal, sehingga membutuhkan

dukungan kebijakan pemerintah yang lebih sinergis pada berbagai sektor yang

berkaitan dengan pengembangan industri kakao.

Di sisi lain, peluang pengembangan industri kakao masih terbuka luas

mengingat banyaknya produk turunan yang bisa dihasilkan dari biji kakao. Di

samping itu, dengan konsumsi kakao perkapita Indonesia yang mulai tumbuh

secara signifikan yaitu 250gram/kapita/tahun, seharusnya memicu pengembangan

industri kakao Indonesia untuk memenuhi potensi pasar tersebut.

Sektor yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam

pegembangan industri hilir kakao di Indonesia adalah: sektor perindustrian, sektor

pertanian, sektor keuangan, sektor pekerjaan umum, sektor perhubungan dan

telekomunikasi, sektor perdagangan, dan sektor energi.

Dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mendorong

pengembangan industri kakao, terlihat kebijakan sektor keuangan khususnya

perpajakan sangat mendominasi perkembangan industri kakao Indonesia.

Sementara peranan sektor inti pengembangan industri masih terbatas pada

kebijakan tataran makro berupa kebijakan. Kebijakan yang bertaraf mikro lebih

banyak dilakukan oleh sektor hulu (budidaya dan pascapanen). Program berdana

besar seperti Gernas Kakao tahun 2009-2011 merupakan implementasi perkuatan

kakao di sektor hulu. Sungguhpun demikian, berhadapan dengan perubahan iklim

yang sedang melanda kawasan asia, usaha tersebut hanya mampu

mempertahankan tingkat produksi kakao Indonesia pada kisaran 500 ribu ton per

dari tahun 2010 hingga 2012.

Kebijakan pendukung di bidang infrastruktur seperti jalan, jembatan,

pelabuhan dari sisi industri masih dinilai belum memenuhi harapan. Sementara itu

kelancaran aliran barang masih menemui hambatan karena adanya pungutan baik

yang resmi maupun liar dalam perdagangan kakao antara daerah. Berkaitan

dengan perluasan (ekspansi) industri kakao masih mengalami kekurangan pasokan

energi berupa gas maupun listrik bagi pembangunan baru dan beberapa rencana

perluasan industri pengolahan kakao.

Page 55: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

37

5 ANALISIS RANTAI PASOK KAKAO UNTUK

PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI

SULAWESI SELATAN

Abstrak

Sebagai provinsi penghasil biji kakao terbesar di Indonesia, Sulawesi Selatan

belum menikmati nilai tambah yang layak karena sebagian besar kakao diekspor

atau dikirim ke industri pengolahan di Pulau Jawa. Pengembangan industri kakao

sebagai upaya peningkatan nilai tambah perlu kajian yang menyeluruh.

Pendekatan rantai pasok yang mengintegrasikan seluruh pelaku untuk

menghasilkan produk secara efisien sangat tepat untuk melihat kemungkinan

pengembangan industri kakao di Sulawesi Selatan. Penelitian pada bagian ini

bertujuan menganalisis rantai pasok kakao dalam pengembangan industri

pengolahan kakao di Sulawesi Selatan. Pendekatan deskriptif kualitatif digunakan

mempelajari fenomena lapangan mengenai rantai pasok kakao. Analisis yang

dilakukan meliputi: identifikasi anggota rantai pasok, pemetaan struktur dan

hubungan antar pelaku serta upaya perbaikan manajemen rantai pasok. Temuan

penelitian ini menunjukkan bahwa perluasan kemitraan industri dan petani,

perbaikan infrastruktur jalan ke sentra produksi, pengawasan perdagangan akan

mengatasi hambatan aliran barang. Perluasan akses informasi, penguatan

kelompok tani akan memperlancar aliran Informasi. Sementara perluasan akses

modal petani akan memperbaiki aliran uang. Secara umum pengembangan

kemitraan antara industri dan petani akan mendorong perkembangan industri

pengolahan kakao di Sulawesi Selatan.

Kata kunci: rantai pasok, kakao, Sulawesi Selatan, industri pengolahan kakao

Pendahuluan

Indonesia merupakan penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia dengan

jumlah produksi pada tahun 2011 mencapai 440 ribu ton setelah Pantai Gading

dan Ghana berturut-turut 1.5 dan 1.0 juta ton (ICCO 2011). Meskipun demikian,

kakao Indonesia masih lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah, sehingga

nilai tambahnya banyak dinikmati negara tujuan ekspor utama antara lain

Malaysia, Amerika, Singapura, Brazil dan China (Kemenperin 2011). Sulawesi

Selatan sebagai sentra produksi kakao terbesar di Indonesia mengalami

permasalahan yang sama. Selama ini produksi biji kakao dari Sulawesi Selatan

sebagian besar dikirim keluar wilayah, baik diekspor ke luar negeri maupun ke

Pulau Jawa.

Terdapat keadaan yang kontradiktif, dimana Sulawesi Selatan yang

merupakan wilayah produksi kakao yang relatif besar tetapi hanya mendapatkan

manfaat ekonomi yang relatif kecil dari industri hilirnya (semi finsih dan finish

product). Sebagai produsen utama biji kakao nasional Sulawesi Selatan idealnya

mendapat peluang untuk mengembangkan industri kakao guna memperoleh

manfaat ekonomi yang lebih besar. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan

peningkatan nilai tambah dari pengembangan industri pengolahan kakao,

Page 56: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

38

Sulawesi Selatan perlu meningkatkan daya saing yang dapat menarik investor

baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Produksi kakao Sulawesi Selatan pada tahun 2010 sebesar 173.555ton

sedikit menurun dibanding tahun 2004 sebesar 198.079 ton. Secara proporsi

produksi kakao Sulawesi Selatan terhadap produksi kakao nasionalpun ikut

menurun, yaitu dari 22% pada tahun 2004 menjadi 19,2% pada tahun 2010.

Walaupun demikian, luas lahan kakao di Sulawesi Selatan terus meningkat, dari

217.399 hektar di tahun 2004 menjadi 270.060 ribu hektar di tahun 2010. Hal

tersebut di satu sisi menunjukkan menurunnya produktivitas, tetapi di pihak lain

menunjukkan adanya peluang peningkatan produksi bila dilakukan berbagai

perbaikan melalui rehabilitasi, replanting, dan intensifikasi.

Perkembangan industri pengolahan kakao yang ada di Sulawesi Selatan

menghadapi berbagai masalah. Turunnya produktivitas dan kualitas biji kakao

serta kuatnya tekanan pasar internasional telah menurunkan nilai ekspor kakao.

Kondisi ini kemudian menyebabkan tekanan nyata terhadap harga di tingkat

petani (farm gate price) dan lebih lanjut menyebabkan para petani tidak

mempunyai modal yang cukup untuk memelihara kebun sehingga mampu

menghasilkan produksi dan kualitas kakao yang baik.

Sementara itu, permintaan pasar akan kakao Indonesia mendorong transaksi

pasar lokal cenderung berbasis volume (bukan pada kualitas) dan membuat

kurangnya penawaran biji kakao berkualitas bagi industri. Pasar reguler hanya

menawarkan insentif yang rendah untuk biji kakao berkualitas dan kakao

fermentasi. Akibatnya, sangat sedikit petani yang tertarik menghasilkan produk

tersebut. Jaminan ketersediaan pasokan biji kakao bermutu akan mempengaruhi

industri pengolahan kakao (semi finished) menghasilkan cocoa liquor, cocoa

butter, cocoa cake dan cocoa powder yang merupakan komoditas ekspor bernilai

tinggi.

Pengembangan industri hilir suatu komoditas pertanian, termasuk di

dalamnya industri pengolahan kakao perlu mempertimbangkan berbagai aspek.

Aspek-aspek tersebut mulai dari aspek pasar, tekno-ekonomi, dan aspek

pembangunan (terkait dengan sektoral, strategi dan kebijakan pengembangan).

Untuk itu, perumusan strategi dan kebijakan yang bisa mengakomodir berbagai

aspek tersebut merupakan faktor kunci dalam pengembangan industri kakao

(Wahyudi et al. 2008).

Keterlibatan banyak pelaku dalam rantai pasok kakao membuat tidak mudah

mengembangkan industri hilir tanpa membenahi seluruh bagian yang terkait.

Panlibuton dan Lusby (2006) menggambarkan banyaknya fungsi dan pelaku yang

terlibat dalam rantai pasok kakao di Indonesia. Pelaku rantai pasok di tingkat lokal

terdiri atas pemasok bibit dan obat-obatan, petani, pedagang, pengangkut, sampai

eksportir; Sementara untuk pelaku internasional terdapat multinational trader,

multinational processors (produk setengah jadi) dan multinational manufacturer

(produk akhir). Keseluruhannya membentuk suatu jaringan rantai pasok

internasional. Dengan keterkaitan tersebut, rantai pasok kakao di Indonesia

berkaitan dengan sistem perdagangan kakao international. Oleh sebab itu dalam

pengembangan industri pengolahan kakao harus memperhatikan konstelasi rantai

pasok internasional.

Bertolak dari berbagai isu yang berkembangan tentang perkakaoan di

Sulawesi Selatan, dapat dirumuskan bahwa permasalahan yang dihadapi

Page 57: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

39

setidaknya ada tiga, yaitu pertama, menurunnya produktivitas meskipun luas

lahan bertambah, hal ini berarti ada peluang peningkatan produksi bila ada

penanganan yang tepat. Masalah kedua adalah mutu kakao yang cenderung

menurun akibat dari tekanan pasar internasional, model transaksi berbasis volume

dan kecilnya insentif petani sehingga kurang tertarik menghasilkan kakao

bermutu. Ketiga, banyaknya pelaku yang terlibat sehingga sulit mengembangkan

industri tanpa membenahi seluruh bagian. Dalam pada itu pengembangan industri

pengolahan kakao di Sulawesi Selatan maupun di Indoensia pada umumnya harus

memperhatikan konstelasi rantai pasok.

Berdasar latar belakang masalah tersebut tujuan penelitian ini adalah untuk

menganalisis rantai pasok kakao sebagai upaya merealisasikan pengembangan

industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan untuk meningkatkan nilai tambah

yang bisa dinikmati wilayah ini.

Metode Penelitian

Analisis rantai pasok ini mengacu pada pengertian pengelolaan rantai pasok

yang secara umum merupakan integrasi atas proses-proses bisnis dari pengguna

akhir melalui pemasok awal yang menyediakan produk, jasa, dan informasi yang

memberikan nilai tambah bagi pelanggan (Lambert 1998). Lebih lanjut, metode

analisis rantai pasok juga diajukan Chopra dan Meindl (2007) yang mencakup

manajemen atas aliran-aliran di antara tingkatan dalam suatu rantai pasok untuk

memaksimumkan keuntungan total. Pujawan (2005) menyatakan bahwa

pengelolaan rantai pasok merupakan metode atau pendekatan integratif untuk

mengelola aliran produk, informasi dan uang secara terintegrasi yang melibatkan

pihak-pihak mulai hulu sampai hilir.

Untuk memperoleh gambaran tentang rantai pasok kakao Sulawesi Selatan

yang diorientasikan untuk pengembangan industri pengolahan kakao, penelitian

pada bagian ini melakukan serangkaian langkah mulai dari studi literatur,

perumusan permasalahan, pengumpulan data, analisis, pembahasan dan penarikan

kesimpulan.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dengan cara sebagai berikut: Observasi lapangan

ke lokasi para petani kakao, pedagang kakao, eksportir dan industri pengolahan

kakao di Kabupaten Luwu Utara, Pinrang, Bone dan Bulukumba Provinsi

Sulawesi Selatan; Wawancara mendalam dengan wakil petani, pedagang kecil dan

besar, eksportir, industri pengolah kakao, pemerintah daerah, beberapa asosiasi

dan lembaga lain terkait kakao di Sulawesi Selatan; FGD (Focus Group

Discussion) di Kabupaten Luwu Utara pada tanggal 11 Maret 2010, Pinrang

tanggal 18 Maret 2010, Bone tanggal 23 Maret 2010 dan Bulukumba tanggal 26

Maret 2010. FGD yang dilaksanakan melibatkan para anggota rantai pasok kakao

di masing-masing kabupaten.

Data sekunder diperoleh dari instansi Ditjen Perkebunan Kementerian

Pertanian, Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten

terkait dengan statistik di sektor Pertanian, Perdagangan, Perindustrian serta

Page 58: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

40

sektor Pekerjaan Umum. Data yang diambil dari sektor Pertanian berkaitan

dengan dukungan dalam hal budidaya dan input faktor pertanian. Pada bidang

perdagangan data yang dihimpun berkaitan dengan kebijakan perdagangan daerah,

seperti pengawasan perdagangan, penerapan standar timbangan (metrologi) serta

pungutan atau retribusi daerah. Untuk sektor Perindustrian penelitian ini

menyoroti kebijakan pengembangan industri di tingkat nasional dan program

bantuan peralatan pengolahan kakao skala kecil di tingkat daerah. Sementara itu,

data dari sektor Pekerjaan Umum berkaitan dengan kondisi infrstruktur jalan dan

jembatan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan, program yang sedang dan akan

dilaksanakan serta kebijakan tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi dan

Kabupaten di Sulawesi Selatan.

Metode Analisis dan Pendekatan Penelitian

Metode analisis penelitian pada bagian ini merujuk pada Lambert (2004)

yang meliputi: 1) Identifikasi seluruh anggota rantai pasok, identifikasi struktur

rantai pasok, dan mengidentifikasi hubungan antar anggota rantai pasok; 2)

Menganalisis konfigurasi manajemen rantai pasok yang mencakup pengelolaan

tiga macam aliran, yaitu aliran barang, uang dan informasi. Analisis konfigurasi

rantai pasok kakao dilakukan pada semua tingkatan. 3) melakukan upaya

perbaikan struktur untuk memperoleh rantai pasok yang lebih efisien dan

rensponsif (Gambar 8).

Gambar 9 Kerangka analisis rantai pasok untuk pengembangan industri

Secara umum penelitian pada bagian ini menggunakan pendekatan

deskriptif kualitatif untuk membedah fenomena yang diamati di lapangan.

Pendekatan ini menggambarkan dan menjabarkan temuan di lapangan serta

memberikan penguatan dengan data kuantitatif yang relevan. Pendekatan

kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

Analisis Rantai Pasok untuk

Pengembangan Industri Kakao

Identifikasi Anggota Rantai Pasok

Pemetaan Struktur Rantai Pasok

Mekanisme Antar

Anggota Rantai Pasok

Aliran

Barang

Aliran

Informasi

Aliran

Uang

Upaya Perbaikan

Konfigurasi Manajemen Rantai Pasok

Rekomendasi Rantai Pasok yang mendukung

Berkembangnya Industri pengolahan kakao

Page 59: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

41

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati

(Moleong 2002).

Hasil dan Pembahasan

Identifikasi Anggota rantai pasok kakao Sulawesi Selatan

Anggota rantai pasok kakao Sulawesi Selatan meliputi: Petani; Kelompok

tani atau koperasi tani; Buying Station yang merupakan kepanjangan tangan

Eksportir atau industri pengolah kakao; Pedagang Pengumpul tingkat desa;

Pedagang Pengumpul tingkat Kabupaten ; Pedagang besar; Broker atau makelar

yang berperan sebagai perantara antara pedagang daerah yang tidak memiliki

hubungan langsung dengan eksportir; Eksportir; Industri pengolahan kakao (semi

finished product); dan confectionery atau industri makanan/minuman berbasis

coklat (finished product).

Petani sebagai pelaku utama dalam menghasilkan biji kakao memainkan

peran kunci dalam pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan.

Jenis biji kakao Sulawesi Selatan yang saat ini masih didominasi oleh biji yang

tidak difermentasi, nantinya akan menjadi permasalahan bagi industri pengolahan

kakao. Seperti diketahui, untuk menghasilkan produk cocoa cake dan cocoa

powder yang bercitarasa baik memerlukan biji kakao yang difermentasi (Wahyudi

et al. 2008). Dengan demikian perilaku petani yang lebih suka menghasilkan biji

kakao non fermentasi akan menjadi kendala pengembangan industri.

Aktivitas berkelompok bagi petani cukup efektif untuk menjawab tuntutan

skala ekonomi kegiatan pascapanen dan peningkatan posisi tawar terhadap pelaku

rantai pasok yang lainnya. Dalam kegiatan pascapanen seperti fermentasi, tingkat

optimal tumpukan biji kakao minimal adalah 60kg, sedangkan panen petani secara

individual biasanya lebih sedikit dari itu (Susanto 1994). Demikian juga untuk

proses pengeringan biji kakao jika menggunakan alat pengering mekanis

(berbahan bakar minyak) juga membutuhkan volume tertentu agar ekonomis yang

mana keadaan ini relatif sulit dipenuhi jika tidak berkelompok. Dalam kemitraan

antara eksportir/industri dan petani selalu mensyaratkan terbentuknya kelompok

atau koperasi tani. Namun, kondisi saat ini tidak seluruh petani bergabung dalam

kelompok tani atau koperasi, sehingga hanya sebagian kecil petani yang

memperoleh manfaat dan keuntungan dari berkelompok.

Aktivitas transportasi dan perdagangan kakao di pulau Sulawesi banyak

diperankan oleh pedagang pengumpul, pedagang besar di tingkat kabupaten serta

broker atau makelar di tingkat provinsi. Sementara untuk transportasi ke luar

pulau Sulawesi diperankan oleh eksportir dan industri pengolahan kakao baik

untuk bahan baku maupun barang jadi.

Aktivitas pengolahan kakao dilakukan oleh pabrik pengolah kakao dengan

berbagai tingkatan/skala. Paling tidak ada dua yaitu skala besar (perusahaan

multinasional) dan skala kecil/menengah yang ada di kabupaten-kabupaten.

Dibandingkan dengan besarnya potensi bahan mentah, ekspor produk olahan

kakao masih sangat rendah yaitu 6.345 ton pada 2009 (Gambar 10). Jumlah

produk yang di ekspor tersebut merupakan kontribusi dari lima industri

pengolahan di Sulawesi Selatan. Dari lima industri pengolahan di Sulawesi

Selatan, hanya satu perusahaan skala besar yang beroperasi dengan kapasitas

Page 60: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

42

penuh yaitu PT. Mars Symbioscience. Perusahaan ini memiliki daya saing tinggi

yang ditunjukkan dari produktivitas dan pangsa pasar luas serta didukung oleh

kapasitas modal yang kuat karena beraliansi dengan perusahaan multinasional.

Sementara untuk industri kecil/menengah berproduksi di bawah kapasitas

terpasang atau bahkan belum berproduksi.

Sumber: Dinas Perindag Prov. Sulawesi Selatan, 2010

Gambar 10 Ekspor kakao Sulawesi Selatan 2009

Keterangan : Volume (Ton), Nilai (Ribu US$)

Tidak ada industri confectionery (industri makanan berbasis coklat) skala

besar yang beroperasi di Sulawesi Selatan. Untuk industri skala kecil dan

menengah, Kementerian Perindustrian telah melaksanakan program bantuan

peralatan mesin pengolahan kakao hingga menghasilkan barang jadi siap

konsumsi. Untuk menjalankan program tersebut bekerjasama dengan Pemerintah

Daerah yang berperan menyediakan lahan dan bangunan pabrik. Industri hilir

kakao tersebut dikelola oleh kelompok tani atau koperasi lokal dan dibangun di

kabupaten di mana bahan baku dianggap memadai untuk memasok industri

tersebut.

Hasil survei lapangan terhadap program tersebut di 6 Kabupaten di Sulawesi

Selatan (Luwu Utara, Kota Palopo, Pinrang, Bone, Bulukumba dan Gowa)

menunjukkan kinerja yang belum baik. Dari tujuh pabrik yang direncanakan,

hanya satu yang melakukan percobaan produksi komersial, dua pabrik telah

melakukan ujicoba produksi, sedangkan yang lain masih dalam proses

pembangunan atau dibiarkan terurai karena peralatan yang belum lengkap atau

tidak sesuai spesifikasi.

133,254

6,345

313,631

22,376

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

Biji Kakao Kakao Olahan

Vo

lum

e (T

on)

dan

Nil

ai (

Rib

u U

S$

)

Page 61: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

43

Pemetaan Struktur Rantai Pasok

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan para pelaku rantai

pasok kakao dapat disusun struktur rantai pasok kakao Sulawesi Selatan. Struktur

rantai pasok kakao Sulawesi Selatan memiliki dua pola, yaitu pola perdagangan

umum dan pola kemitraan (Gambar 11). Jaringan pada pola perdagangan umum

lebih panjang, karena melibatkan lebih banyak pelaku perdagangan mulai dari

desa hingga tingkat provinsi secara berjenjang. Pola ini berlaku secara luas di

semua wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

KE

CA

MA

TA

ND

ES

AK

AB

UP

AT

EN

PR

OV

INS

IP

. JA

WA

/ LU

AR

NE

GE

RI

PETANI

KELOMPOK TANI /

KOPERASI

PEDAGANG

PENGUMPUL

DESA

PEDAGANG

PENGUMPUL

KECAMATAN

PEDAGANG

KABUPATEN

BROKER/

KOMISIONEREKSPORTIR

INDUSTRI

PENGOLAH

KAKAO

INDUSTRI

PENGOLAH

KAKAO

CONFECTIONERY

CONFECTIONERY

BUYING

STATIONBUYING

STATION

Gambar 11 Struktur rantai pasok kakao Sulawesi Selatan

Sementara itu, untuk pola kemitraan memiliki jalur lebih pendek karena

memiliki akses langsung ke eksportir atau industri pengolahan kakao yang

dijembatani oleh tempat pembelian (buying station) di desa setempat. Dalam satu

kabupaten hanya berkisar 1 sampai 2 unit buying station.

Pola kemitraan mampu memberikan harga beli kakao yang lebih baik

kepada petani karena berlaku transaksi yang transparan sesuai standar. Misalnya

digunakannya alat uji kadar air, timbangan digital, alat sampling yang memenuhi

standar. Selain itu, dalam pola kemitraan kakao yang dihimpun dari petani dapat

dikondisikan harus sudah difermentasi. Kakao fermentasi dikumpulkan dalam

suatu kelompok tani sehingga dapat mencapai volume tertentu yang dicatat dalam

suatu kontrak pembelian dengan eksportir atau industri pengolahan kakao.

Pengendalian perdagangan kakao terfermentasi sulit dicapai jika pola

perdagangan bukan kemitraan. Karena selama ini isu yang berkembang di

masyarakat bahwa harga tidak berbeda antara biji kakao fermentasi dan tidak

Page 62: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

44

fermentasi. Isu tersebut tidak sepenuhnya benar, karena harga sebenarnya berbeda

meskipun kecil (Rp1.500.00-2.000.00/kg). Sementara itu, kakao yang

diperdagangkan sebagian besar merupakan campuran dari berbagai tingkatan

mutu (baik sengaja dicampur maupun tidak), sehingga harga kakao fermentasi

akan mengikuti yang non fermentasi jika volumenya kecil.

Beberapa model kemitraan telah ditumbuh-kembangkan melalui fasilitasi

program pemerintah atau lembaga non pemerintah. Namun demikian, kerjasama

petani-eksportir/industri melalui model kemitraan belum berkembang pesat karena

minat kalangan eksportir atau industri untuk mengembangkan rantai pasok biji

kakao melalui pola kemitraan masih relatif terbatas.

Hendaknya kemitraan yang lebih luas dapat diterapkan dan didorong oleh

pemerintah baik pusat maupun daerah. Dari perkembangan kemitraan yang sudah

ada perlu penguatan dalam hal penyiapan petani agar mampu berorganisasi atau

berkelompok. Karena dengan berkelompok mereka dapat melakukan aktivitas

budidaya dan terutama pasca panen secara lebih efisien. Selain itu dengan

berkelompok petani menjadi lebih memiliki daya tawar tinggi terhadap pedagang

maupun industri dalam hal transaksi jual beli biji kakao. Kemitraan yang harus

dikembangkan dapat mengintegrasikan program pemerintah dalam mendukung

penguatan petani dengan program pihak CSR perusahaan swasta (eksportir/

industri kakao).

Mekanisme hubungan antar anggota rantai pasok

Hubungan antar anggota rantai pasok kakao dibagi menjadi empat aktivitas

yaitu: aktivitas menghasilkan biji kakao, perdagangan biji kakao, proses produksi

produk olahan kakao, dan distribusi.

Aktivitas Menghasilkan Biji Kakao

Petani dalam kegiatan budidaya menghasilkan biji kakao didukung oleh

pelaku lain yang memasok barang dan jasa yang sangat dibutuhkan. Pelaku

tersebut di antaranya: Pemasok input faktor (bahan tanam, pupuk, obat-obatan),

Penyuluh perkebunan, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan transportasi, ASKINDO

(Asosiasi Kakao Indonesia), dan APKAI (Asosiasi Petani Kakao Indonesia)

Sulawesi Selatan. Dari survei lapangan diketahui bahwa dukungan pelaku

pendukung terhadap petani kakao sebagian besar masih belum optimal kecuali

jasa transportasi dan pemasok input produksi (Tabel 6).

Aliran barang dan jasa dalam mendukung petani untuk menghasilkan biji

kakao ada yang bersifat langsung dan tidak langsung (Gambar 12). Kegiatan yang

sangat mendukung petani namun masih lemah adalah dukungan pemerintah dalam

penyuluhan. Peluang itu justru telah diambil oleh perusahaan dalam

mengembangkan kemitraan yang berkelanjutan untuk menjaga kontinuitas bahan

baku.

Page 63: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

45

Tabel 6 Bentuk dukungan dalam produksi biji kakao

Pendukung Barang/Jasa Dukungan Keterangan

Pemasok

input faktor

Pupuk, bibit,

pestisida

Positif. Kebutuhan akan pupuk, obat-

obatan, bibit dapat terpenuhi di

pasaran

Penyuluh

perkebunan

Jasa

penyuluhan,

teknologi

Belum optimal Penyuluh pemerintah belum

berfungsi karena faktor

kelembagaan dan pendanaan.

Lembaga

Pembiayaan

Jasa

keuangan,

uang

Belum optimal Hanya mendukung industri dan

pedagang, sedang untuk petani

belum ada skema pembiayaan

dari bank.

Perusahaan

transportasi

Jasa

transportasi,

Sangat

menunjang

Alat angkut untuk pengiriman

biji kakao antar daerah dan

ekspor selalu tersedia.

ASKINDO Fasilitasi, jasa

penyuluhan,

informasi

harga

Belum optimal Cakupan fasilitasi belum meluas,

di setiap kabupaten hanya satu.

APKAI Fasilitasi,

informasi

harga,

teknologi

Belum

berperan

Belum menjadi mitra petani

kakao dalam berbagi informasi.

Sumber: Survei dan Wawancara (Maret 2010)

Gambar 12 Aktivitas pendukung petani dalam menghasilkan biji kakao

Efektifitas dan kinerja penyuluhan kakao di suatu kabupaten akan

ditentukan oleh sejauhmana pemerintah setempat memprioritaskan pentingnya

penyuluhan untuk komoditas kakao. Meskipun kakao menjadi komoditas yang

memberikan kontribusi besar bagi perekonomian suatu kabupaten, namun masih

Page 64: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

46

banyak pemerintah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan yang belum

memberikan perhatian besar terhadap keberlangsungan kegiatan penyuluhan bagi

petani kakao. Padahal pemberiaan prioritas yang dibarengi alokasi budget

merupakan hal penting yang harus hadir dalam melangsungkan penyuluhan yang

memiliki kinerja baik dan efektif. Hal ini karena sistem kelembagaan penyuluhan

belum mantap (baik struktur organisasi maupun anggaran penyelenggaraannya).

Implementasi UU SP3K (Pasal 13 ayat 2) yang mengamanatkan bahwa lembaga

penyuluhan dibentuk sebagai lembaga struktural setingkat eselon II belum dapat

diterapkan pada seluruh kabupaten karena terkendala oleh: 1) PP 41/2007 tentang

Organisasi Perangkat Daerah (Pasal 21) yang membatasi besaran organisasi

perangkat daerah (SKPD) di kabupaten, serta 2) Permendagri No. 59/ 2007 (pasal

32 ayat 2 dan 3 tentang klasifikasi belanja urusan wajib dan pilihan) tidak

mencantumkan penyuluhan. Akibatnya, alokasi dana untuk kegiatan penyuluhan

mengalami kendala di legislatif. Jumlah SDM pelaksana penyuluh masih terbatas

dan sebagian dari mereka belum menguasai industri kakao. Sebagian besar

penyuluh di Badan Pelaksana Peyuluhan berasal dari keahlian non perkebunan

(Wawancara, 1-28 Maret 2010).

Aktivitas Perdagangan Biji Kakao

Dalam perdagangan biji kakao di Sulawesi Selatan umumnya dengan cara

transaksi spot. Transaksi ini dilakukan sebagai berikut, para petani di Makassar

memiliki akses langsung ke pedagang (pengumpul). Terdapat dua pola petani

dalam menjual hasil panen kakao, yaitu secara bebas (tanpa ikatan) dengan

pedagang dan melakukan penjualan kepada pedagang langganan karena terikat

pinjaman dengan pedagang yang bersangkutan. Adapun skema hubungan antar

pelaku perdagangan sebagaimana Gambar 13.

Gambar 13 Aktivitas perdagangan biji kakao

PETANI

PEDAGANG

PENGUMPUL PEDAGANG

BESAR

BROKER

EKSPORTIR INDUSTRI

DOMESTIK

INDUSTRI

LUAR NEGERI INDUSTRI

CONFECTIONERY

KONSUMEN

BUYING

STATION

Page 65: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

47

Aktivitas Produksi Kakao Olahan

Proses pengolahan kakao menjadi bahan setengah jadi dilakukan oleh

industri pengolah kakao (grinding). Mekanisme yang terjadi dalam industri

pengolahan meliputi: pengadaan bahan baku, barang modal, teknologi proses,

packaging, distribusi dan pamasaran.

Proses pengadaan bahan baku tergantung pada struktur rantai pasok yang

dipilih oleh industri. Jika ditentukan pola kemitraan menjadi pilihan maka

berbagai fasilitas atau sarana harus disiapkan untuk terpenuhinya kebutuhan

jaringan kemitraan. Misalnya, identifikasi pemasok (petani/kelompok tani) yang

potensial, sarana buying station, dll.

Pada proses pengadaan barang modal, hal yang paling penting untuk

diperhatikan adalah pemilihan teknologi proses pengolahan (Wahyudi et al. 2008).

Hal ini karena salah satu kelemahan negara sedang berkembang selama bertahun-

tahun adalah penguasaan teknologi proses yang berimplikasi pada mutu produk

akhir yang dihasilkan. Di sisi lain, tuntutan konsumen akan produk berbasis coklat

sudah sedemikian beragam mengharuskan industri mengaplikasikan teknologi

yang lebih customize agar lebih responsif. Pada industri skala besar di Sulawesi

Selatan telah menggunakan teknologi proses yang relatif canggih,

terkomputerisasi dan memiliki produktivitas tinggi. Dengan demikian produk

akhirnya dihasilkan sudah memenuhi standar baik nasional maupun internasional.

Sebaliknya teknologi proses yang digunakan oleh industri pengolahan kakao

skala kecil masih menggunakan teknologi yang sederhana dengan produktivitas

yang relatif rendah hasil produksi dalam negeri. Dari jenis aktivitas produksi

kakao olahan (Gambar 14) pada industri pengolahan kakao skala kecil di Sulawesi

Selatan, aktivitas yang dinilai kritis adalah pada teknologi pengempaan (pressing),

dan penggilingan (grinding). Hal ini ditunjukkan oleh mesin pengempa dan giling

yang hampir seluruhnya memiliki kinerja rendah bahkan gagal/rusak. Akibat dari

teknologi proses yang kurang memadai adalah produk akhir yang kurang

memenuhi standar. Hal ini membuat produk makanan (berbasis coklat) yang

dihasilkan juga kurang menarik dalam hal rasa.

Secara umum pengembangan industri pengolahan kakao skala kecil di

Sulawesi Selatan masih memiliki hambatan berupa: terbatasnya pasokan biji

kakao terfermentasi dari aspek kualitas dan kuantitas yang berkelanjutan;

kurangnya sumberdaya manusia yang memiliki etos kerja industri; pemasaran

produk masih bersifat lokal, dan manajemen manufaktur yang belum memiliki

kapasitas permodalan untuk operasional (Wawancara, Maret 2010).

Page 66: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

48

Gambar 14 Aktivitas produksi kakao olahan

Konfigurasi Rantai Pasok Kakao Sulawesi Selatan

Pengertian konfigurasi rantai pasok di antaranya adalah menentukan jumlah

tingkatan (tiers) dalam rantai pasok, mendefinisikan jenis unit yang terlibat di

setiap tingkatan, dan mengidentifikasi kendala spesifik untuk tingkat secara

keseluruhan (misalnya, jumlah pemasok diperlukan).

Pada dasarnya rantai pasok merupakan sistem terintegrasi yang terdiri dari:

a) entitas/pelaku, seperti pemasok, produsen, gudang, distributor, dan pengecer,

dan b) hubungan diantara entitas tersebut, karena mereka mengelola aliran

material dalam bentuk bahan baku, barang dalam proses, dan persediaan barang

akhir. Untuk mengoptimalkan kinerja sistem ini penting untuk

mengkonfigurasikan berdasarkan dinamika perubahan penawaran dan permintaan

di pasar.

Aliran Barang/jasa

Dalam manajemen rantai pasok masing-masing anggota rantai pasok tidak

hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan, melainkan juga urusan

eksternal yang menyangkut hubungan dengan perusahaan partner (Pujawan, 2005).

Page 67: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

49

Aliran barang pada rantai pasok kakao di Sulawesi Selatan meliputi biji kakao,

barang input faktor (seperti bibit, bahan tanam, pupuk, dan obat-obatan pembasmi

hama). Untuk aliran jasa meliputi: jasa penyuluhan, pendampingan, sekolah

lapang, dan transfer teknologi.

Pada aliran barang berupa biji kakao di Sulawesi Selatan terdapat beberapa

permasalahan sebagiamana diuraikan pada bahasan bab 4. Permasalahan tersebut

adalah hambatan dan beban biaya perjalanan karena faktor banyaknya pungutan.

Sementara itu, untuk aliran jasa penyuluhan, pendampingan, sekolah lapang, dan

transfer teknologi yang sudah berjalan adalah bentuk bantuan teknis yang

diberikan berupa lahan percontohan (demplot) dan tenaga fasilitator lapangan

yang dibayar oleh industri pengolahan kakao atau eksportir, baik secara sendiri-

sendiri maupun tergabung dalam asosiasi. Dengan adanya demplot tersebut petani

menjadi terbantu dalam peningkatan pengetahuan dan ketrampilan budidaya

kakao yang baik serta berkesempatan menjual produknya yang memenuhi standar

ke industri/eksportir dengan harga lebih baik dan transparan. Strategi yang

dilakukan industri kakao tersebut selain bertujuan meningkatkan mutu kakao yang

dihasilkan juga untuk menjaga terpenuhinya pasokan biji kakao.

Aliran Informasi

Aliran informasi dalam rantai pasok kakao meliputi: informasi harga,

informasi mutu, tagihan, kapasitas, kuota, status dan waktu pengiriman. Kinerja

aliran informasi pada rantai pasok dapat dilihat dari beberapa ukuran seperti:

keseimbangan dan transparansi informasi (Pujawan 2005), kecepatan dan

ketepatan/keakuratan informasi. Transparansi informasi menurut Laming et al.

(2001) adalah berbagi informasi biaya antara pelanggan dan pemasok, termasuk

data yang secara tradisional biasanya dirahasiakan oleh masing-masing pihak.

Tujuannya adalah untuk memungkinkan pelanggan dan pemasok bekerja sama

untuk mengurangi biaya. Dalam hal ini transparansi akan percuma jika tidak

dilakukan secara dua arah. Untuk itu transparansi informasi haruslah timbal balik,

selektif tetapi tidak selalu simetris.

Pada rantai pasok kakao di Sulawesi Selatan terdapat paling tidak ada tiga

keadaan yang mempengaruhi aliran informasi. Pertama, adanya ketergantungan

petani kepada pedagang karena ketidakseimbangan posisi tawar. Kebutuhan akan

modal untuk budidaya dan kebutuhan rumah tangga yang tidak bisa dipenuhi dari

pendapatan menyebabkan petani sangat mengandalkan pinjaman dari pedagang

meskipun dikenakan bunga pinjaman. Di beberapa daerah, pedagang juga

merangkap sebagai pemilik toko/warung yang menjual bahan kebutuhan rumah

tangga maupun sarana produksi pertanian, sehingga pinjaman petani bisa berupa

uang maupun barang. Pengembalian hutang petani akan diperhitung saat transaksi

hasil panen kakao.

Selama ini belum ada pihak yang dapat mengatasi persoalan keuangan

mikro petani dalam memenuhi kebutuhan dana untuk pembelian sarana produksi

maupun untuk kebutuhan rumah tangganya. Meskipun telah ada program

pemerintah yang dapat memberikan pinjaman kepada petani, namun kebanyakan

petani masih sulit mengaksesnya. Beberapa skema kredit mikro yang

dilaksanakan oleh Bank masih sangat sulit dijangkau oleh kemampuan petani

yang berpenghasilan tidak tetap.

Page 68: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

50

Kedua, terjadi distorsi informasi harga oleh pedagang untuk memperoleh

keuntungan lebih besar. Beberapa bentuk distorsi meliputi: perbedaan cara

penetapan harga, penerapan harga diferensial, dan tidak simetrinya aliran

informasi. Meskipun harga dunia mempengaruhi harga di Makasar, tetapi banyak

daerah kabupaten terutama di desa-desa sentra produksi kakao tidak merasakan

dinamika harga. Harga dunia yang diacu oleh Eksportir dan pedagang besar tidak

serta merta berpengaruh terhadap harga di tingkat desa yang diterapkan oleh

pedagang pengumpul desa kepada petani. Gejolak harga di tingkat petani relatif

kecil dibanding di tingkat eksportir dan pedagang besar. Hal ini karena adanya

beberapa cara penetapan harga patokan untuk perdagangan kakao. Biasanya

pelaku yang menghitung harga berlaku di Makasar adalah eksportir atau pedagang

besar, sedangkan pelaku perdagangan di tingkat kabupaten biasanya hanya

menerima saja informasi yang diterima.

Aliran informasi harga sering terdistorsi oleh kepentingan pedagang untuk

memperoleh keuntungan lebih besar jangka pendek. Penerapan harga diferensial6

(Price differential) yang berbeda dilakukan untuk memperoleh harga berlaku di

Makasar oleh beberapa pedagang kabupaten. Misalnya harga diferensial yang

sering digunakan adalah US$ 450/ton. Dari survei diketahui ada kemungkinan

pelaku (penentu harga) menggunakan harga diferensial untuk menambah

keuntungan dagang semata.

Selain itu, aliran informasi harga berlangsung tidak simetris antara kejadian

kenaikan dan penurunan harga. Pada saat terjadi penurunan harga, informasi cepat

sampai ke desa-desa sentra produksi kakao, namun pada saat terjadi kenaikan

harga, informasi dirasakan tidak lancar dan sering terjadi petani tidak mengetahui

kalau harga naik. Meskipun sudah ada bentuk penyearan informasi harga yang

bisa diakses oleh petani, harga yang belaku dalam transaksi lebih banyak

ditentukan pedagang. Hal ini karena adanya sistem pengikatan oleh pedagang

pengumpul kepada petani untuk memperoleh biji kakao dengan harga relatif

murah.

Ketiga, kurangnya pengawasan pemerintah dalam hal: kualitas/standar

mutu/SNI, proses transaksi, dan perilaku pedagang. Kualitas biji kakao yang

diperdagangkan dalam pola perdagangan umum masih rendah dengan kadar

kotoran yang relatif besar. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi kakao

Sulawesi Selatan yang terserang hama PBK7, selain itu banyak ditemukan biji

berukuran kecil akibat petani ditanamnya klon yang tidak unggul dan/atau kebun

yang tidak terawat.

Dalam perdagangan biji kakao pemerintah telah menerapkan Standard

Nasional Indonesia (SNI) tentang biji kakao. Penerapan standar telah dilakukan

oleh pedagang besar dan beberapa kelompok tani/koperasi yang menjalin

kemitraan dengan eksportir atau industri. Transaksi perdagangan telah

menggunakan alat pemeriksaan kualitas biji kakao seperti pemeriksa kadar air,

timbangan digital, dan alat sampling di tempat tersebut.

6 Harga diferensial adalah perbedaan harga yang dibebankan terhadap produk yang sama untuk segmen pasar

yang berbeda atau di wilayah geografis yang berbeda. 7 Hingga saat ini hama penggerek buah kakao (PBK, Conomorpha Cramella Snell) masih menjadi masalah

utama pada budidaya kakao di Indonesia. Buah yang terserang PBK sebagian atau seluruh bijinya lengket dan

biji yang lengket tersebut tidak dapat dipanen, kalau pun biji dapat dipanen akan terjadi penurunan mutu biji.

Page 69: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

51

Secara umum kualitas biji kakao yang dibeli langsung dari petani pada

dasarnya lebih baik daripada biji kakao dari pedagang pengumpul karena adanya

kecenderungan tercampurnya (baik sengaja maupun tidak) biji berkualitas baik

dengan yang kurang baik. Tindakan pencampuran biji kualitas baik (kadar air

rendah) dengan biji kualitas kurang (kadar air tinggi) dapat terjadi di berbagai

level rantai pasok. Untuk mengatasi ulah pedagang yang mencampur biji ini,

pihak eksportir maupun industri mempunyai cara dengan tidak langsung

menimbang biji kakao yang datang dari daerah, melainkan ditahan dulu selama

sehari, baru keesokan harinya ditimbang dan diperiksa kualitasnya. Selain itu,

eksportir juga menetapkan batas maksimal kadar air yang bisa diterima yaitu 10%.

Tindakan pencampuran biji kualitas baik dan buruk tersebut didorong oleh target

mengejar suatu komposisi mutu dan volume tertentu. Dengan demikian pada

akhirnya kakao yang keluar dari Sulawesi Selatan secara agregat memiliki mutu

yang cenderung rendah yag berdampak langsung pada pengembangan industri.

Untuk memperlancar arus informasi antara petani khususnya sebagai pihak

yang posisi tawarnya relatif rendah perlu dukungan sarana dan prasarana

komunikasi. Keberadaan alat komunikasi (telepon genggam atau telepon rumah)

di daerah sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan masih terbatas. Desa-desa

sentra kakao di Kabuapten Luwu Utara, Pinrang, Bone, dan Bulukumba banyak

yang tidak memiliki akses komunikasi.

Berdasarkan data lapangan sebagaimana diuraikan pada bahasan tentang

permasalahan perkakaoan, secara kuantitatif perhitungan inefisiensi rantai pasok

menyangkut aliran barang dan informasi adalah menyangkut kondisi jalan yang

rusak/buruk, adanya pungutan dan rantai perdagangan yang panjang untuk pola

perdagangan umum (Tabel 7). Nilai inefisiensi untuk kakao yang diangkut dengan

kendaraan darat sebesar Rp 2.044/kg. Inefisiensi ini menunjukkan penambahan

biaya yang harus ditanggung oleh pelaku perdagangan (bisa pedagang, petani atau

industri yang melakukan pengiriman barang secara inhouse).

Aliran Uang

Dalam rantai pasok kakao Sulawesi Selatan transaksi terjadi di antara pelaku

petani, pedagang, eksportir, broker, dan industri. Pola aliran uang yang terjadi

dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu petani sebagai pemasok dan kelompok

pelanggannya petani yaitu industri, eksportir dan pedagang. Dalam transaksi yang

terjadi, petani adalah pihak penerima harga (price taker) sementara kelompok

pelangganya petani menjadi pihak penentu harga (price setter). Hal ini

menunjukkan posisi tawar petani relatif lebih lemah karena beberapa faktor

seperti kurangnya akses modal, informasi, kurangnya akses, kecilnya volume

penjualan dan faktor lainnya. Sementara kelompok pelanggannya petani lebih

mengusasi akses informasi, modal, jaringan dan faktor lain yang mendukung

posisinya. Keadaan demikian sudah lama terjadi sebagaimana dilaporkan Lipsey

dan Chrystal (2011) dalam studi kasus kakao di Indonesia yang menunjukkan

bahwa proses pembelian biji kakao oleh agen-agen swasta dari petani yang

kemudian dijual di pasar dunia, dalam semua kasus para petani adalah sebagai

pihak price taker dan tidak dapat mempengaruhi harga yang mereka terima.

Page 70: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

52

Tabel 7 Perhitungan inefisiensi aliran barang

Kondisi Nilai inefisiensi Keterangan

Kondisi Jalan yang Buruk

Jalan desa yg tidak

memadai

Rp 150/kg Penggunaan angkutan yang kurang

efisien, Misal: Spd Motor bertarif Rp

50 ribu/200kg kakao (Rp250/kg). Jika

jalan memadai bisa dengan mobil

pickup dengan tarif Rp100/kg kakao.

Jalan poros rusak/belum

selesai diperbaiki

Rp36/kg Tambahan biaya transport akibat jalan

rusak/tambahan waktu tempuh.

Rp250ribu/truk (7 ton).

Pungutan

Retribusi kabupaten Rp100/kg Nilai retribusi kabupaten yang paling

tinggi diterapkan thd perdagangan

kakao di Sulsel

Askindo Rp50/kg

Pungutan tidak resmi diluar

retribusi (Jembatan

timbang, oknum petugas,

dan preman)

Rp 8/kg Nilai rata-rata dari pungutan di tiga

poros utama : Pare-pare – Makasar,

Bulukumba – Makasar, Polopo – Pare-

Pare senilai Rp50 ribu/trip

Rantai Perdagangan Panjang

Komisioner Rp1000/kg Komisioner memperoleh masing-

masing 2.5% dari Eksportir dan

Pedagang Besar (daerah).

Pedagang Besar Rp600/Kg Selisih antara harga dunia, diferensial

dan tingkat keuntungan wajar dari

pedagang.

Pedagang Pengumpul Rp100/kg Selisih harga akibat info harga yang

lebih rendah dan biaya transportasi

yang lebih efisien.

TOTAL INEFIENSI Rp 2 044/kg Nilai kerugian akibat inefisiensi

rantai pasok secara keseluruhan

Keterangan : Diolah berdasar data hasil survei di Kab. Luwu Utara, Pinrang, Bone dan

Bulukumba serta Makassar (Maret 2010).

Asumsi : Komoditas kakao diangkut dari kabupaten asal ke Makasar.

Dalam posisi sebagai price taker tersebut harga di tingkat petani (Farm

Gate Price = FGP) Sulawesi Selatan menjadi relatif rendah, kecuali pada petani

yang bermitra dengan eksportir/industri dan yang berada dekat akses pasar. FGP

seharusnya bisa ditingkatkan dengan menerapkan bisnis yang adil berdasarkan

usaha dan risiko yang ditanggung. Hal ini diperkuat penelitian Amoro et al.

(2012) yang membuktikan secara statistik bahwa peningkatan FGP justru akan

mengakibatkan peningkatan ekspor. Amoro et al. (2012) berargumen bahwa

kenaikan harga produsen yang menyesuaikan harga dunia akan mendorong

Page 71: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

53

pemeliharaan kebun dan peningkatan output. Sebaliknya, perbedaan yang tinggi

antara harga ekspor dan harga di tingkat petani akan menghambat petani untuk

mau dengan sepenuh hati berpartisipasi dalam produksi komoditi tersebut.

Berdasarkan data-data hasil survei di atas dapat dirangkum bahwa faktor

yang membuat rantai pasok kurang efisien antara lain: informasi harga, mutu

kakao, dan perilaku perdagangan. Perilaku perdagangan yang terjadi ditunjukkan

dengan penggunaan timbangan yang tidak standar oleh pedagang dan terjadinya

pola pinjam meminjam petani kepada pedagang. Secara kuantitatif

ketidakefisienan rantai pasok dapat dihitung dari selisih harga normal dan harga

yang terpengaruh faktor inefisiensi. Hasil perhitungan menunjukkan inefisiensi

rantai pasok mencapai Rp3.950/kg biji kakao (Tabel 8). Nilai inefisiensi tersebut

akan mengurangi harga yang diterima petani.

Tabel 8 Inefisiensi rantai pasok akibat informasi harga, mutu dan perilaku

perdagangan

Faktor inefisiensi Rp/kg Keterangan

Info Harga 2.500 Konsistensi fluktuasi harga dunia dan harga lokal.

Dengan harga antara asumsi diferensial sebesar US$

450/ton, maka rata-rata selisih harga dunia dg FGP

sebesar US$280/ton

Mutu 200 Penambahan kadar air sekitar 2% kadar air dengan

berbagai modus.

Timbangan 750 Pengurangan bobot timbangan dengan berbagai

modus sekitar 5%

Pinjaman 500 Pemberian harga yang lebih rendah dari harga

berlaku di Sulsel karena adanya ikatan pinjam

meminjam.

Total 3.950

Sumber data : Data hasil survei di Kab. Luwu Utara, Pinrang, Bone dan Bulukumba serta

Makassar (Maret 2010).

Upaya Perbaikan Rantai Pasok

Upaya perbaikan dalam literatur manajemen rantai pasok merupakan tahap

akhir dalam rekayasa ulang (reengineering) rantai pasok yang menurut Lambert

(1998) dalam Tunggal (2009) dilakukan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok

untuk mencapai daya saing. Rekayasa ulang terdiri dari tiga tahap utama yaitu

penemuan fakta-fakta, identifikasi area-area dimana proses bisnis berupa aliran-

aliran dalam rantai pasok terjadi hambatan, dan tahap terakhir perbaikan kreatif.

Pada upaya perbaikan secara kreatif Diaz dan Rodriguez (2006) membagi

dua pendekatan, yaitu kemampuan internal (internal capabilities) dan kemampuan

relasi (relational capabilities). Pendekatan kemampuan internal perlu mengetahui

keunggulan kompetitif perusahaan, sementara pendekatan kemampuan relasi perlu

keunggulan asosiatif. Karena obyek penelitian ini mengarah pada pengembangan

industri kakao secara umum, tidak satu persatu perusahaan, maka analisis upaya

perbaikan difokuskan pada pendekatan kemampuan relasi.

Page 72: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

54

Upaya perbaikan kemampuan relasi menurut Diaz dan Rodriguez (2006)

perlu mengembangkan konsep integrasi, yaitu suatu perspektif yang lebih

mengarah pada pendekatan relasional. Rosenzweig et al. (2003) berbicara dalam

konteks rantai pasok dapat dibagi menjadi empat macam kemungkinan integrasi

yang mencerminkan keterkaitan antara berbagai elemen rantai pasok: 1) integrasi

dalam organisasi itu sendiri; 2) integrasi dengan pemasok bahan baku; 3) integrasi

dengan distributor dan pengecer, dan 4) integrasi dengan konsumen akhir.

Upaya perbaikan tersebut di atas dapat dilakukan oleh masing-masing

organisasi/perusahaan yang menghadapi hambatan dalam rantai pasoknya maupun

oleh pemerintah sebagai pihak yang memiliki kepentingan yang lebih luas yaitu

mendukung perbaikan kinerja rantai pasok pada industri yang dikembangkan

untuk mencapai daya saing. Berdasarkan hasil serangkaian FGD di empat

kabupaten dihasilkan rumusan upaya perbaikan mengatasi hambatan (Tabel 9).

Tabel 9 Upaya perbaikan rantai pasok

Fakta Hambatan Perbaikan

Aliran Barang

- Rantai panjang

- Kemitraan terbatas

- Mutu Biji kakao tidak

menjadi orientasi

perdagangan

- Trade off dengan

pemerataan pendapatan

- Daya tarik petani bagi

industri/ eksportir

- Kurangnya penerapan dan

kontrol kualitas

- Memperluas kemitraan

/integrasi industri dan

petani

- Perbaikan Infrastruktur

jalan ke sentra produksi

- Peran pengawasan

perdagangan

Aliran Informasi

- Keseimbangan

informasi

- Transparansi informasi

- Ketepatan informasi

- Petani kurang akses

informasi

- Posisi tawar petani

rendah

- Perluasan akses informasi

- Penguatan kelompok tani

Aliran Uang

- FGP rendah

- Petani kesulitan akses

modal.

- Posisi tawar petani

rendah

- Kurangnya akses modal

skala kecil menengah.

- Memperluas kemitraan

- Perluasan akses modal

kepada petani

Sumber: diolah dari hasil FGD di Kab. Luwu Utara, Pinrang, Bone dan Bulukumba

Dari fakta-fakta yang diuraikan di atas terlihat ada hambatan yang

mempengaruhi beberapa aliran, seperti posisi tawar petani yang rendah

mempengaruhi transparansi informasi dan akses modal. Dalam hal aliran barang

yang bisa diupayakan di antaranya: memperluas kemitraan, perbaikan

infrastruktur jalan ke sentra produksi, dan peran pengawasan perdagangan. Dalam

aliran Informasi upaya yang harus dilakukan melalui perluasan akses informasi

dan penguatan kelompok tani. Sementara untuk aliran uang penting untuk

memperluas kemitraan, dan perluasan akses modal kepada petani.

Dari alternatif perbaikan rantai pasok ini terlihat upaya perluasan kemitraan

menjadi cara yang dapat mengatasi hambatan di semua aliran. Hal ini dapat

dibuktikan dari diferensiasi harga di tingkat petani yang berbeda antara jaringan

Page 73: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

55

rantai pasok biasa dengan jaringan kemitraan. Beragam diferensiasi harga tersebut

tercatat dari survei di beberapa kabupaten sebagai berikut (lihat Tabel 10).

Di Kabupaten Luwu Utara FGP mencapai Rp20.000/kg biji kering sesuai

standar SNI. Harga tersebut adalah harga yang diterima petani anggota Koperasi

yang menjalin kerjasama dengan Eksportir. Sementara itu, harga yang diberikan

oleh jaringan pasok umum Rp18.000/kg. Di Kabupaten Pinrang, petani yang

berada dekat ibukota kabupaten biji kakao petani dibeli pedagang pengumpul

dengan harga Rp18.000–19.000/kg, meskipun volume kakao yang dijual petani

relatif sedikit. Sementara itu, di beberapa lokasi petani yang kebun kakaonya

sehat dan menghasilkan biji kakao dengan mutu terbaik, petani mendapat harga

Rp24.000/kg. Di Bulukumba, beberapa kelompok tani yang telah menerapkan

teknik budidaya sambung samping dapat menjual biji kakao dengan harga

Rp24.000/kg untuk biji kakao mutu baik (setelah dilakukan sortasi) dan hanya

Rp22.000 bila tidak disortasi. Sebagaimana terjadi di Luwu Utara, untuk kualitas

biji kakao yang sama, harga yang diterima petani dengan kemitraan lebih tinggi

11% dari pada harga yang berlaku pada jaringan rantai pasok umum (Wawancara,

1-28 Maret 2010).

Tabel 10 Perbandingan harga tingkat petani yang berlaku di beberapa kabupaten

di Provinsi Sulawesi Selatan

Kabupaten Harga kakao rata-rata (Rp/kg)

Sumber data Pola umum Pola kemitraan

Luwu Utara 18.000* 20.000** Pedagang besar kab. dan

koperasi/kelompok tani

Pinrang 18.000* 24.000** Pedagang pengumpul kab

Bone 17.000* na Pedagang besar kab.

Bulukumba 17.000* 24.000** Pedagang besar kab. dan

kelompok tani Catatan : * Harga biji kakao tanpa sortasi

** Harga biji kakao kualitas tinggi hasil sortasi

Dari Tabel 10 dapat dihitung perbedaan FGP antara pola perdagangan umum

dengan pola kemitraan menunjukkan selisih sebesar 22%. Artinya pola kemitraan

akan memberikan harga yang diterima petani lebih tinggi 22% dibanding pola

umum.

Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai inefisiensi dalam pola

perdagangan umum kakao di Sulawesi Selatan mencapai Rp2.044/kg. Inefisiensi

ini merupakan tambahan biaya yang harus ditanggung oleh pelaku perdagangan

kakao. Sementara itu, nilai inefisiensi rantai pasok akibat distorsi informasi harga,

kakao dan perilaku pelaku perdagangan kakao mencapai Rp3.950/kg biji kakao.

Nilai inefisiensi tersebut akan mengurangi harga yang diterima petani.

Pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan dapat dicapai

dengan mengefektifkan dan mengefisienkan rantai pasok kakao. Membangun

Page 74: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

56

kemitraan dengan pemasok (petani atau koperasi/kelompok tani) merupakan

bentuk kegiatan yang secara bersama mengatasi dan memberdayakan pelaku pada

jaringan yang terlemah. Metode kemitraan yang diikuti sarana pelatihan demplot

di sentra produksi disertai fasilitator/penyuluh lapangan terbukti memberikan hasil

biji kakao berkualitas yang mendukung keberlanjutan (kuantitas dan kualitas)

pasokan biji kakao industri. Dengan pola kemitraan tersebut akan memberi

manfaat berupa harga pada tingkat petani lebih tinggi 22% dibanding pola umum.

Di sisi lain, pada pola perdagangan umum yang memiliki rantai lebih

panjang perlu diefisienkan melalui perbaikan mekanisme perdagangan yang lebih

adil dan transparan. Hal ini memerlukan dukungan kebijakan pemerintah dalam

hal menjaga standar timbangan (metrologi) dalam transaksi perdagangan.

Untuk mendukung kegiatan budidaya kakao yang menjamin produktivitas

dan mutu yang tinggi, perlu dukungan dari berbagai pelaku pendukung budidaya.

Sistem penyuluhan yang handal, serta pasokan input pertanian (bibit, pupuk dan

sarana lainnya) dari berbagai pelaku pendukung. Di samping itu, perluasan akses

permodalan bagi petani bisa dikombinasikan dalam kemitraan yang telah berjalan

antara industri/eksportir dengan kelompok petani selama ini melalui dorongan

pemerintah daerah terhadap lembaga keuangan atau perbankan untuk membuka

akses kredit bagi petani kakao.

Page 75: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

57

6 FAKTOR PENGGERAK (DRIVER) KINERJA

EFISIENSI DAN RESPONSIVITAS RANTAI PASOK

INDUSTRI KAKAO

Abstrak

Dalam literatur tentang kinerja rantai pasok, banyak sekali faktor yang dianggap

sebagai penggerak kinerja suatu rantai pasok. Paper ini memfokuskan pada faktor

penggerak kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok pada industri kakao.

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi driver yang relevan serta

mendekomposisinya menjadi sub-driver kinerja rantai pasok yang lebih

operasional. Driver yang teridentifikasi meliputi driver logistik dan driver lintas

fungsi. Driver logistik terdiri atas fasilitas, persediaan, dan transportasi,

sedangkan driver lintas fungsi meliputi sourcing dan informasi. Teknik

dekomposisi yang dikembangkan studi ini adalah dengan menggali berbagai

keputusan/strategi perusahaan yang paling cocok (strategic fit) terkait dengan

keseimbangan antara responsivitas dan efisiensi untuk mencapai daya saing.

Validasi terhadap hasil dekomposisi dilakukan dengan construct validity berdasar

konsepsi teoritis dan praktis yang telah dikembangkan penelitian ilmiah

sebelumnya. Hasil akhir penelitian pada bagian ini adalah tersusunnya kuesioner

untuk pengukuran kinerja rantai pasok industri dan kuesioner AHP untuk

pembobotan driver dan sub driver kepada pakar.

Kata kunci: driver kinerja, efisiensi, responsivitas, rantai pasok, industri kakao.

Pendahuluan

Salah satu aspek penting dan fundamental dalam manajemen rantai pasok

adalah manajemen kinerja dan perbaikan secara berkelanjutan. Untuk

menciptakan manajemen kinerja yang efektif diperlukan sistem pengukuran yang

mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik (Pujawan 2005). Namun

demikian, proses untuk memilih ukuran kinerja rantai pasok yang tepat cukup

sulit karena kompleksitas dari sistem yang dihadapi. Salah satu area yang paling

sulit dalam seleksi pengukuran kinerja rantai pasok adalah pengembangan sistem

pengukuran kinerjanya (Beamon 1999). Salah satu masalah dalam literatur

pengukuran kinerja rantai pasok adalah sangat beragamnya disain pengukuran.

Menurut Neely et al. (2005) penulis tentang pengukuran kinerja cenderung

berfokus pada aspek yang berbeda-beda dalam disain sistem pengukuran. Secara

umum, aspek pengukuran kinerja rantai pasok dapat dikaitkan dengan kualitas,

waktu, fleksibilitas dan biaya.

Pujawan (2005) mengajukan ukuran kinerja berupa pemilihan strategi rantai

pasok dalam efisiensi dan responsivitas (responsiveness). Strategi rantai pasok

harus tercermin pada kebijakan atau keputusan taktis rantai pasok. Yaitu

kebijakan atau keputusan mengenai di mana lokasi fasilitas akan didirikan,

bagaimana cara mengatur dan mengendalikan sistem produksi, bagaimana

kebijakan-kebijakan tentang persediaan dan transportasi, supplier yang bagaimana

Page 76: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

58

yang akan dipilih, dan kebijakan mengenai pengembangan produk harus

bersinergi dengan strategi rantai pasok.

Sistem pengukuran kinerja rantai pasok yang diajukan Pujawan (2005)

dikembangkan pula oleh Chopra dan Meindl (2007) dengan menguraikan secara

lebih mendalam terhadap driver (penggerak) kinerja rantai pasok. Menurut

Chopra dan Meindl (2007) penggerak kinerja rantai pasok terdiri dari: Fasilitas,

persediaan, transportasi, sourcing, informasi dan harga.

Ukuran kinerja rantai pasok dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori

umum yaitu: ukuran kualitatif seperti „baik‟, „kurang‟, „adil‟, „puas‟, „kualitas‟,

dll; dan ukuran kuantitatif seperti delivery lead time, supply chain response time,

fleksibilitas, pemanfaatan sumber daya, kinerja pengiriman, dll (Neely et al. 1995,

2005 ).

Menurut Beamon (1996) ada sejumlah karakteristik dalam sistem

pengukuran kinerja yang efektif, dan karena itu dapat digunakan untuk evaluasi

sistem pengukuran kinerja. Karakteristik tersebut meliputi: inklusifitas

(pengukuran semua aspek terkait), universalitas (memungkinkan untuk

perbandingan pada berbagai kondisi operasi), terukur (data yang terukur), dan

konsistensi (tindakan yang sesuai dengan tujuan organisasi). Selain itu,

benchmarking merupakan metode penting yang digunakan dalam evaluasi

mengukur kinerja. Benchmarking berfungsi sebagai sarana untuk mengidentifikasi

peluang perbaikan.

Berdasarkan acuan penelitian terkait di atas, penelitian pada bagian ini

bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor penggerak atau yang disebut driver

kinerja rantai pasok yang ditinjau dari aspek efisiensi dan resposivitas.

Selanjutnya, kedua aspek ini perlu didekomposisi menjadi ukuran yang lebih

operasional agar dapat diukur kinerjanya secara sistematik. Selain itu,

dekomposisi akan menyediakan sejumlah indikator yang mempermudah

interpretasi bagi upaya langsung untuk perbaikan kinerja rantai pasok oleh

perusahaan atau upaya tidak langsung untuk bahan perumusan kebijakan

pemerintah yang mendukung perbaikan kinerja rantai pasok. Ukuran kinerja yang

dikembangkan penelitian ini menggunakan pengukuran kualitatif sebagaimana

Neely et al. (1995; 2005) yang terdiri ukuran-ukuran yang lebih mudah untuk

dicari dibanding ukuran secara kuantitatif.

Tinjauan Pustaka

Kerangka Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Kerangka pemikiran model pengukuran kinerja rantai pasok dari aspek

efisiensi dan responsivitas dikembangkan dari model Chopra dan Meindl (2007)

sebagai strategi rantai pasok dengan tujuan mencapai daya saing (Gambar 15).

Dari skema pada gambar tersebut terlihat bahwa penentuan strategi rantai pasok

berawal dari pemilihan strategi dalam menjaga keseimbangan antara responsivitas

dan efisiensi rantai pasok. Untuk mencapai tujuan, suatu perusahaan harus mampu

menata atau menstrukturkan kombinasi dari tiga penggerak logistik dan tiga

penggerak lintas fungsi. Masing-masing penggerak tersebut adalah: fasilitas atau

infrastruktur, inventori dan transportasi untuk penggerak logistik, serta informasi,

sourcing, dan harga untuk penggerak lintas fungsi.

Page 77: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

59

Strategi Daya Saing

Strategi Rantai Pasok

Fasilitas

Informasi Pengadaan Harga

Struktur Rantai Pasok

Driver Lintas Fungsi

Persediaan Transportasi

Efisiensi Responsivitas

Driver Logistik

Gambar 15 Kerangka desain rantai pasok menurut Chopra & Meindl (2007)

Selanjutnya setelah titik keseimbangan trade-off antara responsivitas dan

efisiensi ditentukan, maka perlu identifikasi hal-hal yang menjadi penyusun peran

setiap driver kinerja rantai pasok dalam strategi daya saing perusahaan.

Keterkaitan daya saing dan rantai pasok telah dikembangkan World Bank

(2005) dengan menekankan pengertian daya saing sebagai kemampuan

perusahaan untuk memperoleh pendapatan yang cukup untuk membayar tenaga

kerja yang dipekerjakan dan modal. Jika suatu perusahaan kompetitif, maka dapat

berinvestasi untuk memperluas, berinovasi, dan menyesuaikan diri dengan

perubahan pasar. Lebih lanjut daya saing tergantung pada struktur biaya dan harga

serta kinerja lembaga-lembaga lain yang menyediakan input dan jasa. Karena

perusahaan-perusahaan yang terkait dengan masukan jauh atau pasar produk

sering sangat tergantung pada perusahaan-perusahaan lain dan daya saing sektor

publik mungkin perlu dianalisis untuk kelompok perusahaan dengan kegiatan

yang saling terkait.

Daya Saing tergantung pada rantai perusahaan yang secara bersama-sama

menghasilkan, mengumpulkan, memproses, mengakut, dan menjual produk.

Rantai pasok menyediakan jaringan pasar yang menjamin pasokan, kualitas, dan

keamanan produk pertanian. Kinerja rantai pasok tergantung pada kerjasama yang

efektif dan koordinasi antara semua mitra dalam rantai pasok (World Bank, 2005).

Konsep Efisiensi dan Responsivitas dalam Model Kinerja Rantai Pasok. Terdapat dua konsep utama dalam model kinerja rantai pasok ini yaitu

efisiensi dan responsivitas. Masing-masing memiliki karakteristiik yang berbeda

sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh perusahaan.

Page 78: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

60

Efisiensi Rantai Pasok Umumnya, efisiensi diukur dengan rasio tingkat output yang dihasilkan

dengan tingkat input yang dikonsumsi untuk menghasilkan output tersebut.

Konsep ini dapat diterapkan baik sistem fisik maupun non fisik. Sistem Fisik

misalnya mesin mobil yang mengubah energi dalam bahan bakar yang dikonsumsi

oleh mesin menjadi tenaga kuda yang dihasilkan oleh mesin untuk mendorong

roda kendaraan. Sedang sistem non fisik misalnya dalam bisnis, konversi dari

nilai input (tenaga kerja, bahan, dan biaya pengoperasian aset fisik seperti pabrik

atau gudang) ke dalam pendapatan dari penjualan. Oleh karena itu, efisiensi rantai

pasok yang diberikan berfokus pada seberapa baik sumber daya yang digunakan

di seluruh rantai dalam memenuhi permintaan pelanggan.

Fisher (1997) dalam Ravindran dan Warsing (2012) menguraikan bahwa

kerangka konsep rantai pasok yang efisien lebih fokus pada minimalisasi biaya,

yaitu rantai pasok yang membutuhkan biaya input lebih kecil untuk menghasilkan

jumlah output yang lebih efisien. Oleh karena itu, langkah-langkah efisiensi

berfokus pada biaya yang meliputi: biaya bahan baku, biaya proses manufaktur,

biaya distribusi, biaya persediaan, biaya operasional fasilitas, biaya pengangkutan,

dan biaya penggudangan.

Responsivitas Rantai Pasok Responsivitas menurut Ravindran dan Warsing (2012) mengacu pada sejauh

mana kebutuhan dan harapan pelanggan terpenuhi, dan sejauh mana fleksibelitas

rantai pasok dapat mengakomodasi perubahan kebutuhan dan harapan. Dengan

demikian, dalam trade-off efisiensi-responsivitas yang diperkenalkan oleh Fisher

(1997) kerangka kerja yang dibahas berfokus pada seberapa besar responsivitas

yang bisa diterima pada tingkat biaya yang lebih tinggi (yaitu, efisiensi biaya yang

lebih rendah) dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk memenuhi dan

mengakomodasi kebutuhan pelanggan secara fleksibel (yaitu, respon yang lebih

tinggi). Ukuran umum responsivitas adalah antara lain: keandalan dan ketepatan

pemenuhan pesanan pelanggan, waktu pengiriman, variasi produk, waktu untuk

memproses permintaan pelanggan yang khusus atau unik, persen permintaan

pelanggan yang dipenuhi dari persediaan barang jadi dibandingkan dengan untuk

memesan dari bahan baku atau persediaan komponen.

Dalam sebuah perusahaan, trade-off antara responsivitas dan efisiensi dapat

terjadi menyangkut pertimbangan manfaat yang diberikan dan biaya untuk

memperolehnya (Hugos 2010). Tindakan suatu perusahaan untuk memilih lebih

responsif atau efisien menurut Chopra dan Meindl (2007) adalah suatu bentuk

strategi. Perbandingan keputusan/strategi untuk menjadi lebih responsif atau

efisien (Tabel 11) dari uraian Chopra dan Meindl sebagian besar memiliki kondisi

yang bertolak belakang (trade off).

Page 79: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

61

Tabel 11 Perbandingan rantai pasok efisien dan responsif

Atribut Rantai pasok efisien Rantai pasok responsif

Tujuan utama Biaya terendah dari supply demand Merespon permintaan secara cepat

Strategi desain produk Maksimisasi kinerja pada biaya

produk minimum

Rancang secara modular untuk

memungkinkan penundaan produk

Strategi penentuan

harga

Margin lebih rendah karena harga

menjadi penggerak utama bagi

pelanggan

Margin tinggi karena harga bukan

penggerak utama bagi pelanggan

Strategi manufaktur Biaya yang lebih rendah melalui

utilisasi tinggi

Mempertahankan fleksibilitas

kapasitas untuk penyangga permintaan

atau ketidakpastian pasokan

Strategi persediaan Minimisasi persediaan untuk biaya

lebih lebih rendah

Mempertahankan persediaan untuk

menangani ketidaktentuan permintaan/

penawaran

Strategi lead time Mengurangi, tapi tidak dengan

mengorbankan biaya

Mengurangi secara agresif, bahkan jika

biaya signifikan

Strategi supplier

Pilih berdasarkan biaya dan

kualitas

Pilih berdasarkan kecepatan,

fleksibilitas, keandalan, dan kualitas

Sumber : Dimodifikasi dari Fisher (1997) dalam Chopra dan Meindl (2007).

Driver rantai pasok menurut Hugos (2010) terbagi menjadi lima macam

yaitu: produksi, inventori, lokasi, transportasi, dan informasi. Kemampuan atau

kinerja rantai pasok dalam aspek responsivitas dan efisiensi bersumber dari

keputusannya terhadap lima driver rantai pasok tersebut. Meskipun memiliki

keserupaan dengan driver Chopra dan Meindl, ada perbedaan istilah yang

digunakan dalam driver rantai pasok Hugos (2010). Hugos tidak memasukkan

fasilitas sebagai driver melainkan langsung memasukkan elemen yang lebih

operasional yaitu produksi dan lokasi (Tabel 12). Tiga driver Hugos lainnya yaitu

inventori, transportasi dan informasi memiliki kesamaan dengan Chopra dan

Meindl (2007).

Tabel 12 Perbandingan keputusan/strategi efisiensi dan responsivitas menurut

driver rantai pasok (Hugos 2010)

No Driver Rantai

Pasok Efisiensi Responsivitas

1. Produksi • Sedikit Kelebihan kapasitas

• Fokus sempit

• Beberapa pabrik terpusat

• Kelebihan kapasitas

• Fleksibelitas proses

pengolahan

• Banyak pabrik skala kecil

2. Inventori • Tingkat persediaan rendah

• Jenis produk sedikit

• Tingkat persediaan tinggi

• Jenis produk bervariasi

3. Lokasi • Beberapa lokasi terpusat

dengan cakupan luas

• Banyak lokasi dekat

pelanggan

4. Transportasi • Pengiriman skala besar

• Lambat, namun murah

• Pengiriman sering, skala kecil

• Cepat dan fleksibel

5. Informasi • Biaya informasi turun

sementara biaya lain

meningkat

• Pengumpulan dan berbagi

informasi setiap waktu, data

yang akurat

Sumber : Diadopsi dari Hugos 2010

Page 80: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

62

Sementara itu, Ravindran dan Warsing (2012) menguraikan responsivitas

dan efisiensi rantai pasok berdasarkan sepuluh aspek berikut: permintaan, siklus

hidup produk, variasi produk, lead time pemenuhan pesanan, pemasok, produksi,

kapasitas, inventori, dan seleksi pasokan. Terhadap sepuluh aspek tersebut

Ravindran dan Warsing (2012) tidak menyebutkannya sebagai driver atau

penggerak, melainkan hal-hal yang terjadi dalam aktivitas rantai pasok.

Perbandingan dalam memilih strategi antara responsif atau efisien menurut

Ravindran dan Warsing (2012) didasarkan pada sifat atau keadaan yang dihadapi

terkait sepuluh aspek penting (Tabel 13).

Tabel 13 Perbandingan strategi efisiensi dan responsivitas menurut aspek dalam

rantai pasok (Ravindran dan Warsing 2012)

Aspek Rantai Pasok Efisiensi Responsivitas

Permintaan Konstan, berdasar ramalan Fluktuasi, berdasar order pelangga

Siklus hidup produk Panjang Pendek

Variasi produk Sedikit Banyak

Kontribusi keuntungan Rendah Tinggi

Lead time pesanan Lebih lama Cepat atau berdasar jatuh tempo

Pemasok Jangka panjang Menurut siklus hidup produk

Produksi Make to stock Assamble to order, make to order

Kapasitas Rendah Tinggi

Inventori Barang jadi Suku cadang, komponen,

Seleksi pasokan Biaya rendah, kualitas konsisten,

pengiriman tepat waktu

Flaksibel, pengiriman cepat, disain

kualitas berkinerja tinggi

Sumber : Diadopsi dari Ravindran dan Warsing (2012)

Konsep dekomposisi driver kinerja rantai pasok

Dalam mendekomposisi driver rantai pasok Copra dan Meindl (2007)

menguraikan driver menjadi beberapa sub-driver yang lebih operasional

berdasarkan keputusan-keputusan berkenaan dengan upaya meningkatkan kinerja

sub-driver tersebut. Adapun keputusan-keputusan tersebut diuraikan sebagai

berikut:

1. Fasilitas, yaitu lokasi fisik dalam jaringan rantai pasok dimana produk

disimpan, dirakit, atau dibuat. Ada dua jenis fasilitas yang utama, yaitu lokasi

produksi dan lokasi penyimpanan. Keputusan mengenai pentingnya

pengelolaan fasilitas, lokasi, kapasitas, dan fleksibilitas dari fasilitas memiliki

dampak yang signifikan terhadap kinerja rantai pasok. Komponen dari

keputusan mengenai fasilitas menurut Chopra dan Meindl (2007) adalah

sebagai berikut: a) Lokasi. Penentuan keputusan dimana suatu perusahaan

menentukan lokasi fasilitasnya merupakan bagian yang sangat penting dalam

langkah mendisain rantai pasok. Penentuan lokasi secara ekonomis,

sedangkan penentuan lokasi secara desentralisasi akan menjadi lebih

responsif dalam permintaan konsumen; b) Kapasitas. Perusahaan juga harus

menetukan seberapa kapasitas dari fasilitas yang dimiliki oleh perusahaan

tersebut. Sejumlah besar kapasitas akan menjadikan perusahaan tersebut

Page 81: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

63

menjadi lebih responsif, demikian pula sebaliknya. c) Metode operasi. Adalah

upaya perusahaan bagaimana memproduksi barang, apakah mesin yang

dipakai untuk membuat produk itu bersifat fleksibel, maksudnya adalah mesin

tersebut juga dapat pula digunakan untuk membuat produk yang lain

(responsive) yang biasanya mesin itu relatif mahal atau menggunakan mesin

yang hanya dapat membuat satu macam produk saja (efisien); d) Warehouse

methodology terdiri dari: Stock Keping Unit (SKU) Storage. Yaitu gudang

tradisional yang menyimpan segala macam produk dalam satu tempat; Job Lot

storage, yaitu suatu metode penyimpanan persediaan dimana semua produk-

produk yang berbeda dibutuhkan untuk suatu pekerjaan khusus atau

memuaskan konsumen tipe khusus, disimpan bersama-sama; Crossdocking,

yaitu sebuah metode, dimana barang sebenarnya tidak disimpan dalam

fasilitas (gudang) perusahaan. Tiap-tiap truk dari pemasok barang membawa

jenis barang pesanan yang berbeda-beda yang diangkut menuju fasilitas

perusahaan. Dari sana kemudian dipecah menjadi bagian-bagian kecil dan

dengan cepat diangkut ke retailer menggunakan truk-truk yang berisi

barang-barang yang beragam dari truk-truk sebelumnya.

2. Persediaan. Meliputi persediaan bahan baku, persediaan dalam proses8, dan

barang jadi dalam rantai pasok. Persediaan merupakan salah satu penggerak

rantai pasok yang penting karena perubahan kebijakan persediaan dapat

mengubah secara drastis tingkat responsivitas dan efisiensi rantai pasok

(Chopra dan Meindl 2007). Komponen keputusan mengenai inventori adalah:

a) Cycle Inventory. Adalah jumlah rata-rata dari persediaan yang digunakan

untuk memenuhi permintaan dalam suatu waktu; b) Safety Inventory. Adalah

persediaan yang dibuat untuk berjaga-jaga terhadap perkiraan akan kelebihan

permintaan. Ini digunakan untuk mengatasi ketidak pastian akan permintaan

yang tinggi; c) Seasional Inventory. Adalah persediaan yang dibuat untuk

mengatasi keragaman yang dapat diprediksi dalam permintaan. Perusahaan

ynag menggunakan seasional inventory akan membangun persediaan mereka

pada periode permintaan akan barang rendah dan menyimpannya untuk

periode permintaan akan barang menjadi tinggi, dimana pada saat permintaan

tinggi dimana mereka tidak dapat memproduksi semua barang untuk

memenuhi permintaan.

3. Transportasi. Adalah kegiatan memindahkan persediaan dari titik ke titik dalam

rantai pasok. Transportasi terdiri atas banyak kombinasi dari model dan

bentuk yang memiliki keunggulan masing-masing. Pemilihan transportasi juga

mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat responsivitas dan efisiensi

rantai pasok (Chopra dan Meindl 2007). Komponen dari keputusan mengenai

transportasi menurut Chopra dan Miendl (2007) adalah sebagai berikut: a)

Moda transportasi. Adalah cara-cara dimana sebuah produk dipindahkan dari

satu lokasi dalam jaringan rantai pasok ke tempat lainnya; b) Rute dan Pilihan

Jaringan. Rute adalah jalur jalan dimana sebuah produk dikirimkan, sedangkan

jaringan adalah sebuah kumpulan lokasi dan rute dimana produk dapat

dikirimkan. Perusahaan membuat beberapa keputusan mengenai rute pada

8 Persediaan dalam proses (Work in Process Inventory) terdiri dari bahan dalam berbagai tahapan pembuatan

atau perakitan. Dalam hal ini bisa terdiri dari produk setengah jadi hasil pertanian di berbagai tahap proses

produksi. Biasanya, output dari satu tahap dalam sebuah jalur perakitan adalah masukan untuk tahap

berikutnya. (Narayan, P. and J. Subramanian 2009)

Page 82: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

64

saat langkah mendisain rantai pasok; c) In house atau outsource. Secara

tradisional, kebanyakkan fungsi transportasi dilakukan oleh perusahaan

sendiri, namun pada saat ini banyak yang telah dilimpahkan ke perusahaan

lain (outsorced).

4. Informasi. Informasi terdiri dari data dan analisis berkaitan dengan fasilitas,

persediaan, transportasi, dan pelanggan di seluruh rantai pasok. Dengan

informasi memungkinkan pihak manajemen berkesempatan untuk membuat

rantai pasok menjadi lebih responsif dan efisien. Informasi secara potensial

adalah penggerak terbesar kinerja rantai pasok (Chopra dan Meindl 2007).

Komponen dari keputusan informasi menurut Chopra dan Meindl (2007)

adalah sebagai berikut: a) Push versus Pull. Sistem push biasanya

menggunakan MRP (Material requirement Planning) untuk jadwal produksi,

jadwal kepada pemasoknya untuk menetukan kapan, jenis dan banyak barang

yang dikirimkan ke perusahaan, sedangkan tipe pull menggunakan

informasi atas permintaan aktual konsumen, sehingga perusahaan dapat dengan

tepat memenuhi permintaan tersebut; b) Koordinasi dan Sharing informasi.

Koordinasi dari rantai pasok terjadi ketika semua tingkat-tingkat dari rantai

pasok bekerja menuju tujuan yaitu memaksimalkan keuntungan total rantai

pasok di bandingkan dengan bekerja sendiri-sendiri. Kekurangan koordinasi

berpengaruh pada kerugian yang besar atas keuntungan supply chain. Ini bisa

dilakukan dengan pertukaran data antara tiap-tiap bagian dalam rantai pasokitu

sendiri; c) Forecasting and Aggregate Planning. Forecasting (peramalan)

adalah suatu ilmu pengetahuan dan seni untuk membuat rencana mengenai

kebutuhan masa depan dan kondisinya. Forecasting ini digunakan dalam

pengambilan keputusan. Setelah melakukan peramalan, perusahaan membuat

aggregate planning yaitu mengubah peramalan menjadi rencana aktivitas untuk

memenuhi permintaan yang telah diperhitungkan. d) Enabling Technologies.

Untuk mencapai sharing informasi dan integrasi dalam rantai pasok terdapat

beberapa teknologi yang digunakan yaitu: Electronic Data Interchange (EDI).

EDI memungkinkan perusahaan menjadi lebih efisien, juga menurunkan waktu

yang dibutuhkan produk untuk sampai kepada konsumen, transaksi menjadi

lebih akurat dan lebih cepat dibandingkan tanpa EDI; Internet. Internet sendiri

mendukung penggunaan EDI. Dengan internet maka EDI menjadi lebih efektif

untuk kinerja rantai pasok; Enterprise Resources Planning (ERP) system.

Sistem ERP ini menyediakan pelacakan transaksi dan kemampuan melihat

secara keseluruhan atas informasi dari tiap-tiap bagian perusahaan dan

memungkinkan rantai pasok membuat keputusan yang „cerdas‟; Supply Chain

Management (SCM) Software. Yaitu program perangkat lunak yang

menyediakan dukungan terhadap analisis keputusan dalam hal penambahan

kemampuan melihat secara keseluruhan informasi yang ada.

Metodologi Penelitian

Kerangka Penelitian

Penelitian pada bagian ini mengacu pada kerangka dekomposisi driver

kinerja rantai pasok aspek efisiensi dan responsivitas (Gambar 16). Identifikasi

driver kinerja rantai pasok penelitian ini didasari oleh tujuan untuk mencapai daya

saing rantai pasok industri.

Page 83: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

65

Gambar 16 Kerangka dekomposisi driver kinerja rantai pasok aspek esisiensi dan

responsivitas

Identifikasi Driver Kinerja Rantai Pasok

Pengukuran kinerja rantai pasok dalam penelitian ini diorientasikan untuk

pencapaian daya saing yang merupakan tujuan utama dari suksesnya pengelolaan

rantai pasok. Untuk mencapai tujuan daya saing tersebut suatu perusahaan harus

memiliki kinerja terbaik yang dalam hal ini dapat dilihat dari driver (penggerak)

kinerjanya. Driver kinerja rantai pasok sebagaimana Chopra dan Meindl (2007)

dan Hugos (2010), paling tidak terdiri dari fasilitas, inventori, trasnportasi,

informasi, dan sourcing.

Dekomposisi Driver Rantai Pasok

Mengingat driver rantai pasok yang ada masih bersifat relatif abstrak, maka

perlu dilakukan dekomposisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian

dekomposisi adalah proses pemecahan atau berubahnya sesuatu bentuk atau

karakter menjadi lebih sederhana. Dalam penelitian ini dekomposisi driver kinerja

rantai pasok dilakukan untuk memperoleh unit analisis yang lebih operasional dan

terukur dengan jelas.

Teknik dekomposisi yang dikembangkan penelitian ini dilakukan dengan

menggali faktor-faktor keputusan/strategi dari setiap sub-driver rantai pasok

sebagaimana diuraikan dalam Chopra dan Meindl (2007). Dalam mendekomposisi

driver kinerja rantai pasok Chopra dan Meindl (2007) mengacu pada strategi yang

Identifikasi Driver Kinerja Rantai Pasok

Strategi Rantai Pasok

Trade-off dalam Struktur Rantai

Pasok

Dekomposisi Driver dan Sub Driver Kinerja Rantai Pasok (Studi Pustaka dan Pendapat Pakar)

Efisiensi Responsivitas

• Fasilitas • Inventori • Trasnportasi • Informasi • Sourcing

• Fasilitas • Inventori • Trasnportasi • Informasi • Sourcing

Sub Driver Kinerja Responsivitas Rantai Pasok

Sub Driver Kinerja Efisiensi

Rantai Pasok

Tujuan Daya Saing Rantai Pasok

Penyusunan Instrumen Pengukuran Kinerja Rantai

Pasok

Penyusunan Instrumen Pembobotan

(AHP)

Kuesiosner Pakar Pembobotan Driver dan

Sub Driver

Kuesioner Industri Pengukuran Kinerja Ranta

Pasok

Page 84: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

66

paling sesuai (Strategic fit) untuk mencapai keseimbangan antara responsivitas

dan efisiensi terbaik yang bisa dilakukan perusahaan sebagai strategi bersaingnya.

Selain itu, penelitian ini juga melakukan dekomposisi dengan mengacu pada

penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya terkait driver dan sub-

driver kinerja rantai pasok. Hasilnya dapat teridentifikasi lebih dari 27 jurnal dan

beberapa disertasi yang dapat dijadikan acuan dalam mendekomposisi terkait

driver dan sub-driver kinerja terkait aspek efisiensi dan responsitas rantai pasok.

Penyusunan Instrumen Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Instrumen pengukuran kinerja yang disusun berupa kuesioner atau daftar

pertanyaan yang dilengkapi pilihan jawaban untuk mengumpulkan data dari

responden penelitian. Agar kuesioner mudah untuk dipahami dan diisi oleh

responden, maka pertanyaan dibuat dalam bahasa yang sederhana dan umum

dalam konteks industri kakao. Berkaitan dengan substansi kinerja rantai pasok

dari aspek efisiensi dan responsivitas yang relatif kompleks, maka data yang

ditanyakan adalah data kualitatif dengan skala pengukuran ordinal berupa Skor.

Skor yang digunakan mulai dari 1 sampai 9 yang menunjukkan pendapat tentang

keadaan atau kondisi dari setiap driver dan sub-driver kinerja rantai pasok yang

dinilai oleh pihak internal perusahaan.

Sebagaimana yang ada dalam penilaian dalam AHP, menurut Saaty (1983)

untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam

mengekspresikan pendapat. Dalam hal ini responden yang dituju bisa Manajer

Supply Chain maupun personil yang ditunjuk mewakili perusahaan. Kuesioner

yang telah disusun sebagaimana terlampir.

Secara statistik perbedaan variabel kuantitatif dan kualitatif adalah, variabel

kuantitatif diukur dalam skala pengukuran interval atau rasio. Variabel kuantitatif

dapat bersifat diskrit (variabel yang besarannya tidak dapat menempati semua

nilai dan pada umumnya diperoleh melalui pencacahan) atau kontinu (variabel

yang besarannya dapat menempati semua nilai yang ada diantara dua titik dan

biasanya diperoleh melalui pengukuran). Sedangkan variabel kualitatif adalah

variabel yang diukur dalam skala pengukuran nominal atau ordinal. Sebagaimana

diketahui, variabel yang datanya berskala ukur nominal atau ordinal ini tidak

memiliki satuan ukur. Variabel kualitatif pada umumnya juga dikenal sebagai

variabel kategori (Siagian dan Sugiarto 2006).

Untuk menjamin validitas instrumen, penelitian menggunakan validitas isi

(content) dari setiap pertanyaan. Validitas isi ialah derajat di mana sebuah tes

mengukur cakupan substansi yang ingin diukur. Untuk mendapatkan validitas isi

memerlukan dua aspek penting, yaitu valid isi dan valid teknik samplingnya.

Valid isi mencakup khususnya, hal-hal yang berkaitan dengan apakah butir-butir

itu menggambarkan pengukuran dalam cakupan yang ingin diukur. Dalam hal ini

substansi setiap pertanyaan bersumber dari hasil dekomposisi driver dan sub-

driver yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.

Page 85: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

67

Hasil dan Pembahasan

Analisis Efisiensi dan Responsivitas

Tujuan dari rantai pasok yang efisien adalah untuk mengkoordinasikan

aliran material dan jasa untuk meminimalkan persediaan dan memaksimalkan

efisiensi dari produsen dan penyedia layanan dalam rantai pasok (Li 2007). Model

rantai pasok efisien ini menurut Li (2007) merupakan model terbaik untuk

perusahaan yang menghadapi lingkungan di mana tuntutan pasar bisa diprediksi,

kesalahan peramalan rendah, siklus hidup produk panjang, jarang melakukan

pengenalan produk baru, variasi produk minimal, lead time produksi panjang dan

lead-time pemenuhan pesanan singkat. Disain rantai pasok yang efisien

menekankan pada biaya operasi rendah dan pengiriman tepat waktu.

Responsivitas suatu perusahaan menurut Daugherty dan Pittman (1995)

adalah tentang apa yang dilakukan perusahaan agar operasi perusahaan lebih

fleksibel dan memungkinkan untuk menjadi lebih tanggap terhadap permintaan

pelanggan. Penelitian Daugherty dan Pittman (1995) menunjukkan responsivitas

merupakan konsep kinerja yang berhubungan dengan interaksi pasar, sedangkan

fleksibilitas adalah kemampuan internal dalam menghadapi lingkungan eksternal.

Fleksibilitas menunjukkan kemampuan sistem operasi untuk menyerap gangguan,

sedangkan responsivitas menunjukkan seberapa baik sistem menghadapi

perubahan pasar. Fleksibilitas memungkinkan sistem untuk menyerap

ketidakpastian dengan berfungsi sebagai penyangga untuk menstabilkan proses

produksi.

Lebih lanjut Pujawan (2005) memerinci apabila suatu rantai pasok

mengutamakan efisiensi fisik maka semua keputusan pada aspek tersebut harus

mendukung. Kebijakan tentang lokasi fasilitas misalnya, akan berpengaruh besar

terhadap ongkos-ongkos fisik maupun kecepatan respon suatu rantai pasok. Oleh

karena itu, kebijakan lokasi tentu berbeda pada rantai pasok yang mengutamakan

efisiensi fisik dengan rantai pasok yang fokusnya pada responsivitas. Rantai pasok

yang mementingkan efisiensi fisik akan memilih mendirikan pabrik di tempat-

tempat yang biaya tenaga kerjanya murah atau dekat dengan bahan baku.

Konfigurasi dan pengelolaan sistem produksi juga menentukan efisiensi

maupun kecepatan respon suatu rantai pasok. Kecepatan respon akan dicapai jika

sistem produksinya fleksibel. Untuk menciptakan efisiensi fisik, utilitas sistem

produksi harus tinggi. Di sini konsep-konsep seperti lean manufacturing dan just

in time (JIT) akan sangat relevan untuk menciptakan efisiensi di lini produksi.

Selanjutnya, strategi persediaan juga besar pengaruhnya terhadap efisiensi

fisik dan kecepatan merespon pasar. Efisien pada rantai pasok bisa dicapai apabila

ada upaya untuk meminimumkan persediaan secara terus menerus. Salah satu

ukuran kinerja yang penting diukur adalah tingkat perputaran persediaan.

Sebaliknya, perubahan permintaan yang terjadi secara tiba-tiba pada produk-

produk inovatif membutuhkan rantai pasok untuk menyimpan cadangan

persediaan ekstra di tempat-tempat tertentu.

Sementara itu, menurut Chopra dan Meindl (2007) responsivitas rantai

pasok adalah kemampuan untuk dapat melakukan aktivitas seperti: merespons

berbagai jumlah permintaan; memenuhi lead time yang lebih pendek; menangani

Page 86: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

68

produk yang bervariasi; membangun produk yang inovatif; memenuhi tingkat

pelayanan tinggi; menangani ketidakpastian pasokan.

Sub Driver Rantai Pasok dari Aspek Efisiensi

Penilaian efisiensi rantai pasok terdiri dari 5 driver. Kelima driver tersebut

adalah fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi (Chopra dan

Meindl 2007). Kelima driver tersebut terdiri dari beberapa sub driver yang

merupakan faktor-faktor penentu efisiensi kinerja rantai pasok (Noor and Pitt

2009; Waller 2004; Lau et al. 2006).

A. Fasilitas

Sebagaimana dijelaskan di depan, driver fasilitas adalah berbicara tentang

lokasi fisik dalam jaringan rantai pasok dimana produk disimpan, dirakit atau

dibuat. Driver fasilitas dapat didekomposisi menjadi beberapa macam, di

antaranya Noor dan Pitt (2009) mengkaji tentang manajemen fasilitas dalam

kaitannya dengan penentuan keberhasilan suatu rantai pasok. Untuk mengukur

tingkat kualitas pengelolaan fasilitas, Noor dan Pitt (2009) menggunakan besaran

dana yang digunakan untuk perawatan fasilitas. Semakin besar dana yang

disediakan untuk perawatan fasilitas akan menjamin efisiensi fasilitas. Sementara

itu, fasilitas yang terjaga akan meningkatkan stabilitas produksi. Stabilitas

produksi dinilai oleh Waller (2004) sebagai salah satu penentu keberhasilan rantai

pasok. Lebih lanjut Waller (2004) berpendapat bahwa stabilitas produksi akan

memberikan kontribusi besar pada keberhasilan rantai pasok yang efisien.

Sedangkan Lau et al. (2006) telah membuktikan bahwa penggunaan teknologi

dalam rantai pasok mempengaruhi kinerja rantai pasok. Teknologi dalam berbagai

tingkat kecanggihan menjadi salah satu jenis fasilitas yang bisa lebih

mengefisienkan dan sekaligus lebih responsif terhadap pasokan dan permintaan.

Misalnya dengan menggunakan teknologi berupa alat nirkabel, yaitu WAP

(Wireless Application Protocol) adalah sebuah teknik layanan pesan yang

memungkinkan sebuah telepon genggam digital atau terminal mobile yang

mempunyai fasilitas WAP, melihat/membaca isi sebuah situs di internet dalam

sebuah format teks khusus), Bluetooth, WML (Wireless Markup Language), dan

lainnya akan dapat mendukung pelaksanaan pertukaran data antar perusahaan

menjadi lebih cepat dan lebih tanggap.

Kinerja rantai pasok produk hasil bumi sangat dipengaruhi oleh lokasi.

Kedekatan Fasilitas seperti tempat pengolahan (pabrik) dengan sumber bahan

baku memberikan kontribusi yang besar terhadap efisiensi rantai pasok (Siry et al.

2006). Menurut Siry et al. (2006) infrastruktur yang baik akan menunjang rantai

pasok semakin efisien. Dalam penelitiannya infrastruktur berkategori baik diukur

dapat dilihat dari kondisi jalannya. Siry et al. (2006) menegaskan bahwa

perusahaan akan memiliki rantai pasok efisien dengan adanya jaringan jalan yang

lebar dan luas.

Kapasitas fasilitas yang besar dengan utilisasi maksimal memberikan

kontribusi signifikan terhadap efisiensi rantai pasok (Cook et al. 2011; Siry et al.

2006). Siry et al. (2006) melaporkan bahwa penggunaan kendaraan besar dengan

utilisasi maksimal membuat biaya pengiriman semakin murah. Fasilitas

perusahaan seperti pabrik atau gudang berkapasitas besar dengan utilitas

Page 87: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

69

maksimal memberikan pengaruh positif bagi kinerja efisiensi rantai pasok (Cook

et al. 2011). Pengukuran kapasitas dapat ditentukan dari volume kapasitas (Siry et

al. 2006) dan utilitas (Cook et al. 2011). Cook et al. (2011) menekankan perlunya

perusahaan menggunakan utilitas maksimal agar tercapai rantai pasok yang efisien,

dengan alasan ini maka pengukuran kapasitas fasilitas berdasarkan utilitas fasilitas

perusahaan.

Pabrik dan gudang yang mampu digunakan memproses dan menyimpan

beberapa macam sekaligus produk jadi atau setengah jadi memiliki pengaruh

besar dalam efisiensi (Soon dan Udin 2011). Soon dan Udin (2011) menjelaskan

bahwa semakin fleksibel fasilitas produksi dan penyimpanan akan semakin baik

pula rantai pasok perusahaan tersebut. Kendaraan yang bisa difungsikan untuk

mengangkut beberapa macam barang (barang jadi maupun bahan baku) akan

mempengaruhi kinerja rantai pasok (Jahre dan Hatteland 2004). Fleksibilitas

fasilitas diukur dengan menggunakan kemampuan fasilitas produksi (pabrik)

(Soon dan Udin 2011), fasilitas penyimpanan (Soon dan Udin 2011), dan

kendaraan angkut (Jahre dan Hatteland 2004). Mengacu pada beberapa penelitian

tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Sub-Driver Fasilitas meliputi su-sub

driver berikut (Tabel 14).

Tabel 14 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek efisiensi

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN

1.1. Pengelolaan

fasilitas

Manajemen fasilitas Seberapa besar dana yang dihabiskan untuk

maintenance cost pabrik/gudang?

Stabilitas produksi

Seberapa besar jumlah produk yang

diproduksi mengalami kenaikan dan

penurunan dalam jangka pendek?

Teknologi Apakah untuk pengelolaan Rantai Pasok

perusahaan menggunakan teknologi modern?

1.2. Lokasi

Kedekatan fasilitas Seberapa jauh letak pabrik dengan sumber

bahan baku?

Infrastruktur jalan

Bagaimana Kondisi jalan yang dilalui armada

pengiriman bahan baku dan barang jadi saat

ini.

1.3. Kapasitas fasilitas

Utilitas gudang Seberapa tinggi tingkat penggunaan gudang

perusahaan anda?

Utilitas pabrik Seberapa Tinggi tingkat penggunaan pabrik

perusahaan anda?

Utilitas kendaraan Seberapa tinggi tingkat penggunaan

kendaraan perusahaan anda?

1.4. Fleksibilitas

fasilitas

Fleksibilitas

kendaraan

Apakah kendaraan perusahaan anda

memungkinkan untuk mengangkut beberapa

jenis produk?

Fleksibilitas gudang

Apakah gudang perusahaan anda

memungkinkan untuk menyimpan beberapa

jenis produk?

Fleksibilitas Pabrik Apakah peralatan pabrik memungkinkan

untuk memproduksi beberapa jenis produk?

Page 88: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

70

B. Persediaan

Persediaan adalah bagian dari rantai pasok yang merupakan pemicu biaya

(cost driver) terbesar (Manikas dan Terry 2009; Randal et al. 2011; Blackburn dan

Scudder 2009; Boulaksil et al. 2009). Oleh sebab itu tidak mungkin mengabaikan

persediaan dalam penilaian rantai pasok. Dengan alasan inilah Randal et al.

(2011) dan Blackburn dan Scudder (2009) melakukan penelitian terkait dengan

persediaan terutama perputaran produk dan kuantitas barang. Dua driver tersebut

dinyatakan memiliki andil besar terhadap keberhasilan efisiensi rantai pasok

perusahaan.

Randal et al. (2011) dan Blackburn dan Scudder (2009) memberikan bukti

bahwa perputaran produk yang cepat berarti rantai pasok berkinerja baik.

Perputaran produk memiliki dua faktor yaitu aliran barang (Randal et al. 2011)

dan decay rate (Blackburn dan Scudder 2009), terutama pada produk yang cepat

habis atau berumur pendek (fast moving product). Decay rate adalah tingkat

(dalam persen) kerusakan barang (Blackburn dan Scudder 2009). Sementara itu,

aliran barang (bahan baku dan produk jadi) diukur dengan menilai ketepatan

waktu produk (Randal et al. 2011) sedangkan decay rate diukur dengan kuantitas

barang (bahan baku dan produk jadi) yang mengalami kerusakan (Blackburn dan

Scudder 2009).

Pengaruh kuantitas barang terhadap efisiensi rantai pasok didukung oleh

penelitian Boulaksil et al. (2009). Boulaksil et al. (2009) menambahkan faktor

keamanan stok (bahan baku dan produk). Kekurangan stok produk menyebabkan

tidak terlayaninya permintaan konsumen, sedangkan kekurangan stok bahan baku

menyebabkan proses produksi macet. Keamanan stok produk diukur dari

frekuensi terjadinya proses produksi macet karena kehabisan stok bahan baku dan

frekuensi terjadinya order produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok

produk. Disisi yang lain, stok barang yang terlalu besar membuat rantai pasok

tidak efisien. Alasan inilah yang mendasari Randal et al. (2011) untuk

memasukkan streamline stock dan Blackburn dan Scudder (2009) untuk

memasukkan optimalisasi pengiriman sebagai bagian penting dalam efisiensi

rantai pasok. Streamline stock diukur dengan tingkat keketatan perusahaan

meminimalisir stok barang untuk meminimalisir biaya penyimpanan barang.

Optimalisasi pengiriman diukur dengan preferensi kebijakan perusahaan untuk

memilih opsi pengiriman.

Penelitian Manikas dan Terry (2009) menambahkan faktor warehouse

management sebagai subdriver persediaan karena warehouse management

memiliki pengaruh signifikan terhadap efisiensi utilisasi storage space terutama

pada fast moving product. Efisiensi persediaan terjadi apabila penataan barang di

gudang mampu memaksimalkan kapasitas penyimpanan dan arus barang (keluar-

masuk barang) dapat berjalan dengan cepat (Manikas dan Terry 2009). Arus

barang mempengaruhi lead time penurunan dan pemuatan barang dari dan ke

kendaraan angkut. Lead time tinggi menyebabkan inefisiensi rantai pasok

(Manikas dan Terry 2009). Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka driver

persediaan dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 15).

Page 89: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

71

Tabel 15 Dekomposisi driver inventori dalam aspek efisiensi

SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN

2.1. Perputaran produk

Aliran bahan baku Apakah pengiriman bahan baku tepat waktu

sesuai kebutuhan produksi?

Aliran produk Apakah pengiriman produk jadi kepada

konsumen tepat waktu dan tepat jumlah?

Decay rate produk Seberapa banyak produk yang rusak setelah

dikirim sampai ke konsumen?

Decay rate bahan

baku

Seberapa banyak bahan baku yang rusak

setalah dikirim sampai ke pabrik?

2.2. Kuantitas barang

Keamanan stok

produk

Seberapa sering terjadi order produk yang

tidak terlayani akibat tidak ada stok produk?

Keamanan stok bahan

baku

Seberapa sering terjadi produksi macet

karena kehabisan stok bahan baku?

Streamline stock

Seberapa ketat perusahaan meminimalisir

stok barang untuk meminimalisir biaya

penyimpanan barang?

Optimalisasi

pengiriman

Dalam proses pengiriman barang bagaimana

perusahaan anda mengelolanya?

2.3. Warehouse

management

Penataan gudang Bagaimana penataan barang di gudang?

Arus barang di

gudang

Seberapa lancar arus keluar masuk barang di

gudang?

C. Transportasi

Daya angkut barang yang dibatasi dengan ketat di Amerika Serikat (AS)

menyebabkan perusahaan AS kalah bersaing dengan perusahaan negara lain dari

sisi efisiensi price of trip (Siry et al. 2006). Alasan ini mendasari Siry et al. (2006)

untuk memasukkan price of trip yang diukur dari daya angkut truk ke dalam salah

satu faktor yang ikut mempengaruhi efisiensi rantai pasok. Terkait dengan

transportasi, Siry et al. (2006) dan Blackburn dan Scudder (2009) menambahkan

dengan faktor pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman.

Pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman memperlancar arus

barang, baik di gudang maupun di tempat proses produksi, sehingga membuat

meningkatkan efisiensi keseluruhan rantai pasok. Konsep ini sejalan dengan

konsep JIT yang telah lama diterapkan di berbagai industri. Penjadwalan

pengiriman diukur menggunakan tingkat keketatan jadwal (Blackburn dan

Scudder 2009). Ketepatan waktu pengiriman diukur menggunakan frekuensi

keterlambatan pengiriman barang (Blackburn dan Scudder 2009). Dari beberapa

penelitian tersebut maka driver transportasi dapat diuraikan menjadi sub-sub

driver berikut (Tabel 16).

Page 90: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

72

Tabel 16 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek efisiensi

SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN

3.1. Vehicle flow

Penjadwalan

pengiriman

Bagaimana penjadwalan pengiriman barang

di perusahaan anda?

Ketepatan waktu

pengiriman

Seberapa baik ketepatan waktu pengiriman

barang?

3.2.Price of trip Daya angkut truk Seberapa banyak truk yang daya angkutnya

dimaksimalkan untuk mengangkut barang?

D. Sourcing

Menurut Siry et al. (2006), Shukla et al. (2011), Noor dan Pitt (2009),

Ellegaard (2008), dan Pretty et al. (2008), proses perusahaan mendapatkan bahan

baku atau sourcing mempengaruhi kinerja rantai pasok. Ada tiga cara umum yang

digunakan untuk mendapatkan bahan baku. Pertama, perusahaan membeli ke

pemasok langsung tanpa menggunakan perantara, agen, atau logistic provider.

Kedua, perusahaan menggunakan inhouse-outsource. Ketiga, perusahaan

menggunakan logistic provider atau agen. Ketiga cara ini bisa digunakan

bersamaan atau hanya salah satu saja. Perusahaan yang menggunakan cara

pembelian langsung perlu memperhatikan manajemen pemasok (Noor dan Pitt

2009), peningkatan kemampuan pemasok (Noor dan Pitt 2009), penetapan kriteria

tertentu untuk menjadi pemasok (Ellegaard 2008), dan penerapan pertanian

berkelanjutan (Pretty et al. 2008). Jika perusahaan menggunakan cara pembelian

bahan baku langsung kepada pemasok, maka rantai pasok efisien bisa diperoleh

dengan mengharuskan adanya keempat sub-driver tersebut (Noor dan Pitt 2009;

Ellegaard 2008; Pretty et al. 2008). Manajemen pemasok diukur dengan kualitas

pengelolaan pemasok (Noor dan Pitt 2009). Peningkatan kemampuan pemasok

diukur dengan kualitas upaya perusahaan dalam meningkatkan kemampuan

pemasok (Noor dan Pitt 2009). Kriteria pemasok diukur dengan tingkat keketatan

perusahaan menerapkan kriteria pemasok (Ellegaard 2008). Pertanian

berkelanjutan diukur dengan menggunakan tingkat kecenderungan perusahaan

untuk memperhatikan penerapan pertanian berkelanjutan oleh pemasok (Pretty et

al. 2008).

Penerapan pembelian bahan baku menggunakan inhouse-outsource

menyebabkan rantai pasok efisien mengharuskan adanya integrasi pemasok

dengan perusahaan. Integrasi dengan pemasok dilakukan perusahaan dengan

mengintegrasikan pemasok ke dalam rantai pasok (Siry et al. 2006). Semakin

dalam pemasok terlibat di rantai pasok, semakin efisien kinerja rantai pasok (Siry

et al. 2006). Integrasi pemasok diukur dengan tingkat kualitas integrasi aktivitas

produksi dengan pola pasokan bahan baku.

Cara perolehan bahan baku ketiga yaitu dengan menggunakan logistic

provider memerlukan tingkat hubungan yang erat antara perusahaan dengan

logistic provider (Shukla et al.. 2011). Hubungan erat antara perusahaan dengan

logistic provider menyebabkan rantai pasok efisien (Shukla et al. 2011). Keeratan

hubungan antara perusahaan dengan logistic provider diukur dengan jangka waktu

Page 91: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

73

kerja sama yang telah berjalan di kedua belah pihak (Shukla et al. 2011). Dari

beberapa hasil penelitian tersebut maka driver sourcing dapat diuraikan menjadi

sub-sub driver berikut (Tabel 17).

Tabel 17 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek efisiensi

SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN

4.1. Penilaian supplier

Manajemen pemasok Bagaimana pengelolaan pemasok di

Perusahaan anda?

Peningkatan

kemampuan pemasok

Bagaimana upaya perusahaan dalam

meningkatkan kemampuan pemasok?

Kriteria pemasok Seberapa ketat perusahaan menggunakan

kriteria tertentu ketika memilih supplier?

Pertanian

berkelanjutan

Seberapa tinggi kecenderungan perusahaan

untuk memperhatikan supplier agar

menerapkan pertanian berkelanjutan ?

4.2. Integrasi pemasok Integrasi pemasok Bagaimana integrasi aktivitas produksi

dengan pola pasokan bahan baku?

4.3. Keeratan hubungan

pemasok Hubungan pemasok

Seberapa lama jangka waktu hubungan

dengan pemasok ?

E. Informasi

Frayret et al. (2007) dan Waller (2004) melakukan penelitian tentang

penggunaan integrasi dan koordinasi informasi untuk peningkatan kinerja rantai

pasok. Informasi yang semakin terintegrasi pada suatu rantai pasok menyebabkan

rantai pasok tersebut semakin efisien, terutama integrasi informasi permintaan

produk (Waller 2004). Integrasi informasi pada rantai pasok diukur dengan

ketersediaan integrasi informasi dalam rantai pasok. Koordinasi informasi diukur

dari output koordinasi informasi yaitu perencanaan rantai pasok (Frayret et al.

2007) dan pengendalian aktivitas produksi (Randal et al. 2011), (Frayret et al.

2007). Perusahaan dengan perencanaan rantai pasok berkualitas dan kontrol yang

kuat atas aktivitas produksi memiliki rantai pasok yang efisien karena tidak

dimungkinkan adanya aktivitas yang merugikan. Dari beberapa hasil penelitian

tersebut maka driver informasi dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut

(Tabel 18).

Tabel 18 Dekomposisi driver informasi dalam aspek efisiensi

SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN

5.1. Integrasi

permintaan Integrasi permintaan

Apakah perusahan mengintegrasikan proses

dan produk permintaan konsumen?

5.2. Koordinasi

Perencanaan yang

baik

Bagaimana mekanisme perencanaan

perusahaan anda?

Pengendalian Seberapa kuat perusahaan mengontrol

aktivitas produksi?

Page 92: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

74

Sub driver Rantai Pasok dari Aspek Responsivitas

Penilaian responsivitas rantai pasok terdiri dari 5 driver, yaitu fasilitas,

persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Dari kelima driver tersebut

masing-masing terdiri dari beberapa sub driver yang merupakan faktor-faktor

penentu kinerja responsivitas rantai pasok.

A. Fasilitas

Noor dan Pitt (2009) mengkaji manajemen fasilitas dalam kaitannya dengan

penentuan keberhasilan responsivitas suatu rantai pasok. Fasilitas yang terkelola

memiliki responsivitas lebih tinggi daripada fasilitas yang kurang terkelola (Noor

dan Pitt 2009). Untuk mengukur tingkat responsivitas pengelolaan fasilitas, Noor

dan Pitt (2009) menggunakan fleksibilitas fasilitas perusahaan dalam pemenuhan

permintaan konsumen. Pengukuran fleksibilitas fasilitas juga diukur

menggunakan besaran lead time ketika terjadi perubahan permintaan konsumen.

Penelitian Noor dan Pitt (2009) juga menunjukkan adanya pengaruh aliansi

strategis yang menggunakan fasilitas tambahan semacam buying station dalam

perdagangan kakao untuk meningkatkan kinerja rantai pasok. Pemanfaatan

fasilitas yang meningkatkan hubungan dengan pelanggan seperti buying station

tersebut terbukti mampu meningkatkan responsivitas rantai pasok (Noor dan Pitt

2009). Pengukuran aliansi strategis menggunakan buying station diukur dengan

tingkat pemanfaatan fasilitas tersebut.

Lau et al. (2006) menjelaskan pentingnya penggunaan teknologi untuk

meningkatkan responsivitas rantai pasok perusahaan. Integrasi fasilitas

perusahaan dengan penggunaan teknologi dalam rantai pasok secara positif

menunjang kinerja rantai pasok sehingga mampu meningkatkan responsivitas

perusahaan. Penggunaan teknologi pada rantai pasok diukur dengan ketersediaan

fasilitas teknologi yang terintegrasi dalam rantai pasok (Lau et al. 2006).

Penelitian Siry et al. (2006) tidak hanya menunjukan urgensi lokasi fasilitas

terhadap efisiensi, tetapi juga secara tersirat membuktikan pengaruh lokasi yang

strategis terhadap responsivitas. Lokasi fasilitas yang saling berdekatan membuat

perusahaan lebih responsif terhadap permintaan konsumen. Prasarana penunjang

lain seperti infrastruktur transportasi secara nyata memberikan kontribusi terhadap

responsivitas rantai pasok (Siry et al. 2006). Kedekatan lokasi fasilitas diukur

secara relatif subyektif pelaku usaha. Infrastruktur transportasi yang diukur adalah

infrastruktur jalan dan pelabuhan karena dua infrastruktur inilah yang sering

digunakan. Cara pengukuran adalah dengan menilai kualitas infrastruktur secara

subyektif oleh pelaku usaha.

Masih terkait dengan pengelolaan fasilitas, fasilitas yang terkelola dengan

baik sehingga memicu adanya fasilitas yang multiple use dan fleksibel membuat

rantai pasok semakin responsif (Jahre dan Hatteland 2004; Soon dan Udin 2011;

Waller 2004). Gudang, moda pengangkutan, dan pabrik yang mampu menyimpan,

mengangkut, dan memproduksi beragam produk yang berbeda-beda mampu

meningkatkan responsivitas rantai pasok (Jahre dan Hatteland 2004; Waller

2004). Fleksibilitas gudang, moda pengangkutan, dan pabrik diukur dengan ada

atau tidaknya kemungkinan dilakukan multiple use. Dari beberapa hasil penelitian

Page 93: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

75

tersebut maka driver fasilitas dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut

(Tabel 19).

Tabel 19 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek responsivitas

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN

1.1. Pengelolaan

fasilitas

Manajemen fasilitas

Seberapa besar perubahan jumlah

permintaan pelanggan yang mampu

dipenuhi oleh fasilitas pabrik?

Manajemen fasilitas

Seberapa besar perubahan waktu (lead

time) pemenuhan permintaan pelanggan

yang mampu dipenuhi pabrik?

Aliansi strategis

Dalam bekerjasama dengan supplier,

seberapa penting perusahaan

menggunakan fasilitas pembelian

(seperti buying station)?

Teknologi

Dalam menanggapi dan mengelola

permintaan pelanggan seberapa banyak

perusahaan menggunakan teknologi

1.2. Lokasi fasilitas

Kedekatan

Seberapa jauh lokasi fasilitas

(misal:gudang atau pabrik) perusahaan

dengan sumber bahan baku.

Infrastruktur jalan

Bagaimana kondisi jalan yang dilalui

armada pengiriman bahan baku dan

barang jadi saat ini.

Infrastruktur pelabuhan

Bagaimana kondisi pelabuhan untuk

pengiriman bahan baku dan barang jadi

saat ini.

1.3. Fleksibilitas

fasilitas

Fleksibilitas kendaraan

Apakah kendaraan angkut yang dimiliki

memungkinkan mengangkut beberapa

jenis produk.

Fleksibilitas gudang

Apakah gudang yang dimiliki bisa

digunakan untuk menyimpan beberapa

jenis/sifat produk

Fleksibilitas pabrik

Apakah peralatan pabrik yang dimiliki

memungkinkan untuk memproduksi

beberapa jenis permintaan produk.

B. Persediaan

Persediaan adalah bagian dari rantai pasok yang merupakan cost driver

terbesar dan menjadi area trade off antara responsivitas dan efisiensi (Manikas dan

Terry 2009; Boulaksil et al. 2007; Blackburn dan Scudder 2009). Semakin besar

biaya persediaan akan meningkatkan responsivitas (Randall et al. 2011; Boulaksil

et al. 2007). Blackburn dan Scudder (2009) mengemukakan tentang decay rate,

suatu tingkat rusaknya barang jika terlalu lama disimpan. Gagasan tentang decay

rate (untuk bahan yang mudah busuk) menyebutkan perlunya high flow goods

sehingga tidak ada barang yang rusak (Manikas dan Terry 2009). Decay rate

Page 94: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

76

diukur dengan memperkirakan jumlah produk dan bahan baku yang rusak ketika

sampai di tujuan.

Decay rate cenderung menekan jumlah persediaan, sebaliknya safety stock

cenderung meningkatkan jumlah (Boulaksil et al. 2007). Boulaksil et al. (2007)

menambahkan faktor safety stock (bahan baku dan produk). Agar semakin

responsif rantai pasok maka safety stock harus ditingkatkan. Kekurangan stok

produk menyebabkan tidak terlayaninya permintaan konsumen, sedangkan

kekurangan stok bahan baku menyebabkan proses produksi macet (Boulaksil et al.

2007). Keamanan stok produk diukur dari frekuensi terjadinya proses produksi

macet karena kehabisan stok bahan baku dan frekuensi terjadinya order produk

yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk.

Decay rate dan safety stock berkaitan erat dengan arus barang. Arus barang

yang tinggi menekan jumlah decay rate dan safety stock. Arus barang tinggi

menuntut adanya warehouse management (Manikas dan Terry 2009). Manikas

dan Terry (2009) menekankan perlunya pengelolaan gudang dengan penataan

barang yang baik sehingga memperlancar arus barang. Warehouse management

diukur dengan kualitas penataan barang di gudang dan tingkat kelancaran arus

barang. Dari beberapa acuan penelitian tersebut di atas maka driver persediaan

dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 20).

Tabel 20 Dekomposisi driver inventori dalam aspek responsivitas

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN

2.1. Perputaran

Produk

Decay rate produk Seberapa Banyak produk yang rusak setelah

dikirim sampai ke konsumen

Decay rate bahan baku Seberapa Banyak bahan baku yang rusak

setalah dikirim sampai ke pabrik?

2.2. Kuantitas Barang

Keamanan Stok produk Seberapa sering terjadi order produk yang

tidak terlayani akibat tidak ada stok produk?

Keamanan stok bahan baku Seberapa sering terjadi produksi macet

karena kehabisan stok bahan baku?

2.3. Pengelolaan

gudang

Penataan gudang Bagaimana penataan barang di gudang?

Arus barang di gudang Seberapa lancar arus keluar masuk barang di

gudang?

C. Transportasi

Transportasi merupakan driver penting dalam responsivitas rantai pasokan.

Terkait dengan transportasi, Siry et al. (2004) dan Blackburn dan Scudder (2009)

menyebutkan pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman

mampu mempengaruhi responsivitas rantai pasok. Pengiriman barang yang

terjadwal dan atau tepat waktu memperlancar arus barang baik di gudang maupun

tempat proses produksi. Konsep ini sejalan dengan konsep JIT yang telah lama

diterapkan di berbagai industri. Penjadwalan pengiriman diukur menggunakan

Page 95: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

77

tingkat keketatan jadwal (Blackburn dan Scudder 2009). Ketepatan waktu

pengiriman diukur menggunakan frekuensi keterlambatan pengiriman barang

(Blackburn dan Scudder 2009). Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka

driver transportasi dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 21).

Tabel 21 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek responsivitas

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN

3.1. Vehicle flow

Penjadwalan pengiriman Bagaimana penjadwalan Pengiriman

barang di perusahaan anda?

Ketepatan waktu pengiriman Seberapa baik ketepatan waktu pengiriman

barang?

D. Sourcing

Menurut Siry et al. (2004), Shukla et al. (2011), Noor dan Pitt (2009),

Ellegaard (2008), dan Pretty et al. (2008), proses perusahaan mendapatkan bahan

baku atau sourcing mempengaruhi kinerja rantai pasok. Ada tiga cara umum

digunakan untuk mendapatkan bahan baku. Pertama, perusahaan membeli ke

pemasok langsung tanpa menggunakan perantara, agen, atau logistic provider.

Kedua, perusahaan menggunakan inhouse-outsource. Ketiga, perusahaan

menggunakan logistic provider atau agen. Ketiga cara ini bisa digunakan

bersamaan atau hanya salah satu saja. Perusahaan yang menggunakan cara

pembelian langsung perlu memperhatikan manajemen pemasok (Noor dan Pitt

2009), peningkatan kemampuan pemasok (Noor dan Pitt 2009), penetapan kriteria

tertentu untuk menjadi pemasok (Ellegaard 2008), dan tingkat kepercayaan

pemasok dengan perusahaan (Vachon et al. 2009; Lambert dan Cooper 2000).

Jika perusahaan menggunakan cara pembelian bahan baku langsung kepada

pemasok, maka responsivitas rantai pasok bisa diperoleh dengan mengharuskan

adanya keempat sub subdriver tersebut (Noor dan Pitt 2009; Ellegaard 2008; dan

Vachon et al. 2009). Manajemen pemasok diukur dengan kualitas pengelolaan

pemasok (Noor dan Pitt 2009). Peningkatan kemampuan pemasok diukur dengan

kualitas upaya perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pemasok (Noor dan

Pitt 2009). Kriteria pemasok diukur dengan tingkat keketatan perusahaan

menerapkan kriteria pemasok (Ellegaard 2008). Kepercayaan diukur dengan

keberadaan kepercayaan diantara dua belah pihak (Vachon et al. 2009).

Penerapan pembelian bahan baku menggunakan inhouse-outsoure

menyebabkan rantai pasok responsif, namun mengharuskan adanya integrasi

pemasok dengan perusahaan. Integrasi pemasok-perusahaan dilakukan dengan

cara mengintegrasikan pemasok ke dalam jaringan rantai pasok (Siry et al. 2006).

Semakin dalam pemasok terlibat di rantai pasok, semakin responsif kinerja rantai

pasok (Siry et al. 2006). Integrasi pemasok diukur dengan tingkat kualitas

integrasi aktivitas produksi dengan pola pasokan bahan baku.

Page 96: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

78

Cara perolehan bahan baku ketiga, yaitu dengan menggunakan logistic

provider memerlukan tingkat hubungan yang erat antara perusahaan dengan

logistic provider (Shukla et al.. 2011). Hubungan erat antara perusahaan dengan

logistic provider menyebabkan rantai pasok lebih responsif (Shukla et al. 2011).

Keeratan hubungan antara perusahaan dengan logistic provider diukur dengan

jangka waktu kerja sama yang telah berjalan di antara kedua belah pihak (Shukla

et al. 2011). Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka driver sourcing dapat

diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 22).

Tabel 22 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek responsivitas

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN

4.1. Penilaian

pemasok

Manajemen pemasok Bagaimana pengelolaan pemasok di

perusahaan anda?

Peningkatan kemampuan

pemasok

Bagaimana upaya perusahaan dalam

meingkatkan kemampuan pemasok?

Hubungan pemasok Bagaimana hubungan perusahaan dengan

supplier bahan baku?

Tingkat kepercayaan Bagaimana tingkat kepercayaan antara

perusahaan dengan pemasok?

4.2. Integrasi

pemasok Integrasi aktivitas produksi

Bagaimana integrasi aktivitas produksi

dengan pola pasokan bahan baku?

4.3. Keeratan

hubungan Jangka waktu hubungan

Seberapa lama jangka waktu hubungan

dengan pemasok ?

E. Informasi

Rudolf et al. (2011), Saad dan Gindy (2007) dan Waller (2004) melakukan

penelitian tentang penggunaan integrasi dan koordinasi informasi untuk

peningkatan kinerja rantai pasok. Informasi yang semakin terintegrasi pada suatu

rantai pasok menyebabkan rantai pasok tersebut semakin responsif, terutama

integrasi informasi permintaan produk (Rudolf et al. 2011; Saad dan Gindy 2007;

Waller 2004). Integrasi informasi pada rantai pasok diukur dengan ketersediaan

integrasi informasi dalam rantai pasok. Koordinasi informasi diukur dari output

koordinasi informasi yaitu perencanaan rantai pasok (Frayret et al. 2007) dan

pengendalian aktivitas produksi (Randal et al. 2011; Frayret et al. 2007).

Perusahaan dengan perencanaan rantai pasok berkualitas dan kontrol yang kuat

atas aktivitas produksi memiliki rantai pasok yang efisien karena tidak

dimungkinkan adanya aktivitas yang merugikan. Dari beberapa acuan penelitian

tersebut maka driver informasi dapat diuraikan menjadi sub-sub driver Tabel 23.

Tabel 23 Dekomposisi driver informasi dalam aspek responsivitas

Page 97: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

79

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN

5.1. Integrasi Integrasi proses dan produk

Apakah perusahan mengintegrasikan

proses dan produk permintaan

konsumen?

5.2. Koordinasi

Perencanaan Bagaimana mekanisme perencanaan

perusahaan anda?

Pengendalian Seberapa kuat perusahaan mengontrol

aktivitas produksi?

Hasil Penyusunan Kuesioner Pakar untuk Pembobotan Driver dan

Kuesioner Industri Instrumen survei yang disusun terdiri dari kuesioner pakar untuk

pembobotan driver dan sub driver, dan kuesioner industri untuk pengukuran

kinerja efisiensi dan responsivitas. Kuesioner untuk pembobotan driver dan sub

driver didasarkan pada driver-driver dan sub-driver hasil dari proses dekomposisi.

Format kuesioner pakar disesuaikan dengan perangkat lunak yang digunakan

untuk proses pengolahan data. Adapun perangkat lunak yang digunakan untuk

pengolahan data bobot dari pakar adalah Expert Choice 2000 (Lampiran 1).

Kuesioner untuk pengukuran Kinerja Efisiensi dan Responsivitas disusun

berdasarkan pertanyaan yang dirumuskan dalam bentuk tabel dekomposisi

(Lampiran 2).

Simpulan

Pengukuran kinerja rantai pasok memerlukan suatu metrik guna

pengumpulan data lapangan yang bersifat operasional. Dengan melakukan

dekomposisi driver kinerja rantai pasok akan dapat diperoleh variabel yang

memudahkan dalam pengumpulan data guna pengukuran kinerja. Dengan tujuan

mencapai daya saing rantai pasok industri kakao, penelitian ini telah berhasil

malakukan identifikasi driver dan sub driver kinerja rantai pasok yang ditinjau

dari aspek efisiensi dan responsivitas. Kedua aspek yang didekomposisi akan

menyediakan sejumlah indikator yang mempermudah interpretasi bagi upaya

perbaikan kinerja rantai pasok oleh perusahaan atau upaya tidak langsung untuk

bahan perumusan kebijakan pemerintah yang mendukung perbaikan kinerja rantai

pasok tersbut.

Hasil dekomposisi ini adalah berupa instrumen pengukuran kinerja rantai

pasok perusahaan di industri kakao. Instrumen tersebut terdiri dari: 1) kuesioner

pakar untuk pembobotan driver. Format kuesioner pakar disesuaikan dengan

perangkat lunak yang digunakan yaitu Expert Choice 2000. 2) Kuesioner industri

untuk pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas. Kuesioner industri

dirancang untuk dapat diisi secara mandiri oleh pihak perusahaan sehingga

merupakan instrumen penilaian sendiri (self assessment).

Page 98: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

80

7 MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

INDUSTRI KAKAO

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model perumusan kebijakan

pengembangan industri kakao berbasis rantai pasok. Rumusan kebijakan mengacu

pada hasil pengukuran kinerja rantai pasok berupa indeks kinerja rantai pasok.

Dua tahapan utama dalam model yaitu pengukuran kinerja rantai pasok dan relasi

antar kebijakan yang dihasilkan. Pengukuran kinerja ditentukan oleh driver

kinerja yang terdiri dari fasilitas, persediaan, transportasi, informasi dan sourcing.

Driver kinerja didekomposisi berdasar studi literatur yang dilanjutkan dengan

pembobotan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process). Weighted

Scoring Model digunakan untuk menghitung indeks kinerja rantai pasok.

Implikasi kebijakan untuk mengoptimalkan rantai pasok diperoleh dari indeks

kinerja driver yang menunjukkan kondisi lemah. Tahap strukturisasi kebijakan

dilakukan dengan teknik ISM untuk menentukan karakteristik, struktur dan relasi

antar kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan yang menjamin

pasokan energi listrik dan gas yang memadai di kawasan industri dan kebijakan

pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan fasilitas pelabuhan merupakan dua

kebijakan yang menjadi prasyarat dasar bagi tumbuh dan berkembangnya industri

kakao.

Kata kunci: model, perumusan kebijakan, industri kakao, rantai pasok, ISM

Pendahuluan

Indonesia sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga dunia saat ini sedang

berupaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini melalui pengembangan

industri kakao. Berbagai kebijakan dan program telah dilaksanakan mulai dari

sektor hulu hingga hilir untuk mencapai daya saing industri kakao. Namun,

dinamika pengembangan industri yang kompleks mengakibatkan tidak mudahnya

merumuskan kebijakan yang efektif. Banyak faktor yang berpengaruh dalam

pengembangan industri kakao. Suprihatini et al. (2004) mengajukan paling tidak

ada sebelas faktor berpengaruh dalam pengembangan industri hilir perkebunan di

antaranya manajemen rantai pasok, dan infrastruktur. Selain itu, Beckett (2011)

menunjukkan bahwa kualitas, keamanan pangan, traceability dan keberlanjutan

adalah kunci masalah yang menantang dengan supply chain kakao yang kompleks.

Dengan demikian, rantai pasokan merupakan faktor penting yang harus

dipertimbangkan dalam pengembangan industri kakao.

Faktor rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan

indutri kakao di Indonesia, karena secara geografis kegiatan agroindustri kakao

tersebar luas di berbagai pulau di wilayah Indonesia. Kegiatan produksi bahan

baku biji kakao sebagian besar tersebar di pulau Sulawesi, Sumatera, dan

Kalimantan, sementara untuk kegiatan industri pengolahan masih terkonsentrasi di

pulau Jawa dan sebagian kecil di Sulawesi.

Page 99: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

81

Dalam manajemen rantai pasok aspek-aspek logistik seperti lokasi,

kapasitas maupun fleksibilitas fasilitas yang dimiliki, inventori, sarana dan biaya

transportasi sangat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan

ekspansi atau penambahan kapasitas. Selain itu, aspek aliran informasi dan pilihan

cara pengadaan juga menjadi pertimbangan yang mempengaruhi pengembangan

industri. Jika pengembangan industri diharapkan dari modal asing, Alam (2009)

mengingatkan bahwa investasi asing langsung (FDI) sangat dipengaruhi oleh

kapabilitas rantai pasok suatu negara.

Aspek-aspek tersebut di atas oleh Chopra dan Meindl (2007) dan Hugos

(2010) disebut sebagai driver (faktor penggerak) yang akan menentukan kinerja

dari rantai pasok. Untuk mengetahui kinerja rantai pasok diperlukan sistem

pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik

(Pujawan 2005). Namun memilih sistem ukuran kinerja rantai pasok cukup sulit

karena kompleksitas sistem yang dihadapi (Beamon 1999). Selain itu, disain

pengukuran kinerja rantai pasok sangat beragam (Neely et al. 2005).

Pengukuran kinerja pada level perusahaan sudah banyak dilakukan di

antaranya yang menggunakan metode SCOR (Supply Chain Council 2006) dan

Balance Score Card (Brewer dan Speh 2000). Sementara untuk pengukuran

kinerja pada level antar perusahaan yang bisa membantu pemerintah

mengevaluasi kinerja rantai pasok sektor industri untuk tujuan daya saing sektor

tersebut masih jarang dilakukan. Pada pengembangan industri kakao di Indonesia,

perlu suatu pengukuran kinerja rantai pasok pada level industri (antar perusahaan)

yang mampu mendukung peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang lebih

kondusif bagi berkembangnya industri kakao.

Beberapa penelitian yang relevan sebagai rujukan dalam proses penulisan

disertasi ini meliputi Minnich dan Maier (2006) dan Macq et al. (2008) pada

pengukuran kinerja dan Liu (2010), Becker et al. (2011) dan Wagner dan Neshat

(2011) pada perumusan kebijakan. Dalam penelitiannya Minnich dan Maier

(2006) dan Macq et al. (2008) mengukur efisiensi dan responsivitas rantai pasok

dengan metode sistem dinamis dan analisis kebijakan. Sementara Liu (2010),

Becker et al. (2011) dan Wagner dan Neshat (2011), ketiga penelitian tersebut

membahas penggunaan model rantai pasok antar perusahaan dalam kaitan dengan

perumusan kebijakan pemerintah.

Penelitian Liu (2010) mendiskusikan bagaimana peran pemerintah yang

dalam hal ini di bidang perpajakan menangani masalah tata kelola rantai pasok

dunia usaha (bisnis) swasta. Penelitian Liu (2010) ini memperkuat konteks

penggunaan sistem rantai pasok pada perusahaan swasta sebagai suatu media bagi

pemerintah menangani masalah keamanan rantai pasok. Selanjutnya Becker et al.

(2011) yang mendiskusikan kebijakan pemanfaatan biomassa hutan di Amerika

Serikat menggunakan kerangka analisis rantai pasok untuk merumuskan kebijakan

untuk meningkatkan pemanfaatan biomassa hutan. Kerangka analisis rantai pasok

dalam penelitian Becker et al. (2011) didekati sinergi antara tahapan dalam rantai

pasok dan kebijakan pemerintah yang menyertainya. Namun demikian efektivitas

kebijakan dalam penelitian Becker et al.(2011) diukur dengan jumlah

kebijakannya (0,1,2..dst) bukan pada substansi kebijakan.

Pada bidang yang sama Wagner dan Neshat (2011) menggunakan driver

kerentanan untuk mengukur kerentanan rantai pasok, mengetahui hubungan antar

driver, dan menyusun agregasi driver untuk menghasilkan suatu ukuran

Page 100: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

82

kerentanan rantai pasok berupa indeks kerentanan rantai pasok (supply chain

vulnerability index = SCVI). SCVI digunakan untuk menganalisis dan

membandingkan kerentanan rantai pasok berbagai kategori perusahaan.

Kedekatan penelitian Wagner dan Neshat (2011) dengan disetasi ini adalah dalam

hal perumusan suatu kebijakan publik dengan memperhatikan rantai pasok

(termasuk manajemen risiko) agar perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja

rantai pasoknya.

Dengan memperhatikan perkembangan penelitian di bidang perumusan

kebijakan berbasis rantai pasok di atas, tujuan dari penelitian pada bagian ini

adalah mendesain model perumusan kebijakan yang didasarkan pada kinerja

driver rantai pasok industri kakao. Diharapkan model yang didesain dapat

menjawab bagaimana proses perumusan kebijakan yang menjamin tercapainya

kinerja rantai pasok industri kakao. Dengan rumusan kebijakan yang baik akan

tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri kakao di Indonesia.

Metode Penelitian

Kerangka penelitian pada bagian ini (Gambar 17) terbagi dua yaitu:

pengukuran kinerja rantai pasok dan model perumusan kebijakan pengembangan

industri kakao berbasis rantai pasok.

Tujuan Mendisain Model

Perumusan Kebijakan

Pengukuran Kinerja Rantai

Pasok

Pemodelan Perumusan

Kebijakan

Kinerja rantai

pasok

Model Perumusan

Kebijakan

Gambar 17 Kerangka penelitian

Kerangka pengukuran kinerja rantai pasok dalam penelitian ini (Gambar 18)

terdiri dari aktivitas: 1) identifikasi driver kinerja rantai pasok, 2) dekomposisi

driver rantai pasok, 3) pembobotan driver dan sub-driver kinerja rantai pasok, dan

4) pengukuran kinerja rantai pasok.

Model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao

berbasis rantai pasok (Gambar 24) akan menguraikan proses perumusan kebijakan

tahap demi tahap untuk menghasilkan rumusan kebijakan pengembangan industri

kakao.

Identifikasi Driver Kinerja Rantai Pasok

Menurut Chopra dan Meindl (2007) keputusan manajemen rantai pasok

didasarkan atas struktur driver (faktor penggerak) yang akan menentukan kinerja

Page 101: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

83

dari rantai pasok. Keputusan tersebut berupa pemilihan strategi dalam menjaga

keseimbangan antara Responsivitas dan Efisiensi rantai pasok. Pengukuran kinerja

rantai pasok dalam penelitian ini diorientasikan untuk pencapaian daya saing yang

merupakan tujuan utama dari suksesnya pengelolaan rantai pasok. Untuk

mencapai tujuan daya saing tersebut suatu perusahaan harus memiliki kinerja

terbaik yang dalam hal ini dapat dilihat dari kinerja driver. Driver rantai pasok

sebagaimana Chopra dan Meindl (2007), Hugos (2010) dan Ravindran dan

Warsing (2012) paling tidak terdiri dari fasilitas, inventori, trasnportasi, informasi,

sourcing.

Gambar 18 Kerangka pengukuran kinerja rantai pasok aspek efisiensi dan

responsivitas

Dekomposisi Driver Rantai Pasok

Mengingat driver rantai pasok yang ada masih bersifat relatif abstrak, maka

perlu dilakukan dekomposisi. Dekomposisi dilakukan untuk memperoleh unit

analisis yang lebih operasional dan terukur dengan jelas. Dekomposisi dilakukan

dengan menggali faktor-faktor keputusan/strategi sub-driver yang paling sesuai

(Strategic fit) untuk mencapai keseimbangan antara responsivitas dan efisiensi

terbaik yang bisa dilakukan perusahaan (Chopra dan Meindl 2007). Penelitian ini

melakukan dekomposisi dengan mengacu pada penelitian-penelitian yang sudah

dilakukan sebelumnya terkait driver dan sub-driver kinerja rantai pasok di

antaranya Noor dan Pitt (2009); Waller (2004); Lau et al. (2006); Siry et al.

Page 102: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

84

(2006); Cook et al. (2011); Jahre dan Hatteland (2004); Soon dan Udin (2011);

Randal et al. (2011); Blackburn dan Scudder (2009); Boulaksil et al. (2009);

Manikas dan Terry (2009); Ellegaard (2008); Pretty et al. (2008); dan Shukla et al.

(2011); Vachon et al. (2009).

Untuk uji validitas digunakan construct validity yaitu bahwa variabel yang

disusun sudah mengungkapkan suatu konsepsi teoritis yang diukur. Untuk itu,

kuesioner yang telah dibuat dikonsultasikan kepada pakar di bidang

pengembangan industri kakao untuk mendapatkan tanggapan dan perbaikan.

Pembobotan Driver dan Sub-Driver Kinerja Rantai Pasok

Pembobotan driver dan sub-driver bertujuan untuk memperoleh bobot

kepentingan dari driver dan sub-driver terhadap tujuan pencapaian kinerja rantai

pasok terbaik. Metode yang digunakan untuk pembobotan adalah Proses Hirarki

Analitik (Analytical Hierarchy process – AHP). Metode AHP bertujuan untuk

mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif

yang paling disukai (Saaty 1983). AHP memungkinkan pengguna (pakar)

memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk secara intuitif, yaitu

dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) (Marimin

2008).

Tatalaksana Metode AHP

Metode AHP terdiri dari 3 tahap, yaitu penyusunan hirarki, penetapan

prioritas, dan konsistensi logis.

1. Penyusunan Hirarki.

Susunan hirarkis AHP terdiri dari goal, aspek, driver dan sub-driver.

Dimana goalnya adalah pengukuran kinerja rantai pasok, kemudian aspek

efisiensi dan resposivitas. Driver dan sub-driver rantai pasok adalah hasil

dekomposisi tahap sebelumnya. Diagram Gambar 19 berikut mempresentasikan

keputusan dengan menggunakan AHP.

Gambar 19 Struktur hirarki AHP untuk pembobotan driver dan sub-driver

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Efisiensi Responsivitas

Fas

ilita

s

Inve

ntor

i

Info

rmas

i

Tra

nspo

rtas

i

Sou

rcin

g

Fas

3

Fas

2

Fas

1

Inv

3

Inv

2

Inv

1

Tra

3

Tra

2

Tra

1

Inf

3 In

f 2

Inf 1

Sou

3

Sou

2

Sou

1

Fas

3

Fas

2

Fas

1

Inv

3

Inv

2

Inv

1

Tra

3

Tra

2

Tra

1

Inf

3 In

f 2

Inf 1

Sou

3

Sou

2

Sou

1

Fas

ilita

s

Inve

ntor

i

Info

rmas

i

Tra

nspo

rtas

i

Sou

rcin

g

Goal

Aspek

Driver

Sub-

Driver

Page 103: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

85

2 Penilaian Setiap Level Hirarki

Penilaian setiap level hirarki dinilai melalui perbandingan berpasangan.

Menurut Saaty 1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala

terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Skala dengan sembilan satuan dapat

menggambarkan derajat sampai mana kita mampu membedakan intensitas tata

hubungan antar elemen. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala

perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty

Nilai Keterangan

1 Faktor vertikal sama penting dengan faktor horizontal

3 Faktor vertikal lebih penting dari faktor horisontal

5 Faktor vertikal jelas lebih penting faktor horisontal

7 Faktor vertikal sangat jelas lebih penting dari faktor

horisontal

9 Faktor vertikal mutlak lebih penting dari faktor

horisontal

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai elemen yang

berdekatan

1/(2-9) Kebalikan dari keterangan nilai 2-9

3. Penentuan Prioritas

Untuk setiap level hirarki, dilakukan perbandingan berpasangan untuk

menentukan prioritas. Langkahnya dengan memberi bobot setiap vektor dengan

prioritas sifatnya. Proses perbandingan berpasangan dimulai pada puncak hirarki

(goal) yang digunakan untuk melakukan pembandingan pertama. Kemudian turun

ke level di bawahnya (aspek), demikian seterusnya hingga level driver dan sub-

driver. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan

peringkat relatif dari seluruh elemen.

4. Konsistensi Logis.

AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui

suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi harus 10 persen atau kurang. Jika

lebih dari 10 persen, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki.

Penyusunan Instrumen Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Instrumen pengukuran kinerja yang disusun berupa kuesioner dengan

pilihan jawaban. Mengingat kinerja rantai pasok dari aspek efisiensi dan

responsivitas relatif kompleks, maka jawaban yang diminta adalah data kualitatif

dengan skala ordinal berupa Skor. Skor yang digunakan mulai dari 1 sampai 9

yang menunjukkan pendapat tentang keadaan atau kondisi dari setiap driver dan

sub-driver kinerja rantai pasok yang dinilai oleh perusahaan mengacu pada ukuran

kinerja rantai pasok Neely et al. (2005). Ukuran kinerja rantai pasok dapat

diklasifikasikan ke dalam dua kategori umum yaitu: ukuran kualitatif seperti

Page 104: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

86

„baik‟, „kurang‟, „adil‟, „puas‟, „kualitas‟, dan ukuran kuantitatif seperti delivery

lead time, supply chain response time, fleksibilitas, pemanfaatan sumber daya,

kinerja pengiriman, dll (Neely et al. 2005 ).

Untuk menjamin validitas instrumen, penelitian ini melakukan validasi

dengan metode validitas isi (content validity) dari setiap pertanyaan. Validitas isi

ialah derajat di mana sebuah tes mengukur cakupan substansi yang ingin diukur.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling purposif

yang didasarkan pada pertimbangan keaktifan industri selama kurun waktu 3

tahun terakhir. Industri yang dipilih sebanyak 3 perusahaan dari populasi industri

kakao Indonesia yang aktif (Tabel 25).

Tabel 25 Populasi industri kakao Indonesia tahun 2011

No Perusahaan Lokasi

1 PT. General Food Industry Bandung

2 PT. Bumitangerang Mesindotama Tangerang

3 PT. Davomas Abadi Tangerang

4 PT. Maju Bersama Cocoa Industries Makassar

5 PT. Effem Indonesia Makassar

6 PT. Cocoa Ventures Indonesia Medan

7 PT.Teja Sekawan Surabaya

8 PT. Unicom Kakao Makmur Sulawesi Makassar

9 PT. Kakao Mas Gemilang Tangerang

10 PT. Gandum Mas Kencana Tangerang

Sumber : Kementerian Perindustrian 2011 dan AIKI 2011

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Pengumpulan data kinerja rantai pasok dari aspek efisiensi dan responsivitas

dimulai dengan survei lapangan untuk pengumpulan data melalui kuesioner.

Responden penelitian adalah pihak yang menguasai rantai pasok perusahaan, di

antaranya adalah Manajer Rantai Pasok. Hasil pengumpulan data dengan

kuesioner dientri untuk selanjutnya diolah dengan perangkat lunak Microsoft

Excel.

Pengukuran indeks kinerja rantai pasok pada penelitian ini menggunakan

Model skor terbobot (Weighted Scoring Model). Model skor terbobot adalah

sebuah alat untuk memilih alternatif berdasarkan multi kriteria (Lessard dan

Lessard 2007). Dalam konteks manajemen rantai pasok, Wisner (2011)

menggunakan model skor terbobot untuk memilih tingkat daya tarik beberapa

lokasi berdasarkan sejumlah kriteria kualitatif dan kuantitatif. Proses perhitungan

skor oleh Wisner terbagi atas lima tahap yaitu: 1) Identifikasi kriteria yang

dianggap penting dalam memilih lokasi; 2) Menetapkan bobot setiap kriteria; 3)

Tentukan skor kinerja relatif untuk setiap kriteria yang dipertimbangkan; 4)

Kalikan nilai skor dengan bobot yang berhubungan dengan masing-masing

kriteria lalu jumlahkan nilai terbobot di semua kriteria; 5) Lokasi dengan total

skor terbobot tertinggi adalah lokasi yang direkomendasikan.

Dengan model perhitungan yang sama, persamaan untuk menghitung

Indeks Kinerja Rantai Pasok (Supply Chain Performance Index) setiap aspek

dalam penelitian ini dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut :

Page 105: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

87

m

Indeks Kinerja Aspeki = Skor ij (Bobot j) ........................(1)

j = 1

Dimana:

Indeks Kinerja Aspeki = total nilai indeks kinerja rantai pasok aspek ke-i

Skor ij = nilai/skor variabel aspek ke-i pada driver ke-j

Bobot j = tingkat kepentingan (bobot) driver ke-j

i = 1,2 ; 1= aspek efisiensi, 2=aspek responsivitas

j = 1,2,3,…m; m = jumlah driver

Indeks kinerja yang dihasilkan kemudian dilakukan analisis gap dengan

tahapan berdasar Lambert (2008). Analisis gap sebagai proses evaluasi hasil

penilaian merupakan bagian dari perencanaan perbaikan yang akan dilaksanakan

pada tahap berikutnya.

Hasil dan Pembahasan

Studi ini berhasil mengidentifikasi driver rantai pasok berdasar tiga sumber

acuan, yaitu Chopra dan Meindl (2007), Hugos (2010), dan Ravindran dan

Warsing (2012). Berdasar ketiga acuan tersebut secara umum konsep efisiensi dan

responsivitas merupakan aktivitas yang bersifat trade off. Untuk konteks rantai

pasok industri kakao, penelitian ini telah mengidentifikasi sub driver dengan

aktivitas yang bersifat trade off maupun tidak. Hasil dari dekomposisi driver

kinerja rantai pasok menjadi sub driver rantai pasok dari aspek efisiensi dan

responsivitas sebagaimana Tabel 26 dan 27.

Dalam tabel 26 dan 27 tersebut masing-masing driver diuraikan menjadi

beberapa sub driver yang dilengkapi dengan jurnal acuan yang menjadi rujukan

dalam dekomposisi yang dilakukan.

Page 106: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

88

Tabel 26 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek efisiensi

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER JURNAL ACUAN

A. Fasilitas

1.1. Pengelolaan fasilitas

Manajemen pabrik

Noor dan Pitt (2009) Manajemen gudang

Manajemen kendaraan

Stabilitas produksi Waller (2004),

Teknologi Lau et al. (2006)

1.2. Lokasi fasilitas

Kedekatan fasilitas Siry et al. (2004).

Infrastruktur jalan Siry et al. (2004)

1.3. Kapasitas fasilitas

Utilitas gudang Cook et al. (2011)

Utilitas pabrik Siry et al. (2004).

Utilitas kendaraan

1.4. Fleksibilitas fasilitas

Fleksibilitas kendaraan Jahre dan Hatteland (2004)

Fleksibilitas gudang Soon dan Udin (2010)

Fleksibilitas pabrik

B. Persediaan

2.1. Perputaran produk

Aliran bahan baku

Randal et al. (2011)

Blackburn dan Scudder

(2009).

Aliran produk

Decay rate produk

Decay rate bahan baku

2.2. Kuantitas barang

Keamanan stok produk Boulaksil et al. (2009)

Keamanan stok bahan baku

Streamline stock Blackburn dan Scudder (2009)

Optimalisasi pengiriman

2.3. Pengelolaan gudang Penataan gudang

Manikas dan Terry (2009) Arus barang di gudang

C. Transportasi

3.1. Vehicle flow Penjadwalan pengiriman Siry et al. (2004)

Ketepatan waktu pengiriman Blackburn dan Scudder (2009)

3.2.price of trip Daya angkut truk Siry et al. (2004)

D. Sourcing

4.1. Penilaian pemasok

Manajemen pemasok Noor dan Pitt (2009)

Peningkatan kemampuan pemasok Noor dan Pitt (2009)

Kriteria pemasok Ellegaard (2008)

Pertanian berkelanjutan Pretty et al. (2008)

4.2. Integrasi pemasok Integrasi pemasok Siry et al. (2004).

4.3. Keeratan hub. Pemasok Hubungan pemasok Shukla et al.. (2011)

E. Informasi

5.1. Integrasi permintaan Integrasi permintaan Frayret et al. (2007), Waller

(2004)

5.2. Koordinasi

Perencanaan yang baik Frayret et al. (2007)

Pengendalian Randal et al. (2011),

Frayret et al. (2007)

Page 107: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

89

Tabel 27 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek responsivitas

SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER JURNAL ACUAN

A. Fasilitas

1.1. Pengelolaan fasilitas

Manajemen jml permintaan Noor dan Pitt (2009)

Manajemen waktu pemenuhan

Aliansi strategis Noor dan Pitt (2009)

Teknologi Lau et al. (2006)

1.2. Lokasi fasilitas

Kedekatan fasilitas Siry et al. (2004).

Infrastruktur jalan Siry et al. (2004)

Infrastruktur pelabuhan Siry et al. (2004)

1.3. Fleksibilitas fasilitas

Fleksibilitas kendaraan Jahre dan Hatteland (2004);

Soon dan Udin (2011);

Waller (2004) Fleksibilitas gudang

Fleksibilitas pabrik

B. Persediaan

2.1. Perputaran produk

Randal et al. (2011)

Blackburn dan Scudder

(2009).

Decay rate produk

Decay rate bahan baku

2.2. Kuantitas barang

Keamanan stok produk Boulaksil et al. (2009)

Keamanan stok bahan baku

2.3. Pengelolaan gudang Penataan gudang

Manikas dan Terry (2009) Arus barang di gudang

C. Transportasi

3.1. Vehicle flow

Penjadwalan pengiriman Siry et al. (2004)

Ketepatan waktu pengiriman Blackburn dan Scudder

(2009)

D. Sourcing

4.1. Penilaian pemasok

Manajemen pemasok Noor dan Pitt (2009)

Peningkatan kemampuan

pemasok Noor dan Pitt (2009)

Hubungan pemasok Shukla et al.. (2011)

Tingkat kepercayaan Vachon et al. (2009).

4.2. Integrasi pemasok Integrasi aktivitas produksi Siry et al. (2004).

4.3. Keeratan hubungan

Pemasok Jangka waktu hubungan

Shukla et al.. (2011)

E. Informasi

5.1. Integrasi Integrasi proses dan produk Rudolf et al. (2011),

Saad dan Gindy (2007),

Waller (2004)

Randal et al. (2011),

Frayret et al. (2007). 5.2. Koordinasi

Perencanaan yang baik

Pengendalian

Page 108: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

90

Hasil Pembobotan Driver dan Sub-driver

Hasil pembobotan driver dan sub-driver oleh pakar (Tabel 28) menunjukkan

bahwa dalam konteks pencapaian kinerja rantai pasok industri kakao, aspek

responsivitas lebih penting dibanding aspek efisiensi. Hal ini sejalan dengan sifat

(nature) produk olahan dari industri kakao yang memerlukan keandalan dan

ketepatan pemenuhan sesuai pesanan pelanggan yang bervariasi. Dalam hal ini

diperlukan fleksibilitas fasilitas pengolahan (pabrik) lebih dari sekedar besarnya

kapasitas. Di samping itu, salah satu tolok ukur bahwa industri kakao Indonesia

cenderung mementingkan responsivitas adalah sebaran lokasi industri yang

mendekati pasar yaitu di Pulau Jawa. Menurut Pujawan (2005) rantai pasok yang

ingin responsif biasanya memiliki fasilitas yang cenderung mendekati pasar.

Tabel 28 Hasil pembobotan driver kinerja rantai pasok dengan AHP

Hasil Pengolahan Data

Gambaran kinerja rantai pasok industri kakao dari aspek efisiensi dan

responsivitas baik pada level perusahaan dan level agregasi industri menunjukkan

kondisi yang penting bagi bahan perumusan kebijakan pengembangan industri

kakao (Gambar 20).

Gambar 20 Grafik kinerja rantai pasok efisiensi dan responsivitas industri kakao

BOBOT ASPEK EFISIENSI : 0,250 BOBOT ASPEK RESPONSIVITAS : 0,750

DRIVER BOBOT

DRIVER

SUB-DRIVER BOBOT

SUB DRIVER

DRIVER BOBOT

DRIVER

SUB-DRIVER BOBOT

SUB DRIVER

FASILITAS 0,095 1.1. PENGELOLAAN FASILITAS 0,140 FASILITAS 0,064 1.1. PENGELOLAAN FASILITAS 0,333

1.2. LOKASI FASILITAS 0,544 1.2. LOKASI FASILITAS 0,333

1.3. KAPASITAS FASILITAS 0,158 1.3. FLEKSIBILITAS FASILITAS 0,333

1.4. FLEKSIBILITAS FASILITAS 0,158 INVENTORY 0,348 2.1. PERPUTARAN PRODUK 0,600

INVENTORY 0,382 2.1. PERPUTARAN PRODUK 0,268 2.2. KUANTITAS BARANG 0,200

2.2. KUANTITAS BARANG 0,117 2.3. PENGELOLAAN GUDANG 0,200

2.3. PENGELOLAAN GUDANG 0,614 TRANSPORTASI 0,323 3.1. VEHICLE FLOW 1,000

TRANSPORTASI 0,347 3.1. VEHICLE FLOW 0,500 SOURCING 0,133 4.1.PENILAIAN PEMASOK 0,210

3.2.PRICE OF TRIP 0,500 4.2. INTEGRASI PEMASOK 0,240

SOURCING 0,111 4.1.PENILAIAN PEMASOK 0,091 4.3. KEERATAN HUB PEMASOK 0,550

4.2. INTEGRASI PEMASOK 0,455 INFORMASI 0,133 5.1. INTEGRASI PERMINATAAN 0,500

4.3. KEERATAN HUB PEMASOK 0,455 5.2. KOORDINASI 0,500

INFORMASI 0,065 5.1. INTEGRASI PERMINATAAN 0,500

5.2. KOORDINASI 0,500

Page 109: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

91

Analisis gap yang dilakukan meliputi: 1) Gap antara kinerja efisiensi dan

responsivitas; 2) Gap kinerja total (industri) dengan kinerja ideal yang diharapkan.

Analisis gap antara kinerja efisiensi dan responsivitas dalam hal ini menunjukkan

kecenderungan industri akan lebih mengutamakan efisiensi atau responsivitas

dalam strategi mencapai daya saingnya. Analisis ini dibutuhkan untuk

mengetahui sifat dasar (nature) dari permasalahan yang dihadapi industri kakao.

Li (2007) menyatakan bahwa salah satu sebab kegagalan rantai pasok suatu

perusahaan adalah karena kurang dipahaminya sifat dasar permintaan.

Kekurangpahaman ini berdampak pada kurang sesuainya rancangan konfigurasi

rantai pasok.

Gambar 21 Grafik kecenderungan efisiensi dan responsivitas industri kakao

Gambar 21 menunjukkan bahwa, pertama, secara umum industri kakao

cenderung mengutamakan responsivitas untuk keputusan menyangkut driver

fasilitas, persediaan dan sourcing. Kecenderungan tersebut menunjukkan industri

kakao memiliki fasilitas yang cenderung berkapasitas besar, fleksibel dalam

proses pengolahan, tingkat produksi tinggi, teknologi prosesnya cenderung

mempertahankan fleksibilitas kapasitas untuk penyangga permintaan atau

ketidakpastian pasokan (Hugos 2010; Ravindran dan Warsing 2012) . Selanjutnya,

industri kakao cenderung memiliki tingkat persediaan yang tinggi, dengan jenis

produk bervariasi, cenderung mempertahankan persediaan untuk menangani

ketidaktentuan permintaan/penawaran. Dalam hal memilih cara pengadaan seperti

bahan baku dan peralatan produksi, transportasi, dan penyimpanan cenderung

fleksibel, pengiriman cepat, disain kualitas serta berkinerja tinggi (Hugos 2010;

Ravindran dan Warsing 2012).

Kedua, untuk kondisi driver transportasi dan informasi industri kakao lebih

cenderung mengutamakan efisiensi. Artinya dalam hal kegiatan transportasi lebih

memilih pengiriman skala besar meskipun relatif lambat namun lebih murah.

Demikian juga untuk kinerja driver informasi, secara umum industri kakao

mengandalkan penyampaian informasi berbiaya murah, baik berupa koordinasi

dan integrasi pemasok dengan mengandalkan sarana komunikasi yang ada (Hugos

2010; Ravindran dan Warsing 2012).

-1,00

-0,80

-0,60

-0,40

-0,20

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

EFISIENSI

RESPONSIVITAS

Page 110: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

92

Gambar 22 Grafik kinerja rantai pasok agregat industri kakao

Indeks kinerja total industri kakao (Gambar 22) menunjukkan adanya

kesenjangan yang hampir merata pada seluruh driver rantai pasok. Nilai indeks

total yang merupakan penjumlahan indeks dari setiap driver mencapai nilai

sebesar 29.75. Idealnya kondisi yang diharapkan dapat mencapai nilai 45.00 jika

setiap driver memiliki kinerja maksimum yaitu bernilai 9. Gambaran tersebut

memberikan petunjuk tentang perlunya pembenahan atau perbaikan pada seluruh

driver.

Untuk dapat memberikan penekanan atau fokus yang lebih jelas pada bagian

mana dukungan perbaikan perlu dilakukan, perlu prioritas penanganan yang

didasarkan atas nilai kesenjangan yang dimiliki masing-masing kinerja driver

rantai pasok. Analisis gap terhadap kondisi ideal diperoleh daftar driver rantai

pasok dengan urutan dari yang paling terpuruk yaitu : fasilitas, inventori,

informasi, transportasi, dan sourcing (Gambar 23).

Gambar 23 Kesenjangan kinerja driver rantai pasok industri kakao

Model Perumusan Kebijakan Berbasis Rantai Pasok

Indeks kinerja rantai pasok industri merupakan input berharga untuk bahan

perumusan kebijakan pengembangan industri kakao di Indonesia. Rodrik (2004)

mengungkapkan bahwa kebijakan industri yang baik membutuhkan informasi dari

pihak swasta (industri) tentang hal-hal yang menyangkut eksternalitas yang

Page 111: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

93

dialaminya. Lebih lanjut, kebijakan yang baik perlu kolaborasi strategis swasta-

pemerintah dengan tujuan mengenali hambatan dan jenis intervensi apa yang

sesuai untuk menghilangkannya.

Berdasarkan hasil pengukuran kinerja rantai pasok, selanjutnya disusun

model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao. Model

perumusan kebijakan yang disusun menunjukkan proses pembuatan kebijakan

agar lebih mudah dipahami (Winarno 2002). Dengan mengacu pada literatur

sebelumnya bahwa kebijakan industri sebagai sasaran yang akan dirumuskan oleh

model adalah suatu upaya strategis pemerintah untuk mendorong pengembangan

dan pertumbuhan industri manufaktur. Dalam hal ini kebijakan industri

merupakan langkah-langkah yang diambil pemerintah yang bertujuan untuk

meningkatkan daya saing dan kemampuan industri dalam negeri serta

mempromosikan transformasi struktural pembangunan infrastruktur yang

mendukung industri (Graham 1994; Bingham 1998; dan Rodrik 2004).

Pengukuran Kinerja

Rantai Pasok Industri

Kakao

Penentuan Batas Kritis

(Median)

Indeks Kinerja

Rantai Pasok

Industri

Skor < 5

Kinerja Driver dan Sub

Driver Kurang/Lemah

Penentuan Kebijakan

(Literatur dan Wawancara)

Relasi antar Kebijakan

(ISM)

Kebijakan PemerintahKebijakan Perusahaan

Kinerja Driver dan Sub

Driver Baik

ValidBelum

Rumusan Kebijakan

Pendukung Pengembangan

Industri Kakao Berbasis

Rantai Pasok

Pen

elus

uran

Inde

ks

Stop

Kebijakan

Mempertahan dan

Peningkatan

Gambar 24 Model konseptual perumusan kebijakan pendukung pengembangan

industri kakao berbasis rantai pasok

Page 112: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

94

Model konseptual perumusan kebijakan (Gambar 24) dimulai dengan input

model berupa indeks kinerja rantai pasok industri sebagaimana yang dilakukan

pada tahap sebelumnya. Gambar 24 memperlihatkan bahwa proses perumusan

kebijakan dalam model ini didasarkan pada kondisi nyata yang digambarkan

dalam bentuk indeks kinerja rantai pasok industri. Dalam indeks kinerja rantai

pasok terdiri atas faktor-faktor penggerak (driver) yang menunjukkan kinerja yang

berbeda-beda. Dari skor indeks kinerja dapat diketahui driver dan sub driver apa

saja yang lemah. Kelemahan dapat dilihat dari kesenjangan yang nyata antara

kondisi ideal dengan pencapaian kinerja.

Dengan mengambil satu titik di antara sebaran skor kinerja mulai 1 sampai

9 sebagai ambang batas (threshold), maka dapat dipilah kinerja driver dan sub

driver yang baik dan kurang baik. Kinerja driver dan sub driver dengan skor di

bawah titik ambang batas termasuk driver dan sub driver yang kurang baik atau

lemah, sebaliknya driver dan sub driver dengan skor di atas ambang batas

dianggap dalam keadaan baik.

Jenis ambang batas yang digunakan dapat bermacam-macam bergantung

pada tujuan pengambilan keputusan dan sebaran data yang dimiliki. Beberapa

ukuran sebaran data seperti rata-rata (mean), nilai tengah (median) dan modus

(mode) dapat dipilih sebagai titik ambang batas.

Dalam konteks sebaran data skor kinerja rantai pasok industri kakao dalam

penelitian ini dipilih nilai tengah yaitu skor 5 sebagai ambang batas. Hal ini

karena nilai tengah dari skor pengukuran kinerja rantai pasok bernilai tetap.

Keuntungan dengan ambang batas yang tetap adalah jika model ini

diimplementasi dengan menambah sampel perusahaan yang diukur kinerjanya,

hasilnya masih dapat dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya. Jika

menggunakan rata-rata sebagai ambang batas, maka rata-rata skor pengukuran

akan berbeda karena jumlah sampel yang berbeda. Namun jika model dapat

memperoleh data/informasi secara luas sehingga seluruh perusahaan dalam

industri kakao tercakup dalam penelitian, maka penggunaan ambang batas rata-

rata akan lebih baik karena lebih mencerminkan populasi.

Proses selanjutnya dalam model konseptual perumusan kebijakan ini adalah

penentuan kebijakan (Gambar 25). Penentuan kebijakan diperoleh dari dua

macam proses, pertama penelusuran kembali terhadap indeks kinerja dengan

menerapkan skor 5 (nilai tengah) sebagai ambang batas pemilahan driver

berkinerja baik dan kurang baik. Kedua, dengan menggunakan literatur yang

relevan untuk memperoleh alternatif kebijakan yang sudah dibuktikan penelitian

sebelumnya akan memperbaiki keadaan yang kurang. Di samping itu kebijakan

yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi juga

mengacu pada pendapat para pakar di bidan yang sesuai.

Page 113: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

95

Penelitian

sebelumnya

yang relevan

Review pada driver

yang bersesuaian

Parafrase

Temuan yang

ditunjukkan

Pencarian literaturKebijakan yang relevan

untuk suatu

permasalahan

Penilaian oleh Pakar

& Praktisi

Verified

Masukan pakar

& Praktisi

Belum

Stop

Data IKRP

(Indeks Kinerja

Rantai Pasok)

Penelusuran Indeks

Kinerja Rendah

Penentuan Batas Kritis

(Median)

Skor < 5

Daftar Driver dan Sub

Driver Berkinerja Kurang

Penentuan Kebijakan

Kebijakan

Perusahaan

Kebijakan

Pemerintah

Gambar 25 Proses penentuan kebijakan

Pada proses penelusuran nilai indeks kinerja driver diperoleh hasil penilaian

skor driver atau sub driver. Selanjutnya, kebijakan yang dirumuskan adalah

kebijakan untuk mengatasi kondisi driver yang berkinerja kurang. Sementara

untuk driver dengan kinerja baik direkomendasikan kebijakan mempertahankan

atau meningkatkan. Hasil penentuan kebijakan untuk mendukung pengembangan

industri kakao sebagaimana Tabel 29. Pustaka yang tertulis dalam kurung setelah

pernyataan kebijakan merupakan acuan yang mendukung pernyataan kebijakan

yang dirumuskan.

Tabel 29 Rumusan Kebijakan berdasar kinerja rantai pasok

Driver Kondisi/Permasalahan

yang dialami industri Kebijakan Perusahaan Kebijakan Pemerintah

Fasilitas Jauhnya jarak sumber

bahan baku ke industri

Kondisi jalan yang

macet atau dalam

kondisi rusak

menambah waktu

tempuh dan biaya

Kondisi pelabuhan

untuk pengiriman

bahan baku dan barang

jadi saat ini lambat

dan kurang memadai.

Fleksibilitas pabrik

dan gudang yang

Pemilihan moda

transportasi yang lebih

efisien (kapasitas dan

utilitas) (Cook et al.

2011)

Pemilihan lokasi

pabrik yang lebih

murah (Pujawan 2005)

Investasi teknologi

proses yang lebih

Perbaikan

infrastruktur jalan

(Siry et al. 2006)

Perbaikan

infrastruktur dan

manajemen

pelabuhan (Grigg

2000)

Pemberian insentif

fiskal pengembangan

Page 114: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

96

Driver Kondisi/Permasalahan

yang dialami industri Kebijakan Perusahaan Kebijakan Pemerintah

kurang. fleksibel (Bauhoff

2003).

industri (Barbour

2005).

Pemenuhan pasokan

energi listrik dan gas

untuk industri (Delis

A. 2008)

Inventori Aliran bahan baku

kurang tepat waktu

Banyaknya bahan

baku yang rusak

setelah dikirim sampai

ke pabrik

Sering terjadi order

produk yang tidak

terlayani akibat tidak

ada stok produk

Proses pengiriman

barang kurang optimal

Pengelolaan pemasok

dan peningkatan

kemampuan pemasok

(Noor dan Pitt 2009)

Penerapan streamline

stock (Randal et al.

2011) dan optimalisasi

pengiriman

(Blackburn dan

Scudder 2009)

Peningkatan

produktivitas kebun

kakao (Wahyudi et

al. 2008)

Revitalisasi penyuluh

pertanian/perkebunan

(PSE Litbangtan

2012)

Perluasan penerapan

Wajib SNI biji kakao

(Salam 2011;

Wahyudi et al. 2008)

Informasi Perencanaan masih

menggunakan cara

biasa

Penerapan teknologi

informasi dalam

perencanaan (Frayret

et al. 2007)

Perluasan jaringan

telekomunikasi (Levi

et al. 2002)

Transportasi Kurang penjadwalan

pengiriman barang

Penjadwalan

pengiriman secara

ketat (Blackburn dan

Scudder 2009)

Penghapusan

hambatan

perdagangan antar

daerah (CSP 2010)

Sourcing

Kurangnya

pengelolaan pemasok

di perusahaan

Kurangnya upaya

perusahaan dalam

meningkatkan

kemampuan pemasok

Pemilihan pemasok

dengan kriteria dan

penerapan standar

(Ellegaard 2008;

Pretty et al. 2008).

Peningkatan

kemampuan pemasok

(Noor dan Pitt 2009).

Penguatan

kelembagaan petani

(pemasok kakao)

(Arsyad dan

Kawamura 2009)

Kerjasama

pemerintah dan

industri dalam

peningkatan

penyuluhan dan

pendamping petani

(Arsyad dan

Kawamura 2009)

Mengacu pada Miller et al. (2007) bahwa suatu rumusan kebijakan harus

dapat menjabarkan tentang pilihan cara untuk menyelesaikan masalah, tujuan dan

prioritas dari kebijakan. Untuk itu rumusan kebijakan sebagaimana Tabel 29 dapat

dijabarkan dalam bentuk kebijakan peningkatan kinerja masing-masing rantai

pasok driver.

Kebijakan peningkatan kinerja driver fasilitas

Pada driver fasilitas terdapat empat keadaan yang dinilai kurang yaitu:

jauhnya jarak sumber bahan baku ke lokasi industri dan kondisi jalan yang macet

atau dalam kondisi rusak. Selain itu, jarak pengiriman biji kakao antar pulau yang

tersebar dihadapkan pada kondisi pelabuhan yang kurang memadai serta lambat

Page 115: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

97

dalam pelayanan. Hal tersebut akan berisiko menambah waktu tempuh aliran

barang dan biaya perjalanan. Untuk itu, perbaikan infrastruktur dan manajemen

pelabuhan akan sangat membantu mempercepat perjalanan dan mengurangi biaya.

Jauhnya jarak sumber bahan baku dan kondisi jalan yang kurang memadai dapat

diatasi dengan pemilihan moda transportasi yang lebih efisien. Hal ini akan

memberikan kontribusi signifikan terhadap efisiensi rantai pasok (Cook et al.

2011). Selain itu dengan memilih lokasi yang lebih murah untuk pembangunan

pabrik merupakan strategi ekspansi yang mempertimbangkan jauhnya jarak

sumber bahan baku dan hambatan transportasi yang tidak bisa dihindari (Pujawan

2005). Dari sisi pemerintah perlu untuk mengambil kebijakan perbaikan jalan yang

menghubungkan kegiatan ekonomi yang strategis termasuk untuk menunjang

pergerakan komoditas kakao dari sentra produksi hingga ke pelabuhan atau ke

industri. Kondisi jalan yang memadai (lebar dan bebas hambatan) yang

menghubungkan daerah penghasil dengan industri atau pelabuhan ekspor akan

mengefisienkan rantai pasok (Siry et al. 2006). Menurut hasil perhitungan

inefisiensi akibat kondisi jalan yang buruk mencapai Rp 186/kg biji kakao yang

diangkut (lihat Tabel 7).

Kurangnya fleksibilitas pabrik dan gudang merupakan keadaan driver

fasilitas yang dihadapi oleh industri kakao saat ini. Pengertian fleksibililas pabrik

adalah kemampuan untuk memproses bermacam-macam benda dengan bentuk

yang berbeda-beda dan pada sistem kerja yang berbeda-beda pula. Fleksibilitas

juga berarti kemampuan untuk mengubah bentuk benda produksi sesuai dengan

permintaan yang datang (Chopra dan Meindl, 2007). Sementara itu menurut

Beamon (1999) sebuah system manufaktur baru dapat dikatakan fleksibel jika: l)

Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi proses produksi yang mempunyai

ciri-ciri berbeda ataupun benda yang berbeda berdasarkan system; 2) Mampu

dengan cepat mengubah instruksi operasi; 3) Mampu dengan cepat mengubah

pengaturan fisik (physical set up) desain manufakturnya.

Dari sisi perusahaan, kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah

fleksibilitas pabrik adalah investasi mesin yang memiliki spesifikasi lebih fleksibel.

Komponen mesin industri kakao skala besar yang berspesifikasi tinggi

(fleksibilitas tinggi) memiliki ketergantungan pada pasokan energi baik listrik

maupun gas yang tinggi pula. Jenis mesin tersebut di antaranya adalah mesin

penyangrai biji kakao berbahan bakar gas (cocoa gas roaster) dan permesinan

lainnya bertenaga listrik yang semuanya dapat diintegrasikan dalam satu sistem

proses pengolahan kakao (cocoa processing plant) yang membutuhkan pasokan

listrik dan gas yang mencukupi. Selain itu, gas juga digunakan untuk pemanasan

terhadap bagian-bagian mesin pengolahan kakao yang menganut sistem aliran

panas, seperti pada sistem perpipaan, dan membantu proses pengempaan (pressing)

agar lebih efektif (Misnawi, Agustus 2013, wawancara). Namun, mengingat nilai

investasi barang modal yang relatif besar, maka perlu dukungan pemerintah

dengan pemberian insentif fiskal (perpajakan) terhadap pembangunan/

pengembangan industri, serta kebijakan yang memberi jaminan pasokan energi

listrik dan gas yang memadai.

Berkenaan dengan fleksibilitas gudang yang kurang, secara internal

kebijakan perusahaan untuk mengatasinya di antaranya dengan meningkatkan

sistem pengelolaannya dengan memanfaatkan teknologi. Salah satu bentuknya

berupa WMS (warehouse management system) yaitu suatu pusat distribusi berbasis

Page 116: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

98

aturan canggih atau alat manajemen gudang yang menyediakan serangkaian fungsi

terintegrasi sebagai paket terkonfigurasi (Bauhoff 2003). Namun demikian akuisisi

dan implementasi teknologi WMS harus terencana dengan baik meyangkut

berbagai persiapan. Untuk itu, menurut Bauhoff (2003) optimalisasi strategi

operasional gudang konvensional merupakan pilihan pertama jika masih bisa

memenuhi fleksibilitas yang diminta oleh proses produksi dan permintaan pasar.

Pada tingkat yag lebih maju, pengelolaan gudang dapat memanfaatkan RFID

(radio frequency identification) mendukung desain teknologi WMS yang

memungkinkan untuk memproses dan mengontrol semua informasi yang

terkandung dalam tag RFID pada setiap jenis barang yang disimpan.

Dari sisi pemerintah kondisi yang dihadapi oleh industri merupakan

permasalahan yang perlu diatasi. Salah satu bentuk instrumen kebijakan yang

dimiliki pemerintah adalah dengan mengurangi atau menghilangkan beban pajak

impor barang modal bagi industri melalui kebijakan fiskal. Hal ini didasari oleh

teori bahwa kebijakan insentif fiskal dapat meningkatkan investasi (terutama FDI)

dan pertumbuhan ekonomi. Insentif fiskal bekerja dengan mengubah parameter

dari suatu proyek investasi dimana perusahaan (investor) memilih untuk

melakukan investasi ketika Net Present Value (NPV) dari arus kas suatu proyek

lebih besar dari nol (Barbour 2005).

Kebijakan peningkatan kinerja driver persediaan

Kelemahan yang dialami pada driver persediaan adalah banyaknya bahan

baku yang rusak setelah dikirim sampai ke pabrik. Kondisi biji kakao yang rusak

dapat ditandai dengan biji berkualitas jelek (tidak terfermentasi, purple dan slaty

bila dibelah, berjamur, warna ungu akibat fermentasi berlebih, biji pipih, kecil dan

biji pecah-pecah, berkecambah, berbau tidak sedap, berbau asap akibat

pengeringan berlebih, berjamur, bercampur kotoran, tingkat kelembaban dan kadar

air yang tinggi). Jika salah satu atau beberapa kondisi tersebut ada pada biji kakao

yang diangkut, maka hal ini dapat terjadi karena mutu bahan baku yang dikirim

tidak memenuhi standard. Jika kadar air tinggi kecenderungan biji berjamur dan

rusak sangat besar. Industri kakao membutuhkan biji kakao dengan kadar air

antara 6-7%. Jika lebih dari 8%, yang turun bukan hanya hasil rendemennya saja,

tetapi juga berisiko terhadap serangan bakteri dan jamur. Jika kadar air kurang dari

5%, kulit biji akan mudah pecah dan biji harus dipisahkan karena mengandung

kadar biji pecah yang tinggi (Wahyudi et al. 2008).

Untuk dapat mengatasi kondisi tersebut yang paling mendasar dimulai dari

perbaikan kualitas biji kakao melalui penanganan pasca panen melalui revitalisasi

penyuluh pertanian (khususnya perkebunan) yang kondisinya kurang memadai

(PSE Litbangtan 2012). Selanjutnya perlunya penerapan Wajib SNI biji kakao

secara luas terhadap seluruh mata rantai perdagangan biji kakao. Keterpurukan

citra mutu kakao Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari penerapan standar mutu

kakao yang selama ini masih secara sukarela dan longgarnya persyaratan mutu di

dalamnya. Pelaksanaan dan perluasan penerapan standar mutu secara konsisten

akan mendorong (mendidik) perbaikan mutu dan secara bertahap akan

memperbaiki citra mutu kakao di dalam perdagangan global (Salam 2011;

Wahyudi et al. 2008).

Dari sisi perusahaan aliran bahan baku kurang tepat waktu dapat diselesaikan

dengan cara pengelolaan pemasok yang benar-benar memiliki kualifikasi baik

Page 117: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

99

(Noor dan Pitt 2009). Artinya dengan kendala kondisi infrastruktur jalan dan

hambatan lainnya akan dapat diupayakan meskipun dengan biaya yang relatif besar.

Untuk itu peran pemerintah melalui program dan kebijakan yang dapat

memperbaiki infrastruktur yang mendukung aliran barang lebih lancar menjadi

harapan perusahaan pengolah kakao. Sementara itu, banyaknya bahan baku yang

rusak setelah dikirim sampai ke pabrik secara umum berkaitan dengan mutu biji

kakao dari lokasi asal biji kakao tersebut, atau juga bisa terjadi akibat sistem

perdagangan biji kakao yang kurang sehat, yaitu ada tindakan pencampuran biji

kualitas baik dan buruk tersebut didorong oleh target mengejar suatu komposisi

mutu dan volume tertentu. Upaya secara internal yang dapat dilakukan

perusahaan adalah perluasan kemitraan dengan pemasok/ petani untuk menjamin

pasokan secara kontinu. Sementara untuk mengatasi seringnya terjadi order

produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk dapat dilakukan dengan

penerapan streamline stock yaitu perusahaan meminimalisir stok barang untuk

meminimalisir biaya penyimpanan barang (Randal et al. 2011) dan optimalisasi

pengiriman (Blackburn dan Scudder 2009).

Kebijakan peningkatan kinerja driver informasi

Perencanaan yang dilakukan oleh industri kakao masih menggunakan cara

biasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa perencanaan industri --sebagai salah satu

elemen dari driver informasi rantai pasok-- belum mengadopsi teknologi informasi

yang memadai agar lebih efisien dan responsif terhadap tantangan dan peluang

yang ada. Dari sisi perusahaan, kebijakan yang relevan untuk mengatasi keadaan

tersebut adalah dengan penerapan teknologi informasi dalam berbagai lingkup

untuk mengintegrasikan keterkaitan antar perusahaan yang membentuk rantai

pasok. Perusahaan dengan perencanaan rantai pasok berkualitas dan kontrol yang

kuat atas aktivitas produksi memiliki rantai pasok yang efisien karena tidak

dimungkinkan adanya aktivitas yang merugikan (Frayret et al. 2007). Selain itu

teknologi informasi diperlukan untuk memperbaiki kinerja rantai pasok terutama

dengan mengurangi ketidakpastian (Chopra dan Meindl 2007).

Salah satu kendala yang dihadapi dalam penerapan menerapkan teknologi

informasi untuk rantai pasok adalah penyiapan infrastruktur. Levi et al. (2002)

menyebutkan bahwa infrastruktur teknologi informasi mencakup empat komponen,

yaitu: interface devices, komunikasi, database, dan arsitektur sistem. Infrastruktur

ini harus disiapkan, baik untuk internal perusahaan maupun eksternal antar

perusahaan dalam rantai pasok. Beberapa kendala yang harus dapat diatasi dalam

penerapan teknologi informasi untuk pengelolaan rantai pasok, antara lain, masalah

penyiapan infrastruktur dan standardisasi informasi. Masalah bentuk informasi

tersebut terkait dengan standardisasi informasi. Informasi dapat dalam berbagai

bentuk atau format yang berbeda sesuai dengan teknologi informasi yang

digunakan perusahaan. Perbedaan bentuk atau format ini dapat menjadi kendala

untuk mengintegrasikan informasi. Jika informasi ini tidak dapat terintegrasi maka

pengelolaan rantai pasok sangat sulit dilakukan.

Untuk mendukung aktivitas tersebut pemerintah perlu mempeluas akses

untuk memperlancar arus informasi antar pelaku rantai pasok kakao lintas daerah.

Syam (2006) dalam penelitiannya menempatkan kebijakan pengembangan

infrastruktur jaringan telekomunikasi menjadi kebijakan yang mendasar dan

penting bagi pengembangan agrokakao. Pada daerah dimana infrastruktur

Page 118: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

100

telekomunikasi masih kurang perlu dukungan penambahan prasarana, seperti di

sentra produksi kakao yang berada di pedesaan.

Kebijakan peningkatan kinerja driver Transportasi

Pada driver transportasi terlihat masih kurangnya penjadwalan merupakan

permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Secara internal perusahaan dapat

melakukan penjadwalan pengiriman secara lebih ketat (Blackburn dan Scudder

2009). Dengan pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman. Akan

memperlancar arus barang, baik di gudang maupun di tempat proses produksi,

sehingga membuat meningkatkan efisiensi keseluruhan rantai pasok. Konsep ini

sejalan dengan konsep JIT yang telah lama diterapkan di berbagai industri.

Sementara itu, dari sisi pemerintah kebijakan yang memberikan iklim yang

kondusif bagi upaya peningkatan aliran barang ini adalah dengan penghapusan

hambatan perdagangan antar daerah (pungutan/retribusi) akan lebih memperlancar

pasokan dan mengurangi biaya pengiriman (CSP 2010).

Kebijakan peningkatan kinerja driver sourcing

Permasalahan pada driver sourcing rantai pasok industri kakao adalah

kurangnya pengelolaan pemasok di perusahaan dan kurangnya upaya perusahaan

dalam meningkatkan kemampuan pemasok. Hal ini menunjukkan kondisi nyata

bahwa manajemen hubungan pemasok (supplier relationship management) dalam

industri kakao belum berjalan baik. Manajemen hubungan pemasok merupakan

proses yang menentukan bagaimana suatu perusahaan berinteraksi dengan para

pemasoknya. Menggingat pemasok berperan penting dalam menentukan mutu

produk, biaya, pengembangan produk bagi perusahaan. Mutu produk dan layanan,

sebagai penentu kepuasan pelanggan, salah satunya bergantung kepada kualitas

pemasok yang dipilih. Jadi pemasok yang berkualitas tentu memudahkan

perusahaan menghasilkan produk dan layanan yang berkualitas pula. Dari sisi

perusahaan (industri) harus cermat dalam memilih pemasok yang sesuai. Pemilihan

pemasok dapat dilakukan dengan menerapkan kriteria tertentu dan penerapan

standar dalam budidaya yang dilakukan oleh petani dan penanganan biji kakao

yang diperdagangkan (Ellegaard 2008; Pretty et al. 2008).

Menurut Susanto (2006), untuk memdapatkan pemasok yang bermutu dan

membina hubungan baik dengan mereka diperlukan langkah-langkah: komitmen,

komunikasi, kejujuran, dan berbagi informasi. Kemitraan yang sudah

dikembangkan oleh industri kakao dengan para pemasok (petani) perlu diperluas

dengan membangun buying station lebih banyak. Hal ini akan memberikan

penguatan pasar bagi pemasok yang menerapkan budidaya dan pascapanen yang

baik disamping akan memberikan harga di tingkat petani yang lebih baik pula

sehingga berdampak pada perbaikan mutu secara keseluruhan wilayah sentra

produksi kakao.

Dari sisi pemerintah perlu ada penguatan terhadap kelembagaan petani

sebagai pemasok utama biji kakao. Selain itu kelembagaan petani yang kuat akan

dapat memperluas kemitraan antara petani dan industri. Penguatan kelembagaan

petani untuk membentuk kelompok/koperasi akan membuat petani lebih berdaya

berhadapan dengan pelaku lainnya. Selain itu pemerintah perlu bekerjasama

dengan industri dalam penyuluhan dan pendamping petani. Karena akan dapat

menerapkan kontrak dengan industri. Selanjutnya industri perlu melakukan

Page 119: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

101

penguatan kapasitas pemasok (pelatihan dan percontohan). Mengingat selama ini

jangkau penyuluh pertanian masih sangat rendah terutama di komoditas kakao

(Arsyad dan Kawamura 2009).

Relasi antar Kebijakan

Metodologi ISM

Untuk memperoleh kualitas rumusan kebijakan yang lebih baik dari

implikasi kebijakan yang telah diperoleh (Tabel 25), perlu strukturisasi dan

keterkatain antar kebijakan. ISM adalah sebuah teknik permodelan yang

dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. Menurut Eriyatno (2003)

ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-

model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu

sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis

serta kalimat.

Metode ISM telah luas digunakan, terutama untuk menganalisis struktural

elemen-elemen berdasarkan hubungan kontekstual-nya (Saxena et al. 1992;

Machfud 2001; Eriyatno 2003; Marimin 2004). ISM bersangkut paut dengan

interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi

teori grafis secara sistematis dan iteratif Metode ISM telah luas digunakan,

terutama untuk menganalisis struktural elemen-elemen berdasarkan hubungan

kontekstual-nya (Saxena et al. 1992). Secara khusus pada penelitian bidang rantai

pasok Charan et al. (2008) menerapkan ISM untuk menganalisis interkasi antara

variabel kinerja rantai pasok sehingga diperoleh alternatif variabel yang lebih

realistik dalam penerapan sistem pengukuran kinerja rantai pasok. Ramesh et al.

(2010) juga menerapkan metodologi ISM untuk pemodelan hambatan kolaborasi

rantai pasok.

ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur,

termasuk struktur pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian), struktur

prioritas (misalnya: „lebih penting dari‟ atau „sebaiknya dipelajari sebelumnya‟),

dan kategori ide (misalnya: „termasuk dalam kategori yang sama dengan‟).

Langkah perumusan kebijakan memerlukan penentuan hubungan kontekstual

yang kemudian dikonversi menjadi suatu hubungan matematik (Rm) di antara

alternatif implikasi kebijakan yang ada. Hubungan antar elemen tersebut

dinyatakan dalam perkalian Cartesian. Matriks tersebut harus memenuhi sifat

reflexive dan transitive (Machfud 2001). Berdasarkan hubungan kontekstual

tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix (SSIM). Menurut Jaya et

al. (2010), Eriyatno (2003) dan Marimin (2004), langkah-langkah permodelan

dengan menggunakan ISM mencakup:

1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi

elemen dapat diperoleh melalui penelitian atau diskusi curah pendapat.

2) Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar elemen

dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan.

3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix

SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap

hubungan elemen yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk

Page 120: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

102

mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua elemen dari sistem yang

dikaji adalah:

V ..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya

A ..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya

X ..... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya

O ..... menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan

4) Matriks Reachability (Reachability Matrix--RM): Sebuah RM yang

dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah

matriks biner. Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan

berikut,

Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1

dan Eji = 0 dalam RM.

Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0

dan Eji = 1 dalam RM.

Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1

dan Eji = 1 dalam RM.

Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0

dan Eji = 0 dalam RM.

RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect

reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.

5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam

level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua

perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability

set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari

elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen

dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen,

dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi

berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam

iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi

untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama.

Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-

level yang berbeda.

6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang

sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian

besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan

terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan

digraph.

7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah

grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan

level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.

Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua

komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.

8) Interpretative Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan

seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu

ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem

dan alur hubungannya.

Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi menjadi

dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip

Page 121: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

103

dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan

nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk

pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang

berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang

dikaji. Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, namun

harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau

tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat yang lebih rendah lebih

cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana tingkat yang lebih tinggi

beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d)

liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan

e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah

lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya. Teknik ISM dapat

memberikan basis analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat

berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis.

Selanjutnya, Saxena et al. (1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM

dalam analisis, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama: Sektor

masyarakat yang terpengaruh; kebutuhan dari program; kendala utama program;

perubahan yang diinginkan; tujuan dari program; tolok ukur untuk menilai setiap

tujuan; aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan; ukuran aktivitas

untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas; dan lembaga yang terlibat

dalam pelaksanaan program. Dalam menyusun elemen perihal dapat pula

ditetapkan menurut Sharma (1994), yaitu: pernyataan atas tujuan; usulan proyek

atau pilihan; parameter ekonomi; tolok ukur dasar pembinaan suatu sistem; nilai;

permasalahan, peluang, penyebab; dan aktivitas, kejadian (events).

Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan

menjadi sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara

sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan

berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam

terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-

elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno

(2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Keterkaitan

antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti disajikan pada

Tabel 30. Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural

Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol:

V jika eij = 1 dan eji = 0

A jika eij = 0 dan eji = 1

V jika eij = 1 dan eji = 1

V jika eij = 0 dan eji = 0

Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen

ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i

dan elemen ke-j. Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam Structural Self

Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan

mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM selanjutnya

dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas.

Page 122: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

104

Tabel 30 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM

No Jenis Hubungan Interpretasi

1 Pembandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah dari B

A 20% lebih berat dari B

2 Pernyataan (definitive) A adalah atribut B

A termasuk di dalam B

A mengartikan B

3 Pengaruh (influence) A menyebabkan B

A adalah sebagian penyebab B

A mengembangkan B

A menggerakkan B A meningkatkan B

4 Keruangan (spatial) A adalah selatan/utara B

A diatas B

A sebelah kiri B

5 Kewaktuan (temporal/time

scale)

A mendahului B

A mengikuti B

A mempunyai prioritas lebih dari B

Sumber: Eriyatno (2003)

Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah

untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk

menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk

mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke

dalam 4 sektor:

Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang

berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem,

mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun hubungan

tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen

yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas

atau dipengaruhi oleh sub elemen lain.

Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang

berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan

antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen

tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan

balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen

yang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas

yang memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen

lain dalam sistem.

Tatalaksana Metode ISM

Pengumpulan Data

Data sekunder yang dikumpulkan berupa data dan laporan dari kementerian

terkait berkenaan dengan jenis kebijakan yang ada tentang perkakaoan, sedangkan

proses akuisisi pengetahuan melalui wawancara mendalam dengan para pakar

Page 123: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

105

(responden). Penetapan responden sebagai seorang pakar berdasarkan atas (1)

reputasi, kedudukan dan kredibilitasnya yang sesuai pada topik kajian; (2)

memiliki pengalaman dibidang yang tekuni; (3) bersedia untuk diwawancara

secara mendalam. Berdasarkan kriteria tersebut maka dipilih tiga pakar yaitu pakar

di bidang kebijakan industri hasil perkebunan, teknologi pengolahan kakao, dan

ekonomi pertanian.

Penentuan elemen kebijakan yang merupakan hasil pengukuran kinerja rantai

pasok industri kakao. Yang dimaksud dengan data pada teknik ISM adalah

kumpulan pendapat atau penilaian dari pakar sewaktu mereka menjawab tentang

keterkaitan antar elemen yang dibandingkan.

Pengolahan Data

Berdasarkan hasil rumusan kebijakan pengembangan industri kakao

sebagaimana diuraikan pada Tabel 29, diperoleh 11 kebijakan (Tabel 31) yang

selanjutnya diolah dengan menggunakan teknik ISM.

Tabel 31 Rumusan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri kakao

No Kebijakan dan program pemerintah

1 Perbaikan infrastruktur jalan

2 Perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan

3 Pemberian insentif fiskal pengembangan industri

4 Pemenuhan pasokan energi listrik dan gas untuk industri

5 Peningkatan produktivitas kebun kakao

6 Revitalisasi penyuluh pertanian/perkebunan

7 Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao

8 Perluasan jaringan telekomunikasi

9 Penghapusan hambatan perdagangan antar daerah

10 Penguatan kelembagaan petani (pemasok kakao)

11 Kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan penyuluhan dan

pendamping petani

Pengolahan data menggunakan teknik ISM dengan metode ISM-VAXO

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Penyusunan Matriks SSIM

Dari elemen kebijakan yang telah disepakati, disiapkan kuesioner penilaian

pakar (terlampir). Pada pemodelan dengan ISM pendapat atau penilaian hubungan

kontekstual elemen dinyatakan dalam bentuk huruf V, A, X, O yang menunjukkan

bahwa:

V : sub-elemen ke-i mempunyai hubungan dengan sub-elemen ke-j dan sub-

elemen ke-j tidak mempunyai hubungan dengan sub elemen ke-i.

A : sub-elemen ke-j mempunyai hubungan dengan sub-elemen ke-i dan sub-

elemen ke-i tidak mempunyai hubungan dengan sub elemen ke-j.

X : sub-elemen ke-i mempunyai hubungan timbal balik dengan sub-elemen ke-j.

O : sub-elemen ke-i tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan sub-elemen

ke-j.

Page 124: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

106

Hasil penilaian berupa matrik SSIM dari ketiga pakar diagregasi dengan

menggunakan Modus untuk memperoleh satu matriks SSIM (Gambar 26).

11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 V V V V X V V V X V

2 V A V V V V V X X

3 A A X V X A A X

4 V A V V V V V

5 X X V V V X

6 X X V V V

7 A A X V

8 A A A

9 A A

10 X

11

Gambar 26 Structural self interaction matrix (SSIM) awal kebijakan

pemerintah pendukung pengembangan industri kakao

Transformasi Matriks SSIM menjadi Matriks Reachability

Hubungan kontekstual antar sub-elemen dalam bentuk matriks yang selnya

dalam bentuk huruf (VAXO) ditransformasi menjadi matriks Reachability bilangan

biner dengan aturan seperti di atas. Hasil transformasi menjadi matriks

Reachability sebagaimana Gambar 27.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1

3 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0

4 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1

5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1

6 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1

7 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0

8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0

9 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0

10 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

11 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1

Gambar 27 Matriks reachability

Page 125: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

107

Pengujian dan Transformasi Matriks Reachability

Matriks bersifat Reachability jika dengan operasi Boolean memenuhi syarat

reflexive dan transitif, jika tidak maka dilakukan penyesuaian dengan melakukan

operasi recursive multiplication sehingga terbentuk kondisi matriks tertutup

(causal looping). Setelah dilakukan proses pengecekan dengan aturan transitivity

sampai didapatkan final SSIM (Gambar 28) dan final RM (Gambar 29).

11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 V V V V V V V V V V

2 V A V V V V V V V

3 A A X X X A A A

4 V A V V V V V

5 A A V V V V

6 A A V V V

7 A A X X

8 A A X

9 A A

10 V

11

Gambar 28 Revisi SSIM final (memenuhi syarat transitivity rule)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 DP R

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1*

2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 9 3

3 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 7

4 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 8 4

5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 6 5

6 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 5 6

7 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 8

8 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 8

9 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 8

10 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 2

11 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 7 4

D 1 3 11 4 6 7 11 11 11 2 5

Gambar 29 Hasil matriks reachability final dan interpretasinya

Keterangan:

D = Ketergantungan (dependence)

DP = Daya Dorong (driver power)

R = Rangking (tanda * merupakan elemen kunci)

Page 126: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

108

Interpretasi Output ISM

Output ISM berupa rangking masing-masing kebijakan dan plot masing-

masing kebijakan ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Berdasarkan

rangking masing-masing kebijakan dapat dibuat hierarki setiap kebijakan di mana

kebijakan dengan rangking lebih tingggi akan berada pada hierarki yang lebih

rendah. Letak koordinar masing-masing menunjukkan plot masing-masing

kebijakan ke dalam empat sektor. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat

digambarkan hierarki dan plot ke dalam empat sektor sebagaimana Gambar 30.

Dari Gambar 30 terlihat dari 11 kebijakan pemerintah dalam pengembangan

industri kakao terbagi ke dalam 3 sektor yaitu sektor II (Dependent), sektor III

(Linkage) dan sektor IV (Independent). Tidak ada kebijakan yang berada pada

sektor I (Autonomous). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh kebijakan yang

dirumuskan memiliki keterkaitan satu dan lainnya untuk berhasilnya

pengembangan industri kakao.

Kelompok kebijakan yang masuk dalam sektor II meliputi kebijakan

Revitalisasi penyuluh pertanian/perkebunan (6), Pemberian insentif fiskal

pengembangan industri (3), Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7),

Perluasan jaringan telekomunikasi (8), dan Penghapusan hambatan perdagangan

antar daerah (9).

Gambar 30 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan pemerintah

pendukung pengembangan industri kakao

Keterangan:

Sektor 1: Autonomous, tidak berkaitan dengan sistem.

Sektor 2: Dependent, tidak bebas atau dipengaruhi oleh kebijakan lain.

Sektor 3: Linkage, hubungan antar kebijakan tidak stabil.

Sektor 4: Independent, merupakan kebijakan yang bebas dan memiliki

kekuatan penggerak yang besar terhadap kebijakan lain.

Sementara itu, kebijakan yang termasuk dalam sektor III (linkage) adalah

kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao (5). Kebijakan pengait memiliki

11 1

10 10

9 2

8 4

7 11

6 5

5 6

4 3,7,8,9

3

2

1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Ketergantungan (DEPENDENCE)

Daya D

oro

ng (

DR

IVE

R P

OW

ER

)

Sektor IV

Sektor ISektor II

Sektor III

Page 127: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

109

arti strategis karena keberhasilan kebijakan ini akan mampu menarik kebijakan-

kebijakan lain yang memiliki ketergantungan tinggi, sekaligus mampu mendorong

keberhasilan kebijakan yang lebih independen. Namun, karena sangat strategisnya,

kegagalan kebijakan ini juga akan menghambat kebijakan-kebijakan lain baik yang

bersifat dependen maupun independen.

Selanjutnya kebijakan-kebijakan yang memiliki daya dorong besar untuk

berhasilnya pengembangan industri kakao (Sektor IV) secara berurutan mulai dari

kebijakan perbaikan infrastruktur jalan (1), kebijakan penguatan kelembagaan

petani (pemasok kakao) (10), kebijakan perbaikan infrastruktur dan manajemen

pelabuhan (2), kebijakan pemenuhan pasokan energi listrik dan gas untuk industri

(4), dan kebijakan kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan

penyuluhan dan pendamping petani (11). Berdasarkan hasil penilaian pakar,

kelima kebijakan tersebut yang dikategorikan sebagai kebijakan yang memiliki

ketergantungan rendah serta mampu menjadi pendorong bagi kebijakan lainnya.

Kebijakan di sektor IV banyak diisi dengan kebijakan di bidang infrastruktur yaitu

perbaikan infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan

manajemen pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan

gas). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan industri kakao membutuhkan

dukungan yang kuat dari aspek infrastruktur yang diharapkan menjadi penghela

(enabler) kegiatan ekonomi lain yang didukung dengan kebijakan yang lainnya.

Selain aspek infrastruktur yang merupakan aspek fisik, kebijakan

pengembangan industri kakao memerlukan dorongan yang kuat dari aspek non

fisik yang lebih mengarah penguatan di sektor hulu yaitu petani dengan budidaya

kakaonya. Untuk itu kebijakan penguatan kelembagaan petani (kebijakan 10)

sebagai pelaku utama di sektor hulu perlu mendapat dukungan dari pemerintah.

Kebijakan yang diperlukan untuk penguatan kelembagaan di antaranya penyuluhan.

Menurut Arsyad (2013) materi penyuluhan berupa pengetahuan tentang:

pengelolaan pascapanen, pemasaran, dan penyediaan input produksi, merupakan

kunci dalam memperkuat kelembagaan petani. Sementara itu dalam penelitiannya,

Arsyad (2013) juga menyimpulkan bahwa yang menjadi lembaga kunci dalam

penguatan kelembagaan petani adalah Lembaga Pemasaran, Petuga Penyuluh

Lapangan (PPL), dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Di sisi lain, kondisi nyata

di lapangan berdasar hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa

keberadaan lembaga-lembaga tersebut berkenaan dengan penyuluhan kakao masih

lemah. Maka dengan kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan

penyuluhan dan pendamping petani (kebijakan 11) diharapkan peranan penyuluhan

yang sekaligus berfungsi memperkuat dan memberdayakan petani dari berbagai

segi dapat ditingkatkan. Kerjasama yang dimaksud dalam hal ini pada prakteknya

belum dilakukan, meskipun secara sendiri-sendiri baik pihak pemerintah dan pihak

industri sudah melekasanakan penyuluhan.

Yang menarik dari hasil pemetaan dalam matriks daya dorong–

ketergantungan (Gambar 30) di atas adalah tentang posisi tiga kebijakan yaitu

kebijakan (11), (5) dan (6). Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan di atas

kebijakan (5) adalah kebijakan pengait, kebijakan (11) adalah independen, dan

kebijakan (6) adalah kebijakan dependen. Terlihat posisi kebijakan (5) diapit oleh

dua kebijakan yang sebenarnya memiliki tujuan sama yaitu mengefektifkan

kepenyuluhan terhadap petani. Dapat dinterpretasikan bahwa keberhasilan

kebijakan (5) sangat ditentukan oleh dorongan kebijakan (11) (karena memiliki

Page 128: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

110

daya dorong besar) dan tarikan kebijakan (6) (karena ketergantungannya yang

tinggi). Artinya keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao

sangat membutuhkan dukungan kerjasama yang sinergi dengan industri (lembaga

non pemerintah) yang selama ini telah membuktikan perannya dalam turut

memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan

bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor. Dengan berhasilnya kebijakan

peningkatan produktivitas kebun kakao yang dibarengi dengan kerjasama

pemerintah dengan industri dalam penyuluhan akan ada pola yang baik untuk

revitalisasi lembaga penyuluhan yang dimotori pemerintah.

Untuk dapat memperoleh gambaran lebih mendalam tentang keterkaitan

antar kebijakan ini berperan, dapat dilihat kembali pada rangking daya dorong

(driver power). Dari Gambar 28 terlihat kebijakan yang menjadi elemen kunci

berhasilnya pengembangan industri kakao yaitu Perbaikan infrastruktur jalan

(kebijakan 1). Hal ini menjawab permasalahan besar terhadap kurang efisien dan

responsifnya rantai pasok industri kakao selama ini. Jika dikaitkan bersama-sama

dengan kebijakan lain yang berada pada sektor IV yang sebagian besar adalah

kebijakan pembangunan infrastruktur, maka keberhasilan kebijakan ini akan

memiliki daya ungkit besar, karena akan mendorong kegiatan-kegiatan lainnya.

Partisi Penentuan Level

Suatu reachability dan anteseden (antecedent) untuk masing-masing

kebijakan diketahui dari matriks reachability final (Charan et al. 2008).

Reachability suatu kebijakan tertentu terdiri dari kebijakan itu sendiri dan

kebijakan lain, yang mungkin membantu mencapai tujuan kebijakan tersebut.

Sementara itu suatu anteseden terdiri dari kebijakan itu sendiri dan kebijakan

lainnya, yang dapat membantu dalam mencapai kebijakan tersebut. Selanjutnya,

suatu interseksi (intersection) berasal dari semua kebijakan yang ada pada

reachability dan anteseden.

Tabel 32 Iterasi ke-1

Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level

1 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1 1

2 2,3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,10 2

3 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I

4 3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10 4

5 3,5,6,7,8,9 1,2,4,5,10,11 5

6 3,6,7,8,9 1,2,4,5,6,10,11 6

7 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I

8 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I

9 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I

10 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1,10 10

11 3,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10,11 11

Kebijakan yang memiliki reachability dan interseksi sama diberikan level

teratas pada hirarki model struktur ISM, yang tidak akan membantu/mendukung

mencapai tujuan kebijakan lain di atas level tersebut. Setelah suatu

Page 129: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

111

kebijakan/beberapa kebijakan teridentifikasi sebagai elemen level teratas,

selanjutnya kebijakan tersebut dibuang dari matriks partisi sehingga menyisakan

kebijakan-kebijakan lainnya yang akan dilakukan iterasi selanjutnya.

Dari Tabel 32, terlihat bahwa kebijakan Pemberian insentif fiskal

pengembangan industri (3), Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7),

Perluasan jaringan telekomunikasi (8), dan kebijakan penghapusan hambatan

perdagangan antar daerah (9) ditentukan berada di level I. Dengan demikian,

kebijakan tersebut berada pada puncak model struktur kebijakan pendukung

pengembangan industri kakao. Iterasi tersebut dilanjutkan sampai level masing-

masing kebijakan dapat ditentukan. Kebijakan pemerintah dalam mendukung

pengembangan industri kakao dengan reachability, anteseden, interseksi dan level,

ditunjukkan pada Tabel 32-38.

Tabel 33 Iterasi ke-2

Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level

1 1,2,4,5,6,10,11 1 1

2 2,4,5,6,11 1,2,10 2

4 4,5,6,11 1,2,4,10 4

5 5,6, 1,2,4,5,10,11 5

6 6 1,2,4,5,6,10,11 6 II

10 2,4,5,6,10,11 1,10 10

Tabel 34 Iterasi ke-3

Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level

1 1,2,4,5,10,11 1 1

2 2,4,5,11 1,2,10 2

4 4,5,11 1,2,4,10 4

5 5 1,2,4,5,10,11 5 III

10 2,4,5,10,11 1,10 10

11 5,11 1,2,4,10,11 11

Tabel 35 Iterasi ke-4

Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level

1 1,2,4,10,11 1 1

2 2,4,11 1,2,10 2

4 4,11 1,2,4,10 4

10 2,4,10,11 1,10 10

11 11 1,2,4,10,11 11 IV

Page 130: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

112

Tabel 36 Iterasi ke-5

Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level

1 1,2,4,10 1 1

2 2,4 1,2,10 2

4 4 1,2,4,10 4 V

10 2,4,10 1,10 10

Tabel 37 Iterasi ke-6

Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level

1 1,2,10 1 1

2 2 1,2,10 2 VI

10 2,10 1,10 10

Tabel 38 Iterasi ke-7

Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level

1 1,10 1 1 VIII

10 10 1,10 10 VII

Pembentukan Model Struktur Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri

Kakao

Berdasarkan matriks reachability final dapat dibentuk model struktural ISM

kebijakan pengembangan industri kakao (Gambar 31). Dalam model struktur

tersebut hubungan antara kebijakan ke-j dan ke-i, ditunjukkan dengan tanda panah

yang menunjuk arah dari kebijakan ke-i ke kebijakan ke-j. Sementara itu kotak

persegi empat yang melingkupi beberapa kebijakan menunjukkan bahwa

kebijakan-kebijakan di dalamnya berada pada level yang sama.

Pada Gambar 31 terlihat level setiap kebijakan yang ditentukan melalui

partisi penentuan level dalam RM. Hasil dari penelitian ini didapatkan delapan

level dimana kebijakan Pemberian insentif fiskal untuk mendukung pengembangan

industri (3), Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7), Perluasan jaringan

telekomunikasi (8), dan kebijakan Penghapusan hambatan perdagangan antar

daerah (9) ditentukan menempati level pertama.

Kebijakan yang berada pada level teratas sebagaimana metodologi ISM

adalah kebijakan yang keberadaannya sangat tergantung pada kebijakan lainnya.

Dalam konteks kebijakan yang mempengaruhi pengembangan industri kakao yang

dirumuskan berdasarkan kinerja rantai pasok industri kakao, posisi kebijakan

insentif fiskal yang berada pada level teratas dapat dikatakan menjadi penentu

akhir berhasilnya pengembangan industri kakao. Hal ini sejalan dengan maksud

dari kebijakan fiskal yaitu mendukung kebijakan perekonomian nasional.

Pada pengembangan industri kakao terdapat paling tidak dua kelompok alat

kebijakan fiskal yaitu insentif dan dis-insentif fiskal. Insentif fiskal meliputi Tax

Allowance-Pengurangan PPh (PP 52/2011) untuk pembangunan dan perluasan

Page 131: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

113

industri kakao (10731) dan industri olahan makanan mengandung coklat (10732);

dan Pembebasan Bea Masuk Impor Barang Modal untuk Kegiatan Penanaman

Modal Industri Pengolahan Kakao (PMK76/2012). Sementara itu untuk dis-

insentif fiskal diterapkan pengenaan bea keluar (BK) atas ekspor bijih kakao

sebesar maksimal 15% dalam rangka mendorong pengembangan industri

pengolahan kakao (PMK 75 Tahun 2012). Kedua jenis alat kebijakan fiskal

tersebut meskipun sangat mempengaruhi profil industri kakao Indonesia secara

umum, keberadaannya sangat bergantung pada keberhasilan kebijakan yang lain.

Sebagai contoh pada kasus suatu industri kakao yang sudah mapan ingin

melakukan perluasan industrinya dan membutuhkan pasokan gas alam, namun

permintaan gasnya tidak dipenuhi tetapi justru mengalami pengurangan pasokan

(AIKI, 5 april 2013, wawancara). Dalam kasus tersebut beberapa alat kebijakan

insentif fiskal tidak akan menyelesaikan persoalan yang dihadapi industri.

(1) Perbaikan infrastruktur jalan

(2) Perbaikan infrastruktur dan

manajemen pelabuhan

(5) Peningkatan produktivitas kebun

kakao

(7) Perluasan penerapan Wajib

SNI biji kakao

(8) Perluasan jaringan

telekomunikasi

(3) Pemberian insentif fiskal

pengembangan industri

(9) Penghapusan hambatan

perdagangan antar daerah

(6) Revitalisasi penyuluh pertanian/

perkebunan

(10) Penguatan kelembagaan petani

(pemasok kakao)

(4) Pemenuhan pasokan energi listrik

dan gas untuk industri

(11) Kerjasama pemerintah dan industri

dalam peningkatan penyuluhan dan

pendamping petani

Level 8

Level 7

Level 6

Level 5

Level 4

Level 3

Level 1

Level 2

Gambar 31 Diagram model struktural kebijakan pengembangan industri kakao

Page 132: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

114

Selain dari itu, kebijakan perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7),

perluasan jaringan telekomunikasi (8), dan kebijakan Penghapusan hambatan

perdagangan antar daerah (9) juga merupakan kebijakan yang keberadaannya

sangat tergantung dari keberhasilan kebijakan lainnya.

Penerapan Wajib SNI secara luas bertujuan untuk memperbaiki mutu kakao

pada seluruh mata rantai perdagangan biji kakao. Hal ini tidak terlepas dari

penerapan standar mutu kakao yang selama ini masih secara sukarela dan

longgarnya persyaratan mutu di dalamnya. Perluasan dalam pelaksanaan penerapan

standar mutu secara konsisten akan mendorong (mendidik) perbaikan mutu dan

secara bertahap dan akan memperbaiki citra mutu kakao di dalam perdagangan

global (Salam 2011; Wahyudi et al. 2008).

Kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi termasuk dalam kebijakan yang

keberadaannya dipengaruhi kebijakan lainnya dalam model struktur kebijakan

pengembangan industri kakao. Hal tersebut karena komunikasi merupakan

aktivitas penyampaian informasi yang sangat penting dalam koordinasi untuk

peningkatan kinerja rantai pasok. Informasi yang semakin terintegrasi pada suatu

rantai pasok menyebabkan rantai pasok tersebut semakin efisien, terutama integrasi

informasi permintaan produk (Waller 2004). Integrasi informasi pada rantai pasok

diukur dengan ketersediaan integrasi informasi dalam rantai pasok. Dukungan

iklim usaha yang menunjang terjalinya komunikasi adalah melalui tersedianya

jaringan telekomunikasi secara luas hingga ke sentra-sentra produksi kakao.

Namun, keberadaan kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi ini baru

akan efektif jika telah ada di perusahaan yang bersangkutan suatu sistem

koordinasi yang terintegrasi dan juga telah didahului dengan berbagai bentuk

kerjasama yang jelas antara industri dengan pemasoknya (yang di antaranya adalah

petani kakao di sentra-sentra produksi yang relatif terisolir).

Selanjutnya, kebijakan penghapusan hambatan perdagangan antar daerah

(berupa pungutan/retribusi) akan lebih memperlancar pasokan dan mengurangi

biaya pengiriman (CSP 2010). Kebijakan ini sudah memiliki payung hukum yaitu

Undang-undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak dan Reribusi Daerah. Dalam

peraturan tersebut daerah harus menghapus pungutan yang menambah biaya

perdagangan antar daerah. Sebagaimana disebutkan pada bagian Penjelasan Umum

UU ini, dinyatakan bahwa pajak dan retribusi tidak boleh menyebabkan ekonomi

biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa

antar daerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk

kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah

lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek

Pajak atau Retribusi.

Hingga saat ini regulasi ini belum efektif dilaksanakan sehingga dalam

prakteknya masih ada daerah yang menerapkan pungutan dengan berbagai sebutan

untuk perdagangan antara daerah. Dengan demikian kebijakan penghapusan

hambatan perdagangan yang dimaksud adalah kebijakan yang melarang

Pemerintah Daerah menerapkan pungutan atas perdagangan komoditas biji kakao

antar daerah. Diharapkan dengan kebijakan tersebut akan dapat memperlancar

aliran barang (biji kakao) mengurangi biaya perdagangan dan mengefisienkan

rantai pasok kakao. Kebijakan ini sangat penting mengingat sebaran lokasi sentra

produksi biji kakao di berbagai wilayah (Pulau Sulawesi dan Sumatera) sementara

Page 133: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

115

orientasi pengangkutan masih terpusat ke beberapa titik lokasi industri di pulau

Jawa.

Pada level kedua ditempati oleh kebijakan revitalisasi penyuluh

pertanian/perkebunan (6). Saat ini kondisi penyuluhan sedang mengalami

permasalahan berat menyangkut kelembagaan penyuluh di daerah. Sebenarnya

secara nasional Undang Undang No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan

sudah mendorong Pemerintah Daerah untuk mengorganisir penyuluh sesuai

dengan kebutuhan daerah. Namun berhadapan dengan pelaksanaan otonomi

daerah, kurangnya pemahaman dan prioritas daerah terhadap kelembagaan

penyuluh perkebunan menjadikan aspek penyuluhan pemerintah menjadi lemah

(Monty S Padmanagara, 14 Mei 2010 dan 13 Juli 2013, komunikasi pribadi).

Untuk itu kebijakan revitalisasi dimaksud adalah mengembalikan fungsi dan

mengefektifkan kepenyuluhan yang sebenarnya sudah ada pada kelembagaan

pemerintah melalui pembenahan kelembagaan pemerintah daerah --khususnya

daerah dengan potensi komoditas kakao yang besar-- berkenaan kemauan politik

untuk memprioritaskan penyuluhan yang memberdayakan dan menguatkan petani

kakao.

Kebijakan pada level ketiga yaitu kebijakan peningkatan produktivitas kebun

kakao (5). Kebijakan ini sebenarnya sedang berjalan berupa program Gernas

Kakao yang merupakan program pemerintah berdaya jangkau luas meskipun

cakupannya masih terbatas 30% luas lahan kakao Indonesia. Efektivitas program

ini sebagaimana dibahas pada bab 5 masih perlu untuk dilanjutkan mengingat

masih banyaknya kebun kakao yang belum tersentuh oleh program Gernas. Di

samping itu dihadapkan pada kondisi umur tanaman kakao yang sudah relatif tua

program ini sangat mendesak untuk dilanjutkan.

Kebijakan pada level keempat ditempati oleh kebijakan kerjasama

pemerintah dan industri dalam peningkatan penyuluhan dan pendamping petani

(11). Sedikit berbeda dengan kebijakan (6) yang merupakan murni peran

pemerintah (dan pemerintah daerah) di dalam kepenyuluhan, kebijakan (11) ini

menekankan adanya kerjasama sinergis antara swasta (industri kakao atau pihak-

pihak lain) dengan pemerintah dalam kegiatan penyuluhan dan pendampingan. Hal

ini bersifat lebih mendasar mengingat selama ini yang berperan dalam kegiatan

kepenyuluhan kakao di lapangan bukan lagi didominasi oleh penyuluh pemerintah.

Peran lembaga non pemerintah justru semakin menguat ditahun-tahun

terakhir seiring tuntutan pasokan biji kakao yang lebih baik mutu dan kuantitasnya.

Lembaga non pemerintah yang berperan dalam penyuluhan perkebunan kakao

rakyat bukan hanya lembaga nasional tetapi juga internasional. Dalam observasi

lapangan di Sulawesi Selatan terdapat banyak lembaga non pemerintah seperti

ASKINDO (Komite Operasional Alih teknologi), CSP (Cocoa Sustainability

Partnership), IFC (International Finance Corporation), ACIAR, USAID-

AMARTA, ACDI VOCA (dilanjutkan lembaga non pemerintah (NGO) lokal:

SICOS, SCORE ), beberapa industri dan eksportir juga berperan aktif seperti Mars

Symbioscience, Almajaro dan lain-lain.

Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan transfer teknologi dan pemberdayaan

petani umumnya dilaksanakan melalui berbagai kegiatan berikut: pelatihan petani,

demonstrasi plot, pembibitan oleh petani/kelompok tani, pendampingan petani

dalam penerapan teknologi, kakao klinik, penguatan kelompok tani, penguatan

Page 134: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

116

akses petani terhadap lembaga perbankan, dan penyebaran informasi harga melalui

SMS (ASKINDO Sulsel, Maret 2010, Wawancara).

Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya (bab 5) permasalahan

penyuluh adalah alokasi dana untuk kegiatan penyuluhan mengalami kendala di

legislatif, jumlah SDM penyuluh masih terbatas dan mereka belum menguasai

perkakaoan karena sebagian besar penyuluh di Badan Pelaksana Peyuluhan berasal

dari keahlian non perkebunan. Untuk itu keberadaaan penyuluh yang ahli dan

trampil di bidang perkakaoan akan dapat mendukung kebijakan peningkatan

produktivitas kakao. Dengan kerjasama yang sinergis dalam kepenyuluhan yang

memiliki tujuan untuk memberdayakan petani, sekaligus juga memenuhi tujuan

dari industri untuk memperoleh bahan baku berkualitas dan berkesinambungan.

Kembali mencermati tingkatan kebijakan antara kebijakan level II, III dan IV

yang dalam peta matriks daya dorong-ketergantungan menempati tiga sektor yang

berbeda yaitu dependen, linkage, dan independen, menunjukan pentingnya

mengetahui prioritas kebijakan mana yang harus diutamakan untuk mencapai

keberasilan pengembangan industri kakao. Secara praktis dengan mengambil

contoh konkrit dari kebijakan pada level II, III dan IV dapat dinyatakan bahwa:

keberhasilan program Gernas Kakao (sebagai salah satu peningkatan produktivitas

kebun kakao) perlu kerjasama dengan industri (lembaga non pemerintah lainnya)

dalam penyuluhan dan pendampingan petani. Selanjutnya pola kerjasama yang

sinergis antara pemerintah dan industri dapat menjadi pola revitalisasi penyuluh

perkebunan pada lembaga pemerintah/daerah agar lebih efektif. Kegiatan-kegiatan

yang lebih kreatif yang telah dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah

diharapkan dapat diadobsi oleh pemerintah dalam merevitalisasi penyuluh

perkebunan yang dimilikinya.

Kebijakan pada level kelima yaitu kebijakan pemenuhan pasokan energi

listrik dan gas untuk industri (4). Kebijakan level keenam yaitu kebijakan

perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan (2). Kebijakan level ketujuh

yaitu kebijakan penguatan kelembagaan petani (10).

Kebijakan level kedelapan yaitu kebijakan perbaikan infrastruktur jalan (1)

merupakan kebijakan yang paling dasar yang akan memberikan dorongan dan

dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.

Bersama-sama dengan kelompok kebijakan lainnya mulai dari kebijakan level

keempat hingga level kedelapan, kebijakan yang masuk di sektor IV dalam matriks

daya dorong–ketergantungan merupakan kebijakan yang memiliki daya dorong

kuat terhadap keberhasilan pengembangan industri kakao. Kebijiakan tersebut

tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur, namun juga non fisik yang

lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan pemasok kakao yaitu petani kakao.

Kebijakan Perusahaan dalam Pengembangan Industri Kakao

Dengan cara yang sama analisis strukturisasi rumusan kebijakan perusahaan

untuk pengembangan industri kakao (Lampiran 9-11) menunjukkan bahwa

kebijakan penerapan teknologi informasi dalam perencanaan (kebijakan

perusahaan ke-6) merupakan puncak dari struktur kebijakan yang dapat dilakukan

perusahaan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok agar industrinya berkembang.

Kebijakan ini keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan

perusahaan yang berada di level bawahnya. Sementara kebijakan peningkatan

Page 135: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

117

kemampuan pemasok (kebijakan perusahaan ke-9) merupakan kebijakan dasar

untuk dapat mendukung kebijakan-kebijakan perusahaan yang lainnya dalam

meningkatkan kinerja rantai pasok.

Pada level kedua adalah kebijakan pemilihan lokasi pabrik yang lebih murah

(kebijakan perusahaan ke-2). Kebijkan ini untuk mengantisipasi kondisi jalan yang

macet atau rusak serta kondisi pelabuhan untuk pengiriman bahan baku dan barang

jadi yang lambat dan kurang memadai. Sementara kebijakan pada level ke tiga

adalah kebijakan penerapan streamline stock dan optimalisasi pengiriman

(kebijakan perusahaan ke-5). Kebijakan ini merupakan kebijakan untuk mengatasi

banyaknya bahan baku yang rusak setelah dikirim sampai ke pabrik serta seringnya

terjadi order produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk.

Penjadwalan pengiriman secara ketat (kebijakan perusahaan ke-7) untuk

mengatasi kurangnya penjadwalan pengiriman barang. Kebijakan ke-7 bersama

kebijakan ke-8 yaitu pemilihan pemasok dengan penetapan kriteria dan penerapan

standar budidaya termasuk kebijakan dengan kategori sebagai kebijakan pengkait.

Artinya bagi industri kakao yang menginginkan kinerja rantai pasoknya meningkat,

kegiatan penjadwalan pengiriman secara ketat dan pemilihan pemasok yang

disertasi penerapan standar budidaya merupakan rangkaian kebijakan yang

strategis dalam mendukung dan menarik kebijakan lainnya untuk berhasilnya

peningkatan kinerjarantai pasok industri kakao.

Pemilihan moda transportasi yang efisien (kebijakan perusahaan ke-1)

dilakukan untuk mengantisipasi jauhnya jarak sumber bahan baku ke industri

merupakan kebijakan level ke lima.

Kebijakan investasi teknologi proses pengolahan yang lebih fleksibel

(kebijakan perusahaan ke-3) bersama-sama dengan kebijakan pengelolaan

pemasok (kebijakan perusahaan ke-4) merupakan kebijakan level ke enam yang

memiliki daya dorong tinggi untuk keberhasilan mendukung kebijakan lainnya

dalam meningkatkan kinerja rantai pasok.

Validasi Model Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri Kakao

Hasil rumusan kebijakan pengembangan industri kakao dan model struktur

antar kebijakan telah dilakukan validasi oleh pakar. Dengan menggunakan metode

validasi face validity pakar diminta untuk memberikan komentar terhadap rumusan

tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang tersusun dalam

rumusan kebijakan pengembangan industri kakao berbasis kinerja driver rantai

pasok serta model struktur yang dihasilkan telah dapat menggambarkan tentang

apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan industri kakao di Indonesia.

Penekakan terhadap penggunaan kinerja driver rantai pasok sebagai dasar

dalam perumusan kebijakan pengembangan industri kakao dinilai telah dapat

memenuhi tuntutan nyata pengembangan industri yang dihadapi oleh investor atau

industri yang ada.

Page 136: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

118

Simpulan

Desain model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri

kakao yang dihasilkan penelitian ini didasarkan pada kondisi kinerja driver rantai

pasok agar menjamin tercapainya kinerja rantai pasok industri kakao. Model yang

dikembangkan merupakan model konseptual yang menjelaskan relasi antar proses

perumusan kebijakan.

Hasil pengukuran indeks kinerja driver rantai pasok menunjukkan bahwa

secara umum industri kakao cenderung mengutamakan responsivitas untuk

keputusan menyangkut driver fasilitas, persediaan dan sourcing. Sementara untuk

driver transportasi dan informasi pada rantai pasok industri kakao lebih cenderung

mengutamakan efisiensi. Gambaran kecenderungan ini menjadi informasi penting

bagi pemerintah dalam memfasilitasi industri kakao untuk dapat meningkatkan

kinerja rantai pasok dan daya saingnya. Sementara itu, urutan driver berdasarkan

kesenjangan dimulai dari yang paling besar adalah driver fasilitas, inventori,

informasi, transportasi, dan sourcing.

Dari hasil strukturisasi rumusan kebijakan didapatkan delapan level dimana

kebijakan pemerintah pemberian insentif fiskal, perluasan penerapan wajib SNI

biji kakao, perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan

hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang berada pada

level pertama. Hal ini berarti bahwa keberhasilan keempat kebijakan tersebut

sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam konteks kebijakan

pendukung pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal adalah

kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao.

Terdapat tiga kebijakan yang memiliki relasi menarik dalam konteks

pengembangan industri kakao, dimana keberhasilan kebijakan peningkatan

produktivitas kebun kakao (kebijakan 5) sangat membutuhkan dukungan/dorongan

kerjasama yang sinergi dengan industri (kebijakan 11) dalam memberdayakan

petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai

tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan

dan peningkatan produktivitas dapat mendorong revitalisasi lembaga penyuluhan

pemerintah (kebijakan 6).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur

jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan dan

dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.

Bersama-sama dengan kelompok kebijakan di bidang infrastruktur yaitu perbaikan

infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan manajemen

pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas)

diharapkan menjadi penghela kebijakan lainnya dalam pengembangan industri

kakao. Kebijiakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur,

namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan

pemasok kakao yaitu petani kakao.

Kebijakan perusahaan untuk pengembangan industri kakao harus didasari

peningkatan kemampuan pemasok yang akan mendukung kebijakan-kebijakan

perusahaan yang lainnya dalam meningkatkan kinerja rantai pasok. Sementara

penerapan teknologi informasi dalam perencanaan merupakan kebijakan yang

keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan perusahaan lainnya

yang berada di level bawahnya.

Page 137: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

119

Berdasarkan hasil validasi terhadap model perumusan kebijakan pendukung

pengembangan industri kakao menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang

tersusun dalam rumusan kebijakan serta model struktur yang dihasilkan telah dapat

menggambarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan

industri kakao di Indonesia. Dengan menekankan pada penggunaan kinerja driver

rantai pasok sebagai dasar dalam perumusan kebijakan dinilai telah dapat

memenuhi tuntutan nyata pengembangan industri yang dihadapi oleh investor atau

industri yang ada.

Page 138: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

120

8 PEMBAHASAN UMUM

Sistematika pembahasan umum ini selain menyarikan hasil bahasan di setiap

bab juga menyajikan keterkaitan antar bab yang diorientasikan pada tujuan akhir

dari disertasi ini. Adapun rangkaian uraian pada bab pembahasan umum ini dapat

digambarkan dengan skema sebagaimana Gambar 32.

Penelitian ini didasari oleh kondisi Indonesia yang hampir dua dekade

sebagai pemasok utama biji kakao dunia, namun belum mampu mengambil nilai

tambah dari komoditi yang potensial ini. Berbagai kebijakan dan program telah

dikeluarkan untuk mencapai pertumbuhan sektor hilir kakao yang seimbang

dengan pertumbuhan di sektor hulu. Namun, perkembangan industri kakao dalam

negeri masih belum optimal mengingat sebagian besar kakao diekspor dalam

bentuk mentah dan belum diolah sehingga nilai tambah yang dihasilkan masih

rendah (Kemenperin 2011).

Dari keadaan tersebut muncul banyak pertanyaan, di antaranya: Apakah

benar kebijakan sangat menentukan perkembangan industri kakao? Apakah

kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut mendukung atau justru menghambat?

Apakah dengan „membanjiri‟ pasokan bahan baku industri akan tumbuh? Faktor

apa yang mempengaruhi perkembangan industri kakao? Bagaimana pemerintah

sebagai pihak yang memfasilitasi pengembangan industri dapat memperoleh

informasi yang tepat terkait kondisi, keinginan, dan kecenderungan industri,

sehingga bisa mengambil keputusan secara lebih baik?

Jawaban atas pertanyaan yang diuraikan di atas dengan menggunakan

metode Analisis Kebijakan beragam permasalahan dirumuskan. Dengan

menguraikan secara terperinci diharapkan memperdalam pemahaman akan

kebijakan perkakaoan di Indonesia. Rumusan Bab 4 menunjukkan bahwa

perkembangan industri kakao berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah. Hal ini

dapat dilihat dari naik turunnya jumlah industri kakao yang mengikuti kronologi

dikeluarkannya kebijakan pemerintah.

Jumlah industri sebelum tahun 2000 yang berjumlah sekitar 40 perusahaan

berkurang secara drastis menjadi 17 sejak adanya kebijakan pengenaan PPN 10%

terhadap bahan baku yang masuk ke industri pada tahun 2000. Dari tahun 2001

hingga tahun 2006 praktis tidak ada kebijakan yang mendukung perkembangan

industri kakao hingga dikeluarkannya kebijakan yang menghapus kebijakan

penerapan PPN 10% tahun 2007. Namun, dilaporkan tahun 2008 dari 17 pabrik

yang masih bertahan, hanya 4 pabrik yang bekerja mendekati kapasitas

terpasangnya, 9 pabrik lainnya berproduksi kurang dari 50% kapasitas terpasang,

bahkan 4 pabrik lainnya samasekali tidak berproduksi. Selanjutnya, kebijakan

diperkuat dengan Kebijakan Industri Nasional (Perpres, 2008) dan Kebijakan

Klaster Industri (Deperind, 2009b), yang mengatur industri-industri andalan masa

depan termasuk industri pengolahan kakao dan coklat.

Kebijakan yang hingga tahun 2013 masih menjadi isu utama dalam

pengembangan industri kakao adalah kebijakan Bea Keluar (BK). Kebijakan yang

bertujuan menjamin ketersediaan bahan baku, peningkatan nilai tambah dan daya

saing industri pengolahan kakao inipun masih memiliki permasalahan.

Permasalahan tersebut antara lain pasokan bahan baku yang mengalami penurunan

di tahun 2011 dan 2012. BK di satu sisi berdampak pada peningkatan pasokan biji

Page 139: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

121

Gambar 32 Skema pembahasan umum

Perm

asa

lahan

Kebija

kan E

xist

ing

Kebun

Perd

agan

gan

Pengola

han

Dis

trib

usi Konsu

msi

Analis

is R

anta

i

Paso

k K

aka

o

Anggota

Meka

nis

me

Str

ukt

ur

Manaje

men R

anta

i

Paso

k K

aka

o

Kin

erja R

anta

i

Paso

k

Efis

iensi

Resp

onsi

vita

s

Kece

nde

rungan

Efis

ien/

Resp

onsi

f

Gap K

ondis

i

Kin

erja

Exi

stin

g d

an

Ideal

Rum

usa

n K

ebija

kan

Penelu

sura

n k

inerja

Ran

tai P

aso

k In

du

stri

Rum

usa

n

Kebija

kan

Tekn

ik IS

M

Identif

ikasi

hu

bungan

konte

kstu

al a

nta

r ke

bija

kan

Kebja

kan b

elu

m

ters

trukt

ur

R

um

usa

n M

asa

lah

S

ifat duku

ngan

kebija

kan

H

am

ba

tan

alir

an

P

ola

ide

al

Rum

usa

n K

ebija

kan

Pendu

kung P

engem

ban

gan

Indust

ri K

aka

o

Priorita

s F

akt

or

pengg

era

k yg

sig

nifi

kan

dlm

peng

em

bangan

IK

Fakt

or

penggera

k

(drive

r) k

inerja r

anta

i

paso

k ka

kao

Div

er

Kuesi

on

er

Sub d

rive

r

Inst

rum

ent penguku

r

kine

rja r

anta

i paso

k

Analis

is

P

enila

ian/

Penguku

ran

P

engelo

laan

K

ebija

kan

K

onfir

masi

P

engua

tan /

pene

gasa

n

S

angga

han

Valid

asi

hasi

l rum

usa

n Metrik kinerja

Permudah

pemahaman

Mengurangi

abstraksi

Kebija

kan

Pem

erin

tah

Kebija

kan

Peru

sah

aan

R

ela

si a

nta

r

kebija

kan

P

enst

rukt

ura

n

kebija

kan

BA

B 4

BA

B 5

BA

B 6

BA

B 7

PE

RM

AS

ALA

HA

N D

AN

KE

BIJ

AK

AN

PE

RK

AK

AO

AN

IND

ON

ES

IA

AN

ALI

SIS

RA

NTA

I PA

SO

K

KA

KA

O

IDE

NTI

FIK

AS

I DA

N D

EK

OM

PO

SIS

I

DR

IVE

R K

INE

RJA

M

OD

EL

PE

RU

MU

SA

N K

EB

IJA

KA

N P

EN

DU

KU

NG

PE

NG

EM

BA

NG

AN

IND

US

TRI K

AK

AO

BE

RB

AS

IS

KIN

ER

JA D

RIV

ER

RA

NTA

I PA

SO

K

Page 140: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

122

kakao di dalam negeri, namun di sisi lain menekan harga di tingkat petani karena

banyaknya pasokan. Dampak berikutnya adalah petani kurang mendapatkan

insentif untuk memperbaiki budidayanya sehingga baik produksi maupun mutu

menjadi tertekan. Ditambah lagi dampak perubahan iklim berakibat pada

penurunan produksi akibat perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim

(Balitbangtan 2011).

Dari banyak kebijakan pengembangan industri kakao yang diambil oleh

pemerintah Indonesia, terlihat pemerintah lebih fokus pada pasokan bahan baku.

Sementara menurut Barghouti et al. (1993) justru ada lima kelemahan yang

dihadapi industri kakao di negara penghasil kakao, yaitu: sumber bahan baku

terbatas dari satu sumber; biaya pengolahan yang lebih mahal dibanding pabrik-

pabrik di Eropa; jauhnya jarak ke konsumen; penggunaan biji kakao tidak bermutu;

dan kurangnya jaminan pasokan biji kakao. Indonesia masih lebih berfokus pada

salah satu hal yaitu jaminan pasokan bahan baku. Sementara, aspek teknologi

industri agar lebih efisien yang menjadi kelemahan negara sedang berkembang

justru belum tertangani dengan baik. Lebih lanjut Barghouti et al. (1993) merinci

kendala spesifik yang harus diperhatikan adalah: biaya operasional yang lebih

tinggi dalam hal energi (harga perkilowatt dua kali lebih mahal di bandingkan

negara-negara di Eropa), tingkat suku bunga yang tinggi dan kepabeanan.

Sektor-sektor yang terkait dengan pegembangan industri hilir kakao di

Indonesia meliputi: sektor perindustrian, sektor keuangan, sektor pekerjaan umum,

sektor perhubungan dan telekomunikasi, sektor pertanian, sektor perdagangan, dan

sektor energi. Permasalahan umum yang dihadapi adalah sulitnya mensinergikan

kebijakan, sehingga perlu mendorong sinergi kebijakan dari sektor-sektor

pembangunan yang lain dalam mendukung pembangunan industri nasional

(Kemenperin 2010). Secara umum keseluruhan sektor tersebut dikoordinasikan

oleh sebuah kementerian koordinator.

Ditinjau dari sisi kebijakan, sektor keuangan melalui kebijakan fiskalnya

sangat mendominasi perkembangan industri kakao. Pengaruh tersebut dapat dilihat

dari perkembangan industri kakao secara kronologis mengikuti runtutan waktu

dikeluarkannya kebijakan fiskal. Sebaliknya justru peranan sektor inti (sektor

perindustrian) yang banyak berpengaruh adalah kebijakan pada tataran makro

berupa Kebijakan Industri Nasional. Sementara kebijakan yang mengarah pada

fasilitasi penguatan teknologi industri pada industri kakao skala besar belum

berkembang.

Kebijakan yang berskala mikro lebih banyak di sektor hulu. Program berdana

besar seperti Gernas Kakao tahun 2009-2011 merupakan contoh implementasi

perkuatan budidaya dan pascapanen kakao. Sungguhpun demikian, berhadapan

dengan perubahan iklim yang sedang melanda kawasan asia, usaha tersebut hanya

mampu mempertahankan tingkat produksi kakao Indonesia pada kisaran 500 ribu

ton pertahun dari tahun 2010-2012. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan

kompleksitas permasalahan pengembangan industri baik yang dihadapi oleh

perusahaan/industri maupun pemerintah dalam mengkoordinasi kebijakan antar

lembaga yang belum sinergi. Kompleksitas tersebut membuat tidak mudahnya

merumuskan kebijakan yang efektif.

Dalam menguraikan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, penelitian ini

mengambil sistem rantai pasok sebagai kerangka analisis untuk mengkaji

karakteristik pelaku yang terlibat, struktur dan mekanisme hubungan antar pelaku.

Page 141: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

123

Analisis rantai pasok ini mengambil kasus pengembangan industri kakao di

Sulawesi Selatan yang merupakan provinsi penghasil biji kakao terbesar di

Indonesia. Posisi Sulawesi Selatan terhadap Indonesia memiliki kesamaan dengan

posisi Indonesia terhadap dunia. Sulawesi Selatan saat ini belum memperoleh nilai

tambah yang layak karena sebagian besar kakao diekspor ke industri pengolahan di

Pulau Jawa. Diharapkan dengan mengambil pelajaran dari kasus pengembangan

industri kakao di Sulawesi Selatan dapat dijadikan landasan pengembangan

industri kakao di Indonesia.

Hasil telaah literatur tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam

pengembangan industri kakao (Suprihatini 2004; Arsyad et al. 2011) diketahui

bahwa rantai pasok menjadi faktor penting. Hal ini sejalan dengan Beckett (2011)

yang menunjukkan bahwa kunci masalah dan tantangan pada pengembangan

industri kakao meliputi kualitas, keamanan pangan, traceability dan keberlanjutan

yang semuanya merupakan elemen penting dalam rantai pasok.

Hasil analisis rantai pasok kakao Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa

pengembangan industri kakao perlu membangun jaringan kemitraan dengan petani

atau koperasi/kelompok tani. Kemitraan yang dijalin untuk mengakomodir konsep

integratif yang berarti secara bersama mengatasi dan memberdayakan pelaku pada

jaringan yang terlemah. Metode pembentukan demplot di sentra produksi disertai

penyediaan penyuluh lapangan terbukti memberikan hasil biji kakao berkualitas

yang mendukung keberlanjutan (kuantitas dan kualitas) pasokan biji kakao industri.

Selain itu, mekanisme perdagangan yang adil dan lancar perlu didukung

kebijakan dalam hal: standar timbangan (metrologi), pengawasan perdagangan,

dan pembinaan perilaku pedagang, perbaikan infrastruktur jalan di sentra produksi

dan menderegulasi kebijakan pungutan/retribusi. Dukungan akses permodalan bisa

dikombinasikan dalam kemitraan dengan industri/eksportir, atau dengan

mendorong lembaga keuangan atau perbankan membuka akses kredit bagi petani

kakao.

Pelajaran yang bisa diambil dari kasus Sulawesi Selatan adalah bahwa

perluasan kemitraan memiliki peran strategis yang dapat memenuhi tuntutan baik

di sisi petani maupun industri. Meskipun demikian, ada sisi yang terkorbankan

yaitu pelaku perdagangan yang akan mengalami pengurangan pasar jika kemitraan

berlaku luas. Hal ini serupa dengan kebijakan BK yang memiliki dampak positif

terhadap industri karena pasokan melimpah, namun memiliki dampak negatif

tekanan harga di tingkat petani dan banyaknya eksportir yang harus menutup

usahanya karena tingginya biaya yang ditanggung jika mengekspor biji kakao.

Berkaca dari hasil analisis rantai pasok dalam aspek perdagangan,

seharusnya kemitraan yang diterapkan industri kakao dapat melibatkan para pelaku

lain pada pola perdagangan umum. Namun hal ini perlu prasyarat bahwa kebijakan

perbaikan di sektor perdagangan dapat berjalan dan program di sektor hulu secara

konsisten dapat diteruskan oleh pemerintah. Karena dengan luas lahan kakao yang

bertambah (menjadi 1.6 juta Ha tahun 2012), produktivitas yang masih rendah

(820kg/Ha tahun 2012) akan terbuka peluang peningkatan produksi sebagaimana

target pemerintah menjadikan Indonesia penghasil biji kakao terbesar di dunia

pada tahun 2014.

Dari identifikasi kebijakan sektoral bidang perkakaoan menunjukkan bahwa

meskipun telah dikoordinasi oleh suatu kementerian koordinator namun masih sulit

mensinergikan program agar tujuan pengembangan industri kakao tercapai.

Page 142: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

124

Penelitian ini mengajukan suatu tinjauan dari sudut pandang industri yaitu rantai

pasok sebagai pertimbangan penting bagi industri untuk berkembang (dalam hal ini

menambah kapasitas pabrik atau investasi pembangunan pabrik baru).

Berdasarkan logika tersebut dalam pengembangan industri kakao, kinerja rantai

pasok (sebagai ukuran dari manajemen rantai pasok) seharusnya „mewarnai‟

rumusan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah agar ada kesesuaian antara

harapan dengan pemenuhan.

Pemahaman tentang pentingnya rantai pasok dalam pengembangan industri

kakao selanjutnya diperdalam dan diperkaya melalui studi identifikasi dan

dekomposisi driver kinerja rantai pasok. Penelitian pada bagian ini memfokuskan

pada faktor penggerak kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok pada industri

kakao. Hal ini karena keputusan suatu perusahaan untuk mencapai daya saingnya

dilakukan dengan menentukan titik keseimbangan (trade off) antara responsivitas

dan efisiensi (Chopra dan Meindl 2007). Keputusan tersebut merupakan suatu

strategi yang paling sesuai dengan tujuan perusahaan dalam menghadapi kondisi

internal dan eksternal. Industri kakao sebagaimana industri pada umumnya

menggunakan strategi tersebut untuk mencapai daya saing yang tinggi. Produk

yang dihasilkan industri kakao termasuk produk inovatif karena prosesnya yang

membutuhkan kontrol yang ketat berdasarkan beragam kriteria. Penyesuaian

terhadap variasi jenis bahan baku, orientasi tujuan akhir pengolahan kakao

(minuman, makanan, dll), tuntutan selera konsumen, dan variasi pilihan teknologi

serta kapasitasnya merupakan area kontrol yang harus diantisipasi oleh industri

kakao. Oleh karena itu kemampuan respon terhadap faktor eksternal sangat

dibutuhkan. Di samping itu, persaingan di pasar global yang tidak terhindarkan

menuntut efisiensi yang tinggi untuk memenangi persaingan itu.

Melalui kajian literatur secara komprehensif, telah dapat diidentifikasi driver

dan sub driver dengan meninjau relevansinya dengan industri kakao. Hasilnya

diperoleh masing-masing 5 driver untuk aspek efisiensi dan responsivitas. Kelima

`driver tersebut adalah fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi.

Sedangkan sub-driver yang berhasil diuraikan sebanyak 35 peubah untuk aspek

efisiensi dan 27 peubah sub driver untuk aspek respsonsivitas. Hasil dekomposisi

telah direview oleh pakar di bidang industri perkebunan untuk selanjutnya

dijadikan instrumen untuk mengukur kinerja rantai pasok industri kakao dan

instrumen penilaian bobot kepentingan driver dan sub driver.

Instrumen pengukuran selanjutnya digunakan untuk pengukuran kinerja

rantai pasok industri kakao. Pengumpulan data dilakukan dengan survei ke pabrik-

pabrik pengolahan kakao, yang diisi oleh pihak yang memahami rantai pasok

perusahaan. Di sisi lain dengan metode AHP dilakukan proses akuisisi penilaian

pakar untuk menentukan bobot kepentingan aspek (efisiensi dan responsivitas),

driver dan sub-driver kinerja rantai pasok. Perhitungan Weighted Scoring Model

yang merupakan perkalian skor penilaian industri dikalikan bobot driver dan sub

driver menghasilkan Indeks Kinerja Rantai Pasok Efisiensi dan Responsivitas

Industri Kakao.

Hasil analisis kecenderungan terhadap pencapaian kinerja rantai pasok

menunjukkan bahwa untuk driver fasilitas, inventori dan sourcing industri kakao

cenderung mengutamakan responsivitas. Sedang untuk driver transportasi dan

informasi industri kakao lebih cenderung mengutamakan efisiensi.

Page 143: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

125

Indeks kinerja rantai pasok total industri kakao menunjukkan kesenjangan

yang hampir merata pada seluruh driver rantai pasok. Sementara itu, dari Analisis

Gap diperoleh nilai indeks total kinerja rantai pasok sebesar 29.75 masih jauh dari

nilai ideal 45.00 yang mengindikasikan perlunya pembenahan atau perbaikan

segera pada seluruh driver. Secara berurutan kondisi indeks kinerja driver dari

yang kesenjangannya paling besar yaitu: fasilitas, inventori, informasi, transportasi,

dan sourcing. Gap yang terjadi pada setiap driver juga mengindikasi prioritas

penanganan atau pembenahan terhadap kelemahan yang ada.

Dari hasil penelusuran terhadap driver dan sub driver yang berkinerja rendah

(dalam hal ini skor kurang dari 5) dapat disusun suatu kebijakan internal industri

itu sendiri dan kebijakan pemerintah. Hasil rumusan kebijakan dapat dirangkum

menjadi tigabelas kebijakan pengembangan industri kakao. Ketigabelas kebijakan

tersebut mencakup sektor hulu sampai hilir, sehingga dalam implementasi tetap

diperlukan koordinasi dan sinergi untuk efektivitasnya.

Untuk dapat melakukan koodinasi secara sistematis dengan tujuan

mensinergikan kebijakan, perlu diketahui relasi antar kebijakan. Dengan analisis

relasi akan diketahui karakteristik, struktur dan keterkaitan antar kebijakan untuk

mencapai efektivitas kebijakan. Menurut Hoogerwerf (1983) akurasi rumusan

kebijakan dan kelengkapan informasi yang dimiliki, serta dukungan publik

terhadap kebijakan yang dikembangkan menjadi penentu efektivitas kebijakan.

Untuk memetakan relasi dan mempertajam akurasi rumusan kebijakan

digunakan teknik ISM (Intepretive Structural Modelling). Kebijakan

pengembangan industri kakao yang sebelumnya tidak diketahui peta hubungannya

dapat dirumuskan menjadi kebijakan yang memiliki struktur keterkaitan atau

ketergantungan yang jelas. Dengan rechability matrix dapat ditentukan rangking

alternatif kebijakan yang ada sehingga diketahui kebijakan-kebijakan apa yang

menjadi kunci keberhasilan program.

Dari model perumusan kebijakan dalam penelitian ini diperoleh rumusan

kebijakan pengembangan industri kakao yang berbasis pada kinerja driver rantai

pasok. Dengan teknik ISM, alternatif kebijakan pengembangan industri kakao yang

sebelumnya tidak diketahui strukturnya dapat dirumuskan menjadi kebijakan yang

memiliki struktur keterkaitan atau ketergantungan yang jelas.

Dari hasil strukturisasi rumusan kebijakan didapatkan delapan level dimana

kebijakan pemerintah Pemberian insentif fiskal untuk pengembangan industri,

Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao, Perluasan jaringan telekomunikasi, dan

kebijakan Penghapusan hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat

kebijakan yang berada pada level pertama. Artinya kebijakan tersebut adalah

kebijakan yang keberadaannya sangat tergantung pada kebijakan lainnya.

Dalam konteks kebijakan pengembangan industri kakao posisi kebijakan

insentif fiskal adalah kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri

kakao. Hal ini sejalan dengan maksud dari kebijakan fiskal yaitu mendukung

kebijakan perekonomian nasional.

Hasil pemetaan kebijakan menunjukkan bahwa seluruh rumusan kebijakan

memiliki keterkaitan hubungan. Terdapat tiga kebijakan yang memiliki relasi

menarik dalam konteks pengembangan industri kakao, yaitu relasi kebijakan 6, 5,

dan 11. Keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao (kebijakan

5) sangat membutuhkan dukungan/dorongan kerjasama yang sinergi dengan

industri (kebijakan 11) dalam memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan

Page 144: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

126

kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor.

Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan dan peningkatan

produktivitas diharapkan dapat mendorong revitalisasi lembaga penyuluhan

pemerintah (kebijakan 6) yang kondisinya masih lemah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur

jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang akan memberikan dorongan dan

dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.

Bersama-sama dengan kelompok kebijakan di bidang infrastruktur yaitu perbaikan

infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan manajemen

pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas)

diharapkan menjadi penghela kebijakan lainnya dalam pengembangan industri

kakao. Kebijakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur,

namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan

pemasok kakao yaitu petani kakao.

Dengan tata cara yang sama strukturisasi rumusan kebijakan perusahaan

untuk pengembangan industri kakao (Lampiran 9-11) menunjukkan bahwa

kebijakan penerapan teknologi informasi dalam perencanaan (kebijakan

perusahaan ke-6) merupakan kebijakan yang berada di puncak dari struktur

kebijakan perusahaan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok. Kebijakan ini

keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan perusahaan yang

berada di level bawahnya. Sementara kebijakan peningkatan kemampuan pemasok

(kebijakan perusahaan ke-9) merupakan kebijakan dasaruntuk dapat mendukung

kebijakan-kebijakan perusahaan yang lainnya dalam meningkatkan kinerja rantai

pasok.

Berdasarkan validasi hasil rumusan kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan

tersebut dapat diterima sebagai upaya pengembangan industri kakao dengan

penekanan pada peningkatan kinerja rantai pasok dan daya saing industri kakao.

Page 145: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

127

9 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Permasalahan perkakaoan di sektor hulu adalah produktivitas rendah dan

mutu biji belum standar, dan kurangnya pendanaan perawatan kebun. Sementara

itu, permasalahan pada rantai perdagangan biji kakao adalah tersebarnya sentra

produksi, kondisi jalan poros yang kurang memadai, kondisi jalan di sentra

produksi yang kurang baik, pungutan terhadap perdagangan antar daerah, dan

informasi harga yang terdistorsi. Pada sektor hilir permasalahan yang dihadapi

adalah masih rendahnya daya serap (kapasitas) industri. Pemerintah telah

memperbaiki beberapa kebijakan yang menghambat, namun proses bangkitnya

industri kakao masih belum optimal.

Dari berbagai kebijakan untuk mendorong pengembangan industri kakao,

terlihat kebijakan sektor keuangan khususnya kebijakan fiskal dan perpajakan

mendominasi perkembangan industri kakao Indonesia. Sementara kebijakan di

bidang infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan pasokan energi berupa

gas alam dan energi listrik dari sisi industri masih dinilai belum memenuhi harapan.

Dari analisis rantai pasok kakao diketahui bahwa nilai inefisiensi akibat pola

perdagangan umum kakao di Sulawesi Selatan mencapai Rp2.044/kg kakao.

Sementara itu, nilai inefisiensi rantai pasok akibat distorsi informasi harga, kakao

dan perilaku pelaku perdagangan kakao mencapai Rp3.950/kg kakao. Nilai

inefisiensi tersebut akan mengurangi harga yang diterima petani.

Pengembangan industri pengolahan kakao dapat dicapai dengan

mengefektifkan dan mengefisienkan rantai pasok kakao. Membangun kemitraan

dengan pemasok (petani atau koperasi/kelompok tani) merupakan bentuk kegiatan

yang secara bersama mengatasi dan memberdayakan pelaku pada jaringan yang

terlemah. Metode kemitraan yang diikuti sarana pelatihan demplot di sentra

produksi disertai fasilitator/penyuluh lapangan terbukti memberikan hasil biji

kakao berkualitas yang mendukung keberlanjutan (kuantitas dan kualitas) pasokan

biji kakao industri. Dengan pola kemitraan tersebut akan memberi manfaat berupa

harga pada tingkat petani lebih tinggi 22% dibanding pola umum.

Dari proses dekomposisi driver kinerja rantai pasok diperoleh masing-

masing 5 driver untuk aspek efisiensi dan responsivitas. Kelima driver tersebut

adalah fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Sedangkan sub-

driver yang berhasil diurai sebanyak 35 peubah sub driver untuk aspek efisiensi

dan 27 peubah sub driver untuk aspek respsonsivitas.

Hasil pengukuran indeks kinerja driver rantai pasok menunjukkan bahwa

secara umum industri kakao cenderung mengutamakan responsivitas untuk

keputusan menyangkut driver fasilitas, persediaan dan sourcing. Sementara untuk

driver transportasi dan informasi pada rantai pasok industri kakao lebih cenderung

mengutamakan efisiensi. Gambaran kecenderungan ini menjadi informasi penting

bagi pemerintah dalam memfasilitasi industri kakao untuk dapat meningkatkan

kinerja rantai pasok dan daya saingnya. Sementara itu, urutan driver berdasarkan

kesenjangan dimulai dari yang paling besar adalah driver fasilitas, inventori,

informasi, transportasi, dan sourcing.

Page 146: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

128

Dari hasil strukturisasi rumusan kebijakan didapatkan delapan level dimana

kebijakan pemerintah pemberian insentif fiskal, perluasan penerapan wajib SNI

biji kakao, perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan

hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang berada pada

level pertama. Hal ini berarti bahwa keberhasilan keempat kebijakan tersebut

sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam konteks kebijakan

pendukung pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal adalah

kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao.

Terdapat tiga kebijakan yang memiliki relasi menarik dalam konteks

pengembangan industri kakao, dimana keberhasilan kebijakan peningkatan

produktivitas kebun kakao (kebijakan 5) sangat membutuhkan dukungan/dorongan

kerjasama yang sinergi dengan industri (kebijakan 11) dalam memberdayakan

petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai

tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan

dan peningkatan produktivitas dapat mendorong revitalisasi lembaga penyuluhan

pemerintah (kebijakan 6).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur

jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan dan

dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.

Bersama-sama dengan kelompok kebijakan di bidang infrastruktur yaitu perbaikan

infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan manajemen

pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas)

diharapkan menjadi penghela kebijakan lainnya dalam pengembangan industri

kakao. Kebijiakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur,

namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan

pemasok kakao yaitu petani kakao.

Untuk kebijakan perusahaan, kebijakan penerapan teknologi informasi dalam

perencanaan merupakan kebijakan level teratas dalam struktur kebijakan

perusahaan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok agar industrinya berkembang.

Kebijakan ini keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan

perusahaan yang berada di level bawahnya. Sementara kebijakan peningkatan

kemampuan pemasok merupakan kebijakan dasar untuk dapat mendukung

kebijakan-kebijakan perusahaan yang lainnya dalam meningkatkan kinerja rantai

pasok.

Berdasarkan hasil validasi terhadap model perumusan kebijakan pendukung

pengembangan industri kakao menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang

tersusun dalam rumusan kebijakan serta model struktur yang dihasilkan telah dapat

menggambarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan

industri kakao di Indonesia. Dengan menekankan pada penggunaan kinerja driver

rantai pasok sebagai dasar dalam perumusan kebijakan dinilai telah dapat

memenuhi tuntutan nyata pengembangan industri yang dihadapi oleh investor atau

industri yang ada.

Page 147: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

129

Saran

Pada dasarnya pengukuran kinerja rantai pasok industri kakao dalam

penelitian ini dapat diimplementasikan pada rantai pasok industri selain kakao.

Model pengukuran tersebut dapat digunakan dengan baik sepanjang: 1) aktivitas

rantai pasok yang dilakukan perusahaan cukup lengkap dan sesuai dengan lingkup

dalam model; 2) adanya personil perusahaan yang memiliki pemahaman terhadap

rantai pasok perusahaan bersangkutan; 3) data skor yang diberikan mengenai

kondisi kinerja rantai pasok mencerminkan keadaan/kenyataan rantai pasok

perusahaan.

Untuk memperdalam kajian driver rantai pasok disarankan untuk memilih

pakar sesuai dengan ranah driver rantai pasok yang dibahas. Misalnya pakar

dibidang infrastruktur untuk membahas driver fasilitas, pakar di bidang inventori

untuk driver inventori dan seterusnya. Hal ini untuk mempertajam tinjauan tentang

driver rantai tersebut sekaligus dapat memperbaiki tingkat relevansi antara konsep

dan metrik pengukurannya.

.

Page 148: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

130

DAFTAR PUSTAKA

Alam A. 2009. Foreign direct investment and supply chain capability of nations: a

conceptual and empirical analysis [disertasi]. Washington DC (US): The Faculty of

the School of Business, The George Washington University. Amoro G, Shen Y. 2012. The determinants of agricultural export: cocoa and rubber in

cote d'ivoire. Int J Econ Financ. 5(1):228-233.

Arshinder, Kanda, Deshmukh SG. 2008. Development of a decision support tool for

supply chain coordination using contracts. J Advances in Manag Res. 5(2): 20-41.

Arsyad M. 2013. Penguatan kelembagaan menuju kesejahteraan petani: pengalaman

dari kondisi terkini petani kakao di Sulawesi. Di dalam: Simposium Nasional

Ekonomi Kakao: Meningkatkan daya saing kakao untuk mewujudkan

kesejahteraan petani dan pelaku usaha lain; Perhimpunan Ekonomi Pertanian

Indonesia (PERHEPI) bekerjasama dengan Fakultas Pertanian dan Program

Pascasarjana Universitas Haluoleo; 2013 Feb 12-13; Kendari (ID): PERHEPI.

Arsyad M, Sinaga BM, Yusuf S. 2011. Analisis dampak kebijakan pajak ekspor dan

subsidi harga pupuk terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran

Uruguay. J Sos Ekon Pert 8(1).

Arsyad M, Kawamura Y. 2009. A poverty causal model of cocoa smallholders in

indonesia: some initial findings from south sulawesi. Ryukoku Journal of

Economic Studies. 49(2):1-27.

Austin JE. 1992. Agroindustrial project analysis: critical disign factors; published for

the economic development institute of the world bank. Ed ke-2. Washington DC

(US): The John Hopkins University Pr.

Salam AR. 2011. Kesiapan produk agrobase/prepared foodstuff menghadapi

harmonisasi standar ASEAN. Jurnal Standardisasi 13(2):141–154.

[Balitbangtan] Badan Penelititan dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman

umum adaptasi perubahan iklim sektor pertanian. Jakarta (ID): Kementerian

Pertanian.

Barghouti SM, Cromwell E, Pritchard AJ. 1993. Agricultural technologies for

market-led development opportunities in the 1990s, World Bank.

Bauhoff N. 2003. Warehouse management technology: Is the industry ready?

Beverage Industry. 94(10):58-59.

Barbour P. 2005. An assessment of South Africa’s investment incentive regime with a

focus on the manufacturing sector. London (UK): ESAU Overseas Development

Institute.

Beamon BM. 1996. Performance measures in supply chain management. Di dalam:

Proceedings of the 1996 Conference on Agile and Intelligent Manufacturing

Systems; 1996 Okt 2-3; New York, USA (US): Rensselaer Polytechnic Institute

Troy.

[BKF-PKPN]. Badan Kebijakan Fiskal - Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. 2012.

Kajian perkembangan perekonomian kakao nasional pasca pengenaan bea keluar

biji kakao. Jakarta (ID): Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Beamon BM. 1999. Measuring supply chain performance. Int J Oper Prod Manag.

19(3):275 – 292. doi: 10.1108/01443579910249714.

Beckett ST. 2011. Industrial chocolate manufacture and use. Wiley

Beheshti HM. 2010. A decision support system for improving performance of

Page 149: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

131

inventory management in a supply chain network. Int J Prod Perform Manag.

59(5): 452-467.

Bingham RD. 1998. Industrial policy american style: From Hamilton to HDTV. New

York (US): ME Sharpe, Inc.

Blackburn J, Scudder G. 2009. Supply chain strategies for perishable products: the

case of fresh produce. Prod Oper Manag. 18(2): 129-137.doi:3110.3401/

poms.1080.01016.

Boulaksil Y, Fransoo JC, Halm van ENG. 2007. Setting safety stocks in multi-stage

inventory systems under rolling horizon mathematical programming models. OR

Spectrum. 31:121–140.doi: 10.1007/s00291-007-0086-3.

Brewer PC, Speh TW. 2000. Using the balanced scorecard to measure supply chain

performance. J Bus Logist. 21:75

Brown JE. 1994. Agroindustrial investment and operations. New York (US): World

Bank Publications.

Busch L. 2000. The moral economy of grades and standards. J Rural Studies. 16:

273–283.

Chandler RC, Plano JC. 1988. The public administration dictionary. Ed ke-2. Santa

Barbara (US): ABC-Clio.

Charan P, Shankar R, dan Baisya RK. 2008. Analysis of interactions among the

variables of supply chain performance measurement system implementation.

Bussiness Process Manag J. 14(4):512-529. doi: 10.1108/14637150810888055.

Checkland P. 1995. Soft Systems Methodology and its relevance to the development of

information systems. In Information Systems Provision: the Contribution of Soft

Systems Methodology, Stowell FA (ed.). London (GB): McGraw-Hill.

Chopra S, Meindl P. 2007. Supply chain management: strategy, planning and

operations. Ed ke-3. Upper Saddle River, NJ (US): Pearson Prentice Hall.

Cook LS, Heiser DR, Sengupta K. 2011. The moderating effect of supply chain role

on the relationship between supply chain practices and performance: an empirical

analysis. Int J Phys Distrib Logist Manag. 41(2):104-134. doi:10.1108/

09600031111118521.

[CSP] Cocoa Sustainability Partnership. 2010. Policy assessment, reform

prioritization and policy recommendation for cocoa sector. Di dalam : Proceeding

Seminar Workshop Isu dan Kebijakan Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan;

2010 Jun 1; Makassar, Indonesia (ID):CSP.

Delis A. 2008. Peran infrastruktur sebagai pendorong dinamika ekonomi sektoral dan

regional berbasis pertanian [disertasi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[Deperind] Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia - Departemen Perindustrian.

2009a. Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 113/M-IND/PER/10/2009 tanggal

14 Oktober 2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster

Industri Kakao. Jakarta (ID): Departemen Perindustrian RI

[Deperind] Departemen Perindustrian. 2009b. Direktorat Jenderal Industri Agro dan

Kimia - Departemen Perindustrian: Peraturan Menteri Perindustrian RI No.

113/M-IND/PER/10/2009 tanggal 14 Oktober 2009 tentang peta panduan (road

map) pengembangan klaster industri kakao. Jakarta (ID): Departemen

Perindustrian RI

[Deperind] Departemen Perindustrian. 2009b. Statistik departemen perindustrian:

perkembangan industri makanan 2006-2008. Jakarta: Departemen Perindustrian.

Dıaz MR, Rodrıguez TFE. 2006. Redesigning the supply chain: reengineering,

Page 150: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

132

outsourcing, and relational capabilitiesn. Bus Proc Manag J. 12(4):483-502.

doi.10.1108/14637150610678087

[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2010. Statistik

perkebunan 2008-2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen

Pertanian

Dunn WN. 1999. Pengantar analisis kebijakan publik. Yogyakarta (ID): Gajah Mada

Univ. Pr.

Cook LS, Heiser DR, Sengupta K. 2011. The moderating effect of supply chain role

on the relationship between supply chain practices and performance: an empirical

analysis. Int J Phys Distrib Logist Manag. 41(2):104-134.doi:10.1108/

09600031111118521.

Dye TR. 1981. Understanding public policy. Englewood Cliffs, NJ (US): Prentice-

Hall.

Elizabet R. 2008. Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani. Bogor (ID):

Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.

Ellegaard C. 2008. Supply risk management in a small company perspective. SCM:

Int J. 13(6): 425–434.doi: 10.1108/13598540810905688.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. Ed ke-3.

Bogor (ID): IPB Pr.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2009. Agro-

industries for development. Ed: Carlos A. da Silva et al. Published jointly by CAB

International and FAO. Rome (IT): FAO.

Frayret JM, Amours SD, Rousseau A, Harvey S, Gaudreault J. 2007. Agent-based

supply-chain planning in the forest products industry. Int J Flex Manuf Syst.

19:358–391.doi: 10.1007/s10696-008-9034-z.

Grigg N, Fontane G, Darrel. 2000. Infrastructure system management and

optimization. Di dalam Seminar Internasional Paradigm and Strategy of

Infrastructure Management. Semarang (ID): Civil Engeenering Depart Univ

Diponegoro.

Gürel E, Kavak B. 2010. A conceptual model for public relations in museums.

European Journal of Marketing. 44(1):42-65. doi:http://dx.doi.org/

10.1108/03090561011008600

Harrington JW, Warf B. 1995. Industrial location: principles, practice, and policy.

London (GB): Routledge Harris CD 1954.

Henson SJ, Reardon T. 2005. Private agrifood standards: implications for food policy

and the agrifood system. Food Policy. 30(3):241–253.

Herawati T. 2011. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis proses perumusan kebijakan dan

rancang bangun model konseptual kebijakan [disertasi]. Bogor (ID): Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hoogerwerf A. 1983. Ilmu pemerintahan. Terjemahan RLL Tobing. Jakarta:

Erlangga.

Hugos MH. 2010. Essentials of supply chain management. Ed ke-2. New Jersey: J

Wiley.

[ICCO] International Cocoa Organization. 2011. Annual report 2010/2011. London

(GB): ICCO

Islamy I. 1997. Prinsip-prinsip perumusan kebijaksanaan negara. Jakarta (ID): Bumi

Aksara.

Jahre M, Hatteland CJ. 2004. Packages and physical distribution: Implications for

Page 151: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

133

integration and standardisation. Int J Phys Distrib Logist Manag. 34(2): 123-139.

Jaya R, Machfud, Ismail M. 2011. Aplikasi teknik ISM dan ME-MCDM untuk

identifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan untuk perbaikan

mutu kopi gayo. J. Tek. Ind. Pert. 21(1):1-8

Jones CO. 1984. An Introduction to The Study of Public Policy. Brooks/Cole Pub. Co.

Keban YT. 2004. Enam dimensi strategis administrasi publik: konsep, teori dan isu.

Jakarta (ID): Gava Media.

[Kemenhub] Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. 2010. Keputusan

Menteri Perhubungan Nomor: KM 7 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis

Kementerian Perhubungan Tahun 2010 – 2014. Jakarta (ID): Kementerian

Perhubungan.

[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2010. Peraturan

Menteri Perindustrian RI Nomor: 151/M-IND/PER/12/2010 tentang Rencana

Strategis Kementerian Perindustrian 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian

Perindustrian.

[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2012. Publikasi data

industri. Jakarta (ID): Humas Kementerian Perindustrian.

[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2013. Laporan

perkembangan kemajuan program kerja kementerian perindustrian tahun 2004-

2012. Jakarta (ID): Humas Kementerian Perindustrian.

[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2011. Publikasi data

industri. Jakarta (ID): Humas Kementerian Perindustrian.

[Kementerian ESDM] Kementerian ESDM Republik Indonesia. 2010. Rencana

Strategis Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2010-2014. Jakarta

(ID): Kementerian ESDM.

Kristanto I H. 2004. Konsep dan perancangan database. Yogyakarta (ID):Penerbit

Andi.

Lambert DM, Cooper MC. 2000. Issues in supply chain management. Industrial

Marketing Manag. 29: 65–83.

Lambert DM, Guinipero LC, Ridenhower GJ. 1998. Supply Chain Management: A

Key to Achieving Bussiness Excelence in the 21st Century. Unpublished

manuscript (1998).

Lambert DM. 2004. The eight essential supply chain management processes. Supply

Chain Manag Review 8(6):18.

Lambert DM. 2008. Supply chain management: processes, partnerships,

performance, Ed ke-3. Sarasota FL (US): Supply Chain Management Institute.

Lamming RC, Caldwell ND, Harrison DA, Phillips W. 2001. Transparency in supply

relationships: concept and practice. J SCM. 37:4-10.

Lau HCW, Lee CKM, Ho GTS, Ip WH, Chan FTS, Ip RWL. 2006. M-commerce to

support the implementation of a responsive supply chain network. Supply Chain

Manag. 11:169-178.doi: 10.1108/13598540610652564.

Levi DS, Kaminsky N, Levi S. 2002. Designing and managing the supply chain:

concepts, strategies, and case studies. Ed. Ke-2. McGraw-Hill.

Li L. 2007. Supply chain management: concepts, techniques and practices enhancing

value through collaboration. Danvers (US): World Scientific Publishing Co Pte

Ltd.

Lipsey R, Chrystal A. 2011. Economics. London (GB): Oxford Univ Pr.

Liu J. 2010. Breaking the ice between government and business: from it-enabled

Page 152: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

134

control procedure redesign to trusted relationship building [disertasi]. Delft (NL):

Vrije Univ Amsterdam.

Machfud. 2001. Rekayasa model penunjang keputusan kelompok dengan fuzzy-logic

untuk sistem pengembangan agroindustri minyak atsiri. [disertasi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Macqa J, Martinya P, Villalobosb LB, Solisc A, Mirandad J, Mendeze HC, Collinsf

C. 2008. Public purchasers contracting external primary care providers in central

america for better responsiveness, efficiency of health care and public governance:

Issues and challenges. Health Policy .87(3):377–388.

Manikas I, Terry LA. 2009. A case study assessment of the operational performance

of a multiple fresh produce distribution centre in the UK. Br Food J. 111:421-

435.doi: 10.1108/00070700910957276.

Manuj I, Sahin F. 2011. A model of supply chain and supply chain decision-making

complexity. Int J Physic Distrib Logist Manag. 41(5): 511-549.

Marimin, Maghfiroh N. 2010. Aplikasi teknik pengambilan keputusan dalam

manajemen rantai pasok. Bogor (ID): IPB Pr.

Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk.

Jakarta (ID): Grasindo.

Marimin. 2008. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk. Ed ke-

3. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia.

Miller GJ, Fischer F, Sidney MS. 2007. Handbook Of Public Policy Analysis: Theory,

Politics, and Methods. Boca Raton FL (US): CRC/Taylor & Francis.

Minnich D, Maier FH. 2006. Supply chain responsiveness and efficiency–

complementing or contradicting each other?” Di dalam: Größler A, Rouwette

EAJA, Langer RS, Rowe JI and Yanni JM, editor. International Conference of the

System Dynamics Society; 2006 Jul 23-27; Nijmegen, Netherlands (NL): The

System Dynamics Society. hlm 94-105.

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung (ID): Rosda.

Narayan P. and J. Subramanian (2009). Inventory management-principles and

practices, excel books. New Delhi (IN): Anurag Jain.

Neely A, Gregory M, dan Platts K. 1995. Performance measurement system design.

Int J Operat & Prod Manag15(4): 80-116.

Neely A, Gregory M, Platts K. 2005. Performance measurement system design: A

literature review and research agenda. Int J Oper Prod Manag. 25(12):1228-

1263.doi: 10.1108/01443570510633639.

Noor MNM, Pitt M. 2009. The application of supply chain management and

collaborative innovation in the delivery of facilities management services. J Facil

Manag. 7: 283-297

Nugroho R. 2009. Public policy: dinamika kebijakan–analisis kebijakan–manajemen

kebijakan. Ed. Ke-3. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo.

Panlibuton H, Lusby F. 2006. Indonesia cocoa bean value chain case study. USAID,

microREPORT, 65.

[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan industri nasional. Jakarta

(ID): Sekretariat Negara RI.

Pretty J, King V, Smith G, Goulding KWT, Oostrum JV, Pendlington DJ, Groves SJ,

Vis JK, Henderson I, Walter C, Hine RE. 2008. Multi-year assessment of

Unilever‟s progress towards agricultural sustainability. Int J Agri Sustain. 6:63–88.

Page 153: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

135

Pujawan IN. 2005. Supply chain management. Ed ke-1. Surabaya (ID): Penerbit Guna

Widya.

[PSE Litbangtan]. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Revitalisasi sistem penyuluhan

untuk mendukung daya saing industri pertanian pedesaan. Jakarta (ID): Balitbang

Pertanian Kementerian Pertanian.

Ramesh A, Banwet DK, Shankar R. 2010. Modeling the barriers of supply chain

collaboration. J Model Manag.5(2):176-193.doi:10.1108/17465661011 061014.

Randall WS, Gibson BJ, Defee CC, Williams BD. 2011. Retail supply chain

management: key priorities and practices. Int J Logist Manag. 22(3):390-402.

doi:10.1108/09574091111181381.

Ravindran AR, Warsing DP. 2012. Supply chain engineering: models and

applications. Boca Raton FL (US): CRC Pr.

Rodrik D, Lozachmeur JM, Pestieau P. 2004. Industrial policies for the twenty-first

century. Harvard (US): Centre for Economic Policy Research Harvard Univ.

Rosenzweig ED, Roth AV, Dean JWJr. 2003.The influence of an integration strategy

on competitive capabilities and business performance: an exploratory study of

consumer products manufacturers. J Operations Manag. 21:437-56.

Rudolf R, Sinkovics RR, Jean RJ, Roath AS, Cavusgil ST. 2011. Does IT

integration really enhance supplier responsiveness in global supply chains?.

Manag Int Rev. 51: 193-212.

Sa‟id EG. 2009. Review kajian, penelitian dan pengembangan agroindustri strategis

nasional: kelapa sawit, kakao dan gambir. J Teknologi Industri Pertanian.

19(1):45-55.

Saad SM, Gindy NNZ. 2007. Future shape of the responsive manufacturing

enterprise. Benchmarking: In International Journal. 14: 140-152

Saaty TL. 1983. Decision Making For Leaders: The Analytical Hierarchy Process

for Decision in Complex World. Pittsburgh (US): RWS Publication.

Santoso I. 2005. Rekayasa model manajemen risiko untuk pengembangan

agroindustri buah-buahan secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah

Pascasarjana, IPB.

Sargent RG. 2010. Verification and validation of simulation models. Di dalam

Johansson B. et al. editor. Proceeding of the 2010 Winter Simulation

Conference;2010 Des 5-8; Baltimore, Maryland, USA (US):WSC.

Saxena, Sushil JP, Vrat P. 1992. Hiearchy and classification of program plan

elements using interpretive structural modelling. System Practice. 5(6):651-670.

Sehgal V. 2009. Enterprise supply chain management: integrating best in class

processes. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc.

Shukla A, Lalit VA, Venkatasubramanian V. 2011. Optimizing efficiency-robustness

trade-offs in supply chain design under uncertainty due to disruptions. Int J Phys

Distrib Logist Manag. 41: 623-646.

Siagian D dan Sugiarto. 2006. Metode statitiska untuk bisnis & ekonomi. Edisi ke-3.

Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

Simarmata DjA. 1983. Operation research, sebuah pengantar. Jakarta: Gramedia.

Siry JP, Greene WD, Harris TGJ, Izlar RL et al. 2006. Wood supply chain efficiency

and fiber cost: what can we do better?. Forest Prod J. 56:4.

Soon QH, Udin ZM. 2011. Supply chain management from the perspective of value

chain flexibility: an exploratory study. J Manuf Tech Manag. 22: 506-526.

Page 154: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

136

Suharjito. 2011. Pemodelan sistem pendukung pengambilan keputusan cerdas

manajemen risiko rantai pasok produk/komoditi jagung [disertasi] Bogor (ID).

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Supply Chain Council. 2006. Supply chain operations reference model version 8.0.

dictionary. United States and Canada: SSC.

Suprihatini R, Drajat B, Fadjar U. 2004. Kebijakan percepatan pengembangan

industri hilir perkebunan: kasus kelapa sawit dan teh. AKP Lembaga Riset

Perkebunan Indones. 2(1).

Suprihatini R. 2004. Rancang bangun sistem produksi dalam agroindustri teh

indonesia[disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Susanto FX. 1994. Tanaman kakao, budi daya dan pengolahan hasil. Yogyakarta

(ID): Kanisius.

Syam H. 2006. Rancang bangun model sistem pengembangan agroindustri berbasis

kakao melalui pola jejaring usaha [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

Taufik TA. 2005. Pengembangan sistem inovasi daerah: perspektif kebijakan. Jakarta

(ID): P2KTPUDPKM–BPPT dan MRT

Thomas O. 2011. Sustainable supply chain management in the chocolate industry.

Norderstedt (DE): GRIN Verlag.

Tunggal AW. 2009. Supply chain management (manajemen rantai pasokan). Jakarta

(ID): Harvarindo Pr.

[UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development Secretariat. 2008.

Cocoa study: industry structures and competition. New York (US): UNCTAD

Secretariat - United Nations.

Vachon S, Halley A, Beaulieu M. 2009. Aligning competitive priorities in the supply

chain: the role of interactions with suppliers. Int J Oper Prod Manag. 29(4):322-

340.doi: 10.1108/01443570910945800.

Vorst JGAJ. 2004. Supply chain management: theory and practice. Di dalam Camps

T, Diederen P, Hofstede GJ, Vos B. editor. The Emerging World of Chains &

Networks. Elsevier.

Vorst JGAJ. 2006. Performance measurement in agrifood supply chain networks: an

overview. Di dalam: C. Ondersteijn, Â. J. Wijnands, R. Huirne, O. van Kooten.

editor. Quanvtifying the Agri-Food Supply Chain. Van Godewijckstraat (NL):

Springer Science Business Media 2:13-24.

Wagner SM and Neshat N. 2011. A comparison of supply chain vulnerability indices

for different categories of firms. Int J Prod Res. 1–15, iFirst. doi:

10.1080/00207543.2011.561540

Wahyudi T, Pangggabean TR, Pujiyanto. 2008. Panduan lengkap kakao. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Waller B. 2004. Market responsive manufakturing for the automotive supply chain. J

Manuf Tech Manag. 15:10-19.doi: 1108/09576060410512194.

Winarno B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Ed ke-3. Jakarta (ID): Penerbit

Media Pressindo.

[World Bank] The World Bank. 2005. Agriculture investment sourcebook:

agriculture and rural development. Washington DC (US) : www.worldbank.org .

Page 155: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

137

Yandra, Marimin, Jamaran I, Eriyatno, Tamura H. 2007. An integration of multi-

objective genetic algorithm and fuzzy logic for optimization of agroindustrial

supply chain design. Di dalam: Proceedings of the 51st Annual Meeting of the

ISSS.

Zaefarian T, Zaefarian R. 2012. Complaint management and suppliers' engagement in

long-term relationships: A conceptual model based on fairness theory. Business

and Economic Research 2(1): doi:http://dx.doi.org/10.5296/ber.v2i1.1594

Zee DJ, Vorst JGAJ. 2005. A modelling framework for analyzing supply chain

scenarios: applications in food industry. Decision Sciences 36(1):65.

Page 156: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

138

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner pakar

KUISIONER

Penggunaan Proses Hirarki Analitik dalam

Survey Penentuan Bobot Kepentingan Aspek, Driver

dan Sub Driver Kinerja Rantai Pasok Industri Kakao

Tanggal Pengisian : ..........................................

Nama Responden : ..........................................

Pekerjaan Responden : ..........................................

Tanda Tangan : ..........................................

Dilakukan Oleh :

Yudi Widayanto

Page 157: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

139

PENGANTAR

Bapak/Ibu Yth. Perumusan kebijakan pemerintah yang mampu

mengakomodir berbagai kepentingan industri sangatlah penting. Hal ini karena

masih terjadinya kesenjangan antara arah kebijakan pemerintah dengan kondisi

nyata yang dihadapi oleh industri. Demikian juga yang terjadi pada pengembangan

industri kakao di Indonesia. Masih adanya kebijakan yang kurang kondusif

menyebabkan industri kakao belum mencapai tingkat utilitas dan kapasitas optimal.

Pengembangan industri kakao sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah,

karena banyak area aktivitas industri kakao yang rentan terhadap risiko jika tidak

mendapatkan dukungan kebijakan pemerintah. Beberapa di antara faktor penting

pengembangan industri hilir perkebunan termasuk industri kakao adalah

Manajemen Rantai Pasok, dan Infrastruktur dan beberapa faktor lain (Suprihatini et

al. 2004).

Bagi industri kakao Indonesia, rantai pasok menjadi pertimbangan penting,

karena sentra biji kakao tersebar di berbagai wilayah Indonesia, sementara industri

sebagian besar masih terkonsentrasi di Jawa. Aspek driver logistik seperti fasilitas,

inventori dan transportasi, serta aspek driver lintas fungsi seperti informasi dan

sourcing merupakan elemen-elemen rantai pasok yang sangat diperhatikan oleh

pelaku industri kakao Indonesia dalam berinvestasi baik dengan peningkatan

kapasitas maupun pembukaan pabrik baru. Penelitian Alam (2009) menunjukkan

keputusan investasi asing langsung (FDI) sangat dipengaruhi oleh kapabilitas

rantai pasok suatu negara.

Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini berasumsi jika kinerja rantai

pasok industri tidak terakomodir dalam perumusan kebijakan pemerintah, maka

kebijakan yang dikeluarkan tidak akan optimal dalam mendukung

pengembangannya. Untuk itu diperlukan ukuran kinerja rantai pasok yang

dikembangkan berdasarkan driver kinerja tersebut. Dalam pengukuran kinerja

diperlukan bobot kepentingan dari aspek, driver maupun sub driver kinerja.

Maksud survey ini adalah memperoleh masukan dari pakar tentang bobot

kepentingan dari Aspek, driver dan sub driver kinerja rantai pasok bagi pencapaian

kinerja terbaik rantai pasok Industri Kakao. Selanjutnya dari hasil pengukuran

kinerja rantai pasok akan dijadikan bahan perumusan kebijakan pengembangan

industri hilir kakao. Hasil perumusan kebijakan penelitian ini diharapkan dapat

menjawab permasalahan bagaimana kondisi nyata yang dihadapi oleh industri hilir

kakao, sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri hilir

kakao di Indonesia yang tergambar dari rantai pasok yang efisien dan responsif.

Pengisian kuisioner ini bertujuan untuk menentukan bobot kepentingan aspek,

driver dan sub driver kinerja rantai pasok industri kakao.

Metode pengisian kuesioner ini menggunakan AHP (Analytical Hierarchy

Process) dimana penilaian berlandaskan suatu Hierarki (struktur AHP) dengan

komponen-komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli (pakar).

Hierarki dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 158: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

140

Gambar 1. Struktur Hierarki AHP untuk Pembobotan Aspek, Driver dan Sub-

Driver

PETUNJUK PENGISIAN

I. UMUM

1. Isi kolom Identitas yang terdapat pada halaman depan Kuisioner.

2. Berikan penilaian terhadap hirarki penentuan bobot kepentingan dengan

cara mengisi lembar pengisian.

3. Penilaian dilakukan dengan membandingkan tingkat kepentingan

komponen dalam satu level hirarki yang berkaitan dengan komponen-

komponen level sebelumnya menggunakan skala penilaian yang

terdapat pada petunjuk bagian II,

4. Penilaian dilakukan dengan mengisi titik-titik pada kolom yang telah

tersedia.

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Efisiensi Responsivitas F

asili

tas

Inve

ntor

i

Info

rmas

i

Tra

nspo

rtas

i

Sou

rcin

g

Fas

3

Fas

2

Fas

1

Inv

3

Inv

2

Inv

1

Tra

3

Tra

2

Tra

1

Inf

3 In

f 2

Inf 1

Sou

3

Sou

2

Sou

1

Fas

3

Fas

2

Fas

1

Inv

3

Inv

2

Inv

1

Tra

3

Tra

2

Tra

1

Inf

3 In

f 2

Inf 1

Sou

3

Sou

2

Sou

1

Fas

ilita

s

Inve

ntor

i

Info

rmas

i

Tra

nspo

rtas

i

Sou

rcin

g

Goal

Aspek

Driver

Sub-

Driver

Page 159: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

141

II. SKALA PENILAIAN

Definisi dari skala yang digunakan adalah sebagai berikut:

Nilai Perbandingan

( A dibandingkan B)

Derfinisi

1 A sama penting dengan B

3 A sedikit lebih penting dari B

1/3 Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A)

5 A jelas lebih penting dari B

1/5 Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A)

7 A sangat jelas lebih penting dari pada B

1/7 Kabalikannya (B sangat jelas lebih penting dari pada A)

9 A mutlak lebih penting dari pada B

1/9 Kebalikannya (B mutlak lebih penting dari pada A)

2,4,6,8 atau

½,1/4,1/6,1/8

Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan patokan

diatas

Contoh Pengisian:

Misalkan terdapat empat elemen yang mempengaruhi investasi yaitu faktor C,D,E

dan F. Berdasarkan tingkat kepentingan maka factor tersebut disusun dalam bentuk

tabel seperti pada contoh berikut:

Elemen A Elemen B

C D E F

C 1 …3(a)

… …1/3(b)

… …2..

D 1 …4… …7…

E 1 …1/2…

F 1

Keterangan:

Nilai Pada (a)

: Faktor C sedikit lebih penting dari D

Nilai Pada (b)

: Faktor E sedikit lebih penting dari C

PERHATIAN: Konsistensi penilaian sangat penting dalam penelitian ini.

Page 160: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

142

Tabel 1. Membandingkan tingkat kepentingan Aspek dibawah ini berdasarkan

Goal Kinerja Rantai Pasok Industri Kakao.

ELEMEN

ASPEK A

ELEMEN ASPEK B

Efisiensi Responsivitas

Efisiensi 1 ..........

Responsivitas 1

Keterangan :

Pengertian Responsivitas dan Efisiensi:

Responsivitas mengacu pada sejauh mana kebutuhan dan harapan pelanggan

terpenuhi, dan sejauh mana fleksibilitas rantai pasok dapat mengakomodasi

perubahan kebutuhan dan harapan.

Efisiensi lebih fokus pada minimalisasi biaya, yaitu rantai pasok yang

membutuhkan biaya input lebih kecil untuk menghasilkan jumlah output yang

lebih efisien.

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 1 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk

membandingkan mana yang lebih penting dari elemen aspek A dengan elemen aspek

B, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah

memprioritaskan salah satu Aspek berdasarkan pendapat responden.

Tabel 2. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Driver dibawah

ini berdasarkan Aspek Efisiensi Rantai Pasok Industri Kakao

ELEMEN

DRIVER A

ELEMEN DRIVER B

Fasilitas Inventori Transportasi Informasi Sourcing

Fasilitas 1 ……….. ……….. ………… ………

Inventori 1 ………. ………… ………

Transportasi 1 ………… ………

Informasi 1 ………

Sourcing 1

Keterangan : Pengertian Driver kinerja rantai pasok:

1. Fasilitas yaitu lokasi fisik dalam jaringan rantai pasok dimana produk disimpan,

dirakit, atau dibuat.

2. Inventory meliputi persediaan bahan baku, persediaan dalam proses, dan barang

jadi dalam rantai pasok.

3. Transportasi adalah memindahkan inventory dari titik ke titik dalam rantai pasok.

4. Informasi terdiri dari data dan analisis yang berkaitan dengan fasilitas, inventory,

transportasi, dan pelanggan di seluruh rantai pasok.

Page 161: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

143

5. Sourcing adalah pilihan cara dalam melakukan kegiatan pengadaan dalam rantai

pasok seperti produksi, transportasi, penyimpanan, atau manajemen informasi.

Pilihan yang ada bisa dilakukan perusahaan sendiri atau out-sourcing.

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 2, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Driver A dengan elemen Driver B dalam

mencapai efisiensi rantai pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk.

Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar prioritas driver kinerja rantai pasok

berdasarkan pendapat responden.

Tabel 3. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Driver dibawah

ini berdasarkan Aspek Responsivitas Rantai Pasok Industri Kakao

ELEMEN

DRIVER A

ELEMEN DRIVER B

Fasilitas Inventori Transportasi Informasi Sourcing

Fasilitas 1 ……….. ……….. ………… ………

Inventori 1 ………. ………… ………

Transportasi 1 ………… ………

Informasi 1 ………

Sourcing 1

Keterangan :

Keterangan Pengertian driver sama dengan sebelumnya. Dalam pengisian kuisioner

dalam tabel 3 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih

penting dari elemen Driver A dengan elemen Driver B dalam mencapai

Responsivitas rantai pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran

dari kuesioner ini adalah daftar prioritas driver kinerja rantai pasok berdasarkan

pendapat responden.

Tabel 4. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Fasilitas dalam Aspek Efisiensi

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Pengelolaan

Fasilitas

Lokasi

Fasilitas

Kapasitas

Fasilitas

Fleksibilitas

Fasilitas

Pengelolaan Fasilitas 1 ……….. ……….. …………

Lokasi Fasilitas 1 ………. …………

Kapasitas Fasilitas 1 …………

Fleksibilitas Fasilitas 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 4, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B

dalam mencapai Kinerja Fasilitas dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu

Page 162: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

144

memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar

prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Tabel 5. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Inventory dalam aspek Efisiensi

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Perputaran

Produk Kuantitas Barang

Pengelolaan

Gudang

Perputaran Produk 1 ……….. ………..

Kuantitas Barang 1 ……….

Pengelolaan Gudang 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 5, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B

dalam mencapai Kinerja Inventory dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu

memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar

prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Tabel 6. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Transportasi dalam aspek Efisiensi

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Vehicle Flow Price Of Trip

Vehicle Flow 1 ………..

Price Of Trip 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 6, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B

dalam mencapai Kinerja Transportasi dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu

memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar

prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Page 163: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

145

Tabel 7. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Sourcing dalam aspek Efisiensi

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Penilaian

Pemasok

Integrasi

Pemasok

Keeratan

Hubungan

Pemasok

Penilaian Pemasok 1 ……….. ………..

Integrasi Pemasok 1 ……….

Keeratan Hubungan

Pemasok 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 7, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B

dalam mencapai Kinerja Sourcing dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu

memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar

prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Tabel 8. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Informasi dalam aspek Efisiensi

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Integrasi permintaan Koordinasi

Integrasi permintaan 1 ………..

Koordinasi 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 8, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B

dalam mencapai Kinerja Informasi dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu

memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar

prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Page 164: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

146

Tabel 9. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Fasilitas dalam aspek Responsivitas

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Pengelolaan

Fasilitas

Lokasi

Fasilitas

Kapasitas

Fasilitas

Fleksibilitas

Fasilitas

Pengelolaan Fasilitas 1 ……….. ……….. …………

Lokasi Fasilitas 1 ………. …………

Kapasitas Fasilitas 1 …………

Fleksibilitas Fasilitas 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 9, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B

dalam mencapai Kinerja Fasilitas dalam aspek responsivitas rantai pasok, lalu

memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar

prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Tabel 10. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Inventory dalam aspek Responsivitas

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Perputaran

Produk Kuantitas Barang

Pengelolaan

Gudang

Perputaran Produk 1 ……….. ………..

Kuantitas Barang 1 ……….

Pengelolaan Gudang 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner pada tabel 10, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan

mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B

dalam mencapai Kinerja Inventory dalam aspek Responsivitas rantai pasok, lalu

memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar

prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Page 165: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

147

Tabel 11. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Sourcing dalam aspek Responsivitas

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Penilaian

Pemasok

Integrasi

Pemasok

Keeratan

Hubungan

Pemasok

Penilaian Pemasok 1 ……….. ………..

Integrasi Pemasok 1 ……….

Keeratan Hubungan

Pemasok 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner dalam tabel 11 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk

membandingkan mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen

Sub Driver B dalam mencapai Kinerja Sourcing dalam aspek Responsivitas rantai

pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini

adalah daftar prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Tabel 12. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver

dibawah ini berdasarkan Kinerja Informasi dalam aspek Responsivitas

ELEMEN

SUB DRIVER A

ELEMEN SUB DRIVER B

Integrasi permintaan Koordinasi

Integrasi permintaan 1 ………..

Koordinasi 1

Keterangan :

Dalam pengisian kuisioner dalam tabel 12 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk

membandingkan mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen

Sub Driver B dalam mencapai Kinerja Informasi dalam aspek Responsivitas rantai

pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini

adalah daftar prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.

Page 166: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

148

Lampiran 2 Kuesioner pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok

KUESIONER

PENELITIAN DISERTASI

JUDUL MODEL UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN

PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO

BERBASIS MANAJEMEN RANTAI PASOK

Oleh:

YUDI WIDAYANTO

F361080021

KOMISI PEMBIMBING:

Dr Ir Machfud, MS (Ketua)

Prof Dr Erliza Hambali (Anggota)

Dr Ir Sukardi, MM (Anggota)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Page 167: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

149

KUESIONER PENGUKURAN KINERJA EFISIENSI DAN

RESPONSIVITAS RANTAI PASOK

PENGANTAR Bapak/Ibu Yth. Perumusan kebijakan pemerintah yang mampu mengakomodir berbagai

kepentingan pelaku usaha industri sangatlah penting. Hal ini karena masih terjadinya

kesenjangan antara arah kebijakan pemerintah dengan kondisi nyata yang dihadapi oleh dunia

usaha khususnya industri. Demikian juga yang terjadi pada pengembangan industri hilir kakao

di Indonesia. Masih adanya kebijakan yang belum sesuai sehingga industri kakao belum

mencapai tingkat utilitas dan kapasitas sebagaimana yang diharapkan.

Pengembangan industri hilir kakao sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Hal

ini karena banyaknya area aktivitas industri hilir kakao yang rentan terhadap risiko jika tidak

mendapatkan dukungan kebijakan. Beberapa faktor yang penting dalam pengembangan

industri hilir perkebunan sebagaimana penelitian Suprihatini et al. (2004) ada 10 faktor yang

di antaranya adalah Manajemen Rantai Pasok, dan Infrastruktur.

Rantai pasok termasuk pertimbangan penting, karena budidaya kakao yang tersebar di

berbagai pulau di wilayah Indonesia, sementara industri masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Aspek logistic driver seperti transportasi, fasilitas, dan persediaan, serta aspek cross-

functional driver seperti informasi, sourcing, dan pricing merupakan elemen-elemen dalam

rantai pasok yang sangat diperhatikan oleh pelaku industri kakao Indonesia. Penelitian Alam

(2009) menunjukkan keputusan investasi asing langsung (FDI) sangat dipengaruhi oleh

kapabilitas rantai pasok suatu negara.

Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini berasumsi jika kompleksitas

permasalahan yang tercermin dari kinerja rantai pasok industri tidak terakomodir dalam

perumusan kebijakan pemerintah, maka kebijakan yang dikeluarkan tidak akan optimal dalam

mendukung pengembangannya. Hal ini sesuai dengan studi FAO (2009) yang menyatakan

bahwa pengembangan agroindustri membutuhkan respons kebijakan yang sehat untuk

mengoptimalkan potensi dalam mencapai keuntungan rantai pasok dan mengurangi risiko.

Penelitian ini fokus pada upaya mengidentifikasi penggerak (driver) kinerja rantai

pasok yang dilakukan oleh Industri. Selanjutnya dari hasil identifikasi driver akan dilakukan

pengukuran kinerja rantai pasok yang kemudian akan menjadi bahan perumusan kebijakan

pengembangan industri hilir kakao. Hasil perumusan kebijakan penelitian ini diharapkan

dapat menjawab permasalahan bagaimana kondisi nyata yang dihadapi oleh industri hilir

kakao, sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri hilir kakao di

Indonesia yang tergambar dari rantai pasok yang efektif, efisien dan responsif.

MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN

Maksud penelitian ini adalah untuk penyusunan disertasi, yang merupakan salah satu

syarat kelulusan S3 pada program studi Teknologi Industri Pertanian - Sekolah

Pascasarjana IPB.

Tujuan pelaksanaan dari survei dengan kuesioner ini adalah untuk menggali informasi

kinerja rantai pasok industri hilir kakao yang dijadikan bahan perumusan kebijakan.

Sasaran survey ini adalah pengambil keputusan manajemen rantai pasok

(Manager Supply Chain) industri hilir kakao atau pejabat pelaksanaan logistik dan

layanan konsumen.

RAHASIA ID : └─┴─┘

Page 168: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

150

KUESIONER INDUSTRI HILIR KAKAO

RESPONDEN ADALAH : MANAGER SUPPLY CHAIN PERUSAHAAN

ATAU YANG DITUNJUK

Nama Perusahaan : ______________________________________________________

[NAMA PERUSAHAAN AKAN DIRAHASIAKAN DALAM PROSES ANALISIS MAUPUN PUBLIKASI]

Tanggal/Bulan/Tahun : └─┴─┘ / └─┴─┘ / └─┴─┘ └─┴─┘

PETUNJUK PENGISIAN

Kuesioner untuk Industri Hilir Kakao ini terdiri dari dua bagian yaitu : Aspek

Efisiensi dan Aspek Responsivitas

Jawaban yang diberikan merupakan kondisi nyata yang diterjadi atau yang

dilakukan perusahaan dalam aktivitas rantai pasok (supply chain) yang dinilai

dalam bentuk SKOR antara 1 dan 9.

Skor 1 merupakan kondisi ekstrim kiri dari keadaan yang disebutkan di

sebelah kiri angka. Sedang skor 9 merupakan kondisi ekstrim kanan dari

keadaan yang disebutkan di sebelah kanan angka tersebut.

Jawablah pertanyaan dengan memberi tanda check () pada angka yang

sesuai di kolom Jawaban (skor).

Ilustrasi :

1

Seberapa besar dana yang

dihabiskan untuk biaya

pemeliharaan gudang?

Relatif

Kecil Relatif

Besar

KERAHASIAAN INFORMASI

Kerahasian isian kuesioner dan hasil wawancara ini dijamin dan hanya akan digunakan untuk

keperluan peneltian ini saja.

Kondisi Ekstrem kiri

Driver Kondisi Ekstrim kanan

Page 169: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

151

BAGIAN 1 : ASPEK EFISIENSI

NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)

1 Seberapa besar biaya

pemeliharaan gudang? Relatif kecil Relatif besar

2 Seberapa besar biaya

pemeliharaan pabrik? Relatif kecil Relatif besar

3 Seberapa besar biaya

pemeliharaan kendaraan? Relatif kecil Relatif besar

4

Seberapa besar produksi

mengalami fluktuasi

(kenaikan & penurunan)

dalam setahun terakhir?

Sangat besar Sangat kecil

5

Apakah untuk pengelolaan

Rantai Pasok perusahaan

menggunakan teknologi

modern

Tidak

menggunakan

Menggunakan

teknologi

terintegrasi

6

Seberapa jauh letak pabrik

dengan sumber bahan

baku?

Jauh sekali Dekat sekali

7

Bagaimana kondisi jalan

yang dilalui armada

pengiriman bahan baku

dan barang jadi saat ini.

Sangat rusak

dan macet

Sangat baik dan

lancar

8

Seberapa tinggi tingkat

penggunaan gudang

perusahaan anda?

Sangat rendah Sangat tinggi

9

Seberapa Tinggi tingkat

penggunaan pabrik

perusahaan anda?

Sangat rendah Sangat tinggi

10

Seberapa tinggi tingkat

penggunaan kendaraan

perusahaan anda?

Sangat rendah Sangat tinggi

11

Apakah kendaraan

perusahaan

memungkinkan

mengangkut beberapa

jenis produk?

Tidak

memungkin-

kan

Sangat

memungkin-

kan

12

Apakah gudang

perusahaan anda

memungkinkan untuk

menyimpan beberapa jenis

produk?

Tidak

memungkin-

kan

Sangat

memungkin-

kan

13

Apakah peralatan pabrik

memungkinkan untuk

memproduksi beberapa

jenis produk?

Tidak

memungkin-

kan

Sangat

memungkin-

kan

14

Apakah pengiriman bahan

baku telah selalu tepat

waktu dan kebutuhan

produksi?

Tidak selalu Selalu tepat

15

Apakah pengiriman

produk jadi kepada

konsumen tepat waktu dan

Tidak selalu Selalu tepat

Page 170: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

152

NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)

tepat jumlah?

16

Seberapa banyak produk

yang rusak setelah dikirim

sampai ke konsumen?

Relatif banyak Tidak ada yang

rusak

17

Seberapa banyak bahan

baku yang rusak setalah

dikirim sampai ke pabrik?

Relatif banyak Tidak ada yang

rusak

18

Seberapa sering terjadi

order produk yang tidak

terlayani akibat tidak ada

stok produk?

Sangat sering Tidak pernah

19

Seberapa sering terjadi

produksi macet karena

kehabisan stok bahan

baku?

Sangat sering Tidak pernah

20

Seberapa ketat perusahaan

meminimalisir stok barang

untuk meminimalisir

biaya penyimpanan

barang?

Sangat longgar Sangat ketat

21

Dalam proses pengiriman

barang bagaimana

perusahaan anda

mengelolanya?

Dikirim setiap

kali ada

pesanan

Dikirim dengan

pertimbangkan

jumlah optimal

22 Bagaimana penataan

barang di gudang? Tidak diatur

Sangat teratur

mengikuti pola

permintaan

23

Seberapa lancar arus

keluar masuk barang di

gudang?

Sangat macet Sangat lancar

24

Bagaimana penjadwalan

pengiriman barang di

perusahaan anda?

Tidak ada

penjadwalan

Terjadwal

dengan ketat

25 Seberapa baik ketepatan

waktu pengiriman barang? Sering telat

Selalu tepat

waktu

26

Seberapa banyak truk

yang daya angkutnya

dimaksimalkan untuk

mengangkut barang?

Tidak ada

upaya

pemaksimalan

daya angkut

Semua truk

dimaksimalkan

27

Bagaimana pengelolaan

pemasok di perusahaan

anda?

Tidak dikelola

Terkelola

dalam suatu

sistem

28

Bagaimana upaya

perusahaan dalam

meningkatkan

kemampuan pemasok?

Tidak ada

program

peningkatan

kemampuan

pemasok

Banyak

dukungan

peningkatan

kemampuan

dari

perusahaan.

29

Seberapa ketat perusahaan

menggunakan kriteria

tertentu ketika memilih

Memenubi

kriteria

minimal

Memenuhi

seluruh kriteria

Page 171: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

153

NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)

supplier?

30

Seberapa kecenderungan

perusahaan

memperhatikan supplier

agar menerapkan

pertanian berkelanjutan ?

Belum

diterapkan

Telah

menerapkan

secara

konsisten

31

Bagaimana integrasi

aktivitas produksi dengan

pola pasokan bahan baku?

Tidak ada

integrasi

Aktivitas

produksi

terintegrasi

dengan pola

pasokan

32

Seberapa lama jangka

waktu hubungan dengan

pemasok ?

Jangka pendek

Jengka panjang

dan

berkelanjutan

33

Apakah perusahan

mengintegrasikan proses

dan produk permintaan

konsumen?

Tidak ada

integrasi

Proses dan

produk

terintegrasi

dengan

permintaan

34

Bagaimana mekanisme

perencanaan perusahaan

anda?

Perencanaan

biasa

Perencanaan

terkoordinasi

dengan

dukungan

komputer

35

Seberapa kuat perusahaan

mengontrol aktivitas

produksi?

Kontrol secara

manual pada

setiap bagian

Kontrol

terintegrasi

dalam suatu

sistem

terkomputeri-

sasi

Page 172: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

154

BAGIAN 2 : ASPEK RESPONSIVITAS

NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)

1

Seberapa besar perubahan

jumlah permintaan

pelanggan yang mampu

dipenuhi oleh fasilitas

pabrik?

Sangat kecil Sangat besar

2

Seberapa besar perubahan

waktu (lead time)

pemenuhan permintaan

pelanggan yang mampu

dipenuhi pabrik?

Sangat kecil Sangat besar

3

Dalam bekerjasama

dengan supplier, seberapa

penting perusahaan

menggunakan fasilitas

pembelian (Misalnya

buying station)?

Tidak

menggunakan

Menggunakan

dengan intensif

4

Dalam menanggapi dan

mengelola permintaan

pelanggan seberapa

banyak perusahaan

menggunakan teknologi?

Tidak ada

satupun bagian

yang

menggunakan

teknologi khusus

Seluruh bagian

menggunakan

teknologi

terintegrasi

5

Seberapa jauh lokasi

fasilitas (mis:gudang atau

pabrik) perusahaan dengan

sumber bahan baku?

Sangat jauh Sangat dekat

6

Bagaimana kondisi jalan

yang dilalui armada

pengiriman bahan baku

dan barang jadi saat ini?

Sangat rusak dan

macet

Sangat baik dan

lancar

7

Bagaimana kondisi

pelabuhan untuk

pengiriman bahan baku

dan barang jadi saat ini?

Sangat tidak

memadai dan

lambat

Sangat baik dan

cepat

8

Apakah kendaraan yang

dimiliki memungkinkan

mengangkut beberapa

jenis produk?

Tidak

memungkinkan

Sangat

memungkinkan

9

Apakah gudang yang

dimiliki bisa digunakan

untuk menyimpan

beberapa jenis/sifat

produk?

Tidak

memungkinkan

Sangat

memungkinkan

10

Apakah peralatan pabrik

memungkinkan untuk

memproduksi beberapa

jenis permintaan produk?

Tidak

memungkinkan

Sangat

memungkinkan

11

Seberapa banyak produk

yang rusak setelah dikirim

sampai ke konsumen?

Sangat banyak

yang rusak

Tidak ada yang

rusak

12

Seberapa banyak bahan

baku yang rusak setalah

dikirim sampai ke pabrik?

Sangat banyak

yang rusak

Tidak ada yang

rusak

13 Seberapa sering terjadi Sangat sering Sangat jarang

Page 173: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

155

NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)

order produk yang tidak

terlayani akibat tidak ada

stok produk?

14

Seberapa sering terjadi

produksi macet karena

kehabisan stok bahan

baku?

Sangat sering Sangat jarang

15 Bagaimana penataan

barang di gudang? Tidak diatur

Sangat teratur

mengikuti pola

permintaan

16

Seberapa lancar arus

keluar masuk barang di

gudang?

Sangat macet Sangat lancar

17

Bagaimana penjadwalan

Pengiriman barang di

perusahaan anda?

Tidak ada

penjadwalan

Terjadwal dengan

ketat

18 Seberapa baik ketepatan

waktu pengiriman barang? Sering telat Selalu tepat waktu

19

Bagaimana pengelolaan

pemasok di Perusahaan

anda?

Tidak dikelola Terkelola dengan

baik

20

Bagaimana upaya

perusahaan dalam

meingkatkan kemampuan

pemasok?

Tidak ada

program

peningkatan

kemampuan

pemasok

Banyak dukungan

peningkatan

kemampuan

21

Bagaimana hubungan

perusahaan dengan

supplier bahan baku?

Hubungan

informal Kontraktual

22

Bagaimana tingkat

kepercayaan antara

perusahaan dengan para

pemasok?

Tidak ada

kepercayaan

Tingkat

kepercayaan

tinggi

23

Bagaimana integrasi

aktivitas produksi dengan

pola pasokan bahan baku?

Tidak ada

integrasi

Aktivitas produksi

terintegrasi

dengan pemasok

24

Seberapa lama jangka

waktu hubungan dengan

pemasok?

Jangka pendek Jengka panjang

dan berkelanjutan

25

Apakah perusahan

mengintegrasikan proses

dan produk permintaan

konsumen?

Tidak ada

integrasi

Proses dan produk

terintegrasi

dengan

permintaan

26

Bagaimana mekanisme

perencanaan perusahaan

anda?

Perencanaan

biasa

Perencanaan

terkoordinasi &

dukungan

komputer

27

Seberapa kuat perusahaan

mengontrol aktivitas

produksi?

Kontrol secara

manual pada

setiap bagian

Kontrol

terintegrasi dalam

suatu sistem

terkomputerisasi

---(TERIMAKASIH ATAS PARTISIPASI DAN KERJASAMANYA)---

Page 174: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

156

Lampiran 3 Kuesioner penilaian kebijakan dengan ISM

KUESIONER

PENILAIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

INDUSTRI KAKAO INDONESIA

Keterangan Responden :

Nama : .................................................................................................

Jabatan : .................................................................................................

Instansi : .................................................................................................

Penelitian Disertasi:

Model Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja

Driver Rantai Pasok

Oleh:

Yudi Widayanto

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Sekolah Pascasarjana IPB

2013

Page 175: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

157

Petunjuk Pengisian

Kuesioner ini dibuat dalam rangka untuk mendapatkan justifikasi mengenai

perumusan kebijakan pengembangan industri kakao. Pada kuesioner ini akan

digambarkan penilaian Bapak/Ibu selaku pakar atau praktisi di bidang Kebijakan

Industri, melihat tingkat kepentingan masing-masing elemen berkaitan dengan

topik perumusan kebijakan pengembangan industri kakao dalam rangka

meingkatkan daya saing industri kakao Indonesia.

Atas perkenannya kami ucapkan terima kasih.

Cara Pengisian

Untuk membandingkan antar elemen, maka Anda dapat memilih huruf-huruf V, A,

X, dan O tergantung pada pendapat Anda. Misalnya Anda ingin membandingkan

elemen ke-1 dengan elemen ke-2 (1 dibandingkan 2), maka Anda dapat memilih

huruf :

V : Jika elemen ke-1 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-2.

A : Jika elemen ke-2 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-1.

X : Jika kedua elemen yang dibandingkan memiliki tingkat kepentingan yang

sama dalam konteks tujuan kebijakan..

O : Jika kedua elemen yang dibandingkan sama-sama tidak penting dalam

konteks tujuan kebijakan.

CONTOH PENGISIAN

Untuk membandingkan antar elemen, maka Bapak/Ibu dapat memilih huruf

V, A, X atau O tergantung pada pendapat Bapak/Ibu. Misalnya Bapak/Ibu akan

membandingkan elemen ke- 1 dengan elemen ke-2 [1 dibandingkan 2], maka

Bapak/Ibu dapat memilih huruf :

V : Jika elemen ke- 1 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-2

Elemen ke- Elemen ke-

7 6 5 4 3 2 1

1 V

2

3

4

5

6

7

Page 176: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

158

A : Jika elemen ke-2 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-1.

Elemen ke- Elemen ke-

7 6 5 4 3 2 1

1 A

2

3

4

5

6

7

X : Jika kedua elemen yang dibandingkan memiliki tingkat kepentingan yang

sama

Elemen ke- Elemen ke-

7 6 5 4 3 2 1

1 X

2

3

4

5

6

7

O : Jika kedua elemen yang dibandingkan sama-sama tidak penting

dalampencapaian tujuan kebijakan

Elemen ke- Elemen ke-

7 6 5 4 3 2 1

1 O

2

3

4

5

6

7

Page 177: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

159

PENILAIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

KAKAO

Elemen

ke-

Elemen ke-

11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

A. Kebijakan Pemerintah dalam pengembangan industri kakao.

Ele

men

1. Perbaikan infrastruktur jalan

2. Perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan

3. Pemberian insentif fiskal pengembangan industri

4. Pemenuhan pasokan energi listrik dan gas untuk industri

5. Peningkatan produktivitas kebun kakao

6. Revitalisasi penyuluh pertanian/perkebunan

7. Perluasan penerapan wajib SNI biji kakao

8. Perluasan jaringan telekomunikasi

9. Penghapusan hambatan perdagangan antar daerah

10. Penguatan kelembagaan petani (pemasok kakao)

11. Kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan penyuluhan dan

pendamping petani

Page 178: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

160

PENILAIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

KAKAO

Elemen

ke-

Elemen ke-

9 8 7 6 5 4 3 2 1

1

2

3

4

5

6

7

8

9

--------< Atas Kerjasamanya Disampaikan Terimakasih >---------

B. Kebijakan Perusahaan dalam pengembangan industri kakao.

Ele

men

1. Pemilihan moda transportasi yang efisien (kapasitas dan utilitas)

2. Pemilihan lokasi pabrik yang lebih murah

3. Investasi teknologi proses pengolahan yang lebih fleksibel

4. Pengelolaan pemasok dan peningkatan kemampuan pemasok

5. Penerapan streamline stock dan optimalisasi pengiriman

6. Penerapan teknologi informasi dalam perencanaan

7. Penjadwalan pengiriman secara ketat

8. Pemilihan pemasok dengan penetapan kriteria dan penerapan standar

budidaya

9. Peningkatan kemampuan pemasok

Page 179: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

161

Lampiran 4 Data kinerja industri kakao aspek efisiensi

DR

IVE

R

BO

BO

T

DR

IVE

R

SUB-DRIVER

BOBOT

SUB

DRIVER

NO PENILAIAN DRIVER

PENILAIAN

PERUSAHAAN AGREGAT

P 1 P 2 P 3 IN

FA

SIL

ITA

S

0.0

95

PENGELOLAAN

FASILITAS 0.140

1 Manajemen pabrik 3 7 6 5.3

2 Manajemen gudang 5 8 7 6.7

3 Manajemen

kendaraan 3 4 4 3.7

4 Stabilitas produksi 3 6 6 5.0

5 Teknologi 6 5 4 5.0

LOKASI 0.544 6 Kedekatan fasilitas 3 7 3 4.3

7 Infrastruktur jalan 3 6 3 4.0

KAPASITAS

FASILITAS 0.158

8 Utilitas gudang 9 5 7 7.0

9 Utilitas pabrik 9 8 8 8.3

10 Utilitas kendaraan 7 2 7 5.3

FLEKSIBILITAS

FASILITAS 0.158

11 Fleksibilitas

kendaraan 6 5 6 5.7

12 Fleksibilitas gudang 2 3 2 2.3

13 Fleksibilitas pabrik 6 9 6 7.0

INV

EN

TO

RY

0.3

82

PERPUTARAN

PRODUK 0.268

14 Aliran bahan baku 2 2 2 2.0

15 Aliran produk 2 9 2 4.3

16 Decay rate produk 8 2 8 6.0

17 Decay rate bahan

baku 3 7 5 5.0

KUANTITAS BARANG

0.117

18 Keamanan stok

produk 4 2 4 3.3

19 Keamanan stok bahan

baku 8 2 7 5.7

20 Streamline stock 7 8 5 6.7

21 Optimalisasi pengiriman

2 2 4 2.7

PENGELOLAAN GUDANG

0.614

22 Penataan gudang 8 4 5 5.7

23 Arus barang di

gudang 8 6 5 6.3

TR

AN

SP

OR

-

TA

SI

0.3

47

VEHICLE FLOW 0.500

24 Penjadwalan pengiriman

8 9 4 7.0

25 Ketepatan waktu

pengiriman 8 4 5 5.7

PRICE OF TRIP 0.500 26 Daya angkut truk 7 7 7 7.0

SO

UR

CIN

G

0.1

11

PENILAIAN

PEMASOK 0.091

27 Manajemen pemasok 7 5 7 6.3

28 Peningkatan

kemampuan pemasok 7 6 4 5.7

29 Kriteria pemasok 7 4 7 6.0

30 Pertanian

berkelanjutan 7 6 2 5.0

INTEGRASI

PEMASOK 0.455 31 Integrasi pemasok 7 5 6 6.0

KEERATAN HUB PEMASOK

0.455 32 Hubungan pemasok 7 6 7 6.7

INF

OR

MA

SI

0.0

65

INTEGRASI

PERMINATAAN 0.500 33 Integrasi permintaan 8 3 7 6.0

KOORDINASI 0.500 34

Perencanaan yang baik

9 5 5 6.3

35 Pengendalian 7 8 7 7.3

Page 180: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

162

Lampiran 5 Data kinerja industri kakao aspek responsivitas D

RIV

ER

BO

BO

T

DR

IVE

R

SUB-DRIVER

BOBOT

SUB

DRIVER

NO PENILAIAN

DRIVER

PENILAIAN

PERUSAHAAN AGREGAT

P 1 P2 P 3 IND

FA

SIL

ITA

S

0.0

64

PENGELOLAAN

FASILITAS 0.333

1 Manajemen

jumlah permintaan 7 3 8 6.0

2 Manajemen waktu

pemenuhan 7 7 6 6.7

3 Aliansi strategis 9 4 7 6.7

4 Teknologi 7 2 7 5.3

LOKASI 0.333

5 Kedekatan 3 4 4 3.7

6 Infrastruktur jalan 3 5 2 3.3

7 Infrastruktur

pelabuhan 2 6 3 3.7

FLEKSIBILITAS

FASILITAS 0.333

8 Fleksibilitas

kendaraan 4 8 3 5.0

9 Fleksibilitas

gudang 2 6 8 5.3

10 Fleksibilitas pabrik 2 8 4 4.7

INV

EN

TO

RY

0.3

48

PERPUTARAN

PRODUK 0.6

11 Decay rate produk 8 9 2 6.3

12 Decay rate bahan

baku 4 8 2 4.7

KUANTITAS

BARANG 0.2

13 Keamanan stok

produk 8 5 4 5.7

14 Keamanan stok

bahan baku 8 7 2 5.7

PENGELOLAAN

GUDANG 0.2

15 Penataan gudang 8 3 9 6.7

16 Arus barang di

gudang 8 7 4 6.3

TR

AN

S

PO

RT

AS

I

0.3

2

VEHICLE FLOW 1

17 Penjadwalan

pengiriman 8 3 3 4.7

18 Ketepatan waktu

pengiriman 8 7 7 7.3

SO

UR

CIN

G

0.1

33

PENILAIAN

PEMASOK 0.21

19 Manajemen

pemasok 8 2 8 6.0

20 Peningktn kemam-

puan pemasok 7 3 8 6.0

21 Hubungan

pemasok 7 7 6 6.7

22 Tingkat

kepercayaan 7 6 9 7.3

INTEGRASI

PEMASOK 0.24 23

Integrasi aktivitas

produksi 7 8 6 7.0

KEERATAN

HUB PEMASOK 0.55 24

Jangka waktu

hubungan 7 8 8 7.7

INF

OR

MA

SI

0.1

33

INTEGRASI

PERMINATAAN 0.5 25

Integrasi proses

dan produk 8 4 7 6.3

KOORDINASI 0.5 26 Perencanaan 8 4 2 4.7

27 Pengendalian 7 6 6 6.3

Page 181: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

163

Lampiran 6 Jawaban pakar penilaian kebijakan pemerintah dalam pengembangan

industri kakao

(Pakar 2: BD) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 V V V V V V V V V V

2 V A V V V V V V V

3 A A X X X A A A

4 V A V V V V V

5 A A V V V V

6 A A V V V

7 A A X X

8 A A X

9 A A

10 V

11

(Pakar 2: AHM) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 A A X V A A A V A V

2 A A A O A A A A A

3 A A X V A A A V

4 A A A X A A A

5 X X V V V X

6 X X V V V

7 A A X V

8 A A A

9 X X

10 X

11

(Pakar 3: MJ)

11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 V V V V V V V X X X

2 V V V V V V V X X

3 V V V V V V V X

4 V V V V V V V

5 V V V V V X

6 V V V V V

7 A X V V

8 A A A

9 A A

10 A

11

Page 182: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

164

Lampiran 7 Jawaban pakar penilaian kebijakan perusahaan dalam pengembangan

industri kakao

(Pakar 1: BD) 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 A V V V V A X V

2 A A A V A A A

3 A V V V V V

4 A V V V V

5 A A A V

6 A A A

7 A X

8 A

9

(Pakar 2: AHM) 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 A A X A X A A A

2 A A A X X A A

3 V V V V V V

4 X X V V V

5 A A X X

6 A A V

7 A A

8 X

9

(Pakar 3: MJ) 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 V V V V V V V A

2 V V V V V V V

3 X X X X V X

4 A A A A A

5 X X X V

6 A A A

7 X X

8 X

9

Page 183: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

165

Lampiran 8 Penentuan level kebijakan pemerintah

Iterasi 1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1 1

2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 2 2,3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,10 2

3 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 3 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1

4 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 4 3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10 4

5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 5 3,5,6,7,8,9 1,2,4,5,10,11 5

6 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 6 3,6,7,8,9 1,2,4,5,6,10,11 6

7 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 7 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1

8 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 8 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1

9 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 9 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1

10 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1,10 10

11 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 11 3,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10,11 11

Iterasi 2

1 2 4 5 6 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,2,4,5,6,10,11 1 1

2 0 1 1 1 1 0 1 2 2,4,5,6,11 1,2,10 2

4 0 0 1 1 1 0 1 4 4,5,6,11 1,2,4,10 4

5 0 0 0 1 1 0 0 5 5,6, 1,2,4,5,10,11 5

6 0 0 0 0 1 0 0 6 6 1,2,4,5,6,10,11 6 2

10 0 1 1 1 1 1 1 10 2,4,5,6,10,11 1,10 10

11 0 0 0 1 1 0 1 11 5,6,11 1,2,4,10,11 11

Iterasi 3

1 2 4 5 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level

1 1 1 1 1 1 1 1 1,2,4,5,10,11 1 1

2 0 1 1 1 0 1 2 2,4,5,11 1,2,10 2

4 0 0 1 1 0 1 4 4,5,11 1,2,4,10 4

5 0 0 0 1 0 0 5 5 1,2,4,5,10,11 5 3

10 0 1 1 1 1 1 10 2,4,5,10,11 1,10 10

11 0 0 0 1 0 1 11 5,11 1,2,4,10,11 11

Iterasi 4

1 2 4 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level

1 1 1 1 1 1 1 1,2,4,10,11 1 1

2 0 1 1 0 1 2 2,4,11 1,2,10 2

4 0 0 1 0 1 4 4,11 1,2,4,10 4

10 0 1 1 1 1 10 2,4,10,11 1,10 10

11 0 0 0 0 1 11 11 1,2,4,10,11 11 4

Iterasi 5

1 2 4 10 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level

1 1 1 1 1 1 1,2,4,10 1 1

2 0 1 1 0 2 2,4 1,2,10 2

4 0 0 1 0 4 4 1,2,4,10 4 5

10 0 1 1 1 10 2,4,10 1,10 10

Iterasi 6

1 2 10 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level

1 1 1 1 1 1,2,10 1 1

2 0 1 0 2 2 1,2,10 2 6

10 0 1 1 10 2,10 1,10 10

Iterasi 7

1 10 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level

1 1 1 1 1,10 1 1 8

10 0 1 10 10 1,10 10 7

Page 184: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

166

Lampiran 9 Hasil matriks reachability final untuk kebijakan perusahaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 DP R

1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 7 3

2 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2 6

3 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8 2

4 1 1 0 1 1 1 1 1 0 7 3

5 0 1 0 0 1 1 0 0 0 3 5

6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 6

7 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5 4

8 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5 4

9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1*

D 4 8 3 3 7 9 6 6 1

Keterangan:

D = Ketergantungan (dependence)

DP = Daya Dorong (driver power)

R = Rangking (tanda * merupakan elemen kunci)

Lampiran 10 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan perusahaan

pendukung pengembangan industri kakao

9 9

8 3

7 4 1

6

5 7,8

4

3 5

2 2

1 6

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ketergantungan (Dependence)

Da

ya

Do

ro

ng

(D

riv

er P

ow

er)

Sektor IV

Sektor I

Sektor II

Sektor III

Page 185: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

167

Lampiran 11 Diagram model struktural kebijakan perusahaan dalam

pengembangan industri kakao

(9) Peningkatan kemampuan pemasok

(6) Penerapan teknologi informasi dalam

perencanaan

(1) Pemilihan moda transportasi yang efisien

(kapasitas dan utilitas)

(2) Pemilihan lokasi pabrik yang lebih

murah

(5) Penerapan streamline stock dan

optimalisasi pengiriman

(7) Penjadwalan pengiriman secara

ketat

(8) Pemilihan pemasok dengan

penetapan kriteria dan penerapan

standar budidaya

(3) Investasi teknologi proses

pengolahan yang lebih fleksibel (4) Pengelolaan pemasok

Page 186: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

168

Lampiran 12 Industri kakao yang mulai aktif kembali

No Perusahaan Lokasi Kapasitas Terpasang (Ton)

Semula Menjadi

1 PT. Effem Indonesia Makassar 17 000 17 000

2 PT. Jaya Makmur Hasta Tangerang 15 000 15 000

3 PT. Unicom Kakao Makmur Sulawesi Makassar 10 000 10 000

4 PT. Davomas Abadi Tangerang 140 000 140 000

5 PT. Maju Bersama Cocoa Industries Makassar 20 000 20 000

Total 202 000 202 000

Sumber : Kemenperin 2011

Lampiran 13 Industri kakao yang mengalami penambahan kapasitas

No Perusahaan Lokasi Kapasitas Terpasang (Ton) Penambahan

Semula Menjadi (Ton) %

1 PT.General Food Industry Bandung 80.000 100.000 20.000 25

2 PT.Bumitangerang Tangerang 48.000 96.000 48.000 100

3 PT. Cocoa Ventures Medan 7.000 14.000 7.000 100

4 PT.Teja Sekawan Surabaya 15.000 24.500 9.500 63

5 PT.Kakao Mas Gemilang Tangerang 375 450 75 20

6 PT. Gandum Mas Kencana Tangerang 10.000 15.000 5.000 50

7 PT. Freyabadi Indotama Karawang 22.500 25.000 2.500 11

8 PT. Sekawan Karsa Mulia Jakarta 6.000 7.000 1.000 17

Total

188.875 281.950 93.075 49

Sumber : Kemenperin 2011

Lampiran 14 Jadwal survei lapangan

Lokasi Tanggal Survei

Makasar 1 - 6 Maret 2010

Kabupaten Luwu Utara 8 - 13 Maret 2010.

Kabupaten Pinrang 14 - 18 Maret 2010,

Kabupaten Bone 19 - 23 Maret 2010

Kabupaten Bulukumba 24 -27 Maret 2010

Makasar 28 Maret – 1 April 2010

Page 187: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

169

Lampiran 15 Informan dalam survei lapangan:

Kabupaten Luwu Utara

Informan Kelompok yang diwakili

Pesianus Lesnussa Pedagang dan mewakili KOPTAN Prima Jaya

Nusla APKAI (Asosiasi Petani Kakao Indonesia) Luwu Utara

Abu Rasyid KUB (Kelompok Usaha Bersama) Sibalirosoe

Jumadi Petani/Anggota Kelompok Tani

Jasmani Dinas Koperasi, Perdagangan & Perindustrian

Mahfud Bidang Perdagangan

Kabupaten Pinrang

Informan Kelompok yang diwakili

Syamsudin F Kelompok Tani Temangengi

Hamasing Dinas Kehutanan & Perkebunan

Abidin Gazali Fasilitator Petani MARS

Rais Petani dari BT Parimba

Malliy Angta Pedagang kakao

Kabupaten Bone

Informan Kelompok yang diwakili

Firitiah Nur Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Lintar Petani

Nasir Ketua KLP Tani

Latif Pedagang kabupaten

Lamading Dinas kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Bulukumba

Informan Kelompok yang diwakili

Abri, S.Pd Anggota Kelompok Tani “Emas Hijau”

Kamaruddi BUMP

H. M Amir Pedagang

H. Tamsil Sp BPP Bulo-Bulo

Ir. H. Akhmad Syahtar Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Drs. H. Suddin, MSi Kepala Diskop UKM

Page 188: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

170

Lampiran 16 Narasumber, pakar dan praktisi

Narasumber Lembaga Kepakaran / Praktisi

Sindra Wijaya, SE BT Cocoa dan AIKI Praktisi industri kakao

Dr Undang Fajar PT RPN Perkakaoan

Dr Andi Fahmi Lubis FE Univ Indonesia Kebijakan industri

Dr. Ir. Bambang Dradjat PT RPN Kebijakan industri

perkebunan

Dr. Ir. A. Husni Malian Balitbang Kementan Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Misnawi Jati Puslit Kopi dan Kakao

Indonesia (ICCRI)

Teknologi pengolahan

kakao

Monty SP, PhD Kementrian Pertanian Penyuluhan pertanian

Mima Rangkuty, MSi Kementerian Perindustrian Kebijakan industri agro

Musdalifah Kemenko Ekonomi Kebijakan industri agro

Ir M Dakhri Eksportir (PT Nedcom) Perdagangan ekspor kakao

Armajro Eksportir Perdagangan ekspor kakao

Ir Tommy Suplier GFI di Lampung Pedagang mitra industri

Ir. Kapson Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Prov Lampung

Budidaya kakao

Ir. Gigih Lab. TIAB BPPT Teknologi pengolahan

kakao

Page 189: MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDUKUNG …digilib.bppt.go.id/sampul/DISERTASI_YUDI_WIDAYANTO_F361080021.pdf · Dalam manajemen rantai ... masih rendah, mutu biji belum standar, ... Validasi

171

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 7 Juli 1968, sebagai anak kedua dari

empat bersaudara dari pasangan Pramudji dan (alm) M Andiyati. Pendidikan

sarjana ditempuh di Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, lulus pada tahun

1993. Pada tahun 1999 penulis diterima di Program Studi Magister Perencanaan

dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan

menamatkannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program

doktor diperoleh pada tahun 2008 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian

pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Karya ilmiah berjudul “Penerapan Teknik ISM untuk Perumusan Kebijakan

Pengembangan Industri Kakao” siap terbit pada Jurnal Sains dan Teknologi

Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015. Artikel lain berjudul “Measuring

Performance of Supply Chain Efficiency and Responsiveness for Policy

Formulation of Cocoa Industry Development” siap terbit pada Journal of Research

in International Business and Management (JRIBM) (ISSN: 2251-0028). Pada 11

Juni 2013. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3

penulis.