model pengembangan kajian filsafat oleh dr. irfan noor, m. hum
DESCRIPTION
Konon fenomena kelangkaan mahasiswa yang terjadi di program studi filsafat di tingkat sarjana maupun magister di IAIN Antasari Banjarmasin bukanlah satu-satunya. Masalah kelangkaan mahasiswa ini telah menjadi isu nasional lantaran hampir seluruh program studi ini di semua PTAI di Indonesia juga mengalami fenomena yang samaTRANSCRIPT
1
Model Pengembangan Kajian Filsafat
Oleh: Dr. Irfan Noor, M.Hum
Pendahuluan
Konon fenomena kelangkaan mahasiswa yang terjadi di program studi filsafat
di tingkat sarjana maupun magister di IAIN Antasari Banjarmasin bukanlah satu-
satunya. Masalah kelangkaan mahasiswa ini telah menjadi isu nasional lantaran
hampir seluruh program studi ini di semua PTAI di Indonesia juga mengalami
fenomena yang sama, yaitu makin minimnya calon mahasiswa yang mau kuliah,
kecuali di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kelangkaan ini disinyalir oleh beberapa kalangan telah muncul secara perlahan
sejalan dengan munculnya krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an. Kondisi sosial
ekonomi yang sulit telah memaksa masyarakat untuk berpikir pragmatis sehingga
lebih tertarik memilih jurusan-jurusan yang mampu memberikan peluang kerja
sebagai jaminan masa depan. Di samping itu, kajian filsafat yang dikembangkan
cenderung memberi beban epistemologis karena cenderung berorientasi klasik atau
masa lalu dan seakan-akan makin memperkokoh kerangka berpikir “idealis-
metafisik” sebagai kerangka berpikir berpikir filosofis dalam memahami Islam.
Dengan latar belakang kajian filsafat di dunia akademik di Perguruan Tinggi
Islam ini, maka untuk mengembalikan peran, fungsi, dan kedudukan kajian filsafat di
tengah-tengah masyarakat kiranya perlu untuk menggagas model-model
pengembangan kajian filsafat yang lebih bersifat konstributif bagi kehidupan konkret
masyarakat secara umum.
Dr. Irfan Noor, M.Hum adalah Ketua Program Studi Filsafat Islam Program
Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin
2
Perkembangan Filsafat Barat Sebagai Cermin Mengaca
Alangkah baiknya sebelum kita berbicara tentang model pengembangan
kajian filsafat dalam tradisi IAIN, terlebih dahulu kita mengaca kepada
perkembangan kajian filsafat di era kontemporer saat ini. Dalam konteks filsafat
kontemporer, khususnya pasca Husserl dan Dilthey, varian utama kajian filsafat
cenderung memunculkan wajahnya dalam kajian-kajian ilmu-ilmu sosial-humaniora.
Sebut saja di sini, Jean Baudrillard, Michel Foucault, Martin Heidegger, Jurgen
Habermas, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Francois Lyotard, Claude Levi Strauss,
Roland Barthes, Ferdinand de Saussure, Hannah Arrendt, Will Kymlica, dan John
Rawls.
Masuknya dimensi sosial dalam wilayah kajian filsafat ini, tentunya, juga
memberikan perubahan orientasi pendekatan ilmiah terhadap fenomena sosial yang
dimulai sejak abad ke-18, dimana sebelumnya lebih didominasi oleh pendekatan
positivistik dan idealistik. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran paradigma yang
mengarah pada wilayah kajian historis dan eksistensial.
Pergeseran paradigma ini, tentunya, menandai suatu pergeseran paradigma
filsafat modern tahap ketiga pasca filsafat Kant. Sebagaimana diketahui secara umum
bahwa Kant merupakan filsuf modern yang telah mengakhiri pertentangan panjang
antara aliran rasionalisme ala Leibniz-Wolff dengan empirisisme ala Hume.1 Namun
belakangan setelah Kant, sintesis ini terpecah lagi menjadi dua aliran baru, yaitu
idealisme dan positivisme. Idealisme, dengan tokohnya seperti Johan Gottlieb Fichte
(1762-1814), Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854), Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831), menekankan unsur kesadaran. Idealisme melanjutkan
pikiran Kant bahwa “subjek memberi struktur pada realitas”, dan berbicara mengenai
“Akal”, “kebebasan”, dan “sejarah”. Sedangkan positivisme, dengan tokoh utamanya
Auguste Comte (1789-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer
(1820-1903), melanjutkan pemikiran Kant bahwa “apa yang dapat diselidiki hanyalah
1Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6, (From Wolff to Kant),
(London: Burns and Oates Ltd., 1960), hlm. 180.
3
fenomena-fenomena belaka”. Namun positivisme baru memainkan perannya yang
penting setelah perkembangan idealisme, yakni sekitar tahun 1850.2
Penekanan Kant atas “subjek” dan “fenomena” lebih jauh lagi mempunyai
posisi yang kuat atas corak paradigma ilmu pengetahuan modern. Jika pemikiran
filosofis Descartes sering dikatakan sebagai pijakan awal terjadinya pergeseran
pendulum paradigma manusia modern dari objek ke subjek. Dalam konteks ini, jasa
Kant, tidak hanya meradikalkan penekanan Descartes atas subjek, melainkan juga
memperlihatkan the conditions of possibillity dari pikiran manusia. Penemuan batas-
batas pikiran ini mengungkapkan suatu keyakinan baru bahwa meneliti subjek adalah
lebih mungkin daripada objek.3
Kant dalam Kritik-nya mau menunjukkan kekeliruan dan keberatsebelahan
yang ada pada filsafat rasionalisme ala Leibniz-Wolff dan skeptesisme Hume.
Melawan Leibniz-Wolff, Kant mengatakan bahwa “rasio murni” saja tanpa
pengalaman hanya akan menghasilkan khayalan belaka. Oleh karena itu, tidak ada
pengetahuan a-priori mengenai benda pada dirinya sendiri. Sedangkan menentang
skeptisisme Hume, Kant, memperlihatkan bahwa pengetahuan sintesis a priori itu
mungkin dan dapat diberikan contohnya. Kedua aliran besar dalam sejarah filsafat
modern, rasionalisme dan empirisisme, kini bertemu dan sekaligus mencapai titik
akhir dalam filsafat Kant, yang merupakan sintesis keduanya.
Namun demikian, penekanan Kant atas “subjek” dan “fenomena” membawa
implikasi yang lebih jauh lagi pada corak paradigma ilmu pengetahuan modern. Jika
pemikiran filosofis Descartes sering dikatakan sebagai pijakan awal terjadinya
pergeseran pendulum paradigma manusia modern dari objek ke subjek, maka dalam
konteks Kant, tidak hanya meradikalkan penekanan Descartes atas subjek juga
memperlihatkan the conditions of possibility dari pikiran manusia. Penemuan batas-
2Franki Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
(Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 129. 3Kenneth T. Gallagher, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, disadur oleh P. Hardono
Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 101.
4
batas pikiran ini mengungkapkan suatu batas cakrawala pengetahuan sekaligus ilmu
pengetahuan.
Oleh itulah, tidak mengherankan apabila sesudah Kant, sintesis ini Kant ini
justru melahirkan aliran baru, yaitu positivisme. Aliran dengan tokoh utamanya
Auguste Comte (1789-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer
(1820-1903), ini lahir untuk melanjutkan pemikiran Kant tentang diktum yang sangat
terkenal bahwa “apa yang dapat diselidiki hanyalah fenomena-fenomena belaka”.
Dalam filsafat Kant, ilmu-ilmu alam menjadi asumsi normatif walaupun Kant
masih mengakui keberadaan bentuk ilmu lain, seperti etika dan estetika. Namun perlu
ditegaskan di sini, bahwa Kant secara implisit mencoba meletakkan ilmu-ilmu alam
sebagai norma dan penelitian ilmiah sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih.4
Konstruksi berpikir demikian semakin radikal dan memuncak pada positivisme
Auguste Comte yang menekankan pengetahuan inderawi tidak hanya sebagai norma
tetapi justru menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan. Oleh karena itu,
tampilnya positivisme sebagai respon konstruktif terhadap pemikiran Kant tentang
“apa yang dapat diselidiki hanyalah fenomena-fenomena belaka”, selain membawa
dampak atas terjadinya lagi pergeseran pendulum paradigma manusia modern menuju
objek juga membawa dampak atas berakhirnya diskursus epistemologi itu sendiri dan
dimulainya diskursus filsafat ilmu yang memusatkan diri pada penelitian
metodologi.5
Dalam kajian filsafat ilmu, tendensi yang kemudian dianut secara berlebih-
lebihan atas tampilnya positivisme itu adalah “objektivisme”. Objektivisme tidak
hanya menyalin fakta objektif, melainkan juga mengosongkan apa-apa saja dalam diri
subjek sedemikian rupa sehingga menjadi fungsi-fungsi objektif dan mekanis. Dalam
psikologi modern, yang mendasarkan diri pada observasi empiris, konsep-konsep
4Franki Budi Hardiman, “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-
Modernisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, (No.1, Vol. IV, Thn. 1994), hlm.2. 5Richard Rarty, Philosophy and the Mirror of Nature, (New Jersey: Princeston Univ.
Press, 1980), h1m.132-133.
5
seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, dan pikiran, diformalisasikan dan
dipermiskinkan sampai menjadi fungsi-fungsi dari suatu sistem objektif yang lebih
luas. Dalam ilmu-ilmu yang menyangkut manusia, manusia diobservasi pada
permukaan objektifnya sehingga apa-apa yang ditemukan dalam dimensi objektif
manusia digenaralisasikan ke dalam dimensi subjektifnya pula.6
Namun demikian, melalui jejak pengaruh pemikiran Husserl dan Dilthey,
dimensi sosial dan kemanusian menjadi varian utama dalam kajian filsafat pasca
mereka berdua dengan wajah barunya. Dalam konteks Edmund Husserl (1859-1938),
yang merupakan pendiri aliran fenomenologi misalnya, berpendapat bahwa sikap
natural adalah suatu sikap pra-reflektif yang percaya begitu saja bahwa dunia faktual
itu ada an sich, ditemukan “di luar sana”, dan dapat dilibati oleh semua orang. Orang
yang berada dalam sikap natural secara naif menghayati kesehariannya dengan
mengandaikan begitu saja faktualitas.7 Alfred Schutz yang mengambil alih gagasan
ini untuk membangun suatu sosiologi yang bersifat fenomenologis menyebut sikap di
atas sebagai ciri eksistensi sosial manusia.8 Dalam konteks ini, kenyataan sosial
adalah dunia penghayatan langsung para pelaku sosial, yang oleh Husserl disebut
sebagai labenswelt (dunia-kehidupan), sementara Schutz menyebutnya dengan istilah
social world (dunia-sosial). Oleh karena itu, tugas fenomenologi adalah “deskripsi”
atas sejarah labenswelt tersebut untuk menemukan “endapan makna” yang
merekonstruksi kenyataan sosial sehari-hari. Dunia kehidupan sehari-hari, dengan
demikian, bukanlah sekedar suatu realitas, tetapi merupakan realitas terpenting dalam
kehidupan manusia dan menjadi realitas utama (the paramount reality). Di sini
objektivisme dilampaui.9
6Franki Budi Hardiman, Kritik Ideologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 22-25.
7 Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 132.
8Ian Craib, Teori-Teori Social Modern; Dari Parson sampai Habermas,
diterjemahkan oleh T. Effendi, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 130. 9Alfred Schutz, The Problem of Social Reality: Collected Pappers I, (The Hugue:
Martinus Nijhoff Publishers, 1962), hlm. 234.
6
Kekurangan fenomenologis tentang “absennya dialog” dalam penciptaan
makna belakangan kemudian dilengkapi oleh pendekatan Hermeneutika yang
dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey, yang digunakan sebagai metode
geistenwissenschaften (ilmu-ilmu humaniora). Sebagai pendekatan bagi ilmu-ilmu
kemanusian (humaniora), hermeneutika digunakan untuk mengungkap “ekspresi-
ekspresi kehidupan” (labensaeusserung), seperti konsep, tindakan, dan penghayatan
(erlebnis) manusia. Objek-objek ini karena memang bersifat khas, maka harus
didekati dengan metode yang khas pula. Oleh karena itu, menurut Dilthey, satu-
satunya metode yang cocok adalah verstehen (memahami). Verstehen muncul dari
kepentingan praktis manusia dalam mengkomunikasikan maksud masing-masing.
Dalam masyarakat, maksud-maksud para individu telah menjadi jaringan otonom
yang disebut “pikiran objektif” (objektiver geist), misalnya hukum, negara, agama,
adat, dan seterusnya. Pikiran objektif ini menjadi medium seorang peneliti untuk
melakukan verstehen atas “ekspresi-ekspresi kehidupan” masyarakat. Verstehen atas
makna objektif itu diperlakukan dengan re-living atau re-experiencing, yakni
memproduksi makna sebagaimana dihayati oleh penciptanya. Oleh Hans-Georg
Gadamer dalam bukunya yang termasyhur Wahrheit und Methode (Kebenaran dan
Metode), tindakan peneliti maupun pelaku sama-sama merupakan tidakan historis
yang berada dalam kontinuitas sejarah hingga riset menghasilkan efek dalam sejarah.
Oleh karenanya, objektivisme suatu riset diam-diam menyembunyikan keterlibatan
historis. Karena itu, tak ada jalan lain dalam ilmu-ilmu sosial kecuali
mengeksplisitkan wirkungsgeschichtliches bewusstsein (kesadaran sejarah efektif).
Ini berarti, peneliti tidak lebih unggul dari pelaku, dan pengetahuan sejarah hanya
mungkin dicapai lewat pemahaman hermeneutika timbal-balik.10
Sementara di sisi yang bersamaan juga telah terjadi pergeseran paradigma
yang mengarah pada wilayah kajian historis dan eksistensial dalam wilayah kajian
agama. Jika awalnya kajian agama secara ilmiah merupakan kajian di wilayah
10
Mispan Indarjo, “Gambaran Pengalaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”,
dalam Majalah Filsafat Driyarkara, No. 3, Thn. XX, hlm. 4.
7
filsafat. Tokoh yang pertama kali merintis kajian model filosofis tersebut atas
persoalan agama adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel di awal abad ke-19. Sejak
itu, banyak pemikir mulai menaruh minat pada studi-studi tentang agama. Pada
mulanya studi-studi ini lebih bersifat a priori dan metafisik, dengan mengolah
konsep-konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama.11
Minat awal para
filosuf dalam memahami agama adalah ingin menangkap apakah hakikat agama itu.
Namun demikian, latar belakang kemajuan ilmu-ilmu positivisme yang sedang marak
pada saat itu telah menyebabkan orientasi studi agama di masa-masa ini cenderung
melecehkan agama. Agama sering dilecehkan sebagai warisan budaya manusia yang
belum kritis, khayalan manusia yang terasing dari dunianya, sublimasi dari
keinginan-keinginan manusia yang tak kesampaian, dan sebagainya.
Kritik agama yang bersifat metafisik ini kemudian diimbangi oleh minat
agama dari jurusan lain, yakni yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu antropologi,
etnologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi yang bergerak dalam penyelidikan suku-
suku primitif. Rupanya bentuk-bentuk kehidupan baru di tanah-tanah koloni bagi
orang Eropa menimbulkan minat yang besar dalam studi ini. Bentuk-bentuk
kehidupan baru itu, terutama yang menyangkut bentuk-bentuk kepercayaan dan
praktek-praktek kehidupan keagamaan mereka.12
Perbedaan yang sangat mencolok dari kelompok studi terakhir ini
dibandingkan dengan kelompok studi para filsuf adalah ketertarikan mereka yang
lebih pada praktek-praktek peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret daripada
konsep-konsep dan ajaran agama. Tentu saja, hal ini dikarenakan studi-studi model
ilmu-ilmu sosial empiris di atas dikondisikan oleh objek kajian yang mereka geluti
sendiri, yakni berupa pengalaman langsung orang-orang primitif mengenai Yang
Ilahi. Pada umumnya minat para ilmuwan sosial di bidang ini adalah ingin mencari
11
A. Sudiarja, “Kata Pengantar”, dalam Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi
Agama, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Agama “Driyarkara”, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), hlm. 5. 12
A. Sudiarja, “Kata Pengantar”, hlm. 6.
8
asal usul agama dengan mengartikan kegiatan keagamaan sebagai tindakan simbolis
dan penuh arti.
Masuknya dimensi sosial dalam wilayah kajian agama ini, tentunya, telah
mendorong terjadinya perubahan orientasi pendekatan terhadap agama sejak sekitar
abad ke-19 seiring perkembangan dalam ilmu-ilmu sosial. Khususnya pada akhir
abad ke-19, lebih-lebih lagi pada pertengahan abad ke-20, pergeseran paradigma
tersebut telah mengalami pergeseran yang sangat fundamental.13
Pergeseraan
paradigma ini oleh M. Amin Abdullah disebut sebagai pergeseran paradigma
“idealis” ke arah “historis” dan pendulum “esensi” ke arah “eksistensi”.14
Fenomena
pergeseran paradigma ini jika boleh saya ilustrasikan, maka mirip dengan ungkapan
Karl Marx beberapa abad yang lampau yang berbunyi “the ideal is nothing else than
the material world reflected by human mind and translated in forms of thought”.15
Mengapa dalam memahami agama, khususnya fenomena keislaman,
paradigma baru ini perlu kita apresiasi ? Jawabannya tidak lain lantaran fenomena
agama tidak bisa lepas dari wilayah “human construction”, dimana ia terlibat dalam
kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul (antropologis),
pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa
(psikologis), dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang
optimal (ekonomis), dan bentuk kesadaran historis lainnya.16
Itulah sebabnya, jauh-
jauh hari sebelumnya, pemikir Islam kontemporer, Mohammed Arkoun
mengungkapkannya sebagai berikut:
13
Ninian Smart, “The Scientific Study of Religion in it‟s Plurality”, dalam Frank
Whalling (ed), Contemporary Approaches to the Study of Religion, Vol. I, (Berlin: Mounton
Publishers, 1984), hlm. 376. 14
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Pendekatan Agama, Makalah dalam Peringatan
100 Tahun Perlemen Agama-Agama se-Dunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia (Yogyakarta: 11 – 12 Oktober 1993).
15Karl Marx, Capital, Edited by Friedrich Engels, (New York: The Univ. of Chicago,
1986), hlm. 11. 16
M. Amin Abdullah, “Tinjauan Antropolgis-Fenomenologis Keberagamaan
Manusia: Pendekatan Filsafat Untuk Studi Agama-Agama”, dalam Abdurrahman, dkk (ed.),
70 Tahun H. A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1993).
9
“Ada jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan dalam agama dan
aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan
dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan, dan penalaran khas
masyarakat tertentu ataupun dalam berbagai wacana keagamaan. Ada
berbagai faktor sosial, budaya, psikis, politis, dan lain-lain yang
mempengaruhi proses aktualisasi tersebut”.17
Artinya, dalam konteks tersebut, berbicara agama berarti berbicara tentang
suatu konstanta dalam pengalaman manusia. Ia bergumul di antara kategori-kategori
manusia yang terhingga yang cenderung untuk membatasinya dan dengan
keterbukaannya terhadap transendensi yang cenderung melampauinya. Secara dalam,
ia tertanam dalam kehidupan manusia yang fana, tetapi ia menyatu ke dalam
kehidupan Ilahi yang abadi.18
Hasan Askari mengistilahkan fenomena agama sebagai
fenomena “subjektivitas-ganda”, yakni subjektivitas yang melingkupi subjektivitas
personal dan subjektivitas masyarakat. Keduanya secara bersama-sama membentuk
totalitas keagamaan.19
Oleh karenanya, “agama tidak semata berada di langit Plato yang sempurna
dan suci murni dan dari sana mengantarai manusia dan Tuhan, tetapi selalu
merupakan agama manusia biasa, dengan daha dan daging. Pergolakan manusia
menjadi pergolakan agama, dan unsur keputusan tiap penganut suatu agama serta
tindakannya dari waktu ke waktu, bakal menentukan wujud agama tersebut dalam
sejarah. Agama – tanpa mengurangi hormat kepada unsur Ilahi – selalu merupakan
agama dengan dan karena keputusan dan pilihan manusia yang menghayatinya.20
17
Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 194. 18
William McInner, “Agama di Abad Duapuluh Satu”, diterjemahkan oleh Dewi
Yaminah, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 5., Vol. II, 1990, hlm. 83. 19
Hasan Askari, Spiritual Quest; An Inter-Religious Dimension, (West Yorkshire:
Seven Mirrors, 1991), hlm. 1. 20
Ignas Kleden, “Agama dalam Perubahan Sosial”, dalam Agama dan Tantangan
Zaman (Pilihan Artikel Prisma 1975-1984), (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 215.
10
Peta Pemikiran dalam Kajian Islam
Apabila kita telaah lebih jauh arus besar perkembangan filsafat Barat
kontemporer tersebut dalam perkembangan kajian Islam, maka sebagaimana yang
dirumuskan oleh Mohamed Abed al-Jabiri, pemikiran Islam masih terkotak ke dalam
tiga ranah epistemologis, yaitu Bayânî, Burhânî, dan 'Irfânî.21
Epistemologi Bayânî adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan
atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa
perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti
akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus
bersandar pada teks. Dengan demikian, sumber pengetahuan Bayânî adalah teks
(nash), yakni al-Qur`an dan hadis. Karena itulah, epistemologi Bayânî menaruh
perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Ini
penting bagi Bayânî, karena –sebagai sumber pengetahuan-- benar tidaknya
transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil.22
Berbeda dengan epistemologi Bayânî yang didasarkan pada teks,
Epistemologi 'Irfânî mendasarkan diri pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia
realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan 'Irfânî tidak diperoleh berdasarkan
analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan
Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam
pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan
21
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik; Apa yang terlupakan dari ilmu-
ilmu „sekuler‟?”, Makalah disampaikan dalam Saresehan Ilmu Profetik II di Ruang Sidang A
Lt. 5 Sekolah Pascasarjana UGM tanggal 28 Juli 2011, hlm. 5 22
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 6.
11
demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu: (1)
persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.23
Berbeda dengan Bayânî dan 'Irfânî yang masih berkaitan dengan teks
suci, Burhânî sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhânî
menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa Bayânî menghasilkan
pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; 'Irfânî menghasilkan
pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, Burhânî menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang
telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan Burhânî adalah
rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan
keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.24
Selanjutnya, untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan, Burhânî menggunakan aturan silogisme.
Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu: (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2)
adanya konsistensi logis antara alas an dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil
harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran
atau kepastian lain.
Menurut Amin Abdullah, “sebenarnya ketiga sistem epistemologi Islam ini
masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam praktiknya hampir-hampir tidak
pernah mau akur”25
. Bahkan tidak jarang saling mendiskriditkan, tidak saling
percaya-mempercayai, kafir-mengkafirkan, murtad-memurtadkan dan sekuler-
mensekulerkan antar masing-masing penganut tradisi epistemologi ini. Oleh karena
itu, pola pikir tekstual bayânî lebih dominan secara politis dan membentuk
mainstream pemikiran keislaman yang hegemonik. Sebagai akibatnya pola pemikiran
keagamaan Islam model bayânî menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks dan otoritas
23
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 7. 24
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 8. 25
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 10.
12
salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi usul fiqh klasik lebih
diunggulkan dari pada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti alam (kauniyyah),
akal (aqliyyah) dan intuisi (wijdaniyyah). Dominasi pola pikir tekstual-ijtihâdiyyah
menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-
isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah. Di samping itu, nalar
epistemologi bayânî selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi
kebenaran keagamaan tekstual. Sampai-sampai pada kesimpulan bahwa wilayah
kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi
pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat
analisis keilmuan yang akurat.26
Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayânî atau
tradisi berpikir tekstual-keagamaan adalah ketika ia harus berhadapan dengan teks-
teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang
beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen
berpikir keagamaan model tekstual-bayânî biasanya mengambil sikap mental yang
bersifat dogmatik, defensif, apologis, dan polemis, dengan semboyan kurang lebih
semakna dengan "right or wrong is my country".
Sementara pada 'irfânî, persoalan status dan keabsahan selalu dipertanyakan
baik oleh tradisi berpikir bayânî atau burhânî. Epistemologi bayânî mempertanyakan
keabsahannya karena dianggap terlalu liberal karena tidak mengikuti pedoman-
pedoman yang diberikan teks, sedang epistemologi burhânî mempertanyakan
keabsahannya karena dianggap tidak mengikuti aturan-aturan dan analisis yang
berdasarkan logika. Apalagi dalam tradisi sejarah pemikiran Islam, apa yang disebut
intuisi, ilham, qalb, psikognosis telah terlanjur dikembangkan atau
diinstitusionalisasikan menjadi apa yang disebut-sebut sebagai "tarekat" dengan
wirid-wirid dan satahat-satahat yang mengiringinya.27
26
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 9. 27
Fazlur Rahman, Islam, Chicago : The University of Chicago Press, 1979, h. 132-
133; 135.
13
Jika sumber (origin) ilmu dari corak epistemologi bayânî adalah teks, sedang
'irfânî adalah direct experience (pengalaman langsung), maka epistemologi burhânî
bersumber pada realitas atau al-waqi' baik realitas alam, sosial, humanitas maupun
keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhânî disebut sebagai al-ilm al-
husulî, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-
premis logika atau al-mantiq, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan
pula lewat otoritas intuisi.
Premis-premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara
proses abstraksi ( al-maujûdat barî'ah min al-mâdah) dan pengamatan inderawi yang
sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah
kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan (grounded
research) dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal pikiran sangat
menentukan di sini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat
(idrak al-sabab wa al-musabab). Namun demikian, karena faktor hegemoni
epistemologi bayânî menjadikan corak epistemologi burhânî dan juga 'irfânî
tersingkir dari panggung sejarah pemikiran keislaman.
Apabila kita telisik lebih jauh, corak epistemologi burhânî sangat memainkan
peran yang sangat penting. Karena fungsi epistemologi burhânî untuk mencari sebab
dan musabab, apalagi yang dicari itu mengenai peristiwa-peristiwa alam, sosial,
kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan,
tetapi menjadi lebih memadai apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti
sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah. Konstruksi Burhani baru ini sudah
barang tentu sudah jauh melewati tradisi Ibn Rusyd. Konstruksi keilmuan Burhani
yang memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dan humanities adalah konstruksi M. Arkoun.
Fungsi dan peran akal bukannya untuk mengukuhkan kebenaran teks seperti yang ada
dalam nalar bayânî, tetapi lebih ditekankan untuk melakukan analisis dan menguji
terus menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang
dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan. Fungsi akal pikiran yang bersifat
14
heuristik dengan sendirinya akan membentuk budaya kerja penelitian, baik yang
bersifat eksplanatif, eksploratif maupun verifikatif.28
Tolok ukur validitas keilmuannyapun sangat berbeda dari nalar bayânî dan
nalar 'irfânî. Jika nalar bayânî tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau
nash dan realitas, dan nalar 'irfânî lebih pada kematangan social skill (empati,
simpati, verstehen), maka dalam nalar burhânî yang ditekankan adalah korespondensi
(al-mutâbaqah baina al-'aql wa nizâm al- tabî'ah, yakni kesesuaian antara rumus-
rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam, logika
matematika. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan
keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus menerus dilakukan untuk
memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-teori
yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).29
Kalau saja tiga pendekatan epistemologis terhadap pola pikir keberagamaan
Islam, yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani saling terkait, terjaring dan terpatri dalam
satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagamaan Islam, menurut hemat
saya, akan jauh lebih komprehensif dan sistemik, dan bukannya bercorak dikotomis-
atomistis seperti yang dijumpai sekarang ini. Sekaranglah momentumnya untuk
merekonstruksi kembali klaim-klaim kebenaran dan keabsahan ilmu yang bersifat
myopic, dikotomik dan parsial. Belum lagi kita berhasil menyelesaikan pekerjaan
rumah (Bayânî, Burhânî, dan 'Irfânî), umat Islam diperhadapkan dengan tantangan
baru, yaitu perkembangan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke 17,18,19 dan
20.30
Menuju Arah Baru Kajian Filsafat
Jika kita kembali ke latar belakang dunia akademik di atas, dengan bercermin
pada kecenderungan umum kajian filsafat Barat, maka pengembangan kajian filsafat
28
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 11. 29
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 12. 30
M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 13.
15
ini bisa dimulai dari usaha memperluas model-model penelitian filsafat, yang selama
ini ini lebih terfokus pada model penelitian konsep dan model penelitian tokoh,
kepada model penelitian lapangan untuk lebih diintesifkan.
Sebagaimana asal-usul kata “filsafat”, yaitu philosophia,31
dalam bahasa
Yunani terdiri dari dua suku kata, philos atau philia yang berarti “cinta” dan sophos
yang berarti “kebijaksanaan”, maka makna kedua kata itu bila sudah disatukan
menjadi “mencintai kebijaksanaan”32
, yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa
Arab padanan kata “sophia” adalah “hikmah”.33
Namun yang perlu dijelaskan dan ditegaskan di sini bahwa pengertian
“kebijaksanaan” di sini jauh lebih luas dari kaitannya dengan persoalan dalam etika
praktis sehari-hari. Dahulu istilah “sophia” meliputi dan cenderung pada pengertian
“kebenaran pertama”, “pengetahuan yang luas”, dan “kebajikan intelektual”.34
Oleh
karena itulah, jauh-jauh hari sebelumnya, Plato telah memberikan garis pengertian
yang tegas tentang pengertian “kebijaksanaan” ini dalam kaitannya dengan makna
dari filsafat. Menurut Plato, yang dinamakan kebijaksanaan sejati dalam pengertian
filsafat adalah pengetahuan mengenai hakikat (arrete) dari sesuatu yang diperoleh
melalui kontemplasi, bukannya melalui aksi.35
Dalam bahasa yang berbeda tapi
dalam pengertian yang sama, Aristoteles memaknainya sebagai “prinsip-prinsip
31
Kata ini untuk pertama kalinya digunakan dalam sejarah oleh Pythagoras (abad ke-
6 SM). Namun demikian asumsi ini lebih merupakan bersifat legenda daripada historis. Yang
lebih merupakan kepastian adalah Socrates dan Plato (abad ke-5 SM) sudah lazim dipakai.
lihat Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 11-12. Lihat
juga The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 29-30. 32
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm.242. 33
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm.1-
2. 34
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 29 35
Plato, “Republic” dalam, Plato, The Collected Dialogues, ed, Edith Hamilton dan
Huntington Cairns, (New Jersey: Princeton Uiv., 1982), hlm. 575-844.
16
pertama”,36
dan Whitehead cenderung memaknainya sebagai kodrat dari segala
sesuatu.37
Hal ini mengingat bahwa apa yang disebut dengan “sophia” yang digunakan
dalam bahasa Yunani tersebut memiliki padanan kata yang sederajat dengan kata
“idea”, yang berarti “pengetahuan hakiki”.38
Arti di atas selaras dengan apa yang
menjadi arti dari kata philosophy dalam kamus Webster’s New World Dictionary.
Dalam kamus ini, kata tersebut berarti love of, the search for wisdom or knowledge or
the general principles of knowledge.39
Sementara dalam kamus yang lain secara lebih
tegas mengartikan kata tersebut sebagai the search for knowledge and understanding
of the nature and meaning of the universe and of human life.40
Berdasarkan pengertian etimologis di atas, maka pengertian filsafat dari segi
terminologis dengan demikian bisa dimaknai sebagai “refleksi rasional manusia
dalam memperoleh hakikat, prinsip-prinsip, atau kodrat dari segala sesuatu, atau
juga orientasi dasar dalam seluruh matra kehidupan manusia”.41
Makna yang
ditegaskan oleh Plato dan kawan-kawan di atas merupakan suatu usaha untuk
mempertahankan makna yang lebih awal dari pengertian filsafat yang identik dengan
pengertian arche (unsur dasar) dalam sejarah pertama filsafat Yunani kuno, yakni
sejarah filsuf-filsuf pra-Sokratik, seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes
serta lainnya yang memperkenalkan cara berpikir baru yang kritis terhadap gejala
alam semesta.42
36
Aristoteles “Metaphysics”, dalam The Basic Works of Aristoteles, ed., Richard
MecKeon, (New York: Random Hpuse, (1941), hlm. 783-784. 37
Alfred North Whitehead, Science and Modern World, (New York: The Free Press,
167), hlm. 157. 38
Jostein Gaarder, Dunia Sophie ..., hlm. 172-173. 39
Victoria Neufeldt, (ed), Webster’s New World Dictionary, (New York: Printice
Hall, 1991), hlm. 1015. 40
A S. Hornby, Oxford Advance Leaner’s Dictionary of Current English, (Oxford:
Oxford University Press, 1995), hlm. 867. 41
Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.
17-18. 42
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, …, hlm. 24-65.
17
Arkhe, principium, principle bagi para filsuf pra-Socrates merupakan istilah
yang merujuk pada pengertian “asas dasar” yang ingin mereka temukan dari semua
gejala yang diamati dan dialami manusia. Gejala-gejala itu merupakan titik pangkal
dari upaya mereka untuk keluar dari argumen-argumen yang bersifat mitologis. Dari
sana mereka mau menuju kepada asas dasar yang sifatnya rasional dan dapat
dianggap sebagai sesuatu yang objektif. Asas dasar itu kemudian ada yang diberi
nama seperti air, udara, “yang tak terselami”, “keteraturan”, “yang tetap berada dan
tidak berubah”, ataupun “yang senantiasa berubah”.43
Dengan unsur inilah, para filsuf
ini mampu memberi penjelasan rasional terhadap berbagai kejadian alam sebagai
anti-tesis terhadap berbagai penjelasan yang bersifat mitologis.
Oleh karena itulah, apa yang menjadi tujuan kajian dalam filsafat adalah usaha
mencari pengertian menurut akar dan dasar terdalam (ex ultimis causis). Dengan
jalan refleksi, filsafat mencoba menangkap struktur dan orientasi paling umum dan
mutlak di dalamnya.44
Dengan demikian, sebuah pemikiran filsafat selalu dicirikan
oleh titik-tolak pembahasannya yang lebih mendasar. Jika ilmu pengetahuan pada
umumnya mempertanyakan tentang “bagaimana kejadiannya” (know-how), maka
filsafat menitikberatkan refleksinya pada “mengapa harus terjadinya” (know-why).45
Dengan hampiran yang demikian inilah, filsafat kerap disebut “ilmu dalam pangkat
kedua” (a second-level science).46
Artinya, filsafat tidak mengkaji apa yang hanya
merupakan fakta konkret, tapi lebih pada apa yang ada di balik fakta yang konkret.
Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan pengembangan kajian filsafat
kepada model penelitian lapangan, maka dalam konteks lapangan, objek material
43
Christ Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu; Telaah atas Cara Kerja Ilmu-
Ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 93. 44
Anton Bakker, Ontologi atau Metafisika Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 18-19. Lihat juga Anton Bakker, Kosmologi & Ekologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1995),
hlm. 27. 45
Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli,
(Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. v. 46
Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 35
18
penelitian filsafat bisa difokuskan pada penyelidikan pandangan hidup atau
pandangan dunia yang mendasari seluruh kebudayaan dalam suatu kelompok, daerah,
suku, bangsa, atau negara. Mungkin juga yang diselidiki adalah pandangan dasar
yang melatarbelakangi salah satu fenomena penting, seperti kehidupan berkeluarga,
sistem pendidikan, pola-pola upacara adat.47
Pandangan dunia atau pandangan dasar
pada salah satu fenomena itu tidak hanya dilihat sebagai data sosiologis atau
antropologis melainkan sebagai keyakinan tentang struktur dan kaidah yang mengatur
seluruh hidup mereka dan menyangkut hakikat manusia, dunia dan Tuhan. Dalam
konteks ini, Magnis-Suseno mengajukan beberapa contoh fokus penelitian filsafat
tentang pandangan dunia, sebagai berikut:
Adakah “benang merah” dalam penilaian-penilaian dan norma-norma yang
menjadi pedoman hidup orang … Apakah yang mendasari pandangan-
pandangan [tersebut] ….48
Dengan meneliti konsep dasar yang meresapi seluruh hidup suatu kelompok
yang berbudaya atau salah satu fenomenanya yang sentral, dipahami juga apa yang
pada umumnya menghidupkan suatu kelompok atau bangsa dan memberikan
stabilitas dan identitas kepadanya.
Untuk meneliti pandangan dunia yang sifatnya masih implisit di dalam diri
individu-individu dari subjek yang ingin diteliti, maka penelitian filsafat di tingkat
pengumpulan data tidak jauh berbeda dari penelitian sosiologi ataupun antropologi.
Namun demikian, bagi penelitian sosiologi ataupun antropologi, pengumpulan data
dan kerja lapangan merupakan pokok penelitian itu sendiri, sedangkan bagi penelitian
filsafat data-data lapangan hanya merupakan “bahan material” bagi peneliti filsafat
untuk mengadakan refleksi menurut keahliannya sendiri dengan mempergunakan
unsur-unsur metodis yang sesuai. Oleh karena data-data lapangan hanya merupakan
“bahan material”, maka boleh jadi seorang peneliti filsafat hanya mengumpulkan
47
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 91. 48
Franz Magnis-Suseno, Javanese Ethics and World-View: The Javanese Idea of the
Good Life. (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 1.
19
hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh ahli-ahli sosiologi atau
antropologi.49
Dengan demikian, tidak heran jika Magnis-Suseno dalam karya monumental
Javanese Ethics and World-View: The Javanese Idea of the Good Life memberi
batasan kerangka kerja penelitian filsafat lapangan sebagai berikut:
… this investigation is not based on any field studied by the author, but rather
on a review of anthropological and sociological literature about … society.
My only contribution lies in the choice, weighting, and interpretating of the
data.50
Dengan mengaca kepada berbagai perkembangan kajian filsafat dan agama di
era kontemporer saat ini, tentunya, sudah seharusnya saat ini kita menata ulang kajian
filsafat ini secara lebih kontektual dengan perkembangan zaman. Dengan mengaca
kepada perkembangan kontemporer kajian filsafat di atas, maka model
pengembangan yang ingin penulis tawarkan adalah mengarahkan kajian filsafat ke
ranah sosial-empiris dengan memfokuskan kajian pada fenomena sosial keislaman.
Selanjutnya, untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat, kajian filsafat
harus memiliki kemanfaatan di tengah-tengah masyarakat, yakni dengan memperluas
program-program kajian model extension sebagaimana yang diselenggarakan oleh
fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat
(STF) Drijarkara Jakarta dengan program extension “Etika Bisnis” dan “Etika
Politik”. Dengan demikian, dengan menyelenggarakan program-program seperti ini,
kajian-kajian filsafat menjadi lebih praktis dan operasional di tengah-tengah
masyarakat.
Penutup
Sudah saatnya kajian filsafat yang dikembangkan bukan lagi melulu
berorientasi klasik atau masa lalu dan memperkokoh kerangka berpikir “idealis-
49
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, hlm. 94. 50
Franz Magnis-Suseno, Javanese Ethics and World-View, hlm. 5.
20
metafisik” sebagai kerangka berpikir berpikir filosofis dalam memahami Islam.
Kajian filsafat mesti kita kembangkan dengan menggagas model-model
pengembangan kajian filsafat yang lebih bersifat konstributif bagi kehidupan konkret
masyarakat secara umum agar kita bisa mengembalikan peran, fungsi, dan kedudukan
kajian filsafat itu sendiri.
Pengembangan kajian filsafat ini bisa dimulai dari usaha memperluas model-
model penelitian filsafat, yang selama ini ini lebih terfokus pada model penelitian
konsep dan model penelitian tokoh, kepada model penelitian lapangan untuk lebih
diintesifkan. Selanjutnya, untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat, kajian
filsafat harus memiliki kemanfaatan di tengah-tengah masyarakat, yakni dengan
memperluas program-program kajian model extension. Dengan menyelenggarakan
program-program seperti ini, kajian-kajian filsafat menjadi lebih praktis dan
operasional di tengah-tengah masyarakat []