model pengembangan kajian filsafat oleh dr. irfan noor, m. hum

20
1 Model Pengembangan Kajian Filsafat Oleh: Dr. Irfan Noor, M.Hum Pendahuluan Konon fenomena kelangkaan mahasiswa yang terjadi di program studi filsafat di tingkat sarjana maupun magister di IAIN Antasari Banjarmasin bukanlah satu- satunya. Masalah kelangkaan mahasiswa ini telah menjadi isu nasional lantaran hampir seluruh program studi ini di semua PTAI di Indonesia juga mengalami fenomena yang sama, yaitu makin minimnya calon mahasiswa yang mau kuliah, kecuali di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kelangkaan ini disinyalir oleh beberapa kalangan telah muncul secara perlahan sejalan dengan munculnya krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an. Kondisi sosial ekonomi yang sulit telah memaksa masyarakat untuk berpikir pragmatis sehingga lebih tertarik memilih jurusan-jurusan yang mampu memberikan peluang kerja sebagai jaminan masa depan. Di samping itu, kajian filsafat yang dikembangkan cenderung memberi beban epistemologis karena cenderung berorientasi klasik atau masa lalu dan seakan-akan makin memperkokoh kerangka berpikir “idealis- metafisik” sebagai kerangka berpikir berpikir filosofis dalam memahami Islam. Dengan latar belakang kajian filsafat di dunia akademik di Perguruan Tinggi Islam ini, maka untuk mengembalikan peran, fungsi, dan kedudukan kajian filsafat di tengah-tengah masyarakat kiranya perlu untuk menggagas model-model pengembangan kajian filsafat yang lebih bersifat konstributif bagi kehidupan konkret masyarakat secara umum. Dr. Irfan Noor, M.Hum adalah Ketua Program Studi Filsafat Islam Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin

Upload: irfan-noor-mhum

Post on 04-Aug-2015

109 views

Category:

Documents


25 download

DESCRIPTION

Konon fenomena kelangkaan mahasiswa yang terjadi di program studi filsafat di tingkat sarjana maupun magister di IAIN Antasari Banjarmasin bukanlah satu-satunya. Masalah kelangkaan mahasiswa ini telah menjadi isu nasional lantaran hampir seluruh program studi ini di semua PTAI di Indonesia juga mengalami fenomena yang sama

TRANSCRIPT

Page 1: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

1

Model Pengembangan Kajian Filsafat

Oleh: Dr. Irfan Noor, M.Hum

Pendahuluan

Konon fenomena kelangkaan mahasiswa yang terjadi di program studi filsafat

di tingkat sarjana maupun magister di IAIN Antasari Banjarmasin bukanlah satu-

satunya. Masalah kelangkaan mahasiswa ini telah menjadi isu nasional lantaran

hampir seluruh program studi ini di semua PTAI di Indonesia juga mengalami

fenomena yang sama, yaitu makin minimnya calon mahasiswa yang mau kuliah,

kecuali di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kelangkaan ini disinyalir oleh beberapa kalangan telah muncul secara perlahan

sejalan dengan munculnya krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an. Kondisi sosial

ekonomi yang sulit telah memaksa masyarakat untuk berpikir pragmatis sehingga

lebih tertarik memilih jurusan-jurusan yang mampu memberikan peluang kerja

sebagai jaminan masa depan. Di samping itu, kajian filsafat yang dikembangkan

cenderung memberi beban epistemologis karena cenderung berorientasi klasik atau

masa lalu dan seakan-akan makin memperkokoh kerangka berpikir “idealis-

metafisik” sebagai kerangka berpikir berpikir filosofis dalam memahami Islam.

Dengan latar belakang kajian filsafat di dunia akademik di Perguruan Tinggi

Islam ini, maka untuk mengembalikan peran, fungsi, dan kedudukan kajian filsafat di

tengah-tengah masyarakat kiranya perlu untuk menggagas model-model

pengembangan kajian filsafat yang lebih bersifat konstributif bagi kehidupan konkret

masyarakat secara umum.

Dr. Irfan Noor, M.Hum adalah Ketua Program Studi Filsafat Islam Program

Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin

Page 2: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

2

Perkembangan Filsafat Barat Sebagai Cermin Mengaca

Alangkah baiknya sebelum kita berbicara tentang model pengembangan

kajian filsafat dalam tradisi IAIN, terlebih dahulu kita mengaca kepada

perkembangan kajian filsafat di era kontemporer saat ini. Dalam konteks filsafat

kontemporer, khususnya pasca Husserl dan Dilthey, varian utama kajian filsafat

cenderung memunculkan wajahnya dalam kajian-kajian ilmu-ilmu sosial-humaniora.

Sebut saja di sini, Jean Baudrillard, Michel Foucault, Martin Heidegger, Jurgen

Habermas, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Francois Lyotard, Claude Levi Strauss,

Roland Barthes, Ferdinand de Saussure, Hannah Arrendt, Will Kymlica, dan John

Rawls.

Masuknya dimensi sosial dalam wilayah kajian filsafat ini, tentunya, juga

memberikan perubahan orientasi pendekatan ilmiah terhadap fenomena sosial yang

dimulai sejak abad ke-18, dimana sebelumnya lebih didominasi oleh pendekatan

positivistik dan idealistik. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran paradigma yang

mengarah pada wilayah kajian historis dan eksistensial.

Pergeseran paradigma ini, tentunya, menandai suatu pergeseran paradigma

filsafat modern tahap ketiga pasca filsafat Kant. Sebagaimana diketahui secara umum

bahwa Kant merupakan filsuf modern yang telah mengakhiri pertentangan panjang

antara aliran rasionalisme ala Leibniz-Wolff dengan empirisisme ala Hume.1 Namun

belakangan setelah Kant, sintesis ini terpecah lagi menjadi dua aliran baru, yaitu

idealisme dan positivisme. Idealisme, dengan tokohnya seperti Johan Gottlieb Fichte

(1762-1814), Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854), Georg Wilhelm

Friedrich Hegel (1770-1831), menekankan unsur kesadaran. Idealisme melanjutkan

pikiran Kant bahwa “subjek memberi struktur pada realitas”, dan berbicara mengenai

“Akal”, “kebebasan”, dan “sejarah”. Sedangkan positivisme, dengan tokoh utamanya

Auguste Comte (1789-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer

(1820-1903), melanjutkan pemikiran Kant bahwa “apa yang dapat diselidiki hanyalah

1Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6, (From Wolff to Kant),

(London: Burns and Oates Ltd., 1960), hlm. 180.

Page 3: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

3

fenomena-fenomena belaka”. Namun positivisme baru memainkan perannya yang

penting setelah perkembangan idealisme, yakni sekitar tahun 1850.2

Penekanan Kant atas “subjek” dan “fenomena” lebih jauh lagi mempunyai

posisi yang kuat atas corak paradigma ilmu pengetahuan modern. Jika pemikiran

filosofis Descartes sering dikatakan sebagai pijakan awal terjadinya pergeseran

pendulum paradigma manusia modern dari objek ke subjek. Dalam konteks ini, jasa

Kant, tidak hanya meradikalkan penekanan Descartes atas subjek, melainkan juga

memperlihatkan the conditions of possibillity dari pikiran manusia. Penemuan batas-

batas pikiran ini mengungkapkan suatu keyakinan baru bahwa meneliti subjek adalah

lebih mungkin daripada objek.3

Kant dalam Kritik-nya mau menunjukkan kekeliruan dan keberatsebelahan

yang ada pada filsafat rasionalisme ala Leibniz-Wolff dan skeptesisme Hume.

Melawan Leibniz-Wolff, Kant mengatakan bahwa “rasio murni” saja tanpa

pengalaman hanya akan menghasilkan khayalan belaka. Oleh karena itu, tidak ada

pengetahuan a-priori mengenai benda pada dirinya sendiri. Sedangkan menentang

skeptisisme Hume, Kant, memperlihatkan bahwa pengetahuan sintesis a priori itu

mungkin dan dapat diberikan contohnya. Kedua aliran besar dalam sejarah filsafat

modern, rasionalisme dan empirisisme, kini bertemu dan sekaligus mencapai titik

akhir dalam filsafat Kant, yang merupakan sintesis keduanya.

Namun demikian, penekanan Kant atas “subjek” dan “fenomena” membawa

implikasi yang lebih jauh lagi pada corak paradigma ilmu pengetahuan modern. Jika

pemikiran filosofis Descartes sering dikatakan sebagai pijakan awal terjadinya

pergeseran pendulum paradigma manusia modern dari objek ke subjek, maka dalam

konteks Kant, tidak hanya meradikalkan penekanan Descartes atas subjek juga

memperlihatkan the conditions of possibility dari pikiran manusia. Penemuan batas-

2Franki Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,

(Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 129. 3Kenneth T. Gallagher, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, disadur oleh P. Hardono

Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 101.

Page 4: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

4

batas pikiran ini mengungkapkan suatu batas cakrawala pengetahuan sekaligus ilmu

pengetahuan.

Oleh itulah, tidak mengherankan apabila sesudah Kant, sintesis ini Kant ini

justru melahirkan aliran baru, yaitu positivisme. Aliran dengan tokoh utamanya

Auguste Comte (1789-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer

(1820-1903), ini lahir untuk melanjutkan pemikiran Kant tentang diktum yang sangat

terkenal bahwa “apa yang dapat diselidiki hanyalah fenomena-fenomena belaka”.

Dalam filsafat Kant, ilmu-ilmu alam menjadi asumsi normatif walaupun Kant

masih mengakui keberadaan bentuk ilmu lain, seperti etika dan estetika. Namun perlu

ditegaskan di sini, bahwa Kant secara implisit mencoba meletakkan ilmu-ilmu alam

sebagai norma dan penelitian ilmiah sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih.4

Konstruksi berpikir demikian semakin radikal dan memuncak pada positivisme

Auguste Comte yang menekankan pengetahuan inderawi tidak hanya sebagai norma

tetapi justru menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan. Oleh karena itu,

tampilnya positivisme sebagai respon konstruktif terhadap pemikiran Kant tentang

“apa yang dapat diselidiki hanyalah fenomena-fenomena belaka”, selain membawa

dampak atas terjadinya lagi pergeseran pendulum paradigma manusia modern menuju

objek juga membawa dampak atas berakhirnya diskursus epistemologi itu sendiri dan

dimulainya diskursus filsafat ilmu yang memusatkan diri pada penelitian

metodologi.5

Dalam kajian filsafat ilmu, tendensi yang kemudian dianut secara berlebih-

lebihan atas tampilnya positivisme itu adalah “objektivisme”. Objektivisme tidak

hanya menyalin fakta objektif, melainkan juga mengosongkan apa-apa saja dalam diri

subjek sedemikian rupa sehingga menjadi fungsi-fungsi objektif dan mekanis. Dalam

psikologi modern, yang mendasarkan diri pada observasi empiris, konsep-konsep

4Franki Budi Hardiman, “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-

Modernisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, (No.1, Vol. IV, Thn. 1994), hlm.2. 5Richard Rarty, Philosophy and the Mirror of Nature, (New Jersey: Princeston Univ.

Press, 1980), h1m.132-133.

Page 5: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

5

seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, dan pikiran, diformalisasikan dan

dipermiskinkan sampai menjadi fungsi-fungsi dari suatu sistem objektif yang lebih

luas. Dalam ilmu-ilmu yang menyangkut manusia, manusia diobservasi pada

permukaan objektifnya sehingga apa-apa yang ditemukan dalam dimensi objektif

manusia digenaralisasikan ke dalam dimensi subjektifnya pula.6

Namun demikian, melalui jejak pengaruh pemikiran Husserl dan Dilthey,

dimensi sosial dan kemanusian menjadi varian utama dalam kajian filsafat pasca

mereka berdua dengan wajah barunya. Dalam konteks Edmund Husserl (1859-1938),

yang merupakan pendiri aliran fenomenologi misalnya, berpendapat bahwa sikap

natural adalah suatu sikap pra-reflektif yang percaya begitu saja bahwa dunia faktual

itu ada an sich, ditemukan “di luar sana”, dan dapat dilibati oleh semua orang. Orang

yang berada dalam sikap natural secara naif menghayati kesehariannya dengan

mengandaikan begitu saja faktualitas.7 Alfred Schutz yang mengambil alih gagasan

ini untuk membangun suatu sosiologi yang bersifat fenomenologis menyebut sikap di

atas sebagai ciri eksistensi sosial manusia.8 Dalam konteks ini, kenyataan sosial

adalah dunia penghayatan langsung para pelaku sosial, yang oleh Husserl disebut

sebagai labenswelt (dunia-kehidupan), sementara Schutz menyebutnya dengan istilah

social world (dunia-sosial). Oleh karena itu, tugas fenomenologi adalah “deskripsi”

atas sejarah labenswelt tersebut untuk menemukan “endapan makna” yang

merekonstruksi kenyataan sosial sehari-hari. Dunia kehidupan sehari-hari, dengan

demikian, bukanlah sekedar suatu realitas, tetapi merupakan realitas terpenting dalam

kehidupan manusia dan menjadi realitas utama (the paramount reality). Di sini

objektivisme dilampaui.9

6Franki Budi Hardiman, Kritik Ideologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 22-25.

7 Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 132.

8Ian Craib, Teori-Teori Social Modern; Dari Parson sampai Habermas,

diterjemahkan oleh T. Effendi, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 130. 9Alfred Schutz, The Problem of Social Reality: Collected Pappers I, (The Hugue:

Martinus Nijhoff Publishers, 1962), hlm. 234.

Page 6: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

6

Kekurangan fenomenologis tentang “absennya dialog” dalam penciptaan

makna belakangan kemudian dilengkapi oleh pendekatan Hermeneutika yang

dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey, yang digunakan sebagai metode

geistenwissenschaften (ilmu-ilmu humaniora). Sebagai pendekatan bagi ilmu-ilmu

kemanusian (humaniora), hermeneutika digunakan untuk mengungkap “ekspresi-

ekspresi kehidupan” (labensaeusserung), seperti konsep, tindakan, dan penghayatan

(erlebnis) manusia. Objek-objek ini karena memang bersifat khas, maka harus

didekati dengan metode yang khas pula. Oleh karena itu, menurut Dilthey, satu-

satunya metode yang cocok adalah verstehen (memahami). Verstehen muncul dari

kepentingan praktis manusia dalam mengkomunikasikan maksud masing-masing.

Dalam masyarakat, maksud-maksud para individu telah menjadi jaringan otonom

yang disebut “pikiran objektif” (objektiver geist), misalnya hukum, negara, agama,

adat, dan seterusnya. Pikiran objektif ini menjadi medium seorang peneliti untuk

melakukan verstehen atas “ekspresi-ekspresi kehidupan” masyarakat. Verstehen atas

makna objektif itu diperlakukan dengan re-living atau re-experiencing, yakni

memproduksi makna sebagaimana dihayati oleh penciptanya. Oleh Hans-Georg

Gadamer dalam bukunya yang termasyhur Wahrheit und Methode (Kebenaran dan

Metode), tindakan peneliti maupun pelaku sama-sama merupakan tidakan historis

yang berada dalam kontinuitas sejarah hingga riset menghasilkan efek dalam sejarah.

Oleh karenanya, objektivisme suatu riset diam-diam menyembunyikan keterlibatan

historis. Karena itu, tak ada jalan lain dalam ilmu-ilmu sosial kecuali

mengeksplisitkan wirkungsgeschichtliches bewusstsein (kesadaran sejarah efektif).

Ini berarti, peneliti tidak lebih unggul dari pelaku, dan pengetahuan sejarah hanya

mungkin dicapai lewat pemahaman hermeneutika timbal-balik.10

Sementara di sisi yang bersamaan juga telah terjadi pergeseran paradigma

yang mengarah pada wilayah kajian historis dan eksistensial dalam wilayah kajian

agama. Jika awalnya kajian agama secara ilmiah merupakan kajian di wilayah

10

Mispan Indarjo, “Gambaran Pengalaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”,

dalam Majalah Filsafat Driyarkara, No. 3, Thn. XX, hlm. 4.

Page 7: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

7

filsafat. Tokoh yang pertama kali merintis kajian model filosofis tersebut atas

persoalan agama adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel di awal abad ke-19. Sejak

itu, banyak pemikir mulai menaruh minat pada studi-studi tentang agama. Pada

mulanya studi-studi ini lebih bersifat a priori dan metafisik, dengan mengolah

konsep-konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama.11

Minat awal para

filosuf dalam memahami agama adalah ingin menangkap apakah hakikat agama itu.

Namun demikian, latar belakang kemajuan ilmu-ilmu positivisme yang sedang marak

pada saat itu telah menyebabkan orientasi studi agama di masa-masa ini cenderung

melecehkan agama. Agama sering dilecehkan sebagai warisan budaya manusia yang

belum kritis, khayalan manusia yang terasing dari dunianya, sublimasi dari

keinginan-keinginan manusia yang tak kesampaian, dan sebagainya.

Kritik agama yang bersifat metafisik ini kemudian diimbangi oleh minat

agama dari jurusan lain, yakni yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu antropologi,

etnologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi yang bergerak dalam penyelidikan suku-

suku primitif. Rupanya bentuk-bentuk kehidupan baru di tanah-tanah koloni bagi

orang Eropa menimbulkan minat yang besar dalam studi ini. Bentuk-bentuk

kehidupan baru itu, terutama yang menyangkut bentuk-bentuk kepercayaan dan

praktek-praktek kehidupan keagamaan mereka.12

Perbedaan yang sangat mencolok dari kelompok studi terakhir ini

dibandingkan dengan kelompok studi para filsuf adalah ketertarikan mereka yang

lebih pada praktek-praktek peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret daripada

konsep-konsep dan ajaran agama. Tentu saja, hal ini dikarenakan studi-studi model

ilmu-ilmu sosial empiris di atas dikondisikan oleh objek kajian yang mereka geluti

sendiri, yakni berupa pengalaman langsung orang-orang primitif mengenai Yang

Ilahi. Pada umumnya minat para ilmuwan sosial di bidang ini adalah ingin mencari

11

A. Sudiarja, “Kata Pengantar”, dalam Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi

Agama, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Agama “Driyarkara”, (Yogyakarta: Kanisius,

1995), hlm. 5. 12

A. Sudiarja, “Kata Pengantar”, hlm. 6.

Page 8: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

8

asal usul agama dengan mengartikan kegiatan keagamaan sebagai tindakan simbolis

dan penuh arti.

Masuknya dimensi sosial dalam wilayah kajian agama ini, tentunya, telah

mendorong terjadinya perubahan orientasi pendekatan terhadap agama sejak sekitar

abad ke-19 seiring perkembangan dalam ilmu-ilmu sosial. Khususnya pada akhir

abad ke-19, lebih-lebih lagi pada pertengahan abad ke-20, pergeseran paradigma

tersebut telah mengalami pergeseran yang sangat fundamental.13

Pergeseraan

paradigma ini oleh M. Amin Abdullah disebut sebagai pergeseran paradigma

“idealis” ke arah “historis” dan pendulum “esensi” ke arah “eksistensi”.14

Fenomena

pergeseran paradigma ini jika boleh saya ilustrasikan, maka mirip dengan ungkapan

Karl Marx beberapa abad yang lampau yang berbunyi “the ideal is nothing else than

the material world reflected by human mind and translated in forms of thought”.15

Mengapa dalam memahami agama, khususnya fenomena keislaman,

paradigma baru ini perlu kita apresiasi ? Jawabannya tidak lain lantaran fenomena

agama tidak bisa lepas dari wilayah “human construction”, dimana ia terlibat dalam

kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul (antropologis),

pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa

(psikologis), dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang

optimal (ekonomis), dan bentuk kesadaran historis lainnya.16

Itulah sebabnya, jauh-

jauh hari sebelumnya, pemikir Islam kontemporer, Mohammed Arkoun

mengungkapkannya sebagai berikut:

13

Ninian Smart, “The Scientific Study of Religion in it‟s Plurality”, dalam Frank

Whalling (ed), Contemporary Approaches to the Study of Religion, Vol. I, (Berlin: Mounton

Publishers, 1984), hlm. 376. 14

M. Amin Abdullah, Studi Agama: Pendekatan Agama, Makalah dalam Peringatan

100 Tahun Perlemen Agama-Agama se-Dunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia (Yogyakarta: 11 – 12 Oktober 1993).

15Karl Marx, Capital, Edited by Friedrich Engels, (New York: The Univ. of Chicago,

1986), hlm. 11. 16

M. Amin Abdullah, “Tinjauan Antropolgis-Fenomenologis Keberagamaan

Manusia: Pendekatan Filsafat Untuk Studi Agama-Agama”, dalam Abdurrahman, dkk (ed.),

70 Tahun H. A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,

1993).

Page 9: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

9

“Ada jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan dalam agama dan

aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan

dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan, dan penalaran khas

masyarakat tertentu ataupun dalam berbagai wacana keagamaan. Ada

berbagai faktor sosial, budaya, psikis, politis, dan lain-lain yang

mempengaruhi proses aktualisasi tersebut”.17

Artinya, dalam konteks tersebut, berbicara agama berarti berbicara tentang

suatu konstanta dalam pengalaman manusia. Ia bergumul di antara kategori-kategori

manusia yang terhingga yang cenderung untuk membatasinya dan dengan

keterbukaannya terhadap transendensi yang cenderung melampauinya. Secara dalam,

ia tertanam dalam kehidupan manusia yang fana, tetapi ia menyatu ke dalam

kehidupan Ilahi yang abadi.18

Hasan Askari mengistilahkan fenomena agama sebagai

fenomena “subjektivitas-ganda”, yakni subjektivitas yang melingkupi subjektivitas

personal dan subjektivitas masyarakat. Keduanya secara bersama-sama membentuk

totalitas keagamaan.19

Oleh karenanya, “agama tidak semata berada di langit Plato yang sempurna

dan suci murni dan dari sana mengantarai manusia dan Tuhan, tetapi selalu

merupakan agama manusia biasa, dengan daha dan daging. Pergolakan manusia

menjadi pergolakan agama, dan unsur keputusan tiap penganut suatu agama serta

tindakannya dari waktu ke waktu, bakal menentukan wujud agama tersebut dalam

sejarah. Agama – tanpa mengurangi hormat kepada unsur Ilahi – selalu merupakan

agama dengan dan karena keputusan dan pilihan manusia yang menghayatinya.20

17

Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan

Jalan Baru, diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 194. 18

William McInner, “Agama di Abad Duapuluh Satu”, diterjemahkan oleh Dewi

Yaminah, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 5., Vol. II, 1990, hlm. 83. 19

Hasan Askari, Spiritual Quest; An Inter-Religious Dimension, (West Yorkshire:

Seven Mirrors, 1991), hlm. 1. 20

Ignas Kleden, “Agama dalam Perubahan Sosial”, dalam Agama dan Tantangan

Zaman (Pilihan Artikel Prisma 1975-1984), (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 215.

Page 10: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

10

Peta Pemikiran dalam Kajian Islam

Apabila kita telaah lebih jauh arus besar perkembangan filsafat Barat

kontemporer tersebut dalam perkembangan kajian Islam, maka sebagaimana yang

dirumuskan oleh Mohamed Abed al-Jabiri, pemikiran Islam masih terkotak ke dalam

tiga ranah epistemologis, yaitu Bayânî, Burhânî, dan 'Irfânî.21

Epistemologi Bayânî adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan

atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung Secara langsung artinya

memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa

perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan

mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti

akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus

bersandar pada teks. Dengan demikian, sumber pengetahuan Bayânî adalah teks

(nash), yakni al-Qur`an dan hadis. Karena itulah, epistemologi Bayânî menaruh

perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Ini

penting bagi Bayânî, karena –sebagai sumber pengetahuan-- benar tidaknya

transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil.22

Berbeda dengan epistemologi Bayânî yang didasarkan pada teks,

Epistemologi 'Irfânî mendasarkan diri pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia

realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan 'Irfânî tidak diperoleh berdasarkan

analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan

Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam

pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan

21

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik; Apa yang terlupakan dari ilmu-

ilmu „sekuler‟?”, Makalah disampaikan dalam Saresehan Ilmu Profetik II di Ruang Sidang A

Lt. 5 Sekolah Pascasarjana UGM tanggal 28 Juli 2011, hlm. 5 22

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 6.

Page 11: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

11

demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu: (1)

persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.23

Berbeda dengan Bayânî dan 'Irfânî yang masih berkaitan dengan teks

suci, Burhânî sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhânî

menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil

logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa Bayânî menghasilkan

pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; 'Irfânî menghasilkan

pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, Burhânî menghasilkan

pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang

telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan Burhânî adalah

rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan

keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.24

Selanjutnya, untuk

mendapatkan sebuah pengetahuan, Burhânî menggunakan aturan silogisme.

Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi

beberapa syarat, yaitu: (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2)

adanya konsistensi logis antara alas an dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil

harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran

atau kepastian lain.

Menurut Amin Abdullah, “sebenarnya ketiga sistem epistemologi Islam ini

masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam praktiknya hampir-hampir tidak

pernah mau akur”25

. Bahkan tidak jarang saling mendiskriditkan, tidak saling

percaya-mempercayai, kafir-mengkafirkan, murtad-memurtadkan dan sekuler-

mensekulerkan antar masing-masing penganut tradisi epistemologi ini. Oleh karena

itu, pola pikir tekstual bayânî lebih dominan secara politis dan membentuk

mainstream pemikiran keislaman yang hegemonik. Sebagai akibatnya pola pemikiran

keagamaan Islam model bayânî menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks dan otoritas

23

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 7. 24

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 8. 25

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 10.

Page 12: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

12

salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi usul fiqh klasik lebih

diunggulkan dari pada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti alam (kauniyyah),

akal (aqliyyah) dan intuisi (wijdaniyyah). Dominasi pola pikir tekstual-ijtihâdiyyah

menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-

isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah. Di samping itu, nalar

epistemologi bayânî selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi

kebenaran keagamaan tekstual. Sampai-sampai pada kesimpulan bahwa wilayah

kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi

pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat

analisis keilmuan yang akurat.26

Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayânî atau

tradisi berpikir tekstual-keagamaan adalah ketika ia harus berhadapan dengan teks-

teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang

beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen

berpikir keagamaan model tekstual-bayânî biasanya mengambil sikap mental yang

bersifat dogmatik, defensif, apologis, dan polemis, dengan semboyan kurang lebih

semakna dengan "right or wrong is my country".

Sementara pada 'irfânî, persoalan status dan keabsahan selalu dipertanyakan

baik oleh tradisi berpikir bayânî atau burhânî. Epistemologi bayânî mempertanyakan

keabsahannya karena dianggap terlalu liberal karena tidak mengikuti pedoman-

pedoman yang diberikan teks, sedang epistemologi burhânî mempertanyakan

keabsahannya karena dianggap tidak mengikuti aturan-aturan dan analisis yang

berdasarkan logika. Apalagi dalam tradisi sejarah pemikiran Islam, apa yang disebut

intuisi, ilham, qalb, psikognosis telah terlanjur dikembangkan atau

diinstitusionalisasikan menjadi apa yang disebut-sebut sebagai "tarekat" dengan

wirid-wirid dan satahat-satahat yang mengiringinya.27

26

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 9. 27

Fazlur Rahman, Islam, Chicago : The University of Chicago Press, 1979, h. 132-

133; 135.

Page 13: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

13

Jika sumber (origin) ilmu dari corak epistemologi bayânî adalah teks, sedang

'irfânî adalah direct experience (pengalaman langsung), maka epistemologi burhânî

bersumber pada realitas atau al-waqi' baik realitas alam, sosial, humanitas maupun

keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhânî disebut sebagai al-ilm al-

husulî, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-

premis logika atau al-mantiq, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan

pula lewat otoritas intuisi.

Premis-premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara

proses abstraksi ( al-maujûdat barî'ah min al-mâdah) dan pengamatan inderawi yang

sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah

kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan (grounded

research) dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal pikiran sangat

menentukan di sini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat

(idrak al-sabab wa al-musabab). Namun demikian, karena faktor hegemoni

epistemologi bayânî menjadikan corak epistemologi burhânî dan juga 'irfânî

tersingkir dari panggung sejarah pemikiran keislaman.

Apabila kita telisik lebih jauh, corak epistemologi burhânî sangat memainkan

peran yang sangat penting. Karena fungsi epistemologi burhânî untuk mencari sebab

dan musabab, apalagi yang dicari itu mengenai peristiwa-peristiwa alam, sosial,

kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan,

tetapi menjadi lebih memadai apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti

sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah. Konstruksi Burhani baru ini sudah

barang tentu sudah jauh melewati tradisi Ibn Rusyd. Konstruksi keilmuan Burhani

yang memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dan humanities adalah konstruksi M. Arkoun.

Fungsi dan peran akal bukannya untuk mengukuhkan kebenaran teks seperti yang ada

dalam nalar bayânî, tetapi lebih ditekankan untuk melakukan analisis dan menguji

terus menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang

dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan. Fungsi akal pikiran yang bersifat

Page 14: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

14

heuristik dengan sendirinya akan membentuk budaya kerja penelitian, baik yang

bersifat eksplanatif, eksploratif maupun verifikatif.28

Tolok ukur validitas keilmuannyapun sangat berbeda dari nalar bayânî dan

nalar 'irfânî. Jika nalar bayânî tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau

nash dan realitas, dan nalar 'irfânî lebih pada kematangan social skill (empati,

simpati, verstehen), maka dalam nalar burhânî yang ditekankan adalah korespondensi

(al-mutâbaqah baina al-'aql wa nizâm al- tabî'ah, yakni kesesuaian antara rumus-

rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam, logika

matematika. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan

keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus menerus dilakukan untuk

memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-teori

yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).29

Kalau saja tiga pendekatan epistemologis terhadap pola pikir keberagamaan

Islam, yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani saling terkait, terjaring dan terpatri dalam

satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagamaan Islam, menurut hemat

saya, akan jauh lebih komprehensif dan sistemik, dan bukannya bercorak dikotomis-

atomistis seperti yang dijumpai sekarang ini. Sekaranglah momentumnya untuk

merekonstruksi kembali klaim-klaim kebenaran dan keabsahan ilmu yang bersifat

myopic, dikotomik dan parsial. Belum lagi kita berhasil menyelesaikan pekerjaan

rumah (Bayânî, Burhânî, dan 'Irfânî), umat Islam diperhadapkan dengan tantangan

baru, yaitu perkembangan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke 17,18,19 dan

20.30

Menuju Arah Baru Kajian Filsafat

Jika kita kembali ke latar belakang dunia akademik di atas, dengan bercermin

pada kecenderungan umum kajian filsafat Barat, maka pengembangan kajian filsafat

28

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 11. 29

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 12. 30

M. Amin Abdullah, “Epistemologi ilmu profetik ..., hlm. 13.

Page 15: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

15

ini bisa dimulai dari usaha memperluas model-model penelitian filsafat, yang selama

ini ini lebih terfokus pada model penelitian konsep dan model penelitian tokoh,

kepada model penelitian lapangan untuk lebih diintesifkan.

Sebagaimana asal-usul kata “filsafat”, yaitu philosophia,31

dalam bahasa

Yunani terdiri dari dua suku kata, philos atau philia yang berarti “cinta” dan sophos

yang berarti “kebijaksanaan”, maka makna kedua kata itu bila sudah disatukan

menjadi “mencintai kebijaksanaan”32

, yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa

Arab padanan kata “sophia” adalah “hikmah”.33

Namun yang perlu dijelaskan dan ditegaskan di sini bahwa pengertian

“kebijaksanaan” di sini jauh lebih luas dari kaitannya dengan persoalan dalam etika

praktis sehari-hari. Dahulu istilah “sophia” meliputi dan cenderung pada pengertian

“kebenaran pertama”, “pengetahuan yang luas”, dan “kebajikan intelektual”.34

Oleh

karena itulah, jauh-jauh hari sebelumnya, Plato telah memberikan garis pengertian

yang tegas tentang pengertian “kebijaksanaan” ini dalam kaitannya dengan makna

dari filsafat. Menurut Plato, yang dinamakan kebijaksanaan sejati dalam pengertian

filsafat adalah pengetahuan mengenai hakikat (arrete) dari sesuatu yang diperoleh

melalui kontemplasi, bukannya melalui aksi.35

Dalam bahasa yang berbeda tapi

dalam pengertian yang sama, Aristoteles memaknainya sebagai “prinsip-prinsip

31

Kata ini untuk pertama kalinya digunakan dalam sejarah oleh Pythagoras (abad ke-

6 SM). Namun demikian asumsi ini lebih merupakan bersifat legenda daripada historis. Yang

lebih merupakan kepastian adalah Socrates dan Plato (abad ke-5 SM) sudah lazim dipakai.

lihat Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 11-12. Lihat

juga The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 29-30. 32

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm.242. 33

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm.1-

2. 34

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 29 35

Plato, “Republic” dalam, Plato, The Collected Dialogues, ed, Edith Hamilton dan

Huntington Cairns, (New Jersey: Princeton Uiv., 1982), hlm. 575-844.

Page 16: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

16

pertama”,36

dan Whitehead cenderung memaknainya sebagai kodrat dari segala

sesuatu.37

Hal ini mengingat bahwa apa yang disebut dengan “sophia” yang digunakan

dalam bahasa Yunani tersebut memiliki padanan kata yang sederajat dengan kata

“idea”, yang berarti “pengetahuan hakiki”.38

Arti di atas selaras dengan apa yang

menjadi arti dari kata philosophy dalam kamus Webster’s New World Dictionary.

Dalam kamus ini, kata tersebut berarti love of, the search for wisdom or knowledge or

the general principles of knowledge.39

Sementara dalam kamus yang lain secara lebih

tegas mengartikan kata tersebut sebagai the search for knowledge and understanding

of the nature and meaning of the universe and of human life.40

Berdasarkan pengertian etimologis di atas, maka pengertian filsafat dari segi

terminologis dengan demikian bisa dimaknai sebagai “refleksi rasional manusia

dalam memperoleh hakikat, prinsip-prinsip, atau kodrat dari segala sesuatu, atau

juga orientasi dasar dalam seluruh matra kehidupan manusia”.41

Makna yang

ditegaskan oleh Plato dan kawan-kawan di atas merupakan suatu usaha untuk

mempertahankan makna yang lebih awal dari pengertian filsafat yang identik dengan

pengertian arche (unsur dasar) dalam sejarah pertama filsafat Yunani kuno, yakni

sejarah filsuf-filsuf pra-Sokratik, seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes

serta lainnya yang memperkenalkan cara berpikir baru yang kritis terhadap gejala

alam semesta.42

36

Aristoteles “Metaphysics”, dalam The Basic Works of Aristoteles, ed., Richard

MecKeon, (New York: Random Hpuse, (1941), hlm. 783-784. 37

Alfred North Whitehead, Science and Modern World, (New York: The Free Press,

167), hlm. 157. 38

Jostein Gaarder, Dunia Sophie ..., hlm. 172-173. 39

Victoria Neufeldt, (ed), Webster’s New World Dictionary, (New York: Printice

Hall, 1991), hlm. 1015. 40

A S. Hornby, Oxford Advance Leaner’s Dictionary of Current English, (Oxford:

Oxford University Press, 1995), hlm. 867. 41

Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.

17-18. 42

Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, …, hlm. 24-65.

Page 17: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

17

Arkhe, principium, principle bagi para filsuf pra-Socrates merupakan istilah

yang merujuk pada pengertian “asas dasar” yang ingin mereka temukan dari semua

gejala yang diamati dan dialami manusia. Gejala-gejala itu merupakan titik pangkal

dari upaya mereka untuk keluar dari argumen-argumen yang bersifat mitologis. Dari

sana mereka mau menuju kepada asas dasar yang sifatnya rasional dan dapat

dianggap sebagai sesuatu yang objektif. Asas dasar itu kemudian ada yang diberi

nama seperti air, udara, “yang tak terselami”, “keteraturan”, “yang tetap berada dan

tidak berubah”, ataupun “yang senantiasa berubah”.43

Dengan unsur inilah, para filsuf

ini mampu memberi penjelasan rasional terhadap berbagai kejadian alam sebagai

anti-tesis terhadap berbagai penjelasan yang bersifat mitologis.

Oleh karena itulah, apa yang menjadi tujuan kajian dalam filsafat adalah usaha

mencari pengertian menurut akar dan dasar terdalam (ex ultimis causis). Dengan

jalan refleksi, filsafat mencoba menangkap struktur dan orientasi paling umum dan

mutlak di dalamnya.44

Dengan demikian, sebuah pemikiran filsafat selalu dicirikan

oleh titik-tolak pembahasannya yang lebih mendasar. Jika ilmu pengetahuan pada

umumnya mempertanyakan tentang “bagaimana kejadiannya” (know-how), maka

filsafat menitikberatkan refleksinya pada “mengapa harus terjadinya” (know-why).45

Dengan hampiran yang demikian inilah, filsafat kerap disebut “ilmu dalam pangkat

kedua” (a second-level science).46

Artinya, filsafat tidak mengkaji apa yang hanya

merupakan fakta konkret, tapi lebih pada apa yang ada di balik fakta yang konkret.

Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan pengembangan kajian filsafat

kepada model penelitian lapangan, maka dalam konteks lapangan, objek material

43

Christ Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu; Telaah atas Cara Kerja Ilmu-

Ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 93. 44

Anton Bakker, Ontologi atau Metafisika Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1992),

hlm. 18-19. Lihat juga Anton Bakker, Kosmologi & Ekologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1995),

hlm. 27. 45

Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli,

(Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. v. 46

Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,

(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 35

Page 18: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

18

penelitian filsafat bisa difokuskan pada penyelidikan pandangan hidup atau

pandangan dunia yang mendasari seluruh kebudayaan dalam suatu kelompok, daerah,

suku, bangsa, atau negara. Mungkin juga yang diselidiki adalah pandangan dasar

yang melatarbelakangi salah satu fenomena penting, seperti kehidupan berkeluarga,

sistem pendidikan, pola-pola upacara adat.47

Pandangan dunia atau pandangan dasar

pada salah satu fenomena itu tidak hanya dilihat sebagai data sosiologis atau

antropologis melainkan sebagai keyakinan tentang struktur dan kaidah yang mengatur

seluruh hidup mereka dan menyangkut hakikat manusia, dunia dan Tuhan. Dalam

konteks ini, Magnis-Suseno mengajukan beberapa contoh fokus penelitian filsafat

tentang pandangan dunia, sebagai berikut:

Adakah “benang merah” dalam penilaian-penilaian dan norma-norma yang

menjadi pedoman hidup orang … Apakah yang mendasari pandangan-

pandangan [tersebut] ….48

Dengan meneliti konsep dasar yang meresapi seluruh hidup suatu kelompok

yang berbudaya atau salah satu fenomenanya yang sentral, dipahami juga apa yang

pada umumnya menghidupkan suatu kelompok atau bangsa dan memberikan

stabilitas dan identitas kepadanya.

Untuk meneliti pandangan dunia yang sifatnya masih implisit di dalam diri

individu-individu dari subjek yang ingin diteliti, maka penelitian filsafat di tingkat

pengumpulan data tidak jauh berbeda dari penelitian sosiologi ataupun antropologi.

Namun demikian, bagi penelitian sosiologi ataupun antropologi, pengumpulan data

dan kerja lapangan merupakan pokok penelitian itu sendiri, sedangkan bagi penelitian

filsafat data-data lapangan hanya merupakan “bahan material” bagi peneliti filsafat

untuk mengadakan refleksi menurut keahliannya sendiri dengan mempergunakan

unsur-unsur metodis yang sesuai. Oleh karena data-data lapangan hanya merupakan

“bahan material”, maka boleh jadi seorang peneliti filsafat hanya mengumpulkan

47

Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,

(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 91. 48

Franz Magnis-Suseno, Javanese Ethics and World-View: The Javanese Idea of the

Good Life. (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 1.

Page 19: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

19

hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh ahli-ahli sosiologi atau

antropologi.49

Dengan demikian, tidak heran jika Magnis-Suseno dalam karya monumental

Javanese Ethics and World-View: The Javanese Idea of the Good Life memberi

batasan kerangka kerja penelitian filsafat lapangan sebagai berikut:

… this investigation is not based on any field studied by the author, but rather

on a review of anthropological and sociological literature about … society.

My only contribution lies in the choice, weighting, and interpretating of the

data.50

Dengan mengaca kepada berbagai perkembangan kajian filsafat dan agama di

era kontemporer saat ini, tentunya, sudah seharusnya saat ini kita menata ulang kajian

filsafat ini secara lebih kontektual dengan perkembangan zaman. Dengan mengaca

kepada perkembangan kontemporer kajian filsafat di atas, maka model

pengembangan yang ingin penulis tawarkan adalah mengarahkan kajian filsafat ke

ranah sosial-empiris dengan memfokuskan kajian pada fenomena sosial keislaman.

Selanjutnya, untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat, kajian filsafat

harus memiliki kemanfaatan di tengah-tengah masyarakat, yakni dengan memperluas

program-program kajian model extension sebagaimana yang diselenggarakan oleh

fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat

(STF) Drijarkara Jakarta dengan program extension “Etika Bisnis” dan “Etika

Politik”. Dengan demikian, dengan menyelenggarakan program-program seperti ini,

kajian-kajian filsafat menjadi lebih praktis dan operasional di tengah-tengah

masyarakat.

Penutup

Sudah saatnya kajian filsafat yang dikembangkan bukan lagi melulu

berorientasi klasik atau masa lalu dan memperkokoh kerangka berpikir “idealis-

49

Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, hlm. 94. 50

Franz Magnis-Suseno, Javanese Ethics and World-View, hlm. 5.

Page 20: Model Pengembangan Kajian Filsafat  Oleh Dr. Irfan Noor, M. hum

20

metafisik” sebagai kerangka berpikir berpikir filosofis dalam memahami Islam.

Kajian filsafat mesti kita kembangkan dengan menggagas model-model

pengembangan kajian filsafat yang lebih bersifat konstributif bagi kehidupan konkret

masyarakat secara umum agar kita bisa mengembalikan peran, fungsi, dan kedudukan

kajian filsafat itu sendiri.

Pengembangan kajian filsafat ini bisa dimulai dari usaha memperluas model-

model penelitian filsafat, yang selama ini ini lebih terfokus pada model penelitian

konsep dan model penelitian tokoh, kepada model penelitian lapangan untuk lebih

diintesifkan. Selanjutnya, untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat, kajian

filsafat harus memiliki kemanfaatan di tengah-tengah masyarakat, yakni dengan

memperluas program-program kajian model extension. Dengan menyelenggarakan

program-program seperti ini, kajian-kajian filsafat menjadi lebih praktis dan

operasional di tengah-tengah masyarakat []