model pengembangan industri gula...

188
MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT Oleh : HASAN SUDRADJAT NRP: P 062059464 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Upload: lythu

Post on 14-Jun-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA

BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh :

HASAN SUDRADJAT NRP: P 062059464

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

Page 2: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan

Partisipasi Masyarakat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing

dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, 1 Oktober 2010

Hasan Sudradjat NRP: P 062059464

Page 3: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

iii

ABSTRACT

HASAN SUDRADJAT. 2010. Model of Sustainable Sugar Industry Development Based on Clean Development Mechanism and Society Participation. Under Supervision of Rizal Syarief, Syaiful Anwar and

In the last decade, Indonesian sugar industry has been facing some inter-related problems that have caused a setback of the industries. The production has been declining with a 3.3% annual rate, due to a decrease in area and productivity. On the other hand, the consumption has been increasing with a 2.96% annual rate, leading to an increase in import of 16.5% of the total consumption per year. The declining performance of the industry has been attributed to the inappropriate government international trade and domestic support policies and inefficiency in farm and plant levels because of lack of integrated production system. In response to these problems, this study is aimed at (1) evaluating socio-economic condition and community perception, (2) evaluating environmental condition, (3) evaluating sustainability of sugar industry, (4) evaluating and formulating alternatives government policies related to international and domestic market policies and (5) building models of integrated production systems between farm and sugar plant activities through an integrated planting and harvesting schedule.

Usman Ahmad.

The methods used in achieving these objectives were an econometric of Indonesian sugar market, a compromised import tariff, and Multy-Party- Multy-Objective Model. The results of this study showed that the community have a good socio-economic condition and have a good perception. Environmental factor in sugar industry was also considered in good condition. Experiencing heavy distorted by international market through import of sugar, the policy directly affects the price at farmer level and Indonesian sugar industry more significant compared to other influencing factors. In this respects, provenue price policy is more effective than tariff-rate quota, import tariff, input subsidy, and distribution policy. Sugar cane smallholders in general are more responsive toward government policies, compared to government-owned estates, and private estates. Moreover, productivity in farm and sugar plant can be improved by developing an integrated production system through an integrated planting and harvesting schedule.

The result of this research showed that sugar industry sustainability is good enough; Sustainability analysis in 5 factors of sugar industry showed that the industry sustainability is good enough. Out of f the 5 factors, only law and institutional factor which is considered not sustainable enough, while the other 4 factors (ecology, economy, technology, social and culture) are on sustainable category. Key factor influencing sustainable sugar industry management are area susceptibility, planting period management, product marketing, society formal education, factory contribution to public, society, family atmosphere relationship of society, machine revitalization, human resource productivity, cooperation with society, organizer policy of sugar industry, and local government involved. Alternative policy of sugar industry development is implementing an extensification by observing economy as dominant factor, observing industrialist dominant actor, and improving basic commodity quality and quantity as dominant purpose.

There are three types of policy implementation suggested from this study. Firstly, Indonesian sugar industry has to increase its efficiency in all aspects of production activities. The integrated production system model developed in this study could be

Page 4: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

iv more applied in increasing efficiency in planting and harvesting schedule in a more compromised fashion. Secondly, to create a fairer playing ground, Indonesian sugar industry still needs some government supporting policies. Provenue price, tariff rate-quota, import tariff, input subsidy, are policies that can be used to achieve the goal of fairer playing ground and the industry development. Thirdly, government can stimulate minimum support if the increase in domestic consumption and efficiency is main target. Sugar industry management model had better notice area, seed, fertilizer, water, human resource, society growth, waste material management, law, and institutional.

Key words: sugar industry, sustainable, key factor, policy alternative, model.

Page 5: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

v

RINGKASAN HASAN SUDRADJAT. Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SYAIFUL ANWAR dan USMAN AHMAD sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung) maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Seperti halnya di Indonesia, konsumsi gula dunia juga terus meningkat padahal pertumbuhan produksinya tidak sebanding. konsep model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, mencoba mengaplikasikan aspek ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum – kelembaga ke sistem produksi berbasis ekologi yang didukung oleh partisipasi masyarakat. Penerapan konsep dimaksud melahirkan istilah RSSC-PC (rountable on sustainable sugarcane–principle and cryteria) yaitu suatu wacana rekayasa sosial yang diwaktu mendatang menuntut antisipasi dari industri gula nasional. Tujuan umum penelitian ini adalah membangun model pengembangan industri gula di Indonesia dalam rangka menuju swasembada di tahun 2014. Tujuan khususnya adalah mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat, mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula, menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula, menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, merumuskan skenario strategi dan kebijakan pengembangan industri gula secara holistik dipandang dari sisi politik, keamanan, kepastian hukum, kepastian berusaha, investasi, teknologi, dan arah yang perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku industri gula, peran kemitraan serta industri pendukung serta untuk mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipatif masyarakat. Metode yang digunakan adalah desk study, wawancara (pengamatan langsung), observasi, focus group discussion (FGD), multi dimension scalling (MDS) dan analysis hierarchi process (AHP).

Hasil Penelitian terhadap kondisi aktual industri gula dan stakeholdernya menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar pabrik gula mempeunyai kondisi sosial ekonomi yang baik, dan persepsi masyarakat baik terhadap industri gula maupun terhadap lingkungan cukup baik. Kondisi lingkungan di sekitar pabrik gula memperlihatkan kondisi yang cukup baik, hal ini terbukti dari beberapa parameter kualitas limbah cair dan kualitas air sungai tempat membuang limbah cair pabrik gula yang berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil analisis keberlanjutan pabrik gula juga memperlihatkan nilai yang cukup berlanjut terutama dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya serta teknologi; sedangkan dimensi hukum dan kelembagaan yang kurang berlanjut; dari tahun 2003, kondisi industri gula stagnan, yaitu jumlah pabrik masih 61 buah; produksi 2,5 juta ton dan randemen sekitar 8,3; sedangkan limbah (waste) yang berpotensi sebagai hasil samping juga masih dikelola secara konvensional. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada pengolahan industri gula diperlukan faktor pengungkit/kunci yang harus diperhatikan dan berdasarkan nilai skornya adalah berturut-turut: sosial & budaya: pendidikan formal

Page 6: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

vi masyarakat, kontribusi pabrik terhadap masyarakat, hubungan kekeluargaan warga masyarakat; ekonomi: pasar produk (tidak boleh ada distorsi), dukungan finansial belum maksimal, ekologi: luas areal dan kerentanan lahan, pengelolaan masa tanam dan limbah belum optimal, teknologi: revitalisasi mesin, produktivitas dan peningkatan kualitas sdm, hukum & kelembagaan: kerjasama dengan masyarakat, kebijakan pendorong industri gula, keterlibatan pemda dan lintas sektoral yang holistik. Alternatif kebijakan pengembangan industri gula yang utama adalah melakukan penertiban dan pemberdayaan dari sisi dimensi hukum dan kelembagaan; sedangkan lainnya memperhatikan faktor dominan seperti: revitalisasi mesin dan peralatan yaitu dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi, peningkatan produktivitas dan memperbaiki on farm, kualitas bahan baku; ekstensifikasi, dengan melibatkan pengusaha yang ada dan calon pengusaha; swastanisasi, melibatkan pengusaha. Merumuskan skenario: pengembangan industri dan perbaikan kinerja lingkungan berjalan secara simultan. perbaikan kinerja industri semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan (hukum & kelembagaan), dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal.

Sebagai bahan perbandingan bahwa produksi gula dunia menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. Sedangkan FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/08; artinya menurut FAO produksi dunia mencapai 566 juta ton, atau mengalami kenaikan 15% dari tahun lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Hal tersebut diperkirakan sekitar 60% dari panen 2008/09. Industri gula Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor yang lebih tinggi. Luas tanaman tebu di Brazil sekitar 5 juta ha, sedangkan Indonesia hanya 0,4 juta ha.

Kontribusi kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula, dapat dikategorikan sebagai industri strategis harus melibatkan lintas sektoral dengan langkah-langkah antara lain: Dimensi ekologi: melakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut, yaitu: 1) Kerentanan lahan; 2) Pengelolaan pada masa tanam 3) Peralatan produksi di lapangan dan 4) Inisitatif perluasan lahan; Dimensi ekonomi melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) Pasar produk industri gula; 2) Kemitraan dalam pemasaran; 3) Modal kerja dan sumber dana; 4) Pemanfaatan limbah; 5) Hasil produksi berupa gula pasir; 6) Ketersediaan bahan baku berupa tebu; 7) Kenaikan hasil produksi; 8) Penghasilan pekerja dan penduduk sekitar; 9) Harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjulan; dan 10) Biaya pemeliharaan mesin-mesin; Dimensi sosial melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) Penyediaan fasilitas untuk praktek kerja siswa/ mahasiswa; 2) Penyelenggaraan peringatan hari-hari besar (agama, nasional); 3) Penyediaan fasilitas sosial; 4) Penyediaan fasilitas umum; 5) Kontribusi pabrik terhadap masyarakat; 6) hubungan antar masyarakat; 7) jaringan pengaman sosial (Social safety net); 8) Tingkat penyerapan tenaga kerja; 9) Tingkat pendidikan formal masyarakat; Dimensi Teknologi: perencanaan mengantisipasi sistem global, peningkatan produktivitas SDM, kolaborasi dengan pihak luar, rencana revitalisasi mesin-mesin produksi, bahan baku untuk perbaikan, teknologi mesin pabrik, teknologi pengolahan limbah, dan tingkat penguasaan teknologi. Disamping itu harus ada: 1) Rencana revitalisasi mesin-mesin

Brazil dan Thailand berkontribusi lebih terhadap perdagangan dunia. Indonesia bila kekurangan gula mengimpor antara lain dari Brazil, Thailand dan China. Disisi lain, WTO memaksa Uni Eropa untuk mengurangi ekspor gula mereka sampai dengan 80%. Hampir 75% produksi gula dunia merupakan hasil perkebunan tebu di zona tropis yang berlokasi di bumi bagian selatan. Produsen gula tebu terkemuka yaitu Brazil, India, China, Thailand, Pakistan dan Mexico. Sisanya diproses dari gula bit yang tumbuh di daerah bersuhu dingin, di bumi bagian utara seperti Perancis, Jerman, USA, Rusia, Ukraina, dan Turki yang merupakan negara-negara produsen terbesar gula bit.

Page 7: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

vii

produksi dan 2) Peningkatan produktivitas SDM; dimensi hukum dan kelembagaan melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) kerjasama pengusaha dan masyarakat; 2) Kebijakan pendorong industri gula; 3) Keterlibatan pemerintah daerah; 4) Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah; 5) Kerjasama dengan pihak asing; 6) Status industri gula; 7) Pembinaan dan dukungan kelembagaan dan 8) Ketersediaan perangkat hukum. Dengan demikian maka sasaran dilihat dari multi dimensi yang terdiri atas revitalisasi, swastanisasi dan ekstensifikasi dapat berjalan dengan simultan. Model pengembangan pabrik gula yang disarankan di sini adalah model pengembangan pabrik gula RSSC-PC, yakni model pengembangan pabrik gula yang berpegang teguh pada prinsip aspek legal (hukum & kelembagaan), ekonomi dan teknologi, lingkungan serta sosial budaya.

Kata kunci: industri gula, industri berkelanjutan, faktor kunci, alternatif kebijakan,

pengembangan model.

Page 8: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

viii

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 9: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

ix

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh:

HASAN SUDRADJAT NRP: P 062059464

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Page 10: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

x

Penguji Luar Komisi:

Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.

2. Dr. Ir. Etty Riani MS.

Ujian Terbuka: 1. Dr. Haris Munandar, MSc.

2. Dr. Ir. A. Sutowo Latif, MS.

Page 11: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xi

Judul Disertasi : Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi

Bersih dan Partisipasi Masyarakat

Nama : Hasan Sudradjat

NIM : P062059464

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS

Anggota Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc

Anggota Dr. Ir.Usman Ahmad, MAgr

Plh. Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

DR. Drh. Hasim, DEA.

Prof. Dr Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal ujian: 3 September 2010 Tanggal lulus:

Page 12: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xii

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis ingin menyampaikan puji dan syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat

diselesaikan dengan judul Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis

Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Penulis berharap karya tersebut dapat

memberi kontribusi terhadap upaya pengembangan industri gula Indonesia.

Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis telah menerima bimbingan,

masukan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih

secara tulus dan sebesar-besarnya kepada Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief DESS, Dr. Ir.

Syaiful Anwar, MSc, Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr, selaku komisi pembimbing. Begitu

pula kepada Prof. Dr. Ir. Soerjono Hadi Sutjahjo MS selaku Ketua Program Studi dan

Dr.Ir. Etty Riani MS yang banyak memberikan bimbingan dan dukungan selama penulis

menyelesaikan studi. Selain itu, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada

keluarga, terutama ibunda Asiah, anak-anak: Milda Ramdhini, B.A, M.A di Kuenzelsau,

Jerman, Melidya Assani di Aalen, Jerman dan Ridwansyah Haryo Zamzami di Wismar,

Jerman; adik-adik: Drs Dede Suhardiman MM & keluarga, Ir. Wawan Setiawan MM &

keluarga, Drs Udin Sobarudin & keluarga, yang telah membantu dalam penyusunan,

pengolahan data serta dukungan moril sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan industri gula Indonesia.

Bekasi, 1 Oktober 2010

Hasan Sudradjat

Page 13: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Majalengka, 9 April 1958 sebagai anak pertama. dari empat

bersaudara, pasangan Haryono Wartono (Alm) dan Asiah. Pendidikan Sarjana strata

satu ditempuh di STIA-LAN lulus pada tahun 1990 dan FT Perkapalan lulus pada tahun

1998 Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1996 pada Program Studi

Marketing Management. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program

Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah

Pascasarjana IPB.

Penulis mulai bekerja pada tahun 1979 - sekarang pada Kementerian

Perindustrian.

Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Dra. Siti Asiah MM dan telah

dikaruniai tiga orang putra yakni Milda Ramdhini BA MA, Melidya Assani, dan

Ridwansyah Haryo Zamzami.

Bogor, 1 Oktober 2010

Page 14: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xiv

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xix I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 8 1.4 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 9 1.5 Kegunaan Manfaat Penelitian .......................................................... 10 1.6 Ruang lingkup dan Pembatasan Penelitian ...................................... 12 1.7 Kebaruan (Novelty) ........................................................................... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 13

2.1 Kondisi Industri Gula di Indonesia ................................................... 13 2.2 Kebijakan Industri dan Perdagangan ................................................. 14 2.3 Penelitian Terdahulu yang Terkait ................................................... 15 2.4 Kerangka Teoritis Proteksi ............................................................... 16 2.5 Kerangka Teoritis ............................................................................. 17 2.6 Pembangunan Berkelanjutan ............................................................. 18 2.7 Industri .............................................................................................. 21 2.8 Pengelolaan Lingkungan ................................................................... 25 2.9 Pencemaran ...................................................................................... 28 2.10 Analisis Kebijakan ............................................................................ 30 2.11 Model ............................................................................................... 33 2.12 Alur Proses Industri Gula .................................................................. 36 2.13 Produksi Bersih (Green Production) ................................................. 36 2.14 Partisipasi Masyarakat ....................................................................... 38

III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 47

3.1 Jenis, Sumber Data, dan Teknik Pengambilan Contoh .................... 49 3.2 Analisis data ...................................................................................... 50

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA ..................................................................... 59

4.1 Masalah yang Dihadapi Pabrik Gula di Lokasi Penelitian ............... 59 4.2 Kondisi Umum Pabrik Gula di Lokasi Penelitian ............................. 61 4.3 Gambaran Umum Industri Gula Dunia ............................................. 67 4.4 Perdagangan Gula Internasional ........................................................ 75 4.5 Gambaran Umum Industri Gula di Indonesia ................................... 76 4.6 Kebijakan Pemerintah pada Industri gula ....................................... 80 4.7 Pengembangan Industri ..................................................................... 85 4.7.1 Pasokan Bahan Baku ............................................................. 85

Page 15: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xv

4.7.2 Masalah lain di Industri Gula ................................................ 87 4.7.3 Daya Dukung Peralatan Produksi .......................................... 89

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................ 95

5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................. 95 5.2 Kualitas Lingkungan ......................................................................... 111 5.3 Analisis Kebijakan ............................................................................. 116 5.31 Indeks Keberlanjutan Industri Gula ....................................... 116 5.8.2 Analysis Hierarki Process ..................................................... 138 5.4 Skenario Pengelolaan Industri Gula .................................................. 144 5.5 Model Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan .............. 150 5.6 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan ....................................................................................... 155 5.7 Pembahasan Umum ........................................................................... 158 5.8 Implikasi Kebijakan .......................................................................... 167

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 168

6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 168 6.2 Saran ................................................................................................. 169

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 170 LAMPIRAN ....................................................................................................... 179

Page 16: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xvi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004 ........................... 14 2 Skala banding secara berpasangan dalam AHP ......................................... 56 3 Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh ............................................. 67 4 5 Produsen gula terkemuka dunia ............................................... ................. 74

Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton) ............................................ 68

6 Produsen gula terkemuka dunia yang mengekspor .......................... ......... 75 7 Luas areal tebu per perusahaan ............................................... ................. 77 8 Dukungan teknis di setiap pabrik gula .............................................. ........ 93 9 Usia responden di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, Majalengka . ............... 96 10 Hasil analisa kualitas air badan air sebelum opersional pabrik .................. 111 11 Hasil analisa kualitas air badan air setelah operasional pabrik ................. 111 12 Hasil pengukuran kedalaman air tanah ............................................... ...... 111 13 Hasil analisa kualitas air bersih penduduk sekitar Pabrik Gula Jatitujuh ..................................................................................................... 112 14 Hasil analisa kualitas udara............................................... ........................ 113 15 Hasil pengukuran kebisingan di afdeling (kebun) dan Pabrik Gula Jati Tujuh .................................................................................................... 114 16 Hasil analisis Rap-Berinla untuk beberapa parameter statistic ................. 130 17 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi

dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%. .................... 133 18 Faktor strategis parameter kunci pengelolaan dan kondisi masa depannya ..................................................................................................... 141 19 Kondisi incompatible antar keadaan dari faktor-faktor penting tersebut

dalam pengelolaan industri gula ............................................... ................. 142 20 Skenario kebijakan pengeloaan industri gula ............................................ 143

Page 17: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xvii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Perumusan masalah industri gula nasional ...................................... 4 2 Kerangka pikir model pengembangan industri gula berkelanjutan

berbasis produksi bersih & partisipasi masyarakat .........................

11 3 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan .................................. 19 4 Alur proses industri pengolahan tebu menjadi gula ........................ 36 5 Pengolahan produk turunan industri gula (limbah) dan

pemanfaatannya........................................................................ ..........

38 6. Ilustrasi indeks keberlanjutan (jika lima dimensi) setiap faktor

mempunyai kepentingan/konstribusi ...............................................

52 7. Tahapan analisis dengan aplikasi modifikasi rap-fish menggunakan

MDS ..................................................................................................

53 8. Struktur hirarki limbah industri gula ................................................. 54 9. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula ................. 55 10. Contoh sintesa prioritas pemecahan masalah ................................... 55 11 Bagan mekanisme pelaksanaan program bantuan pembiayaan

pembelian mesin peralatan pabrik gula...............................................

81 12 Asal responden .................................................................................. 95 13 Persentase responden berdasarkan jenis kelaminnya ........................ 97 14 Tingkat pendidikan formal responden ............................................... 98 15 Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan anak ......................... 98 16 Kondisi transportasi di sekitar pabrik gula ........................................ 99 17 Keterkaitan masyarakat dengan pabrik gula ...................................... 100 18 Kesempatan masyarakat berpartisipasi pabrik gula ........................... 100 19 Dampak positif terhadap masyarakat ................................................. 101 20 Pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pabrik

gula .....................................................................................................

102 21 Kepemilikan lahan tebu (oleh masyarakat) ........................................ 103 22 Penyiapan bibit tebu oleh pabrik gula ................................................ 103 23 Limbah pabrik yang dapat dimanfaatkan kembali ............................ 104 24 Penghasilan rata-rata per bulan yang berasal dari limbah industri

gula .....................................................................................................

104 25 Pemahaman masyarakat terhadap program produksi bersih .............. 106 26 Pengetahuan masyarakat terhadap bantuan sosial pabrik gula .......... 107 27 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi ekologi ..................................................................................

117 28 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk

perubahan RMS ikB-berinla ..............................................................

118 29 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi ekonomi ...............................................................................

119 30 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan RMS ikB-berinla ...................................................

120 31 Analisis Rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks dimensi sosial

budaya ............................................................................................

123 32 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam

Page 18: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xviii

bentuk perubahan RMS ikB-berinla .................................................. 124 33 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi teknologi ......................................................

126 34 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan RMS ikB-berinla .......................

127 35 Analisis Rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi hukum dan kelembagaan ......................................................

128 36 Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang

dinyatakan dalam bentuk RMS ikB-Berinla ......................................

129 37 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan industri

gula .....................................................................................................

131 38 Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula .................. 134 39 Urutan prioritas faktor dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan .....................................................................................

135 40 Urutan prioritas aktor dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan .....................................................................................

136 41 Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan .....................................................................................

137 42 Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan .....................................................................................

138 43. Model pengelolaan pabrik gula berwawasan lingkungan ................. 145

Page 19: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Jenis limbah yang bernilai ekonomi................................................. 181 2 Daftar alamat, nomor telepon dan faximile pabrik gula .................. 184 3 Contoh klasifikasi mesin peralatan industri gula 250 TCD (ton can

day) ..................................................................................................

189 4 Tingkat komponen dalam negeri .... 194 ................................................. 5 Gambaran umum industri gula nasional ......................................... 205 6. Hasil perhitungan melalui program komputer (AHP, MDS dan lain-

lain) ........................................................................ ..........................

214

Page 20: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan beriklim tropis

serta memiliki dua musim dalam setahun, yaitu musim penghujan dan musim kemarau,

dengan penyinaran matahari sepanjang tahun. Kondisi ini merupakan cerminan bahwa

Indonesia merupakan negara yang subur dan kaya dengan sumberdaya alam.

Kondisi lahan yang subur, iklim serta penyinaran matahari yang mendukung

untuk segala jenis tanaman, menjadikan Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar

untuk membangun dan mengembangkan industri agro (agro base industries). Industri

agro ini diartikan sebagai industri yang mengolah hasil tanaman (agro) seperti hasil

pertanian, hasil hutan dan hasil perkebunan, atau dengan kata lain merupakan kelompok

industri pengolahan.

Salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai potensi besar untuk diolah

sebagai bahan baku industri (industri agro) ialah tebu (Sacharum officinarum). Tebu

mempunyai beberapa nama dalam beberapa bahasa lokal yakni tebu, rosan (Jawa), tiwu

(Sunda), tebhu (Madura), isepan (Bali), teubee (Aceh), tewu (Nias, Flores), atihu

(Ambon), tepu (Timor); dalam Bahasa Inggris yaitu sugar cane. Tebu merupakan bahan

baku industri gula putih (white sugar) yang sering disebut sebagai gula pasir.

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk

dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar.

Konsumsi yang besar ini antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung)

maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Dari tahun ke

tahun, konsumsi gula ini cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah

penduduk dan pertumbuhan industri makanan dan minuman.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2009 kebutuhan atau konsumsi gula nasional untuk

industri makanan dan minuman, dan untuk rumah tangga mencapai 4,85 juta ton.

Sayangnya kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi sekitar setengahnya saja (55%) oleh

industri gula nasional, sedangkan sisanya dipenuhi dengan mengimpor gula dari negara

lain.

Seperti halnya di Indonesia, konsumsi gula dunia juga terus meningkat padahal

pertumbuhan produksinya belum sebanding. Pada periode tahun 2004/2005 produksi

gula mengalami defisit sekitar 3 juta ton, karena kebutuhan gula dunia meningkat

Page 21: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

2

sebesar 1,3% atau mancapai 145,1 juta ton pada tahun 2005, sedangkan produksi hanya

meningkat 1% atau 142,5 juta ton pada tahun yang sama. Sedangkan p

Selain adanya permasalahan rendemen yang kurang dari sembilan, industri gula

juga mengeluarkan limbah yang dapat mencemari lingkungan, untuk itu maka harus

dicari jalan keluar dari masalah tersebut. Berbagai upaya untuk melakukan pengolahan

sisa produksi (limbah) pabrik gula menjadi komoditi yang bermanfaat dapat

dilaksanakan, mengingat diantara limbah yang dikeluarkan ini, limbah dari industri gula

dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Pada dasarnya industri gula sudah

melakukan berbagai upaya produksi bersih clean development mechanism (CDM)

seperti melakukan pemanfaatan pucuk dan daun tebu untuk makanan ternak,

pemanfaatan ampas menjadi bahan bakar, particle board, pulp selulosa, dan funtural,

pemanfaatan nira sebagai blotong, molase, dan gula. Namun demikian pemanfaatan

bahan-bahan tersebut belum cukup beragam dan masih memberikan nilai tambah yang

relative rendah, sebagai contoh pemanfaatan nira hanya terbatas untuk blotong, molase,

dan gula; padahal nira dapat pula dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti untuk

bahan baku semen, bahan cat, pupuk, mancori cement; (molase) sebagai gula cair, L-

lysin, asam glutamat, asam organik, bahan kimia, atau untuk membuat protein sel

tunggal dan bahan obat-obatan (kanker). Jika hal ini dapat dilakukan, maka bukan saja

akan dapat meminimalkan pencemaran dan mengurangi degradasi lingkungan karena

telah melakukan clean development mechanism (CDM), namun juga akan memberikan

keuntungan ekonomi tersendiri bagi perusahaan, sekaligus akan mengurangi

pengangguran karena dalam pengolahan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomi

roduksi dunia

gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. FAO telah merevisi perkiraan

158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November

2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/2008.

Keadaan industri gula di Indonesia mengalami masa kejayaan pada tahun 1930-

an, saat itu jumlah pabrik gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik gula (PG),

produktivitas 14,8 persen dan rendemennya 11-13,8 persen, ekspor gula mencapai 2,4

juta ton dengan jumlah produksi puncak mencapai 3 juta ton pertahun (Sudana et al.,

2000). Namun sejak saat itu keadaan industri gula nasional terus menurun

kemampuannya hingga akhirnya tidak dapat/mampu lagi memenuhi kebutuhannya

sendiri (kebutuhan nasional), akibatnya untuk memenuhi kebutuhan nasional harus

dilakukan dengan mengimpor gula dari negara lain.

Page 22: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

3

akan menyerap cukup banyak tenaga kerja, sekaligus melibatkan masyarakat dalam

industri gula tersebut (partisipasi). Namun di lain pihak industri gula juga menghasilkan

limbah cair yang mengakibatkan tercemarnya perairan, serta mengakibatkan

tercemarnya udara dan kebisingan (Laporan AMDAL Pabrik Gula Jati Tujuh, 2007).

Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula seharusnya melakukan produksi bersih,

yakni melakukan berbagai upaya mulai dari awal, dalam proses, hingga di akhir.

Produksi bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan

terpadu, yang perlu diterapkan secara terus-menerus (sustainable) pada proses

produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia

dan lingkungan, sehingga tidak mencemari lingkungan.

Industri gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk

meningkatkan daya saing, meningkatkan keuntungan dan sebagainya, namun hingga

saat ini belum pernah ada yang memotret apakah industri gula sudah berlanjut atau

belum. Industri gula juga belum berperan optimal dalam menunjang kesejahteraan

masyarakat di sekitarnya dan bagi kegiatan pembangunan di wilayahnya. Selain itu juga

belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat meningkatkan

keberlanjutan pabrik gula; serta belum ada yang membuat kajian, alternatif apa yang

terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut, serta skenario apa yang dapat

membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara

sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat

menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat menciptakan industri

gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan

hal tersebut, kiranya diperlukan penelitian mengenai model pengembangan industri gula

berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Industri gula pada umumnya mengalami masalah yang sangat kompleks,

disebabkan antara lain (Gambar 1):

a. Budi Daya Tanam Sub Optimal

Usaha tani yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya dilakukan secara

profesional. Banyak lahan-lahan yang ditanami tebu tetapi tingkat budidayanya belum

bertitik tolak pada yang seharusnya, seperti: pemilihan bibit yang kurang disesuaikan

habitat tanah, pemupukan yang belum tepat baik jenis maupun kuantitasnya, penyiangan

Page 23: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

4

yang juga kurang tepat. Lahan-lahan irigasi untuk persawahan yang dipaksakan

ditanami tebu, sehingga hasilnya kurang optimal (Suntoro dan Sudaryanto, 1996).

Peralatan Limbah Budi Daya Jadwal Tanam, Produksi tidak Tanam Jadwal Tebang Tidak Efisien dioptimalkan Sub Optimal Kurang Tepat Rendemen Rendah Produksi Rendah Kemitraan yang Artifisial Luas Areal Berkurang Distorsi Pasar

Kapasitas Kurang Memadai Kemitraan masyarakat berkurang Harga relatif fluktuatif Produktivitas Tidak Optimal

POTENSI DAMPAK UMUM LINGKUNGAN

Peningkatan Impor Gula Limbah Tidak Dimanfatkan Penurunan Daya Tahan Ekonomi Mengganggu Lingkungan Inflasi Potensi Ekonomi ”stagnan” Penurunan Penyerapan Tenaga Kerja Industri Pendukung tidak optimal

Gambar 1 Perumusan masalah industri gula nasional

Kebijakan Sub Optimal Perbankan Perpajakan Iklim Usaha

Kebutuhan Meningkat

Impor

Page 24: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

5

b. Jadwal Tanam dan Jadwal Tebang Kurang Tepat

Hingga saat ini para petani tebu, belum sepenuhnya diajak berfikir ke arah

industrialisasi gula. Padahal sejak perencanaan sampai evaluasi tentang kinerja pabrik

seharusnya sudah melibatkan sekaligus membudidayakan serta memberdayakan para

petani, bukan hanya petani penggarap. Penentuan jadwal tanam dan jadwal tebang

seringkali hanya batas naluri dan kebiasaan, tidak atas dasar kebutuhan para pelaku

industri yang langsung memproses bahan baku. Dengan demikian pada gilirannya hanya

dihasilkan gula giling dengan kualitas belum optimal (Wuryanto, 2000; Murdiyatmo,

2000).

c. Peralatan Produksi Tidak Efisien

Sebagian besar industri gula di Indonesia dibuat pada zaman penjajahan

Belanda, dengan umur rata-rata diatas 50 tahun. Peralatan produksinya masih kuno,

sehingga menurut asosiasi industri gula, tingkat efisiensinya hanya 25%. Namun jika

teknologinya diperbaharui maka diperlukan investasi yang sangat besar. Di sisi lain,

keuntungan (profit margin) yang selama ini diperoleh hanya cukup untuk biaya

operasional. Sehingga untuk pembaharuan mesin-mesin produksi sangat memerlukan

inovasi dan keuangan yang cukup tinggi (Wuryanto. 2000; Arifin 2000; Murdiyatmo,

2000).

d. Kebijakan Sub Optimal

Kebijakan yang mendukung industri gula bersifat sub optimal dan relatif belum

mendukung industri. Adapun kebijakan yang ada adalah SK Menperindag No.

25/MPP/Kep/1/1998 yang mengakhiri peran BULOG dalam penstabilan harga membuat

harga gula di pasar menjadi sangat fluktuatif, mengingat impor oleh para pedagang gula

sangat berpengaruh terhadap gula produksi dalam negeri. Para importir berlomba-lomba

mendatangkan gula dengan harga yang lebih murah dibanding produk lokal. Namun

dengan pembatasan jumlah importir sesuai dengan SK Menperindag No.

643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002, jumlah importir dibatasi sehingga

kontrol terhadap pemasukan gula dapat dilakukan dengan efektif. SK Menperindag No.

594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor sebagai

Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Gula Impor. Kondisi yang sama juga

terjadi pada dukungan finansial (Soentoro et al., 1999, Adisasmito, 1998, Sudana et al.,

2000).

Page 25: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

6

e. Luas Areal Berkurang

Jumlah areal cenderung berkurang terus sebagai akibat konversi lahan bagi

kegiatan diluar kegiatan pertanian seperti untuk industri, perhotelan, perumahan, dan

pariwisata sebagai contoh tahun 1993 luasnya 421.000 hektar, saat ini hanya 350.000

hektar. Menurut Adisasmito et al. (1998) dan Syaefullah et al. (1999) luas lahan

idealnya 450.000 hektar.

f. Kapasitas Kurang Memadai

Produktivitas tebu lahan tegalan rata-rata 54,4 ton tebu per hektar, sedangkan

lahan irigasi mencapai 78,9 ton tebu per hektar dan peralatan produksi yang sudah tua,

membuat kapasitas produksi menjadi sangat kurang memadai. Di sisi lain, dengan

pertambahan penduduk yang kian meningkat maka kebutuhan gula, baik untuk

dikonsumsi langsung maupun untuk industri makanan juga akan meningkat; oleh karena

itu maka pemenuhan kebutuhan gula akan semakin keteteran. Agar dapat mencapai

jumlah tonase yang diperlukan yang selama ini berproduksi sedikitnya dibutuhkan 4

buah pabrik baru lagi dengan kapasitas 12.000 ton tebu perhari. (Adisasmito et al., 1998

dan Woeryanto. 2000).

g. Adanya Distorsi Pasar (Impor)

Sebagai akibat produkstivitas industri dalam negeri jauh lebih rendah dari

permintaan terhadap komoditi gula, maka dilakukan impor. Produksi dalam negeri pada

tahun 2006 sebesar 1,45 juta ton, sedangkan impor gula 1,6 juta ton berupa gula putih

dan gula rafinasi (raw sugar) mencapai 400.000 ton. Harga gula dipasaran sekitar Rp.

5.600,- sampai Rp. 6.500,- per kg. Gula rafinasi Rp. 3.500,- per kg, namun harga aslinya

berkisar Rp. 2.200 – 2.800,- per kg. Padahal masyarakat tidak mau tahu apakah produk

lokal (gula putih) ataukah gula rafinasi, yang penting harganya murah. Dengan

demikian maka akan terjadi distorsi harga, dan yang terkena dampak malah para petani

itu sendiri (Suntoro et al., 1999 dan Adisasmito, 1998).

h. Kebutuhan Meningkat

Kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung

terjadi peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli

masyarakat, sehingga memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dengan

kenaikan mencapai 2,96%. Kebutuhan ini tidak sejalan dengan produksi yang

mengalami penurunan sebesar 6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002).

i. Limbah yang Belum Dioptimalkan Secara Ekonomis

Page 26: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

7

Secara agregat ada dua jenis limbah yang saat ini belum diproses lebih kearah

nilai ekonomi yang lebih tinggi (Koentardi, Jawa Manis, 2006). Di lain pihak jika

limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, juga akan dapat menarik masyarakat

untuk terlibat dalam pengolahan limbah industri gula tersebut

j. Kemitraan/Partisipasi Tidak Berdasarkan Prinsip Bisnis

Banyak pihak yang terlibat dalam penyediaan bahan baku industri gula

konvensional (tebu), seperti petani, penyedia pupuk, perbankan, instansi pemerintah

terkait (pemangku kepentingan) dan penggarap tanah. Kemitraan yang dibangun tidak

melembaga sebagai mitra bisnis yang lestari, dan tidak dijalankan atas dasar saling

menguntungkan secara berkelanjutan, sehingga hanya sekedar menguntungkan dalam

kurun waktu beberapa kali waktu panen (Gumbira – Sa’id, 2001). Selain itu partisipasi

masyarakat belum terlalu baik, padahal menurut Purnaningsih dalam Sitorus (1994)

prinsip kemitraan/partisipasi masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang

lemah dalam berbagai aspek seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek

kelembagaan.

k. Penerapan Produksi Bersih (Green Production) Belum Optimal

Peralatan produksi industri gula yang digunakan saat ini adalah peralatan yang

telah ada sejak zaman Belanda, sehingga tingkat produkstifitas rata-ratanya hanya

±25%. Untuk memenuhi demand gula bagi industri dan masyarakat luas, setiap

kerusakan pada umumnya hanya tambal sulam. Itupun tidak mengubah percepatan dan

efisiensi produksi secara keseluruhan. Idealnya peralatan produksi yang digunakan

harus yang bersifat ”electrical system” produksi bersih (green production).

Dalam beberapa hal industri gula sudah menerapkan produksi bersih dengan

cara memanfaatkan kembali limbah yang dihasilkannya, namun produksi bersih yang

dilakukan masih belum optimal, sehingga belum dapat membantu mensejahterakan

masyarakat sekitar yang seyogyanya dapat memanfaatkan limbah tersebut untuk diolah

menjadi produk yang bernilai ekonomis.

Namun demikian kiranya masalah yang paling mendesak untuk dipecahkan saat

ini adalah:

1. Bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat di sekitar pabrik

(industri) gula

2. Bagaimana kondisi kualitas lingkungan pabrik (industri) gula

Page 27: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

8

3. Seperti apa keberlanjutan industri gula dan apa faktor pengungkit (parameter apa

yang paling dominan) yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan

dalam pengelolaan industri gula.

4. Alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang,

seperti apa yang akan membuat industri gula yang keberlanjutan berbasis produksi

bersih dan partisipasi masyarakat

5. Skenario apa yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara

ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan

dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan,

6. Model pengembangan industri gula seperti apa yang dapat menciptakan industri gula

yang transparan dan dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengembangan

industri gula yang berbasis produksi bersih dengan memanfaatkan limbahnya, dan

partisipasi dengan cara melibatkan masyarakat sekitar pabrik untuk ikut serta

mengembangkan dan mengelola industri gula dan limbah yang dihasilkannya. Guna

mencapai tujuan utama tersebut, ada beberapa tahapan penelitian dan sub tujuan yang

perlu dilakukan, antara lain:

1. Mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat

2. Mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula

3. Menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang

harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri

gula.

4. Menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang

akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

5. Merumuskan skenario strategi dan kebijakan pengembangan industri gula secara

holistik dipandang dari sisi politik, keamanan, kepastian hukum, kepastian

berusaha, investasi, teknologi, dan arah yang perlu ditempuh oleh pemerintah

maupun para pelaku industri gula, peran kemitraan serta industri pendukung.

Page 28: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

9

6. Mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat

menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

1.4 Kerangka Pikir

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang mempunyai nilai strategis

yang sudah melakukan produksi bersih dengan cara memanfaatkan limbahnya walau

masih terbatas pada pucuk dan daun untuk makanan ternak, niranya yang hanya

digunakan sebagai blotong, molase, dan gula dan belum dideversivikasi lebih lanjut

menjadi bahan yang lebih komersial. Ampasnya juga masih dimanfaatkan terbatas

yakni sebagai bahan bakar, particle board, makanan ternak, pulp selulosa, funtural.

Oleh karena itu maka industri gula harusnya dapat menjadi industri terpadu (in-house

production) untuk memperoleh keberagaman komoditi dan mempunyai nilai tambah

yang sangat signifikan.

Dalam rangka mencapai kondisi ideal (industri terpadu) tersebut perlu dukungan

dari berbagai sektor seperti hukum, politik, sosial budaya budaya budaya, ekonomi,

keamanan, teknologi produksi, sumber daya manusia yang handal, skala produksi yang

cukup, permodalan yang dipenuhi, dan sebagainya. Jika kondisi ideal tercapai, sudah

barang tentu akan memperkecil ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan

devisa, nilai usaha menjadi meningkat, industri pendukung (industri permesinan,

industri logam) menjadi tumbuh, pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat

konsumen, dan yang lebih penting yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani

maupun pada industri gula itu sendiri.

Keuntungan lain secara makro jika dapat mencapai kondisi industri gula ideal

antara lain adalah dapat terjadi penguatan ekonomi lokal maupun nasional. Hal ini

terjadi karena hanya dengan memanfaatkan limbahnya saja pun sudah dapat

memperkokoh ekonomi masyarakat lokal secara keseluruhan, bahkan secara nasional

akan relatif memperkuat struktur ekonomi, karena didukung oleh ekonomi rakyat yang

menjadi tulang punggungnya. Selain itu juga akan terjadi peningkatan teknologi industri

yang dapat meningkatkan keuntungan (profit margin), sehingga diharapkan dapat

melakukan pemeliharaan dan percepatan revitalisasi mesin dan peralatan. Industri ideal

akan meningkatkan kesinambungan eksistensi industri gula asal didukung oleh modal

yang cukup kuat dan iklim usaha yang kondusif. Namun demikian untuk mencapai

Page 29: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

10

industri ideal tersebut harus didukung oleh kebijakan terpadu, tidak ”ego-sektoral”

seperti yang relatif terjadi saat ini, sehingga dapat menanggulangi permasalahan lahan

yang belum mendapat kepastian kesinambungan pertanian tebu, dari sisi perdagangan

tidak hanya melihat sisi suplai atau demand, dan ada keberpihakan dari perbankan,

moneter dan fiskal. Oleh karena itu maka industri gula akan menjadi kuat (ideal),

apabila terdapat keterpaduan dukungan. Selama ini sudah cukup banyak penelitian yang

dilakukan antara lain Idha Haryanto Soemodihardjo (2007) yang melakukan penelitian

tentang optimasi penggunaan lahan di daerah penghasil padi dan tebu di Jawa Timur;

Victor Siagian (1999) tentang analisis efisiensi biaya produksi gula di Indonesia;

pendekatan fungsi biaya multi-input; Ruchiyat Deni Djakapermana (2006) disain

kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Kalimantan; Eko

Sulistiyono (2006) hubungan pengelolaan air dengan produksi, kandungan gula nikotin

daun tembakau; Wayan Reda Susila (2006) pengembangan industri gula Indonesia;

analisis kebijakan dan keterpaduan sistem produksi, dan sebagainya. Namun demikian

penelitian tentang model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi

bersih dan partisipasi masyarakat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu maka harus

segera dilakukan penelitian tersebut di atas. Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

1.5 Kegunaan/Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat penelitian diharapkan memberikan manfaat antara lain:

1. Bagi pemerintah dapat dijadikan salah satu acuan bagaimana mengambil kebijakan

secara terpadu mulai dari hulu (lahan, irigasi, penyediaan bibit, bahan baku), antara

(teknologi produksi, ekonomi, perbankan, fiskal), hilir (perdagangan) khususnya

bagi penguatan serta pengembangan industri gula di dalam negeri.

2. Untuk para pelaku industri, agar dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan

memanfaatkan faktor pengungkit yang perlu ditingkatkan kembali sehingga

industri gula akan berkelanjutan secara ekonomi, ekologi, sosial budaya budaya,

teknologi, hukum dan kelembagaan

3. Sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

perencanaan produksi melalui teknologi industri yang berwawasan serta wacana

lingkungan hidup yang progresif.

Page 30: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

11

HUKUM & KELEMBAGAAN

POLITIK SOSIAL BUDAYA

EKONOMI KEAMANAN

KEBIJAKAN TERPADU Gambar 2. Kerangka pikir model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

PEMBANGUNAN EKONOMI

INDUSTRI GULA UTUH/KONVENSIONAL

INDUSTRI GULA RAFINASI

NILAI STRATEGIS

TEKNOLOGI PRODUKSI

PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI

PROGRAM PEMANFAATAN BERBASIS EKONOMI

Masalah: • Modal Kerja • SdM • Teknologi • Produksi • Skala

Ekonomi

Memperkecil Ketergan- tungan thd

LN

Nilai ”margin”

Meningkat

Kelestarian Lingku-

ngan

Industri Pendukung

Kuat

Penberda-yaan

Masya- rakat/

Partisipasi

Penghe- matan Devisa

EKSISTENSI INDUSTRI

GULA

PENINGKATAN TEKNOLOGI

INDUSTRI

PENGUATAN EKONOMI LOKAL &

NASIONAL

PARTISIPASI MASYARAKAT

Page 31: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

12

1.6 Ruang Lingkup dan Pembatasan Penelitian

Mengingat luasnya penelitian, maka ruang lingkup yang akan dilakukan adalah:

1. Mencari gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat

2. Mencari gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula

3. Melihat keberlanjutan dari industri gula yang menjadi objek dan mencari parameter

yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pasbrik gula

4. Mencari alternatif yang terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut

dengan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

5. Mencari skenario yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara

ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman,

berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan

6. Mencari model pengembangan industri gula yang transparan, berwawasan

lingkungan dan berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya,

teknologi dan kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan

partisipasi masyarakat.

1.7 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini dapat disampaikan beberapa kemajuan

(advantage) yaitu dari sisi pendekatan kebijakan, dari sisi pendekatan teknologi yang

dipakai, dari segi finansial (modal kerja, fiskal, moneter), dari sudut proses produksi

(pemanfaatan limbah untuk suatu komoditi bernilai ekonomis).

1. Kebaruan dari pendekatan kebijakan, merupakan konsep baru dimana pemangku

kepentingan (stakeholder, termasuk kemitraan masyarakat) saling mendukung

terhadap keberadaan industri gula di dalam negeri.

2. Model pengembangan industri gula RSSC - PC (roundtable on sustainable sugar

cane – princip and criteria) yang transparan, berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan

kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

3. Membantu memecahkan masalah dari sisi ekologi, ekonomi, sosial budaya,

teknologi dan kelembagaan serta hukum, dalam rangka pengembangan industri gula

yang berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

Page 32: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tebu merupakan bahan baku industri gula. Dilihat dari aspek agronomis tebu

merupakan tanaman perkebunan/industri berupa rumput tahunan. Tanaman ini

merupakan komoditi penting karena di dalam batangnya terkandung 20% cairan gula.

Tanaman ini mungkin berasal dari India, tetapi mungkin juga berasal dari Irian karena

disana ditemukan tanaman liar tebu. Di Jawa Barat tebu dikenal dengan nama tiwu

sejak 400 tahun yang lalu. Adapun klasifikasi tanaman tebu adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Keluarga : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum

2.1 Kondisi Industri Gula di Indonesia

Walaupun Indonesia dulu mengalami kejayaan dalam bidang industri gula sejak

masa kolonial Belanda, tetapi saat ini mengalami kemunduran yang cukup tragis dimana

jumlah pabrik menurun dan peralatan produksi yang hanya dapat bertahan (belum dapat

dikembangkan secara proporsional). Padahal kebutuhan gula justru dari tahun ke tahun

selalu meningkat. Pengalihan areal/lahan pertanian tebu menjadi konversi lain semakin

kuat yang salah satunya dari kebijakan ketahanan pangan (Sudana et al., 2000). Industri

perumahan, juga semakin mengurangi luasan areal tanaman tebu dimana 65% menjadi

berubah fungsi (Sumaryanto et al.,1995)

Di sisi lain periode tahun 2004/2005 merupakan periode yang cukup

menggembirakan bagi industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode

tersebut, rata-rata harga gula mencapai US $ 261,92./ton untuk white sugar dan

US$193,78/ton untuk raw sugar, atau meningkat sekitar 9,8 % untuk white sugar dan

24 % untuk raw sugar dari rata-rata harga tahun 2003/04. Hal ini disebabkan pada

periode 2004/2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit

sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004/2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta

ton atau meningkat sekitar 1 % dari periode sebelumnya. Di sisi lain, konsumsi

Page 33: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

14

meningkat lebih pesat yaitu 1,3 %, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1

juta ton pada tahun 2005 (FAO dalam Susila, 2006a).

Pada tahun 2004, konsumsi gula dunia meningkat menjadi sekitar 143,3 juta ton,

atau meningkat sekitar 4 juta ton atau 2,9% lebih tinggi dari periode tahun 2003.

Peningkatan konsumsi terutama bersumber dari kelompok negara berkembang sebagai

akibat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Di negara berkembang, konsumsi pada

tahun 2004 meningkat 3,8%, dari 91,9 juta ton pada tahun 2003 menjadi 95,4 juta ton

pada tahun 2004. Kelompok negara di Afrika diperkirakan mengalami peningkatan

produksi sebesar 5,3%. Pada negara maju, laju peningkatan konsumsi relatif marjinal

yaitu hanya sekitar 1,3%, dari 47,3 juta ton pada tahun 2003 menjadi 47,9 juta ton pada

tahun 2004. Tingkat konsumsi gula dunia pada tahun 2003-2004 disajikan pada Tabel

1.

Tabel 1. Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004

Kelompok Negara Konsumsi (juta ton) Pertumbuhan

(%) 2003 2004 Dunia 139.2 143.3 2.9 Negara Berkembang 91.9 95.4 3.8

Amerika Latin dan Karibia 24.8 25.7 3.6 Afrika 7.6 8.0 5.3 Near East 10.6 10.8 1.9 Far East 48.9 50.8 3.9 Negara Maju 47.3 47.9 1.3 Eropa 20.3 20.5 1.0 Amerika Utara 10.1 10.3 2.0 CIS 11.1 11.3 1.8 Oceania 1.4 1.4 0.0 Lainnya 4.4 4.4 0.0

Sumber : FAO dalam Susila, 2006a.

2.2 Kebijakan Industri dan Perdagangan serta Pola Distribusi Gula

Kebijakan pemerintah terhadap usaha tani padi, pencabutan subsidi pupuk,

berdampak pada produktivitas industri gula (Soentoro et al., 1999). Jaminan harga dan

ketidak pastian berusaha dalam sektor industri gula, salah satu sebab para petani tebu

dan industri gula menjadi ragu dalam melakukan usahanya (Murdiyatmo et al., 2000).

Penurunan produksi oleh industri gula nasional, otomatis diisi oleh gula impor.

Hal ini terjadi dimanapun, bukan di Indonesia saja, sehingga devisa yang harus

Page 34: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

15

dikeluarkan cukup besar. Hal ini berdampak pada ketahanan stabilitas ekonomi dan

politik (Simatupang et al., 2000)

2.3. Penelitian Terdahulu yang Terkait

Penelitian yang sudah dilakukan terdahulu yang berkaitan dengan tanaman tebu

dan industri gula dan antara lain adalah:

1. Idha Haryanto Soemodihardjo (2007): Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah

Penghasil Padi dan Tebu di Jawa Timur. Pada penelitian tersebut diuraikan

mengenai permasalahan lahan yang ditanami tebu sering tumpang tindih dengan

padi, dimana tidak ada kesinambungan penanaman tebu. Sehingga penyediaan

bahan baku berupa tebu untuk industri gula sangat tidak menentu. Walaupun

demikian, hal ini menjadi salah satu inputan dalam menelaah industri gula, dari sisi

penyediaan lahan bagi kelangsungan produktifitas industri gula

2. Victor Siagian (1999): Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia;

Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input. Penelitian ini menitik beratkan kepada

optimalisasi produksi dari sisi off farm, artinya orientasi pada mesin-mesin

pengolah di pabrik gula. Sedangkan untuk on farm (di lahan produksi), belum

mendapat sorotan yang lebih luas. Hasil penelitian inipun menjadi salah satu

rujukan dalam penentuan kebijakan untuk revitalisasi permesinan selanjutnya di

industri gula berbasis tebu.

3. Ruchiyat Deni Djakapermana (2006): Disain Kebijakan dan Strategi Dalam

Pemanfaatan Ruang Wilayah Pulau Kalimantan. Seperti kita ketahui bahwa

Kalimantan adalah Raksasa lahan yang masih tidur, belum dimanfaatkan optimal

untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas. Untuk itu agar tidak terjadi salah kelola

atau menjadi berantakan dalam peruntukkannya, maka telah dikaji pemanfaatan

lahan dari sisi tata ruang. Kondisi ini penting mengingat nilai tanah yang sangat

strategis guna kehidupan manusia dimuka bumi ini dalam penyelenggaraan

penjaminan kehidupannya yang adil, merata dan berkesinambungan. Penelitian ini

juga menjadi salah satu acuan dalam penataan ruang untuk industri gula di masa

datang

4. Wayan Reda Susila (2006): Pengembangan Industri Gula Indonesia; Analisis

Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi. Di dalam penelitian tersebut hampir

komprehensif, antara lain mengenai kebijakan pemerintah dibidang harga, impor

Page 35: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

16

dan tarifnya; pertanahan, sistem produksi. Belum dilihat secara menyeluruh tentang

pengaruh yang bisa menimbulkan dampak terhadap produktifitas; seperti

manajemen, teknologi produksi dilihat dari permesinan dan on farm itu sendiri.

2.4 Kerangka Teoritis Proteksi

Dalam rangka menjamin kelangsungan usaha maka salah satu kiat yang perlu

segera dievaluasi yaitu perlindungan/proteksi. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi

beberapa perjanjian internasional seperti AFTA dan WTO, bukan berarti serta merta

terbuka seluas-luasnya terhadap impor semua barang termasuk gula. Hal ini karena

menyangkut kehidupan masyarakat banyak (Houck, 1986).

Kebijakan perdagangan (trade policies) yang dalam hal ini menyangkut tarif

impor, selalu menimbulkan perdebatan yang satu dengan lainnya saling bertentangan.

Bila tarif impor ditinggikan, sedangkan produk gula di dalam negeri belum memenuhi

volume yang dibutuhkan; maka akan merugikan konsumen yang jumlahnya sangat

banyak. Apabila tarif impor terlalu rendah di satu sisi harga gula akan menjadi murah,

sehingga konsumen sangat diuntungkan, sisi lain yaitu produsen dan petani sangat

dirugikan karena keuntungannya sangat kecil. Hal ini sangat mengganggu gairah dalam

pergerakan dibidang agro, walaupun para petani dan pabrik gula jumlahnya sangat kecil

(+ 1,5 juta orang) dibanding jumlah konsumen yang 240 jutaan orang.

Jalan tengah yang biasa ditempuh untuk menanggulangi hal tersebut adalah

dengan pendekatan penerimaan maksimum pemerintah atau pendekatan tarif optimum.

Pendekatan tersebut bertitik tolak dari berbagai aspek dengan melihat berbagai dampak

seperti produksi, konsumsi, harga, ekspor/impor dan distribusi kesejahtraan. Dengan

demikian pendekatan surplus konsumen dan surplus produsen dapat diprediksi dan

diestimasi dengan baik.

Ada beberapa kelemahan dari pola pendekatan ini, antara lain:

1. Tidak memperhitungkan jumlah kelompok yang memperoleh dampak positif

maupun dampak negatif. Padahal hal tersebut penting bagi pemerintah dalam

rangka salah satu tawaran kebijakan.

2. Tidak memperhitungkan intensitas dari dampak kebijakan perdagangan.

Page 36: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

17

2.5 Kerangka Teoritis Lainnya

Tariff-Rate Quota (TRQ)

Adalah suatu kebijakan harga domestik melalui peraturan pengendalian impor

secara terpadu. Artinya bila impor tersebut sangat mengganggu harga produk lokal,

maka besarnya tarif terhadap kuota impor harus diberlakukan sehingga semangat

berproduksi gula maupun penyediaan bahan baku berupa tebu oleh para petani tidak

terganggu (Elbehri et al., 2000).

Banyak negara yang menggunakan instrumen kebijakan ini seperti Amerika

Serikat, Eropa Barat, China, India, Thailand (LMC, 2002; USDA, 2002 dalam Susila,

2005). Pengaturan atau kebijakan ini esensinya adalah pengenaan tarif impor

berdasarkan volume impor. Bila volume yang diimpor melebihi kuota yang telah

ditetapkan, maka tarifnya dikenakan tinggi. Sebaliknya bila impor masih dalam kuota

yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka tarifnya sesuai dengan ketentuan yang ada.

Sebagai ilustrasi bahwa Amerika Serikat pada tahun 2003 melakukan pengenaan tarif

US$ 0,625/pound pada volume quota sebesar 1,3 juta ton. Di atas volume quota tersebut

dikenakan tarif US$ 15.36/pound. Hal tersebut dalam rangka pengendalian harga dalam

negeri.

Harga Provenue

Harga provenue di sini diartikan sebagai harga di tingkat petani sama dengan

harga yang berlaku di dunia. Kondisi tersebut akan terjadi jika asuransi, transportasi dan

sebagainya dianggap nol, karena dianggap bahwa Indonesia saat ini sebagai negara kecil

dalam hal industri gula dunia (Susila, 2005)

Subsidi Input

Agar tidak bertentangan dengan peraturan internasional, maka subsidi yang

diberikan harus selektif seperti subsidi harga pupuk, subsidi harga input, subsidi suku

bunga kredit. Salah satu keuntungan pula adalah harga gula domestik tidak naik; karena

asuransi, transportasi dianggap nol (Murdiyatmo, 2000).

Produktivitas

Produktivitas dalam kajian ini adalah rasio antara input dan output. Bila output

lebih besar dari input dengan kuantiti tertentu dianggap bahwa usaha tersebut

dinyatakan sehat. Namun sebaliknya bila proses produksi mulai dari hilir sampai hulu

tidak menghasilkan angka yang diinginkan maka usaha dimaksud adalah suatu peluang

bisnis yang tidak menjanjikan. (Sitorus, 2004).

Page 37: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

18

2.6 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan

dengan konsep yang mengintegrasikan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial

budaya. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang disepakati

secara internasional pada saat dilakukan United Nation Conference On The Human

Environment di Stockholm tahun 1972. Pada pembangunan berkelanjutan selalu

diupayakan agar menjadi pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi

sekarang dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi

kebutuhannya (WCED, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataan Serageldin (1996)

yang menyatakan bahwa suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan

sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan

tersebut baik ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, maupun dari aspek sosial budaya

bersifat berkelanjutan.

Menurut Plessis (1999), pada saat awal dicanangkan pembangunan

berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan relatif hanya diarahkan untuk mengatasi

konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam dalam rangka menjawab

kebutuhan pembangunan yang berkembang. Selanjutnya disadari bahwa pembangunan

berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan

sosial budaya seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial budaya.

Komisi Burtland selanjutnya semakin memperkokoh keinginan yang harus

dicapai dalam pembangunan berkelanjutan, antara lain dalam mengintegrasikan

keselarasan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya tidak boleh kaku. Oleh

karenanya World Bank menjabarkan konsep dalam mengoperasionalkan paradigma

pembangunan berkelanjutan, dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan

berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti yang dapat dilihat pada

Gambar 3.

Page 38: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

19

EKONOMI

EfisiensiPertumbuhan

EKOLOGI

Sumberdaya alam dan lingkungan

SOSIAL

KeadilanPemerataan

§ Penanggulangan Kemiskinan

§ Pemerataan§ Kelestarian

•Kesempatan kerja

•Redistribusi pendapatan

•Resolusi konflik

•Nilai-nilai budaya•Partisipasi•Konsultasi

•Ases

men lin

gkun

gan

•Valu

asi li

ngku

ngan

• Int

erna

lisas

i

Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan

Adapun arti berkelanjutan dari setiap aspek adalah sebagai berikut:

Berkelanjutan secara ekonomi diartikan bahwa suatu kegiatan pembangunan harus

dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan

sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung

arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem,

memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk

keanekaragaman hayati.

Berkelanjutan secara sosial budaya mengandung arti bahwa suatu kegiatan

pembangunan harus dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas

sosial budaya, kohesi sosial budaya, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,

identitas sosial budaya, dan pengembangan kelembagaan, sehingga dapat menciptakan

rasa aman dan rasa berkeadilan. Hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat Roderic

dan Meppem (1997), yang mengatakan bahwa untuk mencapai status berkelanjutan

diperlukan pengelolaan terhadap (1) Keberlanjutan ekonomi yang mendukung sistem

ekologi, (2) Terdapat pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi

Page 39: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

20

sekarang dan generasi yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) Terdapat

efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya.

Menurut Mitchell (1997) terdapat dua prinsip keberlanjutan yang sangat penting

untuk digaris bawahi, yakni prinsip lingkungan/ekologi dan prinsip sosial budaya

politik. Prinsip lingkungan/ekologi, merupakan prinsip yang akan selalu berupaya

untuk melindungi sistem penunjang kehidupan, memelihara integritas ekosistem, dan

mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi

ancaman perubahan lingkungan global. Prinsip sosial budaya politik, akan

mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia di bawah daya dukung atmosfer.

Pada prinsip sosial budaya politik, juga sudah memperhatikan (mengenakan) biaya

lingkungan dari kegiatan manusia, dan memperhatikan (mengharuskan) adanya

kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang

berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Hanley (2001) mengungkapkan bahwa

pembangunan berkelanjutan sangat diperlukan terutama dalam hal mengintegrasikan

ekonomi, lingkungan sosial budaya dan etika, baik untuk skala nasional maupun skala

internasional, sehingga dapat menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi

generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu maka implementasi

konsep pembangunan berkelanjutan ini perlu diterapkan pada banyak negara. Dalam

rangka mengatasi hal tersebut, maka FAO mengembangkan indikator keberlanjutan

untuk pembangunan (wilayah) berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya,

kelembagaan, teknologi, dan aspek pertahanan keamanan.

Pada dasarnya dalam melakukan pembangunan berkelanjutan, di dalamnya pasti

akan melakukan pengelolaan lingkungan, yang dapat dikatakan merupakan hal yang

sangat dibutuhkan dalam melakukan pembangunan berkelanjutan, sekaligus

implementasi dari aspek ekologi pada pembangunan berkelanjutan. Adapun yang

dimaksud dengan pengelolaan lingkungan disini adalah pengelolaan lingkungan yang

sesuai dengan UU 23/1997 dan No. 32/2009, yakni upaya terpadu untuk melestarikan

fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,

pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan

hidup (UU PPLH No. 32/2009). Definisi ini dapat dikatakan cukup baik karena

mengartikan pengelolaan lingkungan dengan cakupan yang luas, yang tidak saja

meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses

Page 40: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

21

terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan.

Adapun ciri-ciri pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut:

1. Menjaga kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan fungsi dan

kemampuan ekosistem yang mendukung langsung maupun tidak langsung.

2. Memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dalam arti memanfaatkan

sumberdaya alam sebanyak mungkin dan teknologi pengelolaan mampu

menghasilkan secara lestari.

3. Memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lain di daerah untuk ber-kembang

bersama-sama baik dalam kurun waktu yang sama maupun berbeda secara

berkelanjutan.

4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk me-

masok sumberdaya alam, melindungi serta mendukung kehidupan secara terus

menerus.

5. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan

kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan baik sekarang maupun masa

yang akan datang.

2.7. Industri

Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku,

barang setengah jadi, atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi

untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri

(Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Industri). Pada industrialisasi lebih

mengarah pada suatu proses atau kegiatan industri yang tengah berlangsung (Soerjani et

al., 1987).

Dilaksanakannya kegiatan industri ini pada dasarnya bertujuan untuk

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan

memanfaatkan dana, sumber daya alam, atau hasil budidaya serta memperhatikan

keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari

Departemen Perindustrian (2010) yang mengatakan bahwa peran sektor industri dalam

pembangunan ekonomi bertujuan untuk memperluas kesempatan kerja, menghasilkan

barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, menghasilkan devisa melalui ekspor dan

menghemat devisa melalui substitusi produk impor. Hal ini juga terbukti dari adanya

kenyataan bahwa jika pertumbuhan industri pesat, maka akan dapat merangsang

Page 41: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

22

terjadinya pertumbuhan sektor pertanian dalam rangka menyediakan bahan baku bagi

kebutuhan industri tersebut. Menurut Arsyad (1999) selain dapat merangsang

pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan industri juga akan dapat merangsang

pengembangan sektor jasa seperti lembaga keuangan, pemasaran, perdagangan,

periklanan dan transportasi. Semua sektor jasa tersebut akan mendukung laju

pertumbuhan industri yang dapat menyebabkan meluasnya kesempatan kerja yang pada

akhimya meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Padahal terdapatnya

kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat ini menunjukkan bahwa perekonomian

tersebut mengindikasikan terjadi pertumbuhan dan sehat.

Adanya pertumbuhan ekonomi yang sehat ini mendorong setiap daerah

melakukan kegiatan industri, oleh karenanya maka dapat dimaklumi jika perkembangan

industri dewasa ini dapat dikatakan semakin pesat. Adapun faktor lain yang juga ikut

mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri antara lain adalah sebagai akibat

dari adanya penerapan kemajuan teknologi oleh manusia guna mendapatkan kualitas

hidup yang lebih baik. Di lain pihak menurut Allenby (1999) akibat dari adanya

dorongan peningkatan kesejahteraan material guna meningkatkan kualitas hidup ini

dibutuhkan barang dan jasa yang semakin banyak.

Dalam industrialisasi juga dituntut adanya sumberdaya manusia yang cukup

berkualitas, oleh karenanya maka industrialisasi selalu berkaitan dengan diadakannya

usaha-usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia serta upaya-upaya untuk

meningkatkan kemampuan SDM tersebut di atas dalam memanfaatkan sumberdaya

alam dan sumberdaya lain secara optimal. Namun di lain pihak industrialisasi juga

dapat mempengaruhi dan mengubah cara pandang masyarakat agraris seperti halnya

Indonesia, yang beranggapan bahwa sektor industri adalah sektor yang dapat

meningkatkan kesejahteraan, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, atau dengan

kata lain sektor industri merupakan sektor yang dapat mendongkrak berbagai hal sesuai

dengan keinginan semua pihak. Cara pandang masyarakat yang kurang tepat tersebut

dapat mendorong masyarakat untuk beramai-ramai melakukan urbanisasi, sehingga

masyarakat agraris yang tadinya hidup di perdesaan akan meninggalkan lahan

pertaniannya untuk kemudian berpindah ke kota industri dengan bekal keterampilan

yang kurang memadai (Allenby, 1999).

Urbanisasi masyarakat perdesaan ke perkotaan hampir sangat sulit untuk dicegah

pada era industrialisasi. Faktor penarik utamanya berupa adanya kesempatan kerja yang

Page 42: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

23

lebih baik di kota sehingga dapat meningkatkan penghasilannya, disamping

ketersediaan fasilitas yang lebih banyak dan beragam. Faktor pendorong hal tersebut

adalah kemiskinan akibat dari tidak seimbangnya pertambahan penduduk dengan

ketersediaan lahan atau tanah di desa. Adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan

hidup ini mengakibatkan mereka tanpa ada paksaan dari siapapun mereka bermigrasi

dan cenderung ke arah mendekati tempat kerjanya (industri). Namun demikian menurut

Soemarwoto (2001) selain untuk bekerja pada industri, ada diantara mereka yang dalam

tujuan migrasinya bukan untuk bekerja menjadi buruh industri, namun bertujuan untuk

melakukan kegiatan sosial budaya ekonomi di luar industri, seperti: membuka warung

dan pemondokan.

Dalam melaksanakan kegiatan industri tersebut, sudah pasti akan dilakukan

pembangunan fisik berupa pembangunan sarana dan prasarana pendukungnya. Namun

sayangnya pembangunan sarana dan prasarana tersebut seringkali masih mengabaikan

aspek lingkungan, sehingga pembangunan tersebut seringkali tanpa didukung oleh

usaha kelestarian lingkungan akan mempercepat proses kerusakan alam (Sunu, 2001).

Hal itu dapat ditandai dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terkontaminasinya

biota-biota yang ada di sekitarnya, terutama biota air yang hidup di perairan penerima

limbah cair industri, berkurangnya beberapa biota dan spesies, bahkan terjadi perubahan

morfologi dari biota tersebut, sehingga berbeda dari morfologi aslinya (Riani dan

Cordova, 2008). Selain hal tersebut, menurut Djajadiningrat (2001) industrialisasi juga

dapat mempengaruhi transformasi struktur sosial budaya, seperti urbanisasi, karena

industri yang dikembangkan bersifat padat karya.

Di sisi lain, jika terdapat suatu kegiatan industri di suatu tempat, walaupun

secara ekonomi terjadi dampak positif berupa terjadinya pertumbuhan ekonomi yang

sehat, namun di lain pihak, dapat muncul dampak negatif dari kegiatan industri tersebut.

Salah satu contoh dari dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh kegiatan industri

dan teknologi adalah terjadinya pencemaran lingkungan, baik pencemaran udara,

pencemaran air, maupun pencemaran tanah. Terjadinya pencemaran-pencemaran

tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya berbagai kerugian, seperti

lingkungan menjadi tidak sehat, mahluk hidup yang ada di dalamnya menjadi terganggu

hidup dan kehidupannya serta akan mengurangi daya dukung lingkungan (Riani dan

Cordova, 2008). Oleh karena itu maka dibutuhkan komitmen semua pihak untuk

menjaga kelestarian lingkungan agar generasi yang akan datang tidak mewarisi

Page 43: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

24

kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakan manusia saat ini dan dapat

menaikan tingkat sosial budaya ekonomi masyarakat (Soemarwoto, 2001).

Menurut Soemarwoto (2001) kualitas lingkungan yang baik akan mempunyai

potensi untuk didapatkannya kualitas hidup yang tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa

bahwa dalam menilai kualitas hidup tersebut, terdapat tiga buah kriteria yang

menunjukkan tercapai tidaknya kualitas hidup yang diinginkan. Adapun ketiga kriteria

tersebut, adalah sebagai berikut.

1. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kebutuhan ini

bersifat mutlak, didorong oleh keinginan manusia untuk menjaga kelangsungan

hidup hayatinya. Kelangsungan hidup hayati tidak hanya menyangkut dirinya,

melainkan juga masyarakat dan terutama keturunannya. Kebutuhan ini terdiri atas

udara, air, pangan. Kesempatan ini untuk mendapatkan keturunan serta

perlindungan terhadap serangan penyakit dan sesama manusia. Kebutuhan hidup ini

dalam keadaan terpaksa mengalahkan kebutuhan hidup yang lain.

2. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup ini

bersifat relatif, walaupun ada kaitan dengan kebutuhan hidup jenis pertama di atas.

Di dalam kondisi iklim Indonesia, rumah dan pakaian, bukanlah kebutuhan yang

mutlak untuk kelangsungan hidup hayati, melainkan kebutuhan untuk hidup

manusiawi. Kebutuhan hidup manusiawi yang lain adalah pendidikan, agama, seni

dan kebudayaan.

3. Derajat kebebasan untuk memilih. Dalam masyarakat yang tertib, derajat

kebebasan dibatasi oleh hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Adanya hubungan antara kualitas lingkungan dengan kualitas hidup yang diukur

berdasarkan tiga kriteria tersebut di atas, memperlihatkan bahwa pada dasarnya kualitas

lingkungan dapat diukur. Adapun yang dimaksud dengan kualitas lingkungan di sini

adalah kondisi lingkungan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar

manusia. Semakin tinggi derajat kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia, semakin tinggi pula kualitas hidup dan sebaliknya. Semakin

memburuknya kualitas lingkungan maka semakin tinggi dan berat biaya pencapaian

tujuan pembangunan yang diinginkan.

Page 44: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

25

2.8 Pengelolaan Lingkungan

Dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan, hal yang pertamakali harus

dilakukan adalah melakukan pengelolaan lingkungan, sehingga sumberdaya yang ada di

dalamnya menjadi lestari. Oleh karenanya maka untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan maka pengelolaan sumberdaya alam harus mengikuti konsep

pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan, seperti yang dinyatakan oleh Fauzy dan

Anna (2005) yang menyatakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya yang

berkelanjutan harus mengandung aspek:

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini

pemanfaatan sumberdaya alam/hutan hendaknya tidak melewati batas daya

dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama.

2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial budaya-ekonomi). Konsep ini

mengandung makna bahwa pembangunan perlu memperhatikan keberlanjutan dari

kesejahteraan pemanfaat sumberdaya pada tingkat individu.

3. Comunity sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan

dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan yang

berkelanjutan.

4. Institusional sustanability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini

keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan

administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan

berkelanjutan diatas.

Dalam hal pengelolaan lingkungan (melalui pendekatan sumberdaya alam), guna

mencapai pembangunan yang berkelanjutan, ada empat prinsip yang perlu diperhatikan,

yaitu:

1. Optimalisasi pemanfaatan sosial budaya dan ekonomi; bahwa pengembangan

sumberdaya alam harus didasarkan pada strategi yang dapat mengoptimalkan

manfaat sosial budaya dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang

dapat diperbaharui.

2. Koordinasi antar bidang sektoral; ekosistem sumberdaya alam wajib dikelola dengan

memadukan kebijakan-kebijakan sektoral, perencanaan dan strategi pengelolaan

guna mengoptimalisasi pemanfaatanya. Optimalisasi manfaat sosial budaya ekonomi

dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi yang lebih baik dalam proses

perencanaan atas kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam.

Page 45: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

26

3. Multiguna sumberdaya alam; dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya,

kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan

mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia

dan dapat diperbaharui.

4. Memperhatikan kapasitas ekosistem; pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat

bergantung pada kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam

menyediakan sumber daya guna memenuhi permintaan.

Dalam pengelolaan lingkungan kita mengenal tiga standar pengelolaan, yaitu (1)

British Standard (BS 7750): 1994 yang berlaku di Inggris; (2) Environmental

Management Audit Scheme (EMAS) yang berlaku di Uni Eropa; dan (3) ISO seri 14000

merupakan standar internasional yang menjadi sarana penting dalam perdagangan

global yang terbuka dan tidak memihak, khususnya berkaitan dengan pemberian

perlakuan yang tepat dalam penanganan masalah lingkungan (Simatupang, 1995).

Dalam hal yang berkaitan dengan perdagangan global penerapan ISO seri 14000

dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kongkrit dari implementasi dari konsep

pembangunan berkelanjutan. Bahkan Simatupang (1995) mengatakan bahwa terbitnya

ISO seri 14000 pada pertengahan 1996 merupakan babak baru dalam standarisasi

perdagangan dunia setelah diterapkan ISO seri 9000 yang dianggap cukup handal dalam

bidang sistem manajemen kualitas (QMS). Dengan demikian, standar ISO seri 14000

dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan daya saing suatu produk industri dalam

menembus pasar internasional dan sekaligus dijadikan faktor penggiat dalam

mengembangkan upaya pengelolaan lingkungan.

Standar ISO seri 14000 bertumpu pada prinsip perbaikan terus-menerus

(continous improvement) dengan membawa elemen baru bagi peningkatan manajemen

organisasi, yaitu pendekatan sistem manajemen untuk mengoptimalkan seluruh kinerja

lingkungan dan menengahi setiap kerusakan lingkungan. Penerapan ISO seri 9000

difokuskan pada kepuasan pelanggan dan persyaratan kualitas internal, sedangkan

penetapan ISO seri 14000 membuat perusahaan bukan saja mampu memuaskan

pelanggan dan masyarakat tetapi sekaligus dapat memenuhi persyaratan peraturan

lingkungan yang diberlakukan.

Pada ISO/DIS (Draft of International Standard) 14001, perbaikan terus-menerus

ini harus dapat mengoptimalkan lima bidang kegiatan dalam model sistem pengelolaan

lingkungan (EMS) yang saling berhubungan dan bersamaan, yaitu (1) peninjauan

Page 46: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

27

manajemen; (2) kebijakan lingkungan, (3) perencanaan: aspek lingkungan; aspek

hukum, persyaratan sasaran dan target; program pengelolaan lingkungan; (4)

implementasi dan operasi: struktur dan pertanggungjawaban; pelatihan dan kepatuhan;

komunikasi; dokumentasi sistem pengelolaan lingkungan; pengendalian dokumen;

pengendalian operasional; kesiapan dan reaksi pada keadaan darurat; dan (5)

pemeriksaan dan tindakan perbaikan; monitoring dan pengukuran; tanpa konfirmasi

dan tindakan korektif dan pencegahan; pencatatan; audit sistem pengelolaan lingkungan.

Sehingga dari situ akan didapatkan manfaat dari penerapan standar ISO 14001, melalui

sertifikasi (RSCC-PC), yakni pengurangan limbah.

Pemberian sertifikasi ini dilakukan setelah lembaga sertifikasi yang melakukan

penelitian atau audit proses dan dokumentasi suatu kegiatan industri tersebut telah

melihat adanya kesesuaian pelaksanaan SML (sistem manajemen lingkungan) di pabrik

tersebut dan industri tersebut telah memiliki SML yang memenuhi standar ISO 14001

dan menerapkan SML terus menerus secara aktif dalam kegiatan sehari-hari di pabrik.

Selanjutnya setelah mendapatkan sertifikat ISO, maka perusahaan tersebut harus

melakukan kegiatan SML yang ada di bawah pengawasan dengan cara dilakukan audit

di lapangan minimal 2 kali setahun oleh lembaga sertifikasi SML yang telah

memperoleh akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (Hadiwiardjo, 1997).

Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.

02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara

adalah masuk dan dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke

dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan

manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu

yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan

peruntukannya.

Adanya sertifikasi ISO 14001 ini sangat diperlukan mengingat dengan semakin

meningkatnya perkembangan industri, baik industri migas, pertanian maupun industri

non migas lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran lingkungan yang

diakibatkan oleh adanya buangan-buangan industri (Fardiaz, 1992). Oleh karenanya

maka pengelolaan lingkungan wajib dilakukan oleh suatu industri.

Page 47: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

28

2.9 Pencemaran

Menurut UU. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau

saat ini telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam

lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh

proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan

peruntukannya.

Indikator pencemaran air dapat diketahui melalui perubahan baik ditinjau dari

aspek fisika, aspek kimia maupun aspek biologi (Manahan, 2002). Secara umum

terjadinya pencemaran ini berasal dari adanya bahan buangan (limbah) baik limbah

yang dikelompokkan sebagai limbah padat, limbah organik, limbah anorganik, limbah

olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat kimia, limbah berupa

panas, dan sebaginya.

Pada industri gula seringkali dihasilkan limbah yang didominasi oleh limbah

kimia organik. Limbah yang didominasi bahan kimia organik ini seringkali

mengakibatkan terjadinya keracunan baik pada hewan air yang hidup pada perairan

yang tercemar bahan organik, maupun pada hewan darat, bahkan pada manusia yang

hidup pada lingkungan darat yang tercemar bahan organik. Atau dapat pula meracuni

manusia yang menggunakan air yang mengandung di dalamnya tercemar bahan kimia

organik tersebut (Darmono, 2001).

Menurut Sutamihardja (1982), perubahan-perubahan yang terjadi dan

mengakibatkan berubahnya kualitas lingkungan, pada umumnya/sebagian besar berasal

dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik di darat maupun di

wilayah perairan seperti di wilayah pesisir. Bahkan aktivitas manusia dapat dikatakan

merupakan sumber terbesar dari pencemaran. Oleh karena itu maka pengendaliannya

harus dilakukan dengan mengendalikan aktivitas manusia itu sendiri, di samping

pengendalian sumber-sumber pencemar yang berasal dari aktivitas alam seperti banjir,

tanah longsor dan lain-lain. Beberapa sumber pencemar yang merupakan aktivitas alam

seperti letusan gunung berapi dan angin ribut, memang sulit untuk dihindari. Ada

beberapa parameter yang sering diukur sebagai parameter pencemaran dari limbah yang

Page 48: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

29

didominasi oleh bahan organik, terutama jika limbah tersebut masuk ke dalam suatu

badan air adalah:

Nilai pH

Nilai pH adalah derajat keasaman yang terdapat pada suatu media, baik itu air

maupun tanah. Pada perairan yang menjadi tempat bermuaranya limbah cair industri,

seperti limbah cair organik yang melimpah seringkali mengakibatkan nilai pH tersebut

menurun. Penurunan pH dalam perairan pada prinsipnya dapat mengakibatkan berbagai

hal, diantaranya akan mengganggu hidup dan kehidupan biota yang terdapat di

dalamnya. Selain itu juga dapat menyebabkan penguraian karbonat dan hidroksida

sehingga meningkatkan absorpsi kation logam dari sedimen. Oleh karena itu maka

semakin rendah pH semakin banyak desorpsi logam, dan sedimen tinggi konsentrasi

logam dalam perairan. Hal ini akan berakibat pada keadaan redoks air, dan

mempengaruhi kehidupan mikroorganisme dan ikan yang hidup di dalamnya (Fardiaz,

1992).

Biological Oxygen Demand (BOD)

BOD atau kebutuhan oksigen biologis atau biological oxygen demand (BOD),

merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi

bahan organik yang terdapat pada suatu media air pada suhu dan periode waklu tertentu.

Oleh karena itu maka pengukuran BOD bertujuan untuk mengukur jumlah oksigen yang

diperlukan oleh bakteri (mikroba) guna menguraikan bahan organik dalam media cair

tersebut, melalui penguraian secara aerobik atau dengan kata lain melalui proses

oksidasi yang dilakukan oleh mikroorganisme yang terdapat pada media cair

mengandung oksigen yang cukup.

Mengingat proses penguraian bahan organik yang dilakukan oleh bakteri secara

aerobik, maka proses tersebut akan mampu menghabiskan oksigen terlarut, sehingga

berdampak pada kematian biota dan menimbulkan bau yang tidak sedap seperti telur

busuk, dan aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik tersebut akan

semakin meningkat jika berada pada suhu di atas 60°C.

Nilai BOD selain dipengaruhi oleh suhu juga dipengaruhi oleh pH media cair

tersebut. Hal ini ada kaitannya dengan kehidupan mikroorganisme yang menguraikan

bahan organik tersebut. Dalam hal ini karena organisme yang merombak bahan organik

akan menyesuaikan diri pada pH 6,5 - 8,3. BOD merupakan indikator pencemaran

organik. Oleh karena itu maka BOD merupakan indikator pencemaran organik yang

Page 49: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

30

banyak digunakan untuk menilaikualitas suatu perairan atau menilai kualitas limbah cair

atau untuk menilai kepekatan limbah. Nilai BOD juga dapat dimanfaatkan untuk

merancang sistem penanganan limbah cair secara biologis yang didasarkan pada reaksi

oksidasi.

Kimia Terlarut (COD)

Kebutuhan oksigen kimiawi atau chemical oxygen demand (COD) adalah

jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi seluruh

bahan organik secara kimiawi yang terdapat dalam suatu media cair, baik dalam

ekosistem perairan maupun dalam limbah cair. Reaksi yang terjadi pada penentuan

COD, bahan organik yang terdapat pada media cair tersebut dioksidasi dengan

menggunakan K2Cr2O7 (kalium bichromat) sebagai sumber oksigennya, sehingga

akhirnya akan terurai menjadi gas CO2 dan H2

Secara umum kebutuhan oksigen untuk keperluan penguraian bahan organik

secara kimia, akan lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan oksigen untuk

penguraian bahan organik secara biologi. Hal ini terjadi karena bahan-bahan organik

yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme, semuanya akan dapat ikut

teroksidasi dalam uji COD. Sebagai contoh selulosa, selulosa merupakan bahan yang

sulit diukur melalui uji BOD karena sulit dioksidasi oleh mikroorganisme, namun

melalui reaksi kimia, dapat diuraikan.

O serta sejumlah ion khrom. Pada media

cair yang tercemar limbah organik pada umumnya dapat dicerminkan dari warna media

cair tersebut. Dalam hal ini, sebelum berlangsung reaksi oksidasi pada umumnya media

cair berwarna kuning, dan setelah reaksi oksidasi berubah menjadi berwarna hijau.

Jumlah oksigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi limbah organik tersebut pada

dasarnya seimbang dengan jumlah kalium bichromat yang digunakan. Dalam hal ini

semakin banyak kalium bichromat yang digunakan pada reaksi oksidasi, identik dengan

jumlah oksigen yang diperlukan untuk menguraikan bahan organik tersebut.

2.10 Analisis Kebijakan

Menurut Widjajono (1999), analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan

informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Menurut Vining et al. (1998), analisis

kebijakan merupakan suatu nasehat yang berorientasi pada klien, yang relevan dengan

kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai sosial budaya. Namun demikian

tidak semua nasehat berarti analisis kebijakan, sehingga untuk menentukan nasehat

Page 50: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

31

tersebut merupakan kebijakan publik atau tidak, perlu dibuat lebih spesifik dan terkait

dengan kebijakan publik. Analisis kebijakan juga sering diartikan sebagai ilmu seni dan

keahlian. Oleh karena itu maka keberhasilan analisis kebijakan harus dapat

mempergunakan keahlian dasar ke dalam perspektif yang realistik atas ketentuan-

ketentuan dalam masyarakat.

Menurut Dwijowijoto (2003) pada dasarnya analisis kebijakan mencakup tiga

hal utama yang saling kait mengkait, yaitu bagaimana merumuskan kebijakan,

bagaimana mengimplementasikan kebijakan dan seperti apa evaluasi kebijakannya

(setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang

berjalan untuk mencapai tujuan <visi dan misi> bersama yang telah disepakati).

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa analisis kebijakan adalah

tindakan yang diperlukan dalam rangka pembuatan sebuah kebijakan, baik kebijakan

yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan

yang ada.

Begitu pentingnya analisis kebijakan ini mengakibatkan pekerjaan analisis

kebijakan menjadi suatu keharusan bagi perumus kebijakan, namun demikian pada

implementasi kebijakan dan lingkungan kebijakan, analisis kebijakan tidak terlalu

ditekankan lagi. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan

evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis kebijakan

yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan. Meskipun analisa

kebijakan lebih fokus kepada perumusan, namun setiap analisis kebijakan pasti akan

mencakup evaluasi kebijakan. Hal ini disebabkan pada analisis kebijakan mencakup

seluruh proses mulai dari proses awal kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan,

menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasi kebijakan tersebut, peluang

evaluasinya, serta juga mencakup kondisi lingkungan kebijakan.

Menurut Aminullah (2004) pada analisis kebijakan kita dituntun untuk

menemukan langkah strategis yang nantinya akan mempengaruhi sistem. Ada dua

pilihan skenario yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1)

kebijakan fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur

sistem tanpa merubah sistem; dan (2) kebijakan struktural, skenario dengan tindakan

yang akan menghasilkan sistem yang berbeda.

Analisis kebijakan juga merupakan ilmu yang menghasilkan informasi yang

relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat sehingga

Page 51: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

32

seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu kebijakan.

Secara umum analisis kebijakan bertujuan untuk menganalisis dan mencari alternatif

kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penentu

kebijakan. Oleh karena itu dalam persiapan analisis kebijakan, seorang analis kebijakan

menurut Vining et al. (1998) perlu memperhatikan lima hal yaitu :

1. Analis perlu tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan berkomunikasi

dalam situasi di mana terdapat batasan waktu dan akses kepada orang-orang.

2. Analis perlu mempunyai prespektif untuk melihat masalah-masalah sosial budaya

dalam konteksnya.

3. Analis perlu memiliki kemampuan teknik agar dapat memprediksi dengan baik dan

mengevaluasi alternatif kebijakan dengan percaya diri.

4. Analis perlu mempunyai pemahaman perilaku organisasi dan politik agar supaya

dapat memprediksi kemungkinan pengaruh dan keberhasilan pelaksanaan kebijakan.

5. Analis perlu mempunyai rambu-rambu etika bahwa secara ekplisit

bertanggungjawab kepada klien.

Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah

pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk memperoleh

pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem, sehingga

akan mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis untuk menyederhanakan

sistem dalam analisis kebijakan pada umumnya digunakan simulasi model. Ada dua

tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1) pengembangan kebijakan

alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru tentang

tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan,

baik dengan cara merubah model maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis

kebijakan alternatif, suatu upaya untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik

dengan mempertimbangkan perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan.

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang

tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu terapan,

analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial budaya dan perilaku tetapi juga

administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem dan

matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi

dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai

yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah

Page 52: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

33

teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian

nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-

nilai.

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang

sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa

yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis

kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang bermuara pada

penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dari tindakan

pemerintah.

Secara umum kita mengenal tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis

prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis

prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi

informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya

berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan

dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh

mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan

retrospektif.

2.11 Model

Menurut Manetsch and Park (1997) model adalah penggambaran abstrak dari

sistem dunia nyata (riil), sehingga untuk aspek-aspek tertentu, model akan bertindak

seperti dunia nyata. Oleh karena itu maka model yang baik akan memberikan gambaran

perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku

yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.

Menurut Forrester (1968), model adalah pengganti dari suatu obyek atau sistem.

Pemodelan adalah suatu gugus aktivitas pembuatan model. Jorgensen (1988),

menyatakan model adalah pernyataan formal dari suatu sistem yang terdiri atas

parameter penting suatu permasalahan dalam istilah fisik atau matematis. Pemodelan

adalah proses membangun suatu sistem nyata dalam suatu bahasa tertentu misalnya

dalam bahasa matematik (Forrester, 1980)

Murdick et al. (1984) dan Simatupang (1995) mengemukakan bahwa model

sebagai suatu representasi atau formalisasi interaksi berbagai proses yang terjadi dalam

suatu sistem nyata. Sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung yang dijadikan

Page 53: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

34

perhatian dan dipermasalahkan. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi,

dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternatif.

Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan

(knowledge base) (Eriyatno, 2003).

Dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks salah satu cara yang

dilakukan adalah dengan menggunakan konsep model simulasi. Penggunaan simulasi,

akan mengakibatkan model mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk

tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Oleh karena itu maka model

simulasi akan dapat memprediksi dunia riil yang kompleks.

Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat

bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah

sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Adanya

penggunaan model akan dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu

yang singkat dan biaya yang murah (Blanchord dan Fabrycky, 1981).

Dalam pelaksanaan simulasi, model mempunyai peranan yang penting, dan

bermanfaat untuk mengkaji suatu sistem yang kompleks. Model adalah suatu gambaran

abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Suatu model yang baik akan

menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata

(Manetsch et al. 1977). Berdasarkan berbagai pendapat tersebut diatas, maka model

secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan

dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya.

Menurut Muhammadi et al. (2001), pemahaman struktur dan perilaku sistem

akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal, dengan

menggunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart).

Diagram sebab akibat akan dipergunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir

yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model yang ada dalam

software atau program untuk analisis sistem, sehingga setelah dilakukan analisis akan

didapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilaksanakan. Selanjutnya

dikatakan bahwa tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai

berikut :

1. Penyusunan konsep: pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang

berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel-variabel tersebut saling

berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketergantungan. Kondisi ini

Page 54: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

35

dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau

proses yang akan disimulasikan.

2. Pembuatan model: gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama

selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus.

3. Simulasi: simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada

model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model,

sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan

melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data

atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses

model.

4. Validasi hasil simulasi: validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil

simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika

kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di

dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan

untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan,

yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan

suatu kebijakan di masa mendatang.

Penyusunan model itu sendiri terdiri atas beberapa tahap yaitu pendefinisian atau

pembatasan masalah, penyusunan model konseptual, penyusunan model matematik,

verifikasi dan pengujian keabsahan model. Pembatasan masalah terdiri dari kegiatan

penetapan gejala, identifikasi masalah, dan definisi masalah. Penyusunan model

konseptual dengan menyusun suatu keterkaitan antar variabel dalam suatu sistem

sehingga menghasilkan suatu rangkaian yang mengindikasikan gambaran performance

dari apa yang ingin dicapai. Penyusunan model matematika adalah kumpulan

keterkaitan variabel-variabel yang membentuk formulasi atau fungsi persamaan yang

mengekspresikan sifat pokok dari suatu sistem atau proses fisik.

Pada dasarnya keberhasilan suatu model sangat ditentukan oleh kemampuan

seorang pemodel dalam mendefinisikan sejumlah elemen yang terkait pada model

tersebut pada sistem yang nyata. Hal penting dalam pengembangan model adalah

mencari peubah-peubah utama dan peubah-peubah tersebut sangat erat hubungannya

dengan pengkajian yang terdapat pada peubah-peubah.

Page 55: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

36

Secara umum model dibagi 3, yaitu model ikonik (objek fisik), model analog

atau representasi grafis (model visual), dan model simbolik

2.12 Alur proses industri gula

atau model abstrak disebut

juga model matematik. Dalam hal ini, khusus untuk ilmu sistem, ilmu sistem

memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang

dikaji.

Alur proses industri gula pada umumnya diseluruh dunia adalah sama; yang

membedakan adalah sistem pemasakan melalui sulfitasi atau carbonatasi

(katalisatornya yaitu karbon) (Gambar 4).

Gambar 4 : Alur proses industri pengolahan tebu menjadi gula

Pembersihan Penccurahan Pemotongan

Bagas

Air pembersih

Air pembersih

Page 56: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

37

2.13 Produksi Bersih (Green Production) Dalam penelitian ini disamping kriteria “produksi bersih” akan lebih bertitik

tolak kepada “green productivity”. Green productivity (GP) is a strategy for

simultaneously enhancing productivity and environmental performance for overall

socio-economic development that leads to sustained improvement in the quality of

human life. It is the combined application of appropriate productivity and

environmental management tools, techniques and technologies that reduce the

environmental impact of an organization's activities, products and services while

enhancing profitability and competitive advantage. (Source: Asian Productivity

Organization (APO), Januari 2008)

Hal ini dianggap lebih luas cakupannya dibanding definisi “produksi bersih”

karena ada beberapa aspek yang sangat erat kaitannya dengan kualitas lingkungan yaitu

management tools, techniques and technologies dalam rangka mengurangi dampak

kegiatan manusia dalam kegiatan produksi dan jasa untuk peningkatan profitability and

competitive advantage. Barang sisa (waste)/jenis limbah yang dapat dimanfaatkan

dalam proses pembuatan gula dan dapat dijadikan nilai ekonomi yang lebih tinggi dari

industri gula antara lain (Gambar 5) seperti:

1. Bagasse/blotong: electricity (listrik), charqucoal briquettes (bahan bakar), methane

and producer gas (bahan bakar), pulp and paper (kertas), paper board and card

board (kertas), fibre board (karton), particle board (karton), moulded board

(karton), cement baggase board (semen, karton), alpha cellulose (bahan selulusa),

carboxymethyl cellulose (tambahan selulosa), xylitol (bahan campuran kimia),

diaceltyl (bahan campuran kimia), plastik (bahan plastik), etanol (bahan bakar dll),

amonia (amoniak), poultry litter & mulch (bahan makanan ternak), bagasse

concrette (campuran beton).

2. Molassse: exportation, fertilizer (pupuk), dehydrated molasses, animal feed (bahan

campuran makanan ternak), rum, ethyl alcohol (alkohol), rectified spiritus (spirtus),

anhydroses alcohol (alkohol), alcohol derivatives (alcohol), vinegar and acetic acid

(campuran asam), acetone – butanol (aseton), citric acid (campuran asam), glycerol

(gliserol), yeast, single cell protein (bahan protein), aconitic acid (campuran asam),

monosodium glutamate (pecin), dextron (bahan kosmetik), l-lysine (bahan

Page 57: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

38

kosmetik), xnatham gum (bahan bumbu masak), itasonic acid (bahan kosmetik),

linolenic acid (bahan kosmetik)

Gambar 5. Pengolahan produk turunan industri gula (limbah) dan pemanfaatannya

2.14 Partisipasi Masyarakat Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa partisipasi

masyarakat adalah “A categorical terms for citizen power. It is the redistribution of

power that enables the have not citizens, presently excluded from the political and

Page 58: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

39

economic processes, to deliberately include in the future”. Definisi ini menunjukkan

bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan

masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari

kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa

depannya. Berdasarkan hal tersebut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)

mengidentifikasikan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tangga/tingkatan

(level), mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pendelegasian kewenangan untuk

mengawasi. Delapan tingkatan partisipasi tersebut, yaitu manipulation, therapy,

informing, consultation, placation, partnership, delegated power dan citizen control.

Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat menurut

Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) adalah sebagai berikut:

Pertama, partisipasi masyarakat pada tingkatan manipulasi (manipulation).

Tingkatan partisipasi ini merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat

hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising

board). Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat sebenarnya diselewengkan dan

dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa dengan tujuan publik mengetahui

bahwa masyarakat juga terlibat dalam proses pembangunan, bahkan sebagai badan

penasehat. Pemahaman ini untuk industri gula pada zaman penjajahan Belanda, dipakai

secara murni; dimana rakyat dengan tingkat pendidikan yang masih rendah

diintimidasi/dimanipulasi, diharuskan menanam tebu diatas lahan petani itu sendiri.

Hasil panennya disampaikan ke PG. Mereka tidak menghitung rendemen dan lain

sebagainya, hanya menerima penggantian harga sesuai dengan beratnya tebu.

Kedua, partisipasi masyarakat pada tingkatan terapi (therapy). Tingkat

partisipasi ini sebenarnya hanyalah kedok dengan melibatkan peran masyarakat dalam

perencanaan. Para perencana atau perancang sebenarnya memperlakukan anggota

masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group

therapy. Meskipun masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan, pada kenyataannya

kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola atau cara pikir masyarakat yang

bersangkutan daripada mendapatkan masukan atau usulan-usulan mereka. Pola ini

hanya sebagai ajakan semu, seolah-olah diajak berfikir perencanaan padahal masih

bersifat menutup-nutupi kegiatan proses giling. Dengan demikian degradasi lahan akibat

tidak adanya siklus tanam dengan varietas bibit tebu atau tanaman lain.

Page 59: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

40

Ketiga, partisipasi masyarakat pada tingkatan pemberian informasi (informing).

Pada tingkat ini pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada

masyarakat tentang hak-haknya, tanggung jawabnya, dan berbagai pilihan yang dapat

menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat.

Meskipun demikian, yang sering terjadi penekanannya lebih pada pemberian informasi

satu arah dari pihak pemegang kuasa pelaksana pembangunan kepada masyarakat tanpa

adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi

dari masyarakat. Dalam keadaan semacam itu, terutama bila informasi diberikan pada

saat-saat terakhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk

mempengaruhi rencana program tersebut agar dapat menguntungkan mereka. Alat-alat

yang sering dipergunakan untuk komunikasi satu arah adalah media berita, pamflet,

poster dan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan. Pada tingkatan ini, tidak tercipta

komunikasi dialogis atau komunikasi dua arah sehingga aspirasi dari bawah tidak

tersalurkan dengan baik. Masyarakat hanya diberikan informasi masa mulai giling,

mulai pemupukan, masa olah pasca panen oleh PG, akan tetapi tidak diberikan alasan

kuat mengapa waktu-waktu itu yang dilakukan bukan waktu lain. Para petani tebu pun

tidak dapat merubah skenario PG. Dengan demikian secara umum, bergaining position

masih sangat lemah. Sampai sekarangpun kejadiannya masih seperti itu.

Keempat, partisipasi masyarakat pada tingkatan konsultasi (consultation). Pada

tingkatan ini, pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah

memberikan informasi kepada masyarakat. Akan tetapi, bila konsultasi dengan

masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran yang lain, cara ini tingkat

keberhasilannya rendah, karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide

masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude

surveys atau survai tentang arah pikiran masyarakat, neighbourhood meeting atau

pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan

masyarakat. Konsultasi dengan para petani tebu, pada dasarnya bukan untuk

meningkatkan kemitraan sejati akan tetapi masih kepada meggali keinginan masyarakat

dalam waktu pendek. Seperti halnya penentuan bibit, irigasi, pola tanam/tebang; belum

sampai kepada peningkatan produktifitas dalam arti sesunggunya.

Kelima, partisipasi masyarakat pada tingkatan perujukan (placation). Pada

tingkat ini, masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal

masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya

Page 60: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

41

beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota

dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-

anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah. Dengan sistem ini usul-

usul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan. Namun

demikian, seringkali suara dari masyarakat tersebut tidak diperhitungkan karena

kemampuan dan kedudukannya yang relatif lebih rendah, atau jumlah mereka terlalu

sedikit dibanding dengan anggota-anggota instansi pemerintah lain. Biasanya

masyarakat pada tingkatan ini akan mengalami berbagai kekalahan dalam

memperjuangkan keinginan dan aspirasi komunitasnya. Rujukan bagi peningkatan

produktifitas belum bisa jadi acuan. Artinya PG yg tanahnya punya HGU, karena

tingkatan produktifitasnya masih sama-sama dengan petani tebu pada umumnya. Oleh

karena itu setiap tindakan, baik itu yang sifatnya on farm maupun off farm, belum

terlihat sejara jelas pada proses kemitraan di industri gula berbasis tebu.

Keenam, partisipasi masyarakat pada tingkat kemitraan (partnership). Pada

tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak

masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk

saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan,

penyusunan kebijakan dan pemecahan baerbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya

kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-

perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun. Pada tingkat ini posisi

antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pembangunan

relatif egaliter (setara). Tingkat kemitraan yang dimaksudkan disini baru teralisir pada

tatanan penyelenggaraan hasil panen, dimana hasil tebunya saling ketergantungan. PG

membutuhkan tebu sebagai bahan baku industri gula, petani membutuhkan PG sebagai

agen pembelian. Selebihnya dari itu belum terwujud secara langgeng/lestari.

Ketujuh, partisipasi masyarakat pada tingkat pendelegasian kekuasaan

(delegated power). Pada tingkat ini, masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk

membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat

mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu.

Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk diperhitungkan bahwa

program-program yang akan dilaksanakan bermanfaat bagi mereka. Untuk memecahkan

perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus

mengadakan tawar-menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-

Page 61: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

42

tekanan dari atas. Proses-proses pemberdayaan tampaknya semakin diaplikasikan pada

tingkatan ini. Penentuan rendemen, penentuan harga dan kaitan hak masyarakat petani

lainnya; belum sepenuhnya dihargai oleh PG. Hal ini mungkin, mengingat PG sendiri

mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dimana garis demarkasi antara manajemen

dengan kondisi di lapangan masih terganjal oleh aturan hkum dan kelembagaan yang

belum ada keberpihakan. Padahal kalu hal ini dilakukan dengan murni dan konsekwen,

niscaya menguntungkan semua fihak. Seperti halnya di industri lainnya (otomotif), para

penyedia komponen adalah merupakan partner bisnis sesungguhnya, yang merupakan

tanggung jawab sepenuhnya ATPM (agen tunggal pemegang merek).

Kedelapan, partisipasi peran masyarakat pada tingkat masyarakat yang

mengontrol (citizen control). Pada tingkat ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk

mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka.

Mereka mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek

pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak

melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau neighbourhood

corporation dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk

mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak-pihak ketiga. Pada

tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki

posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melalui apalagi

meminta bantuan dari pihak ketiga. Level ini merupakan yang tertinggi dalam pola

kemitraan sejati. Hal ini bisa terjadi bila sama-sama punya pegangan hukum dan

kelembagaan yang berbudaya. Para petani tebu diberikan rangsangan untuk memiliki

atau menanamkan modalnya pada asset PG, berapapun besarnya. Pada penentuan

segala kegiatan dari hulu sampai hilir, dilakukan secara bersama-sama dan tanggung

jawabnya pun juga bersama-sama. Suatu tatanan kebersamaan yang sebenarnya sangat

sederhana, gampang diaplikasikan; tetapi sulit untuk diterapkan mengingat belum

adanya kemauan politik dalam menggangkat derajat para petani.

Arenstein (1969) mengelompokkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat

menjadi tiga tingkatan menurut pembagian kekuasaan, yaitu:

1. Nonparticipation (tidak ada partisipasi/tingkatan partisipasi masyarakat itu rendah).

Tingkatan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: manipulation dan

therapy).

Page 62: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

43

2. Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Termasuk dalam kelompok ini

adalah: informing, consultation dan placation.

3. Citizen power, (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Termasuk dalam kelompok

ini adalah: partnership, delegated power, citizen control.

Dari berbagai definisi dan konsep yang telah dikemukakan, nampaknya semua

mengarah kepada keterlibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan,

bahkan menurut Arenstein (1969) tidak hanya terlibat saja namun tingkatannya sampai

dengan pendelegasian kekuasaan dan pengawasan. Satu hal yang perlu diingat bahwa

efektif tidaknya program-program partisipasi masyarakat ditentukan oleh kepercayaan,

komunikasi, kesempatan, dan fleksibilitas (Mitchell dan Setiawan, 2000).

Menurut Cohen and Uphoff (1977) dalam pelaksanaan pembangunan yang

dimaksud dengan partisipasi adalah mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan

operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Selanjutnya dikatakan

bahwa partisipasi juga dapat terjadi pada saat memanfaatkan hasil pembangunan, yang tidak

lain dari memanfaatkan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Selain itu dalam

partisipasi tersebut, juga akan selalu diupayakan terjadinya pemerataan kesejahteraan dan

fasilitas yang ada di masyarakat, serta masyarakat tersebut ikut serta menikmati atau

menggunakan sarana hasil pembangunan. Partisipasi juga dapat terjadi saat mengevaluasi

pembangunan yakni partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan masyarakat tersebut

dalam menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil

pembangunan yang dicapai.

Berdasarkan hal tersebut, maka Takeda (2001) menegaskan pentingnya

pembangunan partisipatif, mengingat dari hal tersebut akan dapat diketahui kebutuhan dan

opini stakeholder terhadap program pembangunan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya

dikatakan bahwa penentu keberhasilan pembangunan partisipatif setidaknya terdapat empat

elemen kunci menuju kesuksesan pembangunan partisipatif oleh stakeholder. Adapun ke

empat elemen kunci tersebut adalah informasi, intermediasi, institusionalisasi, dan inisiatif,

seperti uraian di bawah ini.

1. Informasi berperan sangat esensial sebagai wahana untuk memfasilitasi partisipasi.

Ketiadaan informasi dapat berakibat pada ketidak tahuan stakeholder mengenai apa,

kapan,dimana, siapa dan bagaimana berpartisipasi dalam proses perencanaan kebijakan

dan implementasinya. Informasi yang baik dan tepat sasaran seringkali menjadi pionir

bagi keberhasilan suatu program.

Page 63: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

44

2. Intermediasi dapat memfasilitasi partisipasi, sehingga intermediasi berperan dalam

fungsi intermediasi antara individu dengan organisasi guna.

3. Institusionalisasi merupakan hal yang penting mengingat mekanisme partisipasi harus

diinstitusionalisasikan. Hak-hak dan proses partisipasi harus didefinisikan dalam

pedoman teknis, regulasi, atau kebijakan pemerintah. Dalam taraf pelaksanaan

misalnya dengan melakukan “forum lintas pelaku“ sebagai bentuk dari institusionalisasi

partisipasi stakeholder. Kerjasama yang erat antar stakeholder dapat juga merupakan

bentuk forum partisipasi stakeholder. Prinsip pokoknya adalah agar dapat

memfasilitasi partisipasi stakeholder dalam perencanaan dan implementasi

pembangunan maka dibutuhkan kesediaan diantara stakeholder untuk melakukan

koordinasi, konsultasi, dan negosiasi.

4. Inisiatif sangat diperlukan pada partisipasi, mengingat stakeholder sangat krusial dalam

berpartisipasi dalam aktivitas pembangunan dan proses pembangunan. Dalam hal ini

pemerintah harus menyediakan dan memberdayakan stakeholder agar mampu

menempatkan perannya dalam membuat inisiatif. Informasi mengenai kasus-kasus

partisipasi yang sukses merupakan insentif bagi masyarakat untuk melakukan aksi yang

serupa.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh

tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat

dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau

saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan

aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya

membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga

partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah

mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders

terhadap partisipasi masyarakat (Muluk, 2007).

Dalam hal industri gula di lapangan dapat dikemukakan bahwa untuk on farm

tingkat Pertama sampai Keenam yaitu manipulasi (manipulation), terapi (therapy),

informasi (informing), konsultasi (consultation), perujukan (placation), kemitraan

(partnership) masih bisa dilakukan langsung oleh masyarakat. Masyarakat bisa diajak

partisipasi dalam perencanaan di lapangan (sawah dan lain-lain), irigasi, pemupukan,

pembibitan, pemanenenan, transportasi, penggudangan, sehingga prediksi hasil panen

sudah bisa diperkirakan. Akan tetapi pada tingkat ketujuh dan kedelapan yaitu

Page 64: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

45

pendelegasian kekuasaan (delegated power) dan masyarakat yang mengontrol (citizen

control); tidak bisa dilakukan lagi oleh masyarakat mengingat kemampuan (bargaining

posisition)-nya lemah. Sedangkan pada off farm partisipasi masyarakat sangat kecil,

mengingat aturan dan sifat-sifat teknis di pabrik memerlukan skill dan keahlian

(expertice) yang harus dipenuhi oleh standar pabrik, seperti menjalankan dan

mengontrol permesinan, evaluasi sisa/sampah (waste), penurunan limbah, penaikan

efisiensi produksi dan sumberdaya.

Menurut Bock (2001) terdapat tiga keuntungan jika dalam pembangunan dan desain

suatu kegiatan menggunakan proses partisipatif, keuntungan tersebut adalah l) hasilnya

bersifat alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2) masyarakat yang merupakan target

merasa lebih memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan

kegiatan, dan 3) pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan akan lebih transparan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi stakeholder merupakan konsep kunci

guna membuka transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan keputusan dan

kebijakan. Disamping itu juga dapat mempromosikan efektifitas penggunaan sumberdaya

lokal dan menjadi aspek penting dalam rangka menciptakan kebijakan yang lebih sesuai.

Adapun visi dari pembangunan partisipatif yang berkelanjutan adalah proses lokal

yang terinformasi baik dan partisipatif yakni pada pembangunan tersebut terlihat adanya

kerjasama antar stakeholder dalam mencapai keseimbangan antara keberlanjutan

pembangunan ekonomi, ekologi dan sosial (Charter, 2001). Menurut Edgington and

Fernandez (2001) pembangunan partisipatif merupakan aktivitas banyak pihak dan

merupakan kerjasama antara pemerintahan lokal dengan berbagai aktor dalam berbagai

tingkatan serta merupakan suatu proses yang terpadu dari berbagai dimensi pembangunan.

Menurut Stohr (2001) pembangunan partisipatif ini merupakan adaptasi manajemen yang

bersifat fleksibel yang didasarkan pada partisipasi aktif, konsensus bersama, dan koordinasi

antar pihak. Namun demikian, dalam implementasi penerapannya, seringkali dibatasi oleh

beberapa faktor pembatas, seperti sumberdaya lokal yang kurang, pemerintahan yang lemah

serta kapasitas pemerintahan local yang kurang handal. Menurut Bulle (1999) setiap

anggota dari suatu komunitas mempunyai peran yang berbeda, maka terdapat banyak

cara partisipasi dalam pengelolaan suatu kegiatan, termasuk di dalamnya pengelolaan

industri gula.

Ciri industri gula di Indonesia masih tradisional, melihat luas tanah masih

dipunyai oleh petani, sedangkan HGU oleh pabrik masih sedikit. Sehingga

ketergantungan pasokan bahan baku dari petani sangat tinggi. Di sisi lain para petani

Page 65: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

46

belum dibekali oleh teknologi yang mumpuni. Lain halnya di Brazil, Thailand dan

China, partisipasi masyarakat diapresiasi dengan baik. Para petani tebu dianggap

sebagai mitra sejajar/setara dalam hal memperoleh keuntungan. Dimana semuanya

saling menghargai, dalam arti yang luas. Kemampuan mengelola tanaman tebu di

lahan, akan dipantau oleh pihak pabrik, sekaligus sebagai penyuluh. Irigasi menjadi

tanggung jawab pabrik, bibit dengan varietas unggul disiapkan oleh PG, anti hama

disiapkan pula oleh pabrik, sehingga semuanya berjalan simultan. Porsi masing-masing

pihak diperhitungkan dengan sangat teliti dan tidak merugikan salah satu pihak.

Disamping itu, bila terjadi keugin akibat force majeure, maka pemerintah mempunyai

scheme untuk menanggulanginya, dimana penggantian kerugian harus dibayarkan

kepada para petani tebu dengan jelas, cepat dan transparan. Hal tersebut disadari oleh

para penyeleggara pemerintahnya bahwa gula bukan semata-mata komoditi akan tetapi

lebih dari itu yaitu sebagai function food. Atas dasar tersebut maka gula harus menjadi

security food, sesuatu yang berifat menyangkut hidup manusia.

Page 66: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

III. METODE PENELITIAN

Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik

yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan

bidang penelitian. Penelitian utama dilakukan mulai Juli sampai Desember 2008,

kemudian dilanjutkan sampai dengan Mei 2010 dengan melakukan survei di PTPN X,

PTPN XI, PT Jawa Manis (1 PG), PT RNI II (4 pabrik gula). Pada penelitian ini jumlah

pabrik gula yang diteliti yaitu 45 buah dari 61 buah pabrik yang aktif atau sekitar 73%.

Dari ke 45 pabrik gula tersebut dilakukan penelitian secara garis besar (makro) selama 2

tahun seperti Business Plan, Kinerja Permesinan, On farm, Bahan Baku, SdM,

partisipasi masyarakat, pengolahan limbah, dengan melakukan beberapa kali focus

group discussion (FGD) yaitu di Jakarta (4 kali), di Yogyakarta (1 kali), di Surabaya (2

kali). Secara garis besar penelitian ini, antara lain meliputi :

1. Survey lapangan di pabrik gula dan industri pembuat mesin peralatan.

2. Melakukan wawancara terhadap para stakeholder untuk menyusun kebijakan

pengelolaan pabrik gula.

Pada penelitian dikumpulkan data primer dan data sekunder, baik yang berkaitan

langsung dengan kegiatan maupun sebagai penunjang dalam menyelesaikan penelitian

yang dilakukan. Kegiatan pengumpulan data meliputi aktivitas desk study dan

wawancara langsung dengan beberapa pelaku industi gula nasional.

A. Desk study

Desk study untuk inventarisasi data kualitatif dan kuantitatif serta informasi

umum mengenai teknologi, macam/jenis/type/spesifikasi teknis dan mesin peralatan

industri gula. Kegiatan ini merupakan pengumpulan data berdasarkan dokumen-

dokumen yang ada pada dinas/instansi, asosiasi terkait yang berhubungan dengan

industri gula. Data yang dikumpulkan antara lain :

1. Perkembangan luas dan produktivitas/produk kebun bahan baku industri gula (tebu)

di Indonesia (5 tahun terakhir).

2. Perkembangan jumlah dan kapasitas industri di Indonesia yang meliputi :

a. Jenis produk (gula, dan produk turunannya).

b. Produktivitas/produk dari masing-masing jenis produk.

Page 67: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

48

c. Mesin/peralatan yang digunakan dalam industri gula.

d. Tingkat efisiensi mesin/peralatan industri gula yang ada saat ini.

3. Perkembangan konsumsi masing-masing produk industri gula di dunia dan

Indonesia (5 tahun).

4. Jumlah negara pemasok gula dan produk turunannya serta jumlah pasokannya (5

tahun).

B. Metode Wawancara

Wawancara dilakukan kepada responden yang terkait dengan industri gula,

pelaku industri gula, pejabat dari instansi, asosiasi terkait, perguruan tinggi, balai

litbang dan industri pendukung. Wawancara dilaksanakan dengan berpedoman pada

kuesioner atau daftar pertanyaan yang sudah disiapkan. Mengingat penelitian ini

merupakan penelitian yang ditujukan untuk membuat kebijakan pengelolaan di pabrik

gula, maka pada penelitian ini dilakukan wawancara secara mendalam terhadap

stakeholder terkait dengan menggunakan bantuan kuesioner baik untuk analisis

keberlanjutan yang menilai tentang keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial,

teknologi, hukum dan kelembagaan. Serta dilanjutkan dengan analisis hierarki proses

untuk mencari alternatif kebijakannya.

C. Metode Observasi (Pengamatan Langsung)

Pengamatan langsung dilakukan berdasarkan pokok-pokok identifikasi yang

meliputi :

1. Kondisi kegiatan usaha industri gula serta proses produksinya bagi masing-masing

produk dan keberadaan mesin/peralatan yang sudah tersedia.

2. Kondisi kegiatan usaha industri dalam penanganan limbah.

3. Program industri terhadap masyarakat sekitar.

Kategori Keberlanjutan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Skala Indek 75% - 100% Kategori: baik

2. Skala Indek 50% - 75% Kategori: cukup

3. Skala Indek 25% - 50% Kategori: kurang

4. Skala Indek 0% - 25% Kategori: buruk

Page 68: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

49

3.1 Jenis, Sumber Data, dan Teknik Pengambilan Contoh

Dalam rangka menjaga obyektivitas dan dapat mempresentasikan kondisi yang

sebenarnya, maka diambil contoh penelitian dari kepustakaan, organisasi atau asosiasi

terkait, dari pabrik gula (konvensional maupun rafinasi). Setelah data terkumpul maka

dilakukan penyusunan dan penyaringan sehingga data yang dipakai untuk keperluan

analisis merupakan data yang valid dan relevan. Penyaringan data dilakukan sesuai

dengan jenis dan tingkat kepentingan informasi yang dibutuhkan melalui serangkaian

proses pengolahan agar didapatkan suatu data yang dapat dipakai sebagai bahan analisis

untuk masing-masing potensi yang akan dijabarkan.

a. Data Primer

Data primer yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data eksisting di

pabrik gula yang konvensional dan industri gula rafinasi, jenis limbah yang dihasilkan,

perlakuan terhadap limbah yang dihasilkan serta upaya pemanfaatan limbah gula yang

sudah dilakukan selama ini dan pengelolaan yang dilakukan terhadap limbah gula serta

data kualitas limbah cair, dan kualitas udara sekitar pabrik (debu, kandungan bahan

kimia serta kebisingan).

Disamping dari sumber data tersebut, pada penelitian ini salah satu data

primer yang diambil adalah pendapat stakeholder (pendapat dan pertanyaan-pertanyaan

tersebut, dipandu berdasarkan kuesioner yang telah disediakan). Untuk keperluan ini

stakeholder yang diwawancarai/diminta pendapatnya antara lain:

1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat

2. Departemen Perdagangan

3. Departemen Perindustrian

4. Bapeda

5. Dinas Lingkungan hidup

6. Pengusaha (pemegang modal)

7. Bagian pengelolaan limbah di industri pabrik gula

8. Masyarakat

9. Instansi terkait lainnya.

Adapun persyaratan stakeholders tersebut antara lain adalah sekurang-

kurangnya sudah menjabat diposisi yang diinginkan selama 2 tahun, atau untuk

Page 69: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

50

masyarakat sekurang-kurangnya sudah tinggal di lokasi sekitar industri gula selama 5

tahun. Sedangkan untuk perguruan tinggi dan LSM diutamakan untuk yang menguasai

bidang pengelolaan limbah

b. Data Sekunder

Data sekunder yang diambil adalah data saat ini dan data pada tahun-tahun

sebelumnya yang diambil dari instansi terkait seperti dari Dinas Lingkungan Hidup

Kabupaten, Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, data kualitas limbah cair,

data jenis dan kualitas limbah padat yang dihasilkan, sarana dan prasarana pengolahan

limbah domestik, sarana dan prasarana lingkungan, fasos dan fasum.

c. Data Sosial budaya-Ekonomi

Data sosial budaya ekonomi yang digunakan pada penelitian ini meliputi data

primer yakni:

1. Pandangan masyarakat terhadap keberadaan pabrik gula disekitar lokasi

permukiman, dan pandangan terhadap keberadaan limbah dan pengolahan limbah

industri pabrik gula

2. Struktur ekonomi, jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk, pengeluaran

keluarga, laju pertumbuhan ekonomi, pendapatan/produktivitas per kapita,

pengeluaran keluarga, pendapatan dan penyebaran aktifitas ekonomi

Selain itu juga diambil data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi

terkait yang meliputi

1. Jumlah dan komposisi penduduk, jumlah keluarga, tingkat kesehatan, tingkat

pendidikan, pola pekerjaan, kesempatan kerja, jumlah tenaga kerja, kegiatan sosial

budaya, luas wilayah, kondisi perumahan, status pemilikan lahan, tingkat

aksesibilitas

2. Dana sektor-sektor pembangunan

3.2. Analisis data

a. Analisis Keberlanjutan Industri Gula

Analisis keberlanjutan dilakukan melalui beberapa tahapan yakni:

1. Penentuan atribut pengelolaan limbah industri gula pada masing-masing faktor

Page 70: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

51

2. Penilaian terhadap setiap atribut (skala ordinal) berdasarkan kriteria keberlanjutan

pada setiap faktor

3. Analisis ordinasi “Rap-fish” yang berbasis metode multidimentional scalling

(MDS)

4. Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan limbah industri gula yang

dikaji secara umum dan dikaji pada setiap faktornya. Pada setiap atribut data yang

dihasilkan dari pengamatan lapang, diberi skor atau peringkat yang mencerminkan

keberlanjutan dimensi pengelolaan limbah industri gula dengan skor buruk (kondisi

yang paling tidak menguntungkan) sampai dengan baik (kondisi paling

menguntungkan), serta antara keduanya.

Nilai/skor tersebut dianalisis secara multidimensional, untuk menentukan satu

atau beberapa titik yang mencerminkan posisi berkelanjutan dari pengelolaan limbah

industri gula. Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi

Rap-fish. Untuk ini digunakan perangkat lunak modifikasi Rap-fish (Kavanagh, 2001)

yang merupakan pengembangan MDS yang ada pada perangkat lunak SPSS, sehingga

posisi titik berkelanjutannya dapat divisualisasikan dalam sumbu horizontal dan

vertikal. Selanjutnya dilakukan proyeksi titik-titik tersebut pada garis mendatar, dan

diberi skor 0% dan titik baik 100%, dan titik yang berada diantara keduanya merupakan

posisi keberlanjutan sistem.

Pada analisis ordinasi mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan faktor

tersebut dan hasil analisis terhadap semua faktor, menunjukkan perbandingan

keberlanjutan antar faktor yang divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-

layang/kite diagram (Gambar 6). Jika sistem yang dikaji nilai indeksnya lebih dari

50% (>50%), maka sistem tersebut sustainable, namun jika kurang dari 50% (<50%),

maka sistem tersebut belum sustainable.

Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling

sensitif memberikan kontribusi di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat

dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X

(skala sustainabilitas).

Dalam mengevaluasi pengaruh galat (eror) acak pada proses pendugaan nilai

ordinasi pengelolaan limbah industri gula digunakan analisis Monte Carlo, karena

Page 71: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

52

menurut Kavanagh (2001) serta Fauzi dan Anna (2002) analisis ini dapat digunakan

untuk mempelajari:

1. Pengaruh kesalahan pembuatan skore atribut yang disebabkan oleh pemahaman

kondisi lokasi, penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman

terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut

2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti

yang berbeda

3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (interaksi)

4. Kesalahan pemasukan data atau ada kehilangan data

5. Tingginya nilai stress hasil analisis Rap - fish (nilai stress dapat diterima jika 25%)

Gambar 6. Ilustrasi indeks keberlanjutan (jika lima dimensi) setiap faktor mempunyai kepentingan/kontribusi.

Untuk lebih jelasnya tahapan analisis Rap - fish menggunakan metoda MDS

dengan aplikasi Rap-fish dapat dilihat pada Gambar 7.

Page 72: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

53

Gambar 7. Tahapan analisis dengan aplikasi modifikasi Rap–fish menggunakan MDS

b. Analisis Hierarki Proses (AHP)

Pada penelitian ini ditentukan alternatif pengelolaan industri gula. Dalam

menentukan alternatif pengelolaan pabrik gula dalam rangka mewujudkan model

pengelolaan industri gula yang berwawasan lingkungan dilakukan analisis dengan

menggunakan AHP dengan prinsip kerja sebagai berikut (Maarif, 2000).

1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan

solusi yang diinginkan

2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan

subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan

kriteria yang paling bawah

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif

atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di

atasnya. Perbandingan berdasarkan “judgment” dari pengambil keputusan, dengan

menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya

4. Menghitung matriks pendapat individu

5. Menghitung pendapat gabungan

6. Pengolahan horizontal

Kondisi pengelolaan limbah saat ini

Page 73: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

54

7. Pengolahan vertikal

8. Revisi pendapat

c. Membuat Struktur Hirarki

Dalam menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri gula, struktur

Hirarkinya dicoba untuk dilihat secara cukup detil seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8 menunjukkan model pengembangan industri gula berkelanjutan dilihat

dari berbagai aspek dan pemangku kepentingan (stakeholder), sedangkan Gambar

9 memperlihatkan contoh sintesa prioritas pemecahan masalah pada industri gula.

Gambar 8. Struktur hirarki limbah industri gula

LIMBAH INDUSTRI

PADAT (Solid Waste

CAIR (Liquid Waste)

GAS (Air Waste)

Sosial budaya Budaya

Ekonomi

Lingkungan

Page 74: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

55

Gambar 9. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula

d. Membuat matriks perbandingan berpasangan

Pada analisis AHP dibuat perbandingan berpasangan untuk menggambarkan

pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang

setingkat di atasnya, dengan didasarkan pada judgement dari para pengambil keputusan.

Dalam menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang

lain, digunakan pembobotan berdasarkan skala Saaty (Saaty, 1993 dalam Maarif, 2000)

seperti Tabel 2.

e. Penentuan prioritas

Mengolah nilai-nilai perbandingan relatif sehingga dapat ditentukan peringkat

relatif dari seluruh alternatif. Bobot atau prioritas dihitung menggunakan manipulasi

matriks (melalui penyelesaian persamaan matematik).

Faktor

Aktor

Tujuan

Sasaran

Fokus

Infrastruktur

Sosbud

Lingkungan

Dis. Perindag

Deperindag Dinas LH Pengusaha Masyarakat

Transportasi Fiskal Pemasaran Teknologi Partisipasi Masy.

Revitalisasi Swastanisasi Ekstensifikasi

Industri Gula

Ekonomi

Perbankan Bahan Baku

Page 75: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

56

Tabel 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP

Tingkat Kepentingan Keterangan Penjelasan

1 3 5 7 9

2,4,6,8

Kebalikan

Kedua elemen sama pentingnya.

Elemen yang satu sedikit lebih penting

daripada elemen yang lainnya.

Elemen yang satu lebih penting

daripada elemen yang lain.

Elemen yang satu jelas lebih penting

daripada elemen yang lain.

Elemen yang satu mutlak lebih penting

daripada elemen yang lain.

Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan.

Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan.

Pengalaman dan penilaian sedikit

mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya.

Pengalaman dan penilaian sangat

kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya.

Satu elemen dengan kuat didukung

dan dominan terlihat dalam praktek.

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.

f. Konsistensi logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan disusun dalam bentuk peringkat

secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Adapun Software yang digunakan

untuk proses analisis AHP adalah criterium decision plus version 3.0.

Page 76: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

Gambar 10. Contoh sintesa prioritas pemecahan masalah

Page 77: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA

Pabrik gula yang diteliti antara lain PTPN X terdiri dari 11 pabrik yaitu Cukir,

Gempolkrep, Jombang Baru, Krembong, Lestari, Merican, Mojopanggung, Ngadirejo,

Pesantren Baru, Tulangan, Watutulis. PTPN XI terdiri dari 16 pabrik yaitu:

Asembagoes, Gending, Jatoroto, Kanigoro, Kedawung, Olean, Pagotan, Pajarakan,

Panji, Purwodadi Prajekan, Rejosari, Semboro, Sedhono, Wonolangan, Wringinanom;

PG PT Madu Baru. PTPN IX terdiri dari 8 pabrik yaitu Jatibarang, Pangka,

Sumberharjo, Sragi, Rendeng, Gondang Baru, Mojo, Tasikmadu, Cepiring. RNI I

terdiri dari 5 pabrik yaitu Candi, Krebet Baru I dan II, Rejoagung Baru, Madukismo.

RNI II terdiri dari 5 pabrik yaitu Jatitujuh, Karang Suwung, Sindanglaut, Subang,

Tersana Baru; PG Swasta yaitu PT Gunung Madu Plantation; sedangkan untuk gula

rafinasi yaitu PT Jawa Manis.

Pada penelitian ini jumlah pabrik gula yang diteliti 45 buah dari 61 buah pabrik

yang aktif atau sekitar 73%. Adapun pabrik gula yang belum sempat diteliti yaitu PT.

Kebon Agung (Kebon Agung Trangkil), PT. Bapippundip (Pakis Baru); PTPN II (Sei

Semayang, Kuala Madu), PTPN VII (Bunga Mayang, Cintamanis); PTPN XIII

(Pelaihari); PTPN XIV (Bone, Caming, Takalar); PT. Gula Putih Mataram; RNI III

(Tolanghua); PT. Sweet Indolampung; PT. Indolampung Perkasa.

4.1 Masalah yang Dihadapi Pabrik Gula di Lokasi Penelitian

Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya berbagai permasalahan yang

dihadapi oleh pabrik gula yang diteliti, adapun permasalahan tersebut antara lain adalah:

1. Masalah-masalah On farm:

a. Sulitnya penambahan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada

b. Penyediaan agro input untuk budidaya tebu belum tepat jumlah, waktu, harga,

dan mutu

c. Kurangnya sarana irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di

lahan kering

d. Keterbatasan alat pengolahan tanah terutama di lahan kering

e. Keterbatasan infrastruktur (jalan produksi, jembatan) terutama untuk wilayah

pengembangan di luar Jawa

Page 78: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

60

f. Fungsi kelembagaan petani belum optimal dalam mendukung peningkatan

produksi dan produktivitas

g. Penerapan teknologi budidaya oleh petani yang belum optimal terkait dengan

keterbatasan permodalan

h. Manajemen tebang muat angkut (TMA) belum mencapai standar manis bersih

segar (MBS)

i. Penataan varietas tebu yang masih terhambat

2. Masalah-masalah Off farm:

a. Tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) masih jauh dibawah standar

b. Kinerja mesin dan peralatan pabrik gula yang kurang memadai

c. Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik yang mempengaruhi efisiensi dan daya

saing usaha

d. Pengalihan teknologi proses sulfitasi menjadi karbonatasi belum menjadi

pertimbangan oleh perusahaan gula

e. Belum berkembangnya diversifikasi produk termasuk energi untuk

meningkatkan daya saing industri gula.

3. Masalah lainnya yang dihadapi industri gula antara lain:

a. Belum terjaminnya pendapatan petani dari aspek penetapan harga gula

b. Belum optimalnya peran lembaga riset dalam upaya peningkatan kinerja

pergulaan nasional

c. Belum optimalnya dukungan lembaga keuangan/perbankan dalam mendukung

revitalisasi industri gula nasional

d. Masih lemahnya peran dan fungsi kelembagaan usaha/koperasi dan

kelembagaan organisasi petani tebu dalam mendukung upaya peningkatan

produksi dan pendapatan

e. Kebijakan fiskal (tarif bea masuk, pajak, retribusi serta berbagai pungutan)

belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula

f. Belum adanya kebijakan terpadu untuk industri pergulaan nasional

g. Belum terealisasinya SNI wajib untuk standar gula kristal putih (GKP)

Page 79: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

61

Sebagai tuntutan akademis, agar didapat data yang lebih mikro telah dilakukan

penelitian ke lapangan secara berkala yaitu ke Pabrik Gula Jati Tujuh yang termasuk

dalam group RNI II. Pabrik gula Jatitujuh memiliki areal yang luasnya sebesar 11,821

ha tersebar di Kabupaten Majalengka. Lokasi kegiatan Pabrik Gula Jati Tujuh yang

dibahas dalam studi AMDAL berada di Kabupaten Majalengka yaitu di Kecamatan Jati

Tujuh, Kecamatan Kertajati. Letak lokasi kegiatan cukup strategis karena mudah

dicapai dari berbagai arah baik dari arah Indramayu dan Majalengka maupun dari arah

Cirebon.

4.2 Kondisi Umum Pabrik Gula di Lokasi Penelitian

Pabrik gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan

daya saing, meningkatkan keuntungan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini belum

pernah ada yang memotret apakah pabrik gula sudah berlanjut atau belum. Selain hal

tersebut juga belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat

meningkatkan keberlanjutan pabrik gula. Hal lainnya adalah belum ada yang membuat

kajian, alternatif apa yang terbaik untuk mengembangkan pabrik gula tersebut, serta

skenario apa yang dapat membuat pabrik gula menjadi pabrik yang secara ekonomi

menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur

serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat

menciptakan pabrik gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan.

Hasil penelitian di beberapa pabrik gula yaitu:

1. PTPN X (10 PG), dengan profile sebagai berikut:

a. Status perusahaan,

b.

dibentuk berdasarkan PP No. 15 Tahun 1996, tanggal 14

Pebruari 1996. Perusahaan yang berstatus sebagai badan usaha milik negara

(BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Jawa Tengah dan Jawa

Timur dari eks PTP XIX, PTP XXI-XXII dan PTP XXVII.

Komoditi usaha yaitu

c.

tebu, tembakau dan tanaman serat. Tanaman tebu ditanam

pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 65.320 ha yang terdiri dari areal

tebu sendiri seluas 2.857,10 ha dan areal tebu rakyat 62.462,90 ha.

Kebun-kebun, yaitu di PG. Kria, PG. Watoetoelis, PG. Toelangan, PG.

Kremboong, PG. Gempolkrep, PG. Djombang Baru, PG. Tjoekir, PG. Lestari,

PG. Meritjan, PG. Pesantren Baru, PG. Ngadiredjo dan PG. Modjopanggoong.

Page 80: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

62

d.

e.

Produksi tebu pertahun: Gula: 213.219 ton, Gula Industri: 19.138 ton

Tetes : 229.033 ton

2. PTPN XI (16 PG), dengan profile perusahaan:

Alamat Jl. Jembatan Merah No. 3-5, Tromol Pos 5077, Surabaya 60175 ;

Telepon: (031) 3523143, 3522848 ; Fax (031): 3523167, 3539744 Email

[email protected]. Perwakilan Jakarta: Jl. Perum Taman Gandaria Blok

F/12.A. Kebayoran Baru Jakarta Selatan; Telp (021)7396565, fax (021):

7396565.

a. Status perusahaan

Pendirian perusahaan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16

Tahun 1996 tanggal 14 Pebruari 1996 dan merupakan gabungan antara PT

Perkebunan XX (Persero) dan PT Perkebunan XXIV-XXV (Persero) yang

masing-masing didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 6 Tahun 1972 dan No. 15 Tahun 1975. Anggaran Dasar Perusahaan

Perseroan yang dibuat berdasarkan Akte Notaris Harun Kamil SH, No. 44

tanggal 11 Maret 1996, telah dilakukan perubahan dan mendapat persetujuan

sesuai Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia No. C-21048HT.01.04.Th.2002 tanggal 29 Oktober 2002.

adalah badan usaha milik negara (BUMN) agribisnis

perkebunan dengan core business gula. Perusahaan ini bahkan satu-satunya

BUMN yang mengusahakan komoditas tunggal, yakni gula, dengan kontribusi

sekitar16-18% terhadap produksi nasional. Sebagian besar bahan baku berasal

dari tebu rakyat yang diusahakan para petani sekitar melalui kemitraan dengan

pabrik gula (PG). PT Perkebunan Nusantara XI (Persero), disingkat PTPN XI,

berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan

penggabungan kebun-kebun di Jawa Timur.

Persetujuan perubahan anggaran dasar tersebut sesuai dengan format isian Akta

Notaris Model II yang tersimpan dalam database Salinan Akta Nomor 02

tanggal 02 Oktober 2002, yang dibuat oleh Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo

SH, berkedudukan di Tangerang.

Secara umum sebagian besar unit usaha di lingkungan PTPN XI telah beroperasi

sejak masa kolonial berkuasa di Hindia Belanda. Kantor Pusat PTPN XI sendiri

merupakan peninggalan HVA yang dibangun pada tahun 1924 dan merupakan

Page 81: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

63

lambang konglomerasi industri gula saat itu. Bentuk perusahaan berulang kali

mengalami perubahan dan restrukturisasi terakhir terjadi pada tahun 1996

bersamaan dengan penggabungan 14 PTP menjadi 14 PTPN.

b.

c.

Komoditi usaha, mengusahakan hanya satu macam komoditi yaitu tebu.

Tanaman tebu ditanam pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 69.516 ha

yang terdiri dari areal tebu sendiri seluas 27.946 ha dan areal tebu rakyat 41.570

ha. Hasil olahan tanaman tebu tersebut dalam bentuk gula tebu/pasir, tetes,

alkohol dan spiritus.

d.

Kebun-kebun yang dimiliki 16 unit usaha kebun yang dilengkapai dengan pabrik

pengolahan (PG), yaitu: PG. Soedhono; PG. Poerwodadie; PG. Redjosarie PG.

Pagottan; PG. Kanigoro; PG. Kedawung; PG.Wonolangan; PG. Gending; PG

Padjarakan; PG. Djatiroto; PG. Semboro; PG. D Maas; PG. Wringin Anom; PG.

Olean; PG. Panji; PG. Asembagoes; PG. Pradjekan

Produksi pertahun: gula: 291.894,4 ton, tetes : 208.980,2 ton, alkohol :

459.000,0 ton, spiritus: 274.993,2 ton

3. PT Jawa Manis (1 PG)

PT Jawamanis Rafinasi merupakan salah satu perusahaan gula rafinasi yang

memproduksi gula putih berkualitas tinggi. Di tingkat nasional, produk-produk terkenal

dengan kualitasnya yang tinggi, berkelas internasional dan proses pembuatan gulanya di

atur sedemikian rupa agar sesuai dengan standard management kualitas global.

Pabrik yang berlokasi di Ciwandan, Propinsi Banten, dekat dengan pelabuhan

Ciwandan dan Cigading, yang memudahkan fasilitasi proses pembuatan gula. Akses

yang mudah ke Jalan Tol Jakarta membuat pergerakan produk yang cepat pula ke

seluruh Jawa.

PT Jawa Manis Rafinasi didirikan pada tahun 2002 sebagai perusahaan joint

venture antara perusahaan lokal dan investor asing. Pada saat itu, dibutuhkan produsen

lokal agar produksinya dapat menggantikan produk-produk impor. Kapasitas awal yang

hanya 150.000 ton per tahun, meningkat menjadi 340.000 ton gula setiap tahunnya.

Pasar produksi ini pada prinsipnya difokuskan kepada kualitas.

Page 82: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

64

4. PT RNI II (5 PG)

PT. PG Rajawali II yang bergerak dibidang agro industri sebelumnya mengelola

8 PG dan 1 PSA ex PTP XIV – Cirebon, setelah pengalihan kepada PT RNI pada tahun

1989, dalam perjalanannya 3 PG yang berlokasi di Kabupaten Majalengka dan Cirebon

yaitu PG Kadipaten, PG Jatiwangi dan PG Gempol ditutup karena kekurangan bahan

baku. Berdasarkan RUPS tanggal 15 Januari 2003, telah diangkat Dewan Komisaris dan

Direksi PT.PG. Rajawali II yang berstatus sebagai anak perusahaan PT RNI dan

beroperasi hingga sekarang.

Manajemen PT PG Rajawali II dalam kurun waktu 2003 sampai 2005, seiring

dengan kebijakan yang ditetapkan oleh PT RNI Holding, telah melakukan berbagai

tindakan terobosan yang inovatif guna meningkatkan kinerja perusahaan secara

signifikan yaitu dengan melakukan restrukturisasi organisasi, konsolidasi SDM,

penataan portofolio bisnis, revitalisasi peralatan pabrik dan lain-lain sehingga mampu

meningkatkan daya saing produk-produk yang dihasilkan. Dalam 3 tahun terakhir PT

Rajawali II telah mencapai kinerja terbaik sejak perusahaan ini didirikan. Sebagai

perusahaan dengan kinerja terbaik dalam bidang agro industri berbasis tebu di

Indonesia, siap menghadapi tantangan, unggul dalam kompetisi global dan bertumpu

pada kemampuan sendiri (own capabilities).

Jika pabrik gula akan direstrukturisasi atau dipermodern, memerlukan biaya

yang sangat mahal, walaupun demikian mau tidak mau harus diteliti lebih lanjut tingkat

keuntungan jangka panjangnya. Dengan demikian, diharapkan akan memperkecil

ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan devisa, nilai usaha menjadi

meningkat, industri pendukung (industri permesinan, industri logam) menjadi tumbuh,

pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat konsumen, dan yang lebih penting

yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani maupun pada industri gula itu

sendiri. Dalam memperoleh dukungan finansial, industri gula belum mendapat

preferensi yang menguntungkan, baik untuk modal kerja maupun dalam rangka

revitalisasi mesin peralatan produksi. Tingkat suku bunga sama dengan pinjaman

umum, berkisar antara 14 sampai 24% pertahun. Hal tersebut sangat menyulitkan

berkembangnya industri gula di dalam negeri.

Sistem perpajakan terhadap industri gula, baik tata niaga maupun bea masuk dan

PPn impor terhadap mesin perlatan produksi pada umumnya belum berpihak kepada

dukungan revitalisasi idustri. Namun demikian ada celah yang agak meringankan yaitu

Page 83: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

65

seperti yang termaktub dalam Keppres 80/2003 dan yang diatur dalam SK Menperin

No. 11/2004 yang mengatur tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mengamanatkan

bahwa dalam pengadaan barang-barang yang telah mencapai tingkat tertentu diberikan

preferensi harga sampai 30%.

Iklim usaha di sektor industri gula belum sepenuhnya menjanjikan, akibat

beberapa faktor yang sangat berpengaruh seperti penyelundupan, penimbunan, kualitas

gula lokal yang lebih rendah dari gula impor. Berbagai faktor ini juga sangat

berpengaruh pada harga eceran. Disamping itu hingga saat ini belum ada kebijakan

yang melindungi (proteksi) bagi para pelaku industri gula dalam arti luas dan layak

(Soentoro et al., 1999; Adisasmito, 1998; Sudana et al., 2000).

Kemampuan penyediaan lahan oleh industri gula tidak sepenuhnya oleh pabrik

gula itu sendiri, akan tetapi banyak pula industri gula yang lahan tebunya punya

masyarakat. Pola tanaman tebu rakyat yang dilakukan oleh pemerintah tahun 80-an,

yaitu pola TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dimana pola plasma dan inti dikembangkan,

pada awalnya memperoleh antusiasme oleh berbagai fihak, termasuk penyediaan dana

oleh perbankan. Akan tetapi selanjutnya sistem yang secara teoritis sangat bagus, selalu

ada perubahan yang pada akhirnya mengganggu terhadap program dimaksud. Sebagai

contoh bahwa masyarakat yang mengelola/menanam tebu tidak lagi mendapat harga

yang baik, karena dengan perubahan kondisi tanah yang terus-menerus dieksplorasi

menyebabkan kurangnya daya dukung terhadap hasil panen. Disamping itu, para petani

dengan keterbatasan dana tidak mungkin mengubah sistem pola tanam yang harus

bergantian jenis tebunya sesuai dengan kondisi tanah ataupun irigasi yang sangat

dibutuhkan oleh tanaman tebu yang semakin hari berebutan dengan alih konversi lahan.

Oleh karena itu, maka partisipasi masyarakat dalam mendukung industri gula

nasional masih perlu diperhitungkan dengan seksama. Prinsip kemitraan/partisipasi

masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang lemah dalam berbagai aspek

seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek kelembagaan (Purnaningsih,

1991 dalam Sitorus, 1994).

Hal yang sama terjadi pada peralatan giling langsung tebu yang terbuat dari

tembaga, setiap selesai giling pasti mengalami keausan. Untuk memperbaikinya tidak

langsung di ”inhouse workshop”, tetapi dilakukan diluar pabrik seperti di PT Barata

Indonesia (Surabaya), PT Boma Bisma Indra (Surabaya) dan PT Rekayasa Industri

(Jakarta), yang pada gilirannya akan memakan ongkos tinggi dilihat dari transportasi

Page 84: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

66

maupun waktu penyelesiannya. Disamping itu perlatan produksi yang sifatnya

”electrical system”, teknologinya sangat bervariatif tergantung pada merek asal unit

peralatan produksi tersebut; misalnya dari Belanda, Perancis atau Jerman. Disamping

itu kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung terjadi

peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli masyarakat.

Pembuatan makanan (kue-kue) yang memerlukan gula sangat bervariatif sesuai dengan

temuan-temuan teknologi dan cita rasa yang berkembang dengan pesat, sehingga

memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dan besarnya mencapai 2,96%.

Padahal kenyataan tersebut tidak sejalan dengan terjadinya penurunan produktivitas

industri gula yang besarnya mencapai -6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002).

Dalam melaksanakan kegiatannya, Pabrik Gula Jatitujuh memanfaatkan

sumberdaya yang ada disekitarnya baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya

manusia. Kegiatan pemanfaatan kedua sumber daya ini memperhatikan aspek

lingkungan sekitarnya yang meliputi komponen fisik, kimia, biologi, sosial budaya,

ekonomi, dan budaya serta komponen kesehatan masyarakat. Namun sebaliknya, bila

terdapat kegiatan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, maka akan berdampak

negatif.

Masa hak guna usaha (HGU) pabrik gula Jatitujuh adalah 25 tahun. Umur

kegiatan berlaku selama hak guna usaha berlaku yaitu berdasarkan SK Kepala Badan

Pertahanan Nasional No. 12/HGU/BPN/2004.

Lokasi kegiatan afleding (kebun) tebu terbagi menjadi 4 (empat) afdeling yaitu

di Jatimunggul, Cibenda, Kerticala dan Jatitujuh. Lokasi kebun ini berada pada elevasi

+ 25-50 m dpl. Letak lokasi secara geografis berada pada 108o 6’ 3” BT dan 6o 6’ 3”

LS. Adapun penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh luasnya mencapai 12 ha,

dengan penggunaan lahan rincinya dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 85: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

67

Tabel 3. Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh

No. Penggunaan Lahan Luas m % 2

1. Lahan tertutup bangunan/ kedap air a. Emplasemen 135,4 11,4 b. Jalan 682,4 5,72 c. Kantong air 479,5 4,02 d. Pertamina 66,5 0,56 e. Sungai/daerah genangan 105,7 0,89 f. Luas lahan tertutup 1.469,5 12,33

2. Lahan terbuka a. Penghijauan dan hortikultura 253,0 2,12 b. Kebun produksi: - Tebu giling 8.400 70,46 - Tebu bibit 1.000 8,37 c. Lahan terbuka 799,05 6,70 Luas lahan terbuka 10.452,05 87,67 Total luas lahan yang dikuasai 11.921,55 100

Sumber: PT. PABRIK GULA. Rajawali II

4.3 Gambaran Umum Industri Gula Dunia

Produksi dunia gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09.

FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan

pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4% kurang dari pada

2007/08. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh produksi di India, di mana

output gula sekarang sudah menurun drastis 45%. Penurunan terjadi dari luas tanaman,

seperti banyak produsen mengalokasikan tanah untuk alternatif yang lebih

menguntungkan seperti jagung dan kedelai. Selain India, produksi gula di Australia, Uni

Eropa, Pakistan, Thailand dan Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang relatif

kecil. Namun, di Amerika Latin dan kawasan Karibia, produksi gula di Brasil

(Oktober/September) meningkat menjadi 39,6 juta ton pada tahun 2008/09, sekitar 29%

lebih tinggi dari pada 2007/08, meskipun hujan lebat pada saat panen, yang menurunkan

hasil panen.

Produksi dunia mencapai 566 juta ton, yang berarti ada kenaikan 15% dari tahun

lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Diperkirakan kurang lebih 60% dari

Page 86: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

68

panen 2008/09 Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor

yang lebih tinggi. Namun jika harga gula internasional terus naik, sedangkan harga

minyak mentah tidak mengalami kenaikan, maka gula berbasis tebu diarahkan untuk

ditingkatkan. Di tempat lain di wilayah ini, produksi gula di Kolombia meningkat

sebesar 3 % pada tahun 2008/09, sementara itu di Argentina relatif tetap / tidak berubah

dan di Peru sedikit penurunan.

Di Eropa, Perancis menduduki peringkat pertama dengan menjadi produsen gula

terbesar yang memproduksi sebanyak 22.60% dari total produksi pada tahun 2004/2005,

yaitu sebesar 4,5 juta ton. Posisi

selanjutnya diisi oleh Jerman, Polandia dan Inggris. Di

negara-negara Eropa Timur, seperti Latvia dan Slovenia hanya memiliki share 0,3%

dan 0,2 % dari total produksi Eropa, yang berkisar 19,9 juta ton (Tabel 4).

Tabel 4. Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton)

(World Balance)

Keseimbangan 2006-2007 2007-2008 2008-2009

Perubahan 2008-2009 thd tahun 2007-

2008 166.1 Produksi 167.6 158.5 -5.4 46.7 Perdagangan 47.3 50.2 6.0 154.0 Pemakaian 158.4 162.2 2.4

73.3 Persediaan (stock) 80.9 76.3 -5.7

Indikator Suplai & DemandKonsumsi perkapita

Dunia ( 22.5 kg/th) 23.1 23.4 1.3 LIFDC (kg/th) 12.9 13.4 13.7 1.8 World stock-to-use ratio (%) 47.6 51.1 47.0

10.08 Harga di AS (US $ (cent/lb) 12.80 13.78 8.8

Sumber: United States Department of Agriculture Supply and Distribution Foreign Agricultural Service Sugar, 2009

Di Meksiko (Januari-Mei 2009), produksi gula mencapai 5,8 ton, relatif tidak

berubah dari musim lalu. Pemakaian pupuk tanaman dan peternakan sangat sedikit,

cukup untuk mengimbangi insentif produksi yang ditawarkan oleh program

Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang memberikan Gula Meksiko akses

Page 87: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

69

bebas ke Pasar Kanada maupun Amerika Serikat. Guatemala, produsen gula terbesar

kedua di wilayah tersebut yang memperluas juga tingkat pasar, sebagai akibat dari

meningkatnya areal tebu, karena didorong oleh harga gula tebu yang lebih tinggi. Di

Kuba, produksi gula sekarang mengalami penurunan dibanding 2008/2009 sebagai

akibat dari kerusakan oleh Badai Ike dan Gustave, yang melanda negeri tersebut pada

bulan September 2008.

Agregat produksi gula di Afrika naik sebesar 8,3% menjadi 11 juta ton pada

tahun 2008/2009, melampaui pertumbuhan tahunan 3% selama tiga tahun terakhir.

Ekspansi terutama disebabkan oleh peningkatan lahan tanam dan kapasitas pengolahan

baru. Investasi ini berlangsung sebagian besar untuk mengantisipasi ekspor yang lebih

besar ke pasar dan harga gula yang lebih tinggi. Uni Eropa di bawah Everything-But

Arms Initiative (EBA), yang memungkinkan negara-negara paling terbelakang di Afrika

mempunyai akses bebas kuota ke Pasar Uni Eropa. Di Afrika Selatan, produsen gula

terbesar benua itu, produksi gula mencapai 2,3 juta ton pada tahun 2008/09, naik 6,6%

dari 2007/08, karena cuaca baik meskipun peningkatan biaya pupuk sebesar 100% sejak

2007/08. Pada saat yang sama, devaluasi rand terhadap Dolar Amerika Serikat sejak

2007/08 telah memberikan beberapa keuntungan kepada eksportir gula. Produksi gula

di Mesir diperkirakan 1,9 juta ton, hanya 1,4% lebih banyak daripada di 2007/2008,

karena harga sereal lebih menarik, terutama perluasan wilayah untuk gandum. Produksi

di Sudan naik 3,6% dari 2007/2008, karena kondisi cuaca yang menguntungkan dan

kondusif berkat dukungan publik juga. Produksi direncanakan untuk dikembangkan

secara signifikan di tahun-tahun mendatang, terutama dengan selesainya Proyek Gula

Nil (Nile Sugar Project), yang menyediakan infrastruktur irigasi untuk meningkatkan

kawasan tebu. Keuntungan sekitar 8% juga di Kenya meskipun subsektor gula negara

menghadapi persaingan kuat dari produsen yang lebih efisien dalam anggota lain dari

pasar bersama Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA).

Peningkatan produksi gula pada tahun 2008/09 juga dialami oleh Mauritius, Mozambik,

Swaziland dan Republik Tanzania.

Program EBA adalah sebuah inisiatif Uni Eropa yang memberikan akses bebas

terbatas kepada 50 negara-negara berkembang untuk melemparkan produksinya ke

pasar Uni Eropa. Program EBA diberlakukan pada tahun 2001 untuk semua produk,

kecuali untuk pisang segar dan beras. Impor komoditas ini dari negara-negara

berkembang sangat menarik walaupun tunduk pada kuota yang secara bertahap berakhir

Page 88: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

70

pada tahun 2009. Dalam kasus gula, tidak ada tarif atau pembatasan kuantitatif

diterapkan pada impor dari negara-negara berkembang. Sejauh ini, investasi besar yang

telah dibuat oleh negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, untuk memperluas

kapasitas produksi gula dan pengolahan di tingkat pertanian dan pabrik untuk

mengantisipasi peningkatan akses pasar ke Uni Eropa. Pada tahun 2008, gula negara-

negara berkembang diekspor ke Uni Eropa sebesar 400.000 ton, meningkat 33,6 % dari

tahun 2007. Terlepas dari itu semua ekspornya sekitar 100% lebih rendah untuk

negara-negara berkembang daripada pemasok Most Favoured Nation (MFN) lain,

sekitar 66% dari peningkatan impor Uni Eropa di tahun 2008 diisi oleh pengiriman dari

Brazil. Suplainya terkendala, termasuk kurangnya kapasitas penyimpanan gula, yang

terus menghalangi kemampuan negara-negara berkembang guna memperluas ekspor.

Penelitian menunjukkan hasil yang bertolak belakang pada efek kemungkinan

EBA mengimpor dari Uni Eropa dari negara-negara berkembang, walaupun akses pasar

telah penuh diberikan kepada mereka pada Oktober 2009. Beberapa penelitian

memperkirakan mereka tidak melampaui 1 juta ton, dengan alasan biaya usaha

(production cost) besar, sementara yang lain proyek mereka untuk lebih dari 2 juta ton.

Selain dari kesenjangan yang ada dalam infrastruktur fisik, konvergensi harga internal

Uni Eropa dan harga gula dunia dalam beberapa tahun terakhir secara substansial

mengurangi daya tarik pasar Uni Eropa, yang dapat menyebabkan negara-negara

berkembang untuk memikir ulang beberapa atau semua dari mereka menggunakan Uni

Eropa untuk lain wilayah baik regional dan atau pasar internasional.

Prospek produksi gula di Asia menunjukkan penurunan tajam dari tingkat

dicapai dalam 2007/2008, karena pengurangan substansial di India dan Pakistan. Output

gula di Negara-negara Asia tersebut, sekarang diperkirakan mencapai 15,8 juta ton,

turun 45% dari tahun lalu, mengingat curah hujan tidak teratur dan perubahan alokasi

tanah untuk konversi lahan lainnya. Akibatnya, produksi India diperkirakan jatuh, dan

hanya untuk konsumsi dalam negeri, untuk pertama kalinya sejak 2004/05. Harga

domestik telah meningkat sejak awal tahun 2009, memaksa pemerintah untuk

merekomendasikan perubahan harga minimum resmi/the statutory minimum

price (SMP) untuk tebu, yang dapat menyebabkan kenaikan harga 54% untuk musim

2009/2010. Demikian pula, produksi gula di Pakistan menurun sebanyak 23%, terutama

karena harga yang diberikan tidak memberikan insentif yang cukup untuk produsen,

Page 89: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

71

sementara pengurangan akses ke kredit membuatnya sulit bagi beberapa pabrik untuk

membeli dan memproses tebu.

Di Thailand meskipun produksi gula diperkirakan naik 2%, tetapi kenyataannya

mengalami penurunan, walaupun sebelumnya berprospek untuk dikembangkan lebih

dari 5% kerena cuaca yang tidak menguntungkan dan lahan tebu berkurang. Para

industri gula menyalahkan situasi kredit yang ketat, sehingga mengalami penurunan

utilisasi kapasitas pabrik sehingga turun pula produksinya. Ekspansi sedang dilakukan

di Turki, sementara produksi di Cina mungkin mengalami penurunan karena cuaca

dingin tiba-tiba melanda di daerah selatan yang pada saat kritis sedang dalam

pengembangan tanaman.

Produksi gula di Uni Eropa 14,4 juta ton, sesuai dengan target produksi, setelah

mencapai 17,4 juta ton pada tahun 2007/2008. Penurunan produksi konsisten dengan

pelaksanaan program reformasi rezim gula Uni Eropa, yang dimulai tahun 2006/2007,

dalam hal ini produksi gula Uni Eropa harus dipotong 6 juta ton selama empat tahun.

Sejauh ini, pemotongan total telah mencapai 5,8 juta ton. Produksi gula sekarang

terkonsentrasi di 18 negara anggota sebagaimana jumlah anggota Uni Eropa sebanyak

23 sebelum dimulainya reformasi. Di sisi lain, produksi diperkirakan naik di Federasi

Rusia meskipun ada pengurangan lahan, di tingkat pertanian dan pabrik. Produksi di

Ukraina mengalami penurunan, di mana petani mengurangi lahan untuk menanam biji

bunga matahari yang lebih menguntungkan. Produksi gula di Amerika Serikat di bawah

level 2007/08, menyusul penurunan 13% produksi gula bit, mencerminkan pergeseran

ke tanaman lain. Perkiraan awal 2009/10 menunjukkan bahwa pemulihan lahan

sebanyak 28%, akan membawa prospek yang lebih tinggi. Di Australia, kondisi cuaca

yang kurang menguntungkan dalam bentuk banjir bisa menekan produksi sebesar 6,4 %

menjadi 4,7 juta ton.

Harga gula dunia yang kuat sesuai permintaan global, sejak isu terakhir dari

kebutuhan makanan pada bulan November 2008. Harga gula internasional pada tiga

tahun belakangan ini mengikuti kecenderungan stabil, bergerak dari US$ 12,10 sen per

pound pada November 2008 menjadi US$ 13,65 sen per pond pada bulan April 2009

dan mencapai harga tertinggi US$ 16,06 sen per pound pada Mei 2009. Pola harga

terutama mencerminkan pengurangan ketersediaan ekspor global, menyusul penurunan

tajam dalam produksi gula India pada 2008/2009. Harga bisa bergerak lebih tinggi, itu

bukan karena penurunan ekonomi dunia, yang dibatasi permintaan, dan melemahnya

Page 90: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

72

mata uang nasional relatif terhadap dolar Amerika Serikat, yang ditopang ekspor dari

negara-negara seperti Brazil, produsen/pengekspor gula terbesar dunia. Harga gula juga

dapat meningkatkan volatilitas (mudah berubah) mengingat ketidak-pastian terkait

dengan sejauh mana India akan memanfaatkan pasar dunia untuk menebus defisit

produksinya.

Konsumsi global terus berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari

kecenderungan tren jangka panjang, di tahun 2008/2009 meningkat menjadi 162 juta ton

atau 2,4% lebih banyak daripada di 2007/2008. Lambatnya peningkatan tersebut jika

dibandingkan masing-masing dengan 3,4% dan tingkat 4,7% ekspansi dialami dalam

2007/2008 dan 2006/2007. Konsumsi gula perkapita diperkirakan meningkat dari 23,1

kg pada 2007/08 menjadi 23,4 kg pada 2008/09. Harga gula domestik meningkat dan

prospek ekonomi tidak banyak, sehingga mengalami perlambatan konsumsi. Penurunan

ekonomi, menekan penggunaan gula oleh industri olahan makanan, termasuk industri

minuman, yang sangat sensitif terhadap variasi dalam pendapatan. Konsumsi gula di

negara-negara berkembang diramalkan tumbuh sebesar 3,2% menjadi 113,2 juta ton,

didukung pertumbuhan penduduk dan oleh pendapatan perkapita. Konsumsi gula di

India, bisa mencapai 25,3 juta ton, naik dari 24,6 juta pada 2007/08, sedikit meningkat

jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun sisa ceruk pasar,

diantisipasi juga oleh Brazil, Cina dan Indonesia. Di sisi lain perubahan konsumsi

diperkirakan meningkat dinegara-negara maju, khususnya Australia, Jepang dan Uni

Eropa, mengingat sudah tinggi konsumsi perkapitanya, sementara adanya perlambatan

pertumbuhan penduduk. Konsumsi di Amerika Serikat agak tumbuh, tapi relatif masih

banyak ketidak pastian terhadap ukuran ekspansinya karena penurunan ekonomi saat

ini.

Perdagangan gula dunia mencapai 50,2 juta ton pada tahun 2008/2009, 6% lebih

tinggi dari perkiraan 2007/2008, yang didorong oleh permintaan impor yang kuat oleh

negara-negara yang menghadapi kekurangan produksi, khususnya Uni Eropa, India dan

Pakistan. Karena ketidakpastian jumlah impor gula oleh India guna menutup

kekurangan produksi yang tajam pada tahun 2008/2009. Berdasarkan informasi saat ini,

FAO memperkirakan impor India berkisar sekitar 3 juta ton, dengan bebas bea. Uni

Eropa berubah menjadi importir net-gula, sebagai penurunan produksi sejalan dengan

reformasi industri gula dalam negerinya. Impor resmi tercatat sebesar 4,9 juta ton, setara

Page 91: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

73

dengan 53,6 %, atau 1,7 juta ton lebih tinggi dari musim lalu, yang berasal dari negara

yang memiliki akses khusus ke Uni Eropa, mengingat tarif MFN sangat tinggi.

Di tempat lain di Eropa, impor oleh Federasi Rusia, importir gula terbesar di

tahun 2007/2008, yang menurun sebesar 14% menjadi 2,8 juta ton, karena ekspansi

produksi. Saat ini jumlah impornya jauh telah kurang dari tahun-tahun sebelumnya,

karena bea masuk yang sangat tinggi sebesar US$ 220 per ton. Di Asia, pembelian oleh

India, Malaysia dan Pakistan meningkat, terutama karena permintaan domestik yang

kuat atau penurunan produksi. Di seluruh dunia, pengiriman ke Amerika Serikat

diperkirakan sebesar 2,7 juta ton, yaitu 800.000 ton lebih banyak dari pada 2007/08,

terutama untuk melayani pasar domestik. Sekaligus mengadakan kembali cadangan,

mengingat rasio stock yang digunakan relatif rendah. Impor oleh negara-negara di

Afrika yang diramalkan diperluas sekitar 4,3% menjadi 9,2 juta ton, jauh lebih rendah

daripada yang dibayangkan sebelumnya, sebagai persediaan yang diproduksi secara

lokal untuk bisa menggantikan impor.

Kekurangan produksi di 2008/2009, terutama di India, telah mendorong pasokan

terhadap permintaan situasi di pasar dunia. Meskipun demikian, ketersediaan stok yang

relatif baik di Thailand. Disamping itu pertumbuhan yang baik di Brazil dan Guatemala

akan membantu mempertahankan ekspansi 6,2% diekspor dunia. Brazil, eksportir

terbesar di dunia, bisa memperoleh manfaat besar dari meningkatnya kucuran gula

internasional. Brazil bisa meningkatkan pengiriman sebesar 28% menjadi 24,1 jta ton,

setelah kenaikan di tahun 2007/08, terutama karena biaya pengangkutan agak murah

yang memungkinkan negara tersebut mendapatkan kembali pangsa pasar, khususnya di

Asia. Secara keseluruhan dari Asia, ekspor turun sebesar 8% menjadi 10,7 juta ton pada

tahun 2008/09, terutama karena pengiriman yang lebih kecil dari India dan Pakistan.

Didorong oleh tingginya harga gula internasional, pengiriman dari Thailand meningkat

sebesar 41% menjadi 5 juta ton, sebagian besar disalurkan kepada negara-negara

tetangga. Di tempat lain, ekspor Meksiko 600.000 ton, meningkat 20% selama 2007/08,

bahkan bisa mencapai 1 juta ton, didukung karena akses bebas ke pasar Amerika Utara.

Harga gula internasional berdasarkan Perjanjian Gula Internasional/International Sugar

Agreement (ISA), yang dihasilkan oleh Organisasi Gula Internasional/International

Sugar Organization (ISO), dihitung sebagai rata-rata sederhana sesuai

dengan Intercontinental Exchange Sugar Contract (IESC) No. 11. Di dalam

Page 92: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

74

produksinya,

Brazil dan Thailand berkontribusi lebih terhadap perdagangan dunia, sedangkan

WTO memaksa Uni Eropa untuk mengurangi ekspor gula mereka sampai dengan 80%.

Hampir 75% produksi gula dunia merupakan hasil perkebunan tebu di zona tropis yang

berlokasi di bumi bagian selatan. Produsen gula tebu terkemuka yaitu Brazil, India,

China, Thailand, Pakistan, dan Meksiko. Sisanya diproses dari gula bit yang tumbuh di

daerah bersuhu dingin, di bumi bagian utara. Perancis, Jerman, USA, Rusia, Ukraina,

dan Turki merupakan produsen terbesar dari gula bit. Tidak semua negara produsen

menjual gula mereka di perdagangan internasional. Saat ini, 70% gula dunia dikonsumsi

di negara produsen. Hanya 30% saja yang di perdagangkan di luar negara asalnya.

Konsumsi gula global meningkat sekitar 2% per tahunnya, dan mengalami

peningkatan17% dari 128 juta ton di tahun 2000 menjadi 150 juta di tahun 2006.

Konsumsi gula tertinggi terdapat di Brazil (59 kg gula per tahun), Meksiko (53), dan

Australia (50).

Uni Eropa menggunakannya untuk konsumsi domestik yaitu 68%, India

dan Amerika Serikat sekitar 60% dan Brazil 48%.

Tabel 5. Produsen gula terkemuka dunia

No. Negara Jumlah (juta ton)

Rasio dari produksi gula

global (%) 1 Brazil 30 20

2 Uni Eropa 22 14.7

3 India 20 13.33

4 China 10 6.6

5 USA 7 4.6

6 Meksiko 6 4

7 Afrika Selatan 5.7 3.8

8 Australia 5.4 3.6

9 Thailand 5 3.3

10 Rusia 2.7 1.8

Sumber: Top Ten Sugar Exporters (2010)

Page 93: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

75

Tabel 5 menyajikan produsen gula terkemuka untuk tahun 2005-2006. Produsen-

produsen tersebut memiliki kontribusi hampir 80% dari produksi gula global yang

berjumlah 150 juta ton di tahun 2005-2006. (Musim gula international berjalan dari

September sampai dengan Agustus).

Produsen yang juga mengekspor dengan persentase tertinggi dari produksi gula

mereka, adalah Australia (76%), Brazil (59%), dan Uni Eropa (37%). Sebaliknya, India

dan Meksiko masing-masing hanya mengekspor 5% saja, sedangkan China dan Rusia

tidak menjual produksi gula mereka ke pasar internasional. Tabel 6 memperlihatkan 10

eksportir gula terkemuka dunia untuk tahun 2005-2006.

Tabel 6 Produsen gula terkemuka dunia yang mengekspor

No. Negara Jumlah (juta ton)

Rasio dari ekspor gula global (%)

1 Brazil 17,7 39

2 Uni Eropa 8,1 18

3 Australia 4,1 9

4 Thailand 2,6 5,8

5 SADC (South Africa Development Community)

1,6 3,6

6 Guatemala 1,5 3,3

7 India 1,4 3,1

8 Teluk Persia 1,3 2,9

9 Afrika Selatan 1,3 2,9

10 Kuba 1,2 2,7

Sumber: Top Ten Sugar Exporters (2010)

4.4 Perdagangan Gula Internasional

Brazil terus mendominasi pasar gula internasional, dipacu oleh permintaan

ethanol bebasis gula. Di tahun 2006-2007, Thailand diharapkan dapat meningkatkan

ekspor gula sampai mendekati 30% dikarenakan luasnya perkebunan tebu disana.

Meskipun India telah meningkatkan produksi gula sebanyak 12%, pemerintah setempat

melarang ekspor gula sampai April 2007 sebagai langkah untuk meningkatkan harga

gula domestik.

Page 94: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

76

Uni Eropa gagal menjalankan tanggung jawab untuk melaksanakan Persetujuan

Uruguay (The Uruguay Agreement on Agriculture), Organisasi Perdagangan Dunia (The

World Trade Organization) yang saat ini membatasi ekspor gula bersubsidi Uni Eropa

sebanyak 1.4 juta ton per tahunnya. Adanya penurunan dramatis ekspor gula Uni Eropa,

kenaikan ekspor dari Brazil, Thailand dan India diharapkan dapat mengurangi efek

kerugian di pasar gula internasional. (http://world-trade-organization.suite101.

com/article.cfm/ top_ten_sugar_exporters; Top Ten Sugar Exporters, 31 Mei 2010)

4.5 Gambaran Umum Industri Gula di Indonesia

Dalam perekonomian Indonesia, gula merupakan salah satu komoditas strategis.

Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis

tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan

jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,5 juta orang. Gula juga merupakan

salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena

merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula mempunyai pengaruh

langsung terhadap laju inflasi.

Pada periode 1991-2001, industri gula Indonesia mulai menghadapi berbagai

masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah

kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16,6% per tahun pada

periode tersebut. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan laju

2,96% per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3,03% per tahun.

Pada lima tahun 1997-2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan dengan laju

6,14 % per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002).

Di Indonesia, luas areal penanaman tebu pada musim tanam tahun 2003/2004

mencapai 321.530,1 hektar. Luas areal perkebunan di Pulau Jawa lebih luas

dibandingkan dengan perkebunan tebu di luar Pulau Jawa. Perincian luas areal

penanaman tebu di Indonesia pada musim tanam 2003/2004 disajikan pada Tabel 7.

Dilihat dari sisi luasan bahwa tanah milik perusahaan gula yaitu 151.011,6 ha

atau hanya 46,97%; sedangkan tanah (kebun) milik rakyat luasnya 170.518,5 ha atau

53,03%. Dengan kata lain bahwa kontribusi dan partisipasi masyarakat terhadap

industri gula nasional sangat tingi. Lokasi atau tempat di Pulau Jawa merupakan

mayoritas dari jumlah luasan tanah dari seluruh tanah/kebun yaitu 208.167,3 ha atau

64,74%. Ini merupakan kondisi yang patut terus diperhatikan, mengingat Pulau Jawa

Page 95: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

77

dengan penduduk mayoritas memerlukan kegunaan tanah untuk berbagai keperluan

seperti perumahan, industri, sarana prasarana jalan dan kegiatan ekonomi lainnya (Tabel

7).

Tabel 7 Luas areal tebu per perusahaan

No PTPN / PT Luas (Ha)

Total (Ha)

% thd Total Ind. Tanah

Sendiri Tanah Rakyat

1 2 3 4 5 6 7

PT. RNI II Pulau JAWA

PTPN IX PTPN X PTPN XI PT. Kebon Agung PT. Madu Baru PT. RNI I

12.250,0

181,0 4.049,0

23.566,8 1.008,3 2.529,7

111,0

9.022,0

29.137,0 47.669,0 39.236,3 19.865,6 1.571,2

17.970,4

21.272,0 29.318,0 51.718,0 62.803,1 20.873,9 4.100,9

18.081,4

6,62 9,12

16,08 19,53

6,49 1,28 5,62

Jumlah Jawa 43.695,8 164.471,5 208.167,3 64,74

1 2 3 4 5 6 7 8

PTPN II Luar Pulau JAWA

PTPN VII PTPN XIV PT. GMP PT. GPM PT. RNI III PT. Sweet Indo Lamp PT. ILP

6.482,3

17.244,9 8.946,1

21.416,0 17.309,2 6.500,0

12.795,5 16.621,8

711,0

5.287,6 - - -

48,4 - -

7.193,3

22.532,5 8.946,1

21.416,0 17.309,2 6.548,4

12.795,5 16.621,8

2,24 7,01 2,78 6,66 5,38 2,04 3,98 5,17

Jumlah Luar Jawa 107.315,8 6.047,0 113.362,8 35,26

Total (Indonesia) %

151.011,6 46,97

170.518,5 53,03

321.530,1

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2009)

Industri gula nasional memiliki peran yang strategis dalam bidang sosial budaya,

ekonomi dan politik. Di bidang sosial budaya pengusahaannya melibatkan lebih dari 1,5

juta tenaga kerja baik sebagai karyawan tetap, musiman dan petani tebu. Di bidang

ekonomi dari produk utamanya berupa gula yang mencapai 2,2 juta ton pada tahun 2005

bernilai sekitar ± Rp.11 trilyun, belum termasuk produk samping berupa tetes 1,3 juta

ton/tahun senilai Rp. 0,7 trilyun rupiah. Kontribusi tersebut akan terus meningkat

sejalan dengan meningkatnya produksi. Di bidang politik, dengan banyaknya

masyarakat yang terlibat dalam kegiatan on farm dan off farm, memiliki posisi tawar

yang tinggi dalam mempengaruhi penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah (AGI,

2006).

Page 96: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

78

Pemerintah telah mencanangkan swasembada gula pada tahun 2014, dengan

demikian kondisi pada tahun itu dan seterusnya, diharapkan konsumsi gula nasional

dapat dipasok dari produksi dalam negeri, atau tidak menggantungkan dengan gula

konsumsi asal impor. Dalam rangka hal tersebut diatas, perkembangan konsumsi gula

nasional saat ini terus mengalami peningkatan baik untuk kebutuhan masyarakat umum

yang dikenal dengan gula putih/pasir ataupun gula untuk kebutuhan industri yang

disebut gula rafinasi. Tahun 2006 konsumsi gula putih mencapai 2,66 juta ton,

sedangkan gula rafinasi 1,5 juta ton.

Seiring dengan peningkatan kebutuhan gula tersebut, maka pabrik gula terus

memacu kapasitas produksinya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat umum

ataupun industri. Produksi gula putih/pasir sebesar 2,015 juta ton (2004) meningkat

sebesar 2,3 juta ton (2006), sementara produksi gula rafinasi sebesar 380.500 ton (2004)

dan meningkat sebesar 1,125 juta ton (2006).

Saat ini pabrik gula tebu di Indonesia tercatat 70 buah PG, 55 PG diantaranya

adalah warisan kolonial yang dinasionalisasi tahun 1957, dan 15 buah merupakan

pembangunan setelah kemerdekaan, namun yang aktif beroperasi tinggal 61 PG yang

terdiri dari 47 PG merupakan PG lama (warisan kolonial) yang telah berumur antara 67-

176 tahun dan hanya 14 PG yang berumur 10-31 tahun. Dimungkinkannya PG-PG tua

masih beroperasi karena pada periode akhir tahun 1970-an s.d 1980-an, rehabilitasi

secara besar-besaran telah dilakukan dengan mendapat dukungan dana dari pemerintah

dan pinjaman luar negeri.

Dari 61 PG yang beroperasi tersebut dengan total kapasitas riil 195.800 TCD,

dengan tingkat produksi yang dicapai pada tahun 2005 sebesar 2,2 juta ton hablur serta

tahun 2006 sebesar 2,42 juta ton, ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi

dalam negeri yang terus meningkat, sehingga impor masih terus dilakukan dengan

besaran berkisar 1,3 juta ton setahun (AGI, 2006).

Pada tahun 2005 total konsumsi gula nasional tercatat 3,3 juta ton terdiri dari 2,6

juta ton konsumsi langsung/rumah tangga dan 0,7 juta ton konsumsi industri. Dengan

pertumbuhan konsumsi gula nasional 2% per tahun yang terdiri dari konsumsi rumah

tangga 1,2 % mengikuti jumlah penduduk dan 5% konsumsi industri, maka kebutuhan

konsumsi gula nasional pada tahun 2009 sebesar 3,65 juta ton dan tahun 2014 sebesar

3,9 juta ton. Pemerintah bertekad untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan gula

Page 97: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

79

(swasembada), sehingga ke depan peranan pabrik gula dalam menyediakan bahan

berupa gula semakin penting.

Dengan kapasitas yang ada, potensi PG untuk memproduksi gula hanya sebesar

2,5 juta ton hablur, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi nasional

yang dilakukan secara simultan melalui rehabilitasi tanaman, diikuti rehabilitasi dan

pengembangan kapasitas pabrik serta pembangunan PG baru. Sejak krisis ekonomi

tahun 1998 upaya pemeliharaan pabrik gula terkendala oleh keterbatasan dana, sehingga

relatif selama 12 tahun terakhir perbaikan pabrik tidak dapat dilakukan secara memadai,

khususnya pabrik-pabrik gula milik pemerintah yang berjumlah 51 buah, sehingga dari

jumlah tersebut saat ini hampir semuanya memerlukan rehabilitasi, dari yang ringan,

sedang maupun berat.

Produksi gula dalam negeri belum akan mampu memenuhi konsumsi jika tidak

dilakukan tindakan akselerasi peningkatan produksi gula. Program perbaikan tingkat on

farm sudah dilakukan dengan program bongkar ratoon dan penggantian varietas. Namun

sejalan dengan perbaikan usaha tani perlu juga dilakukan perbaikan off farm, khususnya

rehabilitasi dan revitalisasi pabrik gula. Paradigma industri gula juga harus berubah

sejalan dengan perubahan tuntutan teknologi. Diversifikasi produk dan reorientasi

industri gula berbasis tebu harus dilakukan. Semua kegiatan ini tentu saja memerlukan

dana yang tidak sedikit, sehingga perlu dilakukan skim pendanaan yang tepat bagi

pabrik gula, khususnya yang kondisi mesinnya sudah tidak memenuhi standar

operasional.

Produksi gula putih, yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula (PG) di bawah

naungan PTPN (Persero) dan PT. RNI yang berjumlah 51 PG dan 10 PG yang dimiliki

perusahaan swasta, sedangkan produksi gula rafinasi seluruhnya dihasilkan oleh swasta,

dengan jumlah 5 unit.

Mengantisipasi peningkatan minat petani tebu dan pencapaian swasembada gula

tahun 2014, maka dipandang perlu meningkatkan kinerja PG-PG, yang pada umumnya

telah mengalami penurunan umur teknis mesin/peralatan pabrik. Kondisi ini terjadi

karena banyak PG-PG tersebut pembangunan atau pendiriannya pada zaman Belanda,

hingga saat ini masih beroperasi, maka kondisi tersebut perlu dilakukan peremajaan atau

restrukturisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas giling, mutu gula yang

dihasilkan, efisiensi penggunaan BBM dan penanganan limbah PG.

Page 98: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

80

Produksi gula kristal putih (GKP) tahun 2009 sebesar 2,7 juta ton dan dengan

program revitalisasi diproyeksikan akan meningkat menjadi 3,54 juta ton pada tahun

2014. Kebutuhan gula nasional (GKP dan gula kristal rafinasi/GKR) tahun 2014 sebesar

5,70 juta ton, terdiri dari 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung dan 2,74 juta ton untuk

kebutuhan industri. Produksi GKP tahun 2014 diproyeksikan akan surplus 580 ribu ton

dari kebutuhan konsumsi langsung yang bisa dialihkan menjadi bahan baku untuk

pabrik gula rafinasi atau dapat dijual langsung ke industri khususnya industri kecil.

Namun demikian di tahun 2014 masih diperlukan impor gula sebesar 2,16 juta ton atau

setara dengan raw sugar 2,30 juta ton, yang tentunya akan berkurang sejalan dengan

dibangunnya PG baru. Peran lembaga penelitian di bidang gula khususnya P3GI dalam

satu dasawarsa terakhir menurun karena ketidakjelasan status hukum dan pendanaan.

Berangkat dari permasalahan tersebut diatas, pemerintah dalam tahun 2010 – 2014 perlu

melakukan revitalisasi PG yang ada (existing) dan pembangunan PG baru yang

berjumlah 34 buah.

4.6 Kebijakan Pemerintah pada Industri gula

Kontribusi pemerintah terhadap kinerja industri gula, yang dalam hal ini dapat

dikategorikan sebagai industri strategis; seyogyanya tidak hanya teoritis akan tetapi

secara nyata berbentuk materi. Beberapa industri gula nasional khususnya yang

berstatus BUMN sudah menanti terhadap kucuran dana guna menyehatkan kembali

industrinya. Namun setelah dilihat dari berbagai aspek, maka yang lebih dulu

mengusulkan kucuran dana adalah melalui program revitalisasi pabrik gula.

Program di atas sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.

91/M-IND/PER/XI/2008 tanggal 21 Nopember 2008, No. 31/M-IND/PER/3/2009

tanggal 16 Maret 2009, No. 44/M-IND/PER/4/2008 tanggal 6 April 2010 tentang

Program Restrukturisasi Mesin Peralatan Pabrik Gula dimana bagi industri gula yang

telah merevitalisasi dan menstrukturisasi pabriknya dengan menggunakan pinjaman dari

bank maupun non bank, bunganya ditanggung oleh Direktorat Jenderal Industri Logam

Mesin Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian dengan skema sebagai mana di

bawah ini (Gambar 11).

Page 99: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

81

Gambar 11. Bagan mekanisme pelaksanaan program bantuan pembiayaan pembelian mesin peralatan pabrik gula

Dalam pengucuran anggaran tersebut tidak serta merta ditransfer ke rekening

industri gula tersebut akan tetapi harus dengan mekanisme penelusuran dukumen yang

valid/sah tentang pengadaan barang/jasa sesuai Keppres 80/2003. Untuk itu diterbitkan

suatu pedoman Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka yang

fungsinya mengatur tata cara permohonan keringanan biaya revitalisasi industri gula

yaitu Petunjuk Teknis Bantuan Pembiayaan untuk restrukturisasi mesin/peralatan pabrik

gula, Program Peningkatan Struktur Industri Mesin Kementerian Perindustrian.

Sebagai tahap awal pemerintah melalui pencanangan program revitalisasi pabrik

gula diharapkan mampu mendorong peningkatan efisiensi dan produktifitas baik untuk

on-farm dan off farm. Pemerintah melalui program retrukturisasi mesin/peralatan

pabrik gula akan mengoptimalkan kemampuan industri permesinan dalam negeri

sebagai upaya mendukung program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula.

Keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan merupakan stimulus untuk

mensukseskan program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula. Program bantuan

pembiayaan keringanan pembelian mesin/peralatan pabrik gula dimaksudkan untuk

membantu perusahaan industri pabrik gula melakukan peremajaan mesin/peralatan,

BAGAN MEKANISME PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN PEMBIAYAAN PEMBELIAN MESIN

PERALATAN PABRIK GULA

K P P N

KEMENPERIN

Pemohon/Peserta Program

KMM/LPI

BANK/LKBB

Persetujuan dan / permohonanPencairan anggaran

7

Laporan Hasil Verifikasi 6

Verifikasi 4SPM 8

Pembayaran skema program9

KEMENTANRekomendasi

3

1Pengajuan Kredit

SP2D

Permohonan ikut program

2

Proses Verifikasi

5

Page 100: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

82

dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas produksinya dengan menggunakan

mesin/peralatan berteknologi lebih maju buatan dalam negeri yang efisien serta

meningkatkan partisipasi kemampuan industri mesin/peralatan di dalam negeri.

Sasarannya antara lain meningkatkan produksi dan efisiensi pabrik gula-pabrik gula

yang masuk dalam program restrukturisasi pabrik gula. Ruang Lingkup dalam program

ini yaitu:

1. Program bantuan pembiayaan untuk peremajaan mesin peralatan pabrik gula,

adalah pemberian bantuan atas potongan bunga dari Pemerintah c.q. Kementerian

Perindustrian kepada perbankan dalam negeri yang telah mengeluarkan bantuan

pinjaman atas restrukturisasi mesin dan peralatan pabrik gula yang disetujui

pemerintah.

2. Besarnya bantuan adalah sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian atau

sejumlah nilai kredit yang telah disetujui oleh perbankan dan maksimum sebesar Rp.

10 (sepuluh) Milyar.

3. Sumber pembiayaan pembelian mesin/peralatan oleh perusahaan industri pabrik

gula didanai dari salah satu sumber atau kombinasi sumber pembiayaan yang

berasal dari kredit perbankan yang disetujui pemerintah.

4. Penilaian kelayakan pemberian bantuan dilaksankan oleh Tim Teknis yang dibentuk

oleh Kementerian Perindustrian dan dengan bantuan verifikasi atas pembelian

mesin/peralatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI) yang

ditunjuk (hasil lelang) oleh Pemerintah c.q. Kementerian Perindustrian.

5. Bantuan diberikan secara sekaligus setelah seluruh mesin/peralatan telah terpasang

dan dioperasikan di pabrik, dan seluruh bukti-bukti pembelian mesin/peralatan

dimaksud adalah benar dan sah.

6. Proses administrasi pembayararan atas bantuan yang telah disetujui akan difasilitasi

melalui Kantor Perbendaharaan Negara Jakarta bekerjasama dengan pihak

perbankan yang mendanai pinjaman atas kredit untuk pelaksanaan restrukturisasi

pabrik gula dan Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil

dan Aneka, Kementerian Perindustrian.

Ketentuan dan persyaratan serta kriteria penerima program, adalah perusahaan

pabrik gula, yaitu perusahaan yang mengolah tebu menjadi gula dan masuk dalam

Page 101: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

83

program pemerintah untuk direstrukturisasi mesin/peralatannya, yang memenuhi kriteria

sebagai berikut:

1. Berbadan Usaha Indonesia

2. Memiliki izin usaha sebagai industri pengolahan gula tebu.

3. Perusahaan yang melakukan peremajaan sebagian atau seluruh permesinannya

dalam rangka perluasan atau investasi baru.

4. Telah melakukan pembelian mesin/peralatan baru (bukan bekas) yang sesuai dengan

ijin usaha yang dimilikinya antara tanggal tertentu, sebagaimana tercantum dalam

daftar pencairan bantuannya.

5. Mesin/peralatan sebagaimana harus didukung oleh seluruh bukti-bukti pembelian

mesin/peralatan yang lengkap, benar dan sah yang pembiayaannya dapat bersumber

dari kredit bank dan/atau pembiayaan lembaga keuangan bukan bank (LKBB).

Mesin/peralatan yang dapat disertakan pada program restrukturisasi

mesin/peralatan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Terkait dengan proses produksi

2. Merupakan mesin/peralatan baru buatan tahun 2007 ke atas

3. Meningkatkan efisiensi dan/atau produktifitas dan/atau mutu produk

4. Mesin/peralatan produksi dalam negeri

Jenis mesin/peralatan yang dapat disertakan pada program restrukturisasi

mesin/peralatan adalah yang masuk dalam lingkup:

1. Mesin gilingan (cane unloading dan cane milling)

2. Mesin pemurnian (clarification)

3. Mesin penguapan (evaporator dan condensator)

4. Mesin pemasakan (graining, vacuum pan dan crystallizer)

5. Mesin puteran (curing, drying)

6. Alat pengangkat dan pemindah ( crane, hoist dan conveyor)

7. Boiler

8. Turbin

9. Kompresor

10. Generator

11. Instrumentasi dan kontrol

12. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL)

Page 102: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

84

13. Instalasi pengolahan air bersih (water treatment plant)

Mesin/peralatan produksi dalam negeri adalah mesin/peralatan yang proses

pembuktian tingkat komponen dalam negeri (TKDN)-nya mengikuti ketentuan yang

diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2006 tentang

Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri.

Adapun kriteria pemberi pinjaman adalah sebagai berikut:

1. Bank pelaksana adalah yang memenuhi ketentuan yaitu bank pemerintah atau

swasta nasional.

2. Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang memenuhi ketentuan, yaitu

merupakan LKBB yang berkedudukan hukum di Indonesia dan memiliki ijin usaha

dari Kementerian Keuangan RI serta masih aktif dalam menjalankan berbagai

kegiatan usahanya.

Dalam rangka membantu tugas-tugas tersebut di atas, Kementerian Perindustrian

membentuk tim pengarah yang diketuai oleh Direktur Jenderal Industri Logam Mesin

Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian, serta beranggotakan para pejabat terkait

di Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kantor Menneg BUMN,

Bappenas, Kementerian Keuangan, Perbankan, P3GI, PT. Rekayasa Industri, PT Barata

Indonesia, PT Boma Bisma Indra, Dewan Gula Indonesia dan instansi terkait lainnya.

Tugas tim pengarah adalah memberikan arahan dalam perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian program serta menjamin kerjasama lintas instansi sebaik-baiknya.

Dalam rangka membantu tugas tim pengarah, Kementerian Perindustrian

membentuk tim teknis yang diketuai oleh Direktur Industri Mesin, Kementerian

Perindustrian, serta beranggotakan perwakilan dari unsur-unsur pelaksana dari Tim

Pengarah. Tugas tim teknis adalah memberikan bantuan teknis kelembagaan yang

diperlukan Kementerian Perindustrian dalam menjalankan tugas-tugasnya termasuk

memberikan rekomendasi kepada kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk mendapat

keputusan atas hasil verifikasi LPI tahap permohonan mengikuti program serta

memutuskan permohonan pencairan program restrukturisasi atas hasil verifikasi LPI.

Sebagai langkah pengamanan, maka dilakukan berbagai kegiatan yaitu

pelaporan, pemantauan dan evaluasi.

Page 103: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

85

1. Pelaporan

a. Perusahan industri/pabrik gula yang telah memperoleh bantuan wajib

menyampaikan laporan kemajuan efisiensi dan produktifivitas mesin peralatan

setiap 6 (enam) bulan sekali selama 5 (lima) tahun kepada Kementerian

Perindustrian dengan tembusan kepada LPI terhitung sejak 6 (enam) bulan dari

realisasi pencairan bantuan.

b. LPI menyampaikan laporan tertulis hasil penugasannya, yang mencakup laporan

hasil verifikasi permohonan mengikuti program restrukturisasi, verifikasi

pencairan program restrukturisasi dan laporan pasca pencairan program

restrukturisasi, kepada Kementerian Perindustrian.

c. Kementerian Perindustrian menyampaikan realisasi program kepada para

Menteri terkait lainnya.

2. Pemantauan dan evaluasi oleh LPI:

a. Melakukan verifikasi atas pemasangan mesin/peralatan dan kinerja mesin

peralatan yang terpasang.

b. Memantau pemanfaatan mesin/peralatan untuk menghindari terjadinya

pelanggaran atas ketentuan yang berlaku

c. Melakukan evaluasi atas dampak peningkatan teknologi terhadap peningkatan

effisiensi dan/atau produktivitas dan/atau mutu.

d. Melakukan pemantauan dan evaluasi program secara keseluruhan serta

menyusun rekomendasi kepada Kementerian Perindustrian, tim pengarah dan

tim teknis.

e. Dibantu tim pengarah dan tim teknis, melaporkan data sebagai bahan kepada

Kementerian Perindustrian merumuskan kebijakan pengembangan program

selanjutnya.

4.7 Pengembangan Industri

4.7.1 Pasokan Bahan Baku Pada dasarnya semakin besar kapasitas pabrik gula maka akan semakin tinggi

efisiensi ekonominya. Berbagai kendala yang berhubungan dengan kapasitas antara lain:

Page 104: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

86

1) Pulau Jawa

Kendala yang dihadapi oleh pabrik-pabrik gula di P.Jawa dalam

mempertahankan kapasitas adalah ketersediaan lahan yang terbatas. Lahan-lahan

yang tadinya ditanami tebu, sudah banyak dikonversi menjadi peruntukkan lain

(bangunan dan lain-lain) atau ditanami tanaman lain seperti padi dan palawija. Ada

dua kemungkinan yang perlu dilakukan, yaitu:

a) Melakukan merger (amalgamisasi)

Mengantisipasi kesulitan mendapatkan lahan sesuai harapan, beberapa pabrik

(2 atau lebih) melakukan merger agar kapasitas pabrik dapat tercapai. Mesin-

mesin yang tidak dipergunakan dapat dialihkan ke luar Jawa dengan

melakukan pembangunan pabrik gula secara holistik. Agar lahan tidak berubah

fungsi, perlu ada kerjasama antara pabrik gula dengan pemilik lahan yang

bersifat langgeng. Ini dilakukan dengan dukungan kebijakan pemerintah

daerah dan pemerintah pusat.

b) Mengubah kapasitas pabrik

Apabila ada kendala dalam melakukan merger, pabrik gula yang telah ada

perlu menurunkan kapasitas pabrik (membangun pabrik baru dengan kapasitas

yang lebih rendah, misalkan kelipatan dari 250 TCD), sesuai dengan

ketersediaan lahan. Pabrik yang lama bisa dialihkan ke luar Jawa dengan

pembangunan pabrik gula baru.

2) Luar Jawa

Pembangunan pabrik gula yang baru di luar Jawa tidak serta merta mudah

dibangun. Beberapa kendala yang ada, antara lain :

a) Ketersediaan SDM petani tebu

Saat ini pengelolaan budidaya tebu oleh petani di luar Jawa, belum pada

kondisi yang baik dibanding dengan di Jawa yang sudah pengalaman. Untuk

itu perlu perlakuan khusus, agar dapat memberikan produktivitas yang optimal,

petani yang akan menanam tebu terlebih dahulu perlu diberikan pelatihan dan

bimbingan oleh investor pabrik gula.

b) Lahan pertanian

Secara kuantitas lahan pertanian di luar Jawa masih tersedia, tetapi

kesuburannya pada umumnya marginal. Selain kesuburannya rendah,

Page 105: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

87

ketersediaan air irigasi belum memadai dalam mendukung penanaman tebu.

Ini memberikan indikasi pembangunan pabrik di luar jawa perlu investasi yang

relatif besar.

4.7.2 Masalah lain di Industri Gula

Masalah lain yang dihadapi industri gula nasional antara lain

1. Petani Tebu

Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya masih rendah,

dan sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara

petani tebu dan PG. Faktor ini, selain praktek relasi petani-PG yang disintegratif

terhadap peningkatan produktivitas juga dipicu oleh penguasaan tebu oleh para

pedagang (penebas) tebu, yang menyebabkan pasokan tebu ke PG tidak tertib. Apabila

masalah ini tidak dapat diatasi, maka program bongkar ratoon yang bertujuan untuk

mendapatkan kondisi ideal pertanaman sampai kepras ke-2 tidak akan optimum

sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan rendemen dan

pendapatan petani tebu.

2. Pabrik Gula Tebu.

PG BUMN di Jawa sampai saat ini belum efisien, yang tercermin dari

kehilangan gula (pol) selama proses pengolahan yang mencapai 0,9%. Akibatnya,

rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang

dihasilkan tidak memiliki daya saing. Sementara itu, PG swasta murni yang berada di

Luar Jawa masih menghadapi tuntutan HGU, sehingga sulit untuk mencapai full

capacity. Utilisasi yang rendah ini juga dialami oleh industri gula rafinasi, karena tidak

adanya koordinasi antara pemberi ijin industri (BKPM dan atau Deptan) dengan

Kementerian terkait.

3. Hubungan (Partisipasi) Petani Tebu (Masyarakat) dan Pabrik Gula

Rendemen tebu yang diterima petani di luar Jawa umumnya lebih tinggi

dibandingkan dengan petani di Jawa, meskipun petani tebu di Jawa menggunakan

pupuk dan mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Rendahnya rendemen ini

terkait dengan ketergantungan PG terhadap bahan baku dari pedagang (penebas) tebu,

karena mereka menguasai tebu dari petani kecil/miskin yang jumlahnya diperkirakan

mencapai 60%. Pencampuran dan penetapan waktu giling yang bersamaan antara

Page 106: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

88

petani tebu dan pedagang (penebas) tebu ini, telah menurunkan rendemen tebu yang

diterima petani. Faktor ini menjadi penyebab kurang baiknya relasi antara petani dan

PG, karena PG tidak bersedia menerapkan rendemen individual.

4. Industri Gula Rafinasi.

Tidak adanya koordinasi BKPM dengan Kementerian terkait, telah

menyebabkan industri gula rafinasi bekerja di bawah kapasitas terpasang. Rendahnya

utilisasi kapasitas pabrik ini, telah meningkatkan biaya produksi gula rafinasi. Gula

rafinasi merupakan bahan baku bagi kegiatan industri makanan dan minuman. Gula

rafinasi ini tidak layak dikonsumsi secara langsung, tetapi harus diolah lagi supaya

layak dikonsumsi karena warna gula rafinasi biasanya agak coklat atau cenderung hitam

dan butirannya sangat halus. Apabila gula rafinasi langsung dikonsumsi, bisa

menimbulkan gangguan kesehatan.

Industri gula rafinasi secara langsung juga akan mendorong kompetisi dalam hal

kualitas gula yang sekarang ini dihasilkan oleh industri gula tebu di dalam negeri.

Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas gula oleh produsen gula “plantation white

sugar” tidak dapat dielakkan apabila gulanya ingin tetap menjadi pilihan konsumen.

Atas dasar pemikiran ini, pengembangan industri gula rafinasi akan menjadi bagian

yang penting dipandang dari sudut kualitas gula yang makin baik di pasar. Hal lainnya

yang perlu dikaitkan langsung dengan gula rafinasi ini adalah dalam jangka pendek

akan berkembang penciptaan kesempatan kerja baru di Indonesia. Kesempatan kerja ini

walaupun merupakan hal yang sangat penting, tetapi tetap tidak boleh terlepas dari asas

efisiensi dan produktivitas. Hal ini penting karena dalam jangka panjang produksi gula

ini tidak terlepas dari persaingan dengan gula yang dihasilkan oleh produsen dari negara

lain. Sampai tahun 2009, jumlah perusahaan yang memproduksi gula rafinasi sebanyak

lima perusahaan. Secara total, kapasitas izin mencapai sekitar 5.662 ton/hari,

sedangkan kapasitas terpasang mencapai 4.200 ton/hari. Dengan kapasitas terpasang

tersebut, produksi gula rafinasi baru mencapai sekitar 395 ribu ton tahun 2004. Dengan

rendemen berkisar antara 89-96 %, pemakaian bahan baku (raw sugar) pada tahun

tersebut mencapai 435.000 ton. Hal ini menunjukkan bahwa gula rafinasi masih perlu

diimpor untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Bahkan, industri farmasi harus

mengimpor karena industri gula rafinasi di Indonesia belum mampu memproduksi

spesifikasi gula yang dibutuhkan oleh industri tersebut.

Page 107: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

89

5. Konsumen Rumah Tangga dan Industri Pangan

Penerapan tarif impor sebesar Rp. 550/kg untuk raw sugar dan Rp. 700/kg untuk

gula putih, menyebabkan harga jual gula pada tingkat konsumen lebih tinggi. Tingginya

harga gula di pasar domestik ini telah merugikan perekonomian secara keseluruhan, dan

menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing industri makanan dan

minuman berbahan baku gula.

6. Perdagangan Gula di Dalam Negeri.

Perdagangan gula di dalam negeri sebenarnya memiliki struktur pasar yang

bersifat oligopolistik. Dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN

hanya beberapa pedagang yang terlibat, sehingga tingkat kompetisinya tidak

mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Disamping

itu, lemahnya penegakan hukum (law enforcement) untuk memberantas penyelundupan

dan manipulasi dokumen gula impor, telah mempengaruhi penawaran dan harga gula di

pasar domestik.

7. Situasi Pasar Gula Dunia

Gula yang diperdagangkan di pasar dunia mencapai 35 juta ton/tahun, atau

sekitar 28 % dari total produksi gula dunia. Harga gula dunia saat ini tidak

menggambarkan tingkat efisiensi, karena dijual di bawah ongkos produksinya.

Kebijakan domestic support dan export subsidy yang dilakukan oleh negara-negara

produsen gula dunia, menyebabkan harga gula di pasar internasional telah terdistorsi.

8. Kegiatan Research and Development (R & D)

Sebagian besar kegiatan R & D Gula selama ini dilakukan oleh Pusat Penelitian

Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), dengan sebagian besar dana bersumber dari

pemerintah dan iuran anggota Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI).

Keterbatasan dana R & D ini telah mempengaruhi kinerja P3GI, khususnya dalam

menghasilkan teknologi baru yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani

tebu.

4.7.3 Daya Dukung Peralatan Produksi

1. Klasifikasi dan Spesifikasi Teknis Mesin Peralatan Pabrik Gula

Page 108: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

90

Klasifikasi dan spesifikasi teknis mesin peralatan pabrik gula dengan

kapasitas 250 TCD, seperti tabel terlampir.

Untuk melengkapi klasifikasi/spesifikasi teknis mesin peralatan PG identifikasi

tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam pembangunan pabrik gula, seperti yang

telah dilakukan oleh surveyor independent adalah sebagai berikut:

a. Gilingan : 32,32 %

Walaupun TKDN hanya 32,32% namun komponen dalam negeri mempunyai

potensi sebesar 82,73%,, artinya komponen mesin/peralatan gilingan mayoritas

sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti cane unloading dan sebagian Cane

milling kecuali hydraullic serta lubrication system.

b. Pemurnian : 3,28%

Walaupun TKDN hanya 3,28% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 82,28%, artinya komponen mesin/peralatan pemurnian mayoritas sudah

dapat dibuat di dalam negeri, seperti sebagian besar clarification station dan

sebagian milk of lime sulphur and soda station.

c. Penguapan : 1,95 %

Walaupun TKDN hanya 1,95% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 93%, artinya komponen mesin/peralatan penguapan mayoritas sudah dapat

dibuat di dalam negeri, seperti evaporation, condensat, tangki, yang belum adalah

pompa-pompa.

d. Pemasakan : 2,79 %

Walaupun TKDN hanya 2,79% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 72,89%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah

dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki dan receiver.

e. Puteran : 1,76 %

Walaupun TKDN hanya 1,76% namun komponen dalam negeri telah mencapai

77,21%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah dapat

dibuat di dalam negeri, seperti tangki, alat pendukung, konstruksi, cooler, dryer.

f. Crane and hoist : 0,46 %

Page 109: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

91

Walaupun TKDN hanya 0,46% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan alat angkat dan pemindahan

barang berupa crane & hoist mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri.

g. Machine shop: 0,17 %

Walaupun TKDN hanya 0,17% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 54,72%,artinya komponen mesin/peralatan bengkel untuk perbaikan

mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti alat las, plate working tools,

hydraulic jack.

h. Laboratory: 0,08 %

Walaupun TKDN hanya 0,08% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 68,33%, artinya komponen mesin/peralatan uji di laboratorium hasil produk

gula atau sampingannya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti

gilingan kontak, elemen pembantu alat pengukuran.

i. Water pully & water treatment: 0,98 %

Walaupun TKDN hanya 0,98% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 83,91%, artinya komponen mesin/peralatan pengolah limbah cair mayoritas

sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki, filter, cooler meter.

j. Listrik, boiler, turbin & generator : 23,87%

Walaupun TKDN hanya 23,87% namun komponen dalam negeri mempunyai

potensi sebesar 60,00%, artinya komponen mesin/peralatan kelistrikan, energi dan

pembangkitnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti motor

control, control consul, circuit wiring.

k. Piping, valve, cute : 2,81%

Walaupun TKDN hanya 2,81% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan perpipaan untuk air, uap dan

alat pengaturnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri

l. Structure & operation platform: 1,19 %

Walaupun TKDN hanya 1,19% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi

sebesar 100%, artinya komponen bangunan gedung, pabrik, gudang dan pendukung

penyimpanan sudah semuanya dapat dibuat di dalam negeri, hanya kandungan

kimia untuk pembuatan alat tersebut masih banyak yang impor.

Page 110: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

92

m. Control instrument for process: 0,00 %

Ini sedikit kelemahan di industri gula yang kesemuanya masih menggunakan

komponen luar negeri (impor), mengingat di bidang instrumentasi ini memerlukan

teknologi computer yang cukup rumit untuk mengendalikan proses produksi secara

otomatis.

n. Total bobot: 71,65 %

Artinya bahwa seluruh sistem permesinan di industri pergulaan ini telah didukung

oleh industri komponen permesinan dalam negeri seperti PT Barata Indonesia, PT

Boma Bisma Indra, PT Rekayasa Industri, PT Indomarine; yang secara berkala

sudah mempunya jadwal perbaikan dan penyediaan komponen secara konsisten.

Berdasarkan uraian di atas maka dari sisi teknologi industri pembuat komponen

gula dalam negeri sudah mampu mensupply kebutuhan untuk mengganti yang rusak.

Namun sampai saat ini kemampuan pembuat komponen dalam negeri belum

sepenuhnya diberi kesempatan untuk berkontribusi terhadap kebutuhan pengganti

komponen yang rusak mengingat para pabik gula dalam negeri masih berorientasi

kepada impor.

2. Dukungan Teknis Mesin Peralatan Pabrik Gula

Mengingat pabrik gula ini sejak awal dibina oleh Kementerian Pertanian dan

saat ini secara kordinatif di bawah Kementerian BUMN, sektor off farm masih belum

optimal peningkatan tingkat efisiensi. Untuk itu Kementerian Perindustrian mencoba

membantu dengan program revitalisasi seperti tersebut di atas. Realisasi program

bantuan restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula tersebut untuk tahun 2009 adalah

sebagai berikut (Tabel 8).

Data pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa realisasi yang bisa diserap oleh PG

hanya 50% dari dana yang sudah disiapkan sebesar Rp. 50 Milyar. Hal ini mengingat

kesiapan PG dalam melengkapi data yang masih belum baik, dan ada komponen

mesin/peralatan yang masih terdapat unsur impor sehingga mengurahi stimulus yang

disiapkan. Untuk tahun anggaran 2010 telah disiapkan anggaran Rp. 350 Milyar untuk

program pembelian mesin peralatan dan program stimulus. Dengan demikian dari sisi

off farm, Kementerian Perindustrian berkeinginan meningkatkan percepatan realisasi

swasembada gula dengan basis produk permesinan dalam negeri.

Page 111: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

93

Tabel 8. Dukungan teknis di setiap pabrik gula

No. Nama Perusahaan Lokasi Sumber Pembiayaan

Status Investasi

Jumlah Bantuan (Rupiah)

1 PT. PG Rajawali I Jawa Timur Kredit Bank Non-PTPN 7.630.000.000

2 PT. PG Rajawali II Jawa Barat Kredit Bank Non-PTPN 5.067.000.000

3 PT. PTPN XI Jawa Timur Kredit Bank PTPN 9.052.000.000

4 PT. Madu Baru DI Yogyakarta Dana Sendiri Non-PTPN 405.000.000

5 PT. PTPN IX Jawa Tengah Kredit Bank PTPN 1.388.000.000

6 PT. PTPN VII Lampung Dana Sendiri PTPN 487.000.000

7 PT. PTPN X Jawa Timur Gabungan PTPN 803.000.000

Jumlah 24.832.000.000 Sumber: Ditjen ILMTA, Kementerian Perindustrian 2010

Page 112: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Sosial budaya Ekonomi Masyarakat

Kondisi sosial budaya masyarakat di lokasi penelitian dapat dikatakan baik. Hal

ini terlihat dari hubungan kekerabatan antar warga yang sangat kuat dan sangat akrab,

mereka saling bergotong royong, saling mengunjungi. Selain itu warga desa juga sering

mengadakan pertemuan dan mengadakan kegiatan bersama, sehingga pada kesempatan

tersebut mereka membicarakan masalah yang berkembang dimasyarakat, termasuk

mengenai pabrik gula. Berikut dijelaskan tentang data masyarakat sekitar pabrik gula

yang di dasarkan pada data responden yang diambil pada penelitian ini.

Asal, Usia dan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap responden yang ada di lokasi penelitian

tepatnya responden masyarakat yang tinggal di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, yang

jumlah respondennya mencapai 50 orang, memperlihatkan bahwa pada umumnya

responden yang diwawancarai adalah penduduk asli (90%), sedangkan yang bukan

penduduk asli hanya 10% (Gambar 12). Sedangkan distribusi umur responden dapat

dilihat pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terlihat bahwa usia responden antara 24 – 70 tahun.

90%

10%

Asal responden:

Penduduk asli Pendatang

Gambar 12 Asal responden

Jenis kelamin responden, memperlihatkan bahwa 96% dari mereka berjenis kelamin

laki-laki dan hanya 4% yang berjenis kelamin perempuan. Adapun komposisi responden

Page 113: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

96

yang diwawancara pada penelitian ini berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

Gambar 13.

Tabel 9. Usia responden di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, Majalengka

Usia Jumlah yang diwawancara Persen (%)

24 1 2 28 1 2 30 2 4 33 1 2 35 2 4 39 1 2 40 5 10 42 4 8 43 1 2 45 4 8 46 2 4 47 3 6 48 5 10 49 2 4 51 2 4 52 3 6 54 1 2 56 2 4 57 3 6 58 1 2 60 2 4 61 1 2 70 1 2

Jumlah 50 100

Kondisi kisaran umur tersebut memperlihatkan bahwa responden terdiri dari usia

dewasa sampai tua. Berdasarkan pengamatan di lapang dan berdasarkan Tabel 9 di atas

memperlihatkan bahwa ada kecenderungan bahwa masyarakat yang ada di lokasi

penelitian cenderung didominasi oleh angkatan tua. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan

karena anak muda yang sudah termasuk angkatan kerja dengan mempunyai pendidikan

yang bisa diandalkan, relatif lebih senang merantau ke luar dari desa untuk mencari

penghidupan yang lebih layak.

Page 114: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

97

96%

4%

Jenis kelamin responden:

Laki-laki Perempuan

Gambar 13 Persentase responden berdasarkan jenis kelamin

Jumlah Tanggungan

Jumlah anggota keluarga responden yang di lokasi penelitian menggambarkan

jumlah tanggungan responden. Jumlah anggota keluarga responden di lokasi penelitian

paling banyak mencapai 8 orang, namun pada umumnya memiliki anggota keluarga 3 –

4 orang.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan formal responden ditunjukkan pada Gambar 14 tersebut

dapat terlihat bahwa pendidikan formal responden di lokasi penelitian adalah sebagai

berikut: tidak sekolah 0%, tidak tamat SD 4%, tamat SD 44%, tamat SLTP 18%, tamat

SLTA 26%, diploma 4% dan sarjana 2%, dan tidak menjawab 2%. Hal ini mengandung

arti bahwa tingkat pendidikan formal yang terbesar di desa kasus adalah tamatan SD.

Page 115: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

98

4%

44%

18%

26%

4% 2% 2%

Tingkat pendidikan responden:

Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Diploma SarjanaTidak Menjawab

Gambar 14 Tingkat pendidikan formal responden

Sarana dan Prasarana

Berdasarkan data yang didapat dari responden tentang sarana dan prasarana di

wilayah yang ada pabrik gulanya, memperlihatkan bahwa di lokasi pabrik gula tersedia

pendidikan anak. Hal ini tercermin dari jawaban responden yang mengatakan bahwa

96% responden mengatakan bahwa di lokasi sekitar pabrik gula tersedia sarana dan

prasarana pendidikan anak, namun demikian 2% dari mereka mengatakan bahwa sarana

dan prasarana pendidikan anak tidak lengkap sedangkan 2% lainnnya tidak memberikan

jawaban (Gambar 15).

96%

2% 2%

Fasilitas pendidikan anak:

Tersedia Kurang tersedia Tidak Menjawab

Gambar 15 Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan anak

Page 116: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

99

Sarana dan prasarana lain yang cukup baik adalah jalan dan alat transportasi.

Dalam hal ini 98% responden yang diwawancarai mengatakan bahwa transportasi di

sekitar pabrik gula lancar, dan hanya 2% responden (1 orang) yang mengatakan bahwa

transportasi tidak lancar (Gambar 16).

98%

2%

Fasilitas transportasi:

Tersedia Kurang tersedia

Gambar 16 Kondisi transportasi di sekitar pabrik gula

Keterkaitan Masyarakat dengan Pabrik Gula

Berdasarkan data yang didapat dari responden di atas terlihat bahwa 88% dari

masyarakat di lokasi penelitian merasakan adanya keterkaitan mereka dengan pabrik

gula. Hanya 12% diantara para responden yang merasa tidak terkait langsung dengan

pabrik gula. Hal ini sejalan dengan pendapat responden tentang kesempatan masyarakat

untuk berpartisipasi di pabrik gula tersebut. Dalam hal ini 96% responden mengatakan

bahwa dari mereka merasakan adanya kesempatan untuk ikut berpartisipasi di pabrik

gula dan hanya 2% yang tidak merasa dapat ikut berpartisipasi dan 2% lainnya

mengatakan tidak tahu (Gambar 17).

Page 117: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

100

88%

12%

Keterkaitan penduduk dengan pabrik gula:

Cukup erat Kurang

Gambar 17 Keterkaitan masyarakat dengan pabrik gula

Kesempatan Masyarakat Berpartisipasi

Secara umum masyarakat yang ada di sekitar pabrik ikut berpartisipasi dalam

kegiatan pabrik gula, dan hanya 4% masyarakat di sekitar pabrik gula yang tidak

berpartisipasi. 4% masyarakat yang tidak berpartisipasi ini 2% diantaranya mengatakan

tidak tahu adanya partisipasi masyarakat pada kegiatan pabrik gula, untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Gambar 18.

96%

2% 2%

Kesempatan berpatisipasi:

Ada Tidak ada Tidak tahu

Gambar 18 Kesempatan masyarakat berpartisipasi di pabrik gula

Page 118: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

101

Dampak Pabrik terhadap Masyarakat

Para responden juga mengatakan bahwa walaupun umumnya terkait langsung

dengan pabrik gula, dan mereka juga mempunyai kesempatan yang sangat tinggi untuk

ikut berpartisipasi, namun keberadaan pabrik gula tersebut tidak serta merta

meningkatkan penyerapan pengangguran dan peluang kerja yang lebih besar, namun

demikian keberadaan pabrik gula tersebut telah meningkatkan peluang berusaha di

lokasi penelitian. Hal ini juga tercermin dari jawaban responden pada saat ditanyakan

apakah pabrik gula mempunyai dampak positif terhadap masyarakat, ternyata 80%

responden menjawab bahwa mereka merasakan dampak positif terutama di bidang

ekonomi dan peluang untuk berusaha. Namun demikian 14% dari mereka mengatakan

bahwa pabrik tidak memberikan dampak positif, sedangkan 6% dari mereka tidak

menjawab (Gambar 19).

80%

14%6%

Dampak positif pabrik:

Terasakan Tidak terasakan Tidak Menjawab

Gambar 19 Dampak positif terhadap masyarakat

Pendapatan Masyarakat

Selanjutnya para responden juga mengatakan bahwa walaupun para responden

umumnya terkait langsung dengan pabrik gula, dan keberadaan pabrik gula tersebut

tidak serta merta meningkatkan penyerapan pengangguran dan peluang kerja yang lebih

besar, namun demikian keberadaan pabrik gula tersebut telah meningkatkan peluang

berusaha di lokasi penelitian. Hal ini sejalan dengan pendapat responden tentang

pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik gula, yang dalam hal ini 76%

Page 119: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

102

diantaranya mengatakan bahwa pendapatan yang mereka peroleh dapat mencukupi

kebutuhan keluarga. Namun demikian 22% dari responden mengatakan pendapatannya

tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan 2% tidak tahu (Gambar 20).

76%

22%

2%

Pendapatan penduduk sekitar:

Mencukupi Kurang Tidak Menjawab

Gambar 20 Pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pabrik gula

Penanaman Tebu

Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa masyarakat yang tinggal di

sekitar pabrik gula pada umumnya adalah masyarakat asli daerah tersebut, oleh

karenanya mereka mempunyai lahan berupa sawah tempat mereka berusaha.

Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa sebagian besar responden (80%)

menyatakan bahwa mereka memiliki lahan yang dimanfaatkan untuk menanam tebu,

dan hanya 20% dari responden yang tidak memiliki lahan yang dimanfaatkan untuk

menanam tebu (Gambar 21).

Page 120: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

103

80%

20%

0%

Penduduk dan kepemilikan lahan tebu:

Memiliki lahan Tidak memiliki

Gambar 21 Kepemilikan lahan tebu (oleh masyarakat)

Penyiapan Bibit Tebu

Berkenaan dengan penanaman tebu tersebut, responden juga mengatakan bahwa

pada saat dilakukan penanaman pabrik tebu membantu penyediaan bibit tebu. Hal ini

sesuai dengan pendapat sebagian besar (82%) responden yang mengatakan bahwa

dalam melakukan penanaman tebu, pabrik gula membantu menyediakan bibit yang akan

ditanam, namun demikian 14% responden tidak pernah dibantu dalam pengadaan bibit,

sedangkan 4% responden yang ditanya tidak mengetahui informasi tentang penyiapan

bibit (Gambar 22).

82%

14%4%

Bibit tebu petani:

Dari pabrik gula Usaha sendiri Tidak menjawab

Gambar 22 Penyiapan bibit tebu oleh pabrik gula

Page 121: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

104

Limbah Pabrik

Berdasarkan data yang didapat dari responden mengenai limbah pabrik gula

yang dapat didaur ulang (Gambar 23) terlihat bahwa 30% dari masyarakat di lokasi

penelitian merasakan adanya limbah pabrik gula yang dapat dimanfaatkan kembali,

namun sebagian besar dari mereka (52%) mengatakan bahwa limbah pabrik tersebut

tidak dapat dimanfaatkan kembali.

30%

52%

18%

Pemanfaatan limbah pabrik:

Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan Tidak tahu

Gambar 23 Limbah pabrik yang dapat dimanfaatkan kembali

20%

12%

68%

Penghasilan rata-rata per bulan dari limbah:

< Rp 1.000.000 > Rp 1.000.000 Tidak menjawab

Gambar 24 Penghasilan rata-rata perbulan yang berasal dari limbah industri gula

Page 122: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

105

Hal ini sejalan dengan pendapat responden tentang pendapatan yang diterima

dari limbah pabrik gula yang dimanfaatkan tersebut. Dalam hal ini hanya 20%

responden mengatakan bahwa pendapatan rata-rata dari limbah yang dihasilkan pabrik

gulakurang dari Rp 1 juta dan 12% dari mereka mengatakan bahwa pendapatan yang

diperoleh dari limbah pabrik gula lebih dari Rp 1 juta/bulan. Sebagian besar responden

(68%) tidak menjawab pertanyaan tersebut (Gambar 24)

Produksi Bersih

Pada umumnya pabrik gula sudah melakukan proses produksi bersih atau

nirlimbah (cleaner production), yakni strategi pengelolaan lingkungan berupaya untuk

mencegah terbentuknya limbah pada sumbernya, yang bersifat proaktif. Produksi bersih

didefinisikan sebagai upaya penerapan yang kontinyu dari strategi pengelolaan

lingkungan yang integral dan preventif terhadap proses dan produk untuk mengurangi

terjadinya resiko terhadap manusia dan lingkungan. Menurut Surna (2001) strategi

minimisasi limbah melalui produksi bersih mempunyai arti yang sangat luas karena di

dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran melalui pemilihan bahan baku yang

murah dan aman, jenis proses yang ramah lingkungan, analisis daur hidup serta

teknologi akrab lingkungan.

Walaupun pabrik sudah melaksanakan produksi bersih, namun ternyata cukup

banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang program tersebut. Hal ini terlihat

dari hasil wawancara dengan para responden, yang dalam hal ini 50% diantaranya

belum mengetahui program produksi bersih di pabrik gula, dan 4% dari mereka tidak

menjawab, sehingga hanya sebagian responden (46%) yang sudah mengetahui program

tersebut (Gambar 25). Adanya program produksi bersih yang dilakukan oleh pabrik

gula merupakan hal yang patut diacungi jempol, mengingat program tersebut akan

melindungi lingkungan sekaligus akan mendatangkan keuntungan secara ekonomi.

Page 123: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

106

46%

10%

40%

4%

Pengetahuan petani tentang produksi gula bersih:

Mengetahui Kurang mengetahui

Tidak mengetahui Tidak menjawab

Gambar 25 Pemahaman masyarakat terhadap program produksi bersih

Program CSR

Saat ini boleh dikatakan, sudah cukup banyak industri yang peduli terhadap

lingkungan dan mereka telah melakukan berbagai program CSR, salah satunya adalah

Pabrik Gula Jati Tujuh. Namun demikian berdasarkan wawancara dengan para

responden, ternyata hanya 34% responden yang mengatakan bahwa pabrik gula

memberikan bantuan sosial budaya, sedangkan 46% responden menyatakan bahwa

pabrik gula tidak memberikan bantuan sosial budaya dan 20% responden menyatakan

tidak tahu (Gambar 26). Kondisi ini memperlihatkan bahwa walaupun pabrik gula sudah

melakukan CSR terhadap masyarakat sekitarnya, diduga pemberian bantuan tersebut

tidak merata dan tidak disosial budayaisasikan dengan baik, sehingga hanya sebagian

kecil yang mengetahuinya sedangkan lainnya tidak merasakan bantuan tersebut,

sehingga akhirnya menyatakan tidak memberikan bantuan dan tidak tahu menahu

dengan program tersebut.

Page 124: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

107

34%

46%

20%

Penduduk dan bantuan sosial pabrik:

Menerima bantuan Tidak menerima Tidak tahu

Gambar 26 Pengetahuan masyarakat terhadap bantuan sosial budaya pabrik gula

Persepsi Masyarakat terhadap Pabrik Gula

Ada berbagai pandangan dari masyarakat terhadap keberadaan pabrik gula.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap responden memperlihatkan bahwa keberadaan

pabrik gula tidak asing bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan penyataan semua

responden pada penelitian ini (100%) yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua

responden sudah mengetahui adanya pabrik gula. Adapun informasi dari mana mereka

mendapat informasi, selain karena pabrik gula tersebut sudah ada sejak zaman

penjajahan Belanda, juga karena mereka bertempat tinggal di sekitar pabrik, bahkan

mereka pada umumnya ikut terlibat di pabrik gula tersebut. Mereka bahkan sudah

merasakan dampak positif dari keberadaan pabrik tersebut. Kondisi ini memperlihatkan

adanya persepsi yang baik dari masyarakat terhadap keberadaan pabrik gula, karena

menurut Kotler (1995), persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan seseorang

untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya karena persepsi bertautan dengan

cara mendapatkan pengetahuan, khusus obyek pada saat tertentu pula. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Rusmanti (2002) yang mendefinisikan persepsi sebagai kenyataan

bagi seseorang bagaimana seseorang memandang pesan atau simbol, dalam hal ini yang

disampaikan kepada dirinya. Dengan demikian maka persepsi dapat dinyatakan sebagai

pandangan seseorang terhadap keberadaan pabrik gula yang dihasilkan oleh

kemampuan mengorganisasi pengamatannya.

Page 125: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

108

Partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan di lokasi penelitian adalah partisipasi

dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana

yang telah disepakati bersama. Selain itu juga masyarakat dapar berpartisipasi dalam

memanfaatkan hasil pembangunan serta dalam mengevaluasi pembangunan. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Cohen and Uphoff (1977) yang mengatakan bahwa partisipasi

masyarakat di suatu lokasi dapat dilakukan mulai dari kegiatan operasional, dalam

pemanfaatan hasil dan pengawasan kegiatan tersebut.

Ada berbagai pandangan (persepsi) dari masyarakat desa lokasi penelitian

terhadap keberadaan Pabrik Gula Jati Tujuh. Berdasarkan hasil analisa terhadap

persepsi memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa

keberadaan Pabrik Gula Jati Tujuh tidak mengganggu (96%). Namun demikian ada

juga responden yang menyatakan bahwa keberadaan Pabrik Gula Jati Tujuh tersebut

mengganggu (4%). Hal ini terlihat dari tidak adanya konflik antara masyarakat dengan

perusahaan di lokasi penelitian. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa

keberadaan Pabrik gula Jati Tujuh dapat dikatakan tidak mengganggu.

Pada dasarnya kehadiran pabrik gula sebagai perusahaan besar diharapkan

masyarakat di lokasi penelitian dan sekitarnya, dapat membantu mengatasi masalah

sosial budaya yang dihadapi. Pada saat dilakukan penelitian ini, sebagian kecil

responden menyatakan bahwa pabrik gula pernah membantu masyarakat (34%), dan

sebagian lainnya menyatakan tidak pernah membantu masyarakat di lokasi penelitian

(46%). Adapun bantuan yang diberikan oleh perusahaan tersebut berupa sembako yang

diberikan oleh perusahaan pada saat menghadapi hari raya. Pada dasarnya masyarakat

tidak menyukai bantuan berupa bahan jadi seperti sembako tersebut, hal ini terungkap

pada saat wawancara. Dalam hal ini masyarakat di lokasi penelitian menghendaki

bantuan dari perusahaan berupa pelatihan keterampilan dalam rangka meningkatkan

pengetahuan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berusaha untuk menambah

penghasilan atau bantuan-bantuan untuk fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat

seperti tempat ibadah, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana air bersih. Menurut

Schmidheiny (1995) kondisi ini juga merupakan indikasi masih kurang berlanjutnya

pembangunan pabrik gula dari aspek sosial budaya

Selain dilihat persepsi dari masyarakat yang tinggal di lokasi penelitian, pada

penelitian ini juga dilihat persepsi responden terhadap kondisi lingkungan terutama

terhadap perairan sungai tempat membuang limbah cair pabrik gula tersebut. Persepsi

Page 126: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

109

responden terhadap lingkungan diamati pada penelitian ini mengingat menurut Latey

and Edmund (1973), persepsi seseorang terhadap lingkungan mencerminkan cara

melihat, kekaguman, kepuasan, serta harapan-harapan yang diinginkan dari lingkungan.

Persepsi terhadap lingkungan ini mencakup aspek yang lebih luas, tidak sekedar

persepsi sensoris individual seperti dilihat atau didengar melainkan mencakup pada

kesadaran dan pemahaman manusia terhadap lingkungan. Menurut Sarwono (1992)

orang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar

orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya pelestarian lingkungan. Artinya

persepsi mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungan.

Adapun hasil wawancara mengenai pendapat responden tentang kondisi

lingkungan (perairan sungai) terlihat bahwa sebagian besar responden yang

diwawancara di lokasi penelitian mengatakan bahwa perairan sungai tempat membuang

air dari perusahaan/pabrik gula kotor/tercemar mencapai 80%, selanjutnya yang

mengatakan bahwa air sungai bersih/tidak tercemar hanya 20%.

Berdasarkan wawancara lanjutannya, didapatkan hasil bahwa sebagian

responden mengatakan bahwa yang menyebabkan kotor/tercemarnya perairan sungai

tempat bermuaranya limbah dari pabrik gula, bukan berasal dari pabrik gula, melainkan

bersumber dari kegiatan lain di luar pabrik gula (70%). Namun demikian masih ada

responden yang mengatakan bahwa pencemar tersebut berasal dari tambak udang (20%)

dan bahkan ada responden yang menyatakan bahwa pencemar tersebut berasal dari

masyarakat (10%).

Adanya tanggapan responden yang menyatakan bahwa lingkungan perairan

sungai tercemar hanya berdasarkan warna air dan bau air, mempelihatkan kurangnya

pengetahuan masyarakat tentang pencemaran air. Dalam hal ini masyarakat cenderung

mengatakan perairan tercemar jika mereka secara langsung dapat merasakannya secara

kasat mata.

Keadaan ini bukan tidak mungkin pada akhirnya akan dapat mengakibatkan

terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Konflik ini terjadi karena

kepentingan yang tidak sama (FAO, 2001) antara masyarakat terutama yang

memanfaatkan air sungai tersebut. Namun demikian konflik tidak selalu buruk, karena

konflik yang dikelola dengan baik memunculkan ide-ide atau kegiatan yang akan

mendatangkan sesuatu yang lebih baik. Sebagai contoh dengan adanya konflik, maka

Page 127: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

110

pihak perusahaan akhirnya dipaksa untuk membangun unit pengelola limbah cair.

Selain itu juga dapat memunculkan ide-ide lain seperti untuk membuat perjanjian antara

pihak perusahaan dengan pihak masyarakat yang diwakilkan oleh LSM, untuk

mengontrol limbah buangan industri gula tersebut. Oleh karenanya maka Takeda (2001)

mengungkapkan perlunya mensukseskan pembangunan partisipatif, untuk itu ada empat

elemen kunci menuju kesuksesan pembangunan partisipatif yang harus dilakukan oleh

stakeholder yaitu informasi, intermediasi, institusionalisasi, dan inisiatif.

Pembangunan partisipatif ini tentu saja sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan

pendapat Bock (2001) yang menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan jika menggunakan

proses partisipatif dalam pembangunan dan desain suatu kegiatan yakni: l) hasilnya bersifat

alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih

memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, dan 3)

pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan lebih transparan. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa partisipasi stakeholder merupakan konsep kunci guna membuka

transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan.

Disamping itu juga dapat mempromosikan efektifitas penggunaan sumberdaya lokal dan

menjadi aspek pentmg untuk mencapat kebijakan yang tepat.

5.2 Kualitas Lingkungan

Kualitas Air Permukaan

Berdasarkan laporan AMDAL pabrik gula (2006) kualitas air permukaan yang

dianalisa adalah outlet dari Sungai Kencana Timur, Waduk Ranca Bugang dan Sungai

Cihapit. Hasil analisa air permukaan sungai tersebut mengacu pada Peraturan

Pemerintah RI No. 32 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air. Hasil analisa kualitas air permukaan dapat dilihat pada Tabel 10 dan

Tabel 11.

Dari hasil analisa sebelum operasional pabrik, parameter yang di atas baku mutu

dan TSS dan BOD untuk sample air dari Danau Ranca Bugang dan outlet salutan

sebelah timur lokasi pabrik (Blok Kencana Timur) sedangkan untuk parameter COD

hanya di lokasi outlet saluran timur lokasi pabrik. Sedangkan untuk hasil analisa

kualitas air badan air setelah opersional, parameter yang melebihi baku mutu di ketiga

lokasi adalah TSS, BOD dan COD. Sulfida yang melebihi baku mutu terjadi di lokasi

Waduk Ranca Bugang (AMDAL Pabrik Gula).

Page 128: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

111

Tabel 10 Hasil analisa kualitas air badan air sebelum opersional pabrik

Prameter Satuan Hasil Analisa Baku Mutu 1 2 1. TSS 2. BOD 3. COD 4. Sulfida (sebagai

H25. pH

S)

mg/l mg/l mg/l mg/l

mg/l

127,0 10,60 18,66 0,00

6,93

140,0 42,30 74,63 0,00

6,76

50 3 25

0,03

69

Sumber: Data primer (hasil survey lapangan), 2008 dan Amdal 2006, diolah. Keterangan: 1 = Air Lebung/Danau Rancabugang 2 = Outlet saluran sebelah timur lokasi pabrik/blok kencana timur.

Tabel 11 Hasil analisa kualitas air badan air setelah operasional pabrik

Parameter Satuan Hasil Analisa Baku Mutu 1 2 1. TSS 2. BOD 3. COD 4. Sulfida (sebagai H2

5. pH

S)

mg/l mg/l mg/l mg/l

mg/l

30,0 736,2

1299,21 0,43

5,11

73,0 89,3

157,48 0,13

6,92

50 3 25

0,03

69 Sumber: Data Primer (Hasil Survey Lapangan) dan Amdal 2006, diolah Keterangan: 1 = Outlet pabrik sebelah timur/blok Kencana Timur

2 = Waduk Ranca Bugang 3 = Sungai Cihapit

Kuantitas Air Tanah

Kondisi air tanah di daerah studi bervariasi. Akuiver disekitar afdeling (kebun)

merupakan akuiver produktif sedang dengan penyebaran luas serta ketersediaan air

tanah dalam cukup, sehingga mempunyai potensi cukup baik. Kedalaman air tanah

antara 1 s/d 2 meter dari permukaan tanah disekitar perkebunan tebu (Tabel 12).

Tabel 12 Hasil pengukuran kedalaman air tanah

No. Nama Sumber Kedalaman Sumur (m) 1. Daerah Sumber 2 2. Daerah Dilang Kidang 2 3. Daerah Telaga Dua 1

Sumber: Amdal 2006, diolah

Page 129: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

112

Kualitas Air Tanah

Kualitas air tanah yang diambil sampelnya yaitu sumur penduduk di sekitar

lokasi kegiatan, untuk melihat apakah sumur penduduk tersebut tercemar oleh kegiatan

perkebunan dan Pabrik Gula Jati Tujuh atau tidak. Hasil analisa kualitas air bersih

penduduk dapat dilihat pada Tabel 13 (AMDAL Pabrik Gula).

Tabel 13 Hasil analisa kualitas air sumur penduduk sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh

No.

Parameter

Satuan

Hasil pemeriksaan Baku Mutu Bersih

Desa Sumber

Desa Suka-mulya

Sekitar Telaga

Dua FISIKA 1 Bau - Tidak

berbau Tidak berbau

Tidak berbau

Tidak berbau

2 Zat Padat terlarut (TDS)

mg/l 1.970,0 535,0 1.280,0 1.500,0

3 Kekeruhan NTU 1,81 0,44 0,65 25,0 KIMIA

ANORGANIK

4 Besi mg/l 0,06 0,05 0,10 1,0 5 Fluorida mg/l 0,29 0,17 0,20 1,5 6 Kesadahan CaCO mg/l 3 445,84 99,96 95,99 500,0 7 Klorida mg/l 457,16 71,65 413,21 600,0 8 Mangan mg/l 2,39 0,08 0,49 0,5 9 Nitrat, sebagai N mg/l 6,04 0,13 0,88 10,0 10 Nitrit, sebagai N mg/l 0,00 0,00 0,02 1,0 11 pH - 6,90 7,17 0,63 6,5-9,0 12 Sulfat mg/l 383,82 71,57 61,12 400,0 KIMIA

ORGANIK

13 Detergent mg/l 0,00 0,00 0,00 0,5 14 Zat Organik

(KM3O4

mg/l )

9,48 1,58 4,42 10,0

15 Sisa Klor mg/l 0,00 0,00 0,00 0,2-0,5 Sumber: Data primer, hasil analisa balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan, diolah. Baku Mutu: Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/PER/IX/ 1990 tentang syarat- syarat dan pengawasan kualitas air.

Berdasarkan hasil analisa kualitas air tersebut di atas terdapat parameter yang

melebihi baku mutu yaitu TDS dan Mangan di lokasi sumur yang berada di Desa

Sumber. Hal ini diduga berasal dari pabrik gula, terutama jika dilihat TDS yang

meningkat, diduga berasal dari limbah cair sisa pabrik gula yang di dalamnya masih

Page 130: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

113

mengandung bahan organik. Namun Mangan diduga berasal dari kegiatan lain selain

kegiatan pabrik gula. Limbah Cair

Sampel limbah cair proses produksi diambil pada outlet proses produksi,

kemudian diperiksa di laboratorium yang mengacu pada SK. Gubernur DT. I Jawa

Barat No. 6 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah cair bagi Kegiatan Industri Jawa

Barat. Hasil analisa dan baku mutu untuk spesifikasi pabrik gula dapat dilihat pada

Gambar 27 dan 28. Berdasarkan hasil analisa limbah cair tersebut di atas parameter

yang ada masih di bawah baku mutu, kecuali pH di atas baku mutu. Kualitas Udara

Pada saat dilakukan kegiatan AMDAL Pabrik Gula (2006) dilakukan

pengamatan terhadap kualitas udara, parameter yang diukur dibandingkan dengan baku

mutu lingkungan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun

1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Sedangkan untuk di ruang kerja

mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997 tentang Nilai

Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja. Hasil analisa kualitas udara

dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisa kualitas udara tersebut di atas

semua parameter masih berada di bawah baku mutu.

Tabel 14 Hasil analisa kualitas udara

No.

Parameter

Satuan

Lokasi Ambien

Ruang Kerja U1 U2 U3

1.

2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Arah Angin Kecepatan angin Suhu Kelembaban Cuaca SONO

2

NH2

H2

2Debu

S

Pb CO

Ft/menit

o

% RH C

- µg/mµg/m

3

µg/m3

µg/m3

µg/m3

µg/m3

µg/m3

Barat –Timur

3

- 34,6 48,0

Cerah 5,65 4,75 12,5

Ttd 59,5 0,00 35,0

Barat-Timur

- 32,2 59,0

Cerah 2,75 10,3 Ttd

Ttd 72,0 0,11

110,5

Barat-Timur

- 36,1 60,0 -

16,75 22,5

11,55 Ttd

31,6 0,08

68,25

- - 900 400

2.000 20

230 2

30.000

- -

5.200 5.600

17.000 14.000 10.000 50.000 29.000

Sumber: Hasil Analisa Laboratorium Balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan. Keterangan: - Pengambilan contoh udara dilakukan pada pagi s.d siang - Lokasi: U1 = daerah perkebunan tebu, U2 = Daerah Sumber Kulon, U3 = Ruang Produksi - Baku Mutu Ambient: PP RI No. 41/1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara - Baku Mutu di ruang kerja: SE. Menaker No. 01/1997 tentang Nilai Ambang Batas faktor Kimia di Udara Lingkungan kerja.

Page 131: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

114

Kebisingan

Parameter yang diukur dibandingkan dengan nilai ambang batas menurut Kep.

MenLH No. Kep-48/MenLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan.

Sedangkan di ruang kerja mengacu SK. Menaker No. 51 Tahun 1999, tentang Nilai

Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat kerja.

Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan dengan menggunakan alat pengukur

sound level meter. Intensitas kebisingan dipengaruhi oleh segala aktifitas yang ada di

lokasi afdeling (kebun) dan pabrik pengolahan gula. Hasil pengukuran dapat dilihat

pada Tabel 15.

Tabel 15 Hasil pengukuran kebisingan di afdeling (kebun) dan Pabrik Gula Jati Tujuh

No.

Lokasi Pengambilan Sampel Intensitas

Kebisingan dBA

Baku Mutu

1. Ruang Kerja - R. Masak Tebu 86-87 85 - Stasiun gilingan 78-79 85 - Stasiun pemurnian 81-86 85 - Stasiun Instrumen/instalasi 92-94 85 - Stasiun pengepakan 85-86 85 - Stasiun listrik 85-86 85 - R. water treatment 89-90 85 - Stasiun masakan 83-84 85 - Stasiun penguapan 93-94 85 - R. Boiler 91-92 85 - R. Genset 92-94 85 - R. Produksi (pusat) 93,7-94,1 85

2. Ambient (dari pabrik menuju penduduk)

- Jarak 50 m 59-60 50 - Jarak 100 m 48-50 50

3. Ambient (di pemukiman) - Daerah Sukamulya 39-40 55 - Daerah Sumber 41-42 55

4. Ambient(kebun) - Selatan pabrik 46,0-48,3 52 - Utara (pabrik) 38,8-39,4 50

5. Ambient (perbatasan Indramayu-Majalengka)

39-40 50

6 Daerah perkebunan Tebu 44,7-45,2 50 Sumber: Data primer (Hasil Pengukuran di Lapangan). Keterangan: Pengambilan sample sebelum produksi

• Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-51/MEN/1999, tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat kerja. • Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep-48/MENLH/10/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan Peruntukan

Terbuka Hijau sebesar 50 dBA.

Page 132: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

115

Pada Tabel 15 terlihat adanya kegiatan yang menimbulkan instensitas

kebisingan melebihi baku mutu yaitu pada Ruang Kerja pabrik (kecuali Stasiun

Gilingan) dan jarak 50 m dari pabrik (AMDAL Pabrik Gula). Dalam rangka

menghindari kebisingan ini idealnya pabrik gula memasang peredam suara dan

membekali para pekerjanya dengan tutup telinga.

5.3 Analisis Kebijakan

Pada penelitian ini guna melihat analisis kebijakan industri gula terutama dalam

hal pengelolaan pabrik gula di Indonesia dilakukan wawancara mendalam terhadap

stakeholder terkait dan selanjutnya melakukan analisis untuk melihat keberlanjutan dari

pabrik gula tersebut. Setelah diketahui hasilnya selanjutnya dilakukan analisis terhadap

pengelolaan industri gula dengan menggunakan AHP.

5.3.1 Indeks Keberlanjutan Industri Gula

Dalam rangka memotret pabrik gula yang ada di Indonesia, dilakukan analisis

terhadap dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya-budaya, teknologi serta hukum dan

kelembagaan, dan dilihat keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut. Penilaian

keberlanjutan keberadaan industri gula di lokasi penelitian dilakukan dengan metode

multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan metode Rap-Berinla. Metode

Rap-Berinla sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian terdahulu merupakan

pengembangan dari metode Rapfish yang telah digunakan untuk menilai status

keberlanjutan keberadaan kegiatan industri gula di lokasi penelitian. Analisis Rap-

Berinla menghasilkan status dan indeks keberlanjutan keberadaan industri gula. Dan

selanjutnya dalam rangka mengetahui dimensi (aspek) pembangunan apa yang masih

lemah di pabrik gula dan dimensi mana yang memerlukan perbaikan maka perlu

dilakukan analisis Rap-Berinla pada setiap dimensi tersebut (ekologi, ekonomi, sosial

budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan). Adapun hasil dari analisis tersebut adalah

sebagai berikut.

Dimensi Ekologi

Berdasarkan Gambar 28 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah

sebesar 58,13 pada skala sustainabilitas 0-100. Jika dibandingkan dengan nilai lkB-

Berinla 55,43 yang bersifat multi dimensi maka nilai indeks dimensi ekologi berada di

Page 133: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

116

atas nilai lkB-Berinla dan termasuk ke dalam kategori berkelanjutan karena memiliki

kisaran nilai, masuk ke dalam kategori “berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran “50

- 75” (Kavanagh, 2001). Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan industri

gula, aspek ekologi lebih berkontribusi positif atau memberikan manfaat dalam

mewujudkan keberkelanjutan industri gula. Atau dengan kata lain keberadaan pabrik

gula pada satu daerah atau wilayah, tidak akan memberikan dampak buruk terhadap

aspek ekologi atau lingkungan yang berada di lokasi tersebut.

Kondisi ini sangat dimungkinkan, mengingat industri gula merupakan industri

yang sudah menerapkan sistem produksi bersih. Dalam hal ini hampir semua limbah

yang dihasilkan dari kegiatan dan proses-proses yang terjadi pada industri gula

dimanfaatkan kembali menjadi bahan-bahan yang bernilai ekonomis, seperti untuk

membuat bahan penyedap rasa, ataupun bahan dasar pembuatan produk lainnya. Selain

hal itu, kegiatan pabrik gula juga merupakan kegiatan yang salah satu kegiatan

utamanya adalah harus mengadakan bahan baku berupa tebu.

Adanya penanaman tebu ini merupakan hal yang cukup positif untuk dimensi

ekologi, mengingat dengan adanya penanaman tebu, maka proses alih fungsi lahan

menjadi tertahan atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Selain itu adanya penanaman

tebu akan mengakibatkan lahan terbuka hijau dipertahankan, sehingga akan sangat

mereduksi karbon dioksida dari atmosfir, karena karbon dioksida tersebut akan diserap

oleh tanaman untuk keperluan proses fotosintesis. Kondisi ini tentu saja pada akhirnya

akan secara otomatis, mengurangi proses pemanasan global, sehingga juga akan

menghambat terjadinya perubahan iklim global yang saat ini semakin dikuatirkan

mengingat maraknya bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim global tersebut

(IPCC, 2006).

Selain hal tersebut di atas, adanya penanaman tebu juga memberikan keuntungan

sendiri secara ekologi. Dalam hal ini dengan adanya penanaman tersebut akan

memberikan dampak yang sangat postif terhadap peluang kesempatan air untuk berhenti

dan masuk ke dalam tanah, sehingga mempunyai kesempatan untuk menjadi air tanah.

Kondisi ini akan sangat menguntungkan mengingat adanya tanaman tebu ini

memberikan harapan tersedianya air tanah pada musim kemarau, karena air tidak semua

melimpas (run off) masuk ke sungai dan ke laut, namun akan terhenti dan masuk ke

dalam tanah (Sitorus, 2002).

Page 134: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

117

Selain hal tersebut, dengan adanya lokasi penanaman tebu, maka kemungkinan

terjadinya musibah banjir pada musim hujan akan dapat dikurangi, mengingat lahan

tempat bertanam tebu merupakan salah satu tempat yang berfungsi untuk tangkapan air.

Oleh karena itu maka dimensi ekologis harus tetap dipertahankan, mengingat kondisi

ekologis yang buruk akan dapat menjadi ancaman bagi pembangunan tempat lokasi

industri gula menjadi tidak berkelanjutan. Jika keadaan ini terjadi, maka pada akhirnya

dapat menimbulkan dampak tidak saja pada kondisi ekologis semata, namun juga

terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang nantinya secara langsung

akan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang ada di kawasan pabrik gula tersebut,

namun juga akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.

Melihat nilai keberlanjutan tersebut, terlihat bahwa nilai tersebut masih perlu

ditingkatkan lagi, agar nilai indeks dimensi ekologi di masa yang akan datang semakin

meningkat. Agar keberlanjutannya meningkat, maka hal-hal yang perlu dilakukan

adalah melakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi

tersebut, yaitu: 1) Kerentanan lahan; 2) Pengelolaan pada masa tanam 3) Peralatan

produksi di lapangan dan 4) Inisitatif perluasan lahan. Untuk lebih jelasnya, mengenai

hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi ekologi

Page 135: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

118

Atribut-atribut dalam aspek ekologi yang ditelaah untuk mengetahui tingkat

keberlanjutan keberadaan industri gula adalah tingkat kinerja tenaga dan bengkel kerja,

tingkat kinerja mesin produksi, pengolahan limbah, inisiatif perluasan lahan, irigasi,

peralatan produksi di lapangan, pengelolaan produksi di lapangan, pengelolaan pada

masa tanam, kerentanan lahan, dan status kepemilikan lahan.

Selanjutnya dilakukan analisis leverage. Analisis ini dilakukan dengan tujuan

untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks

keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 28, ada 2 atribut yang sensitif

terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: 1) Kerentanan lahan; dan 2)

Pengelolaan pada masa tanam.

Gambar 28 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk

perubahan RMS lkB-Berinla

Berdasarkan hasil analisis leverage di atas, untuk mewujudkan sistem

keberlanjutan industri gula berdasarkan dimensi ekologi adalah dengan mengeluarkan

kebijakan untuk memperbaiki kinerja tenaga dan bengkel kerja, inisiatif perluasan

lahan, kinerja mesin produksi, pengelolaan limbah dan irigasi, serta memperbaiki status

kepemilikan lahan.

Atrib

Pengaruh Atribut

Perubahan RMS (skala 0 – 100)

Pengaruh Atribut

Page 136: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

119

Dimensi Ekonomi

Berdasarkan Gambar 29 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar

52,60. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi mengandung pengertian bahwa

keberadaan industri gula di lokasi kajian ternyata telah memberi manfaat dari aspek

ekonomi yang sudah cukup tetapi belum optimal dan perlu dilakukan optimalisasi

dalam peningkatan kontribusi pada nilai ekonomi (Kavanagh, 2001). Agar nilai indeks

dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan

terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut.

Gambar 29 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi ekonomi

Keberlanjutan dimensi ekonomi yang masuk pada kategori cukup berlanjut,

relatif dapat dikatakan merupakan hal yang wajar, mengingat dimanapun ada kegiatan

industri, akan ada keuntungan baik untuk pemda berupa adanya pajak pendapatan

perusahaan, pajak bangunan, pajak pendapatan para pekerja, berbagai jenis retibusi, dan

sebagainya. Kondisi yang sama juga akan terjadi pada masyarakat, karena masyarakat

akan mempunyai kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang lebih tinggi, jika di

lokasi tersebut terdapat kegiatan industri. Sebagai contoh ibu rumah tangga yang

biasanya hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dapat melakukan wirausaha,

misalnya dengan berjualan makanan ringan, minuman serta berbagai upaya dapat

Sugarcane industry sustainability

Page 137: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

120

dilakukan di lokasi yang terdapat industri. Karena itu sangat wajar jika nilai

keberlanjutan dimensi ekonomi masuk pada kategori cukup berlanjut.

Namun demikian berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan penelitian

terlihat bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh di kawasan industri gula saat ini masih

bersifat jangka pendek. Hal ini disebabkan kegiatan ekonomi yang ada di kawasan

pabrik gula tersebut masih sangat terbatas pada menjadi pekerja pabrik dan berjualan

makanan sedangkan kegiatan misalnya memanfaatkan limbah pabrik gula untuk

dijadikan bahan industri selanjutnya, masih belum dapat dilaksanakan oleh masyarakat.

Kondisi ini terjadi karena limbah pabrik gula tersebut sudah ada yang membeli secara

rutin, sehingga saat ini tidak dapat dijadikan sebagai bahan baku industri rumah tangga

untuk penduduk sekitar.

Gambar 30 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk

perubahan RMS lkB-Berinla

Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 30, ada sepuluh atribut

yang mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dari yang

Pengaruh Atribut

Page 138: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

121

terbesar sampai yang terkecil, yaitu: 1) Pasar produk industri gula; 2) Kemitraan dalam

pemasaran; 3) Modal kerja dan sumber dana; 4) Pemanfaatan limbah; 5) Hasil produksi

berupa gula pasir; 6) Ketersediaan bahan baku berupa tebu; 7) Kenaikan hasil produksi;

8) Penghasilan pekerja dan penduduk sekitar; 9) Harga bahan baku gula dibanding

dengan hasil penjulan; dan 10) Biaya pemeliharaan mesin-mesin.

Hasil analisis leverage di atas menunjukkan bahwa keberadaan pasar produk

industri gula memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberlanjutan keberadaan

industri gula selama ini. Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa

perlunya dilakukan perbaikan terhadap pemanfaatan limbah, perbaikan hasil produksi,

peningkatan kemitraan dalam pemasaran, modal kerja dan sumber dana, penyelesaian

masalah ketersediaan bahan baku berupa tebu, upaya peningkatan hasil produksi berupa

gula pasir, pengadaan biaya pemeliharaan mesin-mesin, peningkatan harga bahan baku

gula dibanding dengan hasil penjualan dan peningkatan penghasilan pekerja dan

penduduk sekitar dalam upaya meningkatkan keberlanjutan industri gula.

Berdasarkan data tersebut di atas, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap

atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi ekonomi tersebut, sehingga nilai

indeks dimensi ekonomi di kawasan pabrik gula yang ada di seluruh Indonesia, pada

masa yang akan datang dapat ditingkatkan kembali.

Dimensi Sosial budaya

Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya memiliki nilai paling besar

dibandingkan dimensi lainnya dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan hal

ini terlihat pada Gambar 33 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial

budaya sebesar 62,74. Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan industri gula

berdasarkan aspek sosial budaya lebih berkontribusi positif atau memberikan manfaat

dibanding semua aspek lainnya (Kavanagh, 2001). Agar nilai indeks dimensi ini di masa

yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang

sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut. Peningkatan dimensi sosial budaya yang

sudah masuk kategori cukup berlanjut ini diperlukan, mengingat walaupun kondisi di

sekitar pabrik gula terkesan aman dan relatif tidak ada masalah yang berarti, namun

kadang-kadang adanya ketidak puasan terutama dari para petani terhadap penerimaan

hasil (jual) tebu kadang memicu terjadinya konflik seperti yang terjadi pada tanggal 19

Agustus 2010 yang mengakibatkan terjadinya demo petani tebu di PTPN X Surabaya.

Page 139: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

122

Adapun akar permasalahan terjadinya demo di PTPN X ini adalah adanya keinginan

petani tebu agar rendemen tebu yang dihasilkan kelompok tani sekitar PTPN X diakui

oleh pabrik gula tinggi, namun di lain pihak rendemen dari tebu yang dihasilkan para

petani ini rendah (Harian Kompas 20 Agustus 2010).

Cukup tingginya nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya

memperlihatkan bahwa di kawasan industri gula berindikasi adanya kegiatan industri

gula relatif tidak mengakibatkan melunturnya aspek sosial budaya. Hal ini terlihat dari

relatif sangat rendahnya frekuensi terjadinya konflik masyarakat yang tinggal di sekitar

pabrik gula, baik antara masyarakat dengan masyarakat setempat, maupun antara

masyarakat asli dengan masyarakat pendatang (pekerja di pabrik gula). Konflik juga

tidak pernah terjadi antara pihak masyarakat dengan pihak pengelola pabrik. Selain itu

adanya industri gula relatif tidak merubah masyarakat sekitarnya menjadi lebih bersifat

individual dan menjauhi sosial budaya budaya di lokasi tersebut, sehingga kondisi sosial

budaya budaya masyarakat yang berada di sekitar pabrik gula relatif tidak berubah, dan

pada akhirnya mengakibatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya ini

tinggi. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis

dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 31.

Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 31 ada sembilan

atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Dengan

demikian atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai

indeks dimensi ini meningkat di masa yang akan datang. Atribut-atribut lain yang

mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah sebagai berikut: 1)

Penyediaan fasilitas untuk praktek kerja siswa/mahasiswa; 2) Penyelenggaraan

peringatan hari-hari besar (agama, nasional); 3) Penyediaan fasilitas sosial budaya; 4)

Penyediaan fasilitas umum; 5) Kontribusi pabrik terhadap masyarakat; 6) hubungan

antar masyarakat; 7) Jaringan pengaman sosial budaya (social safety net); 8) Tingkat

penyerapan tenaga kerja; dan 9) Tingkat pendidikan formal masyarakat.

Berdasarkan analisis leverage di atas tingkat pendidikan formal masyarakat yang

cukup baik secara nyata sangat berpengaruh terhadap peningkatan indeks sistem

keberlanjutan industri gula. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya

masyarakat di lokasi kajian selama ini sedikit banyak membantu terhadap

pengembangan industri gula di lokasi tersebut. Walaupun aspek sosial budaya memiliki

tingkat keberlanjutan yang cukup baik, namun berdasarkan Gambar grafik lkb-Rap

Page 140: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

123

Berinla ada kecenderungan bahwa di masa-masa akan datang akan terjadi penurunan

nilai keberlanjutan aspek sosial budaya tersebut. Oleh karena itu maka walaupun aspek

social pada kawasan industri gula cukup baik, namun mengingat pesatnya

perkembangan zaman, dan mudahnya akses informasi, maka aspek social perlu

mendapat perhatian yang serius dimasa yang akan datang.

Gambar 31 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi sosial budaya

Dimensi Teknologi

Nilai indeks kebelanjutan dimensi teknologi sebesar 77,32. Nilai indeks tersebut

termasuk ke dalam kategori berkelanjutan dengan “baik” (Kavanagh, 2001). Nilai ini

sekaligus mengindikasikan cukup baiknya aplikasi teknologi pada keberlanjutan

keberadaan industri gula. Aplikasi teknologi akan sangat membantu untuk

meningkatkan produktivitas hasil produksi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan

keberlanjutan proses kegiatan produksi gula.

Sugarcane industry sustainability

Page 141: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

124

Tingginya nilai keberlanjutan dimensi teknologi diduga erat kaitannya dengan

teknologi eksisting yang saat ini ada di pabrik gula. Hal ini sesuai dengan hasil

pengamatan lapang dan hasil wawancara dengan para stakeholder terkait yang

memperlihatkan bahwa aplikasi teknologi pada kegiatan industri gula sangat tinggi,

walau mesin yang dimanfaatkan hingga saat ini pada umumnya masih berasal dari

Zaman Belanda. Pada dasarnya mesin-mesin yang ada di pabrik gula merupakan mesin

yang sudah tua (sejak Zaman Belanda) sehingga memerlukan adanya revitalisasi,

namun cukup canggihnya mesin yang ada di pabrik gula seluruh Indonesia dan relatif

tidak mengalami kerusakan yang sangat berarti serta ditambah dengan adanya

kenyataan bahwa dengan semakin majunya pendidikan telah berdampak positif pada

kualitas SDM, sehingga putra-putri Indonesia sudah mampu membuat suku cadang

mesin pabrik gula tersebut. Kondisi ini mengakibatkan pada saat diwawancara para

stakeholder tetap berpendapat bahwa keberlanjutan dimensi teknologi relatif sangat

tinggi (Gambar 32).

Gambar 32 Peran masing-masing atribut sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk

perubahan RMS lkB-Berinla.

Pengaruh Atribut

Page 142: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

125

Pendapat bahwa keberlanjutan dimensi teknologi relatif sangat tinggi, padahal

teknologi yang dimanfaatkan industri gula pada umumnya adalah teknologi lama yang

sudah ada sejak zaman penjajahan, dan belum mengalami perubahan yang berarti, juga

diesbabkan kondisi mesin yang ada hingga saat ini masih ada dalam kondisi baik hingga

saat ini, sehingga tidak mengakibatkan terganggunya proses produksi, bahkan ada

indikasi teknologi tersebut tidak terkalahkan oleh negara lain. Begitu pula halnya

dengan pengelolaan kawasan industri gula yang relatif tetap mulai dari zaman

penjajahan Belanda hingga saat ini, ternyata tidak menurunkan nilai keberlanjutan

dimensi teknologi. Adapun teknologi yang sudah diaplikasikan pada industri gula

tersebut, antara lain adalah teknologi dalam proses industri gula, baik teknologi di

bidang proses produksi gula, proses rafinasi proses pengolahan limbah, proses

penanaman tebu, proses pemanenan dan berbagai teknologi yang diperlukan dalam

rangka pengendalian dan pengamanan pada kegiatan budidaya tanaman tebu.

Walaupun nilai indeks keberlanjutan teknologi masuk pada kategori sangat

berlanjut, namun tetap harus dilakukan berbagai usaha untuk mempertahankannya atau

bahkan untuk meningkatkannya, sehingga tidak kalah bersaing dengan Negara lain.

Oleh karena itu maka dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi teknologi, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa

atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks teknologi pada pengelolaan kawasan

industri gula di seluruh Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis leverage, ada delapan atribut yang mempengaruhi

besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi antara lain perencanaan

mengantisipasi sistem global, peningkatan produktivitas SDM, kolaborasi dengan pihak

luar, rencana revitalisasi mesin-mesin produksi, bahan baku untuk perbaikan, teknologi

mesin pabrik, teknologi pengolahan limbah, dan tingkat penguasaan teknologi

Agar nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dapat ditingkatkan perlu

dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks

tersebut, yaitu: 1) Rencana revitalisasi mesin-mesin produksi dan 2) Peningkatan

produktivitas SDM. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 33.

Page 143: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

126

Gambar 33 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks dimensi teknologi

Hasil analisis leverage di atas menunjukkan bahwa keberadaan rencana

revitalisasi mesin-mesin produksi dan peningkatan produktivitas SDM memiliki

peranan yang sangat penting terhadap keberlanjutan keberadaan industri gula selama

ini. Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa perlunya dilakukan

perbaikan terhadap perencanaan mengantisipasi sistem global, kolaborasi dengan pihak

luar, tingkat penguasaan teknologi, teknologi pengolahan limbah, teknologi mesim

pabrik, bahan baku untuk perbaikan.

Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Berdasarkan Gambar 34, nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan

kelembagaan sebesar 25,90. Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan

kelembagaan ini merupakan nilai indeks keberlanjutan terendah dari kelima dimensi

yang digunakan dan termasuk kedalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh,

2001). Hal ini mengandung pengertian bahwa pemanfaatan keberadaan industri gula

selama ini kurang memperhatikan aspek hukum dan kelembagaan. Agar nilai indeks

dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan

terhadap dimensi tersebut.

Sugarcane industry sustainability

Page 144: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

127

Gambar 34 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla

Dimensi hukum dan kelembagaan pada pengelolaan industri gula termasuk ke

dalam kategori kurang berkelanjutan. Hal ini juga terlihat dari kondisi yang terdeteksi

di lokasi penelitian yang memperlihatkan bahwa ada indikasi bahwa kelembagaan yang

ada di kawasan lokasi pabrik gula berdiri, relatif lemah. Hal ini dapat ditunjukan dari

belum adanya wadah yang dimiliki petani tebu untuk menyampaikan aspirasi dan

pendapatnya serta belum adanya keterkaitan antara dinas yang satu dengan dinas yang

lain yang terkait dengan industri gula tersebut atau dengan kata lain masih adanya sifat

egosektoral pada dinas-dinas terkait. Tidak berlanjutnya dimensi hukum juga terlihat

secara jelas dari masih lemahnya penegakan hukum, bahkan ada kecenderungan

masyarakat dan para stakeholder yang relatif kurang mempercayai penegakan hukum di

daerahnya masing-masing

Pengaruh Atribut

Page 145: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

128

Kondisi tersebut akan menjadi ancaman bagi pengelolaan kawasan industri gula

untuk menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini mengingat keadaan ini pada akhirnya dapat

menimbulkan dampak, baik terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang

nantinya secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang ada di

kawasan minapolitan tersebut, namun juga akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara

luas.

Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 35, semua atribut yang

ada tersebut mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan

kelembagaan dari yang terbesar sampai yang terkecil, yaitu: 1) kerjasama pengusaha

dan masyarakat; 2) kebijakan pendorong industri gula; 3) keterlibatan pemerintah

daerah; 4) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah; 5) kerjasama dengan pihak asing; 6)

Status industri gula; 7) Pembinaan dan dukungan kelembagaan dan 8) Ketersediaan

perangkat hukum.

Gambar 35 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan.

Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa peranan dimensi hukum

kelembagaan yang kurang mendukung terhadap sistem keberlanjutan industri gula

Sugarcane industry sustainability

Page 146: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

129

sangat dipengaruhi oleh faktor kurangnya ketersediaan perangkat hukum, pembinaan

dan dukungan kelembagaan yang rendah dan status industri gula yang kurang jelas.

Gambar 36 Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan

dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla.

Multi-Dimensi

Hasil analisis Rap-Berinla dengan menggunakan metode MDS menghasilkan

nilai IkB-Berinla (indeks keberlanjutan keberadaan industri gula) adalah sebesar 55,43

pada skala sustainabilitas 0 – 100. Nilai lkB-Berinla tersebut diperoleh berdasarkan

penilaian terhadap 44 atribut yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi,

sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan) termasuk ke dalam kategori cukup

berkelanjutan, mengingat nilai lkB-Berinla-nya berada pada selang nilai 50 – 75.

Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-Berinla dengan

menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan

terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 16 di bawah ini menyajikan

Pengaruh Atribut

Page 147: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

130

nilai “stress” dan R2

(koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multidimensi.

Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk

mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya).

Tabel 16. Hasil analisis Rap-Berinla untuk beberapa parameter statistik

Ekologi Ekonomi Sosial

budaya Teknologi

Hukum & Kelembagaan

Multi-Dimensi

Stress = 0,1152471 0,1100917 0,1399428 0,2113747 0,1001564 0,135363 Squared Correlation (RSQ) = 0,976606 0,9735096 0,9538016 0,8956022 0,98760909 0,957426 % Analisis 58,13% 52,60% 62,74% 77,32% 25,90% 55,34%

Berdasarkan Tabel 16 di atas setiap dimensi maupun multidimensi memiliki

nilai “stress” yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai “stress”

pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai 25%.

Karena semakin kecil nilai “stress” yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil

analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2), kualitas hasil

analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1).

Dengan demikian dari kedua parameter (nilai “stress” dan R2

Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas

hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar

(mendekati 1). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai

R

) menunjukkan bahwa

seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan sistem industri gula sudah

cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis.

2-nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai “stress” dan

R2

Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahapan

penentuan atribut keberlanjutan keberadaan industri gula yang mencakup lima dimensi

(dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum dan kelembagaan),

tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan

pada setiap dimensi, analisis ordinasi “Rap-Berinla” yang berbasis metode

) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis

keberlanjutan pengelolaan industri gula yang ada di sebagian besar wilayah Indonesia

masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima dimensi

pembangunan yang dianalisis.

Page 148: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

131

“multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan sistem

yang dikaji.

Proses ordinasi Rap-Berinla ini menggunakan perangkat lunak modifikasi

Rapfish (Kavanagh, 2001). Perangkat lunak Rapfish ini merupakan pengembangan

MDS yang ada di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebaikan posisi

(flipping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat

lunak. Melalui MDS ini maka posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan

dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik

tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk”

diberi nilai skor 0% dan titik ekstrem “baik” diberi skor nila 100%. Posisi

keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai

ini merupakan nilai indeks keberlanjutan keberadaan industri gula. Ilustrasi hasil

ordinasi yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dari sistem yang dikaji disajikan

pada Gambar 37.

Gambar 37 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan industri gula

Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan

memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan

mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut, misalnya dimensi

ekologi. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis perbandingan

Sosial budaya 62,74

Page 149: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

132

keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk

diagram, seperti yang disajikan pada Gambar 37. Skala indeks keberlanjutan

keberadaan industri gula mempunyai selang 0%-100%, jika sistem yang dikaji

mempunyai nilai indeks lebih dari 50% (>50%) maka sistem tersebut sustainable

(termasuk kategori berkelanjutan), dan sebaliknya jika kurang atau sama dengan 50%

(≤50%) maka sistem tersebut belum sustainable (termasuk kategori kurang

berkelanjutan).

Berdasarkan skala di atas diketahui bahwa dimensi teknologi termasuk kategori

berkelanjutan “baik”, sedangkan dimensi sosial budaya dan ekologi termasuk kategori

cukup berkelanjutan, dan sisanya termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan.

Hal ini menunjukan bahwa aspek teknologi, sosial budaya dan ekologi memberikan

kontribusi cukup besar terhadap usaha pengembangan industri gula selama ini,

sedangkan aspek lainnya dirasa kurang memberi kontribusi, khususnya aspek hukum

dan kelembagaan, sehingga perbaikan sistem pengelolaan terhadap kedua aspek tersebut

dirasa sangat diperlukan di masa-masa yang akan datang.

Analisis dengan menggunakan metode MDS disamping harus melihat tingkat

akurasi terhadap jumlah atribut dari setiap dimensi atau jumlah keseluruhan atribut yang

digunakan untuk menganalisis obyek yang sedang diteliti sudah representatip atau

belum dari seluruh permasalahan yang dibuktikan dengan perhitungan nilai parameter

“stress” dan korefisien determinasi (R2) terdapat dua asumsi perlu dibuktikan. Dua

asumsi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama tingkat kepercayaan indek total

(multidimension) dan kepercayaan terhadap nilai indek setiap dimensi. Kedua pengaruh

kesalahan terhadap pembuatan skor pada setiap atribut yang disebabkan oleh karena

pemahaman, perbedaan opini, atau penilaian dari peneliti yang saling berbeda,

kesalahan pemasukan data atau data yang hilang, atau nilai “stress” yang terlalu tinggi,

yang terakhir karena kesalahan prosedur yang dapat mempengaruhi stabilitas proses

analisis MDS. Dalam rangka membuktikan kedua asumsi tersebut digunakan analisis

Monte Carlo. Analisis ini adalah analisis yang berbasis komputer dengan menggunakan

teknik random number. Analisis ini dinamakan Monte Carlo karena prinsip dan

prosesnya mirip dengan permainan roullet yang ada di Kota Monte Carlo, permainan

tersebut dapat berfungsi sebagai pembangkit bilangan acak yang sederhana berdasarkan

teori statika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu model matematis. Analisis

Monte Carlo pada penelitian ini yang dilakukan beberapa kali pengulangan hasilnya

Page 150: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

133

mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indek total masing-masing

dimensi seperti pada Tabel 17.

Tabel 17 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%.

Status Indeks Hasil MDS Hasil Montecarlo Perbedaan

Ekologi 58,13 57,35 0,78 Ekonomi 52,60 51,07 1,53 Sosial budaya 62,74 62,23 0,51 Teknologi 77,32 76,25 1,07 Hukum & Kelembagaan 25,90 24,50 1,40 Multi-Dimensi 55,43 54,28 1,15

Pada Tabel 17, yaitu hasil analisis dengan metode MDS dan dengan analisis

dengan metode Monte Carlo menghasilkan perbedaan seperti pada kolom 4 yaitu nilai

perbedaannya sangat kecil, yaitu 1,15%. Hal ini membuktikan tingkat kepercayaan

terhadap indek total (multidimension) dan kepercayaan terhadap nilai indek setiap

dimensi, dan pengaruh kesalahan yang dapat mmpengaruhi terhadap seluruh proses

analisis dengan metode MDS adalah melebihi 95%. Oleh karena itu dari analisis

dengan Monte Carlo menghasilkan bahwa 1). pengaruh kesalahan terhadap pembuatan

skor pada setiap atribut sangat kecil 2). kesalahan yang diakibatkan oleh karena

pemahaman, perbedaan opini, atau penilaian dari peneliti yang saling berbeda, relatip

sangat kecil 3). kesalahan pemasukan data atau data yang hilang, atau nilai “stress”

yang terlalu tinggi, sangat kecil 4). kesalahan posedure yang dapat mempengaruhi

stabilitas proses analisis MDS juga relatif kecil.

5.3.2 Analisis Hierarki Process

Hasil Pembobotan pada setiap Komponen

Model AHP digunakan untuk memilih arahan kebijakan yang mudah dan

penting menuju pengembangan industri gula berkelanjutan. Gambar 38 merupakan

diagram hirarki AHP yang telah didiskusikan dan merupakan pendapat pakar utama

melalui wawancara yang mendalam. Pakar yang terlibat antara lain dari kalangan

Page 151: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

134

pemerintah, swasta, masyarakat dan LSM. Adapun hasil analisis AHP yang dilakukan

pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 38.

Gambar 38. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula

Hirarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses

penetapan prioritas yang dimulai dari penetapan fokus pada level l yaitu keberhasilan

pola pengembangan indusri gula. Level 2 adalah faktor yang terdiri atas sosbud,

ekonomi dan lingkungan. Level 3 adalah aktor terdiri atas Dis. Perindag, Deperindag,

Dinas Lingkungan Hidup, Pengusaha, dan Masyarakat. Aktor tersebut terkait dengan

pengembangan industri gula dan masing-masing aktor mempunyai peran, pengaruh dan

kekuatan terhadap kebijakan-kebijakan pengembangan industri gula. Level 4 adalah

tujuan untuk pengembangan industri gula yang terdiri atas bahan baku, transportasi,

fiskal, pemasaran, teknologi, partisipasi masyarakat, perbankan dan infrastruktur. Level

5 adalah sasaran yang terdiri atas revitalisasi, swastanisasi dan ekstensifikasi

Faktor

Aktor

Tujuan

Sasaran

Fokus

Infrastruktur 0,060

Sosbud 0,260

Lingkungan, Huk & Kelm

0,327

Dis. Perindag

0,186

Deperindag 0,200

Dinas LH 0,147

Pengusaha 0,267

Masyarakat 0,201

Transportasi

0,186

Fiskal 0,118

Pemasaran 0,118

Teknologi 0,098

Partisipasi Masy. 0,083

Revitalisasi 0,459

Swastanisasi

0 255

Ekstensifikasi 0,287

Industri Gula

Ekonomi, Teknologi

0,413

Perbankan 0,062

Bahan Baku 0,276

Page 152: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

135

Pembobotan Kriteria Faktor dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun faktor-faktor yang menjadi

pengaruh utama dalam pengembangan industri gula berkelanjutan. Gambar 39

menunjukkan urutan prioritas faktor-faktor tersebut.

0.26

0.327

0.413

Sosbud

Lingkungan

Ekonomi

Gambar 39 Urutan prioritas faktor dalam pengembangan industri gula berkelanjutan

Berdasarkan Gambar 39 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 3)

menunjukkan bahwa faktor ekonomi mempunyai peran utama dalam pengembangan

industri gula berkelanjutan, bobot nilainya adalah 0,413. Faktor ekonomi tersebut

mencakup masalah fiskal, pemasaran, perbankan dsb. Prioritas faktor selanjutnya

adalah faktor lingkungan dan faktor sosial budaya budaya dengan bobot nilainya adalah

0.327 dan 0.26. faktor lingkungan misalnya mencakup ketersediaan SDA terutama

ketersediaan lahan pertanian dan ketersediaan SDM atau tenaga kerja, sedangkan

sosekbud dalam hal tingkat partisipasi masyarakat, terutama daya minat petani dalam

mengembangkan budidaya tanaman tebu sebagai bahan baku utama untuk industri gula.

Pembobotan Kriteria Aktor dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun aktor yang menjadi pengaruh

utama dalam pengelolaan pengembangan industri gula berkelanjutan. Gambar 40

menunjukkan urutan prioritas aktor tersebut.

Berdasarkan Gambar 40, hasil analisis AHP yang merupakan aktor (level 3)

menunjukkan bahwa pengusaha mempunyai peran utama dalam pengembangan industri

gula berkelanjutan, bobot nilainya adalah 0,267. Pengusaha mempunyai tingkat

kepentingan yang tinggi terhadap pengembangan industri gula. Pengusaha merupakan

salah satu aktor yang mempunyai peran terhadap pengembangan industri gula.

Page 153: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

136

Pengusaha mempunyai peran sebagai investor atau penanam modal untuk pembangunan

yang berkaitan dengan pengembangan industri gula. Dalam kenyataannya tanggung

jawab sosial budaya dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama

antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha atau dunia usaha berdasarkan prinsip

kemitraan dan kerjasama. Tanggung jawab sosial budaya pengusaha diantaranya dapat

memberikan implikasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,

meringankan beban pembiayaan pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha,

sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerjasama

antara masyarakat, pemerintah dengan pengusaha.

0.147

0.186

0.2

0.201

0.267

Dinas LH

Dis.Perindag

Deperindag

Masyarakat

Pengusaha

Gambar 40 Urutan prioritas aktor dalam pengembangan industri gula berkelanjutan

Masyarakat memiliki bobot nilai sebanyak 0,201. merupakan salah satu aktor

yang mempunyai peran terhadap pengembangan industri gula berkelanjutan.

Masyarakat mempunyai peran sebagai sumber pemasok tenaga kerja dan bahan baku

kepada pihak industri. Kebutuhan bahan baku industri gula selama ini sangat

tergantung dari hasil perkebunan rakyat sebagai mitra usaha pengusaha. Pola kemitraan

seperti ini memberikan implikasi positif bagi pengusaha dalam hal memperoleh sumber

tenaga kerja dan bahan baku, tapi juga bagi masyakat yang kesejahteraannya meningkat.

Bagi pemerintah pola kerjasama seperti ini dapat meringankan beban pembiayaan

pembangunan di daerah tersebut.

Pemerintah (Deperindag dan Dinas Perindag Daerah dan Dinas Lingkungan

Hidup) mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap penentuan alternatif

kebijakan pengembangan industri gula. Hal tersebut disebabkan baik kenyataan di

lapangan maupun dilandasi dengan hukum, pengaruh dan peran dari aktor pemerintah

Page 154: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

137

Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Propenas) 2000-2004 dan dalam Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah. Oleh karena itu pemerintah mempunyai peran penting untuk

melakukan pengembangan industri gula secara berkelanjutan di Indonesia.

Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian

utama dalam pengembangan industri gula berkelanjutan, Gambar 41 menunjukkan

urutan prioritas tujuan tersebut.

Gambar 41 Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan industri gula berkelanjutan

Berdasarkan Gambar 41 hasil analis AHP yang merupakan tujuan (level 4)

menunjukkan bahwa pengembangan industri gula dengan fokus tujuan pada masalah

bahan baku dan transportasi mendapat priotitas utama dalam kriteria tujuan dengan

masing-masing bobot nilai 0,276 dan 0,186. Tujuan pengadaan bahan baku menjadi

prioritas utama karena proses kegiatan produksi tidak akan berjalan secara

berkesinambungan apabila kegiatan industri tersebut tidak didukung oleh pengadaan

bahan baku yang mendukung kegiatan produksi. Sedangkan pengadaan sarana

transportasi sangat penting dalam hal mempermudah proses pengangkutan gula sebagai

hasil akhir untuk dijual ke konsumen.

Prioritas tujuan selanjutnya adalah “fiskal” dengan bobot nilai 0,118. Perbaikan

fiskal dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan pada para pengusaha/petani tebu

dalam memperoleh pinjaman-pinjaman modal usaha dengan bunga rendah. Disamping

0.06 0.062

0.083 0.098

0.118 0.118

0.186 0.276

Infrastruktur Perbankan

Partisipasi Masyarakat Teknologi

Pemasaran Fiskal

Transportasi Bahan baku

Page 155: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

138

kebijakan pemerintah dalam pemberian keringan pajak bagi komoditi gula sangat

diperlukan.

Prioritas tujuan selanjutnya adalah “pemasaran” dengan bobot nilai 0.118.

Pemasaran produk gula perlu didukung dengan pemberian insentif oleh pemerintah

berupa pengurangan pajak terhadap produk gula sehingga harga dasar produk gula akan

lebih murah. Hal ini akan menguntungkan bagi pengusaha karena produk tersebut

menjadi lebih terjangkau sesuai daya beli masyarakat.

Prioritas tujuan selanjutnya adalah berturut-turut “teknologi”, “partisipasi

masyarakat”, “perbankan” dan “infrastruktur”. Pengembangan industri gula

berkelanjutan perlu didukung oleh penggunaan teknologi yang mampu meningkatkan

produktivitas produksi gula. Sementara itu dukungan masyarakat terhadap

pengembangan industri gula berkelanjutan ditunjukkan dengan semakin banyaknya

petani untuk menanam lahan perkebunan mereka dengan komoditi tebu untuk

memasok kebutuhan bahan baku tebu bagi kebutuhan industri. Sektor perbankan terkait

dengan masalah pemberian dana dengan bunga rendah. Untuk infrastruktur berupa

perbaikan maupun pengadaan sarana jalan dan terkait dengan masalah kemudahan

dalam proses pemasaran

Pembobotan Kriteria Sasaran dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun sasaran yang menjadi prioritas

utama dalam keberhasilan pengembangan industri gula berkelanjutan. Gambar 42

menunjukkan urutan prioritas sasaran tersebut.

0.255

0.287

0.459

Swastanisasi

Ekstensifikasi

Revitalisasi

Gambar 42 Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan industri gula berkelanjutan

Page 156: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

139

Berdasarkan Gambar 44 hasil analisis AHP yang merupakan sasaran (level 5)

menunjukkan bahwa revitalisasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,459.

Revitalisasi berkait dengan prioritas kedua adalah ekstensifikasi dengan bobot nilai

0,287. Ekstensifikasi dilakukan dengan cara melakukan peluasan pembangunan

perkebunan tebu rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri gula. prioritas

terakhir adalah swastanisasi dengan bobot nilai 0.255. Swastanisasi dapat dilakukan

dengan cara memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada swasta untuk terlibat

dalam pengembangan industri gula nasional. Pemberian kemudahan-kemudahan dalam

pelaksanaan investasi dan mengurangi campur tangan pemerintah (bulog) dalam proses

pembentukan harga pasar .

5.4 Skenario Pengelolaan Industri Gula

Keberadaan industri gula ternyata memberikan kontribusi positif ditinjau dari

sisi ekologi, namun demikian masih perlu ditingkatkan lagi nilai keberlanjutannya.

Adapun untuk meningkatkan nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang perlu

dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi

tersebut, yaitu:

• Kerentanan lahan

• Pengelolaan lahan pada masa tanam

Keberadaan industri gula juga memberikan pengaruh yang positif terhadap

perekonomian masyarakat dan pendapatan asli daerah, namun demikian dalam

mempertahankan atau bahkan meningkatkan keberlanjutan ekonomi, maka perlu

dilakukan perbaikan terhadap

• Peningkatan pasar produk industri gula

Keberadaan industri gula juga memberikan pengaruh yang positif terhadap

kondisi sosial budaya masyarakat namun demikian untuk mencegah menurunnya

keberlanjutan dimensi sosial budaya masyarakat, maka hal yang perlu dilakukan adalah:

• Meningkatkan pendidikan formal masyarakat

• Meningkatkan kontribusi pabrik terhadap masyarakat

• Meningkatkan hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat

Page 157: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

140

Industri gula di Indonesia ternyata walaupun memiliki nilai indeks keberlanjutan

teknologi yang tinggi, namun masih ketinggalan dalam hal teknologi yang

dimanfaatkan. Oleh karena itu, maka untuk mencegah menurunnya keberlanjutan

dimensi teknologi, maka hal yang perlu dilakukan adalah:

• Melakukan revitalisasi mesin-mesin industri

• Meningkatkan produktivitas SDM

Industri gula di Indonesia ternyata walaupun memiliki nilai indeks keberlanjutan

hukum dan kelembagaan yang rendah. Oleh karena iti, maka untuk meningkatkan nilai

indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, maka hal yang perlu dilakukan

adalah:

• Meningkatkan kerjasama dengan masyarakat

• Membuat kebijakan pendorong industri gula

• Meningkatkan keterlibatan pemda

Berdasarkan hal tersebut maka deskripsi kemungkinan perubahan kondisi

masing-masing faktor strategis dalam pengelolaan industri gula dapat dilihat pada Tabel

18. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap parameter kunci pengelolaan industri gula,

dapat disimpulkan bahwa elemen kunci dapat berubah dengan terjadinya perubahan

keadaan (state) pada setiap faktor dan dengan cara memeriksa parameter mana dan

perubahan seperti apa yang tidak dapat terjadi secara bersamaan (incompatible).

Sedangkan parameter kunci dan perubahannya yang terjadi secara bersamaan akan

menjadi skenario strategi dalam melakukan pengelolaan di pabrik gula. Adapun kondisi

incompatible antar keadaan dari faktor-faktor penting tersebut dalam pengelolaan

industri gula dapat dilihat pada Tabel 19.

Page 158: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

141

Tabel 18 Faktor strategis parameter kunci pengelolaan dan kondisi masa depannya

No Faktor stategis Keadaan (state) masa depan 1 Kerentanan lahan 1A

menurun 1B

tetap 1C

meningkat

2 Pengelolaan pada masa tanam

2A Tidak ada

pengelolaan

2B Dikelola

oleh masyarakat

2C Dikelola

oleh masyarakat dan pabrik

2D Dikelola oleh semua yang

berkepentingan

3 Pasar produk 3A Pasar produk menurun

3B Pasar produk tetap

3C Pasar produk meningkat

3D Pasar produk ke hampir semua negara

4 Pendidikan formal masyarakat

4A menurun

4B tetap

4C Hingga S1

4D Hingga pasca

sarjana 5 Kontribusi pabrik

terhadap masyarakat 5A

Kontribusi pasif

5B Kontribusi

insentif

5C Kontribusi fungsional

5D Kontribusi aktif

6 Hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat

6A Rentan terjadi konflik

6B Kadang-kadang terjadi konflik

6C Tidak pernah terjadi konflik

6D Hubungan

kekeluargaan sangat harmonis

7 Revitalisasi mesin-mesin industri

7A Mesin

semakin banyak

yang rusak

7B Mesin tidak

berubah

7C Mesin rusak

diganti baru dan

ada penambaha

n mesin

7D Reviratlisasi

mesin

8 Produktivitas SDM 8A Pengetahua

n SDM sangat jauh ketinggalan

8B SDM

mengetahui proses yang

biasa berjalan

8C SDM

mengikuti pelatihan di

dalam negeri

8D SDM dikirim keberbagai

negara

9 Kerjasama dengan masyarakat

9A menurun

9B tetap

9C Meningkat

10 Kebijakan pendorong industri gula

10A Tidak ada

10B Ada produk

lama

10C Dibuat

yang baru

10D Dibuat model

kebijakan kholistik

11 Keterlibatan Pemda 11A Keterlibatan

pasif

11B Keterlibatan

insentif

11C Keterlibata

n fungsional

11D Partisipasi aktif

Page 159: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

142

Tabel 19 Kondisi incompatible antar keadaan dari faktor-faktor penting tersebut dalam pengelolaan industri gula

No Faktor stategis Keadaan (state) masa depan 1 Kerentanan lahan 1A

menurun 1B

tetap 1C

meningkat

2 Pengelolaan pada masa tanam

2A Tidak ada

pengelolaan

2B Dikelola

oleh masyarakat

2C Dikelola

oleh masyarakat dan pabrik

2D Dikelola oleh semua yang

berkepentingan

3 Pasar produk 3A Pasar

produk menurun

3B Pasar

produk tetap

3C Pasar

produk meningkat

3D Pasar produk ke hampir semua

negara 4 Pendidikan formal

masyarakat 4A

menurun 4B

tetap 4C

Hingga S1 4D

Hingga pasca sarjana

5 Kontribusi pabrik terhadap masyarakat

5A Kontribusi

pasif

5B Kontribusi

insentif

5C Kontribusi fungsional

5D Kontribusi aktif

6 Hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat

6A Rentan terjadi konflik

6B Kadang-kadang terjadi konflik

6C Tidak pernah terjadi konflik

6D Hubungan

kekeluargaan sangat harmonis

7 Revitalisasi mesin-mesin industri

7A Mesin

semakin banyak

yang rusak

7B Mesin tidak

berubah

7C Mesin rusak

diganti baru, ada

penambahan mesin

7D Reviratlisasi

mesin

8 Produktivitas SDM 8A Pengetahua

n SDM sangat jauh ketinggalan

8B SDM

mengetahui proses yang

biasa berjalan

8C SDM

mengikuti pelatihan di

dalam negeri

8D SDM dikirim

keberbagai negara

9 Kerjasama dengan masyarakat

9A menurun

9B tetap

9C Meningkat

10 Kebijakan pendorong industri gula

10A Tidak ada

10B Ada produk

lama

10C Dibuat

yang baru

10D Dibuat model

kebijakan kholistik

11 Keterlibatan Pemda 11A Keterlibatan

pasif

11B Keterlibatan

insentif

11C Keterlibata

n fungsional

11D Partisipasi aktif

Page 160: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

143

Berdasarkan parameter kunci dan hubungan incompatible antar parameter

penting dalam pengelolaan industri gula maka disusun lima skenario kebijakan industri

gula seperti yang dapat dilihat pada Tabel 20 sebagai berikut.

Tabel 20 Skenario kebijakan pengeloaan industri gula

No Skenario Kondisi yang akan dicapai

1 Pengembangan industri gula tanpa peningkatan kinerja lingkungan 1 C (Kerentanan lahan) meningkat 2 A (Tidak ada pengelolaan masa tanam) 3 D (Pasar produk ke hampir semua negara) 4A/4B (Pendidikan formal masyarakat menurun/tetap) 5 A (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat pasif) 6 A (rentan terjadi konflik antar warga masyarakat) 7 D (revitalisasi mesin) 8 D (SDM dikirim keberbagai negara) 9 A (kerjasama dengan masyarakat menurun) 10 E (Dibuat model kebijakan pendorong yang baru) 11 C (Partisipasi fungsional)

Industri akan berkembang pesat, namun lingkungan menjadi masalah (tidak diperhatikan)

2 Perbaikan kinerja lingkungan secara konsisten 1 A (Kerentanan lahan) menurun 2 D (Dikelola oleh semua yang berkepentingan) 3 B (Pasar produk tetap) 4 C (Pendidikan formal masyarakat hingga S1) 5C (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat fungsional) 6C (Hubungan kekeluargaan tidak pernah terjadi

konflik) 7 B (Mesin tidak berubah) 8 B (SDM mengetahui proses yang biasa berjalan) 9 C (kerjasama dengan masyarakat meningkat) 10B (model kebijakan pendorong ada tapi produk lama) 11C (Partisipasi fungsional)

Terjadi perbaikan kinerja lingkungan dengan managemen lingkungan yang ketat, bukan hanya produksi bersih yang sudah diterapkan tapi juga melindungi lahan tampat penanaman tebu dan lingkungan lainnya, dan baik pihak pabrik, masyarakat, maupun pemda fokus pada pengelolaan lingkungan

3 Perbaikan kinerja lingkungan dengan tetap memperhatikan kepentingan industri 1 B (Kerentanan lahan) tetap 2 B (Dikelola oleh masyarakat) 3 B (Pasar produk tetap) 4 C (Pendidikan formal masyarakat hingga S1) 5C (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat fungsional) 6 C (Tidak pernah terjadi konflik) 7 B (Mesin tidak berubah) 8 C (SDM mengikuti pelatihan di dalam negeri) 9 B (kerjasama dengan masyarakat tetap) 10B (kebijakan pendorong industri gula tetap) 11C (Keterlibatan Pemda fungsional)

Kualitas lingkungan makin baik, karena diprioritaskan pihak industri, perhatian terhadap kemajuan usaha juga diperhatikan, namun perhatian terhadap faktor lingkungan relatif lebih tinggi

4 Pengembangan industri dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan

Perusahaan mengalami perbaikan kinerja secara

Page 161: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

144

1 A (Kerentanan lahan) menurun 2 C (Dikelola oleh masyarakat dan pabrik) 3 C (Pasar produk meningkat) 4 C (Pendidikan formal masyarakat hingga S1) 5 B (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat insentif) 6 C (Tidak pernah terjadi konflik) 7 C (Mesin rusak diganti baru dan ada penambahan

mesin) 8 C (SDM mengikuti pelatihan di dalam negeri) 9 B (kerjasama dengan masyarakat tetap) 10C (Dibuat model kebijakan pendorong yang baru) 11B (Keterlibatan Pemda insentif)

menyeluruh dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, namun perhatian terhadap kemajuan industri relatif lebih tinggi dibanding perhatiannya terhadap lingkungan

5 Pengembangan industri dan perbaikan kinerja lingkungan berjalan secara simultan 1 A (Kerentanan lahan) menurun 2 D (Dikelola oleh semua yang berkepentingan) 3 D (Pasar produk hampir semua negara) 4D (Pendidikan formal masyarakat hingga

Pascasarjana) 5 D (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat aktif) 6 D (Hubungan kekeluargaan sangat harmonis) 7 D (Reviratlisasi mesin) 8 D (SDM dikirim keberbagai negara) 9 C (kerjasama dengan masyarakat meningkat) 10D (Dibuat model kebijakan kholistik) 11D ( Pemda berpartisipasi aktif)

Perbaikan kinerja industri semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan, dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal yang kita kenal sebagai pembangunan yang berkelanjutan

5.5 Model Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan

Berdasarkan kondisi umum, dan hasil analisis maka pada penelitian ini disarikan

model pengelolaan pabrik gula yang berwawasan lingkungan seperti yang tertera pada

Gambar 43.

Model pengelolaan pabrik gula yang berwawasan lingkungan ini pada dasarnya

merupakan model pengembangan RSSC – PC (roundtabel on sustainable sugarcane –

princip and criteria). Adapun prinsip yang dianut pada model pengelolaan ini adalah:

• Aspek legal (hukum & kelembagaan)

• Ekonomi & teknologi

• Lingkungan

• Sosial budaya

Adapun kriteria pada model pengelolaan ini adalah

• Komitmen terhadap transparansi

• Memenuhi hukum & peraturan yang berlaku

Page 162: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

145

• Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang

• Penggunaan praktek terbaik (GMP – GAP) dan tepat oleh perkebunan dan pabrik

• Tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keaneka ragaman

hayati (Amdal, UKL, UPL: flora, fauna, konflik; - culture, kebijakan, tanaman lain)

• Tanggung jawab kepada para pekerja, individu-individu dan komunitas-komunitas,

kebun dan pabrik

• Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab

• Komitmen terhadap perbaikan terus-menerus pada wilayah-wilayah utama aktifitas

• Komitmen terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui program CSR

Peningkatanjumlah

penduduk

Pasar(DN dan LN)

LahanBibit tebu

PupukIrigasi

Teknologi

SDM pabrik gula

Partisipasimasyarakat

Pengolahan Gula

Pabrik gula

Limbah (padat, cair)Prinsip 4R

(produksi bersih)

Hukum & kelembagaanlintassektor

Lingkungan

Gambar 43 Model pengelolaan pabrik gula yang berwawasan lingkungan

Berdasarkan model di atas didapat suatu skenario sebagai berikut:

1. Pengembangan industri gula tanpa peningkatan kinerja lingkungan, maka:

kerentanan lahan meningkat, tidak ada pengelolaan masa tanam, pasar produk ke

Page 163: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

146 hampir semua negara artinya tidak terfokus dulu kepada kebutuhan domestik yang

memerlukan jumlah produksi yang cukup besar, pendidikan formal masyarakat

menurun/tetap, kontribusi pabrik terhadap masyarakat pasif, rentan terjadi konflik

antar warga masyarakat, revitalisasi mesin/peralatan pabrik gula tidak bisa

dipercepat, SDM diperlukan dikirim ke berbagai negara untuk peningkatan

wawasan, kerjasama dengan masyarakat menurun, perlunya dibuat model kebijakan

pendorong yang baru karena yang lama masih paradigma Zaman Belanda,

partisipasi fungsional masih kentara. Untuk itu maka pengembangan industri gula

yang diinginkan adalah pengembangan industri yang memperhatikan kesuburan

tanah, penggunaan pupuk diupayakan bukan pupuk an organik yang dapat merusak

kesuburan tanah, namun menggunakan pupuk organik (kompos) sehingga tidak saja

akan meningkatkan margin keuntungan untuk petani, namun juga dapat

meningkatkan kesuburan tanah dan mempertahankan kualitas tanah. Namun

demikian agar dihasilkan tebu yang produksinya tinggi, maka penyediaan bibit juga

harus baik (bibit unggul) dan tersedia air yang cukup serta tanamannya terurus.

Dari situ terlihat bahwa kondisi yang diinginkan adalah industri gula berkembang

pesat, namun lingkungan menjadi masalah (tidak diperhatikan).

2. Perbaikan kinerja lingkungan secara konsisten, maka: kerentanan lahan menurun,

dikelola oleh semua yang berkepentingan, pasar produk tetap/konsisten, tidak

fluktuatif, pendidikan formal masyarakat diharapkan hingga S1, kontribusi pabrik

terhadap masyarakat akan bersifat fungsional, hubungan kekeluargaan tidak pernah

terjadi konflik, mesin/peralatan pabrik tidak berubah kinerjanya/konstan, SdM

mengetahui dengan pasti proses yang biasa berjalan, kerjasama dengan masyarakat

meningkat, model kebijakan pendorong ada tapi produk lama, partisipasi berbagai

komponen / sektor akan berada pada tahap fungsional. Kondisi yang ingin dicapai

antara lain terjadi perbaikan kinerja lingkungan dengan managemen lingkungan

yang ketat, bukan hanya produksi bersih yang dilakukan di pabrik gula semata yang

saat ini relatif sudah diterapkan tapi juga melindungi lahan tempat penanaman tebu

dan lingkungan lainnya. Untuk itu maka baik pihak pabrik, masyarakat, maupun

pemda idealnya harus fokus pada pengelolaan lingkungan.

3. Perbaikan kinerja lingkungan dengan tetap memperhatikan kepentingan industri,

oleh karena itu maka: kerentanan lahan relatif tetap, dikelola oleh masyarakat, pasar

Page 164: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

147

produk tetap/konsisten, pendidikan formal masyarakat diharapkan hingga jenjang

S1, kontribusi pabrik terhadap masyarakat bersifat fungsional, tidak pernah terjadi

konflik, mesin tidak berubah kinerja/performannya, SDM mengikuti pelatihan

cukup di dalam negeri, kerjasama/partisipasi dengan masyarakat tetap, kebijakan

pendorong industri gula tetap, keterlibatan Pemda bersifat fungsional. Harapannya

antara lain kualitas lingkungan makin baik, karena diprioritaskan pihak industri,

perhatian terhadap kemajuan usaha juga diperhatikan, namun perhatian terhadap

faktor lingkungan relatif lebih tinggi

4. Pengembangan industri dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, maka:

kerentanan lahan menurun, dikelola oleh masyarakat dan pabrik secara elegan,

pasar produk meningkat, pendidikan formal masyarakat hingga S1, kontribusi

pabrik terhadap masyarakat intensif, tidak pernah terjadi konflik, mesin rusak

diganti baru dan ada penambahan mesin, SDM mengikuti pelatihan cukup di dalam

negeri, kerjasama dengan masyarakat tetap, dibuat model kebijakan pendorong

yang baru, keterlibatan pemda intensif. Hal yang diinginkan ialah

perusahaan/pabrik gula (PG) mengalami perbaikan kinerja secara menyeluruh

dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, namun perhatian terhadap

kemajuan industri relatif lebih tinggi dibanding perhatiannya terhadap lingkungan

5. Pengembangan industri dan perbaikan kinerja lingkungan berjalan secara simultan,

maka: kerentanan lahan menurun, dikelola oleh semua yang berkepentingan, pasar

produk hampir ke semua negara termasuk andalan ekspor seperti Zaman Belanda,

pendidikan formal masyarakat hingga Pascasarjana, kontribusi pabrik terhadap

masyarakat aktif, hubungan kekeluargaan sangat harmonis, revitalisasi

mesin/peralatan PG berjalan konsisten dan berkelanjutan, SDM dikirim keberbagai

negara untuk pemasaran dan perbaikan-perbaikan performance PG, kerjasama

dengan masyarakat meningkat, dibuat model kebijakan kholistik, Pemda

berpartisipasi aktif. Proses akhir yang diharapkan adalah perbaikan kinerja industri

semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan, dengan pertumbuhan keduanya

yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal yang kita

kenal sebagai pembangunan yang berkelanjutan.

6. Dari sisi hukum dan kelembagaan yang saat ini masih lemah antara lain PG

mempunyai pembina beberapa instansi yang keoptimalannya perlu ditingkatkan.

Page 165: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

148 Legalitas tentang industri harus dipenuhi misalnya izin industri dsb. Pemanfaatan

dibina oleh berbagai sektor/instansi harus digunakan untuk peningkatan efisiensi,

peningkatan kinerja industri baik off farm maupun on farm, kepastian usaha,

keberlanjutan (sustainability), kelangsungan partisipasi masyarakat dan

perlindungan konsumen. Dan yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan agar

penanganan (pengelolaan) industri gula dilakukan secara lintas sektoral.

7. Limbah industri, saat ini tidak dikelola dalam rangka deversifikasi produk guna

optimalisasi income. Sudah waktunya untuk pembuatan berbagai produk sampingan

menjadi komoditi pokok guna peningkatan ketahanan industri yang lebih tinggi.

Pemanfaatannya tersebut harus indor facility, artinya fisik maupun manajemen

harus dibawah kendali pabrik gula.

5.6 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan

Dalam melakukan pengelolaan pabrik gula berwawasan lingkungan, untuk

pengelolaan optimal hendaknya diarahkan pada Perbaikan kinerja industri semakin baik

seiring dengan kinerja lingkungan, dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil,

sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal yang kita kenal sebagai

pembangunan yang berkelanjutan. Dalam melakukan hal tersebut, maka hal yang perlu

diperhatikan di sini adalah sebagai berikut:

1. Kerentanan lahan

Lahan merupakan sumberdaya alam yang harus diperhatikan, terutama jika lahan

tersebut dimanfaatkan untuk bercocok tanam, seperti halnya untuk menanam tebu.

Dalam hal ini lahan harus selalu dijaga agar tidak rentan. Untuk itu maka hal yang

perlu dilakukan antara lain adalah tidak menggunakan pupuk anorganik, tidak

menggunakan obat-obatan bahan kimia, dan mengolah dengan cara yang baik dan

benar.

2. Pengelolaan pada masa tanam

Pada saat kita melakukan penanaman tebu ataupun penanaman jenis tumbuhan

apapun, maka hal yang perlu kita perhatikan adalah pengelolaan pada maa tanam.

Hal ini karena akan sangat berpengaruh pada hasil yang akan didapatkan nantinya.

Dalam hal ini jika pengelolaan mulai dari perencanaannya, proses penanaman,

Page 166: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

149

proses pembesaran dan selalu melakukan evaluasi dan monitoring, maka akan

didapat hasil yang maksimal atau dengan kata lain produksinya akan tinggi

3. Meningkatkan pasar produk industri gula

Setelah melakukan proses pembuatan gula dan dihasilkan gula sebagai hasil akhir,

maka selain melihat kualitas gula yang dihasilkan, hal yang tidak kalah pentingnya

adalah pemasaran. Dalam hal ini dalam rangka meningkatkan keuntungan,

idealnya harus dicarikan pasar gula tersebut, baik di dalam negeri maupun di luar

negeri

4. Meningkatkan pendidikan formal masyarakat

Masyarakat sekitar pabrik gula dapat dikatakan cukup banyak yang terlibat atau

yang berpartisipasi pada kegiatan yang dilakukan pabrik gula. Namun sayangnya

pendidikan mereka rata-rata rendah, sehingga lapangan kerja yang tersedia juga

relatif tidak membuat mereka bisa berbangga bekerja di pabrik gula, untuk itu maka

dalam rangka meningkatkan daya jual masyarakat sekitar ataupun kepedulian

mereka terhadap kelestarian lingkungan, maka pendidikan formal masyarakat

hendaknya ditingkatkan.

5. Meningkatkan kontribusi pabrik terhadap masyarakat

Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir semua pabrik besar yang ada di

Indonesia sudah dengan kesadaran sendiri melakukan CSR, hal yang sama juga

dilakukan oleh pabrik gula Jati Tujuh. Namun sayangnya hanya sebagaian kecil

dari masyarakat sekitar pabrik yang merasakan dan mengetahui adanya CSR yang

dilakukan perusahaan. Oleh karena itu dalam rangka pemerataan maka hal yang

perlu dilakukan adalah melakukan sosial budayaisasi terhadap masyarakat sekitar

bahwa pabrik gula melaksanakan CSR, karena dengan diketahuinya program-

program CSR oleh masyarakat luas, maka pemberian CSR akan lebih merata.

Namun demikian pabrik juga perlu meningkatkan kontribusi lainnya terhadap

masyarakat misalnya dengan membantu melakukan pemberdayaan ataupun

kegiatan lainnya.

6. Meningkatkan hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat

Dimanapun, jika hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat baik, maka hal-

hal yang berat akan terasa ringan karena masyarakat akan bahu membahu

melakukan berbagai kegiatan secara gotong royong, akan mencegah terjadinya

konflik, relatif aman, dsb. Oleh karena itu maka pabrik gula harus berupaya untuk

Page 167: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

150 membantu masyarakat sekitar untuk meningkatkan hubungan kekeluargaan antar

warga masyarakat.

7. Melakukan revitalisasi mesin-mesin industri

Pabrik gula yang ada di Indonesia, pada umumnya adalah pabrik gula yang berdiri

sejak Zaman Penjajahan Belanda. Oleh karenanya maka berbagai sarana dan

prasarana yang ada di pabrik gula tersebut relatif masih menggunakan sarana dan

prasarana Jaman Penjajahan Belanda, termasuk di dalamnya penggunaan mesin-

mesin industripun masih peninggalan Jaman Belanda. Pada prinsipnya hingga saat

ini belum ada keluhan dengan semua peralatan, termasuk mesin-mesinnya, namun

demikian mengingat mesin tersebut sudah sangat tua, maka untuk meningkatkan

kinerja dan produktivitasnya, maka sudah selayaknya untuk segera dilakukan

revitalisasi mesin-mesin industri.

8. Meningkatkan produktivitas SDM

Dalam suatu kegiatan, SDM selalu diperlukan untuk berbagai tujuan. Bahkan dapat

dikatakan baik buruknya dan maju mundurnya suatu kegiatan industri juga akan

sangat tergantung pada ide-ide brilian dari SDM yang ada di dalamnya. Oleh

karena itu maka untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk serta untuk

mencapai berbagai kondisi yang ideal, maka SDM yang ada di pabrik gula perlu

ditingkatkan produktivitasnya.

9. Meningkatkan kerjasama dengan masyarakat

Seperti telah dijelaskan di tas, antara masyarakat dan pabrik akan saling ada

keterkaitan satu sama lain. Dalam hal ini pabrik membutuhkan SDM yang diambil

dari masyarakat setempat, misalnya sebagai buruh pabrik dan sebagai petani

penanam tebu, dan masyarakat membutuhkan tempat untuk mendapatkan rezeki

yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Oleh karena

itu maka keduanya harus selalu berupaya untuk selalu menjaga keharmonisan dan

selalu meningkatkan kerjasama diantara keduanya, serta harus selalu meningkatkan

“rasa” bahwa kedua belah pihak harus merasa saling diuntungkan (simbiosa

mutualisma), sehingga pembangunan berkelanjutan akan dapat dicapai

(Sumarwoto, 2004).

10. Membuat kebijakan pendorong industri gula

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan pengelolaan pabrik gula

yang berwawasan lingkungan adalah adanya kebijakan yang bersifat holistik,

Page 168: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

151

dengan mengadopsi pendapat dan keinginan semua pihak, sehingga dapat

menguntungkan semua pihak yang pada akhirnya akan menjadi pendorong bagi

industri gula untuk selalu memperbaiki berbagai hal sehingga menjadi pabrik gula

yang handal, dengan keuntungan yang tinggi, CSR yang sangat baik sehingga dapat

memberikan rasa keadilan dan kemakmuran pada masyarakat sekitar dengan tetap

selalu menjaga dan memperhatikan kelestarian lingkungan.

11. Meningkatkan keterlibatan Pemda (seluruh dinas terkait)

Selama penelitian terdapat “kesenjangan” antara pabrik gula dengan pemda, dalam

hal ini Pabrik Gula Jati Tujuh terdapat di Kabupaten Majalengka, namun, pada

kenyataannya pabrik gula malah bekerjasama dengan kabupaten lain, oleh

karenanya, maka ada rasa ketidak enakan dari pemda setempat. Kondisi ini pada

suatu saat akan dapat menjadi gunung es yang siap meletus, yang pada akhirnya

tidak mengenakan semua pihak. Oleh karena itu maka keterlibatan pemda setempat

harus ditingkatkan, serta keterlibatan dinas terkait, sehingga pengelolaan industri

gula dilakukan secara terpadu (lintas sektoral).

5.7 Pembahasan Umum

Pada dasarnya industri gula dapat dikatakan merupakan industri yang relatif

ramah lingkungan, karena relatif tidak terlalu banyak mengeluarkan limbah. Dalam hal

ini limbah yang dihasilkan dari pabrik gula dimanfaatkan kembali menjadi bahan baku

untuk industri lain seperti industri penyedap masakan (petsin). Oleh karena itu, tanpa

ada perintah dari yang berkepentingan pun industri gula sudah melakukan produksi

bersih. Padahal menurut Dana Mitra Lingkungan (2005) produksi bersih merupakan

strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang dapat

diterapkan oleh perusahaan karena menggunakan pendekatan win-win antara bisnis dan

lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa teknologi yang menggunakan pendekatan

produksi bersih ini akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan efisiensi dan

produktivitas serta memperbaiki citra (image) lingkungan dan hubungan dengan

stakeholders lainnya. Dengan demikian tujuan perusahaan yaitu laba (profit),

pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan usaha (sustainable business) akan tercapai.

Kondisi ini terlihat dengan jelas pada industri gula yang memperlihatkan adanya

keuntungan dari melakukan produksi bersih. Dalam hal ini limbah pabrik gula ini dapat

bernilai ekonomis karena dijadikan bahan baku untuk industri lain.

Page 169: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

152

Dilakukannya produksi bersih di industri gula semakin dimungkinkan,

mengingat hasil beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pada limbah industri gula

mengandung hemisululosa 24% dan selulosa 38%, sehingga memungkinkan untuk

dibuat bioetanol (Prior dan Day, 2007). Hal ini juga sesuai dengan pendapat De

Andrade dan Rivera (2009) yang mengatakan bahwa limbah pabrik gula dapat

dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan bioetanol. Selain itu ada indikasi dari

dalamnya dapat disintesa enzim sucrose-phosphate syntetase yang dapat dimanfaatkan

untuk berbagai kebutuhan (Grof et al, 2007). Bahkan menurut Lunelli et al., (2007)

juga dari fermentasinya akan didapat acrylic acid.

Selain hal tersebut, industri gula juga mempunyai kelebihan lainnya dibanding

industri lain, yakni bahan baku industri ini adalah tebu, padahal untuk mendapatkan

tebu tersebut, harus ada lahan yang dapat digunakan untuk menanam. Oleh karena itu

maka industri gula akan menyediakan lahan untuk bertanam tebu, baik lahan tersebut

milik industri atau milik masyarakat yang sengaja menanam tebu. Kondisi ini sangat

menguntungkan untuk lingkungan, mengingat tanaman tebu yang melakukan

fotosintesis pada siang hari akan menyerap karbon dioksida yang dengan bantuan sinar

matahari akan diubah menjadi karbohidrat. Hal tersebut akan mengurangi beredarnya

karbondioksida yang merupakan salah satu jenis gas rumah kaca diatmosfir yang di

alam akan bertingkah laku sebagai rumah kaca yang akan menyebabkan terjadinya

pemanasan global, dan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim

global (Murdiarso, 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Syahrial dan Bioletty (2007)

yang mengatakan bahwa karbon dioksida yang berlebihan di atmosfir merupakan gas

yang mempunyai efek rumah kaca dan akan mempercepat terjadinya kenaikan panas

serta Aldrian dalam Djamil (2008) yang mengatakan bahwa kelebihan karbon dioksida

akan mempercepat terjadinya pemanasan global yang pada akhirnya akan

mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global serta merubah hari hujan, frekuensi

hujan dan besarnya curah hujan.

Selain hal tersebut, adanya tanaman tebu yang harus ditanam pada hamparan

lahan yang cukup luas juga menjadi keuntungan tersendiri. Mengingat lahan yang

digunakan menanam tebu, sekaligus menjadi lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai

daerah tangkapan air. Dengan adanya lahan tersebut maka akan memberikan

kesempatan pada air hujan untuk masuk ke dalam tanah dan akhirnya akan menjadi

Page 170: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

153

simpanan air yang akan berguna sebagai cadangan air pada musim kemarau (Sitorus,

2002). Namun demikian ada kecenderungan tanahnya menjadi rentan, sehingga harus

dilakukan perbaikan-perbaikan misalnya dengan menggunakan pupuk organik.

Selain dari hal tersebut di atas, industri gula juga menghasilkan limbah cair yang

mengandung beberapa bahan kimia dan fisika seperti oksigen terlarut (DO), BOD,

COD, TSS, pH, kekeruhan dan suhu yang berada di bawah baku mutu yang ditentukan

oleh pemerintah, yakni Keputusan Mentri LH No 115 tahun 2003. Dengan demikian

maka limbah cair yang dihasilkan industri gula aman untuk dimasukan ke dalam

ekosistem perairan. Kondisi yang sama juga terjadi pada kondisi udara dan kebisingan

di sekitar industri gula. Dalam hal ini baik dilihat dari kondisi fisik maupun kondisi

kimia seperti CO2, kebisingan, dan berbagai parameter bahan pencemar lainnya

menunjukkan nilai yang berada di bawah ambang batas yang ditentukan, sehingga

relatif aman untuk kelestarian lingkungan. Namun demikian ternyata 80% dari

masyarakat yang diwawancara mengatakan bahwa mereka menerima dampak

(gangguan) dari pabrik.

Adanya produksi bersih yang dilakukan oleh industri gula di Indonesia, adanya

lahan terbuka hijau yang dimanfaatkan untuk keperluan menanam tebu dan kualitas

limbah cair yang berada di bawah baku mutu yang ditentukan serta kualitas udara dan

kebisingan yang juga berada di bawah ambang batas, merupakan keuntungan tersendiri

untuk dimensi ekologi. Dan melihat hal tersebut di atas, serta bukti nyata dari analisis

keberlanjutan yang memperlihatkan bahwa dimensi ekologi cukup berlanjut,

memperlihatkan bahwa industri gula merupakan industri yang ramah lingkungan, serta

mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan menjadi industri yang berwawasan

lingkungan yang akan mendukung terlaksananya proses pembangunan berkelanjutan.

Pada penelitian ini juga terlihat bahwa selain industri gula merupakan industri

strategis, namun juga memperlihatkan adanya bukti lain yang akan mendukung bahwa

industri gula akan dapat menjadi industri yang mendukung pembangunan berkelanjutan,

yakni secara ekonomi juga akan menguntungkan baik untuk masyarakat sekitar maupun

untuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal ini juga tercermin dari hasil

wawancara dengan masyarakat sekitar, yang mengatakan bahwa 76% dari mereka

merasa bahwa pendapatan yang diperoleh mencukupi biaya hidup yang mereka

butuhkan. Dan dari masyarakat yang diwawancara, 96% diantaranya merasa bahwa

Page 171: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

154

mereka mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi di industri gula. Oleh karena itu

maka wajar jika dimensi ekonomi masuk pada kategori cukup berkelanjutan

Hal yang sama juga terjadi pada aspek sosial budaya, dalam hal ini menurut para

stakeholder dan masyarakat sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh yang diwawancara (100%)

menyatakan bahwa mulai dari berdirinya pabrik gula tersebut hingga saat ini belum

pernah menimbulkan konflik dan keresahan pada masyarakat sekitar. Bahkan

berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, yang umumnya merupakan

masyarakat asli memperlihatkan bahwa 88% dari masyarakat yang diwawancara

menyatakan bahwa mereka mempunyai keterkaitan dengan pabrik gula, terutama dalam

hal mencari penghidupan. Dengan demikian maka dimensi sosial budaya diduga juga

akan mendukung terjadinya pembangunan yang berkelanjutan. Namun sayangnya

program CSR (community social responsibility) mengindikasikan belum terlalu baik,

terlihat dari wawancara dengan masyarakat sekitar, ternyata hanya 34% dari mereka

yang mengatakan bahwa pabrik gula memberikan bantuan sosial budaya. Oleh karena

itu maka program CSR dari pabrik gula harus ditingkatkan dan harus diperhatikan

dalam pemerataannya.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada dimensi teknik. Dalam hal ini

walaupun teknologi yang ada di industri gula merupakan teknologi yang relatif usang,

karena sejak Zaman Penjajahan Belanda hingga saat ini dapat dikatakan minim sekali

dengan pembaharuan, ternyata juga tidak menimbulkan masalah yang berarti bahkan

masuk pada kategori yang sangat berkelanjutan. Hanya dimensi hukum dan

kelembagaan yang kurang berlanjut. Berdasarkan hal tersebut, ada indikasi bahwa

industri gula di lokasi penelitian pada khususnya dan di 49 lokasi lain yang ada di

seluruh Indonesia pada umumnya, merupakan industri yang relatif cukup ramah

lingkungan, sehingga akan mendukung terlaksananya pembangunan berkelanjutan.

Tidak seperti pada kawasan industri lainnya yang walaupun sudah memiliki

sertifikat ISO 14001, sangat sulit untuk menghilangkan limbah, karena industri yang

ada di Indonesia pada umumnya mendapatkan berbagai kesulitan (terutama masalah

dana) untuk menerapkan konsep produksi bersih; industri gula telah melakukan proses

produksi bersih seperti yang diinginkan oleh masyarakat dunia yang tertuang pada

Agenda 21 yang menganjurkan dilaksanakannya teknologi bersih, sehingga dapat

Page 172: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

155

mengurangi jumlah limbah, bahkan menjadikan limbah tersebut bernilai ekonomis

(Memahami KTT Bumi, 1992).

Walaupun berdasarkan kebijakan yang ada, pabrik gula tidak termasuk industri

yang mencemari lingkungan (air dan udara), namun masyarakat mengeluhkan dampak

buruk yang berasal dari pabrik gula. Berdasarkan hal tersebut, maka pabrik gula

idealnya harus memiliki IPAL (instalasi pengolah air limbah), sehingga limbah cair

yang dikeluarkan sudah diolah terlebih dahulu dan aman untuk ekosistem perairan yang

menerimanya. Selain hal tersebut, untuk pencemaran udara dan kebisingan, hendaknya

pabrik gula melengkapi pabriknya dengan filter yang lebih baik lagi. Sedangkan untuk

mengurangi kebisingan hendaknya pabrik dilengkapi dengan peredam suara yang baru

dan mempunyai kapasitas penyerapan suara yang lebih tinggi. Dalam pengolahan

limbah dan buangan ini, dalam rangka menndapatkan hasil yang baik, maka selain

diperlukan IPAL, juga dibutuhkan keterampilan tenaga-tenaga pelaksana, bahkan sudah

selayaknya jika tenaga pelaksana ini disertifikasi. Berdasarkan hal tersebut maka selain

melaksanakan pengendalian dan pengelolaan limbah, hal lain yang harus diperhatikan

adalah ,mencari tenaga yang handal dibidang pengelolaan limbah. Jika hal tersebut

dilakukan dengan baik, maka keberadaan industri gula tidak akan mengakibatkan

terjadinya pencemaran, sehingga terjadinya degradasi lingkungan di lokasi tersebut,

akan dapat dicegah.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kesadaran masyarakat industri dalam

melakukan pengelolaan terhadap lingkungan juga masih rendah. Bahkan program

lingkungan seringkali dianggap sebagai penghalang oleh perusahaan untuk

meningkatkan keuntungan perusahaan. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan

kesadaran para pelaku industri yang umumnya relatif minim. Namun demikian,

berdasarkan hasil pengamatan di lapang, hal yang juga tidak kalah pentingnya penyebab

hal tersebut di atas adalah akibat sudah terlalu banyaknya pungutan-pungutan yang

dilakukan oleh pemerintah terhadap perusahaan, sehingga keuntungan perusahaan yang

tersisa relatif sedikit, dan dianggap tidak cukup lagi untuk melakukan pembiayaan

terhadap program lingkungan yang dituntun pada Agenda 21.

Hal yang harus sangat diperhatikan dalam mencapai keberlanjutan industri gula

seperti yang diinginkan oleh dunia sehingga dapat mencapai pembangunan

berkelanjutan adalah dimensi hukum dan kelembagaan. Untuk itu hal yang tidak kalah

Page 173: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

156

pentingnya untuk diperhatikan dalam rangka meningkatkan nilai keberlanjutan hukum

dan kelembagaan antara lain adalah menciptakan kebijakan-kebijakan yang sifatnya

membumi dan menguntungkan semua pihak, sehingga relatif mudah untuk

diimplementasikan. Selain itu juga harus dilakukan berbagai upaya untuk

meningkatkan ketaatan terhadap hukum dan kebijakan yang berlaku termasuk di

dalamnya taat terhadap penempatan perusahaan terebut sesuai dengan rencana penataan

(tataruang) yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat (Salim, 1993).

Selain limbah cair dan pencemaran udara, hal yang juga tidak kalah pentingnya

dan harus benar-benar mendapat perhatian serius di pabrik gula adalah sampah yang

dihasilkan dari kegiatan domestik, yang pada saat dilakukan penelitian ini relatif masih

berserakan di berbagai tempat. Dari pengamatan di lapang terlihat bahwa kertas

pembungkus dan kantong plastik, setelah dipergunakan biasanya langsung dibuang ke

tempat sampah, sehingga masa pakainya seringkali hanya beberapa jam, dan selanjutnya

akan langsung menjadi limbah. Padahal sampah seperti tersebut di atas pada umumnya

dapat di gunakan kembali atau didaur ulang, sehingga akan mendatangkan nilai manfaat

baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Dan untuk sampah yang mudah urai, yang

diberi sebutan dengan sampah organik, sampah-sampah tersebut dapat dimanfaatkan

untuk pembuatan kompos, sehingga sampah yang mudah uraipun akan bernilai

ekonomis

Pada dasarnya pengelolaan limbah merupakan masalah yang sangat kompleks;

oleh karena itu maka dalam menyelesaikan permasalahan limbah tidak dapat

diselesaikan oleh satu pihak yakni perusahaan semata, namun harus diselesaikan secara

holistik. Hal yang sama juga terjadi pada limbah dan sampah yang dihasilkan dari

kegiatan industri atau dari kegiatan domestik di pabrik gula tersebut. Mengingat

sampah dan limbah merupakan masalah yang cukup pelik, maka penanganannya akan

lebih ideal jika tidak dikerjakan oleh satu individu atau satu bagian saja seperti bagian

yang menangani masalah lingkungan, namun harus melibatkan berbagai bagian yang

ada di pabrik gula tersebut serta dari seluruh pimpinan pabrik gula untuk saling bahu

membahu dalam mensukseskan pengelolaan limbah dan sampah dari pabrik gula.

Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan, terlihat bahwa dimensi hukum dan

kelembagaan merupakan dimensi yang paling tidak berlanjut. Kondisi ini cukup

mengkhawatirkan, hal ini sesuai dengan pendapat para stakeholder yang mengatakan

Page 174: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

157

bahwa penegakkan hukum tidak hanya di kawasan pabrik gula, namun hampir di semua

aspek masih menjadi masalah. Menurut pendapat para stakeholder tentang

kelembagaan pun juga mengalami hal yang sama dengan aspek hukum. Oleh karena itu

maka dalam rangka meningkatkan nilai keberlanjutan hukum dan kelembagaan maka

pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama-sama para stakeholder harus duduk

bersama untuk membicarakan dimensi hukum dan kelembagaan. Salah satu kegiatan

yang diharapkan akan muncul, antara lain membuat peraturan perundang-undangan

yang bersifat operasional yang sifatnya membumi, dan harus menegakan aturan tersebut

tanpa pandang bulu, namun berlaku untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun,

sehingga dapat bersama-sama menyelamatkan lingkungan dan melakukan

pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan analisa levarage didapatkan hasil berupa adanya sebelas atribut

yang sensitive yang sangat perlu diperhatikan, untuk meningkatkan keberlanjutan

dalam pengelolaan pabrik gula yang sudah cukup berlanjut menjadi sangat berlanut,

maka harus dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kerentanan lahan, melakukan

pengelolaan pada masa tanam, memperluas pasar produk, meningkatkan pendidikan

formal masyarakat sekitar, meningkatkan kembali kontribusi pabrik terhadap

masyarakat sekitar, semakin meningkatkan hubungan kekeluargaan antar warga

masyarakat, melakukan revitalisasi mesin-mesin industri, meningkatkan produktivitas

SDM, meningkatkan kerjasama dengan masyarakat, membuat kebijakan pendorong

industri gula, dan melibatkan pemda setempat pada pengelolaan di pabrik gula.

Namun khusus untuk semakin mengembangkan pabrik gula tersebut di masa

yang akan datang sehingga tidak kalah bersaing pada era globalisasi adalah harus

melakukan revitalisasi terhadap mesin-mesin industri gula. Karena walaupun mesin-

mesin industri gula masih ada dalam kategori sangat berlanjut, namun jika sudah terjadi

globalisasi maka bukan tidak mungkin mesin-mesin yang ada dapat menjadi mesin

dengan kategori sudah kadaluarsa, sehingga produk gula yang dihasilkan lebih rendah

kualitas dan kuantitasnya dibanding negara lain. Kondisi ini dapat membuat Indonesia

kalah bersaing dengan negara lain, bahkan kalah bersaing di negeri sendiri.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah

telah melakukan berbagai upaya penyelamatan lingkungan sebagai dari dilakukannya

kegiatan industri. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah membuat

Page 175: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

158

kebijakan-kebijakan dan membuat program-program pengelolaan limbah industri,

penanaman pohon, membuat biopori, dsb. Namun demikian kebijakan dan program

yang dibuat seringkali tidak berhasil menanggulangi berbagai permasalahan dan

degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri. Dan ironisnya

permasalahan dan degradasi lingkungan yang terjadi tersebut seringkali merupakan

kesalahan bersama, baik dari pihak industri maupun pihak aparat berwajib yang sama-

sama tidak mempunyai kesadaran dalam melakukan kewajibannya masing-masing.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kedua belah pihak ditambah dengan masyarakat

sekitar harus betul-betul melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan

industri, pembuangan limbah industri (padat dan cair) dan limbah domestik yang

dihasilkan dari kegiatan industri tersebut serta pelaksanaan program lingkungan lainnya.

Selain hal tersebut hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan

secara reguler serta selalu menjaga kejujuran dan kedisiplinan dari aparat yang berwajib

dalam menindak pelanggaran serta selalu memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggar

hukum. Namun hal lain yang tidak kalah penting dan perlu dilakukan adalah

memberikan penghormatan (penghargaan) pada perusahaan yang telah melaksanakan

program-program lingkungan dengan baik dan benar serta selalu mentaati peraturan

yang telah disepakati bersama.

Dalam melaksanakan pengelolaan industri gula ini diperlukan adanya partisipasi,

mengingat ada tiga keuntungan yang akan diperoleh jika menggunakan proses partisipatif

dalam pembangunan dan desain suatu kegiatan yakni: l) hasilnya akan lebih bersifat

alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih

memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, dan 3)

pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan lebih transparan (Bock, 2001). Selain

hal tersebut adanya partisipasi juga sekaligus merupakan konsep kunci dalam rangka

membuka transparansi dan akuntabilitas pada proses pembuatan keputusan dan kebijakan.

sekaligus untuk mempromosikan efektifitas penggunaan sumberdaya lokal dan menjadi

aspek penting untuk mencapat kebijakan yang tepat.

Pembangunan industri gula yang bersifat partisipatif sangat perlu untuk

diimplementasikan mengingat pembangunan pabrik gula partisipatif yang berkelanjutan

akan menjadi proses lokal, yang terinformasi dengan baik dan partisipatif, yang terlihat dari

adanya kerjasama stakeholder dalam mencapai keseimbangan antara keberlanjutan

pembangunan ekonomi, ekologi dan sosial (Charter, 2001). Namun demikian dalam

Page 176: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

159

implementasinya seringkali penerapannya dibatasi oleh beberapa faktor pembatas, seperti

sumberdaya lokal yang kurang, pemerintahan yang lemah serta kapasitas pemerintahan

local yang kurang handal (Stohr, 2001).

Pengelolaan industri gula dengan perencanaan partisipatif juga akan dapat

menciptakan kesempatan kepada para stakeholder yang memiliki kepentingan langsung

pada suatu wilayah perencanaan untuk memberikan kontribusi informasi kepada perencana.

Selain itu perencanaan partisipatif yang menekankan kekuatan pada stakeholder untuk

memperhatikan proses perencanaan dan membuat keputusan kebijakan penting.

Implementasi perencanaan partisipatif ini hendaknya dimulai dengan pembentukan

sekelompok stakeholder telah dibentuk melalui dialog yang teratur, pertemuan-pertemuan

dimana anggota dapat saling berbagi pengalaman, diskusi, mengajukan keberatan dan lain

sebagainya. Perencanaan partisipatif dapat melibatkan setiap level dari stakeholder yang

berkepentingan langsung maupun tidak langsung (Takeda, 2001). Berdasarkan hal tersebut,

maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan pembangunan akan lebih baik, jika sejak awal

sudah mengikutsertakan masyarakat sebagai pihak yang menikmati hasil pembangunan

tersebut dalam setiap jenis kegiatan pembangunan. Karena hasilnya akan dapat terjadi

sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan ekonomi

masyarakatnya.

Partisipasi dalam pengelolaan industri gula juga dapat berbentuk berbagai jenis.

Pada tingkat partisipasi paling bawah dapat berupa konsultasi pasif dan tingkat partisipasi

yang paling aktif adalah seluruh masyarakat dan stakeholder membagi

kekuasaan/kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Brown et al., 2001).

Partisipasi masyarakat secara nyata dan langsung dianggap dapat mengkoreksi kekurangan-

kekurangan pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada pemerintah maupun

mekanisme pasar. Sebagai bagian instrument pembangunan, fungsi dan proses partisipasi

diharapkan dapat mengungkapkan kebutuhan masyarakat secara nyata, serta mobilisasi

sumberdaya lokal (Midley et al., 1986).

Seperti halnya pada pembangunan yang bersifat partisipatif, maka kunci sukses dari

pembangunan partisipatif ada tiga hal yakni kuatnya dukungan institusi yang terkait yang

mampu mengikat stakeholders secara efektif, mampu membangun stakeholder secara

efektif, dan mampu membangun kelembagaan yang tepat (NRTEE, 1998). Berdasarkan hal

tersebut maka dalam proses penyusunan rencana pembangunan, perencanaan dan

pengelolaan pabrik gula, maka hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah melakukan

Page 177: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

160

identifikasi terlebih dahulu, selanjutnya mencoba untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan

yang akan didefinisikan, dan hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah

bersifat partisipatif, mengingat partisipasi stakeholder akan dapat meningkatkan distribusi

manfaat dari keberadaan industri gula tersebut.

5.8 Implikasi Kebijakan

Berdasarkan usulan model RSSC-PC yang dibuat pada penelitian ini, maka

diperlukan adanya suatu langkah konkrit berupa implikasi kebijakan, antara lain:

1. Mengingat aspek hukum dan kelmbagaan merupakan aspek yang paling tidak

berlanjut, maka hal yang harus segera dilakukan adalah membentuk payung hukum

dan kelembagaan yang kuat, beserta aturan pelaksanaan yang jelas dan terinci, yang

dibuat dalam bentuk SOP.

2. Pemerintah hendaknya memberi modal terlebih dahulu atau dengan katalain

melakukan penalangan dana baik untuk kegiatan on farm maupun kegiatan off farm

dalam rangka melakukan peningkatan teknologi maupun pengembangan lahan

produksi yang jelas dan terukur.

3. Setiap gerak langkah kegiatan yang dilakukan oleh industri gula hendaknya dapat

terukur berdasarkan audit lingkungan melalui sertifikasi lembaga yang diakui

secara internasional (TUV, ISO, ecolabelling)

4. Pemberdayaan SDM masyarakat sekitar pabrik gula melalui kegiatan CSR,

pendidikan formal, dan pengakuan keahlian; merupakan modal utama agar dapat

menyempurnakan sistem yang telah ada. Untuk itu harus di sosialisasikan agar

menjadi budaya masyarakat.

5. Membuat kegiatan-kegiatan yang tercatat dan dapat ditelusur oleh siapapun,

sehingga komitmen terhadap transparansi dapat terjaga. Selain itu adanya

komitmen ini akan berdampak positif pada semua pelaku kegiatan dalam hal

tanggung jawab berikut target yang akan dicapainya dengan jelas, pada satu satuan

waktu yang terukur. Nilai yang sudah terukur tersebut selanjutnya diberi

pembobotan sehingga satu sama lain saling mengetahui dan saling mendukung.

6. Pembuatan aturan induk dan detilnya yang bersumber kepada target (goal) yang

ingin dicapai berikut sanksi yang ketat sehingga menjadi pedoman hukum &

peraturan yang berlaku. Hal ini diprlukan, karena akan dapat menjaga konsistensi

semua kebijakan sehingga dapat dipatuhi oleh semua pihak.

Page 178: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

161

7. Perhitungan-perhitungan akuntansi dijadikan acuan oleh semua pihak, sehingga

menjadi norma kerja yang tinggi terhadap aspek kesadaran (tidak dipaksakan)

dengan tujuan komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan dalam jangka

panjang, sehingga dapat menjalaninya dengan penuh tanggung jawab.

8. Kegiatan industri dari hulu (penyiapan bahan baku) sampai hilir dengan

berpedoman kepada produksi bersih seperti penggunaan praktek terbaik (good

manufacturing practices dan good agariculture practices) dan tepat oleh

perkebunan dan pabrik serta didukung partisipasi penuh masyarakat.

9. Mendorong langkah-langkah ke arah sertifikasi setiap kegiatan, sehingga tanggung

jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keaneka ragaman hayati

(Amdal, UKL, UPL: flora, fauna, konflik; - culture, kebijakan, tanaman lain) dapat

dilestarikan. Audit lingkungan dapat pula dilakukan melalui kegiatan Amdal,

UKL, UPL dan sejenisnya. Mengingat kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijadikan

barometer kemampuan untuk terus menopang daya dukung sumberdaya yang ada.

Flora dan fauna dijadikan kekayaan alamiah yang terus menjadi pelengkap diantara

perkebunan dan di pabrik. Penjagaan terhadap keharmonisan hidup ditegakkan,

sehingga tidak terjadi konflik diantara sesama, baik manusia, alam dan seisinya.

Budaya kerja, budaya seni dan budaya kehidupan masing-masing individu, saling

menghormati dan saling mendukung sehingga terjadi keakraban dalam khasanah

kekinian. Kebijakan-kebijakan yang terus diwarnai oleh sifat pembaruan dalam

kerangka pencapaian target-target yang telah dibuat, dipelihara dengan konsisten

seperti pemeliharaan mesin-mesin produksi (on farm & off farm) dan

pembudidayaan tanaman lain yang diperlukan untuk mengisi siklus tanam,

sehingga pada akhirnya akan dapat menjaga kemampuan produktifitas tanah.

10. Menjaga proporsi kebijakan yang baik, sehingga tanggung jawab kepada para

pekerja, individu-individu dan komunitas-komunitas, kebun dan pabrik menjadi

egaliter. Adanya kondisi ini akan sangat memungkinkan tercapainya keharmonisan,

semangat dan etos kerja serta keseimbangan hidup yang hakiki.

11. Semua sektor (pertanahan, hukum, keamanan dan lain-lain) terus mendukung

terhadap pencapaian kualitas dan kuantitas produksi. Bila telah optimum dari sisi

lahan dan tingkat produktifitas pabrik, maka secara bersama-sama akan dapat

mengembangkan perkebunan baru secara bertanggung jawab.

Page 179: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

162

12. Setiap elemen mempunyai keterbatasan baik yang sifatnya fisik maupun non fisik,

sehingga hal-hal yang tidak melampaui daya dukung lingkungan harus

diperhitungkan dengan cermat. Untuk itu perlu suatu komitmen terhadap perbaikan

terus-menerus pada wilayah-wilayah utama aktifitas, seperti perkebunan, irigasi,

sosial budaya dan teknologi.

13. Tuhan menciptakan kemampuan manusia memang tidak sama, sehingga ada yang

kuat dan ada yang lemah. Guna menutupi kesenjangan yang terlalu jauh, maka

diperlukan suatu norma yang berkomitmen terhadap pelaksanaan pemberdayaan

masyarakat melalui program CSR.

Page 180: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

DAFTAR PUSTAKA

ABARE, 1998. Research Report 99.14, “Sugar, International Policies Affecting

Market Expansion.” pp. 52-69. Buzzanell, Peter, and John C. Ronney, “The Brazilian Sugar and Ethanol Industry: Performance and Prospects.” Sugar and Sweetener Situation and Outlook Report, Economic Research Service, July 1988. Brazil Attache Sugar Reports. Diunduh: 14 Juni 2010

Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan sebagai Salah Satu Sumber Pokok

Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Bulletin Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (148):59-85.

Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Cetakan Pertama. Penerbit

Graha Ilmu. Yogyakarta. Aldrian, E., Y.S. Djamil. 2008. Spatio temporal Clamate Change of Rain Fall of

East Java Indonesia. Int. J. Climatology 23: 435 - 448

Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.

Amirudin, Ir. 2010. Revitalisasi Industri Gula Dalam Rangka Mendukung Dwasembada Gula.

Arifin, B. 2000. Kebijakan Produksi dan Perdagangan Gula Nasional: Suatu

Telaah Ekonomi Politik. Makalah Disampaikan pada Diskusi Panel Kebijakan Industri Gula, Surabaya, 26 Juli 2000.

Arsyad, S. 1999. Pentingnya Konservasi Tanah dan Air. Makalah Dalam Seminar

Nasional Save Our Water. Bogor, 11 Desember 2004. Fakultas Pertanian Institut Peranian Bogor. Bogor

Asosiasi Gula Indonesia (AGI).2006. Laporan Internal, Asosiasi Gula Indonesia,

Jakarta Bock, J.G. 2001. Towards Participatory Communal Appraisal. Community

Development Journal. 36(2): 146-153. Bourgeois, R dan F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analisys. Exploring

and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA. Bogor.

Brown, K., E. Tompkins, W.N. Adger. 2001a. Trade-off Analysis for Participatory

Coastal Zone Decision-Making. Overseas Development Group. University of East Anglia, Norwich U.K.

Page 181: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

171

Bulle, S. 1999. Issue and Results of Community Participation in Urban Environment, Comparative Analysis of Nine Projects on Waste Management. UWEP Working Document 11.Waste. http://www.waste.nl

Carter, J. 1996. Recent Approaches to Participatory Forest Resource Assessment.

ODI. London.

Cohen, J.M. and N. Uphoff. 1977. Rural Development Participation: Rural Development Committee. Cornell University

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI-Press. Jakarta.

De Andrade, R.R. and E.C. Rivera. 2009. Study of Kinetic Parameters in a

Mechanistic Model for Bioethanol Production Through a Screening Technique and Optimization. Bioprocess Biosyst Eng 32: 673-680.

Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan

Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia, Jakarta. Dewan Gula Indonesia; 2002. Laboran Internal, Jakarta Departemen Perdagangan. 1994. Implikasi Kesepakatan GATT terhadap Sektor

Pertanian Indonesia. Departemen Perdagangan, Jakarta. Devadoss, S dan J. Kropf. 1996. Impacts of Trade Liberalizations Under The

Uruguay Round On The World Sugar Market. Agricultutal Economics, (15): 83-96

Djajadiningrat, S.T. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan.

Penerbit Studi Tekno Ekonomi, Departemen Teknik Industrifakultas teknik Industri ITB Bandung.

Djakapermana R.D., 2006. Disain Kebijakan dan Strategi Dalam Pemanfaatan

Ruang Wilayah Pulau Kalimantan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan

Edgington, D. and A. Fernandez. 2001. The Changing Context of regional

Development. in: Edgington D, Fernandez A, Hoshino C, editor. New Regions-Concepts, Issues and Practices. New Regional Development Paradigms Vol 2. Connecticut: Greenwood Press.

Elbehri, A., T. Hertel, M. Ingco, K. R. Pearson. 2000. Partial Liberalization of

The World Sugar Market: A General Equilibrium Analysis Or Tarif-Rate Quota Regimes. Third Annual Conference on Global Economics Analysis, Melbourne, Australia, 27 – 30 Juni 2003.

Page 182: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

172

FAO. 2003. Important Commodities In Agricultural Trade. FAO Support to the WTO Negotiations, FAO, Rome.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Fauzi, A., and Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Lautan

untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

F.O. Licht, “Australian Sugar Industry Fears Rising Brazil Threat.” F.O. Licht’s International Sugar and Sweetener Report, pp. 213-219, Vol. 131, No. 14, Apr. 26, 1999. Diunduh: 14 Juni 2010

Grof, C.P.L., P.L. Albertson, J. Bursle, J.M. Perroux, G.D. Bonnett and J.M.

Manners. 2007. Sucrose-phosphate syntetase, a Biochemical Marker of High Sucrose Accumulation of Sugarcane.

Groombridge, M. A. 2001. America’s Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing

Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC. Gumbira-Said, E. 1998. Penerapan Manajemen Teknologi untuk Agribisnis,

Majalah Usahawan No. 10 th XXV Oktober 1998, Jakarta http://www.suedzucker.de.en/product/figures/index.shtml,April 2007 Houck, J P. 1986; Elements of Agricultural Trade Policies, Mac Millan Publishing

Company, New York Ibid-The European Union (EU) includes French Overseas Departments of

Reunion, Guadeloupe, and Martinique. EU trade data does not include intra-EU trade. Beginning 2004/05 the PS&D reflects the EU enlargement by accession of the following ten countries. Latvia, Lithuania, Estonia, Poland, Hungary, Czech Republic, Slovakia, Slovenia, Malta, and Cyprus. As a result of this enlargement, from 15 countries to 25 countries, the ending stock figure for 2003/04 will not carry over to the beginning stock figure for 2004/05. Data prior to 2004/05 reflects the countries comprising the EU at that time. The PSD for the EU-25 ends with marketing year 2005/06. The series picks up with the EU- 27 beginning marketing year 2006/07. The EU-27 contains two new countries Bulgaria and Romania. Diunduh: 14 Juni 2010

Ibid-Includes Traditional Eastern European Countries, Hungary, Czech Republic,

Slovakia, Balkans, Baltic's, Armenia, and Georgia. Beginning 2004/05 The Following Countries are Removed from This List Upon Their Accession to the EU: Latvia, Lithuania, Estonia, Poland, Hungary, Slovakia, and Slovenia. Note that Data for Poland is Zeroed out for 2004/05 because it is Included in the European Union. Diunduh: 14 Juni 2010

Page 183: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

173

Ibid-Includes All of Continental Africa except Egypt. 14 Juni 2010 Ibid-Includes Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, and the United Arab Emirates.

Diunduh: 14 Juni 2010 Ibid-Indian Data Includes Production Of Khandsari Sugar, A Native Type, Semi-

White Centrifugal Sugar. Estimated output of Khandsari Sugar In Thousand of Metric Tons (Raw Value Equivalent) Is as Follows: 2001/02 - 714; 2002/03 - 590; 2003/04 - 620; 2004/05 - 683; 2005/06 - 683; 2006/07 - 500; 2007/08 - 425; 2008/09 - 435; 2009/10 -404. Diunduh: 14 Juni 2010

Ibid-Includes Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, and Uzbekistan.

Diunduh: 14 Juni 2010 Ibid-The 'Unrecorded' Category is a Balancing Mechanism to Equalize World

Exports and Imports. It is Assumed there is a Certain Quantity of Trade that will not be Recorded, with The Result that Imports and Exports will Differ by a Certain Amount. To View Country Crop Years Click on The Following URL: http://www.fas.usda.gov/htp/sugar/tmarketingyears. pdf 5/21/2009 2:40:49 PM. Diunduh: 14 Juni 2010

IPCC, 2006. Special Report on Carbon Captures and Storages. Edited by B.

Metz, O. Davidson. H. Deconnick, M. Loos, L. Meyer. Cambridge University.

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan

Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Kavanagh. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project: RAPFISH

Software Description (for Microsoft Excel). Fisheries Centre. University of British Columbia.

Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana. Kinerja PTPN dan Pabrik Gula Swasta. Pusat Penelitian Perkebunan Gula

Indonesia (P3GI). 2009. Koentardi. 2006. PT Jawa Manis, Laporan Internal, Cilegon

Kotler, P. 1997. Majemen Pemasaran. Irianto [Penerjemah]. Terjemaahan dari: Marketing Management. Erlangga. Jakarta

Laporan Penyusunan Pengembangan Agribisnis gula Berbasis Tebu di Jawa Tahun 2005. 2006. Dewan Gula Indonesia dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan.

Page 184: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

174

Licht, F. O. 1995. The world sugar market in 1994/95’ World Sugar Statisticts,

A3-A21. LMC. 2003. LMC International Documents Wide Range Of Subsidies Among

World’s Major Sugar Countries. American Sugar Alliance, January 2003.

LMC International, “Brazil: Outlook for Ethanol Demand and Implications for

Sugar Exports.” Sweetener Analysis, 12 pp., March 2001. Diunduh: 14 Juni 2010

Lunelli, B.H. E.R. Duarte, E.C.V. de Toledo, M.R.W.Maciel and M. Filho. 2007.

A New Process for Acrylic Acid Synthesis bu Fermentation Process. Applied Biochem and Biotech. 136-130: 487-500.

Manahan, S.E. 2002. Environmental Chemistry. Seventh Edition. Lewis

Publisher. Inc. NewYork.

Mitchell, B. Setiawan B.B., Rohmi, D.H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Muluk, K.M.R. 2007. Menggugat Pastisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah.

Cetakan Pertama. Penerbit Banyumedia Publishing. Malang. Munasinghe, M. 1993. Environmetal Economic and Sustainable Development/

THE WORLD BANK. Washington D. C. 20433. U.S.A. Murdiyatmo, U. 2000. Dukungan Teknologi dalam Pembangunan Industri Gula

Indonesia. Dalam Supriyono, A., Prosiding Seminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 26 Juli 2000: 43-48.

Murdiyarso, D. 2003. CDM: Mekanisme pembangunan Bersih. PT Kpmpas

Media Nusantara. Jakarta. Noble, J. 1997. The European Sugar Policy to 2001. World Sugar and Sweetener

Yearbook 1996/1997, D13-DA21. [NRTEE] National Round Table on the Environment and the Economy. 1998,

Sustainable Strategies for Oceans: A Co-management Guide. Ontario: NTREE.

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor. 44/M-

IND/PER/4/2010 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula.

Page 185: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

175

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor. 31/M-IND/PER/3/2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula.

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 91/M-

IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula.

Prior, B.A. and D.F.Day. 2007. Hydrolysis of Ammonia-Pretreated Sugar Cane

Bagasse with Cellulase, β-Glucosidase and Hemicellulase Preparations. Appl Biochem Bioetanol (2008) 146: 151-164

Pudjianto, K. 2009. Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan, dan

Konservasi Sumberdaya Air Di Sub Das Keduang, Daerah Hulu Das Bengawan Solo [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian

Agriculture. Development Research Group, the World Bank., New Delhi.

Pitcher, T.J. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its

Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome.

Departemen Perindustrian. 2010. Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula.

Januari. Saaty, T.l. and L.G, Vargas. 1994. The Analystic Hierarchy Process Series VII,

RWS Publication Ellsworth Avenue 4922, Pittsburgh, PA 15213 USA. Sanim, B. 1999; Klasifikasi Kebijakan dan Instrumennya. Fakultas Pertanian,

Jurusan Sosial Ekonomi, IPB, Bogor Serageldin, I. 1996. Sustainability and Wealth of Nation First Step in an

Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies and Monograph Series No. 5. The World Bank, Washington D.C.

Siagian V., 1999. Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia; Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input Multi-Output. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan

Simatupang, P., N. Syafaat, KM. Noekman, A. Syam, S.K. Dermoredjo, dan B.

Santoso. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Pusat Penelitian Social Ekonomi Pertanian, Bogor.

Page 186: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

176

Sitorus, S.R.P., 1994. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan; Laboratorium Peremcanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, 1992. 2002. 2004, Bogor

Soemarwoto, O2001. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.

Cetakan Kesepuluh. Djambatan. Jakarta. Stohr, W. 2001. Introduction. in W. Stohr, J. Edralin and D. Mani. New Regional

Development Paradigms. Vol. 3: Decentralization, Governance and the New Planning for Local-Level Development. Westport. CT: Greenwood Press, Chapter 1, 1-19.

Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Sulistiyo. 2000.

Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sudaryanto, T. Erwidodo, Soentoro, V T Manurung, M Rahmat, dan K

Adisasmito. Dinamika Ekonomi Tebu Rakyat dan Industri Gula Indonesia. Kerjasama Pusat penelitian Sosial EkonomiPertanian dengan Pusat Penelitian perkebunan Gula Indonesia, Bogor.

Soentoro, V., Sudaryanto, T. Erwidodo, T Manurung, M Rahmat, dan K

Adisasmito. Dinamika Ekonomi Tebu Rakyat dan Industri Gula Indonesia. Kerjasama Pusat penelitian Sosial EkonomiPertanian dengan Pusat Penelitian perkebunan Gula Indonesia, Bogor.

Sulistiyono E., 2006. Hubungan Pengelolaan Air Dengan Produksi, Kandungan

Gula Nikotin Daun Tembakau. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan

Sumaryanto., N. Syafaat , M. Ariani dan Friyanto S. 1995. Analisa Kebijakan

Konversi Lahan Sawah Penggunaan Non-Pertanian, Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Susila W.R., 2006: Pengembangan Industri Gula Indonesia; Analisis Kebijakan

Dan Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan

Soemodihardjo I.H. 2001. Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah Penghasil Padi

dan Tebu di Jawa Timur. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.

Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Penerbit

PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. 2006. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan

Page 187: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

177

Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor. Susila, W.R. 2005. Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan

dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor

Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Industri Gula

Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula 1998, Pasuruan, 10 Desember 1998.

Surna T.D. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit

Studi Tekno Ekonomi, Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik Industri ITB Bandung.

Sutamihardja, R.T.M. 1992. Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. Seminar on Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management, 6-10 Januari 1992. Jakarta

Syahrial, A dan Bioletty, L. 2007. Kajian Potensi CO2 dan EOR dalam Mrnciptakan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia . Jurnal Lemigas M & E Vol V No. 3 September 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Jakarta: 33-55

Takeda, N. 2001. People Participation in Regional Development Management.

Japanese Experiences. Paper presented for the Seminar on Regional Developmnet and Management Policy to Support Autonomy. 29 March 2001. Jakarta.

Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

No 32 tahun 2009. Jakarta.

United States Department of Agriculture Supply and Distribution Foreign Agricultural Service Sugar: World Production May 2009; The U.S. PS&D estimates conform to those released in the World Agricultural Supply and Demand Estimates (WASDE) 'miscellaneous' category allocated to domestic consumption. The U.S. PS&D includes Puerto Rico. Diunduh: 14 Juni 2010

USDA. 2002. Sugar: World Markets And Trade. Circular Series, FS 2-02, November 2002, United State Department of Agriculture, Washington DC.

Viroj NaRanong; The Thai Sugar Industry: Crisis and Opportunities* http://www.tdri.or.th/library/quarterly/text/s00_2.htm, Diunduh: 14 Juni 2010

Page 188: MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55042/2010hsu.pdf · perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku ... perencanaan mengantisipasi

178

Viroj NaRanong; The Thai Sugar Industry: Crisis and Opportunities* http://gain. fas.usda.gov/Recent%20GAIN%20Publications/Sugar%20 Annual_Bangkok_Thailand_4-9-2010.pdf, Diunduh: 14 Juni 2010

Woeryanto. 2000. Peningkatan Efisiensi Manajemen Industri Gula. Dalam Supriono, A., (Ed), Prosiding Seminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 26 Juli 2000: 49-54.

WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press. Oxford and New York.