model pembelajaran bahasa inggris di kampung …
TRANSCRIPT
DP 18 Proposal Penelitian | 1
MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI KAMPUNG INGGRIS PARE, KEDIRI
Oleh: Slamet Wiyono, M.Pd. (Ketua)
Nur Kamila Amrullah, S.Pd., M.M. (Asisten peneliti) Agus Imron Mashadi, S.Pd. (Asisten peneliti)
Prahastuti Nastiti Hadari, S.S. (Asisten peneliti) Ahzan Mustofa, S.Kom. (Asisten peneliti)
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/
BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2020
DP 21 Laporan Penelitian | 2
MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI KAMPUNG INGGRIS PARE, KEDIRI
HALAMAN PENGESAHAN
Slamet Wiyono, M.Pd. (Ketua)
Nur Kamila Amrullah, S.Pd., M.M. (Asisten peneliti) Agus Imron Mashadi, S.Pd. (Asisten peneliti)
Prahastuti Nastiti Hadari, S.S. (Asisten peneliti) Ahzan Mustofa, S.Kom. (Asisten peneliti)
Telah diseminarkan pada Seminar Hasil Penelitian pada tanggal ...... Oktober 2020
di hadapan Reviewer.
Mengetahui Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
M. Nazir Salim NIP. 197706012011011001
DP 21 Laporan Penelitian | 3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................................ 1 HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................................ 2 DAFTAR ISI .................................................................................................................................... 3 DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... 4 DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... 5 DAFTAR SUMMARY ................................................................................................................... 6 BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 7
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 7 B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................ 9
a. Tujuan ..................................................................................................................... 9 b. Manfaat .................................................................................................................. 9
BAB II LITERATURE REVIEW ............................................................................................. 10 A. Kajian Terdahulu ..................................................................................................... 10 B. Keaslian Penelitian ................................................................................................. 12 C. Kerangka Teori ......................................................................................................... 14
a. Empat Keterampilan Berbahasa ................................................................. 14 b. Metode Pengajaran .......................................................................................... 23
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................................... 39 A. Format Penelitian ................................................................................................... 39 B. Lokasi atau Obyek Penelitian ............................................................................. 39 C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan ................................................. 39 D. Definisi Operasional Konsep atau Variabel .................................................. 40 E. Jenis, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data ............................................ 40 F. Analisis Data .............................................................................................................. 42
BAB IV SETTING WILAYAH PENELITIAN ..................................................................... 43 A. Gambaran Umum .................................................................................................... 43 B. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat .................................... 45
BAB V HASIL TEMUAN ........................................................................................................... 49 A. Profil Lembaga Kursus Bahasa Inggris ........................................................... 49 B. Kurikulum Pembelajaran ..................................................................................... 52 C. Metode Pembelajaran ............................................................................................ 57 D. Evaluasi Pembelajaran ......................................................................................... 57 E. Lingkungan Pembelajaran ................................................................................... 57
BAB VI PENUTUP ...................................................................................................................... 58 A. Kesimpulan ................................................................................................................ 58 B. Rekomendasi ............................................................................................................ 58 C. The Proposed Learning Model for STPN ........................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 62
DP 21 Laporan Penelitian | 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa Inggris, sampai saat ini, masih menduduki dominasi paling
tinggi sebagai alat komunikasi atau bahasa sehari-hari. Kenyataan ini
terdapat pada (Republika, Jumat, 3 October, 1997) dimana ditemukan
data bahwa terdapat 1 milliar penutur bahasa Inggris baik berupa
bahasa ibu, bahasa kedua, maupun bahasa asing. Delapan puluh lima
persen dari data itu berupa pembicaraan telepon, dan delapan puluh
persen berupa ratusan juta data di dalam komputer menggunakan
bahasa Inggris. Jurnal ilmiah (scholarly journals) yaitu 28.131 judul dan
45,24% juga masih didominasi oleh bahasa Inggris.
Beberapa orang berpendapat bahwa bahasa internasional adalah
bahasa yang memiliki penutur asli dengan jumlah besar sekali. Jika
demikian halnya, maka bahasa Manadrin, bahasa Spanyol, bahasa
Hindi, bahasa Arab dan bahasa Inggris itu adalah bahasa internasional
karena lima bahasa itu berpenutur asli paling banyak dewasa ini.
Namun, tidak semua itu dituturkan oleh penutur asli bahasa lain,
kecuali bahasa Inggris karena 4 bahasa yang lain tidak dapat berfungsi
sebagai bahasa dengan penutur berjumlah besar. Di samping itu, dalam
banyak hal, bahasa Inggris merupakan bahasa dengan penutur terbesar
karena bahasa itu dituturkan oleh, baik individu-individu dari negara
yang berbeda maupun oleh individu dalam satu negara. Dalam hal ini
bahasa Inggris merupakan bahasa internasional dalam pengertian
global maupun lokal (Mc Key 2002: 5) Crystal (1997) dalam Key (2002:
2) dan Crystal (2003: 3) meyatakan bahwa suatu bahasa dapat
mencapai statusnya sebagai sebagai bahasa global manakala bahasa itu
dapat mengembangkan peran khusus yang dikenali di setiap negara.
DP 21 Laporan Penelitian | 5
Pada era 4.0 ini, apa yang tejadi di pelbagai belahan dunia bisa
disakasikan secara langsung dari tempat lain pada saat yang sama
hanya dengan melalui sebuah alat sebesar genggaman manusia. Alat
itu namanya telepon pintar (smart phone) atau lebih populer disebut
dengan telepon genggam (hand phone). Dunia ini sudah betul-betul
tanpa batas (borderless). Anak-anak dikatakan sebagai ‘digital native’
karena mereka tumbuh dengan alat-alat digital seperti computer,
multimedia, teknologi telepon seluler (Palfrey and Grasser 2008 Rosen
2007 in Burns and Richards, (Eds.) 2012:113).
Tidak hanya anak-anak, dewasa ini manusia dewasa maupun anak-
anak sudah dilingkupi oleh alat-alat seperti tersebut di atas. Tidaklah
terlalu berlebihan jika dikatakan segalanya sudah terdigitalkan
(digitalized) karena jika seseorang ingin bepergian ada fasilitas gojek,
grab baik sepeda motor maupun mobil, ingin makanan, apapun
makanan atau minuman dan kapanpun, jam berapapun tersedia faslitas
go food, grab food dan sebagainya.
Semua keragaman dan kemajuan teknologi itu masih, memang dari
sisi bahasa, memperkaya kosa kata, di samping penguasaan aplikasi
teknologi modern. Bahkan ada tawaran kursus bahasa Inggris tanpa
menghadirkan guru karena segalanya dapat ditemukan pada aplikasi
tertentu. Jika laboratorim bahasa bisa disebut dengan “the teaching
machine” dan ada alat yang dapat menjual minuman yang dinamakan
dengan “the vending machine” namun tidak atau belum ada yang
mengganti “the loving machine”. Maksud pernyataan di atas adalah bisa
saja teknologi maju akan tetapi ada yang tidak dapat diganti dengan alat
yan serba digital. Wahyu (2019) menyatakan bahwa tatapan, interaksi
hangat, serta perbincangan penuh cinta tak dapat disediakan oleh
peralatan digital. Dengan kata lain sumber daya manusia di balik
teknologi itu masih diperlukan. Interaksi guru murid ibarat loving
machine yang setiap saat guru mengetahui perkembangan peserta
didik atau peserta latih baik perkembangan emosional maupun
DP 21 Laporan Penelitian | 6
perkambangan intelektual. Dari asumsi di atas itulah Kampung Inggris
di Pare Kediri tetap terjaga esksitansinya.
B. Rumusan Masalah
a. Mengapa peserta kursus memilih belajar bahasa Inggris di
Kampung Inggris Pare, Kediri?
b. Bagaimana Proses Belajar Mengajar (PBM) berlangsung?
c. Seperti apa hasil belajar nya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:
1. mengidentifikasi motivasi peserta mengikuti kursus bahasa
Inggris di Kampung Inggris Pare;
2. menganalisis sistem pembelajaran bahasa Inggris di Kampung
Inggris Pare;
3. mengidentifikasi dan menganalisis hasil pembelajaran bahasa
Inggris di Kampung Inggris Pare; dan
4. menciptakan model pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
b. Manfaat
Penyelenggaraan penelitian ini bermanfaat untuk:
1. mengetahui motivasi peserta kursus bahasa Inggris di
Kampung Inggris Pare;
2. memahami sistem pembelajaran bahasa Inggris di Kampung
Inggris Pare;
3. mengetahui hasil pembelajaran Bahasa Inggris di Kampung
Inggris Pare; dan
4. menemukan model pembelajaran bahasa Inggris untuk dapat
diterapkan di STPN.
DP 21 Laporan Penelitian | 7
BAB II
LITRERATURE REVIEW
A. Kajian Terdahulu
Keberadaan Kampung Inggris (KI) yang fenomenal memang menjadikan
ketertarikan baik lembaga maupun peroranagan untuk mengadakan
pengamatan dan bahkan penelitian bukan hanya dari sisi keberhasilan
pengajaran dan pelatihan dan bahkan dari sisi yang lain serperti pertanahan
(Fathoni, 2011) dan peningkatatan income masyarakat lingkungan setempat
(Wiyono, 2011) seperti para pedagang yang berada di sekitar lokasi kursus.
Dari penelitian Wiyono (2011) diketahui bahwa pedagang pada ring satu bisa
mendapatkan income atau penghasilan yang cukup untuk membiayai hidup
sehari-hari dan bahkan untuk mebayar uang kuliah anaknya di sebuah
akademi. Pedagang yang berada pada ring dua pun tidak jauh berbeda
penghasilanya jika dibanding dengan pedagang yang berada pada ring satu
Kajian lebih lanjut dilakukan oleh Trianawati (2012) yang meneliti
tentang Penerapan Sistem Pembelajaran Pondok dalam Meningkatkan
Penguasaan Materi dan Keberhasilan Alumni di Lembaga Kursus BEC (Basic
Enlglish Course) Singgahan Pelem Pare Kabupaten Kediri. Kajian di atas
mengidentifikasi 10 komponen sistem Pondok yaitu:
1. kurikulum (ditentukan oleh Bapak Kalend)
2. Strategi Pembelajran (PAKEM yang merupakan kependekan dari
Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenagkan) di mana guru dan
siswa aktif dlam meniptalan lingkungan belajar
3. metode Pembelajaran (ceramah, diskusi, kerja kelompok, hafalan
dengan sistem halaqah serta pemberian tugas)
4. Media Pembelajaran (sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, misal:
kartu untuk tenses, papan untuk menjelaskan materi, gambar untuk
listening, dan ular tangga untuk grammar
DP 21 Laporan Penelitian | 8
5. Tenaga Pendidik dan Kependidikan (Pamong Belajar mengatur dan
menyelenggrakan program, menyediakan materi ajar dan bekerja
sama dengan tutor dslsm rsngka mengembangkan matteri ajar dan
memanatu perkembangan peserta didik)
6. Model/ Pola Pembelajaran (Tradisional sistem Pondok dengan media
seadanya seperberuti papan, kapur, dan menganut paham Teacher-
centered);
7. Sumber Belajar (berupa guru, tenaga kepepndidikan, buku atau daya
yang bisa dimanfaatkan untuk belajar)
8. Peserta didik (siapapun segala usia bahkan ada ynag di atas 50 tahun
dan dari berbagai profesi (siswa, mahasiswa, dari berbagai daerah di
Indonesia dan Negara-negara Asean)
9. Lingkungan Belajar (berupa ruang kelas, kamar mandi, mushola, toko
buku, café, siswa, pegawai dan masyarakat)
10. Hasil Belajar (sebagian besar menguasai Bahasa Inggris dengan
kelulusan nilai 65, 70% di antaranya menjadi guru bahsa Inggris, 80%
mampu membuka program pembelajaran sendiri
Analisis hasil Peningkatan Penguasaan Materi dan Keberhasilan Alumni
dipaparkan agak detail di bawah:
a. Keberhasilan Penguasaan Kosa kata
Dari tingkatan atau level belum tahu, kurang lebih 95% kosa kata
diluasia dangan rata-rata nilai 80 dengan predikat lancar dalam arti
dapat digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari.
b. Penguasaan Tenses
Mereka dapat bercerita dalam waktu sekarang, lampau dan besok
di dalam kelas, di luar kelas mereka membentuk kelompok belajar
(study club).
c. Penguasaan Percakapan
Enam bulan di BEC mereka bisa berkomunikasi baik secara lisan
maupun tulisan. Mereka dapat menerima memahami informasi dalam
DP 21 Laporan Penelitian | 9
Bahasa Inggris.
d. Para Lulusan
1) Ada yang menjadi pengajar di Sekolah Hotel Surabaya (SHS)
sebagai mitra kerja BEC. Yang tidak lulus mengulang
denga prinsip bahwa kursus Bahasa Inggris harus
menngkatkan manfaat dan dapat menambah pengetahauan
dan keterampilan.
2) Ada pula yang menjadi pemamdu Wisata (Tourist Guide) di
Yogyakarta.
3) Ada yang bekartja di kantor Kedutaan
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Wibowo (2015). Kajian diadakan di
Madrasah Aliyah MA) Al-Itihad Poncokusumo Malang, Jawa Timur. Melihat
keberhasilan Short course yang ada di Kampung Inggris Pare, peneliti ini
mentransformasikannya dalam dalam wadah yang berbeda namanya yaitu
English Camp. English Camp adalah Kampung Inggris berbasis sekolah.
Temuannya berpengaruh terhadap siswa MA Al Itihad dalam memperoleh
kemampuan berbahasa Inggris karena minat siswa meningkat sebesar 80%.
Speaking practice secara bebas diterapkan dan siswa mendapat keberanian
(encouraged) untuk berbicara ditunjang praktek para tutor dengan partner
siswa atau antara siswa dan siswa. Sebuah Teknik Total Physical Response
(TPR) diterapkan untuk bermain game. Puncak kegaiatan adalah para siswa
diajak berwisata ke Kebun Raya Purwodadi Malang.
B. Keaslian Penelitian
Di kampung Inggris di daerah Pare, Kediri, Jawa Timur, sistem
pembelajaran yang digunakan di beberapa lembaga pengajaran bahasa Inggris
relatif sama. Dengan menggunakan prinsip-prinsip, teori, dan metode
pengajaran bahasa Inggris yang sudah ada. Beberapa lembaga juga
mengembangkan dan berinovasi dengan model pembelajaran baru. Hal ini
dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat mengikuti perkembangan
jaman dan juga mengikuti perkembanagan latar belakang peserta ajar.
DP 21 Laporan Penelitian | 10
Lembaga-lembaga pengajaran bahasa Inggris di kampung Pare terkadang
masih menggunakan metode seperti di sekolah pada umumnya. Hanya saja
lembaga-lembaga tersebut lebih menitikberatkan pada pendekatan peserta
ajar baik secara invidu maupun kelompok di dalam kelas.teknik dan metode
ini cukup signifikan dalam membantu peserta ajar untuk berkembang.
Selain itu, dilakukan juga pembelajaran diluar kelas dan juga games atau
permainan yang dapat memancing keaktifan peserta ajar dalam proses
belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut juga dapat mengasah kemampuan peserta
ajar dalam menggunakan bahasa Inggris seperti yang sudah dipelajari di kelas-
kelas sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya motivasi peserta
ajar dalam belajar dan mengembangkan kemampuannya.
English Area juga merupakan salah satu metode yang digunakan oleh
lembaga-lembaga pengajaran bahasa Inggris di Pare. English Area adalah
sebuah program dimana peserta diwajibkan untuk berbahasa Inggris di
kehidupan sehari-hari mereka selama belajar di kampung Inggris tersebut.
Sanksi akan diberikan kepada peserta ajar apabila mereka tidak menggunakan
bahasa Inggris di program English Area ini yang berdampak pada sertifikat
atau piagam yang akan mereka terima di akhir program. Dengan adanya
program ini membuat peserta ajar akan mendorong mereka agar lebih sering
menggunakan bahasa Inggris. Dan pada akhirnya program ini membuat
peserta ajar terbiasa dalam berbahasa Inggris.
Selain penerapan metode-metode pengajaran bahasa Inggris diatas,
lembaga pengajaran bahasa Inggris di Pare juga mempunyai pengajar atau
tentor yang handal dan fasilitas pembelajaran yang lengkap. Selain menguasai
bahasa Inggris dan teknik-teknik pengajarannya, para tentor ini juga telah
mendapatkan training atau pelatihan dari lembaga tersebut. Hal ini bertujuan
agar tentor atau pelatih atau guru dapat mengajar sesuai dengan program-
program yang sudah ditentukan oleh lembaga dan diatur dalam SOP atau
Standar Operasional Prosedur. Sementara itu fasilitas yang lengkap juga
berperan dalam membuat peserta ajar lebih mudah dan nyaman ketika proses
belajar.
DP 21 Laporan Penelitian | 11
Metode, pendekatan, dan teknik pengajaran bahasa Inggris telah
diterapkan oleh lembaga-lembaga pengajaran bahasa Inggris di Kampung
Inggris Pare. Selain berupa English exposure atatu paparan bahasa Inggris,
peserta ajar juga diberikan pengajar dan fasilitas pendukung yang sangat baik
sehingga mereka mampu meningkatkan kemampuan mereka dalam
berbahasa Inggris sesuai dengan tujuan dari pembelajaran bahasa Inggris
yang mereka pilih.
C. Kerangka Teori
a. Empat Keterampilan Berbahasa
Menurut Widdowson (1978) kemampuan berbahasa biasa
merujuk pada empat kemampuan, yakni menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis. Sayangnya, keempat kemampuan tersebut seringkali
dipelajari secara terpisah, padahal keempatnya saling berkaitan dalam
mendukung kemampuan seseorang dalam berbahasa. Ketika dipelajari
secara terpisah, masing-masing kemampuan dipelajari dengan fokus
hanya pada tataran cara penggunaannya (usage) saja. Kemampuan
berbahasa yang ideal tidak hanya terbatas pada cara penggunaan, tetapi
pula fungsinya (use). Dalam hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai alat
berkomunikasi.
Bahasa sebagai alat komunikasi berkaitan dengan kalimat,
proposisi, dan tindak ilokusi. Dalam berbicara dan menulis, seseorang
tidak hanya menyampaikan kalimat, tetapi pula hal yang ingin ia
sampaikan (proposisi). Dengan itu otomatis ia bertindak melalui
tuturan/tulisan yang ia sampaikan kepada pendengar/pembaca (tindak
ilokusi). Ketika maksud dari penutur/penulis tersampaikan inilah fungsi
dari bahasa terwujud, yakni sebagai alat untuk berkomunikasi. Dari sini
dapat dilihat bahwa bahasa sebagai alat komunikasi diwujudkan dengan
kemampuan berbicara, menyimak, menulis, dan membaca.
Menyimak berkaitan erat dengan berbicara, sedangkan membaca
berkaitan erat dengan menulis. Menyimak dan berbicara mempunyai
DP 21 Laporan Penelitian | 12
hubungan timbal balik: untuk menyimak seseorang memerlukan orang
lain yang berbicara; dalam berbicara seseorang perlu, meski tidak selalu,
orang lain yang menyimak. Membaca dan menulis tidak memiliki
hubungan timbal balik langsung seperti berbicara dan menyimak. Namun,
untuk menulis seseorang perlu memiliki kemampuan membaca.
Kemampuan Membaca
Dalam membedakan cara penggunaan (use) dan fungsi (usage),
Widdowson menyebutkan dua istilah untuk masing-masing keterampilan.
Untuk kemampuan membaca, terdapat istilah reading dan comprehending.
Membaca tanpa memahami suatu teks secara keseluruhan belum dapat
dikatakan membaca; Widdowson menyebut kegiatan ini comprehending.
Ketika seseorang bisa memahami keseluruhan isi teks pada tataran
wacana, bukan sekadar kalimat atau kata, barulah kegiatan ini disebut
reading. Comprehending ada pada level usage, sedangkan reading ada pada
level use.
Dalam buku Sutarsyah yang berjudul Reading Theory and Practice
(2013) terdapat setidaknya tiga hal yang perlu diperhatikan terkait
dengan kemampuan membaca, yaitu pengetahuan bahasa, pengalaman,
dan kemampuan berpikir. Beliau berargumen bahwa ciri khas bahasa
yang sistematis memungkinkan pembaca untuk menguasai struktur dan
tata bahasa asing. Akan tetapi, beliau juga menyampaikan bahwa masalah
utama dalam melatih kemampuan membaca adalah menguasai kosakata.
Studi beliau membuktikan bahwa dalam setiap 2000 kata, setengah
hingga tiga-perempat dari kosakata di dalamnya tidak mengalami
pengulangan, sedangkan kapasitas ingatan manusia pada tahap awal
pemerolehan bahasa asing biasanya lebih pendek dibanding pemerolehan
bahasa ibu. Selain itu, kemampuan berpikir turut memengaruhi
kemampuan membaca karena pada dasarnya membaca tidak hanya
memahami kata, frasa, dan kalimat, tetapi juga memahami wacana yang
disajikan dalam sebuah teks.
DP 21 Laporan Penelitian | 13
Merujuk kembali ke Widdowson, latihan membaca yang dilakukan
perlu dilakukan secara komprehensif. Biasanya, untuk menguji
pemahaman materi, siswa akan diberi pertanyaan-pertanyaan seputar isi
teks. Namun, pertanyaan-pertanyaan seperti ‘di mana’, ‘kapan’, dan ‘apa’
yang merujuk pada aspek kecil teks tidak akan cukup untuk membantu
siswa menyaring intisari dari teks. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
berguna dalam proses assimilation atau pemahaman terhadap isi teks,
utamanya informasi-informasi di dalam teks yang tersedia secara
tersurat. Untuk bisa menyerap intisari teks pada tataran wacana,
diperlukan adanya proses discrimination atau memilah bagian teks mana
yang menjadi inti dan yang hanya bersifat mendukung inti teks tersebut.
Ketika siswa dapat melakukan assimilation dan discrimination sekaligus
inilah fungsi komunikasi dari bahasa tulis dapat tercapai.
Keterampilan Menulis
Untuk keterampilan menulis Widdowson menyebutkan dua istilah,
yaitu writing dan composing. Ketika seseorang hanya sekadar
memproduksi susunan kalimat, ia belum dapat dikatakan menulis, atau
dalam istilah Widdowson writing. Kegiatan menyusun kalimat adalah apa
yang ia sebut composing. Writing tidak hanya sekadar menyusun kalimat,
tetapi pula membangun diskusi dan menyusunnya ke dalam poin-poin
yang memiliki efek tertentu terhadap pembaca. Pada saat inilah tindak
tutur ilokusi dapat tercapai melalui proposisi yang dibangun melalui
kalimat-kalimat, sehingga tercapailah fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Dalam hal ini composing ada pada level usage, sedangkan
writing ada pada level use.
Horning (1987) dalam bukunya yang berjudul Teaching Writing as
a Second Language mengatakan bahwa menulis bahasa kedua cukup
menantang. Hal ini terjadi karena siswa, atau dalam konteks Horning
mahasiswa yang baru saja masuk ke lingkungan akademis tingkat
universitas, perlu menguasai tata bahasa, kosakata, dan sintaks sekaligus,
DP 21 Laporan Penelitian | 14
termasuk pula sistematika penulisan yang logis. Selain permasalahan
teknis, mahasiswa yang sedang belajar menulis dalam bahasa Inggris juga
menghadapi masalah perbedaan budaya, yang otomatis memengaruhi
gaya penulisan.
Clark (2008) dalam bukunya yang berjudul Concepts in
Composition: Theory and Practice in the Teaching of Writing menuliskan
bahwa latar belakang budaya yang berbeda memengaruhi pola penulisan
seseorang. Bahasa Inggris memiliki pola penulisan vertikal, sementara
pola penulisan bahasa-bahasa oriental, termasuk bahasa Indonesia,
adalah spiral. Maka, ketika orang Indonesia menulis dalam bahasa Inggris,
kemungkinan besar pola penulisannya akan tetap spiral. Dalam hal ini, ada
distorsi budaya yang menyebabkan tulisan tidak sesuai standar penulisan
orang berbahasa Inggris pada umumnya. Akan tetapi, hal ini bukan berarti
bahwa tulisan tersebut tidak logis; hanya standarnya saja yang berbeda.
Kemampuan Mendengarkan
Menurut Harmer (2002) ada dua alasan seseorang dalam
mendengarkan yaitu menggunakannya sebagai sebuah instrument dan
menggunakannya untuk mendapatkan kesenangan. Dalam penggunaannya
sebagai sebuah instrument, kemampuan mendengarkan dapat membantu
dalam mendapatkan apa yang kita perlukan dalam melakukan sesuatu.
Untuk mendapatkan informasi giliran, kita mendengarkan suara dari
petugas loket. Kita juga perlu mendengarkan ketika dokter memberikan
nasehat dan saran untuk penyembuhan penyakit kita. Selain itu,
kemampuan mendengarkan juga berguna bagi seseorang agar bisa
mengambil bagian atau berpartisipasi dalam percakapan. Agar percakapan
dapat berjalan dengan lancar, selain perlua adanya pembicara yang baik,
perlu juga adanya pendengar yang memiliki kemampuan mendengar yang
baik, sehingga transaksi informasi dapat terlaksana dan tercapai.
Selain sebagai sebuah instrument, kemampuan mendengarkan juga
digunakan untuk mendapatkan kesenangan. Mendengarkan music-musik
DP 21 Laporan Penelitian | 15
yang memberikan relaksasi, mendengarkan drama radio yang
menggerakkan hati, dan juga mendengarkan ceramah keagamaan yang
dapat menentramkan hati adalah fungsi dari kemampuan mendengarkan
yang berkaitan dengan kesenangan. Oleh karena itu, sangat penting dalam
kehidupan seseorang untuk mempunyai kemampuan mendengarkan yang
baik.
Pada kenyataannya, kemampauan mendengarkan bahasa Inggris
merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang lebih sulit daripada
yang dibayangkan. Pada umumnya, siswa mengalami kesulitan dalam
memahami isi dari percakapan atau monolog dalam listening tersebut.
Apabila para siswa harus focus pada beberapa kata, mereka akan
ketinggalan untuk memahami percakapan secara keseluruhan. Padahal,
untuk memahami sebuah ujaran kita perlu mengerti sebanyak 95% arti dari
kosakata yang diucapkan. Ketika para siswa melakukan listening dan
mereka tidak mampu memahami setengah dari kosakata yang diucapkan
maka mereka tidak akan bisa memahami topic dan maksud dari ujaran yang
diucapkan. Kesulitan dalam mencerna dan memahami input suara yang
mereka dapatkan, akan membuat siswa kehilangan motivasi dalam belajar
atau dalam melakukan listening.
Dalam kelas mendengarkan, biasanya siswa diminta untuk
mendengarkan sebuah rekaman dan memahaminya. Kemudian siswa akan
diminta untuk menjawab pertanyaan, biasanya berupa pilihan ganda,
terkait dengan rekaman tersebut. Meskipun terlihat sederhana dan mudah
dilaksanakan didalam kelas, namun Siegel dalam Harmer (2015)
menyatakan jika kegiatan seperti itu mempunyai manfaat yang sangat
sedikit. Kegiatan tersebut lebih cenderung menguji siswa dibandingkan
dengan mengajarinya.
Harmer (2015) berpendapat bahwa kegiatan kelas mendengarkan
yang ideal adalah kegiatan yang membantu siswa mendapatkan strategi
yang efektif dalam kaitannya dengan tugas listening. Strategi yang bisa
digunakan oleh siswa adalah berfokus pada topik dan isu bahasan,
DP 21 Laporan Penelitian | 16
memprediksi kosakata yang biasanya muncul sesuai topic bahasan, dan
juga mencatat kata kunci untuk membantu mengingat apa yang telah
diucapkan. Dalam hal ini, guru harus memberikan pengalaman
mendengarkan sebanyak mungkin kepada siswa. Kegiatan mendengarkan
juga harus beraneka ragam agar pengalaman mendengarkan mereka juga
beraneka ragam. Dan hal inilah yang akan membantu mereka dalam
kaitannya dengan tugas mendengarkan.
Ada beberapa pendekatan dan strategi yang dapat dilakukan
didalam kelas. Pendekatan seperti Top-down listening, Bottom-up
listening, dan extensive listening merupakan beberapa pendekatan yang
bagus untuk meningkatkan kemampuan mendengar siswa. Sama halnya
dengan strategi dan teknik seperti kegiatan mendengarkan secara langsung
dan rekaman, dan juga penggunaan film dan video.
Dalam Top-down listening siswa focus kepada keseluruhan teks
yang diucapkan dan artinya secara umum. Dalam kegiatan ini, guru dapat
meminta siswa untuk memprediksi tentang isi rekaman. Hal ini dapat
membuat siswa nyaman dan focus terhadap rekaman yang akan mereka
dengarkan. Dengan merasa nyaman dan siap, siswa dapat menggunakan
latar belakang pengetahuan mereka terkait dengan topik teks yang akan
diperdengarkan sehingga siswa dapat memahami teks dengan lebih baik.
Disisi lain, bottom-up listening berfokus kepada kata-kata yang
harus dipahami siswa untuk kemudian memahami teks yang
diperdengarkan secara utuh. Dalam kegiatan ini, guru bisa mendikte siswa
dengan beberapa kata, frasa, atau ekspresi yang diulang-ulang. Selain itu,
guru juga bisa memberikan rekaman teks lain yang lebih pendek tetapi
masih dengan tema yang sama dengan teks rekaman sebelumnya. Dengan
kegiatan ini, siswa dapat mengidentifikasi kosakata yang sama yang
berkaitan dengan topic dan tema tersebut.
Selain guru juga bisa meminta siswa untuk mendengarkan secara
mandiri. Mereka dapat memilih sendiri rekaman atau video yang ingin
mereka dengarkan. Dengan meberikan kesempatan siswa untuk memilih
DP 21 Laporan Penelitian | 17
sendiri teks apa yang ingin mereka dengarkan, dapat memotivasi siswa dan
pastibya motivasi tinggi dapat meningkatkan kemampuan siswa tersebut
Sumber kegiatan mendengarkan bisa berupa mendegarkan
langsung maupun rekaman. Dalam kegiatan mendegarkan langsung, guru
ataupun seseorang yang diundang oleh guru tersebut, yang tentunya
mempunyai kompetensi berbahasa Inggris yang baik, dapat menjadi
sumber yang ideal. Dengan membaca teks dengan keras, bercerita didepan
kelas, dan melakukan Tanya jawab, baik secara langsung ataupun direkam,
siswa akan mendapatkan paparan sumber suara yang baik dan cenderung
mudah mereka ikuti dan pahami, secara mereka mendengarkan dengan
tatap muka ataupun familiar dengan sumber suara.
Guru juga bisa menggunakan film maupun video sebagai sumber
suara bagi siswa. Dengan film atau video, siswa dapat memahami
percakapan maupun ucapan yang mereka dengar karena dibantu secara
visual. Sehingga siswa dapat mengidentifikasi intonasi suara dengan
ekspresi wajah sumber suara yang dikemudian hari dapat membantu siswa
untuk menggambarkan maksud atau tujuan dari sebuah teks yang
dperdengarkan dengan memahami intonasinya.
Dengan menggunakan pendekatan dan strategi diatas, guru
diharapkan mampu membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan
mendengarkan. Selain itu guru juga diharapkan untuk membantu siswa
mendapatkan strategi mendengarkan yang baik sehingga siswa mampu
menghadapi menyelesaikan tugas yang berkaitan dengan mendengarkan.
Kemampuan Berbicara
Dalam berbicara, agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar, kita
perlu menyusun wacana sedemikan rupa sehingga dapat dipahami oleh
pendengar kita. Dalam percakapan, agar konstruksi wacana dapat berjalan
peserta percakapan harus mengetahui kapan harus menimpali sebuah
ujaran, bagaimana merespon terhadap sebuah pertanyaan, maupun
memancing sebuah pernyataan. Selain itu, pembicara juga harus
DP 21 Laporan Penelitian | 18
memperhatikan aturan dalam berbicara, bentuk pembicaraan, dan cara
berinteraksi dengan pendengar.
Dalam kelas berbicara, guru tugas utama guru adalah membantu
siswa agar bisa berbicara dan berkomunikasi secara kompeten. Karena
gaya dan ekspresi yang digunakan dalam berbicara berbeda dari gaya dan
ekspresi dalam menulis, guru harus mampu membuat siswa dapat
berbicara sesuai dengan gaya dan ekspresi sebagaimana lazimnya dalam
berbicara, bukan sekedar mengucapkan tulisan. Selain itu, guru juga harus
memastikan siswa mengetahui fungsi dari ujaran dalam bahasa Inggris,
memotivasi mereka untuk aktif dalam berbicara dan berkomunikasi, dan
juga memberikan mereka kesempatan agar mahir dalam strategi berbicara.
Dengan begitu mereka dapat berpartisipasi dengan baik dalam berbicara
dan berkomunikasi.
Menurut Harmer (2015), guru harus bisa menghadapi dan
menanggulangi keengganan siswa untuk berpartisipasi dalam kelas
berbicara. Lingkungan yang kondusif dan rileks dapat mengurangi
kekhawatiran, rasa malu, dan kurang percaya diri siswa terhadap kelas
speaking. Dengan guru membuat lingkungan yang lebih santai untuk
berbicara dapat mendorong siswa untuk lebih mau berkontribusi dalam
kelas speaking. Selain itu, siswa akan lebih berani dan percaya diri apabila
yang mereka kerjakan dan pelajari sesuai dengan level mereka. Guru harus
bisa memilih level yang pas, tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, untuk
siswa sehingga ada ruang bagi mereka untuk meningkatkan kemampuan.
Ketika lingkungan dan level materi yang siswa dapatkan sudah sesuai,
siswa tidak akan enggan lagi untuk berpartisipasi dalam kelas dan ini
merupakan langkah awal yang baik dalam tujuan meningkatkan
kemampuan siswa.
Ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan guru dan siswa di dalam kelas
berbicara. Kegiatan-kegiatan ini bervariasi dalam bentuk dan teknik yang
akan memberikan siswa kesempatan yang lebih luas lagi untuk
mengembangkan kemampuan berbicaranya. Menurut Harmer (2015)
DP 21 Laporan Penelitian | 19
kegiatan-kegiatan seperti memainkan drama atau berakting, memainkan
role play, permainan komunikasi, diskusi, dapat membantu siswa dalam
mengembangkan teknik dan kemampuan berbicara dua arah. Sama halnya
dengan kegiatan pidato, presentasi dan bercerita (Storytelling) juga dapat
meningkatkan kemampuan siswa berbicara satu arah.
Dalam kegiatan memainkan drama, siswa harus menganggap
kegiatan ini sebagai kegiatan acting sungguhan. Guru dapat berperan
sebagai sutradara drama dengan memberikan arahan penekanan, intonasi
dalam pengucapan naskah. Guru juga dapat meminta siswa untuk memilih
ekspresi apa yang tepat untuk naskah yang mereka dapatkan. Mark Almond
dalam Harmer (2015) mengatakan jika drama melatih empati siswa
terhadap karakter yang mereka mainkan. Selain itu, drama menumbuhkan
kepercayaan diri siswa, meningkatkan pelafalan bahasa dan penggunaan
bahasa secara umum.
Selain memainkan drama, guru juga bisa membuat kegiatan role
play atau bermain peran. Dalam role play ini, berbeda dengan drama
dimana siswa memainkan karakter dalam cerita, siswa dapat memilih
untuk memerankan diri, misalnya, sebagai seorang turis yang akan
berbincang dengan temannya yang memilih peran pengemudi taksi. Dari
sini siswa bisa mengembangkan percakapan sesuai dengan situasi yang
mereka hadapi dalam peran. Guru dapat memberikan contoh konteks dan
situasi yang kemudian akan diterjemahkan oleh siswa menjadi sebuah
percakapan yang alami dan seperti didalam dunia nyata. Dengan kegiatan
seperti ini, kelas akan lebih menyenangkan dan pastinya dapat lebih
memotivasi siswa dalam berbicara. Selain itu, dengan memasukkan situasi
dunia nyata ke dalam kelas akan memberikan kesempatan siswa untuk
memperluas cakupan bahasa mereka.
Berbicara satu arah juga merupakan kemampuan berbicara yang
harus dikuasai siswa. Bentuk kegiatan seperti pidato, presentasi, dan story
telling (bercerita) adalah kegiatan yang sangat bagus untuk meningkatkan
kemampuan itu. Dalam kegiatan ini, guru dapat mendampingi siswa dalam
DP 21 Laporan Penelitian | 20
mempersiapkan teks yang akan mereka bawakan. Mulai dari membuat
draft teks, merevisinya, hingga melakukan gladi bersih sebelum mereka
menampilkan pidato, guru dapat memberikan pendampingan dan menjadi
pemberi saran. Kegiatan ini bisa menjadi kegiatan yang paling paripurna
setelah siswa mempelajari percakapan sederhana.
Dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang variatif dikelas seperti
yang disebutkan diatas, guru diharapkan mampu meningkatkan
kemampuan berbicara siswa. Sehingga siswa mampu menjadi pembicara
yang kompeten yang dapat berpartisipasi dalam percakapan dan berbicara,
baik secara dua arah maupun satu arah.
b. Metode Pengajaran
Menurut Harmer (2002) metode adalah realisasi dari teori tentang
pengajaran itu sendiri, dalam hal ini teori tentang pengajaran bahasa.
Metode pengajaran akan menentukan aktifitas, peran pengajar dan
peserta ajar, materi pembelajaran yang akan digunakan selama proses
belajar mengajar. Sehingga bisa disimpulkan bahwa metode pengajaran
membuat pengajar mampu menentukan seperti apa dan bagaimana
sebuah proses belajar mengajar itu akan dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, metode pengajaran
dapat memberikan dampak terhadap proses kegiatan tersebut. Ketika
metode yang digunakan tepat maka akan tercapai tujuan dari kegiatan
tersebut berupa meningkatnya kemampuan dan performa peserta ajar. Di
sisi lain, apabila metode yang digunakan tidak sesuai dengan konteks
situasi dalam sebuah lingkup pembelajaran akan berakibat terhalangnya
perkembangan kemampuan peserta ajar. Oleh karena itu, metode
pengajaran perlu diatur dan dipersiapkan sedemikian rupa sehingga
dapat mempermudah peserta ajar dalam memahami materi ajar,
mempraktikkan hasil belajar, dan mengembangkan diri yang berkaitan
dengan pelajaran tersebut.
Dalam pengajaran bahasa Inggris, terdapat berbagai macam metode
DP 21 Laporan Penelitian | 21
yang dapat digunakan oleh pengajar. Harmer (2002) menyebutkan
beberapa metode yang memberikan pengaruh dalam pengajaran bahasa
Inggris seperti Grammar translation method, PPP (Presentation, Practice,
and Production), direct method, Communicative Language Teaching, dan
lainnya. Metode-metode ini dapat berjalan dengan baik apabila pengajar
mampu melihat kondisi dan situasi para peserta ajar seperti latar
belakang budaya, tingkat kognitif, keinginan dan juga ekpektasi peserta
ajar. Ketika pengajar mampu melihat hal-hal ini, pengajar akan mampu
memilih dan menentukan metode apa yang tepat untuk digunakan.
Sekilas tentang pendekatan (approaches) pengajaran bahasa
Tren sebelum abad dua puluh
Sembilan Pendekatan Pengajaran Bahasa abad dua puluh dari Murcia
(2001, 3-8):
a. Tata Bahasa Terjemahan (The Grammar Tranlation Approach)
Pendekatan ini adalah perluasan pendekatan yang digunakan
untuk mengajarkan bahasa-bahasa klasik terhadap pengajaran bahasa
modern. Adapun pedekatan ini bercirikan:
a) perintah atau instruksi diberikan dalam bahasa asli si siswa;
b) bahasa sasaran digunakan dalam porsi kecil;
c) titik berat pada tata bahasa;
d) diawali dengan bacaan teks yang sulit;
e) latihan penerjemahan baik dari bahasa sasaran ke bahasa asli
ataupun sebaliknya;
f) hasil pendekatan ini adalah ketidakmampuan siswa dalam
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi; dan
g) guru tidak harus dapat berbiccra dalam bahasa sasaran.
b. Pendekatan Langsung (Direct Approach)
Pendekatan ini merupaka reaksi terhadap pendekatan tata bahasa
terjemahan di atas dan kegagalan dalam menghasilkan pembelajar
menggunakan Bahsa yang sedang mereka pelajari. Ciri-cirinya adalah
DP 21 Laporan Penelitian | 22
sebagai berikut:
a) tidak boleh menggunakan bahasa ibu (yaitu guru tidak perlu
tahu bahasa siswa);
b) pelajaran dimulai dengan dialog, anekdot, dan gaya percakapan
modern;
c) tindakan dan gambar untuk menjelaskan makna;
d) tata bahasa dipelajari secara induktif;
e) teks sastra dipelajari untuk kesenangan dan tidak dianalisis
secara gramatikal;
f) sasaran budya juga dipelajarisecara induktif; dan
g) gurunya harus penutur asli atau seseoarag yang memiliki
kemampuan seperti penutur asli.
c. Pendekatan Membaca (Reading Approach)
Pendekatan ini adalah reaksi terhadap penerapan Pendekatan
Langsung di atas karena membaca dipandang sebagai keterampilan
yang sangat bermanfaat dalam bahasa asing karena tidak banyak
orang berwisata ke luar negeri saat itu. Begitu juga hanya sedikit guru
yang dapat mnggunakan Bahasa asing dalam pendekatan langsung
secara efektif. Ciri-cirinya adalah sebagi berikut:
a) hanya tata bahasa yang bermanfaat untuk membaca yang
diajarkan;
b) awalnya kosa kata di amati (berdasar pada kemanfaatan) dan
kemudian diperluas;
c) penerjemahan merupakan prosedur pembelajaran yang layak;
d) membaca pemahamna adalah satu-satunya keterampilsn yang
ditekankan; dan
e) guru tidak perlu memiliki kacakapan lisan dalam Bahasa
sasaran.
d. Audiolingualisme (Amerika Serikat)
DP 21 Laporan Penelitian | 23
Pendekantan in merupakan reaksi dari Pendekatan Membaca dan
kekurangan penekannnya pada keterampilan lisan-dengar (oral-aural).
Pendekatan ini dominan pada tahn 1960. Pendekatan itu diambil dari
Gerakan Reformasi dan Pendekatan Langsung akan tetapi ditambah
fitur-fitur dari linguistic structural (Bloomfield 1933) dan psikologi
behavioral (Skinner 1957). Ciri-cirinya ini adalah:
a) pelajaran dimulai dengan dialog
b) mimikri-memorisasi digunakan berdasar asumsi bahwa bahasa
adalah pembentukan kebiasaan
c) tata bahasa diurutkan dan kaidah djarkan secara induktif
d) keterampilan diurutkan: menyimak, berbicara—membaca dan
menulis ditunda
e) pelafalan ditekankan sejak awal pembelajaran
f) kosa kata dibatasi secara ketat pada tahap awal
g) diusahakan sekuat tenaga untuk mencegah kesalahan
h) bahasa itu sering dimanipulasi tanpa menganggap makna dan
konteks, dan
i) guru harus mahir dalam struktur, kosa kata yang ia ajarkan
karena kegiatan pembelajaran dan materi ajar diawasi secara
cermat.
e. Pendekatan Lisan–situasional (Oral-situational Approach)
Pendekatan ini adalah sebuah reaksi terhadap Pendekatan
Membaca dan kekurangan penekannya pada ketrampilan lisan dengar
(oral-aural). Pendekatan ini dominan di Ingrris pada tahun 1940-an.
1950an, dan 1960-an. Ini diambil dari Gerakan Reformasi dan
Pendekatan Langsung ditambah fitur-fitur dari Linguistik aliran Firth
dan memunculkan bidang professional dalam pendidikan Bahasa. Ciri-
cirinya adalah:
a) bahasa lisan diutamakan;
b) semua materi Bahasa dipraktikkan secara lisan sebelum
DP 21 Laporan Penelitian | 24
dipresentasikan dalam bentuk tulisan (membaca dan menulis
diajarkan setelah dasar-dasar lisan dalam bentuk leksikal dan
gramatikal telah mapan);
c) hanya bahasa sasaran yang boleh diginakan di kelas;
d) usaha dilakukukan untuk meyakinkan bahwa butir-butir
leksikal yang bermanfaat yang disajikan;
e) Sturktur gramatikal di tahapan dari yang sederhana ke yang
rumit; dan
f) Buitr-butir baru (leksikal dan gmatikal) dikenalkna dan
dilatihkan sesuasi situasinya (misal, di bank, di meja makan).
f. Pendekatan Kognitif (Cognitive Approach)
Pendekatan ini merupakan reaksi terhadap fitur-fitur behavioris
Pendekatan Audiolingual dan dipengaruhi oleh psikologi kohnitif (Neisser
1967) dan linguistik aliran (Chomsky 1959, 1965). Pendekatan ini
berpandangan:
a) pembelajaran bahasa dipandang sebagai pemerolehan kaidah,
bukan pembentukan kebiasaan;
b) instruksi diberikan secar individu, pembelajar sering bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri;
c) tata bahasa harus diajakan tetapi dapat diajarkan secara deduktif
(kaidah dulu baru latihan) dan/atau secar induktif (kaidah dapat
diterangkan setekah latihan atau dibiarkan sebagai informasi
implisit untuk pembelajar supaya dipahami sendiri);
d) pelafalan tidak ditekankan, kesempurnaan dipandang sebagai
tidak realistis dan mustahil untuk bisa dicapai;
e) membaca dan menulis sama pentingmya seperti menyimak dan
berbicara;
f) pengajaran kosa kata itu penting terutama pada tingkat
intermediate dan advanced;
g) kesalahan dipandang sebagai keniscayaan, untuk dapat digunakan
DP 21 Laporan Penelitian | 25
secara konstruktif dalam proses belajar; dan
h) guru diharapkan memiliki kemahiran yang bagus secara umum
dalam Bahasa target begitu juga kemampuan menganalisis bahasa
sasaran.
g. Pendekatan Afektif-Humanistik (Affective-Humanistic Approach)
Pendekatan ini merupakan reaksi terhadap kekurangan umum pada
pertimbangan afektif baik dalam audiolingualisme maupun dalam
Pendekatan Kognitif. (Moskowitz 1978 dan Curran 1976). Cirinya adalah:
a) penekanan pada menghormati (murid, guru secara pribadi) dank
arena perasaan mereka;
b) komunikasi yang bermakna terhdap pembelajar perlu ditekankan;
c) pembelajaran banyak melibatkan kerja berpasangan dan
kelompok-kelompok kecil;
d) kenyamanan kelas dipandang lebih penting daripada materi dan
metode;
e) dukungan dan interaksi sebaya diapdang perlu dalam belajar;
f) belajar bahasa asing dipandang sebagai pengalaman penyadaran
diri;
g) guru sebagai pembimbing dan fasilitator; dan
h) guru harus ahli dalam bahasa sasaran dan Bahasa asli siswa
penerjemahan mungkin digunakan pada tingkat awal untuk
membantu pembelajar merasa nyaman yang nantinya dihilangkan.
h. Pendekatan berbasis Pemahaman (Comprehension-Based Approach)
Sebuah riset yang tumbuh dalam pepemrolehan Bahasa pertama yang
meyrbabakan beberapa ahli metodologi yang menduga bahwa
pembelajaran Bahasa kedua dan Bahasa asing sangta serupa dengan
pemerolehan Bahasa pertama (Postosvsky 1974; Winitz; Krashen dan
Terrell 1983). Pandangannya:
a) menyimak pemahaman itu amat penting dan dipandang sebagai
DP 21 Laporan Penelitian | 26
keterampilan dasar yang memungkinkan berbicara, membaca,
dan menulis untuk berkembang secara spontan dan sepanjang
waktu jika dikondisikan dengan tepat;
b) pembelajar harus menuimak tuturan bermakna dan merespon
secara non verbal dengan cara yang bermakna sebelum dapat
meghasilkan bahasa secara mandiri;
c) pembelajar tidak usah berbicara sebelum siap. Ini akan
menghasilka pelafalan yang lebih baik daripada jika pembelajar
haruds dipaksa berbicara segera;
d) pembelajar maju karena diekspos input ynag bermakna yang itu
hanya merupakan satu langkah di luar tingkat kompetensinya;
e) pembelajaran kaidah mungkin membantu memantau (atau
menjadi sadar) akan yang mereka lakukan tetapi tidak akan
membantu pepemrolehan atau pengguanaan spontan bahasa
target;
f) Koreksi kesalahan dianggap tidak perlu kakrean akan
menyebabkan konter produktif; yang penting adalah pembelajaar
paham dan dapat membuatnya paham; dan
g) jika gurunya bukan penutur atau mendekati penutur asli, materi
yang layak seperti audio tapes atau video tapes harus tersedia
untuk melengkapi input bagi pembelajar.
i. Pedekatan Komunikatif (Communicative Approah)
Karya Linguistik Antropolgi yang menonjol (seperti Hymes 1972) dan
ahli Bahasa aliran Firth (seperi Halliday 1973) yang memandang Bahasa
yang pertama dan paling utama sebagai sistem komunikasi; lihat bab
Savignon di dalam volume ini). Krakteristiknya:
a) diduga bahwa tujuan pengajaran bahasa adalah kemampuan
pembelajar untuk berkomunikasi dalam bahasa sasaran;
DP 21 Laporan Penelitian | 27
b) diduga bahwa isi pembelajaran bahasa mencakup nosi semantik
dan fungsi sosial, dan tidak hanya struktur linguistik;
c) pembelajar secara teratur bekerja kelompok atau berpasangan
untuk saling bertukar (dan jika perlu, negosiasi) makna dalam
situasi yang seseorang memiliki informasinya sedangkan yang lain
tidak memilikinya;
d) pembelajar sering terlbat dalam bermain peran atau dramatisasi
untuk memyesuaikan diri dengan Bahasa sasaran dengan konteks
soaial yang berbeda-beda;
e) materi dan kegiatan kelas sering kali autentik untuk
mencerminkan situasi dan kebutuhan kehidupan nyata;
f) keterampilan diintegrasikan sejak awal; kegiatan yang sedang
beglangsuang mungkin menyangkut reading, speaking, listening,
dan juga writing (diasumsikan bahwa pembelajar terdidik dan bisa
membaca sekaligus menulis);
g) peran guru yang urama adlah memfasilitasi komunikasi dan peran
yag lain adlah mengoreksi kesalahan; dan
h) guru seharusnya dapat mengguanakan bahasa sasaran dengan
fasih dan pantas.
Kurikulum Pendidikan formal (Bahasa Inggris) yang pernah berlaku di
Indonesia. (Kasiani, 2000 dalam Emilia, 2005: 22, dalam Emilia 2011: 1) dan
(Widodo 2016) dalam (Pattrick 2016), Mistar 2005, dalam Wiyono (2012) dalam
DeCoursey (2012) hlm. (198-199)
Mistar dalam Braine (2005) dalam Wiyono (2012) dalam DeCoursey (2012,
198-199) mencatat ada tiga tahapan perubahan kurikulum di Indonesia yang
masing-masing adalah tahapan sebelum kemerdekaan yaitu sebelum 1945, awal
kekmerdekaan, yaitu tahun 1945-1950 dan masa pembangunan yaitu setelah
tahun 1950. Sementara itu Nurhadi (2004) mencatat beberapa tahapan yang
berbeda dengan tahapan sebelumnya yaitu masing-masing kurikulum 1968,
1975, 1984,1994 dan 2004. Tiga pertama yaitu 1968, 1984, dan 1994
DP 21 Laporan Penelitian | 28
dinamakan Kurikulum berbais isi (Content-based Currikulum), 1994 adalah
Kurikulum Berbasis Tujuan (Objective-based Curriculum) dan 2004 adalah
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Competency-based Curriculum).
Menurut (Kasiani, 2000 dalam Emilia 2005, 22, dalam Emilia 2011, 1),
perkembangan kurikulum Bahasa Inggris untuk SMP dan SMA di Indonesia mulai
zaman kemerdekaan sampai kurikulum 1994.
(a) Tahun 1945 – 1950. Pada waktu itu pendidikan formal tidak dapat
dilaksanakan karena situasi politik. Indonesia masih baru sja merdeka dan tentu
saja Negara itu masih berbenah dan malah datang tentara sekutu untuk melucuti
senjata tentara Jepang dan ingin mengembalikan Indonesia kepada Belanda.
Artinya, Indonesia masih menghadapi peperanagn setelah merdeka
(b) Tahun 1954 adalah tahun direrapkannya Kurikulum Gaya Lama. Adapu
tujuan pengakaran Bahasa Ingrris tidak jelas dan walau Bahasa Inggris diajarkan
empat jam dalam satu minggu. Metode yang digunakan adalah Grammar
Translation Method.
(c) Tahun1962 Kurikulum pada tahun ini disenut dengan Kurikulum Gaya
Baru. Pendekatan (Approach) nya adalah Audio-Lingual danterdapat materi ajar
dengan sebutan “Materi Salatiga” untuk SMP. Pendekataan itu memang popular
pada tahun 1960 di seluruh dunia.
(d) Tahun 1968 adalah saat Krikulum Gaya Baru yang disempurnakan.
Kurikulum ini masih mengguanakan pendekatan Aidio-lingual seperti di atas,
namun dilengkapi dengan materi ajar yang dinamakan English for the SLTA.
(e) Tahun 1975 adalah Kurikulum yang diterapakn berdasarkan Keptusan
Menteri Pendidikan No. 008-E/U/1975. Kurikulum ini lebih baik daripada
kurikulum sebelumnya karena memiliki tujuan instrusional yang jelas, banum
pendekatannya masih sama seperti pendkatan di atas; Audio-lingual.
(f) Tahun 1984. KUrkulum tahun ini dibuat berdasarkan kurikulum tahun
sebelumnya yaitu tahun 1975. Kurikulum in menekankan Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA). Pendekatan yang digunaka adalah Pendekatan Komunikatif.
Pendekatan in dianggap pendekatan yang paling baik.
(g) Tahun 1994. Kurikulum ini dibuat berdasarka pada revisi kurikulum
DP 21 Laporan Penelitian | 29
1984 dan mengacu pada masukan dan hasil penelitian secara nasional tentnag
pemahaman Bahasa Inggris siswa.
Sejak tahun 2000 kurikulum Bahasa Inggris mengalami tiga kali perubahan
yang masing-masing sebagai berikut (Emilia 2011, 2).
(a) Tahun 2001. Kurikulm ini berdasarkan pada kompetensi dan disebut
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (The competency-Based Curriculum).
Adapun tujuan kurikulum iniadalah mengembangkan Bahasa Inggris dengan
menggunakan kompetensi target
(b) Kurikulum 2004. Kurikulum ini dibuat dengan melibatkan Linguistik
Sistemik Fungsional (Systemic Functional Linguistics) atau SFL dan Pendekatan
Genre (Genre-based). Siswa belajar berbagai teks dan didorong untuk menulis
berbagai teks dalam Bahasa Inggris.
(c) Kurikulum 2006. Kurikulum ini disebut dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan atau KTSP. KTSP hanya mencakup Standar kompetensi dan
Kompetensi dasar yang harus dicapai dalam proses pembelajaran. Materi dan
tujuan yang rinci untuk setiap pembelajaran serta apa yang harus dilakukan di
kelas oleh guru tidak dideskripsikan secara detail. Guru memliki keleuasaan
untuk melekukan inovasi di kelas untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
SFLGBA dapat merupakan salah satu alternatif untuk mencapai tujuan
pembelajaran seperti yang telah digariskan dalam KTSP.
Memang (Hamid 2011) pembelajaran berbasis teks dan literasi dengan
kegiatan membaca dan meulis secara intensif dapat menyebabkan siawa berpikir
kritis. Dalam era infoamisi da reformasi ini, berpikir krtis amt diperlukan. Namun
begitu terdapat bebrapa catatan yang harus diperhayikan yaitu: (a) guru-guru
bahasa Inggris harus memiliki kapabilitas yang bagus untuk mentyerap simber-
sumber kehabasaan yang terkait denga berbagai ragam teks dan; (b) guru-guru
dituntut keuletannya untuk dapat mengukuti setiap langkah pembelajaran SFL
GBA untuk dapat mengembangkan empat keterampilan yaitu menyimak
(listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing), (c)
jumlah siswa yang relative besar dalam setiap kelasnya, dan (d) menhgahapi
DP 21 Laporan Penelitian | 30
Ujian Nasional yang mungkin menyebakan guru mengajar sekedar untuk
persiapan ujian,
Tokoh lain yaitu Widodo (2016) dalam Kickpatrick (Ed.) (2016)
mengikhtisarkan tentang kurikulum 2004, 2006 dan 2013 sebagaimna terurai
berikut. Kurikulum 2004 atau yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) berpayung hukum pada Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan dilaksanakan secara nasional dengan
tujuan sebagai untuk a) mengembangkan kompetensi komunikatif yang
memberikan titik berat pada keterampilan makro seperti menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis dan kompetensi lain seperti kompetensi linguistis,
kompetensi wacana, kompetensi sosiokultural, kompetensi aksional dan
kompetensi strategis; b) membangun dan membangkitkan kesadaran diri dalam
memperoleh Bahasa Inggris sebagai bahasa asing dan sebagai instrument
pembelajaran dan instrument berkomukasi; dan c) membangun dan
mengembangkan pemahaman dan hunbungan yang erat antara Bahasa dengan
budaya serta untuk meningkatkan pemahaman antarbudaya. Kurikulum 2004
juga dikenali sebagai penerapan tiga metafungsi Halliday untuk mengajarkan
empat keteramlilan yaitu menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca
(reading) dan menulis (writing).
Konsep dasarnya adalah peserta didik diharapkan dapat melakukan
keterampilan yang integratif dan penguasaan berbagai kemampunan situasi
komunikatif. Namun dalam kenyataanya, para guru enggan menciptakan materi
ajar sendiri. Di samping itu, mereka juga mencari-cari pendekatan apa yang di
anut oleh kurikulum itu. Mereka lebih cenderung mempercayakan pada buku-
buku teks yang diterbitkan secara komersial.
Terdapat pula beberapa faktor penghambat dalam penerapan kurikulum
2004 yang antara lain adalah a) manajemen kelas yang kurang memadai; b)
kurangnya dasar-dasar pendidikan dan pengetahuan tentang konteks; c)
pengunaan Bahasa Inggris oleh para guru tidak ekstensif; d) pengajaran bahasa
Inggris yang terarah pada tes; e) nilai-nilai tradisi pedagogis yang kaku; dan f)
asesmem Bahasa yang dikendalikan oleh pemerintah. Hal di atas biasa terjadi di
DP 21 Laporan Penelitian | 31
Negara-negara Asia terhadap Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran di sekolah.
(Littlewood,2007; Priyanto, 2009; Richards, 2010) dalam dalam (Pattrick: 2016).
Untuk membantu peserta didik memperolah Bahasa Inggris sebagai instrument
komunikasi di jagad internasional pemerintah Republik Indonesia melalui
Kementerian Pendidikan Nasional menggabungkan Kurikulum Berbasis Sekolah
ke Kurikulum 2006. Maka dari tiu kurikulum 2004 diubah nemanya memnjadi
Kurikulum Tingkat Satuam Penddikan (KTSP) atau School Based Curriculum
(SBC) dalam Bahasa Inggris.
Kurikulum 2006
Kurikulum 2006 diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sebagai berikut; antara lain kebutuhan sosioinstitusional, ekonomi, kultural, dan
latar belakang pendidikan serta untuk mengenali relaita bahwa tiap-tiap sekolah
di wilayah yang berbeda-beda perlu dilayaani dan denan memanfaatkan sumber
daya lokal. Revisi ini dimaksudkan untuk memenuhi tantangan globalisasi dan
teknologi informasi dan komunikasi yang harus dihahadpi oleh Indonesia.
Bersamaan itu pula KTSP diterapkan untuk memberi kesempatan pada
sekolah untuk merancang kurikulum, melaksanakan dan mengevaluasi pada
tingkat sekolah dengan menggunakan sumber daya lokal atau disebut juga
dengan muatan lokal dengan dimensi sosiokultural yang lebih luas, dan
kebutuhan pesert didik. (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006). Tidak ada
ketentuan dalam hal materi ajar akan tetapi ada seperangkat garis besar
kompetensi inti yang harus dikelani oleh para pendidik. Kurikulum dirancang
oleh para guru yang bekerja dalam tim dan mereka dapat berbagi dengan guru-
guru dari sekolah lain dalam wilayah yang sama melalui Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP). Melalui forum ini para guru dapat berbagi umpan balik
tentang materi kurikulum seperti silabi, recana pembelajaran (lesson plan) unit
belajar. Lembaga ini dapat menunjuk seorang supervisor, atau guru yang
berpengalaman, untuk memberikan pendampingan (mentoring) dan supervisi
terhadap guru kelas dalam hal standar isi, proses dan kompetensi dan
sebagainya. Paket kurikulum 2006 dirancang oleh sekolah yamg meliputi a)
DP 21 Laporan Penelitian | 32
kebutuhan stake holders dan peserta didik; b) intergritas; c) kepekaan terhadap
sains dan teknologi; d) keserasian pada kebutuhan hidup; e) kepahaman dan
leberlanjutan; f) pembelajran sepanjang hayat; g) keseimbangan antara
kebutuhan nasional dan kebutuhan lokal.
Pada hakikatnya, pelaksanaan kurikulum 2006 adalah kurilulum 2004
ditambah kemampuan komunikatif berdasar pada kompentensi dan kerangka
sistemik fungsional. Perbedaan antara kedua kurikulum itu adalah bahwa
Pemerintah tidak menentukan kurikulum diamanatkan secara nasional, sehingga
masing-masing sekolah dapat merancang, melaksanakan dan mengevaulasi
kurikulumnya sendiri dengan penagwasan dari supervisor setempat atau lokal.
Walau begitu Kementerian Pendidikan nasional masih mengenadlikan ujian
nasional yang sama sekali tidak mencerminkan inti dari kurikulum 2006. Yang
terjadi pada pembelajaran bahasa Inggris adalah sebagian beasr pembelajaran
diarahkan pada Ujian Nasional yang standar kompetensinya dtentukan olehpara
pembuat kebijakan.
Terdapat keresahan sekitar penerapan KTSP dari anggota masyarakat,
(sebut saja para guru) Solo Pos 16 Desember 2006. Kebingungan itu antara lain
adalah a) ada sosialisai tetapi masih membingungkan, b) KTSP terlalu cepat
penerapannya, c) Di dalam KTSP sekolah diberi kewenangkan untuk
mengembangkan secara mandiri tetapi mengapa masih ada Ujian Nasional?
Bahkan ada yang berpendapat lebih keras daripada pernyataan di atas yang
mengatakan bahwa Kurikulum 1994, KBK dan KTSP sama saja, tidak ada
bedanya.
Kurikulum 2013
Pelaksanaan kurikulum 2013 mempunyai tujuan untuk memersiapkan
warga Negara Indonesia agar memiliki sikap a) religious; b) produkif; c) inovatif;
d) bergairah sehinga dapat berkontribusi terhadap masyarakat, bangsa dan
peradaban dunia. Pembelajaran dirancang oleh guru, pengalaman belajar
didasarkan pada latar belakang sosiokultural dan kemampuan. Selain itu,
kurikulum itu jaga diarahkan untk mencapai delapan standar yaitu standar
nasional yang mencakup standar isi, proses dan kompetensi. Setidaknya ini
DP 21 Laporan Penelitian | 33
standar kelulusan. Kemudian standar guru, tenaga administrasi, fasilitas,
manajemen, keuangan dan asesmen. Standar-standar itu digunakan untuk
meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan dan kebutuhan dunia
yaitu sumber daya manusia dengan kebutuhan tempat bekerja secara global.
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum 2012 adalah a) pendidkan
berpusat pada peserta didik; b) pendidikan yang interaktif yaitu antara peserta
didik dengan pendidik, peserta didik dengan materi ajar, peserta didik denga
lingkungan sosialnya; c) pendidikan integratif yaitu apa yang diperlukan untuk
dipelajar, hubungan antara berbagai materi terhadap internet; d) Keterlibatan
proses belajar mengajar dalam inquiry-discovery melalui observasi, bertanya,
explorasi, pengalaman, dan asosiasi dan komunikasi; e) dasar-dasar
pembelajaran kolaboratif; f) penggunaan teknologi yang memperkaya proses
belajar mengajar; g) kebutuhan peserta didik; dan h) pendekatan interdisiplin
yang kritis. Standar minimu untuk para lulusan seyidaknya adalah kompetensi
inti, komprtensi dasar, buku tekintuk peserta didik, buku pedoman untuk guru,
pernacanaan pembelajaran dan sebagainya.
Sebagaimana Kurikulum 2004 dan kurikulum 2006, dalam kurikulum ini
juga terdapat dua kompetensi; kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Kompetensi ini mencakup empat ranah yaitu sikap spiritual, sikap sosial,
pengetahuan dan keterampilan. Kompetensi ini kemudian di urai menjadi
kompetenisi dasar.
Secara pedagogis, kurikulum 2013 memilik lima siklus pembelajaran:
1. Observasi: peserta didik memngamati sesuatu (tempat, fenomena sosial/alam,
kegiatan sosial atau dapat juga berupa kunjungan, video, dan atau presentasi
digital lainnya.
2. Bertanya: pertanyaan dimaksudkanuntuk meyakinkan terhadap apa yang
diamati Kegiatan ini dapat dilakukan secra kelompok berpasangan.
3. Eksplorasi/Pengalaman: pada tahapan ini peserta didik diminta untuk
memperhatikan, menciptakan atau mengkonstrusikan konteks yang relevan
dengan apa yang diamatiatau mencari sumber lain,
4. Asosiasi: peserta didik diminta menghubungkan antara fitur-fitur linguistik
DP 21 Laporan Penelitian | 34
sumber-sumber retorika dari hal-hal yang berbeda atau kegistan sosial atau
peristiwa yang diamati.
5. Komunikasi: peserta didik diminta memperagakan tugas yang relevan baik secara
individu maupun berpasangan.
Hilangnya muatan lokal pada Kurikuulm 2006 menyisakan duka bagi
beberapa guru Bahasa Inggris. Di kabupaten Bantul, ada 120 guru Bahasa Inggris
yang bekerja di berbagai Sekolah Dasar. Lima belas di antaranya telah menjadi
penagawi negeri karena mereka dipindahkan ke baik Sekolah Menegah Pertama
(SMP) maupn Sekolah Menengah Atas (SMA). Lima belas lagi mennggu
penemptan posisi lebih lanjut. Sembilan puluh guru masih bekerja paruh waktu
dan masih menunggu penunjukan posisi guru tetap dari peperintah daerah (Solo
Pos, 14 Desember 2013)
Keresahan itu menggelitik peneliti untuk mengadakan survey. Survey
dimaksudkan untuk melihat sejauh mana muatan lokal itu meresahkan tiga guru
bahasa Inggris di dua tempat yaitu dua dari Gunung Kidul dan satu dari Kulon
Progo.
Sita (nama samara) dari Gunung Kidul memiliki enam tahun
berpengalaman sebagai guru paruh waktu di Sekolah Dasar (SD) dan SMP. Dia
begitu sedih mendengar bahwa muatan lokal akan dihilangkan pada Kurikulum
berikut (Kurikulum2013). Dia memdapat tawaran mengajar Bahasa Jawa sebagai
muatan lokal di SMP tempat dia bekerja tetapi dia menolaknya. Dia berpikir tidak
mungkin baginya uuntuk memjadi guru SMP karena untuk memjadi guru tetap
seseornag harus mempunyai 24 jam pelajaran dan harus memiliki sertifikat. Dia
lebih baik mengundurkan diri.
Sarmi (nama samaran) dari Kulon Progo mempunyai pengalaman 13
tahun mengajar di terima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun itu akan
tetapi tidak ditempatkan di SMP sebab sekolah itu sudah kebutuhan guru bahasa
Inggris sudah terpenuhi. Maka dari itu dia ditempatkan di SD dan harus
menempuh pendidikan Pendidikan Duru Sekolah Dasar (PGSD) selama tiga
semester. Walau dia menerima tawaran itu, dia kurang senang, sebenarnya,
DP 21 Laporan Penelitian | 35
karena dia tidak bisa memanfaatkan kemampuan berbahsa Inggrisnya sebagai
pemegang ijazah Strata Satu Pendidikan Bahasa Inggris.
Ratri (nama samaran) dari Gunung Kidul mempunyai pengalaman
mengajar selama sembilan tahun di SD. Dia lulus dari Pendidikan Bahasa Inggris
dan sekarang menjalani PGSD selama tiga semester supaya dapat memjadi guru
SD sebagai guru kelas dan bukan sebagai guru Bahasa Inggris. Dia tidak ingi
pindah dari Sekolah itu karena menyayangkan pengalaman yang sembilan tahun
itu menjadi salah satu pertimbangannya.
DP 21 Laporan Penelitian | 36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Format Penelitian Penelitian yang dilaksanakan di kampung inggris Pare Kediri Jawa Timur
menggunakan basis penelitian lapangan yakni ikhtiar komprehensif dari
peneliti untuk menjelaskan secara rinci fenomena terkait isu penelitian
berdasarkan pada pengamatan langsung dan penelahaan mendalam,
sedangkan pendekatan penelitian adalah deskriptif kualitatif pada fokus
penelitian pendidikan. Arikunto (1998) mengemukakan bahwa penelitian
pendidikan dapat diselenggarakan di sekolah atau lembaga pendidikan,
komunitas, ataupun kelompok tertentu yang memiliki tujuan utamanya adalah
pendidikan. Berkaitan dengan upaya mendapatkan tujuan penelitian, peneliti
menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan penelitian yang akan
dilakukan, Arikunto (1998: 151) menyatakan bahwa sebuah metode
penelitian adalah sebuah cara yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data. Untuk itu peneliti akan menggunakan pendekatan
penelitian deskriptif kualitatif untuk mendapatkan data yang dibutuhkan.
B. Lokasi atau Obyek Penelitian
Lokus penelitian lapangan berfokus pada empat lembaga kursus bahasa
Inggris yang berlokasi di Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri
yaitu Lembaga Basic English Couse (BEC), Effective English Conversation Course
(EECC), MAHESA Institute, dan Future English Education Center.
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan
Peneliti mempertimbangkan subyek penelitian yang terdiri dari populasi
dan sample. Arikunto (1998: 115) mengatakan bahwa populasi adalah
DP 21 Laporan Penelitian | 37
keseluruhan subyek penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah lembaga –
lembaga kursus bahasa inggris di pare kediri jawa timur. Pemilihan populasi
ini didasarkan atas pertimbangan bahwa lokasi tersebut sudah sangat
terkenal mampu membuat siswanya menguasai bahasa inggris dalam waktu
yang relatif singkat.
Sample adalah bagian dari populasi yang diteliti (Arikunto, 1998: 118),
dalam penelitian ini jumlah sample yang diteliti adalah empat lembaga
pendidikan kursus bahasa inggris yaitu lembaga kursus bahasa inggris yaitu
Lembaga Basic English Couse (BEC), Effective English Conversation Course
(EECC), MAHESA Institute, dan Future English Education Center. Pemilihan
empat lembaga kursus ini dilakukan secara sengaja oleh peneliti berdasarkan
riset pendahuluan dan fakta-fakta lapangan. Pertimbangan pemilihan ada dua,
yakni berdasarkan profil lembaga kursus yang telah berpengalaman lebih dari
sepuluh tahun dan telah meluluskan banyak alumni, serta pertimbangan
bahwa empat lembaga ini masih eksis disaat pandemic Covid19 melanda
khususnya di kampong Inggris Pare Kediri.
D. Definisi Operasional Konsep atau Variabel
Konsepsi definisi operasional variabel dalam penelitian telah dikenalkan
oleh para ahli metodologi penelitian, menurut Sugiyono (2015, h.38) definisi
operasional adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek atau kegiatan
yang memiliki variasi tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Definisi variable penelitian
dirumuskan untuk menghindari kesesatan dalam mengumpulkan data. Dalam
penelitian ini, definisi operasional variabelnya adalah Metode Pembelajaran
yakni teknis atau strategi tertentu yang digunakan untuk menyampaikan
bahan pelajaran secara terencana, jadi dalam penelitian ini mengggali hal-
ihwal tentang metode pmebalajaran yang terdapat di lembaga-lembaga kursus
Bahasa Inggris di Kampung Pare Kediri serta aspek-aspek terkait dengan
metode pembelajaran.
DP 21 Laporan Penelitian | 38
E. Jenis, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terkatagori sebagai data
kualitatif, yaitu data verbal deskriptif mengenai objek penelitian yang dihasil
peneliti selama melakukan tinjauan lapangan. Beberapa data kualitatif
tersebut adalah gambaran umum lokasi penelitian, profil lembaga kursus
bahasa inggris, kurikulum kursus, metode pembelajaran, dan setting
lingkungan kursus bahasa inggris.
Sumber data merupakan penjelasan darimana data diperoleh, dalam
penelitian ini sumber data ada dua, yakni pertama data primer yang peneliti
peroleh dari hasil tinjauan lapangan dari sumber-sumber terpercaya, kedua
data sekunder yang peneliti dapatkan sebagai penunjang data primer.
Peneliti ini menggunakan instrument teknik pengumpulan data untuk
mendapatkan data yang tepat. Menurut Arikunto (2005: 134) instrument
penelitian adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dan
mendapatkan hasil yang terbaik. Dalam pengumpulan data, peneliti
menggunakan teknik alat observasi lapangan secara langsung dengan dibantu
alat dokumentasi berupa foto atau video recorder.
Selanjutnya, dalam melaksanakan tahapan-tahapan tersebut, peneliti
menggunakan beberapa teknik sebagai berikut.
1) Observasi
Pada tahap ini tingkat partisipasi peneliti dalam penelitian ini bergerak
dari tingkat pastisipasi pasif ke tingkat partisipasi moderat. Adapun
aspek-aspek yang diobservasi meliputi seluruh peristiwa yang
berhubungan dengan pembelajaran/pendidikan yang dipraktikkan di
kampong inggris.
2) Wawancara Intensif
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak
terstruktur dan wawancara terstruktur. Pada tahap awal peneliti
menggunakan wawancara tidak terstruktur karena pada tahapan ini
memiliki tujuan untuk mendapatkan pemahaman umum menganai suatu
DP 21 Laporan Penelitian | 39
topik. Pada tahap selanjutnya, wawancara yang digunakan adalah
terstruktur dengan maksud untuk memfokuskan pada topik-topik
tertentu sesuai dengan permasalahan. Demikian juga pada wawancara
terstruktur ini peneliti menggunakan pedoman wawancara dengan
maksud untuk lebih mengarahkan pada fokus utama dalam penelitian
tersebut.
3) Dokumentasi
Dokumentasi yang dikaji dalam penelitian ini meliputi dokumen tertulis
yang berhubungan dengan masalah penelitian disamping catatan-catatan
lain yang dapat menambah data yang diperlukan dalam penelitian ini
seperti buku-buku ajar/modul, struktur kurikulum, hasil evaluasi
pembelajaran, dan lain-lain.
F. Analisis Data Penganalisasian data dalam penelitian ini, secara garis besar merangkum
beberapa mekanisme yang digunakan oleh para pakar penelitian seperti,
Moleong (2001:103) dan Nasution (1996:126-129). Adapun mekanisme
tersebut sebagaimana tergambar pada langkah-langkah sebagai berikut :
1. Membaca dengan cermat dan mempelajari data yang terkumpul serta
menganalisa pola-pola yang menarik dan menonjol.
2. Menyelidiki hubungan diantara data yang peneliti dapatkan, apakah
terdapat persamaan atau justru kontradiksi dalam pandangan
berbagai responden.
3. Sambil membaca, peneliti berusaha mengajukan pertanyaan kepada
data, sebagaimana pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk
mendapatkan kesimpulan-kesimpulan.
4. Menyelidiki berbagai makna istilah yang dikemukakan oleh para
responden, dalam upaya menemukan satu persepsi yang akomodatif.
5. Langkah selanjutnya adalah peneliti berupaya mencari hubungan
antara konsep - konsep dalam usaha untuk mengembangkan suatu
teori.
DP 21 Laporan Penelitian | 40
BAB IV
SETTING WILAYAH PENELITIAN
A. Gambaran Umum
Kampung Inggris merupakan istilah yang pertama kali dipopulerkan
oleh wartawan yang secara kebetulan singgah dan melakukan peliputan
terhadap masyarakat di daerah Pare Kediri1, penggunaan diksi Kampung
Inggris diilhami karena di kampung tersebut banyak lembaga kursus
Bahasa Inggris. Penyebutan kampung Inggris akhirnya seperti disetujui
oleh masyarakat setempat pada awal-awalnya, dan dikemudian hari
penyebutan kampung inggris menjadi sebutan resmi bagi masyarakat.
Lokus penelitian lapangan berfokus pada empat lembaga kursus bahasa
Inggris yang berlokasi di Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten
Kediri yang merupakan daerah awal mula penyematan nama kampung
Inggris serta desa yang paling banyak memiliki keberadaan lembaga
kursus Bahasa Inggris.
Desa Tulungrejo adalah satu diantara sepuluh desa/kelurahan yang
terletak di Kecamatan Pare, secara administrasif memiliki 88 RT, 22 RW,
dan 5 Dusun yang menduduki luasan wilayah 532,80 ha. Batas Wilayah
Desa Tulungrejo diantaranya sebelah utara adalah Desa Bringin
Kecamatan Badas, Sebelah selatan adalah Desa Gedangsewu Kecamatan
Pare, dan sebelah timur adalah Desa Lamong Kecamatan Badas. Desa
Tulungrejo yang popular karena sebutan kampong Inggis ini berdasarkan
Laporan BPS dalam Kecamatan Pare Dalam Angka 2019, dihuni oleh
16.840 penduduk/jiwa. Desa Tulungrejo secara geografis mudah
ditemukan di Kecamatan Pare, karena Desa ini hanya berjarak 3km dari
pusat kota Kecamatan Kare, lebih lagi keberadaa desa Tulungrejo sangat
1 Hasil Wawancara dengan Mr.Taufiq, Tim Manajemen FEE Center Kampung Inggris
DP 21 Laporan Penelitian | 41
populer bagi masyarakat.
Gambar Peta Kampung Inggris
Kampung Inggris Desa Tulungrejo, Kec.Pare, Kab.Kediri
Table Data Kependudukan
Kampung Inggris Desa Tulungrejo, Kec.Pare, Kab.Kediri
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 9.407
2 Perempuan 9.242
Total 18 649
Sumber: Pare dalam Angka 2019
Keberadaan kampung inggris di desa Tulungrejo relatif padat dari
sisi permukiman, lebih-lebih setiap tahunnya masyarakat dari luar daerah
banyak berdatangan untuk menjadi peserta diberbagai Lembaga kursus
Bahasa inggris. Pendatang musiman yang belajar bahasa inggris di
lembaga kursus bahasa inggris kampung inggris Pare Kediri berjumlah
ribuan dalam kondisi normal, hal ini membuat padat dan dinamis secara
kependudukan.
DP 21 Laporan Penelitian | 42
B. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat
Kampung inggris di Desa Tulungrejo lebih mirip situasi sosial di
pinggiran kota, permukiman padat, banyak tempat-tempat usaha
masyarakat rumahan, bahkan suasana khas tempat-tempat nongkrong
anak-anak muda berupa angkringan atau coffeeshop marak ditemukan.
Kehadiran konsep kampung inggris membawa transformasi sosial,
ekonomi, dan budaya bagi masyarakat Desa Tulungrejo, jika sebelumnya
mayoritas masyarakat perprofesi sebagai petani dan hidup ala kadarnya,
setelah banyak Lembaga kursus Bahasa Inggris dan desa dinobatkan
sebagai kampung inggris, kehidupan masyarakat mengalami peningkatan
social dan ekonomi. Dampak positif yang dinikmati masyarakat dari
komunitas kampung inggris, mengerek laju pertumbuhan pembangunan
desa.
Berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa Tulungrejo,
tercatat di desa ini ada beberapa Lembaga Pendidikan baik formal
maupun non formal. Lembaga Pendidikan formal mulai Sekolah Dasar
sampai Sekolah Menengah Atas/Kejuruan, bahkan perguruan tinggi ada di
desa Tulungrejo, artinya secara Pendidikan desa Tulungrejo termasuk
desa maju. Sedangkan Lembaga Pendidikan non formal didominasi oleh
Lembaga Kursus Bahasa Inggris, kemudian kursus computer, menjahit,
dll.
Data Lembaga Pendidikan
Kampung Inggris Desa Tulungrejo, Kec.Pare, Kab.Kediri
No Lembaga Pendidikan Status
Jumlah Negeri Swasta
1 Sekolah Dasar/MI 2 4 6
2 SMP/MTs 1 2 3
3 SMA/SMK/MA 1 5 6
4 Perguruan Tinggi - 1 1
DP 21 Laporan Penelitian | 43
5 Lembaga Kursus - 104 104
6 Pondok Pesantren - 3 3
Jumlah 4 119 123
Sumber: diolah dari Pare Dalam Angka 2019
Memiliki lembaga pendidikan sejumlah 123 lembaga bagi sebuah
desa adalah hal yang istimewa, ini dapat dinilai sebagai sebuah kemajuan
dari sisi sosial pendidikan, budaya dan ekonomi, karena keberadaan
lembaga-lembaga pendidikan itu mampu meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia, derajat sosial masyarakat, serta menggerakkan
ekonomi masyarakat. Terkait dengan isu penelitian yang diangkat,
menyorot tentang keberadaan lembaga bimbingan belajar atau kursus,
dapat diidentifikasi bahwa dari 104 lembaga kursus yang berada di
kampung inggris desa Tulungrejo, mayoritas adalah lembaga bimbingan
belajar bahasa asing khususnya bahasa inggris, sisanya lembaga kursus di
bidang komputer, menjahit dan kecantikan.
Data Lembaga Kursus/Bimbingan Belajar
Kampung Inggris Desa Tulungrejo, Kec.Pare, Kab.Kediri
No Jenis Kursus Jumlah
1 Bahasa Asing 98
2 Komputer 2
3 Menjahit 2
4 Kecantikan 2
Jumlah 104
Sumber: diolah dari Pare Dalam Angka 2019
Data yang ditunjukkan tabel di atas memperlihatkan jumlah lembaga
kursus bahasa asing berjumlah 98 lembaga, lembaga kursus komputer
berjumlah 2 lembaga, lembaga kursus menjahit berjumlah 2 lembaga, dan
lembaga kursus kecantikan berjumlah 2 lembaga. Keberadaan lembaga-
DP 21 Laporan Penelitian | 44
lembaga kursus ini semakin meneguhkan bahwa Desa Tulungrejo sebagai
kawasan pendidikan non formal memperoleh perhatian masyarakat
secara luas.
Bidang ekonomi, kampung inggris Desa Tulungrejo berdasarkan
Pare dalam Angka 2019 memiliki beberapa pasar sebagai pusat
perdagangan, diantara sepuluh desa dikawasan kecamatan Pare hanya
tiga desa saja yang memiliki pasar. Bahkan berdasarkan wawancara
dengan ketua paguyuban pedagang, praktik transaksi jual beli yang
dilakukan pedagang setempat dengan beberapa peserta kursus bahasa
inggris sering kali menggunakan bahasa komunikasi bahasa Inggris.
Kemampuan berbahasa inggris para pedagang ini dibenarkan oleh ketua
Forum Lembaga Kursus Bahasa Inggris, bahkan Forum memberikan
beasiswa belajar bahasa Inggris bagi para pedagang dan pelaku ekonomi
di lingkungan kampung Inggris.
Geliat ekonomi juga ditunjukkan dengan banyaknya pertokoan di
lingkungan kampung inggris, keberadaan peserta kursus yang mencapai
ribuan dalam kondisi normal, meningkatkan kebutuhan sehari-hari yang
diperjual-belikan. Pertokoan paling banyak adalah warung makan minum
berjumlah 437, disusul toko/warung kelontong 127, minimarket modern
sebanyak 10, dan restoran berjumlah 3. Pertokoan-pertokoan tersebut
muncul seiring dengan kemunculan dan semakin berkembangnya
kampung Inggris. Bahkan berdasarkan pengakuan masyarakat pelaku
ekonomi di kampung Inggris, keberadaan identitas kampung inggris turut
mengerek harga jual beli tanah dan ada beberapa pergeseran
pemanfaatan tanah dari pertanian ke non-pertanian.
Tabel Unit Usaha Ekonomi
Kampung Inggris Desa Tulungrejo, Kec.Pare, Kab.Kediri
No Jenis Usaha Ekonomi Jumlah
1 Pasar Permanen 1
2 Pasar Semi Permanen 1
DP 21 Laporan Penelitian | 45
3 Pasar tanpa bangunan 1
4 Warung makan minum 437
5 Toko/warung kelontong 127
6 Minimarket 10
7 Restoran 3
Jumalah 580
Sumber: diolah dari Pare Dalam Angka 2019
Kondisi faktual perekonomian di kampung inggis desa Tulungrejo
juga ditunjukkan adanya hotel berjumlah 3 unit, ini merupakan jumlah
terbanyak di kecamatan Pare desa yang terdapat hotel, apalagi di pusat
kecamatan Pare yakni Desa/Kelurahan Pare hanya terdapat 1 hotel.
Keberadaan hotel di desa tulungrejo sebagai kampung inggris adalah
bentuk peluang bisnis dari banyaknya peserta kursus bahasa Inggris atau
sekedar wisatawan yang penasaran dengan keberadaan kampung inggris.
Disamping hotel, masuknya peserta kursus dari beragam daerah, ternyata
juga dibaca sebagai peluang berbisnis tempat karaoke atau diskotik,
keberadaan karaoke atau diskotik ini tentu membawa dampak negatif
pada budaya masyarakat yang sebelumnya tidak ada, yakni kebiasaan
sebagian orang untuk dugem atau mencari hiburan di diskotik atau
tempat karaoke.
Masyarakat asli kampung inggris di desa Tulungrejo, dalam
perkembangannya juga disuguhi kebiasaan nongkrong atau duduk-duduk
di warung atau kafe oleh pendatang, dan sekarang kebiasaan ini telah
terinternalisasi di kebiasaan masyarakat kampung inggris. Kebiasaan
nongkrong, oleh sebagian peserta kursus dimanfaatkan untuk wahana
praktik berbahasa inggris dalam perbincangan atau obrolan mereka.
DP 21 Laporan Penelitian | 46
BAB V
HASIL TEMUAN
A. Profil Lembaga Kursus Bahasa Inggris
Penelitian lapangan mengkaji secara mendalam empat lembaga
kursus bahasa inggris di kampung inggris desa Tulungrejo, Kecamatan
Pare, yaitu Lembaga Basic English Couse (BEC), Effective English
Conversation Course (EECC), MAHESA Institute, dan Future English
Education Center. Peneliti turun ke lapangan penelitian pada tanggal 24-
30 Agustus 2020, pada masa itu masih ada pandemi Covid19 termasuk
memiliki dampak terhadap lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris di
kampung Inggris, banyak lembaga kursus bahasa Inggris tidak
beroperasi/tutup sejak pandemi Covid19 pada bulan Maret 2020. Dari
empat lembaga kursus yang peneliti dalami, hanya lembaga EECC yang
berstatus masih tutup/tidak beroperasi dan baru akan mulai beroperasi
pada bulan September 2020, sedangnya ketiga lembaga kursus lainnya
telah beroperasi dan melayani proses pendidikan bahasa inggris kepada
peserta didiknya.
Profil lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris peneliti uraikan
sebagai berikut:
1. Basic English Couse (BEC)
BEC merupakan lembaga kursus bahasa inggris pioner di kampung
Inggris, pendirinya Mr.Kalend Oseng resmi menginisiasi nama Basic
English Couse pada tanggal 15 Juni 1977, tanggal itu setiap tahunnya
diperingati sebagai hari ulang tahun BEC. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Mr.Kalend, sebenarnya kiprah mengajar bahasa
inggris dilakukannya sebelum tanggal 15 Juni 1977 dimulai dari teras
masjid. Keberhasilannya mengajari bahasa Inggris pada beberapa
pemuda di tahun 1977, secara cepat menyebar di masyarakat sehingga
Mr.Kalend selalu kedatangan orang-orang yang ingin belajar bahasa
DP 21 Laporan Penelitian | 47
Inggris.
Dari sisi bisnis, BEC dapat dikatagorikan sebagai bisnis keluarga
karena tim manajemen dilakoni oleh keluarga besar Mr.Kalend,
sedangkan tim pengajar diambil dari SDM lulusan BEC yang telah
mengikuti master program. BEC sejak berdirinya sampai sekarang
telah meluluskan ribuan alumni yang bekerja di dalam dan luar negeri.
Lahan yang dijadikan kampus BEC merupakan tanah hibah dari
mertua angkat Mr.Kalend seluas 3025m2 yang sekarang terlihat
berdiri megah bangunannya.
Fasilitas di BEC sarana-prasaranya cukup lengkap, mulai dari
kelas-kelas dengan setting small class, aula, tempat ibadah, kantor,
beberapa miniatur tempat wisata, dan lahan parkir. SDM pengajar di
BEC dipilih secara ketat dari alumni-alumni BEC, dan dalam
menjalankan program pengajaran kursus bahasa inggris selalu
mendapat evaluasi dan peningkatan kemampuan secara
berkelanjutan, ini diyakini oleh tim manajemen BEC sebagai ikhtiar
untuk menjaga kualitas pengajaran yang dilakukan oleh para
tutor/pengajar.
BEC telah memperoleh legalitas sebagai lembaga kursus bahasa
inggris dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Nomor
Surat Keputusan. 421.91/562/418.47/2011 dan Nomor Induk
Lembaga Kursus 05109.1.0079, jadi secara hokum BEC telah diakui
oleh Negara. BEC beralamat di Jalan Anyelir No.08 RT.01, RW.XII, Desa
Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
2. Effective English Conversation Course (EECC)
EECC merupakan lembaga kursus bahasa Inggris yang berdiri sejak
tahun 1992, pendirian EECC tidak lepas dari dorongan Mr.Kalend.
Pendiri EECC adalah alumni BEC sekaligus tenaga turor di BEC
bernama Mr.Nur Akhlis (Almarhum), sekarang kepemimpinan
manajemen di EECC diteruskan istrinya Mrs. Lilik Sosiowati.
DP 21 Laporan Penelitian | 48
EECC beralamat di Jalan Flamboyan Nomor 109, Desa Tungrejo,
Kecamatan Pare, Kabupaten Madiun. Lembaga kursus EECC telah
mendapatkan legalitas dari pemerintah dengan nomor Ijin Pendidikan
nasional No. 421.9/218/418.47/2015, meskipun EECC berdiri pada
1992 namun legalitasnya baru diurus pada tahun 2015. Nomor Induk
Lembaga Kursus EECC adalah 05109.4.1.0068.09, EECC merupakan
cabang BEC yang pertama, atau dengan kata lain keberadaan EECC
secara kurikulum, system pendidikan, dan kebijakan lembaga
mengikuti BEC.
3. MAHESA Institute
Mahesa (Mahir Bahasa) Institute adalah lembaga kursus bahasa
inggris yang berdiri pada tanggal 28 September 1998 di
perkampungan bahasa inggris Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare,
Kabupaten Kediri. Lembaga ini telah memperoleh izin dari Dinas
Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kediri dengan Nomor SK
421.9/532/418.47/2014, sedangkan untuk akreditasi telah
dinyatakan terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan
Non Formal (BAN-PNF) No. KP.3506 00001 1 2015.
Mahesa Institute berada di bawah naungan Yayasan Mahir Bahasa
(MAHESA) yang juga memiliki semangat arti Maha Esa, yayasan
Mahesa memiliki akta notaris Enita SH. No.99 tanggal 15 Mei 2013,
terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM RI Nomor AHU-
4635.AH.01.04.2013. Sebagai lembaga kursus bahasa inggris, Mahesa
Institute telah banyak memiliki alumni yang tersebar di seluruh
Indonesia berjumlah ribuan.
Visi dari Mahesa Institute adalah mempersiapkan generasi muda
dalam kapasitas kemampuan untuk menyongsong estafet
pembangunan antar generasi, sedangkan misinya ada tiga yaitu, (1)
Mengembangkan sumber daya manusia yang mahir berkomunikasi di
tingkat nasional, regional, dan internasional, (2) mengembangkan
DP 21 Laporan Penelitian | 49
potensi keilmuan, kreatifitas, dan kepedulian sosial, (3)
menumbuhkan jiwa kemandirian dan wirausaha.
Selain menyelenggarakan kursus bahasa inggris bagi peserta di
kampung inggris Desa Tulungrejo, Kecamatan pare, Kabupaten Kediri,
Mahesa Institute juga mengembangkan kerjasama dengan instansi-
instansi dalam dan luar negeri dalam bentuk kemitraan pendidikan
bahasa inggris yang bisa dilaksanakan di kampung inggris maupun
diluar kampung inggris.
4. Future English Education Center (FEE Center)
FEE Center merupakan lembaga kursus bahasa inggris yang
mengusung platform pendidikan fun learning, disini konsepnya adalah
berbasis boarding school yang mirip dengan pesantren/sekolah
berasrama. Kegiatan yang dilakukan selain kecakapan berbahasa
inggris, peserta didiknya juga ditanamkan nilai-nilai karakter mulia
(character building), dan pembiasaan ibadah sesuai agama.
FEE Center dipimpin oleh seorang alumni BEC yang telah
menempuh pendidikan di Negara Jepang bernama Mr. Abdul Malik,
eksistensi FEE Center memadukan konsep belajar bahasa inggris yang
awalmula diajarkan oleh Mr.Kalend yang selanjutnya dikembangkan
sendiri oleh pemiliknya berdasarkan pengalamannya belajar di
Jepang. FEE Center banyak menjalin kerjasama penyelenggaraan
kursus bahasa Inggris dengan instansi dalam dan luar negeri.
B. Kurikulum Pembelajaran
Kurikulum merupakan bahan belajar yang disusun secara sistematis
untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dalam konsep kurikulum
lembaga kursus bahasa inggris, berikut disajikan hasil kajian lapangan
terhadap empat lembaga kursus yang menjadi objek penelitian.
1. Basic English Couse (BEC)
1.1. Candidate Training Class (CTC) Program
DP 21 Laporan Penelitian | 50
CTC Program, merupakan program kelas awal yang sifatnya wajib diikuti oleh peserta kursus di BEC. Apapun latar pendidikan peserta kursus yang bersangkutan, wajib melalui tahapan belajar di CTC Program. Program ini berdurasi selama 3 bulan, dengan target peserta sudah mampu memeiliki keterampilan dasar dalam percakapan dan gramatikal bahasa Inggris. Materi kurikulum utama CTC Program adalah: a. EIU (English In Use) b. Grammar: 16 Tenses, Pronoun, Conditional Sentence, No-Any,
Modal Auxiliary, Question Tag, Passive Voice, Direct Indirect,
Degrees of Comparison c. Hafalan New Concept English (No 1-15) Materi kurikulum tambahan :
a. Speaking and Pronunciation
b. Grammar and Structure
c. Vocabulary
1.2. Training Class (TC)
Kelas TC ini dirancang sebagai kelanjutan dari CTC Program,
maka kurikulumnya merupakan pengembangan dan kelanjutan
dari program sebelumnya. Peserta kursus yang telah lulus CTC
dan ingin melanjutkan belajar bahasa Inggris, maka dimasukkan
dalam katagori TC. Sebagai kelas yang lebih tinggi dibanding CTC,
maka peserta kursus TC dalam pembelajaran maupun kehidupan
sehari-hari diwajibkan menggunakan bahasa Inggris selama
mengikuti program tiga bulan.
Materi kurikulum utama TC adalah:
a. EIU (English In Use): Discuss, Daily Conversation
b. Grammar: Relative Pronoun, Gerund , Elliptical Structure,
Causative Form
c. Listening and Describing Picture:
Melatih pendengan kita dari CD/kaset dengan mengisi soal-
soal yang tersedia dan praktek bercerita gambar yang
tersedia ke depan kelas.
DP 21 Laporan Penelitian | 51
d. New Concept English:
Menghafalkan, merangkum cerita dari No. 16 sampai 30
e. Dictation Program:
Mengerjakan soal-soal terjemah Bahasa Indonesia ke Bahasa
Inggris
1.3. Mastering System (MS)
Mastering System merupakan program yang dirancang untuk peserta kursus yang telah lulus program CTC dan TC. Tujuan program MS adalah membentuk pendewasaan pola fikir bagi peserta kursus dan aktif mengaplikasikan bahasa Inggris. Durasi pelaksanaan selama 3 bulan dengan pembagian, dua bulan pertama adalah teori dan praktik di kampung Inggris, sedang satu bulan terakhir adalah praktik mengajar di lembaga-lembaga yang telah bekerjasama dengan BEC. Materi kurikulum MS adalah:
a. Grammar: 16 tenses, Question Words, Conditional Sentences, Passive Voice, Reported Speech, Degrees of Comparison, Speaking, Semantics, Toefl, ect, and Linguistics: Phonology, Morphology, Syntax.
b. Structure: Main Verbs, Logical Conclusion, Past Custom, Advisability, Negative Imperative, Causatives, Factual Conditional, Contrary to Fact Conditionals, Subjunctive, Prepositions, Conjunctions, Adverbs, Point of View ,Agreement , Apparel Structure, Word Choice.
c. Teaching Methods, Handling of Study Club and Speaking, Education Psychology, Problem of Teaching, Micro teaching, How to teach English, How to be a good teacher, How to make syllabus and lesson plan, Management of conflict, Knowing ourselves
2. Effective English Conversation Course (EECC)
EECC memiliki kurikulum yang ringkas, pada program regular yang
berdurasi tiga bulan, materi kurikulum utamanya adalah Speaking,
Pronounciation and Listening, Grammar and reading, writing and
vacabulary. Disamping program regular, EECC juga menyelenggarakan
program Holiday, Privat, dan Pre-TOEFL, untuk program Holiday dan
Privat, materi kurikulum disesuaikan dengan permintaan/kebutuhan
DP 21 Laporan Penelitian | 52
peserta kursus. Guna mendukung pembelajaran, maka disusun
modul/bahan ajar sebagai pegangan peserta kursus dalam mengikuti
pembelajaran.
3. MAHESA Institute
Mahesa Institute memiliki 27 program dengan rancangan kurikulum
sebagai berikut:
3.1. Speaking Introduction
Program dengan durasi dua minggu, materi pokok meliputi ;
Greeting and farewell, introduction, alphabet, let’s tell our class,
number, describing object, telling time, i like it, family, and
relative.
3.2. Speaking Intermediate
Program dengan durasi dua minggu, materi pokok meliputi ;
Daily activity, telephone conversation, telling story from picture,
direction, how to describe a process, describing person, invitation,
what did you do yesterday, advice and suggestion, future plan,
reading passage.
3.3. Speaking Advance
Program dengan durasi dua minggu, materi pokok meliputi ;
classroom expression, how far do you pass a brick your dude,
questionnare, cross culture understanding, chained story, open
plot story, the mother day, discuss abaout tv, men and women are
from different planet, phoenic symbol, verbal idiom, and listening
skill.
3.4. Speaking 1
Program dengan durasi satu bulan materi pokok meliputi ;
Greeting and farewell, introduction, alphabet, describing class
room, number, describing an object, telling time, i like it, daily
activity, telephone conversation, telling story from picture,
direction, etc.
DP 21 Laporan Penelitian | 53
3.5. Grammar
Program penguasaan grammar yang mempelajari secara tuntas
grammar dalam beberapa tahap pembelajaran, dengan rata-rata
durasi belajar selama dua minggu.
• Grammar Introduction
• Grammar Intermediate
• Grammar Advance
• Grammar 1
• Grammar 2
3.6. Translation
Program yang melayani peserta kursus yang ingin mahir dalam
penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, dengan
menggunakan pemilihan kata yang tepat dan mengidentifikasi
beberapa conjuction yang tidak tambak dalam sebuah kalimat,
durasi pemebalajaran selama dua minggu.
3.7. Academic IELTS
Program yang dirancang untuk mempersiapkan peserta kursus
agar mampu menganalisa dan menjawab soal IELTS, dengan
fokus kurikulum pada listening skill, reading skill, writing skill,
dan speaking skill. Durasi pelaksanaan program selama satu
bulan dengan 60 kali tatap muka intens.
3.8. Vocabulary 1 dan Vocabulary 2
Program yang dirancang untuk memberi kemampuan
penguasaan vocabulary dan selanjutnya mampu
mempraktikkan penggunaannya dalam kehidupan sehari hari,
durasi program masing-masing selama dua minggu.
3.9. General English Course (GEC)
• Speaking • Grammar • Translation • Listening • Pronunciation
DP 21 Laporan Penelitian | 54
• Public speaking • Teaching • Tourism Guide
4. Future English Education Center (FEE Center)
FEE Center memiliki peserta kursus yang beragam, namun fokus
kurikulumnya dirancang dalam memenuhi skil berbahasa inggris
(Speaking, Grammar, dan Listening), pembangunan karakter, dan
pembiasaan ibadah sesuai agama peserta kursus.
C. Metode Pembelajaran
Pelaksanaan pendidikan di empat lembaga kursus yaitu, BEC, EECC,
Mahesa Institute, dan FEE Center hampir sama secara konsep
pembelajaran. Pembelajaran sebelum dimulai selalu dilakukan placement
test untuk pemetaan pengelompokan kelas peserta, saat memasuki tahap
pembelajaran, menggunakan konsep kelas kecil dengan pendekatan fun
learning dengan memperbanyak praktik dari teori yang telah
disampaikan.
D. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran dari keempat lembaga kursus juga relatif sama,
dengan menggunakan pendekatan evaluasi langsung peserta kursus oleh
tutor, mingguan, bulanan, dan akhir program.
E. Lingkungan Pembelajaran
Kesuksesan pelaksanaan kursus bahasa Inggris di empat lembaga juga
ditunjang dengan penciptaan lingkungan pembelajaran di kelas, luar
kelas, maupun tempat hunian yang semuanya sangat mendukung praktik
penggunaan bahasa inggris.
DP 21 Laporan Penelitian | 55
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran bahsa Inggris di Pare beraneka ragam sesuai selera
pengembang dan atau pemilik lembaga itu, Satu bukti bahwa ada lembaga
yang mengembangkan proses belajar- mengajarnya setelahpengembang itu
belajar di Jepang. Banyak pula sebenarnya lembaga-lambaga kursus yang
beersal dari satu orang tokoh dan kemudian mendidirkan lembaga itu sendiri.
Banyak pula peminat meneliti apa yang terjadi di Kampung Inggris Pare, yang
tidak saja meneliti pembekajaran bahasa Ingrrisnya, akan tetapi ad peneliti
yang memnghsilkan telitian dari bidang lain seperti bidang Pertanahan, dari
bidang income para penjual makanan di sekitar kampung Inggris.
B. Rekomendasi
Pembelajaran bahasa Inggris di Pare sekiranya perlu mengembangkan
sistem Learner-centred agar dapat mengikuti perkambangam pengajaran
bahasa Inggris abad 21. Dalam Learner-centered teaching, peserta diberi
kebebasan mencari materi dari manapun mereka suka dan dengan demikian
apa yang di konstruksikan ulang dari sistem itu tercapai dan fungisi guru
sebagai fasilitator terpenuhi.
C. The Proposed Learning Model for STPN
Dari sekian banyak model pembelajaran baik secara teori maupun yang
dipraktekkan di Pare, Kediri, ditemukanlah model pembelajaran yang
diusulkan untuk dilaksanakan di STPN.
1. Untuk dosen dan karyawan
Bagan di bawah adalah sebuah usulan Model Pembelajaran Bahasa
DP 21 Laporan Penelitian | 56
Inggris untuk Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) setelah mengamati,
meneliti Kegiatan Pembelajaran Bahasa Inggris di Kampung Inggris Pare,
Kediri.
Terdapat tiga level di dalamnya. Ketiga level tersebut adalah refresher
course one, (I), refresher course two (II) dan refresher course three (III). Pada
I Rasio 85% di banding 15 % beramakna bahwa pada level I pelajaran
terfokus pada pengetahuan Tata Bahasa dan sebagian besar pembelajaran
dilaksanakan dalam bahasa Indonesia dan 15% untuk penyajian secara lisan
baik berupa latihan pelafalan (pronunciation), maupun sedikit latihan
membaca keras (loud reading) kalimat-kalimat dalam latihan-latihan Tata
Bahasa. Pada tingkat ini pembelajaran terpusat pada pengajar (Teacher-
centered)
Pada level II, Refreser Course Two, perbandingan Oral Activities dan
Pembelajaran Tata Bahasa sama yaitu 50%: 50%. Ini dimaksudkan pada tahap
itu peserta diaharapkan sudah dapat berkomunikasi sederhana dengan
sedikit keselahan Tata Bahasa karena mereka sudah belajar Tata Bahasa pada
level sebelumnya yaitu level I. Pada tingkat ini pembelajaran berpusat pada
pengajar untuk Tata Bahasa (Teacher-centered) dan untuk penyjian oral, misal
penciptaan dialog seperti At the Post Office, dapat diciptaka oleh peserta dan
DP 21 Laporan Penelitian | 57
pengajar memfasilitasi (Learner-centered)
Pada level III (Refresher Course Three) peserta diminta mencari topik
sendiri dan disajikan di depan peserta lainnya sebagimana presentasi dalam
seminar dan kesalahan Tata Bahasa, pelafalan di sana sini dibetulkan setelah
selesia presentasi. Tata Bahasa tidak diajarkan tetapi diberikan pada tiap-tiap
sesi penyajian dalam bentuk koreksi kesalahan karena diasumsikan kesalahan
Tata Bahasa sudah berkurang pada tahap II. Pada tahapan ini betul betul
pembelajaran berpusat pada peserta (learner-centered). Bagan I, II, dan III
adalah untuk para dosen dan karyawan STPN setelah mereka mengikuti
Placement Test untuk memngetahui pada level apa pelatihan yang harus
diikuti.
2. Untuk Mahasiswa
Mahasiswa STPN, terutama yang baru mengenal istilah-istilah agaria dan
pertnahan pertama kali di kampus ini, mereka perlu dibekali dengan kosa kata
agraria dan pertanahan terutama yang terkait dengan mata kuliah ya
diajarkan di kampus, misalnya unting-unting yang bahasa Inggrisnya plumb
bob. Kata itu spesifik dan teknis yang hanay ditemui di kampus-kampus yang
menggunakan alat-alat survei sepeeti Teodolit dan sebagainya. Pembudayaan
pengguanaan kata-kata teknis ini diasumsikan dapat membentuk budaya baca
tulis di kamus ini.
Untuk keperluan itu maka usulan pembelajaran bahasa Inggris di STPN
yaitu melalui tahapan yang dinamakan dengan FIRST THING S FIRST sebagai
berikut.
a. Untuk pengenalan istilah yang terkait suvei
A THEODOLITE AND ITS PARTS
There are three main parts of a Theodolite
The upper part, Middle part, and Lower trip Part
The upper part consists of.............
The middle part consists of.............
DP 21 Laporan Penelitian | 58
The lower part consists of...............
(saya merancang rekaman, baik audio dan visual, ini dengan
dosen yang
terkait dengan alat itu)
A TRIPOD
A tripod is............ It has three pointed sharp ends. They are
called tripod
shoes. (dst)
b. Yang berkaitan denga hukum
What is UUPA in English? It is Basic Agrarian Law (BAL)
What is pasal in English and what is ayat in Enlgish.
Pasal is Article and ayat is paragraph etc.
First Things First artinya apa saja yang harus diketahui pada saat
seseorang mengenal benda dan atau program, kegiatan baru. Dalam catatan
peneliti ini ada beberapa dan bahkan cederung banyak kata- kata yang
membingungkan yang disebut dengan confusing words.
Dalam peralatan survei ada istilah hair yang dlam bahasa sehari-hari
adalah rambut dan pada istilah surveying artinya benang. Begitu pula pada
istilah hukum ada article yang artinya pasal tang dalam bahasa sehar-hari
maknanya naskah, artikel , pun juga ayat yang berarti paragraph, sedangkan
kata iti juga bermakna alenia dalam bidang bahasa. Istilah lain seperti act=
akta, tetapi akta tanah= land deed, parcel= bidang/ persil yang dapat pula
bermakna parsel/bingkisan. Kata –kata itu perlu didaftar dan bekerja sama
dengan para dosen bidang lain agar kampus ini memiliki kekhasan dibanding
dengan kampus lain.
DP 21 Laporan Penelitian | 59
DAFTAR PUSTAKA Braine, George (Ed.) 2005, Teaching English to the world: history, curriculum and
practice, Lawrence Erlbaum Associates, Inc Publisher, New Jersey. Burns, Anne and Jack Richards (Eds) 2012, The Cambridge guide to pedagogy and
practice in second language teaching, Cambridge University Press, Cambridge.
Clark, Irene L 2008, Concepts in composition: theory and practice in the teaching of writing, Lawrence Erlabum Associates, Inc. Publishers, London.
Coleman, Hywel (Ed.) 2014, Tenth International Conference, Language Curriculum and Assessment, Institut Teknologi Bandung, The University of Leeds and British Council, Bandung.
Crystal, David 2003, English as a global language, Second edition, Cambridge University Pres, Cambridge.
De Coursey C.A (Ed.) 2012, Language arts in Asia: literature and drama in English Putonghua and Chinese, Cambridge Scholars Publishing, UK.
Emilia, Emi 2011. Pendekatan genre-based dalam pengajaran bahasa Inggris: petunjuk untuk guru, Risqi Press, Bandung.
Harmer, Jeremy 2002, The practice of English language teaching (Longman handbooks for language teachers), Third Edition, Pearson Education Ltd, New York.
Horning, Alice S 1987, Teaching writing as a second language, Conference on College Composition and Communication, Southern Illinois University Press, Illinois.
Kirkpatrick, Robert 2016, English language education policy in Asia, Springer International Publishing, Switzelrland.
Murcia, Marianne Celce (Ed.) 2001, Teaching English as a second or foreign language (third edition), Heinei & Heinei, a division of Thomsomn learning, United Kingdom.
Mc Key, Sandra Lee 2002, Teaching English as an international language: rethinking goals and approaches, Oxford University Press, Oxford.
Moleong, Lexy J 2001, Metode penelitian kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung. Nasution 1996, Metodologi penelitian naturalistik kualitatif, Tarsito, Bandung. Rahman, M. Farid n.d., Model pembelajaran bahasa Inggris di kampung Inggris
(studi deskriptif model pembelajaran kognitifisme bahasa Inggris pada lembaga kursus LC di Pare, Kabupaten Kediri), Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga.
Sutarsyah, Cucu 2015, Reading theory and practice, Graha Ilmu, Yogyakarta. Wahyu, Aryani 2019, “Ibadah Ibu Membaca Buku”, Solo Pos, 21 Desember 2019. Widdowson, HG 1978, Teaching language as communication, Oxford University
Press, Oxford. Solo Pos, 16 Desember 2006 Solo Pos, 21 Desember 2019
DP 21 Laporan Penelitian | 60
https://www.google.com/search?q=how+many+percent+of+scientific+books+wriiten+in+english&oq=how+many+percent+of+scientific+books+wriiten+in+english&aqs=chrome..69i57.38866j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8.
Kampung%20Inggris%20di%20Lingkup%20Sekolah%20Sebagai%20Prasaran
a%20Alternatif%20Pembelajaran%20Bahasa%20Inggris%20Intensif.pdf file:///C:/Users/user/Downloads/SISTEM%20PEMBELAJARAN%20PONDOK%
20DI%20LEMBAGA%20KURSUS%20BEC%20PARE.pdf