model model pembelajaran untuk pemecahan …

22
1 MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN MASALAH Bambang Suteng Sulasmono Program Magister Manajemen Pendidikan FKIP-UKSW Salatiga [email protected] ABSTRAK Kecakapan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang dipandang penting untuk dikuasai dan dikembangkan oleh para peserta didik. Oleh karena itu terdapat sejumlah model pembelajaran yang dikembangkan dewasa ini bertujuan untuk memfasilitasi proses pembelajaran agar dapat mengembangkan kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah. Pembelajaran untuk memecahkan masalah itu sendiri berakar pada paradigma konstruktivisme, yang menekankan peran peserta didik dalam mengkonstruksi makna selama proses pembelajaran. Beberapa model pembelajaran yang menopang proses pengembangan kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah adalah model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis kasus dan model pemecahan masalah secara kolaboratif. Kata kunci: kecakapan pemecahan masalah, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis kasus dan pemecahan masalah secara kolaboratif ABSTRACT Problem solving skills are seen as important learning outcomes for the learners. Therefore there are a number of model developed which is intended to facilitate the learning process so that learners can develop skills in problem solving. Learning to solve problems are rooted in constructivism, which emphasizes the role of learners in constructing meaning during the learning process. Some learning models that support the development of learners' skills in problem-solving are: problem-based learning model, case-based learning model and collaborative problem solving model. Keywords: problem solving skills, problem-based learning, case-based learning, and collaborative problem solving 1. Pendahuluan Jonassen dan Serrano (2002) menyatakan bahwa kebanyakan model pembelajaran dewasa ini termasuk „anchored instruction‟ dari Cognition and Technology Group at Vanderbilt, belajar berbasis masalah (problem based learning) dari Savery & Duffy, lingkungan belajar terbuka („open-ended learning environments) dari Land & Hannafin, lingkungan belajar konstruktivis dari Jonassen, maupun skenario berbasis tujuan (goal-based scenarios) dari Schank, Fano, Bell dan Jona; semuanya memiliki ciri yang sama yaitu hendak membidik problem solving

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

1

MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN MASALAH

Bambang Suteng Sulasmono

Program Magister Manajemen Pendidikan –FKIP-UKSW Salatiga

[email protected]

ABSTRAK

Kecakapan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang

dipandang penting untuk dikuasai dan dikembangkan oleh para

peserta didik. Oleh karena itu terdapat sejumlah model

pembelajaran yang dikembangkan dewasa ini bertujuan untuk

memfasilitasi proses pembelajaran agar dapat mengembangkan

kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah. Pembelajaran

untuk memecahkan masalah itu sendiri berakar pada paradigma

konstruktivisme, yang menekankan peran peserta didik dalam

mengkonstruksi makna selama proses pembelajaran. Beberapa

model pembelajaran yang menopang proses pengembangan

kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah adalah model

pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis kasus

dan model pemecahan masalah secara kolaboratif.

Kata kunci: kecakapan pemecahan masalah, pembelajaran berbasis masalah,

pembelajaran berbasis kasus dan pemecahan masalah secara

kolaboratif

ABSTRACT Problem solving skills are seen as important learning outcomes for the

learners. Therefore there are a number of model developed which is

intended to facilitate the learning process so that learners can develop

skills in problem solving. Learning to solve problems are rooted in

constructivism, which emphasizes the role of learners in constructing

meaning during the learning process. Some learning models that support

the development of learners' skills in problem-solving are: problem-based

learning model, case-based learning model and collaborative problem

solving model.

Keywords: problem solving skills, problem-based learning, case-based

learning, and collaborative problem solving

1. Pendahuluan

Jonassen dan Serrano (2002) menyatakan bahwa kebanyakan model

pembelajaran dewasa ini termasuk „anchored instruction‟ dari Cognition and

Technology Group at Vanderbilt, belajar berbasis masalah (problem based learning)

dari Savery & Duffy, lingkungan belajar terbuka („open-ended learning environments)

dari Land & Hannafin, lingkungan belajar konstruktivis dari Jonassen, maupun

skenario berbasis tujuan (goal-based scenarios) dari Schank, Fano, Bell dan Jona;

semuanya memiliki ciri yang sama yaitu hendak membidik problem solving

Page 2: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

2

(pemecahan masalah) sebagai hasil belajarnya. Masing masing model itu mendukung

kegiatan belajar bagaimana memecahkan masalah.

Di samping itu Jonassen & Seranno (2002) juga mencatat bahwa akhir-akhir ini

telah terjadi peningkatan perhatian terhadap hasil belajar pemecahan masalah/problem

solving dalam bidang perancangan pembelajaran. Kedua penulis itu juga mengutip

pendapat Merril (2000) yang menyatakan bahwa prinsip pertama (dalam disain

pembelajaran-pen) adalah: pembelajaran harus terjadi dalam konteks pemecahan suatu

masalah.

Berikut akan dikemukakan tiga dari berbagai model pembelajaran yang

memfasilitasi belajar pemecahan masalah yaitu (a) model belajar berbasis masalah

(problem based learning), (b) model belajar berbasis kasus (case-based learning) dan

(c) model pemecahan masalah (secara) kolaboratif (collaborative problem solving).

Namun oleh karena ketiga model itu bertolak dari pijakan paradigma yang sama maka

sebelumnya akan dikemukakan terlebih dulu landasan filosofis ketiga model

pembelajaran tersebut.

2. Landasan Filsafati Pembelajaran untuk Pemecahan Masalah.

Menurut Savery & Duffy (1996) landasan filosofis model belajar berbasis

masalah adalah konstruktivisme. Sementara Riesbeck (1996) menyatakan bahwa model

case-based reasoning (yang merupakan akar dari model belajar berbasis kasus-pen)

memberi daging pada kerangka pikir konstruktivis yang menyatakan bahwa fakta-fakta

dan konsep konsep bukanlah satu sistem kesatuan, melainkan terdistribusi di seluruh

memori. Sedang Nelson (1999) memang tidak secara eksplisit menyebut paradigma

dibalik model pemecahan masalah kolaboratif yang diajukannya, namun karena model

ini sebenarnya merupakan perpaduan dari pembelajaran kooperatif dengan

pembelajaran berbasis masalah maka tak terlalu keliru kiranya jika disimpulkan bahwa

model inipun mempunyai akar filsafati pada konstruktivisme.

Memang konstruktivisme itu sendiri bukanlah sesuatu yang tunggal melainkan

jamak, dalam arti terdiri dari beberapa aliran. Dalam catatan Prawat (1999) ada enam

aliran konstruktivisme yaitu (1) konstruktivisme radikal (konstruktivisme berbasis

skemata), (2) konstruktivisme berbasis teori pemrosesan informasi, (3) konstruktivisme

sosio-kultural, (4) konstruktivisme interaksionalis simbolik, (5) konstruksionisme sosial

(konstruktivisme sosio-psikologikal), dan (6) konstruktivisme sosial berbasis ide (aliran

Page 3: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

3

Dewey). Dua aliran yang disebut terdahulu, menurut Prawat, termasuk kategori

konstruktivisme modern sedang empat aliran sisanya termasuk konstruktivisme pos-

modern.

Perbedaan antara konstruktivisme modern dan pos-modern itu sendiri terletak

pada perbedaan pandangan masing-masing tentang (a) „pemilik‟ pengetahuan, (b)

masalah dualisme pikiran dan dunia, (c) serta proses pembentukan pengetahuan.

Konstruktivisme modern berpendapat bahwa (a) pengetahuan itu milik individu, (b)

pengetahuan akan dengan sendirinya memecahkan masalah dualisme “pikiran-dunia”,

dan (c) pengetahuan adalah hasil sistem penarikan kesimpulan yang sederhana.

Sebaliknya konstruktivisme pos-modern berpendapat (a) pengetahuan merupakan

kekayaan kolektivitas yang terorganisir, (b) masalah dualisme “pikiran-dunia” tidak

dengan sendirinya dipecahkan oleh pengetahuan, dan (c) pengetahuan adalah hasil

konstruksi sosial

Bagaimanapun juga dari keragaman aliran konstruktivisme itu Savery & Duffy

(1996) telah menarik benang merah yang merupakan inti dari filsafat konstruktivisme

yaitu:

1) pemahaman seseorang itu merupakan hasil interaksi antara dirinya dengan

lingkungan; pemahaman seseorang itu merupakan fungsi dari isi bahan

pelajaran, konteks pembelajaran, kegiatan siswa, dan yang paling penting tujuan

siswa.

2) konflik kognitif atau teka-teki adalah stimulus bagi kegiatan belajar dan akan

menentukan organisasi serta sifat dari apa yang dipelajari.

3) pengetahuan terbangun melalui negosiasi sosial dan melalui penilaian atas

viabilitas pengetahuan atau kemampuan bertahan lama dan berkembangnya di

masa depan pemahaman-pemahaman seseorang.

Savery & Duffy juga telah menjabarkan ketiga gagasan pokok di atas ke dalam

8 (delapan) prinsip perancangan dan/atau pembelajaran yang konstruktivistik sebagai

berikut ini.

1) Tempatkan semua kegiatan belajar dalam tugas atau masalah yang lebih

besar. Itu berarti bahwa belajar harus mempunyai tujuan di luar dari yang sekedar

ditugaskan. Tujuan dari setiap kegiatan belajar harus jelas bagi pebelajar. Pebelajar

Page 4: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

4

harus mempunyai tujuan dalam belajar, dan harus melihat pentingnya kegiatan

belajar khusus dalam hubungannya dengan tugas yang lebih besar.

2) Dukunglah pebelajar dalam mengembangkan seluruh masalah atau tugasnya

sendiri. Tujuan-tujuan yang dimiliki oleh pebelajar akan sangat menentukan apa

yang akan dipelajari, sehingga pebelajar harus menentukan sendiri tugas yang

hendak dikerjakan.

3) Rancanglah tugas-tugas yang otentik. Lingkungan belajar yang otentik adalah

lingkungan yang tuntutan berpikirnya konsisten dengan tuntutan kognitif

lingkungan asal dari tugas belajar itu. Diperlukan diskusi dan negosiasi antara

pengajar dan pebelajar untuk mengembangkan masalah atau tugas yang otentik

tuntutan kognitifnya.

4) Rancanglah tugas-tugas dan lingkungan belajar untuk merefleksikan

kompleksitas lingkungan di mana pebelajar harus berfungsi kelak. Pebelajar

harus ditempatkan dalam lingkungan belajar yang kompleks. Hal itu sejalan

dengan teori pemagangan kognitif dan teori kelenturan kognitif, di samping

mencerminkan pentingnya peranan konteks dalam menentukan pemahaman

seseorang terhadap konsep atau prinsip tertentu.

5) Biarkan pebelajar menentukan sendiri proses yang akan digunakan dalam

menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah. Dengan membiarkan

pebelajar mengembangkan prosesnya sendiri dalam memecahkan masalah, maka

mereka telah terlibat dalam berpikir otentik.

6) Rancang lingkungan belajar yang mendukung dan menantang pemikiran

pebelajar. Pemberian kesempatan kepada pebelajar untuk menentukan masalah

dan proses pemecahannya sendiri dimaksudkan agar mereka menjadi pekerja atau

pemikir yang efektif. Dengan demikian hubungan antara pebelajar dengan pengajar

lebih dekat dengan konsep konsep „perancah belajar‟ (learning scaffold) dan

„wilayah perkembangan terdekat‟ (the zone of proximal development) dari

Vygotsky.

7) Doronglah pengujian gagasan melalui gagasan atau pandangan alternatif dan

konteks-konteks alternatif. Konsturktivisme berpandangan bahwa pengetahuan

itu dinegosiasikan secara sosial. Oleh karenanya kualitas atau kedalaman

Page 5: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

5

pemahaman seseorang itu hanya dapat dibangun dan dimantapkan dalam suatu

lingkungan sosial tertentu. Melalui interaksi dalam lingkungan sosial pebelajar

dapat melihat apakah pemahamannya tentang suatu pengetahuan dapat

mengakomodasi isu-isu dan pandangan-pandangan orang lain, dan apakah ada

sudut pandang yang bermanfaat untuk disatukan ke dalam pemahamannya.

8) Sediakan kesempatan dan dukungan agar pebelajar melakukan refleksi baik

tentang materi yang dipelajari maupun proses belajar yang mereka jalani.

Salah satu tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan ketrampilan-

ketrampilan pengaturan diri -menjadi mandiri. Refleksi dapat membantu siswa

mengembangkan kesadaran meta-kognisi, yaitu kesadaran tentang cara belajar dan

apa yang dipelajarinya.

Demikianlah prinsip-prinsip pembelajaran yang bersumber dari filsafat

konstruktivisme. Berikut akan diulas ketiga model belajar/pembelajaran yang dapat

dicandra sebagai bersumber dari filsafat tersebut.

3. Model Belajar Berbasis Masalah (Problem Based Learning).

Pembelajaran berbasis masalah pertama kali berkembang di lingkungan

pendidikan medis/kedokteran untuk menjawab kebutuhan adanya kurikulum yang tidak

terlalu kompetitif dan dapat mendorong siswa agar lebih terlibat dalam pembelajaran,

sehingga tidak terlalu memberi tekanan/stres sebagaimana yang terjadi dalam

kurikulum tradisional. Walaupun mungkin munculnya pendekatan pembelajaran

berbasis masalah lebih dipicu oleh kebutuhan praktis, namun kaijan yang kemudian

berkembang telah menemukan bahwa pembelajaran berbasis masalah memuat banyak

prinsip dalam teori kognitif sekarang ini. Lebih dari itu kini telah berkembang berbagai

upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis masalah ke

pembelajaran bidang studi di luar kedokteran.

Landasan Teoritis Belajar Berbasis Masalah

Landasan teoritis bagi pembelajaran berbasis masalah adalah teori kognitif

tentang belajar. Teori kognitif berpendapat bahwa proses belajar seseorang terjadi

bukan dengan cara menyerap informasi melainkan dengan menafsirkan informasi-

informasi tersebut. Efektivitas belajar bergantung pada proses-proses internal dalam

diri siswa, yang harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Page 6: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

6

Lebih dari itu pandangan terbaru dalam teori kognitif menyatakan bahwa proses

kognisi itu secara fundamental sangat ditentukan oleh situasi (situated cognition).

Artinya, kegiatan pengembangan pengetahuan adalah bagian tak terpisahkan dari apa

yang dipelajari, dan oleh karena itu memisahkan pengetahuan dari konteks di mana

pengetahuan itu digunakan, sama artinya dengan membuang makna dan tujuan belajar

yang ada dalam situasi kehidupan nyata. Dengan mengabaikan watak keterikatan

proses kognisi pada lingkungannya, pendidikan tradisional telah mengingkari tujuannya

sendiri yaitu untuk meningkatkan pengembangan pengetahuan siswa yang kokoh dan

bermanfaat.

Oleh karena itu para pakar strategi belajar kognitif merekomendasikan agar

sebagian besar kurikulum bidang studi di sekolah-sekolah diorganisasikan seputar

masalah-masalah kehidupan nyata yang dapat dipecahkan siswa dalam beberapa hari

atau beberapa minggu. Hal itu dapat dilakukan dengan pembelajaran berbasis masalah.

Pembelajaran berbasis masalah jadinya mengorganisasikan kurikulum di sekitar

persoalan-persoalan yang distrukturkan secara longgar dan para siswa memecahkan

persoalan itu dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari

sejumlah disiplin ilmu.

Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah.

Pembelajaran berbasis masalah menurut Baptise (2003) dilandasi oleh sejumlah

nilai dan asumsi yaitu (a) kerjasama/partnership, (b) kejujuran dan keterbukaan/

honesty and openness, (c) rasa hormat/respect, dan (d) kepercayaan/ trust.

Pembelajaran berbasis masalah dijalankan atas dasar pengakuan pentingnya

kerjasama. Pembelajaran ini mendorong mereka yang terlibat di dalamnya untuk

memandang setiap orang lain dalam kacamata persaudaraan dan kolaborasi serta

menjauhkan gagasan-gagasan berkompetisi. Sejak awal pembelajaran berbasis masalah

juga bersifat terbuka. Struktur pengalaman belajar, mulai dari tugas tugas individual

sampai ke tujuan tujuan kurikuler, semua dapat diketahui secara terbuka oleh siapapun.

Interaksi antar pribadi juga mencerminkan pengutamaan kejujuran dan keterbukaan.

Nilai lain yang juga mendasari pembelajaran berbasis masalah adalah rasa

hormat. Oleh karena sistem belajar diarahkan untuk memelihara integritas maka semua

pihak harus saling menghormati satu sama lain. Rasa hormat itu tercermin dalam

kedisiplinan, tatakrama, pemberian perhatian, pengajuan pertanyaan secara sopan dan

Page 7: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

7

bermakna, dan yang paling penting adalah terlibat dalam proses belajar. Ketika semua

nilai di atas terwujud atau diintergrasikan dalam lingkungan belajar maka kepercayaan

akan mulai tumbuh dan kemudian terbangun dengan kokoh.

Jadi karakteristik pokok dari pembelajaran berbasis masalah adalah (a)

pembelajarannya berpusat kepada siswa, (b) lembaga memainkan peranan sebagai

fasilitator atau penunjuk jalan, (c) masalah atau skenario belajar menjadi landasan,

pusat perhatian dan struktur belajar, dan (d) informasi dan pemahaman baru siswa

diperoleh melalui belajar yang diarahkan sendiri (self directed learning).

Tampak bahwa pembelajaran berbasis masalah memang sejalan dengan

paradigma kontruktivisme yang berpendapat bahwa makna itu dikonstruksi oleh

individu melalui pengalamannya dalam konteks tertentu. Konteks belajar dan kegiatan

pebelajar berdampak pada bagaimana sesuatu itu dipahami, dan oleh karena itu

dipelajari. Melalui konteks pemecahan masalah yang diciptakan, dan juga kegiatan

yang harus dilakukan pebelajar dalam konteks itu, pembelajaran berbasis masalah

berdampak terhadap kegiatan pebelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan

Fokus dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pebelajar sebagai

konstruktor dari pengetahuannya sendiri dalam konteks yang mirip dengan situasi di

mana ia akan menerapkan pengetahuan kelak.

Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah.

Sebagai sebuah model maka ada banyak strategi untuk mengimplementasikan

pembelajaran berbasis masalah. Savery & Duffy (1996) misalnya lebih suka

mengadopsi model Barrow, dalam menjelaskan implementasi pembelajaran berbasis

masalah di lingkungan pendidikan kedokteran. Proses pembelajaran berbasis masalah

di bidang kedokteran mencakup:

(a) penyajian masalah berupa tugas mendiagnosa pasien dan merekomendasikan

penanganannya,

(b) pebelajar kemudian belajar mandiri dengan peluang konsultasi pada pakar,

(c) pertemuan kembali para pebelajar untuk mengevaluasi sumber daya dan

kemudian bekerja menangani masalah dengan tingkat pemahaman baru,

(d) penilaian di akhir proses dilakukan dalam bentuk penilaian diri atau penilaian

teman.

Page 8: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

8

Sedang Borich (1996) dan juga Slavin (2000) mengemukakan teknik IDEAL

yang dikembangkan oleh Bransford & Stein tahun 1993, sebagai teknik pemecahan

masalah. Teknik IDEAL merupakan akronim dari lima langkah pemecahan masalah

dalam proses pembelajaran berbasis masalah yang terdiri dari Identify, Define, Explore,

Act dan Look. Kelima langkah pemecahan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Identifikasi masalah. Pebelajar pertama-tama harus mengetahui apa masalah atau

masalah-masalah yang akan dipecahkannya. Pada tahap ini pebelajar menanyai

dirinya sendiri apakah ia memahami persoalannya dan apakah persoalan itu telah

dinyatakan dengan jelas.

Tentukan batasan-batasan istilah. Pebelajar mencek apakah mereka memahami

makna setiap kata yang terdapat dalam pernyataan masalah.

Mengeksplorasi strategi-strategi. Pebelajar mengumpulkan informasi yang relevan

dan menguji cobakan strategi strategi untuk memecahkan masalah.

Bertindak berdasar strategi. Sesudah para pebelajar mencari berragam pilihan

strategi, mereka kemudian menggunakan salah satu di antaranya.

Meninjau dampak-dampaknya. Di tahap ini pebelajar menanyai diri sendiri

apakah mereka telah mencapai pemecahan masalah yang dapat diterima.

4. Model Belajar/Pembelajaran Berbasis Kasus (Case-Based Learning).

Pembelajaran berbasis kasus (Case-based instruction) menurut Ertmer dkk

(1996) telah lama diterima sebagai metode pengajaran efektif di sekolah sekolah

hukum dan bisnis dan sekarang meningkat penggunaannya dalam bidang profesional

lain seperti kesehatan, ilmu politik, jurnalistik, pendidikan guru, arsitektur, psikologi

dan pengukuran pendidikan, serta desain pembelajaran. Kagan (1993) juga mencatat

terjadinya peningkatan perhatian para peneliti dan pendidik terhadap pemanfaatan

kasus-kasus dalam kelas dalam pendidikan guru selama beberapa tahun terakhir ini.

Landasan Teoritis Belajar Berbasis Kasus

Landasan teoritis pembelajaran/belajar berbasis kasus adalah teori pemrosesan

informasi, karena belajar berbasis kasus dilandasi oleh model berpikir berbasis kasus

(case-based reasoning/CBR). Menurut Riesbeck (1996) CBR pada intnya adalah

memecahkan masalah dengan mengadaptasikan solusi-solusi lama, dan menafsirkan

Page 9: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

9

situasi-situasi baru dengan membandingkannya dengan situasi-situasi lama. Ada tiga

proses dasar dalam CBR yaitu pemanggilan kembali, adaptasi dan penyimpanan.

Ketika pemecah masalah diperhadapkan pada situasi baru, proses pemanggilan

kembali (informasi-pen) akan menemukan kasus (deskripsi beberapa bagian episode

dari kasus lama) yang mirip dengan situasi baru itu. Proses adaptasi kemudian akan

terjadi ketika pemecah masalah menerapkan informasi-informasi yang telah direkam

dalam kasus lama ke dalam situasi baru, dan menimbang perbedaan-perbedaan

signifikan di antara situasi lama dan situasi baru itu. Proses penyimpanan terjadi

manakala pebelajar menambahkan kasus baru yang sudah diadaptasikan, sejalan

dengan pengetahuan tentang bagaimana hal itu harus dikerjakan, ke dalam ingatan,

untuk digunakan di masa depan.

Model penalaran berbasis kasus di atas mengimplikasikan bahwa hal yang

paling penting untuk dipelajari dalam sebuah pembelajaran adalah kasus-kasus baru

dan cara cara baru dalam mengindeks kasus-kasus tersebut. Persoalan yang dihadapi

manusia, dan juga komputer, dalam memecahkan kasus adalah persoalan pemberian

indeks yaitu bagaimana memberi nama/label kepada kasus-kasus baru secara tepat

sehingga mereka dapat dipanggil kembali kelak dalam situasi yang relevan. Jika kasus-

kasus diberi label terlalu khusus maka mereka tidak akan dapat diingat jika situasi yang

mirip muncul. Jika kasus-kasus diberi label dengan rincian rincian yang tak relevan

atau terlalu abstrak, maka mereka akan diingat justru ketika tidak diperlukan. Jadi

mempelajari cara terbaik memberikan indeks pada kasus-kasus berarti mempelajari

prinsip prinsip penting yang melandasi sebuah kasus.

Penalaran berbasis kasus itu juga mengimplikasikan prinsip-prinsip perancangan

lingkungan pembelajaran yang mencakup:

(a) Dalam rangka mempelajari kasus-kasus, siswa memerlukan pengalaman. Oleh

karena itu lingkungan belajar harus menyimulasikan dunia di mana mereka

dapat memperoleh pengalaman itu.

(b) Dalam rangka membangun kasus berbasis luas, para pebelajar memerlukan

lebih banyak contoh-contoh dibanding yang mungkin diperolehnya secara

mandiri. Lebih dari itu mereka perlu diperhadapkan pada kasus-kasus nyata,

bukan sekedar simulasi. Oleh karena itu lingkungan belajar harus menyediakan

Page 10: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

10

akses ke kasus-kasus yang berbasis pada pengalaman-pengalaman dari dunia

nyata.

(c) Dalam rangka mengindeks kasus-kasus dengan indeks yang meningkatkan

pemangggilan dan penggunaan kembali kasus-kasus itu, maka para pebelajar

memerlukan tujuan tujuan dan rencana-rencana yang jelas. Oleh karena itu

lingkungan belajar harus mencakup tugas tugas dan peran-peran yang jelas bagi

para pebelajar.

(d) Dalam rangka agar mampu belajar memberi indeks secara lebih baik, maka para

pebelajar sesekali perlu mengalami kegagalan. Oleh karena itu lingkungan

belajar harus menantang para pebelajar dengan masalah-masalah yang sulit.

(e) Dalam rangka membangun indeks yang lebih baik pebelajar perlu membangun

penjelasan yang baik tentang apa yang salah. Oleh karena itu lingkungan belajar

harus sangat mendukung bagi terjadinya proses proses pemberian penjelasan.

Karakteristik Pembelajaran Berbasis Kasus

Blumenfeld, Soloway, Marx, Krajcik, Guzdizal dan Palincar sebagaimana

dikutip Ertmer dkk (1996) menyatakan bahwa belajar berbasis kasus memerlukan

keterlibatan dari „pengetahuan, usaha, ketekunan dan pengaturan diri’ dari pebelajar

yang harus membuat rencana, mengumpulkan informasi, membangun dan merevisi

solusi masalah,. Meskipun komponen komponen itu tidak merupakan syarat khusus

bagi belajar berbasis kasus namun memang merupakan hal yang penting dalam

lingkungan belajar yang mensyaratkan siswa terlibat dalam tugas tugas belajar yang

kompleks dan mendua arti.

Meskipun ada banyak variasi bentuk dan gaya, pembelajaran berbasis kasus

cenderung melibatkan masalah-masalah yang kompleks yang terjadi dalam praktik

kehidupan. Sebagai pendekatan yang berpusat pada pebelajar, pembelajaran berbasis

kasus memberikan berbagai macam tuntutan pada pebelajar yang jauh melebihi

tuntutan pembelajaran tradisional, atau kelas yang berpusat pada Guru. Para pebelajar

harus dapat menyelesaikan sejumlah tugas yang sulit, mengajukan masalah, terlibat

secara pribadi atau dalam kelompok dalam menganalisa situasi problematik, membuat

keputusan tentang bobot relatif dari masing masing potongan bukti, membuat

keputusan dari sekian banyak pilihan/kemungkinan, menggunakan orang lain sebagai

Page 11: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

11

sumber dan melaksanakan keputusan yang dipilih berdasarkan pada rekomendasi-

rekomendasi yang diajukan. Pendek kata para pebelajar harus memiliki ketrampilan-

ketrampilan proses belajar mandiri.

Blumenfeld dkk juga dikutip Ertmer dkk (1996) sebagai menyebut adanya tiga

faktor penting bagi keberhasilan belajar berbasis kasus dan proyek yaitu:

(a) pebelajar tertarik dan menghargai proyek (kasus) ybs;

(b) persepsi pebelajar terhadap kompetensinya untuk menyelesaikan proyek/ tugas

(c) pebelajar memusatkan perhatian pada proses proses belajar bukannya pada hasil

pekerjaan mereka

Faktor-faktor itu – minat dan penghargaan pada tugas belajar, persepsi terhadap

kemampuan dan fokus pada proses proses mencapai tujuan – hakikatnya merupakan

karakteristik dari pebelajar yang mampu mengatur diri sendiri (self-regulated learner).

Jadi keberhasilan belajar berbasis kasus bergantung pada kemampuan pebelajar untuk

mengatur belajarnya. Dengan perkataan lain sekedar memberikan kesempatan untuk

mengintegrasikan pengetahuannya melalui studi kasus pada pebelajar, belum menjamin

bahwa terjadinya pembelajaran berbasis kasus, jika para pebelajar itu tidak memiliki

ketrampilan atau motivasi yang diperlukan untuk mengatur belajarnya.

Dalam rangka pengembangan pembelajaran berbasis kasus dengan bantuan

komputer, Hung dkk (2003) menyatakan bahwa pada intinya prinsip-prinsip yang

menandai pembelajaran berbasis kasus adalah sebagai berikut:

(a) Dari segi seting tujuan: diperlukan penyediaan ceritera menyeluruh (cover

story) untuk memberikan seting belajar yang bermakna.

(b) Dari sisi motivasi: kegiatan belajar harus menarik dan relevan dengan pebelajar.

(c) Dari sisi peran-peran pebelajar: diperlukan rekayasa peran-peran khusus bagi

masing-masing pebelajar dalam keterlibatan mereka dalam tugas-tugas dan

kegiatan-kegiatan di mana mereka dapat menerapkan ketrampilan-ketrampilan

dan pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

(d) Dari segi kegiatan belajar: harus disediakan kesempatan belajar yang kaya bagi

para pebelajar

Page 12: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

12

(e) Dari sisi sumber daya: harus pula disediakan sumber sumber informasi dalam

bentuk ceritera-ceritera yang terkait.

(f) Dalam hal umpan balik: pebelajar harus menerima umpan balik yang memadai

baik dari pengajar maupun lingkungan belajar simulatifnya.

Strategi Pembelajaran Berbasis Kasus

Belajar berbasis kasus dilaksanakan dengan skenario pembelajaran yang

berbasis tujuan (goal based scenarios/GBS). Dalam GBS pebelajar diberi permainan

peran dan masalah yang menarik untuk dipecahkan, atau tujuan-tujuan untuk dicapai.

Peran dan masalah masalah harus benar benat merupakan minat nyata pebelajar dan

bukan sekedar soal beritera yang artifisial.

Masalah dipecahkan melalui interaksi pebelajar dengan lingkungan simulatif,

seperti laboratorium penelitian pertanian, tenda komando atau rumah sakit. Simulasi itu

mencakup pula interaksi-interaksi berbasis grafis atau video dengan agen-agen

simulasi. Jika pebelajar menghadapi masalah atau macet, seorang tutor, dalam bentuk

video muncul untuk memberikan saran, menceriterakan ceritera dan sejenisnya.

Ceritera ceritera itu berasal dari arsip-teks multi media, video wawancara dengan pakar

bidang tertentu, dan ceritera pengalaman pribadi yang mirip dengan situasi simulasi

yang dihadapi pebelajar.

Ada dua kelompok ketrampilan utama yang harus dipelajari melalui GBS yaitu:

1) Ketrampilan-ketrampilan proses, seperti menjadi teller bank, menerbangkan

pesawat, di mana fokusnya adalah belajar satu atau beberapa langkah prosedur yang

saling berhubungan. Ketrampilan semacam ini harus diajarkan dengan GBS yang

diarahkan oleh peran (role-driven GBS’s)

2) Ketrampilan-ketrampilan mencapai hasil seperti membangun jembatan atau

mengatasikerusakan mesin disel, di mana fokusnya adalah pada hasil, dan teknik-

teknik yang diperlukan untuk mencapai hasil. Ketrampilan semacam ini harus

diajarkan dengan GBS yang diarahkan oleh hasil (outcome-driven GBS’s)

GBS yang diarahkan oleh peran (role-driven GBS’s)

Dalam GBS`ini ada cara salah dan benar untuk melakukan sesuatu, dan tatanan

tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu sering menjadi penting. Permainan

peran dalam situasi yang disimulasikan memperkuat pengetahuan para pebelajar

Page 13: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

13

dengan rehearsal, pengulangan dan refleksi. Pengalaman-pengalaman khusus dalam

GBS memotovasi dan memperkuat prinsip prinsip prosedural. Dengan membiarkan

pebelajar mencoba cara cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu mereka belajar

mengapa sesuatu harus dikerjakan dengan cara tertentu.

Inti dari sistem semacam ini adalah kekayaan dan keaneka-ragaman dari

interaksi-interaksi yang disimulasikan. Interaksi-interaksi itu diorganisasikan ke dalam

skrip, yaitu urutan-rutan kejadian yang dipersiapkan terlebih dulu berdasarkan dugaan,

yang kadang dilengkapi dengan cabang-cabang di mana kegiatan mungkin menyebar,

tergantung pada pilihan seorang aktor terhadap apa yang ada dalam skrip.

Kunci dari kegiatan semacam ini adalah dimilikinya sejumlah besar skrip,

masing masing dengan cabang yang banyak, untuk „menampung‟ banyak hal yang

dapat terjadi dalam menampilkan satu tugas yang sama.

GBS yang diarahkan oleh hasil (outcome-driven GBS’s)

Dalam GBS`s model ini fokusnya adalah hasil dan proses pencapaian hasil,

bukan pada prosedur atau skrip, dengan asumsi bahwa jarang ada satu langkah berikut

yang benar, dan biasanya banyak kemungkinan tentang jawaban yang terbaik.

Pensimulasi membiarkan pebelajar mencoba tindakan yang berbeda-beda dan

melihat apa yang terjadi. Simulasi-simulasi yang diarahkan oleh hasil ini dibangun

dengan menambahkan agen-agen dan obyek-obyek, keadaan-keadaan mereka dan

saling hubungannya, tindakan-tindakan yang munkin dilakukan pebelajar, dan

bagaimana keadaan-keadaan, hubungan-hubungan dan tindakan-tindakan yang

mungkin itu berubah pada setiap tindakan yang dilakukan masing masing pebelajar.

Jadi GBS`s ini tidak bertumpu pada skrip-skrip tingkat tertinggi.

Contoh dari belajar berbasis kasus boleh jadi adalah Creative Problem

Solving/CPS atau Pemecahan Masalah (secara) Kreatif/PMK, yang oleh Sewell dkk

(2003) dinilai sebagai kerangka kerja yang amat cocok dengan Pendidikan IPS, karena

dimulai dengan pengenalan masalah dan diakhiri dengan pengambilan keputusan serta

tindakan sosial. CPS terdiri atas enam tahap kegiatan yaitu (a) mengenali adanya

masalah, (b) menemukan fakta-fakta, (c) menemukan masalah, (d) menemukan ide-ide,

(e) menemukan solusi-solusi, (e) mewujudnyatakan solusi. Keenam langkah itu

mendukung tingkat berpikir tinggi karena dalam masing masing tahap itu sisa harus

Page 14: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

14

memusatkan perhatiannya pada a) bagaimana mengenali adanya masalah, b) bagaimana

mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memperjelas masalah, c) bagaimana

membuat rumusan permasalahan, d) bagaimana mencurahkan ide-ide pemecahan

masalah, e) bagaimana berpikir logis melaui ide ide kreatif guna memutuskan solusi

masalah yang tepat, dan f) bagaimana melaksakan solusi

5. Model Pemecahan Masalah Kolaboratif

Nelson (Reigeluth; 1999) mencatat bahwa kini semakin banyak pendidik yang

menyadari kebutuhan akan adanya teori dan metode metode pembelajaran untuk

membantu siswa terlibat dalam proses pemecahan masalah secara kolaboratif, efektif

dan efisien. Menjawab kebutuhan itu model belajar kooperatif telah memberi pedoman

tentang bagaimana mengorganisasikan kelompok-kelompok belajar dan menyarankan

kegiatan-kegiatan khusus untuk menstrukturkan pengalaman belajar siswa. Sedang

model belajar berbasis masalah menekankan pengembangan skenario masalah yang

dikonstruksi secara cermat, melalui kelompok-kelompok kolaboratif, dengan bantuan

tutor untuk bekerja memecahkan masalah.

Dalam penilaian Nelson (Reigeluth; 1999), kedua pendekatan itu memang

memberikan pedoman pembelajaran yang bernilai dalam membangun lingkungan

belajar yang kolaboratif, namun demikian kedua-duanya tidak bersifat menyeluruh.

Oleh karena itu Nelson menawarkan model pemecahan masalah kolaboratif, yang

menurutnya mencakup keseluruhan proses belajar kolaboratif, termasuk membangun

kesiapan pebelajar untuk belajar secara kolaboratif, pengembangan ketrampilan-

ketrampilan kelompok, membentuk kelompok, terlibat dalam pemecahan masalah

secara kolaboratif, dan mengakhiri proses melalui kegiatan mensintesakan, menilai dan

penutupan yang sesuai.

Landasan teoritis

Oleh karena pemecahan masalah kolaboratif merupakan perpaduan antara

pendekatan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran berbasis masalah maka landasan

teoritis model ini dapat dilacak dari landasan teoritis kedua pendekatan itu. Agar tidak

mengulang apa yang sudah disajikan terdahulu maka berikut hanya akan disajikan tiga

pilar psikologis pembelajaran kooperatif.

Page 15: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

15

Pembelajaran kooperatif pada hakikatnya dilandasi oleh tiga pilar teori belajar

yang bersumber pada teori belajar sosialnya Albert Bandura, teori watak sosial dari

belajarnya Vygotsky dan teori saling ketergantungan sosial dari psikologi sosial. Ketiga

teori itu pada dasarnya menyatakan pentingnya kehadiran orang lain dalam proses

belajar seseorang. Teori belajar sosialnya Albert Bandura menekankan pentingnya

kehadiran orang lain (pengajar dan sesama pebelajar) sebagai model perilaku baik

dalam belajar melalui modeling maupun vicarious experience. (Borich, 1996; Brown,

1999; Gredler, 1994 dan Slavin, 2000).

Konsep scaffold (perancah) yang berupa bantuan bagi pebelajar yang tengah

belajar dalam „wilayah perkembangan terdekat‟ (the zone of proximal development) nya

Vygotsky juga melandasi pembelajaran kooperatif. Dalam kegiatan-kegiatan kooperatif

para pebelajar belajar melalui interaksi kerjasama dengan orang dewasa dan teman

sebaya yang lebih mampu. Para pebelajar diperhadapkan pada proses berpikir teman

sebayanya sehingga hasil maupun proses berpikir seorang pebelajar dapat dipelajari

oleh pebelajar lainnya (Wertsch, 1985; Steiner & Mahn, 1996 dan Slavin, 1995).

Teori saling ketergantungan positif dalam interaksi yang promotif yang

berkembang dalam psikologi sosial juga menjadi roh dari pembelajaran kooperatif.

Sebab tanpa itu maka belajar dalam kelompok tidak akan menghasilkan pembelajaran

kooperatif. Pembelajaran kooperatif harus memenuhi lima karakteristik yaitu (a) saling

ketergantungan positif, (b) tanggungjawab perseorangan, (c) tatap muka, (d)

komunikasi antar anggota, dan (e) evaluasi proses kelompok (Johnson &Johnson, 1998

dan Johnson dkk 2000).

Karakteristik Pemecahan Masalah secara Kolaboratif

Nellson menyatakan bahwa pendekatan pemecahan kolaboratif tidak dapat

dipergunakan untuk mengajarkan bahan bahan pelajaran yang berupa informasi-

informasi faktual maupun tugas-tugas prosedural yang harus dijalani dengan langkah

yang pasti. Kondisi kondisi bahan ajar, lingkungan belajar, karakteristik pebelajar dan

pengajar yang sesuai bagi penggunaan model ini adalah sebagai berikut:

1) Jenis bahan ajar/konten

Pendekatan pemecahan masalah secara kolaboratif sangat cocok dengan tugas tugas

heuristik, pengembangan pemahaman konseptual, dan strategi-strategi kognitif.

Page 16: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

16

Tugas-tugas heuristik adalah tugas-tugas yang terbangun dari sistem ketrampilan

dan pengetahuan yang kompleks yang dapat dikombinasikan dengan berbagai

macam cara untuk menjalankan tugas dengan berhasil. Pengembangan pemahaman

konseptual mencakup baik pengembangan skema-skema bagi pengetahuan baru

maupun asimilasi isi pelajaran ke dalam skema yang sudah ada. Strategi kognitif

mencakup ketrampilan-ketrampilan berpikir kritis, strategi-strategi belajar, dan

ketrampilan ketrampilan meta-kognitif.

2) Lingkungan Belajar

Lingkungan yang amat cocok bagi belajar pemecahan masalah secara kolaboratif

adalah lingkungan yang kondusif bagi kerjasama, percobaan, dan inkuiri, yaitu

lingkungan yang mendorong terjadinya pertukaran gagasan dan informasi secara

terbuka. Lingkungan belajar haruslah mencerminkan nilai-nilai yang secara hakiki

terkandung dalam sebuah kolaborasi. Waktu, ruang, dan sumber daya yang memadai

harus disediakan. Perencanaan yang matang diperlukan agar tersedia cukup waktu

bagi setiap kelompok untuk bertemu dan menyelesaikan tugas. Ruang yang

memadai juga harus disediakan untuk pertemuan-pertemuan kelompok maupun

pengerjaan tugas. Berragam informasi, bahan, sumber daya manusia harus cukup

tersedia bagi pebelajar.

3) Karakteristik Pebelajar

Karakteristik pebelajar yang cocok untuk terlibat dalam belajar pemecahan masalah

secara kolaboratif adalah pebelajar yang merupakan pebelajar mandiri (self-

regulated learner) yang nyaman dengan dan berkemauan untuk memikul

tanggungjawab atas belajarnya sendiri.

4) Karakteristik Pengajar

Pengajar juga harus yang merasa nyaman dengan berkurangnya kekuasaan kontrol

nya terhadap pebelajar maupun pembelajaran. Mereka harus mau mendorong

pebelajar untuk belajar mandiri dan lebih menempatkan diri sebagai fasilitator

ketimbang manajer. Pengajar haruslah fleksibel dan toleran terhadap tingkat

ketidakpastian tertentu tentang apa yang sesungguhnya dipelajari dan bagaimana

kegiatan belajar akan berlangsung. Pengajar juga harus siap dengan pendekatan

Page 17: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

17

mengajar yang bervariasi manakala diperlukan, seperti diskusi kelompok kecil dan

besar, pembelajaran langsung, dan pembelajaran aktif.

Strategi Pemecahan Masalah secara Kolaboratif

Pembelajaran untuk memecahkan masalah secara kolaboratif dilaksanakan

melalui 9 (sembilan) tahap yang mencakup (1) membangun kesiapan, (2) membentuk

kelompok dan normanya, (3) menentukan batasan masalah awal, (4) menentukan dan

membagi tugas-tugas, (5) terlibat dalam proses pemecahan masalah bersama secara

iteratif (berulang-alik), (6) merampungkan solusi atau tugas, (7) mensintesakan dan

melakukan refleksi, (8) mengukur hasil hasil dan proses, serta (9) melakukan

penutupan.

(a) Membangun Kesiapan

Dalam kegiatan persiapan ini dilakukan (a) pemahaman terhadap proses pemecahan

masalah secara kolaboratif, (b) pengembangan skenario tugas atau masalah otentik

untuk mengikat kegiatan-kegiatan pembelajaran dan belajar, serta (c) pelatihan

ketrampilan-ketrampilan proses bekerja kelompok.

(b) Membentuk Kelompok Dan Normanya

Dalam tahap ini dilakukan pembentukkan kelompok-kelompok kerja kecil yang

heterogen keanggotannya. Kelompok – kelompok itu kemudian didorong untuk

membangun pedoman pelaksanaan kerja sebagai norma bersama.

(c) Menentukan Batasan Masalah Awal

Di tahap ketiga, semestinya berlangsung pemahaman bersama tentang masalah

melalui negosiasi, identifikasi isu-isu dan tujuan-tujuan belajar, curah pendapat

tentang solusi awal atau rencana pelaksanaan tugas, memilih dan membangun

rencana kegiatan tertentu, mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan, serta

mengumpulkan informasi informasi awal untuk mevalidasi rencana kegiatan.

(d) Menentukan dan Membagi Peran

Dalam tahap ini dilakukan identifikasi peran-peran pokok yang diperlukan untuk

menjalankan rencana kerja, dan negosiasi tentang pembagian peran di antara para

pebelajar.

(e) Proses Pemecahan Masalah Bersama Secara Iteratif (Ulang-Alik)

Page 18: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

18

Dalam tahap ini dilakukan kegiatan membangun dan menajamkan rencana kerja,

mengidentifikasi dan membagi tugas-tugas, mengumpulkan informasi, sumber-

sumber dan ahli yang diperlukan. Pebelajar juga bekerjasama dengan pengajar

untuk memperoleh sumber-sumber maupun ketrampilan-ketrampilan tambahan

yang diperlukan, menyebarluaskan informasi, sumber sumber dan kepakaran yang

diperoleh kepada sesama anggota kelompok, terlibat dalam pencapaian souisi atau

perkembangan kerja kelompok, melaporkan secara reguler sumbangan individual

dan kegiatan kegiatan kelompok, berpartisipasi dalam kerjasama dan evaluasi antar

kelompok, serta melakukan evaluasi formatif atas solusi atau pelaksanaan tugas.

(f) Merampungkan Solusi atau Tugas

Pada tahap ini dilakukan penyusunan draft versi akhir solusi atau laporan tugas,

evaluasi akhir atau tes kemanfaatan dari solusi atau hasil kinerja, serta merevisi dan

melengkapi versi akhir dari solusi atau laporan kerja.

(g) Melakukan Sintesa dan Refleksi

Inti dari kegiatan dalam tahap ini adalah mengidentifikasi perolehan belajar,

pebelajar diminta untuk saling bertanya-jawab tentang pengalaman-pengalaman

serta perasaan-perasaan mengenai proses pelaksanaan tugas, dan melakukan

refleksi atas proses belajar kelompok dan individual.

(h) Mengukur Hasil dan Proses

Pengukuran hasil dan proses belajar dilakukan dengan mengevaluasi hasil karya

dan artifak artifak yang diciptakan para pebelajar, serta mengevaluasi proses yang

sudah dilasanakan selama proses pembelajaran.

(i) Mengakhiri Kegiatan.

Sebagai akhir dari kegiatan dilakukan upaya untuk memformalkan pengalaman

kelompok melalui kegiatan penutupan

Demikian garis besar kegiatan dalam proses pemecahan masalah secara

kolaboratif yang merupakan perpaduan antara pembelajaran kooperatif dan

pembelajaran berbasis masalah.

6. Penutup

Page 19: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

19

Paparan di atas menunjukkan bahwa sebagai model yang sama sama berpijak

pada paradigma konstruktivis, serta bertolak dari psikologi kognitif dan teori

pemrosesan informasi tentang belajar ketiga model di atas mempunyai banyak

kesamaan. Kesamaan itu misalnya tampak dalam hal karakteristik pebelajar yang tepat

bagi (namun sekaligus hendak dikembangkan melalui) ketiga model pembelajaran itu

yaitu pebelajar yang mandiri dan mampu mengatur sendiri belajarnya (self-regulated

learner). Peran pengajar dalam ketiga model pembelajaran itu pun lebih sekedar

sebagai fasilitator pembelajaran bukan penguasa/penentu pembelajaran. Lingkungan

belajar yang tepat bagi ketiga model itu juga lingkungan belajar yang otentik dalam arti

persoalan atau kasus yang menjadi basis pembelajaran semestinya juga merupakan

persoalan atau kasus yang otentik. Proses-proses kognitif yang dikembangkan atau

dituntut dalam proses pembelajaran dalam ketiga model itupun merupakan proses

proses kognitif tingkat tinggi.

Perbedaan di antara ketiga model di atas tampaknya lebih pada asal-usul

perkembangannya, rincian teknis pelaksanaannya maupun bidang studi yang lebih tepat

untuk menggunakannya. Belajar berbasis masalah misalnya lebih tepat digunakan

dalam pembelajaran bidang studi di mana ia berasal-usul, yaitu bidang kedokteran,

dan bidang bidang yang mempunyai hakikat yang setara dengannya. Sementara belajar

berbasis kasus lebih tepat digunakan dalam pembelajaran bidang studi hukum,

ekonomi, pendidikan dan ilmu ilmu sosial lainnya. Sementara model pemecahan

masalah secara kolaboratif tampaknya juga lebih tepat dipergunakan dalam

pembelajaran bidang ilmu sosial.

Satu hal yang jelas adalah bahwa ketiga model itu memang bermanfaat bagi

pengembangan disain pembelajaran yang hendak menopang perkembangan

kemampuan para pebelajar dalam memecahkan masalah.

*****

Page 20: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

20

Page 21: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

21

DAFTAR PUSTAKA

Baptise, S.E. 2003. Problem-Based Learning.A Self-Directed Journey; NJ: SLACK Inc.

Borich, G.D. 1996. Effective Teaching Methods. Third Edition, NJ: Prentice Hall

Brown, K.Mc., 1999. Social Cognitive Theory. http://hsc.usf.edu/~kmbbrown/Social_

Cognitive_Theory_Overview.htm diakses tanggal 12 Desember 2004

Gredler, M.E.B. 1994. Belajar dan Membelajarkan (terj. Munandir) Jakarta: PT Raja

Grafindo Perkasa & PAU-UT

Ertmer, P.A., Newby, T.J., and MacDougall, M. 1996. Students‟ Responses and

Approaches to case-based Instruction: The Role of Reflective Self-Regulation;

American Educational Research Journal. Fall Vol. 33 (3) pp 719 – 752

Hung, D., Chen, D.T. & Tan, S.C. 2003. A Social-Constructivist Adaption of Case-

Based Reasoning: Integrating Goal-Based Scenarios with Computer-

Supported Collaborative Learning; Educational Technology: March-April.

Johnson D.W. & Johnson R.T. 1998 Cooperative Learning And Social Interdependence

Theory; Social Psychological To Social Issues;?: ?

Johnson D.W., Johnson R.T. & Stanne, M.B., 2000. Cooperative Learning Methods: A

Meta-Analysis; Minnesota: University of Minnesota

Jonnasen, D.H. & Serrano, J.H. 2002. Case-Based Reasoning and Instructional Design:

Using Stories to Support Problem Solving; ETR&D: Vol. 50 (2) pp 65 – 77.

Kagan, D.M. 1993. Contexts for the Use of Classroom Cases; American Educational

Research Journal. Winter Vol. 30 (4) pp 703 – 723.

Nelson, ,L.M. 1999. Collaborative Problem Solving. Dalam Reigeluth. C.M. (ed)

Instructional Design Theories and Models Volume II. A new paradigm of

Instructional Theory; New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Prawat R.S. 1996. Constructivism Modern and Postmodern; Educational Psychologist,

Vol. 31 No ¾ Summer & Fall 215 –226.

Reigeluth, C.M. 1999. (ed), Instructional Design Theories and Models Volume II. A

New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates Publishers.

Riesbeck, C.K. 1996 Case-based Teaching and Constructivism: Carpenters and Tools.

Dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist Learning Environment; New

Jersey: Educational Technology Publications.

Savery, J.R. & T.M. Duffy. 1996. Problem Based Learning: An Instructional Model

and Its Constructivist Framework. Dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist

Learning Environment; New Jersey: Educational Technology Publications.

Slavin, R.E., 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice; Boston:

Allyn & Bacon

Slavin, R.E., 2000. Educational Psychology. Theory and Practice. Sixth Edition.

Needham Heights, MA: Allyn & Bacon

Steiner, V. J. & Mahn, H. 1996. Socio cultural Approaches to Learning and Develop-

ment: A Vygotskyan Framework, Educational Psychologist, Vol. 31 (¾)

Page 22: MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN …

22

Wertsch, J.V.,1985. Vigotsky and the Social Formation of Mind; Cambridge: Harvard

University Press

*****