model kelembagaan dari kerjasama antar daerah dalam

19
Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam Pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Wilayah Jabodetabek Mufti Iqbal Tawaqal, Drs. Mohammad Riduansyah M.Si Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia [email protected] Abstract Skripsi ini bermula dari pesatnya pertumbuhan Jakarta yang mendorong pembangunan ke daerah-daerah sekitar sehingga membentuk megapolitan bernama Jabodetabek. Tingginya volume sampah menarik perhatian pemerintah daerah untuk mengembangkan pemanfaatannya sebagai sumber energi alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Keterbatasan yang dimiliki masing-masing wilayah memunculkan perlunya kerjasama antar daerah di Jabodetabek. Untuk itu, penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi model kerjasama antar daerah yang tepat dalam pengelolaan PLTSa di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan analisis dengan metode kualitatif, didapatkan simpulan bahwa pemerintah daerah di Jabodetabek memilih Regional Special Districts And Authorities untuk mengakomodir pembangunan berkesinambungan. Model kelembagaan ini dipilih dalam rangka memberikan pelayanan publik melewati batas-batas kota dan provinsi. Institutional Model of the Cooperation among Region on Waste-to-Energy Power Plant Management in Jabodetabek Area Abstract This thesis examines the phenomenon of massive growth in Jakarta that lead the government to expand its development to urban areas and create a megapolitan city named Jabodetabek. The amount of current waste attracts local governments of five cities in Jabodetabek to consider waste as alternative energy sources in Waste- to-Energy Power Plant. Realising the challenges that may faced in plant management latter rises the importance of cooperation among region. Therefore, this research objective is to identify an ideal institutional model of the cooperation among region on Waste-to-Energy Power Plant management in Jabodetabek area. From qualitative analysis, we may conclude that the governments of the region in Jabodetabek assume Regional Special Districts And Authorities as the ideal model to accommodate comprehensive development within area. This institutional model chosen in order to deliver public services throughout five cities’ local government. Keywords: institutional model, cooperation among region, waste Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam Pengelolaan

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Wilayah Jabodetabek Mufti Iqbal Tawaqal, Drs. Mohammad Riduansyah M.Si

Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

[email protected]

Abstract

Skripsi ini bermula dari pesatnya pertumbuhan Jakarta yang mendorong pembangunan ke daerah-daerah sekitar

sehingga membentuk megapolitan bernama Jabodetabek. Tingginya volume sampah menarik perhatian

pemerintah daerah untuk mengembangkan pemanfaatannya sebagai sumber energi alternatif Pembangkit Listrik

Tenaga Sampah (PLTSa). Keterbatasan yang dimiliki masing-masing wilayah memunculkan perlunya kerjasama

antar daerah di Jabodetabek. Untuk itu, penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi model kerjasama antar

daerah yang tepat dalam pengelolaan PLTSa di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan analisis dengan metode

kualitatif, didapatkan simpulan bahwa pemerintah daerah di Jabodetabek memilih Regional Special Districts And

Authorities untuk mengakomodir pembangunan berkesinambungan. Model kelembagaan ini dipilih dalam

rangka memberikan pelayanan publik melewati batas-batas kota dan provinsi.

Institutional Model of the Cooperation among Region on Waste-to-Energy Power Plant

Management in Jabodetabek Area

Abstract

This thesis examines the phenomenon of massive growth in Jakarta that lead the government to expand its

development to urban areas and create a megapolitan city named Jabodetabek. The amount of current waste

attracts local governments of five cities in Jabodetabek to consider waste as alternative energy sources in Waste-

to-Energy Power Plant. Realising the challenges that may faced in plant management latter rises the importance

of cooperation among region. Therefore, this research objective is to identify an ideal institutional model of the

cooperation among region on Waste-to-Energy Power Plant management in Jabodetabek area. From qualitative

analysis, we may conclude that the governments of the region in Jabodetabek assume Regional Special Districts

And Authorities as the ideal model to accommodate comprehensive development within area. This institutional

model chosen in order to deliver public services throughout five cities’ local government.

Keywords: institutional model, cooperation among region, waste

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 2: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Pendahuluan

Pertumbuhan dan perkembangan perkotaan di banyak negara di dunia tidak

dipungkiri mendorong kota-kota menjadi magnet bagi penduduk lainnya. Merujuk laporan

dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir separuh dari penduduk dunia tinggal di wilayah

perkotaan (UN, 1998: 2 dalam Kuncoro, 2012: 215). Laporan ini juga mengangkat suatu

proyeksi menarik. Pertama, begitu melewati milenium baru, penduduk perkotaan akan

melampaui jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan untuk pertama kalinya dalam

sejarah umat manusia. Kedua, pada tahun 2030, 3 dari 5 penduduk dunia diperkirakan tinggal

di wilayah perkotaan, baik kota kecil, kota besar, maupun kota metropolitan. Dengan

ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai serta lapangan pekerjaan yang beragam,

dengan harapan hidup yang lebih baik, banyak penduduk memiliki berpindah dari desa ke

kota atau yang dikenal dengan istilah urbanisasi.

Migrasi penduduk dari desa ke kota ini tak pelak menimbulkan berbagai bentuk

permasalahan baru, di Pulau Jawa proses pemiskinan terjadi karena terlalu padatnya

penduduk sehingga menyebabkan makin terbatasnya lapangan kerja. Sebaliknya, di luar Pulau

Jawa proses pemiskinan justru disebabkan kekurangan penduduk sebagai sumber daya

manusia (Yudohusodo, 1998: 24). Meski demikian, bila tingginya laju urbanisasi mampu

dikelola dengan benar dan tepat, ini bisa menjadi kekuatan bagi pembangunan kota. Tiongkok

dan India merupakan contoh negara yang mampu mengelola laju urbanisasi dengan baik dan

tepat. Hal itu dapat dilihat dari korelasi tingkat urbanisasi di kedua negara ini dengan Produk

Domestik Bruto (PDB) dari negara-negara ini, yang mana setiap peningkatan urbanisasi

sebesar 1 persen, PDB negara tersebut turut meningkat sekitar 6-8%. Berbeda halnya dengan

Indonesia, setiap peningkatan urbanisasi sebesar 1 persen, kenaikan PDB yang terjadi baru

mencapai 2%. Melihat fakta demikian, cara pandang pemerintah kota akan urbanisasi harus

diubah. Urbanisasi bukan hanya sebuah persoalan melainkan juga sebuah peluang. Dengan

urbanisasi kebutuhan warga akan meningkat, sektor informal menjadi “hidup”, serta tuntutan

peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik menjadi tak terelakan, Untuk memenuhi

kebutuhan tersebut, masing-masing kota kini bergerak pada arus yang sama, yaitu ke arah

koalisi-koalisi perkotaan yang disebabkan meluasnya areal perkotaan, baik secara fisik

maupun non fisik. Fenomena ini dikenal dengan istilah megapolitan.

Munculnya gejala megapolitanisasi di wilayah perkotaan mendorong kebutuhan

untuk masing-masing kota atau daerah yang terkait baik secara fisik maupun non fisik untuk

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 3: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

melakukan kerjasama, konsep ini dikenal dengan istilah kerjasama antar daerah (KAD).

Urbanisasi , rencana megapolitan hingga pentingnya kerjasama antar daerah rupanya telah

menjadi perhatian Presiden Ir. Soekarno sejak awal, hanya saja hal ini baru dapat terlaksana di

masa Presiden Soeharto dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976

yang membentuk Otoritas Perencanaan Wilayah Jabotabek yang melibatkan Deputi

Bappenas, Direktur Jenderal Cipta Karya, serta Gubernur DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Kerjasama antar daerah (Jabodetabek) makin mendapatkan angin segar dengan diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 195.

Pada pasal 195 angka 1 dan 2 disebutkan bahwa “dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang dapat diwujudkan

dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama”.

Pemerintah DKI Jakarta dan Jawa Barat dilandasi Undang-Undang tersebut dan peraturan

terkait kemudian membentuk Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek untuk

pengembangan wilayah di kawasan Jabotabek. (Suselo, 2005: 1-4).

Pembentukan BKSP ini semakin memperkuat kemungkinan dibentuknya

Megapolitan Jabotabek yang diharapkan mampu bekerjasama pada berbagai bidang, meliputi:

pembangunan yang berkelanjutan di wilayah Jabodetabekjur, pengendalian pertambahan

penduduk baik alamiah maupun migrasi, pengelolaan prasarana dan sarana fasilitas

pendidikan dan kesehatan, Kerjasama dalam pengelolaan prasarana dan sarana jaringan

transportasi makro (busway, subway, monorail), pengelolaan dan pendistribusian pusat-pusat

logistik hasil industri dan pertanian, keterpaduan perencanaan peruntukan lahan dan fungsi

lahan, kerjasama terpadu dalam penanganan sampah, bencana alam/banjir, kerawanan sosial

dari hulu ke hilir, pengelolaan dan perencanaan keterhubungan kota Jakarta dan kota sekitar,

serta kerjasama dalam pengelolaan terpadu dengan terbentuknya pusat pertumbuhan baru

antara lain kawasan komersial, perkantoran, perumahan, perdagangan dan bisnis (Sutiyoso,

2006 : 56-57).

Kerjasama-kerjasama di atas didukung pula oleh payung hukum berupa pasal 196

angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

menyebutkan “pelaksanaan urusan pemerintahan yang melibatkan dampak lintas daerah

dikelola bersama oleh daerah terkait”. Begitu tingginya konsentrasi masyarakat di wilayah

Jabodetabek yang dilatari berbagai faktor penarik yang dimiliki Jabodetabek, pada gilirannya

memunculkan konsekuensi bagi Jabodetabek dan nasional. sumbangan perekonomian

Jabodetabek terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia pada rentang tahun 1993 - 2006,

dapat dilihat dominansi perekonomian yang berasal dari suatu wilayah megapolitan bernama

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 4: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Jabodetabek dibanding puluhan kota lainnya yang ada di Indonesia. Besarnya peran

perekonomian Jabodetabek di atas, mendorong pembentukan BKSP guna

mengkonsolidasikan kegiatan di wilayah Jabodetabek yang selanjutnya tidak hanya mampu

memperkuat struktur kerjasama antara daerah di wilayah Jabodetabek namun juga mampu

meminimalisasi ketimpangan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Salah satu poin dari

sembilan poin bidang yang menjadi konsentrasi BKSP adalah sektor persampahan.

Sebagaimana dikutip dari World Bank, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang

mempengaruhi timbunan sampah perkotaan di suatu negara, yaitu tingkat konsumsi, tingkat

pendapatan dan kepadatan penduduk di daerah perkotaan (World Bank, 1999: 5). Artinya,

masalah sampah ini muncul seiring pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan

masyarakat.

Permasalahan pemanfaatan sampah perkotaan menarik perhatian pemerintah pusat

hingga memasukkannya sebagai salah satu dari prioritas nasional bidang energi baru dan

terbarukan yang tertuang dalam Agenda Riset Nasional 2010-2014. Hal ini yang

melatarbelakangi munculnya penelitian-penelitian ilmiah dengan menjadikan sampah sebagai

objek penelitian dalam konversi energi listrik.

Kebutuhan energi yang semakin tinggi mendorong manusia untuk mengembangkan

teknologi pembangkit listrik dari berbagai sumber energi selain minyak bumi, seperti sinar

matahari, angin, bioenergi, geothermal, hydro, hingga tenaga gelombang laut (Vaughn, 2011:

2-3). Sampah sendiri termasuk dalam salah satu sumber bioenergi. Bioenergi ini diperoleh

dengan cara pembakaran sampah di Tempat Pembuangan Akhir setelah dipilah mana yang

dapat didaur ulang dan dijadikan kompos. Di Amerika Serikat, dari 135 juta ton sampah yang

ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir selama tahun 2008, terdapat 17,5 juta ton sampah

yang menjadi sumber bioenergi. Dari angka tersebut, setiap 1 juta ton sampah menghasilkan

gas sebanyak 12.200 m3/hari yang dapat diolah menjadi sumber energi (Vaughn, 2011: 201).

Indonesia masih perlu belajar pada negara-negara seperti Amerika dan Uni Eropa

dalam memanfaatkan sampah. Berdasarkan data Environmental Protection Agency (EPA),

upaya daur ulang dan pembuatan kompos di AS berhasil mencegah pembuangan 85,1 juta ton

sampah pada 2010, naik dari hanya 15 juta ton pada 1980. Hal ini setara dengan mencegah

sekitar 186 juta metrik ton emisi setara karbon dioksida ke udara, yang juga setara dengan

memensiunkan 36 juta mobil dari jalan raya dalam waktu satu tahun.

Swedia dapat menjadi contoh lainnya. Hanya sekitar 4% sampah di negeri ini yang

ditimbun di tanah. Pada tahun 2012, negara ini sampai harus melakukan impor sampah dari

negara tetangganya seperti Italia, Rumania, Bulgaria, ataupun dari negara-negara Baltik.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 5: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Tidak hanya Swedia, Belanda pun melakukan hal serupa. Negara ini berhasil memanen listrik

untuk memenuhi ¾ kebutuhan warganya sekaligus mengurangi produksi CO2 sebanyak 470

kiloton per tahun. Wuhan, sebuah ibukota provinsi di Cina bahkan menyusun rencana induk

sanitasi dan mengembangkan insinerator sampah menjadi energi, dari kapasitas 6.500 ton

sampah menghasilkan energi sebesar 150 MW.

Di Indonesia, pemerintah mulai menaruh perhatian atas hal ini dengan mengeluarkan

kebijakan terkait pengelolaan sampah, salah satunya dengan menetapkan Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah. Ini menjadi indikasi bahwa persoalan

tersebut telah masuk ke dalam ranah permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu

dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara

ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku

masyarakat.

Salah satu tugas pemerintah dan Pemda dalam pengelolaan sampah sebagaimana

disebutkan pada Pasal 6 adalah melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah. Oleh karena itu, pasal 6 tersebut

mengisyaratkan perlunya Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan koordinasi antarlembaga

pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan

sampah.

Sampah telah lama menjadi momok bersama daerah-daerah di kawasan Jabodetabek,

telah banyak solusi yang muncul terkait penanganan dan pengelolaan sampah, mulai dari

dibentuknya bank sampah di berbagai daerah, daur ulang sampah hingga gagasan

pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) oleh pemerintah kota/kabupaten.

Menurut perhitungan, bila tumpukan sampah per kota mencapai sekitar 752,9 ton per hari

akan dapat dihasilkan energi panas sebanyak 9,29 x 10 kiloJoule per jam. Jika energi thermal

ini dikonversikan menjadi energi listrik maka diperoleh pasokan daya listrik sebesar 6 Mega

Watt (MW) sehingga manfaat sampah dapat dirasakan oleh banyak orang.

Di Indonesia, pemanfaatan sampah sebagai sumber energi telah diprakarsai oleh

Walikota Bandung Dada Rosada. Berawal dari longsornya sampah di TPA Leuwigajah Kota

Cimahi 21 Februari 2005 tragedi ini menimbulkan korban jiwa sebanyak 147 warga setempat.

Sistem open dumping yang dipakai di Kota Cimahi tersebut ternyata berdampak pada

terjadinya musibah besar yang menjadi perhatian nasional maupun internasional.

Walikota Bandung saat itu, Dada Rosada lantas berkesimpulan Kota Bandung tidak

dapat lagi menggunakan open dumping ataupun sanitary landfill. Lahirlah sebuah ide

membuat Waste to Energy (WTE) atau PLTSa. Tenaga PLTSa ini bersumber dari panas yang

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 6: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

dihasilkan dari proses pembakaran 500 ton sampah per hari yang akan diubah menjadi energi

listrik terbarukan berkekuatan 7 MW. Kebutuhan listrik untuk proses pembakaran itu sendiri

sebesar 1 MW. Namun pada perjalanannya, pembangunan PLTSa ini mengalami kendala,

salah satunya penolakan warga sekitar, seperti yang disebutkan oleh Direktur Eksekutif

WALHI Dadan Ramdan dalam konferensi pers yang diadakan pada tanggal 28 Agustus 2013,

terdapat lima alasan penolakan tersebut, yakni:

1. Pemerintah kota belum menyusun Peraturan Daerah yang mengatur kerjasama PLTSa

dalam kontrak tahun jamak padahal Nota Kesepahaman antara pemerintah kota dan

PT. Bril selaku pengelola PLTSa akan ditandatangani pada 3 September 2013.

2. Terdapat masalah beban biaya jasa pengolahan sampah, yang nantinya akan

dibebankan pada masyarakat, yang dianggap sangat besar.

3. PLTSa yang menggunakan teknologi insinerator dianggap dapat berakibat bencana.

Pasalnya, alat tersebut bisa mengganggu kesehatan dengan polusi udara berupa

dioksin yang membahayakan sistem syaraf manusia.

4. Rencana ini masih dalam evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum.

5. PLTSa serupa pernah diterapkan di kota Harrisburg, Pennsylvania Amerika Serikat

dan mengeluarkan beban pengeluaran yang cukup besar hingga menyebabkan krisis

keuangan kota. (Ispranoto, 2013: 1).

Nilai investasi pembangunan PLTSa yang terletak di Gedebage tersebut senilai Rp5,62

miliar. Sebagaimana dituturkan oleh Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan

Swasta Bappenas Bastari Panji Indra, PLTSa tersebut diniatkan menjadi percontohan PLTSa

nasional seperti Batam, Jakarta, Palembang, Surabaya dan Solo (Kurniawan, 2014: 1).

Melalui tulisan ini diharapkan, dapat diidentifikasi model kelembagaan kerjasama antar

daerah yang memungkinkan dalam pengelolaan PLTSa di wilayah Jabodetabek. Sehingga

PLTSa sebagai salah satu inovasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah dapat lebih

lagi dalam hal kebermanfaatan dengan disokong kelembagaan yang unggul.

Tinjauan Teoritis

Begitu krusialnya model kelembagaan suatu megapolitan, mendorong para ahli

perkotaan memunculkan gagasan mengenai model kelembagaan megapolitan yang tepat yang

ditinjau dari berbagai aspek.

Menurut R.M Bird dan E. Slack (dalam Kurniawan, 2006: 4), terdapat beberapa klasifikasi

konsep kelembagaan metropolitan/ megapolitan, yaitu.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 7: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

a. Sistem satu tingkat

- Kawasan Metropolitan/Megapolitan dikelola oleh satu otorita kota yang bertanggung

jawab secara penuh dalam menyediakan pelayanan.

- Terdiri dari pemerintahan yang terfragmentasi dan pemerintahan tunggal dari suatu

kota besar yang terbntuk dari proses amalgamasi (penggabungan dari dua atau lebih

kota dalam suatu wilayah) atau aneksasi (pengambilan sebagain wilayah suatu kota

oleh kota yang lebih besar)

- Keunggulan dari sistem ini yaitu: menyediakan kordinasi pelayanan yang lebih baik,

akuntabilitas menjadi lebih jelas, pembuatan kebijakan menjadi lebih sederhana dan

efisien.

- Kelemahan sistem ini yaitu: wilayah yang terlalu luas dan birokratis seringkali justru

mengurangi akses masyarakat terhadap pelayanan.

- Contoh model kelembagaannya, yaitu: Urban County di Malaysia dan Consilidation

of Houston.

b. Sistem dua tingkat

- Terdiri dari dua bentuk pemerintahan; pemerintahan tingkat atas berperan

menyediakan pelayanan untuk lingkup wilayah yang lebih luas, sedangkan pemerintah

dibawahnya bertugas atau bertanggung jawab dalam menyediakan pelayanan yang

manfaatnya dapat dirasakan secara lokal.

- Keuntungan dari sistem ini, yaitu: pemerintah menjadi lebih tanggap dalam

pemenuhan layanan masyarakat, efisiensi dalam pemberian layanan dan kejelasan

pembagian peran.

- Kelemahan sistem ini, yaitu: riskannya terjadi duplikasi pemberian layanan yang

mengakibatkan pemborosan, mengingat pemerintah tingkat atas dan lokal

menyediakan layanan yang sama dan dianggap kurang transparan.

- Contoh model kelembagaannya, yaitu: Extra Metropolitan Region of Tokyo (EMR)

atau Tokyo Metropolitan Government, Manila Metropolitan Development Authorithy

(MMDA) dan Greater London (Metropolitan Federation).

c. Kerjasama sukarela

- Terdapat suatu badan dengan status otorita independen, tidak adanya pejabat yang

secara khusus mewakili daerahnya dalam forum ini, dan bersifat tidak permanen pada

suatu wilayah yang luas yang dibentuk berdasarkan kerjasama sukarela diantara

daerah-daerah dalam wilayah tersebut.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 8: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

- Keunggulan sistem ini, yaitu: mudahnya pembentukan dan pembubaran institusi ini

dan tidak perlu terjadinya penyatuan dan konsolidasi antar daerah sehingga daerah

tetap dapat mempertahankan otonominya.

- Kelemahan sistem ini, yaitu: ketidakjelasan akuntabilitas atau pertanggungjawaban

serta sulitnya mencapai keberlanjutan koordinasi antar daerah mengingat sistem ini

mendorong pihak-pihak yang terlibat tidak memiliki ikatan yang kuat dengan institusi

ini.

- Contoh model kelembagaan ini adalah Badan Kerjasama Pembangunan di wilayah

Jabodetabek.

d. Distrik Khusus

- Dibentuk suatu otorita di wilayah metropolitan/megopolitan dalam rangka penyediaan

pelayanan yang melewati batas-batas kota.

- Distrik khusus dapat berbentuk otoritas bersama antar kota satu sektor yang mampu

menyediakan pelayanan bagi sejumlah kota yang memiliki eksternalitas yang

signifikan.

- Contoh model kelembagaannya, yaitu: Regional Special Districts and Authorities di

AS dan Otoritas Transport di Greater London.

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif.

Mengingat skripsi ini akan mengidentifikasi model kelembagaan Kerjasama Antar Daerah

yang ideal di wilayah Jabodetabek, maka dibutuhkan pendalaman dan analisis deskriptif atas

model kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah di lima wilayah tersebut, yang tidak dapat

dicapai dengan kuantifikasi. Untuk itulah peneliti memilih pendekatan kualitatif. Berdasarkan

tujuan penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratif, yakni penelitian

yang menyajikan untuk menggali suatu gejala yang relatif masih baru. Jika ditinjau dari

manfaatnya, penelitian ini merupakan penelitian murni karena penelitian ini tidak bertujuan

untuk menyelesaikan suatu permasalahan ataupun disponsori oleh suatu organisasi untuk

meneliti, Berdasarkan aspek dimensi waktu, maka penelitian ini termasuk dalam cross-

sectional. Penelitian cross-sectional Penelitian ini dilakukan dalam suatu periode tertentu,

yaitu dalam kurun waktu Maret hingga Juni 2014 dan tidak diperbandingkan dengan

penelitian lain.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 9: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

pengumpulan data kualitatif berupa wawancara dan studi kepustakaan (library research)..

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah perbandingan analitis. Dalam

penelitian ini peneliti menyusun tipe ideal yang terdiri dari kelompok-kelompok pertanyaan

sebagai dasar pengumpulan data kepada informan, meliputi volume sampah di kota masing-

masing, kebijakan dan mekanisme pengelolaan sampah, pandangan terhadap potensi sampah

sebagai sumber energi alternatif, serta pandangan terhadap model kelembagaan kerjasama

antar daerah yang ideal untuk diterapkan di Jabodetabek.

Adapun informan dari penelitian ini yaitu, Murwani Dinar Safitri, Kasubdit

Pengelolaan Sumber Daya Sampah dan Limbah B3, Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI

Jakarta; Suhandi S.E, M.Si, Kepala UPTD Pengolahan Sampah Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kota Bogor; Kania, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Depok; Ivan

Yudianto, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang; Kiswatiningsih, M.Sc,

Kasubag Umum dan Perencanaan Pemerintah Kota Bekasi; Asep, Kepala Sekretariat Badan

Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; Heru

Sriwidodo, Manajer Senior Energi Alternatif PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Hasil Penelitian

Wilayah Jabodetabek sejauh ini telah memiliki lembaga kerjasama antar daerah yang

mengakomodir fungsi kordinasi dan fasilitasi dalam kerjasama antar daerah yang dalam hal

ini lembaga itu adalah Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabek (BKSP), lembaga ini

memiliki kewenangan menjadi kordinator dan fasilitator dalam kerjasama antar daerah di

Jabodetabek yang terdiri dari 9 bidang dan 22 sektor kerjasama antar daerah, salah satu

bidang kerjasama antar daerah itu ialah sampah.

Telah banyak kerjasama antar daerah di sektor sampah, hanya saja sejauh ini

kerjasama antar daerah yang terjadi terkait sektor persampahan ini belum optimal dalam

menekan angka pertambahan jumlah sampah di Jabodetabek, melalui proses wawancara

mendalam, ditemukanlah hambatan lembaga BKPS ini. Hambatan pertama terkait kualitas

sumberdaya manusia di BKSP Jabodetabekjur, yang mana pihak-pihak yang mengisi posisi

pada struktur sekretariat BKSP bukan orang-orang yang ahli di bidangnya melainkan hanya

aparatur daerah yang diembankan tugas untuk menjadi perwakilan daerahnya di BKSP

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 10: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Jabodetabekjur, hal ini sangat menghambat kinerja BKSP dalam upaya Kepala BKSP saat ini

Bapak Ahmad Heryawan merevitalisasi BKSP.

Hambatan kedua terkait anggaran atau pendanaan, yang mana dari hasil wawancara

dengan Kepala Sekretariat BKSP Jabodetabekjur, ditemukan fakta bahwa sumber pendanaan

BKSP Jabodetabekjur seringkali hanya merupakan anggaran sisa dari masing-masing

anggaran daerah di Jabodetabekjur. Hambatan ketiga terkait ketersediaan sarana dan

prasarana BKSP Jabodetabekjur, hambatan ini terkait erat dengan hambatan kedua yaitu

pendanaan. Hambatan ini cukup menghambat kinerja BKSP Jabodetabekjur sehingga

menyebabkan aktifitas kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek harus menunggu

kucuran dana dari daerah itu turun yang mana sering kali kucuran dana dari daer baru turun

saat masalah itu muncul. Hambatan Keempat terkait kewenangan, mengingat dalam peraturan

pembentukan BKSP, BKSP memang hanya dijadikan lembaga fasilitator dan Kordinator,

sehingga ruang gerak BKSP sebagai lembaga kerjasama antara daerah sulit tercapai.

Terkait hambatan-hambatan diatas, penelitian ini mencoba melakukan identifikasi te

model kelembagaan kerjasma antar daerah yang tepat untuk mengelola pembangkit listrik

tenaga sampah (PLTSa) di wilayah Jabodetabek, mengingat dalam hal ini BKSP sebagai

lembaga kerjasama antar daerah yang menangani sektor persampahan, sehingga dalam

prosesnya penelitian ini secara paralel menghasilkan evaluasi terhadap model kelembagaan

BKSP.

Membahas mengenai model kelembagaan yang tepat untuk menjembatani kerjasama

antar daerah di wilayah Jabodetabek, masing-masing informan mengemukakan pandangan

yang berbeda. Argument tersebut ditampilkan dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Usulan Model Kelembagaan

No. Wilayah Model Kelembagaan yang

Dipilih

Alasan Model Kelembagaan yang

di Usulkan

1. DKI Jakarta Penguatan BKSP Kewenangan yang lebih luas Regional Special Districts

and Authorities

2. Kota Bogor Penguatan BKSP Kinerja sudah efektif, tinggal

dikuatkan

Kerjasama Sukarela

3. Kota Depok Dinas Instansi Lebih berkompeten dan

Anggaran Besar

Regional Special Districts

and Authorities

4. Kota Tangerang Selevel Menteri Menghindari tarik ulur Regional Special Districts

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 11: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Perwailan informan dari DKI Jakarta memandang pentingnya penguatan lembaga

kerjasama antar daerah, 3 hal yang perlu dikuatkan yaitu sarana-prasarana, pendanaan dan

perubahan format yang tidak lagi berbentuk sekretariat, mengingat menurutnya dengan hanya

berbentuk sekretariat, ruang gerak BKSP menjadi terbatas. Sejalan dengan BPLH DKI

Jakarta, Kepala UPTD Pengolahan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor

lebih menyarankan penguatan kelembagaan dari BKSP mengingat BKSP dianggapnya telah

berperan secara efektif dengan kewenangan yang dimilikinya. Berbedahalnya dengan DKI

Jakarta dan Bogor, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Depok memandang, model

kelembagaan kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek lebih baik di tangani setingkat

Dinas. Menurutnya sejauh ini dinas lebih berkompeten, baik secara sumber daya manusia

mapun kinerjanya, sedangkan BKSP dirasa tidak lebih dari lembaga kordinator saja.

Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang memandang pentingnya

lembaga kordinasi kerjasama antar daerah seperti halnya BKSP, ditangani oleh aparatur

negara setingkat Menteri, menurut pandangannya, bila lembaga kordinasi di Jabodetabek

dikelola oleh aparatur negara setingkat Gubernur, akan selalu terjadi tarik ulur kepentingan

mengingat masih munculnya kebanggaan kedaerahan. Di lainhal, terkait pentingnya penangan

kepentingan pimpinan daerah and Authorities

5. Kota Bekasi Selevel Menteri Mengingat keberadaannya

meliputi tiga provinsi, yakni

DKI Jakarta, Jawa Barat dan

Banten maka perlu otoritas

yang lebih tinggi agar dapat

mengkoordinasikan ketiga

provinsi tersebut, terutama

terkait pelaksanaan hak dan

kewajibannya.

Jakarta Metropolitan

Authority (JMA)

6. BKSP Selevel Menteri Dengan dibawah

Kementerian, mengundang

daerah yang terlibat itu

untuk datang menjadi lebih

dihargai dan lebih dipatuhi.

Regional Special Districts

and Authorities

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 12: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

lembaga kerjasama antar daerah dengan apartur negara selevel menteri adalah untuk

memperkuat sumber pendanaan dari lembaga kerjasama ini yang diharapkannya dapat berasal

dari APBN. Kepala Dinas Kebersihan Kota Bekasi memandang terkait model kelembagaan

kerjasama antara daerah di wilayah Jabodetabek selayaknya ditangani pada badan khusus

dibawah Presiden. Sedangkan BKSP memiliki Empat kata kunci dalam membenahi dan lebih

memberdayakan itu ialah penguatan SDM, Anggaran, kewenangan dan penyediaan Sarana-Prasarana.

Segi Sumber daya manusia, untuk merevitalisasi BKSP sebagai lembaga strategis

kerjasama antar daerah di Jabodetabek, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten

seluruh bidang yang menjadi tanggung jawab BKSP Jabodetabekjur, sehingga kualitas produk

kerjasama antar daerah serta peforma BKSP dapat ditingkatkan. Segi anggaran, BKSP yang

sejauh ini hanya bertumpu keuangannya dari sisa anggaran tiap-tiap daerah di wilayah

Jabodetabek tidak dapat lagi seperti ini, meningkatnya permasalahan lintas batas serta

kebutuhan kerjasama antar daerah di Jabodetabek menempatkan BKSP pada posisi yang

strategis, sejalan dengan apa yang disampaikan kepala sekretariat BKSP Jabodetabekjur,

pendanaan BKSP perlu dibuka secara lebih luas, baik yang berasal dari pemerintah pusat,

daerah maupun lembaga-lembaga donor.

Segi Sarana-Prasarana, penting dalam menunjang kinerja BKSP Jabodetabekjur,

ketidakjelasan gedung Sekretariat BKSP yang hingga kini masih menumpang di salah satu

gedung kepunyaan Pemprov DKI sebaiknya segera dituntaskan, sehingga aktifitas BKSP

Jabodetabekjur tidak terganggu. Segi kewenangan, hal ini merupakan tumpu dari revitalisasi

BKSP, dalam usaha menjadikan BKSP lembaga strategis kerjasama antar daerah, BKSP

Jabodetabekjur tidak dapat lagi hanya dijadikan sebagai fasilitator dan kordinator dalam

kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, peranan BKSP Jabodetabekjur dapat di

tingkatkan lagi guna menjadi mensinergsikan kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek.

Merujuk ke empat fokus dari Kepala Sekretariat BKSP Jabodetabekjur, ditambah

akan pandangan pentingnya BKSP Jabodetabekjur kedepannya dipimpin oleh suatu

kementerian atau menteri maka model kelembagaan yang sejalan dengan pandangan

perwakilan dari BKSP Jabodetabekjur ini ialah Regioanl Special Districts and Authorities,

dengan model ini, dari segi sumberdaya manusia dapat terjadi peningkatan kualitas

smberdaya manusia BKSP mengingat BKSP berada di bawah kewenagan Kementerian,

dilainhal terbukanya sumber pendanaan dalam model kelembagaan Regional Special District

and Authorities dapat mendorong BKSP dalam berinvestasi pada sumberdaya manusia serta

perbaikan dan pemenuhan sarana-prasarana yang dibutuhkan BKSP Jabodetabekjur.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 13: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Regional Special Districts And Authorities mampu meningkatkan peranan BKSP,

yang sebelumnya hanya lembaga fasilitator dan kordinator kerjasama antar daerah menjadi

lembaga strategis kerjasama antar daerah, mengingat keberadaan menteri sebagai pemimpin

dari BKSP Jabodetabekjur.

Tabel 2. Identifikasi Kelebihan dan Kelemahan Konsep Kelembagaan Megapolitan

Konsep

Kelembagaan

Deskripsi Kelebihan Kekurangan

Satu Tingkat

(Urban County &

Consilidation Of

Houston)

1. Terdapat satu

organisasi pemerintahan

metropolitan

2. Bertanggung jawab

penuh menyediakan

pelayanan publik.

3. Terbentuk melalui

proses amalgasi dan

aneksasi.

1. Memudahkan kordinasi

dalam penyediaan layanan

2. Pembuatan kebijakan

menjadi lebih cepat dan

mudah

3. Akuntabilitas menjadi

lebih jelas.

1. Terlalu luasnya cakupan

pelayanan dari pemerintahan

megapolitan

2. Sulitnya pendistribusian

pelayanan secara merata,

3. Penyampaian

masukan/aspirasi terkait

pelayanan publik menjadi sulit.

Dua Tingkat

(Extra

Metropolitan

Region, Jakarta

Metropolitan

Authority)

1.Terdapat dua bentuk

pemerintahan

2.Pembagian

kewenangan atas azas

lingkup dan manfaat

1.Terbaginya kewenangan

penyediaan pelayanan

publik antara pemerintah

atas dan bawah, hal ini

2. Distribusi pelayanan

publik secara cepat dan

merata

3.Pelayanan publik

menjadi representatif

kebutuhan masyarakat

1. Memungkinkan terjadinya

duplikasi kebijakan

2. Transparansi menjadi sulit

di ukur.

3. Tidak Efisien dalam

pelayanan publik.

Sukarela

(BKSP)

1. Dibentuk suatu

lembaga independen,

2. Bersifat tidak

permanen, sehingga

lembaga kerjasama

3. Mudah dibentuk dan

1.Kemudahan dalam

pembentukan dan

pembubaran lembaga

2. Otonomi atau

kewenangan masing-

masing daerah tetap

1.Secara struktural tidak kuat

2. Tidak ada figur pemersatu

atau pengikat

3. Minim Akses pendanaan,

4. Hanya Lembaga Kordinasi

5. Tidak dijadikan lembaga

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 14: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

dibubarkan

terjaga

3. Kebijakan representatif

kerjasama utama

Distrik Khusus

(Regional Special

Districts And

Authorities)

1.Pembentukan otorita,

distrik atau komisi

khusus,

2.Pembentukannya

diatur oleh Undang-

Undang Negara.

3.Berwenang dalam

menyediakan pelayanan

khusus.

4.Sumber pembiayaan

beragam dan transparan

5.Mensyaratkan

pemerintah daerah yang

otonom dan kuat

1.Kuatnya ikatan antar

daerah-daerah yang

berkerjasama,

2.Tidak menghilangkan

peran masing-masing

daerah dalam mengelola

daerahnya sendiri,

3.Sumber pendanaan

beragam dan Akuntabel

4.Keberlanjutan

Kerjasama

1.Harus mendobrak budaya

hegemoni kedaerahan,

Hasil dari penelitian ini, Regional Special Districts And Authorities dipilih

mayoritas Informan dalam penelitian ini, adapun alasan dari pemilihan Regional Special

Districts And Authorities sebagai model kelembagaan kerjasama antar daera di wilayah

Jabodetabek ialah: Kebutuhan Kepemimpinan setingkat menteri di lembaga kerjasama antar

daerah di wilayah Jabodetabek, Sumber pendanaan yang beragam ( dapat berasal dari

pemerintah pusat, daerah maupun lembaga lainnya), legitimasi lembaga kerjasama antar

daerah dapat tercapai dengan format kelembagaan otorita atau komisi khusus dibawah

kepemimpnan Menteri, kewenangan lembaga kerjasama antar daerah semakin dipertajam

dengan format kelembagaan otorita atau komite khusus, sehingga tidak lagi sekedar

fasilitator atau kordinator dalam kerjasama antar daerah di wilayah jabidetabek. Adapun

informan yang memilih model kelembagaan ini yaitu:

- DKI Jakarta (Kasubdit Pengelolaan Sumber Daya Sampah dan Limbah B3- BPLH DKI

Jakarta) ,

- Tanggerang (Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tanggerang)

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 15: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

- Depok (Kepala BPLH Kota Depok)

- BKSP (Kepala Sekretariat BKSP Jabodetabekjur).

Model kelembagaan Jakarta Metropolitan Authority belum dapat dilaksanakan di

lembaga kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, meskipun terdapat banyak hal positif

dari model kelembagaan kerjasama antar daera JMA ini, diantaranya pendanaan,

kelembagaan dan legitimasi yang sangat kuat, hanya saja pensyaratan pembentukan

kementerian khusus untuk menangani kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek perlu

dilakukan kajian lebih jauh, terkait efisiensi anggaran nasional. Adapun informan yang

memilih model kelembagaan JMA yaitu Kota Bekasi (Kepala Dinas Kebersihan Kota

Bekasi). Sedangkan yang terakhir, masukan model kerjasama antar daerah dengan model

kerjasama sukarela, tidak dapat dilaksanakan mengingat hal itulah yang mnejadi titik lemah

dari BKSP Jabodetabekjur saat ini. adapun masukan pilihan model kelembagaan kerjasama

sukarela ini berasal dari Kota Bogor (Kepala UPTD Pengelolaan Sampah- Dinas Kebersihan

dan Pertamanan Kota Bogor).

Simpulan

Volume sampah di Jabodetabek mencapai11.506,96 ton/hari. Namun secara rinci,

Jakarta menjadi penyumbang sampah harian terbesar yaitu 6.500 ton/hari. Melihat tingginya

jumlah sampah tersebut, dan masih terbatasnya pemanfaatan sampah di Jabodetabek, maka

muncul wacana untuk memanfaatkannya sebagai sumber energi alternatif sebagaimana

wacana pemerintah. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menjadi salah satu energi

alternatif yang dikembangkan saat ini.

Baik pemerintah pusat yang diwakili Kementerian ESDM, PT PLN maupun

Pemerintah Daerah sangat tertarik untuk memanfaatkan sampah menjadi energi alternatif

yang dalam hal ini listrik. Di beberapa daerah seperti DKI Jakarta dengan TPST

Bantargebangnya sudah mengelola sampah menjadi energi listrik. Demikian pula daerah-

daerah lainnya di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang mengarah pada arah yang sama,

yaitu mempertimbangkan pemanfaatan sampah menjadi energi listrik. Sejauh ini, daerah-

daerah tersebut telah membuka peluang bagi investor yang tertarik mengelola sampah kota

menjadi energi listrik untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah. Dengan kerjasama ini,

daerah akan mendapatkan keuntungan karena daerahnya bersih dari sampah dan biaya

pengelolaan sampah menjadi minim, di lain hal investor juga mendapat keuntungan dari

listrik yang diperjualbelikan dengan PT PLN (Persero).

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 16: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Terkait model kelembagaan kerjasama antar daerah dalam pengelolaan sampah

menjai energi listrik, mengacu pada konsep R.M Bird and E. Slack, maka dapat disimpulkan

bahwa model kelembagaan kerjasama antar daerah yang dipilih adalah Regional Special

Districts And Authorities. Dengan Regional Special Districts And Authorities, tarik ulur

kepentingan yang selama ini terjadi melalui mekanisme BKSP dapat diminimalisir karena

adanya otorita khusus yang memiliki kuasa dalam membuat keputusan dalam rangka

pelayanan publik melewati batas-batas kota. Otoritas khusus inipun nantinya semakin

diperkuat dengan kepemimpinan aparatur setingkat menteri, sehingga baik dalam pendanaan,

kelembagaan serta kewenangan BKSP dengan model kelembagaan Regional Special Districts

And Authorities jauh lebih kuat.

Regional Special Districts And Authorities nantinya akan bertanggungjawab secara

penuh terkait hal-hal kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, di lainhal lembaga

inipun berperan aktif dalam mengatasi masalah lintas batas di Jabodetabek. Pengutan kualitas

SDM dan perbaikan saran- prasarana dapat dicapai mengingat dengan Regional Special

Districts And Authorities sumber pendanaan BKSP nantinya menjadi lebih beragam, yaitu

DARI Pemerintah Pusat, Daerah maupun lembaga lainnya.

Model Regional Special Districts And Authorities tetap menghargai dan

menghormati otonomi tiap daerah di Jabodetabek, sehingga muncul pembagian kewenagan

yang mana urusan bersama di tangani oleh BKSP sedangkan urusan-urusan yang bersifat

lokalitas atau kedaerahan tetap dipercayakan kepada masing-masing daerah. Perwakilan-

perwakilan dari kepala daerah atau tiap daerah akan diakomodir dalam model kelembagaan

kerjasama ini, sehingga representasi kebutuhan atau kepentingan daerah tetap ada.

Saran

Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, Terkait lembaga kerjasama antar

daerah yaitu BKSP Jabodetabek, revitalisasi yang menjadi semangat Kepala BKSP saat ini

(Ahmad Heryawan) perlu didukung oleh berbagai pihak. Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Bappenas) beserta segenap pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek perlu

mempertimbangkan model yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah ini sehingga

lembaga kerjasama antar daerah dapat lebih berdaya dan memberdayakan. Lembaga

kerjasama antar daerah selayaknya tidak dipandang sebelah mata, konsep megapolitan secara

riil terjadi dan memunculkan kesamaaan masalah dan kebutuhan yang perlu ditangani

bersama.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 17: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Dengan megapolitan, pengelolaan sampah secara bersama-sama adalah suatu hal yang

mutlak dilakukan, baik dalam tahap koordinasi maupun pengelolaan dalam suatu usaha

bersama karena adanya keterkaitan yang erat antara persoalan suatu daerah dengan daerah

lainnya di kawasan megapolitan Jabodetabek. Beragamnya energi anternatif atau energi baru

terbarukan dapat menjadi pilihan bagi pemerintah daerah guna memberdayakan inovasi dan

aparatur daerah sembari mengurangi perusakan alam karena penggunaan energi fosil.

Terkait BKSP, terdapat beberapa rencana aksi yang perlu dilakukan, Pertama,

Penguatan posisi serta kewenangan BKSP melalui Undang-Undang atau perangkat peraturan

lainnya tentang Megapolitan Jabodetabek dan Kelembagaan BKSP sehingga terdapat

kesepahaman antar daerah di Jabodetabek mengenai peranan BKSP. Kedua, Penempatan

tenaga yang kompeten di BKSP sesuai bidang tugasnya sehingga meningkatkan daya tawar

dari lembaga BKSP serta meningkatkan kualitas kebijakan dari BKSP, lembaga kerjasama

atau koordinasi harus didudukan pada posisi penting, lembaga ini tidak lagi hanya

diberdayakan saat ada masalah saja melainkan jauh-jauh hari sebelum masalah itu muncul

sehingga dapat dilakukan mitigasi resiko. Ketiga, Lembaga kerjasama antar daerah

Jabodetabek perlu dipegang atau dikepalai oleh suatu lembaga terpisah atau suatu elemen

yang memiliki pengarus yang lebih besar dibandingkan para pemimpin daerah di wilayah

Jabodetabek sehingga tarik ulur kepentingan yang selama ini terjadi dapat ditengahi dan

diputuskan secara cepat. Keempat, Anggaran untuk BKSP selayaknya dibuka sebesarnya-

besarnya dari berbagai sumber lembaga donor atau penyumbang, sehingga kinerja BKSP

tidak lagi terhambat masalah anggaran. Kelima, Pelaksanaan forum-forum diskusi oleh BKSP

dengan berbagai stakeholder terkait guna melihat urgensi persoalan yang perlu

dikerjasamakan.

DAFTAR RUJUKAN

Buku:

Creswell, John W. 2003. Research Design, Quantitative dan Qualitative Approaches. Jakarta:

KIK Press.

Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah: Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal,

Kota, dan Kawasan. Jakarta: Salemba Empat.

Ruland, Jurgen. 1996. The Dynamics of Metropolitan Management in Southeast Asia.

Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 18: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Suselo, Hendropranoto. 2005. Jabodetabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah. Jakarta:

Anonim.

Sutiyoso, (2007). Megapolitan, Pemikiran Tentang Strategi Pengembangan Kawasan

Terpadu dan Terintegrasi Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur.

Jakarta, PT.Elexmedia Komputindo Kelompok Gramedia.

World Bank, the International Bank for Reconstruction and Development. 1999. What a

Waste: Solid Waste Management in Asia. Washington, D.C: Urban Development Sector

Unit of East Asia and Pasific Region.

Yudohusodo, Siswono. 1998. Transmigrasi, Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk

Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: Jurnalindo Aksara Grafika.

Yunus, Hadi Sabari. 2006. Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek. Yogyakarta: PT

Pustaka Pelajar.

Jurnal:

Budiono, Haris. 2011. Penyusunan Model Kerjasama Ciayumajakuning. Jurnal Kybernan, 2,

131. 146.

Kurniawan, Teguh. 2006. Kepemerintahan Kawasan Metropolitan: Sumbangan Pemikiran

Untuk Revisi UU 34/1999. Jurnal Industri dan Perkotaan, X, 1188-1207.

Maksum, Irfan Ridwan. 2009. Mengelola Megapolitan Jakarta: Quo Vadis?. Makara Sosial

Humaniora, 13, 13-18.

Website:

Ispranoto. 2013. “Bermasalah, Aktivis Tolak Pembangunan PLTSa Gedebage”. Diakses dari

http://daerah.sindonews.com/read/2013/08/29/21/776795/bermasalah-aktivis-tolak-

pembangunan-pltsa-gedebage diakses pada 18 Maret 2014, pukul 2.38 WIB.

Karya Tulis:

Fatimah, Siti Ade. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah Menjadi

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor. Skripsi. IPB.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014

Page 19: Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam

Keban, Yeremias T. 2005. Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi: Isu

Strategis, Bentuk dan Prinsip. Administrasi Negara. Yogyakarta: UGM.

Raharjo, Bambang Tino. 2009. Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah di

Jabodetabek. TESIS. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Universitas

Indonesia.

Sinaga, Murbanto. 2005. Model Kerjasama Antar Daerah dalam Pembiayaan Pembangunan

Daerah. Karya Tulis. Ekonomi Pembangunan. Univeristas Sumatera. Tidak

Diterbitkan.

Surakusumah, Wahyu. 2010. Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternati Solusinya.

Karya Tulis. Biologi. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.

Swasaono, Sri Edi. 2000. Kerjasama Antar Daerah. Disampaikan pada Raker Gubernur Se-

Jawa Bali 13-14 April.

Tiwow, Clara et al. 2008. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS07). Program Pasca

Sarjana/S3. Bogor: IPB.

Warsono, Hardi. 2009. Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah: Studi Kasus

Dinamika Kerjasama Antar Daerah yang Berdekatan di Jawa Tengah. Disertasi.

Yogyakarta: UGM.

Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014