model alokasi investasi pemerintah dan swasta · telah menimbulkan banyak permasalahan sosial,...

24
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu masalah dan tantangan besar pembangunan ekonomi di Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang adalah disparitas hasil pembangunan, baik disparitas antar wilayah, antar golongan masyarakat maupun antar sektoral. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam konteks makro. Potensi konflik antar daerah/wilayah menjadi besar, wilayah- wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi disparitas karena beberapa alasan, antara lain: (1) untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap, (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat, (3) untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya, (4) untuk meningkatkan lapangan kerja, (5) untuk mengurangi beban sektor

Upload: trananh

Post on 22-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu masalah dan tantangan besar pembangunan ekonomi di

Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang adalah disparitas hasil

pembangunan, baik disparitas antar wilayah, antar golongan masyarakat maupun

antar sektoral. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam

konteks makro. Potensi konflik antar daerah/wilayah menjadi besar, wilayah-

wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya.

Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang

saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena

eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Ketidakseimbangan pertumbuhan

wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah

telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik.

Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang

bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada

akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh.

Setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun

belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk

meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi disparitas

karena beberapa alasan, antara lain: (1) untuk mengembangkan perekonomian

secara simultan dan bertahap, (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat,

(3) untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber

daya, (4) untuk meningkatkan lapangan kerja, (5) untuk mengurangi beban sektor

2

pertanian, (6) untuk mendorong desentralisasi, (7) untuk menghindari konflik

lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif, dan (8) untuk meningkatkan

ketahanan nasional (Bappenas, 2006). Untuk itu dibutuhkan kebijakan program

yang mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah atau kawasan, dan

perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah atau kawasan yang

berimbang.

Di Indonesia, dari sisi pertumbuhan ekonomi wilayah, ketimpangan

pertumbuhan tidak hanya terjadi antar Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan

Kawasan Timur Indonesia (KTI), tetapi juga antar provinsi, dan antar wilayah

pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan data BPS (2005 dan 2009a) dalam selang

waktu tahun 2003-2008, rata-rata tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto

(PDB) di KBI sekitar 5.24 persen per tahun dan cenderung meningkat, sedangkan

rata-rata tingkat pertumbuhan PDB di KTI hanya 3.85 persen per tahun serta

berfluktuasi. Perbedaan tingkat pertumbuhan ini semakin memperparah

ketimpangan nilai PDB antar kedua kawasan tersebut. Pada tahun 2003, sekitar

82.82 persen dari total PDB nasional terkonsentrasi di wilayah KBI dan sisanya

17.18 persen tersebar di provinsi-provinsi wilayah KTI, pada tahun 2008

konsentrasi PDB di KBI meningkat menjadi 83.55 persen. Perbedaan tingkat

pertumbuhan antara kawasan KBI dan KTI juga menyebabkan tingkat pendapatan

perkapita di hampir semua provinsi di KTI lebih rendah dibandingkan di provinsi-

provinsi di KBI.

Ketimpangan antar wilayah provinsi dapat dilihat dari penguasaan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh provinsi dan laju pertumbuhan PDRB

antar provinsi. Pada kurun waktu 2003-2008, Provinsi di Jawa dan Bali menguasai

3

rata-rata sekitar 60.57 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera

menguasai rata-rata sekitar 22.44 persen, provinsi di Kalimantan menguasai rata-

rata 9.40 persen, Sulawesi menguasai 4.11 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara,

Maluku dan Papua hanya 3.48 persen. Selain itu, dalam periode 2003-2008, rata-

rata laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali sebesar 5.60 persen per

tahun, provinsi di Sumatra sebesar 4.25 persen per tahun, provinsi di Kalimantan

3.31 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 6.21 persen per tahun, dan provinsi di

Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 2.47 persen per tahun (BPS, 2005 dan

2009a).

Ketimpangan pendapatan yang sering mendapat perhatian besar adalah

ketimpangan antara pedesaan dan perkotaan. Ketimpangan antar wilayah

pedesaan dan perkotaan dapat dilihat dari sebaran jumlah penduduk

miskin.Ketimpangan tersebut masih cukup besar. Data BPS (2009b)

menunjukkan bahwa dalam tahun 2001-2008, rata-rata jumlah penduduk miskin

per tahun di perdesaan hampir dua kali lipat dari jumlah penduduk miskin di

perkotaan, yakni sekitar 24.70 juta jiwa untuk di daerah perdesaan dan sekitar

12.43 juta jiwa di daerah perkotaan.

Kondisi disparitas perekonomian regional demikian pada akhirnya

menyebabkan lemahnya kondisi perekonomian nasional secara makro. Rata-rata

pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir (tahun 2003-2008) sebesar 5.47

persen per tahun, lebih rendah dari target pertumbuhan yang diinginkan

pemerintah sebesar 6.5 persen, sementara tingkat pengangguran dan jumlah

penduduk miskin masih tetap tinggi. Meskipun dalam kurun waktu 2003-2008

4

tingkat pengangguran mengalami penurunan dari 9.7 persen pada tahun 2003

menjadi 8.46 pesen pada awal tahun 2008, akan tetapi jumlah nominal penduduk

menganggur masih cukup besar yakni hampir 10 juta jiwa di tahun 2008. Secara

nominal, jumlah penduduk miskin masih tetap besar yakni sekitar 34.96 juta pada

tahun 2008, tidak banyak berubah dari kondisi sebelumnya yang sebesar 37.3 juta

pada tahun 2003 (BPS, 2007a dan 2009b).

Masalah disparitas ekonomi antar wilayah tidak lepas dari masalah

implementasi kebijakan pembangunan ekonomi. Kim (2007) mengemukakan

bahwa faktor pendorong peningkatan atau penurunan disparitas ekonomi antar

wilayah adalah kebijakan pemerintah yang dapat berupa industrial policies;

migration policies dan public infrastructure. Dari sisi industrial policies,

kebijakan pemerintah dalam mendorong perekonomian tergantung desain rencana

pembangunan dimana secara historis proses pembangunan dan industrialisasi di

berbagai negara umumnya diawali dengan penguatan sektor pertanian melalui

modernisasi institusi pedesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke

pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas.

Kebijakan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, dimana secara

umum pada awal masa pembangunan ekonomi di era Orde Baru, secara formal

grand strategi pembangunan ekonomi menempatkan sektor pertanian sebagai

sektor prioritas dalam upaya mewujudkan visi pembangunan ekonomi yakni

terwujudnya landasan memasuki era tinggal landas (take off). Semua tahapan

pembangunan ekonomi dititiberatkan pada sektor pertanian dan industri yang

artinya bahwa strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I didasarkan pada

pendekatan industrialisasi bertahap dan berimbang dengan dukungan sektor

5

pertanian. Strategi pembangunan demikian dipelopori oleh Rostow (1960) yang

secara spesifik mengemukakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak

bagi keberhasilan pra kondisi tinggal landas (Rostow dalam Simatupang dan

Syafa’at, 2000) .

Namun demikian, dalam perjalannya terjadi senjang strategi formal dan

kebijakan operasional karena masalah di tataran pasar politik ekonomi.

Pembangunan strategi industrialisasi berbasis pertanian hanya retorika belaka.

Pentahapan tinggal landas tidak mengikuti pandangan Rostow atau menurut

Tambunan dan Priyanto (2005), pola transformasi yang terjadi tidak mengikuti

struktur klasik yakni Agriculture-Industry-Service (AIS) ke IAS dan selanjutnya

menjadi ISA dan SIA. Sebaliknya, Indonesia membentuk pola sendiri yang

diawali dengan ASI hingga menjelang tahun 1980, untuk selanjutnya langsung

mengambil jalan pintas ke SIA hingga 1995. Pelaksanaan strategi PJP I atau

strategi industrialisasi di era Orde Baru terlalu mengandalkan peranan industri

besar modern yang sangat bias ke arah teknologi padat modal, sementara

persoalan riil yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia adalah labor surplus

phenomenon. Dengan kebijakan ini, proses pembangunan ekonomi terpusatkan di

sektor-sektor tertentu (infrastruktur, industri dan perbankan) dan di wilayah

tertentu yakni Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya sehingga pembangunan bias

perkotaan dan industri padat modal dengan harapan hasil pembangunan ini akan

menetes atau terjadi trickle down effect ke sektor-sektor dan ke wilayah lainnya di

Indonesia. Pelaksanaan kebijakan pembangunan ini lebih berorientasi kepada

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan diasumsikan akan dengan

sendirinya terjadi melalui trickle down effect.

6

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pada pembangunan era Orde

Baru, trickle down effect dari hasil pembangunan relatif kecil, kalau tidak bisa

dikatakan tidak ada sama sekali, atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat

(Tambunan, 2006). Pada masa Orde Baru (1970-1997) memang tingkat

pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, dimana sampai sebelum masa krisis,

pertumbuhan ekonomi mampu mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun; akan

tetapi secara umum tingkat kesenjangan ekonomi baik distribusi pendapatan antar

golongan maupun antar wilayah mengalami peningkatan yang tajam seperti yang

terlihat pada Gambar 1.1.

Strategi industrialisasi yang bias industri besar serta padat modal dan tidak

ramah terhadap sektor pertanian mempercepat laju penurunan sektor pertanian

dalam komposisi PDB (Tambunan, 1998; Daryanto, 1999; Simatupang dan

Sjafa’at, 2000). Secara bertahap peran sektor pertanian dalam pembentukan PDB

terus mengalami penurunan dari sekitar 47.6 persen pada tahun 1970 menjadi

14.40 persen pada tahun 2008. Penurunan peran sektor pertanian dalam

pembangunan ekonomi sebetulnya merupakan suatu fenomena yang alamiah,

namun khusus untuk kasus Indonesia, penurunan peran sektor pertanian tersebut

menyimpan dan menyisakan sejumlah masalah diantaranya kemiskinan dan

ketimpangan pendapatan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah.

Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), kondisi tersebut karena

transformasi struktural yang tidak berjalan secara bertahap menyebabkan: (1) dari

sisi serapan tenaga kerja, perubahan struktur praktis tidak terjadi mengingat

struktur total tenaga kerja menurut sektor masih tetap membentuk pola ASI,

(2) terjadi ketimpangan produktivitas tenaga kerja sektoral yang cukup tajam, dan

7

(3) sektor pertanian menderita underinvestment mengingat tingkat produktivitas

pertanian secara keseluruhan belumlah terlalu tinggi bertalian dengan rendahnya

investasi di sektor ini. Alokasi kredit perbankan misalnya, berdasarkan data

histrorik menunjukkan bahwa sektor pertanian memperoleh curahan kredit

perbankan yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor industri dan jasa.

Konjektur di sini adalah kebijakan moneter yang ada juga bias ke arah industri

yang selanjutnya membuat posisi sektor pertanian menjadi inferior.

Pembangunan yang dilaksanakan Orde Baru terbukti gagal baik dalam

menciptakan pemerataan pembangunan maupun dalam menciptakan struktur

ekonomi yang berimbang dan tangguh secara berkelanjutan. Hal ini terbukti pada

saat krisis ekonomi tahun 1997, sektor industri mengalami kehancuran karena

tidak terintegrasi secara kuat dengan sektor pertanian sebagai penyedia bahan

baku. Sementara, pada saat krisis tersebut satu-satunya sektor yang tumbuh

positif adalah sektor pertanian dan ketika sektor pertanian tumbuh, tingkat

ketimpangan baik antar golongan pendapatan maupun antar wilayah mengalami

penurunan. Berdasarkan koefisien gini, tingkat ketimpangan distribusi

pendapatan menurun dari sekitar 0.4 lebih di tahun 1990-an menjadi 0.32 pada

tahun 1998. Sementara tingkat ketimpangan antar wilayah menunjukkan sedikit

penurunan dari 0.671 pada tahun 1997 menjadi 0.605 pada tahun 1998 (Sjafrizal,

2000). Begitu pula dengan hasil studi Akita dan Alisjahbana (2002), tingkat

ketimpangan antar wilayah di tahun 1998 mengalami penurunan, kembali ke

tingkat ketimpangan pada tahun 1993-1995.

Penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya

krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi

industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat

8

tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurang maju yang pada umumnya

adalah daerah-daerah pertanian, seperti misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian,

khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup

mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul

oleh krisis ekonomi. Fenomena tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan

ketimpangan antar wilayah di saat krisis ini secara implisit menunjukkan

pentingnya peran sektor pertanian dalam upaya meningkatkan pemerataan hasil

pembangunan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah.

Dengan demikian, pasca Orde Baru atau mulai era reformasi hingga

kabinet Indonesia Bersatu dewasa ini, Indonesia kembali menjadikan sektor

pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi. Fakta empiris

menunjukkan bahwa di sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia,

sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting dalam

perekonomian. Meskipun secara nasional, sektor pertanian tidak lagi menjadi

kontributor utama PDB dan kontribusinya cenderung menurun, namun sektor

tersebut baik secara nasional maupun regional tetap merupakan sektor penting.

Daryanto (1999), mengemukakan bahwa pentingnya mengembangkan

sektor pertanian di negara-negara berkembang, sejalan dengan paradigma

pembangunan pertanian dan perekonomian dewasa ini. Teori penurunan peranan

relatif sektor pertanian, yang mendominasi pemikiran pembangunan ekonomi

pada tahun 1950-an dan 1960-an, sering diartikan untuk memberikan prioritas

kepada sektor industri dan mengabaikan pembangunan di sektor pertanian. Dalam

hal ini, sektor pertanian dianggap sebagai suatu sektor yang statis dan mempunyai

peranan yang negatif dalam pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, sejak tahun

9

1980-an terdapat perubahan pemikiran yang signifikan dalam kebijakan publik

yang memandang sektor pertanian lebih positif dan sektor ini diyakini dapat

berperan sebagai sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi.

Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia, tidak hanya

karena kemampuan sektor pertanian dalam menghadapi gejolak ekonomi, tetapi

juga karena peran penting lainnya. Sebagian besar provinsi (60 persen) sumber

PDRB utamanya adalah sektor pertanian dan sebagian besar dari provinsi tersebut

berada di luar Jawa dan Sumatera. Pentingnya sektor pertanian, baik secara

nasional maupun regional juga dapat dilihat dari kontribusinya yang besar dalam

penyerapan tenaga kerja. Dalam delapan tahun terakhir (1999-2008), secara

nasional, sektor pertanian masih menjadi penyedia lapangan kerja terbesar, rata-

rata kontribusinya lebih dari 40 persen. Disamping itu, kemiskinan lebih banyak

di pedesaan dan pertanian atau di provinsi yang perekonomiannya didominasi

sektor pertanian. Dengan demikian, rata-rata tingkat pendapatan perkapita di

provinsi yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian lebih kecil daripada

di provinsi lainnya. Rata-rata pendapatan perkapita di provinsi tersebut dalam

delapan tahun terakhir (2000-2008) hanya sekitar 4.8 juta rupiah, jauh lebih kecil

dari rata-rata pendapatan perkapita di provinsi lainnya yang mencapai sekitar 11.2

juta rupiah (BPS, 2005 dan 2009a). Disamping itu di masa yang akan datang

sektor pertanian akan semakin penting terkait perannya dalam menyediakan food,

feed dan fuel.

Strategi pembangunan atau industrialisasi yang mengedepankan

pembangunan sektor pertanian adalah Agricultural Development Led-

Industrialisation (ADLI). Ide dasar strategi ADLI dikemukakan oleh Adelman

(1984) yang juga meyakini bahwa sektor pertanian dapat menjadi leading sector

10

yang mempromosikan pertumbuhan dan industrialisasi. Sementara menurut

Kuznets (1964), Mellor (1966), Ghatak dan Ingersent (1984), Adelman (1984) dan

Norton (2004) di negara berkembang seperti Indonesia, sektor pertanian dapat

menjadi leading sector. Strategi ADLI menggarisbawahi peranan peningkatan

produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam

meningkatkan pendapatan pedesaan. Produksi pertanian yang meningkat

menciptakan pasar pasar bagi barang-barang industri karena keterkaitan

permintaan antara dan perminataan akhir yang kuat. Karena permintaan untuk

barang-barang industri meningkat, transfer sumberdaya dari sektor pertanian

mulai muncul, kemudian diikuti dengan pertumbuhan di sektor non pertanian.

Beberapa hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa prioritas

pembangunan ekonomi ke pembangunan sektor pertanian mampu memecahkan

masalah kemiskinan, pengangguran serta pertumbuhan ekonomi (Datt dan

Ravallion,1998; Fan et al., 1999; Sipayung, 2000; Mellor, 2001; Anderson, 2002;

Fan et al., 2002; Thirtle et al., 2003; Lopez dan Anriquez, 2004; Lofgren dan

Robinson, 2004; Yudhoyono, 2004; Astuti, 2005; de Ferranti et al., 2005).

Disamping itu, beberapa studi (Takeda dan Nakata, 1998; Bautista dan Thomas,

2000; Jiang, 2003; Pardede, 2004; Byerlee et al., 2005; Oktaviani et al. 2007a; Al-

Hasan dan Diao, 2007; Lipton dan Zhang, 2007; dan Liu et al., 2008)

menunjukkan bahwa pembangunan/investasi di sektor pertanian, sektor

basis/kunci atau leading sector berpotensi mengurangi ketimpangan antar wilayah

atau mendorong konvergensi ekonomi antar wilayah.

Menurut Murty (2000), untuk dapat membangun keterkaitan antar wilayah

dan mengurangi kesenjangan antar wilayah, maka dapat dilakukan dengan

menerapakan strategi: (1) mendorong pemerataan investasi, (2) mendorong

11

pemerataan permintaan (demand), dan (3) mendorong pemerataan tabungan.

Menurut backwardness theories (modernization theories), kurang berkembangnya

suatu wilayah (underdevelopment) adalah karena rendahnya tingkat investasi.

Tingkat investasi yang rendah akan menghasilkan tingkat output dan pendapatan

yang rendah.

Investasi adalah salah satu faktor penting penentu keberhasilan

pembangunan ekonomi karena akan mendorong pertumbuhan ekonomi baik

nasional, regional dan sektoral. Dalam model ekonomi makro Keynes,

peningkatan investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi

juga meningkatkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas

produksi atau produktivitas. Kedua peran tersebut menyebabkan investasi

mempunyai efek pengganda yang besar dalam perekonomian suatu negara atau

daerah. Model Harrold-Domar menjelaskan bahwa dalam jangka panjang,

investasi akan meningkatkan penawaran melalui peningkatan stok kapital yang

pada gilirannya akan meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk mengha-

silkan output atau melakukan kegiatan-kegiatan produksi. Kegiatan produksi

tersebut akan meningkatkan juga penyerapan tenaga kerja. Proses ini pada akhir-

nya akan memicu meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Untuk Indonesia, kegiatan investasi merupakan upaya mendasar yang

harus dipacu untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Indonesia adalah salah

satu negara di Asia dengan jumlah penduduk yang besar yaitu 228.5 juta pada

tahun 2008 (BPS, 2009b). Jumlah tersebut adalah keempat terbesar di dunia

setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang besar jika

dibarengi dengan peningkatan pendapatan per kapita merupakan pasar potensial

bagi produk industri. Hal ini sekaligus merupakan daya tarik investor, baik dalam

12

negeri maupun asing. Disamping itu, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia

selama ini lebih ditopang oleh kegiatan konsumsi masyarakat daripada investasi.

Selama kurun waktu 2000-2007, dari total PDB, rata-rata kontribusi konsumsi

rumah tangga sebesar 65.13 persen; sedangkan untuk kegiatan pembentukan

modal tetap sektor swasta hanya memberikan kontribusi rata-rata sebesar 24.16

persen; dan rata-rata konsumsi pemerintah sebesar 8.40 persen (BPS, 2006a dan

2009b).

Dalam kondisi sumber pembiayaan pembangunan yang terbatas, maka

pemihakan kebijakan pembangunan ekonomi terhadap sektor tertentu diharapkan

tidak hanya memecahkan masalah pembangunan ekonomi sektoral, tetapi juga

masalah perekomian makro dan wilayah. Kebijakan alokasi investasi sektoral

mempunyai implikasi penting terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi

regional karena perencanaan pembangunan sektoral bersifat lintas wilayah. Suatu

wilayah perencanaan sektoral biasanya melebihi batas wilayah administratif

karena lebih mengacu pada suatu konsep wilayah homogen. Dalam suatu

perekonomian yang terbuka, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak hanya

tergantung pada pertumbuhan dari sektor-sektor perekonomiannya itu sendiri,

akan tetapi juga tergantung pada keterkaitan antar wilayah dimana keterkaitan

antar wilayah terjadi melalui keterkaitan antar sektor apakah dalam suatu sistem

agribisnis ataupun dalam suatu sistem keterkaitan ekonomi antara industri hulu

dan hilir, serta sebagai implikasi dari kebijakan investasi sektoral.

1.2. Perumusan Masalah

Bagi Indonesia, investasi tidak hanya penting untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi nasional, akan tetapi juga dibutuhkan dalam upaya

13

memperkecil disparitas ekonomi baik disparitas wilayah maupun disparitas antar

golongan masyarakat dimana dalam sepuluh tahun terakhir tingkat disparitas

ekonomi antar wilayah di Indonesia yang diukur oleh Coefficient of Variation

Williamson (CVw) indeks cenderung meningkat dan bertahan pada tingkat yang

relatif tinggi (Gambar 1). Pada tahun 1994-1998 nilai indeks CVw sekitar 0.6 dan

sejak tahun 1999 menjadi sekitar 0.8 hingga tahun 2008. Dengan demikian,

mobilisasi dana pembangunan atau investasi, tidak hanya penting

mempertimbangkan dari sisi kuantitasnya juga penting dari sisi alokasinya baik

secara sektoral maupun spatial.

Gambar 1. Disparitas Pendapatan Antar Wilayah Provinsi di Indonesia, Tahun 1971-2008

Sumber: Sjafrizal, 2000 dan 2008; BPS, 2005 dan 2009a (diolah).

Ketimpangan tersebut diduga terkait erat dengan masalah alokasi investasi

yang masih bias ke sektor industri dan bias ke wilayah Jawa. Kebijakan

14

pembangunan pasca Orde Baru yang kembali menjadikan sektor pertanian sebagai

landasan pembangunan ekonomi tidak disertai dukungan investasi yang memadai.

Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal (dimulai tahun 2000) yang ditujukan selain untuk

mempromosikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk meredam masalah

ketimpangan pembangunan antar wilayah, belum juga memberikan hasil yang

memuaskan. Salah satunya karena alokasi anggaran pembangunan belum

mempertimbangkan sektor unggulan dimana alokasi investasi sektoral selama ini

tanpa didasari alasan yang jelas.

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa dengan adanya desentralisasi

fiskal meningkatkan secara nyata kinerja fiskal daerah yang artinya meningkatkan

dana pembangunan/investasi pemerintah daerah (Sartiyah, 2001; Yuliati, 2002;

Riyanto, 2003; Pakasi, 2005; Sumedi, 2005). Peningkatan kinerja fiskal, di satu

pihak, meningkatkan kinerja perekonomian daerah walaupun sebagian besar tidak

secara signifikan (Wuryanto,1996; Sartiyah, 2001; Yuliati, 2002; Riyanto, 2003;

Pakasi, 2005; Sumedi, 2005) dan dipihak lain memperbesar disparitas wilayah

(Riyanto, 2003; Islam, 2003; Dartanto dan Brodjonegoro, 2003; Pardede, 2004;

Sumedi, 2005; Waluyo, 2007; Fadjar dan Sembiring, 2008). Hal ini disebabkan,

sebagian besar APBD dialokasikan untuk anggaran rutin dan tidak ke anggaran

pembangunan (Riyanto, 2003; Pardede, 2004; Sumedi, 2005), dan juga dalam

alokasi anggaran pembangunan belum mempertimbangkan sektor unggulan

(Pardede, 2004). Hasil simulasi menunjukan bahwa realokasi anggaran yang lebih

besar ke anggaran pembangunan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

namun kecil sekali dampaknya bahkan ada yang justru memperbesar disparitas

wilayah. Salah satunya karena belum mempertimbangkan sektor unggulan.

Dalam tujuh tahun terakhir pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia

(2001-2007), memang nilai investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri

15

(PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan dengan rata-rata peningkatan 37.69 persen per tahun untuk PMDN

dan 21.07 persen per tahun untuk PMA. Namun secara sektoral, dalam kurun

waktu tersebut kegiatan investasi masih bias ke sektor industri. Sektor tersebut

rata-rata menyerap 66.63 persen dari total PMDN dan 50.04 persen dari total

PMA. Meskipun persentase PMA untuk sektor industri lebih kecil daripada

PMDN, namun alokasi PMA untuk sektor pertanian jauh lebih kecil daripada

PMDN, padahal nilai PMA jauh lebih besar daripada PMDN. Kecenderungan

yang sama terjadi untuk kegiatan investasi oleh pemerintah. Kecenderungan

investasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Memang secara nasional struktur perekonomian Indonesia telah bergeser

dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian ke perekonomian yang

didominasi oleh sektor industri, seperti yang tampak pada Tabel 2. Dalam kurun

waktu tahun 2001-2008, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap nilai total

PDB nasional selalu berada pada posisi paling atas dengan nilai persentase yang

relatif besar. Namun demikian, secara regional seperti yang terlihat pada Tabel 32,

pada tahun 2008 wilayah provinsi yang struktur perekonomiannya didominasi

oleh sektor tersebut hanya empat atau hanya sekitar 12 persen dari 33 provinsi

yang ada di Indonesia dan provinsi-provinsi tersebut terpusat di pulau Jawa serta

termasuk kedalam kelompok provinsi dengan tingkat pendapatan sedang menurut

hasil studi Bappenas tahun 2003. Sebagian besar provinsi (64 persen), struktur

Tabel 1. Realisasi Investasi di Indonesia Menurut Sektor, Tahun 2001-2007

Sektor Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

16

A.PMDN (Milyar Rupiah) 1. Sektor Pertanian 1 121.7 537.7 593.8 527.0 4 177.2 3 578.7 3 441.3

(11.34) (4.30) (4.99) (3.45) (13.62) (17.21) (10.47)

2. Sektor Non Pertanian a. Sektor Industri 5 760.6 9 968.9 6 229.4 10 517.9 20 931.1 13 152.2 24 846.9

(58.24) (79.75) (52.39) (68.90) (68.26) (63.27) (75.58)

b. Sektor Lainnya 3 008.5 1 993.4 5 066.8 4 219.8 5 556.7 4 057.5 4 587.5

(30.42) (15.95) (42.61) (27.64) (18.12) (19.52) (13.95)

Total 9 890.8 12 500.0 11 890.0 15 264.7 30 665.0 20 788.4 32 875.7

(100) (100) (100) (100) (100) (100) (100) B. PMA (Juta Dollar)

1. Sektor Pertanian 79.4 18.1 221.3 186.5 348.9 434.5 201.5

(2.26) (0.59) (4.06) (4.05) (3.91) (7.27) (2.36)

2. Sektor Non Pertanian a. Sektor Industri 2 198.5 1 552.2 1 880.4 2 803.3 3 502.1 3 604.5 3 622.9

(62.65) (50.23) (34.50) (60.93) (39.28) (60.31) (42.40)

b. Sektor Lainnya 1 231.5 1 519.8 3 348.7 1 611.3 5 063.6 1 938.0 4 720.0

(35.09) (49.18) (61.44) (35.02) (56.80) (32.42) (55.24)

Total 3 509.4 3 090.1 5 450.4 4 601.1 8 914.6 5 977.0 8 544.4

(100) (100) (100) (100) (100) (100) (100) Sumber: BKPM, 2008. Keterangan: ( ) nilai persentase

perekonomiannya masih didominasi oleh sektor pertanian, dan sebagian besar dari

provinsi tersebut termasuk dalam kelompok provinsi dengan tingkat pendapatan

per kapita yang relatif rendah. Sekitar 12 persen provinsi lainnya, perekonomian-

nya didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, kelompok ini termasuk

dalam tingkat pendapatan per kapita yang relatif tinggi. Provinsi lainnya,

perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa.

Dengan demikian, alokasi investasi yang bias ke sektor industri juga

menyebabkan alokasi investasi yang bias ke wilayah Jawa atau KBI yang pada

Tabel 2. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2000-2008

(%) No Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

17

1 Pertanian 15.60 15.64 15.46 15.39 14.99 14.54 14.20 13.83 13.66

2 Pertambangan & Penggalian 12.06 11.66 11.28 10.66 9.66 9.30

9.10

8.73

8.28

3 Industri Pengolahan 27.75 27.60 27.85 27.97 28.36 28.10 27.83 27.40 26.79

4 Listrik, Gas & Air Bersih 0.60 0.63 0.66 0.66 0.66 0.66

0.66

0.69

0.72

5 Bangunan 5.51 5.55 5.61 5.70 5.81 5.91 6.08 6.21 6.28

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 16.15 16.24 16.16 16.23 16.36 16.83

16.92

17.26

17.45

7 Pengangkutan & Komunikasi 4.68 4.87 5.06 5.38 5.85 6.26

6.77

7.28

7.98

8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 8.31 8.53 8.69 8.87 9.13 9.26

9.21

9.35

9.55

9 Jasa-Jasa 9.34 9.28 9.23 9.14 9.18 9.14 9.24 9.27 9.30

Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber: BPS, 2006b dan 2009b.

akhirnya ketimpangan ekonomi antar wilayah bertahan pada tingkat yang tinggi

seperti yang terlihat pada Gambar 1. Lebih dari sepuluh tahun terakhir (1997-

2008), tingkat ketimpangan wilayah antar provinsi yang diukur dengan Coefficient

of Variation Williamson (CVw) masih tetap pada kisaran angka 0.8. Dalam kurun

waktu 2001-2007 dari total investasi PMDN, rata-rata alokasi investasi tersebut

per tahun ke wilayah Jawa adalah sekitar 62.56 persen; sementara rata-rata alokasi

investasi PMA ke wilayah Jawa dari total investasi tersebut adalah sekitar 79.10

persen, seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa alokasi investasi sektoral

mempunyai peran dalam menentukan besar kecilnya tingkat disparitas

perekonomian wilayah. Perencanaan pembangunan sektoral bersifat lintas

wilayah. Dalam hal ini, untuk dapat memperkecil disparitas wilayah maka inves-

tasi perlu diprioritaskan kepada sektor-sektor yang menjadi sumber pertumbuhan

di wilayah yang kurang berkembang dan kepada sektor yang mempunyai

keterkaitan yang kuat dalam menggerakan perekonomian di wilayah tersebut.

18

Tabel 3. Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Wilayah di Indonesia, Tahun 2001-2007

(Milyar Rupiah) No. Lokasi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Sumatera 3 029.4 199.1 1 228.3 1 286.7 13 501.7 4 644.3 10 362.0

(30.6) (1.6) (10.3) (8.4) (44.0) (22.3) (31.5)

2 Jawa 5 070.1 10 878.1 9917.0 7 886.3 14 796.6 13 030.8 17 577.1

(51.3) (87.0) (83.4) (51.7) (48.3) (62.7) (53.5)

3 Bali & NTT 311.4 46.3 49.1 240.4 66.1 104.9 15.2

(3.1) (0.4) (0.4) (1.6) (0.2) (0.5) (0.0)

4 Kalimantan 902.0 1 330.4 418.8 5 141.8 1 747.6 2 536.1 1 039.8

(9.1) (10.6) (3.5) (33.7) (5.7) (12.2) (3.2)

5 Sulawesi 571.4 36.0 275.5 164.4 509.0 68.6 3 881.6

(5.8) (0.3) (2.3) (1.1) (1.7) (0.3) (11.8)

6 Maluku 6.5 0.0 1.3 0.0 0.9 0.2 0.0

(0.1) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0)

7 Papua 0.0 10.1 0.0 545.1 43.1 403.5 0.0

(0.0) (0.1) (0.0) (3.6) (0.1) (1.9) (0.0)

Total 9 890.8 12 500.0 11890.0 15 264.7 30 665.0 20 788.4 32 875.7

(100.0) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0)

Sumber: BKPM, 2008. Keterangan: ( ) nilai persentase

Seperti sudah dikemukakan, sektor pertanian adalah sektor yang dominan

dalam perekonomian di sebagian besar provinsi dengan tingkat pendapatan

perkapita yang relatif rendah. Sektor tersebut selain masih merupakan sektor yang

dominan dalam penyerapan tenaga kerja (Tahun 1999-2007) sekitar lebih dari 40

persen dari total tenaga kerja terserap di sektor tersebut, juga menjadi sumber

nafkah sebagian besar masyarakat pedesaan yang pada umumnya tergolong

miskin. Dengan demikian, pembangunan pertanian yang mengarah ke

pertumbuhan produktivitas pertanian secara keseluruhan diharapkan mampu

meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah pedesaan dan wilayah kurang

Tabel 4. Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing Menurut Wilayah di Indonesia, Tahun 2001-2007

(Juta Dollar) No. Lokasi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

19

1 Sumatera 906.7 90.1 501.7 850.4 1 224.6 883.7 902

(25.8) (2.9) (9.2) (18.5) (13.7) (14.8) (10.6)

2 Jawa 2 481.6 2 740.1 4 515.6 3 248.1 7 251.2 4 412.8 7 323.9

(70.7) (88.7) (82.8) (70.6) (81.3) (73.8) (85.7)

3 Bali & NTT 34.1 6.8 25.2 107.2 102.6 109.8 49.3

(1.0) (0.2) (0.5) (2.3) (1.2) (1.8) (0.6)

4 Kalimantan 53.5 188.5 137.2 368 181.8 534.6 203.2

(1.5) (6.1) (2.5) (8.0) (2.0) (8.9) (2.4)

5 Sulawesi 7.1 60.5 266.6 27.4 145.3 15.5 63.6

(0.2) (2.0) (4.9) (0.6) (1.6) (0.3) (0.7)

6 Maluku 1.8 0.0 0.0 0.0 9.1 20 0

(0.1) (0.0) (0.0) (0.0) (0.1) (0.3) (0.0)

7 Papua 24.8 4.1 4.1 0.0 0.0 0.6 2.4

(0.7) (0.1) (0.1) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0)

Total 3 509.6 3 090.1 5 450.4 4 601.1 8 914.6 5 977.0 8 544.4

(100) (100) (100) (100) (100) (100) (100)

Sumber: BKPM, 2008. Keterangan: ( ) nilai persentase berkembang yang juga berarti mengurangi penduduk miskin, sekaligus

mengurangi ketimpangan produktivitas antar sektor pertanian dan industri yang

pada akhirnya memperkecil ketimpangan antar wilayah.

World Bank (2005), mengemukakan bahwa sebagian besar masyarakat

miskin di dunia tergantung kepada sektor pertanian baik secara langsung maupun

tidak langsung. Banyak penduduk yang tingkat kesejahteraan hidupnya

mengalami perbaikan, merasa hal tersebut terjadi karena memperoleh manfaat dari

adanya investasi mendasar dalam pembangunan sektor pertanian pada tahun

1970-an dan tahun 1980-an. Investasi ini membawa banyak terobosan terhadap

lapangan usaha petani yang memungkinkan negara meningkatkan keamanan

pangan, meningkatkan pendapatan rumahtangga di pedesaan, dan penggunaan

sektor pertanian sebagai lokomotif pertumbuhan bagi perekonomian secara

keseluruhan. Berbagai hasil studi empiris sebelumnya menunjukkan bahwa

20

prioritas pembangunan ekonomi ke pembangunan sektor pertanian mampu

memecahkan masalah kemiskinan, pengangguran serta pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, meskipun sektor pertanian merupakan sektor yang

mempunyai kontribusi terbesar dalam PDRB di sebagian besar provinsi wilayah

kurang berkembang, namun dilihat dari distribusi nilai output nasional sektor

pertanian secara regional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di

Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada tahun 2008

mencapai 39.88 persen seperti pada Tabel 31. Disamping itu tingkat pertumbuhan

sektor pertanian dalam tujuh tahun terakhir paling kecil, setelah sektor

pertambangan dan penggalian (rata-rata pertumbuhannya hanya sekitar 3.4 persen

per tahun) dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya, walaupun

kedudukannya dalam perekonomian nasional masih dalam posisi ketiga setelah

sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan pariwisata. Dalam

konteks perdagangan, nilai tukar sektor pertanian juga relatif rendah.

Dengan demikian, prioritas peningkatan alokasi investasi ke sektor

pertanian dikhawatirkan justru dapat mempertajam ketimpangan antar wilayah

atau perannya relatif kecil dalam hal tersebut. Kekhawatiran tersebut juga muncul

karena hasil studi Wibisono (2005) menemukan bahwa perbedaan tingkat

teknologi antar provinsi sangat lebar sehingga transfer teknologi juga akan

berjalan lambat yang pada akhirnya membawa konvergensi pendapatan yang

lambat pula; serta adanya eksternalitas negatif menyebabkan inefisiensi dari

investasi. Hasil studi Mansur (1999) dampak dari investasi perkebunan swasta

menyebabkan penurunan pendapatan maupun pertumbuhan pendapatan wilayah,

namun dalam studi ini tidak dibahas, model belum mengakomodasi hal tersebut.

Disamping itu, beberapa studi yang secara langsung mengkaitkan antara pemba-

21

ngunan ekonomi sektoral dengan ketimpangan antar wilayah menunjukkan bahwa

pembangunan/investasi di sektor pertanian tidak selalu menurunkan disparitas

ekonomi antar wilayah atau mendorong konvergensi ekonomi antar wilayah (Liu

et al., 2008). Sementara studi Dermorejo (2001), JASID (2001), Al-Hasan dan

Diao (2007) serta Lipton dan Zhang (2007) menunjukkan bahwa pembangunan di

sektor pertanian dapat mengurangi disparitas ekonomi antar wilayah.

Berdasarkan fenomena permasalahan tersebut maka pertanyaan besar yang

ingin dijawab dalam studi ini adalah secara sektoral, harus diarahkan ke sektor

apakah alokasi investasi agar mampu memperkecil disparitas ekonomi antar

wilayah dan sekaligus meningkatkan kinerja perekonomian makro maupun

sektoral? Pertanyaan tersebut menjadi penting pada kondisi anggaran

pembangunan dan sumberdaya saat ini yang semakin terbatas.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian yang telah

dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi mikroekonomi yang

mencakup output dan harga sektoral, tingkat upah dan kesempatan kerja

sektoral, serta ekspor dan impor.

2. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi dan

kesejahteraan rumahtangga.

3. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi

wilayah dan disparitas ekonomi antar wilayah.

4. Merumuskan alokasi investasi sektoral yang mampu memberikan dampak

yang terbaik terhadap kondisi perekonomian mikro, makro dan wilayah.

22

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi

para kademisi dan pengambil kebijakan. Secara akademis, hasil penelitian ini

dapat berguna bagi pengembangan ilmu maupun peneliti berikutnya khususnya

untuk studi mengenai peran investasi sektoral dalam pembangunan ekonomi

sektoral, wilayah maupun nasional dengan menggunakan model Computable

General Equilibrium (CGE). Sementara bagi para pengambil kebijakan, baik

pemerintah pusat maupun daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

rujukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan ekonomi khususnya dalam

alokasi investasi sektoral maupun wilayah dalam rangka menciptakan

pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah perekonomian secara nasional yang

kemudian didisagregasi secara sektoral dan regional. Secara nasional, analisis

ditujukan untuk mengetahui dampak alokasi investasi sektoral terhadap fenomena

perekonomian makro melalui keterkaitan antar sektor, seperti pertumbuhan

ekonomi, inflasi, ekspor dan impor, neraca perdagangan, dan distribusi

pendapatan. Perkembangan perekonomian mikro atau sektoral sebagai dampak

dari alokasi investasi sektoral juga dikaji secara nasional.

Disagregasi wilayah dilakukan untuk mengetahui fenomena perekonomian

wilayah khususnya pertumbuhan PDRB, kesempatan kerja dan tingkat upah.

Dalam hal ini, wilayah nasional didisagregasi menurut wilayah administrasi

provinsi sehingga menjadi 30 wilayah provinsi sebagaimana disagregasi wilayah

nasional dalam Inter Regional Input Output (IRIO) tahun 2005. Adapun tujuan

utama disagregasi wilayah adalah untuk dapat mengidentifikasi tingkat disparitas

23

ekonomi antar wilayah sebagai dampak dari adanya perubahan produktivitas

sektoral yang dsimulir investasi. Disparitas ekonomi antar wilayah ini diukur

dengan indikator CVw dan hanya mencakup kesenjangan ekonomi antar wilayah

provinsi.

Dari sisi sektoral, ruang lingkup analisis mencakup seluruh sektor

perekonomian yang didisagregasi menjadi 30 sektor yakni: tanaman pangan;

perkebunan; peternakan; kehutanan; dan perikanan; pertambangan minyak, gas

dan panas bumi; pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya;

pengilangan minyak bumi; industri makanan dan minuman; industri tekstil, barang

kulit dan alas kaki; industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya; industri pulp dan

kertas; industri pupuk dan pestisida; industri kimia, karet dan barang dari karet;

industri semen; industri logam dasar besi dan baja; industri barang dari logam;

industri alat angkutan, mesin dan peralatannya; industri iainnya; listrik, gas dan air

bersih; bangunan; perdagangan; hotel dan restoran; angkutan darat; angkutan air;

angkutan udara; komunikasi; lembaga keuangan; jasa pemerintah; dan jasa

lainnya. Penentuan jumlah sektor yang dianalisis didasarkan pada pertimbangan

ketersediaan data investasi secara sektoral dan mencakup sektor-sektor prioritas

dalam rencana pembangunan.

Dengan ruang lingkup tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa

keterbatasan. Pembangunan termasuk pembangunan wilayah seperti yang

diungkapkan oleh Todaro (2000) merupakan multidimensional dan menurut

Murty (2000) terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya disparitas antar

wilayah, namun dalam studi hanya menekankan pada variabel investasi sebagai

penentu kesenjangan wilayah. Disamping itu efektifitas dan efisiensi dari

investasi akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tinggi rendahnya

24

transaction cost, sistem birokrasi dan adanya eksternalitas negatif dari adanya

suatu investasi, namun dalam studi ini faktor-faktor tersebut tidak diakomodasi

dalam model. Penggunaan model multiregonal CGE top-down, menyebabkan

shock tidak dapat dilakukan dari sisi suplai spesifik wilayah. Pemetaan dimensi

wilayah muncul tanpa adanya feedback dari wilayah yang didisagregasi; dalam

hal ini efek dari kebijakan yang berasal dari dalam wilayah tidak dapat terlihat.

Keterbatasan lain dari studi ini adalah bahwa disagregasi wilayah hanya

mencakup 30 wilayah provinsi, padahal saat ini jumlah wilayah provinsi di

Indonesia sudah mencapai 33 proinsi sehingga sedikitnya akan mempengaruhi

kerelevanan penelitian ini. Dalam studi ini investasi sektoral yang dimaksud

belum dibedakan menurut bentuk atau jenis investasinya sehingga rekomendasi

kebijakan dari studi ini belum sampai pada tahap tersebut. Sementara investasi

infrastruktur hanya mencakup infrastruktur jalan dan irigasi (infratruktur

pedesaan). Nilai investasi sektoral hanya tersedia menurut sembilan sektor

perekonomian, sementara disagregasi sektoral dibedakan kedalam 30 sektor.

Dengan demikian, untuk masing-masing subsektor yang termasuk dalam

kelompok sektor yang sama diasumsikan mempunyai nilai produktivitas yang

sama. Nilai produktivitas diduga berdasarkan model ekonometrik dan kemudian

nilai produktivitas tersebut dijadikan shock dalam proses simulasi dengan

menggunakan model CGE.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Wilayah