mobilitas sosial nelayan tradisional dikampung...

36
1 MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO (Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional) NASKAH PUBLIKASI Oleh : R. ARIEF SEGARA NIM. 080569201006 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2015

Upload: buidien

Post on 27-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

1

MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG

BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO

(Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)

NASKAH PUBLIKASI

Oleh :

R. ARIEF SEGARA

NIM. 080569201006

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2015

Page 2: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

2

SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

Yang bertandatangan dibawah ini adalah dosen pembimbing skripsi

mahasiswa yang disebut dibawah ini :

Nama : R. Arief Segara

NIM : 080569201006

Jurusan/Prodi : SOSIOLOGI/ FISIP

Alamat : Jln. Ir. Sutami Gg. Sakura No. 27 F Tanjungpinang

No HP : 082386620565

Email : [email protected]

Judul Naskah MOBILITAS SOSIAL NELAYAN

TRADISIONAL DIKAMPUNG BENTENG

KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO

(Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian

Masyarakat Nelayan Tradisional)

Menyatakan judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan

untuk dapat diterbitkan:

Tannjungpinang, 23 Juli 2016

Yang menyatakan,

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

Emmy Solina, M.Si Rahma Syafitri, M.Sos

NIDN.1020118401 NIDN.198508202015042001

Page 3: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

3

MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG

BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO

(Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)

ABSTRACT

Sifat sistem stratifikasi yang terbuka akan memberi anggota masyarakat

mempunyai kesempatan untuk berpindah-pindah kedudukan atau melakukan

mobilitas sosial. Umumnya, masyarakat pesisir bermata pencarian sebagai

nelayan seiring sumber daya yang dihadapi namun,yang terjadi dikampung

Benteng yaitu sebagian besar mereka melakukan peralihan mata pencarian dari

nelayan tradisional berpindah pekerjaan menjadi buruh nelayan, buruh bangunan

dan pengusaha percetakan batako.

Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat nelayan

tradisional di Kampung Benteng Kelurahan Moro Kecamatan Moro. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya mobilitas

sosial di Kampung Benteng. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teori evolusioner fungsionalis dari Talcott Parsons dan teori surplus dari Gerhard

Lenski. Teori Talcott Parsons ini menyatakan stratifikasi sebagai aspek penting

dari evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dan teori Gerhard Lenski

menyatakan surplus produksi ekonomilah yang menyebabkan berkembangnya

stratifikasi.

Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan

dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan

Huberman yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan dari penelitian mobilitas

sosial menunjukan bahwa masyarakat nelayan tradisional Kampung Benteng

Kelurahan Moro Kecamatan Moro telah mengalami mobilitas sosial hingga

memunculkan tipe-tipe mobilitas sosial yaitu horizontal dan vertikal seiring

dengan penghasilan dan status mereka dalam pekerjaan.Faktor penyebap mobilitas

yaitu rendahnya produktifitas teknologi tangkap berupa rawai, tingginya biaya

operasional melaut dan perbedaan keterampilan yang dimiliki individu.

Kata Kunci: Mobilitas Sosial, Nelayan Tradisional

Page 4: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

4

ABSTRACT

Open nature of the stratification system will give members of the public

have the opportunity to move their position or social mobility. Generally, the

coastal communities as a search-eyed fishermen as resource encountered however,

happens kampong Fortress that most of them make the transition livelihood of

traditional fishermen fishing transferring jobs as laborers, construction workers

and employers printing adobe.

This study discusses the social mobility of the local communities in

Kampung Benteng village Moro Moro Sub-district. The purpose of this study was

to determine how the process of social mobility in Kampung Benteng. The theory

used in this research is the evolutionary theory of Talcott Parsons's functionalist

theory and surplus of Gerhard Lenski. Talcott Parsons's theory states stratification

as an important aspect of evolution due to increasing adaptive capacity and

Gerhard Lenski declared surplus theory is economic production that led to the

development of stratification.

The method used is descriptive qualitative approach. The data collection

is done by observation, interview and documentation. Analysis of the data in this

study using a model of Miles and Huberman of data reduction, data presentation

and conclusion or verification.

Descriptive analysis has been done on the social mobility studies show

that traditional fishing communities KampungBenteng village Moro Moro Sub-

district have experienced social mobility to bring the types of social mobility that

is horizontally and vertically in line with their income and employment status.

Factor mobility is low productivity in the form of longline fishing technology,

high operational costs at sea and differences in the skills of the individual.

From the analysis it was concluded that there is social mobility in

Kampung Benteng. Mobility is happening not only cause a type of vertical

mobility but also horizontal type so owned low skills (construction workers) and

the strong dependence of the fishing workers with employer crawler. There should

be an increase in the skills of those who work as construction workers and the

need for institutions in the form of a fishermen's cooperative in order to minimize

the exploitation of the employer to the worker fishermen crawler.

Keywords: social mobility, Traditional Fishermen

Page 5: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Stratifikasi sosial merupakan

pembedaan masyarakat ke dalam

kelas-kelas yang bertingkat. Sifat

sistem lapisan didalam suatu

masyarakat dapat bersifat tertutup

dan terbuka, sebaliknya didalam

sistem terbuka setiap anggota

masyarakat mempunyai kesempatan

untuk berusaha dengan kecakapan

sendiri untuk naik lapisan atau bagi

mereka yang tidak beruntung jatuh

dari lapisan atas ke lapisan bawah

(Soekanto, 2006:198). Menurut

Kingsley Davis dan Wilbert Moore

(Narwok,2007:164) stratifikasi

dibutuhkan demi kelangsungan hidup

masyarakat yang membutuhkan

berbagai macam jenis pekerjaan.

Tanpa adanya stratifikasi sosial,

masyarakat tidak akan terangsang

untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan

sulit atau pekerjaan yang

membutuhkan proses belajar yang

lama dan mahal.

Pada umumnya lapisan sosial

yang terbuka menandakan adanya

kemudahan untuk berpindah-pindah

kedudukan atau melakukan mobilitas

sosial. Mobilitas sosial merupakan

perpindahan dari suatu kelas sosial

ke kelas sosial lainnya. Menurut

Horton dan Hunt (Narwoko,

2007:208) mobilitas sosial diartikan

sebagai suatu gerak perpindahan dari

suatu kelas sosial ke kelas sosial

lainnya. Mobilitas sosial dapat

berupa peningkatan atau penurunan

dalam segi setatus sosial dan

(kebiasaannya) termasuk pula segi

penghasilan, yang dapat dialami oleh

beberapa individu atau oleh

keseluruh anggota kelompok.

Secara nyata kehidupan

dalam masyarakat tidaklah sama.

Ada yang miskin, ada yang kaya, ada

yang memiliki kedudukan tinggi, ada

pula yang memiliki kedudukan

rendah. Perbedaan tersebut

mendorong manusia untuk

meningkatkan taraf hidupnya agar

dapat naik ke strata yang lebih tinggi,

terutama bagi mereka yang berada

distrata bawah. Dengan hal demikian

manusia berusaha agar harapan dan

keinginannnya untuk meningkatkan

status tercapai sehingga ia dapat

hidup lebih baik.

Didalam sosiologi, proses

keberahasilan seseorang mencapai

jenjang status sosial yang lebih tinggi

atau proses kegagalan seseorang

hingga jatuh di kelas sosial yang

lebih rendah itu lah yang disebut

mobilitas sosial. Keinginan untuk

mencapai status dan penghasilan

yang lebih tinggi dari apa yang

pernah dicapai orang lain,

merupakan impian setiap orang.

Tetapi, apakah impian itu bakal

menjadi kenyataan atau tidak sangat

membutuhkan proses yang panjang.

Mobilitas sosial dapat terjadi pada

masyarakat manapun yang memiliki

sistem stratifikasi terbuka baik pada

masyarakat industri, masyarakat

petani, termasuk juga masyarakat

nelayan (Narwoko, 2007:207-208).

Didalam kehidupan

masyarakat nelayan yang memiliki

stratifikasi terbuka di katakan

Pollnae dalam (Satria, 2002:21) pada

umumnya, nelayan tergolong

berstatus relatif rendah. Rendahnya

status sosial nelayan tidak terlepas

dari status ekonomi mereka yang

dipengaruhi oleh ketidakpastian

Page 6: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

6

sumber daya yang dihadapi, menurut

Kusnadi (2002:17) secara sosial

ekonomi, tingkat kehidupan nelayan

kecil atau nelayan tradisional tidak

banyak berubah, rendahnya derajat

kesejahteraan sosial menimpa

sebagian besar dari kalangan nelayan

tersebut.

Didalam kehidupan nelayan

permasalah umum yang sering

terjadi dalam menghadapi

permasalahan yang komplek, mereka

terpaksa menghentikan kegiatan

melautnya dan melakukan mobilitas

atau beralih bekerja. Kondisi

kehidupan yang dialami sebagian

besar nelayan tradisional kita dimana

pun mereka berada, kesulitan-

kesulitan merupakan siklus peristiwa

sosial ekonomi yang selalu berulang

setiap tahun atau bahkan sepanjang

tahun menimpa rumah tangga

nelayan serta persoalan lingkungan

pesisir dan laut yang selalu tidak

dapat dihindari (Kusnadi, 2002:3).

Kecamatan Moro merupakan

Kecamatan yang berada dalam ruang

lingkup Kabupaten Karimun Provinsi

Kepulauan Riau, secara geografis

Kecamatan Moro merupakan

Kecamatan yang terletak pada

ketinggian 0-138 meter diatas

permukaan laut. Kampung Benteng

RT 03/ RW 03 merupakan daerah

pesisir yang terletak dikecamatan

Moro. Kampung Benteng khususnya

RT 03/RW 03 merupakan daerah

pesisir sehingga sebagian besar

penduduknya bermatapencarian

sebagai nelayan dahulunya dalam

memenuhi ekonomi keluarga.

Dalam kehidupan masyarakat

nelayan khususnya kehidupan

nelayan tradisional Kampung

Benteng bentuk kesulitan para

nelayan tradisional dapat dilihat dari

biaya operasional melaut, kapasitas

tangkapan yang digunakan masih

sederhana serta penghasilan yang

tidak dapat diprediksi dengan pasti

menyebabkan terjadinya mobilitas

sosial pekerjaan yaitu dari nelayan

tradisional menjadi buruh nelayan,

buruh bangunan, pengusaha batako.

Mobilitas sosial dari nelayan

tradisional menjadi buruh nelayan di

Kampung Benteng adalah kesektor

buruh nelayan yang bekerja sebagai

buruh nelayan penjaring dan buruh

nelayan trawl atau kapal pukat,

terjadinya mobilitas ini dikarnakan

mereka tidak memiliki skill atau

kemampuan untuk bekerja disektor

nonprikanan seperti halnya para

nelayan yang melakukan mobilitas

ke buruh bangunan dan pengusaha

percetakan batako.

Bagi nelayan tradisional yang

beralih pekerjaan menjadi buruh

bangunan keterampilan yang mereka

miliki bermula sebelum masuknya

musim penangkapan ikan. Aktifitas

yang mereka lakukan sebelum masuk

musim penangkapan biasanya

mereka mencari pekerjaan

sampingan guna menambah

penghasilan keluarga salah satunya

iyalah bekerja sebagai kuli

bangunan, biasanya mereka

mengikuti ajakan teman yang berada

diperkampungan lain yang sudah

mereka kenal atau teman dekat.

Sebagian besar pekerjaan kuli

bangunan yang mereka jalani hanya

diposisikan sebagai pembantu yang

bertugas membawa semen, mensekop

pasir dan pekerjaan yang

diperintahkan oleh kepala borongan

atau kepala tukang. Sementara

pekerjaan khusus atau tertentu

dilakukan oleh kepala tukang yang

memang sudah memiliki

Page 7: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

7

keterampilan dibidang tersebut. Jika,

dibicarakan hasil yang diperoleh,

penghasilan sebagai buruh bangunan

bukanlah penghasilan yang dapat

memposisikan mereka berada pada

lapisan atas melainkan mobilitas

yang mereka lakukan hanya bersifat

horizontal.

Sementara itu mobilitas sosial

yang di alami nelayan tradisional

menjadi pengusaha batako adalah

mereka yang juga pernah memiliki

latar belakang bekerja sebagai kuli

banguan. Pekerjaan sebagai kuli

bangunan yang mereka jalani cukup

lama, memberikan sedikit banyak

pengetahuan atau keterampilan

dibidang tersebut.

Dari kemampuan atau skill

yang dimiliki serta dukungan modal

dari kerabat/saudara kandung mereka

yang berada dikota, membuat mereka

para nelayan tradisional membuka

usaha percetakan batako. Peralihan

pekerjaan dari nelayan tradisional

menjadi pengusaha batako telah

menyebabkan terjadinya mobilitas

bertipe vertikal ke atas yang ditandai

dengan meningkatnya penghasilan

dari pekerjaan tersebut.

Berdasarkan permasalahan

diatas terjadinya mobilitas sosial

menandakan adanya sistem

stratifikasi yang terbuka hingga

memudahkan masyarakat untuk

bergerak atau beralih-alih pekerjaan

seperti halnya mobilitas yang

dilakukan nelayan tradisional

Kampung Benteng.

Masyarakat Kampung

Benteng adalah masyarakat pesisir.

Umumnya, masyarakat pesisir

bermata pencarian nelayan seiring

sumber daya yang dihadapi semetara

itu hal ini bertolak belakang dengan

kehidupan masyarakat pesisir

khususnya yang terjadi Dikampung

Benteng yaitu sebagian besar mereka

melakukan mobilitas sosial atau

beralih pekerjaan.

Untuk itu peneliti mengkaji

dan mengangkat judul sebagai

berikut: “Mobilitas Sosial Nelayan

Tradisional Di Kampung Benteng

Kecamatan Moro (Studi Tentang

Peralihan Mata Pencarian

Masyarakat Nelayan Tradisional)”

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang

yang telah diuraikan diatas, maka

dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut:

Bagaimana proses terjadinya

mobilitas sosial nelayan tradisional

yang berada di Kampung Benteng

Kecamatan Moro ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas

maka tujuan dari penelitian mobilitas

sosial ini yaitu sebagai berikut :

Ingin mengetahui bagaimana

proses terjadinya mobilitas sosial

nelayan tradisional yang berada

Dikampung Benteng Kecamatan

Moro.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari

penelitian ini ialah :

1.4.1. Secara praktis

Dilihat dari kegunaan

penelitian secara praktis penelitian

ini diharapkan dapat memberi

sumbangan ilmu pengetahuan dan

pemikiran serta dapat membantu

sebagai bahan informasi mengenai

Page 8: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

8

proses mobilitas sosial mata

pencarian nelayan tradisional yang

berada di Kampung Benteng

Kecamatan Moro.

1.4.2. Secara teoritis

Penelitian ini juga dapat menjadi

acuan informasi dalam penelitian-

penelitian berikutnya dengan

permasalahan penelitian yang sama

serta menjadi referensi pustaka bagi

pemenuhan kebutuhan penelitian

lanjutan.

1.5. Konsep Operasional

Dalam penelitian ini, Adapun

konsep yang dioperasionalkan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Nelayan tradisional dalam

penelitian ini adalah nelayan

tradisional Kampung Benteng

yang memanfaatkan sumber

daya perikanan dengan peralatan

tangkap tradisional, seperti alat

tangkap yang digunakan adalah

rawai sedangkan jenis kendaran

laut yang digunakan berupa

sampan baik yang menggunakan

mesin maupun dayung.

2. Mobilitas dalam penelitian ini

adalah peralihan mata pencarian

yang dilakukan nelayan

tradisional Kampung Benteng

RT 003/ RW 003 Kelurahan

Moro, diantaranya:

a) Nelayan tradisional ke

buruh nelayan dalam

penelitian ini adalah

peralihan mata pencarian

yang dilakukan nelayan

tradisional ke nelayan

buruh penjaring dan

nelayan buruh trawl.

b) Nelayan tradisional ke

buruh bangunan dalam

penelitian ini adalah

peralihan mata pencarian

yang dilakukan nelayan

tradisional ke mata

pencarian sebagai buruh

bangunan seiring dengan

keterampilan yang

mereka miliki selain

pekerjaan disektor

perikanan.

c) Nelayan tradisional ke

wiraswasta dalam

penelitian ini adalah

peralihan pekerjaan yang

dilakukan nelayan

tradisional menjadi

pengusaha percetakan

batako seiring dengan

keterampilan yang

dimiliki.

3. Saluran mobilitas sosial dalam

penelitian ini adalah saluran

yang dilihat dari segi ekonomi

dan keterampilan.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis penelitian

Adapun metode penelitian yang

peneliti gunakan adalah metode

kualitatif. Menurut Sugiyono

(2008:292) pada umumnya alasan

menggunakan metode kualitatif yaitu

permasalahan belum jelas, holistik,

komplek, dinamis dan penuh makna

sehingga tidak mungkin data pada

situasi sosial tersebut dijaring dengan

metode penelitian kuantitatif. Selain

itu peneliti bermaksud memahami

situasi sosial secara mendalam.

1.6.2. Lokasi penelitian

Page 9: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

9

Kampung Benteng termasuk

kedalam wilayah Kelurahan Moro

Kecamatan Moro Kabupaten

Karimun. Kampung Benteng adalah

salah satu perkampungan yang

terletak dikelurahan Moro yang letak

sebagian wilayah berada di daerah

pesisir yang terbagi atas 2 Rukun

warga (RW) dan 5 rukun tetangga

(RT). Letak perkampungan yang

berada dipesisir membuat hampir

sebagian penduduk yang bertempat

tinggal di daerah tersebut bermata

pencarian sebagai nelayan tradisional

seiring dengan sumber daya yang

dihadapi.

Sementara itu keadaan alam

didaerah pesisir Kampung Benteng

berupa pantai yang memanjang

membuat masyarakat didaerah

tersebut membangun rumah tempat

tinggal mereka tidak jauh dari pantai.

1.6.3. Informan penelitian

Dalam penelitian ini penulis

menggunakan teknik purposive

sampling. Menurut Sugiyono

(2008:218--19) purposive sampling

merupakan teknik pengambilan

sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu.

Adapun sampel yang peneliti

butuhkan dari informan untuk

mendapatkan informasi, peneliti

telah menentukan kesemua jumlah

informan sebanyak 18 orang

berdasarkan pertimbangan dan

tujuan yang dipandang dapat

memberikan data secara maksimal.

Adapun karakteristik yang

peneliti jadikan informan ialah

sebagai berikut :

a) Mereka nelayan tradisional

yang beralih mata pencarian

ke buruh nelayan (buruh

nelayan penjaring, buruh

nelayan trawl), buruh

banunan dan pengusaha

batako.

b) Mereka yang dilihat dari

tingkat pendidikan.

c) Mereka yang telah lama

bekerja sebagai nelayan

tradisional.

1.6.4. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber

data yang digunakan menurut

Sugiyono (2008:225) pengumpulan

data dapat menggunakan sumber

primer dan sumber sekunder. Data

primer adalah sumber data yang

langsung memberikan data kepada

pengumpul data dan sumber

sekunder merupakan sumber yang

tidak langsung memberikan data

kepada pengumpul data.

Data primer yang peneliti

butuhkan dalam penelitian ini

mengenai data yang berkaitan

dengan mobilitas sosial nelayan

kampung Benteng Kecamatan Moro

yaitu data tentang faktor yang

mempengaruhi mobilitas sosial

nelayan, bentuk-bentuk mobilitas

yang terjadi, saluran mobilitas sosial

sedangkan data sekunder yang

peneliti butuhkan adalah data jumlah

nelayan yang beralih matapencarian

(sumber: data RT), Data Profil

Kecamatan Moro.

1.6.5. Teknik dan Alat Pengumpulan

Data

Dalam bagian ini teknik dan

alat pengumpulan data yang

digunakan peneliti berupa observasi,

Page 10: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

10

wawancara, dan studi dokumentasi

yaitu:

1.6.5.1. Observasi

Adapun observasi yang

peneliti lakukan ialah berupa

pengamatan dan pencatatan

terhadap gejala-gejala yang

diteliti sementara jenis observasi

yang peneliti gunakan ialah

observasi partisiptif yang bersifat

partisipasi pasif (Sugiyono,

2008:227).

Observasi ini dilakukan

dengan memperhatikan:

1. Tempat yaitu lokasi

penelitian RT 003/RW 003.

2. Pelaku yaitu para nelayan

yang telah beralih

matapencarian dari nelayan

tradisional menjadi buruh

nelayan, buruh bangunan dan

pengusaha batako.

3. Aktivitas yaitu pekerjaan

yang digeluti para nelayan

setelah mengalami mobilitas

sosial seperti pekerjaan

sebagai buruh bangunan,

buruh nelayan, usaha

percetakan batako.

1.6.5.2. Wawancara

Wawancara digunakan

sebagai teknik pengumpulan

data, apabila peneliti atau

pengumpul data telah

mengetahui dengan pasti tentang

informasi apa yang akan

diperoleh, oleh karena itu dalam

melakukan wawancara

pengumpul data telah

menyiapkan instrument

penelitian berupa pertanyaan-

pertanyaan tertulis (Sugiyono,

2008:233).

Dalam penelitian ini

wawancara dilakukan berupa

wawancara tidak terstruktur

dengan para nelayan yang

melakukan mobilitas sosial.

Adapun hal yang diwawancarai

dalam penelitian ini yaitu:

Pertanyaan yang berkaitan

dengan faktor-faktor pendorong

mobilitas sosial, pendapat

nelayan dengan terjadinya

mobilitas sosial, sisi ekonomi

nelayan sebelum dan sesudah

beralih matapencarian serta hal-

hal yang menjadi kebutuhan

tambahan bagi peneliti nantinya.

1.6.5.3. Dokumentasi

Menurut Sugiyono

(2008:240) dokumen merupakan

catatan peristiwa yang sudah

berlalu. dokumentasi bisa

berbentuk tulisan, gambar atau

karya monumental dari

seseorang. Dokumentasi yang

peneliti lakukan dalam

penelitian ini berupa gambar

yaitu foto yang berkaitan dengan

situasi sosial.

1.7. Teknik Analisa Data

Sesuai dengan jenis

penelitian yang digunakan berupa

penelitian deskriptif kualitatif yaitu

menganalisa data yang diperoleh

dilapangan dalam bentuk kualitatif

dan diberi penjelasan kesimpulan

dengan menggunakan pernyataan-

pernyataan atau kalimat logis yang

berkaitan dengan mobilitas mata

Page 11: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

11

pencarian yang terjadi di Kampung

Benteng.

Analisis data dalam penelitian

ini yang peneliti lakukan berdasarkan

acuan dari pendapat Miles dan

Huberman (Sugiyono, 2008: 246)

yang mengemukakan bahwa aktifitas

dalam menganalisis data kualitatif

dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus

sampai tuntas hingga datanya sampai

jenuh.

Data yang diperoleh

dilapangan melalui observasi,

wawancara dan dokumentasi

jumlahnya cukup banyak untuk itu

perlu segera dilakukan analisis data

melalui reduksi data. Mereduksi data

berarti merangkum, memilih hal-hal

pokok, memfokuskan pada hal

penting.

Setelah data direduksi maka

langkah selanjutnya ialah

mendisplaykan data, dalam

penelitian ini penyajian data yang

peneliti lakukan adalah dengan teks

yang bersifat naratif. Dengan

mendisplaykan data maka peneliti

akan lebih mudah untuk memahami

apa yang terjadi. Setelah peneliti

melakukan reduksi dan penyajian

data maka langkah akhir ialah

melakukan verifikasi atau penarikan

kesimpulan.

Page 12: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada kerangka teoritis ini

menjelaskan konsep dan teori yang

akan digunakan diantaranya:

2.1. Mobilitas Sosial

Horton dan Hunt (Narwoko,

2007:208) mobilitas sosial diartikan

sebagai suatu gerak perpindahan dari

suatu kelas sosial ke kelas sosial

lainnya. Mobilitas sosial dapat

berupa peningkatan atau penurunan

dalam segi setatus sosial dan

(kebiasaannya) termasuk pula segi

penghasilan, yang dapat dialami oleh

beberapa individu atau oleh

keseluruh anggota kelompok.

Mobilitas sosial mengacu

pada pergerakan individu diantara

tingkat-tingkat hierarkis sosial yang

berbeda, biasanya dijelaskan dalam

sudut pandang kategori dunia kerja

atau kelas sosial. Besarnya mobilitas

sosial sering digunakan sebagai

kajian tingkat keterbukaan dan

kecairan suatu masyarakat

(Abercrombie, 2010:518). Minat

terhadap mobilitas telah diketahui

melalui beberapa publikasi, S.M.

Lispet dan R.Bendix (Abercrombie,

2010:518) percaya bahwa mobilitas

itu penting bagi stabilitas masyarakat

industrial modern. Akses yang

terbuka menuju posisi elite akan

memungkinkan orang yang mampu

dan berambisi untuk naik dari kelas

sosial rendah.

Penulis lain tertarik pada

efisiensi dan keadilan sosial, P.M.

Blau dan O.D. Duncan

(Abercrombie, 2010:519)

berpendapat efisiensi dalam

masyarakat modern

mempersyaratkan mobilitas jika

orang yang paling mampu

diharapkan melakukan tugas yang

paling penting. Peter Blau dan O.D.

Duncan (1967) (Sanderson,

2011:273) menyimpulkan beberapa

individu dapat memperbaiki

kedudukan mereka dengan motivasi,

kerja keras bahkan dengan

keberuntungan. Banyak mobilitas

yang terjadi dengan ciri-ciri struktur

kapitalisme modern, perubahan

teknologi dan jabatan yang terus

menerus akibat sistem tersebut.

Mobilitas karna faktor-faktor

tersebut tidak ada hubungannya

dengan ideologi pemerataan

kesempatan, seperti yang ditulis oleh

Duncan dan Blau, ekspansi dan

kontraksi kelompok-kelompok

jabatan karna perubahan teknologi

adalah faktor penting penyebab

mobilisasi. Hal ini juga terjadi pada

pada masyarakat yang mempunyai

tingkat mobilitas yang berbeda-beda,

dan begitu juga dengan pola

mobilitas yang terjadi dalam periode

ini.

Gerak suatu kelas sosial ke

kelas sosial lainnya tentunya akan

sangat mempengaruhi penempatan

status sosial masyarakat. Menurut

Pitrim A Sorokin (soekanto,

2012:220) menyebutkan tipe-tipe

gerak sosial yang prinsipil ada dua

macam yaitu gerak sosial yang

horizontal dan vertikal: mobilitas

horizontal merupakan peralihan

individu atau obyek-obyek sosial

lainnya dari suatu kelompok sosial

ke kelompok sosial lainnya yang

sederajat yaitu tidak terjadi

perubahan dalam derajat kedudukan

seseorang dalam mobilitas sosialnya.

Sementara mobilitas sosial vertikal

Page 13: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

13

adalah perpindahan individu atau

objek-objek sosial dari suatu

kedudukan sosial ke kedudukan

sosial lainnya yang tidak sederajat.

Menurut Pitrim A Sorokin

(Soekanto, 2004:252) gerak sosial

vertikal mempunyai saluran-saluran

dalam masyarakat. Proses gerak

sosial vertikal melalui saluran tadi

disebut social circulation. Saluran

yang terpenting adalah: angkatan

bersenjata, lembaga keagamaan,

pendidikan, organisasi politik,

ekonomi dan keahlian.

Prinsip-prinsip umum

mobilitas sosial vertikal dapat

dikemukakan seperti yang

disebutkan oleh Pitrim A. Sorokin

(Wulansari, 2009:124) sebagai

berikut:

1. Hampir tidak ada masyarakat

yang memiliki sifat sistim

yang berlapis-lapis yang

secara mutlak tertutup, yaitu

dimana sama sekali tak ada

gerak sosial yang vertikal.

2. Betapa terbukannya sistem

lapisan sosial dalam suatu

masyarakat tak mungkin

gerak sosial yang vertikal

dilakukan dengan sebebas-

bebasnya, sedikit banyak

akan ada hambatan. Apabila

proses gerak sosial itu dapat

dilakukan dengan sebebas-

bebasnya, tak mungkin ada

stratifikasi sosial yang

menjadi ciri tetap dan umum

dari setiap masyarakat.

3. Gerak sosial vertikal yang

umum berlaku bagi semua

masyarakat mempunyai ciri-

ciri yang khas bagi gerak

sosialnya yang vertikal.

4. Laju gerak sosial vertikal

yang disebabkan oleh faktor-

faktor ekonomi, politik serta

pekerjaan adalah berbeda.

5. Berdasarkan bahan-bahan

sejarah, khususnya dalam

gerak sosial vertikal yang

disebabkan faktor-faktor

ekonomis, politik dan

pekerjaan tak ada

kecendrungan yang kontiniyu

perihal bertambah atau

berkurangnya laju gerak

sosial.

Menurut Horton dan Hunt

(Narwoko, 2007:211) mencatat ada

dua faktor yang mempengaruhi

mobilitas pada masyarakat modern

yakni faktor struktural adalah jumlah

relatif dari kedudukan tinggi yang

bisa dan harus diisi serta kemudahan

untuk memperolehnya sementara

faktor individu adalah kualitas orang

perorang, baik ditinjau dari tingkat

pendidikan, penampilannya dan

keterampilannya termasuk faktor

kemujuran yang menentukan siapa

yang akan berhasil mencapai

kedudukan itu.

2.2. Stratifikasi sosial

Dikemukakan oleh Pitrim A

Sorokin (Wulansari, 2009:101)

lapisan sosial adalah pembedaan

penduduk atau masyarakat kedalam

kelas-kelas secara bertingkat (secara

hierarkis). Perwujudannya adalah

kelas yang lebih tinggi dan kelas

yang lebih rendah. Dasar dari

lapisan-lapisan dalam masyarakat

adalah tidak adanya keseimbangan

dalam pembagian hak-hak dan

Page 14: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

14

kewajiban-kewajiban, kewajiban dan

tanggung jawab, nilai sosial dan

pengaruhnya diantara anggota

masyarakat.

Defenisi tentang stratifikasi

ini dipengaruhi oleh konsep tentang

masyarakat terstratifikasi (Stratified

societes) yang dikembangkan oleh

antropolog Morton Fried. Menurut

Fried (Sanderson, 2011:146)

masyarakat terstratifikasi adalah

masyarakat yang sama jenis kelamin

dan umurnya tidak mendapat

pendapatan atau penghasilan yang

sama. Selain itu Erik Wright

(Sanderson, 2011:281) menggunakan

skema kelasnya sebagai alat untuk

menganalisis ketidaksamaan

pendapatan dalam masyarakat.

Wright memulai dengan menentukan

apa yang menjadi landasan

pendapatan tiap kelas. Para pemilik

modal atau alat produksi menerima

pendapatannya dengan

mengekploitasi pekerja, dengan cara

mengupah mereka kurang dari nilai

barang dan jasa yang mereka

produksi.

Sementara itu, Marxisme

klasik (Sanderson, 2011:280)

berpendapat stratifikasi muncul

sebagai akibat dari persaingan yang

terus menerus antar individu atau

kelompok untuk memperoleh ekses

yang terpenting diantaranya adalah

kekayaan ekonomis dan proses

produksi. Ditambahkan Kurt B.

Meyer (Wulansari, 2009:104)

Ekonomi membedakan penduduk

menurut jumlah dan sumber

pendapatan, dimana biasanya

diperoleh dari suatu aktifitas

pekerjaan, pemilikan atau kedua-

duanya. Tingginya tingkat

pendapatan dan kepemilikan alat

produksi tentunya menempatkan

seseorang menduduki status yang

lebih baik, adanya status tinggi

merupakan pengakuan dari

masyarakat atas status tersebut.

Menurut Blumberg (Horton dan

Hunt, 2007:13) salah satu imbalan

dari status yang tinggi adalah adanya

pengakuan sebagai orang yang lebih

berderajat tinggi yaitu status simbol.

Sementara itu menurut

Horton dan Hunt (2007:5)

determinan Kelas Sosial, apakah

yang menyebab seseorang tergolong

kedalam suatu kelas sosial tertentu

adalah sebagai berikut: Kekayaan

dan Penghasilan, pekerjaan dan

pendidikan. Berdasarkan ukuran-

ukuran yang menempatkan seseorang

berada di kelas mana maka Pitrim A

Sorokin dalam (Satria,2002:41-42)

membagi bentuk stratifikasi menjadi

tiga yaitu:

a. stratifikasi berdasarkan ekonomi

yaitu jika dalam suatu

masyarakat terdapat perbedaan

atau ketidaksetaraan status

ekonomi.

b. stratifikasi berdasarkan politik

yaitu jika terdapat rangking

sosial berdasarkan otoritas,

prestise, kehormatan dan gelar

atau juga ada pihak yang

mengatur dan diatur.

c. stratifikasi berdasarkan

pekerjaan yaitu jika masyarakat

terdiferensiasi ke dalam berbagai

pekerjaan dan beberapa di antara

pekerjaan itu lebih tinggi

statusnya dibandingkan

pekerjaan lain.

2.2.1. Teori Stratifikasi

Teori evolusioner

fungsionalis Talcott Parsons

Page 15: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

15

(1966,1977) didalam (Sanderson,

2011:157) Parson menganggap

bahwa evolusi sosial secara umum

terjadi karna sifat kecendrungan

masyarakat untuk berkembang, yang

disebut sebagai kapasitas adaptif.

Kapasitas adaptif adalah kemampuan

masyarakat untuk merespon

lingkungan dan mengatasi berbagai

masalah yang selalu dihadapi

manusia sebagai mahluk sosial.

Manusia telah berevolusi berabad-

abad menurut Parsons, melaui

kapasitas adaptif yang semangkin

tinggi.

Parson beranggapan bahwa

timbulnya stratifikasi sebagai aspek

penting dari evolusi akibat

meningkatnya kapasitas adaptif

dalam kehidupan sosial. Bagi

Parsons dobrakan evolusionerlah

yang membuat banyak bentuk-

bentuk kemajuan sosial. Dengan

demikian, stratifikasi menjadi alat

yang diperlukan untuk memusatkan

aktivitasnya dengan tujuan

memecahkan masalah dan

menghadapi tantangan. Semangkin

besar masalah dan tantangan yang

dihadapi, semangkin besar pula

kebutuhan akan stratifikasi.

Disimpulkan bahwa stratifikasi

timbul dalam masyarakat manusia

karna kebutuhan untuk mengatasi

masalah-masalahyang dihadapi.

Masyarakat berstratifikasi dapat

berfungsi lebih baikdari pada

masyarakat tanpa stratifikasi.

Dengan imbalan kedudukan yang

lebih tinggi, masyarakat dapat

mendorong individu-individu

menduduki jabatan sosial yang akan

mengarahkan masyarakat lebih

efektif.

Teori surplus lenski, sosiolog

Gerhard Lenski (1966)

(Sanderson,2011: 158-159) telah

mengemukakan teori stratifikasi lain,

tetapi dengan orientasi materialistik

dan berlandaskan teori konflik. Teori

Lenski berasumsi bahwa manusia

adalah mahluk yang mementingkan

diri sendiri dan selalu berusaha untuk

mensejahterakan dirinya. Individu

berprilaku menurut kepentingan

pribadi, bekerja sama dengan sesama

jika terkait dengan kepentingannya

dan akan berebut bersama jika

melihat kesempatan terbuka bagi

kepentingannya.

Lenski beranggapan, Surplus

produksi ekonomilah yang menyebab

berkembangnya stratifikasi,

semangkin besar surplus semangkin

besar pula stratifikasi yang terjadi.

Besarnya surplus ditentukan oleh

teknologi masyarakat. Dengan

demikian ada hubungan erat antara

derajat perkembanga teknologi

dengan drajat stratifikasi. Dengan

kemajuan teknologi, surplus

ekonomi terjadi dan perebutan

surplus melahirkan stratifikasi.

2.3. Konsep Nelayan

Masyarakat nelayan merupakan

sekumpulan individu atau

sekelompok masyarakat yang

mendiami wilayah pesisir. Sumber

perekonomiannya bergantung secara

langsung pada sumber daya laut dan

ekosistem sekitarnya, serta

membentuk dan memiliki

kebudayaan yang khas, terkait

dengan ketergantungannya pada

pemanfaatan sumberdaya laut secara

terus menerus (Satria, 2002:26).

Nelayan dapat dikategorikan

dari berbagai macam tipe salah

satunya adalah nelayan tradisional

menurut konsep yang dikemukakan

Page 16: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

16

oleh Satria (2002: 28) peasent fisher

atau nelayan tradisional, biasanya

lebih berorientasi pada pemenuhan

kebutuhan sendiri (sub-sistence).

Sebutan ini muncul karna alokasi

tangkapan yang dijual lebih banyak

untuk memenuhi kebutuhan pokok

sehari-hari (khususnya pangan) dan

bukan diinvestasikan kembali untuk

pengembangan skala usaha.

Seiring berkembangnya

motorisasi perikanan nelayan

tradisional mengalami kemajuan

yaitu dari peasent fisher menjadi post

peasent fisher, yang dicirikan dengan

penggunaan teknologi penangkapan

ikan yang lebih maju. Penguasaan

sarana motor itu semangkin

membuka peluang bagi nelayan

untuk menangkap ikan diwilayah

perairan yang lebih jauh dan

memperoleh surplus dari hasil

tangkapan itu karna mempunyai daya

tangkap lebih besar. Mengacu pada

pendapat Polllnac (Satria, 2002:29)

nelayan sekala besar dicirikan

dengan majunya kapasitas teknologi

penangkapan maupun jumlah

armadanya. Mereka lebih

berorientasi pada keuntungan dan

melibatkan buruh nelayan sebagai

anak buah kapal (ABK) dengan

organisasi kerja yang komplek.

Urgensi moderenisasi perikanan

melalui perbaikan teknologi atau alat

tangkap untuk peningkatan produksi

dapat dipahami. Hal ini sesuai

dengan kenyataan bahwa kita masih

undercapacity untuk memanfaatkan

potensi perikanan budidaya maupun

tangkap. Pada umumnya,

moderenisasi perikanan melalui

peningkatan kualitas alat tangkap

didorong untuk meningkatkan

produksi perikanan, Berbagai

pengalaman menunjukan hal itu

secara umum, ada beberapa pengaruh

positif dari kelangsungan

moderenisasi perikanan tersebut,

antara lain Satria (2002:51):

terjadinya peningkatan produksi

perikanan, peningkatan pendapatan

nelayan, mendorong tersedianya

lapangan kerja baru.

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI

PENELITIAN

3.1. Kondisi Geografis

Kecamatan Moro merupakan

Kecamatan yang berada dalam ruang

lingkup Kabupaten Karimun Provinsi

Kepulauan Riau, secara geografis

Kecamatan Moro merupakan

Kecamatan yang terletak pada

ketinggian 0-138 meter diatas

permukaan laut, dimana sebagian

lahan merupakan lahan datar sampai

bergelombang, untuk keadaan iklim

Kecamatan Moro secara umum

beriklim tropis dipengaruhi oleh

sifat-sifat iklim laut.

Kampung Benteng RT 03/ RW

03 merupakan daerah pesisir yang

terletak dikecamatan Moro,

Kampung Benteng khususnya RT

03/RW 03 merupakan daerah pesisir

sehingga sebagian besar

penduduknya bermata pencarian

sebagai nelayan tradisional

dahulunya dalam memenuhi

ekonomi keluarga. Jika dilihat

Pemungkiman nelayan kampung

benteng RT 03/RW 03 bukan

merupakan pemungkiman yang tepat

berada dipesisir pantai melainkan

jarak pantai dengan pemungkiman

Page 17: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

17

mereka lebih kurang 200 M dari

pesisir pantai, manfaat pemungkiman

mereka tidak terlalu dekat dengan

pesisir pantai membuat masyarakat

nelayan khusunya kampung benteng

dapat memanfaatkan lahan-lahan

disekitar perumahan mereka untuk

bercocok tanam.

3.2. Keadaan Demografis

3.2.1. Penduduk

Penduduk merupakan faktor

yang sangat dominan dalam

menunjang pembangunan dan

perubahan pada suatu daerah melalui

peningkatan taraf hidup mereka

seperti pendidikan, ekonomi dan

pekerjaan yang dapat membawa

daerah kearah yang lebih baik.

Perlunya peran penduduk

dalam pembangunan wilayah tempat

tinggalnya diharapkan mampu

membawa penduduk tersebut

menjadi semangkin maju dan

berkembang melalui kemudahan

ekses sumber daya yang dihadapi.

Semua masyarakat menghadapi

masalah dasar dalam mendorong

anggota masyarakat untuk

menempati posisi sosial, tidak

terkecuali pada masyarakat yang ada

di Kampung Benteng Kelurahan

Moro.

Jumlah penduduk

Dikampung Benteng khusunya RT

003/ RW 003 sebagai lokasi

penelitian peneliti sebanyak 139 jiwa

yang terdiri dari 31 kepala keluarga

(KK). Adapun jumlah penduduk jika

dilihat dari jenis kelamin terdiri dari

laki-laki 73 jiwa dan perempuan 66

jiwa.

3.2.2. Pendidikan

Perubahan dan kemajuan

dalam suatu masyarakat dapat dilihat

dari berbagai aspek diantaranya

iyalah pendidikan. Semangkin tinggi

tingkat pendidikan suatu masyarakat

akan berpengaruh pada jenis

pekerjaan yang mereka geluti

sehingga timbulnya mobilitas keatas

dan berpengaruh pada tingkat

stratifikasi mereka. untuk menaiki

status setiap masyarakat dengan

pendidikan maka perlu adanya

kemudahan ekses pendidikan

tersebut.

Jika dilihat, hal ini tentu saja

sangat memperihatinkan ditengah

berkembangnya dunia pendidikan

tapi masih banyak warga masyarakat

didaerah indonesia yang tidak

berpendidikan dan berpendidikan

rendah. Salah satu contohnya yakni

dikampung benteng RT 003/ RW

003 seperti terlihat pada tabel diatas

jumlah penduduk yang dilihat dari

tingkat pendidikannya hampir merata

para penduduk paling banyak hanya

mengenyam pendidikan pada tingkat

sekolah dasar (SD) yang berjumlah

72 orang dan masyarakat yang tidak

tamat sekolah sebanyak 39 orang,

SLTP berjumlah 21 orang, SLTA

berjumlah 7 orang dan perguruan

tinggi tidak ada, hal ini lah

merupakan salah satu penyebab

individu dalam masyarakat tersebut

sulit bersaing dan sulit untuk

mendapat pekerjaan yang relatif baik

karna terbatas akan status pendidikan

rendah yang dapat berimplikasi pada

sumber daya manusianya (SDM).

3.2.3. Mata pencarian

Page 18: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

18

Diwilayah Kecamatan Moro

terdiri dari bermacam-macam mata

pencaharian dengan sumber

penghasilan dari Home Industri,

Nelayan, Pertanian, Perternakan dan

lain-lain. Kecamatan Moro

merupakan area yang Strategis dan

Potensial sebagai Wilayah Perikanan

dan Budi Daya Rumput Laut.

Nelayan merupakan jumlah

mayoritas pekerjaan masyarakat

kecamatan moro jika ditinjau dari

data Kecamatan Moro yaitu 75%,

perkebunan adalah mayoritas mata

pencarian masyarakat Kecamatan

Moro yang tinggal jauh dari pesisir

pantai yaitu dengan persentase 5%,

pertanian 10%, wiraswasta 5%,

kerajinan (tidak ada) dan

perdagangan 5% yaitu mereka

mayoritas yang bergerak dibidang

perdagangan adalah warga tiong hua.

Adapun pada lokasi

penelitian yaitu Kampung Benteng

RT 003/ RW 003 jumlah penduduk

dilihat dari matapencarian

berdasarkan data RT serta data

wawancara peneliti kepada informan

yang peneliti bandingkan ditemukan

sebagian besar masyarakat telah

berpindah pekerjaan terutama pada

sektor perikanan (nelayan

tradisional) dengan berbagai macam

alasan yang dijadikan sebagai latar

belakang peralihan tersebut.

Mayoritas pekerjaan sebagai nelayan

adalah mereka masyarakat setempat

yang bersuku melayu, bugis serta

bermungkim atau bertempat tinggal

dipesisir pantai.

BAB IV

Mobilitas Sosial Masyarakat

Nelayan Tradisional Di Kampung

Benteng Kelurahan Moro

Kecamatan Moro

(Studi Tentang Peralihan Mata

Pencarian Masyarakat Nelayan

Tradisional)

4.1. Aktifitas Umum Masyatakat

Nelayan Tradisional Kampung

Benteng

Masyarakat pesisir

didefinisikan sebagai masyarakat

yang tinggal dan melakukan aktifitas

sosial ekonomi yang terkait dengan

sumber daya wilayah pesisir dan

lautan sehingga masyarakat pesisir

memiliki ketergantungan yang cukup

tinggi dengan potensi atau kondisi

sumber daya pesisir. Satria (2002:26)

masyarakat nelayan merupakan

sekumpulan individu atau

sekelompok masyarakat yang

mendiami wilayah pesisir.

Masyarakat pesisir khususnya

masyarakat nelayan memiliki prilaku

yang sebagian besar disebabkan

karena karakteristik sumber daya

yang menjadi input utama bagi

kehidupan sosial ekonomi mereka

yaitu masyarakat nelayan akrab

dengan ketidakpastian yang tinggi

karena secara alamiah sumber daya

perikanan bersifat invisible sehingga

sulit untuk diprediksi.

Seperti halnya masyarakat

pesisir Kampung Benteng

Kecamatan Moro dahulu biasanya

aktifitas masyarakat nelayan

tradisional Kampung Benteng

hanyalah melaut yang dilakukan

dengan melihat musim ikan yaitu

pada bulan Agustus sampai bulan

Februari dengan kondisi air yang

jernih/ hijau.

Page 19: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

19

Hal ini sering dilakukan bagi

nelayan dengan alat tangkap rawai

atau pancing kegiatan melaut

dilakukan setiap hari, biasanya

kegiatan melaut dilakukan mulai sore

hari hingga pagi hari (one day

fishing) bahkan pada musim tertentu

mereka juga melakukan kegiatan

penangkapan dengan waktu yang

cukup lama (Bertandang)

kadangkala kegiatan penangkapan

sampai tiga hari atau empat hari.

Biasanya kegiatan

penangkapan dilakukan di Pulau

Perasi Besar, Manteras, Selat Sugie,

Batu Berlobang, Karang Melvil,

Plangkat, Pulau Timun dan Pulo

Tiga (Sumber: Draft penyusunan

tentang kriteria nelayan terkena

dampak langsung/ tidak langsung

dari penambangan pasir laut,

Himpunan Nelayan Seluruh

Indonesia Kecamatan Moro).

Sejalan dengan waktu

lemahnya perekonomian nelayan

tradisional serta tingginya modal

yang dikeluarkan nelayan untuk

melaut sementara teknologi

tangkapan masih bersifat sederhana

dan tradisional sangat berpengaruh

pada penghasilan mereka dan

menyebabkan kerugian dari sisi

materi membuat para nelayan

memilih melakukan peralihan

pekerjaan.

Dengan berbagai macam

alasaan yang muncul yaitu

keseharian nelayan Kampung

Benteng hingga sekarang tidak lagi

mengandalkan pekerjaan nelayan

tradisional sebagai tumpuan ekonomi

rumah tangga melainkan keseharian

waktu mereka hanya dihabiskan

untuk bekerja sebagai buruh

bangunan, buruh nelayan dan lain-

lain yang dapat mendatangkan

penghasilan guna ekonomi keluarga.

Mereka para nelayan yang

beralih pekerjaan sangat dominan

terjadi hampir seluruh masyarakat

nelayan tradisional Kampung

Benteng RT 003/RW 003

menghentikan kegiatan penangkapan

ikan. Peralihan pekerjaan para

nelayan yang bekerja sebagai

nelayan tradisional menjadi buruh

nelayan, buruh bangunan dan

pengusaha percetakan batako tidak

dapat lepas dari permasalahan yang

komplek dalam kehidupan nelayan.

4.2. Karakteristik Informan

Sebelum membahas

mengenai mobilitas sosial di

Kampung Benteng RT 003/ RW 003

Kelurahan Moro maka, terlebih

dahulu akan di kemukakan

karakteristik informan dalam

penelitian ini. Adapun karakteristik

yang disajikan meliputi nelayan

tradisional yang beralih mata

pencarian ke buruh nelayan (buruh

nelayan penjaring, buruh nelayan

trawl), buruh bangunan dan

pengusaha batako, nelayan

tradisional yang dilihat dari tingkat

pendidikannya dan masa kerja

sebagai nelayan. adapun karakteristik

informan tersebut akan dijelaskan

dalam bentuk tabel-tabel sebagai

berikut:

4.2.1. Karakteristik Informan

Berdasarkan Peralihan Sektor

Pekerjaan

Mobilitas yang dilakukan

informan ke pekerjaan-pekerjaan ke

sektor perikanan dan nonperikanan

dapat dilihat pada sektor perikanan

yaitu buruh nelayan penjaring, buruh

Page 20: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

20

nelayan trawl dan sektor

nonperikanan yaitu ke pekerjaan

buruh bangunan, (wirasawasta)

pengusaha percetakan batako.

Peralihan pekerjaan yang

dilakukan dari nelayan tradisional ke

sektor perikanan seperti buruh

nelayan penjaring, buruh nelayan

trawl lebih banyak. Hal ini

dikarnakan pekerjaan sektor

perikanan memang merupakan

karakter masyarakat pesisir. Sebagai

masyarakat pesisir tentunya sumber

daya yang dihadapi adalah sumber

daya laut sehingga pekerjaan sebagai

nelayan adalah pekerjaan yang telah

diwariskan secara turun temurun

berdasarkan sistem pengetahuan di

Kampung Benteng RT 003/ RW 003.

Selain itu adanya masyarakat

nelayan yang bekerja diluar sektor

perikanan seperti pekerjaan buruh

bangunan dan wiraswasta

(pengusaha percetakan batako)

dikarnakan mereka memiliki skill

atau keahlian yang telah mereka

tekuni seiring belum masuknya

musim penangkapan. Sedangkan

mereka para nelayan yang masih

berada disektor perikanan, pada saat

belum masuknya musim

penangkapan mereka lebih memilih

untuk beristirahat melaut dari pada

menggeluti pekerjaan lain dan hal ini

berpengaruh pada keterampilan

mereka untuk menggeluti pekerjaan

diluar sektor perikanan.

4.2.2. Karakteristik Berdasarkan

Tingkat Pendidikan

Bahwa tingkat pendidikan

informan sebagai nelayan tradisional

di Kampung Benteng RT 003/ RW

003 mempengaruhi sebagian nelayan

tradisional sehingga kesulitan untuk

memperbaiki taraf hidup mereka.

faktor pendidikan juga turut menjadi

penentu dalam menentukan posisi

sosial nelayan, akibat rendahnya

pendidikan masyarakat nelayan

tradisional terus dalam posisi

dependen.

4.2.3. Karateristik Berdasarkan

Tingkat Lamanya Masa Kerja

Lamanya masa kerja sebagai

nelayan tradisional sangat

berpengaruh dalam memberikan

informasi kepada peneliti, seperti

permasalahan yang komplek terjadi

sehingga mereka sebagian besar

beralih mata pencarian baik yang

berada disektor perikanan maupun

mereka yang berada disektor

nonperikanan untuk dijadikan data

mengenai bagaimana mobilitas

pekerjaan masyarakat nelayan

Kampung Benteng RT 003/ RW 003

terjadi.

Informan yang memiliki

lamanya masa kerja tersebut sangat

berpengaruh terhadap pemberian

data kepada peneliti yaitu mereka

yang bekerja selama itu tentunya

sangat banyak mengalami

pengalaman dalam bidang tersebut.

Peralihan mata pencarian yang

terjadi tentunya akan berpengaruh

kepada keterampilan mereka dimana,

pekerjaan yang baru juga akan

menuntut keterampilan yang berbeda

dari pekerjaan sebelumnya.

4.3. Mobilitas Sosial Dari Nelayan

Tradisional ke Buruh Nelayan,

Buruh Bangunan dan usaha

percetakan Batako di

Kampung Benteng

Menurut Horton dan Hunt

(Narwoko, 2007:208) mobilitas

sosial diartikan sebagai suatu gerak

Page 21: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

21

perpindahan dari suatu kelas sosial

ke kelas sosial lainnya. Mobilitas

sosial dapat berupa peningkatan atau

penurunan dalam segi status sosial

dan (kebiasaannya) termasuk pula

segi penghasilan, yang dapat dialami

oleh beberapa individu atau oleh

keseluruh anggota kelompok.

Mobilitas sosial yang dilakukan

nelayan Kampung Benteng

merupakan perpindahan dari

pekerjaan sebelumnya ke pekerjaan

yang baru, dari perpindahan

pekerjaan tersebut seseorang akan

memperoleh status sosial yang baru

yang berbeda dengan status yang

lama yang menempatkan mereka

berada di posisi atau kedudukan

tertentu atau bahkan tetap pada

kedudukan yang tidak jauh beda

dengan kedudukan sebelumnya

hanya saja pekerjaannya saja yang

berbeda.

4.3.1. Nelayan Tradisional Ke

Buruh Nelayan ( Penjaring dan

Trawl )

Adapun mobilitas yang

dilakukan nelayan tradisional

disektor perikanan adalah mobilitas

ke buruh nelayan penjaring dan

buruh nelayan trawl yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Nelayan Tradisional Ke Buruh

Nelayan Penjaring

Pekerjaan sebagai nelayan

tradisional, awalnya modal yang

harus mereka keluarkan untuk

melaut lebih kurang Dua Ratus Ribu

Rupiah dengan modal sebesar itu

nelayan harus menutupi pengeluaran

dengan penghasilan yang didapat.

Mereka melakukan aktifitas

penangkapan selama tiga hari sampai

empat hari atau istilah setempat

disebut Bertandang. Tujuan

melakukan aktifitas penangkapan

selama itu agar pengeluaran dapat

ditutupi dengan penghasilan

tangkapan yang banyak sehingga

pada saat melaut mereka menyiapkan

berbagai perlengkapan dan

persediaan yang secukupnya.

Berdasarkan hasil wawancara

hal yang melatar belakangi mereka

beralih pekerjaan menjadi buruh

nelayan penjaring dikarnakan

pekerjaan sebagai nelayan tradisional

sulit untuk mendapatkan penghasilan

yang pasti sementara biaya melaut

semangkin hari semangkin

meningkat ditambah lagi dengan

masih sederhananya jenis alat

tangkap yang digunakan.

Menurut nelayan biaya yang

mahal yaitu mereka harus

mengambil umpan rawai dengan

status hutang kepada tauke, selain itu

minyak untuk sampan yang bermesin

mereka akan berhutang lagi kepada

pedagang minyak eceran.

Penghasilan yang diperoleh tidak

dapat diprediksi dengan pasti apalagi

jika berpengaruh kepada cuaca yang

kurang baik maka penghasilan yang

diperoleh menjadi lebih tidak pasti.

Sementara, jenis alat tangkap

rawai yang mereka gunakan memang

masih sangat tradisional, jenis

metode penangkapan dengan rawai

ini diwariskan secara turun temurun

oleh kehidupan para nelayan.

Menurut Satria (2002:16) umumnya

pengetahuan tentang teknik

penangkapan ikan didapat dari

warisan orang tua atau pendahulu

mereka berdasarkan pengalaman

empiris. Hal ini, tentunya akan

sangat berpengaruh kepada hasil

produksi mereka, sedikitnya

perolehan hasil tangkapan ikan serta

seringnya pengeluaran dan

Page 22: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

22

penghasilan yang tidak seimbang

nelayan mengalami kerugian dalam

bentuk materi. Kerugian yang

dialami nelayan tradisional ini lah

yang menjerat mereka kedalam

hutang piutang yang komplek

dikomunitasnya.

Mereka tidak hanya

berhutang kepada tauke, pedagang

atau kerabat tetapi juga kepada

tetangga dan teman. Nelayan yang

berhutang dengan tauke kesulitan

untuk melunasi hutang piutang

mereka sehingga solusi yang

dilakukan oleh nelayan yaitu menjual

jasa tenaga mereka dengan bekerja

sebagai buruh nelayan.

Meninjau minimnya

penghasilan yang diperoleh akibat

dari masih sederhananya teknologi

tangkapan yang digunakan dan

tingginya biaya operasional serta

kesulitan mendapatkan modal

melaut, ternyata sebagian dari para

nelayan tersebut memiliki alasaan

untuk bekerja dengan tauke sebagai

jaminan sosial ekonomi mereka.

Berdasarkan analisis peneliti

berkaitan dengan hasil wawancara

maka peneliti menggunakan konsep

James Scott dalam (Satria, 2002:32-

33) yaitu:

1. penghidupan subsisten dasar,

berupa pemberian pekerjaan

tetap, penyediaan sarana

produksi, bantuan teknis.

2. Jaminan krisis subsisten berupa

pinjaman yang diberikan pada

saat klien menghadapi kesulitan

ekonomi

3. Perlindungan klien dari ancaman

pribadi maupun umum

4. memberikan jasa kolektif berupa

bantuan untuk mendukung

sarana umum setempat.

Hubungan antara buruh nelayan

dan majikan (tauke) banyak memberi

kemudahan pada saranan produksi,

jaminan ekonomi, perlindungan klien

dan memberikan jasa kolektif berupa

bantuan. Kemudahan sarana

produksi yaitu para tauke

menyediakan segala keperluan buruh

nelayan untuk melaut sehingga

permasalahan seperti biaya

operasional melaut bukan lagi

menjadi sebuah permasalahan yang

dominan. dengan bekerja sebagai

buruh nelayan penjaring masyarakat

mampu meningkatkan produksi hasil

tangkapan mereka melalui perbaikan

teknologi tangkapan yaitu berupa

jaring, kendaraan laut yang

digunakan sudah banyak

menggunakan mesin dan cara

operasionalnya pun sedikit lebih

mudah.

Jaminan ekonomi merupakan hal

yang sangat dibutuhkan oleh para

buruh nelayan, ada kalanya

penghasilan dari melaut mengalami

penurunan hasil maka salah satu

jalan yang bisa mereka lakukan yaitu

meminjam uang kepada tauke untuk

memenuhi kebutuhan keluarga

mereka. Sementara itu perlindungan

yang dilakukan tauke kepada klien

jika terjadi permasalahan umum

seperti biaya pendidikan anak klien,

biasanya tauke akan turut membantu

dengan melunasi tunggakan SPP

mereka. Jasa bantuan yang dilakukan

tauke untuk sarana umum biasanya

mereka akan membantu dalam

bentuk uang apa bila perkampungan

yang memang sebagian besar adalah

kliennya membutuhkan sarana jalan

seperti di Kampung Benteng.

Selain itu seperti yang dicatat

oleh Lenski (1966) dalam

Page 23: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

23

(Sanderson, 2011:151) etika

redistribusi yaitu untuk mencegah

penguasa menguasainya secara

berlebihan, walau pun kelas

penguasa menikmati hak-hak

istimewanya para penguasa tetap

dianggap sebagai pemberi nafkah

yang harus terus menerus

memperhatikan kebutuhan sanak

saudaranya yang berada didalam

kelas massa.

Berkaitan dengan pendapat

Lenski, pada dasarnya pekerjaan

sebagai nelayan buruh adalah

pekerjaan yang dimana penguasa

disini yaitu tauke pemilik perahu.

Para tauke terus memanfaatkan para

nelayan buruh untuk mencari

penghasilan dari kegiatan

penangkapan namun, mereka juga

melakukan etika redistribusi berupa

jaminan krisis subsisten yaitu

pinjaman pada saat klien

menghadapi kesulitan ekonomi.

b. Nelayan Tradisional Ke Buruh

Nelayan Trawl

Selain mereka yang beralih

menjadi nelayan buruh penjaring,

ada juga mereka nelayan tradisional

yang beralih pekerjaan menjadi

buruh nelayan trawl. Bagi mereka

yang beralih menjadi buruh nelayan

kapal pukat atau trawl, biasanya cara

perekrutan yang dilakukan tidak

sembarangan melainkan harus ada

salah satu keluarga, teman atau

kenalaan yang telah lama bekerja

sebagai ABK kapal, apakah ABK

yang berada diposisi tekong (juru

mudi), kuanca (wakil juru mudi)

maupun ABK biasa yang berada

pada posisi paling bawah untuk

merekrut/ mengajak mereka untuk

bekerja atas dasar persetujuan dari

juru mudi atau istilah setempat

disebut Tekong, tekong memiliki

jabatan dibawah tauke atau pemilik

kapal.

Dalam pekerjaan sebagai

nelayan trawl pertama bagi mereka

yang baru bekerja, mereka akan

diposisikan sebagai juru masak/

tukang masak seiringan dengan

pekerjaan sebagai juru masak mereka

juga harus ikut serta dalam

membantu sistem pekerjaan walau

pun tidak sepenuhnya selayaknya

nelayan trawl yang telah

berpengalaman seperti memilih jenis

ikan tertentu untuk dipisahkan

berdasarkan jenis ikan antara ikan

ekspor ke Singapur dan ikan untuk

dijual kepasar domestik seperti ke

Tanjungpinang, Tanjung Balai dan

Tanjung Batu.

Selain itu mereka dituntut

untuk memahami peran dan

kedudukan setiap ABK mulai dari

tekong sampai ke ABK paling

bawah, umumnya dalam satu kapal

pukat terdiri dari 7 orang pekerja

yaitu tekong, kuanca (wakil

tekong/juru mudi) dan sisanya ABK

biasa yang bekerja atas perintah

tekong. Dan pengetahuan ini mereka

pelajari sendiri tanpa dibimbing.

Bagi mereka yang telah memahami

pekerjaan sebagai buruh nelayan

pukat akan ada peningkatan

kedudukan sejalan dengan

pemahaman yang mereka peroleh.

Biasanya bagi mereka yang

lulus seleksi akan menjadi pekerja

tetap namun mereka yang tidak lulus

akan dikeluarkan atau bahkan akan

menjadi beban bagi ABK yang lain.

Dikarnakan pekerjaan sebagai

Page 24: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

24

nelayan pukat setiap individu

memiliki kedudukan dan perannya

masing-masing jika mereka tidak

mengerti maka beban kedudukan dan

perannya akan diambil oleh salah

satu ABK, ABK yang memerankan

dua peranan akan merasa

terbebankan oleh pekerjaan yang

umumnya mengandalkan fisik.

Pekerjaan sebagai buruh

nelayan pukat kedudukan yang

paling tinggi yaitu pemilik kapal

(tauke) kemudian dibawah tauke ada

juru mudi (tekong) sementara

dibawah juru mudi ada wakil juru

mudi (kuanca) dan di posisi terbawah

ada ABK biasa. Untuk mendapatkan

kedudukan sebagai tekong atau

kuanca biasanya mereka adalah

orang yang telah lama bekerja

sebagai buruh nelayan trawl atau

istilah yang sering digunakan para

pekerja trawl yaitu senior.

Seiring mereka yang telah

lama bekerja, mereka juga harus

mengerti banyak tentang

pengoperasionalan kapal pukat mulai

dari memahami peranan juru mudi,

kuanca yang juga merangkap bagian

mesin serta peranan ABK biasa serta

sistem kerja operasional jenis alat

tangkap. Terjadinya kenaikan

kedudukan seseorang didalam

pekerjaan kapal pukat yaitu

berdasarkan penunjukan secara

langsung atas dasar pertimbangan

tertentu dari tauke dan tekong.

Terutama tauke berencana

membeli sebuah kapal pukat yang

baru, maka tauke akan bercerita

kepada tekong, kemudian tekong

sebagai orang yang banyak

mengetahui tentang kualitas

ABKnya, akan mengusulkan nama

salah seorang ABKnya untuk

dipindahkan bekerja dikapal yang

baru dengan kedudukan yang lebih

tinggi seperti juru mudi atau menjadi

kuanca (wakil tekong). Sementara

ABK kapal yang baru mereka akan

melakukan perekrutan lagi.

Berdasarkan wawancara

maka analisis penelti menggunakan

konsep Blau dan Duncan (Sanderson,

2011:273) beberapa individu dapat

memperbaiki kedudukan mereka

dengan motivasi, kerja keras, bahkan

dengan keberuntungan. Banyak

mobilitas terjadi dengan struktur

kapitalisme modern yaitu perubahan

teknologi dan jabatan yang terus

menerus akibat sistem tersebut.

Blau dan O.D Duncan

(Sanderson, 2011:273) perubahan

teknologi adalah faktor penting

penyebab mobilisai. Sehingga

banyak pekerjaan diisi oleh mereka

yang berstatus rendah. Jadi pada

tahap ini mereka melakukan

mobilitas yaitu dari peasent fisher

menjadi buruh nelayan post peasent

fisher terkait dengan jenis

kendaraaan laut yang digunakan dari

sampan menjadi trawl atau kapal

pukat. Menurut Satria (2002:28)

dengan berkembangnya motorisasi

perikanan, nelayan pun berubah dari

peasant fisher menjadi post-peasant

fisher yang dicirikan dengan

penggunaan teknologi penangkapan

ikan yang lebih maju seperti motor

tempel atau kapal motor.

Pada kasus nelayan trawl

dengan perubahan teknologi itu

semangkin membuka peluang bagi

nelayan untuk menaiki status mereka

Page 25: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

25

seiring surplus dari hasil tangkapan

karna memiliki daya tangkap yang

lebih besar. Sementara itu kenaikan

posisi atau kedudukan mereka

didalam perahu sangat ditentukan

oleh pengetahuan, pengalaman,

keberuntungan serta keterampilan

yang dimiliki. Untuk menduduki

status sebagai seorang kuanca atau

wakil juru mudi mereka harus

memiliki pengalaman yang cukup

lama, pengetahuan dan ketrampilan

seiring dengan teknologi tangkapan

yang mereka hadapi.

4.3.2. Nelayan Tradisional Ke

Buruh Bangunan

Selain peralihan pekerjaan

sebagai buruh nelayan ada juga para

nelayan tradisional yang bekerja

sebagai buruh bangunan. pekerjaan

buruh bangunan merupakan

pekerjaan sambilan dikala para

nelayan tradisional belum masuk

musim penangkapan atau musim

turun melaut.

Biasanya kalangan para

nelayan tradisional yang berpindah

menjadi buruh bangunan adalah

mereka nelayan yang kesulitan

dalam mencari pinjamaan modal

melaut terutama kepada tauke.

Kesulitan ini dapat terjadi

dikarnakan pinjaman-pinjaman

sebelumnya tidak mampu mereka

lunasi. Anggapan sebagian nelayan,

mereka nelayan yang berpindah

menjadi buruh bangunan dan

kesulitan melunasi hutang piutang

kepada tauke dikarnakan faktor

kemalasan untuk melaut sehingga

tidak terlunasinya hutang kepada

tauke, para tauke pun tidak mau

memberikan pinjaman lagi.

Setiap kali para nelayan tidak

melaut atau belum masuk musim

penangkapan hal yang paling umum

dilakukan mereka yaitu mencari

pekerjaan sampingan sebagai

masukan ekonomi keluarga dengan

menawarkan diri kepada seorang

kepala borongan atau kepala tukang

untuk ikut bekerja sebagai buruh

bangunan Jika, kepala tukang masih

membutuhkan kuli pembantu maka

mereka akan diikut sertakan sebagai

pekerja tetapi jika tidak mereka akan

menganggur atau menjadi buruh

serabutan. Pekerjaan bangunaan

yang mereka geluti lebih banyak ke

sektor pembangunan perumahan

penduduk.

Pekerjaan yang dilakukan

secara terus menerus ini lah

kemampuan sebagai buruh bangunan

terlatih namun, kebanyakan dari

mereka hanya berada pada kuli biasa

atau istilah setempat kuli pembantu

dan tidak tertutup kemungkinan akan

ada peningkatan keterampilan jika

mereka bekerja keras dan

bersungguh-sungguh untuk

menggeluti pekerjaan tersebut.

Berdasarkan analisis peneliti

dengan menggunakan konsep Davis

dan Moore (Sanderson, 2011:279)

tingkat posisi sosial setiap orang

ditentukan oleh dua faktor salah

satunya iyalah kelangkaan personal

yang siap untuk mengisi posisi

dimaksud. Dan biasanya, orang

memiliki kemampuan tertentu

mendapat status yang tinggi.

Kelangkaan akan personal yang

sesuai dapat diakibatkan karena

Page 26: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

26

kurangnya pengembangan bakat atau

tuntunan syarat-sayarat suatu jabatan

yang tinggi. Meninjau pekerjaan

sebagai buruh bangunan yang di

posisikan sebagai kuli pembantu

menandakan masih rendahnya skill

mereka dibidang tersebut.

Selain itu pekerjaan sebagai

buruh bangunan yang dijalani para

mantan nelayan tradisional di

Kampung Benteng tidak hanya

mengandalkan keterampilan mereka

dalam membuat suatu bangunan

seperti rumah. namun, untuk

mengemban suatu keterampilan

tersebut mereka juga harus mendapat

kepercayaan orang lain sehingga

pekerjaan mereka tidak hanya

diposisikan sebagai kuli bangunan

yang diposisiskan sebagai pembantu.

Posisi pembantu dalam pekerjaan

sebagai buruh bangunan di Kampung

Benteng adalah posisi yang paling

rendah dan mendapat bayaran gaji

rendah sesuai dengan posisi yang

mereka perankan. Hal ini sesuai

dengan konsep yang dikemukakan

oleh Blumberg (Horton dan Hunt,

2007:13) salah satu imbalan dari

status yang tinggi adalah adanya

pengakuan sebagai orang yang lebih

berderajat tinggi (status simbol).

4.3.3. Nelayan Tradisional Ke

Pengusaha Percetakan Batako

Peralihan pekerjaan dari

nelayan tradisional ke pengusaha

percetakan batako yang dilakukan

mantan nelayan tradisional adalah

melalui tahap menjadi buruh

bangunan. mereka bekerja sebagai

buruh bangunan seperti mana yang

dijalani para mantan nelayan yang

beralih menjadi buruh bangunan

lainnya.

Pekerjaan yang meraka jalani

juga diposisikan sebagai kuli

pembantu yang berada pada posisi

bawah. Pekerjaan kuli pembantu juga

membutuhkan keterampilan khusus

yang mereka pelajari dari kepala

borongan yaitu seperti mlaster.

Mlaster adalah cara menghaluskan

permukaan tembok. Semen yang

telah dipersiapkan dari proses

penyaringan kemudian ditempelkan

pada dinding yang masih kelihatan

batakonya. Dalam pekerjaan sebagai

buruh bangunan mereka dituntut

untuk serba bisa sehingga banyak

yang mereka pelajari salah satunya

adalah proses pembuatan batako.

Dengan keterampilan atau skill yang

dimiliki sebagian dari mereka ada

yang membuka usaha percetakan

batako.

Namun, untuk membuka

usaha tersebut mereka juga akan

membutuhkan modal awal. Untuk

informan peneliti yaitu Dul Hamid,

ia mendapatkan modal awal untuk

menjalankan usahanya iyalah dari

salah satu saudaranya yang tinggal di

kota, dengan bantuan modal dari

saudaranya ia pun mendirikan usaha

tersebut.

Melalui saluran mobilitas

sosial keterampilan atau keahlian

yang dimiliki dapat mengangkat

drajat anggota masyarakat yang

terlibat didalamnya untuk menduduki

kedudukan yang lebih tinggi dari

keadaan semula. Bagi mereka yang

berbakat atau mau bekerja keras,

berkorban dengan tujuan mencapai

jabatan penting, imbalan yang tinggi

Page 27: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

27

akan diperolehnya namun,

sebaliknya mereka yang tidak

mempunyai motivasi dan

keterampilan akan mempunyai peran

yang kecil dengan imbalan yang

kecil pula (Sanderson, 2011:279).

4.4. Tipe-Tipe Mobilitas Sosial

Nelayan Tradisional Di Kampung

Benteng RT 003/ RW 003

Transformasi pekerjaan yang

dilakukan nelayan tradisional ke

buruh nelayan, buruh banguan dan

usaha percetakan batako sangat

dominan terjadi di Kampung

Benteng khususnya RT 003/ RW 003

tentunya akan terjadi kenaikan dan

penurunan status akibat dari

peralihan pekerjaan tersebut atau

malah status mereka tidak jauh

berubah dari sebelumnya.

Dalam mobilitas secara

prinsipil yang dikemukakan oleh

Pitrim A Sorokin (soekanto,

2004:249) menyebutkan tipe-tipe

gerak sosial ada dua macam yaitu

gerak sosial yang horizontal dan

vertikal. Mobilitas horizontal

merupakan peralihan individu atau

obyek-obyek sosial lainnya dari

suatu kelompok sosial ke kelompok

sosial lainnya yang sederajat yaitu

tidak terjadi perubahan dalam derajat

kedudukan seseorang dalam

mobilitas sosialnya sementara

mobilitas sosial vertikal adalah

perpindahan individu atau objek-

objek sosial dari suatu kedudukan

sosial ke kedudukan sosial lainnya

yang tidak sederajat.

4.4.1 Mobilitas Sosial Horizontal

(Dari Nelayan Tradisional

Ke Buruh Nelayan

Penjaring Dan Buruh

Bangunan).

Mobilitas horizontal adalah

nelayan yang beralih pekerjaan yang

berbeda dari pekerjaan sebelumnya

tetapi status ekonomi mereka tidak

berbeda jauh dengan pekerjaan

sebelumnya. Jadi tipe mobilitas ini

dapat dilihat dari nelayan yang

bekerja sebagai buruh nelayan dan

buruh bangunan dengan meninjau

pada penghasilan (ekonomi) mereka.

Mereka para buruh nelayan

penjaring bekerja dengan tauke, hasil

perolehan ikan harus dijual dengan

tauke dan ketetapan harga ikan

berada dibawah standar harga pasar

yaitu satu kilogram ikan berdasarkan

harga pasar yaitu Rp. 40.000

sedangkan harga bagi mereka yang

bekerja sebagai buruh nelayan

penjaring dihargai tauke sebesar Rp.

14.000.

Berdasarkan hasil wawancara

diatas mengacu pada pendekatan

Marxian (Sanderson, 2011:280)

kelompok-kelompok yang memiliki

modal atau kekuatan produksi yang

penting dapat menggunakan

kekuatan itu untuk mengekploitasi

sesama dan mengeruk keuntungan

untuk diri sendiri. Selain itu Erik

Wright (Sanderson, 2011:281)

menggunakan skema kelasnya

sebagai alat untuk menganalisis

ketidaksamaan pendapatan dalam

masyarakat. Wright memulai dengan

menentukan apa yang menjadi

landasan pendapatan tiap kelas. Para

pemilik modal atau alat produksi

menerima pendapatannya dengan

mengekploitasi pekerja, dengan cara

mengupah mereka kurang dari nilai

Page 28: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

28

barang dan jasa yang mereka

produksi.

Mengacu pada konsep Erik

Wright, mobilitas pekerjaan yang

dilakukan dari nelayan tradisional ke

buruh nelayan penjaring, penghasilan

yang diperoleh sebagai buruh

nelayan pada dasarnya tidak jauh

berbeda dengan penghasilan sebagai

nelayan tradisional hanya saja

pekerjaan sebagai buruh nelayan

penjaring persediaan alat-alat

produksi disedikan oleh para tauke

seperti biaya operasional melaut,

kendaraan melaut dan kebutuhan

lainnya.

Namun, harga ikan yang

dijual tidak mengikuti harga pasaran

sehingga penghasilan yang diperoleh

hanya mampu untuk mencukupi

kebutuhan pangan para nelayan

buruh. Sehingga mobilitas pekerjaan

yang mereka lakukan hanya mampu

menempatkan mereka secara

horizontal yang ditandai dengan

tidak berubahnya status ekonomi

mereka.

Dalam mobilitas horizontal

tidak terjadi perubahan dalam drajat

status seseorang atau pun objek

sosial lainnya karna tidak mengalami

perubahan pendapatan atau status

sosial secara berarti (Narwoko,

2007:210). Mengutip pendapat dari

Blau dan Duncan (Sanderson,

2011:272) berdasarkan penelitiannya

tentang mobilitas sosial, mobilitas

yang terjadi lebih banyak berjarak

pendek dari pada berjarak panjang.

Jika dilihat mobilitas yang dilakukan

masyarakat nelayan tradisional dapat

dikatakan peralihan dalam jarak

pendek yaitu masih dalam sektor

perikanan dari nelayan tradisional ke

buruh nelayan penjaring.

Mobilitas sosial horizontal

yang terjadi selain peralihan ke

buruh nelayan penjaring ada juga

para nelayan yang melakukan

peralihan ke buruh bangunan.

pekerjaan sebagai buruh bangunan

digeluti karna para nelayan memiliki

keahlian atau keterampilan dibidang

tersebut. Peralihan pekerjaan ke

buruh bangunan dengan bekerja

sebagai kuli pembantu dalam satu

hari mereka bisa memperoleh upah

sebesar Rp.60.000 sementara itu jika

dihitung lebur dalam satu hari

penghasilan mereka akan bertambah

Rp. 70.000 sampai Rp. 80.000

perhari.

Minimnya penghasilan yang

diperoleh tidak diikuti dengan

semangkin meningkatnya kebutuhan

pangan, sandang dan papan sangat

mempengaruhi stabilitas para buruh

bangunan dari sisi ekonomi mereka.

Berdasarkan analisis peneliti

menunjukan rendahnya upah yang

diterima sebagian para buruh

bangunan dikarnakan rendahnya

posisi mereka dibidang tersebut.

Dalam pekerjaan buruh bangunan

hanya ada dua tingkatan lapisan,

pertama mereka yang memang

berposisi sebagai kepala tukang

(kepala borongan) diikuti

keterampilan, pengalaman serta

kepercayaan dari masyarakat untuk

membuat sebuah bangunan seperti

rumah. Jadi, posisi sebagai kepala

tukang lebih tinggi. ia dapat

melakukan negosiasi harga dalam

pembuatan sebuah bangunan dan

merekrut anggota pekerja yang akan

diposisikan sebagai kuli pembantu.

Sementara kuli pembantu adalah

pekerja yang diposisikan dibawah

Page 29: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

29

kepala tukang dengan fungsi

membantu kepala tukang dalam

membuat sebuah bangunan.

Mengacu pada pendapat

Davis dan Moore (Sanderson,

2011:279) bahwa tingkat posisi

sosial (yaitu tingkat imbalan yang

diterima) pada setiap masyarakat

ditentukan oleh dua faktor. Salah

satunya adalah posisi yang disebut

sebagai kepentingan fungsional,

mereka beranggapan tidak semua

posisi sosial penting untuk

berfungsinya sistem sosial. Jika

dilihat pekerjaan sebagai kuli

pembantu dapat dikatakan pekerjaan

yang bukan merupakan pekerjaan

utama dalam pembuatan sebuah

bangunan, sementara pekerjaan

utama dilakukan oleh kepala tukang

(kepala borongan). sehingga upah

yang mereka terima juga sangat

berpengaruh dengan posisi mereka

dalam pekerjaan tersebut.

Mobilitas sosial yang

dilakukan ke buruh bangunan

bukanlah pekerjaan yang mampu

menempatkan mereka pada status

yang jauh lebih baik, hal ini dapat

dilihat dari penghasilaan yang

mereka terima sehingga mobilitas

yang terjadi hanya bertipe horizontal

yang ditandai tidak adanya kenaikan

drajat seseorang melalui penghasilan.

4.3.1. Mobilitas Sosial Vertikal

(Nelayan Tradisional Ke

Buruh Nelayan Trawl Dan

Pengusaha Percetakan

Batako)

Kenaikan status sosial

dianggap baik karna membuktikan

keberhasilan usaha seseorang

(Abdullah, 2009:197) mobilitas yang

terjadi pada masyarakat nelayan

tradisional Kampung Benteng tidak

hanya sebatas peralihan yang dapat

dikatakan horizontal melainkan juga

terjadi peningkatan status yang dapat

dikatakan mobilitas secara vertikal.

Proses gerak sosial atau mobilitas

yang terjadi dalam peralihan ini

dapat melalui beberapa saluran atau

disebut social circulation yaitu

saluran ekonomi dan keahlian.

Mobilitas sosial vertikal pada

nelayan Kampung Benteng dapat

dilihat adanya mantan nelayan yang

beralih pekerjaan menjadi buruh

nelayan trawl dan pengusaha

percetakan batako. Berdasarkan data

lapangan dapat dijelaskan bahwa

nelayan yang mengalami

peningkatan status dari pekerjaan

sebelumnya menjadi buruh nelayan

trawl menerima penghasilan yang

dapat dikatakan jauh berbeda dari

penghasilan sebagai nelayan

tradisional.

Penghasilan yang diterima

buruh nelayan trawl ditentukan tiap

turun melaut selama dua puluh lima

hari dengan ketetapan gaji pokok

sebesar Rp. 1.500.000 sementara

untuk penghasilan sampingan,

mereka juga mendapatkan

penghasilan tambahan dengan

membuat ikan asin, dan penjualan

ikan asin dijual kepada penampung

dengan harga ikan asin tergantung

pada jenis ikan dan kualitas ikan

yang dibuat para buruh nelayan

trawl.

Biasanya perolehan hasil

penjualan ikan asin melebihi gaji

Page 30: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

30

pokok mereka, dan biasanya ikan

asin yang dibuat bisa mencapai per

ton. Meningkatnya penghasilan

buruh nelayan trawl dari sisi

ekonomi seiring peralihan pekerjaan

yang dilakukan menyebabkan

mereka mengalami mobilitas vertikal

keatas.

Berdasarkan hasil wawancara

diatas, menunjukan penghasilan yang

diperoleh sebagai buruh nelayan

trawl cukup besar selain penghasilan

dari gaji pokok mereka juga

mendapatkan penghasilan sampingan

seperti membuat ikan asin untuk

dijual kepada penampung sehingga

dari sisi ekonomi pekerjaan sebagai

buruh nelayan trawl dapat memenuhi

kebutuhan mereka.

Ukuran yang menentukan

seseorang berada pada suatu kelas

tertentu dapat dilihat dari kekayaan,

penghasilan dan pekerjaan yang

mereka jalani. Untuk itu imbalan dari

status sosial yang tinggi adalah

pengakuan dari orang lain sebagai

orang yang lebih berderjat tinggi

maka, untuk memperoleh pengakuan

tersebut seseorang terbagi kedalam

kelas-kelas tertentu salah satunya

iyalah stratifikasi berdasarkan

ekonomi. Pitrim A Sorokin dalam

(Satria,2002:41-42) stratifikasi

berdasarkan ekonomi yaitu jika

dalam suatu masyarakat terdapat

perbedaan atau ketidaksetaraan status

ekonomi mereka.

Pekerjaan sebagai buruh

nelayan trawl memiliki tingkatan-

tingkatan (stratifikasi) didalam

perahu, posisi atas diisi oleh pemilik

perahu atau juragan dan dibawah

juragan ada juru mudi atau tekong,

dibawah tekong ada kuanca (wakil

tekong yang juga merangkap bagian

mesin) dan seterusnya ada ABK

biasa. Terbukanya sistem statifikasi

didalam pekerjaan sebagai buruh

nelayan trawl maka, banyak

kemungkinan akan adanya kenaikan

status didalam perahu terutama

mereka yang berstatus sebagai ABK

biasa.

ABK biasa yang menduduki

status yang lebih tinggi dikarnakan

mereka memahami ketrampilan

dalam mengoperasionalkan kapal

trawl, mengerti bagian mesin dan

bisa membaca kompas atau GPS.

Seiring peningkatnya status mereka

juga diikuti naiknya penghasilan

mereka. Terjadinya kenaikan status

sangat dipengaruhi oleh tingkat

pembagian kerja yang ada.

Dikarnakan tingkat pembagian kerja

dan terspesialisasi maka akan banyak

tuntutan untuk menduduki status

melalui ketrampilan khusus. Namun

hal ini memacu anggota untuk lebih

giat berusaha agar dapat memperoleh

status sosial tersebut (Abdullah,

2009:202).

Melihat hasil wawancara

diatas, berdasarkan analisis peneliti

menunjukan bahwa keterampilan

yang dimiliki dalam sistem

pengoperasionalan trawl sejalan

dengan waktu (pengalaman). selain

itu adanya usaha dari para ABK

biasa untuk banyak memahami peran

yang dijalankan dalam kegiatan

penangkapan sehingga mereka yang

banyak mengerti atau memiliki

ketrampilan, mendapatkan kenaikan

status dari ABK biasa menjadi wakil

juru mudi atau kuanca.

Page 31: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

31

Mengacu pada pendapat

Lenski (Sanderson, 2011:159)

semangkin besar surplus semangkin

besar pula stratifikasi yang terjadi

dan besarnya surplus ditentukan oleh

kemampuan teknologi masyarakat.

Dalam hal ini, penggunaan trawl

dalam penangkapan ikan telah

mempengaruhi peningkatan

penghasilan nelayan. untuk

meningkatkan penghasilan atau

surplus dari penggunaan teknologi

maka butuh keterampilan dalam

pengoperasionalan trawl tersebut.

Kemampuan buruh nelayan

dalam mengoperasionalkan teknologi

tangkapan (trawl) melalui

keterampilan sangat mempengaruhi

peningkatan penghasilan mereka

sesuai dengan kedudukan atau status

mereka didalam perahu. Semangkin

meningkatnya keterampilan maka

semangkin tinggi posisi sesorang

didalam perahu. Sehingga setiap

ABK berupaya untuk menduduki

status tinggi melalui pengalaman,

pengetahuan dan keterampilan

dibidang tersebut. Menurut Davis

dan Moore (Sanderson, 2011:279)

stratifikasi merupakan sistem

insentif, sebagai alat untuk

memotivasi orang agar mengemban

tanggung jawab sosial. Bagi mereka

yang berbakat dan mau bekerja

keras, berkorban dengan tujuan

mencapai jabatan penting, imbalan

yang tinggi akan diperoleh.

Adanya peningkatan status

dan drajat kedudukan nelayan

tradisional yang melakukan mobilitas

tidak hanya pada sektor buruh

nelayan trawl namun juga terjadi

pada sektor pengusaha percetakan

batako. Dalam perpindahan

pekerjaan sebagai pengusaha

percetakan batako mereka

mengalami peningkatan status

ekonominya yang berbeda dari

sebelumnya. Menurut Blumberg

(Horton dan Hunt, 2007:13) salah

satu imbalan dari status yang tinggi

adalah adanya pengakuan sebagai

orang yang lebih berderajat tinggi

(status simbol). Hal ini dibuktikan

dengan status simbol yaitu

kepemilikan rumah yang layak,

kendaraan dan kecukupan kebutuhan

pangan, sandang dan papan.

Dalam usaha percetakan

batako penghasilan yang diperoleh

cukup besar, biasanya pemesan

batako untuk pembuatan rumah bisa

memesan mencapai seribu sampai

dua ribu batako. Kebanyakan

pemesan berada diluar Kampung

Benteng dan malah ada yang sampai

keluar dari Kelurahan Moro seperti

dari Desa Pauh, Desa Nyiur dan

Desa Pulau Moro.

Untuk penjualan satu buah

batako dihargai Rp. 2.000. selain

batako pengusaha percetakan juga

menjual batu bunga (batako yang

digunakan untuk ventilasi rumah).

Mobilitas sosial yang dilakukan ke

pengusaha batako telah mengalami

peningkatan pendapatan atau

penghasilan yang berbeda dari

penghasilan pekerjaan mereka

sebelumnya sehingga mobilitas ini

bertipe vertikal keatas seiring

peningkatan penghasilan (ekonomi).

Berdasarkan hasil wawancara

diatas menunjukan adanya

kebosanan masyarakat untuk bekerja

sebagai kuli (buruh). Sehingga

memacu adanya usaha dari para

Page 32: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

32

mantan nelayan berupa kapasitas

adiktif yaitu merespon lingkungan

dan kecendrungan untuk berkembang

serta kemudahan ekses modal dari

saudara mereka, membuat para

mantan nelayan membuka usaha

percetakan batako sendiri seiring

dengan keterampilan yang dimiliki.

Menurut analisis peneliti

mengacu pada teori evolusioner

fungsionalis, Talcott Parsons

(Sanderson, 2011:157) Parsons

berpendapat bahwa evolusi sosial

secara umum terjadi karna sifat

kecendrungan masyarakat untuk

berkembang yang disebut sebagai

kapasitas adiktif. Kapasitas adiktif

adalah kemampuan masyarakat

untuk merespon lingkungan dan

mengatasi berbagai masalah yang

selalu dihadapi manusia sebagai

mahluk sosial.

4.4. Faktor-Faktor Mobilitas Sosial

Di Kampung Benteng RT 003/ RW

003

Mobilitas sosial yang terjadi

di Kampung Benteng yaitu peralihan

mata pencarian dari nelayan

tradisional ke buruh nelayan, buruh

bangunan dan usaha percetakan

batako dapat dilihat dari beberapa hal

yang dijadikan sebagai faktor-faktor

pendorong mobilitas sosial,

diantaranya faktor eksternal yaitu

kurang produktifnya jenis alat

tangkap yang digunakan nelayan

tradisional berupa rawai, tingginya

biaya operasisonal melaut.

Sementara faktor internal yaitu

dengan keterampilan individu

mereka bisa menduduki status yang

jauh lebih baik serta mobilitas sosial

dapat terjadi.

Menurunnya penghasilan

tangkapan nelayan sangat ditentukan

dari jenis teknologi tangkapan yang

digunakan. Pada umumnya,

pengetahuan teknik penangkapan

ikan didapat dari warisan orang tua

atau pendahulu mereka berdasarkan

pengalaman empiris (Satria,

2002:16). Jenis alat tangkap berupa

rawai yang digunakan merupakan

jenis alat tangkap sederhana atau

tradisional yang biasa digunakan

nelayan tradisional Kampung

Benteng.

Berdasarkan wawancara

tersebut sebagian besar nelayan

Kampung Benteng menggunakan

alat tangkap rawai yang masih

bersifat tradisional. Mereka

menggunakan rawai terutama pada

saat musim penangkapan ikan kurau.

Selain itu mereka juga memiliki jenis

alat tangkap yang lain selain rawai

seperti pinto, bubu, jala dan tangguk

yang dapat digunakan pada saat tidak

masuknya musim penangkapan ikan

kurau.

Menurut pendapat Lenski

(Sanderson, 2011:159) besarnya

surplus ekonomi sangat dipengaruhi

kemampuan teknologi masyarakat.

Dalam hal ini, melihat teknologi

tangkapan yang masih bersifat

tradisional maka akan sangat

berpengaruh pada penghasilan atau

pendapatan nelayan Kampung

Benteng dan juga berdampak pada

ekonomi mereka. selain itu besarnya

biaya operasional yang dikeluarkan

sementara penghasilan yang

diperoleh tidak seimbang dengan

Page 33: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

33

pengeluaran menyebabkan kerugian

pada nelayan tradisional dari sisi

materi.

Dari hasil wawancara

tersebut juga perlu diperhatikan

tingginya resiko pekerjaan sebagai

nelayan. Kegiatan nelayan adalah

kegiatan yang beresiko tinggi,

ini tidak hanya menyangkut

besarnya modal yang

dipertaruhkan dan pencarian

keuntungan yang spekulatif, tetapi

juga berkaitan dengan keselamatan

jiwa. Gangguan alam yang datang

setiap saat, seperti ombak dan angin

yang besar adalah hal-hal yang dapat

mengancam keselamatan nelayan.

Ada dua hal yang selalu menjadi

pusat perhatian nelayan ketika

perahu sedang beroperasi yaitu

masalah keselamatan jiwa dan

perolehan rezeki atau keberutungan.

Mereka berharap keselamatan dan

keberutungan dapat berpihak kepada

dirinya sekaligus.

Jika dilihat dari modal

melaut, tingginya biaya operasional

melaut sangat mengganggu nelayan

untuk melaut seperti kebutuhan

minyak bagi sampan yang

menggunakan mesin, umpan untuk

rawai, es pendingin ikan dan

kebutuhan lain yang diperlukan

nelayan sehingga sebagian dari

mereka menjual jasa tenaga kepada

klien sebagai buruh nelayan.

Berdasarkan wawancara

diatas, biaya operasional yang

dikeluarkan nelayan tradisional

cukup besar sementara pengasilan

yang diperoleh tidak dapat

diprediksi. hal ini sangat

berpengaruh pada stabilitas ekonomi

dan menyebabkan kerugian pada

nelayan. kerugian yang dimaksud

adalah banyaknya pengeluaran biaya

yang dikeluarkan nelayan tradisional

untuk melaut seperti biaya untuk

membeli umpan rawai, es pendingin

ikan, minyak solar untuk sampan

yang bermesin, perbekalan makanan.

Sementara pengeluaran tersebut

selalu tidak dikuti dengan

penghasilan yang diperoleh dari

melaut.

Mengacu pada pendapat

Parsons (Sanderson, 2011:157)

kapasitas adiktif adalah kemampuan

masyarakat untuk merespon

lingkungan dan mengatasi berbagai

masalah yang selalu dihadapi

manusia sebagai mahluk sosial.

Bentuk dari kapasitas adiktif yang

dilakukan nelayan tradisional yaitu

beralih mata pencarian sebagai salah

satu solusi untuk mengatasi berbagai

macam persoalan yang terjadi

dengan bekerja sebagai buruh

nelayan (penjaring, trawl) buruh

bangunan dan ada yang menjadi

pengusaha percetakan batako.

Dalam dunia modern, banyak

individu berupaya melakukan

mobilitas. Mereka yakin bahwa

melakukan jenis pekerjaan yang

paling cocok bagi diri mereka. bila

tingkat mobilitas tinggi, meskipun

latar belakang sosial berbeda, mereka

tetap merasa mempunyai hak yang

sama dalam mencapai kedudukan

sosial yang lebih tinggi (Abdullah,

2009:197).

Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya selain faktor eksternal

yang mempengaruhi mobilitas sosial,

faktor internal juga merupakan salah

Page 34: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

34

satu pendorong mobilitas sosial di

Kampung Benteng ini terjadi. Faktor

internal ini ditandai dengan

keterampilan yang dimiliki individu

selain disektor perikanan mereka

juga memiliki keterampilan diluar

sektor perikanan seperti pekerjaan

sebagai buruh bangunan dan usaha

percetaan batako.

Menurut Horton dan Hunt

(Narwoko, 2007:211) faktor individu

adalah kualitas orang perorang, baik

ditinjau dari tingkat pendidikan,

penampilannya dan keterampilannya

termasuk faktor kemujuran yang

menentukan siapa yang akan berhasil

mencapai kedudukan itu.

Berdasarkan wawancara

diatas, selain bekerja disektor

perikanan para mantan nelayan

tradisional juga memiliki

keterampilan untuk bekerja sebagai

buruh bangunan. Hal ini menunjukan

akan adanya kemudahan berpindah

pekerjaan melalui keterampilan yang

dimiliki. Pada dasarnya bakat yang

dimiliki setiap individu berbeda-beda

sehingga kesempatan untuk

memperoleh kedudukan yang tinggi

dimasyarakat akan berbeda pula.

Dengan demikian kemampuan atau

keterampilan untuk memperoleh

kedudukan bergantung pada usaha

yang dilakukan. Mengacu pada

konsep Blau dan Duncan (Sanderson,

2011:273) beberapa individu dapat

memperbaiki kedudukan mereka

dengan motivasi, kerja keras, bahkan

dengan keberuntungan.

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisa

penelitian yang telah dilakukan,

maka selanjutnya hasil penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa telah

terjadi mobilitas sosial nelayan

tradisional di Kampung Benteng

Kelurahan Moro Kecamatan Moro.

Mobilitas sosial yang dilihat dari

peralihan mata pencarian masyarakat

nelayan tradisional menunjukan

adanya kenaikan status, terutama

mereka yang beralih ke mata

pencarian sebagai buruh nelayan

trawl dan pengusaha percetakan

batako. Sementara mereka yang

melakukan peralihan ke buruh

nelayan penjaring dan buruh

bangunan yang hanya diposisikan

sebagai kuli pembantu tidak

mengalami kenaikan status maupun

drajat.

Proses mobilitas sosial yang

terjadi merupakan permasalahan

yang komplek, diikuti teknologi yang

masih bersifat tradisional dan

tingginya biaya operasional melaut.

Permasalahan teknologi yang masih

tradisional sangat mempengaruhi

rendahnya penghasilan yang

diperoleh dengan menggunakan

teknologi tangkapan berupa rawai

sementara biaya operasional yang

dikeluarkan untuk melaut terus

meningkat. Tidak adanya

keseimbangan antara pengeluaran

dan pengahasilan menyebabkan

nelayan mengalami kerugian dalam

bentuk materi. Kerugian yang

dialami mempengaruhi masyarakat

untuk menjual jasa tenaga mereka

kepada tauke sebagai buruh nelayan

penjaring karna tidak memiliki

keterampilan untuk bekerja disektor

pekerjaan lain serta guna mencari

jaminan sosial ekonomi seiring

Page 35: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

35

sumber daya yang dihadapi bersifat

spekulatif.

Nelayan yang berposisi

sebagai nelayan buruh penjaring

sangat erat dengan hubungan patron

klien yang merupakan institusi

ekploitasi sesama dan mengeruk

keuntungan untuk diri sendiri. Para

pemilik modal atau alat produksi

menerima pendapatannya dengan

mengekploitasi pekerja, dengan cara

mengupah mereka kurang dari nilai

barang dan jasa yang mereka

produksi. Tidak adanya kenaikan

penghasilan mempengaruhi pada

status dan drajat buruh nelayan

penjaring, sehingga mobilitas yang

terjadi hanya bersifat horizontal.

Sementara itu kenaikan status dapat

dirasakan nelayan tradisional yang

bekerja sebagai buruh nelayan trawl

seiring dengan meningkatnya

penghasilan (ekonomi). Pekerjaan

sebagai buruh nelayan trawl

penghasilan juga sangat bergantung

pada keterampilan mereka,

semangkin meningkat keterampilan

dalam pekerjaan maka akan

semangkin meningkat pula status

didalam perahu dan berpengaruh

pada peningkatan penghasilan.

Selain peralihan pekerjaan

sebagai buruh nelayan, mereka juga

melakukan peralihan ke buruh

bangunan yang hanya diposisikan

sebagai kuli pembantu. kuli

pembantu adalah mereka yang

bekerja sebagai buruh bangunan

namun, diposisikan pada posisi

dibawah kepala tukang (kepala

borongan) dikarnakan masih

rendahnya keterampilan serta

kepercayaan masyarakat dengan

bidang yang ia geluti. Mobilitas

sosial yang dilakukan tidak akan

berjalan dengan baik jika tanpa

adanya ketrampilan yang memadai

atau syarat-syarat untuk menduduki

status tertentu. Selain itu, peralihan

dari nelayan tradisional ke

pengusaha percetakan batako adalah

mobilitas yang dapat dikatakan

vertikal seiring dengan peningkatan

drajat dan status mereka. tentunya

kenaikan status yang dialami diikuti

dengan penghasilan yang diperoleh

dan berbeda dari penghasilan

pekerjaan sebelumnya.

5.2. Saran Untuk menindak lanjuti

beberapa kesimpulan yang telah

dikemukakan, maka disampaikan

beberapa saran diantaranya:

1. Sebaiknya masyarakat

nelayan tradisional yang

beralih pekerjaan mampu

menekuni pekerjaan tersebut

dengan mengasah

keterampilan serta mampu

beradaptasi dengan

lingkungan yang baru

dikarnakan setiap pekerjaan

yang baru akan

membutuhkan keterampilan

yang baru pula. Melalui

keterampilan atau skill yang

memenuhi syarat suatu

pekerjaan akan mendapat

imbalan berupa kenaikan

status dan juga meningkatnya

penghasilan yang diperoleh.

2. Selain itu perlunya ada

institusi seperti koperasi

nelayan yang dibangun untuk

menunjang peningkatan

status dan ekonomi nelayan,

terutama dalam menghadapi

permasalahan keterikatan

buruh nelayan penjaring

dengan tauke. Rendahnya

penghasilan nelayan buruh

Page 36: MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat

36

penjaring tidak lepas dari

ekploitasi para patron untuk

meraup keuntungan dengan

cara mengupah mereka

kurang dari nilai barang

(hasil tangkapan nelayan) dan

jasa yang mereka produksi.

Daftar Pustaka

Abercrombie, Nicholas dkk, 2010,

Kamus Sosiologi,

Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Horton, Paul B dan Chaster L Hunt,

(1996), Sosiologi edisi enam

jilid dua, Erlangga

Kinseng, A Rilus, (2014), Konflik

Nelayan, Edisi pertama,

Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Kusnadi,2003,Akar kemiskinan

nelayan,Yogyakarta: LkiS.

-----------.2009. Keberdayaan

Nelayan dan Dinamika

Ekonomi Pesisir.

Yogyakarta: Ar- Ruzz

Media.

Narwoko,J dwi dan bagong

suyanto(eds.),2007,sosiologi

teks pengantar dan

terapan,edisi kedua,Jakarta:

kencana prenada media

group.

Palras, Christian. 1971. Hubungan

Patron-Klien Dalam

Masyarakat Bugis

Makassar. Paris: Tidak

Diterbitkan.

Satria,Arif,2002,pengantar sosiologi

masyarakat pesisir,Jakarta:

PT.Pustaka Cidesindo.

Sanderson, K. Stephen, 2011,

Makrososiologi sebuah

pendekatan

terhadaprealitas sosiologi,

Jakarta: PT. Rajagrafindo

Persada.

Silalahi, ulber, 2010, metode

penelitian sosial, Bandung:

PT Rafika aditama.

Sugyono,2008,Metode penelitian

kuantitatif, kualitatif dan R

& D,Bandung:

ALFABETA.

--------------,2009,Metode penelitian

administrasi,Bandung: CV.

ALFABETA.

Soekanto,soerjono,2004,Sosiologi

suatu pengantar,Edisi

keenam,Jakarta:PT. Raja

Grafindo.

Surbakti, ramlan, 2010, Memahami

ilmu politik, PT.

GramediaWidiasarana

Indonesia, Jakarta.

Wirawan, 2010, Konflik dan

manajement konflik,

Salemba Humanika, Jakarta.

--------------,2012,Sosiologi suatu

pengantar,Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Wulansari, dewi, 2009, Sosiologi

konsep dan teori,

Bandung: PT. Refika

Aditama.